27
Artikel Penelitian Faktor Risiko Infeksi Tifoid di Kepulauan- Kepulauan di Indonesia Abstrak Latar Belakang Pengetahuan tentang faktor risiko dan pentingnya dalam pengaturan yang berbeda sangat penting untuk mengembangkan materi pendidikan kesehatan yang efektif untuk pencegahan tifoid. Dalam penelitian ini, kami memeriksa efek tingkat rumah tangga dan faktor risiko perilaku terhadap risiko tifoid di tiga pulau di Indonesia (Sulawesi, Kalimantan dan Papua) di kepulauan Indonesia timur meliputi daerah pedesaan, daerah pinggiran kota, dan perkotaan. Metode Kami melibatkan 933 pasien diatas usia 10 tahun pada penelitian case control yang berbasis fasilitas kesehatan antara Juni 2010 dan Juni 2011. Individu terduga tifoid diperiksa menggunakan lateral flow assay IgM tifoid untuk serodiagnosis demam tifoid, diikuti dengan pemeriksaan kultur darah. Kasus dan kontrol didefinisikan setelah rekrutmen: kasus adalah individu dengan hasil positif pada serologi atau kultur (n=449); kontrol merupakan individu dengan hasil negatif pada serologi dan kultur, dengan atau tanpa diagnosis selain tifoid (n= 484). Regresi logistic digunakan untuk memeriksa pengaruh tingkatan rumah

Faktor Risiko Infeksi Tifoid Di (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tifoid

Citation preview

Artikel Penelitian

Faktor Risiko Infeksi Tifoid di Kepulauan-Kepulauan di Indonesia

Abstrak

Latar Belakang

Pengetahuan tentang faktor risiko dan pentingnya dalam pengaturan yang berbeda sangat penting

untuk mengembangkan materi pendidikan kesehatan yang efektif untuk pencegahan tifoid.

Dalam penelitian ini, kami memeriksa efek tingkat rumah tangga dan faktor risiko perilaku

terhadap risiko tifoid di tiga pulau di Indonesia (Sulawesi, Kalimantan dan Papua) di kepulauan

Indonesia timur meliputi daerah pedesaan, daerah pinggiran kota, dan perkotaan.

Metode

Kami melibatkan 933 pasien diatas usia 10 tahun pada penelitian case control yang berbasis

fasilitas kesehatan antara Juni 2010 dan Juni 2011. Individu terduga tifoid diperiksa

menggunakan lateral flow assay IgM tifoid untuk serodiagnosis demam tifoid, diikuti dengan

pemeriksaan kultur darah. Kasus dan kontrol didefinisikan setelah rekrutmen: kasus adalah

individu dengan hasil positif pada serologi atau kultur (n=449); kontrol merupakan individu

dengan hasil negatif pada serologi dan kultur, dengan atau tanpa diagnosis selain tifoid (n= 484).

Regresi logistic digunakan untuk memeriksa pengaruh tingkatan rumah tangga dan faktor risiko

perilaku tingkat individu dan kami menghitung Population Attributable Fraction (PAF) dari

menghilangkan setiap faktor risiko perilaku individu yang signifikan

Hasil

Mencuci tangan pada saat penting dan mencuci tangan dengan sabun adalah faktor pelindung

independen yang kuat untuk tipus (OR = 0,38 95% CI 0,25-0,58 untuk setiap peningkatan unit

cuci tangan skor frekuensi dengan nilai antara 0 = Tidak pernah dan 3 = Selalu; OR = 3.16 95%

CI = 2,09-4,79 membandingkan mencuci tangan dengan sabun kadang-kadang / tidak pernah vs

sering). Efek ini independen dari tingkat akses terhadap air dan sanitasi. Hingga dua pertiga dari

kasus dapat dicegah dengan kepatuhan terhadap praktek-praktek ini (PAF cuci tangan = 66,8

95% CI 61,4-71,5; PAF penggunaan sabun = 61,9 95% CI 56,7-66,5). Makan makanan luar di

kios atau restoran juga faktor risiko yang penting (OR = 6,9 95%CI 4.41 – 10.8 untuk setiap unit

peningkatan di nilai frekuensi).

Kesimpulan

Keuntungan besar bisa dicapai dalam mengurangi kejadian tifoid dengan memastikan kepatuhan

terhadap praktek cuci tangan yang memadai saja. Ini menegaskan bahwa ada peran penting untuk

'software' intervensi terkait untuk mendorong perubahan perilaku dan menciptakan permintaan

untuk barang dan jasa, di samping pembangunan infrastruktur air dan sanitasi.

Pendahuluan

Demam tifoid adalah penyakit demam akut dan sering mengancam jiwa ditularkan melalui rute

fecal-oral oleh bakteri Salmonella enterica serotype Typhi. Individu terinfeksi oleh konsumsi air

yang terkontaminasi atau makanan tetapi juga setelah kontak dengan pasien atau ex-pasien.

Pasien mungkin menjadi karier (pembawa) seumur hidup dan individu tersebut mengeluarkan

patogen dengan tinja mereka membentuk faktor yang signifikan dalam pemeliharaan patogen

dalam suatu populasi. patogen tidak menginfeksi hewan, dan karena itu, transmisi hanya dari

manusia ke manusia.

Terdapat data yang kurang dapat diandalkan pada beban tifoid, karena terbatasnya ketersediaan

layanan kultur darah dan tantangan yang berkaitan dengan menerapkan teknik pengawasan

demam skala besar untuk mengukur insidensi penyakit. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa

penyakit ini mengakibatkan 13,5 juta penyakit secara global pada tahun 2010. Di seluruh dunia,

angka insiden tertinggi demam tifoid telah direkam di Afrika dan Asia. Di Indonesia, sebuah

penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Jakarta diperkirakan tingkat kejadian tifoid pada

148,7 per 100.000 orang pada kelompok usia 2-4 tahun, 180,3 pada kelompok usia 5-15 tahun

dan 51,2 pada mereka lebih dari 16 tahun usia, dengan usia onset rata-rata 10,2 tahun. Tanpa

pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki tingkat fatalitas kasus 10-30%, tetapi jumlah ini

berkurang menjadi 1-4% pada mereka yang menerima terapi yang tepat.

Secara historis World Health Organisation telah mempertahankan posisi bahwa pengendalian

tifoid harus berputar di sekitar penanganan kasus akut dikombinasikan dengan perbaikan dalam

air dan sanitasi. Dua vaksin berlisensi untuk digunakan-vaksin Ty21a oral dan vaksin

polisakarida Tifoid suntik - pada pengaturan berisiko tinggi. Meskipun pengalaman positif di

Asia yang membuka jalan untuk fokus baru pada program vaksinasi, mengurangi paparan

penyakit dengan cara meningkatkan air dan sanitasi tetap landasan pencegahan tifoid. Namun,

ada pengakuan yang berkembang bahwa akses terhadap air dan sanitasi saja tidak cukup-sampai

kebersihan dipraktekkan dengan benar, baik di rumah dan di masyarakat secara keseluruhan,

dampak yang diinginkan dari peningkatan pelayanan air dan sanitasi pada hasil kesehatan terkait

(termasuk tifoid) tidak dapat direalisasikan.

Pengetahuan tentang faktor risiko dan kepentingan relatif dari akses air dan sanitasi ('hardware'),

dibandingkan perilaku individu ('software') adalah penting untuk mengembangkan intervensi

kesehatan yang efektif. Berbagai faktor risiko demam tifoid telah dilaporkan dalam studi yang

berbeda di Indonesia dan ini secara umum dapat dibagi dalam faktor yang terkait dengan tingkat

pendidikan yang rendah, kontak dengan pasien tifoid, kurangnya akses terhadap air bersih dan

sanitasi, praktek cuci tangan yang tidak memadai dan kebersihan yang buruk, serta konsumsi

makanan dan minuman jalanan. Namun, tidak ada studi sampai saat ini secara sistematis menilai

kepentingan relatif dari 'hardware' vs 'software' dan di berbagai pengaturan di Indonesia, meliputi

daerah perkotaan dan pedesaan. Terlebih lagi belum diketahui berapa banyak kasus yang dapat

dihindari dengan mengurangi perilaku “risiko tinggi” tanpa mengintervensi akses terhadap

hardware. Dalam studi ini, kami menguji pengaruh faktor risiko tingkat rumah tangga dan

perilaku individu pada risiko tifoid dan memperkirakan Population Attributable Fraction terkait

dengan penghapusan faktor risiko utama di tiga pulau Indonesia yang meliputi daerah pedesaan,

pinggiran kota dan perkotaan.

Material dan Metode

Desain penelitian dan rekrutmen pasien

Total 933 pasien direkrut dalam penelitian kasus kontrol antara Juni 2010 dan Juni 2011 dari 14

rumah sakit dan pusat kesehatan terpilih di tiga pula Indonesia; di Makassar dan sekitarnya di

Sulawasi Selatan (Sulawesi); Jayapura (Papua); Samarinda di Kalimantan Timur (Kalimantan)

(Gambar 1). Fasilitas kesehatan yang terletak di berbagai pengaturan pedesaan, perkotaan dan

pinggiran kota, dimana daerah pinggiran kota didefinisikan sebagai daerah di pinggiran daerah

perkotaan, dalam transisi dari desa ke kota. Pusat kesehatan dimasukkan berdasarkan

ketersediaan tenaga kesehatan, kesediaan untuk berpartisipasi, serta aksesibilitas ke fasilitas

diagnostik lokal (untuk memungkinkan mudah transportasi bahan kultur darah). Ini meliputi dua

fasilitas di Kalimantan (satu di daerah pinggiran kota, satu di daerah perkotaan), tiga di Papua

(dua di daerah pinggiran kota dan satu di daerah perkotaan) dan sembilan di Sulawesi (dua di

daerah pedesaan, tiga di pinggiran kota daerah dan empat di daerah perkotaan).

Kriteria untuk pendaftaran dalam penelitian ini adalah memenuhi setidaknya 2 dari kriteria 3

kecurigaan tifoid berikut: 1) demam pada hari konsultasi (suhu tubuh diukur aksila> 37,5 ° C); 2)

durasi demam 3 hari; 3) sakit kepala sejak awal demam. Hanya individu di atas usia 10 tahun

pada hari perekrutan dilibatkan dalam penelitian tersebut.

Individu yang dicurigai tifoid diuji dengan caralateral flow assay IgM tifoid untuk serodiagnosis

demam tifoid diikuti dengan pengujian kultur darah (lihat paragraf di bawah ini untuk rincian).

Tiga kelompok dengan ukuran yang kira-kira sama direkrut: 1) pasien yang positif untuk

serologi yang terdaftar sebagai kasus potensial dan tes kultur dilakukan; 2) pasien dengan

serologi negatif tetapi masih ada kecurigaan klinis tifoid, yang terdaftar sebagai kontrol potensial

dan juga diuji oleh kultur; 3) pasien dengan serologi negatif dan tidak ada kecurigaan klinis

tifoid dan didiagnosis dengan penyakit lain direkrut sebagai kontrol potensial dan tidak ada

pengujian kultur itu dilakukan. Algoritma ini dibangun berdasarkan yang saling melengkapi

antara lateral flow yang, menjadi tes antibodi, memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk

pasien tahap selanjutnya (dari 7 hari dan seterusnya) dan pengujian kultur darah yang memiliki

sensitivitas tinggi untuk pasien tahap awal. Algoritma ini dipilih melalui konsultasi dengan

semua staf yang terlibat dalam penelitian ini untuk mengakomodasi 1) tujuan studi (pengenalan

pengujian serologis di fasilitas kesehatan terpencil di mana pengujian kultur tidak dilakukan

secara rutin); 2) kekhawatiran diagnostik utama (a serologi positif pada pasien demam dengan

diagnosis lain seperti tifoid mungkin karena sensitisasi di masa lalu yang menjamin tindak lanjut

dari semua uji serologis dengan pengujian kultur); dan 3) praktek klinis rutin, yang

memprioritaskan penggunaan pengujian kultur untuk serologi negatif hanya bila diagnosis

lainnya tidak dapat ditemukan-meskipun selama minggu pertama antibodi penyakit sering tidak

terdeteksi, yang akan membenarkan tes kultur untuk semua tes serologi negatif.

Prosedur untuk lateral flow assay IgM tifoid yang mendeteksi antibodi IgM spesifik telah

didokumentasikan di tempat lain. Hasil uji dinilai dari 1+ ke 4+ tergantung pada intensitas

pewarnaan pada garis uji dan hasilnya dianggap positif ketika lebih besar atau sama dengan 1 +.

Kultur darah dilakukan oleh inokulasi 8 ml darah venopuncture yang baru dikumpulkan langsung

ke Bactec ditambah botol aerobik/F. Kultur bakteri dibiarkan tumbuh selama 24 jam dengan

inkubasi pada 37 ° C setelah 1 ml kaldu tersebar pada diameter 9 cm, lempeng agar 15 mL SS.

Setelah inkubasi lagi selama 72 jam pada suhu 37 ° C piring diperiksa untuk koloni dan koloni

individu diambil dan dilakukan identifikasi biokimia.

Faktor risiko perilaku individu dikumpulkan pada perekrutan dan termasuk penyakit saat ini dan

masa lalu, kondisi dan kebiasaan sanitasi, kebersihan pribadi termasuk frekuensi mencuci tangan,

kebiasaan makan (di luar) dan penggunaan dan persiapan air minum yang aman, perjalanan baru-

baru ini, kontak terakhir dengan pasien tifoid dan pengetahuan mengenai tifoid dan pencegahan

tifoid. Selain dari Desember 2010 dan seterusnya kuesioner diserahkan ke kontak rumah tangga

dari tiap pasien suspek tifoid untuk memperoleh informasi mengenai tingkat akses rumah tangga

terhadap air, kebersihan dan sanitasi. Data tingkat rumah tangga dikumpulkan untuk subset dari

494 dari 933 individu yang terdaftar dalam penelitian.

Pengumpulan data dilakukan oleh staf terlatih menggunakan kuesioner semi-terstruktur dan

sudah diuji sebelumnya. Informasi dikumpulkan dari kuesioner kertas dan kemudian dimasukkan

dalam database elektronik.

Analisa Statistik

Untuk statistik analisis, definisi kasus berikut didefinisikan setelah-rekrutmen: kasus tipe I

adalah individu dengan hasil kultur positif tanpa mempertimbangkan hasil serologis (c+/s+;

c+/s-); kasus tipe II adalah individu dengan hasil kultur negatif namun hasil seropositif (c-/s+);

kontrol tipe I adalah individu dengan hasil negatif pada serologi dan kultur (c-/s-); kontrol tipe II

adalah individu dengan hasil serologi negatif dan dengan diagnosis selain tifoid (s-/d-). Pada

penelitian ini, kami melakukan analisis utama membandingkan kedua kontrol (tipe I dan II)

versus kedua kasus (tipe I dan II). Analisis sub-set dilakukan denan membandingkan kasus Tipe

I dan kontrol tipe I.

Pengaruh faktor risiko tingkat individu dan rumah tangga dinilai dengan regresi logistik. Banyak

faktor risiko individu yang dihubungkan, kami membangun gabungan indikator untuk

merangkum informasi dari kelompok variabel kolinear menjadi variabel yang unik. Sebuah

skoring frekuensi keseluruhan mencuci tangan (cuci tangan di waktu penting) dibuat sebagai

rata-rata dari variabel individu: mencuci tangan setelah menggunakan toilet, mencuci tangan

sebelum makan, cuci tangan sebelum menyiapkan makanan, mencuci tangan setelah mengganti

popok, mencuci tangan ketika pulang ke rumah, mencuci tangan sebelum berdoa. Masing-

masing variabel cuci tangan diberi kode saat pengumpulan data pada skala kategoris mulai dari 0

(tidak pernah) sampai 3 (selalu). Skoring frekuensi keseluruhan mencuci tangan adalah variabel

skor kontinu mulai dari 0 (tidak pernah mencuci di waktu penting) sampai 3 (mencuci tiap waktu

penting). Demikian pula dua nilai frekuensi untuk makan makanan di rumah atau di luar

diciptakan dari variabel kategori individu yang menunjukkan frekuensi sarapan, makan siang dan

makan malam yang dikonsumsi di rumah atau diluar (misalnya restoran atau warung). Hal ini

mengakibatkan nilai kontinu antara 0 (tidak pernah mengkonsumsi makanan di rumah/di luar)

sampai 3 (selalu makanan di rumah/di luar).

Kami meneliti Population Attributable Fraction (PAF) menghapus setiap faktor risiko perilaku

individu, menurut pulau dan dengan jenis pengaturan (perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan)

untuk menilai proporsi kasus yang dapat berpotensi dihindari dengan menghapus setiap faktor.

Perkiraan dan keyakinan interval PAF diperkirakan menggunakan perintah punafcc di Stata,

yang mengimplementasikan estimasi kemungkinan maksimum dari fraksi disebabkan dari model

logistik.

Semua analisis dilakukan dengan STATA/SE 12.1 untuk Windows

Etik

Komite etik kedokteran Universitas Hasanuddin menyetujui penelitian ini. Informed consent tertulis

didapatkan dari peserta yang dapat membaca, atau dari pengasuhnya jika peserta masih dibawah umur.

Informed consent lisan didapatkan dari semua peserta yang terdaftar dalam penelitian atau pengasuhnya.

Untuk peserta yang tidak dapat membaca, hanya memberikan persetujuannya secara lisan, persetujuan

tersebut didokumentasikan dengan tanda tangan saksi. Penggunaan persetujuan lisan untuk peserta yang

tidak dapat membaca, secara khusus disetujui oleh komite etik.

Hasil

Dari 933 pasien dalam kelompok penelitian ini, mencakup: 1) 295 individu yang serologinya positif dan

terdaftar sebagai kasus yang berpotensi, 151 (51,2%) positif dari pemeriksaan kultur; 2) 328 individu

yang serologinya negatif tetapi secara klinis dicurigai tifoid dan terdaftar sebagai kontrol yang berpotensi,

154 (46,9%) positif dari pemeriksaan kultur; 3) 310 individu yang serologinya negatif dan didiagnosis

dengan penyakit lain dan termasuk sebagai kontrol yang berpotensi. Dari 310 pasien, 12 (3,9%)

didiagnosis dengan demam berdarah dengue, 37 (11,9%) dengan hepatitis, 48 (15,5%) dengan

leptospirosis, 65 (21%) dengan malaria (21,0%), 66 (21,2%) dengan infeksi saluran pernafasan atas

(21,3%) dan 82 (26,5%) tetap dengan diagnosis yang belum diketahui. Berdasarkan definisi

pengategorian kasus yang ditetapkan setelah pemilihan untuk analisis, dari 933 pasien yang terpilih, 305

(32,7%) yang diklasifikasikan sebagai kasus tipe I; 144 (15,4%) sebagai kasus tipe II; 174 (18,6%)

sebagai kontrol tipe I; dan 310 (32,2%) sebagai kontrol tipe II. Hanya ada satu yang cenderung jelas

dalam karakteristik sosio-demografi pada definisi kasus: kasus lebih menunjukan sebuah “pernyataan

yang terkait makanan” dibandingkan kontrol (Tabel 1).

Karakteristik Rumah Tangga

Distribusi karakteristik rumah tangga dari definisi kasus mengungkapkan bahwa kontrol tipe I berbeda

dengan kontrol tipe II dan ternyata secara umum lebih mendekati ke kasus dari pada kontrol (Tabel S1) –

mereka memiliki akses yang lebih buruk terhadap air dan sanitasi, penilaian lebih buruk pada indikator

kebersihan (kebersihan dapur, ketersediaan tempat sampah dan lain-lain) dan berasal dari rumah tangga

yang tidak mampu. Prediktor terkuat dari risiko tifoid pada tingkat rumah tangga adalah ketersediaannya

sabun di dekat toilet, meningkatkan kemungkinan sampai empat kali lipat (Tabel S2). Hal ini diikuti oleh

gabungan dengan variabel yang terkait dengan sanitasi, yanng meningkatkan kemungkinan tifoid hampir

sampai dengan tiga kali lipat (cara pengosongan kakus, jumlah orang yang menggunakan kakus).

Berbagai variabel yang berhubungan dengan kualitas air dan aksesibilitas dikaitkan dengan kemungkinan

tifoid, meningkatkan kemungkinan oleh 2 faktor (misalnya jumlah ember yang tersedia di rumah tangga

untuk minum, memasak dan membersihkan, ketersediaan air di dekat kakus, perawatan air, warna air,

jarak ke sumber air terdekat) serta persiapan makanan (jumlah makanan rumah yang dimasak per hari,

konsumsi sayuran mentah, jumlah berapa kali membersihkan dapur per minggu). Variabel sosio-ekonomi

juga dikaitkan dengan kemungkinan tifoid yang lebih tinggi pada rumah tangga tidak mampu yang

tinggal di rumah yang tidak menetap atau rumah tradisional tanpa pendingin atau pembuangan sampah.

Susunan keluarga tidak berhubungan secara signifikan dengan kemungkinan tifoid (jumlah anggota

keluarga, jumlah anggota keluarga yang berusia dibawah 12 tahun). Walaupun ketersediaan air (jumlah

tempat yang tersedia) dan aksesibilitas (jarak ke sumber air terdekat, ketersediaan air di dekat kakus)

adalah prediktor dari risiko tifoid, jenis sumber air (kran rumah, sumur, sungai/saluran parit/kolam) dan

kontainer penyimpanan (ember, drum, tangki air) bagaimana pengambilan air dari tempat penyimpanan

(gayung atau kran) atau apakah air terasa mengandung besi (berhubungan dengan rasa–air berwarna

kuning lebih terasa seperti mengandung besi, air yang tidak berwarna lebih cenderung tidak berasa) tidak

terbukti memiliki pengaruh. Demikian pula, tidak ada pengaruh dari mananya sumber makanan yang akan

dikonsumsi untuk keluarga (pasar, supermarket, warung, pedangan asongan). Meskipun kepemilikan

tempat sampah ditemukan menjadi suatu faktor pencegahan, apakah tempat sampah diberi penutup,

macam keberadaan tempat pembuangan sampah (pembakaran, layanan pembuangan sampah,

pembuangan di selokan/sungai, membuat lubang di dalam tanah) tidak memiliki pengaruh. Tidak ada

pengaruh yang berkaitan dengan laporan banjir dalam 12 bulan terakhir atau menggunakan kotoran

sebagai pupuk (tidak dilaporkan oleh setiap peserta). Karena kolinearitas tinggi dalam variabel profil

keluarga tidak dimungkinkan untuk membangun contoh multivariat untuk memperoleh faktor risiko bebas

tifoid di tingkat rumah tangga.

Perilaku Individu

Analisis grafis dan hasil dari regresi logistik (baik univariat maupun multivariat) menyatakan hanya

dengan tiga variabel perilaku: cuci tangan dan cuci dengan sabun yang cukup kuat melindungi, sedangkan

makan makanan diluar merupakan faktor risiko yang kuat seperti yang ditunjukan pada Gambar 3 dan

Tabel 2. Demikian pula dengan analisis profil keluarga yang dijelaskan sebelumnya, analisis pada tingkat

individu menyatakan bahwa kontrol tipe I berbeda dalam hal perilaku dari kontrol tipe II, dan lebih mirip

dengan kasus-kontrol tipe I memiliki frekuensi mencuci tangan lebih rendah dan tidak pernah

menggunakan sabun. Dalam multivariat, untuk setiap peningkatan penilaian mencuci tangan ada taksiran

penurunan 62% pada kemungkinan infeksi; orang yang melaporkan jarang mencuci tangan mereka

dengan sabun atau tidak pernah memiliki peluang tiga kali lipat lebih tinggi dari pada mereka yang sering

mencuci tangan, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan mereka yang

melaporkan selalu mencuci tangan, makan makanan diluar meningkatkan kemungkinan infeksi dengan

faktor 6,9. Pengaruh dari contoh multivariat akhir tidak berubah lebih dari 10% ketika ditambahkan

mencuci tangan setelah signifikan yang terkait faktor tingkat rumah tangga sebagai contoh (bagian dari

individu untuk yang kedua tingkat individu dan data tingkat rumah tangga tersedia): jumlah ketersediaan

tempat air (n=478), ketersediaan sabun di dekat kakus (n=487), ketersediaan sumber air di dekat kakus

(n=487), dan jarak dari sumber air terdekat (n=492) (hasil tidak ditampilkan).

Bagian analisis membandingkan kasus tipe I dengan kontrol tipe Itidak sepenuhnya mengkonfirmasi

analisis utama. Sebagian besar karena, seperti yang dapat dilihat pada Tabel S1 dan Gambar 3, dan

dibahas sebelumnya, kontrol tipe I lebih mirip dengan kasus tipe I dan tipe II dari pada kontrol tipe II

pada karakteristik dan perilaku rumah tangga. Sebagai pengaruh konsekuensi baik yang kurang kuat

dan/atau tidak lagi signifikan dalam bagian analisis (Tabel S3), yang berarti bahwa pengaruh yang

ditunjukkan pada analisis utama cenderung mengabaikan pengaruh sebenarnya: kontrol tipe I yang

sebenarnya lebih mirip dengan kasus, dikumpulkan bersama dengan kontrol tipe II lainnya yang lebih

benar sehingga melemahkan pengaruhnya.

Kami menghitungkan PAF untuk menghilangkan setiap faktor risiko dengan jenis keadaan (Tabel 3) dan

oleh kelompok (Tabel 4) berdasarkan contoh univariat (Tabel 2). Di semua keadaan sekitar dua pertiga

dari kasus mungkin bisa dihindari jika orang-orang sering mencuci tangan mereka dengan sabun atau

selalu dibandingkan jarang atau tidak pernah. Demikian juga sekitar dua pertiga kasus dapat dihindari

dengan mencuci tangan lebih sering, yaitu jika semua orang sering mencuci tangan mereka di setiap saat

seharinya atau selalu dibandingkan jarang atau tidak pernah. Satu dari lima kasus dapat dihindari dengan

tidak makan makanan diluar. PAF terkait dengan penggunaan sabun terutama tinggi di daerah pedesaan

dimana 92% kasus dapat dihindari dengan menggunakan sabun, karena OR terkait dengan penggunaan

sabun jauh lebih tinggi di subkelompok ini daripada orang lain (OR=26.72, 95% Cl= 6.00-118.83),

sedangkan prevalensi penggunaan sabun di keadaan serupa (keseluruhan 39% dari semua individu

merespon cuci tangan mereka dengan sabun disetiap saat seharinya. PAF terkait dengan makan makanan

diluar adalah yang tertinggi di Kalimantan dan di pinggiran kota dimana diperkirakan pengaruhnya lebih

tinggi dibandingkan kelompok lain (Kalimantan: OR=7.72 95% CI = 4.23-14.10; daerah pinggiran kota:

OR = 2.48 95% CI = 1.55-3.94) dan dimana kebiasaan ini lebih umum (53,8% dari individu di

Kalimantan dan 45% dari individu di daerah pinggiran kota melaporkan jarang makan makanan keluar,

sering

atau selalu dibandingkan dengan 40% keseluruhan). PAF terkait dengan makan makanan di daerah

pedesaan dan di Sulawesi (dimana terdapat semua fasilitas pedesaan) mendekati nol dan tidak signifikan.

Pengetahuan Tentang Pencegahan dan Penularan

Data mengenai pengetahuan tentang transmisi tifoid dan pencegahannya hilang 613 (65,5%) orang yang

tidak menjawab sesuai pertanyaan-pertanyaan untuk alasan yang tidak jelas (tidak ada perbedaan

substansial seluruh jenis letak, pulau, jenis kelamin, usia, agama, meskipun ada beberapa nilai-nilai yang

hilang antara yang berpendidikan tinggi dan mereka yang bekerja di profesi yang berhubungan dengan

makanan). Dari 320 pasien yang menjawab, 176 (55,0%) melaporkan bahwa mereka tidak tahu

bagaimana

bisa menular, 102 (31,9%) disebutkan 'lingkungan yang kotor', 35 (10,9%) ‘kurangnya

informasi/pengetahuan’, 22 (6,9%)' kontak dengan pasien dan 2 (0,6%) 'makanan yang terkontaminasi'.

Demikian pula, 175 (54,6%) melaporkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana tifoid bisa dicegah, 90

(28,1%) melaporkan 'membersihkan lingkungan', 51 (15,9%) 'makan makanan yang dimasak atau minum

air rebusan/air bersih' , 37 (11,6%)' mencuci tangan sebelum makan ', 13 (4,1%)' menutup makanan 'atau'

menyimpan makanan ditempat penyimpanan’ dan 7 (2,2%) menghindari kontak dengan pasien. Proporsi

orang yang tidak tahu tentang penularan dan pencegahan lebih tinggi yang ada di pinggiran kota (22,9%)

dan daerah perdesaan (21,4%) dibandingkan dengan daerah perkotaan (15,9%) (chi-square p <0,001).

Diskusi

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kejadian typhoid dapat diturunkan secara signifikan

dengan memastikan ketaatan mencuci tangan secara adekuat, misalnya pada saat-saat penting

dalam sehari dan engan menggunakan sabun. Hasil ini juga memperkuat apa yang sudah

diperlihatkan secara luas pada literatur typhoid11-14 serta pada literatur yang lebih luas mengenai

penyakit yang ditularkan melalui rute fekal-oral.17-19 Hal ini juga dapat diperluas mengenai

penyakit-penyakit diare lainnya yang tetap merupakan masalah kesehatan yang penting di

Indonesia20 dan penyebab keempat terpenting pada kematian premature.21

Efek dari mencuci tangan tampaknya tidak tergantung pada air tersedia dan dapat

digunakan pada rumah tangga. Kami menemukan kaitan antara typhoid dengan sejumlah tingkat

variabel rumah tangga sehubungan dengan ketersediaan dan aksesibelitas air dan sabun,

meskipun kami tidak dapat memperoleh efek-efek yang independen-karena tingginya keterkaitan

antara semua faktor risiko, kami tidak berhasil mendapatkan model multivariate tunggal yang

stabil, sebaliknya, metode-metode yang berbeda (eliminasi manual mundur/maju, pendekatan

bertahap otomatis, pemilihan variabel berdasarkan tema) menghasilkan sejumlah model yang

jauh berbeda sehingga kami tidak menampilkan hasil-hasil tersebut. Bagaimanapun, saat kami

meninjau ulang kembali perilaku akhir individu yang berperan pada efek pembaur potensial pada

variabel rumah tangga sehubungan dengan ketersediaan dan aksesibelitas air, taksirab efek

perilaku tetap tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa taksiran efek dari mencuci tangan pada

penelitian kami tidak tergantung dari ketersediaan air pada tingkat rumah tangga.

Analisis-analisis ini memastikan apa yang sudah banyak ditampilkan di berbagai literatur:

kebersihan peralatan saja tidaklah cukup untuk menurunkan beban penyakit yang disebarkan

melalui rute fekal-oral, yang dibutuhkan adalah perubahan pada perilaku disertai peningkatan

akses terhadap sanitasi. Data statistik mengenai akses terhadap air dan sanitasi di Indonesia telah

meningkat secara bermakna pada decade terakhir, dan menurut Survey Demografi dan Kesehatan

pada tahun 201222, tiga dari empat rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber

air minum yang lebih baik, dan 68% rumah tangga memiliki fasilitas toilet yang lebih baik yang

tidak dipakai bersamaan dengan rumah tangga lainnya. Lebih lanjut, sebagian besar rumah

tangga (92%) memiliki sabun dan air di tempat dimana anggota keluarga mencuci tangan, dan

hanya 6% yang hanya menyediakan air tanpa sabun. Bagaimanapun, indikator kesehatan

menunjukkan kecenderungan diare pada anak-anak dibawah umur sebanding dengan negara-

negara yang akses sanitasinya lebih rendah, yaitu 14% dari anak-anak balita dilaporkan

menderita diare pada dua minggu sebelum penelitian dimulai. Pada satu sisi, terdapat

kemungkinan bahwa sanitasi peralatan pada saat ini masih belum cukup untuk mendukung

peningkatan pada lingkungan dan kontaminasi makanan yang masih tinggi karena banyaknya

jumlah karier yang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai. Pengamatan ini

menggarisbawahi pentingnya proyek air dan sanitasi di Indonesia untuk tetap terfokus pada

komponen ‘perangkat’ pada promosi kesehatan (untuk mendukung perubahan perilaku) dan

promosi sanitasi (untuk menciptakan tuntutan terhadap sanitasi dan menyediakan rantai

pelayanan barang dan jasa) disertai perkembangan infrastruktur.9-10 Memang benar bahwa

mencuci tangan kemungkinan menjadi lebih penting pada saat jumlah kontaminasi air dan

makanan atau jumlah karier asimtomatik pada masyarakat dan lingkungan sekitar pasien masih

dalam jumlah yang besar.

Population attributable factor (PAF) kami menganalisis kemungkinan sejumlah kasus

yang dapat dihindari dengan perilaku kebersihan yang lebih baik: lebih dari 60% kasus typhoid

dapat dihindari apabila orang-orang mencuci tangan dengan sabun, hampir 67% dapat dihindari

apabila orang-orang mencuci tangan mereka pada momen-momen penting dalam sehari, dan

19% dengan tidak makan di luar (atau singkatnya, apabila perilaku higienis pada tempat-tempat

makan ditingkatkan). Analisis oleh PAF berdasarkan tipe lokasi atau pulau tidak men unjukkan

perbedaan yang besar dalam hal jumlah kasus yang dapat dihindari dengan kebiasaan mencuci

tangan yang lebih baik. Terdapat perbedaan dalam hal jumlah kasus yang dapat dihindari apabila

orang-orang tidak makan di luar, yang menunjukkan prevalensi relatif pada tempat-tempat yang

berbeda.

Kekuatan utama penelitian kami adalah banyaknya data pada tingkat individual dan

rumah tangga yang dikumpulkan pada tiga lokasi berbeda di Indonesia, yang memungkinkan

pengukuran pengaruh faktor individual, dikoreksi untuk tingkat rumah tangga (nyow maksud

mau ngomong apa orang ini). Selanjutnya, karena sampel kami meliputi tiga pulau mencakup

lokasi perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan, kami juga dapat menyelidiki perbedaan potensial

pada PAF masing-masing faktor risiko secara tersendiri pada tiga lokasi berbeda. Walau

bagaimanapun, hasil ini harus diinterpretasikan dengan waspada, dikarenakan strategi pemilihan

fasilitas kesehatan kami, taksiran prevalensi cuci tangan dan makan di luar mungkin tidak

representatif pada tiap pulau, atau perkotaan, pinggiran kota, atau pedesaan di Indonesia.

Keterbatasan utama pada penelitian kami adalah keterbatasan sensitivitas tes dan

algoritma yang digunakan. Hal ini berarti bahwa kontrol Tipe I dan Tipe II mungkin

mengandung nilai false negative yang cukup tinggi. Pada satu penelitian, sensitivitas IgM

Typhoid lateral flow ditentukan sebesar 62% dan meningkat dari 41% hingga hampir 90%

tergantung pada durasi penyakit dibandingkan dengan sensitivitas dari 47% pada kultur darah.15

Pada suatu penelitian yang menggunakan model Bayesian, sensitivitas IgM Typhoid lateral flow

assay diperkirakan sebesar 90% (dibandingkan dengan 81% senitivitas pada kultur darah) pada

anak-anak dengan rata-rata durasi sakit selama 5 hari.23 Sebaliknya, kedua tes menunjukkan

spesifisitas yang lebih besar: dimana spesifisitas kultur darah adalah 100%, spesifisitas IgM

Typhoid lateral flow dilaporkan berkisar antara 85%23 dan 98%.15

Sebagai hasil, penelitian kami memililki satu dari keterbatasan utama pada penelitian

case-control, yaitu misklasifikasi variabel outcome yang kemungkinan mengaburkan semua

taksiran efek. Mengikuti algoritma kami, pemeriksaan serologis dilakukan pada semua pasien,

namun kultur hanya dilakukan pada satu individu yang menunjukkan hasil serologi positif (untuk

konfirmasi) atau pada pasien yang dicurigai typhoid secara klinis (sebagai pemeriksaan

pelengkap terhadap serologi dikarenakan keterbatasa sensitivitasnya pada pasien stadium awal).

Oleh karena itu, mungkin terdapat sejumlah false negative pada kontrol Tipe II yang dapat

berakhir sebagai kasus Tipe I apabila pemeriksaan kultur dilakukan. Walau bagaimanapun,

mungkin terdapat lebih banyak false negative pada kontrol Tipe I dikarenakan keterbatasan

sensitivitas baik pada IgM Typhoid lateral flow maupun pemeriksaan kultur darah yang

digunakan pada penelitian ini. Bukti epidemiologis juga menunjukkan bahwa jenis misklasifikasi

ini memang mungkin saja muncul: karakteristik perilaku dan rumah tangga pada kontrol Tipe I

sangat berbeda dari kontrol Tipe II, bahkan mereka lebih mirip dengan kasus Tipe I dan Tipe II.

Namun, kita tidak dapat mengabaikan bahwa kontrol Tipe I pada faktanya juga terinfeksi dengan

penyakit usus lainnya yang memiliki gejala yang sama dengan typhois, melihat bahwa petugas

kesehatan masih terus mencurigai typhoid meskipun hasil pemeriksaan serologisnya negatif.

Meskipun terdapat permasalahan kemungkinan perbedaan misklasifikasi variabel

outcome, perlu dicatat bahwa risiko perbedaan misklasifikasi faktor risiko kemungkinan rendah-

peralatan yang sama digunakan untuk mengumpulkan data pada semua kasus dan kontrol.

Selanjutnya, definisi kasus yang digunakan untuk analisis berbeda dari yang digunakan pada saat

perekrutan (sehingga meminimalisir bias pada pewawancara)

Kesimpulan

Keuntungan besar dapat dicapai dalam penurunan kejadian typhoid dengan memastikan ketaatan

pada kebiasaan cuci tangan yang adekuat di Indonesia. Hal ini juga berlaku untuk semua

penyakit diare yang ditularkan melalui rute fekal-oral, yang masih merupakan masalah kesehatan

penting di Indonesia. Dengan tidak mengenyampingkan pentingnya investasi pada persediaan air

dan infrasturktur sanitasi, hasil penelitian kami mengonfirmasi bahwa terdapat peranan yang

sangat penting pada intervensi sehubungan dengan ‘perangkat’ untuk mendorong perubahan

perilaku dan menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa

Informasi Pendukung

Tabel S1. Karakteristik rumah tangga berdasarkan tipe lokasi.1 Kontrol Type I adalah individu-

individu yang hasil pemeriksaan serologis dan kulturnya negatif (s-/c-); Kontrol Type II adalah

individu-individu yang hasil pemeriksaan serologisnya negatif dan dengan sebuah diagnosis

selain typhoid (s-/d-); Kasus Tipe I adalah individu-individu dengan hasil kultur positif tanpa

menghiraukan hasil serologis (c+/s+; c+/s-); Kasus Tipe II adalah individu-individu yang hasil

kulturnya negatif tapi hasil serologisnya positif (c-/s+);2 Kehilangan data untuk 206 (41.7%)

responden.3 Berdasarkan nilai tukar Dollar US (USD) terhadap Rupiah Indonesia (IDR) pada 31

Desember 2010: 1 USD = 7470 IDR (www.exchangerates.org.uk)

(DOCX)

Tabel S2. Taksiran pengaruh faktor risiko tingkat rumah tangga terhadap kemungkinan typhpid

(univariate analyses)1.1 Regresi logistik yang membandingkan kasus Tipe I dan Tipe II (n=235)

terhadap kontrol Tipe I dan II (n=259).2 Nilai P dilaporkan: tes Wald terhadap signifikasi

pengaruh, tes LLR terhadap signifikansi variabel pada model.3 Berdasarkan nilai tukar Dollar US

(USD) terhadap Rupiah Indonesia (IDR) pada 31 Desember 2010: 1 USD = 7470 IDR

(www.exchangerates.org.uk)

(DOCX)

Tabel S3. Taksiran pengaruh faktor risiko perilaku tingkat individu pada kemungkinan typhpid-

analisis sub-set1,2. 1 Regresi logistik yang mebandingkan kasus Tipe I (n=305) terhadap kontrol

Tipe I (n=174). Model multivariate disesuaikan menggunakan variabel yang sama dengan

analisis utama untuk memungkinkan perbandingan silang antar model.2 Pengaruh kontak dengan

pasien typhoid tidak dapat diperkirakan karena mayoritas pasien (73%) tidak tahu jawabannya.3

Nilai P dilaporkan: tes Wald terhadap signifikansi pengaruh, tes LLR terhadap signifikansi

variabel pada model.4 Skor berkesinambungan dengan nilai antara 0=tidak pernah dan 3=selalu

(DOCX)

Ucapan Terima Kasih

Kami sangat berterimakasih pada partisipan penelitian dan keluarganya karena telah turut

berperan pada penelitian ini dan berbagi semua data medis dan personalnya, juga pada seluruh

petugas fasilitas kesehatan yang ikut berpartisipasi pada perekrutan dan pengumpulan data.

Kontribusi Penulis

Memahami dan merancang penelitian: MH HLS. Melakukan eksperimen: RD AS MS NT MA

YY RP. Menganalisis data: SA MIB PFDS RU SvB. Menulis makalah: SA MIB MH PFDS SvB

HLS.

CRITICAL APPRAISAL

ANALISIS VIA

VALIDITY

a. Desain

Peneliti menggunakan desain penelitian case-control. Validitas suatu jurnal tergantung

dari hierarki desain studinya, semakin tinggi maka semakin valid. Studi case-control berada

diposisi ke empat setelah meta-analysis dan systematic review, RCT, dan penelitian kohort.

Studi case control

b. Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah pasien yang terdapat di 14 rumah sakit dan pusat

kesehatan terpilih di 3 pulau di Indonesia : Sulawesi, Papua, dan Kalimantan.

c. Pengumpulan Sampel

IMPORTANCE

a. Karakteristik subjek:

b. Kriteria eksklusi:

c. Analisis:

d. Hasil:

APPLICABILITY

1. Apakah hasil penelitian dapat diterapkan di Indonesia?

2. Apakah nilai Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria dan Telomer Lenght lebih baik

sebagai prediktor prognosis anemia aplastic apabila dibandingkan dengan parameter

lain?

ANALISIS PICO

PROBLEM

INTERVENTION

COMPARISON

OUTCOME