29
A. Identitas Perkara : Nomor Perkara : 97/PK/Pid.Sus/2012 Jenis Perkara : Pidana Terdakwa : Sudjiono Timan Jabatan : Direktur PT.Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Isu Kunci : Ahli Waris Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU- IV/2006, Perbuatan Melawan Hukum Materil, Tindak pidana perbankan Majelis Hakim : H.Sutadi SH.MH (Ketua), Dr.H.Andi Samsan Nganro SH.MH (Anggota) Prof. Dr. H.Abdul Latif,SH,M.Hum (Anggota) Sophian Marthabaya,SH (Anggota) Sri Murwahyuni SH.MH (Anggota) URL : http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/f1c0c45538854a deed5d8dc073ab3e0e B. Posisi Kasus Sudjiono Timan lahir di Jakarta pada 9 Mei 1959. Ia adalah Direktur Utama PT.Bahana Pembinaan Indonesia atau dengan sebutan lain PT.Bahana Sekuritas (selanjutnya disebut BPUI) sejak tanggal 4 Maret 1993 sesuai Akta Pernyataan Keputusan Rapat “PT. BPUI” Nomor 17 tertanggal 8 Mei 1993 yang dibuat dihadapan Notaris Adrian Djuaini, S.H, dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor : 477/ KMK .016 / 1994 27 / 4/ KEP / GBI tanggal 26 September 1994. Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan

Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

A. Identitas Perkara :Nomor Perkara : 97/PK/Pid.Sus/2012Jenis Perkara : PidanaTerdakwa : Sudjiono TimanJabatan : Direktur PT.Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Isu Kunci : Ahli Waris Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Putusan Mahkamah

Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, Perbuatan Melawan Hukum Materil, Tindak pidana perbankan

Majelis Hakim : H.Sutadi SH.MH (Ketua), Dr.H.Andi Samsan Nganro SH.MH (Anggota) Prof. Dr. H.Abdul Latif,SH,M.Hum (Anggota) Sophian Marthabaya,SH (Anggota) Sri Murwahyuni SH.MH (Anggota)

URL : http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/f1c0c45538854adeed5d8dc073ab3e0e

B. Posisi Kasus

Sudjiono Timan lahir di Jakarta pada 9 Mei 1959. Ia adalah Direktur Utama PT.Bahana Pembinaan Indonesia atau dengan sebutan lain PT.Bahana Sekuritas (selanjutnya disebut BPUI) sejak tanggal 4 Maret 1993 sesuai Akta Pernyataan Keputusan Rapat “PT. BPUI” Nomor 17 tertanggal 8 Mei 1993 yang dibuat dihadapan Notaris Adrian Djuaini, S.H, dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri

Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor : 477 /KMK .016 /1994

27/4 / KEP /GBI tanggal 26

September 1994. Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU)

dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Di dalam surat dakwaannya, JPU mengatakan bahwa terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksti PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due dilligence (pemeriksaan kelayakan pemberian pinjaman) terhadap Kredit Asia Finance Limited ( selanjutnya disebut KAFL) dan perusahaan lainnya seperti Festival Company Incorporated, PT. Pramawira Insan Persada, PT.ELOK UNGGUL, dan Penta Investment Limited.

KAFL sendiri adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan (Multi Finance Company), yang berkedudukan di 20/F, EURO Trade Center, 21-23 Des Vooux Road Central, Hongkong yang lebih banyak dikelola di Jakarta. KAFL kemudian digunakan sebagai penyalur dana dengan mekanisme two step dengan tujuan penerima akhir adalah PT.ELOK UNGGUL yang merupakan salah satu debitur dari PT.BPUI. KAFL kemudian menerbitkan Promissory Note (PN) KAFL No.033/PN/KAFL/VII/96 senilai USD 40,700,000.00 dalam bentuk rupiah melalui 2 cek Bank Niaga senilai masing-masing Rp.94.640.320.500,00 (eq. USD 40,496,500.00) dan Rp.475.579.500 (eq. USD 203,500.00) yang diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 13 Februari 1997. Terdakwa kemudian mengatur agar Promissory Note yang

Page 2: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

dikeluarkan oleh KAFL tersebut kemudian dibeli oleh PT.BPUI sehingga seolah-olah mengelabui bahwa Promissory Note tersebut adalah sebuah Commercial Paper (Surat Berharga). Penempatan dana dengan menggunakan Promissory Note tersebut berasal dari rekening PT.BPUI di Bank Niaga Nomor : 064.01.00789. Sebelumnya, pada tanggal 22 Desember 1995 terdakwa mengatur agar PT.BPUI mengalirkan dana sebesar USD 5,117,304.47, dengan menggunakan dana yang berasal dari rekening PT.BPUI di Bank Niaga Nomor : 64-A-0622-5, kemudian terbitlah Promissory Note KAFL No.009/PN/KAFL/XII/95 senilai USD 5,400,000.00 yang diterbitkan pada 22 Desember 1995 dan jatuh tempo pada 24 Juni 1996.

Penyaluran dana menggunakan mekanisme two step ke PT.ELOK UNGGUL tersebut, pada dasarnya tidak dijelaskan pada Investment memo yang diajukan oleh KAFL, melainkan seakan-akan hanya sebagai placement line (penempatan dana) ke KAFL. Terdakwa menyembunyikan fakta tersebut, dan atas arahan dan perintah terdakwa, Investment memo untuk pemberian placement line kepada KAFL hanya dengan tujuan penggunaan dana sebagai modal kerja KAFL saja. Akibat dari placement line tersebut adalah tidak adanya perlindungan jaminan atas peminjaman dana kredit yang diserahkan oleh PT. BPUI kepada KAFL dengan menggunakan Promissory Note sebagai produk yang dikeluarkan PT.BPUI. Hal tersebut juga berimbas pada tidak terlindunginya dana PT.BPUI yang disalurkan oleh KAFL kepada PT.ELOK UNGGUL sebagai pihak terakhir dari tujuan transaksi dana dan hal ini menyebabkan resiko kredit macet yang sangat besar. Padahal sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab Terdakwa untuk mengelola PT.BPUI dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential) sesuai dengan Anggaran Dasar PT.BPUI dan Pedoman Manajemen Resiko revisi 1.4, 13 Mei 1995.

Selain transfer dana menggunakan mekanisme placement line kepada KAFL, Terdakwa melalui PT.BPUI juga melakukan transfer dana yang sama kepada beberapa perusahaan lainnya, seperti Festival Company Incorporated dengan total transfer dana sebesar USD 30.250.005,00 (tiga puluh juta dua ratus lima puluh ribu lima dollar amerika ) , PT.Pramawira dengan total transfer dana sebesar USD 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta dollar amerika), Penta Invesment Limited dengan total transfer dana sebesar USD 19.025.502,00 (Sembilan belas juta dua puluh lima ribu lima ratus dua dollar amerika). Mekanisme yang digunakan Terdakwa dalam mengalirkan dana kepada Festival Company Incorporated dan PT.Pramawira hampir sama dengan mekanisme transfer dana ke KAFL hingga ke PT.ELOK UNGGUL. Pada mekanisme transfer dana ke Festival Company Incorporated, PT.BPUI pada awalnya tetap menggunakan KAFL sebagai “kendaraan” utama dalam proses transfer. Namun kemudian, PT.BPUI melakukan transfer langsung kepada Festival Company Inc. dengan menggunakan beberapa saham sebagai jaminan, yang mana saham tersebut merupakan hasil pembelian dari dana yang telah di transfer oleh PT.BPUI kepada Festival Company Inc. melalui KAFL. PT.BPUI menggunakan mekanisme transfer dana yang sama terhadap PT.ELOK UNGGUL dan PT.Pramawira, bedanya hanya pada pembuatan Investment memo PT.BPUI untuk PT.Pramawira menyebutkan di dalam perihalnya bahwa final beneficiary dari investasi dana tersebut adalah PT.Pramawira, sedangkan PT.ELOK UNGGUL tidak disebutkan atau dapat dikatakan “ dengan sengaja disembunyikan”.

Perbuatan melawan hukum lainnya yang di uraikan oleh JPU dalam surat dakwaannya adalah penyalahgunaan Rekening Dana Investasi (selanjutnya disebut RDI). PT.BPUI mengajukan surat permohonan kepada Menteri keuangan u.p. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) untuk memperoleh fasilitas pendanaan subordinasi dari RDI melalui surat No.059/HR/BPUI/1997 dengan maksud dan tujuan untuk digunakan dalam program stabilisasi pasar modal dan uang oleh PT.BPUI, sebesar Rp.250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Pengajuan permohonan fasilitas pendanaan

Page 3: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

subordinasi tersebut akhirnya disetujui oleh Menteri Keuangan melalui suratnya No.S654/MK.017/1997 tanggal 16 Desember 1997, dengan syarat bahwa dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sudah harus dilunaskan seluruhnya pada akhir tahun ketiga, dan beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh PT.BPUI. Kemudian, Terdakwa mencairkan dana subordinasi dari RDI tersebut secara keseluruhan dan dimasukkan ke dalam rek. PT.BPUI di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Khusus, No.31-45-2712-9. Dana subordinasi tersebut ternyata tidak digunakan untuk stabilisasi pasar modal dan uang , melainkan digunakan untuk membayar hutan Medium Term Note (MTN) I, kegiatan investasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang mana dana tersebut ditransfer ke SOCGEN sebesar Rp.5 milliar dan Standard Chartered Bank sebesar Rp.26,5 milliar, deposit pada Bank PDFCI, Bank Tiara dan Bank Umum Nasional, masing-masing sebesar Rp.115 milliar, Rp.15 milliar, dan Rp.10 milliar. Pada tanggal 14 Desember 2000, 3 tahun setelah permohonan dana subordinasi dikabulkan Menteri Keuangan, sesuai dengan arahan Terdakwa, PT.BPUI baru menyampaikan surat No.056/HS/BPUI/2000 tanggal 14 Desember 2000, yang pada pokoknya berisi laporan atas penggunaan dana subordinasi dan meminta agar dilakukan konversi atas dana RDI yang diterima oleh PT.BPUI menjadi modal (Penyertaan Modal Pemerintah). Namun dalam surat tersebut ternyata tidak dilampirkan bukti-bukti pengeluarannya, tetapi hanya berupa dafta surat-surat berharga yang dibeli menggunakan fasilitas dana RDI. Padahal pada dasarnya saham-saham tersebut telah ada atau telah dibeli sebelum dana RDI diterima oleh PT.BPUI dan dana subordinasi dari RDI tersebut tidak pernah dapat dikembalikan oleh PT.BPUI.

C. Di dalam kasus ini perlu dicermati beberapa hal, yang dianggap oleh penulis sebagai fakta-fakta hukum, yaitu;1. Surat Dakwaan JPU terhadap Terdakwa bersifat subsidaritas dengan dakwaan

primair adalah Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.Adapun unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ;a. Barang siapa

Berarti dapat diartikan siapa saja. Bahkan dengan menghubungkan barang siapa itu dengan penafsiaran Pasal 2 beserta penjelasannya, diartikan bahwa swasta pun dapat menjadi subjek dari Pasal 1 ayat 1 sub a diperkuat dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan MA No. 471 K/Kr/1979.

b. Melawan hukumMerujuk ke penjelasan otentik adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

c. Memperkaya diri pribadi atau orang lain atau suatu badan Secara harfiah dapat diartikan memperkaya diri pribadi berarti menjadikan bertambah kaya. Sedangkan kaya artinya mempunyau banyak harta. Dengan demikian, dapat diartikan menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi tambah kaya.

d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Page 4: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

Dengan merujuk kepada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 setelah di baca tidak ada penjelasan. Akan tetapi menurut penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah.2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN,

yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

3. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan kepada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahtraan kepada seluruh kehidupan rakyat.1

Adapun unsur-unsur utama Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ;a. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

Subjek hukumnya berarti disyaratkan harus memiliki kapasitas sebagai orang yan memiliki jabatan atau kedudukan dalam suatu organisasi/lembaga baik jabatan dalam pemerintahan maupun non pemerintahan seperti pengururs yayasan, koperasi atau badan hukum perusahaan yang mengandung persyaratan modal atau fasilitas dari keuangan negara. Kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya adalah kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diperoleh karena jabatan atau kedudukannya. Seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan tanggung jawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan No.892K/Pid/1983).

b. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukanSeorang yang bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari negara. Oleh karena pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan tanggung jawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan No.892K/Pid/1983).

2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta SelatanPutusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel., tertanggal 25 November 2002 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1 Syarifudin dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan ( Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe dkk), Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2006, hlm.52

Page 5: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

a. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;

b. Melapaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;c. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta

martabatnya;d. Menetapkan barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk

perkara lain, sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan kepada yang berhak.

e. Menetapkan biaya perkara sebesar Rp. 7.500 ditanggung oleh negara. 3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal

3 Desember 2004 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan;

b. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002 Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN. Jak.Sel :

MENGADILI SENDIRI :

1. Menyatakan bahwa Terdakwa Sidjiono Timan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;

2. Menghukum terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun ;

3. Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan dri seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4. Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00.-(limaa puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;

5. Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidan tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000,00 (sembilan puluh delapan juta dolar Amerika Serikat)dan Rp 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam empat puluh enam juta sembilan ratus enam ribu seratus lima belas rupiah) ;

4. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor : 02/Akta.Pid./PK/2012/PN.Jak.Sel bertanggal 20 Januari 2012 mengadili, mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali Fani Barki (istri) selaku ahli waris terpidana Sudjiono Timan. Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 434 K/Pid/2003 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel. mengadili kembali :

a. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terpidana Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;

b. Melepaskan terpidana dari segalaa tuntutan hukum ;

Page 6: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

c. Memulihkan hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ;

d. Menetapkan barang bukti berupa surat-surat dari 1-412 dipergunakan untuk perkara lain, sedangkan terhadap bukti-bukti berupa Tanah Kavling Hak Guna Bangunan No. 1516/Kuningan Timur, Approval Drowdown untuk PT. Prima Citra Utama, Rekening atas nama Sudjiono Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, Rekening atas nama Fani Barki Timan di Bank Niaga Jl. Jenderal Sudirman Jakarta, dikembalikan kepada yang berhak.

e. Membebankan semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.

5. Adapun pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut;

c. Bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya tentang perbuatan melawan hukum materil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Undonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secar materil dengan fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara pemohon Peninjauan Kembali ;

e. Bahwa terpidana Sudjiono Timan tidak cukup untuk dinyakatan telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena perbuatannya dinilai tercela dalam arti perbuatan terpidana bersifat melawan hukum materil, melainkan perlu juga membuktikan apakah memang perbuatan terpidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi (memenuhi rumusan delik) sehingga perbuatan terpidana tersebut bersifat melawan hukum formil.

f. Bahwa ternyata majelis hakim kasasi dalam membuktikan unsur melawan hukum hanya mempertimbangkan kalau terpidana telah melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat internal persero seperti anggaran dasar PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT.BPUI), surat penetapan investment commite tanggal 31 Agustus 1994 No.100/BPUI-Memo/1994, PMR/Pedoman Manajemen Resiko, Cointer Guarante Agreement antara Bahana dangan Primawira tanggal 20 September 1996, Perjanjian Pinjaman(Loan Agrement) tanggal 10 September 1996 dan Perjanjia Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI) tanggal 16 September 1997 Nomor RDI-327/PP3/1997, tetapi terpidana tidak ditemukan melanggar aturan formil yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Bahwa kalau majelis hakim kasasi menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana tersebut telah terpenuhi dengan mengambil alih pertimbangan hukum judex factie/pengadilan negeri telah mempertimbngkan dan menilai bahwa meskipun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungn bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

h. Bahwa menurut judex factie/pengadilan negeri, perbuatan sudjiono timan selaku direktur utama PT bahana pembinaan usaha indonesia (Persero) dalam kaitan dengan kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan KAFL, festival company inc mupun penta investment ltd dan penggunaan dana rekening dana investasi (RDI) masih dalam koridor hukum perdata yang didasarkan pada undang-undang Nomor 1 tahun 1995, peratuan nomor 18

Page 7: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

tahun 1973 serta anggaran dasar dan keputusan-keputusan rapat umum pemegang saham PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) (halaman 313-319 putusan pengadilan tingkat pertama). Sedangkan dalam pertimbangan hukumnya mengenai unsur ketiga “memperkaya diri sndiri, orang lain atau suatu badan” dan pertimbangan unsur keempat “secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menyimpulkan, baik mengenai berapa jumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat di hitung karena uang yang mengalir dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia kepada KAFL, festival company inc maupun penta investment ltd sebagai debitur yang saat disidangkan oleh judex factie masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utang-utang debitur serta langkah-langkah lainnya.

i. Bahwa dengan demikian adalah suatu kekeliruan yang nyata pula apabila majelis hakim kasasi telah membebankan dan menghukum sudjiono timan dengan membayar uang pengganti sejumlah utang para debitur yakni USD $ 98,000,000, dan Rp 369.446.905.115,56, padahal menurut pasal 18 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda diperoleh dari tindak pidana korupsi.

j. Bahwa PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah BUMN dalam bentuk persero, dengan demikian operasionalnya tunduk pada undang-undang nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham. Penyertaan negara yang ditanam dalam BUMN tersebut meskipun merupakan keuangan negara yang dipisahkan, akan tetapi keuangan negara tersebut sudah menjadi bagian dari kekayaan persero, dan direktur bertanggung jawab atas aktifitas perusahaan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS)

k. Bahwa fakta yang terungkap dipersidangan, PT Bahan Pembinaan Usaha Indonesia sejak berdiri tahun 1973 sampai 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak terdakwa di tunjuk sebagai direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP meraih keuntungan sebagai berikut ;Tahun 1994 untung sebesar Rp 2.000.000.000.Tahun 1995 untung sebesar Rp 11.000.000.000.Tahun 1996 untung sebesar Rp 22.000.000.000.Tahun 1997 untung sebesar Rp 23.000.000.000.Sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp 231.000.000.000 disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dolar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun 1999 dan tahun 2000 juga disebabkan krisis moneter.

6. Bahwa terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, yaitu Sri Murwahyuni yang berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima secara formal dengan alasan;a. Bahwa Permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh Istri Terpidana b. Bahwa Berdasarkan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau Ahli Waris, artinya Ahli waris dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila Terpidana telah meninggal dunia;

Page 8: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

c. Bahwa dalam perkata a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana selama 15 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara;

d. Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dapat dipenuhi atau dilaksanakan;

D. Adapun Fokus Masalah yang akan dibahas oleh penulis adalah sebagai berikut;1. Surat Dakwaan

Berdasarkan surat dakwaan, perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa berlangsung dari tahun 1995 secara bersama-sama dan berlanjut hingga tahun 1998. Sudjiono Timan di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan dakwaan primer pelanggaran atas Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dengan dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Fokus masalah JPU adalah pada perbuatan Sudjiono Timan yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam mengelola PT.BPUI. Hal tersebut dinyatakan JPU dengan landasan bahwa terdakwa bersama-sama dengan Direksi PT.BPUI lainnya, tidak melakukan due diligence (pemeriksaan kelayanan pemberian pinjaman) terhadap beberapa perusahaan seperti Kredit Asia Finance Limited (KAFL), Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd dan penggunaan dana subordinasi dari Rekening Dana Investasi (RDI). Dalam hal ini JPU menggunakan perbuatan melawan hukum materil sebagai fokus perbuatan dalam dakwaan. Perbuatan Terdakwa yang memberikan kredit tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Perusahaan serta asas-asas Perbankan, dianggap telah menyalahi hukum secara materil. Untuk itu dakwaan JPU hanya berfokus pada 2 jenis perbuatan yang dimanifestasikan dalam dakwaan JPU, yakni perbuatan melawan hukum materil memperkaya diri sendiri Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 21 tahun 2000, dan perbuatan menyalahgunakan wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No.21 tahun 2000. Di sisi lain, unsur “yang diketahui atau patut disangka” diakui di dalam doktrin hukum pidana sebagai pro parte dolus dan pro parte culpa. Unsur tersebut disebutkan secara terang di dalam undang-undang yang mana berakibat pada sifatnya yang bestandelen. Dalam hal ini JPU telah membuktikan unsur bestandelen tersebut di dalam dakwaan.Dakwaan JPU secara substantif, materi perbuatan dan upaya pembuktian yang dilakukan oleh JPU cukup baik. Namun, ada 1 hal yang patut disayangkan yakni sifat dakwaan JPU yang subsidaritas. Dari sisi kacamata penegak hukum, dakwaan subsidaritas pada dasarnya lebih effisien karena hanya cukup membuktikan salah satu dakwaan saja, apakah dakwaan primair atau subsidair. JPU tidak harus membuktikan kedua perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa

Page 9: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

sehingga permasalahan pembuktian dapat lebih fokus dipersidangan tanpa harus memecah konsentrasi JPU dalam membuktikan perbuatan lainnya. Namun, patut dicermati dalam melakukan pendakwaan terhadap jenis tindak pidana korupsi khususnya di bidang perbankan seperti kasus a quo, dakwaan JPU seharusnya bersifat kumulatif. Dakwaan kumulatif dimaksudkan agar perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dapat dibuktikan seluruhnya, sehingga apabila ternyata Terdakwa diputus bersalah oleh Majelis Hakim, maka Majelis Hakim dapat memilih apakah akan menjatuhkan pidana menurut Pasal 63 KUHP atau Pasal 65 KUHP. Maksudnya adalah, Majelis Hakim kemudian dapat memilih apakah akan menjatuhkan pidana berdasarkan kumulasi sanksi pidana dari perbuatan pidana, atau menjatuhkan pidana dengan pidana terberat ditambah sepertiga. Namun, dalam dakwaan JPU tidak mencantumkan Pasal 63 KUHP, sehingga kita dapat melihat JPU mempunyai pandangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri.

2. Perbuatan Terdakwa termasuk dalam rezim Undang-Undang PerbankanDalam dakwaan JPU yang berfokus pada perbuatan melawan hokum materil seperti yang telah disebutkan diatas, kami menilai bahwa terdapat kelemahan di dalam dakwaan JPU tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Sudjiono Timan seharusnya dapat digolongkan sebagai perbuatan Tindak Pidana Perbankan, bukan hanya tindak pidana korupsi. Melihat dakwaan JPU yang bersifat subsidaritas, dengan dakwaan baik primer maupun subsider menggunakan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No.31 Tahun 199 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan Pasal 1 ayat (1) sub a sebagai dakwaan primer dan Pasal 1 ayat (1) sub b sebagai dakwaan sekunder, menjadikan dakwaan hanya berfokus pada perbuatan korupsi Sudjiono Timan. Padahal, ruang lingkup perbuatan adalah pada bidang Tindak Pidana Perbankan. JPU hanya memberi dakwaan dengan menggunakan Undang-Undang Korupsi, tidak menggunakan Undang-Undang Perbankan dan peraturan terkait mengenai Perbankan, yang seharusnya jika digunakan, akan lebih mudah membuktikan perbuatan Sudjiono Timan sebagai Tindak Pidana Perbankan.

3. Alasan Majelis PK menerima Permohonan Peninjauan Kembali a. Ahli Waris

Di dalam Kasus ini Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian. Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Istri dari Sudjiono Timan berhak mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Selain itu Mahkamah Agung menggunakan pendapat Yahya Harahap yang mengatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi” melainkan “hak orisinil” dari ahli waris. Menurut sistem hokum perdata Indonesia yang berlaku, penentuan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah ketika pewaris meninggal dunia dan calon ahli waris memiliki hubungan waris dengan pewaris. Bagaimana pun juga bila pewaris belum meninggal dunia, maka ahli waris tidak bisa

Page 10: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

melakukan perbuatan hukumnya atas apa yang ditinggalkan oleh pewaris. Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menyatakan secara jelas mengenai kedudukan ahli waris sebagai subsitusi dengan menggunakan frasa “atau”, bukan frasa “dan”. Artinya ahli waris dapat menggantikan permohonan pengajuan Peninjauan Kembali apabila terdakwa telah meninggal dunia.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa Putusan Mahkamah

Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 dapat dianggap sebagai alasan di dalam pertimbangan Majelis Peninjauan Kembali untuk menerima dan memutus Permohonan Peninjauan Kembali kasus a quo. Dalam hal ini Majelis Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap kasus a quo sehingga dakwaan JPU yang memuat perbuatan melawan hukum materil secara fungsi positif tidak dapat diterima sebagai landasan dakwaan yang patut.

c. Buronnya Sudjiono TimanAdalah suatu hal yang ironis, ketika status Sudjiono Timan yang masih

buron ternyata bisa mendapatkan hak nya untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kasus ini bisa menjadi presendent buruk bagi upaya penegakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Para koruptor akan berlomba-lomba untuk mencoba melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh Sudjiono Timan. Ketika akan ditangkap dengan kasus korupsi, mereka akan kabur bersembunyi dari kejaran aparat hokum. Dan selama itu pula mencoba mengajukan upaya hokum dari tempat persembunyiannya. Ketika upaya hukum tersebut berhasil membebaskannya dari segala dakwaan, maka terdakwa dapat dengan santainya melenggangkan kaki kembali ke Indonesia setelah apa yang diperbuatnya. Dan hakim agung Sri Murwahyuni mengakomodir alasan tersebut di dalam Dissenting Opinionnya.

E. Adapun Peraturan perundang-undangan yang akan dibahas oleh penulis dalam kaitannya dengan kasus Sudjiono Timan adalah sebagai berikut; Tidak dimuat dalam putusan namun dianggap penulis sebagai suatu hal yang

relevan dan signifikana. Pasal 49 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan

(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:

a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut,

Page 11: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta dendan sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).

b. Pasal 49 ayat (2) sub b UU no.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan(2) Anggota Dewa Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:

b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun penjara dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

c. Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang PerbankanPihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000.(lima milliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000 (seratus milliar rupiah).

Pencantuman Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (2) sub b, dan Pasal 50 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah bentuk dari pelanggaran hukum secara formil yang dilanggar oleh Terpidana. Namun, dalam hal ini, pasal-pasal tersebut tidak dicantumkan oleh JPU di dalam dakwaannya. JPU dengan pandangan systematische specialiteit (kekhususan yang sistematis) memandang bahwa perbuatan Terpidana yang pada dasarnya merupakan tindak pidana perbankan dapat dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi karena telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Hal ini adalah suatu pandangan dari penegak hukum yang memandang bahwa pembuktian tindak pidana korupsi lebih mudah dibandingkan dengan tindak pidana perbankan karena celah untuk pemenuhan unsur-unsur tindak pidana perbankan terdapat juga di dalam unsur tindak pidana korupsi.

Menurut penulis, pandangan systematicsche specialiteit2 ini seharusnya direduksi ketika berhadapan dengan tindak pidana perbankan. Tidak semua tindak pidana perbankan dapat dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi. Terlebih lagi, asas lex specialist derogate legi generale, pada dasarnya menuntut adanya unsur perbuatan yang sama di dalam mengkualifisir suatu tindak pidana. Upaya mengkualifisir tindak pidana tersebut seharusnya dilihat dari unsur utama di dalam tindak pidana yang terjadi di dalam bidang tertentu. Dalam kasus a quo, tindak pidana perbankan yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (2) sub b dan Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 lebih sesuai diterapkan kepada Terpidana dengan mengacu pada pandangan logische specialiteit (kekhususan yang logis). Pasal 49 ayat (2) sub b mengacu pada unsur pelanggaran atas tidak melaksanakan langkah-langkah yang

2 Elwi Danil, Korupsi:Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 167

Page 12: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap undang-undang Perbankan tersebut dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. JPU yang mendakwa dengan fokus pelanggaran Terpidana terhadap asas kehati-hatian (prudential banking principle) dalam pemberian kredit terhadap pihak-pihak terkait dan tidak melaksanakan due diligence atau pemberian kredit dengan prinsip 5C’s adalah sesuai dengan unsur di dalam Pasal 49 ayat (2) sub b dan Pasal 50 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Ini yang disebut sebagai logische specialiteit dimana secara logis perbuatan terdakwa yang pada dasarnya terjadi di dalam bidang perbankan, tidak seharusnya dinafikkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan menurut penulis, pasal-pasal di dalam Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992 tersebut lebih tepat dijatuhkan oleh JPU di dalam surat dakwaannya.

F. Adapun Penelaahan mengenai peraturan perundang-undangan yang diterapkan pada kasus a quo adalah sebagai berikut;1. Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971

Rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut ;

barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Unsur diketahui atau patut disangka olehnya diakui dalam doktrin hukum pidana sebagai pro parte dolus pro parte culpa. Hal ini berarti bahwa bagian atau bestandelen dari yang dirumuskan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tersebut mengarah kepada unsur kesengajaan dan kealpaan. Artinya, bahwa konsepsi adanya kesalahan, bukan harus berbentuk kesengajaan tetapi cukup hanya kealpaan. Kesengajaan harus dipandang sebagai “kehendak untuk melakukan perbuatan yang diketahui bahwa dilarang”, tetapi sebagai, “kehendak untuk melakukan perbuatan yang objektif dilarang”, bukan sebagai dolus molus (kesengajaan jahat). Hal ini didasarkan atas beberapa hal yakni ;

a. Setiap orang dianggap mengetahui undang-undangb. Untuk pengertian delik tidak diperlukan sama sekali apakah yang menjadi

motif untuk melakukan perbuatanc. Hanya perbuatan-perbuatan yang diketahui oleh setiap orang yang

berpendidikan normal bahwa bertentangan dengan ketertiban dan kesusilaan masyarakat (in strijd met de zedelijke en maatschappelijke orde) yang akan ditentukan sebagai kejahatan (misdrijven).3

Doktrin pro parte dolus pro parte culpa ini dapat juga ditemui dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan, serta kejahatan kesusilaan lainnya seperti Pasal 283, 287, 288, 290, 292 dan 293 KUHPDalam hal ini seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan unsur pro parte dolus dan pro parte culpa tersebut.

Seharusnya, jika Majelis Hakim PK melihat unsur “diketaui atau patut disangka” tersebut sebagai pro parte dolus pro parte culpa yang merupakan bagian/bestandelen dari rumusan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971, maka Terpidana Sudjiono Timan tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari tuntutan JPU. Dan menurut penulis, unsur tersebut telah dipenuhi oleh Terpidana dalam 3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2008, hlm.203

Page 13: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

melakukan perbuatan Tindak Pidana yang melanggat Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Terpidana dengan pengetahuan dan jabatannya sebagai Direktur PT.BPUI, telah mengetahui atau patut menyangka bahwa perbuatannya tersebut dapat merugikan perekonomian negara dan termasuk sebagai tindak pidana. 2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP

Melihat pemohon peninjauan kembali adalah istri terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukanya sebagai ahli waris dinilai oleh Majelis Peninjauan Kembali berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis Peninjauan Kembali mengacu pada doktrin Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi” melainkan “hak orisinil” dari ahli waris. Penulis beranggapan bahwa sungguh ironis majelis hakim PK yang mulia menerima permohonan PK dari ahli waris terpidana Sudjiono Timan dengan pertimbangan sebagaimana diatas, karena bahwa memang benar berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi menimbulkan tanda tanya besar, terkait sambungan kalimat dalam paragraf tersebut yang menyatakan “lagi pula UU tidak menentukan kedudukan prioritas diantara terpidana dengan ahli waris”. Memang benar undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas diantara terpidana dengan ahli waris akan tetapi dengan di awali frasa “lagi pula” seolah-olah Majelis Hakim PK mengamini dan/atau tidak mempermasalahkan terpidana Sudjiono Timan yang masih buron dan itu berarti terpidana belum pernah menjalani kewajibannya. Selain itu, di dalam doktrin hukum pidana mengenal suatu asas de autonomie van strafrecht. Asas tersebut menyatakan bahwa bilamana di dalam hukum pidana tidak terdapat pengertian akan suatu hal, maka hukum pidana dapat menggunakan pengertian dari cabang ilmu hukum lainnya, dan dalam kasus ini seharusnya Majelis Hakim mempergunakan pengertian ahli waris di dalam hukum perdata. Sementara itu dilihat dari sistem hukum perdata yang berlaku di negara RI memang benar selain anak yang sah sebagai ahli waris dari orang tuanya, istri juga merupakan ahli waris dari suaminya. Memang benar berdasarkan pemahaman yang logis misalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak. Suatu ketika si ayah (suami) sakit akan tetapi belum meninggal. Kemudian si ayah (suami) bercerita tentang warisan ke si istri dan si anak bahwa merekalah kelak yang akan menjadi ahli waris dari harta mereka dalam hal ini yang akan menerima “gelar” ahli waris. Secara logis memang benar “gelar” ahli waris itu telah diperoleh oleh si istri dan si anak. Walaupun “gelar” ahli waris telah diperoleh secara logis sebelum si pewaris meninggal dunia akan tetapi, berdasarkan sistem hukum di RI ahli waris belum mempunyai hak atas warisannya atau dalam hal ini “gelar” ahli warisnya. Berarti dengan demikian ahli waris tidak bisa melakukan suatu perbuatan hukum sebelum si pewaris wafat (meninggal dunia). Dalam kasus ini akan menjadi aneh ketika berbicara ahli waris tidak ada pewarisnya (orang yang meninggal) pertanyannya bagaimana mungkin seorang ahli waris sudah memperoleh gelar ahli waris ketika si pewaris masih hidup atau tidak jelas keberadaannya (Putusan Mahkamah Agung RI 434 K/Pid/2003). Selain itu, suami/istri yang dapat menjadi ahli waris dari pasangannya harus memenuhi 2 unsur, yakni mempunyai ikatan perkawinan yang sah dan salah satu di antara mereka meninggal. Sebagai contoh, yakni putusan Pengadilan Agama Kabupaten Donggala No.443/Pdt.G/1992/PA, perkara atas Buniha versus Mahi cs, Palu, 8 Oktober 1992. Putusan lain yang serupa adalah Putusan Pengadilan Negeri

Page 14: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

Kabupaten Donggala atas perkara Ny.Ajirin versus Ir.Muh.Ilyas dengan Nomor Perkara 79/PDt.G/1991/PN, Palu, 25 Februari 1992.4 Menurut pemahaman penulis dalam hal ini Majelis Hakim PK telah menciderai keadilan seluruh rakyat Indonesia karena Majelis Hakim PK seolah-seolah memanfaatkan celah hukum yang ada dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP, untuk menerima permohonan Peninjauan Kembali kemudian menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap seorang terpidana yang statusnya masih buron atau singkat kata belum pernah menjalani masa hukuman.

Di dalam kasus lain dengan perkara No. 74 PK/Pid.Sus/2010 dengan Terpidana/Terdakwa Setia Budi, merupakan salah satu contoh putusan PK dimana MA menyatakan tidak dapat menerima permohonan PK karena diajukan bukan oleh Terpidana langsung melainkan oleh Kuasa Hukumnya dan Terpidana tidak hadir dalam sidang pemeriksaan PK di Pengadilan Tingkat Pertama. Alasan MA tidak menerima permohonan PK tersebut adalah untuk menghindari terpidana yang melarikan diri mengajukan PK. Majelis Hakim PK dalam perkara tersebut yang diketuai oleh Artidjo Alkotsar menilai bahwa khusus untuk perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi, kehadiran Terdakwa/Terpidana mempunyai arti tersendiri yakni untuk menghindari kemungkinan mengajukan permohonan PK sedangkan yang bersangkutan bersembunyi atau lari ke Negara-Negara yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 265 ayat (2) KUHAP dimana Pemohon dan Jaksa harus hadir di dalam pemeriksaan PK sesuai dengan SEMA No. 6 Tahun 1988. Majelis Hakim PK juga mengacu kepada beberapa peristiwa yang terjadi, diantaranya Kasus PT.Goro Batara Sakti dan BULOG, dimana Tommy Soeharto mengajukan PK melalui Kuasanya, Kasus Djoko Tjandra yang terlibat Cessie Bank Bali, dimana sehari sebelum putusan dibacakan para Hakim Agung, Djoko Tjandra yang sudah mengetahui terlebih dahulu memutuskan lari ke luar negeri dengan menggunakan pesawat carteran dan dari tempat persembunyiannya di luar negeri, ia mengajukan PK melalui Kuasanya, terakhir adalah Kasus Adelin Lis yang mana Putusan Kasasinya tidak dapat dieksekusi karena Terpidana melarikan diri. Menurut Penulis, ketentuan Pasal 265 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP perlu dilaksanakan secara ketat dan benar agar tidak disalahgunakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana yang sengaja melarikan diri ataupun bersembunyi di luar Negeri yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, khususnya Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu, penulis beranggapan bahwa penerimaan Permohonan Permohonan Peninjauan Kembali kasus a quo secara formil tidak dapat diterima.

2. Putusan Mahkamah KonstitusiPenulis beranggapan, bahwa fokus permasalahan disini pada dasarnya bertumpu

pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama berkaitan dengan perbuatan melawan hukum materil bertentangan dengan Konstitusi Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam artian bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengakui perbuatan melawan hukum formil dalam proses penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi. Hal ini sebenarnya dapat dikaitkan dengan bagaimana JPU menyusun dakwaannya. Jika saja JPU mendakwa dengan dakwaan kumulatif, sudah tentu Putusan Mahkamah Kontitusi tersebut tidak bisa dijadikan alasan awal oleh Majelis Peninjauan Kembali sebagai novum yang akhirnya dapat membebaskan Terdakwa. Secara logis, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

4 Lihat Zainuddin Ali, , Pelaksanaan Hukum waris di Indonesia, 2008, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 8

Page 15: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

hanya dapat menganulir 1 dakwaan saja dan sudah tentu masih menyisakan 1 dakwaan lagi yang tidak dapat diruntuhkan oleh Majelis Peninjauan Kembali.

Setelah membahas masalah surat dakwaan, maka penulis kemudian akan melihat bagaimana Majelis Peninjauan Kembali mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materil Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi menganulir frasa perbuatan melawan hukum materil yang terdapat di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dapat diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengakui doktrin perbuatan melawan hukum formil di dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan semangat dan upaya pemberantasan korupsi. Bisa kita lihat dengan diubahnya Undang-Undang No.24 (Prp) Tahun 1960 yang tidak mencakup perbuatan melawan hukum materil di dalam proses penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Di dalam prakteknya ketika Undang-Undang No.24 (Prp) Tahun 1960 tersebut sangat kesulitan untuk mencakup perbuatan yang secara materil dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Sebagai contoh di dalam proses pengadaan Barang dan Jasa terhadap suatu Perusahaan BUMN, dimana penyedia Barang dan Jasa telah membuat perjanjian dan sepakat dengan pihak BUMN mengenai prosedur dan harga satuan barang dan jasa yang menjadi objek perjanjian. Namun ternyata harga satuan ataupun prosedur tersebut tidak sesuai dengan kelayakan yang seharusnya menurut kepatutan. Artinya bila kemudian harga satuan suatu barang di dalam perjanjian dengan kenyataan di lapangan berbeda ( dalam artian mark up nilai barang) maka hal tersebut tidak dapat disentuh oleh Undang-Undang No.24 (Prp) Tahun 1960. Padahal hal tersebut telah dapat dinilai menurut kepatutan sebagai suatu perbuatan yang dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Namun, karena kedua belah pihak sepakat dan perbuatan tersebut digolongkan sebagai perbuatan perdata, bukan suatu perbuatan pidana maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Dalam hal ini, posisi kasus a quo dapat dipandang sama, karena perbuatan Terdakwa pada dasarnya telah melanggar kepatutan yang seharusnya ditaati oleh setiap insan perbankan yakni asas kehati-hatian (prudential principle). Di sisi lain, Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tersebut

3. Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (2) sub b Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Disisi lain, penulis beranggapan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa pada dasarnya adalah termasuk dalam rezim Undang-Undang Perbankan. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (2) sub b Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 49 ayat (1) berkonsentrasi dengan perbuatan memalsukan dokumen ataupun pencatatan palsu dalam laporan transaksi atau rekening bank suatu bank. Sedangkan Pasal 49 ayat (2) sub b berfokus pada pemidanaan Dewan Komisaris, Direksi, maupun pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bank. Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa Pasal 49 ayat (2) lebih cocok didakwakan terhadap Sudjiono Timan, mengingat perbuatannya yang melanggar asas kehati-hatian (prudential principle) yang seharusnya dipatuhi oleh setiap insan perbankan. Penulis juga berpendapat bahwa

Page 16: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

pencantuman Pasal 49 ayat (2) sub b Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tersebut disandingkan dengan Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 yang berfokus pada perbuatan korupsi dengan menggunakan penyalahgunaan wewenang, dengan catatan bahwa surat dakwaan bersifat kumulatif, sehingga JPU harus membuktikan kedua tindak pidana tersebut di dalam pembuktian di persidangan. Hal ini kedepannya akan lebih menjamin bahwa dakwaan yang dijatuhkan dapat dengan ketat mengawal putusan pengadilan di bawah tingkat Peninjauan Kembali, sehingga meminimalisir celah hukum dalam usaha Terdakwa untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali, apabila dikemudian hari terjadi keputusan lain dari lembaga Yudikatif lainnya , contohnya saja seperti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

G. Adapun Penjabaran dan Penelaahan mengenai kesimpulan majelis hakim yang mengarah pada amar putusan, adalah sebagai berikut;

1. Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 menurut penulis adalah suatu hal yang tidak tepat. Penulis beranggapan bahwa pemohon Peninjauan Kembali tidak mengganggap bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah tidak tepat digunakan di dalam Pertimbangan Majelis Kasasi. Pemohon beralasan bahwa sejak semula Sudjiono Timan diadili oleh Judex Facti berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1971 dan BUKAN Undang-Undang No.31 Tahun 1999 (vide Putusan Peninjauan Kembali hlm.152). Hal ini berarti bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mengakui bahwa frasa “melawan hukum” dalam Pasal 1 ayat (1) sub a dapat dikenakan terhadap Sudjiono Timan, terlepas dari pengertian “melawan hukum” menurut doktrin yang berlaku. Adalah suatu hal yang kontradiktif ketika Majelis Peninjauan Kembali menerima alasan Pemohon yang mengakui dakwaan Pasal 1 ayat (1) sub a, namun menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 yang berfokus kepada perbuatan melawan hukum materil untuk menganulir Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tersebut. Di samping itu Majelis Hakim Peninjauan Kembali telah melanggar asas Legalitas karena Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tersebut hanya menganulir Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, BUKAN Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Dapat diartikan bahwa frasa “melawan hukum” menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1971 masih dapat diberlakukan terhadap kasus a quo. Karena frasa “melawan hukum” di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 memiliki pengertian yang hanya terdapat didalam doktrin-doktrin hukum, bukan di dalam penjelasan Undang-Undang tersebut. Dengan kata lain, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat menganulir doktrin yang masih terdapat di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 karena doktrin bukan merupakan Undang-Undang, serta bukan kewenangan absolute Mahkamah Konstitusi untuk menganulir doktrin. Terlebih lagi Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung No.103 K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007 dalam perkara atas nama Terdakwa Theodorus Fransisco Toemion yang telah dimasukkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.103 K/Pid/2007. Mahkamah Agung menilai dalam Yurisprudensi tersebut bahwa pengertian melawan hukum baik secara formil ataupun materil masih dapat diberlakukan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang secara otomatis menafikkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006. Penulis menilai perilaku Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang tidak menjadikan Yurisprudensi tersebut sebagai acuan dalam putusan adalah perilaku yang menyimpang dari sumber-sumber hukum formil yang berlaku di Indonesia.

Page 17: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

2. Penulis berpendapat bahwa bukan dalam kapasitas Majelis Hakim Peninjauan Kembali untuk menilai apakah PT.BPUI yang dipimpin oleh Sudjiono Timan menghasilkan keuntungan atau tidak. Majelis Hakim Peninjauan Kembali seharusnya berfokus kepada materi perbuatan yang dilakukan oleh Sudjiono Timan yang telah melanggar asas-asas kepatutan dalam kegiatan perbankan yang seharusnya ditaati oleh setiap insan perbankan. Di samping itu Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusannya tidak pula berhak menilai apakah dana yang mengalir kepada beberapa perusahaan tersebut pada saat disidangkan oleh Judex Facti masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utang-utang Debitur serta langkah-langkah lainnya. Seharusnya Majelis Peninjauan Kembali juga melihat dari sisi tahap negosiasi dan restrukrisasi utang-utang Debitur tersebut telah dijalankan dan dilunasi oleh Debitur kepada PT.BPUI. Majelis Hakim Peninjauan Kembali pun menyatakan tidak menemukan aturan formil yang dilanggar dalam penggunaan Dana RDI, padahal perbuatan tersebut jelas-jelas melanggar Pasal 49 ayat (2) sub b Undang-Undang No.7 Tahun 1992. Sangat jelas bahwa alasan-alasan yang diterapkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali adalah alasan-alasan yang tidak tepat digunakan sebagai pertimbangan dalam memutus perkara a quo.

3. Di dalam pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali terdapat kekeliruan yang nyata dimana Majelis Hakim menyimpulkan bahwa unsur “merugikan keuangan Negara” tidak dapat dipenuhi karena belum dapat dihitung yang disebabkan oleh dana yang dialirkan kepada beberapa perusahaan tersebut masih dalam proses restrukturisasi dan negosiasi (vide Putusan Peninjauan Kembali hlm.164). Pernyataan Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang menggunakan frasa “belum dapat dihitung” secara harfiah mengakui bahwa kerugian Negara tersebut dapat dihitung, dan hal tersebut termasuk kedalam unsur “merugikan keuangan Negara” apabila kemudian dapat dihitung. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian Negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No.XXII/MPRS/1966 ( Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971). Bisa dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) sub a terdapat frasa “secara langsung atau tidak langsung” dan frasa “diketahui atau patut disangka olehnya” sebelum frase merugikan keguangan Negara atau perekonomian negara, menunjukkan tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Unsur ini dapat diartikan bahwa perbuatan korupsi telah terpenuhi/terbukti apabila perbuatannya cukup berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara selain unsur melawan hukum dan memperkaya juga terpenuhi. Sehingga tidak diharuskan negara mengalami kerugian secara nyata atas perbuatan tersebut. Dan dapat dilihat bagaimana Majelis Hakim Peninjauan Kembali melakukan kekeliruan yang nyata atas penafsiran “merugikan keuangan Negara” berdasarkan penjelasan tersebut.

4. Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan kembali dalam paragraph pertama dan kedua halaman 163 Putusan Peninjauan Kembali kasus a quo dalam kenyataannya dinilai oleh penulis sebagai suatu hal yang kurang tepat. Unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum) apabila dicantumkan di dalam undang-undang, maka unsur tersebut bukan lagi sebagai element dari delik, melainkan ia telah menjadi bagian (bestandelen) dari delik, sehingga adalah suatu hal yang tepat dilakukan oleh JPU untuk membuktikan unsur tersebut. Sementara itu, JPU juga telah membuktikan seluruh unsur-unsur yang terdapat di dalam dakwaan terhadap Sudjiono Timan. Di sisi lain, Majelis Hakim PK mensyaratkan akan keharusan JPU untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi memenuhi

Page 18: Fakta Hukum Kasus Sudjiono Timan

rumusan delik sehinggga perbuatan Terpidana tersebut bersifa melawan hukum formil. Fokus permasalahan disini pada dasarnya adalah dakwaan yang dijatuhkan oleh JPU adalah perbuatan hukum secara materil sehingga ketika perbuatan tersebut dinyatakan terbukti oleh Judex Facti dan Judex Yuris seharusnya perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai melawan hukum formil karena sifat dari unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum) tersebut apabila telah disebutkan secara terang di dalam peraturan perundang-undangan, maka ia tidak lagi sebagai element, melainkan bestandelen. Selain itu, terdapat beberapa putusan kasasi dari Mahkamah Agung, antara lain M.A. 8 Januari 1966 nomor 42/K/Kr/1965, M.A 6 Juni 1970 nomor 30 K/Kr/1969 dan M.A 27 Mei 1972 nomor 72 K/Kr/1970 yang menunjukkan suatu kesimpulan bahwa Mahkamah Agung menganut paham “materieele wederrechtelijkheid”.5

5. Penulis menilai bahwa Majelis Hakim Peninjauan Kembali hanya memandang kepada Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3 Tahun 1971. Padahal jika Majelis Hakim PK melihat ketentuan dalam dakwaan subsider Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 seharusnya dapat dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh Sudjiono Timan. Di sisi lain, Majelis Hakim PK hanya melihat pada perbuatan transfer dana yang dilakukan oleh Terpidana selaku Direktur PT.BPUI terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat aliran dana. Majelis Hakim PK seolah-olah menutup mata terhadap salah satu perbuatan yang essensial yang dibuktikan oleh JPU yakni penyalahgunaan dana dari Rekening Dana Investasi. Dalam pandangan penulis, Majelis Hakim PK seharusnya menilai perbuatan Terpidana Sudjiono Timan yang menyalahgunakan dana dari Rekening Dana Investasi sebagai perbuatan pidana sesuai dengan dakwaan JPU Pasal 1 ayat (1) sub a ataupun Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 karena dakwaan JPU yang bersifat subsidaritas.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijabarkan di atas, penulis menyatakan tidak setuju dengan alasan Majelis Hakim Peninjauan Kembali baik dalam alasan Penerimaan Permohonan Peninjauan Kembali, maupun di dalam Pertimbangan Amar Putusan Peninjauan Kembali.

5 Lihat P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997 , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 194