TONSILITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT Oleh : dr. I Gusti Ayu Harry Sundariyati, S.Ked FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017erepo.unud.ac.id/id/eprint/13041/1/ce84a52f23a3735f4ce7b... · 2020. 7. 21. · dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
Text of FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA...
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut
yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila
faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/ Gerlach’s tonsil).
Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan
tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,
termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus
Epstein-Barr, enterovirus, dan virus
herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis
adalah bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan
10% kasus dewasa dan
juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten
yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang
menghubungkan antara
nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian
tonsilitis kronik.5 Tonsilitis
kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah
oral dan ditemukan
terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan
kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis
didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan
volume tonsil. Kondisi
ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya
gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati
servikal dan
submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan
yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Faring
Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya
mirip corong
dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan
bagian bawahnya yang
sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis
enam. Dinding faring
terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.7
Gambar 1. Anatomi Faring
Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu :
nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.7
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dandinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan
pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila
pharyngeal, yang terdapat
didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas
palatum molle yang
miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior,
dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring
yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior
atlantis. Dinding
3
lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke
faring. Kumpulan jaringan
limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut
tonsila tubaria.7
Gambar 2. Pembagian Faring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah
palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga
mulut, sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal.1
Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle
dan isthmus
pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam
submukosa permukaan
bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior
lidah dan celah
antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang
meliputi sepertiga
posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat
dari lidah menuju ke
epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
glosso epiglotica
mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan
dan kiri plica glosso
epiglotica mediana disebut vallecula.7
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus
linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian
atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus
palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.7
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan
posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.1
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada
dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus
palatopharyngeus
dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas
atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan
fossa supra tonsila.
Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah
keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari
fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan
merupakan kapsul
yang sebenarnya.1
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
faringeal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya
membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil
saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering
kali ditemukan celah
5
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub
bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding
lateral rongga mulut.
Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot
palatoglosus, dan dibelakang
dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus.8
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi
kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada
fasia pharynx yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat
pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1
Gambar 4. Cincin Waldeyer
Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine
asendens, cabang
tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri
lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata.
Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik
merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan
kista duktus
tiroglosus.1
palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran
limfe pembuluh-
pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus
yang terpenting
6
dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di
bawah dan
belakang angulus mandibulae.7
Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan
posterior
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan
pinggir bawah cartilage
cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan
lateral. Dinding
anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang
meliputi permukaan
posterior laringDinding posterior disokong oleh corpus vertebra
cervicalis ketiga,
keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh
cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada
membrana, disebut fossa
piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.7
2.2 Fisiologi Tonsil
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di
fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan
lateralnya ditutupi oleh
kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila
palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh
terutama terhadap protein
asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas
(virus, bakteri, dan
antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau
non spesifik. Apabila
patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear
pertama-tama akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.9
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh
pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M
(sel membran), makrofag,
sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam
proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin
spesifik). Juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan
bahan asing
dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi
sel limfosit T dengan
antigen spesifik.9,10
7
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada
kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah
terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang
masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi
sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil
berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa
tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di
lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). Lokasi tonsil
sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya
membawanya ke sel
limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3
– 10 tahun.9,10
2.3 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina
yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh
serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami
penurunan (Colman, 2001). Tonsilitis kronik timbul karena
rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.10
2.4 Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak.
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di
Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Pada
penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita
Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007).
Sebaliknya penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita
Tonsilitis Kronis,
sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis
kelamin wanita.9
8
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di
Indonesia pada
bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi
setelah nasofaringitis akut
yaitu sebesar 3,8%., prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar jumlah kunjungan
baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63
orang. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama,
maka angka ini
merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang
terjadi pada anak-
anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang
disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia
5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier
Group A Streptokokus yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia
15-44 tahun, dan 0,6 %
usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di
Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni
sebesar 50 % .
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak
sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
2.5 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut
masuk bersama makanan9.
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini
dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.13
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita
tonsilitis kronis jenis kuman
yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA). Streptokokus
grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella
catarrhalis.8,14
9
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan
tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
Tonsilofaringitis Kronis yaitu
Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus
grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa
Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh
ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan
herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus
A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang
menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat
sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas yang akut. 14
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi
atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14
2.6 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet
dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman
kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.1
2.7 Faktor Predisposisi
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan
faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi
efek faktor genetik dan
10
keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit
Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik
yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis
makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
2.8 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah
nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas.
Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak
mencolok.16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa
ada yang mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada
tonsillitis kronik juga
sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada
umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori
tonsillitis kronik
berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan
kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b)
tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed”
dengan bagian tepinya
hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang
purulent.8,17
Gambar 5. Tonsillitis kronik
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan
medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring
Gambar 6. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring
12
Gambar 7. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II
tonsils. (C) Grade-
IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
2.9 Pemeriksaan Penunjang
• Mikrobiologi
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau
penetrasi antibiotika yang
inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari
dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis
Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan
dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat
terhadap flora
bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
20
Bakteri penyebab tonsilitis tersering adalah Grup A streptococcus B
hemolitikus. Daerah
tenggorokan banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil
mengalami kontaminasi
dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang didapatkan
dari daerah ini bisa
jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan
kultur dari
permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri patogen yang
sebenarnya,
sehingga pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan swab
jaringan inti tonsil.
Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran
penyebab tonsilitis yang
lebih akurat. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil ini dilakukan
sesaat setelah tonsilektomi
atau dengan aspirasi jarum halus dengan pasien diberikan narkose
lokal terlebih dahulu. 20
• Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat
ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan
infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan
melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan
secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang
dapat membingungkan
diagnosis.
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada
rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan,
dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid
yang hipertofi. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak
mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa
submandibular.1,16,17
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada
umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori
tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan
beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya
jarang menunjukkan
streptokokus beta hemolitikus.8,17
2.11 Diagnosis Banding
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang
yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada
titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap
cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi
dalam 3 golongan yaitu:
umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti
gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala local
yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas
dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat
erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika
infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai
leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan
kerusakan jaringan
14
tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada
saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot-otot pernapasan
dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1
Gambar 8. Tonsila Difteri
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat,
karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat
menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena
fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala
klinis secara umum
pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan
nyeri kepala.Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat
di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada
penekanan.1
Gambar 9. Faringitis
3. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada
penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum
mole, tonsil, dan
dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan
timbul ulkus pada
daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya
pembesaran kelenjar
mandibula yang tidak nyeri tekan.1
4. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik
pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia
dan
odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga
atau otalgia serta
pembesaran kelanjar limfa servikal.1
dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan
jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.
2.12 Penatalaksanaan
operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau
obat isap, pemberian
antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau
oral. 1,8 Pemberian
antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat
pada penderita tonsilitis
kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik
pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak
dibawah 12 tahun,
golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif
terhadap
streptococcus.Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika
terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan
golongan makrolida lebih
banyak. 9
2. Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
- Indikasi Tonsilektomi
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas,
indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut).
Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia
pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia
tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi . Indikasi
absolut: a) Hiperplasia
tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait
dengan cor
pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral).
c) Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d)
perdarahan
tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis
akut yang berulang
(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses
peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten,
halitosis, atau adenitis
cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan
pada orofacial atau gigi
(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier
streptococcus tidak berespon
terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of
Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah
mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan napas,
sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses
peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptokokus beta
hemolitikus
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
- Kontraindikasi Tonsilektomi
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan
17
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan
perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut
yang berat. 9,18
- Persiapan Pasien Tonsilektomi
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama
kali bagi
pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat
diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara
pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya
diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan
Lab seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit,
pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu
pemeriksaan
antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat
infeksi serta
sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat
pada minggu
pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam
setelah infeksi.
Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum
darah lebih dari 200
IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram
sebaiknya
dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma
akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien
dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat
jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau
abses peritonsil. Pada operator
yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan
sedikit. Perdarahan yang
terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek
umumnya berhenti spontan
atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti
spontan atau berasal dari
pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau
dengan kauterisasi. Bila
dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil
diletakkan tampon atau gelfoam
kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih
juga gagal, dapat dilakukan
ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi
pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat
umumnya berupa kerusakan
jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang
faring, bibir terjepit, gigi
patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat
pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. 21
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau
disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat
bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi.
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau
terlepasnya ikatan. 21
perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice
collar dan
mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate
complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi
paru dan otalgia
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam
pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering
adalah infeksi serta trauma
akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh
sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang
terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama
dengan perdarahan
primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula
mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan
bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin
dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil,
tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi
melalui tuba Eustachius. Abses
parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara
anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik
anestesi, komplikasi paru
jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan
jaringan tonsil. 21
19
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di
palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya
sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan
gejala, tetapi bila cukup
banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
21
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18
• Immediate and Delayed Hemorrhage
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar,
post operasi edema
oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
• Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba
jalan napas yang
obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan
penurunan
mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan
peningkatan
tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam
setelah pembebasan
jalan napas.
• Eustachian Tube Dysfunction
• Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi
dari bekuan darah
2.13 Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis,
artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan
furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis
antara lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot
yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan
serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat
dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
20
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah
medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri
lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan
yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan
mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan
kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak
pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.
Gejala-gejala yang tetap ada
dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran
nafas lainnya, infeksi
yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus-kasus yang jarang,
Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia.9
22
Tonsilitis kronis merupakan infeksi berulang pada tonsil palatina
dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin
memiliki dampak
sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit
menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.
Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,
termasuk strain bakteri
streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes
simplex dengan penyebab paling sering adalah bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitik
(GABHS).
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Penatalaksanaan
dari tonsillitis kronik berupa
medikamentosa dan operatif .
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed
Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for
Tonsillectomy. In: The Pediatric Clinics Of North America. 2003.
p445-58
3. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological,
Histochimical and Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis.
.
4. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: ECG, 2006. p795-801.
5. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: ECG, 1997. p263-340
6. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP
H. Adam Malik Medan Tahun 2009. 2011.pdf
7. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy,
and Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th
edition. 2006.
8. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi
Rahardjo. Lapran Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada
Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi.
9. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid.
In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000.
p1463-4
10. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
11. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In:
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. p158-165
12. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In:
Head and Neck Manifestations of Systemic Disease.
USA:2007.p493-508
13. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy
and Adenoidectomy. In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical
Associates 601. pdf.