Upload
others
View
108
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PUTUSAN
BERBEDA DALAM KASUS YANG SAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.GNS dan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN.GNS tahun 2017)
(Skripsi)
Dima Ridho Pratama
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
i
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PUTUSAN
BERBEDA DALAM KASUS YANG SAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.GNS dan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN.GNS tahun 2017)
Oleh
DIMA RIDHO PRATAMA
Tindak pidana Narkotika secara umum merupakan perbuatan atau tindakan
melanggar hukum yang dapat mengakibaktan pemakai menjadi pecandu bahkan
mengkibatkan kematian. Ancaman pidana narkotika menurut pasal 131 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 dan pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 dinilai oleh hakim telah memenuhi rasa
keadilan bagi kedua belah pihak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Metode diatas dilakukan untuk mendapatkan dari daftar pustaka literatur,
jurnal, dan internet yang melandasi kajian skripsi tentang analisis yuridis putusan
hakim dalam menjatuhkan tindak pidana narkotika yang di lakukan tersangka
pada waktu yang bersamaan dan fakta yang terjadi dalam persidangan. Fakta yang
terjadi di persidangan dapat di simpilkan oleh hakim atau juga yang disebut
dengan putusan berdasarkan minimal 2 alat bukti. Alat bukti tersebut diatur
didalam pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang
meliputi 1.Keterangan Saksi, 2.Keterangan Ahli, 3.Petunjuk, 4.Keterangan
Terdakwa
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan. Putusan pengadilan menurut pasal
1 butir 11 KUHAP, adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut dari acara yang di atur dalam undang-undang.
Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pidana pelaku narkotika sudah
dinilai objektif karena hakim melihat tentang asas keadilan. Hakim memberikan
putusan melalui beberapa tahap yaitu: 1. Tahap pertama (Hari Sidang Pertama), 2.
Tahap Kedua (Hari Sidang Kedua), 3. Pemeriksaan Barang Bukti, 4. Pemeriksaan
Terdakwa, 5. Tuntutan Terhadap Terdakwa, Pembelaan Terhadap Terdakwa, 7.
ii
DIMA RIDHO PRATAMA
Putusan Majelis Hakim. Putusan hakim dirasa sudah terpenuhi karena
mengandung unsur resorative justice.
Berdasarkan simpulan di atas maka penulis menyarankan kepada penegak hukum
dalam mengkaji suatu perkara diharapkan dapat benar-benar cermat
mempertimbangkan yuridis maupun non yuridis putusan. Hakim sebaiknya terus
meningkatkan cara terbaik dalam penjatuhan putusannya dengan melihat semua
aspek berdasarkan kepastian hukum dan keadilan hukum sehingga tercapai sebuah
tujuan pemidanaan yang semata-mata bukanlah untuk melakukan suatu balas
dendam tetapi lebih ditujukan untuk mendidik terdakwa agar di kemudian hari
tidak melakukan perbuatan pidana lagi.
Kata kunci : Putusan Hakim, Narkotika, Keadilan
ANALISIS PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PUTUSAN
BERBEDA DALAM KASUS YANG SAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.GNS dan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN.GNS tahun 2017)
Oleh
Dima Ridho Pratama
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Madu pada tanggal 16
Januari 1995, merupakan putra pertama dari dua
bersaudara. Penulis merupakan putra dari pasangan
Bapak Imam Suprio Adiarso dan Ibu Noning Diyah Fajar
Anggraini S.pd.
Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh adalah TK abadi perkasa
diselesaikan pada Tahun 2000, Sekolah Dasar Abadi Perkasa diselesaikan pada
Tahun 2007, Smp Abadi Perkasa diselesaikan pada Tahun 2010, SMA Negeri 1
Terusan Nunyai diselesaikan pada Tahun 2013.
Pada Tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Pada tahun 2016 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Periode I di Kecamatan Gedung Aji Baru desa Mesir Dwi Jaya
Kabupaten Tulang Bawang. kemudian pada Tahun 2018 penulis menyelesaikan
skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
vii
MOTO
“Tahu bahwa kita tahu apa yang kita ketahui dan tahu bahwa kita tidak tahu apa yang tidak
kita ketahui, itulah pengetahuan sejati”
(Copernicus)
“Aku selalu penuh harapan, aku tidak mau menyebut diriku optimis. Aku ingin mengatakan
bahwa aku selalu penuh dengan harapan. Aku tidak pernah kehilangan itu”
(Steven Spielberg)
viii
PERSEMBAHAN
Bismillahirahmanirrahim Atas Ridho Allah SWT dan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsiku ini kepada:
Papaku tercinta Imam Suprio Adiarso dan Mamaku tersayang Noning Diyah Fajar Anggraini
S.pd yang selama ini telah banyak berkorban, selalu mengajarkanku kesabaran dan ketegaran,
selalu memberikan kasih sayang, selalu melindungiku dan merawatku dengan setulus hati,
dan selalu memberikan motivasi untuk maju agar dapat meraih cita-cita dan impianku, selalu
berdoa dan menantikan keberhasilanku. Aku sangat berterimakasih dan aku sangat
menyayangi dan mencintai kalian, akan kubuktikan suatu saat nanti aku akan membuat kalian
tersenyum bangga karena keberhasilanku.
Kepada adikku Dino Satrio yang selalu memberikan warna warni keceriaan dan membuatku
selalu bersemangat untuk memberikan contoh sebagai kakak yang baik buat adikku tercinta.
Almamater tercinta Universitas Lampung Tempatku memperoleh ilmu dan merancang mimpi
yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju kesuksesan.
ix
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul Analisis Penegakan Hukum Yang Dilakukan
Oleh Hakim Atas Kasus Penyertaaan Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 450/Pid.Sus/2016/Pn.Gns Dan
Nomor 412/Pid.Sus/2016/Pn.Gns Tahun 2017). Sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung di
bawah bimbingan dari dosen pembimbing serta bantuan dari berbagai pihak lain.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Prof.Dr.I.Gede AB Wiranata, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Eko Raharjo, S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
x
3. Dona Raisa Monica, S.H.,M.H selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Tri Andrisman, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing I, atas kesabaran dan
kesediaan meluangkan waktu di sela kesibukan, mencurahkan segenap
pemikirannya memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
5. Firganefi, S.H.,M.H selaku pembimbing II, yang telah bersedia untuk
meluangkan waktu, mencurahkan segenap pemikirannnya, memberikan
kritik, saran, dalam proses penyelesaian skripsi ini.
6. Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H selaku pembahas I, yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
7. Muhammad Farid, S.H.,M.H selaku pembahas II, yang telah memberkan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skrisi ini.
8. Dr.Budiono, S.H.,M.H selaku pembimbing akademik penulis atas
kontribusinya membantu selama di bangku perkuliahan.
9. Seluruh dosen dan karyawan bagian hukum pidana fakultas hukum
universitas lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang di berikan kepada penulis
selama menyelesaikan program studi.
10. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terimakasih kapada kedua
orangtua Bapak Imam Suprio Adiarso, yang penulis banggakan dan ibu
Noning Diyah Fajar Anggraini S.pd tercinta, yang telah banyak memberikan
dukungan, motivasi dan pengorbanan baik secara moril maupun materil
sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi dengan baik. Terimakasih atas
xi
segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu
bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan.
11. Adikku tercinta Dino Satrio terimakasih atas semua dukungan, motivasi,
kegembiraan, dan semangatnya yang di berikan untuk kakak.
12. Sahabat-sahabatku tercinta yang menemaniku selama perkuliahan : Elisabeth
Siringo Ringo,Tanto Budi, Rudi, Agil, dan masih banyak lagi yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
13. Sahabat SMA tercinta Orista Ombilin (Boy) yang selalu memberi semangat
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan
tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mangamalkan
ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung,17 Oktober 2018
Penulis
Dima Ridho Pratama
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL............................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................. v
RIWAYAT HIDUP.............................................................................. vi
MOTO................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN................................................................................ viii
SANWACANA..................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................ xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................. 12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian..................................................... 13
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.................................................. 14
E. Sistematika Penulisan...................................................................... 21
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana................................................................ 23
B. Dasar Pertimbangan Hakim............................................................. 29
C. Putusan Pengadilan.......................................................................... 37
D. Tinjauan Tentang Keadilan.............................................................. 41
viii
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan masalah......................................................................... 45
B. Sumber dan Jenis Data..................................................................... 46
C. Penentuan Narasumber..................................................................... 47
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data.................................. 48
E. Analisis Data.................................................................................... 49
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kasus................................................................... 50
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Berbeda
Terhadap Peristiwa Yang Sama ....................................................... 56
C. Rasa Keadilan Dalam Putusan Nomor 450/Pid.Sus/2016/PN.GNS dan
Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN.GNS/Tahun 2017.............................. 75
V. PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................... 84
B. Saran................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap orang yang
melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
proses hukum. Hukum merupakan sarana bagi pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut
disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai
pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas,
yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam
undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan
larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku
dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut.1
Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi dan menaati hukum, namun dalam
kenyataannya sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa
warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Asas_Legalitas
2
ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Tindak
pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan
patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang.2
Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam
masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-
citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan
perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak
pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila
ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan
normatif mengenai dilakukan suatu tindak pidana. Kesalahan dalam arti luas
memiliki pengertian yag sama dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
Kesalahan dalam arti sempit berarti kealpaan. Berkaitan dengan kesalahan bersifat
psikologis dan kesalahan yang bersifat normatif, unsur-unsur kesalahan dalam
tindak pidana:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si
pelaku dalam keadaan sehat dan normal.
2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang
disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).
2 http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-
pidana.html
3
3. Tidak hanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.3
Salah satu tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum indonesia adalah
penyalahgunaan Narkotika. Secara umum permasalahan Narkotika dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang saling terkait,yakni adanya produksi gelap
Narkotika,perdagangan gelap Narkotika dan penyalahgunaan Narkotika. Ancaman
bahaya penyalahgunaan Narkotika merupakan ancaman nasional yang perlu
ditanggulangi sedini mungkin karena merupakan ancaman peradaban manusia
yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan mengancam
pertahanan dan keamanan negara. Ancaman penyalahgunaan obat-obatan
terlarang tersebut dapat menjadi hambatan bagi kelancaran pembangunan,
khususnya pembangunan sumber daya manusia, sehingga perlu ditanggulangi
oleh pemerintah maupun masyarakat.
Sejauh ini narkotika masih menjadi masalah yang kompleks. Disatu sisi
ketersediaan narkotika sangat diperlukan bagi kepentingan medis namun disisi
lain narkotika kini diedarkan secara bebas tanpa izin dan sering
disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Narkotika
sendiri diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 pengganti Undang-
undang No. 22 Tahun 1997. Pasal 1 angka 1 memberikan definisi narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
3 http://triyadipkn.blogspot.co.id/2013/07/1pengertian-kesalahan-dalam-hukum-pidana.html?m=1
4
yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini.
Kecanderungan kejahatan atau penyalahgunaan Narkotika mengalami
peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus
informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan
yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk
seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik
gelap baru dan penyalagunaan Narkotika lain akan semakin marak dimasa
mendatang. Kondisi ini menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik
pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan seluruh lapisan
masyarakat indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang
paling baik guna untuk mengatasi permasalahan Narkotika ini sehingga tidak
sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.4
Tindak pidana yang menyangkut narkotika merupakan tindak pidana khusus
yang menyebar secara Nasional dan Internasional, karena penyalahgunaannya
berdampak negatif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Bentuk
tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain :5
(1). Penyalahgunaan melebihi dosis;
(2). Pengedaran; dan
(3). Jual beli narkotika.
4 https://bnnkgarut.wordpress.com/2012/08/02/faktor-penyebab-penyalahgunaan-narkoba/
5 Moh. Taufik Makaro, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Bogor, Ghalia, 2005, hlm. 45
5
Narkotika dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan, tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama. Bahaya penyalahgunaan obat-obatan terlarang berpangkal dari
mengkonsumsi bahan atau jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini
disebabkan karena dampak yang ditimbulkan karena penyalahgunaan obat-obatan
terlarang akan merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat
meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam klasifikasinya narkotika digolongkan menjadi 3 golongan sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009, yaitu sebagai
berikut :
a. Narkotika golongan I
Narkotika ini hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi/pengobatan serta memiliki potensi sangat tinggi untuk
mengakibatkan sindrom ketergantungan.
b. Narkotika golongan II
Narkotika ini untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi/pengobatan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta memiliki potensi kuat untuk mengakibatkan sindrom ketergantungan.
c. Narkotika golongan III
Narkotika ini untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi/pengobatan
atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berpotensi ringan mengakibatkan
sindrom ketergantungan.
6
Kajahatan dan penyalahgunaan Narkotika di indonesia menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang
mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakkan hukum
yang tegas dan komprehensif. Penegakkan hukum terhadap pelaku
penyalahgunaan Narkotika memiliki peranan yang besar dalam menyelenggarakan
kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas
masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai
perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota
masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Dengan kata
lain penegakkan hukum secara ideal akan dapat mengntisipasi berbagai
penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi
masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum. Pentingnya masalah
penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya tindak
pidana penyalahgunaan Narkotika.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika merupakan
upaya untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai
dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan
keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam
masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak
termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan
keharusan untuk melihat penegakkan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana.
7
Penyalahgunaan narkotika dalam hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan dan
mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak
terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang
tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Keputusan hakim dalam mengambil
suatu keputusan harus mempunyai pertimbangan yang bijak agar putusan tersebut
berdasarkan pada asas keadilan. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan
jenis pidana dan tinggi rendahnya pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk
bergerak pada batas minimum dan maksimum sanksi pidana yang diatur dalam
undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana. Hal ini berarti bahwa masalah
pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim.6
Perihal menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika, hakim harus
mengetahui dan menyadari apa makna pemidanaan yang diberikan dan ia harus
juga mengetahui serta menyadari apa yang hendak dicapainya dengan
mengenakan pidana tertentu kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Oleh karena itu, keputusan hakim tidak boleh terlepas dari serangkaian
kebijakan kriminal yang akan mempengaruhi tahap berikutnya.7
Salah satu contoh kasus tindak pidana penyalahgunaan Narkotika pada Pengadilan
Negeri kelas IIIA Gunung Sugih adalah penjatuhan pidana sebagaimana tertuang
dalam putusan pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017
Tentang Tindak Pidana Narkotika. Pengadilan yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara pidana biasa dalam peradilan tingkat ketiga, telah menjatuhkan
6 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 78.
7 Ibid. hlm. 100.
8
putusan dalam perkara terdakwa. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana yang tersangkut dengan tindak pidana
Narkotika. Dengan mengingat Pasal 131 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dan juga Pasal-Pasal lain dari Undang-Undang yang
bersangkutan maka berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns Tahun 2017:8
1. Menyatakan terdakwa YULIS NAITA ALS MAMI BINTI ADIPATI telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana”.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama
7 (tujuh) bulan.
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa di kurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan agar terdakwa ditahan.
5. Menetapkan barang bukti berupa:
29 (dua piluh sembilan) bungkus plastik bening berisi narkotika jenis shabu-
shabu dengan berat netto seluruhnya 2,3400 (dua koma tiga ribu empat nol
nol (gram)
1 (satu) buah dompet kecil berwarna hitam
1 (satu) buah dompet kecil berwarna ungu motif hello kitty
1 (satu) buah kotak rokok class mild
Membebankan agar terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.2000 (dua ribu rupiah) 8 Putusan. No. 450/Pid.Sus/2016/PN Gns hal 20
9
Berkaitan dengan tindak pidana Narkotika mengingat Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor: 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta
ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini maka berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns
Tahun 2017:9
1. Menyatakan terdakwa Diantoni Bin Ahmad Nurdin, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penyalahguna Narkotika
golongan 1 bagi diri sendiri”
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan
3. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa di kurangkan deluruhnya dari pidana yang di jatuhkan
4. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan
5. Menetapkan barang bukti berupa:
Satu bungkus plastik bening berisi kristal warna putih diduga narkotika jenis
shabu sisa pakai (habis tak tersisa setelah pemeriksaan laboratories BNN
Jakarta)
1(satu) buah alat hisap shabu/bong yang terbuat dari minuman gelas grand
4(empat) buah pipet
1(satu) cotton butt
1(satu) buah jarum
1(satu) buah jarum yang terbuat dari almunium foil
9 Putusan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN Gns. hal22
10
1(satu) buah korek api gas
Uang tunai sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah)
6. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp
200.000 (dua ratus ribu rupiah)
Sesuai dengan ketentuan Pasal diatas terlihat bahwa pelaku Yulis Naita dihukum
pidana kurungan sangat minimal yaitu7 (tujuh) bulan dan denda.Rp.2000 (dua
ribu rupiah) sedangkan pelaku yang bernama Diantoni dihukum kurungan yang
sangat minimal yaitu 1(satu) tahun 3(tiga) bulan dan denda Rp.100.000 (seratus
ribu rupiah). Maknanya adalah terdapat masalah dalam Putusan Pengadilan
Negeri Gunung Sugih Nomor 450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor
412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017.
Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa YULIS
NAITA ALS MAMI BINTI ADIPATI yaitu pertama dikenakan Pasal 131
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 sedangkan terdakwa kedua yaitu
DIANTONI BIN AHMAD NURDIN dikenakan Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Selanjutnya, Majelis
Hakim setelah mempertimbangkan fakta- fakta dan bukti-bukti dalam persidangan
memutuskan dakwaan yang sesuai dengan perbuatan terdakwa yaitu terhadap
terdakwa pertama dikenakan Pasal 131 sedangkan terhadap dakwaan kedua yaitu
melanggar Pasal 127 terdakwa ke dua di kenakan Pasal 127 Ayat (1) huruf (a).
Hal ini membuat sanksi pada putusan yang tertangkap tangan. Sedangkan pada
hasilnya tidak ada tes urien. Juga tidak ada rehabilitasi yang berada pada putusan
kedua hakim tersebut.
11
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang menyatakan
sebagai berikut:10
(1). Setiap penyalahguna :
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun.
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
Setelah dipertimbangkan oleh hakim, terdakwa diputus dengan pidana penjara 1
(satu) tahun karena terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
undang No.35 Tahun 2009. Pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa
sudah tepat, agar memberikan efek jera kepada terdakwa dan juga kepada orang
lain/ masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Namun, untuk
membebaskan terdakwa dari narkotika diperlukan tindakan rehabilitasi agar
terdakwa sembuh secara fisik. Untuk itu, hakim perlu mempertimbangkan Pasal
54 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, menyatakan bahwa “
pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
10
Lampiran Negara UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
12
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan penelitian yang
berjudul: Inkonsistensi Penegakan Hukum Penyertaan dalam Tindak Pidana
Narkotika.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latarbelakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan
yang berbeda terhadap peristiwa yang sama?
b. Apakah putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada perkara (nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017)
telah memenuhi rasa keadilan substantif?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana,
khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana tindak pidana
Narkotika dan dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri
Gunung Sugih Nomor 450/Pid.Sus/2016/PN.Gns Tahun 2017 dan Nomor
412/Pid.sus/2016/PN.Gns.
13
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Mengapa hakim menjatuhkan putusan yang berbeda
terhadap peristiwa yang sama.
b. Untuk mengetahui putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada perkara (nomor
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017)
telah memenuhi rasa keadilan.
2. Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana Narkotika dan dasar-dasar yang
menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak
hukum dalam penegakan hukum. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai
penegakan hukum pidana dimasa-masa yang akan datang.
14
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. Berdasarkan definisi tersebut
maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Tugas Hakim Dalam Mengadili
Fungsi seorang hakim adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada
pengadilan. Berdasarkan ketentuan di atas maka tugas seorang hakim adalah:
1. Menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya;
2. Memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya;
3. Mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Sehubungan dengan tugas hakim, maka berkaitan dengan pemasyarakatan.
Sahardjo memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :
“Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia
menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”11
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Press Jakarta, 1993,
hlm 73
15
Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggungjawab
pelaku. Kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normal dan
kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu untuk
memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa perbuatan itu
tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat; dan menentukan
kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut. Kesalahan mempunyai ciri
sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang
melawan hukum, dengan substansi sebagai berikut :
1) Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan;
2) Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang
berbentuk kesengajaan;
3) Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap
perbuatan pada pembuat pidana.
Keputusan hakim dalam menjatuhkan pidana dan kemudian mengenai perlunya
gagasan pemasyarakatan itu menjadi pertimbangan dalam pemberian keputusan
yang berupa pidana pencabutan kemerdekaan.12
Apakah yang sebenarnya terjadi sebelum hakim memutuskan suatu perkara?
Proses pemikiran apakah yang berlangsung pada hakim tersebut? Apakah
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 292 HIR diikuti, maka hakim memberikan
keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :
1 Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian
12
Sudarto, Op.Cit., hlm. 73-74
16
2 Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
dan dapat dipidana, dan akhirnya
3 Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang harus dilalui jalan yang
panjang dan bersifat kompleks serta membutuhkan teknik-teknik tertentu yang
harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, ialah kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Jalan panjang ini membentang antara kasus dan hakim. Jalan tersebut
salah satunya surat tuduhan, surat tuduhan mengandung dua aspek yang kadang-
kadang tidak begitu jelas terpisah, dan kedua aspek itu disebut sebagai aspek apa
yang terjadi secara nyata dan aspek normatif atau yuridis. Kedua aspek itu
harus diperhatikan oleh hakim. Setelah dibuktikan dengan alat-alat bukti yang
sah dan meyakinkan, bahwa perbuatan yang dituduhkan itu merupakan
perbuatan yang diancam pidana dan ditetapkan kesalahan terdakwa, maka
diputuskan tentang pidananya.13
Mengenai pembuktian, dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa: Seorang
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya(Pasal 183 KUHAP)14
. Alat bukti sah yang dimaksud adalah:
13
Ibid. hlm. 74-77 14 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, 1996, hlm. 112-113
17
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Petunjuk (alat dan surat)
4. Keterangan terdakwa
Pembuktian tersebut merupakan pertimbangan yang bersifat yuridis. Selain itu
hakim juga perlu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non yuridis, yakni
yang berkaitan dengan kondisi dari pelaku tersebut.
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsi yudisialnya.15
b. Teori Keadilan
Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan
akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu masyarakat. Keadilan tidak
berbentuk dan tidak dapat terlihat namun pelaksanaanya dapat kita lihat dalam
prespektif pencarian keadilan. Dalam memberikan putusan terhadap suatu
perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan
15 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hlm. 104.
18
pertimbangan-pertimbangan yang jelas. Berlakunya KUHAP menjadi pegangan
hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan yang tepat dan harus dapat
dipertanggungjawabkan.16
Berikut ini merupakan pandangan Aristoteles tentang
keadilan.
Keadilan menurut Aristoteles dalam buku Sudikno Mertokusumo adalah
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.17
Keadilan dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut:
a. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan
hukum yang berlaku. Ini berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada
hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut
hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara.
b. Keadilan Komulatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain
atau antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lainnya. Keadilan
komulatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan
warga negara yang lain. Dalam bisnis, keadilan komulatif juga disebut atau
16
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, Aksara Persona Indonesia, Jakarta, 1987, hlm 50. 17 Aristoteles dalam buku Sudikno Mertokusumo. Teori Hukum. Cahaya Atma Pustaka.Jakarta.2012.hlm105
19
berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain keadilan komulatif menyangkut
pertukaran yang adil antara pihak-pihak yang terlibat.
c. Keadilan substantif
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-
aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural
yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa
yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara materil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan). Dengan kata lain keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan undang- undang yang tidak memberi rasa keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum. Artinya hakim dituntut untuk memiliki
keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif
undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan
melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya
akan memberikan keadilan formal.
20
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam penelitian.18
Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari
istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Analisis adalah cara pemeriksaan suatu peristiwa atau kejadian dengan
tujuan menemukan suatu unsur dasar dan hubungan antara unsur-unsur
yang bersangkutan;19
b. Pertimbangan adalah suatu tahapan dimana hakim mempertimbangkan
fakta yang terungkap yang dihubungkan dengan alat bukti dalam
menetapkan suatu putusan.
c. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHAP);
d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang- undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP);
e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana
merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum,
18
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 112. 19
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta, Pustaka Amani, 2005, hlm.
43
21
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap
seorang pelaku.20
f. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum;21
g. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan;22
E. Sistematika Penulisan
Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara
keseluruhan maka diuraikan sebagai berikut:
I. Pendahuluan
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka
Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II. Tinjauan Pustaka
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Putusan, Dasar Pertimbangan Hakim,
Tindak Pidana Narkotika.
20
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hlm. 54 21
Lembaran Negara Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 22
Ibid
22
III. Metode Penelitian
Berisi sumber yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah,
Sumber dan jenis Data, Penentuan narasumber, Prosedur Pengumpulan dan
Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana Narkotika dan dasar-dasar yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri
Gunung Sugih Nomor 412/pid.sus/2016/PN.GNS dan 450/pid.sus/2016/PN.GNS
2017
V. Penutup
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasasn
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada
pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku
yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu
hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari
bahasa Belanda: “strafbaar feit”, sebagai berikut23
:
1. Delik (delict)
2. Peristiwa pidana (E. Utrecht)
3. Perbuatan pidana (Moeljatno)
4. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
5. Hal yang diancam dengan hokum
6. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hokum
7. Tindak pidana (Sudarto dan diikuti sampai sekarang)
23
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm. 69
24
Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana
memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut24
:
a. Simons
Tindak pidana adalah “kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dana yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.
b. Pompe
Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum;
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh
peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
c. Vos
Tindak pidana adalah “Suatu kelakukan manusia diancam pidana oleh peraturan
undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana.”
24
Ibid. hlm. 70-71
25
d. Van Hamel
Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-
undang-pen), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana, dan dilakukan
dengan kesalahan.”
e. Wirjono Prodjodikoro
Tindak pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana.”
f. Moeljatno
Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno yaitu Perbuatan pidana (tindak
pidana-pen.) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
dan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut."25
Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai
berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).26
Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud dengan
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau 25
Ibid. hlm. 70 26
Ibid. hlm. 72
26
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika yang terkenal di
Indonesia sekarang ini berasal dari kata Narkoties, yang sama artinya dengan kata
narcosis yang berarti membius. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat.
Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang
lingkup materi maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih
luas tersebut selain didasarkan pada faktor-faktor diatas juga karena
perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan
yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Salah satu materi
baru dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan, mengenai bagaimana penggolongan dimaksud dari
masing-masing golongan telah dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Narkotika.
Sehubungan dengan adanya penggolongan tentang jenis-jenis narkotika
sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) ditetapkan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
seperti terurai di bawah ini.
a) Narkotika Golongan I
Dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika golongan I adalah narkotika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
27
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b) Narkotika Golongan II
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan II adalah
narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c) Narkotika Golongan III
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan III adalah
narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak
pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok
sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan pidana denda. Hukuman badan
berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar
pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi
di masyarakat, karena tindak pidana narkotika sangat membahayakan
kepentingan bangsa dan negara.27
Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal
148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
27
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2004, hlm. 93.
28
merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah
tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak
pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau
narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka
apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan
kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian
narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.28
Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan
pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri kesehatan dapat memberi ijin
lembaga pengetahuan dan menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan
ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja.29
Penanggulangan
terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif,
moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan
secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika,
misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan
penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara
mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan
mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika.
28
Ibid., hlm 87 29
Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika di Indonesia, Bandung .PT. Citra Aditya Bakti, 1990,
hlm 78
29
B. Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHAP). Oleh karena itu, fungsi
seorang hakim adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada
pengadilan. Berdasarkan ketentuan di atas maka tugas seorang hakim adalah:
1. Menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya;
2. Memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya;
3. Mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Seorang hakim dalam sistem kehidupan masyarakat dewasa ini berkedudukan
sebagai penyelesaian setiap konflik yang timbul sepanjang konflik itu diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Melalui hakim, kehidupan manusia yang
bermasyarakat hendak dibangun atas nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu,
dalam melakukan tugasnya seorang hakim tidak boleh berpihak kecuali kepada
kebenaran serta keadilan, serta nilai-nilai kemanusiaan.30
Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-
pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-
fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa di persidangan. Sistem yaang dianut di Indonesia, pemeriksaan di
sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan
memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat
30
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Bandung, Alumni, 1984, hlm. 35
30
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.
Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang
bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.31
Pihak pengadilan dalam rangka penegak hukum pidana, hakim dapat menjatuhkan
pidana tidak boleh lepas dari serangkaian politik kriminal dan anti keseluruhannya
yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pidana
yang dijatuhkan oleh hakim mempunyai dua tujuan yaitu pertama untuk menakut-
nakuti orang lain, agar supaya mereka tidak melakukan kejahatan, dan kedua
untuk memberikan pelajaran kepada si terhukum agar tidak melakukan kejahatan
lagi.32
Pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan
pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan
yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal bersifat
subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan
butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih
dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.33
Kebebasan hakim menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Asas
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
Ayat (1): Dalam menjatuhkan tugas dan fungsinya, hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan.
31
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2001, hlm. 97 32
Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 2 33
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998,
hlm 67
31
Ayat (2): Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam UUD Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Isi Pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 yaitu:
1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4
ayat (1));
2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan (Pasal 4 ayat (2));
3. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1));
4. Perihal mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat
(2)).
5. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat
(1));
32
6. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22 ayat
(1));
Sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim sangat penting peranannya dalam
penegakan hukum apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana
terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan
atas hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
segala putusan peradilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula Pasal tertentu dalam dari Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Selain itu di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilaan yang hidup
dalam masyarakat. Sampai saat ini belum ada pedoman bagi hakim untuk
menjatuhkan pidana kepada seseorang baik yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang yang mengatur tentang
narkotika.
Hakim dalam mengadili dapat mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur
masalah jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan.
Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menentukan batas
maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat
33
pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang
dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang
meliputi perbuatannya tersebut.34
Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak
(impartial judge) sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi,
mengandung makna hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai
hak-hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian
telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan
didepan hukum bagi setiap warga negara (equality before the law).
Suatu putusan pidana sedapat mungkin harus bersifat futuristic. Artinya
menggambarkan apa yang diperoleh darinya. Keputusan pidana selain
merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan
kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan
kejahatan lagi di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat
dihindari. Salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya
pidana yang diberikan kepada seseorang terdakwa selalu didasarkan kepada asas
keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam
putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan
adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu,
keadaan pribadi terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut dapat
mencerminkan sifat futuristik dari pemidanaan itu.35
34
Soedjono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1995, hlm. 40 35
Ibid. hlm. 41
34
Sebelum hakim memutuskan perkara terlebih dahulu ada serangkaian putusan
yang harus dilakukan, yaitu:36
a. Keputusan mengenai perkaranya yaitu apakah perbuatan terdakwa telah
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;
b. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut
bersalah dan dapat dipidana;
c. keputusan mengenai adanya pidananya apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika cenderung lebih banyak
menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat
non-yudiris.
1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan
pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang
telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan
yang bersifat yuridis di antaranya:
a. Dakwaan jaksa penuntut umum;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan terdakwa;
36
Sudarto, Op.Cit. hlm. 78
35
d. Barang-barang bukti;
e. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Narkotika.
2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan
membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat
non yuridis yaitu:
a. Akibat perbuatan terdakwa;
b. Kondisi diri terdakwa.37
Suatu putusan hakim akan bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:38
1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman konsep keadilan
dan kebenaran;
2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya;
3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari pihak-
pihak berperkara maupun tekanan publik;
4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum
sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral;
5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;
6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya termasuk
fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah;
37
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, hlm. 63 38
Wahyu Affandi, Op.Cit, hlm. 89
36
7. Kondisi aturan hukum di dalam aturan hukum formil dan materiil masih
mengandung kelemahan.
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni,
dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria
dasar pertanyaan (the way test) berupa:39
1. Benarkah putusanku ini?;
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan ini?;
3. Adilkah bagi pihak-pihak terkait dalam putusan ini?;
4. Bermanfaatkah putusanku ini?;
Praktiknya walaupun telah bertitik tolak dari sifat/sikap seseorang hakim yang
baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik
pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan, kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja
aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam
membuat keputusan.40
C. Putusan Pengadilan
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan
dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Suatu
proses pemeriksaan perkara terakhir dengan putusan akhir atau vonis, Dalam
putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah
39
Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm. 136 40
Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 125.
37
dipertimbangkan dan putusannya. Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11
KUHAP, adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut acara yang diatur dalam undang-undang.41
Berdasarkan perumusan tersebut maka pengertian “Pernyataan hakim”
mengandung arti bahwa hakim telah menemukan hukumnya yang menjadi dasar
pemidanaan, bebas, atau lepas dari segala tuntutan. Jadi ini putusan adalah
perwujudan dari telah ditemukan hukumnya oleh hakim.42
Sebelum sampai pada
putusan, beberapa tahap yang harus dilalui dalam persidangan yaitu sebagai
berikut:43
1. Tahap Pertama (Hari Sidang Pertama)
Tahap pertama persidangan hakim menyatakan kebenaran identitas terdakwa,
dan kondisi kesehatan terdakwa. Selanjutnya akan dilakukan pembacaan
dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Setelah pembacaan dakwaan, hakim
menanyakan kepada terdakwa atau kuasa hukumnya, apakah akan mengajukan
eksepsi.
2. Tahap Kedua (Hari Sidang Kedua)
Tahap kedua persidangan yaitu melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi
yang berkaitan dengan suatu perkara.
41
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 129 42
Kadri Husin & Budi Rizki, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Bandar Lampung, Lembaga
Penelitian Universitas Lampung, 2012, hlm. 127 43
Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 196-203
38
3. Pemeriksaan Barang Bukti
Persidangan dengan agenda pemeriksaan barang bukti ini, terdakwa maupun
kuasa hukum atau pembelanya harus benar-benar jeli dan mengerti informasi
yang harus diberikan secar jujur oleh terdakwa terhadap kebenaran barang bukti
tersebut.
4. Pemeriksaan Terdakwa
Pemeriksaan terhadap terdakwa adalah rangkaian pemeriksaan yang menandai
akan segera selesainya proses persidangan di tingkat pertama untuk menentukan
salah dan tidaknya terdakwa, atau menandai segera akan diputuskannya perkara
dugaan tindak pidana itu. Hal ini masih dalam rangkaian pemeriksaan untuk
mencari pembuktian yang dibutuhkan, apakah benar peristiwa pidana itu telah
terjadi dan telah betul-betul memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai orang
yang bertanggung jawab atau suatu kesalahan.
5. Tuntutan Terhadap Terdakwa
Setelah pemeriksaan terhadap saksi dan barang bukti yang dianggap terkait erat
dengan dugaan tindak pidana dinyatakan selesai, selanjutnya jaksa penuntut
umum untuk mengajukan tuntutan terhadap terdakwa kepada majelis hakim yang
menyidangkan perkara itu.
6. Pembelaan Terhadap Terdakwa
Pembelaan terhadap terdakwa biasanya dilakukan oleh kuasa hukumnya, dapat
juga dilakukan sendiri oleh terdakwa karena terdakwa tidak menggunakan jasa
seorang pengacara.
39
7. Putusan Majelis Hakim
Putusan majelis hakim dalam perkara pidana ini ada 2 macam diantaranya:
a. Dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
b. Dinyatakan tidak cukup bukti bersalah
8. Banding
Setelah persidangan tahap pertama selesai, terdakwa dapat mengajukan banding
atas putusan hakim yang diberikan kepadanya apabila terdakwa tidak puas
terhadap putusan tersebut.
Putusan hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, dalam merumuskan
keputusannya hakim harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu, dalam hal
pemeriksaan dilakukan dengan hakim majelis, maka musyawarah tersebut harus
pula berdasarkan apa yang didakwakan dan apa yang telah dapat dibuktikan. Jadi
bukan musyawarah untuk mufakat sekedar untuk mencapai tujuan tertentu,
melainkan didasarkan pada alasan-alasan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam putusannya. Dan juga harus dipenuhi beberapa
syarat formalitas dari suatu putusan hakim.44
Yurisprudensi adalah putusan hakim atau putusan pengadilan. Pengadilan adalah
lembaga yang melaksanakan atau menegakkan hukum secara konkrit berkenaan
dengan adanya tuntutan hak. Berarti, putusan pengadilan merupakan produk
yudikatif yang menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 ditentukan sebagai 44
Ibid
40
pelaksanaan kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan
demikian putusan hakim atau putusan pengadilan adalah hukum yang bersifat
mengikat dan dapat dipaksakan secara phisik.45
Yurisprudensi dibedakan menjadi dua, yaitu:46
a. Yurisprudensi tetap, keputusan hakim yang digunakan sebagai dasar oleh
hakim lain yang merupakan rangkaian keputusan yang serupa;
b. Yurisprudensi tidak tetap, keputusan hakim yang digunakan oleh hakim
lain sebagai pedoman karena sependapat.
Putusan hakim (vonis) didalamnya terdapat dua bagian, yaitu:47
i. ratio decidendi, yaitu alasan-alasan yang berkaitan langsung atau yuridis
relevant yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan
putusan. Di dalam hal ini, hakim menguraikan fakta-fakta material (material
facts) yang terungkap atau terbukti di persidangan, sehingga hakim
menggunakannya sebagai alasan atau pertimbangan hukum (yuridis) untuk
memutus.
ii. obiter dictum, yaitu suatu ucapan atau sesuatu yang dikemukakan secara
sepintas dan tidak berkaitan langsung atau yuridis irrelevant. Dengan
demikian, tidak memiliki dasar dan kekuatan mengikat untuk
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
45
Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2011,
hlm.32 46
Ibid. 47
Ibid. hlm. 33
41
Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Memang, hakikatnya teori pemidanaan tersebut ditransformasikan
melalui kebijakan pidana (criminal policy) pada kebijakan legislatif.48
D. Tinjauan Tentang Keadilan
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada
yang benar. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada
hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.
Keadilan dalam konteks hukum menyangkut hubungan antara individu atau
kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok
masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara berdasarkan hukum yang
berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Keadilan menurut Barda Nawawi Arief adalah perlakuan yang adil, tidak berat
sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar.51
Keadilan menurut
kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi maka hal itu dikatakan adil. Pada
praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum
ternyata masih dapat diperdebatkan.
48
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 128
42
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-
aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural
yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa
yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara materil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar
substansi keadilan). Dengan kata lain keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum.
Artinya hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang
berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan
substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan,
karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan
formal.52
Banyak pihak merasakandan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil
karena terlalu syarat dengan prosedur, kaku, dan lamban dalam memberikan
putusan terhadap suatu sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang
hakim terhadap hukum yang kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan
konkretisasi hukum.53
Keadilan sebagai suatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada
perjanjian yang telah disepakati, dalam keadaan tidak berat sebelah dan
sepatutnya tidak sewenang-wenang. Keadilan adalah suatu perbuatan mengambil
43
hak dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada
orang yang berhak menerima keadilan tersebut.54
Keadilan mengatur hubungan
yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu
dengan warga negara lainnya. Dengan demikian peranan keadilan dan nilai-nilai
di dalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum
apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif.
Berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat
yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh
pelembagaan hukum di dalam masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan
perencanaan yang matang, biaya yang cukup besar dan kemampuan
memproyeksikan secara baik. Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang
sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-
nilai yang ada mengalami proses perubahan pula.
Masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya
mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam
masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan
sifat dan sikap orang-orang yang terlibat di dalam masyarakat yang
membangun.55
Ide keadilan mengandung banyak aspek dan dimensi yaitu keadilan hukum,
keadilan ekonomi, keadilan politik dan bahkan keadilan sosial. Memang benar
bahwa keadilan sosial tidak identik dengan keadilan ekonomi ataupun keadilan
hukum. Bahkan keadilan sosial juga tidak sama dengan nilai-nilai keadilan yang
diimpikan dalam falsafah kehidupan yang bisa dikembangkan oleh para filosof.
44
Ujung dari pemikiran dan impian-impian tentang keadilan itu adalah keadilan
aktual dalam kehidupan nyata yang tercermin dalam struktur kolektif
masyarakat. Artinya ujung dari semua ide tentang keadilan hukum dan
keadilan ekonomi adalah keadilan sosial yang nyata. Karena itu dapat dikatakan
bahwa keadilan sosial itu merupakan simpul dari semua dimensi dan aspek dari
ide kemanusiaan tentang keadilan.
Istilah keadilan sosial itu terkait dengan pembentukan struktur kehidupan
masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan
solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang memiliki hak-hak yang sama yang bersifat asasi.56
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk
memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau
kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan
realitas yang ada.53
Berdasarkan pengertian tersebut, pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris digunakan untuk memahami persoalan mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku penyalahguna
narkotika dengan berdasarkan pada studi kasus terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Gunung Sugih Nomor 450/pid.sus/2016/PN.GNS dan Nomor
412/Pid.Sus/2016/PN.GNS).
53
Soerjano Soekanto, Op.Cit. hlm. 41
46
B Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang langsung dari lapangan penelitian dengan
cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang
diperlukan dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum
yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam
penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
(4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
47
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai
dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal
dari Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 450/pid.sus/2016/PN.GNS
dan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN.GNS.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/pendapat
para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, media masa, kamus
hukum dan sumber dari internet.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang dapat memberi informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti, dengan demikian maka dalam penelitian ini penentuan narasumber
yang akan diwawancarai sangat penting guna mendapatkan informasi terkait yang
diteliti. Sebagaimana tersebut diatas maka narasumber dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih = 2 orang
2) Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang
Jumlah = 3 orang
48
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan
seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta
melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan
berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
49
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-
benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Sistematisasi, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok pembahasan
sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data merupakan langkah lanjut setelah melakukan penelitian. Menurut
Soerjono Soekanto, analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat
yang tersusun secara sistematis, jelas, dan terperinci yang kemudian
diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal
yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini.54
54
Ibid. hlm. 121
V. PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I sebagaimana yang
dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor:
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017.
yaitu majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yuridis dan non yuridis.
Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis adalah unsur delik pada Pasal 127
ayat (1) huruf (a), alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan
ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa dan fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis
adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Rasa keadilan dirasa kurang memenuhi rasa keadilan karena hakim hanya
melihat seperti motif terdakwa lalu tujuan terdakwa melakukan hal tersebut.
Berdasarkan hukum seharusnya hakim memberikan keadilan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang narkotika masing-masing. Putusan hakim berupa
85
pidana penjara ringan, ini artinya terdakwa akan diberikan kesempatan untuk
memperbaiki hidupnya dan untuk melanjutkan menjadi pribadi yang lebih
baik lagi.
2. Putusan Hakim menjatuhkan putusan yang berbeda terhadap peristiwa yang
sama atau bisa disebut dengan koorporatif hakim bagi pelaku Penyalahgunaan
Narkotika yang tertangkap tangan pada putusan No.
450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor 412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017
yaitu:
Bahwa terdakwa pada putusan No. 450/Pid.Sus/2016/PN.Gns dan Nomor
412/Pid.sus/2016/PN.Gns Tahun 2017 saudara YULIS NAITA ALS MAMI
BINTI ADIPATI terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dan melanggar Pasal 131 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika “dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana”.
Dengan pidana penjara 7 (tujuh) bulan. Sedangkan saudara DIANTONI Bin
AHMAD NURDIN terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor: 8 tahun 1981
tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta ketentuan hukum
lain yang berkaitan dengan perkara ini “Penyalahguna Narkotika Golongan I
Bagi Diri Sendiri. Dengan pidana penjara selama 1 satu tahun 3 tiga bulan.
Dari keterangan hakim menyatakan bahwa hal ini dapat disebabkan dengan
perbedaan pendapat berdasarkan dari keyakinan hakim itu sendiri. Bahwa
hakim diperbolehkan menjatuhkan hukuman berdasarkan keyakinan dan hati
nurani.
86
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada majelis hakim untuk lebih mempertimbangkan aspek
rehabilitasi bagi para pengguna (bukan pengedar) narkotika agar pengguna
tersebut setelah direhabilitasi akan dapat kembali dan diterima dalam
kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di
kemudian hari.
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah produk
undang-undang yang baik dalam menangani masalah penyalahgunaan
narkotika, namun melihat Pasal-Pasal didalamnya beberapa menimbulkan
ketidakpastian. Dibutuhkan aturan turunan dari Pasal yang dianggap penting
dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan
narkotika.
Daftar Pustaka
Buku
Arief, Barda Nawawi. 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti,
Supramono, Gatot. 2004, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta, Djambatan,
Hamzah, Andi. 2001, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta,
Hamzah. Andi, 2009, Termologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika
Hartono, 2007, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika
Husin Kadri dan Budi Rizki, 2012, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,
Bandar Lampung, Lembaga Penelitian Universitas Lampung,
H.M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta Kencana
Marpaung, Laden. 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar
Grafika,
Mertokusumo, Sudikno. 2012 dalam buku Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,
Jakarta: PT. Raja Grafindo,
Mulyadi, Lilik. 2007, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu.
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta,
Moh. Taufik Makaro, dkk., 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor, Ghalia,
Muhammad Ali, 2005, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta,
Pustaka Amani,
Mulyadi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, Sinar Grafika
Rifai,Ahmad. 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta, Sinar Grafika,
Soedjono Dirjosisworo, 1990, Hukum Narkotika di Indonesia, Bandung.PT. Citra
Aditya Bakti,
Soerjono Soekanto, 1993, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Press Jakarta,
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni,
Tri Andrisman, 2011, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung
Wahyu Affandi, 1984, Hakim dan Penegakan Hukum, Bandung, Alumni,
Media
https://id.wikipedia.org/wiki/Asas_Legalitas
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2016/09/pengertian-dan-unsur-
pertanggungjawaban-pidana.html
https://bnnkgarut.wordpress.com/2012/08/02/faktor-penyebab-penyalahgunaan-
narkoba
Putusan. No. 450/Pid.Sus/2016/PN Gns
Putusan Nomor 412/Pid.Sus/2016/PN Gns
Lampiran Negara UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Lembaran Negara Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika