Upload
leon-l-gaya
View
221
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tifoid
Citation preview
Artikel Penelitian
Faktor Risiko Infeksi Tifoid di Kepulauan-Kepulauan di Indonesia
Abstrak
Latar Belakang
Pengetahuan tentang faktor risiko dan pentingnya dalam pengaturan yang berbeda sangat penting
untuk mengembangkan materi pendidikan kesehatan yang efektif untuk pencegahan tifoid.
Dalam penelitian ini, kami memeriksa efek tingkat rumah tangga dan faktor risiko perilaku
terhadap risiko tifoid di tiga pulau di Indonesia (Sulawesi, Kalimantan dan Papua) di kepulauan
Indonesia timur meliputi daerah pedesaan, daerah pinggiran kota, dan perkotaan.
Metode
Kami melibatkan 933 pasien diatas usia 10 tahun pada penelitian case control yang berbasis
fasilitas kesehatan antara Juni 2010 dan Juni 2011. Individu terduga tifoid diperiksa
menggunakan lateral flow assay IgM tifoid untuk serodiagnosis demam tifoid, diikuti dengan
pemeriksaan kultur darah. Kasus dan kontrol didefinisikan setelah rekrutmen: kasus adalah
individu dengan hasil positif pada serologi atau kultur (n=449); kontrol merupakan individu
dengan hasil negatif pada serologi dan kultur, dengan atau tanpa diagnosis selain tifoid (n= 484).
Regresi logistic digunakan untuk memeriksa pengaruh tingkatan rumah tangga dan faktor risiko
perilaku tingkat individu dan kami menghitung Population Attributable Fraction (PAF) dari
menghilangkan setiap faktor risiko perilaku individu yang signifikan
Hasil
Mencuci tangan pada saat penting dan mencuci tangan dengan sabun adalah faktor pelindung
independen yang kuat untuk tipus (OR = 0,38 95% CI 0,25-0,58 untuk setiap peningkatan unit
cuci tangan skor frekuensi dengan nilai antara 0 = Tidak pernah dan 3 = Selalu; OR = 3.16 95%
CI = 2,09-4,79 membandingkan mencuci tangan dengan sabun kadang-kadang / tidak pernah vs
sering). Efek ini independen dari tingkat akses terhadap air dan sanitasi. Hingga dua pertiga dari
kasus dapat dicegah dengan kepatuhan terhadap praktek-praktek ini (PAF cuci tangan = 66,8
95% CI 61,4-71,5; PAF penggunaan sabun = 61,9 95% CI 56,7-66,5). Makan makanan luar di
kios atau restoran juga faktor risiko yang penting (OR = 6,9 95%CI 4.41 – 10.8 untuk setiap unit
peningkatan di nilai frekuensi).
Kesimpulan
Keuntungan besar bisa dicapai dalam mengurangi kejadian tifoid dengan memastikan kepatuhan
terhadap praktek cuci tangan yang memadai saja. Ini menegaskan bahwa ada peran penting untuk
'software' intervensi terkait untuk mendorong perubahan perilaku dan menciptakan permintaan
untuk barang dan jasa, di samping pembangunan infrastruktur air dan sanitasi.
Pendahuluan
Demam tifoid adalah penyakit demam akut dan sering mengancam jiwa ditularkan melalui rute
fecal-oral oleh bakteri Salmonella enterica serotype Typhi. Individu terinfeksi oleh konsumsi air
yang terkontaminasi atau makanan tetapi juga setelah kontak dengan pasien atau ex-pasien.
Pasien mungkin menjadi karier (pembawa) seumur hidup dan individu tersebut mengeluarkan
patogen dengan tinja mereka membentuk faktor yang signifikan dalam pemeliharaan patogen
dalam suatu populasi. patogen tidak menginfeksi hewan, dan karena itu, transmisi hanya dari
manusia ke manusia.
Terdapat data yang kurang dapat diandalkan pada beban tifoid, karena terbatasnya ketersediaan
layanan kultur darah dan tantangan yang berkaitan dengan menerapkan teknik pengawasan
demam skala besar untuk mengukur insidensi penyakit. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa
penyakit ini mengakibatkan 13,5 juta penyakit secara global pada tahun 2010. Di seluruh dunia,
angka insiden tertinggi demam tifoid telah direkam di Afrika dan Asia. Di Indonesia, sebuah
penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Jakarta diperkirakan tingkat kejadian tifoid pada
148,7 per 100.000 orang pada kelompok usia 2-4 tahun, 180,3 pada kelompok usia 5-15 tahun
dan 51,2 pada mereka lebih dari 16 tahun usia, dengan usia onset rata-rata 10,2 tahun. Tanpa
pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki tingkat fatalitas kasus 10-30%, tetapi jumlah ini
berkurang menjadi 1-4% pada mereka yang menerima terapi yang tepat.
Secara historis World Health Organisation telah mempertahankan posisi bahwa pengendalian
tifoid harus berputar di sekitar penanganan kasus akut dikombinasikan dengan perbaikan dalam
air dan sanitasi. Dua vaksin berlisensi untuk digunakan-vaksin Ty21a oral dan vaksin
polisakarida Tifoid suntik - pada pengaturan berisiko tinggi. Meskipun pengalaman positif di
Asia yang membuka jalan untuk fokus baru pada program vaksinasi, mengurangi paparan
penyakit dengan cara meningkatkan air dan sanitasi tetap landasan pencegahan tifoid. Namun,
ada pengakuan yang berkembang bahwa akses terhadap air dan sanitasi saja tidak cukup-sampai
kebersihan dipraktekkan dengan benar, baik di rumah dan di masyarakat secara keseluruhan,
dampak yang diinginkan dari peningkatan pelayanan air dan sanitasi pada hasil kesehatan terkait
(termasuk tifoid) tidak dapat direalisasikan.
Pengetahuan tentang faktor risiko dan kepentingan relatif dari akses air dan sanitasi ('hardware'),
dibandingkan perilaku individu ('software') adalah penting untuk mengembangkan intervensi
kesehatan yang efektif. Berbagai faktor risiko demam tifoid telah dilaporkan dalam studi yang
berbeda di Indonesia dan ini secara umum dapat dibagi dalam faktor yang terkait dengan tingkat
pendidikan yang rendah, kontak dengan pasien tifoid, kurangnya akses terhadap air bersih dan
sanitasi, praktek cuci tangan yang tidak memadai dan kebersihan yang buruk, serta konsumsi
makanan dan minuman jalanan. Namun, tidak ada studi sampai saat ini secara sistematis menilai
kepentingan relatif dari 'hardware' vs 'software' dan di berbagai pengaturan di Indonesia, meliputi
daerah perkotaan dan pedesaan. Terlebih lagi belum diketahui berapa banyak kasus yang dapat
dihindari dengan mengurangi perilaku “risiko tinggi” tanpa mengintervensi akses terhadap
hardware. Dalam studi ini, kami menguji pengaruh faktor risiko tingkat rumah tangga dan
perilaku individu pada risiko tifoid dan memperkirakan Population Attributable Fraction terkait
dengan penghapusan faktor risiko utama di tiga pulau Indonesia yang meliputi daerah pedesaan,
pinggiran kota dan perkotaan.
Material dan Metode
Desain penelitian dan rekrutmen pasien
Total 933 pasien direkrut dalam penelitian kasus kontrol antara Juni 2010 dan Juni 2011 dari 14
rumah sakit dan pusat kesehatan terpilih di tiga pula Indonesia; di Makassar dan sekitarnya di
Sulawasi Selatan (Sulawesi); Jayapura (Papua); Samarinda di Kalimantan Timur (Kalimantan)
(Gambar 1). Fasilitas kesehatan yang terletak di berbagai pengaturan pedesaan, perkotaan dan
pinggiran kota, dimana daerah pinggiran kota didefinisikan sebagai daerah di pinggiran daerah
perkotaan, dalam transisi dari desa ke kota. Pusat kesehatan dimasukkan berdasarkan
ketersediaan tenaga kesehatan, kesediaan untuk berpartisipasi, serta aksesibilitas ke fasilitas
diagnostik lokal (untuk memungkinkan mudah transportasi bahan kultur darah). Ini meliputi dua
fasilitas di Kalimantan (satu di daerah pinggiran kota, satu di daerah perkotaan), tiga di Papua
(dua di daerah pinggiran kota dan satu di daerah perkotaan) dan sembilan di Sulawesi (dua di
daerah pedesaan, tiga di pinggiran kota daerah dan empat di daerah perkotaan).
Kriteria untuk pendaftaran dalam penelitian ini adalah memenuhi setidaknya 2 dari kriteria 3
kecurigaan tifoid berikut: 1) demam pada hari konsultasi (suhu tubuh diukur aksila> 37,5 ° C); 2)
durasi demam 3 hari; 3) sakit kepala sejak awal demam. Hanya individu di atas usia 10 tahun
pada hari perekrutan dilibatkan dalam penelitian tersebut.
Individu yang dicurigai tifoid diuji dengan caralateral flow assay IgM tifoid untuk serodiagnosis
demam tifoid diikuti dengan pengujian kultur darah (lihat paragraf di bawah ini untuk rincian).
Tiga kelompok dengan ukuran yang kira-kira sama direkrut: 1) pasien yang positif untuk
serologi yang terdaftar sebagai kasus potensial dan tes kultur dilakukan; 2) pasien dengan
serologi negatif tetapi masih ada kecurigaan klinis tifoid, yang terdaftar sebagai kontrol potensial
dan juga diuji oleh kultur; 3) pasien dengan serologi negatif dan tidak ada kecurigaan klinis
tifoid dan didiagnosis dengan penyakit lain direkrut sebagai kontrol potensial dan tidak ada
pengujian kultur itu dilakukan. Algoritma ini dibangun berdasarkan yang saling melengkapi
antara lateral flow yang, menjadi tes antibodi, memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk
pasien tahap selanjutnya (dari 7 hari dan seterusnya) dan pengujian kultur darah yang memiliki
sensitivitas tinggi untuk pasien tahap awal. Algoritma ini dipilih melalui konsultasi dengan
semua staf yang terlibat dalam penelitian ini untuk mengakomodasi 1) tujuan studi (pengenalan
pengujian serologis di fasilitas kesehatan terpencil di mana pengujian kultur tidak dilakukan
secara rutin); 2) kekhawatiran diagnostik utama (a serologi positif pada pasien demam dengan
diagnosis lain seperti tifoid mungkin karena sensitisasi di masa lalu yang menjamin tindak lanjut
dari semua uji serologis dengan pengujian kultur); dan 3) praktek klinis rutin, yang
memprioritaskan penggunaan pengujian kultur untuk serologi negatif hanya bila diagnosis
lainnya tidak dapat ditemukan-meskipun selama minggu pertama antibodi penyakit sering tidak
terdeteksi, yang akan membenarkan tes kultur untuk semua tes serologi negatif.
Prosedur untuk lateral flow assay IgM tifoid yang mendeteksi antibodi IgM spesifik telah
didokumentasikan di tempat lain. Hasil uji dinilai dari 1+ ke 4+ tergantung pada intensitas
pewarnaan pada garis uji dan hasilnya dianggap positif ketika lebih besar atau sama dengan 1 +.
Kultur darah dilakukan oleh inokulasi 8 ml darah venopuncture yang baru dikumpulkan langsung
ke Bactec ditambah botol aerobik/F. Kultur bakteri dibiarkan tumbuh selama 24 jam dengan
inkubasi pada 37 ° C setelah 1 ml kaldu tersebar pada diameter 9 cm, lempeng agar 15 mL SS.
Setelah inkubasi lagi selama 72 jam pada suhu 37 ° C piring diperiksa untuk koloni dan koloni
individu diambil dan dilakukan identifikasi biokimia.
Faktor risiko perilaku individu dikumpulkan pada perekrutan dan termasuk penyakit saat ini dan
masa lalu, kondisi dan kebiasaan sanitasi, kebersihan pribadi termasuk frekuensi mencuci tangan,
kebiasaan makan (di luar) dan penggunaan dan persiapan air minum yang aman, perjalanan baru-
baru ini, kontak terakhir dengan pasien tifoid dan pengetahuan mengenai tifoid dan pencegahan
tifoid. Selain dari Desember 2010 dan seterusnya kuesioner diserahkan ke kontak rumah tangga
dari tiap pasien suspek tifoid untuk memperoleh informasi mengenai tingkat akses rumah tangga
terhadap air, kebersihan dan sanitasi. Data tingkat rumah tangga dikumpulkan untuk subset dari
494 dari 933 individu yang terdaftar dalam penelitian.
Pengumpulan data dilakukan oleh staf terlatih menggunakan kuesioner semi-terstruktur dan
sudah diuji sebelumnya. Informasi dikumpulkan dari kuesioner kertas dan kemudian dimasukkan
dalam database elektronik.
Analisa Statistik
Untuk statistik analisis, definisi kasus berikut didefinisikan setelah-rekrutmen: kasus tipe I
adalah individu dengan hasil kultur positif tanpa mempertimbangkan hasil serologis (c+/s+;
c+/s-); kasus tipe II adalah individu dengan hasil kultur negatif namun hasil seropositif (c-/s+);
kontrol tipe I adalah individu dengan hasil negatif pada serologi dan kultur (c-/s-); kontrol tipe II
adalah individu dengan hasil serologi negatif dan dengan diagnosis selain tifoid (s-/d-). Pada
penelitian ini, kami melakukan analisis utama membandingkan kedua kontrol (tipe I dan II)
versus kedua kasus (tipe I dan II). Analisis sub-set dilakukan denan membandingkan kasus Tipe
I dan kontrol tipe I.
Pengaruh faktor risiko tingkat individu dan rumah tangga dinilai dengan regresi logistik. Banyak
faktor risiko individu yang dihubungkan, kami membangun gabungan indikator untuk
merangkum informasi dari kelompok variabel kolinear menjadi variabel yang unik. Sebuah
skoring frekuensi keseluruhan mencuci tangan (cuci tangan di waktu penting) dibuat sebagai
rata-rata dari variabel individu: mencuci tangan setelah menggunakan toilet, mencuci tangan
sebelum makan, cuci tangan sebelum menyiapkan makanan, mencuci tangan setelah mengganti
popok, mencuci tangan ketika pulang ke rumah, mencuci tangan sebelum berdoa. Masing-
masing variabel cuci tangan diberi kode saat pengumpulan data pada skala kategoris mulai dari 0
(tidak pernah) sampai 3 (selalu). Skoring frekuensi keseluruhan mencuci tangan adalah variabel
skor kontinu mulai dari 0 (tidak pernah mencuci di waktu penting) sampai 3 (mencuci tiap waktu
penting). Demikian pula dua nilai frekuensi untuk makan makanan di rumah atau di luar
diciptakan dari variabel kategori individu yang menunjukkan frekuensi sarapan, makan siang dan
makan malam yang dikonsumsi di rumah atau diluar (misalnya restoran atau warung). Hal ini
mengakibatkan nilai kontinu antara 0 (tidak pernah mengkonsumsi makanan di rumah/di luar)
sampai 3 (selalu makanan di rumah/di luar).
Kami meneliti Population Attributable Fraction (PAF) menghapus setiap faktor risiko perilaku
individu, menurut pulau dan dengan jenis pengaturan (perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan)
untuk menilai proporsi kasus yang dapat berpotensi dihindari dengan menghapus setiap faktor.
Perkiraan dan keyakinan interval PAF diperkirakan menggunakan perintah punafcc di Stata,
yang mengimplementasikan estimasi kemungkinan maksimum dari fraksi disebabkan dari model
logistik.
Semua analisis dilakukan dengan STATA/SE 12.1 untuk Windows
Etik
Komite etik kedokteran Universitas Hasanuddin menyetujui penelitian ini. Informed consent tertulis
didapatkan dari peserta yang dapat membaca, atau dari pengasuhnya jika peserta masih dibawah umur.
Informed consent lisan didapatkan dari semua peserta yang terdaftar dalam penelitian atau pengasuhnya.
Untuk peserta yang tidak dapat membaca, hanya memberikan persetujuannya secara lisan, persetujuan
tersebut didokumentasikan dengan tanda tangan saksi. Penggunaan persetujuan lisan untuk peserta yang
tidak dapat membaca, secara khusus disetujui oleh komite etik.
Hasil
Dari 933 pasien dalam kelompok penelitian ini, mencakup: 1) 295 individu yang serologinya positif dan
terdaftar sebagai kasus yang berpotensi, 151 (51,2%) positif dari pemeriksaan kultur; 2) 328 individu
yang serologinya negatif tetapi secara klinis dicurigai tifoid dan terdaftar sebagai kontrol yang berpotensi,
154 (46,9%) positif dari pemeriksaan kultur; 3) 310 individu yang serologinya negatif dan didiagnosis
dengan penyakit lain dan termasuk sebagai kontrol yang berpotensi. Dari 310 pasien, 12 (3,9%)
didiagnosis dengan demam berdarah dengue, 37 (11,9%) dengan hepatitis, 48 (15,5%) dengan
leptospirosis, 65 (21%) dengan malaria (21,0%), 66 (21,2%) dengan infeksi saluran pernafasan atas
(21,3%) dan 82 (26,5%) tetap dengan diagnosis yang belum diketahui. Berdasarkan definisi
pengategorian kasus yang ditetapkan setelah pemilihan untuk analisis, dari 933 pasien yang terpilih, 305
(32,7%) yang diklasifikasikan sebagai kasus tipe I; 144 (15,4%) sebagai kasus tipe II; 174 (18,6%)
sebagai kontrol tipe I; dan 310 (32,2%) sebagai kontrol tipe II. Hanya ada satu yang cenderung jelas
dalam karakteristik sosio-demografi pada definisi kasus: kasus lebih menunjukan sebuah “pernyataan
yang terkait makanan” dibandingkan kontrol (Tabel 1).
Karakteristik Rumah Tangga
Distribusi karakteristik rumah tangga dari definisi kasus mengungkapkan bahwa kontrol tipe I berbeda
dengan kontrol tipe II dan ternyata secara umum lebih mendekati ke kasus dari pada kontrol (Tabel S1) –
mereka memiliki akses yang lebih buruk terhadap air dan sanitasi, penilaian lebih buruk pada indikator
kebersihan (kebersihan dapur, ketersediaan tempat sampah dan lain-lain) dan berasal dari rumah tangga
yang tidak mampu. Prediktor terkuat dari risiko tifoid pada tingkat rumah tangga adalah ketersediaannya
sabun di dekat toilet, meningkatkan kemungkinan sampai empat kali lipat (Tabel S2). Hal ini diikuti oleh
gabungan dengan variabel yang terkait dengan sanitasi, yanng meningkatkan kemungkinan tifoid hampir
sampai dengan tiga kali lipat (cara pengosongan kakus, jumlah orang yang menggunakan kakus).
Berbagai variabel yang berhubungan dengan kualitas air dan aksesibilitas dikaitkan dengan kemungkinan
tifoid, meningkatkan kemungkinan oleh 2 faktor (misalnya jumlah ember yang tersedia di rumah tangga
untuk minum, memasak dan membersihkan, ketersediaan air di dekat kakus, perawatan air, warna air,
jarak ke sumber air terdekat) serta persiapan makanan (jumlah makanan rumah yang dimasak per hari,
konsumsi sayuran mentah, jumlah berapa kali membersihkan dapur per minggu). Variabel sosio-ekonomi
juga dikaitkan dengan kemungkinan tifoid yang lebih tinggi pada rumah tangga tidak mampu yang
tinggal di rumah yang tidak menetap atau rumah tradisional tanpa pendingin atau pembuangan sampah.
Susunan keluarga tidak berhubungan secara signifikan dengan kemungkinan tifoid (jumlah anggota
keluarga, jumlah anggota keluarga yang berusia dibawah 12 tahun). Walaupun ketersediaan air (jumlah
tempat yang tersedia) dan aksesibilitas (jarak ke sumber air terdekat, ketersediaan air di dekat kakus)
adalah prediktor dari risiko tifoid, jenis sumber air (kran rumah, sumur, sungai/saluran parit/kolam) dan
kontainer penyimpanan (ember, drum, tangki air) bagaimana pengambilan air dari tempat penyimpanan
(gayung atau kran) atau apakah air terasa mengandung besi (berhubungan dengan rasa–air berwarna
kuning lebih terasa seperti mengandung besi, air yang tidak berwarna lebih cenderung tidak berasa) tidak
terbukti memiliki pengaruh. Demikian pula, tidak ada pengaruh dari mananya sumber makanan yang akan
dikonsumsi untuk keluarga (pasar, supermarket, warung, pedangan asongan). Meskipun kepemilikan
tempat sampah ditemukan menjadi suatu faktor pencegahan, apakah tempat sampah diberi penutup,
macam keberadaan tempat pembuangan sampah (pembakaran, layanan pembuangan sampah,
pembuangan di selokan/sungai, membuat lubang di dalam tanah) tidak memiliki pengaruh. Tidak ada
pengaruh yang berkaitan dengan laporan banjir dalam 12 bulan terakhir atau menggunakan kotoran
sebagai pupuk (tidak dilaporkan oleh setiap peserta). Karena kolinearitas tinggi dalam variabel profil
keluarga tidak dimungkinkan untuk membangun contoh multivariat untuk memperoleh faktor risiko bebas
tifoid di tingkat rumah tangga.
Perilaku Individu
Analisis grafis dan hasil dari regresi logistik (baik univariat maupun multivariat) menyatakan hanya
dengan tiga variabel perilaku: cuci tangan dan cuci dengan sabun yang cukup kuat melindungi, sedangkan
makan makanan diluar merupakan faktor risiko yang kuat seperti yang ditunjukan pada Gambar 3 dan
Tabel 2. Demikian pula dengan analisis profil keluarga yang dijelaskan sebelumnya, analisis pada tingkat
individu menyatakan bahwa kontrol tipe I berbeda dalam hal perilaku dari kontrol tipe II, dan lebih mirip
dengan kasus-kontrol tipe I memiliki frekuensi mencuci tangan lebih rendah dan tidak pernah
menggunakan sabun. Dalam multivariat, untuk setiap peningkatan penilaian mencuci tangan ada taksiran
penurunan 62% pada kemungkinan infeksi; orang yang melaporkan jarang mencuci tangan mereka
dengan sabun atau tidak pernah memiliki peluang tiga kali lipat lebih tinggi dari pada mereka yang sering
mencuci tangan, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan mereka yang
melaporkan selalu mencuci tangan, makan makanan diluar meningkatkan kemungkinan infeksi dengan
faktor 6,9. Pengaruh dari contoh multivariat akhir tidak berubah lebih dari 10% ketika ditambahkan
mencuci tangan setelah signifikan yang terkait faktor tingkat rumah tangga sebagai contoh (bagian dari
individu untuk yang kedua tingkat individu dan data tingkat rumah tangga tersedia): jumlah ketersediaan
tempat air (n=478), ketersediaan sabun di dekat kakus (n=487), ketersediaan sumber air di dekat kakus
(n=487), dan jarak dari sumber air terdekat (n=492) (hasil tidak ditampilkan).
Bagian analisis membandingkan kasus tipe I dengan kontrol tipe Itidak sepenuhnya mengkonfirmasi
analisis utama. Sebagian besar karena, seperti yang dapat dilihat pada Tabel S1 dan Gambar 3, dan
dibahas sebelumnya, kontrol tipe I lebih mirip dengan kasus tipe I dan tipe II dari pada kontrol tipe II
pada karakteristik dan perilaku rumah tangga. Sebagai pengaruh konsekuensi baik yang kurang kuat
dan/atau tidak lagi signifikan dalam bagian analisis (Tabel S3), yang berarti bahwa pengaruh yang
ditunjukkan pada analisis utama cenderung mengabaikan pengaruh sebenarnya: kontrol tipe I yang
sebenarnya lebih mirip dengan kasus, dikumpulkan bersama dengan kontrol tipe II lainnya yang lebih
benar sehingga melemahkan pengaruhnya.
Kami menghitungkan PAF untuk menghilangkan setiap faktor risiko dengan jenis keadaan (Tabel 3) dan
oleh kelompok (Tabel 4) berdasarkan contoh univariat (Tabel 2). Di semua keadaan sekitar dua pertiga
dari kasus mungkin bisa dihindari jika orang-orang sering mencuci tangan mereka dengan sabun atau
selalu dibandingkan jarang atau tidak pernah. Demikian juga sekitar dua pertiga kasus dapat dihindari
dengan mencuci tangan lebih sering, yaitu jika semua orang sering mencuci tangan mereka di setiap saat
seharinya atau selalu dibandingkan jarang atau tidak pernah. Satu dari lima kasus dapat dihindari dengan
tidak makan makanan diluar. PAF terkait dengan penggunaan sabun terutama tinggi di daerah pedesaan
dimana 92% kasus dapat dihindari dengan menggunakan sabun, karena OR terkait dengan penggunaan
sabun jauh lebih tinggi di subkelompok ini daripada orang lain (OR=26.72, 95% Cl= 6.00-118.83),
sedangkan prevalensi penggunaan sabun di keadaan serupa (keseluruhan 39% dari semua individu
merespon cuci tangan mereka dengan sabun disetiap saat seharinya. PAF terkait dengan makan makanan
diluar adalah yang tertinggi di Kalimantan dan di pinggiran kota dimana diperkirakan pengaruhnya lebih
tinggi dibandingkan kelompok lain (Kalimantan: OR=7.72 95% CI = 4.23-14.10; daerah pinggiran kota:
OR = 2.48 95% CI = 1.55-3.94) dan dimana kebiasaan ini lebih umum (53,8% dari individu di
Kalimantan dan 45% dari individu di daerah pinggiran kota melaporkan jarang makan makanan keluar,
sering
atau selalu dibandingkan dengan 40% keseluruhan). PAF terkait dengan makan makanan di daerah
pedesaan dan di Sulawesi (dimana terdapat semua fasilitas pedesaan) mendekati nol dan tidak signifikan.
Pengetahuan Tentang Pencegahan dan Penularan
Data mengenai pengetahuan tentang transmisi tifoid dan pencegahannya hilang 613 (65,5%) orang yang
tidak menjawab sesuai pertanyaan-pertanyaan untuk alasan yang tidak jelas (tidak ada perbedaan
substansial seluruh jenis letak, pulau, jenis kelamin, usia, agama, meskipun ada beberapa nilai-nilai yang
hilang antara yang berpendidikan tinggi dan mereka yang bekerja di profesi yang berhubungan dengan
makanan). Dari 320 pasien yang menjawab, 176 (55,0%) melaporkan bahwa mereka tidak tahu
bagaimana
bisa menular, 102 (31,9%) disebutkan 'lingkungan yang kotor', 35 (10,9%) ‘kurangnya
informasi/pengetahuan’, 22 (6,9%)' kontak dengan pasien dan 2 (0,6%) 'makanan yang terkontaminasi'.
Demikian pula, 175 (54,6%) melaporkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana tifoid bisa dicegah, 90
(28,1%) melaporkan 'membersihkan lingkungan', 51 (15,9%) 'makan makanan yang dimasak atau minum
air rebusan/air bersih' , 37 (11,6%)' mencuci tangan sebelum makan ', 13 (4,1%)' menutup makanan 'atau'
menyimpan makanan ditempat penyimpanan’ dan 7 (2,2%) menghindari kontak dengan pasien. Proporsi
orang yang tidak tahu tentang penularan dan pencegahan lebih tinggi yang ada di pinggiran kota (22,9%)
dan daerah perdesaan (21,4%) dibandingkan dengan daerah perkotaan (15,9%) (chi-square p <0,001).
Diskusi
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kejadian typhoid dapat diturunkan secara signifikan
dengan memastikan ketaatan mencuci tangan secara adekuat, misalnya pada saat-saat penting
dalam sehari dan engan menggunakan sabun. Hasil ini juga memperkuat apa yang sudah
diperlihatkan secara luas pada literatur typhoid11-14 serta pada literatur yang lebih luas mengenai
penyakit yang ditularkan melalui rute fekal-oral.17-19 Hal ini juga dapat diperluas mengenai
penyakit-penyakit diare lainnya yang tetap merupakan masalah kesehatan yang penting di
Indonesia20 dan penyebab keempat terpenting pada kematian premature.21
Efek dari mencuci tangan tampaknya tidak tergantung pada air tersedia dan dapat
digunakan pada rumah tangga. Kami menemukan kaitan antara typhoid dengan sejumlah tingkat
variabel rumah tangga sehubungan dengan ketersediaan dan aksesibelitas air dan sabun,
meskipun kami tidak dapat memperoleh efek-efek yang independen-karena tingginya keterkaitan
antara semua faktor risiko, kami tidak berhasil mendapatkan model multivariate tunggal yang
stabil, sebaliknya, metode-metode yang berbeda (eliminasi manual mundur/maju, pendekatan
bertahap otomatis, pemilihan variabel berdasarkan tema) menghasilkan sejumlah model yang
jauh berbeda sehingga kami tidak menampilkan hasil-hasil tersebut. Bagaimanapun, saat kami
meninjau ulang kembali perilaku akhir individu yang berperan pada efek pembaur potensial pada
variabel rumah tangga sehubungan dengan ketersediaan dan aksesibelitas air, taksirab efek
perilaku tetap tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa taksiran efek dari mencuci tangan pada
penelitian kami tidak tergantung dari ketersediaan air pada tingkat rumah tangga.
Analisis-analisis ini memastikan apa yang sudah banyak ditampilkan di berbagai literatur:
kebersihan peralatan saja tidaklah cukup untuk menurunkan beban penyakit yang disebarkan
melalui rute fekal-oral, yang dibutuhkan adalah perubahan pada perilaku disertai peningkatan
akses terhadap sanitasi. Data statistik mengenai akses terhadap air dan sanitasi di Indonesia telah
meningkat secara bermakna pada decade terakhir, dan menurut Survey Demografi dan Kesehatan
pada tahun 201222, tiga dari empat rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber
air minum yang lebih baik, dan 68% rumah tangga memiliki fasilitas toilet yang lebih baik yang
tidak dipakai bersamaan dengan rumah tangga lainnya. Lebih lanjut, sebagian besar rumah
tangga (92%) memiliki sabun dan air di tempat dimana anggota keluarga mencuci tangan, dan
hanya 6% yang hanya menyediakan air tanpa sabun. Bagaimanapun, indikator kesehatan
menunjukkan kecenderungan diare pada anak-anak dibawah umur sebanding dengan negara-
negara yang akses sanitasinya lebih rendah, yaitu 14% dari anak-anak balita dilaporkan
menderita diare pada dua minggu sebelum penelitian dimulai. Pada satu sisi, terdapat
kemungkinan bahwa sanitasi peralatan pada saat ini masih belum cukup untuk mendukung
peningkatan pada lingkungan dan kontaminasi makanan yang masih tinggi karena banyaknya
jumlah karier yang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai. Pengamatan ini
menggarisbawahi pentingnya proyek air dan sanitasi di Indonesia untuk tetap terfokus pada
komponen ‘perangkat’ pada promosi kesehatan (untuk mendukung perubahan perilaku) dan
promosi sanitasi (untuk menciptakan tuntutan terhadap sanitasi dan menyediakan rantai
pelayanan barang dan jasa) disertai perkembangan infrastruktur.9-10 Memang benar bahwa
mencuci tangan kemungkinan menjadi lebih penting pada saat jumlah kontaminasi air dan
makanan atau jumlah karier asimtomatik pada masyarakat dan lingkungan sekitar pasien masih
dalam jumlah yang besar.
Population attributable factor (PAF) kami menganalisis kemungkinan sejumlah kasus
yang dapat dihindari dengan perilaku kebersihan yang lebih baik: lebih dari 60% kasus typhoid
dapat dihindari apabila orang-orang mencuci tangan dengan sabun, hampir 67% dapat dihindari
apabila orang-orang mencuci tangan mereka pada momen-momen penting dalam sehari, dan
19% dengan tidak makan di luar (atau singkatnya, apabila perilaku higienis pada tempat-tempat
makan ditingkatkan). Analisis oleh PAF berdasarkan tipe lokasi atau pulau tidak men unjukkan
perbedaan yang besar dalam hal jumlah kasus yang dapat dihindari dengan kebiasaan mencuci
tangan yang lebih baik. Terdapat perbedaan dalam hal jumlah kasus yang dapat dihindari apabila
orang-orang tidak makan di luar, yang menunjukkan prevalensi relatif pada tempat-tempat yang
berbeda.
Kekuatan utama penelitian kami adalah banyaknya data pada tingkat individual dan
rumah tangga yang dikumpulkan pada tiga lokasi berbeda di Indonesia, yang memungkinkan
pengukuran pengaruh faktor individual, dikoreksi untuk tingkat rumah tangga (nyow maksud
mau ngomong apa orang ini). Selanjutnya, karena sampel kami meliputi tiga pulau mencakup
lokasi perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan, kami juga dapat menyelidiki perbedaan potensial
pada PAF masing-masing faktor risiko secara tersendiri pada tiga lokasi berbeda. Walau
bagaimanapun, hasil ini harus diinterpretasikan dengan waspada, dikarenakan strategi pemilihan
fasilitas kesehatan kami, taksiran prevalensi cuci tangan dan makan di luar mungkin tidak
representatif pada tiap pulau, atau perkotaan, pinggiran kota, atau pedesaan di Indonesia.
Keterbatasan utama pada penelitian kami adalah keterbatasan sensitivitas tes dan
algoritma yang digunakan. Hal ini berarti bahwa kontrol Tipe I dan Tipe II mungkin
mengandung nilai false negative yang cukup tinggi. Pada satu penelitian, sensitivitas IgM
Typhoid lateral flow ditentukan sebesar 62% dan meningkat dari 41% hingga hampir 90%
tergantung pada durasi penyakit dibandingkan dengan sensitivitas dari 47% pada kultur darah.15
Pada suatu penelitian yang menggunakan model Bayesian, sensitivitas IgM Typhoid lateral flow
assay diperkirakan sebesar 90% (dibandingkan dengan 81% senitivitas pada kultur darah) pada
anak-anak dengan rata-rata durasi sakit selama 5 hari.23 Sebaliknya, kedua tes menunjukkan
spesifisitas yang lebih besar: dimana spesifisitas kultur darah adalah 100%, spesifisitas IgM
Typhoid lateral flow dilaporkan berkisar antara 85%23 dan 98%.15
Sebagai hasil, penelitian kami memililki satu dari keterbatasan utama pada penelitian
case-control, yaitu misklasifikasi variabel outcome yang kemungkinan mengaburkan semua
taksiran efek. Mengikuti algoritma kami, pemeriksaan serologis dilakukan pada semua pasien,
namun kultur hanya dilakukan pada satu individu yang menunjukkan hasil serologi positif (untuk
konfirmasi) atau pada pasien yang dicurigai typhoid secara klinis (sebagai pemeriksaan
pelengkap terhadap serologi dikarenakan keterbatasa sensitivitasnya pada pasien stadium awal).
Oleh karena itu, mungkin terdapat sejumlah false negative pada kontrol Tipe II yang dapat
berakhir sebagai kasus Tipe I apabila pemeriksaan kultur dilakukan. Walau bagaimanapun,
mungkin terdapat lebih banyak false negative pada kontrol Tipe I dikarenakan keterbatasan
sensitivitas baik pada IgM Typhoid lateral flow maupun pemeriksaan kultur darah yang
digunakan pada penelitian ini. Bukti epidemiologis juga menunjukkan bahwa jenis misklasifikasi
ini memang mungkin saja muncul: karakteristik perilaku dan rumah tangga pada kontrol Tipe I
sangat berbeda dari kontrol Tipe II, bahkan mereka lebih mirip dengan kasus Tipe I dan Tipe II.
Namun, kita tidak dapat mengabaikan bahwa kontrol Tipe I pada faktanya juga terinfeksi dengan
penyakit usus lainnya yang memiliki gejala yang sama dengan typhois, melihat bahwa petugas
kesehatan masih terus mencurigai typhoid meskipun hasil pemeriksaan serologisnya negatif.
Meskipun terdapat permasalahan kemungkinan perbedaan misklasifikasi variabel
outcome, perlu dicatat bahwa risiko perbedaan misklasifikasi faktor risiko kemungkinan rendah-
peralatan yang sama digunakan untuk mengumpulkan data pada semua kasus dan kontrol.
Selanjutnya, definisi kasus yang digunakan untuk analisis berbeda dari yang digunakan pada saat
perekrutan (sehingga meminimalisir bias pada pewawancara)
Kesimpulan
Keuntungan besar dapat dicapai dalam penurunan kejadian typhoid dengan memastikan ketaatan
pada kebiasaan cuci tangan yang adekuat di Indonesia. Hal ini juga berlaku untuk semua
penyakit diare yang ditularkan melalui rute fekal-oral, yang masih merupakan masalah kesehatan
penting di Indonesia. Dengan tidak mengenyampingkan pentingnya investasi pada persediaan air
dan infrasturktur sanitasi, hasil penelitian kami mengonfirmasi bahwa terdapat peranan yang
sangat penting pada intervensi sehubungan dengan ‘perangkat’ untuk mendorong perubahan
perilaku dan menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa
Informasi Pendukung
Tabel S1. Karakteristik rumah tangga berdasarkan tipe lokasi.1 Kontrol Type I adalah individu-
individu yang hasil pemeriksaan serologis dan kulturnya negatif (s-/c-); Kontrol Type II adalah
individu-individu yang hasil pemeriksaan serologisnya negatif dan dengan sebuah diagnosis
selain typhoid (s-/d-); Kasus Tipe I adalah individu-individu dengan hasil kultur positif tanpa
menghiraukan hasil serologis (c+/s+; c+/s-); Kasus Tipe II adalah individu-individu yang hasil
kulturnya negatif tapi hasil serologisnya positif (c-/s+);2 Kehilangan data untuk 206 (41.7%)
responden.3 Berdasarkan nilai tukar Dollar US (USD) terhadap Rupiah Indonesia (IDR) pada 31
Desember 2010: 1 USD = 7470 IDR (www.exchangerates.org.uk)
(DOCX)
Tabel S2. Taksiran pengaruh faktor risiko tingkat rumah tangga terhadap kemungkinan typhpid
(univariate analyses)1.1 Regresi logistik yang membandingkan kasus Tipe I dan Tipe II (n=235)
terhadap kontrol Tipe I dan II (n=259).2 Nilai P dilaporkan: tes Wald terhadap signifikasi
pengaruh, tes LLR terhadap signifikansi variabel pada model.3 Berdasarkan nilai tukar Dollar US
(USD) terhadap Rupiah Indonesia (IDR) pada 31 Desember 2010: 1 USD = 7470 IDR
(www.exchangerates.org.uk)
(DOCX)
Tabel S3. Taksiran pengaruh faktor risiko perilaku tingkat individu pada kemungkinan typhpid-
analisis sub-set1,2. 1 Regresi logistik yang mebandingkan kasus Tipe I (n=305) terhadap kontrol
Tipe I (n=174). Model multivariate disesuaikan menggunakan variabel yang sama dengan
analisis utama untuk memungkinkan perbandingan silang antar model.2 Pengaruh kontak dengan
pasien typhoid tidak dapat diperkirakan karena mayoritas pasien (73%) tidak tahu jawabannya.3
Nilai P dilaporkan: tes Wald terhadap signifikansi pengaruh, tes LLR terhadap signifikansi
variabel pada model.4 Skor berkesinambungan dengan nilai antara 0=tidak pernah dan 3=selalu
(DOCX)
Ucapan Terima Kasih
Kami sangat berterimakasih pada partisipan penelitian dan keluarganya karena telah turut
berperan pada penelitian ini dan berbagi semua data medis dan personalnya, juga pada seluruh
petugas fasilitas kesehatan yang ikut berpartisipasi pada perekrutan dan pengumpulan data.
Kontribusi Penulis
Memahami dan merancang penelitian: MH HLS. Melakukan eksperimen: RD AS MS NT MA
YY RP. Menganalisis data: SA MIB PFDS RU SvB. Menulis makalah: SA MIB MH PFDS SvB
HLS.
CRITICAL APPRAISAL
ANALISIS VIA
VALIDITY
a. Desain
Peneliti menggunakan desain penelitian case-control. Validitas suatu jurnal tergantung
dari hierarki desain studinya, semakin tinggi maka semakin valid. Studi case-control berada
diposisi ke empat setelah meta-analysis dan systematic review, RCT, dan penelitian kohort.
Studi case control
b. Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah pasien yang terdapat di 14 rumah sakit dan pusat
kesehatan terpilih di 3 pulau di Indonesia : Sulawesi, Papua, dan Kalimantan.
c. Pengumpulan Sampel
IMPORTANCE
a. Karakteristik subjek:
b. Kriteria eksklusi:
c. Analisis:
d. Hasil:
APPLICABILITY
1. Apakah hasil penelitian dapat diterapkan di Indonesia?
2. Apakah nilai Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria dan Telomer Lenght lebih baik
sebagai prediktor prognosis anemia aplastic apabila dibandingkan dengan parameter
lain?