Upload
dinhnhi
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGEMBANGAN SOCIAL FORESTRY DI SPUC BORISALLO (Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat)
SOCIAL FORESTRY DEVELOPMENT IN BORISALLO FORESTRY
RESEARCH STATION (Socio-economic and cultural community analysis)
Oleh/by :
Abd. Kadir W.
Abstract
Borisallo forestry research station has chance as show window of social forestry. This is due to its natural resources and human resources potency. The aimed of this research was to identify the condition of socio-economic and cultural community to be functioned as source of information and policy. The result of the research showed that several factors were involved such as the productivity of community, the main job of farmer, the family labor potency, the community perception towards the environment, and the community participation to conserve the environment. However, poverty rate in Borisallo not be able yet to be decreased by what they’ve got as their income. Therefore, it should be looked an alternative way for better solution. Key words: Borisallo forestry research station, social forestry, socio-economic and
cultural community
Abstrak
Stasiun Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Borisallo memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai show window pengembangan social forestry. Hal ini karena potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan dimilikinya untuk pengembangan social forestry. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi terkait dan stakeholder lainnya dalam merumuskan kebijakan pengembangan social forestry di SPUC Borisallo. Hasil penelitian menujukkan bahwa faktor yang dapat mendukung pengembangan social forestry di kawasan tersebut adalah tingginya persentase usia kerja produktif masyarakat, pekerjaan utama petani, potensi tenaga kerja keluarga, persepsi masyarakat terhadap kawasan, dan adanya partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan. Namun demikian pendapatan yang diperoleh masyarakat dari meggarap lahan di SPUC Borisallo belum mampu mangangkat masyarakat dari garis kemiskinan sehingga diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan garapan mereka.
Kata Kunci : SPUC Borisallo, social forestry, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah meluasnya pemukiman sampai ke
dalam kawasan hutan yang menyebabkan beralihnya hutan menjadi lahan pertanian.
Penanganan terhadap penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan menjadi hal yang
sangat penting. Dalam hal ini diperlukan suatu model pengelolaan di mana masyarakat
dapat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan taraf hidup yang makin baik,
tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya hutan.
Menteri Kehutanan telah menegaskan lima program prioritas kehutanan
nasional, yaitu penghentian penebangan hutan, pengendalian kebakaran hutan,
restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi dan penghutanan kembali lahan kritis, serta
penguatan desentralisasi pengelolaan hutan. Pencapaian prioritas ditempuh melalui
penerapan social forestry. Kelima program tersebut dilaksanakan untuk mencapai dua
tujuan utama, yaitu kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta
kelestarian sumberdaya hutan.
Stasiun Penelitian Ujicoba (SPUC) Borisallo terletak sekitar 25 km dari
Makassar dan mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat. Luas kawasan mencapai
135 ha dengan beberapa jenis tanaman di dalamnya seperti leda (Eucalyptus sp), gmelina
(Gmelina arborea) dan akasia (Acacia mangium). Kawasan SPUC Borisallo memiliki
peluang untuk pengembangan social forestry karena terdapat masyarakat yang telah
memanfaatkan kawasan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari melalui penanaman
tanaman dibawah tegakan eucalyptus, akasia dan gmelina dengan tanaman kopi, pisang,
coklat dan tanaman semusim (padi, jagung dan kacang tanah).
Dalam rangka pengembangan social forestry di kawasan tersebut, diperlukan
informasi tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat sebagai bahan
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan social forestry yang akan dilaksanakan.
3
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan budaya
masyarakat dalam rangka pengembangan social forestry di Stasiun Penelitian dan Ujicoba
(SPUC) Borisallo.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan pertimbangan
bagi instansi terkait dan stakeholder lainnya dalam merumuskan kebijakan
pengembangan social forestry di SPUC Borsallo.
C. Kerangka Pemikiran
Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pengembangan social forestry di SPUC
Borisallo adalah hutan lestari dan masyarakat sekitarnya sejahtera. Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan langkah-langkah yang sistematis dan terencana yang
selanjutnya disebut sebagai alur/kerangka berpikir sebagai berikut :
1. Inventarisasi potensi. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
pendataan/pengumpulan data tentang kondisi masyarakat sekitar dan kondisi sumber
daya alam.
2. Hasil dari inventarisasi potensi ini melahirkan 2 hal pokok yaitu (a) gambaran kondisi
sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar SPUC Borisallo dan (b) gambaran
kondisi sumberdaya alam yang tersedia dan dapat dikembangkan dalam rangka
pengembangan social forestry. Penelitian ini berada pada tahap gambaran kondisi
sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar SPUC Borisallo.
3. Dengan bermodalkan gambaran kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta
gambaran kondisi sumberdaya alam yang tersedia, kemudian disusun strategi
pengembangan social forestry yang meliputi jenis kegiatan yang akan dikembangkan
(misalnya agroforestry, sylvopastural, apicultur, wana farma, dll) dan bagaimana
teknis pelaksanaannya.
4. Setelah strategi pengembangan social forestry disusun kemudian diimplemtasikan dan
diawasi pelaksanaannya secara bersama-sama sehingga tujuan hutan lestari dan
masyarakat sejahtera dapat terwujud.
4
Kerangka pemikiran diatas dapat digambarkan pada diagram alur sebagai
berikut :
Inventarisasi Potensi / Pengumpulan Data
Inventarisasi Kondisi Sumberdaya Alam
Inventarisasi Kondisi Sosekbud Masyarakat
Strategi Pengembangan Social Forestry
Pelaksanaan Kegiatan Social Forestry
Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera
5
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember – Desember 2002 di Stasiun
Penelitian dan Ujicoba (SPUC) Borisallo Kelurahan Bontoparang Kecamatan Parangloe
Kabupaten Gowa.
B. Pengumpulan Data
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purpossive, dimana SPUC
Borisallo diharapkan menjadi show window pengembangan social Forestry di Sulawesi
Selatan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Data yang
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode sensus dengan
mewawancarai seluruh petani yang menggarap lahan di SPUC Borisallo (68 KK) ataupun
pihak-pihak yang terkait (tokoh masyarakat, aparat kelurahan dan dinas kehutanan
setempat). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur (laporan instansi
terkait dan data statisitik).
C. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dihitung rata-ratanya,
dilakukan klasifikasi dan dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan berbagai
kesimpulan mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam rangka
pengembangan social forestry di masa datang.
6
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aspek Sosial Masyarakat
1. Penduduk
Jumlah kepala keluarga yang mengarap lahan dalam kawasan SPUC Borisallo
adalah 68 KK. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh informasi
bahwa distribusi umur masyarakat di lokasi kajian berkisar 27 – 75 tahun, dengan rata–
rata umur 46 tahun. Secara rinci distribusi umur masyarakat di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Umur Masyarakat Table 1. Composition of age community
Komposisi Umur (composition of age)
Persentase ( % )
Angkatan kerja Muda ( Usia 15 – 34 tahun ) (young age labor)
Angkatan kerja Tua ( Usia 35 - 54 tahun ) (Old age labor)
Non Produktif ( > 55 tahun ) (non-productive)
26,47
44,12
29,41
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Pada Tabel 1 terlihat bahwa umur masyarakat sebagian besar merupakan usia
produktif. Tingginya usia produktif dalam masyarakat merupakan salah satu potensi yang
dapat dimanfaatkan dimasa datang dalam pengembangan suatu wilayah. Semakin
bertambah usia seseorang, semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya. Adapun petani yang berusia muda, pada umumnya mempunyai kondisi fisik
yang sehat dan mampu menerima dengan cepat inovasi ataupun ide–ide baru yang
dianjurkan dibanding petani yang berumur tua.
2. Pendidikan
Pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan
keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi
7
cara berpikir seseorang, terutama dalam menganalisis suatu masalah. Tingginya tingkat
pendidikan masyarakat memungkinkan masyarakat lebih cepat menerima dan
memberikan respon terhadap hal-hal yang membutuhkan kemampuan berpikir dari
inovasi-inovasi baru yang dianjurkan kepadanya. Kecenderungan yang ada, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin responsif orang tersebut terhadap
perubahan–perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat
dilokasi penelitian sangat rendah. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat dalam
pelaksanaan program pembangunan khususnya program social forestry. Rendahnya
tingkat pendidikan di lokasi penelitian perlu mendapatkan perhatian khusus. Namun
demikian, hal ini dapat diatasi dengan kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif
sehingga tercipta kesamaan visi dan persepsi terhadap kegiatan yang akan dilakukan
dalam masyarakat khususnya pelaksanaan kegiatan sosial forestry.
Tingkat pendidikan masyarakat yang menggarap lahan di SPUC Borisallo dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Masyarakat Table 2. Mount of education community
Tingkat pendidikan Mount of education
Persentase ( % )
< SD (elementary school) SLTP (junior high school) SLTA (senior high school) Perguruan Tinggi / Akademi (University)
89,71 8,82
- 1,47
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
3. Pekerjaan Penduduk
Pekerjaan penduduk dilihat berdasarkan pekerjaan pokok dan pekerjaan
sampingan, dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari–
hari. Jenis pekerjaan penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
8
Tabel 3. Jenis Pekerjaan Masyarakat Table 3. Type of job community
Jenis Pekerjaan Jobs
Persentase ( % )
Pekerjaan Utama (main jobs) 1. Petani (farmer) 2. Pedagang (trader) 3. Sektor Jasa (public service)
91,18 7,35 1,47
Pekerjaan Sampingan (secondary jobs) 1. Petani (farmer) 2. Pedagang (trader) 3. Nelayan (fishermen) 4. Peternakan (husbandry) 5. Sektor Jasa (public service) 6. Tidak ada (nothing)
4,41
11,76 13,24 1,47
14,71 54,41
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Data dari Tabel 3 di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar masyarakat
(91,18%) mempunyai pekerjaan utama sebagai petani, selebihnya 7,35% merupakan
pedagang dan 1,47% bergerak di sektor jasa. Sedangkan pekerjaan sampingan masyarakat
di lokasi penelitian sebagaian besar di sektor jasa (buruh, sopir, imam desa) sebanyak
14,71% dan sebagai nelayan air tawar (13,24%). Masyarakat yang mempunyai pekerjaan
sampingan sebagai nelayan, karena lokasi SPUC Borisallo berdekatan dengan bendungan
Bili-Bili yang menjadi salah satu obyek wisata. Diantara para wisatawan banyak yang
ingin menikmati masakan ikan air tawar yang dipelihara oleh masyarakat.
Dalam rangka pengembangan social forestry di masa datang, jenis pekerjaan
utama masyarakat yang sebagian besar sebagai petani merupakan salah satu potensi
pendukung sebab sedikit-banyaknya masyarakat telah mengetahui teknik-teknik bercocok
tanam. Hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membina masyarakat sehingga
mereka dapat meningkatkan produktivitas lahan dengan tetap memperhatikan prinsip
kelestarian lingkungan.
9
4. Potensi Tenaga Kerja Keluarga
Ketersediaan tenaga kerja yang cukup merupakan salah satu faktor pendukung
keberhasilan suatu program pembangunan yang akan dilaksanakan. Potensi tenaga kerja
keluarga diketahui dari banyaknya usia kerja produktif (umur 14 – 54 tahun) yang ada
pada setiap rumah tangga.
Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap keluarga di lokasi penelitian memiliki
potensi tenaga kerja berkisar antara 0 s/d 9 orang dengan rata-rata 3 orang setiap
keluarga. Untuk lebih jelasnya jumlah potensi kerja yang dimiliki oleh setiap keluarga di
lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Angkatan Kerja Keluarga Table 4. Number of family labor
Jumah Angkatan Kerja Keluarga Number of family labor
Persentase (%)
0 – 3 orang > 3 orang
55,88 44,12
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Data pada Tabel 4 menunjukan bahwa setiap keluarga yang menggarap lahan di
SPUC Borisallo memiliki potensi tenaga kerja produktif cukup tinggi. Tingginya potensi
tenaga kerja tersebut jika dibina dengan baik akan sangat membantu dalam pelaksanaan
program social forestry di masa datang. Disamping itu dapat dijadikan sebagai tulang
punggung keluarga dalam membantu kepala keluarga melakukan pekerjaan sehari–hari.
B. Aspek Ekonomi Masyarakat
1. Jenis Komoditas yang Diusahakan
Jenis komoditas yang diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah
komoditas pertanian dan perkebunan seperti padi, jagung, kacang tanah, pisang, mangga,
kopi, pepaya, rambutan, coklat, mente, nagka dan langsat. Komoditas perkebunan
umumnya ditanaman di bawah atau di sela-sela tanaman kayu-kayuan seperti eucalyptus,
akasia dan tanaman gmelina. Jenis tanaman yang diusahakan masyarakat hampir seragam
terutama pada komoditas perkebunan. Jenis tanaman komoditas perkebunan yang
10
diusahakan adalah pisang, mangga, kopi, pepaya, nangka, rambutan, coklat, mente, dan
langsat. Sedangkan jenis tanaman komoditas pertanian yang diusahakan selama ini adalah
padi, jagung, dan kacang tanah. Jenis tanaman komoditas perkebunan dan pertanian yang
diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Jenis Komoditas yang Diusahakan oleh Masyarakat Table 5. Type of commodity farm community
Jenis Komoditas yang Diusahakan Type of commodity
Persentase ( % )
Buah-buahan (estate commodity) 1. Pisang (banana) 2. Mangga (mango) 3. Kopi (coffee) 4. Pepaya (papaya) 5. Rambutan (rambutan) 6. Coklat (cacao) 7. Mente 8. Nangka (jackfruit) 9. Langsat
63,23 77,94 14,71 27,94 4,41 4,41 1,47 1,47 2,94 1,47
Tanaman pangan (Agriculture commodity) 1. Padi (paddy) 2. Jagung (maize) 3. Kacang tanah (peanut)
13.24 19,12 5,88
27,94 Buah-buahan dan pangan (estate and agriculture) 17,65 Tidak Menggarap Lahan 5.88
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Tabel 5 memperlihatkan bahwa persentase komoditas tanaman pertanian lebih
kecil (13.24 %) dibandingkan dengan komoditas tanaman perkebunan (63,23%).
Rendahnya persentase jenis komoditas pertanian disebabkan oleh kondisi lahan yang
kurang memungkinkan. Lahan garapan masyarakat adalah lahan tadah hujan di mana
pengairannya sangat bergantung kepada intensitas curah hujan. Di samping itu, sebagian
besar lahan tersebut berupa hutan tanaman yang telah dibangun oleh PT Inhutani I Unit
III Makassar, sehingga luas dan jumlah lahan yang terbuka untuk kegiatan budidaya
tanaman pertanian sangat sedikit.
11
2. Teknik Budidaya
Pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah
dalam bentuk agroforestry dan monokultur. Pola agroforestry yang diterapkan oleh
masyarakat adalah campuran antara tanaman perkebunan dengan tanaman kehutanan.
Komoditas tanaman perkebunan (kopi, coklat, dan pisang) ditanam di sela-sela tanaman
kehutanan (Eucalyptus deglupta) yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan bentuk
monokultur diterapkan oleh masyarakat pada lahan-lahan kosong/terbuka untuk ditanami
tanaman pertanian seperti jagung, kacang-kacangan dan padi. Hal ini karena tanaman
komoditas pertanian membutuhkan instensitas cahaya yang cukup tinggi dalam
pertumbuhannya.
3. Luas Lahan Garapan
Potensi lahan dapat dilihat dari luas lahan usahatani yang digarap oleh
masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan masyarakat di
SPUC Borisallo berkisar antara 0,2 ha – 2,7 ha dengan rata rata 0,83 ha. Lahan tersebut
diperuntukkan bagi kegiatan usahatani komoditas perkebunan maupun komoditas
pertanian. Selengkapnya distribusi luas lahan garapan masyarakat di SPUC Borisallo
dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Luas Lahan Garapan Masyarakat Table 6. Wide of ownership farm community
Luas Lahan Garapan Masyarakat Wide of ownership farm community
Persentase ( % )
0 – 0,83 ha > 0,83 ha
73,53 26,47
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa 73,53% masyarakat menguasai lahan
garapan untuk kegiatan usahatani seluas 0,2 ha - 0,83 ha. Dengan luas lahan seperti ini,
diharapkan petani dapat mengolah lahan mereka secara maksimal karena luasan ini masih
berada dibawah rata-rata luasan maksimal yang mampu untuk diolah oleh seseorang yaitu
2 ha. Hal ini juga berarti bahwa masih tersedia cukup tenaga dan waktu untuk mengolah
12
lahan tersebut secara maksimal. Hasil maksimal yang diharapkan dari petani dalam
mengolah lahannya, tentunya harus diimbangi dengan pembinaan yang maksimal dari
instansi-instansi terkait (stakeholder). Pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan
dalam mengolah lahan usahatani seperti teknik bercocok tanam yang baik yang
disesuaikan dengan kondisi lahan, pemilihan jenis tanaman yang sesuai, penerapan pola
agroforestry yang tepat sampai kepada cara memasarkan hasil usahatani. Dengan
pembinaan yang maksimal diharapkan petani dapat menjadi lebih mandiri dan dapat
mengambil manfaat yang lebih maksimal dari lahan yang mereka usahakan selama ini.
4. Pendapatan Usahatani Masyarakat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total pendapatan usahatani
masyarakat di lokasi penelitian selama setahun adalah Rp. 2.032.537,- yang bersumber
dari usahatani komoditas perkebunan sebesar Rp. 1.893.044,-/tahun dan komoditas
pertanian sebesar Rp. 193.493,-/tahun. Rata-rata total pendapatan usahatani masyarakat
di SPUC Borisallo selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Rata-rata Total Pendapatan Usahatani Masyarakat di SPUC Borisallo Table 7. Average of total income community from Borisallo forestry research station
Jenis Komoditas Commodity
Rata-rata Pendapatan Average of income
Proporsi (%)
Buah-buahan (estate) Pangan (agriculture)
Rp. 1.839.044,- Rp. 193.493,-
90,52 9,48
Total Rp. 2.032.537,- 100,00 Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi penelitian sangat
menggantungkan sumber pendapatannya dari sektor perkebunan. Hal ini dapat dilihat
dari proporsi pendapatan usahatani masyarakat dari sektor perkebunan jauh lebih besar
yakni sebesar 90,52% dibandingkan pendapatan usahatani dari sektor pertanian yang
hanya sebesar 9,48%. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi lahan kurang
memungkinkan untuk pengembangan sektor pertanian dimana luasannya sangat terbatas
dan pengairannya sangat ditentukan oleh intensitas curah hujan.
13
Jika dihubungkan dengan kebutuhan minimun seseorang yakni 320 kg beras per
kepala dan rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani di lokasi penelitian sebanyak 3
orang dan diasumsikan harga beras Rp. 2.500,-/kg, maka kebutuhan rata-rata minimun
yang harus dipenuhi oleh setiap keluarga petani adalah Rp. 3.200.000,-/tahun. Dengan
demikian, pendapatan yang diperoleh masyarakat belum mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada
peningkatan pendapatan masyarakat dengan jalan memaksimalkan pengolahan lahan yang
mereka usahakan tanpa membuka lahan baru.
5. Pasar dan Pemasaran
Pasar dan sistem pemasaran suatu produk dapat berimplikasi pada sistem
produksi. Harga dan sistem pemasaran yang stabil dan efisien dapat merangsang petani
untuk meningkatkan produksi.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat (80,88%)
menjual hasil usahatani mereka dan sisanya (19,12%) untuk dikonsumsi sendiri. Hasil
penelitian juga menunjukkan 70,59% masyarakat menjual hasil usahatani mereka ke
pedagang pengumpul, 14,71% menjualnya ke pasar dan 8,82% yang menjualnya ke
masyarakat sekitar. Adapun lokasi pasar yang menjadi tujuan masyarakat dalam menjual
hasil usahataninya adalah pasar desa (90%)
Ada dua cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam memasarkan hasil
usahatani, yaitu pedagang mendatangi petani dan petani yang mendatangi pedagang. Bagi
pedagang yang mendatangi petani, lokasi pertemuan di antara keduanya adalah di pasar.
C. Aspek Budaya Masyarakat
1. Tradisi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Aspek budaya dalam penelitian ini ditujukan untuk mengungkap tradisi-tradisi
atau kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang terpelihara dengan baik dan memiliki
peran, baik dalam pengelolaan sumber daya alam maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi atau kebiasaan yang ada di sekitar kawasan SPUC Borisallo disebut
“Abbulo Sibatang” . Tradisi tersebut yang mengandung makna musyawarah dan mufakat
14
untuk menentukan sikap dan aktivitas yang diperlukan, baik dalam hal pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam maupun dalam menyelesaikan konflik–konflik yang terjadi
dalam masyarakat.
Peranan pemimpin formal dan non-formal dalam pengambilan keputusan pada
setiap musyawarah atau pertemuan cukup besar. Hasil penelitian menunjukan bahwa
42,65% masyarakat menyatakan bahwa yang berperan dalam setiap pengambilan
keputusan adalah pemimpin formal. Di samping itu, 42,65 % masyarakat juga
menyatakan bahwa pemimpin non-formal (tokoh–tokoh masyarakat) memiliki peranan
yang cukup besar dalam pengambilan keputusan. Sedangkan peranan anggota
masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat kecil yaitu 8,82 %. Anggota masyarakat
pada umumnya hanya bersifat menerima hasil keputusan dan melaksanakan instruksi
yang telah ditetapkan oleh pemimpin formal dan non-formal.
Dalam rangka pengembangan social forestry, pelibatan pemimpin formal dan non-
formal perlu mendapat perhatian, baik sebagai motivator maupun sebagai penyambung
informasi dan instruksi dari pelaksana program ke masyarakat sasaran sebagai pelaksana
kegiatan dari program tersebut.
2. Kelembagaan dalam Masyarakat
Kajian potensi kelembagaan dapat dilihat dari keberadaan, fungsi, dan peran
lembaga tersebut dalam masyarakat. Jenis kelembagaan dalam penelitian ini dibagi dua,
yaitu lembaga ekonomi desa yang terdiri dari KUD, lembaga kredit/perbankan, pedagang,
dan tengkulak serta lembaga non ekonomi desa yang terdiri dari LKMD, dan gotong
royong. Selain itu juga diamati kelembagaan di tingkat petani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga ekonomi desa yang paling banyak
diketahui keberadaannya oleh masyarakat adalah KUD (76,47%), tengkulak (48,53%),
lembaga kredit (44,12%), dan pedagang (48,24%). Sedangkan lembaga non ekonomi desa
yang paling banyak diketahui keberadaannya oleh masyarakat adalah gotong royong
(97,06%), LKMD (85,29%) dan karang taruna (10,29%).
Keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan yang ada sangat kecil. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 98,53% masyarakat tidak terlibat dalam struktur
15
organisasi lembaga yang ada dan hanya 1,47% masyarakat yang terlibat dalam
kelembagaan yang ada di lokasi penelitian.
Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui keberadaan lembaga ekonomi
dan lembaga non ekonomi desa, baik yang bersifat formal maupun non formal, akan
tetapi fungsi dan peran dari masing-masing lembaga yang ada kurang dipahami oleh
masyarakat sekitar. Pengetahuan masyarakat akan fungsi/manfaat dari lembaga-lembaga
yang ada selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Pengetahuan Masyarakat tentang Fungsi/Manfaat Lembaga
Jenis Lembaga Institutions
Fungsi/Manfaat Lembaga Function of institutions
Persentase ( % )
LKMD Village officer
- Mengurus Kepentingan Masyarakat Take care community interest
2,94
Gotong Royong - Pekerjaan menjadi mudah Make be easy
- Saling bekerjasama Working together
- Menjaga keamanan Taking care of security
26,47
KUD - Tempat meminjam uang Have a loan of maoney
- Pengadaan pupuk
11,76
Lembaga Kredit Cerdit institution
- Menjaga keamanan Taking care of security
2,94
Pedagang trader
- Memudahkan pemasaran hasil marketing
2,94
Tengkulak borker
- Tempat meminjam uang Have a loan of maoney
1,47
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, 2002 (Source : Primary data analyzed, 2002)
Besarnya pengetahuan masyarakat akan fungsi dan manfaat lembaga informal
(gotong royong, pedagang dan tengkulak) dibanding lembaga formal (LKMD, KUD dan
lembaga kredit) disebabkan oleh kurangnya kegiatan terstruktur dari lembaga formal yang
langsung menyentuh aktivitas usahatani masyarakat secara terjadwal dan berkelanjutan.
Di samping itu keberadaan dan sistem manajemen lembaga formal kurang dipahami oleh
16
masyarakat. Hal tersebut menyebabkan masyarakat lebih mengutamakan lembaga
informal (gotong-royong) sebagai kegiatan yang telah lazim dilakukan untuk
meringankan pekerjaan sesama petani dan memiliki nilai kebersamaan yang tinggi.
Lembaga formal yang banyak diketahui fungsi/manfaatnya oleh masyarakat adalah KUD
sebagai tempat untuk meminjam uang dan penyediaan keperluan usahatani, seperti pupuk.
Masyarakat di lokasi penelitian dalam mengelola lahan mereka sebagian besar
(92,65%) bekerja sendiri-sendiri dan hanya 7,35% yang bekerja secara berkelompok,
meskipun mereka mengetahui manfaat dari bekerja secara berkelompok. Manfaat bekerja
secara berkelompok yang diketahui oleh masyarakat adalah saling bergotong royong
sehingga pekerjaan yang mereka lakukan menjadi ringan dan mudah diselesaikan, yang
pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Melihat kondisi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, pengembangan aspek
kelembagaan perlu diarahkan pada pemberdayaan kelompok tani sebagai sarana membina
kemandirian dan meningkatkan produktivitas petani serta pemberdayaan KUD sebagai
tempat untuk mendapatkan modal usaha, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil
usahatani masyarakat serta sebagai sarana dalam merencanakan kegiatan yang akan
dilaksanakan.
3. Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Hutan
Kajian persepsi masyarakat diarahkan untuk melihat pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang tanggung jawab pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan, dan
status lahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab pengelolaan hutan yang ada
di sekitar mereka adalah pemerintah bersama masyarakat (69,12%). Oleh karena itu,
sebagian besar (64,71%) masyarakat beranggapan bahwa pemerintah dan masyarakat
boleh memanfaatkan kawasan hutan yang ada.
Disamping itu masyarakat pada umumnya mengetahui jika lahan yang mereka
garap adalah milik negara yang tidak boleh diperjualbelikan kepada orang lain (67,65 %).
Dengan pemahaman masyarakat seperti dijelaskan di atas, diharapkan status kawasan
sebagai hutan negara tidak akan berubah di kemudian hari. Agar hal ini dapat terwujud,
17
maka diperlukan pengawasan dan pembinaan secara intensif dari semua pihak yang
terkait dalam pengelolaan hutan (pemerintah, aparat hukum, tokoh masyarakat, dan
masyarakat sekitar).
Namun demikian, masyarakat umumnya (48,53 %) beranggapan bahwa lahan
yang selama ini mereka usahakan dapat diwariskan kepada anak/keluarga mereka. Hal
ini dapat dipahami karena terdapat anggapan umum dalam masyarakat bahwa siapa yang
lebih dahulu membuka lahan/mengusahakan lahan dalam hutan, maka lahan garapan
tersebut adalah “milik mereka” sehingga mereka berhak mewariskan kepada anak atau
keluarga mereka.
Dengan melihat kondisi persepsi masyarakat yang cukup baik tentang tanggung
jawab pengelolaan hutan, pemanfaatan kawasan hutan dan status lahan garapan seperti
yang disebutkan di atas merupakan modal dasar dalam pelaksanaan social forestry di
masa datang sehingga diharapkan keberadaan kawasan hutan di Lokasi SPUC Borisallo
dapat dipertahankan. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana mengarahkan
masyarakat yang cukup tinggi tersebut dan menyusun pola pemanfaatan lahan dalam
kawasan hutan yang tepat dan sesuai untuk diterapkan serta hasil hutan apa saja yang
dapat dipungut oleh masyarakat sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan
social forestry yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera dapat terwujud.
4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan
Keberhasilan program pembangunan yang dilaksanakan sangat ditentukan oleh
partisipasi masyarakat serta kemampuan para perencana dalam mendisain, menyusun
program kerja serta mengadaptasi keinginan-keinginan yang berkembang dalam
masyarakat terhadap tujuan program pembangunan.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di lokasi penelitian dapat
dilihat dari usaha-usaha dalam menjaga kawasan hutan, kesesuaian pekerjaan yang
selama ini digeluti, dan ketersediaan lapangan kerja alternatif bagi masyarakat.
Masyarakat di sekitar SPUC Borisallo telah melakukan kegiatan-kegiatan dalam
menjaga keberadaan hutan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan adalah pemeliharaan
hutan dalam bentuk pembersihan di sekitar tanaman, mencegah terjadinya kebakaran
18
hutan, melakukan kegiatan penanaman, dan melarang penebangan pohon. Kegiatan-
kegiatan yang telah dilakukan masyarakat perlu dipertahankan dan ditingkatkan dengan
jalan memberikan penyuluhan dan pengarahan tentang fungsi, manfaat, dan peran hutan
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Partisipasi masyarakat di lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh kesesuaian
pekerjaan yang digeluti selama ini dan ada atau tidaknya alternatif usaha lain yang dapat
dilakukan. Kesesuaian pekerjaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
kesesuaian antara minat, bakat dan pengalaman kerja masyarakat dengan kondisi
lapangan kerja yang tersedia.
Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa 91,18 % masyarakat di SPUC
Borisallo memiliki pekerjaan pokok sebagai petani (berkebun) dan sebelum mereka
bermukim di sekitar SPUC Borisallo pekerjaan mereka juga adalah petani (petani sawah
dan kebun). Sementara itu kondisi lapangan kerja yang tersedia areal SPUC Borisallo
cocok untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,06% masyarakat menganggap bahwa
pekerjaan sudah sesuai dan 27,94% yang beranggapan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Meskipun sebagian besar masyarakat menganggap bahwa pekerjaan sudah
sesuai, akan tetapi sebagian besar masyarakat (66,18%) menganggap penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
sebagian kecil (33,82%) yang merasakan penghasilan dari pekerjaan yang digeluti cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sebanyak
50% masyarakat berkeinginan untuk beralih usaha dari yang selama ini digeluti dan 50%
lainya ingin tetap mempertahankan usahanya. Meskipun sebagian besar masyarakat
merasakan pendapatannya tidak mencukupi dan ada keinginan untuk beralih usaha, akan
tetapi 91,18% masyarakat menyatakan bahwa di sekitar lokasi penelitian tidak terdapat
lapangan kerja yang cocok buat mereka, hanya 1,47% masyarakat yang menyatakan
tersedia lapangan kerja yang cocok dan selebihnya (7,35%) yang tidak mengetahui ada-
tidaknya lapangan kerja yang tersedia dan cocok untuk digeluti. Dalam rangka
mengantisipasi kondisi yang ada, masyarakat di lokasi penelitian memiliki beberapa
19
rencana sehingga kehidupan mereka dapat lebih meningkat dari saat ini diantaranya
menambah modal usaha, berdagang, berkebun, dan bertani dengan lebih intensif.
Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat sesuai
yang diharapkan dalam pelaksanaan social forestry di SPUC Borisallo adalah dengan
jalan mengikutsertakan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan sampai pada evaluasi kegiatan. Misalnya melibatkan pada setiap
rapat/diskusi untuk membahas kegiatan apa yang sebaiknya dilaksanakan, apa yang
dibutuhkan dalam kegiatan tersebut, bagaimana mengupayakan agar semua yang
dibutuhkan dapat dipenuhi, bagaimana melaksanakan kegiatan tersebut agar berhasil dan
bagaimana mencari solusi jika terdapat masalah dalam pelaksanaannya.
Hal yang perlu dilakukan pada kegiatan perencanaan adalah menggali
kepentingan/kebutuhan riil masyarakat yang menjadi sasaran dan menawarkan program
yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini dikembangkan komunikasi dua-arah antara
perencana program dengan masyarakat sasaran, sehingga terjadi sinkronisasi antara
program dengan kebutuhan riil masyarakat. Dengan model perencanaan demikian
diharapkan menjadi stimulan bagi masyarakat untuk ikut aktif dalam pelaksanaan
program.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan program yang akan
dilaksanakan. Sosialisasi ini diperlukan agar terjadi kesamaan persepsi dan keterpaduan
gerak antara pengelola program dan masyarakat sasaran. Di samping itu, melalui
sosialisasi maka informasi tentang program yang dilaksanakan akan diketahui oleh
masyarakat, sehingga masyarakat memiliki wawasan akan manfaat yang diterima oleh
masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Tidak adanya kesamaan persepsi antara
pengelola program dengan masyarakat sasaran dan kurangnya wawasan akan manfaat
yang dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan, akan menghambat upaya
pengembangan partisipasi masyarakat.
Langkah selanjutnya adalah menciptakan pra-kondisi sebelum program tersebut
dilaksanakan. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan skill dan kemampuan masyarakat. Jenis pelatihan yang akan diberikan
20
sedapat mungkin disesuaikan dengan kebutuhan program dan kebutuhan masyarakat
sasaran serta potensi yang dapat dikembangkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat (97,06%) di lokasi penelitian tidak pernah mengikuti
pelatihan/kursus dan hanya sedikit (2,94%) yang pernah mengikuti pelatihan/kursus. Jenis
kursus/pelatihan yang pernah diikuti adalah pelatihan tentang penanaman dan pertanian.
Dengan meningkatnya skill dan kemampuan masyarakat melalui pelatihan/kursus yang
diberikan, diharapkan produktivitas mereka akan meningkat pula yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dapat mendukung pengembangan social
forestry di SPUC Borisallo adalah prosentase usia produktif yang cukup tinggi,
pekerjaan penduduk sebagai petani, dan potensi tenaga kerja keluarga cukup tersedia.
Sedangkan kondisi yang dapat menghambat dan perlu mendapatkan perhatian serius
adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah.
2. Rata-rata pendapatan masyarakat dari kegiatan menggarap lahan di SPUC Borisallo
sebesar Rp. 2.032.500,-/tahun belum cukup untuk mengangkat masyarakat dari garis
kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanaman yang
diusahakan masyarakat karena mereka belum memelihara dengan baik tanaman yang
mereka usahakan seperti pemupukan belum dilakukan secara teratur.
3. Persepsi masyarakat terhadap kawasan hutan (SPUC Borisallo) cukup baik dimana
mereka menyadari bahwa lahan yang mereka garap adalah milik negara serta adanya
upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat dalam menjaga keberadaan hutan
dengan jalan menanami dengan tanaman pohon-pohonan, mencegah kebakaran hutan
dan mencegah penebangan pohon.
21
B. Saran
1. Dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
program social forestry di kawasan SPUC Borisallo, maka masyarakat hendaknya
dilibatkan dalam setiap tahap kegiatan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan sampai pada evaluasi kegiatan.
2. Sosialisasi rencana pengembangan social forestry perlu dilakukan agar terjadi
kesamaan persepsi dan keterpaduan gerak antara pengelola program dan masyarakat
sasaran.
3. Perlu diciptakan pra-kondisi sebelum program pengembangan social forestry
dilaksanakan, berupa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan skill dan kemampuan
masyarakat dengan mempertimbangkan kebutuhan program dan kebutuhan
masyarakat sasaran serta potensi yang dapat dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S. dan Supratman. 2002. Hasil-Hasil Penelitian dan Perkembangan Perhutanan
Sosial di Sulawesi Selatan. Makalah pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan Tanggal 24 Desember. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Makassar.
Sayogyo, 1986. Garis Kemiskinan dan Ukuran Tingkat Kesejahteraan Penduduk. P3PK
UGM. Yogyakarta. Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial.
Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta. Sutrisno dan Anang Sudarna. 2002. Social Forestry dan Landasan Hukumnya. Makalah
pada Seminar Social Forestry Tanggal 17 Desember 2002. Diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitan dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Unhas. 2000. Kumpulan Materi Pelatihan Pendamping Hutan Kemasyarakatan Propinsi
Sulawesi Selatan (Bantuan OECF) Tahun Anggaran 1998/1999. Kerjasama Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dengan Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Jeneberang – Walanae. Makassar.