Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENELITIAN MANDIRI
PENGATURAN HARTA KEKAYAAN PERKAWINAN CAMPURAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL INDONESIA
KOMANG WIDIANA PURNAWAN,SH, M.H NIDN/NUPN : 990987311
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
DAFTAR ISI
SAMPUL ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
RINGKASAN ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 12
1.3 Metode Penelitian....................................................................... . 12
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan................................................................................ 16
BAB III PENUTUP
3.1 .Penutup...................................................................................... 28
Daftar Pustaka .................................................................................
RINGKASAN
Perkawinan menurut Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bukan hanya suatu perbuatan perdata namun perbuatan keagamaan di mana sah tidaknya dinilai dari sisi kepercayaan dan agama yang dianut. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup berkeluarga, kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Selain hal tersebut, saat ini dikenal pula yang namanya perkawinan campuran, dimana dalam Undang- undang No 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan campuran hanyalah untuk perkawinan internasional. Setelah berlakunya Undang- undang perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia. Pengaturan hukum perkawinan mempunyai hubungan berlaku sama terhadap warga negara, oleh karena itu setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk undang- undang perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda dan akibat hukum dari suatu perkawinan. Terkait dengan perkawinan campuran saat ini masih menggunakan aturan hukum lama berdasarkan Pasal 16, 17, 18 AB. Hal ini dirasakan tidak mampu lag memberi jaminan kepastian hukum. Perkawinan campuran meninggal permasalah yang sangat krusial khususnya terkait dengan pengaturan harta kekayaan perkawinan campuran serta sistem pewarisan yang berlaku.
Penelitian mengenai pengaturan harta kekayaan perkawinan campuran dalam pembanguna hukum perdata internasional indonesia ini akan dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian ini mencakup kegiatan inentarisasi hukum positif, sistemati perundang- undangan dan sinkronisasi peraturan perundang- undangan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, perjanjian internasional dan putusan-putusan pengadilan. Adapun sifat dari penelitian ini adalah preskritif yakni penelitian untuk memberikan saran bagaimana sebaiknya keserasian peraturan perundang- undangan mengenai perkawinan campuran yang melbatakan warga negara indonesia dan warga negara asing secara jelas tegas serta tidak megandung pertentangan satu dengan lainnya.
Permasalahan hukum yang timbul terkait dengan pengaturan harta kekayaan perkawnian campuran saat ini, mengingat belum adanya undang- undang yang mengatur tentaang system hukum Perdata Internasional Indonesia yang kita miliki serta dengan semakin banyaknya terjadi peristiwa hukum yang menyangkut warga negara Indonesia dengan warga negara Asing yang hingga saat ini dirasa masih memiliki kelemahan dimana terjadi pertentangan antara peraturan satu dengan lainnya yaitu Undang- undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ketentuan Aglemeene Bepalingen Van Wet Geving Voor Indonesie (A.B) dan undang- undang no 23 Tahun 2006. Hal ini mendorong dilakukannya pembangunan hukum terhadap sistem hukum yang mengatur tentang Hukum Perdata Internasional Indonesia demi menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara indonesia yang melakukan perkawinan campuran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, didalam suatu
negara yang berdaulat diperlukan hukum untuk mengatur hubugan- hubungan
antar warga negaranya, maupun dengan warga dari negara- negara lain.
Keberadaan hukum sangat dibutuhkan bukan hanya semata- mata mengatur
ketertiban didalam kehidupan berbangsa dan bernegara namun juga karena secara
tidak langsung saat ini Indonesia sudah terlibat terlibat dalam berbagai kehidupan
dalam dunia internasional, hal ini berimbas pada pergaulan hidup bersama- sama
dengan negara- negara lain. Pada era saat ini, pergaulan internasional akan
berakibat pada semakin banyaknya kemungkinan- kemungkinan timbulnya
persoalan- persolalan hukum yang melibatkan unsur asing. Keadaan ini semakin
mendorong untuk lebih memperhatikan akibat hukum dari semakin
berkembangnya hubungan- hubungan hukum yang timbul dari hubungan-
hubungan internasional.
Dalam perkembangannya hubungan- hubungan hukum yang terjadi dalam
pergaulan internasional semakin menegaskan adanya suatu kebutuhan akan
hukum yang bisa mengatasi persoalan- persoalan yang timbul. Sejalan dengan hal
tersebut bahwa dengan pernyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan negara
hukum sebagaimana tertuang dalam Undang- undang NRI 1945 dalam Pasal 1
ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum
yang mengandung makna luas tentang berlakunya prinsip negara berdasarkan
hukum1, sehingga hukum merupakan sebuah kepentingan dasar dalam
menciptakan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum sebagai
sistem berarti hukum merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur- unsur
yang berinteraksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan,
kesatuan tersebut diterapkan terhadap keseluruhan unsur- unsur yuridis seperti
peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dalam upaya menangani
persoalan- persoalan yang timbul dari hubungan- hubungan antar warga negara
tersebut termasuk dalam ranah hukum perdata internasional.
Hal ini terlihat dalam kehidupan bahwa terdapat berbagai kejadian yang
terkait dengan peristiwa hukum, seperti dalam bidang perdata, hukum pidana,
hukum administrasi negara, hukum bisnis maupun bidang- bidang hukum lain.
Hubungan peristiwa hukum, baik di bidang hukum keperdataan maupun non
keperdataan yang mengandung unsur- unnsur yang melampaui batas- batas
teritorial negara atau unsur – unsur- unnsur transnasional itulah yang menjadi
pusat perhatian bidang hukum yang di kenal dengan hukum perdata Internasional.
Foreign elements itu berarti titik- titik pertautan dengan atau lebih sistem hukum
lain diluar sistem hukum negara forum ( negara tempat pengadilan yang
mengadili perkara) dan pertautan itu sebenarnya ada di dalam fakta- fakta dari
perkara.2 HPI pada dasarnya merupakan bagian dari Hukum Nasional suatu
1 Marbun , SE & Mahfud MD. Moh, Pokok - Pokok Admistrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, 2004, hlm. 47- 50 2 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar- dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu,
Edisi Kelima, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 3
negara dan bukan merupakan bagian dari hukum Internasional Publik, yang
artinya :
a. HPI merupakan salah satu sub bidang hukum dalam sebuah sistem hukum nasional yang bersama- sama dengan sub bidang hukum lain, seperti hukum keperdataan, hukum dagang, hukum pidana dan sebagainya membentuk suatu sistem hukum nasional yang utuh.
b. Sistem hukum dari sebuah negara seharusnya diperlengkapi dengan sistem HPI nasional yang bersumber pada sumber- sumber hukum nasional, tetapi yang khusus dikembangkan untuk memberi kemamppuan pada sistem hukum itu untuk menyelesaikan perkara- perkara yang megandung unsur asing.
Sistem hukum yang berkembang di dalam tradisi hukum common law,
seperti Inggris, Amerika Serikat dan sebagainya sebenarnya menggunakan
sebutan lain yaitu Conflict of Laws dengan asumsi bahwa bidang hukum ini pada
dasarnya berusaha menyelesaikan persoalan- persoalan hukum yang menyangkut
adanya perbenturan antara dua atau lebih kaidah- kaidah hukum dari dua atau
lebih sistem hukum. Namun demikian istilah conflict of laws ini pun jarang
digunakan untuk mengartikan kaidah- kaidah hukum yang di buat untuk
menyelesaikan persoalan- persoalan yang melibatkan dua aturan hukum yang
berbeda atau sistem hukum yang berbeda, tanpa harus ada unsur- unsur asing atau
cukup mengandung unsur asing semu dan tidak benar- benar bersifat trasnasional.
Sehingga penyerataan HPI dengan conflict of laws tampaknya juga tidak terlalu
tepat karena bidang hukum yang disebut terakhir ini memiliki cakupan bidang
yang lebih luas dari HPI dan dalam konteks teori dan hukum positif Indonesia
berada dalam satu kelas dengan hukum perselisihan.3 Memang harus diakui
bahwa dewasa ini terdapat kecendrungan kuat secara internasional untuk
membangun dan menetapkan kaidah- kaidah atau asas- asas HPI melalui jalur dan
mekanisme serta menuangkannya dalam sumber- sumber hukum internasional,
model laws, supranational directives dan sebagainya. Perkembangan ini menjadi
penting artinya untuk mengusahakan adanya keseragman, unifikasi dan
harmoniasasi kaidah- kaidah HPI secara internasional. Kaidah atau asas- asas HPI
yang dikembangkan melalui perjanjian- perjanjian internasional antar negara itu
disebut kaidah kaidah HPI internasional, yang tetap baru akan mengikat negara-
negara apabila mereka meratifikasinya dan menjadikanny bagian dari sistem
hukum nasional mereka. Jadi, bahkan kaidah- kaidah HPI internasional semacam
ini pun tetap dapat dianggap sebagai sumber sumber HPI nasional.4
Untuk mendapat penjelasan awal yang utuh tentang pengertian HPI dapat
dilihat dari pendapat beberapa ahli seperti :
a. Prof. R.H. Graveson mengatakan, bahwa : “ the conflict of laws atau
hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara- perkara yang didalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik aspek territorial maupun aspek subjek hukumnya, dank arena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau
3 Hukum perselisihan adalah sekumpulan kaidah hukum yang mnegtaur hubungan/
peristiwa hukum yang melibatkan dua atau lebih aturan, kaidah, sistem, subsistem hukum yang berbeda, dan subbidang hukum termasuk didalamnya , misalnya hukum antar golongan, hukum antaradat, hukum antsr wsktu hukum antar wewenang, dan bahkan juga hukum pidana internasional. Untuk perdebatan sebutan HPI dan conflict of laws, lihat juga Scoles, Eugene F. dan Hay, Peter, Conflict of Laws, west publishing, Minneosta, 1982, hlm.1-2
4 Fawcett, James; Carruthers, Janeen M; Cheshiire, G.C.; North, P.M.; and Fawcet, J.J., Private Internasional Law, Oxford University Press, Oxford, Dalam Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M, Dasar- dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Kelima, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm 7
hukum lain atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau pengadilan asing.
b. Prof Sunaryati Hartono, berpendapat bahwa HPI mengatur setiap peristiwa/ hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik di bidang hukum public maupun hukum privat. Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka HPI sebenarnya dapat dikatakan sebagai hukum pergaulan internasional.
c. Prof. Sudargo Gautama, berpendapat bahwa HPI keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apaakah yang merupakan hukum, jika hubungan- hubungan atau peristiwa- peristiwa anatara warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan pertalian dengan stelsel- stelsel dan kaidah- kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal- soal.5
Bila dilihat dari 3 pandangan dari para ahli diatas dapat dilihat adanya
kesamaan terhadap pandangan dalam menentukan pengertian HPI. Sehingga dapat
diartikan dan dipahami dalam arti yang lebih luas sebagai bidang hukum yang
masalah- masalahnya tidak terbatas pada persoalan- persoalan di bidang hukum
keperdataan saja, tetapi juga mencakup persoalan- persoalan di bidang hukum
sepperti hukum pidana, hukum admistrasi negara, hukum ekonomi serta hukum
internasional public yang mana didalam persoalan- persoalan hukum yang timbul
didalam masyarakat, sebagai akibat dari interaksi social yang semakin
mengaburkan batas- batas teritorial negara- negara.
Bila memperhatikan pendapat para ahli diatas maka dapat dikatakan
bahwa HPI adalah seperangkat kaidah- kaidah, asas- asas, dan atau aturan- aturan
hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa atau hubungan hukum
5 Sunaryati Hartono, Pokok- pokok Hukum Perdata Internasional, hal. 9 dalam Dr. Bayu
Seto Hardjowahono, S.H., LL.M, Dasar- dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Kelima, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm.9
yang mengandung unsur- unsur transnasional (atau unsur- unnsur
ekstrateritorial).6
Upaya pembangunan terhadap hukum perdata internasional di Indonesia
telah dimulai sejak sebelum masa sebelum kemerdekaaan melalui konsepsi kuasi
Internasional yang dikembangkan oleh Andrea Dela Porte.7 Konsep ini lebih
menekankan pada sistem hukum antar golongan atau antar komunitas. Setelah
Indonesia merdeka relevansi dari hukum antar golongan menjadi berakhir dan
digantikan perannya oleh oleh hukum perdata internasional dalam arti yang
sempit yang hanya mengatur tentang hubungan- hubungan hukum yang
melibatkan WN Indonesia dengan WN asing, sehingga hubungan antara
kelompok penduduk Indonesia bukan lagi dibedakan karena pembedaan golongan
penduduk, melainkan karena pembedaan kewarganegaraan.
Didalam perkembangannya hingga saat ini belum ada suatu peraturan
perundang- undangan di Indonesia yang secara khusus mengatur tentang asas dan
kaidah HPI secara komprehensif. Saat ini Indonesia masih menggunakan kaidah-
kaidah umum peninggalan sistem hukum Hindia Belanda, dimana termuat dalam
6 Lebih jauh lagi dapat pula disepakati bahwa HPI selalu mengandung unsur- unsur
nasional dan transnasional dan masalah pokok yang dihadapinya (subject matter) selalu bersifat ekstranasional. Persoalan- ppersoalan HPI pada dasarnya muncul dalam perkara- perkara yang melibatkan lbih dari satu yurisdiksi hukum dan hukum internasional dari negara- negara berdaulat yang berbeda. HPI juga dipahami sebagai proses dan aturan –aturan yang digunakan oleh pengadilan sebuah negara untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada perkara yang sedang dihadapi. Terdapat berbagai metode dan cara pendekatan yang digunaan untuk menjawab persoalan tersebut walaupun banyak sistem hukum di dunia yang masih berpegang pada teori HPI tradisional yang bberkembang dari tradisi hukum eropa continental.
7 Naderburg dalam bukunya Wet en Adat yang mengintrepretasikan kuasi HPI sebagai cabang dari hukum yang mengatur hubung hukum anatar orang- orang yang memiliki “kuasi
Kewarganegaraan”. Lebih lanjut, Logeman menyebutkan bahwa kuasi kewarganegaraan dapat
ditafsirkan sebagai “domiciliium origins” atau asal- usul dari seseorang; Lihat juga; C.F.G. Sunaryati Hartono, hlm. 39
pasal 168, 179, 1810 Algemeene Bepalingen van Wetgeving (voor Indonesie),
namun walaupun AB voor indische masih diundakannya lebih kurang dari dua
abad dan sekalipun Indonesia adalah negara berdaulat, namun peraturan ini masih
berlaku. Lebih lanjut hal ini di justifikasi oleh Pasal 1 Aturan Peralihan dari
amandemen ke 4 UUD 1945, yang menyatakan ;
“ segala peraturan perundang- undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut undang- undang dasar ini”
sehingga, dengan kondisi Indonesia belum memiliki peraturan tentang HPI maka
ketentua AB ini masih menjadi acuan dalam menuntaskan persoalan HPI untuk
menetukan hukum mana yang berlaku.
Upaya pengembangan HPI Indonesia saat ini masih belum menjadi suatu
skala prioritas, mengingat belum adanya peraturan perundang- undangan yang
8 Pasal 16 AB : “Ketentuan- ketentuan dalam undang- undang menegnai status dan
wewenang seseorang tetap berlaku bagi kawula negara Belanda, apabila ia berada di uar negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di negeri Belanda atau disalah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal di situ, berlakulah mengenai bagian tersebut dan Hukum perdata yang berlaku disana”(peraturan ini diterapkan juga pada S. 1915- 299 jo 642 dan KUHPerd. Pasal 83). Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang. Asas ini di pergunakan dalam pasal ini adalah domiciliium origins, artinya untuk menentukan apakah seseorang cakap atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, ukuran yang digunkan adalah ukuran yang berlaku di dalam hukum temapt orang itu berasal.
9 Pasal 17 AB; “ terhadap barang- barang yang tidak bergerak berlakulah undang- undang dari negeri atau tempat dimana barang- barang itu berada”; pasal ini mengatur teantang
status kebendaan dari benda tetap. Asas yang digunakan dalam pasal ini adalah asas lex situs atau lex rei sitae, artinya ukuran- ukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikatagorikan sebagai bend tetap, hak kebendaan atas benda tetap, serta akibat- akibat hukumnya, harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari tempat benda tersebut terletak.
10 Pasal 18: “ bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut
perundang- undangan dari negeri atau tempat, dimana tindakan hukum itu dilakukan”; pasal ini
mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam penetapan status dan keabsahan dari perbuatan- perbuatan atau hubungan- hubungan hukum ( yang mengandung unsur asing. Asas yang digunakan adalah asas lex loci actus artinya bentuk dari sebuah perbuatan hukum atau hubungan hukum serta keabsahannya akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan atau hubungan hukum di buat. Asas ini menjadi sangat penting untuk menentukan kaulifikasi hukum dari suatu perbuatan hukum.
mengatur tentang HPI Indonesia. Upaya pemerintah belum mengalami kemajuan
terlihat dari belum tuntasnya perancang Undang- Undang HPI Indonesia.
Kebutuhan akan undang- undang HPI Indonesia merupakan upaya terhadap
mewujudkan keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia dan
kepentingan nasional. Kebutuhan akan hukum yang mengatur tentang HPI
Indonesia seperti yang ditegaskan oleh John Austin bahwa hukum adalah perintah
penguasa dalam pandanganya law was the comand of the soverign yang
menegaskan bahwa hukum dalam pengertian hukum positif11. Dalam pandangan
lainnya yang ditegaskan Hart bahwa sistem hukum itu merupakan kesatuan dari
primary rules dan secondary rules, setiap aturan memiliki dua aspek yaitu internal
dan eksternal aspek12. Hans Kelsen memberikan pengertian terhadap hukum
sebagai norma pokok yang menerapkan sanksi, hukum mengandung petunjuk bagi
petugas hukum untuk menerapkan sanksi dalam kondisi tertentu. Dalam
pandangan lainnya yang diuangkapkan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum
adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.13
Sehingga sebagai negara berdaulat Indonesia jelas membutuhkan hukum dalam
mengatur hubungan- hubungan yang besfiat transnasional untuk mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dalam kaitan pembangunan HPI Indonesia Soepomo menegaskan
bahwa negara hukum menjamin adanya tertib hukum pada masyarakat yang
11 M.R, Zafet, Jurisprudence an Outline, International Law Book Service, Kuala
Lumpur, 1994, h. 6 12 H.L.A, Hart, The Concept of Law, Oxford University Press, London, 1972 13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bandung, 1996, hlm. 268
berarti bahwa negara memberi peerlindungan hukum pada masyarakat14, oleh
sebab itu menurt Plato bahwa pnyelenggaraan negara yang baik didasarkan pada
pengaturan hukum yang baik15. Dalam kaitan pembangunan HPI Indonesia
berdasarkan penjelasan diatas maka segala tindakan penguasa atau pejabat
pemerintah seyogianya harus dikontrol dan tunduk pada aturan positif sebagai
landasan legalitas yang berkaitan erat dengan konstitusionaltas, dimana asas
legalitas dan konstitusionaltas tersebut merupakan asas esensial dari pengertian
negara hukum16, sehingga dalam mewujudkan cita negara hukum diperlukan
usaha untuk membangun hukum nasional yang berjiwa kebangsaan. Kondisi saat
ini jelas sarat akan masalah timbul akibat belum adanya Undang- undang yang
mengatur tentang HPI Indonnesia, sebagai contoh kasus perkawinan Kasus Eddy
Maliq Meijer yang lahir pada April 2007, merupakan anak dari perkawinan
campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan
ibunya Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek
hukum. Kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara
Belanda dan ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 Undang-
Undang No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang
kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama
waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan
kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila
14 Mukthi Fadjar, Tipe Negara hukum, Cet. Kedua, Bayu Media Publishing, Malang,
2005, hlm. 7 15 Teguh Prasetyo, S.H, M,Si& Arie Purnomosidi, S.H, M.H, Membangun Hukum
Berdasarkan Pancasila, Nusa Media, Bandung, 2014, hlm. 1 16 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua, CV
Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 196.
suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa, mengingat sulitnya
mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA, sementara istri yang
merupakan WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena berbagai factor, antara
lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan, maka banyak
pasangan seperti terpaksa hidup terpisah . namun contoh diatas menyisakan
persoalan yang lebih luas yaitu terkait dengann pengaturan harta kekayaan
perkawinan campuran yang saat ini belum ada ketegasa hukum yang digubakan
saat terjadi permasalah hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian
ini akan dirumuskan permasalah untuk melakukan identifikasi terkait permasalah
yang diteiti.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah karekteristik pengaturan harta kekayaan
Perkawinan Campuran di Indonesia?
2. Bagaimanakah Politik Hukum Perdata internasional Indonesia
dalam pembangunan Hukum Perdata Internasional Indonesia
terhadap pengaturan harta kekayaan perkawinan campuran di
Indonesia?
1.3 Metode Penelitian
Penelitian mengenai Pengaturan Harta Kekayaan Perkawinan Campuran
dalam Pembanguan Hukum Perdata Inernasional Indonesia ini akan dilakukan
dengan metode penelitian hukum yuridis normatif. Metode penelitian yuridis
normatif adalah penelitian ini mencakup kegiatan inentarisasi hukum positif,
sistemati perundang- undangan dan sinkronisasi peraturan perundang- undangan
yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan
perundang-undangan, konvensi internasional, perjanjian internasional dan
putusan-putusan pengadilan. Adapun sifat dari penelitian ini adalah preskritif
yakni penelitian untuk memberikan saran bagaimana sebaiknya keserasian
peraturan perundang- undangan mengenai perkawinan campuran yang
melibatakan warga negara Indonesia dan warga negara asing secara jelas tegas
serta tidak megandung pertentangan satu dengan lainnya. Hal ini sebagaimana
karekteristik ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskritif dan terapan.17
1.6.1. Jenis Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan:
a. Statute approach (Penekatan perundang-undangan), pendekatan ini dirasa
penting untuk memahami hierarki, dan sinkronisasi peratuan perundang-
undangan18;
b. Analitical & Conseptual approach (pendekatan analisis konsep hukum),
maksudnya adalah dengan pendekatan tersebut dapat dicari pembenaran
atas suatu teori atau asas-asas yang dapat dipergunakan didalam penelitian;
c. Comparative Approach (Pendekatan Perbandingan), maksudnya
pendekatan yang dilakukan dengan cara membandingkan peraturan yang
berlaku di negara lain.
1.6.2. Sumber Bahan Hukum
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 008, hal; 22
18 Ibid., hal; 102
Dalam penelitian ini sumber bahan hukum dibagi menjadi 3 yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:
1. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
2. Peraturan dasar: Batang tubuh UUD NRI1945
3. Peraturan perundang-undangan
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat
5. Yurisprudensi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian atau pendapat pakar hukum
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan lain-lain.
1.6.3. Teknik Analisis
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang terkumpul dapat
dipergunakan berbagai analisis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Deskripsi
2. Evaluasi
3. Konstruksi
4. Argumentasi
5. Sistematisasi
1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum
2. Teknik Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan
melakukan analogi dan rekonseptualisasi sistem hukum
3. Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekun
4. Teknik Argumentasi, tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian hams didasarkan atas suatu alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen,
makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
5. Teknik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan
Pembangunan HPI Indonesia saat ini berjalan beriringan dengan kemajuan
global dunia serta kemajuan teknologi yang menggiring globalisasi dalam bidang
social bagi Indonesia yang secara otomatis bersentuhan dengan aktivitas warga
negara asing (WNA), dalam era kemajuan peradaban informasi dan teknologi
sehinnga berimbas pada pola hidup masyarakat di dunia. Globalisasi adalah
karekteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampui batas- batas
konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut, dunia telah
dimanfaatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia
sebagai satu kesatuan utuh. Globalisasi sebagai suatu proses memang mengalami
akselerasi sejak beberapa dekade terakhir ini, tetapi proses yang sesungguhnya
sudah berlangsung sejak jauh di masa silam, semata- mata karena adanya
prediposisi umat manusia untuk bersama- sama hidup disatu wilayah dan karena
dikondisikan untuk berhubungan dan menjalin hubungan satu sama lain, sehinnga
kemajuan teknologi terhadap hubungan- hubungan transnasional lebih mudah
dijangkau, seperti perkawinan dan perceraian antara warga negara Indonesia
(WNI) dengan warga negara asing di Indonesia atau di luar negeri, adopsi anak-
anak Indonesia oleh warga negara asing dan warisan dari warga negara asing.19
19 Bayu Seto Hardjowahono, “Kodifikasi Hukum Perdata Internasional Di bidang
Kontrak Internasional: Tantangan yang Terabaikan Dalam Menghadapi AFTA 2015”, Makalah
disampaikan dalam symposium HPI2- tentang Hukum Kontrak Internasional, diselenggarakan atas
Pengertian Perkawinan campuran20 dalam Undang- undang No 1 Tahun 1974
hanyalah untuk perkawinan internasional. Setelah berlakunya Undang- undang
perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia.
Pengaturan hukum perkawinan mempunyai hubungan berlaku sama terhadap
warga negara, oleh karena itu setiap warga negara harus patuh terhadap hukum
yang berlaku, termasuk undang- undang perkawinan yang menjadi landasan untuk
menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda dan
akibat hukum dari suatu perkawinan.21
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing- masing
dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Dalam undang- undang ini dinyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing
agamanya dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap- tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku, pencatatan
peristiwa- peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang
juga dimuat dalam daftar pencatatan. Undang- undang ini menganut asas
monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum
dan agama dari yang berasngkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional, Fakultas Hukum UNPAR, dan Kantor Hukum Mochtar Karuwin Komar (MKK), di kampus Univ. Parahyangan Bandung, 7 November 2013
20 Sudargo Gautama, Segi- segi Hukum Perkawinan Campuran, Alumni Bandung, hal: 3
21 K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal: 3
lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan Agama.
Undang- undang No 1 Tahun 1974 mengatur prinsip bahwa calon suami
istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat wujudkan tujuan perkawinan secaraa baik tanpa berakhir dengan
perceraian dan dapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah
adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur karena
perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan maka untuk
mencegah lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya
perkawinan dibawah umur, sebab batas umur yang lebih rendah bagi seseorang
wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi ,
berhubungan dengan itu, maka undang- undang perkawinan ini mnentukan batas
umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.
Pasal 1 Undang- undang No 1 Tahun 1974 mendefinisikan perkawinan
yaitu : perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan
undang- undang perkawinan tersebut dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan
menurut undang- undang tersebut adalah mencapai bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Undang- undang No 1 Tahun 1974 pasal 1,
hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal
belaka tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami
istri. Selanjutnya menurut Pasal 3 UU No1 Tahun 1974 menganut asas monogamy
relative, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengijinkan. Menurut
Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum dan agama dan kepercayaannya masing- masing.
Dalam kaitan perkawinan campuran Negara dalam memberi perlindungan
yang berkaitan dengan segala aktivitas warga negara dengan warga asing saat ini
masih menggunakan Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands
Indie, yang merupakan aturan peninggalan kolonial Belanda yang masih berlaku
hingga saat ini dan dikenal sebagai Hukum Perdata Internasional yang merupakan
sub sistem dari hukum nasional untuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan yang mengandung unsur asing. Pada saat ini tren perkawinan campuran
di Indonesia sudah banyak terjadi, dimana berbagai fenomena akibat
perkembangan gloabalisasi dan informasi. Seperti kita ketahui melalui berbagai
media, banyak masyarakat Indonesia baik dari kalangan masyarakat umum dan
dari berbagai kalangan dan profesi melakoni perkawinan campuran. Artis- artis
saat ini banyak kita ketahui melakukan perkawinan campuran dengan warga
negara asing, atau orang- orang asing satu sama lain di Indonesia atau orang-
orang asing yang menikah dengan dengan orang Indonesia dimana hal ini kita
kenal dengan perkawinan campuran antar warga negara. Hal- hal yang berkaitan
dengan hubungan- hubungan hukum yang mengandung unsur asing termasuk
dalam kaidah hukum perdata internasional. Terhadap perkawinan campuran harus
memenuhi minimal dua syarat material berdasarkan hukum nasional para calon
mempelai, dimana hal ini diatur dalam Pasal 16 Algemeene Bepalingen Van Wet
Geving Voor Indonnesie (A.B) dan syarat formil berdasarkan hukum di mana
perkawinann dilangsungkan atau lex loci Celebration yang diatur dalam Pasal 18
A.B. Peraturan atau hukum yang mengatur masalah- masalah di bidang Hukum
Perdata Internasional di Indonesia masih menggunakan peninggalan zaman
Belanda yaitu pasal 16, 17, 18 A.B. ketentuan pasal ini dirasa sudah tidak mampu
lagi dalam memberikan rasa keadilan, kepastian hukum22 terhadap persoalan yang
muncul bagi masyarakat Indonesia maupun bagi para hakim dalam menangani
permasalahan Hukum Perdata Internasional. Undang- undang No 1 Tahun 1974,
pengertian perkawinan campuran hanya terbatas pada perkawinan antara WNI dan
WNA, baik yang dilakukan di dalam negeri ataupun di luar negeri. Pasal 57
Undang- Undang No 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang pengertian perkawinan
campuran yang berbunyi : “yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-
undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia”.
22 Tujuan dari hukum memang bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan
kemanfaatan. Idealnya hukum memang harus mengakomodasi ketiganya. Sekalipun demikian tetapada yang berpendapat diantara ketiga tujuan tersebut keadilan harus diutamakan dan paling penting. Daniel Webstar mengemukakan keadilan sebagi cita hukum merupakan kepentingan manusia paling luhur. Keadilan adalah sesuatu yang dicari dan diperjuangkan oleh orang, dinantikan dengan penuh kepercayaan dan orang akan menentang sekeras- kerasnya apabila keadilan tidak terwujud atau tidak ada. Demikian pula Aristoteles menyatakan bahwa bila orang berbicara tentang keadilan yang mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang adil untk bersikap secara adil dan untuk tidak menginginkan yang tidak adil; Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 28; Lili Rasdjidi& Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 25
Pada tahun 2006 DPR RI mengesahkan Undang- undang Kewarganeraan
yang baru yaitu Undang- undang No 12 Tahun 2006. Dengan ditetapkannya
Undang- undang Kewarganegaraan yang baru memberikan asa baru bagi bagi
kaum perempuan di Indonesia yang menikah dengan laki- laki warga negara
asing. Kehadiran Undang- undang Kewarganegaraan yang baru secara garis besar
memberikan peluang dalam mengatasi persoalan- persoalan yang lahir dari
perkawinan campuran salah satunya masalah kewargenagaraan anak. Undang-
undang Kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan
tunnggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa
memiliki satu kearganegaraan, dimana dalam Undang- undang tersebut ditentukan
bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya, pengaturan ini
menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah
tentu seorang ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anaknya yang warga
negara asing.
Setiap negara berdaulat berhak menentukan sendiri- sendiri syarat- syarat
untuk menjadi warganegara. Terkait dengan syarat- syarat untuk menjadi
warganegara dikenal dengan adanya dua asas kewarga negaraan yaitu asas ius
sanguitis dan asas ius soli. Asas ius soli adalah asas daerah kelahirannya, artinya
bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Sedangkan ius sanguitis adalah asas keturunan atau hubungan darah, artinya
bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh kewarganegaraan orang
tuanya.23. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan
bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk
pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Jadi tidak tertutup kemungkinan
seseorang memiliki dua kewarganegaraan (Bipatride) dan tanpa
keewarganegaraan (apatride).
Bipatride (dwi kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan dari
kedua negara terkait seorang dianggap sebagai warga negara kedua negara
tersebut. Sedangkan Apatride (tanpa kewarganegaraan) timbul apabila menurut
peraturan kewwarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warga negara dari
negara manapun. Di Indonesia, berdasarkan Undang- undang Kewarga negaraan
yang lama, status anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun
berdsarkan Undang- undang kewarganegaraan yang baru yaitu undang- unndang
No 12 tahun 2006 seorang anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik
untuk dikaji terkait dengan kewarganegaraan ganda tersebut yang artinya anak
akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum. Dimana akan terjadi kemungkinan
pertentangan antara satu yurisdiksi dengan yurisdiksi lainnya. Bila dilihat dalam
perspektif Hukum Perdata Internasional untuk dapat menentukan status anak dan
hubungan dengan orag tuanya harus dilihat dahulu sah atau tidaknya status
perkawinan daripada orang tuanya. Seorang anak baru sah apabila dilahirkan
dalam suatu perkawinan yang sah. Perkawinan oleh karena itu merupakan suatu
perssoalan pendahuluan. Sah atau tidaknya perkawinan ini ditentukan secara
23 H. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pergruan tinggi, Yogyakarta,
Paradigma, 2010, hlm. 117
tersendiri menurut kaidah- kaidah HPI yang berlaku untuk sah nya suatu
perkawinan secara formal dan material.
Selanjutnya dalam membicarakan status keturunan sejak dahulu telah
diakui masuk dalam ranah status personal. Prinsip domisili (ius soli) diterapkan
oleh negara- negara common law sistem sedangkan prinsip nasionalitas (ius
singuitis) diterapkan oleh negara- negara civil law sistem. Status personal adalah
kelompok kaidah- kaidah yang mengikuti seseorang dimanapun dia pergi. Kaidah-
kaidah ini dengan demikian mempunyai lingkungan kuasa berlaku serta extra
territorial atau universal,24 tidak terbatas kepada territorial dari suatu negara
tertentu. Hal inilah yang digunakan pembuat undang- undang Hindia Belanda
dahulu saat mentranformasi Pasal 16 A.B yang sesuai dengan asas konkordasi dari
pasal 6 AB. Belanda saat itu mentranformasi juga melalui Pasal 3 ayat (3) Code
Civil Perancis. Perumusan yang dipakai dalam Pasal 16 A.B ialah : ketentuan-
ketentuan perundang- undang mengenai status dan wewenang orang- orang tetap
mengikat untuk kaula- kaula negara Belanda (kini dibaca: warga negara
Indonesia) jikalau mereka berada diluar negeri.25 Terlepas dari perdebatan apa
yang diartikan dalam istilah status personal ini dapat dikemukakan bahwa status
personal merupakan kedudukan hukum dari seseorang yang umumnya ditentukan
oleh hukum dari negara yang dianggap terikat secara permanen.
24 Bdgk. Greveson 194 dst, yang mengutip putusan- putusan Inggris yang
mengedepankan principle of university sebagai perhaps the most far- reaching characteriatic of status. Lihat S. Gautama, Hukum Perdata Internasional jilid III Bagian 1 Buku 7, Bandung, Alumni Bandung 2010, hal 3
25 Pasal 16 A.B. Kalimat pertama De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de bevoegdheid der personen blijven verbinded voor Nethelansche Onderdanen, wanner zij zich buiten Island beviden. Lihat S. Gautama, Himpunan Perundang- undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia, Bandung, Alumni Bandung, 1978, h.9
Dalam konsep yang lebih luas, status personal diartikan sebagai wewenang
untuk mempunyai hak- hak hukum pada umumnya, yang oleh orang jerman
disebut sebagai Rechtsahigkeit, dalam bahasa Perancis Capacite de Joussance,
juga termasuk didalamnya permulan dan berhentinya kepribadian, kemampuan
untuk melakukan perbuatan- perbuatan hukum (Gesschaftsfahigkeit). Kemudian
termasuk pula perlindungan dari kepentingan perseorangan seperti
kehormatannya, nama, dan perusahaan dagang, privacy, dan anak- anak lain.
Yang penting adalah bahwa termasuk pula didalmnya hubungan kekeluargaan,
seperti hubungan suami istri, ayah dan anak, wali dan anak di bawah perwalian,
seperti perkawinan, perceraian, adopsi, pengesahan, menjadi dewasa serta juga
termasuk perumusan yang luas ini soal pewarisan dalam arti seluas- luasnya.
Konsep luas ini tercermin dalam beberapa perjanjian yang terjadi antara
negara- negara Barat dan Negara Timur (oriental), tempat orang- orang asing di
kecualikan dari Jurisdiksi territorial pengadilan- pengadilan dalam soal- soal yang
termasuk dalam hukum pribadi (personal law).26 Konvensi Montreaux dari tahun
1973 menghapuskan sistem capilatuies di Mesir dan mepertahankan Mixed
Tribunals untuk kurun waktu tertentu. Dalam perumusan status personal menurut
konvensi internasional termasuk : perkara- perkara mengenai status dan
kewenangan orang- orang pribadi, hubungan hukum antara anggota- anggota
suatu keluarga, khususnya perjodohan perkawinan, hak- hak dan kewajiban timbal
balik dari suami istri, mas kawin, hak- hak atas benda selama perkawinan,
perceraian, talak, hidup berpisah, pengesahan, pengakuan, penyangkalan sahnya
26 Op.Cit., hlm 6
naka, hubunga orang tua dan anak, kewajiban untuk memberikan tunjangan anatar
akeluarga karena darah atau perkawinan, pengesahan, adopsi, perwwalian safih,
kedewasaan dan juga hibah, pewarisan, surat wasiat dan perbuatan hukum lainnya
yang berkenaan dengan pembagian benda setelah meninggal, hilang atau dugaan
kematian terhadap seseorang. Pasal 28 dari Regulation of Juridical Organization
yang merupakan Annex pada Convention Regaarding Abolition of Capitulation In
Egypt yang ditandatangani di Motreaux pada 8 Mei Tahun 193727 yang berbunyi :
“personal status comprise: suits and matter relating to the status and capacity of person, legal relations between members of a family, more particulary betrothal, marriage, the reciprocal right and duties of husband and wife- dowry and their right of property during marriage, divoerce, redupations, separation legitimacy, recognition, and redupatuion of paternity, the relation between ascendants and descendants, the duty of support relation between ascendants and descendants, the duty of support relative by blood or marriage, legitimation, adoption, guardianship, curatorship, interdiction, emancipation, and olso gifts inheritance wills and other disposiyion “mortis causa”, absence and the
presumption of death”.
27 Dalam hubungan tinjauan kita penting apa yang ditentukan dalam pasal 10
Convention tersebut : In Matters of personal status, the Jurisdiction which is competent shall be determined by the law to applied. The expressions personal status refers to maters specified in article 28 og Rglement d’organization judiciare mixte. The law to be applied shall be ascertained in conformity with the rules set out in article 29 and 30 of the said Reeglement. Pasal 29 dari reglement tersebut berbunyi “ The status capacity of person shal be governed by National laws.
The fundamental conditions of the validity of marriage shall be governed by the national law of each of the parties thereto. In maters concerning relations between the husband and wife, including separations, divorce and repudations and the effects thereof upon their property, the law to be applied shall be the national law of the husband at the time of celebration of the marriage, reciprocal rights and duties as between parents and children shall be governed by the national law of the father. The duty of maintenance shall be governed by the national law of the party against whorn the claim is made. Matters relating to filiation, legitimation, and the recognition and repudations of paternity shal be governed by the national law of father. Questions relating to the validity of adoption shall be governed by the national law of the adopting party as well as by that of the adopted person. The effects of adoptions shall be governed by the national law of the adopting party. Guardianship, curatorship, and emancipation shall be governed by the national law of the person under incapacity. Inheritance and wills shall be governed by the national law of the deceased or of the testator. Gifts shall be governd by the national law of the donor at the time of the gift. The rulrs of the present article shall not affect provisions relating to the legal positionof immovable property in Egypt. Mulai berlaku 15- 10- 1937, 34 AJIL Supp. (1940) 201 dst, dikutip pula dalam rabel I, 113: Kosters- Dubbink.
Status personal seperti yang diuaraikan diatas dalam praktik Hukum
Perdata Internasional negara- negara besar banyak tidak diterima.28, dimana telah
mulai adanya pemberian batasan dari ruang lingkup tentang pengertian dari status
personal ini.
Di Negara Perancis berbeda dengan penjelasan diatas yang menyatakan
bahwa hal- hal diluar status personal adalah hukum harta benda perkawinan,
pewarisan, ajaran tentang ketidakmampuan secara khusus. Di Inggris istilah status
ini dikemukana sebagai situasi hukum seseorang alam masyarakat didalamnya
termasuk hak- hak dan kewajiban- kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan,
yang uunsur- unsurnya pada umumnya tidak dapat diubah oleh perseorangan.
Greverson mengungkapkan bahwa tujuan dari status ini adalah untuk memelihara
“social institutions”, dari perumusan ini tampak corak terpenting, pertama : bahwa
status ini hanya dilimpahkan oleh negara kepada perseorangan, kedua, bahwa hal
ini merupakan kepentingan umum atau masyarakat, ketiga : tidak dapat diperoleh
sesuai kehendak perseorangan, keempat : universalitasnya, yaitu konsepsi status
menurut common law yang dianut oleh negara- negara Anglo saxon.
28 Bdgk. Untuk Jerman, Pagenstecher, 15 Rabelsz (1949) 191yang menganggap secara
tepat Pasal 7 III S.1. EGBGB bunyinya terlampau luas. Di Inggris semual (1977- 1940) umumnya dianut apa yang dinamakan Principle of unevrsality berkenaan dengan foreign status. Status seseorang dan kewenangannya yang menjadi pembawaan tetap melekat pada hukum personalnya dan diakui serta dilaksanakan the world over (kecuali bertentangan dengan public policy). Tidak diperhatikan apakah status asing ini mempunyai equivalent dalam hukum domestic Inggris atau tidak. Kini setelah Baidail v. Baindai (1946). P. 1122 ditekankan pada public policy yang dipentingkan ialah “ the impact dipakai “ not by way of bar, as usual, but by way of admisiions’ ( pengakuan perkawinan polygamy). Lihat Nygh, P.E., Foreign Status, Public policy and discretion. 131 ICLQ (1946) 39 dst., p.h. 50. Bdgk dalam hubungan ini, pengakuan perkawinan polygamy Pakistan di Pakistan : Partington, H. Polygamous Marriages- is a : Wife a Wife?’ note on Din v, National Board (1967) 2 WLR 257, ICLQ (1967) 805-808.
Perlu dicermati pula tentang sahnya suatu perkawinan sebagai dasar dari
status permulaan terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan dimana
perkawinan sesama warga negara asing yang terjadi di Indonesia tidak masuk lagi
dalam muatan pengertian perkawinan campuran internasional berdasarkan
Undang- Undang No 1 Tahun 1974 ini. Perkawinan antara WNI yang dilakukan
di luar negeri diatur dalam Pasal 56 Undang- Undang No 1 Tahu 1974 yang
menyatakan : “ Ayat (1) “ perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara
dua orang warga negara Indonesia atau seseorang warga negara Indonesia dengan
warga negara asing adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia
tidak termasuk melanggar undang- undang ini. Ayat (2) “ dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia , surat bukti pernikahan
mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal
mereka”. Bila kita cermati dalam pasal 56 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974, terlihat
ketentuan dalam pasal 16 dan 18 AB yang secara tidak langsung diterapkan
dengan tidak menyebut lagi kedua pasal tersebut. Pernyataan tentang “
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku dimana
perkawinan itu dilangsungkan”, hal ini merujuk pada pasal 18 AB ( Locus regit
actum, lex loci celebrationis), “bentuk perbuatan dalam hal ini perkawinan”,
tunduk pada hukum dimana perbuatan hukum itu dilakukan, sedangkan ketentuan
yang menyatakan , “ bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan
undang- undang ini” , merujuk pada pasal 16 A.B (dalam hal ini merupakan syarat
materiil), yang tidak boleh dilanggar, seperti ketentuan tentang batas usia
menikah, dianutnya perkawinan sipil atau perkawinan agama bagi suatu negara
yang tunduk pada status personal seseorang yang menganut system civil law atau
common law. Melihat penjelasan diatas maka ketentuan pasal 16, 17, 18 A.B
masih berlaku namun dalam perundang- undangan tertentu saja, dimana ketentuan
itu telah diterapkan pada hukum positif kita tanpa menyebut pasal- pasal
peninggalan Belanda tersebut.
Bila melihat fenomena dan penjelasan tentang bagaimana pengturan
perkawinan campuran di Indonesia dalam perspektif hukum perdata internasional
di Indonesia, masih sangat banyak terdapat permasalah hukum yang timbul akibat
dari perkawinan campuran di Indonesia. Peranan hukum sebagai upaya dalam
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat jelas merupakan kebutuhan mendesak
saat ini dIndonesia. Dalam upaya pembangunan hukum perdata internasional
terkait dengan perkawinan campuran harus sesuai dengan watak dan jiwa bangsa
Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Soetandyo Wignyosoebroto29 bahwa :
“pada dasarnya dan awalnya pemuka- pemuka Indonesia dengan semangat nasionalnya mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat- dapatnya melepaskan diri dari ide hukum kolonial yang ternyata tidak mudah, inilah periode yang berwal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini telah terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional”
29 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari hukum olonial ke Hukum Nasional (dinamika
sosial politik dalam perkembangan hukum di Indonesia), Rajagrafindo Persada, jakarta, 1995, hlm. 187
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulam
Dengan belum adanya aturan hukum terkait dengan sisitem Hukum
Perdata Internasional berdampak pada pengaturan perkawinan campuran di
Indonesia, persoalan- persoalan hukum yang timbul akibat dari perkawinan
campuran seperti yang telah diauraikan diatas terkait aspek sah nya perkawinan
campuran, aspek status kewarganegaraan anak, aspek harta benda hasil
perkawinan campuran, aspek kewarisan dalam perkawinan, serta aspek persoalan
lainnya yang timbul akibat dari perkawinan campuran. Hal ini menegaskan betapa
penting nya politik hukum pembangunan hukum HPI Indonesia dalam
memberikan ketertiban dalam masyarakat yang menyangkut persoalan- persoalan
yang timbul dari perkawinan capuran di Indonesia. Bila kita kembali ada konsep
Indonesia negara hukum maka cita hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan, sehinnga dalam upaya mewujudkan cita hukum dalam bidang hukum
perdata internasional dierlukan politik hukum nasional terkait dengan
perkawinann campuran di Indonesia. Hubungan politik dan hukum sangat erat,
sulit dipisahkan secara tegas sebab dalam kenyataanya keduanya saling
mempengaruhi dan saling membutuhkan.
Dalam pandangan Padmo Wahjono, politik hukum nasional sebagai dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk,
dengan nilai, penentuannya, pengembangannya dan pemberian bentuk
hukumnya.30
Imam Syakuni dan Ashin Thohari mengartikan Politik Hukum Nasional
adalah kebijakan dasar penyelenggaraan negara dalam bidang hukum yang akan
datang, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai- nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tuuan negarayang dicita- citakan.31
Salah satu grand design sistem dan politik hukum nasional adalah prinsip
bahwa hukum mengabdi pada kepentingan bangsa untuk menunjukan negara dan
menjadi pilar demokrasi dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Persoalan
mendasar terkait dengan grand design tersebut adalah bagaimana membuat
struktur sistem hukum yang kondusf, pengembangan bidang- bidang hukum yang
dibutuhkan masyarakat juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum
masyarakat dan kebebasan untuk melaksanakan hak- hak dan kewajiban-
kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi tegasnya harus ada kebijakan
hukm yang telas terkait dengan pembangunan hukum Perdata Internasioal
Indonesia sebagai suatu sistem yang bisa mengatur persoalan- persoalan yang
timbul dari perkawinan campuran di Indonesia.
30 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia, jakarta,
1983, hlm. 160 31 Imam Syahkuni dan A. Ashin Thoharii, Dasar- dasar Politi Hukum, Rajawali Press,
jakarta, 2008, hlm. 58