30
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN dr. Putu Gita Indraswari, S.Ked 199309282019032024 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2020

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

REAKTIVASI INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN

dr. Putu Gita Indraswari, S.Ked

199309282019032024

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020

Page 2: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II. ISI ....................................................................................................... 2

2.1 Definisi ............................................................................................ 3

2.2 Prevalensi TB Laten ........................................................................ 2

2.3 Etiopatogenesis ................................................................................ 4

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Reaktivasi TB Laten ......................... 13

2.4.1 Faktor Risiko Tinggi .............................................................. 13

2.4.2 Faktor Risiko Sedang ............................................................. 16

2.4.3 Faktor Risiko Rendah ............................................................. 17

2.5 Diagnosis ........................................................................................ 19

2.6 Penatalaksanaan ............................................................................... 22

BAB III. PENUTUP......................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

1

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.

Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto

toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma

Release Assay (IGRA) positif. Tidak ada gejala dan tanda klinis TB aktif di paru

maupun ekstraparu.1

Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2015, sebanyak 58% kasus TB baru terjadi di

Asia Tenggara dan wilayah Western Pacific pada tahun 2014. India, Indonesia dan

Tiongkok menjadi negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia, masing-masing

23%, 10% dan 10% dari total kejadian di seluruh dunia. Indonesia menempati peringkat

kedua bersama Tiongkok. Satu juta kasus baru pertahun diperkirakan terjadi di

Indonesia

Menurut data dari World Health Organisation 2018 (WHO) terdapat sekitar 10 juta

kasus TB baru yang tercatat di seluruh dunia pada tahun 2017. Di seluruh dunia, sekitar

2-3 miliar orang memiliki infeksi TB laten. Sekitar 5% -10% pasien dengan infeksi TB

Laten akan mengembangkan TB aktif di masa mendatang.2

Pencegahan terhadap reaktivasi TB saat ini dianggap sebagai salah satu strategi penting

pencegahan TB dan merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan End TB

Strategy yang ditargetkan untuk dicapai WHO pada tahun 2035. End TB Strategy

bertujuan untuk mengurangi kematian akibat TB hingga 95% dan menurunkan insiden

kasus TB baru sebesar 90% antara 2015 dan 2035.3

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis

infeksi Tuberkulosis Laten. Dua metode yang sering digunakan dalam praktik klinis

telah dirancang untuk mengukur respon imun adaptif yang dimediasi sel asimptomatik

host yang terkena Mycobacterium Tuberkulosis adalah Tuberculin Skin Test (TST) dan

Page 4: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

2

Interferon-Gamma Release Assays (IGRA). Kedua test tersebut adalah alat diagnostik

standar imunologi untuk ITBL.

Mengingat bahwa reaktivasi TB laten dipengaruhi oleh banyak faktor, maka faktor-

faktor tersebut penting untuk diketahui. Dengan mengetahui hal ini, risiko reaktivasi

TB laten dapat dicegah.

Page 5: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

3

BAB II

ISI

2.1 Definisi

Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.

Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto

toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon

Gamma Release Assay (IGRA) positif. Tidak ada gejala dan tanda klinis TB aktif

di paru maupun ekstraparu.1

Untuk lebih jelasnya, berikut tabel yang membedakan antara ITBL dengan TB

Paru.

Tabel 1. Perbedaan ITBL dengan TB Paru4

Page 6: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

4

2.2 Prevalensi TB Laten

Gambar 1. Prevalensi Global infeksi TB

Prevalensi global infeksi TB Laten pada tahun 2014 adalah sebesar 23,0% (CI

95%: 20,4%-26,4%). Gambar diatas menyajikan variasi regional dan sub-regional

prevalensi ITBL. Di Asia Tenggara, Barat Wilayah Pasifik, dan Afrika prevalensi

ITBL pada populasi umum diperkirakan di atas sekitar 20%, sedangkan di

Mediterania Timur, Wilayah Eropa, dan Amerika prevalensi ITBL populasi umum

di bawah 17%. Negara Cina dan India memiliki prevalensi ITBL tertinggi, yaitu

sekitar 350 juta infeksi, diikuti oleh Indonesia yaitu sekitar 120 juta infeksi dan

kurang dari 60 juta infeksi di semua negara lain. Amerika Serikat prevalensi ke-

20, yaitu diperkirakan sekitar 13 juta.5

2.3 Etiopatogenesis

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan tujuh spesies

lain yang sangat dekat dengan mikobakteria (M. bovis, M. africanum, M. microti, M.

Page 7: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

5

caprae, M. pinnipedii, M. canetti and M. mungi) bersama-sama membentuk kompleks

M. tuberculosis. Tidak semua spesies tersebut menyebabkan penyakit pada manusia.

Mayoritas kasus TB di Amerika Serikat disebabkan oleh M. tuberculosis. M.

tuberculosis juga disebut sebagai tubercle bacilli. Mycobacterium bovis (M. bovis)

merupakan jenis mikobakteria lain sebagai penyebab penyakit TB pada manusia.

M.bovis paling umum ditemukan di sapi, bison, dan rusa.4

Mikobakteria bersifat non motile, berbentuk batang dan sedikit melengkung, tahan

terhadap asam dan alkohol setelah pewarnaan dengan phenicated fuchsin (Ziehl-

Neelsen). Karakteristik terpenting mikobakteri adalah Acid-fastness. Acid fast

didefinisikan sebagai kemampuan sel mikobakteri untuk tidak mengalami dekolorisasi

(perusakan warna secara buatan) pada penggunaan asam. Hal ini terjadi karena

kandungan lipid dalam kadar tinggi di dinding sel sehingga mikobakteri bersifat waxy,

hidrofobik dan sulit terwarnai4

Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah mikobakteri penyebab utama tuberkulosis

pada manusia. MTB terkadang disebut sebagai tubercle bacillus. Bakteri ini berbentuk

batang dan bersifat non-motil (tidak dapat bergerak sendiri) dengan panjang 1-4 μm

dan lebar 0,3-0,56 μm (gambar 2). M. tuberculosis merupakan organisme obligate

aerobe yang berarti membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Oleh karena itu, kompleks

MTB banyak ditemukan di lobus paru bagian atas yang dialiri udara dengan baik.

Selain itu, bakteri ini merupakan parasit intraseluler fakultatif, yaitu patogen yang

dapat hidup dan memperbanyak diri di dalam sel hospen maupun diluar sel hospes (sel

fagositik), khususnya makrofag dan monosit. Kemampuan MTB dalam bertahan di

makrofag hospes dikendalikan oleh proses kompleks dan terkoordinir. Sistem ini

dikontrol dengan baik ESX-1 sebagai sistem sekresi protein bakteri.

Page 8: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

6

Gambar 2. Transmission electron microscopy (TEM) dari M. tuberculosis.

M. tuberculosis tidak diklasifikasikan sebagai Gram positif maupun Gram negative.

Hal ini disebabkan karena dinding sel bakteri ini tidak memiliki karakteristik membran

luar bakteri Gram negatif. Namun, M. tuberculosis memiliki struktur peptidoglikan-

arabinogalaktan-asam mikolat sebagai barier permeabilitas eksternal. M. tuberculosis

diklasifikasikan sebagai bakteri acid-fast. Jika pewarnaan Gram dilakukan pada M.

tuberculosis, warna gram positif yang muncul sangatlah lemah atau tidak berwarna

sama sekali. Namun ketika terwarnai, sebagai bakteri acid fast maka M. tuberculosis

akan mempertahankan pewarna saat dipanaskan dan diberi komponen asam organik.

Pada penggunaan metode Ziehl-Neelsen stain terhadap M. tuberculosis, bakteri ini

akan menunjukkan warna merah muda

Page 9: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

7

Gambar 3. Penampakan Mycobacterium tuberculosis

menggunakan Ziehl-Nelson stain

Dinding sel M. tuberculosis berhubungan dengan sifat bakteri , yaitu:

1. Impermeabilitas terhadap stain dan dye

2. Resistensi terhadap berbagai antibiotik

3. Resistensi terhadap pembunuhan oleh campuran asam dan basa

4. Resistensi terhadap lisis osmotik melalui complement deposition

5. Resistensi terhadap oksidasi dan daya tahan di dalam makrofag

Page 10: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

8

Gambar 4. Diagram skematik dinding sel mikobakteri

Fraksi komponen utama lipid MTB adalah asam mikolat, cord factor, dan wax-D.

Asam mikolat membentuk lapisan lipid di sekeliling organisme. Komponen ini adalah

penentu utama permeabilitas dinding sel mikobakteria karena sifat hidrofobiknya yang

kuat. Komponen ini melindungi bakteri dari serangan protein kationik, lisozim dan

radikal oksigen di dalam granul fagositik.

Cord factor (trehalose 6-6’-dimikolat, TDM) adalah suatu glikolipid yang memiliki 2

aktivitas. TDM bersifat non toksik dan berfungsi menghambat migrasi sebagai

pelindung dari makrofag. TDM menjadi antigenik dan sangat toksik terhadap sel

mamalia. Cord factor menjadi komponen paling berlimpah pada strain M. tuberculosis

yang ganas.

Wax-D merupakan suatu glikolipid dan peptidoglikolipid yang diekstraksi dari fraksi

wax M. tuberculosis. Wax D memiliki substansi yang dapat menguatkan respon imun

tubuh.

Page 11: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

9

Gambar 4. Karakteristik unik M. tuberculosis pada sistem imun manusia

Page 12: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

10

Droplet nuclei berisi tubercle

bacilli masuk ke dalam saluran

napas, terhirup, masuk ke dalam

paru-paru dan bergerak ke

alveolus.

Tubercle bacilli bereplikasi di

dalam alveolus

Sebagian kecil tubercle bacilli

masuk ke dalam aliran darah

kemudian menyebar ke seluruh

tubuh. Tubercle bacilli dapat

mencapai setiap bagian tubuh,

termasuk otak, laring, saluran

limfa, paru-paru, tulang

belakang,tulang atau ginjal.

Makrofag akan mengelilingi dan

memakan tubercle bacilli dalam

2 hingga 8 minggu. Makrofag

akan membentuk lapisan

pelindung (granuloma) sebagai

penampung dan pengendali

tubercle bacilli (ITBL).

Jika sistem imun tidak dapat

mengendalikan tubercle bacilli,

bacilli mulai memperbanyak

diri dengan cepat (terjadi

penyakit TB). Proses ini dapat

terjadi pada area yang berbeda

di tubuh seperti paru, otak, atau

tulang

Gambar 5. Patogenesis Penyakit TB dan ITBL

Page 13: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

11

Setelah inhalasi M. tuberculosis, innate imun respon yang melibatkan makrofag

alveolar dan granulosit mulai memerangi infeksi. Pada beberapa orang, basil M.

tuberculosis berhasill dibersihkan, sedangkan pada beberapa lainnya, infeksi terjadi.

Replikasi basil pada makrofag dan kelenjar getah bening regional mengarah ke

diseminasi limfatik dan hematogen, yang pada akhirnya mungkin menimbulkan

penyakit luar paru.

Adanya basil dalam makrofag dan secara ekstraseluler dalam granuloma membatasi

replikasi dan kontrol lebih lanjut kerusakan jaringan, menghasilkan keseimbangan

dinamis antara patogen dan host

Respons imunologis yang terjadi akibat inhalasi M. tuberculosis, baik protektif dan

patogen berkorelasi dengan berbagai aktivasi bakteri. Hal ini mencakup berbagai

interaksi host-mikroba, yang ditandai oleh latensi klinis ketika respons inang

mendominasi dan oleh penyakit ketika replikasi bakteri melebihi ambang yang

dibutuhkan sehingga dapat menyebabkan gejala.6

Page 14: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

12

Gambar 6. Perjalanan alamiah dan hasil pada individu yang imunokompeten setelah

terpapar droplet yang mengandung M. tuberculosis, ditularkan oleh TB paru

BTA-positif7

2.4 Faktor yang Memengaruhi Reaktivasi TB Laten

Sekitar 5% hingga 10% pasien yang mengalami TB Laten akan berkembang

menjadi TB aktif. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB penting

untuk diketahui.2 Faktor-faktor tersebut adalah:

Page 15: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

13

2.4.1 Faktor Risiko Tinggi

a. HIV/AIDS

Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa infeksi HIV mungkin berhubungan

dengan peningkatan risiko reaktivasi ITBL. Infeksi HIV diperkirakan dapat

menyebabkan 10-110 kali risiko lebih tinggi untuk reaktivasi ITBL2.

Gambar 7. Mekanisme hubungan HIV dan Infeksi TB Laten

Berikut adalah mekanisme yang diperkirakan terjadi. Pada tahap pertama,

granuloma nekrotik memiliki fungsi yang normal pada seseorang dengan TB laten.

Kemudian, pada tahap kedua, HIV memasuki granuloma dan menginduksi

perubahan fungsional dalam sel T dan makrofag. Selain itu, HIV juga membunuh

sel T yang diaktifkan. Kemudian, pada tahapan ketiga, penurunan jumlah sel T dan

Page 16: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

14

peningkatan disfungsi seluler menyebabkan gangguan fungsional granuloma. Hal

inilah yang dapat menyebabkan peningkatan penyebaran. Selanjutnya, fungsi

granuloma terganggu segera setelah infeksi HIV terjadi yang memicu diseminasi

dan reaktivasi M. TB, Terakhir, granuloma fibrotik untuk sementara waktu

membentuk kembali granuloma, dengan tujuan mencegah reaktivasi.8

b. Kontak dengan Penderita TB

Sebuah studi melaporkan bahwa laju reaktivasi TB 15 kali lebih besar bagi mereka

yang baru saja terinfeksi (<2 tahun). American Thoracic Society (ATS)

merekomendasikan agar apabila terdapat kontak dengan pasien TB di rumah,

seseorang yang memiliki tes TST positif sebaiknya mendapatkan terapi preventif.2

c. Penerima Transplantasi Organ

Risiko TB aktif pada penerima transplantasi orgat dapat disebabkan oleh adanya

infeksi baru atau keadaaan imunosupresi.9 Sebuah studi di Spanyol melaporkan

bahwa penerima transplantasi ginjal, hati dan jantung memiliki kejadian TB 0,8%,

20 kali lebih tinggi dari populasi umum, dan tidak ada perbedaan risiko TB

ditemukan di antara tiga jenis transplantasi tersebut. 2

d. Gagal Ginjal Kronis yang Memerlukan Dialisis

Pada tahun 1970-an-1980-an, beberapa penelitian melaporkan adanya peningkatan

risiko TB 10 hingga 12 kali lipat pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CKD) yang

menjalani hemodialisis bila dibandingkan dengan populasi umum.2 Pada tahun

2016, sebuah penelitian di Taiwan yang melibatkan 940 pasien dialisis mendapatkan

hasil bahwa rate TB pada pasien dengan dialysis adalah sebesar 4,5%. 2,10

Page 17: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

15

e. TNF-alpha blocker

Tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) memainkan peran kunci dalam respons

inflamasi tubuh, danlima TNF-a antagonis saat ini digunakan dalam bidang klinis

sebagai terapi adalah (etanercept adalimumab, infliximab, golimumab dan

certolizumab. Sebuah metaanalisis menemukan bahwa risiko TB infliximab dan

adalimumab adalah 2,78 dan 3,88 kali lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi oleh karena

obat-obatan tersebut merupakan obat bekerja dengan menetralkan TNF-a, yang

berkontribusi terhadap peradangan pada penyakit. Namun, TNF-a adalah juga

merupakan sitokin penting untuk aktivasi makrofag dan sangat penting dalam

mengontrol host dari Mycobacterium TB.11 Dengan demikian, WHO sekarang

merekomendasikan pengujian dan perawatan untuk ITBL secara keseluruhan pasien

yang berencana menerima pengobatan anti-TNF di negara-negara dengan risiko TB

rendah. 2

f. Silikosis

Hubungan antara silikosis dan TB sudah lama diketahui. Beberapa studi melaporkan

bahwa 25% -30% pasien silikosis akan mengembangkan TB. Risiko relatif untuk

TB mencapai 2,8 pada pasien dengan silikosis dibandingkan dengan populasi

umum.2

Studi eksperimental menunjukkan bahwa silica dapat merusak fungsi makrofag

alveolar, dan paparan silica yang parah dapat menyebabkan apoptosis makrofag.

Temuan ini konsisten dengan pengamatan bahwa kejadian tuberkulosis pada pekerja

yang terpapar debu lebih tinggi bahkan pada mereka yang tidak memiliki silicosis.

Unsur lain yang terlibat adalah surfaktan protein A, dan kelebihan protein ini

tampaknya terkait dengan kerentanan yang lebih tinggi terhadap tuberkulosis,

mungkin karena menghambat pembentukan spesies nitrogen reaktif oleh makrofag

yang diaktifkan dan memungkinkan mikobakteria untuk memasuki makrofag

alveolar tanpa memicu sitotoksisitas. Hal lain yang diketahui adalah bahwa basil

Page 18: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

16

dapat tetap dienkapsulasi dalam nodul silikosis, yang akan bertanggung jawab untuk

reaktivasi tuberkulosis pada pasien tersebut.12

2.4.2 Faktor Risiko Sedang

a. Fibronodular disease pada foto rontgen dada

TB aktif ditandai oleh perubahan fibronodular yang stabil, termasuk jaringan parut

(fibrosis peribronkial, bronkiektasis, dan distorsi arsitektur) dan opasitas nodular di

zona apical dan paru-paru bagian atas. Perubahan fibronodular dikaitkan dengan

risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengembangkan reaktivasi TB.13 Pada 1970-an,

sebuah penelitian melaporkan peningkatan risiko TB 6 hingga 19 kali lipat pada

orang yang ditemukan memiliki lesi TB lama yang tidak aktif pada radiografi dada

tetapi tidak memiliki perawatan yang memadai2

b. Penduduk dari negara dengan prevalesi TB yang tinggi

Di negara dengan prevalensi TB rendah,penduduk dari negara dengan kejadian TB

tinggi yang tinggi merupakan salah satu kelompok risiko untuk TB. Oleh karena itu,

skrining dan pengobatan untuk ITBL dan TB dilakukan di banyak negara maju bagi

untuk individu yang lahir di luar negeri. Inggris melakukan skrining terhadap

individu yang datang dari negara dengan risiko TB lebih tinggi dari 40 / 100.000 per

tahun dan Jepang melakukan skrining pada individu dengan negara-negara dengan

risiko 100/ 100.000 per tahun.2

c. Tenaga Kesehatan

Petugas kesehatan berisiko lebih tinggi untuk menderita TB yang didapat secara

nosokomial dibandingkan dengan yang tidak bekerja di layanan kesehatan. Hal ini

mungkin diperngaruhi beberapa faktor seperti adanya sistem pendingin udara

Page 19: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

17

(memungkinkan sirkulasi ulang udara yang terkontaminasi), dokter tanpa alat

perlindungan diri yang memadai pada beberapa prosedur seperti bronkoskopi, atau

peningkatan jumlah pengunjung dari negara dengan TB.2 Penelitian lain

menyebutkan, bahwa dari tiga ratus sembilan puluh lima petugas kesehatan

sebanyak 49 (12%) dinyatakan positif menggunakan ITBL.14

d. Tahanan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat infeksi TB di penjara lebih tinggi

daripada populasi nasional masing-masing negara. Peningkatan tingkat penularan

TB mungkin berkaitan dengan faktor-faktor berikut yaitu, kepadatan, pergantian

individu yang tinggi, dan jumlah yang tidak proporsional, serta adanya tahanan yang

memiliki faktor risiko lain yang terkait dengan TB, seperti misalnya HIV, dimana

pada populasi ini lebih banyak kemungkinan koinfeksi dengan HIV dan lebih sulit

diobati secara patuh.15

2.4.3 Faktor Risiko Rendah

a. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) diketahui meningkatkan risiko TB pada individu, dan

beberapa penelitian telah melaporkan bahwa risiko relatif berkisar antara 1,16

hingga 7,83.2 Kontrol glikemik yang buruk dikaitkan dengan glikasi makrofag dan

hipotesis sentinel yang rusak, di mana monosit gagal menyerap M. tuberkulosis

karena berkurangnya aktivasi makrofag alveolar. Sequence analysis glikasi CD271

dalam sel induk mesenchymal oleh Bhattacharyya et al. menemukan bahwa glikasi

domain fungsional CD271 sel mesenkim dapat terjadi dalam waktu lama, pada

individu dengan DM tidak terkendali. Fenomena ini berpotensi memodulasi rentang

hidup sel CD271, yang dapat berpengaruh pada M. tuberculosis di ITBL.

Selanjutnya, peptida antimikroba (AMP) ekspresi gen telah dikaitkan dengan ITBL,

Page 20: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

18

TB aktif dan DM. Diferensial ekspresi AMP, seperti β-defensin-2, pada pasien

dengan DM dapat berkontribusi peningkatan risiko ITBL dan TB aktif.16

b. Merokok

Merokok dapat mengubah respons imun paru M Tb. Oleh karena itu, merokok dapat

berkontribusi pada kerentanan yang lebih tinggi untuk infeksi TB pada individu.

Risiko relatif infeksi TB pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok berkisar

2 hingga 3,4 kali lipat, dan reaktivasi dan tingkat kematian TB juga lebih tinggi pada

perokok.2 Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa merokok meningkatkan

kemungkinan infeksi TB. Adanya paparan asap mengurangi fungsi silia normal

pembersihan patogen dari paru dan jalur bronkial. Selain itu, makrofag alveolar pada

perokok kurang mampu merespons bakteri di paru. Hal ini diperberat dengan respon

kekebalan sistemik yang menurun pada perokok. Akhirnya, paparan asap

menghasilkan lebih banyak batuk yang dapat memfasilitasi aerosolisasi M. TB dari

paru perokok yang terinfeksi, yang bisa menyebabkan peningkatan transmisi.17

c. Penggunaan Kortikosteroid

Untuk pasien yang sedang dirawat dengan kortikosteroid, risiko reaktivasi TB

meningkat 2,8 hingga 7,7 kali lipat.2 Pernyataan bersama dari American Thoracic

Society dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS mengungkapkan

bahwa dosis prednisolon oral 15 mg / hari atau lebih yang diberikan selama 1 bulan

atau lebih adalah faktor risiko berkembangnya TB. Dalam penelitian Chung, et al,

penggunaan jangka panjang kortikosteroid oral bahkan pada dosis rendah 1–10 mg

/ hari, menunjukkan adanya peningkatan risiko pengembangan TB dan terdapat efek

yang bergantung terhadap dosis.18

Page 21: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

19

2.5 Diagnosis

Seseorang yang mengalami Infeksi Tuberkulosis Laten tidak menunjukkan tanda-tanda

klinis atau gejala penyakit TB dan memiliki radiografi dada normal. Diagnosis Infeksi

Tuberkulosis Laten (ITBL) bergantung pada penanda imunologis. Dua metode yang

sering digunakan dalam praktik klinis telah dirancang untuk mengukur respon imun

adaptif yang dimediasi sel asimptomatik host yang terkena Mycobacterium

Tuberkulosis adalah Tuberculin Skin Test (TST) dan Interferon-Gamma Release

Assays (IGRA). Kedua test tersebut adalah alat diagnostik standar imunologi untuk

ITBL.

Gambar 8. Perkembangan Tuberkulosis

Page 22: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

20

a. Tuberculin Skin Test (TST)

Sampai tahun 2001, Tuberculin Skin Test (TST) adalah satu-satunya metode untuk

mendiagnosis LTBI. Tes pertama kali dijelaskan oleh Robert Koch pada tahun 1890.

Tuberkulin adalah ekstrak gliserol dari mikobakteri, dan PPD (purified protein

derivative) endapan antigen spesifik non-spesies yang diperoleh dari mikobakteri.

Yang dilakukan pada TST adalah: mengukur indurasi kulit 48-72 jam. setelah

administrasi PPD intradermal (Mantoux prosedur). "

b. Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs)

Tes ini bertujuan untuk mengukur pelepasan sel-T IFN-γ in vitro setelah stimulasi oleh

MITC antigen spesifik. Sampel ini diambil dengan menggunakan sampel darah. Dua

IGRA telah dikembangkan: QuantiFERON-TB® Gold In-Tube (QFT) (Cellestis

Limited, Carnegie, Victoria, Australia) dan T-SPOT. TB® (Oxford Immunotec,

Oxford, UK). Kedua tes menggunakan antigenik awal yang disekresikan target 6

(ESAT-6) dan kultur filtrat protein (CFP10), yang dikodekan oleh gen yang terletak di

region of difference 1 (RD-1) segmen Genom MTC.

QFT adalah enzyme-linked immunosorbentassay (ELISA) yang dilakukan pada darah

lengkap. Tes ini mengukur tingkat IFN-γ. Hasilnya mudah diproses oleh perangkat

lunak dan dilaporkan dalam (IU / mL). Sementara T-SPOT TB adalah enzyme-linked

immunospot assay (ELISPOT). Hasilnya dilaporkan sebagai jumlah produksi IFN-γ

yang memproduksi sel T.

Baik TST maupun IGRA tidak dapat mendeteksi Infeksi TB pada tahap awal karena

yang diukur adalah respon imun adaptif terhadap MTC. Untuk itu, jangka waktu 8

minggu setelah infeksi diperlukan untuk hasil yang dapat diandalkan. Ada tiga

kelemahan penting

Page 23: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

21

Terdapat tiga kekurangan test tersebut. Pertama adalah nilai prediktif positif

(PPV) mereka yang buruk untuk pengembangan menjadi activeTB. Beberapa

penelitian telah mencoba untuk mengkorelasikan risiko perkembangan terhadap

respons kuantitatif keduanya di Indonesia secara in vivo (pengukuran TST) dan tes in

vitro (misalnya, konsentrasi IFN-γ dalam tabung QFT), tetapi tidak ada hasil konklusif

yang ditemukan. Meta-analisis menunjukkan PPV sedikit lebih baik dengan IGRA

dibandingkan dengan TST (2,4% untuk TST dan 6,8% untuk IGRA dalam kelompok

berisiko tinggi).

Kerugian umum kedua adalah ketidakmampuan TST dan IGRA untuk membedakan

ITBL dan penyakit aktif. WHO sudah merekomendasikan terhadap penggunaan IGRA

untuk Diagnosis TB aktif, hasil negatif tidak menyingkirkan penyakit.

Yang ketiga adalah bahwa tes tidak dapat membedakan infeki yang baru atau lama..

Infeksi masa lalu dan infeksi baru tidak berbeda satu sama lain. Setiap hasil harus

diperiksa dan dirancang dengan hati-hati, sebagai kekhasan host dapat memodifikasi

sensitivitas dan kekhususan dari kedua TST dan IGRA

Page 24: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

22

2.6 Penatalaksanaan

Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan Infeksi Tuberkulosis Laten

Monoterapi harian Izoniazid selama 6 bulan adalah pengobatan standar untuk orang

dewasa dan anak-anak yang tinggal di negara dengan insiden TB tinggi atau rendah.

Beberapa tinjauan sistematis telah menunjukkan bahwa hal ini efektif sebagai untuk

mencegah TB menjadi aktif. Tinjauan sistematis RCT yang melibatkan Odha

menunjukkan bahwa monoterapi isoniazid mengurangi risiko keseluruhan untuk TB

sebesar 33% (RR 0,67; 95% CI 0,51; 0,87), dan pencegahan pada orang dengan TST

positif (RR 0,36; 95% CI 0,22; 0,61) mencapai 64%

Tidak ada uji klinis terkontrol yang ditemukan membandingkan monoterapi isoniazid

9 bulan dan 6 bulan. Analisis ulang oleh United States Public Health Service yang

dilakukan pada 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa manfaat isoniazid

meningkat secara progresif ketika diberikan hingga 9-10 bulan dan menstabilkan

setelahnya

Tinjauan sistematis dan meta-analisis dari tiga RCT pada orang yang hidup dengan

HIV di lingkungan dengan prevalensi TB yang tinggi menunjukkan bahwa IPT

Page 25: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

23

berkelanjutan dapat mengurangi risiko TB aktif sebesar 38% lebih dari Isoniazid 6

bulan. Efeknya lebih besar pada orang dengan TST positif (49% untuk TB aktif dan

50% untuk mortalitas). Pada pasien dengan TST negatif, tidak ada efek yang signifikan,

meskipun estimasi titik menunjukkan pengurangan kejadian TB sebanyak 27%.

Tinjauan sistematis pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kemanjuran dan profil

keamanan rifampisin harian plus isoniazid berbulan-bulan sama dengan penggunaan

isoniazid 6 bulan. Rifampisin harian plus isoniazid dapat digunakan sebagai alternatif

untuk isoniazid pada negara dengan prevalensi TB yang rendah. Kami melakukan

tinjauan baru untuk membandingkan efektivitas pada anak-anak rifampicin dan

isoniazid setiap hari selama 3 bulan dengan isoniazid selama 6 atau 9 bulan.

Pedoman ITBL pada tahun 2015 diperbaharui pada tahun 2017, ditemukan efek positif

untuk penggunaan rifampisin harian selama 3-4 bulan dan isoniazid selama 6 bulan

(rasio odds, 0,78; 95% CI, 0,41; 1,46). Ulasan tersebut juga menunjukkan bahwa orang

yang diberikan rifampisin setiap hari selama 3-4 bulan memiliki risiko lebih rendah

untuk mengalami hepatotoksisitas dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan

monoterapi isoniazid (rasio odds, 0,03; 95% CI 0,00; 0,48).

Sebuah tinjauan sistematis dilakukan untuk membandingkan efektivitas regimen

mingguan rifapentine plus isoniazid selama 3 bulan dengan monoterapi isoniazid.

Ulasan tersebut mencakup empat RCT (52–55), yang dianalisis untuk tiga

subkelompok: orang dewasa dengan infeksi HIV, orang dewasa tanpa infeksi HIV dan

anak-anak dan remaja, yang tidak dapat dikelompokkan berdasarkan status HIV karena

studi yang relevan masih kurang.

Dua RCT dengan subjek orang dewasa penderita HIV dari Afrika Selatan, Peru dan di

sejumlah negara dengan angka kejadian TB yang rendah menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam kejadian TB aktif antara peserta yang

diberikan regimen rifapentine plus isoniazid mingguan selama 3 bulan dan monoterapi

isoniazid 6 atau 9 bulan (RR 0,73, 95% CI 0,23; 2,30).

Page 26: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

24

Selain itu, risiko hepatotoksisitas secara signifikan lebih rendah dengan regimen

rifapentine plus isoniazid pada orang dewasa dengan HIV (RR 0,26, 95% CI 0,12; 0,55)

dan mereka yang tidak HIV (RR 0,16, 95% CI 0,10; 0,27).19

Page 27: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

25

BAB III

PENUTUP

Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.

Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto

toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma

Release Assay (IGRA) positif. Sekitar 5% hingga 10% pasien yang mengalami TB

Laten akan berkembang menjadi TB aktif. Faktor-faktor yang memengaruhi hal

tersebut terbagi menjadi faktor risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah. Faktor

risiko tinggi meliputi HIV/AIDS, kontak dengan penderita TB, penerima transplantasi

organ, gagal ginjal kronis yang memerlukan dialisis, TNF-alpha blocker, dan silikosis.

Faktor risiko sedang meliputi fibronodular disease pada foto rontgen dada, penduduk

dari negara dengan prevalesi TB yang tinggi, tenaga kesehatan, dan tahanan. Faktor

risiko rendah meliputi diabetes mellitus, merokok, dan penggunaan kortikosteroid.

Page 28: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

1

DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen A, Mathiasen VD, Schön T, Wejse C. The global prevalence of latent

tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. Eur Respir J. 2019;54(3).

doi:10.1183/13993003.00655-2019

2. Ai JW, Ruan QL, Liu QH, Zhang WH. Updates on the risk factors for latent

tuberculosis reactivation and their managements. Emerg Microbes Infect.

2016;5(September 2014):e10. doi:10.1038/emi.2016.10

3. Paton NI, Borand L, Benedicto J, et al. Diagnosis and management of latent

tuberculosis infection in Asia: Review of current status and challenges. Int J

Infect Dis. 2019;87:21-29. doi:10.1016/j.ijid.2019.07.004

4. Irianti, dkk. 2016. Anti-tuberkulosis.

5. Houben RMGJ, Dodd PJ. The Global Burden of Latent Tuberculosis Infection:

A Re-estimation Using Mathematical Modelling. PLoS Med. 2016;13(10):1-

13. doi:10.1371/journal.pmed.1002152

6. Getahun H, Matteelli A, Raviglione M. Latent Mycobacterium tuberculosis

Infection. 2015;(May). doi:10.1056/NEJMra1405427

7. Ahmad S. Pathogenesis , Immunology , and Diagnosis of Latent

Mycobacterium tuberculosis Infection. 2011;2011. doi:10.1155/2011/814943

8. Diedrich CR, Flynn JAL. HIV-1/Mycobacterium tuberculosis coinfection

immunology: How does HIV-1 exacerbate tuberculosis? Infect Immun.

2011;79(4):1407-1417. doi:10.1128/IAI.01126-10

9. Bumbacea D, Arend SM, Eyuboglu F, et al. The risk of tuberculosis in

transplant candidates and recipients: A TBNET consensus statement. Eur

Respir J. 2012;40(4):990-1013. doi:10.1183/09031936.00000712

10. Shu CC, Hsu CL, Wei YF, et al. Risk of tuberculosis among patients on

Page 29: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

2

dialysis. Med (United States). 2016;95(22):1-8.

doi:10.1097/MD.0000000000003813

11. Esmail H, Wilkinson RJ. Minimizing tuberculosis risk in patients receiving

anti-TNF therapy. Ann Am Thorac Soc. 2017;14(5):621-623.

doi:10.1513/AnnalsATS.201701-055ED

12. Farazi A, Jabbariasl M. Silico-tuberculosis and associated risk factors in

central province of Iran. Pan Afr Med J. 2015;20:333.

doi:10.11604/pamj.2015.20.333.4993

13. Nachiappan AC, Rahbar K, Shi X, et al. Pulmonary tuberculosis: Role of

radiology in diagnosis and management. Radiographics. 2017;37(1):52-72.

doi:10.1148/rg.2017160032

14. Almufty HB, Abdulrahman IS, Merza MA. Latent tuberculosis infection

among healthcare workers in Duhok province: From screening to prophylactic

treatment. Trop Med Infect Dis. 2019;4(2):1-11.

doi:10.3390/tropicalmed4020085

15. Gray BJ, Perrett SE, Gudgeon B, Shankar AG. Investigating the prevalence of

latent Tuberculosis infection in a UK remand prison. J Public Health

(Bangkok). 2019:1-6. doi:10.1093/pubmed/fdy219

16. Woalder. 乳鼠心肌提取 HHS Public Access. Physiol Behav.

2017;176(1):139-148. doi:10.1016/j.physbeh.2017.03.040

17. Lindsay RP, Shin SS, Garfein RS, Rusch MLA, Novotny TE. The association

between active and passive smoking and latent tuberculosis infection in adults

and children in the United States: Results from NHANES. PLoS One.

2014;9(3):1-8. doi:10.1371/journal.pone.0093137

18. Chung WS, Chen YF, Hsu JC, Yang WT, Chen SC, Chiang JY. Inhaled

corticosteroids and the increased risk of pulmonary tuberculosis: A population-

based case-control study. Int J Clin Pract. 2014;68(10):1193-1199.

Page 30: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI REAKTIVASI INFEKSI

3

doi:10.1111/ijcp.12459

19. WHO. 2018. Latent Tuberculosis Infection.