21
1 PENGEMBANGAN SOCIAL FORESTRY DI SPUC BORISALLO (Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat) SOCIAL FORESTRY DEVELOPMENT IN BORISALLO FORESTRY RESEARCH STATION (Socio-economic and cultural community analysis) Oleh/by : Abd. Kadir W. Abstract Borisallo forestry research station has chance as show window of social forestry. This is due to its natural resources and human resources potency. The aimed of this research was to identify the condition of socio-economic and cultural community to be functioned as source of information and policy. The result of the research showed that several factors were involved such as the productivity of community, the main job of farmer, the family labor potency, the community perception towards the environment, and the community participation to conserve the environment. However, poverty rate in Borisallo not be able yet to be decreased by what they’ve got as their income. Therefore, it should be looked an alternative way for better solution. Key words: Borisallo forestry research station, social forestry, socio-economic and cultural community Abstrak Stasiun Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Borisallo memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai show window pengembangan social forestry. Hal ini karena potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan dimilikinya untuk pengembangan social forestry. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi terkait dan stakeholder lainnya dalam merumuskan kebijakan pengembangan social forestry di SPUC Borisallo. Hasil penelitian menujukkan bahwa faktor yang dapat mendukung pengembangan social forestry di kawasan tersebut adalah tingginya persentase usia kerja produktif masyarakat, pekerjaan utama petani, potensi tenaga kerja keluarga, persepsi masyarakat terhadap kawasan, dan adanya partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan. Namun demikian pendapatan yang diperoleh masyarakat dari meggarap lahan di SPUC Borisallo belum mampu mangangkat masyarakat dari garis kemiskinan sehingga diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan garapan mereka. Kata Kunci : SPUC Borisallo, social forestry, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat

Social Forestry Borisallo koreksi 1 - puspijak.orgpuspijak.org/uploads/info/Social_Forestry_Borisallo__koreksi_1_.pdf · Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pengembangan social

  • Upload
    dinhnhi

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENGEMBANGAN SOCIAL FORESTRY DI SPUC BORISALLO (Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat)

SOCIAL FORESTRY DEVELOPMENT IN BORISALLO FORESTRY

RESEARCH STATION (Socio-economic and cultural community analysis)

Oleh/by :

Abd. Kadir W.

Abstract

Borisallo forestry research station has chance as show window of social forestry. This is due to its natural resources and human resources potency. The aimed of this research was to identify the condition of socio-economic and cultural community to be functioned as source of information and policy. The result of the research showed that several factors were involved such as the productivity of community, the main job of farmer, the family labor potency, the community perception towards the environment, and the community participation to conserve the environment. However, poverty rate in Borisallo not be able yet to be decreased by what they’ve got as their income. Therefore, it should be looked an alternative way for better solution. Key words: Borisallo forestry research station, social forestry, socio-economic and

cultural community

Abstrak

Stasiun Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Borisallo memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai show window pengembangan social forestry. Hal ini karena potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan dimilikinya untuk pengembangan social forestry. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi terkait dan stakeholder lainnya dalam merumuskan kebijakan pengembangan social forestry di SPUC Borisallo. Hasil penelitian menujukkan bahwa faktor yang dapat mendukung pengembangan social forestry di kawasan tersebut adalah tingginya persentase usia kerja produktif masyarakat, pekerjaan utama petani, potensi tenaga kerja keluarga, persepsi masyarakat terhadap kawasan, dan adanya partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan. Namun demikian pendapatan yang diperoleh masyarakat dari meggarap lahan di SPUC Borisallo belum mampu mangangkat masyarakat dari garis kemiskinan sehingga diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan garapan mereka.

Kata Kunci : SPUC Borisallo, social forestry, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat

2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah meluasnya pemukiman sampai ke

dalam kawasan hutan yang menyebabkan beralihnya hutan menjadi lahan pertanian.

Penanganan terhadap penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan menjadi hal yang

sangat penting. Dalam hal ini diperlukan suatu model pengelolaan di mana masyarakat

dapat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan taraf hidup yang makin baik,

tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya hutan.

Menteri Kehutanan telah menegaskan lima program prioritas kehutanan

nasional, yaitu penghentian penebangan hutan, pengendalian kebakaran hutan,

restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan penghutanan kembali lahan kritis, serta

penguatan desentralisasi pengelolaan hutan. Pencapaian prioritas ditempuh melalui

penerapan social forestry. Kelima program tersebut dilaksanakan untuk mencapai dua

tujuan utama, yaitu kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta

kelestarian sumberdaya hutan.

Stasiun Penelitian Ujicoba (SPUC) Borisallo terletak sekitar 25 km dari

Makassar dan mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat. Luas kawasan mencapai

135 ha dengan beberapa jenis tanaman di dalamnya seperti leda (Eucalyptus sp), gmelina

(Gmelina arborea) dan akasia (Acacia mangium). Kawasan SPUC Borisallo memiliki

peluang untuk pengembangan social forestry karena terdapat masyarakat yang telah

memanfaatkan kawasan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari melalui penanaman

tanaman dibawah tegakan eucalyptus, akasia dan gmelina dengan tanaman kopi, pisang,

coklat dan tanaman semusim (padi, jagung dan kacang tanah).

Dalam rangka pengembangan social forestry di kawasan tersebut, diperlukan

informasi tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat sebagai bahan

pertimbangan dalam merumuskan kebijakan social forestry yang akan dilaksanakan.

3

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan budaya

masyarakat dalam rangka pengembangan social forestry di Stasiun Penelitian dan Ujicoba

(SPUC) Borisallo.

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan pertimbangan

bagi instansi terkait dan stakeholder lainnya dalam merumuskan kebijakan

pengembangan social forestry di SPUC Borsallo.

C. Kerangka Pemikiran

Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pengembangan social forestry di SPUC

Borisallo adalah hutan lestari dan masyarakat sekitarnya sejahtera. Untuk mencapai

tujuan tersebut, diperlukan langkah-langkah yang sistematis dan terencana yang

selanjutnya disebut sebagai alur/kerangka berpikir sebagai berikut :

1. Inventarisasi potensi. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan

pendataan/pengumpulan data tentang kondisi masyarakat sekitar dan kondisi sumber

daya alam.

2. Hasil dari inventarisasi potensi ini melahirkan 2 hal pokok yaitu (a) gambaran kondisi

sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar SPUC Borisallo dan (b) gambaran

kondisi sumberdaya alam yang tersedia dan dapat dikembangkan dalam rangka

pengembangan social forestry. Penelitian ini berada pada tahap gambaran kondisi

sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar SPUC Borisallo.

3. Dengan bermodalkan gambaran kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta

gambaran kondisi sumberdaya alam yang tersedia, kemudian disusun strategi

pengembangan social forestry yang meliputi jenis kegiatan yang akan dikembangkan

(misalnya agroforestry, sylvopastural, apicultur, wana farma, dll) dan bagaimana

teknis pelaksanaannya.

4. Setelah strategi pengembangan social forestry disusun kemudian diimplemtasikan dan

diawasi pelaksanaannya secara bersama-sama sehingga tujuan hutan lestari dan

masyarakat sejahtera dapat terwujud.

4

Kerangka pemikiran diatas dapat digambarkan pada diagram alur sebagai

berikut :

Inventarisasi Potensi / Pengumpulan Data

Inventarisasi Kondisi Sumberdaya Alam

Inventarisasi Kondisi Sosekbud Masyarakat

Strategi Pengembangan Social Forestry

Pelaksanaan Kegiatan Social Forestry

Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera

5

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember – Desember 2002 di Stasiun

Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Borisallo Kelurahan Bontoparang Kecamatan Parangloe

Kabupaten Gowa.

B. Pengumpulan Data

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purpossive, dimana SPUC

Borisallo diharapkan menjadi show window pengembangan social Forestry di Sulawesi

Selatan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Data yang

dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode sensus dengan

mewawancarai seluruh petani yang menggarap lahan di SPUC Borisallo (68 KK) ataupun

pihak-pihak yang terkait (tokoh masyarakat, aparat kelurahan dan dinas kehutanan

setempat). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur (laporan instansi

terkait dan data statisitik).

C. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dihitung rata-ratanya,

dilakukan klasifikasi dan dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan berbagai

kesimpulan mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam rangka

pengembangan social forestry di masa datang.

6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Aspek Sosial Masyarakat

1. Penduduk

Jumlah kepala keluarga yang mengarap lahan dalam kawasan SPUC Borisallo

adalah 68 KK. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh informasi

bahwa distribusi umur masyarakat di lokasi kajian berkisar 27 – 75 tahun, dengan rata–

rata umur 46 tahun. Secara rinci distribusi umur masyarakat di lokasi penelitian dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Umur Masyarakat Table 1. Composition of age community

Komposisi Umur (composition of age)

Persentase ( % )

Angkatan kerja Muda ( Usia 15 – 34 tahun ) (young age labor)

Angkatan kerja Tua ( Usia 35 - 54 tahun ) (Old age labor)

Non Produktif ( > 55 tahun ) (non-productive)

26,47

44,12

29,41

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Pada Tabel 1 terlihat bahwa umur masyarakat sebagian besar merupakan usia

produktif. Tingginya usia produktif dalam masyarakat merupakan salah satu potensi yang

dapat dimanfaatkan dimasa datang dalam pengembangan suatu wilayah. Semakin

bertambah usia seseorang, semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang

dimilikinya. Adapun petani yang berusia muda, pada umumnya mempunyai kondisi fisik

yang sehat dan mampu menerima dengan cepat inovasi ataupun ide–ide baru yang

dianjurkan dibanding petani yang berumur tua.

2. Pendidikan

Pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan

keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi

7

cara berpikir seseorang, terutama dalam menganalisis suatu masalah. Tingginya tingkat

pendidikan masyarakat memungkinkan masyarakat lebih cepat menerima dan

memberikan respon terhadap hal-hal yang membutuhkan kemampuan berpikir dari

inovasi-inovasi baru yang dianjurkan kepadanya. Kecenderungan yang ada, semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin responsif orang tersebut terhadap

perubahan–perubahan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat

dilokasi penelitian sangat rendah. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat dalam

pelaksanaan program pembangunan khususnya program social forestry. Rendahnya

tingkat pendidikan di lokasi penelitian perlu mendapatkan perhatian khusus. Namun

demikian, hal ini dapat diatasi dengan kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif

sehingga tercipta kesamaan visi dan persepsi terhadap kegiatan yang akan dilakukan

dalam masyarakat khususnya pelaksanaan kegiatan sosial forestry.

Tingkat pendidikan masyarakat yang menggarap lahan di SPUC Borisallo dapat

dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Masyarakat Table 2. Mount of education community

Tingkat pendidikan Mount of education

Persentase ( % )

< SD (elementary school) SLTP (junior high school) SLTA (senior high school) Perguruan Tinggi / Akademi (University)

89,71 8,82

- 1,47

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

3. Pekerjaan Penduduk

Pekerjaan penduduk dilihat berdasarkan pekerjaan pokok dan pekerjaan

sampingan, dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari–

hari. Jenis pekerjaan penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

8

Tabel 3. Jenis Pekerjaan Masyarakat Table 3. Type of job community

Jenis Pekerjaan Jobs

Persentase ( % )

Pekerjaan Utama (main jobs) 1. Petani (farmer) 2. Pedagang (trader) 3. Sektor Jasa (public service)

91,18 7,35 1,47

Pekerjaan Sampingan (secondary jobs) 1. Petani (farmer) 2. Pedagang (trader) 3. Nelayan (fishermen) 4. Peternakan (husbandry) 5. Sektor Jasa (public service) 6. Tidak ada (nothing)

4,41

11,76 13,24 1,47

14,71 54,41

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Data dari Tabel 3 di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar masyarakat

(91,18%) mempunyai pekerjaan utama sebagai petani, selebihnya 7,35% merupakan

pedagang dan 1,47% bergerak di sektor jasa. Sedangkan pekerjaan sampingan masyarakat

di lokasi penelitian sebagaian besar di sektor jasa (buruh, sopir, imam desa) sebanyak

14,71% dan sebagai nelayan air tawar (13,24%). Masyarakat yang mempunyai pekerjaan

sampingan sebagai nelayan, karena lokasi SPUC Borisallo berdekatan dengan bendungan

Bili-Bili yang menjadi salah satu obyek wisata. Diantara para wisatawan banyak yang

ingin menikmati masakan ikan air tawar yang dipelihara oleh masyarakat.

Dalam rangka pengembangan social forestry di masa datang, jenis pekerjaan

utama masyarakat yang sebagian besar sebagai petani merupakan salah satu potensi

pendukung sebab sedikit-banyaknya masyarakat telah mengetahui teknik-teknik bercocok

tanam. Hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membina masyarakat sehingga

mereka dapat meningkatkan produktivitas lahan dengan tetap memperhatikan prinsip

kelestarian lingkungan.

9

4. Potensi Tenaga Kerja Keluarga

Ketersediaan tenaga kerja yang cukup merupakan salah satu faktor pendukung

keberhasilan suatu program pembangunan yang akan dilaksanakan. Potensi tenaga kerja

keluarga diketahui dari banyaknya usia kerja produktif (umur 14 – 54 tahun) yang ada

pada setiap rumah tangga.

Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap keluarga di lokasi penelitian memiliki

potensi tenaga kerja berkisar antara 0 s/d 9 orang dengan rata-rata 3 orang setiap

keluarga. Untuk lebih jelasnya jumlah potensi kerja yang dimiliki oleh setiap keluarga di

lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Angkatan Kerja Keluarga Table 4. Number of family labor

Jumah Angkatan Kerja Keluarga Number of family labor

Persentase (%)

0 – 3 orang > 3 orang

55,88 44,12

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Data pada Tabel 4 menunjukan bahwa setiap keluarga yang menggarap lahan di

SPUC Borisallo memiliki potensi tenaga kerja produktif cukup tinggi. Tingginya potensi

tenaga kerja tersebut jika dibina dengan baik akan sangat membantu dalam pelaksanaan

program social forestry di masa datang. Disamping itu dapat dijadikan sebagai tulang

punggung keluarga dalam membantu kepala keluarga melakukan pekerjaan sehari–hari.

B. Aspek Ekonomi Masyarakat

1. Jenis Komoditas yang Diusahakan

Jenis komoditas yang diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah

komoditas pertanian dan perkebunan seperti padi, jagung, kacang tanah, pisang, mangga,

kopi, pepaya, rambutan, coklat, mente, nagka dan langsat. Komoditas perkebunan

umumnya ditanaman di bawah atau di sela-sela tanaman kayu-kayuan seperti eucalyptus,

akasia dan tanaman gmelina. Jenis tanaman yang diusahakan masyarakat hampir seragam

terutama pada komoditas perkebunan. Jenis tanaman komoditas perkebunan yang

10

diusahakan adalah pisang, mangga, kopi, pepaya, nangka, rambutan, coklat, mente, dan

langsat. Sedangkan jenis tanaman komoditas pertanian yang diusahakan selama ini adalah

padi, jagung, dan kacang tanah. Jenis tanaman komoditas perkebunan dan pertanian yang

diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Jenis Komoditas yang Diusahakan oleh Masyarakat Table 5. Type of commodity farm community

Jenis Komoditas yang Diusahakan Type of commodity

Persentase ( % )

Buah-buahan (estate commodity) 1. Pisang (banana) 2. Mangga (mango) 3. Kopi (coffee) 4. Pepaya (papaya) 5. Rambutan (rambutan) 6. Coklat (cacao) 7. Mente 8. Nangka (jackfruit) 9. Langsat

63,23 77,94 14,71 27,94 4,41 4,41 1,47 1,47 2,94 1,47

Tanaman pangan (Agriculture commodity) 1. Padi (paddy) 2. Jagung (maize) 3. Kacang tanah (peanut)

13.24 19,12 5,88

27,94 Buah-buahan dan pangan (estate and agriculture) 17,65 Tidak Menggarap Lahan 5.88

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Tabel 5 memperlihatkan bahwa persentase komoditas tanaman pertanian lebih

kecil (13.24 %) dibandingkan dengan komoditas tanaman perkebunan (63,23%).

Rendahnya persentase jenis komoditas pertanian disebabkan oleh kondisi lahan yang

kurang memungkinkan. Lahan garapan masyarakat adalah lahan tadah hujan di mana

pengairannya sangat bergantung kepada intensitas curah hujan. Di samping itu, sebagian

besar lahan tersebut berupa hutan tanaman yang telah dibangun oleh PT Inhutani I Unit

III Makassar, sehingga luas dan jumlah lahan yang terbuka untuk kegiatan budidaya

tanaman pertanian sangat sedikit.

11

2. Teknik Budidaya

Pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah

dalam bentuk agroforestry dan monokultur. Pola agroforestry yang diterapkan oleh

masyarakat adalah campuran antara tanaman perkebunan dengan tanaman kehutanan.

Komoditas tanaman perkebunan (kopi, coklat, dan pisang) ditanam di sela-sela tanaman

kehutanan (Eucalyptus deglupta) yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan bentuk

monokultur diterapkan oleh masyarakat pada lahan-lahan kosong/terbuka untuk ditanami

tanaman pertanian seperti jagung, kacang-kacangan dan padi. Hal ini karena tanaman

komoditas pertanian membutuhkan instensitas cahaya yang cukup tinggi dalam

pertumbuhannya.

3. Luas Lahan Garapan

Potensi lahan dapat dilihat dari luas lahan usahatani yang digarap oleh

masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan masyarakat di

SPUC Borisallo berkisar antara 0,2 ha – 2,7 ha dengan rata rata 0,83 ha. Lahan tersebut

diperuntukkan bagi kegiatan usahatani komoditas perkebunan maupun komoditas

pertanian. Selengkapnya distribusi luas lahan garapan masyarakat di SPUC Borisallo

dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Luas Lahan Garapan Masyarakat Table 6. Wide of ownership farm community

Luas Lahan Garapan Masyarakat Wide of ownership farm community

Persentase ( % )

0 – 0,83 ha > 0,83 ha

73,53 26,47

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa 73,53% masyarakat menguasai lahan

garapan untuk kegiatan usahatani seluas 0,2 ha - 0,83 ha. Dengan luas lahan seperti ini,

diharapkan petani dapat mengolah lahan mereka secara maksimal karena luasan ini masih

berada dibawah rata-rata luasan maksimal yang mampu untuk diolah oleh seseorang yaitu

2 ha. Hal ini juga berarti bahwa masih tersedia cukup tenaga dan waktu untuk mengolah

12

lahan tersebut secara maksimal. Hasil maksimal yang diharapkan dari petani dalam

mengolah lahannya, tentunya harus diimbangi dengan pembinaan yang maksimal dari

instansi-instansi terkait (stakeholder). Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan

dalam mengolah lahan usahatani seperti teknik bercocok tanam yang baik yang

disesuaikan dengan kondisi lahan, pemilihan jenis tanaman yang sesuai, penerapan pola

agroforestry yang tepat sampai kepada cara memasarkan hasil usahatani. Dengan

pembinaan yang maksimal diharapkan petani dapat menjadi lebih mandiri dan dapat

mengambil manfaat yang lebih maksimal dari lahan yang mereka usahakan selama ini.

4. Pendapatan Usahatani Masyarakat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total pendapatan usahatani

masyarakat di lokasi penelitian selama setahun adalah Rp. 2.032.537,- yang bersumber

dari usahatani komoditas perkebunan sebesar Rp. 1.893.044,-/tahun dan komoditas

pertanian sebesar Rp. 193.493,-/tahun. Rata-rata total pendapatan usahatani masyarakat

di SPUC Borisallo selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Rata-rata Total Pendapatan Usahatani Masyarakat di SPUC Borisallo Table 7. Average of total income community from Borisallo forestry research station

Jenis Komoditas Commodity

Rata-rata Pendapatan Average of income

Proporsi (%)

Buah-buahan (estate) Pangan (agriculture)

Rp. 1.839.044,- Rp. 193.493,-

90,52 9,48

Total Rp. 2.032.537,- 100,00 Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi penelitian sangat

menggantungkan sumber pendapatannya dari sektor perkebunan. Hal ini dapat dilihat

dari proporsi pendapatan usahatani masyarakat dari sektor perkebunan jauh lebih besar

yakni sebesar 90,52% dibandingkan pendapatan usahatani dari sektor pertanian yang

hanya sebesar 9,48%. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi lahan kurang

memungkinkan untuk pengembangan sektor pertanian dimana luasannya sangat terbatas

dan pengairannya sangat ditentukan oleh intensitas curah hujan.

13

Jika dihubungkan dengan kebutuhan minimun seseorang yakni 320 kg beras per

kepala dan rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani di lokasi penelitian sebanyak 3

orang dan diasumsikan harga beras Rp. 2.500,-/kg, maka kebutuhan rata-rata minimun

yang harus dipenuhi oleh setiap keluarga petani adalah Rp. 3.200.000,-/tahun. Dengan

demikian, pendapatan yang diperoleh masyarakat belum mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada

peningkatan pendapatan masyarakat dengan jalan memaksimalkan pengolahan lahan yang

mereka usahakan tanpa membuka lahan baru.

5. Pasar dan Pemasaran

Pasar dan sistem pemasaran suatu produk dapat berimplikasi pada sistem

produksi. Harga dan sistem pemasaran yang stabil dan efisien dapat merangsang petani

untuk meningkatkan produksi.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat (80,88%)

menjual hasil usahatani mereka dan sisanya (19,12%) untuk dikonsumsi sendiri. Hasil

penelitian juga menunjukkan 70,59% masyarakat menjual hasil usahatani mereka ke

pedagang pengumpul, 14,71% menjualnya ke pasar dan 8,82% yang menjualnya ke

masyarakat sekitar. Adapun lokasi pasar yang menjadi tujuan masyarakat dalam menjual

hasil usahataninya adalah pasar desa (90%)

Ada dua cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam memasarkan hasil

usahatani, yaitu pedagang mendatangi petani dan petani yang mendatangi pedagang. Bagi

pedagang yang mendatangi petani, lokasi pertemuan di antara keduanya adalah di pasar.

C. Aspek Budaya Masyarakat

1. Tradisi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Aspek budaya dalam penelitian ini ditujukan untuk mengungkap tradisi-tradisi

atau kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang terpelihara dengan baik dan memiliki

peran, baik dalam pengelolaan sumber daya alam maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi atau kebiasaan yang ada di sekitar kawasan SPUC Borisallo disebut

“Abbulo Sibatang” . Tradisi tersebut yang mengandung makna musyawarah dan mufakat

14

untuk menentukan sikap dan aktivitas yang diperlukan, baik dalam hal pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya alam maupun dalam menyelesaikan konflik–konflik yang terjadi

dalam masyarakat.

Peranan pemimpin formal dan non-formal dalam pengambilan keputusan pada

setiap musyawarah atau pertemuan cukup besar. Hasil penelitian menunjukan bahwa

42,65% masyarakat menyatakan bahwa yang berperan dalam setiap pengambilan

keputusan adalah pemimpin formal. Di samping itu, 42,65 % masyarakat juga

menyatakan bahwa pemimpin non-formal (tokoh–tokoh masyarakat) memiliki peranan

yang cukup besar dalam pengambilan keputusan. Sedangkan peranan anggota

masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat kecil yaitu 8,82 %. Anggota masyarakat

pada umumnya hanya bersifat menerima hasil keputusan dan melaksanakan instruksi

yang telah ditetapkan oleh pemimpin formal dan non-formal.

Dalam rangka pengembangan social forestry, pelibatan pemimpin formal dan non-

formal perlu mendapat perhatian, baik sebagai motivator maupun sebagai penyambung

informasi dan instruksi dari pelaksana program ke masyarakat sasaran sebagai pelaksana

kegiatan dari program tersebut.

2. Kelembagaan dalam Masyarakat

Kajian potensi kelembagaan dapat dilihat dari keberadaan, fungsi, dan peran

lembaga tersebut dalam masyarakat. Jenis kelembagaan dalam penelitian ini dibagi dua,

yaitu lembaga ekonomi desa yang terdiri dari KUD, lembaga kredit/perbankan, pedagang,

dan tengkulak serta lembaga non ekonomi desa yang terdiri dari LKMD, dan gotong

royong. Selain itu juga diamati kelembagaan di tingkat petani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga ekonomi desa yang paling banyak

diketahui keberadaannya oleh masyarakat adalah KUD (76,47%), tengkulak (48,53%),

lembaga kredit (44,12%), dan pedagang (48,24%). Sedangkan lembaga non ekonomi desa

yang paling banyak diketahui keberadaannya oleh masyarakat adalah gotong royong

(97,06%), LKMD (85,29%) dan karang taruna (10,29%).

Keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan yang ada sangat kecil. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa 98,53% masyarakat tidak terlibat dalam struktur

15

organisasi lembaga yang ada dan hanya 1,47% masyarakat yang terlibat dalam

kelembagaan yang ada di lokasi penelitian.

Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui keberadaan lembaga ekonomi

dan lembaga non ekonomi desa, baik yang bersifat formal maupun non formal, akan

tetapi fungsi dan peran dari masing-masing lembaga yang ada kurang dipahami oleh

masyarakat sekitar. Pengetahuan masyarakat akan fungsi/manfaat dari lembaga-lembaga

yang ada selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Pengetahuan Masyarakat tentang Fungsi/Manfaat Lembaga

Jenis Lembaga Institutions

Fungsi/Manfaat Lembaga Function of institutions

Persentase ( % )

LKMD Village officer

- Mengurus Kepentingan Masyarakat Take care community interest

2,94

Gotong Royong - Pekerjaan menjadi mudah Make be easy

- Saling bekerjasama Working together

- Menjaga keamanan Taking care of security

26,47

KUD - Tempat meminjam uang Have a loan of maoney

- Pengadaan pupuk

11,76

Lembaga Kredit Cerdit institution

- Menjaga keamanan Taking care of security

2,94

Pedagang trader

- Memudahkan pemasaran hasil marketing

2,94

Tengkulak borker

- Tempat meminjam uang Have a loan of maoney

1,47

Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)

Besarnya pengetahuan masyarakat akan fungsi dan manfaat lembaga informal

(gotong royong, pedagang dan tengkulak) dibanding lembaga formal (LKMD, KUD dan

lembaga kredit) disebabkan oleh kurangnya kegiatan terstruktur dari lembaga formal yang

langsung menyentuh aktivitas usahatani masyarakat secara terjadwal dan berkelanjutan.

Di samping itu keberadaan dan sistem manajemen lembaga formal kurang dipahami oleh

16

masyarakat. Hal tersebut menyebabkan masyarakat lebih mengutamakan lembaga

informal (gotong-royong) sebagai kegiatan yang telah lazim dilakukan untuk

meringankan pekerjaan sesama petani dan memiliki nilai kebersamaan yang tinggi.

Lembaga formal yang banyak diketahui fungsi/manfaatnya oleh masyarakat adalah KUD

sebagai tempat untuk meminjam uang dan penyediaan keperluan usahatani, seperti pupuk.

Masyarakat di lokasi penelitian dalam mengelola lahan mereka sebagian besar

(92,65%) bekerja sendiri-sendiri dan hanya 7,35% yang bekerja secara berkelompok,

meskipun mereka mengetahui manfaat dari bekerja secara berkelompok. Manfaat bekerja

secara berkelompok yang diketahui oleh masyarakat adalah saling bergotong royong

sehingga pekerjaan yang mereka lakukan menjadi ringan dan mudah diselesaikan, yang

pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Melihat kondisi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, pengembangan aspek

kelembagaan perlu diarahkan pada pemberdayaan kelompok tani sebagai sarana membina

kemandirian dan meningkatkan produktivitas petani serta pemberdayaan KUD sebagai

tempat untuk mendapatkan modal usaha, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil

usahatani masyarakat serta sebagai sarana dalam merencanakan kegiatan yang akan

dilaksanakan.

3. Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Hutan

Kajian persepsi masyarakat diarahkan untuk melihat pengetahuan dan pemahaman

masyarakat tentang tanggung jawab pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan, dan

status lahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab pengelolaan hutan yang ada

di sekitar mereka adalah pemerintah bersama masyarakat (69,12%). Oleh karena itu,

sebagian besar (64,71%) masyarakat beranggapan bahwa pemerintah dan masyarakat

boleh memanfaatkan kawasan hutan yang ada.

Disamping itu masyarakat pada umumnya mengetahui jika lahan yang mereka

garap adalah milik negara yang tidak boleh diperjualbelikan kepada orang lain (67,65 %).

Dengan pemahaman masyarakat seperti dijelaskan di atas, diharapkan status kawasan

sebagai hutan negara tidak akan berubah di kemudian hari. Agar hal ini dapat terwujud,

17

maka diperlukan pengawasan dan pembinaan secara intensif dari semua pihak yang

terkait dalam pengelolaan hutan (pemerintah, aparat hukum, tokoh masyarakat, dan

masyarakat sekitar).

Namun demikian, masyarakat umumnya (48,53 %) beranggapan bahwa lahan

yang selama ini mereka usahakan dapat diwariskan kepada anak/keluarga mereka. Hal

ini dapat dipahami karena terdapat anggapan umum dalam masyarakat bahwa siapa yang

lebih dahulu membuka lahan/mengusahakan lahan dalam hutan, maka lahan garapan

tersebut adalah “milik mereka” sehingga mereka berhak mewariskan kepada anak atau

keluarga mereka.

Dengan melihat kondisi persepsi masyarakat yang cukup baik tentang tanggung

jawab pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan dan status lahan garapan seperti

yang disebutkan di atas merupakan modal dasar dalam pelaksanaan social forestry di

masa datang sehingga diharapkan keberadaan kawasan hutan di Lokasi SPUC Borisallo

dapat dipertahankan. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana mengarahkan

masyarakat yang cukup tinggi tersebut dan menyusun pola pemanfaatan lahan dalam

kawasan hutan yang tepat dan sesuai untuk diterapkan serta hasil hutan apa saja yang

dapat dipungut oleh masyarakat sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan

social forestry yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera dapat terwujud.

4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan

Keberhasilan program pembangunan yang dilaksanakan sangat ditentukan oleh

partisipasi masyarakat serta kemampuan para perencana dalam mendisain, menyusun

program kerja serta mengadaptasi keinginan-keinginan yang berkembang dalam

masyarakat terhadap tujuan program pembangunan.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di lokasi penelitian dapat

dilihat dari usaha-usaha dalam menjaga kawasan hutan, kesesuaian pekerjaan yang

selama ini digeluti, dan ketersediaan lapangan kerja alternatif bagi masyarakat.

Masyarakat di sekitar SPUC Borisallo telah melakukan kegiatan-kegiatan dalam

menjaga keberadaan hutan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan adalah pemeliharaan

hutan dalam bentuk pembersihan di sekitar tanaman, mencegah terjadinya kebakaran

18

hutan, melakukan kegiatan penanaman, dan melarang penebangan pohon. Kegiatan-

kegiatan yang telah dilakukan masyarakat perlu dipertahankan dan ditingkatkan dengan

jalan memberikan penyuluhan dan pengarahan tentang fungsi, manfaat, dan peran hutan

terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Partisipasi masyarakat di lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh kesesuaian

pekerjaan yang digeluti selama ini dan ada atau tidaknya alternatif usaha lain yang dapat

dilakukan. Kesesuaian pekerjaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

kesesuaian antara minat, bakat dan pengalaman kerja masyarakat dengan kondisi

lapangan kerja yang tersedia.

Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa 91,18 % masyarakat di SPUC

Borisallo memiliki pekerjaan pokok sebagai petani (berkebun) dan sebelum mereka

bermukim di sekitar SPUC Borisallo pekerjaan mereka juga adalah petani (petani sawah

dan kebun). Sementara itu kondisi lapangan kerja yang tersedia areal SPUC Borisallo

cocok untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,06% masyarakat menganggap bahwa

pekerjaan sudah sesuai dan 27,94% yang beranggapan tidak sesuai dengan yang

diharapkan. Meskipun sebagian besar masyarakat menganggap bahwa pekerjaan sudah

sesuai, akan tetapi sebagian besar masyarakat (66,18%) menganggap penghasilan yang

diperoleh dari pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan

sebagian kecil (33,82%) yang merasakan penghasilan dari pekerjaan yang digeluti cukup

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sebanyak

50% masyarakat berkeinginan untuk beralih usaha dari yang selama ini digeluti dan 50%

lainya ingin tetap mempertahankan usahanya. Meskipun sebagian besar masyarakat

merasakan pendapatannya tidak mencukupi dan ada keinginan untuk beralih usaha, akan

tetapi 91,18% masyarakat menyatakan bahwa di sekitar lokasi penelitian tidak terdapat

lapangan kerja yang cocok buat mereka, hanya 1,47% masyarakat yang menyatakan

tersedia lapangan kerja yang cocok dan selebihnya (7,35%) yang tidak mengetahui ada-

tidaknya lapangan kerja yang tersedia dan cocok untuk digeluti. Dalam rangka

mengantisipasi kondisi yang ada, masyarakat di lokasi penelitian memiliki beberapa

19

rencana sehingga kehidupan mereka dapat lebih meningkat dari saat ini diantaranya

menambah modal usaha, berdagang, berkebun, dan bertani dengan lebih intensif.

Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat sesuai

yang diharapkan dalam pelaksanaan social forestry di SPUC Borisallo adalah dengan

jalan mengikutsertakan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan sampai pada evaluasi kegiatan. Misalnya melibatkan pada setiap

rapat/diskusi untuk membahas kegiatan apa yang sebaiknya dilaksanakan, apa yang

dibutuhkan dalam kegiatan tersebut, bagaimana mengupayakan agar semua yang

dibutuhkan dapat dipenuhi, bagaimana melaksanakan kegiatan tersebut agar berhasil dan

bagaimana mencari solusi jika terdapat masalah dalam pelaksanaannya.

Hal yang perlu dilakukan pada kegiatan perencanaan adalah menggali

kepentingan/kebutuhan riil masyarakat yang menjadi sasaran dan menawarkan program

yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini dikembangkan komunikasi dua-arah antara

perencana program dengan masyarakat sasaran, sehingga terjadi sinkronisasi antara

program dengan kebutuhan riil masyarakat. Dengan model perencanaan demikian

diharapkan menjadi stimulan bagi masyarakat untuk ikut aktif dalam pelaksanaan

program.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan program yang akan

dilaksanakan. Sosialisasi ini diperlukan agar terjadi kesamaan persepsi dan keterpaduan

gerak antara pengelola program dan masyarakat sasaran. Di samping itu, melalui

sosialisasi maka informasi tentang program yang dilaksanakan akan diketahui oleh

masyarakat, sehingga masyarakat memiliki wawasan akan manfaat yang diterima oleh

masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Tidak adanya kesamaan persepsi antara

pengelola program dengan masyarakat sasaran dan kurangnya wawasan akan manfaat

yang dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan, akan menghambat upaya

pengembangan partisipasi masyarakat.

Langkah selanjutnya adalah menciptakan pra-kondisi sebelum program tersebut

dilaksanakan. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pelatihan-pelatihan untuk

meningkatkan skill dan kemampuan masyarakat. Jenis pelatihan yang akan diberikan

20

sedapat mungkin disesuaikan dengan kebutuhan program dan kebutuhan masyarakat

sasaran serta potensi yang dapat dikembangkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar masyarakat (97,06%) di lokasi penelitian tidak pernah mengikuti

pelatihan/kursus dan hanya sedikit (2,94%) yang pernah mengikuti pelatihan/kursus. Jenis

kursus/pelatihan yang pernah diikuti adalah pelatihan tentang penanaman dan pertanian.

Dengan meningkatnya skill dan kemampuan masyarakat melalui pelatihan/kursus yang

diberikan, diharapkan produktivitas mereka akan meningkat pula yang pada akhirnya

akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dapat mendukung pengembangan social

forestry di SPUC Borisallo adalah prosentase usia produktif yang cukup tinggi,

pekerjaan penduduk sebagai petani, dan potensi tenaga kerja keluarga cukup tersedia.

Sedangkan kondisi yang dapat menghambat dan perlu mendapatkan perhatian serius

adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah.

2. Rata-rata pendapatan masyarakat dari kegiatan menggarap lahan di SPUC Borisallo

sebesar Rp. 2.032.500,-/tahun belum cukup untuk mengangkat masyarakat dari garis

kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanaman yang

diusahakan masyarakat karena mereka belum memelihara dengan baik tanaman yang

mereka usahakan seperti pemupukan belum dilakukan secara teratur.

3. Persepsi masyarakat terhadap kawasan hutan (SPUC Borisallo) cukup baik dimana

mereka menyadari bahwa lahan yang mereka garap adalah milik negara serta adanya

upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat dalam menjaga keberadaan hutan

dengan jalan menanami dengan tanaman pohon-pohonan, mencegah kebakaran hutan

dan mencegah penebangan pohon.

21

B. Saran

1. Dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

program social forestry di kawasan SPUC Borisallo, maka masyarakat hendaknya

dilibatkan dalam setiap tahap kegiatan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan sampai pada evaluasi kegiatan.

2. Sosialisasi rencana pengembangan social forestry perlu dilakukan agar terjadi

kesamaan persepsi dan keterpaduan gerak antara pengelola program dan masyarakat

sasaran.

3. Perlu diciptakan pra-kondisi sebelum program pengembangan social forestry

dilaksanakan, berupa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill dan kemampuan

masyarakat dengan mempertimbangkan kebutuhan program dan kebutuhan

masyarakat sasaran serta potensi yang dapat dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S. dan Supratman. 2002. Hasil-Hasil Penelitian dan Perkembangan Perhutanan

Sosial di Sulawesi Selatan. Makalah pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan Tanggal 24 Desember. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Makassar.

Sayogyo, 1986. Garis Kemiskinan dan Ukuran Tingkat Kesejahteraan Penduduk. P3PK

UGM. Yogyakarta. Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial.

Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta. Sutrisno dan Anang Sudarna. 2002. Social Forestry dan Landasan Hukumnya. Makalah

pada Seminar Social Forestry Tanggal 17 Desember 2002. Diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitan dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Unhas. 2000. Kumpulan Materi Pelatihan Pendamping Hutan Kemasyarakatan Propinsi

Sulawesi Selatan (Bantuan OECF) Tahun Anggaran 1998/1999. Kerjasama Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dengan Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Jeneberang – Walanae. Makassar.