Upload
others
View
41
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
FILSAFAT KEBAHAGIAAN MENURUT AL-GHAZALI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Disusun oleh:
Muhammad Fauzi
NIM: 1113033100014
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
iv
ABSTRAK
Filsafat Kebahagiaan Menurut al-Ghazali
Oleh: Muhammad Fauzi
. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa itu kebahagiaan dan
bagaimana cara memperolehnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis. Sementara itu, teknik dalam pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini ialah kajian pustaka (Library research) dengan mengunakan
buku terjemahan dari buku original yang berjudul “Al-Kimiyyah al-Sa’adah”. Atau
bila diartikan ke dalam bahasa Indonesianya berjudul “Kimia Kebahagiaan”. Bahkan
diterbitkan ulang oleh Mizan, judulnya menjadi “Metode Mengapai Kebahagiaan:
Kitab Kimia Kebahagiaan”. karya al-Ghazali. Buku ini menjadi sumber primernya
bagi penulis.
Menurut al-Ghazali, kebahagiaan adalah perasaan tenag atau senang. Caranya
dengan memahami empat teori dasar. Pertama mengetahui tentang diri. Siapakah
anda, dan dari mana anda datang, dan kemana anda pergi. Kedua, mengetahui tentang
Tuhan. Menyadari tuhan adalah pencipta dan kita hanya manusia biasa. Ketiga,
mengetahui tentang dunia ini. Menyadari bahwasannya Tuhan bukan menciptakan
manusia saja, tapi ada ruang, waktu dan lain-lain. Keempat, mengetahui tentang
akhirat. Kita harus menyadari bahwa ada dunia lain setelah dunia hidup ini, yakni
dunia akhirat.
v
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kita kehadirat Allah Swt,
yang telah memberikan rahmatnya, taufiknya serta hidayahnya kepada kita semua
wabil khusus buat diri saya pribadi, yang Alhamdulillah telah diberikan jalan
kelancaran kemudahan untuk membuat proses berjalannya pembuatan skripsi ini,
mudah-mudahan skripsi ini bermanfa’at dan berkah dunia akhirat. Aamiiin
Allahumma Aamiiiiiin…
Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada paduka yang mulia yakni
Habibana wa syafi’ina wa qurro a’yunina wamaulana Muhammad Saw, yang mana
telah membawa kita selaku umatnya. Minazzulimati ilannur.
Skripsi dengan judul “Filsafat Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali” adalah
dibuat untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai Sarjana Agama (S.
Ag.) di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih,
penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penulisan skripsi ini. yakni di antaranya:
1. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
beserta jajarannya. Mereka sangat setia melayani penulis dalam mengurus segala
keperluan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. M. Iqbal Hasanuddin. M. Hum. Selaku dosen pembimbing. Beliau rela
mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga, tujuannya adalah untuk membimbing
dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
3. Keluarga besar "ABAH": Abah, H. Sanwani, Umi Hj. Siti Ruminah, Aa
Syarifudin Juhri, Aa. Abdurrahman, Muhammad Hidayat, Siti Suryani, Siti Nur
Laila, Siti Qomariah, Siti Nur Hasanah, Siti Julaeha. Mereka mendukung,
mendoakan keselamatan dan kesuksesan penulis selama berjuang di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Keluarga Besar Majelis Ta’lim Annibros Habib Ali Bin Musthofa Bin Ali Bin
Syeikh Alatthos dan Umi Faizah Syarifah Binti Agil al-Atthos, sebagai orang tua
anggat penulis, ketika menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ust. KH. Nharawi. Ust. Toha S.Ag. Ust. Musthofa S.Ag. Ust. Firmansyah yang
tanpa henti memberikan jalan kepada penulis untuk berkarya.
6. Ust. Syarif. Ust. Mulyadi. H. Suryadin dan yang lainnya sebagai leader penulis.
Mereka selalu memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi penulis.
7. Wan Ubaydillah. Ka’Abu. Ka’Dody. Walaupun terpisah oleh ruang-waktu,
namun mereka selalu menjadi cahaya bagi penulis.
8. Robi Muhammad. Faisal junaidi Alfath. Ivan Mulyana. Ahmad Astari. Intan.
Karim.. Mereka adalah teman mesra penulis selama belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan warna-warni kehidupan pada
penulis.
9. Elly Mawarni. Alice Mutiara tasti. Balqis. selaku adik angkat penulis yang selalu
menjadi teman curhat penulis.
vii
10. Abdul Hafidz S.Pdi. Siti Julaeha. Siti Nur Hasanah yang sangat penulis
banggakan dan cintai. Bahkan, mereka merupakan mengajari banyak hal kepada
penulis.
11. Keluarga besar Aqidah dan Falsafat Islam 2013 yang telah belajar dan berjuang
bersama di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. KKN Beriman. Abi Sentani. Arifa Fauziah. Lia. Aisyah. Jamilah. Inung. Yusuf.
Nufal. Beril. Yang sudah memberikan semangat kepada penulis.
13. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini semoga bermanfaat bagi semua pihak. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, skripsi ini
terbuka untuk dikritik, dikoreksi dan mendapat masukan-masukan yang membangun
dari pembaca.
Jakarta, 16 Mei 2019
Penulis
Muhammad Fauzi
1113033100014
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................ x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 6
E. Metode Penelitian ................................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II FILSAFAT KEBAHAGIAAN
A. Pengertian Kebahagiaan ...................................................................... 12
B. Kebahagiaan Menurut Para Tokoh ...................................................... 14
BAB III BIOGRAFI AL GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al Ghazali ................................................................. 26
B. Perjalanan Intelektual .......................................................................... 28
C. Kondisi Sosial Politik dan Pemikiran Keagamaan .............................. 37
ix
D. Guru dan Pembimbing ........................................................................ 43
E. Karya-karya Al Ghazali ...................................................................... 44
BAB IV KEBAHAGIAAN MENURUT AL GHAZALI
A. Pengertian Kebahagiaan ..................................................................... 47
B. Tahap-tahap Mendapat Kebahagiaan .................................................. 61
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 65
B. Saran .................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 67
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
VOKAL
PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā Ā آ
ī Ī ىإ ِ
ū Ū وأ ِ
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط A A ا
ẓ ẓ ظ B B ب
‘ ‘ ع T T ت
Gh Gh غ Ts Th ث
F F ف J J ج
Q Q ق ḥ ḥ ح
K K ك Kh Kh خ
L L ل D D د
M M م Dz Dh ذ
N N ن R R ر
W W و Z Z ز
H H ه S S س
’ ’ ء Sy Sh ش
Y Y ي ṣ ṣ ص
H H ة ḍ ḍ ض
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari dulu hingga sekarang persoalaan kebahagiaan tidak pernah selesai
terlebih orang modern mereka menyangka kebahagiaan terletak pada sains dan
teknologi. Ternyata dalam sains dan teknologi, seperti media sosial, banyak
menimbulkan mala petaka dan kesengsaraan. Kita bisa lihat dari kemajuan teknologi
seperti bermunculnya sosial media.
Sosial media digunakan oleh semua kalangan. Bukan orang dewasa saja yang
menggunakan sosial media, bahkan pelajar sekolah dan anak-anak yang belum cukup
umur juga sudah akrab dengan sosial media yang sekarang sedang berkembang.
Berawal dari Friendter, kemudian Facebook, Twitter, Skype, Fourscuare, Line,
What‟s app, Path, Instagram, Snapchat, dan masih banyak lainnya. Banyak dampak
yang dapat ditimbulkan dari pemakaian sosial media, Berikut ini dampak positif dan
negatif sosial media. Dampak positif sosial media sebagai berikut:
a. Untuk menghimpun keluarga, saudara, kerabat yang tersebar, dengan jejaring
sosial media ini sangat bermanfaat dan berperan untuk mempertemukan
kembali keluarga atau kerabat yang jauh dan sudah lama tidak bertemu,
kemudian lewat dunia maya hal itu bisa dilakukan.
b. Sebagai media penyebaran informasi. Informasi yang up to date sangat mudah
melewati situs jejaring sosial. Hanya dalam tempo beberapa menit setelah
kejadian, kita telah dapat menikmati informasi tersebut.
2
c. Internet sebagai media komunikasi, setiap penguna internet dapat
berkominikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia.
d. Sebagai media promosi dalam bsinis. Hal ini memungkinkan para pengusaha
kecil dapat mempromosikan produk dan jasanya tanpa banyak mengeluarkan
biaya.
Selain dampak positif, sosial media juga bisa mengakibatkan dampak negatif
sebagai berikut :
a. Susah bersosislisasi dengan orang sekitar. Ini disebabkan karena pengguna
sosial media menjadi malas belajar berkomunikasi secara nyata. Hal ini
memang benar sekali, karena saya mempunyai teman yang sangat aktif di
sosial media, dia selalu memposting apa saja yang sedang dia kerjakan,
namun keadaan yang berbeda 180 derajat jika bertemu langsung nyatanya
adalah orang yang pendiam dan tidak banyak bergaul,
b. Situasi sosial media akan membuat seseorang lebih mementingkan dirinya
sendiri, mereka akan jadi tidak sadar akan lingkungan sekitar mereka, karena
kebanyakan menghabiskan waktunya di internet. Pernahkah kalian jalan-jalan
atau bepergian dengan seseorang, tetapi orang yang kalian ajak malah asik
dengan ponsel dan sosial medianya sendiri.
c. Pornografi. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki
internet, pornografi pun merajarela. Terkadang seseorang memposting foto
yang seharusnya menjadi privasi dia sendiri di sosial media, hal ini sangat
3
berbahaya karena bisa jadi foto yang di postingnya di sosial media disalah
gunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
d. Kejahatan dunia maya. Kejahatan dikenal dengan nama cyber crime.
Kejahatan dunia maya sangatlah beragam. Diantaranya, hacking (mertas
sistem oprasional orang lain agar bisa digunakan oleh diri sendiri), cracking
(meretas sistem dan mengambil data atau informasi dan tujuannya merusak),
phising (mencuri informasi penting dengan mengambil alih akun korban
untuk maksud tertentu), dan spamming (penggunaan perangkat elektronik
untuk mengirimkan pesan yang bertubi-tubi tanpa dikehendaki penerimanya).
Di atas adalah beberapa dampak positif dan negatif. Di sini, penulis ingin
memperlihatkan bahwa semakin canggih teknologi juga belum tentu membuat kami
bahagia. Buktinya, semakin canggih teknologi bisa mengakibatkan kejahatan di dunia
maya dan lain sebagainya. Lalu apa sebenarnya yang membuat kita bahagia itu?1
Jika kebahagiaan dipandang dari segi fisik seperti materi (uang, mempunyai
teknologi cangih, mempunyai rumah mewah dan sebagainya). Kami bisa ambil
contoh sebagai berikut: Bagi sebagian orang yang tidak mempunyai uang, bahwa
mempunyai uang banyak itu bisa disebut sebagai sumber kebahagiaan. Sebab, kami
bisa membeli mobil, bisa membeli kebutuhan pokok, dan bisa beli apapun yang kami
inginkan dengan uang. Namun, dalam kontek sekarang atau zaman sekarang, bahwa
kebahagiaan materi itu bukan satu-satunya.
1Bijak bersosmed, yang diambil dari artikel “Dampak Positiff dan Negatif Sosial Media”
https:/fzahrah.blogspot.co.id/2014/10dampak-positif-dan-negatif-sosial-media.html
4
Kami banyak sekali melihat fenomena, bahwa sebagian orang-orang kaya
tidak bahagia dalam hidupnya? mengapa demikian? padahalkan mereka mempunyai
banyak uang. Setelah ditelusuri, ternyata sebagian di antara mereka ada yang sering
menghambur-hamburakan uang, menghabiskan uang untuk judi-judian, berfoya-foya
dan lain sebagainya. Itu juga yang membuktikan bahwa mereka tidak bahagia, bahkan
semakin banyak uang yang mereka punya, semakin mereka habiskan untuk hal-hal
yang tidak penting seperti hal di atas. Ini diakibatkkan karena mereka mencari
kepuasaan, salah satu caranya dengan menukar kepuasan yang mereka inginkan
dengan uang. Namun, kebahagiaan yang sejati, tidak mereka temui.
Selain itu, banyak juga orang-orang kaya yang mengalami stres, sakit di usia
muda dan sebagainya, jika dibandingkan dengan orang biasa. Hal itu juga yang
membuktikan bahwa kebahagiaan materi bukan kebahagiaan yang utama dan pokok.2
Di sisi lain, ada tokoh Muslim yang bernama Imam al-Ghazali berhasil
menemukan konsep kebahagiaan. Ternyata konsep kebahgiaan al-Ghazali ini masih
berlaku di zaman sekarang. Hal berikut ini, yang membuat penulis ingin sekali
membahas kebahagiaan al-Ghazali. Lalu sebenarnya apa itu kebehagiaan menurut al-
Ghazali?
Kebahagiaan menurut al-Ghazali didalam bukunya yang berjudul “Kimia
Kebahagiaan” yang diterjemahkan oleh Haidar Bagir dari kitab asli yang berjudul
“Al-Kimiyya Al-Sa’adah”, dapat dicapai apabila manusia sudah bisa menundukkan
2Nia Hidayati, dalam artikel yang berjudul “Cara Mengejar dan Mendapatkan Kebahagiaan”
diambil pada tanggal 27 Juni 2019 dari https://www.niahidayati.net./makna/makna-kebahagiaan-dan-
cara-mendapatkannya.html.
5
nafsu kebinatangannya dan setan dalam dirinya, serta menggantinya dengan sifat
malaikat. Sedangkan kebahagiaan tertinggi menurut Al-Ghazali adalah ketika
manusia telah terbuka hijabnya dengan Allah, ia bisa melihat Allah dengan mata
hatinya, atau dalam bahasa Al-Ghazali telah sampai kepada ma’rifatullah3.
Ditengah-tengah masyarakat modern galau akan kebahagiaan, dalam konteks
inilah dirasa penting masyarakat modern menengok konsep kebahagiaan Imam Al-
Ghazali. Pandangan al-Ghazali tentang kebahagiaan patut untuk dieksplorasi lebih
mendalam lagi. Karena itu kami kami bermaksud mengakat tema tersebut menjadi
bahan kajian penulisan skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Perlu kiranya penulis memberikan batasan pada permasalahan yang sedang
dikaji dan diteliti. Adapun pembahasan tersebut terletak pada Filsafat kebahagiaan
menurut al-Ghazali. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas, dapat dirumuskan masalahnya adalah bagaimana konsep kebahagiaan menurut
al-Ghazali ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Agar penelitian ini terarah maka penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk ;
1. Mengetahui bagaimana metode mendapatkan kebahagiaan menurut al-Ghazali
2. Mengetahui makna kebahagiaan
Adapun manfa‟at dari penelitian ini ialah:
3Al-Ghazali, Metode Mengapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, ter. Haidar Bagir
(Bandung: Mizan, 2014), h.10.
6
1. Mahasiswa Islam mengenal pemikiran filosof Muslim yang jarang dibahas.
2. Menghidupkan kembali pemikiran filosof Muslim yang jarang diulas
3. Memberikan kontribusi bagi pengembangan penelitian ilmu sebagai salah satu
syarat mendapatkan gelar Strata satu (S1)
4. Memberi manfaat kepada kajian jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian al-Ghazali sudah tidak asing lagi di dunia akademik. Banyak sekali
karya ilmiah baik dalam buku, skripsi, tesis dan sebagian yang meneliti berbagai
kajian yang mengenai al-Ghazali. Pembahasan mengenai beliau tidak ada habis-
habisnya untuk dikaji dan dikembangkan. Namun sejauh pengamatan yang penulis
ketahui, seluruh kajian ilmiah baik skripsi, tesis, disertai atau bahkan buku belum ada
satupun yang mengangkat secara khusu mengenai “Etika Kebahagiaan Menurut al-
Ghazali” untuk mengegas asumsi ini penulis akan menguraikan beberapa karya
ilmiah yang penulis anggap cukup untuk mewakili beberapa karya lainnya.
Pertama, Skripsi Helmy Hidayatullah yang diajukan kepada Fakultas
Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2015 yang berjudul “Pengaruh Konsep Zuhud al-Ghazali terhadap
Konsep Zuhud Tuan Guru Bengkel”, Skripsi ini tidak memaparkan ajaran tasawuf al-
Ghazali secara keseluruhan, melainkan secara spesifik, hanya memaparkan konsep
zuhudnya saja. Dan konsep inilah yang banyak memepengaruhi konsep zuhud Tuan
Guru Bengkel baik dalam aspek aflikatifnya maupun dalam pemahaman
7
Kedua, Skripsi yang ditulis rofiuddin dengan judul “Pengajian Kitab Klasik
dan pembentukan Akhlak Santri: Studi kasus Pondok Pesantren As-Sulaiman”.
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005. Skripsi ini meneliti pengaruh tasawuf
al-Ghazali terhadap prilaku santri.
Ketiga, Skripsi Amirul Muttaqin yang berjudul hubungan “Hubungan
Syari‟at dan Hakikat Perspektif al-Ghazali”, Skripsi ini diajukan kepada Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
Penelitian ini menjelaskan bahwa syari‟at dan hakikat menurut al-Ghazali adalah
aspek zahir dan bathin yang merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Dalam pelaksanaanya, hakikat akan selalu menyertai serta menjaga hati syari‟at
ditegakan.
Keempat, disertai yang berjudul konsep “Konsep A‟qabat dalam tasawuf al-
Ghazali (tela‟ah atas kitab minhaj al-Abidin). Dalam disertasi ini dijelaskan mengenai
keterkaitan antara „aqabat dan persoalan ibadah.‟ Aqabat yang disebut oleh al-Ghazali
adalah berbagai bentuk godaan dari rintangan yang datang kepada manusia ketika
beribadah, baik didalam diri manusia itu sendiri maupun diluar diri.
Adapun buku yang berhasil penulis terlusuri terkait pembahasan al-Ghazali
adalah buku yang berjudul al-Kimiyya al-Sa’adah. Buku ini ditulis langsung oleh al-
Ghazali. Kemudian penulis menemukan terjemahan buku itu yang berjudul “Kimia
Kebahagiaan: Metode Mendapatkan Kebahagiaan” yang diterjemahkan oleh
8
penerbit Mizan, edisi kedua cetakan I, Jumadal Al-Ula 1435 H/Maret 2014. Buku ini
menjelaskan pengertian kebahagiaan dan cara memperoleh kebahagiaan. .
E. Metode Penelitian
Metode yang dipakai adalah metode kualitatif. Metode kualitatif, yaitu suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan kualitas pembahasan. Penelitian
yang difokuskan adalah penelitian pustaka library research
1. Sumber primer
Sumber primer diambil dari buku asli al-Ghazali yang berjudul: Buku
Metode Mengapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan. Buku ini ditulis
langsung oleh al-Ghazali dan diterjemahkan oleh penerbit Mizan, edisi kedua
cetakan I, Jumadil Al-Ula 1435H/Maret 2014. Buku ini menjelaskan pengertian
kebahagiaan dan cara memperoleh kebahagiaan. Al-Ghazali menjelaskan,
kebahagian bisa diperoleh dengan cara mengetahui dan menyadari tentang diri
sendiri, tuhan, dunia ini dan akhirat. begitupun unsur dari luar sangat
berpengaruh kepada kebahagiaan, seperti musik yang sering kita dengar,
pernikahan, dll.
2. Sumber Sekunder
Adapun sumber sekunder adalah sumber data-data yang didapat dari
bacaan lain. Buku tasawuf kehidupan al-Ghazali : Refleksi petualangan
intelektual dari Teolog, Filosof hingga Sufi. Buku ini ditulis oleh Fajar Nugraha
Syamsudie yang dulunya adalah sebuah tesis program pasca sarjana Universitas
Muhamadiyah Jakarta tahun 1998. Buku ini menjelaskan sosok al-Ghazali secara
9
komprehensif mulai dari biografi, pemikiran dan corak keilmuannya, serta
pandangan-pandangan ulama terhadap beliau.
Buku berjudul “al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman” yang ditulis oleh
Mahdub jamaluddin menjelaskan dengan gemblang bagaimana sosok al-Ghazali.
Didalam Buku tersebut sosok al-Ghazali dibahas kedalam dua bagian besar,
pertama mengenai biografinya, dan kedua menguraikan hal-hal yang berkaitan
dengan al-Ghazali, baik pemmikiran, sumbangsih, karya-karya kontroversinya
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, maka diperlukan suatu metode pengumpulan
data yang akan diolah dan dianalisis. Sehingga dalam metodelogi tersebut
menghasilkan suatu hal yang dapat mendeskripnisikan sesuatu. Pada penelitian
penulis menggunakan beberapa metode yaitu : .
4. Teknik Analisis Data
Analisi data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam
pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Dari rumusan diatas dapat ditarik garis besar bahwa analisis data
bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak
sekali dan terdiri dari komentar, artikel, dokumen berupa laporan dan lain-lain.
Setelah data dari lapangan terkumpul dengan mengunakan metode pengumpulan
data diatas, sehingga peneliti dapat mengambarkan secara utuh etika kebahagiaan
menurut al-Ghazali.
10
F. Sistematika Penulis
Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan pedoman penulisan Skripsi,
Tesis, dan Desertasi dengan merujuk pada buku pedoman Akademik yang diterbitkan
oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. Untuk
memudahkan penulisan Skripsi ini, maka penulis penyusun sitematikanya ke dalam
lima bab yaitu ;
Bab I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang: Pertama,
latar belakang masalah. Kedua, permasalahan penelitian yang didalamnya
memeparkan batasan dan rumusan masalah. Ketiga, tujuan penelitian. Keempat,
manfa‟at penelitian. Kelima, tinjauan pustaka. Keenam, menjelaskan tentang metode
penelitian, metode penelitian menjelaskan secara keseluruhan tentang bagaimana dan
melalui apa penelitian akan dilakukan. Ketujuh, menjelaskan tentang teknik
pengumpulan data. Terakhir, Kedelapan, menjelaskan tentang sistematika penulisan.
Bab II: Dalam bab dua penulis mendeskripsikan kebahagiaan secara umum.
Pertama, pengertian kebahagiaan. Dan yang Kedua, pendapat para tokoh Yunani dan
Muslim terhadap kebahagiaan. Mulai dari Socrates, Aristoteles, Plato, al-Kindi dan
al-Farabi.
Bab III: Bab ini merupakan kajian teori tentang sejarah hidup Abu Hamid Al-
Ghazali, dimulai dari biografi serta perjalanan keilmuannya, dan dilanjutkan dengan
kondisi sosial politik yang mempengaruh pemikirannya, kemudian ditulis juga guru-
guru yang pernah membimbing al-Ghazali serta karya-karya beliau.
11
Bab IV: Bab ini menjelaskan tentang analisa dan interpretasi data penelitian.
Penulis memaparkan tentang kebahagiaan menurut al-Ghazali yang terdiri dari:
Pertama, pengertian kebahagiaan. Kedua, tahap-tahap untuk mendapat kebahagiaan.
Bab V: merupakan Bab terakhir, yakni penutup. Bab ini berisi uraian
kesimpulan dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya yang berhasil dihimpun oleh
penulis. Selain itu tercantum pula saran untuk peneliti selanjutnya.
12
BAB II
FILSAFAT KEBAHAGIAAN
A. Pengertian Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam bahasa Yunani di kenal dengan istilah eudaimonia yang
memiliki arti kebahagiaan. Kata ini terdiri dari dua suku kata “en” (“baik”, “bagus”)
dan “daimon” (“roh, dewa, kekuatan batin”). Kendati demikian, kata kebahagiaan
dalam bahasa Indonesia tersebut masih belum cukup kokoh untuk menjelaskan
maksud pengertian asli dari kata Yunani tersebut.1
Secara harfiah eudaimonia berarti “memiliki roh penjaga yang baik”. Bagi
bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia
berarti “mempunyai daimon yang baik” dan yang dimaksudkan dengan daimon
adalah jiwa.2 Sementara itu, terdapat sebuah pandangan yang berakar dari istilah ini,
yaitu Eudaimonisme. Eudaimonisme adalah pandangan hidup yang menganggap
kebahagiaan sebagai tujuan segala tindak-tanduk manusia. Dalam eudaimonisme,
pencarian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah. Kebahagiaan yang
dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif seperti senang atau
gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan objektif
menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral,
sosial, emosional, rohani).
1Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 1996) h. 67. 2K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunanii (Jogjakarta: KANISIUS. 1999) h. 108
13
Kebahagiaan berarti keadaan senang, tentram; terlepas dari segala yang
menyusahkan.sehingga, kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung,
bukanlah suatu perasaan atau emosi yang berlalu. Kebahagiaan berasal dari kata
Sansakerta, yaitu bhagya yang berarti jatah yang menyenangkan. Bhagya juga
diartikan dengan keberuntungan. Dengan demikian, kebahagiaan berarti suatu kondisi
sejahtera, yang ditandai dengan keadaan yang relatif tetap, dibarengi keadaan emosi
yang secara umum gembira, mulai dari sekedar rasa suka sampai dengan
kegembiaraan menjalani kehidupan, dan adanya keinginan alamiah untuk
melanjutkan keadaan ini. Dalam perspektif ini bahagia pada dasarnya adalah
berkaitan dengan kondisi kejiwaan manusia.3
Bahagia juga berarti beruntung atau perasaan senang tenteram (bebas dari
segala yang menyusahkan). Adapun kebahagiaan yaitu kesenangan dan ketentraman
hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir dan batin.4 Kata
bahagia dalam bahasa Arab yaitu sa‟adah artinya “keberuntungan” atau
“kebahagiaan”.5 Dalam bahasa Inggris kebahagiaan disebut happines. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan dan keadaaan
tenteram lahir dan batin tanpa ada perasaan gelisah sedikitpun. Masalah kebahagiaan
sendiri merupakan topik yang tidak akan pernah habis diperbincangkan orang.
Adapun masalah yang diperbincangkan adalah apakah kebahagiaan itu bersifat materi
3Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Petualangan Intelektual) h.
41 4Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 65. 5Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 1994), h. 205.
14
yang artinya kebahagiaan tertinggi itu bisa diraih di dunia, atau kebahagiaan itu
terkait dengan jiwa yang artinya kebahagiaan tertinggi itu hanya bisa diraih di akhirat.
Kemudian ada juga yang menggabungkan keduanya, baik di dunia maupun di akhirat
kebahagiaan tertinggi bisa diraih.6
B. Kebahagiaan Menurut Para Tokoh
1. Socrates
Menurut sokrates manusia memiliki suatu cirri-ciri hidup, yaitu untuk
mencapai kebahagian (eudaimonian = “jiwa yang baik”). Eudaimonia dapat dicapai
dengan memiliki keutamaan pengetahuan akan yang baik’. Ketika manusia akan
memiliki pengetahuan akan yang baik ini, tentu saja manusia akan melakukan hal
yang baik itu. sokrates menyatakan bahwa yang baik itu bersifat utuh dan mantap.
Yang baik itu juga bersifat universal, artinya berlaku dimana saja, bukan semata-mata
kesepakatan disuatu tempat saja. Memlalui tempat ajaran yang baik ini, sokrates-
sokrates telah meletakkan dasar bagi kesadaran suara hati dan etika otonom.
Sokrates meneruskan prinsip etikanya ke bidang politik. Dia berpendapat
bahwa Negara harus memejukan kebahagiaan para warganya dan penguasa harus
mengerti akan yang baik itu. oleh sebab itulah, sokrates sangat menyetujui sistem
demokrasi yang berlaku di Atena.7
6Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tutamas Indonesia, 1980), h. 83.
7Wikipedia, yang berjudul Eudaimonisme yang diambil pada tanggal 27 juni 2019 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eudaimoni
15
2. Plato
Plato yang merupakan murid Sokrates. Berdasarkan ajaran ideanya, Plato
berpendapat bahwa kebahagiaan tertinggi itu tidak mungkin diperoleh di Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kebahagiaan tertinggi baru bisa diperoleh ketika jiwa
sudah berpisah dengan jasad. Plato berpandangan bahwa kebahagiaan tertinggi itu
hanya terletak pada jiwa bukan jasad, sehingga kalau jasad dan jiwa masih melekat
pada tubuh yang kotor dan berbagai kepentingannya, serta menyatu dengan berbagai
kepentingan jasad, berarti jiwa belum benar- benar bahagia. Artinya bagi Plato
kebahagiaan yang benar-benar baru bisa dirasakan manusia di akhirat kelak.8
3. Aristoteles
Berbeda dengan Plato, Aristoteles memiliki pandangan yang berlawanan.9
Menurut Aristoteles, hidup yang baik dapat dikatakan dengan satu kata yaitu
“kebahagiaan”, kebahagiaan adalah kebaikan instrinsik, dan merupakan tujuan dalam
diri kita masing-masing.10
Tegasnya kebahagiaan adalah hidup yang terintegrasi dan
memuaskan.11
Selanjutnya, kebahagiaan atau kesejahteraan, dapat diperoleh manusia
di dunia, jika manusia berupaya keras untuk mengusahakannya.12
Kebahagiaan
adalah apa yang kita cari demi dirinya sendiri (eudaimonia). Dengan demikian,
menurut hemat penulis, kebahagiaan bagi Aristoteles adalah tercapainya apa yang
8Ahmad Tibry, Konsep Bahagia HAMKA: Solusi Alternatif Manusia Modern (Padang: IAIN-
IB Press, 2006), h. 51. 9Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 27-28 10
Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, terj. Andre Karo karo (Jakarta: Erlangga, 1987),
h. 73. 11
Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar., h. 76. 12
Ahmad Tibry, Konsep Bahagia HAMKA: Solusi Alternatif Manusia Modern., h. 50
16
dibutuhkan di dunia ini/ terpenuhinya kepentingan materi. Jadi, kebahagiaan menurut
Aristoteles terkait dengan materi, sehingga kebahagiaan tertinggi bisa dicapai di
dunia ini.13
4. Al-Kindi
Selain failasuf Yunani, failasuf Muslim pun juga membahas tentang
kebahagiaan, salah satunya al-Kindi. Kebahgiaan dalam pandangan al-Kindi
bukanlah mencapai keinginan dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan
artifisial. Tetapi kebahagiaan diperoleh melalui pencapaian keinginan dan kesukaan
yang bersifat rasional, baik dalam meneliti, memikirkan, membedakan dan mengenal
hakikat segala sesuatu,
Jadi. Kebahagiaan sejati bagi manusia ialah berupa kenikmatan yang yang
bersifat illahiah dan ruhaniah, yang dapat dicapai manusia jika dalam keadaan suci
dari noda syahwat dan kenikmatan indrawi, serta mendekatkan diri kepada Allah
sehingga dia memencarkan cahaya dan rahmat-nya. Alhasil pada saat itu manusia
merasakan kenikmatan abadi atas segala kenikmatan indrawi yang dapat dicapai dan
kenikmatan hidup duniawi.14
Kemudian, menurut al-Kindi kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna
tidak akan ditemukan selama ruh (jiwa) berada di badan. Setelah berpisah dari badan,
Ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-
bintang, berada di lingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak
13
Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-1., h. 72. 14
Tulisan ini diambil pada tanggal 27 juni 2019 dari
https://www.google.co.id/search?q=kebahagiaan+menurut+al-Kindi.
17
kesenangan hakiki ruh. Namun, jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke
bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Plato, kemudian terakhir akan
menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan
kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Jadi, menurut hemat penulis, kebahagiaan bagi
al-Kindi adalah terkait dengan ruh atau jiwa, yang artinya kebahagiaan tertinggi
hanya bisa dicapai di akhirat kelak.
5. Al-Farabi
Al-Farabi adalah failasuf Muslim yang juga membahas tentang kebahagiaan.
Meskipun ini bukanlah inti filsafatnya, namun ia sangat antusias sekali membahas
tentang kebahagiaan. Bahkan al-Farabi menulis dua buku tentang kebahagiaan Tahshi
al-Sa‟adah (Mencari Kebahagiaan) dan al-Tanbih al-Sa‟adah (Membangun
Kebahagiaan). Bagi al-Farabi, kebahagiaan adalah jika jiwa manusia menjadi
sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan dalam eksistensinya kepada
suatu materi.15
Menurut al-Farabi, bangsa dan warga kota untuk mencapai
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat adalah ketika manusia memenuhi
beberapa hal itu yaitu keutamaan teoritis dan keutamaan intelektual. keutamaan
akhlak, dan keutamaan mulia.16
Al-Farabi adalah seorang failasuf yang berusaha untuk menemukan arti
kebahagiaan dan menikmati kebahagiaan. Di akhir hidupnya ia berusaha untuk hidup
15
Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi dkk
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), bagian 1, cet. ke-4, h. 32. 16
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah, (Libanon: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1995), h.
25.
18
zuhud, dengan menyumbangkan sebagian hartanya kepada fakir miskin.17
sehingga
tidak salah jika ilmu tasawuf menjadi pilihan al-Farabi di akhir hidupnya.
Tampaknya al-Farabi ingin mengkombinasikan antara filsafat dan tasawuf,
terbukti dalam konsep kebahagiaannya yang identik dengan ajaran tasawuf. Namun,
bukan sekedar tasawuf spritual biasa, tapi berlandaskan pada akal rasio, studi dan
analisa serta aspek teoritis dan praktis. Dalam buku Risalah Tanbih as-Sabil as-
Sa‟adah, al-Farabi mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan
untuk kebaikan itu sendiri.18
Artinya seseorang melakukan kebaikan adalah dengan
motif karena suka melakukan kebaikan itu. Alasan seseorang melakukan kebaikan
bukan karena apa-apa atau karena ada apanya. Tapi karena memang tahu kebaikan itu
baik dan luar biasa manfaatnya dan Allah suka itu.
Segala hal yang membuat manusia bahagia adalah baik, begitu pula
sebaliknya. Selain itu, al-Farabi mengatakan kebahagiaan adalah tujuan hidup atau
tujuan akhir dari segala yang dilakukan.19
Artinya, seseorang melakukan kebaikan
atau aktifitas apapun tujuannya adalah untuk merasakan kebahagiaan. Misalnya,
seseorang menjadi pribadi jujur, ikhlas, tidak sombong, menolong orang lain, maupun
rajin tujuannya karena ingin bahagia, tidak ada lagi yang ingin dituju selain ingin
bahagia. Kemudian, Tuhanpun menciptakan manusia untuk bahagia. Allah
menyediakan semuanya untuk manusia, Allah selalu mempermudah manusia, karena
17
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam (Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke
Barat)..., hlm. 194. 18
Abu Nashr Al-Farabi, Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah (Amman: Universitas
Yordania, 1987), h. 15. 19
Abu Nashr Al-Farabi, Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah., h. 15.
19
Tuhan ingin manusia bahagia, dan tak ingin manusia susah. Jadi, kalau manusia tidak
bahagia saat Tuhan telah mempermudah dan telah memberi segalanya kepada
manusia berarti secara tidak langsung manusia sedang menyinggung perasaan
Tuhan.20
Selain membahas tentang kebahagiaan dunia, kebahagiaan tertinggi di akhirat,
biasanya juga membahas tentang jalan atau cara untuk memperoleh kebahagiaan
tersebut. Begitupun dengan al- Farabi, al-Farabi yang sekarang penulis bahas selain
sebagai failasuf namun juga seorang sufi. Dia menjelaskan jalan untuk memperoleh
kebahagiaan bukan dengan jalan meninggalkan kehidupan dunia dan hanya
mengutamakan akhirat saja. Namun, dengan konsep yang teoritis dan praktis. Al-
Farabi sepertinya ingin mengedepankan pentingnya aspek teoritis dan praktis untuk
mendapatkan kebahagiaan. Adapun jalan memperoleh kebahagiaan menurut al-Farabi
yaitu, dengan kehendak, niat, tekad dan sikap bersedia itulah manusia harus
mengahadapi peraturan moral. Peraturan moral atau hukum moral yang dibuat oleh
manusia itu sendiri adalah kodrat manusia itu sendiri. Perbuatan manusia ditentukan
oleh hukum-hukum kodrat manusia sebagai pribadi rohani.21
Artinya hukum moral
adalah jati diri manusia itu sendiri, yang merupakan bawaan dari diri manusia. Sebut
saja hukum moral tentang keadilan. Manusia membuat aturan-aturan tentang keadilan
itu, bagaimana caranya dia menjalankannya. Padahal sebenarnya keadilan itu sendiri
sudah menjadi keharusan bagi manusia untuk menjalankannya karena itu adalah
20
Fahruddin Faiz, Ngaji Filsafat: al-Farabi Kebahagiaan (2), youtube, diunggah oleh Miftah
dalam https://youtu.be/YGo8CJSyovQ, diakses pada hari Rabu, 8 Mei 2018, jam 18.41 WIB. 21
Drijarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), cet. ke-4, h. 26-27.
20
kodratnya, hanya saja manusia saja yang lupa dan melalaikan. Dengan demikian,
kehendak atau niat atau tekad yang merupakan sendi moral adalah sebagai penunjuk
arah bagaimana manusia untuk merealisasikan kodratnya itu. Sebut saja dalam hal ini
kehendak untuk menuju kebahagiaan dengan kodratnya sebagai manusia yang
menginginkan kebahagiaan dengan melakukan hal-hal baik saja dalam hidup ini.
Oleh karenanya, kehendak menjadi langkah awal manusia menuju kebahagiaan itu.
Niat dan kehendak artinya apa yang ada di pikiran dan di hati manusia
idealnya harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari atau segala hal yang
dianggap baik dalam hati dan pikiran manusia harus diwujudkan. Jika tidak, maka
kebahagiaan tidak akan dirasakan. Tidak salah kiranya banyak manusia yang tidak
bahagia di dunia ini, karena begitu banyak yang dianggapnya baik, dalam hati dan
pikirannya kenyataanya sedikit yang diwujudkan. Contoh, manusia menganggap baik
sedekah. Namun, dalam kenyataannya manusia tidak mau bersedekah maka
kebahagiaan tidak akan dirasakan, karena apa yang dianggapnya baik dalam hati dan
pikirannya tidak diwujudkan.
Selanjutnya, kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus-menerus
mengamalkan perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Artinya
manusia tidak hanya cukup paham dan sadar mengenai kebahagiaan tersebut tapi juga
harus dipraktekan sehingga menjadi kebiasaan. Siapa yang merindukan kebahagiaan,
maka wajiblah ia berusaha terus-menerus menumbuhkan dan mengembangkan sifat-
sifat baik yang terdapat dalam jiwa secara potensial, dan dengan upaya-upaya
demikian, sifat-sifat baik itu akan tumbuh dan berurat berakar secara aktual dalam
21
jiwa. Latihan adalah unsur yang penting, kata al-Farabi, untuk memperoleh akhlak
terpuji atau tercela, dan dengan latihan terus-menerus terwujudlah kebiasaan.22
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika seseorang ingin mencapai
puncak kebahagiaan, maka wajiblah bagi dia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan sifat-sifat baik-baik yang ada pada dirinya, sehingga sifat-sifat
tersebut menjadi sebuah kebiasaan (habit). Selain itu, menurut al-Farabi, bangsa dan
warga kota untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat adalah
ketika manusia memenuhi sifat-sifat utama/ keutamaan. Sebelum menjelaskan sifat-
sifat keutamaan itu kita jelaskan dulu apa itu keutamaan.
Keutamaan menurut al-Farabi adalah keadaan jiwa yang menimbulkan
tindakan yang mengarah pada kesempurnaan teoritis. Artinya,keutamaan dari sesuatu
adalah sesuatu yang menghasilkan keunggulan dan kesempurnaan dalam keberadaan
dan tindakannya.23
Adapun keutamaan-keutamaan tersebut yaitu, pertama,
keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang diperoleh orang sejak
semula tanpa dirasai, tanpa diketahui cara dan asalnya diperoleh, dan juga diperoleh
dengan renungan kontemplatif, penelitian dan juga dari mengajar dan belajar.24
Kedua, keutamaan intelektual atau pemikiran, yaitu keutamaan yang dengannya
memungkinkan orang mengetahui apa yang paling bermanfaat dalam tujuan yang
utama. Termasuk dalam hal ini, kemampuan untuk membuat aturan-aturan, karena itu
22Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 65.
23Afifeh Hamedi, “Farabi‟s View on Happiness”, International Journal of Advanced
Research, vol. 1, issue 7, 2013, h. 475. 24
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah., h. 25-26.
22
disebut dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha‟il fikriyyah madaniyyah).25
Ketiga, keutamaan akhlaki, yaitu keutamaan yang bertujuan untuk mencari kebaikan.
Keempat, keutamaan amalia atau praktis yang dapat diperoleh dengan dua cara,
pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan yang merangsang.26
Kemudian dengan keutamaan yang tengah-tengah bagi al-Farabi adalah tidak
berlebihan yang dapat merusak jiwa dan jasad. Hal itu dapat ditentukan dengan
melihat kepada zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu serta tujuan yang
dicari, cara yang digunakan dan semua syarat yang memenuhinya. Berani adalah sifat
yang terpuji dan sifat ini terletak antara dua sifat yang tercela: membabi buta
(tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) adalah terletak di antara dua
sifat yang tercela: kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri („iffah)
terletak antara dua sifat: keberandalan (khala‟ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat jalan
memperoleh kebahagiaan menurut al- Farabi, yaitu: pertama, niat dan kehendak,
artinya apa yang ada di pikiran dan di hati manusia idealnya harus direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari atau segala hal yang dianggap baik dalam hati dan
pikiran manusia harus diwujudkan. Kedua, upaya terus menerus mengamalkan
perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Artinya manusia tidak
hanya cukup paham dan sadar mengenai kebahagiaan tersebut tapi juga harus
dipraktekan sehingga menjadi kebiasaan (habit). Ketiga, memiliki pemahaman-
25
Abu Nashr al-Farabi, Tahshil al-Sa‟adah., h. 57. 26
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam., h. 48.
23
pemahaman tentang sifat-sifat keutamaan, yaitu keutamaan teoritis, keutamaan
intelektual, keutamaan akhlaqi, dan keutamaan praktis. Keempat, memiliki
keutamaan yang tengah-tengah, yaitu keutamaan yang tidak berlebihan yang dapat
merusak jiwa dan jasad (moderat). Akhirnya, saat empat jalan tersebut telah dipahami
dan diaplikasikan manusia dalam kehidupannya, maka perlahan akan mengarahkan
manusia untuk menuju jalan kesempurnaan, karena telah memiliki kematangan
spritual, berada dekat dengan Allah SWT. maka manusia akan merasakan
kebahagiaan. Dalam kitab yang berjudul “Risalah fi Tanbih „ala as-Sabil as-
Sa‟adah” al-Farabi menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan27
yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh
setiap manusia.28
Kemudian, pendapat al-Farabi tentang mengaitkan akhlak dengan
kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang ingin mengenyam
kebahagiaan, dan akhlak bisa membawanya menuju kebahagiaan. Akhlak terkait
dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Akhlak ingin agar manusia menjadi
baik, karena hanya dengan baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya orang
baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam
berbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa
mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan berbagai
merasakan macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita
27
Abu Nashr al-Farabi, Risalah Tanbih „ala Sabil as-Sa‟adah., h. 17. 28
Ahmad daudy, Kuliah Filsafat Islam., h. 47.
24
mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin, atau pahit saat kita
flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya,
bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat
membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis.
Demikian pula, kalau jiwa manusia sakit, misalnya ketika mengidap penyakit iri.
Manusia yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilannya yang biasa, tiba-tiba
karena sakit iri, manusia tidak merasa bahagia kala tetanggnya lebih beruntung
darinya. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang
selama ini manusia rasakan.29
Dalam sebuah diskusi ada seseorang yang menanyakan
tentang iri kepada Mulyadi Kartanegara dikutip dari bukunya Panorama Filsafat
Islam, pertanyaanya “bukankah rasa iri itu manusiawi karena hampir tidak ada
orang yang tidak pernah merasakannya? Jawabnya, “ya, iri memang manusiawi
(karena tidak ada malaikat yang iri hati) tetapi tidak berarti bahwa tidak perlu
dibersihkan dari hati kita sebab bukankah “bisul” di wajah kita juga manusiawi.
Akan tetapi, apakah karena penyakit itu manusiawi, kita tidak perlu mengobatinya?
Tentu saja tidak. Tetap kita harus berusaha menyembuhkannya sehingga ia tidak
akan menimbulkan masalah.”30
Dengan demikian, jika manusia ingin bahagia,
manusia harus terlebih dahulu memperbaiki akhlaknya. Dengan memperbaiki akhlak,
maka manusia akan menjadi manusia yang baik (akhlak al-karimah), dan semakin
29
Mulyadi Kartanegara, “Membangun Kerangka Keilmuan IAIN perspektif Filosofis” dalam
http://icasparamadinauniversity.wordpress.com diakses pada tanggal 02 Oktober, 2017, jam 21.10
WIB. 38 30
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 69-70.
25
baik akhlak manusia semakin mudahlah jalannya untuk mencapai kebahagiaan.
Selanjutnya jika akhlak manusia telah sempurna tentu kebahagiaan sempurna akan
dirasakannya.31
31
Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta:
Erlangga, 2007), h. 139-140.
26
BAB III
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup aL-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-
Ghazali1 Ath-Thusi, An-Nasayburi, Al-Faqih, As-Syufi, As-Syafi'i, Al-Asy'ari. Nama
Al-Ghazali sendiri diambil dari kata ghazzal ( dengan huruf Z double ) yang artinya
tukang pemintal benang, karena sesuai dengan pekerjaan ayahnya yaitu seorang
pemintal benang, selain itu juga ada yang mengatakan bahwa kata Al-Ghazali
dinisbatkan pada kampung kelahirannya yakni kampung Ghazalah yang bertempat
dikota Thus. terlepas dari kata mana yang benar, dengan jelas sebutan yang
terakhirlah yang banyak digunakan oleh masyarakat umum dan para pengkaji Al-
Ghazali.2
Duncan B. MacDonald mengaitkan Al-Ghazali dengan nama beberapa ulama
sebelumnya yang ia anggap sebagai sislsilah keturunan Al-Ghazali. sebelum Al-
Ghazali lahir, ada seorang ulama yang menyandang nama Al-Ghazali, yaitu Abu
hamid Al-Ghazali Al-Kabir yang disebut-sebut sebagai paman dari ayah Al-Ghazali.
Akan tetapi pendapat ini mendapat respon yang tidak baik dari para peneliti, sebab ia
tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat dan tidak berpijak pada sumber-sumber yang
1Nama Muhammad disebut tiga kali yang berarti ayah dan kakeknya juga bernama
Muhammad. Selanjutnya ketika ia mempunyai seorang anak yang dinamai Hamid, maka iapun
dipanggil Abu ‘Hamid sesuai tradisi setempat yang artinya ayahnya Hamid. (Mahbub Djamaludin, Al-
Ghazali Sang Enslikopedi Zaman. Jakarta: Mizan, 2015), h.27. 2Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Enslikopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan nasional,
2015),h.27-28.
27
ada.3 Akan tetapi pendapat ini mendapat respon yang tidak baik dari para peneliti,
sebab ia tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat dan tidak berpijak pada sumber-
sumber sejarah yang ada.
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H 1058 M di distrik tabaran, thus, yang
merupakan dari negeri khurasan4. Ia mempunyai saudara kandung yang bernama
Ahmad Al-Ghazali. Ayahnya bukan seorang sufi atau ulama, beliau hanya seorang
pemintal bulu domba. Kendati demikian sang ayah adalah sosok yang saleh, ia sangat
cinta terhadap ilmu. Sehingga dari beliaulah Al-Ghazali mendapatkan pendidikan
dasar keagamaan. Sang Ayah selalu berdo’a agar kedua anaknya menjadi orang yang
saleh seperti para wali, bahkan tidak jarang beliau membawa kedua anaknya hadir
dalam majelis-majelis ilmu, guna bertemu dengan orang-orang saleh agar mendapat
ilmu serta do’a dari mereka.5
Ketika ayah Al-Ghazali terserang sakit, menjelang wafatnya beliau berwasiat
kepada temannya agar senantiasa menjaga dan membimbing anaknya supaya kelak
menjadi ulama. Beliau menitipkan seluruh harta peninggalannya untuk bekal hidup
3Mahbub Djamaludin, Al-ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan
nasional,2015),h.27-28. 4Dalam Atshar al-Bilad Wa Akbar Al-Bad, al-Qazwini ( ahli geografi ) menyebutkan bahwa
thus pada abad ke-5 merupakan kota yang masyhur setelah kota Naisabur. Thus dikelilingi dengan
pohon-pohon serta limpahan air yang segar yang terbagi menjadi beberapa desa. Kala itu Thus terbagi
menjadi dua bagian yaitu Nauqan dan Thabaran. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedia
Zaman., h, 2. 5Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta: Perpustakaan nasional,
2015), h.30.
28
dan pendidikan kedua anaknya.6 Saat itu kedua anaknya masih sangat kecil dan tidak
diketahui usia berapa Al-Ghazali ketika itu.7
B. Perjalanan Intelektual
latar belakang pendidikan Al-Ghazali pertama ia belajar dari ayahnya, mulai
dari belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Setelah ayahnya wafat,
temannya yang bernama Muhammad Al-Razikani yang juga seorang sufi yang
berilmu tinggi, merawat serta membimbing Al-Ghazali bersama saudaranya. Bersama
sufi ini Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih dan beberapa ilmu dasar yang lainnya.
Kehidupan mereka sangat sederhana dan pas-pasan, namun mereka tetap bisa mencari
ilmu sebagaimana yang diwasiatkan oleh ayahnya.8
Ketika pembekalan mereka sudah habis, al-Razikani meminta al-Ghazali dan
Ahmad untuk tinggal di Madrasah. Hal ini dilakukan agar mereka tetap bisa
melanjutkan pendidikannya.9 Sejalan dengan itu, memang pemerintahan Bani Saljuk
kala itu sedang gencar-gencarnya menggalakan program pembangunan seribu
madrasah dan sejuta beasiswa untuk masyarakat umum.10
Dengan demikian al-
Ghazali dan ahmad dapat dengan tenang belajar tanpa memikirkan biaya maupun
kebutuhan hidup.
6Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah. Terj. Yahya al-Mutamakkin (Semarang: PT Karya Toha
Putra Semarang, 2003), h. 13. 7Fadjar Noegraha Syamhodie, Tasawhuf Kehidupan AL-GHAZALI:Refleksi Petualangan
Intelektual dari Teolog, Filosof, Hingga Sufi (Ciputat Timur: CV Putra Harapan, 1999), h. 2. 8Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman (Jakarta Perpustakaan nasional,
2015), h. 31. 9Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah., h.12.
10Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklomedi Zaman, h.32.
29
Dibawah asuhan Ahmad ibn Muhammad al-Razakani disalah satu madrasah
yang dibangun Nizam al-Mulk, al-Ghazali menjadi seorang murid yang dengan cepat
menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Dengan usia yang masih sangat muda beliau
yaitu sekitar 465 H beliau pergi meninggalkan kampung halaman menuju jurjan.
Sesuai dengan tradisi pada masa itu setelah menguasai ilmu dasar seorang murid
harus meninggalkan daerahnya untuk mencari ilmu-ilmu yang belum dipelajari, di
jurjan inilah al-Ghazali berguru kepada Abu Qasim al-Isma’ili.11
Kepada beliaulah al-
Ghazali menta’liq. Sebuah karangan yang ia tulis sendiri dengan judul al-Ta’liqat fi
furu al-Mazhab.12
Setelah pendidikannya dijurjan, al-Ghazali kembali ketempat
kelahirannya yaitu Thus. Namun walaupun tinggal di Thus al-Ghazali masih selalu
diawasi oleh gurunya, dan terus menghapalkan at-Ta’liqat. Tiga tahun al-Ghazali
menghabiskan waktunya di Thus, pada tahun 468 H ia kembali melakukan
perjalanannya mencari ilmu menuju Naisabur. Di pusat kota ini berdiri sebuah
Universitas Nizamiyah yang terkenal akan ulamanya yang luas akan ilmu, oleh sebab
itu kota ini disebut dengan puasatnya ilmu. Al-Ghazali mendapat bimbingan dan
pengajaran dari seorang ulama besr yang bernama al-Juwaini.13
Dibawah bimbingan
11
Ada kekeliruan dalam beberapa catatan sejarah mengenai Guru al-Ghazali ini, dimana
diriwayatkan bahwa al-Ghazali berguru kepada Abu Nashr al-Isma’ili bukan kepada Abu Qasim al-
Isma’ili. Padahal al-Ghazali tidak pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau wafat pada tahun 405 H
sedangkan al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. nama lengkapnya Isma’il Ibn Mas’adah Ibn Isma’il Ibn
Imam Abubakar Ahmad Ibn Ibrahim al-Ismailiy al-Jurjainiy. Beliau adalah seorang Alim yang sangat
cerdas dan mahir dalam syair maupun prosa. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi
Zaman., h.34. 12
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h.34) 13
Nama lengkapnya adalah Abu al-Ma’ali Abd al-Mulk ibn Abdillah ibn Yusuf al-Juwainiy
an-Nasaiburi. Namun bisanya dipanggil al-Juwainiy. Al-Juwainiy merupakan sebuah nama warisan
30
beliaulah al-Ghazali mempelajari bermacam-macam bidang ilmu yang kelak akan
dijadikan Imam besar dengan segala pengetahuannya diantaranya ilmu-ilmu yang
dipelajari al-Ghazali adalah ushul fiqih, fiqih, kalam dan lain-lain. Bahkan buah dari
kesungguhannya mencari ilmu, al-Ghazali mampu menguasai berbagai macam
bidang ilmu, berdebat, ilmu Ushuluddin, dan sebagainnya.14
Adapun mengenai bidang filsafat, ada perbedaan pendapat tentang apakah al-
Ghazali mempelajari ilmu tersebut kepada al-Juwaini atau belajar aotodidak. Sebab
ada sebuah pengakuan al-Ghazali yang mengatakan bahwa ; ‘’aku segera
mengonsentrasikan diri untuk belajar filsafat. Aku kaji kitab-kitab mereka, meski
tanpa bantuan seorang guru. Aku lakukan itu disaat-saat senggang dari belajar dan
menulis, Waktu itu aku masih bertugas memberi kuliah pada sekitar tiga ratus
mahasiswa di Baghdad.
Dan alhamdulillah berkat taufiq Allah, dalam waktu kurang dari dua tahun
aku telah faham Seluk beluk falsafah. . .’’ pengakuan ini tercantum dalam
autobiografi intelektualnya ( al-Munqiz min al-Dalal ).15
Terlepas dari perbedaan
pendapat apakah al-Ghazali belajar filsafat dibawah bimbingan al-Juwaini atau tidak,
hal tersebut tidak bertentangan dengan pengakuan al-Ghazali di dalam al-Munqiz,
sebab sesuatu yang pasti adalah apa yang dilakukan oleh al-Ghazali di Baghdad untuk
yang dinisbatkan kepada ayahnya yang lahir di dusun Juwain. Yaitu salah satu bagian dari kota
Nasaibur, Al-Juwainiy mendapat gelar Imam al-Haramain yang artinya Imam dua tanah haram
(Makkah dan Madinah), ia lahir pada tanggal 18 Muharam 418 H. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali
Sang Ensiklopedi Zaman, h.36. 14
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.38. 15
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h39.
31
memperdalam pengetahuannya mengenai filsafat. Ketertarikannya dalam hal ini tidak
lain untuk membantah argumen-argumen para filosof yang dianggapnya tidak sesuai
dengan dalil-dalil al-Qur’an. Dari berbagai keritikan al-Ghazali terhadap filsafat
maka lahirlah sebuah karya dengan judul Tahafut al-Falasifah. Satu hal lagi yang
tidak dapat dinafikan dari imam al-Ghazali ialah bahwa pemikiran-pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh al-Juwaini.16
Imam Haramain al-Juwaini wafat pada tanggal 25 rabi’ al-Tsani 478 H ketika
berusia 59 tahun. Takdir memisahkan beliau dengan al-Ghazali, hingga al-Ghazali
memutuskan untuk pergi meninggalkan Naisabur beliau pergi ke daerah Mu’askar
dan menghadiri majelis Al –Wazir Nizam al-Mulk. Daerah yang didatangi oleh al-
Ghazali ini pada dasarnya adalah sebuah komplek perumahan para pejabat
pemerintah yang letaknya tidak jauh dari Nausabur.17
Salah satu pejabat yang tinggal
di daerah ini adalah Wazir Nizam al-Mulk.18
Yaitu seseorang yang masyhur
kecintaanya terhadap ilmu dan ulama. Al-Ghazali mendapatkan sambutan hangat dari
para ulama maupun pejabat karena pandangan-pandangannya yang cemerlang. Tidak
jarang ketika majelis majelis Nizam al-Mulk mengadakan perkumpulan para ulama
dan membahas tema-tema keilmuan, maka al-Ghazali selalu hadir dalam argumentasi
16
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zama., h.39. 17
Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Siyar A’lamu Nubala menyebut komplek
ini dengan istilah al-Mukim al-Shultani (kemah para pejabat). Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang
Ensiklopedi Zaman, h.41. 18
Nama aslinya adalah Abu Ali Hasan Ibn Ishaq at-Thusi, lahir di Nauqan, Thuspada 408 H.
Sedangkan Nizam al-Mulk adalah sebuah gelar penghormatan yang diberikan oleh Bani Saljuk.
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedsi Zaman, h.42.
32
dan bukti-bukti yang sulit ditangkis.19
Disamping itu pandangan-pandangan yang dipresentasikan beliaupun sesuai
dengan pandangan-pandangan para ulama, yang hadir pada saat itu. Dengan demikian
hal ini menarik para pecinta ilmu untuk mengenal lebih jauh mengenai al-Ghazali.
Maka mencuatlah nama al-Ghazali dikalangan para cendikian dan diseantero daerah
yang ditinggalinya. Demikian Mu’askar dan para ulamanya menjadi saksi terbitnya
bintang gemilang di ufuk intelektual islam. Wazir Nizam al-Mulk meminta al-Ghazali
untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah Baghdad. Pada bulan jumad al-Awal tahun
484 H ia dilantik sebagai pengampu madrasah tersebut. Diusianya yang masih
terbilang muda yaitu 34 tahun, ia sudah mendapat gelar Syeikh al-Islam atau guru
besar, yang artinya sebuah pangkat tertinggi dari segi akademik dan keagamaan yang
resmi.20
Selama kurang lebih enam tahun tinggal di al-Mu’askar dan akhirnya pergi ke
Baghad. Namanya kian besar dan kedudukannya semakin tinggi. Banyak orang
berbondong-bondong jdatang ke Baghdad untuk mengikuti kajiannya. Sekitar 300
murid selalu mengikuti kajiannya, baik dari kalangan santri biasa maupun para ulama.
Disela-sela kesibukannya mengajar ia menyempatkan menulis buku dari berbagai
macam bidang keilmuan. Sekitar 20 buku dapat ia selesaikan dari sisa waktu
mengejarnya. Di samping itu iapun tidak pernah lupa untuk terus menggali
kemampuannya dengan menyisihkan kesempatan belajar dan menambah pundi-pundi
19
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h..45. 20
Mahbub Djmaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 47.
33
ilmu secara autodidak.
Banyak buku-buku falsafah yang ia baca, diantaranya karangan ibn sina (370-
428 H) yang berjudul as-Syifa. Selain itu al-Ghazali juga membaca dan menganalisa
pemikiran-pemikiran al-Farabi (261-339 H). Selama hampir dua tahun beliau terus
membaca buku-buku falsafah, kemudian al-Ghazali mencoba memahami dan
mempelajari maksud dari falsafah selama kurang lebih satu tahun.21
Demikian luas lautan ilmu yang diarungi oleh imam al-Ghazali. Semakin ia
menggali pengetahuannya akan ilmu yang belum diketahuinya. Namun hal ini
minumbulkan sederajat pertanyaan yang menghinggapi pikiran dan jiwanya, ia akan
menjadi skiptis apa yang sudah ia ketahui. Dari sinilah awal keraguan-keraguan al-
Ghazali terhadap argumen-argumen berbagai bidang ilmu yang selama ini di
dapatnya, menurut sejarahwan al-Ghazali menggalami dua kali konflik batin yang
pertama adalah skeptisnya terhadap semua bidang ilmu yang dipelajarinya, dan yang
kedua ialah konflik batin antara panggilan akhirat dan jeratan duniawi.22
Pada bulan Dzu al-Hijjah 488 H al-Ghazali meninggalkan Baghdad. Ia
menggenakan paiakan layaknya seseorang yang akan pergi haji, agar semua ulama
maupun masyarakat tidak curiga dengan kepergiannya yang tidak akan kembali. Al-
Ghazali bermaksud untuk mencari pengetahuan dzauq. Ia melakukan riyadah-riyadah
sufistik, mengasingkan diri ( Uzlah ) dari hiruk-pikuk urusan dunia, menyepi untuk
21
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.47. 22
Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.70.
34
beribadah (khalwat), dan menempa jiwa (mujahadah).23
Awal tahun 489 H al-Ghazali tiba di Damaskus dan memutuskan untuk
menziarahi tempat-tempat suci, pada tahun tersebutlah ia sampai di Baitul Maqdis (
Palestina ). Selama di Baitul Maqdis al-Ghazali tinggal di menara masjid dengan
selalu menguncinya dari dalam. Dirinya selalu disibukan dengan Berdzikir, ibadah
sunah, munajat, dan tafakur. Namun walaupun kondisi demikian, ia tetap tidak
meninggalkan keahliannya dalam menulis. Maka di dalam menara tesebut lahirlah
sebuah kitab yang ia beri judul al-Risalah al-Qudsiyyah yang dipersembahkan untuk
masyarakat Quds.24
Selang beberapa waktu al-Ghazali tinggal di Quds, ia kembali melakukan
perjalanan ke kota khalil (Hebron) yang bermaksud menziarahi makam Khalilullah,
Nabi Ibrahim Alaihi as-Salam. Selanjutnya banyak perbedaan pendapat dari
sejarawan mengenai kemana al-Ghazali pergi selepas menziarahi makam Nabi
Ibrahim As, namun mengambil riwayat yang lebih shahih mengenai hal ini ialah al-
Ghazali pergi ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji, yaitu pada bulan Dzu al-
Qo’dah dan Dzu-Hijjah masih ditahun 489 H. Selain itu juga al-Ghazali pergi
mengunjungi makam Rasulullah SAW. Di Madinah,25
Selepas keperluannya selesai di Mekkah dan di Madinah, al-Ghazali kembali
lagi ke Damaskus dan tinggal dimenara yang sebelumnya ia tempati. Yakni menara
23
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.71-72. 24
Kitab al-Risalah al-Qudsiyah dijadikan sebagian bagian dari kitab Ihya Ulum al-Din, yang
terletak pada bagian pembahasan Ibadah. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman.,
h.72. 25
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.74.
35
Masjid Jami al-Umawa tepatnya disebelah sisi menara sebelah barat. Aktivitas yang
ia lakukan di dalam menara tidak berbeda dengan pertama kali ia menempati menara
tersebut, yakni beri’tikaf dan menulis kitab Ihya Ulum al-Din. Dan pada saat itu sela-
sela waktunya al-Ghazalipun masih dapat bersahabat dan berguru kepada Syeikh Abu
al-Fath Nashr ibn Ibrahim.26
Tahun 490 H al-Ghazali menyudahi uzlahnya, setelah hampir dua tahun ia
melakukan perjalanan ruhaniah. Al-Ghazali meninggalkan Damaskus dan tinggal
sementara di kota Baghdad, al-Ghazali sempat menyebarkan kitab Ihya Ulum al-Din
yang telah selesai ia tuliskan di Damaskus. Setelah dari Baghdad kemudian langsung
pulang ke kota kelahirannya yaitu Thus untuk menemui keluarganya. Walaupun al-
Ghazali tidak lagi ber’uzlah dan tinggal dimenara yang sepi, beliau tetap menjaga
riyadah-riyadah kesufiannya, senantiasa berkhalwat dan bermujahadah, agar
kejernihan hatinya tetap terjaga.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya, al-Ghazali
tidak lagi menerima gaji dari pemerintah sesuai nadzar beliau ketika di makam Nabi
Ibrahim As. Ia bekerja sendiri dengan menjadi juru salin naskah, dimana pekerjaan
ini sudah ia tekuni selama ia ber’uzlah di Dmaskus.27
Adapun pada bulan Dzu al-Qo’dah tahun 499 H keadaan al-Ghazali berbeda,
ia meninggalkan pekerjaan dan khalwatnya karena mendapat tawaran kembali
mengajar di Madrasah Maimunah Nizamiah. Pada saat itu wazir provinsi Khurasan
26
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.75. 27
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.81-83.
36
bernama Fakhrul Mulk ‘Ali ibn Nizam al-Mulk datang langsung ke kota Thus untuk
meminta al-Ghazali meninggalkan Khalwatnya. Walaupun berat, namun dengan
pertimbangan yang matang akhirnya al-Ghazali bersedia kembali mengajar, ia
meniatkan seluruh pengabdiannya mengajar semata-mata sebagai petunjuk jalan bagi
para penuntut ilmu, dan memberi manfa’at kepada mereka. Selain itu tujuan beliau
mendakwahkan kebenaran illahi yang di dapatnya selama ber’uzlah. Maka demikian
alasan al-Ghazali kembali ke Madrasah 11 tahun28
menyibukan diri dengan riyadah-
riyadah ruhani dan menyendiri.29
Selang beberapa tahun al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya.30
Ia
menyudahi pengabdiannya serta penyebaran ide-ide pembaharuannya di Baghdad.
Kemudian memilih mendirikan pesantren di kota Thus. Beliau mengajarkan
pengalaman-pengalaman sufistik kepada santri-santrinya, yang pada saat itu
berjumlah 150 orang. Tidak ada kesibukan lain yang dilakukan oleh al-Ghazali
kecuali menempa Madrasah. Hari-harinya ia fokuskan untuk mengamalkan ilmu yang
telah ia dapat sampai dihari-hari menjelang ia wafat.31
Sang Ensiklopedi zaman ini akhirnya menutup usianya pada hari senin
tanggal 14 jumadil al-Akhir 505 H, bertepatan dengan 18 Desember 1111 M,
28
Dalam hitungan Qomariyah al-Ghazali genap beruia sebelas tahun berkholwat pada bulan
Dzul al-Qa’dah tahun 499 H. Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.91. 29
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.92 30
Tidak diketahui secara pasti mengenai tahun berapa al-Ghazali kembali ke Thus, hanya saja
mengingat sejarah datangnya surat dari wazir di Baghdad pada tahun 504 H, menandakan pada tahun
itu al-Ghazali sudah tinggal lagi di Thus. Sebab isi yang disampaikan dalam surat tersebut adalah
meminta al-Ghazali kembali mengajar di Baghdad. Mahbub Djamaludin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi
Zaman., h. 92. 31
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.99.
37
Jenazahnya dimakamkan di kotanya sendiri yaitu Thus, tepatnya di Thabaran.32
C. Kondisi Sosial Politik dan Pemikiran Keagamaan
Pemikiran al-Ghazali tidak akan muncul dari sebuah ruang yang kosong,
tetapi memiliki setting waktu dan sosial historis. Maka dari itu seluruh perjalanan
intelektualnya dari waktu-kewaktu harus dibahas, agar pemahaman terhadap pola
pikir beliau lebih proposional dan tidak persial.33
Dari sisi Politik , peradaban islam kala itu dibagi menjadi tiga kekhalifahan;
Di Andalus terdiri kekhalifahan Umawiyah, di Baghdad berdiri kekhalifahan
Abbasiyah, dan di Afrika berdiri kekhalifahan dengan nama Fatimiyah. Namun dari
masing-masing kekhalifahan ini runtuh dari berbagai masalah yang mereka alami,
baik yang sifatnya intern maupun ekstern.
Misalnya kekhalifahan Umawiyah di Andalus yang sudah berdiri selama
hampir 3 abad akhirnya runtuh pada tahun 427 H. Keruntuhan ini terjadi akibat
persaingan antara raja-raja kecil (Mulk al-tawa’if) yang saling menjatuhkan demi
kekuasaan. Namun kekuasaan ini dapat disatukan kembali dalam satu kepemimpinan
oleh Yusuf ibn Tasyfin pada tahun 484 H. Sedangkan kehancuran kekhalifahan
fatimiyah diawali dengan lepasnya beberapa daerah kekuasaan, yang pada masa itu
dipimpin oleh Mustanshir Billah pada tahun 428-487 H. Selain itu faktor kehancuran
kekhalifahan ini juga dipicu oleh tingginya angka kelaparan pada tahun 459-464 H.
Kekhalifahan Fatimiyah semakin buruk setalah wafatnya Mustanshir pada tahun 487
32
Al-Ghazali,Mukhtashar Ihya Ulum al-Din., h. 9. 33
Yusuf al-Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h.5.
38
H. Hal ini karena perpecahan intern yang dilakukan oleh kedua putra mahkota yang
saling berbuat kekuasaan.34
Adapun kehancuran Abbasiyah tidak jauh berbeda dari kedua kekhalifahan di
atas. Ketika al-Ghazali lahir, kekuasaan Abbasiyah sudah dipimpin oleh bani saljuk
yang bermazhab sunni. Tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir bani saljuk ini berhasil
menggulingkan sultan buwaihiyah yang pada saat itu menganut faham Syi’ah,
tepatnya pada tahun 447 H. Karena faham penguasanya inilah semua kebijakan dalam
pemerintahpun dikaitkan dengan syi’ah, sehingga ilmu pengetahuan pada masa itu
menggalami kemajuan yang sangat pesat. Alhasil berkat kemajuan ini lahirlah
pemikiran-pemikiran besar islam dari kalangan syi’ah dan mu’tazilah, seperti al-
Farabi, ibn Sina, ibn Maskaweh, dan kelompok kajian ikhwan as-Shafa.35
Faham syi’ah begitu melekat pada warna kekhalifahan Abbasiyah, sehingga
setelah bani Buwaihiyyah berkuasa selama satu tahun, dinasti saljuk sangat gencar
dan besar-besaran menanamkan pondasi sunni dalam kekuasaannya, khususnya
syafi’iyah. Namun usaha dinasti saljuk ini mendapatkan tantangan berat dari kalangan
Syi’ah Isma’iliyah Nizariyah di bawah pimpinan Hasan ash-Sabah merupakan
seseorang propagandis ulung yang banyak melakukan segala cara untuk
menghancurkan bani saljuk, untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat laskar berani
mati (fada’ iyyun), melakukan propoganda keagamaan melalui dakwah batiniyah,
ataupun melakukan pemberontakan dengan mengundang keresahan masyrakat,
34
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18. 35
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18.
39
seperti pembunuhan, perampokan dan teror, bahkan benteng pertahanan Hasan ash-
Sabah di Alamut baru bisa dihancurkan oleh militer tetar ( Khulagu Khan ) pada 654
H.36
Kondisi Chaos ini semakin parah dengan munculnya permasalahan intern
setelah wafat Maliksyah dan Nizam al-Mulk pada tahun 485 H. Perebutan kekuasaan
antara pewaris tahta mengakibatkan mereka saling bunuh satu sama lain, bahkan
mereka memanfa’atkan kelompok Syi’ah Nizariyah untuk menghabisi lawan politik
mereka masing-masing. Hal ini melalaikan kesejahteraan warga dimana perhatian
mereka hanya terfokus pada permasalahan dalam kekhalifahan, bukan pada
masyarakat. Intrik-intrik dan fitnah sangat merajalela pada masa itu.37
Persoalan
politik yang terjadi selanjutnya menyentuh akar keagamaan dimana umat islam
terpecah menjadi beberapa golongan mazhab fiqih dan teologi. Bahkan para tokohnya
dengan sadar menamkan fanatisme golongan kepada umat. Jauh sebelum abad ke-5
telah terjadi perang antara mu’tazilah dan Ahl al-Sunah wa al-jama’ah yang banyak
menghilangkan tokoh-tokoh besar. Misalnya wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
dalam tragedi mihnah dan banyak lagi kejadian lainnya.38
Selanjutnya pada abad ke-5 kembali terjadi pengusiran terhadap pembela
Asy’ariyah yakni Abu al-Ma’ali al-Juwaini dikota naisabur. Namun ketika Abbasiyah
kembali dipegang oleh golongan Asy’ariyah, al-Juwaini kembali dipanggil,bahkan
diberikan posisi penting di Madrasah an-Nizamiyah Naisabur. Ketika golongan Asy-
36
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.18-19. 37
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 20. 38
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 20-21.
40
ariyah memimpin Abbasyiah, syarat untuk menjadi pemimpin atau Greand Syakh
Madrasah Nizamiyah harus bermazhab Sunni Syafi’i. Pada tahun 447 H terjadi
pertikaian di Baghdad yang banyak memakan korban jiwa. Hal tersebut dilatar
belakangi oleh perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’iyah dan hanbaliah tentang
membaca keras ”Bismillah” dalam sholat. Selanjutnya pada tahun 469dan 470 H
pertikaian ini kembali terulang, bahkan terulang kembali pada tahun 495 H. Peristiwa
demi peristiwa yang terjadi telah menandakan bahwa pertarungan antar aliran
pemikiran sudah semakin kuat hingga terseret keranah politik, dimana bila suatu
sipatisan memegang tampuk kekuasaan, maka golongan lawan akan banyak yang
disingkirkan dengan berbagai cara.39
Namun kondisi Chaos ini membawa perkembangan yang sangat pesat pada
bidang intelektual. Seabab para penguasa kala itu mensubsidi lembaga-lembaga
pendidikan dengan kas negara (wakaf kaum muslimin). Para pelajar yang masuk
untuk menuntut ilmu tidak dipungut biaya sedikitpun, bahkan mereka mendapat biaya
hidup dan tempat tinggal. Selain itu, para ulama yang mengampu madarasah-
madarasah tersebut juga mendapat fasilitas yang mewah. Dari banyaknya dororangan
pemerintah ini membuat para pelajar sangat gencar belajar, menghadiri majelis-
mejelis munazarah, mengarang buku dan lain-lain.40
Implikasi dari hal ini membawa para pelajar cinta terhadap dunia bukan
akhirat. Mereka berambisi pada kedudukan dipemerintaha, baik menjadi pengajar,
39
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.19-21. 40
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 21.
41
pengampu madrasah, maupun hakim (muftil/qadi) dan sebagainya. Kedudukan
duniawi menjadi incaran mereka setelah jadi sarjana, akibatnya madrasah mencetak
para alim (cendikiawan), para fuqaha, dan para ahli ilmu yang kosong secara spritual.
Para alim ini selanjutnya bersaing dan bertarung demi kedudukan tersebut, satu sama
lain saling menyingkirkan dengan berbagai cara. Al-Ghazali menyebutkan ulama ini
dengan ulama as-su ‘’Ulama duniawi’’ yaitu para alim yang berahlak buruk.41
Adapun ilmu tasawuf pada saat itu sangat pasif setelah al-Hallaj dieksekusi
diatas tiang kayu palang.42
Banyak para sufi yang menarik piri dari kehidupan
duniawi, dengan hidup mengembara, bahkan mereka menghindari debat-debat
keilmuan. Nereka tidak semangat dalam mempelajari ilmu atau membelah buku-buku
para pengarang, tidak juga mengkaji pendapat atau dalil-dalil. Sikap para sufi yang
seperti ini menjadi bahan olok-olokan para ahli kalam, ahli falsafah, dan ahli fiqih,
sikap para sufi yang ekstrim ini banyak membuat kalangan awam yang kurang
terpelajar salah paham terhadap tasawuf. Mereka mengklaim diri mereka sebagai
penempuh jalan ruhani (sufi), akan tetapi prilakunya jauh dari tasawuf. Akibatnya
muncul aliran sufi baru yang dinamakan sufi ibahiyyah yang mengklaim bahwa
aturan-aturan keagamaan hanyalah untuk orang-orang awam saja. Aliran ini
membolehkan pengikutnya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan
haram secara syar’i.43
41
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 22. 42
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983),
h.199. 43
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 23.
42
Situasi ini banyak membingungkan masyarakat awam, sehingga ini
menjadikan kesempatan baik bagi syi’ah Isma’iliyah Nazariyah yang merupakan
kelompok oposisi Abbasiyah. Di bawah pimpinan Hasan al-Sabah, mereka gencar
mengirimkan para penda’i untuk mempropoganda aliran Batiniyyah. Dengan
disebarnya da’i yang mahir debat, secara sembunyi-sembunyi merekamengungkit-
ungkit perbedaan mazhab dan aliran pemikiran, lalu mereka menawarkan imam yang
ma’sum (dijamin oleh Allah terbatas dari kekeliruan) untuk dijadikan teladan hidup.
Gerakan ini bertujuan untuk berkerut kaum awam agar mengikuti mazhab mereka.
Dan hasilnya banyak diantara mereka yang masuk dalam mazhab ini tanpa tahu lebih
dalam apa sebenarnya tujuan politis Syi’ah Isma’iliyah Nazariyyah.44
Namun justru ketika panasnya persaingan aliran pemikiran banyak
bemunculan tokoh-tokoh besar yang ikut andil dalam perkembangan intelektual.
Masing-masing tokoh ahli beberapa bidang ilmu seperti kalam, filsafat, tasawuf, fiqih
dan lain-lain. Di antara al-Baghawi (433-516), al-Raghib al-Isfahani (w.502H./1108
M), Ali ibn Utsman al-Jullabi al-Hujwiri yang wafat pada tahun 465 H. Selanjutnya
ada imam al-Zamakhsyari (467-538 H), Abu ishaq as-Syirizi (393-476 H), Abu al-
Ma’ali al-Juwaini (w. 477 H), Umar Khayyam (433-517 H), Abul Wafa Ali ibn Aqil
(432-513 H), Abu Khithab al-Kalwadzani al-Baghdadi (432-510 H), Syeikh Abdul
Qodir al-Jailani (w. 521 H), dan diantara daftar nama-nama tokoh besar tersebut
tentulah tercatat nama Abu Hamid al-Ghazali sang mujaddid abad ke-5 yang menjadi
44
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24.
43
pembahasan dalam skripsi ini.45
Dari sekian banyak kemajuan intelektualisme pada saat itu, maka al-Ghazali
mengategorikan hal tersebut menjadi empat aliran pemikiran keagamaan, yaitu
Mutakalimin, Filosof, Batini46
dan Sufi, Keempat sisitem pehaman inilah yang
mewarnai pemikiran umat Islam pada masa al-Ghazali. Demikian abad ke-5 yang
diliputi oleh kebingungan-kebingunan manusia dengan simpan-siurnya dunia
intelektual dan spritual.47
D. Guru dan Pembimbing
Selama proses mencari ilmu banyak Guru yang membimbing dan menjadi
panutan al-Ghazali. Mereka telah berhasil membentuk al-Ghazali menjadi ulama
yang masyhur dan terkemuka. Diantara guru yang paling dikenal adalah sebagai
berikut ;
1. Ahmad bin Muhammad al-Razikani; Guru al-Ghazali ketika masih
kecil di kota Thus
2. Abu Qasim al-Isma’ili; Guru saat belajar di kota jurjan
3. Abu al-Ma’aly Imam Haromain; Guru saat belajar di kota Naisabur
4. Yusuf al-Sajaj; Guru saat belajar di kota Thus
45
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24-25. 46
Batiniyah bukan hanya aliran dalam keagamaan, akan tetapi ini juga merupakan gerakan
politik. Aliran ini adalah aliran ta’limat dan batiniyat. Batiniyat digunakan sebagai nama golongan
yang mempunyai paham bahwa setiap ayat yang zahir mempunyai arti batin. Sedangkan maksud
ta’limiyat adalah pengajaran dari seorang imam kepada orang lain dengan maksud untuk memahami
arti batin. Aliran-aliran yang masuk dalam katagori batiniyat diantaranya Qaramitat, Ta’limiyat dan
lain-lain. Aliran-aliran ini termasuk Syi’ah Isma’iliyat.Fadjar Noegraha Syamhoedi, Tasawuf
Kehidupan al-Ghazali: Refleki Pertualangan Intelektual dari teolog, Filosof hingga Sufi., h.7 47
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 24.
44
5. Imam Muhammad al-Farimidy
6. Abu Sahl al-Hafsyi
7. Abu al-Fath al-Hakimi
8. Abdullah bin Muhammad al-Khawari
9. Muhammad bin Yahya as-Suja’i
10. Al-Hafiz Umar al-Dahistani
11. Nasahr bin Ibrahim al-Maqdisi48
E. Karya-karya aL-Ghazali
Al-Syafi’iyyah karya Muhammad bin Abdullah al-Husaini al-Wasiti (w. 776 )
menyebutkan bahwa karya yang ditulis oleh al-Ghazali mencapai 98 judul.
Sedangkan al-Subki di dalam Tabaqat al-Syafi’iyyah menyebutkan sebanyak 58
karangan. Adapun Kubra Zadeh di dalam Miftah Al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah
menyebutkan karya al-Ghazali sebanyak 80 buah. Lain halnya dengan Dr.
Abdurrahman Bdawi yang menyebutkan lebih banyak jumlahnya karya yang di
karang oleh imam al-Ghazali. Hal ini tercantum dalam bukunya Mu’allafat al-
Ghazali, mencatat sebanyak 457 buah.49
Perbedaan ini memang sangat di maklumi mengingat karya yang banyak
dinisbatkan kepada al-Ghazali. Disisi lain ada juga naskah atau risalah, surat-surat,
dan fatwa-fatwa al-Ghazaliyang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para
sejarahwan, sebab hal-hal tersebut termasuk kedalam karyanya atau tidak. Demikian
48
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah.. h. 23. 49
Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulum al-Din. Terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan, 1997).
h.10.
45
halnya dengan kitab-kitab kecil yang diterbitkan secara mandiri walaupun kitab
tersebut merupakan bagian dari kitab induk. Inipun menemui perbedaan pendapat
dikalangan para sejarahwan.50
Terlepas dari pendapat mana yang benar, tulisan ini hanya akan menyebutkan
beberapa karya yang sudah jelas ditulis oleh al-Ghazali Ihya Ulum al-Din
1. Tahafut al-Falasifah
2. Al-Iqtisad fi al-Itiqad
3. Al-Munqiz min al-dalal
4. Jawahir Al-Qur’an
5. Mizan al-Amal
6. Misykah al-Anwar
7. Bidayah al-Hidayah
8. Minhaj al-Abidin
9. Al-Arba’in fi Ushul al-Din dan lain-lain51
Karya-karya yag disebutkan diatas hanya sebagian kecil dari sebagian karya
yang ia tulis. Bahkan dalam kutipan An-Nawawi dalam kitab al-Busta, gurunya
(Syeikh al-Taghlisi) pernah bercerita bahwasannya ada sebagian ulama yang telah
membandingan jumlah kitab-kitab karya al-Ghazali dengan jumlah usia hidupnya. Ia
menemukan keterangan bahwa setiap harinya al-Ghazali menulis 16 halaman. Jika
dikalikan dalam setahun yaitu 365 hari, maka al-Ghazali telah menulis 23.360
50
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 136. 51
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Indonesia: al-Haramai, 1957), h. 22-23, jilid. 1.
46
halaman. Karena usia al-Ghazali mencapai 55 tahun, jadi jumlah tulisan yang telah ia
karang mencapai 1.284.800 halaman.52
Karya-karya al-Ghazali mencakup berbagai bidang ilmu, mulai dari kalam,
falsafah, fiqih, ushul fiqih, tasawuf, ahklak, ilmu berdebat dan sebagainya. Berikut
fase dimana al-Ghazali menulis semua karya-karyanya tersebut
Fase pertama; sekitar tahun 465-478 pada usia 15-28 tahun al-Ghazali menulis
dua kitab Ta’liqat fi furu al-Mazhab dan kitab al-Mankhul fi ilmi al-Ushul. Fase
kedua; sekitar tahun 478-488 H di usia 28-38 tahun telah menulis lebih dari dua puluh
kitab. Fase ketiga; dimana fase ini merupakan fase ketika al-Ghazali melakukan
pengambaran atau berkholwat. Fase ini usai al-Ghazali sekitar 38-49 yaitu pada tahun
488-499 H. Dalam fase ketiga ini al-Ghazali menulis lebih dari dua puluh lima kitab.
Karya yang paling monumental juga ditulis dalam fase ini yakni kitab Ihya Ulum al-
Din.
Memasuki fase keempat yaitu fase dimana al-Ghazali mengajar kembali di
Madrasah Nizamiyah. Sekitar tahun 499-503 H di usianya yang mencapai 49-53
tahun ia tidak berhenti menulis dalam melahirkan beberapa kitab. Selanjutnya adalah
fase terakhir yaitu menjelang wafatnya sekitar usia 53-55 tahun. Diusianya yang
cukup matang ia menulis tiga buah buku yang pada saat itu terjadi di tahun 503-505
H.53
52
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h.135. 53
Mahbub Djamaludin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman., h. 139139.
47
BAB IV
KEBAHAGIAAN MENURUT AL-GHAZALI
A. Hakikat Kebahagiaan
Menurut al-Ghazali bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa dicapai
dengan perubahan kimiawi di dalam diri seorang manusia dan bukan perubahan
fisikawi. Perubahan kimiawi yang dimaksud al-Ghazali adalah perubahan yang
tidak berupa fisik, bukan perubahan dalam arti perubahan jasad wadeg, akan tetapi
perubahan yang bersifat non fisik, non materi, perubahan jiwa, batin, pikiran dan
perasaan, yang dapat menghantarkan seseorang menggapai kebahagiaan sejati,
jadi maksud dari “Kimia kebahagiaan” adalah sebuah konsep untuk yang
menghantarkan transformasi ruhani seseorang agar dapat menggapai kebahagiaan
hakiki.1
Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Ruh itu mulanya ditempat yang suci
(Lauhil Mahfud). Ruh sangat bangga di alam (Lauhil Mahfud) tapi ketika ruh
memperoleh kebahagiaan jasad, maka ruh menjadi tersiksa. Bagi ruh akan bahagia
jika menjadi jiwanya tidak terbelengu oleh hal-hal yang sifatnya materi.
Tidak mudah untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan bisa diraih
ketika kita telah memahami empat teori dasar. Pertama pengetahuan tentang diri.
Kedua, meranjak satu tingkat dari pengetahuan tentang diri, yakni pengetahuan
tentang Tuhan. Ketiga, setelah keduanya dikuasai maka meningkat pengetahuan
1Ali Mursyid, Kebahagiaan Transfortasi Hakiki: Kajian Kitab Sa’adah karya al-Ghazali,
diambil, pada tanggal 8 Juli 2019, dari https://iiq.ac.id/index.php?=artikel&d=2&id=106
48
tentang dunia ini. Keempat, pengetahuan yang terakhir yang harus dikuasai adalah
pengetahuan tentang akhirat. 2
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai
dengan hadis: “Dia yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan,”
dan sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an:
“Akan kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia dan di dalam diri mereka, agar
kebenaran tampak bagi mereka” (QS Al-A’raf [ 7 ]: 174).
Tidak ada yang lebih dekat kepada Anda, kecuali diri Anda sendiri,
bagaimana Anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain? Jika Anda berkata,
“Saya mengetahui diri saya” yang berarti bentuk luar Anda: badan, wajah, dan
anggota-anggota yang badan lainnya pengetahuan seperti itu tidak akan pernah
bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika
pengetahuan Anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar Anda makan, dan kalau
marah Anda menyerang seseorang; akankah Anda dapatkan kemajuan-kemajuan
lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan
Anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang
hal-hal berikut ini; Siapakah Anda, dan dari mana Anda datang? Ke mana Anda
pergi, apa tujuan Anda datang lalu tinggal sejenak disini, serta dimanakah
kebahagiaan Anda dan dan kesedihan Anda yang sebenarnya berada? Sebagian
2Al-Ghazali, Metode Mengapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, terj. Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 2014), h.9-10.
49
sifat Anda adalah sifat-sifat setan, dan selebihnya sifat-sifat malaikat.mesti Anda
temukan, mana diantara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial (
pokok ). Sebelum Anda ketahui hal ini, tak akan bisa Anda temukan letak
kebahagiaan Anda yang sebenarnya.3
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari
bahwa Anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam
yang disebut hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan “hati” bukanlah
sepotong daging yang terletak dibagian kiri badan, melainkan sesuatu yang
menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya. Pengetahuan
tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan
tentang Tuhan.
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan
tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan dengan suatu kerajaan,
jiwa ( ruh ) sebagai rajanya, serta berbagai indra dan fakultas lain sebagai
tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai
pemunggut pajak, dan amarah sebagai petugas polisi, keduanya harus
ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau di ungguli, menginggat
mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhunya, tapi jika nafsu
dan amarah menguasai nalar, maka tak bisa tidak keruntuhan jiwa pasti terjadi.
Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang
3Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, terj. Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 2014), h. 9-10.
50
lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasan
seekor anjing, atau seorang Muslim kepada tirani seorang kafir.4
Manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan, dan
malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan
esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanya aksidental
dan peralihan belaka?” atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi setiap
mahluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan baginya.
. Demikian pula halnya dengan manusia. Fakultas tertinggi di dalamnya
adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan, jika fakultas ini
dominan dalam dirinya, maka ketika mati ia tinggalkan di belakangnya segenap
kecenderungan pada nafsu dan amarah, sehingga bermungkinkannya berkawan
dengan para malaikat. Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia
kalah dibandingkan banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih ungul daripada
mereka, sebagaimana tertulis di dalam Al-Qur’an:
“Telah kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia” (QS Al-
Jatsiyah [45]: 13).
Tetapi jika kecenderungan-kecenderungan yang lebih rendah yang
menang, maka setelah kematiannya, ia akan selamanya menghadap ke bumi dan
mendambakan kesenagan-kesengan duniawi.
4Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 10-14.
51
Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian.
Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya. Ia akan bisa dijelmakan
menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memedai, pikiran siapapun
bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu. kebenaran inilah yang di
isyaraktkan oleh Nabi ketika beliau berkata, “Setiap anak lahir dengan suatu
fitrah ( untuk menjadi Muslim ); orangtuanyalah yang kemudian membuatnya
seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” setiap manusia di dalam kesadarannya,
mendengar pertanyaan: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan menjawab “Ya.”
Tetapi. Ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh
karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberi pantulan-pantulan yang jernih.
Sementara hati para nabi dan wali, meskipun mereka memiliki nafsu seperti kita,
sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya nalar pengetahuan capaian dan intuatif, jiwa manusia bisa
menempati tingkatan paling utama di antara makhluk-makhluk lain, melainkan
juga dengan nalar kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas
kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan.
Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur
jasadnya sendiri, tetapi juga jasad orang-orang lain. Jika mereka ingin agar
seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika ia
inginkan hadirkan seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya. Sesuai dengan
baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal
tersebut disitilahkan sebagai mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda deangan orang
biasa dalam tiga hal:
52
Pertama: Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka
lihat pada saat-saat jaga. Kedua: Kehendak orang lain memengaruhi jasad mereka,
jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa juga mengerakan jasad-jasad di luar
mereka. Ketiga: Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar
bersungguh-sungguh, sampai mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari
orang-orang biasa, melainkan hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui.
Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan
yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun yang
mengetahui sifat sebenarnya seorang nabi. Hal ini tak perlu pula diherankan, sama
halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita dapat melihat kemustahilan
untuk menerangkan keindahan puisi pada seorang yang telinganya kebal terhadap
irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali
buta. Di samping ketidak mampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam
pencapaian kebenaran ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang
dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan
panca indra sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke
dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka aliran-
aliran mesti di hentikan untuk sesaat dengan cara apapun dan sampah yang
dibawanya bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu, dengan kata lain, jika
kita ingin sampai pada kebenaran ruhani yang murni, pada saat itu mesti kita
53
buang, pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses ekesternal yang
sering kali mengeras menjadi prasangka dogmatis.5
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan
memang berkaitan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri
kita senang dengan sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang
memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat
objek-objek yang indah dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam
mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-
soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin
tinggi materi subjek pengetahuan di dapatnya, makin besarlah kesenangannya.
Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan perdana menteri, tetapi
betapa senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga
membukakan soal-soal rahasia baginya.6
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari
kajian atas jasad kita sendiri yang menampakan pada kita kebijaksanaan,
kekuasan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasaan-Nya, Ia bangun kerangka
tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka. Kebijakan-Nya
terungkapkan, di dalam karunia jasad kita serta kemampuan bagian-bagian untuk
saling menyelesaikan, ia memperlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih
dari sekedar orang-orang yang memang mutlak perlu bagi eksitensi seperti hati,
jantung, dan otak tetapi juga yang tidak mutlak perlu seperti tangan, kaki, lidah,
5Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 14-22.
6Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 24.
54
dan mata, kepada semuanya ini telah ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya
rambut.
Dalam bab ini, kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk
memeparkan kebesaran jiwa manusia, seseorang yang mengabaikannya dan
menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak
yang kalah di dunia dan di dunia yang akan mendatang. Kebesaran manusia yang
sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika
tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di
antara segalanya takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin, dan penderitaan,
sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya
baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh, kecuali
dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekedar sesuatu kekacauan
kecil saja di dalam otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya
gila. Sedangkan mengenai kekuatannya, sekedar sengatan tawon saja sudah bisa
menganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, ia sudah akan gelisah
hanya dengan kehilangan satu rupiah. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit
lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit
halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikan dan
memalukan.7
Sebuah hadis Nabi yang terkenal berbunyi: “ Ia yang mengenal dirinya,
mengenal Allah.” Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya,
manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak
7Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 26-29
55
orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti ada tentulah
ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya, ada dua
metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu diantaranya
sedemikian, musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan
karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia
merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagai mana
tertulis di dalam Al-Quran:
“Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?” (QS Maryam [
19 ]: 67).
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia berbuat dari satu tetes air yang tidak
mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini
jelaslah bahwa, ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu
menciptakan seutas rambut sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu baru hanya berupa setetes air
itu jadi, sebagaimana kita lihat pada Bab 1, ia dapati pada wujudnya sendiri
terpantulkan, katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang
Pencipta. Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup
mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka
hasilkan perbaikan apapun yang atas satu bagian saja dari bangun jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian gigi depan dan samping, pada pengunyahan
56
makanan, serta pada bangunan lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan
untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih
baik lagi. Demikian pula seorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jari
yang tidak sama panjang, empat diantaranya dengan tiga persendian dan jempol
yang hanya mempunyai dua – serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan
untuk mencekal, menjinjing, atau memukul, secara terus terang akan mengakui
bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi
dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan apapun.8
Catatan-catatan diatas memungkinkan kita memasuki lebih dalam seruan-
seruan yang melekat di bibir orang-orang Mukmin: “ Subhanallah, Alhamdulillah,
la ilaha illallah, allahu akbar.” Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata
bahwasannya hal itu tidaklah berarti, bahwa allah lebih besar dari penciptaan,
karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya
pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari
lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah
sama sekali melampaui kemampuan kongnitif dan bahwa kita hanya, bisa
membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika
seseorang anak meminta kepada kita untuk menerangankan kesenagan-
kesenangan yang ada di dalam kepemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa
hal itu adalah seperti kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan
alat pemukul dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki suatu
yang sama, kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam kategori kesenangan.
8Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 31-32.
57
Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa kebesaran-Nya, jauh melampaui
kemampuan pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan tentang Allah tidak
sempurna seperti itu sebagaimana yang bisa kita peroleh, bukanlah sekedar suatu
pengetahuan spekukatif belaka, melainkan meski dibarengi dengan penyerahan
dan ibadah. Jika seorang meninggal dunia, ia bebrurusan hanya dengan Allah Swt,
dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali
bergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepaanya. Cinta adalah
benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan di kembangkan oleh
ibadah. Ibadah dan zikir yang terus menerus seperi itu mengisyaratkan suatu
tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah, hal ini
tidak bererti membawa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan
nafsu-nafsu badaniah itu, karena demikian halnya, maka ras manusia akan
musnah. Tetapi, batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaa
pemuasannya. Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya
sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasanapa yang harus dikenakan itu
sebaiknya.
Pertama , ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan,
lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh
keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagian seorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah,
kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada
penulisnya, atau memenag sudah selalu ada. Orang-orang dengan berpikir
semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan
58
sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip ahli fisika dan astronomi
yang kita sebut diatas.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang
sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta
pertanggung jawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka anggap
diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik dari hewan-hewan atau sayur-sayuran,
dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan
akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata pada diri mereka
sendiri, “Allah itu mahabesar dan tidak bergantung pada kita; kita beribadah atau
tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi-Nya, “ Mereka
berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi pereturan pengobatan,
tertentu kemudian berkata, “ Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya engan
dokter itu.” tentunya hal ini tidak berekibat apa-apaterhadap dokter terebut, tetapi
pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana
pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad, begitu
pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan pada
masa datang,. Sesuai dengan kata-kata Al-Qur’an:
“Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah
dengan hati yang bersih” ( QS Al-Syu’ara [26]:89).9
9Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 41-45.
59
Dunia ini adalah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di
tengah perjalannya ke tempat lain ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali
diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalan tersebut. Jelasnya, di sini manusia
dengan mengunakan indra-indra jasmaniahnya, memperoleh sejumlah
pengetahuan tentang karya-karya Allah serta, melalui karya-karya tersebut,
tentang Allah sendiri. Suatu pandangan tentang-Nya akan menentukan
kebahagiaannya. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan
ke alam air dan lampung ini. Indra-indranya masih tinggal bersamanya, dikatakan
bahwa ia berada di “alam ini”. Jika semuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat
esensialnya yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke “alam lain”.
Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya.
Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwa; kedua, perawatan dan
pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana di
tunjukan di atas, alalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke dalam
kecintaan akan segala sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa
dikatakan sebagai sekedar hewan tunggangan jiwa yang musnah, sementara jiwa
terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana orang peziarah, dalam
perjalannya ke Makkah, merawat untanya. Tetapi, jika sang peziarah
menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi untanya, kafilah
pun akan meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir.
Adapun mengenai dunia yang mesti kita garap, kita dapat ia
terkelompokkan dalam tiga bagian, yakni hewan, tetumbuhan, dan barang
tambang. Produk-produk dari ketiganya terus menerus di butuhkan oleh manusia
60
dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar: pekerjaan para penenun,
pembangun, dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu banyak memiliki
banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu, dan tukang besi.
Tidak ada daripadanya yang sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini
menimbulkan bermacam hubungan perdagangan dan sering kali mengakibatkan
kebencian, iri hati, cemburu, dan lain-lain penyakit jiwa. Karenanya timbullah
pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan pemerintahan politik dan sipil srta
ilmu hukum.10
Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan
dunia ini. Pada saat kematiaannya akan seperti seseorang yang memenuhi
perutnya dengan bahan makanan terpilih lezat, kemudian memuntahkannya.
Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak enakannya yang tinggal. Makin
berlimpah harta yang yang telah mereka nikmati taman-taman, budak-budak laki
dan perempuan, emas, perak, dan sebagainya akan makin keraslah mereka rasakan
kepahitan berpisah dari semuanya itu. kepahitan ini akan terasa lebih berat dari
pada kematian, karena jiwa yang telah menjadikan ketamakan sebagai sesuatu
kebiasaan akan tetap menderita di dunia yang akan akibat kepedihan nafsu-nafsu
yang tak terpuasi.
ketiga berbentuk kekecewaan kegagalan untuk mencapai objek
kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia di ciptakan dengan maksuk untuk
mencermini cahaya pengeahuan akan Tuhan. Tetapi jika ia sampai di akhirat
dengan jiwa yang termasuk tebal oleh karat pengumbaran nafsu indrawi, ia akan
10
Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan., h. 51-53.
61
sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan penciptaannya. Kekecewaan bisa
digambarkan dengan cara berikut, misalkan, seseorang sedang melewati sebuah
hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Disana sini, berkelap-kelip di atas
tanah, bertebaran batu-batu bewarna.
B. Metode Mendapatkan Kebahagiaan Menurut al-Ghazali
Menurut al-Ghazali kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan yang
terletak bukan pada fisik, tapi non fisik yakni kebahagiaan yang terletak pada hati
dan jiwa yang bersih. Menurut al-Ghazali, agar hati dan jiwa yang bersih bisa
digapai, maka orang yang ingin bahagia harus menempuh beberapa tahap atau
tingkat. Tahap atau tingkat-tingkatannya terdiri dari beberapa hal yaitu:
a. Tobat
Tobat merupakan satu istilah yang meliputi dua hal penting, yaitu dan ilmu
perbuatan. Ilmu yang berkaitan dengan tobat adalah pengetahuan tentang akibat
bahaya dosa, serta pengetahuan bahwa dosa merupakan tabir yang ada diantara
seseorang dan sesuatu yang ditabirnya. Jika sudah mengetahui hal ini, akan
muncul satu keadaan dalam hati, rasa sakit terhadap rasa takut akan tertinggalnya
segala sesuatu yang ditabirinya. Dan jika menyesalan ini sudah memenuhi hatimu,
ia akan memunculkan keinginan untuk bertobat dan meninggalkan keburukan
yang telah kaulakukkan. Dengan demikian, tobat berarti meninggalkan dosa dan
berniat untuk tidak mengulanginya serta melupakan apa yang telah lalu, para
ulama, para imam, dan para salaf saleh pun bersepakat mengenai kewajiban tobat.
62
Jika kau bertanya, mengapa tobat wajib, padahal tobat merupakan buah
penyesalan di dalam hati, dan bukan perbuatan yang termasuk ikhtiar (pilihan) 11
b. Sabar
Sabar merupakan bangunan yang terdiri atas ilmu, ahwal, dan amal.
Perumpamaannya. Jika ilmu sebatang pohon maka ahwal adalah rantingnya dan
amal merupakan buahnya. Jiksa kau mengetahui bahwa kemaslahatan agama
terletak dalam sabar, kau akan terdorong untuk bersabar, baik alam melakukan
ibadah atau memenuhi kebutuhan hidup. Dalam semua keadaan, setiap
tindakanmu akan didorong menuju satu macam kesabaran sehingga tidak ad satu
pun tindakan yang mengalami batas yang melimpa yang melampaui batas
kepatutan atau kelayakan.
Cara untuk bersabar dalam melakukan ibadah adalah dengan mengetahui
bahwa sesungguhnya sabar yang sebentar akan dibalas dengan kebahagiaan yang
abadi. Kesabaran akan dibalas dengan jika orang yang bersabar itu tidak
menceritakan kesabarannya kepada orang lain dan dan tidak merusaknya dengan
riya.12
c. Fakir
Orang fakir adalah orang yang membutuhkan sesuatu yang tidak
dimilikinya. Semua manusia dianggap fakir karena mereka butuh kepada Allah
untuk kelestarian wujud mereka. Seluruh wujud mereka berasal dari Allah dan
mereka sama sekali tidak memilikinya apa-apa. Hanya Allah sang pemilik. Dia
maha kaya dan maha memiliki segala. Kelompok fakir yang paling tinggi
11
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, ter.Mukhtashar (Jakarta: PT Serambi
Semesta Distribusi, 2017), h.484 12
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin., h.498.
63
kedudukannya adalah orang yang keadaan batinnya tidak berubah, baik ketika ada
harta ataupun saat kehilangannya; baik hartanya sedikit atau pun banyak. Ia tidak
peduli dan tidak menolak kedatangan orang yang minta-minta. Hatinya juga tidak
disibukkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.13
d. Zuhud
Hakikat zuhud adalah membenci sesuatu dan berpaling kepada sesuatu
yang lain. Siapa pun yang meninggalkan kelebihan dunia, memebencinya, dan
menyenangi akhirat, berarti ia adalah orang yang zuhud dari dunia. Tingkatan
zuhud yang paling tinggi adalah ketika kau menjauhi segala sesuatu selain Allah
Swt, termasuk akhirat. Ketahuilah, kehidupan akhirat lebih baik daripada dunia,
dan amal yang muncul dari suatu keadaan adalah ketika seseorang merasakan
kesenangan sempurna terhadap akhirat. Amal seperti itu diraih dengan senantiasa
memelihara hati dan anggota tubuh dari sesuatu yang bisa merusak.14
e. Tawakal
Tawakal adalah bersandarnya hati kepada satu-satunya yang layak
disandari, didasari oleh pengetahuan bahwa tidak ada suatu pun yang keluar dari
pengetahuan dan kekuasaan-Nya, dan bahwa segala sesuatu selain Dia tidak bisa
member bahaya atau manfaat kepadanya.15
f. Cinta
Ketahuilah, cinta kepada Allah merupakan puncak cinta dan termasuk
maqam yang paling tinggi juga. Sedangkan yang lain, seperti rindu, nyaman, dan
13
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, h. 524 14
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, h. 534 15
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, h. 558
64
rida hanyalah tambahan. Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-
sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang.
Cinta adalah kecenderungan kepada sesuatu karena dianggap
menyenangkan. Sedangkan kemarahan adalah pelarian dari sesuatu karena
dianggap tidak cocok. Semakin besar kenikmatan yang diberikan maka semakin ia
dicintai. Kenikmatan mata ada pada pandangan, kenikmatan telinga ada pada
suara yang di dengarkan, dan kenikmatan penciuman ada pada segala hal yang
dicium, begitupun indra-indra lainnya. Masing-masing memiliki suatu yang cocok
dengannya sehingga ia mencintainya.16
g. Ikhlas (Rela)
Segala sesuatu bisa dicampuri sesuatu yang lain jika sesuatu itu bersih dan
terhindar dari campuran sesuatu yang lain maka ia disebut murni. Dan, jika
berkaitan dengan perbuatan maka perbuatan yang bersih dari campuran disebut
perbuatan yang ikhlas. Mengenai pengertian ikhlas, al-Sausi berkata, “Ikhlas
adalah suatu hilangnya penglihatan terhadap ikhlas, karena orang yang melihat
ikhlas dalam ikhlasnya, berarti ikhlasnya masih membutuhkan ikhlas yang lain.”
Kemudian al-Fudail mengatakan, Ikhlas adalah jika Allah membebaskan
perbuatan dari keduanya.”17
16
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, h. 566. 17
Imam Al-Ghazali, Intisari Ihya Ulumiddin, h. 597.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahagia juga bererti beruntung atau perasaan senang, tentram, (Bebas dari
segala yang menyusahkan).. Kata bahagia dalam bahasa Arab yaitu Sa’adah artinya
“keberuntungan” atau “kebahagiaan”. Diartikan juga bebas dari segala yang
menyusahkan.
Menurut al-Ghazali, Kebahagiaan bisa diraih ketika kita telah memahami
empat teori dasar. Pertama pengetahuan tentang diri. Kedua, meranjak satu tingkat
dari pengetahuan tentang diri, yakni pengetahuan tentang Tuhan. Ketiga, setelah
keduanya dikuasai maka meningkat pengetahuan tentang dunia ini. Keempat,
pengetahuan yang terakhir yang harus dikuasai adalah pengetahuan tentang akhirat.
Menurut al-Ghazali kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan yang terletak
pada hati dan jiwa yang bersih. Menurut al-Ghazali, agar hati dan jiwa yang bersih
bisa digapai, maka orang yang ingin bahagia harus menempuh beberapa tahap atau
tingkat, yaitu bertobat, sabar, fakir, zuhud, tawakal.cinta dan ikhlas (rela).
Kebahagiaan sejati bisa diraih apabila sudah berada pada tahap ikhlas (rela).
B. Saran
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak baik di dunia
akademis maupun masyarakat. Penulis dengan senang hati menerima skritik dan
saran sehingga penulis mendapatkan pelajaran baru yang berguna untuk dunia
akademik maupun penulisan di masa yang akan datang. Penulis yakin sebuah karya
66
66
mengandung kelebihan dan kekurangan. Maka dari itu jika ada peneliti yang ingin
meneliti dengan tema yang sama, maka yang perlu diperhatikan yaitu:
Penulis tidak membahas secara komprehensif mengenai filsafat kebahagiaan
al-Ghazali. Hal itu karena pembahasan filsafat kebahagiaan yang al-Ghazali tulis
hanya satu buku. Penulis juga tidak menemukan buku lain yang mengomentari lebih
dalam buku al-Ghazali yang berjudul “Metode Menanggapi Kebahagiaan: Kitab
Kimia Kebahagiaan (Bandung: Mizan, 2014)”.
67
Daftar Pustaka
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunanii. Jogjakarta: KANISIUS. 1999.
Bijak bersosmed, yang diambil dari artikel “Dampak Positiff dan Negatif Sosial
Media” https:/fzahrah.blogspot.co.id/2014/10dampak-positif-dan-negatif-
sosial-media.html
Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Padang: IAIN IB Press, 1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Drijarkara. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan, 1981.
Djamaluddin, Mahbub. Al-Ghazali Enslikopedi Zaman. Jakarta: Perpustakaan
nasional, 2015.
Esesensiana, ”Mengais Kebahagiaan: Sebuah Ringkasan Diskusi Filsafat” yang
diakses pada tanggal 6 maret 2018, dari
www.esensiana.com/carameraihkebahagiaan/
Faiz, Fahruddin. Ngaji Filsafat: al-Farabi Kebahagiaan (2), youtube, diunggah oleh
Miftah dalam https://youtu.be/YGo8CJSyovQ, diakses pada hari Rabu, 8 Mei
2018, jam 18.41 WIB.
Al-Farabi, Abu Nashr. Risalah Tanbih ‘ala Sabil as-Sa’adah. Amman: Universitas
Yordania, 1987.
……, Tahshil al-Sa’adah. Libanon: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1995.
Al-Ghazali. Bidayah al-Hidayah. Penerjemah Yahya al-Mutamakkin. Semarang: PT
Karya Toha Putra Semarang, 2003.
68
……., Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, terj. Haidar
Bagir. Bandung: Mizan, 2014.
……., Mukhtasar Ihya Ulum Al-Din. Penerjamh Irwan Kurniawan. Bandung Mizan,
1990.
Hamedi, Afifeh. “Farabi’s View on Happiness”, International Journal of Advanced
Research, vol. 1, issue 7, 2013.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT Pustaka Panjimas,
1983.
Hasan, Mustofa. Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke
Barat.
Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tutamas Indonesia, 1980.
Hidayati, Nia. dalam artikel yang berjudul “Cara Mengejar dan Mendapatkan Kebahagiaan”
diambil pada tanggal 27 Juni 2019 dari https://www.niahidayati.net./makna/makna-
kebahagiaan-dan-cara-mendapatkannya.html
Kartanegara, Mulyadi. “Membangun Kerangka Keilmuan IAIN perspektif Filosofis”
dalam http://icasparamadinauniversity.wordpress.com diakses pada tanggal 02
Oktober, 2017, jam 21.10 WIB.
……., Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Jakarta: Penerbit Mizan,
2002.
……., Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas. Jakarta:
Erlangga, 2007.
69
Kusuma, Sofiyah Angrang. “Psikologi al-Kindi” dalam http//www.psikologi-al-
kindi.html.pdf, diakses pada hari Sabtu, 13 Mei, 2017.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. 1996.
Madkour, Ibrahim. Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi
dkk. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), bagian 1, cet. ke-4.
Mursyid, Ali. Kebahagiaan Transfortasi Hakiki: Kajian Kitab Sa’adah karya al-
Ghazali, diambil, pada tanggal 8 Juli 2019, dari
https://iiq.ac.id/index.php?=artikel&d=2&id=106
Al-Qardhawi, Yusuf. Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali. Surabaya: Risalah Gusti,
1997.
Rakhmat, Jalaluddin. Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994.
Solomon, Robert C. Etika Suatu Pengantar, terj. Andre Karo karo. Jakarta: Erlangga,
1987.
Suseno, Frans Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Syamhodie, Fadjar Noegraha. Tasawhuf Kehidupan AL-GHAZALI: Refleksi
Petualangan Intelektual dari Teolog, Filosof, Hingga Sufi. Ciputat Timur: CV
Putra Harapan, 1999.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Petualangan
Intelektual.
70
Wikipedia, yang berjudul Eudaimonisme yang diambil pada tanggal 27 juni 2019 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eudaimoni