48
EVEREST YANG MENGHANGAT SOLUSI BANJIR JAKARTA quo vadis SERTIFIKASI HUTAN demokrasi dan omnibus law F rest D gest 14 januari-maret 2020 forestdigest.com Rp 45.000,- Pemanasan global sampai ke Himalaya, mencairkan salju yang menipis di batu-batu sebesar gunung. Laporan langsung dari Nepal.

F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

EVEREST YANG MENGHANGAT

SOLUSI BANJIR JAKARTA

quo vadis SERTIFIKASI HUTAN

demokrasi dan omnibus law

F rest D gest

14januari-maret 2020

forestdigest.com

Rp 45.000,-

Pemanasan global sampai ke Himalaya, mencairkan salju yang menipis di batu-batu

sebesar gunung. Laporan langsung dari Nepal.

Page 2: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)

PT TRUSTINDO PRIMA KARYA Email : [email protected] Website : www.trustindo.net

“ Mendukung Tata Kelola Hutan Lestari dan

Perdagangan Kayu dan Produk Kayu Legal melalui Pelaksanaan

Sertifikasi PHPL dan Sertifikasi Legalitas Kayu secara Profesional, Obyektif dan Imparsial ”

LAYANAN JASA SERTIFIKASI : Kantor Pusat Samarinda : Gedung Diklat APHI Kaltim Lt. 1 Jl. Kesuma Bangsa No. 80, SAMARINDA Contact Person : Tri Widayati (0823-5040-4077) Kantor Cabang Surabaya : Komplek DELTA MANDALA II No. 7 Kel. Semambung, Sidoarjo

Jl. Ir. H Juanda – Bandara. Contact Person : Anjar Guntoro (0813-1973-3769)

OfficePT EQUALITY Indonesia

Jl. Raya Sukaraja No. 72 Bogor 16710Phone (0251) 7550722; Fax (0251) 7550724

Email : [email protected] : www.equalityindonesia.com

OfficePT EQUALITY Indonesia

Jl. Raya Sukaraja No. 72 Bogor 16710Phone (0251) 7550722; Fax (0251) 7550724

Email : [email protected] : www.equalityindonesia.com

Penetapan & Akreditasi :

LPHPL (Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari){LPPHPL-013-IDN} Lingkup : Hutan Alam, Hutan Tanaman, Hak Pengelolaan

LSPPIU (Lembaga Sertifikasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh)LSPPIU-013-IDN

LSUP (Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata){LSUP-025-IDN} Lingkup : Hotel, Karaoke, Kafe, Biro Perjalanan Wisata

LVLK (Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu){LVLK-006-IDN} Lingkup : Industri, HutanLSSML (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan/ISO 14001){LSSML-018-IDN}Lingkup : Pertanian, Kehutanan, Perikanan (01), Produk Makanan, Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06)

LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001)Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan Produk Kayu. Pulp dan Kertas. Hotel dan Restoran

Bidang Sertifikasi Kami :

MOTTO :ALL VALUABLE SERVICES FOR

CLIEN

OfficePT EQUALITY Indonesia

Jl. Raya Sukaraja No. 72 Bogor 16710Phone (0251) 7550722; Fax (0251) 7550724

Email : [email protected] : www.equalityindonesia.com

OfficePT EQUALITY Indonesia

Jl. Raya Sukaraja No. 72 Bogor 16710Phone (0251) 7550722; Fax (0251) 7550724

Email : [email protected] : www.equalityindonesia.com

Services in Inspection, Testing & Certification

PT EQUALITY Indonesia (EQUALITYCertification) adalah salah satupelopor dalam sertifikasiMandatory dan Voluntary yangtelah memperoleh Akreditasi dariKomite Akreditasi Nasional (KAN).

di kanal youtubeyang akan Anda sayangi

Nantikan

FDTV

F rest D gest

G ngx fat choi恭喜发财

Bertutur.Menghibur.youtube.com/forestdigest

Page 3: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest4 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

salam ketua

AGAKNYA isu lingkungan makin terasa penting dan genting. Tahun baru 2020 diawali dengan bencana banjir yang hebat akibat curah hujan yang lebat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat

hujan 1 Januari 2020 sebagai hujan terlebat dalam 154 tahun terakhir, dengan intensitas 377 milimeter per hari. Dengan melihat data ini, saya kira, kita harus makin sadar bahwa perubahan iklim itu sedang terjadi, pemanasan global memang tengah berlangsung.

Hujan lebat pasti bukan hanya karena waktunya, tapi karena alam sedang berubah. Ada proses di semesta yang tak lazim akibat suhu bumi, gelombang udara, dan frekuensi cahaya yang berubah. Penyebabnya tak lain karena ulah kita, manusia. Apa yang ada di bumi selalu berkaitan dengan apa yang kita perbuat. Jarak 154 tahun adalah jarak ketika Revolusi Industri mulai berjalan dan masif.

Revolusi Industri 200 tahun lalu ditandai oleh teknologi yang memakai bahan bakar. Kita menemukan bahan bakar di bumi lalu mengeruknya. Bumi jadi gerowong dan pembakarannya membuat lapisan ozon kita meleleh. Akibatnya, panas matahari yang memancar ke bumi terperangkap di sana. Panas tak menguap ke semesta sehingga suhu planet ini jadi menghangat. Kita menyebutnya efek rumah kaca. Pemanasan global.

Banjir tentu saja karena air dari hujan besar itu tak tertampung oleh badan sungai. Tapi sungai seharusnya memang sebesar itu lebarnya sejak awal terbentuk. Maka air yang tak tertampung itu karena melimpas akibat tak terserap di hulu. Penyerap air di hulu tak lain adalah pohon. Jadi, air yang tak terserap dan kita sebut banjir itu karena ia sampai ke permukiman

karena rumah untuk pohonnya sudah tak ada.

Kita menyebutnya deforestasi dan degradasi lahan. Hutan kian menyusut akibat pohonnya kita tebangi, lahannya kita okupasi untuk rumah dan industri. Semua itu karena kita, karena sifat survival kita di bumi. Jumlah manusia yang bertambah pada akhirnya akan kian mendesak alam ini, planet ini.

Hilangnya pohon-pohon membuat emisi dari aktivitas kita itu juga tak terserap. Akibatnya panas matahari langsung tembus ke bumi. Karbon yang dibutuhkan tumbuhan menghasilkan oksigen untuk manusia bernapas menjadi mubazir karena tak terserap dan termanfaatkan. Akibatnya panas. Akibatnya air di laut cepat menguap karena terserap ke atas. Jadinya hujan lebat yang membuat badan sungai tak lagi menampung volumenya.

Maka hujan tahun baru itu sesungguhnya adalah pengingat bagi kita akan lebih peduli terhadap lingkungan. Ulasan-ulasan di edisi ini menguatkan itu. Es di gunung Everest jadi meleleh menjadi air dan membentuk ribuan danau. Danau itu tak bisa menampung jutaan ton es sehingga Himalaya bisa terancam

kebanjiran. Sebuah studi di Universitas Postdam mengalkulasi nasib danau-danau itu dalam 50 tahun ke depan.

Dalam tataran praktis, perhutanan sosial seharusnya menjadi solusi mencegah bencana. Ia adalah resultante kebutuhan ekonomi, sosial, dan ekologi. Perhutanan sosial, yang sudah dibahas panjang lebar di edisi sebelumnya, mengajarkan bahwa kebutuhan ekonomi manusia bisa terpenuhi jika mencarinya seraya memelihara hutan. Hutan yang kembali hijau telah menyelamatkan sosial-ekonomi masyarakat sekaligus terhindar dari bencana ekologis, bencana lingkungan yang kerugian acap mengerikan.

Maka di momen tahun baru ini semoga kita makin sadar pentingnya urusan lingkungan di atas segala urusan. Politik, ekonomi, perdagangan, dan pembangunan infrastruktur seyogianya tetap mengarah pada keseimbangan alam. Semoga kita belum terlambat untuk menyelamatkan bumi ini, spesies kita di planet ini.

Salam lestari!

Bambang Supriyanto

Hujan Tahun Baru

Bambang Supriyanto

S a l a m k et ua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5Su r at . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6k u t i pa n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7a ng ka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7r ag a m . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8pig u r a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 0pe n e l i t ia n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 8l i p u ta n k h u Su S . . . . . . . . . . . . . . . 7 0r e p ortaSe . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 4Bu k u . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 0f oto g r a f i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 4oaSe . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 2

wawa nc a r a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 8

daftaR isi

l a p or a n u ta m a — Hlm. 32

Everest yang MemanasKENAIKAN suhu udara akibat pemanasan global membuat hamparan es di Himalaya

menyusut. Batu-batu sebesar gunung menghangat akibat suhu naik rata-rata 0,09 derajat Celsius hingga 0,12 derajat Celsius per tahun di wilayah Khumbu dan Langtang. Gletser di ketinggian 5.000-6.000 meter dari permukaan laut menyusut dua kali luas Jakarta Pusat per tahun.

t e k nol o g i .......................................66

Rumah Ramah GempaMembuat rumah ramah gempa tidak

mahal. Berbahan kayu dan ramah lingkungan.

l a p or a n k h u Su S .......................22

Solusi Banjir JakartaBanjir Jakarta bukan semata meluapnya

air di 13 sungai. Pengelolaan hulu lebih penting.

prof i l ..................................................90

Rahmania Astrini

Emil Salim

Page 4: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest6 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

penanggung JawabBambang Supriyanto

Ketua Umum Himpunan AlumniFakultas Kehutanan IPB

pemimpin umumGagan Gandara (non aktif)

pemimpin redaksiBagja Hidayat

Sekretariat redaksi Drajad kurniadi

Dewan redaksiR. Eko Tjahjono

Librianna ArshantiSatrio Cahyo Nugroho

Kaka E. PrakasaFitri AndrianiMustofa FatoRobi Waldi

Fairuz GhaisaniWike Andiani

Mawardah Nur HRazi Aulia Rahman

Zahra FirdausiFirli Dikdayatama

Asep AyatRifki Fauzan

Asep Sugih SuntanaDewi Rahayu Purwa Ningrum

hubungan usaha dan eksternalAtik Ratih Susanti

Aryani

DesainerDhandi Ega Ramadhan

Rahma Dany

DistribusiUnit Kesekretariatan DPP HA-E IPB

alamatSekretariat HA-E IPB,

Kampus Fakultas Kehutanan IPB,Jalan Lingkar Akademik Darmaga Bogor 16680

kontak (email)[email protected]

Forest Digest adalah majalah triwulanan yang diterbitkan Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Redaksi mengundang Anda menulis artikel dengan

panjang 4.000-8.000 karakter dengan spasi dan format Microsoft Word disertai foto penunjang.

Sampul: Jalu menuju Everest Base Camp, Gorakshep (Fotografer: Bagja Hidayat)

Tema Edisi 15 (April-Juni 2020): mau ke mana multiusaha kehutanan?

Kirim tulisan Anda seputar tema tersebut paling lambat pekan kedua Maret 2020.

Rimbawan SalonSetiap membaca Forest Digest selalu

mengesankan karena dikemas dengan millenial. Masih teringat ketika FD menge-luarkan artikel yang mengandung kata “rimbawan salon” yang sangat membekas dihati para rimbawan yang membacanya. Tak hanya itu, artikel yang memuat tentang fakultas saya menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya menambah ilmu tentang ke-hutanan di luar sana, namun juga menam-bah pengetahuan tentang fakultas kita.

—Muhammad Syarif Hidayatulloh, Ketua BEM Fakultas Kehutanan IPB

2019/2020.

Terima kasih! Kami terkejut jika frase itu membekas. Semoga kita terhindar dari julukuan-julukan semacam itu.

Kinerja Rimbawan

Isi konten dari Forest Digest sangat informatif bagi rimbawan saat ini sehingga masalah umum kehutanan saat ini di dapat dipahami secara baik. Tidak hanya baik bagi rimbawan saja tapi bagi masyarakat umum juga. Kalau bisa, ke depan tulisan-tulisan FD juga memuat konten yang tidak hanya informatif tapi juga menunjukan kinerja rimbawan saat ini sebagai bentuk apresisasi terhadap mereka yang berjuang menjaga kelestarian hutan.

—Lorenzo Elton Meo, Ketua Rimbawan Pecinta Alam (Rimpala) IPB

Siap. Laksanakan!

Isu Hangat

Menurut gua Forest Digest bermanfaat banget. Gua dapat banget informasi yang hangat terkait isu-isu kehutanan yang ada sekarang. Info-info dari FD terkadang banyak yang belum diketahui tapi penting banget makanya gua senang kalo liat konten FD dan didukung dengan pengemasan beritanya yang keren.

—Yoga Himawan Putra, Ketua Forest Management Student Club IPB

Terima kasih! Sukses untuk Anda.

InformatifForest Digest sangat up to date

mengenai kondisi terkini dunia kehutanan dan lingkungan. Baik dalam lingkup nasional dan internasional semua berita dikemas secara kreatif dan sangat informatif. Semoga FD terus menginspirasi dan semakin maju!

—Kevin Arian Sanjaya, Ketua Himpunan Himpunan Mahasiswa

Teknologi Hasil Hutan

Terima kasih. Sukses untuk Anda.

Podcast

Menurutku, Forest Digest bagus. Aku lebih tahu tentang majalahnya yang dikemas secara kreatif, beda dengan majalah lain, opininya lebih bebas dan segar buat pembaca-pembaca khususnya mahasiswa. Akun Instagramnya juga aktif membahas isu-isu terkini tentang sektor kehutanan dan lingkungan. Saran kedepannya untuk dibuat konten digitalnya mungkin bisa ditambah seperti podcast tentang opini orang-orang yang concern tentang kehutanan masa kini buat pencerdasan ke publik bahwa kehutanan itu banyak yang dikaji.

—Muh. Yosrilrafiq Irwansyah, Presiden IFSA LC-IPB 2019/2020

Terima kasih atas saran Anda. Podcast sudah ada, tetapi belum rutin.

F rest D gest

surat kutipan

angka

“Pendidikan (tentang bencana) itu penting untuk mengubah perilaku. Karena sebagian besar banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, akibat perilaku manusia.”

—Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni

Monardo tentang pentingnya kurukulum pendidikan bencana. (Sumber: Tempo)

“Semua tergantung pada apa yang kita lakukan sekarang. Komitmen pribadi, meski vital, tidak cukup. Kita perlu berkumpul, berbicara satu sama lain tentang ketakutan

kita, dan kemudian bertindak, dan bertindak secara kolektif.”

—Emma Thompson, aktor Inggris, tentang mencegah bumi kian memanas akibat krisis iklim. (Sumber: CNN)

F rest D gest 7o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Bencana di Mana-manaTAHUN 2019 diawali dan ditutup dengan bencana. Pada 1 Januari 2019 tanah

longsor di Sukabumi, Jawa Barat, mengubur 30 rumah dan merenggut sembilan nyawa. Di hari sama, rob di Pandeglang, Banten, setinggi tiga meter merendam permukiman penduduk. Tahun itu ditutup juga dengan bencana banjir di Jakarta. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 1.426 kejadian bencana sepanjang 2019. Paling banyak di Jawa Tengah dengan 441 kejadian, disusul Jawa Barat dengan 281 kejadian, dan Jawa Timur 239 kejadian.

Aceh 41 Sumatera Utara 12 Riau 24 Sumatera Barat 21 Jambi 8 Bengkulu 1 Sumatera Selatan 33 Bangka Belitung 8 Lampung 10 Kalimantan Barat 2 Kalimantan Tengah 28 Kalimantan Timur 18 Kalimantan Selatan 32 Banten 8 Jawa Barat 281 Jawa Tengah 441 Jawa Timur 239 Sulawesi Utara 7 Sulawesi Tengah 4 Sulawesi Barat 5 Sulawesi Selatan 82 Sulawesi Tenggara 8 Maluku Utara 7 Maluku 16 Papua Barat 6 Papua 9 Bali 19 Nusa Tenggara Barat 24 Nusa Tenggara Timur 9

Korban jiwa:

1.402 luka-luka

375 meninggal

2.594.849 terdampak dan mengungsi

Kerugian:

4.562 rumah rusak berat

4.149 rumah rusak sedang

18.114 rumah rusak ringan

99 fasilitas kesehatan rusak berat

Sumber: BNPB

Page 5: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest8 9j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

ragam

DENGAN luasnya yang mencapai 33,7 juta hektare, dan 80% dari luas itu hutan primer, rimba Papua dan Papua Barat menyimpan keragaman hayati yang tak tepermanai. Menurut laporan International Conference on Business

and Economics (ICBE) hutan Papua menjadi rumah bagi 15 ribu hingga 20 ribu jenis pohon, 602 jenis burung, 125 jenis mamalia, 223 jenis herpetofauna, serta 150 ribu jenis serangga.

Keanekaragaman hayati itu telah memberikan jasa lingkungan kepada penduduk lokal yang terdiri dari lebih dari 500 suku dan bahasa. Hutan Papua juga diperkirakan menyimpan cadangan karbon sebanyak 6,4 miliar ton dengan perkiraan terendah 190 ton per hektare, yang akan berpengaruh pada pencapaian penurunan emisi secara nasional. Karena itu pemerintah dua provinsi akan mencadangkan perlindungan terhadap 70% hutan primer untuk mendukung Konvensi Keragaman Biologi.

Dengan kekayaan hayati yang tinggi itu,

ancaman terhadapnya juga tak kurang be-sar. Sama seperti degradasi dan deforestasi di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, hutan Papua terancam karena eksploitasi terhadapnya yang tak mengindahkan cara-cara pengelolaan hutan lestari.

Menurut Center for International Forestry Research, sebanyak 166 konsesi sawit dari 28 grup usaha, 15 perusahaan HTI dari 4 grup usaha, 73 perusahaan kayu dari 41 grup, 125 konsesi pertambangan dari 106 grup usaha, mulai beroperasi di Papua. Di Papua Barat setidaknya terdapat 32 konsesi sawit yang mengonversi hutan seluas 39.985 hektare. “Jika tidak diikuti dengan tata kelola hutan yang baik, hutan Papua akan sama nasibnya dengan hutan di pulau lain yang menyimpan banyak masalah,” kata Muhamad Farid dari Econusa yang fokus mengawal tata kelola hutan Papua.

Farid mengatakan hal itu dalam diskusi Forest Camp yang diadakan oleh Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB di Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat, 26 Oktober 2019. Para alumni bersepakat mengangkat tema ini karena hutan Papua adalah benteng terakhir Indonesia, setelah hutan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi rusak akibat

degradasi dan deforestasi.Dari pengalaman lapangan, tinjauan

akademik, dan perspektif ekonomi, pendapat yang mengemuka para alumni itu adalah pengelolaan hutan di Papua tak akan jalan jika memakai pendekatan ekonomi atau lingkungan. Dua pendeka-tan ini baru akan beroperasi jika perta-ma-tama memakai pendekatan sosiologis dan antropologis. Sebab, orang Papua tak mengenal hutan negara karena semua kawasan hutan merupakan kawasan ulayat.

Paradigma ini membuat pendekatan-pendekatan selain sosiologis akan mental karena tak sesuai dengan kearifan masyarakat setempat. Seorang alumni yang 13 tahun membuka HPH di sana bersaksi bahwa perusahaannya tak akan beroperasi jika tak melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat terlebih dahulu.

Di luar soal pendekatan, soal regulasi juga krusial. Ada tumpang tindih ketentuan dalam pengelolaan hutan Papua. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999 tak bisa beroperasi sepenuhnya karena ada UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Mana yang lebih tinggi tidak jelas dan tegas.

Dilema Mengelola Hutan Papua Forest Camp.Diskusi Masa Depan Hutan Papua di Hutan Pendidikan Guniung Walat, Sukabumi, Jawa Barat, 26 Oktober 2019.

Greenera Consulting adalahperusahaan jasa konsultasiyang didirikan pada tahun 2015 untuk membantu perusahaan-perusahaan mengembangkansistem keberlanjutan(sustainability).

PELAYANAN JASA YANG TERSEDIA:

Jasa Pendampingan Audit Sertifikasi (Gap Analysis):FSC, ISPO, RSPO, ISCC

Jasa Penilaian (Assessment):Integrated HCV-HCSA, HCV, HCS, GHG, LUCA, SEIA, FPIC, Social Liability, Soil & Topographic Survey, Pemetaan dan Pengolahan Data Geospasial (GIS) & Drone (UAV).

Jasa Pelatihan (Inhouse Training):FSC, ISPO, RSPO, ISCC, Integrated HCV-HCSA, HCV, HCS, GHG, LUCA, SEIA, FPIC, Social Liability, Soil & Topographic Survey, Pemetaandan Pengolahan Data Geospasial (GIS) & Drone (UAV).

Contact Person : Neny IndriyanaMobile Phone : (+62) 81381465818 Office Phone : (0251) 7582876 Website : https://www.greenera-consulting.co.idE-mail : [email protected] : Villa Ciomas Indah Jl. Beo Blok H7 No. 12 Rt.05 Rw.14, Ciomas Rahayu, Ciomas, Bogor,Jawa Barat-Indonesia 16610

Ketidakjelasan itu membuat program besar Presiden Joko Widodo memberikan akses kepada masyarakat di kawasan hutan menjadi tidak jalan. Papua salah satu pulau yang realisasi perhutanan sosialnya sangat rendah. Apalagi ada anggapan di masyarakat bahwa semua tanah adalah kawasan adat, tak ada hutan negara.

Padahal, dengan keragaman hayatinya yang tinggi, komoditas non-kayu di Papua, seperti sagu dan ubi, bisa dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat. Satu pohon besar sagu bisa diolah menghasilkan karbohidrat yang cukup menghidupi sebuah keluarga dengan tiga anak selama tiga bulan. Masalahnya, sagu tak bisa bersaing dengan gandum karena pengolahannya mahal akibat infrastruktur yang sulit.

Seorang peserta alumni senior mengin-gatkan bahwa pembangunan infrastruktur yang tak terkendali justru akan menjadi pintu masuk kerusakan alam. Papua yang alami, kata dia, karena penduduknya sedikit dan tak saling terkoneksi antar wilayah. Dengan infra-struktur yang isolasi wilayah menjadi terbuka.

Dilema-dilema ini adalah masalah besar yang dihadapi dalam mengelola hutan Papua. Pendekatan sosiologis dan antropologis juga tak bisa diterapkan dengan paradigma orang luar Papua. Para pemangku kepentingan harus mendengar keinginan masyarakat Papua atas tanah dan hutan mereka.

Karena itu paradigma pun harus diubah. Pendekatan ekonomi yang mengacu pada sumbangan industri dan setoran pajak dari sektor kehutanan tak bisa diterapkan

jika model pendekatannya adalah proteksi dan konservasi lingkungan. Pendekatan ekonomi seperti ini akan menghasilkan kapitalisme buruk yang mengabaikan asas-asas lingkungan karena sektor kehutanan yang punya fungsi proteksi lingkungan dianggap punya kontribusi yang rendah terhadap APBN.

Titik temu dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan adalah memakai pen-dekatan komunitas (community based ma-nagement) yang mengedepankan kearifan lokal, pelibatan masyarakat, dan mendengar suara-suara masyarakat setempat yang berpengalaman berhubungan dengan alam di sekelilingnya. Eksploitasi yang mengin-dahkan masyarakat hanya menghasilkan kerusakan alam yang menghasilkan benca-na lingkungan. —Drajad Kurniadi

Page 6: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest10 11j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

F rest D gest

ragam

JURI dan paniti John Maddox Prize memilih Profesor Bambang Hero Saharjo mendapatkan penghargaan bergengsi ini tahun 2019. Para juri dari jurnal bergengsi, Nature, ini memilih Bambang setelah menyeleksi 206 ilmuwan dari 38 negara pada 12 November 2019. Bambang, guru besar kebakaran hutan

Institut Pertanian Bogor, terbang ke

Cerita dari Desa Aik Berik, Lombok Tengah. Penduduk masuk hutan untuk memanfaatkan arealnya, tapi hutan jadi terlindungi.

AIR terjun di Desa Aik Berik tak punya mata air. Bergalon-galon air itu muncul dari rekahan perut bumi sepanjang 200 meter yang mengelingi lembah Aik Berik di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kawasan

ini berada di kaki Taman Nasinonal Gunung Rinjani. Karena muncul dari sela-sela batu, air tumpah tak satu pintu, melainkan merembet membentuk garis seperti benang turun. “Karena itu kami menyebutnya Air Terjun Benang Kelambu,” kata Marwi, penduduk desa.

Pada 1998, Marwi menjadi pejabat desa. Sebagai penduduk yang lahir besar di Aik Berik, ia sudah lama mengusulkan agar pemerintah memberikan akses kepada penduduk masuk hutan. Soalnya, penduduk sekitar 1.000 keluarga itu mengandalkan hidup dari hutan-hutan sekitarnya. Tapi paradigma pengelolaan hutan kala itu masih berpatokan pada kemurnian alam. Siapa pun yang bukan organ negara masuk ke kawasan hutan, apalagi memanfaatkan arealnya, akan dicap perambah dan dikerja polisi hutan.

Beruntung, di NTB kekakuan itu tak berlangsung lama. Ketika pemerintah mengadakan proyek padat karya penghijauan di Gunung Rinjani, Dinas Kehutanan NTB mendengar usul Marwi dan warga desa. Pejabat Dinas yang punya kelebihan uang Rp 50 juta dari proyek itu setuju membangun jalan dan infrastruktur yang bisa membuka akses ke lokasi air terjun Benang Kelambu itu.

Uang sebanyak itu cukup membuat jalan lebar dua meter 3 kilometer yang menghubungkan akses desa dengan

kata Bambang. “Saya bersyukur bahwa juri mengapresiasi pentingnya ilmu pengetahuan yang saya gunakan untuk bersaksi sebagai ahli di persidangan demi perlindungan lingkungan hidup”.

The Maddox Prize merupakan pemberian penghargaan yang bersifat inisiatif bersama “Sense about Science”. Mendiang Sir John Maddox menjadi editor Nature selama 22 tahun. Putri kandungnya, Bronwen Maddox, kemudian meneruskan dengan menjadi penanggung jawab penghargaan untuk para ilmuwan yang mereka anggap berjasa.

Saat upacara pemberian penghargaan, terungkap bahwa pengusul Bambang adalah Dr. Jacob Phelps dari Lancaster University, Inggris, dan Profesor Johann Georg Goldamer dari Global Fire Monitoring Center. Keduanya mengusulkan Bambang karena melihat sendiri bagaimana Bambang memakai fakta empiris menganalisis api di hutan Indonesia.

“Apa yang saya perbuat ini hanya untuk memerikan rasa aman dan nyaman kepada publik sebagai hak mendapatkan lingkungan yang sehat sesuai UUD 1945,” kata Bambang kepada Forest Digest. “Penghargaan ini sebagai dorongan besar bagi saya untuk terus melangkah. Ini hanya bukti bahwa jika kita bisa konsisten dalam menggunakan sains dengan cara yang benar, maka dukungan akan datang dari mana saja, dan yang ini berasal dari Inggris.”

Selain John Maddox Prize 2019, pada tahun yang sama Bambang Hero juga mendapat penghargaan atas dedikasi dan dukungannya dalam penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dan Global Landscape Fire Awards 2019 dari GFMC yang diberikan langsung oleh Profesor Goldammer di Jakarta pada September 2019.

Profesor Bambang saat ini memimpin Regional Fire Management Resource Center - Southeast Asia (RFMRC-SEA) yang didanai oleh Pemerintah Jerman melalui Max Planck Institute yang difasilitasi oleh GFMC melalui kerja sama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan pemerintah Jerman.

—Robi Deslia Waldi

Terlindung di Hutan Lindung

John Maddox untuk Peneliti Kebakaran

London untuk menerima penghargaan ini.Juri menilai kontribusi Bambang selama

20 tahun dalam menelaah dan meneliti kebakaran hutan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tak terperi. Bambang dianggap sebagai ilmuwan yang memakai bukti ilmiah pengetahuan mengungkap kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan yang selama ini terjadi di Indonesia.

Penelitian terus meski ia mendapatkan pelecehan, intimidasi, dan tuntutan hukum. Terakhir Bambang digugat perusahaan kelapa sawit karena mengumumkan bahwa api kebakaran 2015 bersumber dari lahan konsesi. Ia menang karena apa yang dilakukannya ditopang

lembah itu. Setelah selesai membangun jalan pemerintah juga membangun trek ke air terjun, terutama setelah pengunjung ke air terjun ini mulai berdatangan dan menjadi penghasilan tambahan bagi penduduk desa dengan memungut karcis.

Uangnya dikelola oleh desa dengan membentuk kelompok Rimba Lestari. Kelompok inilah yang mengatur pengelolaan ekowisata air terjun, sekaligus menjaganya. Menurut Marwi, kini air terjun memberi penghasilan individu kepada 200 penduduk desa yang menjadi pemandu turis, penjaga areal wisata, hingga pedagang. “Umumnya anak-anak muda,” kata Marwi.

Para orang tua, sementara itu, mengajukan izin perhutanan sosial untuk menggarap areal hutan lindung. Mereka menanami buah-buahan dan tanaman berkayu seperti sengon. Dinas Kehutanan mengizinkan mereka masuk hutan dengan syarat menjaga kawasannya dari kebakaran

dan perambahan. “Kami support dengan pengadaan bibit,” kata Madani Mukarom, Kepala Dinas Kehutanan NTB.

Awal pembukaan lahan, kata Marwi, penghasilan per keluarga kelompok Rimba Lestari hanya Rp 300 ribu per bulan karena buah-buahan tak menghasilkan terlalu banyak. Kini, setelah bibit disuplai pemerintah dan mereka fokus menggarap kebun, penghasilan per keluarga dari 2 hektare lahan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta jika sedang panen.

Menurut Marwi, izin perhutanan sosial yang mereka dapatkan pada 2007 membuat kehidupan ekonomi masyarakat Desa Aik Berik terangkat. Anak-anak kini sekolah dan kesejahteraan 1.042 kepala keluarga Rimba Lestari melewati garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik. “Sekarang relatif bagus karena penghasilan buah-buahan sudah tetap,” kata dia.

Izin perhutanan sosial juga membuat mereka tenang berkebun, tak lagi cemas dianggap perambah dan diusir polisi hutan. Sebab, dengan mengelola hutan, tiap penduduk terdorong melindungi kawasan Rinjani. Total luas hutan yang dikelola 842 hektare. “Ekowisata juga mulai berkembang tapi ini dikelola oleh desa,” kata dia.

Tarif masuk ke air terjun ini Rp 10.000 per orang. Pengunjungnya padat jika libur, termasuk oleh para turis asing yang datang ke sana untuk mandi dan berendam. Pengurus desa lalu membuatkan kolam dan fasilitas mandi, cuci, kakus di kawasan air terjun. Sehingga mereka yang selesai mandi bisa membersihkan diri di toilet.

Marwi mengatakan, selama ia hidup di Aik Berik, air terjun itu tak pernah surut meski kemarau. Kini mereka berencana memanfaatkan aliran air dari air terjun yang masuk ke sungai menjadi sumber energi generator pembangkit listrik untuk menerangi desa-desa di sekitarnya dan setrumnya dijual ke PLN. “Ada Profesor Watanabe dari Jepang mengatakan bahwa air terjun seperti ini hanya ada dua di dunia: di sini dan di Jepang,” kata Marwi.

Keunikan itu yang membuat turis datang berduyun ke Aik Berik. Seperti kata Madani Mukarom, Aik Berik adalah contoh pengelolaan hutan lestari yang melibatkan masyarakat sekitar hutan. Dengan mengajak mereka berpartisipasi, hutan terjaga, warga desa sejahtera. —

Penghargaan. Penghargaan diberikan langsung oleh putri John Maddox, Robyn Maddox.

kelambu.. Ekoiwsata air terjun Benang Kelambu di Desa Aik Berik, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Page 7: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest12 13j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

ragam

Ekosistem hutan bisa menurunkan stres fisik dan mental. Healing forest tengah menjadi tren membangkitkan efek plasebo.

HEALING on forest atau terapi hutan tengah menjadi tren dunia sebagai cara baru memulihkan stres, baik fisik maupun mental. Dalam penelitian Matther P. White yang dipublikasikan jurnal Scientific Report volume 9 edisi 12

Juni 2019 terbukti bahwa tegakan pohon, ekosistem hutan, dan alam terbuka bisa memulihkan kesehatan fisik dan mental.

White menganalisis kondisi fisik dan kejiwaan hampir 20.000 responden di Inggris. Ia dan timnya menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh para responden terhadap serangan virus naik setelah mereka berjalan di alam terbuka, di taman, atau pantai selama 120 hingga 300 menit.

Penelitian White mempopulerkan istilah “forest bathing” yang diserap dari istilah Jepang “shinrin-yoku”. Istilah ini dikenalkan oleh Qing Li, Presiden Kelompok Pengobatan dari Hutan di Tokyo, dalam bukunya Shinrin-Yoku: The Art and Science of Forest Bathing. Menurut dia berjalan di bawah hutan dan menjumpai kehijauan alam adalah faktor penting dalam memerangi penyakit di tubuh dan pikiran.

Dengan konsep yang sama, Hikmat Ramdan mengembangkan “healing on forest” dan menelitinya bertahun-tahun. Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung dan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Angkatan 1990 ini mengujinya saat acara Forest Camp para alumni Fakultas Kehutanan IPB pada 27 Oktober 2019 di Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. Dengan aplikasi Smart Pulse, yang dibuat Korea, Hikmat mengukur kondisi stres fisik (physical stress) dan mental (mental stress) enam

Ukurannya adalah objek yang tertangkap oleh panca indra. Agar kita nyaman, suara di sekeliling tak lebih dari 40 desibel; penglihatan sekeliling tidak tertutup, indah dan menyejukkan mata; bau tidak menyengat; pengecapan yang normal; rasa yang dipengaruhi suhu sekeliling yang sejuk—tidak terlalu panas dan kering; dan gerak tubuh yang ringan tak berakibat pada kelelahan.

Dari penelitiannya, Hikmat menemukan bahwa ruang ekosistem yang memberikan rasa nyaman bagi tubuh di antaranya jika suhu maksimal 24 derajat Celsius, kelembapan udara 65-70%, intensitas cahaya 300-500 lux, kerapatan vegetasi 70-100%, kebisingan di bawah 40 desibel, dan kelerengan datar sampai landai. “Kalau terlalu terjal juga lutut akan nyorodcod, akan tidak nyaman berjalan,” katanya. Dengan makin nyaman tubuh, maka level stres bisa turun.

Dari mana hutan bisa memberikan kenyamanan dan menurunkan stres? Menurut Hikmat, resultante dari ruang hutan yang didominasi warna hijau alamiah, suhu yang sejuk dengan penyinaran matahari yang terfilter tajuk pohon-pohon, kebisingan suara dalam hutan yang minimal dan menenangkan, banyaknya udara bersih yang terhirup

Hutan yang Menurunkan Stresrelawan untuk diuji sebelum dan setelah berjalan di hutan.

Gunung Walat berada di ketinggian 720 meter dari permukaan laut yang dihuni vegetasi pegunungan dataran rendah seperti damar dan agathis. Gunung Walat seluas 359 hektare ini merupakan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB. Ada jalur jalan setapak di antara tegakan pohon menuju areal kemping yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kantor pengelola.

Sebelum menerapkannya di Gunung Walat, Hikmat telah menguji “healing on forest” di Taman Wisata Alam Puncak Bintang KPH Bandung Utara, Jawa Barat. “Ekosistem hutan di sana telah menurunkan stres rata-rata hingga 20 level,” katanya.

Menurut Hikmat, stres pada manusia timbul karena tubuh merespons negatif terhadap keadaan sekeliling. Karena itu konsep penyembuhan kini memanfaatkan ekosistem hutan agar manusia dan lingkungannya saling terkoneksi. Karena itu ada beberapa syarat yang harus dimiliki agar sebuah ekosistem bisa menjadi sarana penyembuhan.

berjalan di hutan 3 hari 2 malam dalam kurun 30 hari. Para peneliti Jepang tengah meneliti apakah “mandi hutan” bisa menyembuhkan jenis kanker tertentu.

Dalam healing on forest penekanannya ada pada kontribusi ruang ekosistem hutan menyediakan “healing services”. “Dalam healing, tidak saja menyembuhkan yang sakit tapi memperkuat yang sehat, dan sebagai pemulihan setelah sakit,” kata dia. “Sebab kita adalah mahluk ekologis, mahluk yang membutuhkan ekosistem alamiah berikut jasa-jasa ekosistemnya, termasuk jasa untuk kesehatan.”

Dalam Forest Camp, keampuhan healing on forest diukur melalui keadaan fisik dan mental enam relawan. Setelah berjalan sekitar 2 kilometer selama sekitar 20 menit, para relawan yang telah diukur stres fisik, mental, dan kandungan oksigen dalam tubuh mereka diukur kembali.

Tingkat stres fisik dan mental Gustav Ardianto, 47 tahun, menurun dari 63 menjadi 42. Stres fisiknya bahkan menurun sangat drastis dari 89 menjadi tinggal 62—level yang mendekati normal. Gustav baru tiba sore di Gunung Walat menempuh macet dari Jakarta ke Sukabumi selama 3 jam dan mobilnya sempat mogok. Secara berkelakar, pengusaha ini mengatakan stresnya muncul karena banyak proyek yang belum deal. “Healing on forest memang terbukti bisa menurunkan stres,” katanya.

Sementara pada Frida Yulinati, 48 tahun, tingkat stres dan kelelahan fisiknya naik dari level 2 menjadi 35 untuk fisik dan 46 menjadi 47 untuk mental. “Mungkin karena saya sedang flu berat,” katanya. Menurut Hikmat, semestinya orang yang sedang sakit seperti Frida tidak disarankan untuk ikut trek jalan yang jauh dan terjalnya, cukup saja berdiam di spot hutan dan tidak melakukan kegiatan yang melelahkan fisik.

Menurut Hikmat, untuk mendapatkan manfaat healing on forest ada lima hal yang harus dilakukan para peserta: me-nyatu dengan alam, pikiran relaks, berpikir positif, menikmati keindahan alam dengan berjalan dan berbicara pelan, bersyukur kepada alam dan pencipta-Nya. —

healing on forest.Seorang peserta di Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat, berjalan di antara tegakan pohon hutan.

masuk ke dalam tubuh serta aktivitas yang rileks yang tidak menimbulkan kelelahan, kehausan dan rasa lapar, menciptakan rasa nyaman secara fisik dan mental.

Dengan makin nyamannya tubuh, kita akan mudah terkoneksi dengan ekosistem sehingga stres turun. Karena, secara sederhana, stres dipicu oleh hal-hal yang tidak nyaman dirasakan oleh tubuh, baik secara fisik ataupun psikis.

Dalam banyak penelitian, udara yang segar mengandung banyak phytoncides, bahan kimia alami yang diproduksi

tanaman dalam melindungi diri dari serangan hama dan serangga. Literatur menjelaskan jika kita menghirup zat kimia ini, tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan jumlah dan aktivitas jenis sel darah putih yang menjadi sel pembunuh alami. Sel-sel ini berperan membunuh sel-sel yang terinfeksi tumor dan virus dalam tubuh kita.

Penelitian-penelitian forest bathing, terutama yang dirumuskan Qing Li, menemukan bahwa naiknya aktivitas sel pembunuh kanker terjadi setelah

Page 8: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest14 15j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0F rest D gest

ragam ragam

bpdlh. Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri), Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat peluncuran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup di Jakarta (Foto: Facebook KLHK)

SALAH satu kunci sukses agroforestri adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat secara penuh sejak perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. Pada 20-21 Desember 2019, ada sosialisasi

agroforestri di empat desa di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Di sini agroforestri yang dikembangkan seluas 40 hektare yang menghimpun 20 desa.

Konsep agroforestri di sini adalah

Agroforestri Partisipatif di Lore Lindu

partisipasi interaktif dan partisipasi swadaya. Sistem perencanaan agroforestri partisipatif disusun dengan pendekatan bottom-up dan dilakukan secara berjenjang dari petani, kelompok tani, desa, Kesatuan Pemangku Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi hingga Tingkat Pusat yaitu melalui Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Sulawesi.

“Banyak potensi hasil hutan bukan kayu di dalam ataupun di luar kawasan belum tergarap secara baik karena masyarakat kurang mendapatkan pendampingan untuk memanfaatkan lahan garapan

tersebut dengan baik,” kata Kepala Desa Baku-Bakulu, Anthon Upe.

Program agroforestri di Lore Lindu ini akan berlangsung hingga 2023. Upe berharap pemerintah pusat dan NGO terus mengawalnya agar masyarakat desa menjaga kawasan hutan dari perambah dan penebang liar. Tanpa masyarakat, kata dia, agroforestri akan gagal.

Luas izin Perhutanan Sosial di Lanskap Taman Nasional Lore Lindu 5.973 hektare. Perhutanan sosial adalah konsep tepat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar taman nasional sekaligus menjaga kawasan hutannya tetap lestari.

—Akram Rifa’ah

pemakaiannya,” kata Sri.Menurut Menteri Siti, pemerintah telah

mengelola berbagai sumber pendanaan yang mendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, dari dana dalam negeri maupun luar negeri, namun pemakaiannya belum secara optimal mencapai target. Dengan BPDLH, kata Siti, upaya menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tiap musim kemarau bisa dianggarkan lebih awal sehingga penanganannya pun tuntas.

BPDLH dibicarakan dalam Konferensi Iklim di Katowice, Polandia. Setelah bersidang dua pekan, Pasal 6 Kesepakatan Paris hampir buntu karena paling akhir disepakati, terutama mengenai mekanisme perdagangan karbon dalam isu perubahan iklim. Dengan BPDLH, negara maju yang berkomitmen menurunkan gas rumah kaca bisa menyalurkan bantuan mereka menurunkan emisi bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam konferensi itu pemerintah Indonesia memperkirakan kebutuhan menangani iklim untuk sektor kehutanan pada 2018-2030 sekitar Rp 78 triliun. Untuk mengakses pendanaan internasional, Indonesia diminta membuat prioritas kegiatan menurunkan emisi, seperti mencegah kebakaran hutan dan lahan, hingga membuat kerja sama bilateral seperti perdagangan karbon.

—Mawardah Nur Hanifiyani

Agroforestry.Kegiatan Sosialisasi Agroforestry oleh BPSKL Sulawesi

Pengelola Dana Perubahan Iklim Terbentuk

SETELAH alot dibicarakan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Katowice, Polandia, akhir 2018, pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada 9 Oktober 2019. Lembaga

baru non-eselon ini berada di bawah Kementerian Keuangan yang akan mengelola seluruh dana yang masuk dan keluar untuk membiayai program perlindungan lingkungan hidup, termasuk urusan mencegah pemanasan global.

Rupanya, pemerintah Indonesia melakukan strategi yang lebih luas. Urusan lingkungan hidup tak semata mitigasi perubahan iklim, seluruh program perlindungan lingkungan, seperti mengatasi kebakaran hutan, perdagangan karbon, hingga memodali industri kecil sektor kehutanan oleh masyarakat. BPDLH secara resmi pada 1 Januari 2020.

Peluncuran lembaga baru ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK 01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Dalam peraturan itu, urusan lingkungan hidup mencakup sektor kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup sesuai dengan regulasi.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, badan ini akan bertugas mengatur keluar-masuk dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta

swasta di dalam maupun di luar negeri, termasuk sumbangan bilateral, lembaga internasional, maupun filantropi. “Modal awal lembaga ini sebesar Rp 2,1 triliun,” katanya. Dana ini diperkirakan bertambah menjadi Rp 4,29 triliun pada 2020.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan badan baru ini juga untuk menyokong komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris yang akan menurunkan emisi karbon sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan pihak lain. Menurut Siti, pendirian badan ini sebagai langkah konkret mencapai cita-cita dan komitmen pada 2030 itu.

Dalam hal pendanaan mencegah pemanasan global, BPDLH akan mengatur pendanaan yang masuk untuk semua kegiatan yang menyokong program ini. Siti bahkan menekankan BPDLH tak sekadar mengatur pembiayaan melainkan membuat regulasi terkait lingkungan hidup. “Termasuk tata ruangnya,” kata dia. “Jika ada program lingkungan hidup akan diatur bagaimana subsidinya, pajaknya, tarifnya.”

Menurut Siti, BPDLH merupakan kelanjutan dari tugas badan layanan umum yang mengatur pembiayaan lingkungan hidup semacam dana reboisasi. Meski belum menjelaskan sumber-sumber pemasukan kas lembaga ini, Sri Mulyani mengatakan potensi uang yang bisa masuk ke kas BPDLH bisa mencapai Rp 800 triliun. Sejauh ini, sumber pasti kas BPDLH berasal dari APBN. Anggaran menangani perubahan iklim terus naik sejak 2016, dari Rp 72,4 triliun menjadi Rp 109,7 triliun pada 2018 atau 4,9% dari total APBN tahun tersebut. “Kami akan lihat bagaimana strategi dan skema

Page 9: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest16 17j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Lima jenis tanaman yang secara alamiah menangkal ular.

ULAR adalah penunjang penting sebuah ekosistem. Jika di lingkungan kita masih ada ular, berarti lingkungan tersebut masih seimbang. Karena ular adalah predator alami yang memangsa hama bagi manusia. Ia pemakan tikus yang

menjadi hama dan penyebab leptospirosis yang membuat manusia demam tinggi jika terpapar kencingnya.

Beberapa waktu belakangan sejumlah kota dihebohkan oleh penangkapan banyak ular, bahkan sejenis kobra, yang masuk ke permukiman bahkan rumah. Para pengamat ular mengatakan fenomena ini adalah mudiknya para ular ke bekas habitat mereka sebelum kawasan itu berubah fungsi menjadi perumahan. Meski ular tak mengenal kembali ke kandang bahkan ke telurnya, mudik adalah cara mereka berkeliaran di habitatnya.

Kendati berfungsi sebagai penyeimbang, sistem pertahanan ular membahayakan ma-nusia. Ia bisa menyerang manusia jika mera-sa terganggu oleh keberadaan kita, meski tak akan menyerang jika instingnya mengatakan kehadiran kita aman bagi mereka. Karena itu ular perlu dicegah masuk ke dalam rumah dengan memakai tanaman yang alami dan tak disukai mereka.

Menurut situs Pets.com, pemakaian bahan kimia untuk mengusir ular tidak efektif. Contoh kasusnya ada di Amerika dan Afrika. Bahan kimia hanya ampuh mengusir beberapa jenis ular sementara jenis lain bertahan dan makin kebal. Di Amerika cara ampuh mengusir ular dengan memakai cara organik, salah satunya dengan tanaman.

Pada dasarnya ular tak menyukai bau menyengat. Tapi pada beberapa jenis ular mereka malah akrab dengan bau tajam karena lahir dan besar di lingkungan bau tersebut. Berikut ini tanaman yang secara alamiah bisa mengusir ular:

Vetiver

Akar rumput kasar dari Tamil, India, ini mengeluarkan molum sebagai penawar racun dalam air atau tanah dan minyak atsiri. Karena itu di Indonesia dikenal dengan nama “akar wangi”. Di Thailand atau India, para petani menanam vetiver di lahan perkebunan. Selain menyerap polusi air yang terkontaminasi limbah, vetiver juga berperan dalam mengusir hama. Karena daun dan akar tanaman yang bisa tumbuh 1,5 meter ini tak disukai oleh tikus dan serangga.

Irma Hutabarat, penyiar televisi yang kini jadi aktivis lingkungan, membuktikan vetiver ampuh mengusir ular. Di rumahnya di Jalan Inspeksi Citarum di Bandung, ia membangun rumah yang atap dan lantainya terbuat dari daun vetiver. Ia juga menanam vetiver di halamannya. Sehingga meskipun rumah kecil itu rimbun oleh pelbagai jenis pepohonan, ia terlindung dari kedatangan ular. “Sepanjang saya tinggal di sini tak pernah lihat ada ular,” katanya.

SerehSejenis dengan vetiver, daun sereh juga

menghasilkan resin yang meruapkan bau menyengat. Ular malas mendekat ke tanaman sereh akibat bau ini. Dengan

Tanaman Penangkal Ular indra penciuman yang tajam—ular sangat mengandalkan hidup untuk mendeteksi sekeliling—ular sudah mencium bau sereh dari jauh sehingga mereka tak akan melintasi daerah yang terdapat tanaman ini.

Marigolds

Akar bunga cantik berwarna pink dan merambat ini juga menghasilkan bau menyengat sehingga tak akan didekati ular. Akarnya yang melingkar sebenarnya menjadi tempat favorit tikus bersarang, tapi karena bau menyengat itu tikus pun enggan berada lama di dekatnya.

Lidah Mertua

Fungsi utamanya menyerap polusi di perkotaan karena bisa ditanam di pot di teras rumah. Tapi pisau daun dan ujungnya yang tajam membuat ular malas berjalan di sela-selanya. Lidah mertua efektif mencegah ular masuk ke ruang tamu kita.

BawangCairan yang dihasilkannya mampu

menjadi penangkal ular karena menghasilkan bau menyengat dan perih. Ular pada dasarnya malas mendekati kebun bawang karena bau menyengat yang tercium dari jarak jauh. —

SEJAK 2008, setidaknya 20 juta orang per tahun terusir dari rumah dan kampung halaman mereka akibat pelbagai bencana yang diakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global. Artinya, tiap dua detik ada satu jiwa yang kehilangan

tempat tinggal. Demikian laporan Oxfam, lembaga nirlaba yang fokus pada kemiskinan, yang dirilis pada 2 Desember 2019.

Oxfam menganalisis data selama 2008-2018. Data berasal dari instansi pemerintah, lembaga nirlaba, badan penelitian, dan media massa. Laporan itu dirilis berbarengan dengan pembukaan Konferensi Iklim di Madrid, Spanyol, hingga 13 Desember 2019. Oxfam meminta para ahli lingkungan dan dewan Perserikatan Bangsa-bangsa memfokuskan pembahasan pada mitigasi pembiayaan untuk menolong mereka yang terusir karena bencana.

Menurut Oxfam, iklim adalah bahan bakar utama dalam pelbagai bencana

yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Secara spesifik, Oxfam menyebut badai, banjir, kebakaran hutan, kekeringan, hingga gempa bumi. “Jumlahnya jiwa yang terdampak tiga kali lipat lebih banyak dibanding korban konflik,” tulis Oxfam.

Laporan itu menekankan bahwa penduduk di negara-negara miskin jauh lebih rentan terkena bencana dan risiko pemanasan global, terutama polusi udara akibat pembakaran bahan bakar karbon. Asia dan negara-negara kecil di Pasifik paling rentan terkena dampak perubahan iklim.

Oxfam menghitung tujuh dari 10 negara kepulauan masyarakatnya paling berisiko kehilangan tempat tinggal akibat cuaca ekstrem yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut atau topan atau rob. Menurut Oxfam, sebanyak 5% penduduk Kuba, Dominika, dan Tuvalu, mengungsi akibat cuaca ekstrem setiap tahun dalam dekade antara 2008-2018. Jumlah tersebut setara dengan setengah populasi Madrid yang mengungsi di Spanyol setiap tahun.

Padahal, emisi per negara di kepulauan-kepulauan itu hanya sepertiga dari emisi di negara-negara berpenghasilan tinggi

Di negara lain yang lebih miskin seperti India, Nigeria, dan Bolivia, menurut Oxfam, punya risiko empat kali lebih tinggi penduduknya mengungsi dibanding negara kaya seperti Amerika Serikat. Sekitar 80% orang yang telantar tersebut berada di Asia—rumah bagi 60% persen penduduk dunia yang sepertiganya hidup dalam kemiskinan ekstrem.

“Pemerintah kita memicu krisis yang mendorong jutaan perempuan, laki-laki dan anak-anak dari rumah mereka dan orang-orang termiskin di negara-negara termiskin membayar harga terberat (akibat perubahan iklim),” kata Chema Vera, Penjabat Direktur Eksekutif Oxfam International.

Dalam Konferensi Madrid, PBB akan membahas dan menilai kemajuan yang dirumuskan dalam “Mekanisme Warsawa tentang Kehilangan dan Kerusakan”. Mereka juga akan mendorong pembentukan lembaga dana pembentukan dana baru untuk membantu masyarakat memulihkan dan membangun kembali akibat guncangan iklim.

Menurut Oxfam, negara-negara kaya sebagian besar telah meninggalkan negara-negara miskin untuk menutupi sendiri meningkatnya biaya bencana akibat cuaca ekstrem. Analisis New Oxfam menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem selama dekade terakhir, rata-rata, setara dengan 2% pendapatan nasional negara-negara yang terkena dampak. Angka itu jauh lebih tinggi bagi banyak negara berkembang.

“Orang-orang turun ke jalan di seluruh dunia untuk menuntut tindakan penanganan iklim. Jika politisi mengabaikan permintaan mereka, lebih banyak orang akan mati, lebih banyak orang akan kelaparan dan lebih banyak orang akan dipaksa keluar dari rumah mereka,” kata Vera.

Cuaca ekstrem memang terasa hari-hari ini. Satelit NASA mencatat bahwa suhu bumi naik 0,8 derajat Celsius setelah Revolusi Industri 200 tahun lalu. Para ahli dan pemerintah pelbagai negara bersepakat menahan laju pemanasan bumi tak lebih dari 1,5 derajat ada 2050. Waktu semakin sempit...

Perubahan Iklim Merenggut 20 Juta Jiwa per Tahun

Kebakaran. Kebakaran gambut di Jambi, 2019.

ragam ragam

Page 10: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest18 19j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

RATUSAN ilmuwan dari 143 negara telah selesai menyusun laporan tentang pengaruh pemakaian lahan dan hutan terhadap pemanasan global. Dalam 300 halaman laporan yang diluncurkan pada 8 Agustus 2019 itu, para

ilmuwan menyimpulkan bahwa 72% lahan di bumi ini terpakai untuk memenuhi kebutuhan 7,5 miliar manusia yang sekarang nongkrong di planet ini.

Dari luas lahan terpakai itu, sebanyak 37% terpakai untuk pertanian, peternakan, penggembalaan. Sementara hutan yang dikonversi untuk memenuhi kehidupan manusia—dalam bisnis kayu maupun memacu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari—sebanyak 20% plus 2% terpakai untuk konversi lahan perkebunan.

Pemakaian lahan untuk pertanian, bisnis kehutanan, dan pemakaian lahan seperti perkebunan telah menyumbang 28% emisi gas rumah kaca seluruh dunia. “Di saat yang sama secara alami tanah menyerap sepertiga karbon dioksida yang dilepas bahan bakar fosil,” kata Jim Skea, Wakil Ketua Intergovernmental Panel on Climat Conference, seperti dikutip web ipcc.ch.

IPCC adalah sebuah badan yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berisi para ilmuwan untuk merumuskan hasil-hasil dalam perundingan PBB dalam perubahan iklim tiap tahun. IPCC rutin membuat laporan mengenai perubahan iklim. Pada Mei lalu, mereka menyimpulkan 1 juta satwa liar terancam punah akibat pemanasan global dan aktivitas manusia.

Laporan kali ini, menurut Jim, penyusunnya 58% berasal dari negara berkembang dengan 43% perempuan, menyoroti pemakaian lahan yang berdampak pada pemanasan global. Anggota PBB sudah bersepakat mencegah

suhu bumi memanas melewati batas 1,50 Celsius dibanding suhu sebelum Revolusi Industri.

Menurut laporan sebelumnya, sejak Revolusi Industri 1850, suhu bumi telah naik 0,80 Celsius hingga 2017. Kenaikan suhu setinggi itu telah mencairkan es di kutub Utara dan Selatan yang membuat permukaan air laut naik 3 milimeter.

Laporan terbaru ini menghitung dampak pembukaan dan pemakaian lahan terhadap kenaikan suhu bumi akibat emisi yang dilepas oleh aktivitas manusia mencapai 11,2 Giga ton setara karbon dioksida per tahun dalam periode 2007-2016. Jumlah sebanyak itu setara 28-29% emisi karbon yang ada di planet ini.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya? Para ilmuwan mafhum

bahwa pembukaan lahan terjadi akibat makin banyaknya populasi manusia di planet ini. Merek membuka hutan, membuat lahan pertanian, sebagai cara bertahan hidup. Berikut ini beberapa cara yang disarankan para ilmuwan tersebut dari banyak cara yang mereka rekomendasikan.

Agroforestri

Ini cara lama yang sudah terbukti am-puh menjaga kestabilan ekologi di lahan pertanian. Kearifan lokal di banyak negara telah mempraktikkan menanam tanaman pertanian dengan mengombinasikannya dengan pohon berkayu. Di Indonesia, misalnya, ada repong damar di Lampung, talun di Priangan, dan banyak ragam agro-forestri yang terbukti bisa menahan erosi

lahan pertanian seraya memelihara hutan.Sistem tumpang sari ini diadopsi dalam

program perhutanan sosial yang menjadi program unggulan pemerintahan Joko Widodo di periode pertama. Kendati tak mencapai target memberikan skema perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare, program ini direkomendasikan PBB sebagai cara tradisional yang layak dikembangkan untuk menjaga hutan tetap lestari seraya mencukupi kebutuhan pangan penduduk bumi.

Di Indonesia, perhutanan sosial didefinisikan sebagai pemberian hak akses kepada masyarakat mengelola kawasan seluas 2 hektare per kepala keluarga selama 35 tahun dengan lima skema: hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, dan hutan rakyat.

3 Cara Mencegah Pemanasan Global

Hingga Juni lalu, pemerintah telah memberikan 3,09 juta hektare melalui lima skema itu.

RestorasiIndonesia memulai restorasi ekosistem

sejak 2007. Meski masih centang-perenang dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya di lapangan, restorasi telah berjalan di 600 ribu hektare oleh 16 unit manajemen. Restorasi berupa pemulihan kawasan hutan yang rusak setelah pengelolaannya diberikan melalui HPH dan HTI yang dilakukan oleh perusahaan swasta.

Jika selama 30 tahun izin usaha hutan diberikan kepada perusahaan dengan menebang kayu, izin hutan produksi kini diberikan kepada perusahaan untuk

menjaga dan menanami kembali hutan yang gundul, menjaganya dari kebakaran, perambahan, hingga pembalakan liar.

Izin HPH dan HTI, juga perambahan dan pembalakan liar, serta konversi ke perkebunan membuat 34 juta hektare tutupan hutan Indonesia hilang hingga 2016. Kini hutan Indonesia ditetapkan seluas 120 juta hektare dengan laju deforestasi masih 1,2 juta hektare per tahun atau dua kali luas lapangan sepak bola per menit.

Restorasi adalah jalan terbaik mengelola hutan secara lestari. Perusahaan yang mengelolanya bisa mendapatkan keuntungan dengan menjual karbon, ekowisata, atau memanen hasil hutan bukan kayu yang menjadi kekayaan dan keragaman alami hutan tropis Indonesia.

Manajemen produksi pertanian dan peternakan

Pengolahan makanan menjadi problem serius terhadap lingkungan, di luar soal pemakaian energi tak terbarukan setelah Revolusi Industri. Menurut laporan PBB itu, sebanyak 30% makanan di dunia men-jadi sampah. Tanpa manajemen makanan di tiap negara, sektor pertanian akan terus meluas seraya menghasilkan produk mubazir karena menjadi sampah. Sampah akan memicu gas metana yang membuat emisi karbon dan pemanasan global.

Manajemen makanan akan berpengaruh besar terhadap manajemen suplai lain seperti peternakan. Peternakan telah memicu pembukaan lahan yang luas dan memicu pemanasan global akibat emisi yang dihasilkannya. Emisi yang dilepas dari sektor ini sebanyak 5 Giga ton setara CO2 per tahun, hampir menyamai emisi yang dihasilkan seluruh emisi Amerika Serikat pada 2017.

Di Indonesia, dari 64 juta ton sampah per tahun, 50 persen berupa sisa makanan. Padahal, makanan tersebut diolah dari pertanian dengan membuka lahan atau konversi kawasan hutan yang memicu pemanasan global.

Di luar soal manajemen makanan, Indonesia telah dan sedang melakukan dua hal pertama kendati prosesnya masih tersendat, perlu diawasi, dan dievaluasi secara terus-menerus agar implementasinya di lapangan sesuai tujuan mencegah bumi kian terpanggang: secara ekologi, secara ekonomi, maupun sosial. —

sampah.Sejumah burung mencari makan di antara tumpukan sampah di Jakarta Utara. Sampah menjadi salah satu pemicu pemanasan global.

ragam

Page 11: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest20 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

pigura sampah tepi laut.Tumpukan pelbagai sampah di sepanjang

Pantai Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, 26 Januari 2020. Tanjung

Pasir merupakan salah satu gerbang ke Kepulauan Seribu di Laut Jawa.

Foto: asep ayat

F rest D gest

F rest D gest20 21j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Page 12: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest22 23j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

DALAM rapat koordinasi penanganan banjir Jakarta di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pemerintah DKI melaporkan bahwa mereka bisa menangani genangan air di sekujur ibu kota hanya

dalam waktu lima hari sejak banjir besar pada awal tahun. Pada 7 Januari 2020, pemerintah mengklaim tak ada lagi genangan di mana pun alias 0%.

Saya mengunjungi Semanan di Kalideres, Jakarta Barat, untuk menguji klaim tersebut bersama sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta. Pada hari itu, wilayah ini masih terendam. Di Semanan, ketika banjir ada penduduk meninggal karena terseret arus. “Air

seperti gelombang, langsung tumpah dalam hitungan detik,” kata Taska, 49 tahun, staf RT 10 Semanan, menceritakan banjir pada 1 Januari 2020.

Air tumpah berasal dari kali Semanan yang meluap ke jalan, masuk ke rel, dan menerjang perkampungan. “Langsung brug begitu saja,” kata Taska. Penduduk tak sempat menyelamatkan barang dari rumah. Mereka lalu mengungsi ke kantor PT Biolife yang ada di pintu masuk perkampungan.

Hingga 7 Januari 2020, air masih menggenangi jalan, gang, dan perumahan penduduk setinggi betis. Para anggota DPRD harus melipat celana ketika memasuki kawasan kampung. Menurut seorang penduduk, di dalam desa air masih setinggi pinggang orang dewasa. Penduduk bergantian bercerita tentang banjir pada awal tahun itu.

Ada yang tak sempat mengungsi, ada

yang bertahan karena anggota keluarga sakit, banyak juga yang mengeluhkan kekurangan makanan karena banjir tak kunjung surut.

Air tak kunjung surut karena letak Semanan berada di bawah permukaan jalan, kali, dan gorong-gorong. Air banjir harus dipompa ke selokan jika ingin dikeringkan. “Tapi pompa yang ada tidak cukup menyedot air,” kata Gunawan, Ketua RT 10. “Terutama air di wilayah RT 1, 2, dan 10.”

Tidak hanya jumlahnya yang kurang, kata Gunawan, ketika dibutuhkan, pompa yang ada tak bisa dipakai karena butuh listrik. Sementara setrum sudah mati ketika air meredam kampung ini. “Jadi kami minta bantuan ke pemadam kebakaran untuk menyedot air,” katanya.

Gunawan cemas dengan informasi bahwa puncak hujan akan terjadi pada Februari-Maret 2020, seperti diumumkan

Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika. Ia khawatir banjir besar kembali menghantam Semanan ketika air banjir sekarang sudah bisa disedot seluruhnya.

Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, melemparkan ide membentuk Panitia Khusus (Pansus) penanganan bencana banjir di provinsinya. “Penyebab banjir harus didalami,” katanya. “Agar kita tahu solusi dan siapa yang harus bertanggung jawab.”

Sementara Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Idris Ahmad mengkritik Pemerintah DKI soal penyerapan anggaran pengendalian banjir. Menurut dia, pemerintah Jakarta lebih banyak memperdebatkan konsep ketimbang melaksanakan program sesuai dengan anggaran yang dirancangnya. 

“Di sini jadi bukti konkret serapan anggaran pengendalian banjir rendah dan ada program yang tidak berjalan,”

katanya. “Kita sibuk berdebat naturalisasi atau normalisasi sungai untuk menangani banjir padahal masalahnya semua konsep itu tidak dijalankan.”

Sebelum ke Semanan, rombongan DPRD DKI Jakarta menyambangi rumah keluarga korban jiwa Kemayoran, Jakarta Pusat. Di sini air banjir sudah surut total. Permukiman sudah kembali tampak bersih dan rapi. Penduduk beraktivitas normal.

Korban meninggal di Kemayoran adalah Arfico Alif Pradana, usia 16 tahun. Latif, ayahnya, menceritakan bahwa Alif meninggal karena tersetrum.

Ketika hujan deras 1 Januari itu, kata Latif, anaknya sedang membeli sesuatu di warung. Tiba-tiba uangnya jatuh. Ketika berusaha mengambil uang jatuh ke air yang meninggi dengan payungnya, secara refleks tangannya meraih tiang listrik. “Rupanya ada setrumnya,” kata Latif, dengan murung. “Benar-benar meninggal

di tempat.”Alif adalah satu dari 60 korban

meninggal dalam banjir Jakarta awal 2020, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 8 Januari 2020. Sebanyak 18.870 orang mengungsi. Dalam rapat koordinasi di Kementerian PMK, pemerintah Jakarta mengklaim, sebagian besar pengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing.

Berbeda dengan BNPB, pemerintah Jakarta hanya mencatat 19 korban meninggal dalam banjir kali ini. Jumlah pengungsi puncak terjadi pada 2 Januari sebanyak 36.445 jiwa yang terus berkurang hingga tinggal 691 orang per 7 Januari 2020. —Siti Sadida Hafsah

laporan khusus

cuci gratis.Penduduk Kampung Semanan di Jakarta Barat mencuci mobil yang terendam banjir pada 7 Januari 2020.

Kesaksian korban banjir Jakarta awal tahun baru 2020 di Kalideres. Air tak surut karena harus dipompa. Pompanya butuh listrik.

“Air Seperti Gelombang, Langsung Menghantam”

Page 13: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest24 25j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan khusus

Normalisasi atau naturalisasi sama pentingnya untuk merawat sungai dan mencegah banjir di Jakarta serta kota-kota sekitarnya. Perlu kombinasi keduanya.

TIAP musim hujan, beberapa wilayah di Jakarta terendam banjir. Tak hanya air, juga banjir perdebatan di media sosial. Di era polarisasi akibat pilihan politik sejak 2014 ini, orang mudah tersulut oleh hal-hal kecil. Salah satunya debat soal naturalisasi

versus normalisasi sungai dalam menanggulangi banjir.

“Naturalisasi sungai” dipakai Gubernur Anies Baswedan untuk membedakannya dengan program mengurus sungai dari Gubernur Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama, yang memakai istilah “normalisasi sungai”. Apa bedanya? Dan mana yang lebih baik?

Dalam pengertian Basuki alias Ahok dan pemerintahannya ketika itu, “normalisasi” sebenarnya adalah betonisasi. Pemerintah Jakarta membuat turap di sepanjang sungai, melebarkannya, membersihkan sempadannya, dan merapikan bentuknya untuk mempercepat air segera menuju ke laut Jawa di utara. Seharusnya, jika mengacu kepada istilahnya, normalisasi adalah mengembalikan sungai ke keadaan normalnya, yakni sesuai jalan air ketika sungai itu terbentuk.

Membangun turap dan membeton sempadannya, jelas bukan mengembalikan sungai ke dalam keadaan normal. Menurut ahli tata kota Nirwono Joga, seperti dikutip Kompas.com edisi 8 Februari 2018, pemakaian istilah normalisasi ini keliru total dalam praktiknya. Kekeliruan inilah yang membuat masyarakat kebingungan mencerna makna di balik pemakaian istilah yang terkesan ramah lingkungan

padahal sebaliknya itu.Sementara naturalisasi dalam

pengertian Gubernur Anies Baswedan adalah mengembalikan sungai ke keadaan alamiahnya dengan cara menanami sempadannya dengan banyak pohon. Dengan cara ini tanah di sekitar sungai menjadi gembur dan tak jenuh dalam menyerap air, sehingga air lambat menuju laut. Gubernur Anies mengatakan dengan naturalisasi, air jadi masuk ke tanah secara vertikal.

Dua istilah yang terkesan berbeda ini sebetulnya sama. Intinya merawat sungai seperti hakikatnya: berkelok-kelok sesuai kontur tanah, rimbun oleh pohon, dan menjadi ekosistem bagi flora dan fauna yang ingin tumbuh di sekitarnya.

Gubernur Anies Baswedan membuat istilah baru ketika Jakarta dihembalang banjir besar pada 1 Januari 2020. Ia tak lagi memakai istilah normalisasi atau naturalisasi ia mengatakan istilah lain, yakni restorasi sungai. Dalam pengelolaan hutan, kita mengenal istilah “restorasi ekosistem” yang mengacu pada pemulihan hutan rusak menjadi mendekati kembali ke hutan alam.

Manakah yang lebih baik: normalisasi sungai dalam pengertian Gubernur Ahok atau naturalisasi dalam pengertian Gubernur Anies? Jawabannya tak bisa dipukul rata untuk semua bagian sungai.

Jakarta kini dihuni lebih dari 10 juta penduduk. Mereka yang tersisih dalam rebutan ekonomi dan tempat tinggal, memakai sempadan sungai sebagai hunian. Akibatnya sungai menyempit dan mendangkal. Seorang peneliti Singapura menghitung pendangkalan sungai Ciliwung yang mengalir 102 kilometer dari Bogor ke laut Jawa sebanyak 10 sentimeter per bulan (https://majalah.tempo.co/read/147625/melayari-beragam-masalah-ciliwung).

Menurut catatan pemerintah DKI

Cara Mencegah Banjir Jakarta

hujan.Hujan di Jakarta pada 1 Januari 2020 tercatat sebagai hujan dengan intensitas tertinggi dalam 150 tahun terakhir.foto: shutterstock

Page 14: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest26 27j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Jakarta, daya tampung badan sungai merosot dari 500 meter kubik per detik menjadi tinggal 200 meter kubik air. Kini kemampuan Ciliwung dan 12 sungai yang mengalir melewati Jakarta tinggal 20 persen dibanding 50 tahun lalu.

Untuk wilayah sungai yang mengalir di antara permukiman, penanganan yang tepat adalah normalisasi dalam pengertian Ahok dengan mengombinasikannya dengan naturalisasi dalam pengertian Anies. Sebab, air harus secepatnya dialirkan ke laut dengan menimbang daya tampung sungai sempadannya dijadikan taman hidup. Cara ini dipakai Jepang ketika menangani Kamogawa di Kyoto. Secara rutin dasar sungai dikeruk untuk menghindari pendangkalan.

Dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, sejarawan Restu Gunawan mencatat pengerukan sungai sebagai bagian dari penanganan banjir dimulai pada 1965. Pemerintah Jakarta membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir setelah air sungai Grogol merendam permukiman anggota parlemen di Jakarta Barat pada awal 1960. Meski acap terkendala kebiasaan masyarakat buang sampah dan terhambat bangunan yang menjorok ke sungai, Kopro rutin mengeruk sungai Krukut dan Cideng yang mengalir ke arah Monumen Nasional. Problem serupa yang tak kunjung tertangani lebih dari 40 tahun.

Sesampainya air di laut pun masalah lain muncul. Air tak bisa langsung menembus

laut secara normal. Daratan di Jakarta Utara kini minus 2,8 meter dari muka air laut Jawa karena turun 7,5 sentimeter per tahun sejak 1975 akibat pengambilan air tanah dan pembangunan gedung yang tak terkendali. Karena itu, di utara Jakarta perlu ada penampungan sementara berupa waduk agar air bisa diatur untuk dialirkan ke laut dengan cara dipompa.

Ketika Gubernur Jakarta dijabat Joko Widodo, ia mengalokasikan Rp 15 miliar membuat waduk Marunda seluas 56 hektare untuk menampung air dari Kanal Timur. Targetnya selesai 2014. Begitu Jokowi naik jadi Presiden pada tahun itu, gubernur berikutnya tak meneruskan proyek ini. Hingga Oktober tahun lalu, waduk Marunda terlihat mangkrak dan penduduk menjadikannya empang.

Menggabungkan normalisasi dalam pengertian Ahok dan naturalisasi dalam pengertian Anies membutuhkan satu hal: pembebasan lahan. Ahok tak terpilih kembali menjadi gubernur setelah ia memindahkan masyarakat yang tinggal di sempadan sungai ke rumah plat karena dianggap merenggut mata pencarian penduduk dari lokasi asalnya. Ahok hendak menata Ciliwung di Kampung Pulo yang dihuni 70 ribu keluarga dan selalu banjir tiap musim hujan. Masyarakat Jakarta di sekitar sungai memilih Anies yang cenderung tak ingin merelokasi penduduk keluar dari sempadan sungai.

Dari keadaan ini, banjir adalah sebuah

peristiwa politik. Permukiman di sekitar sungai tentu

saja tak hanya di Jakarta. Di Depok, Jawa Barat, hingga 2015 saja, setidaknya ada 12 kompleks perumahan yang berada di pinggir sungai besar ini. Belum lagi bangunan lain yang tumbuh di sempadannya. Juga pelbagai industri yang membuang limbah langsung ke sungai Ciliwung. Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail pernah hendak menghentikan pemberian izin pembangunan perumahan di wilayahnya yang bersisian dengan sungai. Tapi niat itu hanya sekadar pernyataan.

Pada kasus seperti ini bukan normalisasi dan naturalisasi yang dibutuhkan menangani sungai, tapi kebijakan politik dan penegakan hukum. Tak hanya menghentikan izin pembangunan kompleks perumahan, tapi menghalau pelbagai industri dari sana lalu menerapkan program normalisasi, yakni mengembalikan sempadan sungai selebar 40 meter. Jarak ideal bangunan ke palung sungai—titik tertinggi daratan dari bibir sungai—setidaknya 15 meter.

Semakin ke Bogor, program penanganan sungai mestinya adalah naturalisasi. Sebab, banjir terjadi ketika volume air melebihi daya tampung badan sungainya. Air membludak karena ia tak terserap sejak di hulu lalu meluncur ke hilir. Kita menyebut air yang masuk ke permukiman dengan istilah banjir, padahal air sedang mencari

jalannya sendiri yang kita rebut menjadi tempat tinggal.

Pembangunan waduk Ciawi untuk menampung air dan sebagai resapan bisa menjadi cara sementara memperlambat laju air. Masalahnya, sepanjang kawasan Puncak yang menjadi hulu Ciliwung dibiarkan menjadi perumahan, vila, dan dirambah penduduk yang mengakibatkan deforestasi, air akan melimpas lebih banyak ke sungai akibat tak terserap pohon. Longsor adalah ancaman lain yang mengintai penduduk di sekitar hulu Ciliwung.

Apa yang dilakukan penduduk desa Cibulao layak ditiru. Mereka mengembangkan kopi di lahan Perhutani. Karena itu mereka terpaksa menanam pohon naungan di atasnya sehingga lahan gersang kembali hijau. Konsep perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cocok diterapkan di kawasan hulu Ciliwung, juga di hulu

sungai mana pun: penduduk di sekitar hutan diizinkan mengelolanya dengan tujuan akhir mencapai keseimbangan ekologis.

Penduduk Cibulao telah membuktikan bahwa pengelolaan hutan di sana bisa menyelamatkan salah satu danau yang menjadi sumber air Ciliwung (Forest Digest edisi Oktober-Desember 2018). Mereka yang mencuri kayu setelah krisis ekonomi, kini memperoleh pendapatan ekonomi dari budidaya kopi.

Pemerintah Kota Bogor yang berada di hilir perlu bekerja keras mengedukasi masyarakat agar tak membuang sampah ke sungai. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor menyebutkan 30 ton sampah dibuang ke sungai ini tiap hari. Inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan warga Desa Bendungan (Forest Digest edisi Januari-Maret 2019) yang memanfaatkan selokan menjadi kolam ikan—karena itu mereka harus menjaganya—layak

diluaskan dan ditiru desa-desa di sepanjang Ciliwung.

Tanpa upaya-upaya seluruh pihak merawat Ciliwung dan 12 sungai lainnya, Jakarta akan selalu terancam oleh banjir tiap kali musim hujan. Apalagi hujan kini makin tak menentu dengan intensitas makin tinggi karena krisis iklim.

Kenaikan suhu bumi akibat pemakaian energi tak terbarukan, aktivitas manusia, konversi lahan, membuat iklim bergeser dan curah hujan menjadi semakin tinggi intensitasnya. Badan Meteorologi, Klimiatologi, dan Geofisika mencatat hujan tahun baru 2020 dengan curah 377 milimeter per hari adalah hujan dengan intensitas tertinggi dalam 154 tahun terakhir. —

Kamogawa.Sungai Kamo atau Kamogawa yang ditata kiri-kanannya di Kyoto, Jepang. foto: shutterstock

Curah hujan (milimeter per hari)

1866

185,1

1996

216

2007

340

2020

377

2008

250

1979

198

1918

125,2

2002

168

2013

>1002016

100-150

2015

277

laporan khusus

Page 15: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest28 29j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Tanaman vetiver begitu perkasa menyerap limbah beracun. Cocok untuk mitigasi bencana karena mencegah longsor.

SUDAH 10 tahun Irma Hutabarat mengenal dan menggeluti vetiver. Tapi baru kali ini tanaman asal Tamil, India, itu populer karena disebut Presiden Joko Widodo sebagai solusi dalam mitigasi bencana atas usul Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana Doni Monardo. Mereka bercakap ketika meninjau banjir dan longsor di Desa Sukajaya, Kabupaten Bogor, pada 6 Januari 2020.

Doni sudah membuktikan keampuhan vetiver ketika menjabat Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Jawa Barat. Ia memimpin pembersihan Citarum yang dijuluki sebagai sungai terkotor di kolong langit karena menjadi tempat segala sampah dan limbah. Ia menanami situ Cisanti yang menjadi hulu Citarum dengan vetiver (lihat foto).

Seyogianya, vetiver tanaman lama dan sudah dibudidayakan di Indonesia. Kita menyebutnya “akar wangi” karena orang Garut dan sekitarnya memanfaatkan akarnya untuk minyak gosok, parfum, dan pengusir nyamuk.

Syahdan, Irma kesengsem vetiver pada 2010 ketika anaknya berbisnis ikan lele. Penyiar televisi ini menengok kolam di Jakarta Selatan yang tak jadi dipakai karena anaknya punya kesibukan lain. Di sana, Irma melihat air kolam itu begitu bersih. Anak sulungnya itu rupanya

Vetiver: Akar Wangi Pencegah Longsor

menanami pinggiran kolam dengan vetiver, atas saran seorang kawannya yang sukses mengubah kali kotor di Bali dengan tanaman ini.

Sejak itu, Irma jatuh cinta pada tanaman ini. Ia pun, yang beralih jadi aktivis lingkungan begitu tak lagi aktif di dunia penyiaran, mempromosikan tanaman itu ke Citarum pada 2015. Ia membeli tanah di Jalan Inspeksi Citarum dan mendirikan rumah yang sekelilingnya ditanami vetiver. Ia juga menanam pinggiran Citarum yang airnya hitam dengan tanaman itu (lihat artikelnya).

Usulan Irma baru diterima ketika Panglima Militer Siliwangi dijabat Letnan Jenderal Doni Munardo. Ia yang membuat Gerakan Citarum Harum untuk membersihkan sungai yang menghalir hingga Laut Jawa sepanjang 269 kilometer itu. Doni setuju menanam vetiver di situ

Cisanti, hulu Citarum di Desa Kertajaya di kaki gunung Wayang—tiga jam dari Bandung. Sementara Irma mengajak banyak komunitas menanam vetiver di beberapa sektor sepanjang Citarum di Bandung. “Sekarang sudah lebih 10 kilometer,” katanya.

Kini, setelah segala sampahnya dikeruk dari dasar danau, sekeliling situ sepanjang lima kilometer hijau dengan vetiver. Berkat tanaman ini pula air Cisanti bening dan tumbuh berbagai macam ikan. Karena itulah Doni—kini Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasinoal—mengusulkan kepada Jokowi agar memakai vetiver untuk menanggulangi bencana.

Vetiver (Chrysopogon zizanioides) bukan tanaman kemarin sore yang fungsinya menyerap racun. Dengan kekuatan akarnya yang seperenam kekuatan baja,

ia bisa menguatkan tanah yang rawan longsor. Di Australia, vetiver juga ampuh menahan api. Ketika sekelilingnya hangus, vetiver tanaman yang kuat dan segera tumbuh begitu api padam.

Kekuatan vetiver ada pada akar. Ia bisa menancap pada tanah sedalam tiga meter. Sementara daunnya yang tipis dan berjela-jela bisa naik hingga 1,5 meter. Maka dengan tumbuh bisa mencapai 4,5 meter, vetiver dipakai masyarakat Asia sebagai tanaman pagar. “Tapi fungsi utamanya adalah menyerap racun,” kata Irma.

Karena itu Irma lebih senang tetap menyebutnya vetiver ketimbang akar wangi. Menyebut rumput ini akar wangi akan menimbulkan asosiasi pemanfaatan tanaman ini untuk parfum, sabun, pelindung kulit, makanan ternak, bahkan bahan dasar yogurt dan sirup, sehingga masyarakat memanennya. Padahal kekuatan vetiver ada di akarnya.

Dengan mengeluarkan resin dan minyak itulah, akar vetiver menghasilkan molum yang bisa menawarkan segala macam racun. Ia juga bisa tumbuh di tanah yang kaya atau miskin hara. Karena itu Raja Thailand setuju dengan proposal Bank Dunia pada 1990 dengan mewajibkan petani menanam vetiver di sawah mereka untuk mengusir gulma dan hama tanaman. Sejak itu, pertanian Thailand mengalami revolusi dan sempat menjadi kiblat pertanian di Asia. Berkat vetiver. Dengan itu pula vetiver terbukti bukan tanaman invasif kepada tanaman lain.

Tak hanya menyerap racun, mencegah erosi, atau dimanfaatkan untuk pengobatan, vetiver secara alamiah juga menjadi tanaman pelindung. Ular, nyamuk, dan binatang melata lain malas berhubungan dengan vetiver karena bau minyak akarnya (lihat artikelnya). Irma Hutabarat sudah membuktikannya. Sejak membangun rumah mungil di tepi Citarum di Bandung empat tahun lalu, tak sekalipun ia bertemu ular.

Irma tak memakai keramik untuk lantainya. Ia menghamparkan begitu saja daun vetiver sebagai alas rumah. Juga atap yang ia susun dari daun vetiver. Kendati hanya beberapa meter dari muka Citarum yang menghitam jika sore karena penuh limbah pasar dan pabrik, di rumahnya tak ada nyamuk. Air di kolam pun bersih. Padahal sumbernya dari aliran Citarum.

Vetiver.Vetiver di bibir danau Cisanti yang menjadi hulu sungai Citarum. Air jadi bening. Kekuatannya 1/6 kali baja.

laporan khusus

Page 16: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest30 31j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Bukan Ciliwung yang jadi penyebab utama banjir Jakarta. Banyak faktor yang harus dibereskan.

BANJIR di Jakarta sudah terjadi sejak 1621. Padahal waktu itu tingkat peresapan air dan kondisi sungai yang mengalir membelah kota ini masih relatif baik. Artinya, banjir Jakarta tak semata karena rusaknya daerah aliran sungai (DAS).

Penanggulangannya pun sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Banjir masih saja terjadi, dan agaknya makin parah hingga merugikan secara ekonomi dalam jumlah besar.

Berbeda dengan empat abad lalu, daerah aliran sungai yang masuk Jakarta saat ini sudah sangat kritis. Luas permukiman lebih dari 51% dari luas DAS (Pramono et al.2015). Akibatnya air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sangat berkurang. Sebagian besar air hujan langsung menjadi aliran permukaan dan menjadi banjir. Solusi mempercepat aliran air menuju ke laut dengan memperbesar kapasitas sungai dan saluran drainase, membuat pasokan air tanah makin berkurang. Akibatnya potensi air tanah menurun, diikuti anjloknya muka air tanah, dan naiknya intrusi air laut.

Memperbaiki daerah aliran sungai juga sudah banyak dilakukan, terutama di sub DAS Ciliwung Hulu dengan menanam pohon dan konservasi tanah serta air. Hasilnya, banjir Jakarta tetap terjadi. Apakah selama ini kita salah dalam melihat dan menangani banjir Jakarta?

Solusi Menangani Banjir Ibu Kota

Kota Jakarta merupakan hilir dari 13 sungai dari arah Bogor yang bermukim Gunung Gede, Pangrango, dan Salak. Selama ini banyak yang mengasumsikan jika hulu sungai Ciliwung diperbaiki, banjir di Jakarta akan reda. Pendapat seperti ini tidak seluruhnya benar karena penyebab banjir di Jakarta tak hanya disebabkan meluap dan rusaknya hulu Ciliwung. Ada 12 sungai lain yang berkontribusi dalam banjir di ibu kota.

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS telah menghitung volume banjir dari semua sungai yang mengalir ke Jakarta dengan metode “curve number”. Metode ini memakai perhitungan kondisi karakteristik DAS seperti penutupan lahan, jenis tanah, kelembaban tanah sebelum terjadinya banjir dan hujan harian maksimum. Hasilnya seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Dari gambar tersebut terlihat bahwa sub DAS Ciliwung Hulu hanya berkontribusi 8% terhadap banjir di Jakarta. Jadi kalau selama ini perbaikan DAS hanya di Ciliwung Hulu maka pengurangan banjir di Jakarta tidak signifikan. DAS Ciliwung sendiri, termasuk bagian hulu, tengah dan hilir memang mempunyai kontribusi yang besar terhadap banjir Jakarta, yaitu sebesar 24%, sedangkan DAS Angke 19%, Pesanggrahan 17%, DAS Krukut dan Sunter masing-masing berkontribusi pada banjir sebesar 13%. DAS Cakung dan

Buaran masing-masing sebesar 9% dan 5%.

Karena itu pengurangan banjir di Jakarta harus dilakukan secara proporsional berdasarkan peta kontribusi banjir di atas. Tak hanya terhadap Ciliwung, penanganan banjir juga mesti dilakukan di 12 sungai lain yang membelah Jakarta.

Sub DAS Ciliwung tengah, hilir, dan 12 sungai lainnya telah tertutup oleh permukiman. Penanaman pohon di areal pemukiman kurang efektif untuk memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah karena ciri pemukiman di daerah ini pada umumnya tidak menyisakan ruang terbuka hijau. Konservasi air yang paling cocok untuk kawasan ini adalah sumur resapan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemerintah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Depok sesungguhnya sudah memiliki peraturan daerah tentang kewajiban membangun sumur resapan. Namun karena penegakan aturan yang lemah, efektivitas sumur resapan jadi rendah. Sementara menerapkan kebijakan sumur resapan tidak bisa dilakukan di Jakarta Utara dan Barat karena dua wilayah ini punya daya serap air sangat rendah akibat kedalaman muka air tanah yang dangkal.

Di kawasan tengah aliran sungai-sungai itu kini sudah tumbuh rumah, kantor, dan kawasan industri yang kedap air. Karena itu, seharusnya, di wilayah ini mesti disediakan areal resapan dengan

membangun sumur resapan di selokan, area parkir, bahkan pinggir jalan tol sehingga air hujan bisa masuk ke dalam tanah secara maksimal.

Pembangunan situ mesti digenjot karena ia satu-satunya cara menampung air hujan. Banjir Jakarta awal 2020, tak hanya karena curah hujan tertinggi dalam 154 tahun, tapi ketiadaan penampung air hujan yang besar itu sehingga melimpas ke permukiman. Pemerintah Jakarta perlu merevitalisasi banyak situ yang sudah mati. Memperbanyak situ tak hanya sekadar untuk menampung air, tapi juga meningkatkan suplai air tanah yang masif diambil oleh maraknya permukiman dan perkantoran.

Cara berikutnya adalah membuat penampungan air di kiri-kanan sungai sehingga air tak cepat meluncur ke laut. Naturalisasi—mengembalikan sungai ke keadaan alamiahnya—di hulu + normalisasi—memperlebar badan sungai—di hilir adalah kombinasi yang harus ditempuh dalam kebijakan mengelola sungai.

Naturalisasi sungai bisa dilakukan dengan mengembangkan kawasan riparian. Tanaman-tanaman di kawasan riparian ini selain bisa menghambat banjir juga menjerat polutan, membuat udara

lebih bersih, meningkatkan populasi biota, baik di perairan maupun di daratan, meningkatkan keindahan di pinggir sungai sehingga menarik masyarakat untuk berekreasi di kawasan tersebut, dan meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar.

Masalahnya, dalam naturalisasi sungai dan pembuatan tampungan air di kanan kiri sungai adalah lahan. Walaupun status lahan di sempadan sungai adalah milik pemerintah, namun kini sudah diokupasi oleh masyarakat sehingga memerlukan kebijakan relokasi yang berakibat pada penyediaan rumah tinggal mereka yang jauh dari sungai.

Setelah lahan sempadan sungai dibebaskan pemerintah daerah harus konsisten melakukan naturalisasi dan menjaga, mengawasi, dan menegakkan aturan jika ada masyarakat yang menduduki kembali sempadan sungai.

Dalam rangka naturalisasi dengan pengembangan zona riparian, penanaman pohon di sempadan sungai sebaiknya memakai jenis-jenis unggulan setempat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi

sehingga masyarakat ikut menjaga dan merawat pohon-pohon tersebut. Lebih jauh lagi, pengembangan zona riparian ini bisa diarahkan untuk tujuan wisata sehingga menguntungkan ekonomi masyarakat sekitar.

Lahan-lahan di sempadan sungai yang telanjur menjadi milik masyarakat, pemerintah yang terlewati 13 sungai itu mesti membelinya. Biaya membeli kembali lahan-lahan itu pasti jauh lebih kecil dibanding kerugian akibat banjir. Kerugian ekonomi akibat Banjir 2020 diperkirakan Rp 10 triliun.

Kewenangan antar daerah merupakan masalah yang menghambat upaya penanganan banjir. Dana kontribusi DKI kepada kota penyangga harus diefektifkan agar penanganan banjir bisa tuntas. Tahun ini dana hibah DKI untuk penanganan sungai mencapai Rp 600 miliar. Dana besar ini perlu perencanaan matang agar pengeluarannya efektif dan efisien.

—Irfan Budi Pramono, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

banjir kalideres.Seorang anak melintas di jalan Kampung Semanan, Jakarta Barat, 7 Januari 2020.

pETA KONTRIBUSI bEBERAPA anAK sUNAI DALAM mEMASOK bANJIR jAKARTA

Kali Angke

19%Kali

Angke Pesang-grahan

Hills

5%

n nDaerah aliran sungai

Kali Krukut

13%

Ciliwung Hilir

7%Kali Sunter

Hilir

10% Kali Buaran

5%

Kali Cakung

9%

laporan khusus

Page 17: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest32 33j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

KENAIKAN suhu udara akibat pemanasan global membuat hamparan es di Himalaya menyusut. Batu-batu sebesar gunung menghangat akibat suhu naik rata-rata 0,09 derajat Celsius hingga 0,12 derajat Celsius per tahun di wilayah Khumbu dan Langtang. Gletser di ketinggian 5.000-6.000 meter dari permukaan laut menyusut dua kali luas Jakarta Pusat per tahun. Ikuti laporan perjalanan Bagja Hidayat yang naik ke Everest Base Camp di ketinggian 5.364 meter pada pertengahan November 2019 dan menyaksikan gurun-gurun padas yang tak lagi memutih.

Everest yang Gersang

F rest D gest

F rest D gest32 33j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan utama

Page 18: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest34 35j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan utama

KEMBALI menjadi pemandu turis mendaki gunung-gunung Himalaya, Domi Lama Sherpa merasakan suhu di Everest Base Camp tak sedingin dulu. Di awal-awal ia menekuni pekerjaan ini, setelah berhenti bekerja sebagai koki di sebuah restoran

di Malaysia pada 2016, laki-laki 26 tahun ini masih merasakan suhu menancap hingga sumsum. “Saya kira akibat perubahan iklim,” katanya.

Domi sebetulnya tak terlalu akrab dengan istilah ini. Ia hanya mendengarnya dari para tetamu yang bolak-balik naik ke Everest—gunung tertinggi di dunia yang berada di Nepal, sebagian India, dan Tiongkok. Domi menjadi sherpa dengan bekerja di sebuah perusahaan pendakian yang berkantor pusat di Kathmandu, ibu kota Nepal. Pergaulan itu yang membuat ia paham Everest yang menjadi tumpuan hidupnya tengah merana akibat iklim yang berubah.

“Gletser masih bisa kita lihat di EBC,” katanya. “Tapi suhu makin hangat dari tahun ke tahun.”

Everest Base Camp adalah titik terakhir yang bisa dicapai oleh pendaki amatir. Tingginya 5.346 meter dari permukaan laut. Saya mencapainya pada 15 November 2019 pukul 16.30, bersama empat orang Indonesia lain. Perlu delapan hari berjalan kaki untuk sampai di sini dari Lukla, desa terakhir yang bisa dicapai dengan pesawat dari Kathmandu. Lukla berada di ketinggian 2.800 meter—setara Surya Kencana di Gunung Gede, Jawa Barat.

Dari sini jalan kaki selama tiga jam menuju Phakding, lalu tinggal semalam sebelum melanjutkan perjalanan sembilan jam ke Namche Bazar di ketinggian 3.500 meter. Di “ibu kota” para sherpa ini, kita perlu aklimatisasi sehingga harus menginap dua malam. Aklimatisasi adalah istilah umum di kalangan para pendaki sebagai proses penyesuaian tubuh dengan ketinggian dan oksigen tipis dengan cara naik-turun bukit ke ketinggian 3.810 meter.

Saya berjalan selama tiga jam ke Hotel View Point di puncak itu, lalu turun ke Desa Khumjung, perkampungan para sherpa di ketinggian 3.700 meter.

Danau Gletser. Danau gletser yang kering dan sungai yang panjang di Periche (5.100 mdpl) pada 13 November 2019.

Page 19: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest36 37j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Aklimatisasi ini perlu karena setelah Namche Bazar saya melanjutkan perjalanan ke Tengboche di ketinggian 4.100 meter, menginap semalam, lalu naik 500 meter ke Dingboche selama delapan jam dengan trek panjang yang turun hingga hampir dasar sungai lalu naik curam di ujung.

Tanpa aklimatisasi, biasanya tubuh gagal beradaptasi dengan ketinggian. Akibatnya adalah kelelahan yang akut, sakit kepala berat, bahkan berhalusinasi. Namanya accute mountain sickness. AMS menyerang siapa saja, pendaki dengan otot liat atau mereka yang bertubuh penuh lemak. AMS juga sangat terpengaruh oleh psikologi. Jika kita jeri dengan tanjakan curam, dingin yang mencekam, AMS biasanya menyerang dengan mudah.

Di Dingboche, air sudah membeku. Suhu pada sore ketika saya sampai ke penginapan di hotel Khumbu turun -5 derajat Celsius. Seperti di Namche, saya menginap dua malam karena harus aklimatisasi ke bukit di belakang hotel yang menjulang 5.100 meter. Beberapa pendaki memilih aklimatisasi ke Chukung Ri, bukit setinggi 5.500 meter.

Setelah Dingboche tak ada lagi aklimatisasi karena perjalanan tinggal dua pos atau dua hari lagi, yakni Lobuche dan Gorakshep. Setiap pos ditempuh dengan jalan kaki selama 8-9 jam, dengan jarak kira-kira 13-15 kilometer. Dari Gorakshep, dari penginapan terakhir, kita mesti jalan kaki tiga jam lagi untuk sampai ke Everest Base Camp. Total perjalanan selama delapan hari itu menempuh 130 kilometer.

Seperti kata Domi, di Everest Base Camp, pada November ketika musim panas hampir berakhir dan Himalaya bersiap menyambut musim dingin, masih terlihat gundukan-gundukan es yang merungkup batu-batu. Dari atas bukit, gundukan-gundukan itu seperti tenda-tenda putih, mirip di padang Arafah saat musim haji. Para pendaki yang sudah memiliki sertifikat dan izin memanjat ke tebing-tebingnya biasanya membuka tenda di sini sebelum naik ke ketinggian 6.000.

Masih ada delapan pos untuk bisa sampai ke pucuk Everest di ketinggian 8.810 meter. Di jalur selatan ini, pendaki akan melewati “The Death Zone” di ketinggian 7.000 sebelum mencapai Hillary Step, celah yang dipakai Sir Edmund Hillary, pendaki asal Selandia

Baru, ketika memanjat ke sana pada 29 Mei 1953. Hari itu dicatat dalam sejarah sebagai hari ketika untuk pertama kalinya manusia bisa mencapai puncak tertinggi di planet ini. Hillary, meninggal pada 2008 di usia 89, naik bersama Tenzing Norgay—sherpa yang menemaninya menaklukkan pucuk itu.

Karena permukaan tanah dan jalur tertutup es, hanya pendaki ahli yang boleh naik ke puncak. Selain harus melengkapi diri dengan sepatu bersol krampon untuk memecahkan gletser, memanjat juga sudah memakai tali dan kapak es, bahkan tangga untuk melewati jurang dan celah dalam di antara dua tebing, atau memanjat tebing tegak. Menurut Himalaya Database, setidaknya 3.000 orang telah naik ke puncak itu setelah 1953. Sebanyak 500 orang di antaranya tewas terjatuh ke dalam jurang, kedinginan, atau terkubur reruntuhan es ketika badai.

Saya bertemu Domi di jalur setelah Tengboche menuju Dingboche pada hari ke-5. Domi sedang memandu seorang pendaki Prancis yang hendak naik ke ketinggian 6.500. Ketika kami bertemu lagi di Lukla setelah ia turun, Domi menunjukkan pendakiannya yang menakjubkan lewat foto-foto di telepon selulernya.

Domi nyerocos menceritakan pendakian itu tanpa sedikit pun terlihat lelah. Padahal tas dan celananya masih berdebu karena baru turun dari Namche Bazar menempuh jalan kaki 8 jam. Tamu Prancisnya yang terlihat ngos-ngosan dengan wajah kuyu.

Suku sherpa memang terkenal sebagai suku terkuat di Nepal. Bermigrasi lima abad lalu dari Tibet ke Khumjung, suku sherpa terbiasa hidup dalam oksigen tipis dan altitud yang kekurangan gravitasi. Sherpa bahkan kini jadi sebutan generik yang merujuk pada arti “pendaki pendamping”.

Penelitian Universitas Southampton, Inggris, pada 2018 menemukan bahwa mitokondria, sel dalam darah yang mendorong oksigen menjadi energi, suku sherpa bekerja lebih efektif ketimbang manusia dari suku lain di dunia. Maka Domi Lama tak terlihat capek sama sekali kendati baru turun dari ketinggian dengan suhu mematikan.

Ketika saya tiba di EBC, suhu menjelang petang itu turun ke 8 derajat Celsius di bawah titik beku. Di ketinggian yang

Jalur Everest. Para pendaki melintas di jalur menuju Thengboche dengan latar puncak gunung Everest.

laporan utama

Page 20: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest38 39j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

dijangkau Domi, suhu drop minus 20. Di Gorakshep saja, desa terakhir di Himalaya, suhu turun 15 derajat di bawah titik beku ketika malam. Pengelola penginapan harus mencampur air bilas toilet dengan minyak agar air tak cepat jadi es.

Bagi Domi, suhu yang membuat mati rasa itu sudah menghangat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penelitian International Centre for Integrated Mountain Development (ICIMOD) yang mengamati suhu di sungai Khumbu sejak 1980 mengkonfirmasi apa yang dirasakan Domi.

Para peneliti gabungan pemerintah Nepal dan Norwegia itu mencatat suhu rata-rata di kaki Everest ini naik 0,09 derajat Celsius per tahun. Akibatnya, hamparan gletser di sini berkurang 24% per tahun antara 1977 hingga 2010 atau seluas 38 kilometer persegi. Luas gletser kian menyusut karena mencairnya es beku itu menjadi dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Luas gletser yang hilang kira-kira hampir sama dua kali luas Jakarta Pusat per tahun.

Pada 2010, ada sekitar 3.810 hamparan es di Himalaya. Gletser adalah sebutan untuk hamparan es seluas kira-kira 1 kilometer persegi. Menurut ICIMOD, di Everest sebanyak 90% gletser berada di ketinggian 4.500-6.500 meter, dengan 65% berada di ketinggian antara 5.000-6.000 meter. Di jalur selatan, ketinggian ini antara EBC dan Camp II, sepanjang gletser Khumbu dan Khumbu Icefall—jalur panjang tempat kuburan pendaki yang tewas akibat badai salju.

Kehilangan es di ketinggian Himalaya ini berdampak naiknya jumlah air di ribuan danau alami sehingga mengancam daerah hilir yang terlewati jutaan anak-anak sungai. Kesimpulan ini diambil tiga peneliti Universitas Postdam, Jerman, yang mempublikasikannya dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences yang terbit 14 Januari 2020. Tiga peneliti membuat 5 miliar simulasi terhadap danau-danau di Himalaya yang esnya mencair kian banyak.

Akibat suhu naik, gletser yang mencair membuat volume air di danau tersebut bertambah dan meruntuhkan moraine—sedimen yang terbawa es lalu mengendap dan menjadi dinding danau. Moraine ini menjadi rapuh ketika terdesak oleh air danau yang melimpas. Dalam perhitungan

para peneliti Postdam, setidaknya ada 5.000 danau yang kondisinya tidak stabil akibat tak kuasa menampung volume air.

Benar kata Domi Sherpa. Semuanya akibat perubahan iklim, pemanasan global.

Penelitian-penelitian lain menguatkan bahwa krisis iklim paling nyata berpengaruh di dataran tinggi Himalaya. Sebagai lokasi penyuplai air untuk 25% populasi mahluk hidup di planet ini, Himalaya begitu riskan dan rentan. Apalagi, kesimpulan banyak penelitian itu menyebutkan bahwa gletser di Everest akan menghilang lebih cepat dalam dua dekade mendatang. Kelak Everest hanya tinggal batu-batu padas yang gersang.

Kegersangan itu sudah terasa sejak dari Thukla di ketinggian 4.500 meter. Lepas dari Memorial View Point—tempat ratusan nisan para pendaki yang tewas ketika hendak mencapai puncak Everest—jalur landai menghamparkan jalan gersang dengan batu-batu coklat. Tak ada lagi pohon kecuali rumput gurun yang menghitam. Hingga Lobuche sampai Gorakshep, pemandangan sama gersangnya. Apalagi di jalur menuju EBC.

Dua lembah dan dua bukit yang terlewati menuju ke sana hanya berupa reruntuhan batu. Membentang, luas,

panjang, tak berujung. Sekeliling hanya batu-batu sebesar gedung DPR, lembah yang dalam, tanah yang berdebu. Puncak-puncak gunung bertudung salju putih, menjulang, jauh, tak terjangkau. Manusia hanya noktah dalam gergasi alam yang maha besar ini.

Para pendaki berjalan pelan, meniti batu satu-per-satu, mengatur napas, dan psikologi yang mengkeret menghadapi semesta ini. Menurut catatan Himalaya Base Trekking, turis yang mendaki Everest lewat Lukla sebanyak 500 orang per hari ketika musim puncak September-November. Sementara pendaki yang naik hingga puncak juga kian bertambah dari tahun ke tahun.

Orang menjadikan Everest sebagai prestise. Mereka berlomba menjadi yang pertama: swafoto pertama di puncak, menikah pertama di puncak, kembar pertama yang berhasil naik ke puncak, dan seterusnya. Pada 2019, Kementerian Pariwisata Nepal menerbitkan 770 izin pendakian ke pucuk Everest.

Sejak Everest dibuka untuk turis umum pada 1993, peminat yang naik ke sana memang meruyak. Dalam buku Into Thin Air, wartawan majalah Outside Jon Krakauer, menulis bahwa tragedi

laporan utama

yak. Sekelompok yak

membawa barang keperluan pendaki dan hotel di Monjo berlatar

gunung Everest.

Page 21: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest40 41j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan utama

everest.Pendaki melewati jalur Monjo dengan latar puncak gunung Thamserku di Himalaya (6.623 mdpl).

Seorang pendaki berjalan di Everest Base Camp, titik terakhir pendaki amatir diizinkan mencapainya, 15 November 2019.

Patung Tenzing Norgay Sherpa di Namche Bazar (3.500 mdpl). Di belakangnya puncak Gunung Everest

Page 22: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest42 43j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

pendakian 1996 memakan korban jiwa karena “kemacetan” di puncak Everest. Ada delapan orang tewas akibat badai salju dan beberapa terjebak di dalamnya. Menurut Jon, yang berada dalam kelimun badai itu, saking banyaknya pendaki yang hendak naik ke puncak, mereka harus antre dan bergantian memanjat sehingga tak bisa menghindari badai karena waktu turun jadi molor.

Di Everest ada istilah “macet Himalaya” yang merujuk pada bertumpuknya pendaki di jalan yang sempit, baik di puncak maupun di jalur menuju ke sana. Di bawah Everest, macet mengacu pada menumpuknya pendaki di jalan sempit karena berpapasan dengan yak atau pendaki lain dari arah berlawanan. Jalan-jalan pendakian selebar 1-2 meter kadang

tak cukup menampung pendaki yang meruyak.

Everest bukan lagi tempat tertutup yang misterius, seperti diceritakan Tenzing Norgay dalam buku Conquering Everest (2011). Terutama sejak ia dan Hillary mengguncang dunia yang tegang karena negara-negara besar sedang berebut pengaruh dalam “Perang Dingin”. Everest kian terbuka setelah bandar udara Lukla dibangun pada 1964.

Para sherpa yang mendapatkan pendidikan di sekolah yang dibangun Hillary di Khumjung mengembangkan bisnis pendakian, guide, restoran, hingga penginapan di desa-desa sepanjang jalur Everest. Juga rumah sakit di desa itu yang membuat kecelakaan pendakian bisa dihitung dan diantisipasi sejak awal.

“Invasi” manusia ke Everest ini menimbulkan masalah serius. Di satu sisi ia menghidupkan ekonomi masyarakat di dataran tinggi Himalaya. Jika dari 500 turis sehari itu 80 persen adalah pendaki amatir yang menghabiskan Rp 20 juta selama 10 hari, ada Rp 1 miliar uang sehari yang berputar dalam bisnis turisme Nepal. Sementara pemerintah Nepal mendapatkan Rp 46,2 miliar setoran dari pungutan izin mendaki ke puncak. Pendaki profesional biasanya menghabiskan Rp 85 juta per orang selama 1-2 bulan.

Di sisi lain, serbuan manusia itu

membuat sampah menggunung. Jika setiap pendaki membawa rata-rata 17,8 kilogram sampah ke dataran tinggi ini, ada 3.300 ton runtah dalam setahun. Apalagi sampah yang dibawa pendaki berupa plastik, tabung oksigen, dan sampah lain yang tak bisa diurai alam. Belum lagi sampah hotel dan kafe sepanjang jalur pendakian. Turisme Everest menyediakan dilema antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Sampah-sampah itu menjadi bagian dari penyebab perubahan iklim. Dampak paling terasa dari sana adalah keterse-diaan air. Tsering Pasang Sherpa, pemilik hotel Everest Inn di Gorakshep, menga-takan air kian sulit didapatkan di sekitar hotel. Ia harus mempekerjakan tiga orang khusus mengangkut air dari Khalapatar

dan gunung-gunung yang jauh. Untuk mendapatkan satu galon air bersih 35 liter, pekerja Everest Inn harus berjalan sekitar dua jam. “Sehari kami menghabiskan 1.500-2.000 liter air,” kata Pasang.

Di Namche Bazar air juga makin sulit. The Guardian melaporkan pada 2018 telah dibangun pipa sepanjang 11 kilometer untuk mengalirkan air dari gunung ke hotel-hotel untuk memenuhi kebutuhan air di kafe dan penginapan. Para petani yang diwawancarai koran asal Inggris ini mengeluhkan kesulitan air untuk tanaman mereka yang berkurang dan tercemar tinja manusia.

Pencemaran adalah problem lain di Everest. Sampah yang menggunung itu tak didaur ulang, tapi hanya ditimbun di dalam tanah sehingga bisa mencemari

air. Para NGO dari seluruh dunia memang datang ke sana untuk mengajari masyarakat memanen air hujan. Tapi kelangkaan air tanah adalah musibah lain di Everest akibat turisme yang naik.

Penelitian ICIMOD pada 2015 menghitung pada 2100 gletser di Everest tinggal 1 persen. Jika itu terjadi, apabila kita gagal mencegah suhu bumi naik akibat pelepasan emisi pada 2050 karena pelbagai sebab pemanasan global, 2 miliar manusia di Asia akan kelaparan, kekurangan air, dan dunia mungkin sepanas neraka... —

laporan utama

everest.Penduduk Himalaya dengan latar puncak gunung Everest di Tengboche (4.100 mdpl).

sampah. Seorang pendaki melintas jalur Gorakshep di ketinggian 5.100 meter menuju Everest Base Camp. Sampah plastik sisa pendaki.

Page 23: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest44 45j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan utama

GUNUNG Everest ditetapkan sebagai titik tertinggi di planet bumi. Acuannya hasil perhitungan Sir George Everest, Surveyor Jenderal Inggris di India, pada 1840. Berkat jasanya itu, namanya dipakai sebagai nama internasional gunung ini. Sementara orang-orang di sekitarnya punya nama

berbeda-beda: Sagarmatha (Dahi Langit) oleh orang Nepal, Deodungha (Gunung Suci) dalam bahasa India, penduduk Tibet menamainya Chomonglungma (Tuhan Ibu), dan orang Cina dengan Zhumulangma. Everest mengukur ketinggian gunung ini memakai rumus trigonometri, dengan dua sudut piramida lalu menarik garis ke permukaan laut.

Everest lalu menetapkan puncak gunung itu 29.000 kaki atau 8.839 meter. Namun, secara resmi ketinggian Everest adalah 29.029 kaki. Menurut laporan majalah Live Science, 29 kaki di belakang itu hanya tambahan saja agar “perhitungan ketinggian Everest lebih meyakinkan”. Sejak itu puncak Everest terus diukur oleh para ahli pelbagai bangsa memakai peralatan modern sesuai zaman. Hasilnya tak jauh dari pengukuran Everest, baik lebih rendah atau lebih tinggi. Gempa bumi dan tumbukan lempeng India serta Asia membuat Everest bertambah tinggi 1 sentimeter per tahun.

Setidaknya 3.000 orang telah sampai ke puncak Everest sejak Sir Edmund Hillary, pendaki Selandia Baru, memulainya pada 29 Mei 1953. Pendaki yang tak profesional datang ke Himalaya hanya sampai Everest Base Camp di ketinggian 5.364 meter. Jika satu orang pendaki menghasilkan 1,9 ton karbon selama naik dan turun dari EBC melalui Lukla, ada 950 ton karbon sehari yang beredar di Himalaya, jika berdasarkan kunjungan melalui bandara Lukla sebanyak 500 turis sehari. Emisi sebanyak itu setara memakai listrik untuk menyalakan televisi selama 38 tahun.

—Sumber: Himalaya Base Trekking, CO2myclimate.org, TNC, CarbonCommentary.com

Jejak Karbon Everest

WAKTU TERBAIK:September-November, ketika musim panas

Jakarta ✈ Kuala Lumpur ✈ Kathmandu 6 jam. Karbon: 1,6 ton per orang

KATHMANDU ✈ LUKLA 45 menit – Karbon: 0,2 ton per orangSelain penerbangan langsung ke Lukla, dari Kathamandu juga ada alternatif naik jip ke bandar udara Manthali selama 5 jam. Dari Manthali baru naik pesawat ke Lukla selama 25 menit. Manthali-Lukla – 25 menit – pesawat kecilJakarta

Kuala Lumpur

Kathmandu1.320 mdpl

LOBUCHE4.910 mdpl

danau gokyo

gokyo5.483 mdpl

kala patthar5.555 mdpl

everest base camp5.364 mdpl

puncakisland6.189 mdpl

puncakmera6.437 mdpl

puncak everest 8.848 mdpl

PHAKDING2.610 mdpl

NAMCHE BAZAR3.443 mdpl

DEBOCHE3.820 mdpl

DINGBOCHE4.410 mdpl

GORAK SHEP5.140 mdpl

LUKLA2.850 mdpl

LUKLA PHAKDING 9 kilometer, 4 jam. Karbon: 8,8 kilogram*Lukla: Desa di ketinggian 2.860 meter yang menjadi pintu gerbang ke Everest. Ketinggiannya setara Surya Kencana di Gunung Gede, Jawa Barat. Jumlah penduduknya hanya 500 dengan sepenuhnya mengandalkan pertanian dan wisata. Jalan utama Lukla hanya 1 kilometer. Lukla terkenal karena bandaranya paling berbahaya di dunia: landasannya pendek dengan ujung-ujungnya jurang dan tebing. Asumsi: Produksi karbon tiap jam jalan kaki 1,1 kilogram untuk bobot tubuh 60 kilogramPhakding: Desa cantik di ketinggian 2.685 meter. Bagi pemula sebaiknya menginap di desa ini untuk aklimatisasi, menyesuaikan tubuh dengan ketinggian dan oksigen yang menipis.

NAMCHE BAZAR DEBOCHE 8 jam. Karbon: 17,6 kilogramDari Namche ke Deboche sebetulnya hanya naik 200 meter, tapi jalurnya panjang dengan trek turun hingga dasar sungai lalu naik sama panjangnya. Sebelum sampai Deboche, pendaki akan melewati Tengboche. Tengboche ke Deboche berjalan turun 25 menit.Tengboche. Di sini puncak Ama Dablam (6.812 meter) dan piramida Everest terlihat sangat jelas. Tengboche terkenal karena di puncaknya berdiri biara Buddha besar dengan para lama sebagai penghuninya. Mereka acap menggelar upacara pada sore menjelang matahari surut.

DINGBOCHE LOBUCHE8 jam. Karbon: 17,6 kilogramJalurnya panjang dan curam, dengan padang batu besa yang luas, dan melewati dua bukit untuk naik ke ketinggian 4.910 mdpl. Thukla: Bukit yang nisan para pendaki yang meninggal. Menurut Himalaya Data Base, setidaknya 300 orang pendaki tewas di Everest oleh pelbagai sebab: kekurangan oksigen atau terkena badai salju.

PHAKDING NAMCHE BAZAR 8 jam. Karbon: 22 kilogram (plus aklimatisasi 4 jam)Melewati Monjo, gerbang kedua Everest. Melewati empat jembatan gantung dengan sungai yang cantik dan jalur yang menanjak dan terjal karena Namche berada di 3.350 meter. Di jalur ini terlihat pucuk gunung Thamserku di ketinggian 6.623 meter.Namche Bazar – 2 malamSering juga disebut ibu kota para sherpa. Fasilitas di sini lengkap: ATM, Internet, kafe, toko peralatan naik gunung, rumah sakit. Pendaki perlu menginap dua malam untuk aklimatisasi dengan naik ke bukit yang di puncaknya ada hotel di ketinggian 3.810 meter.

DEBOCHE DINGBOCHE 9 jam, Karbon: 30,8 kilogram (Plus aklimatisasi 5 jam)Jalur ini landai tapi melewati gurun batu terbuka yang panjang lalu naik curam di ujungnya. Dingboche – 2 malamBerada di ketinggian 4.410 meter. Air telah menjadi es dengan suhu 5 derajat Celsius di bawah titik beku. Di sini perlu tinggal dua hari untuk aklimatisasi dengan naik ke bukit di belakang hotel setinggi 5.300 mdpl. Bisa juga ke Chukung Ri setinggi 5.500 mdpl dengan waktu tempuh 4 jam.

LOBUCHE GORAK SHEP4 jam. Karbon: 8,8 kilogramJalurnya melenakan karena menanjak dan melewati dua bukit. Vegetasi mulai jarang karena Gorak Shep berada di ketinggian 5.100 meter. Air beku sehingga air toilet di penginapan dicampur minyak agar tak menjadi es. Suhu terdingin 15 derajat Celsius di bawah titik beku. Penginapan terakhir menuju Everest Base Camp.

GORAK SHEP EBC2,5 jam. Karbon: 5,5 kilogramMenyusuri punggung bukit jalan setapak untuk sampai ke EBC. EBC adalah kaki Everest tempat terakhir para pendaki amatir diizinkan menginjakkan kaki tanpa krampon, sol pemecah es.

Page 24: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest46 47j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

laporan khusus

F rest D gest

F rest D gest46 47j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Quo Vadis SertifikasiSertifikasi produk hasil hutan adalah jawaban terhadap kecemasan akan punahnya ekosistem planet ini. Keserakahan dan kebutuhan manusia harus dikendalikan karena, seperti kata Mahatma Gandhi, semesta sangat cukup memenuhi kebutuhan kita, tapi tak akan sanggup melayani keserakahan manusia. Banyak inisiatif sertifikasi untuk produk alam berkelanjutan yang muncul dalam 30 tahun terakhir. Tapi justru ia mandek ketika negara lain meniru praktik terbaik yang kita punya.

produksi. Areal produksi hutan

PT Ratah Timber Foto: Dok Ratah Timber

Page 25: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest48 49j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

DALAM masyarakat modern, sertifikasi sudah cukup umur terutama dalam produk kayu. Tanda kualitas produk kayu bisa ditelusuri kembali ke sebuah dekrit Kerajaan Prancis pada 1637. Artinya, lebih dari empat abad lalu,

manusia merasa perlu kayu diberi label untuk memudahkan identifikasi dan pelacakannya.

Sertifikasi kehutanan berkelanjutan adalah cabang sertifikasi pihak ketiga yang masih cukup muda. Pada akhir 1990, SmartWood, inisiatif oleh Rainforest Alliance, menerbitkan sertifikat kehutanan berkelanjutan pertama se-Indonesia. Tak lama kemudian, inisiatif internasional (Forest Stewardship Council) maupun nasional dalam bentuk Lembaga Ekolabel Indonesia muncul paralel dan mengembangkan standar-standar sertifikasi kehutanan berkelanjutan nasional dan internasional.

Sertifikasi dijalankan oleh pihak ketiga, yakni industri jasa yang memverifikasi produk dan proses produksi barang dari alam, seperti keamanan dan kualitas pangan, praktik manajemen, ketenagakerjaan, dan standar lingkungannya. Industri ini mensyaratkan audit on-site oleh organisasi yang bebas dari kepentingan, baik pembeli maupun penjual. Dalam agribisnis, sertifikasi pihak ketiga menjadi institusi kunci untuk menegakkan standar yang bersifat independen dari produsen dan dari pemerintah

Kini, tiga dekade kemudian, puluhan inisiatif sertifikasi berkelanjutan (sukarela maupun wajib) telah aktif di Indonesia. Antara lain dalam komoditas biomassa, karbon, pariwisata, dan kelapa sawit. Selain itu, sertifikasi kehutanan berkelanjutan juga mengkatalisasi pendekatan dan inisiatif baru untuk memperbaiki praktik-praktiknya, termasuk sertifikasi bertahap, verifikasi legalitas kayu, dan Nilai Konservasi Tinggi maupun Stok Karbon Tinggi.

Proliferasi inisiatif-inisiatif ini, dalam banyak wujud dan tersebar di

banyak tempat, menunjukkan minat Indonesia yang serius dan beragam dalam bisnis sertifikasi berkelanjutan. Apa yang bisa kita dipelajari dari kenaikan, atau mogoknya, sertifikasi kehutanan berkelanjutan di Indonesia?

Di satu sisi, sertifikasi kehutanan berkelanjutan tidak mampu menyelesaikan seluruh isu sosial, lingkungan, legalitas, terkait kehutanan. Kenyataan ini mengompori debat berkelanjutan yang berporos pada definisi sustainability bercampur personal incredulity, dan mempertentangkan praktik kehutanan dan sertifikasi kehutanan berkelanjutan. Hasilnya debat ini membiarkan kehutanan berkelanjutan ke tenaga lapangan yang

kurang kompeten. Polarisasi ini juga melampaui ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya: dari ‘toil-to-the-top’ ke ‘race-to-the-bottom’.

Ada enigma dalam mogoknya Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yang mengembangkan standar-standar sertifikasi kehutanan berkelanjutan melalui keterlibatan intensif para pemangku kepentingan. Apakah karena LEI tidak mampu melibatkan para pemangku kepentingan dari luar negeri sehingga tidak bisa menaklukkan dunia “Barat”? Atau karena, seperti beberapa berpendapat, pemangku kepentingannya belum siap bergerak bersama konstituen lainnya?

Padahal, pemerintah Indonesia telah mendirikan standar wajib yang memperkuat sertifikasi kehutanan berkelanjutan secara signifikan melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan program sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).

SVLK bisa diklasifikasikan sebagai generasi berikutnya dari standar lacak-balak. Saat ini SVLK menjadi “gold standard” sertifikasi kehutanan negara lain. Tentu saja, ini bukan prestasi sembarangan.

Juga Kerjasama Sertifikasi Kehutanan (KSK) Indonesia. Didirikan pada akhir 2011, KSK mengembangkan standar untuk pengelolaan hutan dan lacak balak

melalui “metode LEI” yang melibatkan para pemangku kepentingan lokal. Akhir 2014, KSK secara resmi disahkan sebagai perwakilan lokal dari Programme for The Endorsement of Forest Certification.

Sertifikasi kehutanan berkelanjutan bahkan menjadi asas bagi inisiatif sertifikasi berkelanjutan di komoditas lain, seperti inisiatif Indonesian Sustainable Palm Oil. ISPO adalah implementasi “metode LEI” yang menggarap keahlian juara-juara lokal. Berdasar penilaian cepat beberapa indikator sosial dan lingkungan, legalitas standar baru ISPO lebih ramah dan ketat bagi penggunanya. ISPO mampu memuat komponen-komponen terbaik dari standar lain maupun keprihatinan

nasional dan internasional terkait persawitan. Bisa jadi, ISPO juga menjadi salah satu “gold standard” sertifikasi keberlanjutan.

Jadi, quo vadis sertifikasi kehutanan berkelanjutan Indonesia setelah tiga dekade? Sejarah panjang itu membuktikan bahwa Indonesia mampu mengakui dan menghadapi isu-isu terkait kehutanan.

—Bart van Assen, Indonesian Auditor Network

Kayu bulat.Tempat penimbunan kayu hutan alam di provinsi Jambi, di penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.Foto: Asep Ayat

laporan khusus

Page 26: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest50 51j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

SERTIFIKASI adalah muara kritik terhadap kerusakan lingkungan dan kepentingan industri yang mengolah hasil-hasil sumber daya alam. Ketika kebijakan teknokratik Orde Baru melirik hutan sebagai sumber menumbuhkan ekonomi

setelah Indonesia lepas dari revolusi dan huru-hara politik, di situlah awal mula kerusakan hutan dan lingkungan. Hutan diserahkan kepada industri—lokal maupun asing—untuk menghasilkan pajak, membuka lapangan pekerjaan, dan efek-efek pengganda ekonomi lainnya.

Selain minyak, Indonesia mengalami apa yang disebut “bonanza kayu”. Hutan hujan tropis yang menjadi rumah pohon-pohon kuat dan berkualitas dieksploitasi untuk diambil kayunya, dijual ke mancanegara. Tanpa pengawasan yang tegas dan keras dalam menegakkan hukum lingkungan, ilmu silvikultur, hingga manajemen hutan, rimba Indonesia merana. Kini 34 juta hektare tutupan hutan hilang dan 49% hewan endemik lenyap.

Dari situ tuntutan terhadap pengawasan pengelolaan hutan lebih ketat muncul dan marak. Dimulai pada Konferensi Stockholm 1972 lalu memuncak pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro Brazil pada 1990, tarik-menarik dua kepentingan itu mengerucut pada kesepakatan menghentikan deforestasi, karena pembangunan mesti didekati dengan paradigma kelestarian lingkungan.

Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO) dengan sigap membahas isu ini dalam pelbagai pertemuan mereka. ITTO kemudian mendeklarasikan target pencapaian pengelolaan hutan secara lestari dan mempublikasikan prinsip dan kriteria yang disepakati oleh seluruh

anggotanya. Salah satu caranya adalah dengan

labelisasi hasil hutan agar kayu tak dibabat sembarangan, agar tumbuhan yang ada di hutan tak dieksploitasi serampangan. Isu pembalakan liar, waktu itu, sedang gencar didengungkan dan Indonesia salah satu negara tropis yang paling disorot dalam soal ini. Industri kehutanan pun terpukul dan merosot. “Isunya bahwa 80% kayu dari Indonesia adalah ilegal,” kata Rufi’i, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tiga tahun kemudian, para aktivis lingkungan, organisasi masyarakat, pedagang kayu, dari 25 negara sepakat mendirikan Forest Stewardship Council yang berkantor pusat di Oaxaca, Meksiko—sebelum pindah ke Bonn, Jerman, pada 2003. FSC adalah lembaga nirlaba penilai hutan dan hasil hutan yang diakui secara internasional. Perdagangan kayu atau apa pun produk yang dihasilkan dari hutan, harus mendapat sertifikat FSC jika ingin diterima di pasar global.

Sebagai negara yang disoal dalam deforestasi, urusan sertifikasi hutan dan hasil hutan juga merembet ke Indonesia. Begitu FSC berdiri, Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1978-1993, Emil Salim, dan Menteri Kehutanan waktu itu, Djamaludin Suryohadikusumo memperoleh mandat untuk memfasilitasi terbentukya berdirinya Kelompok Kerja Lembaga Ekolabel Indonesia. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyiapkan tim ahli, yang terdiri dari perwakilan universitas yang memiliki fakultas atau jurusan kehutanan, untuk menjadi “lawan tanding” diskusi Pokja dalam menyusun Standar Pengelolaan Hutan Lestari, Prosedur dan Sistem Pengambilan Keputusan Sertifikasi, serta Sistem Pengajuan Keberatan atas keputusan sertifikasi.

Setelah berproses selama lima tahun, tepatnya pada 6 Februari 1998, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) berdiri. Inilah lembaga non pemerintah pertama yang didirikan melalui proses konsultasi dengan pemerintah, LSM, pengusaha, dan masyarakat. Mereka terlibat dalam penyiapan kelembagaan maupun penentuan standar penilaian, seperti standar sertifikasi untuk hutan alam, hutan

tanaman, hutan berbasis masyarakat, dan sertifikasi lacak balak.

LEI dideklarasikan sebagai lembaga akreditasi, yang menyediakan penilaian bagi lembaga sertifikasi serta pelatihan bagi asesor. “Waktu itu kami yakin bahwa sertifikasi akan membuka peluang pasar bagi produk kehutanan kita, karena pasar mulai sadar arti kelestarian lingkungan,” kata Staf Ahli LEI Jajag Suryo Putro.

Hingga 2002, hanya sertifikasi FSC dan model LEI yang berkembang di Indonesia. Dua skema atau rejim ini menggunakan pendekatan sukarela, yang pada saat itu, dianggap merupakan pendekatan terbaik bagi sistem sertifikasi karena akan meniadakan bias kepentingan. Sebab, prinsip sertifikasi adalah tidak diskriminatif dan meniadakan kemungkinan boikot atas produk hutan

dari negara-negara produsen kayu. Sebelum 2002, sertifikasi wajib hanya

mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 09.1/Kpts-II/2000 tentang pedoman pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) untuk bupati dan gubernur. Tata aturan ini belum secara detail mengatur teknis sertifikasi. Baru pada 2002, sertifikasi untuk industri hulu diberlakukan detail dan menjadi syarat

Demi Pasar dan LingkunganPasar dan paradigma pengelolaan hutan menuntut sertifikasi untuk menjamin legalitasnya. Belum menyentuh keperluan masyarakat.

produksi.Areal produksi PT Ratah Timber.Foto: Dok Ratah Timber

laporan khusus

Page 27: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest52 53j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

perpanjangan izin serta laporan kinerja. Sertifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang tak berpihak kepada pemerintah maupun dibayar oleh pemegang konsesi hutan.

Masalahnya, wajib maupun sukarela belum mampu meredam isu pokok sertifikasi: deforestasi. Penelitian-penelitian yang terbit setelah 2000 menunjukkan bahwa laju tutupan hutan Indonesia terus turun. Dalam Illegal Logging and Deforestation in Indonesia (2004), Tacconi menyebutkan bahwa hutan Indonesia berkurang 57,3 juta hektare dalam 40 tahun sejak 1950. Dari luas itu, pembalakan liar adalah faktor penyumbang deforestasi terbanyak.

Menurut Rufi’i, dengan fakta itu pemerintah lalu mengembangkan sertifikasi lacak balak karena industri hulu saja tak cukup dalam menjamin seluruh proses berjalan sesuai manajemen hutan yang lestari. Industri hilir, penerima kayu, juga harus mendapat sertifikat agar sumber kayu bisa dicek asal-usulnya. Pada 2009, muncul apa yang disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Tuntutan negara penerima kayu Indonesia yang umumnya dari Uni Eropa membuat SVLK lebih cepat terbit.

Kenyataannya, SVLK tak serta-merta membuat produk kayu Indonesia dihargai lebih di pasar internasional. Negara-negara penerima itu masih bersandar pada sertifikasi sukarela semacam FSC. Selain LEI dan FSC, muncul Programme for the Endorsement of Forest Certification, lembaga sertifikasi yang berkantor di Jenewa. “Sejak 2011, di Indonesia kami memberikan sertifikat kepada 32 industri seluas 4 juta hektare,” kata Dradjad Wibowo, anggota Dewan PEFC.

Toh, meski banyak jenis dan ragam sertifikasi, luas hutan yang mendapat label lestari di Asia paling rendah jika dibandingkan di Amerika Utara (36% dari luas hutannya), Amerika Latin (1,2%) Eropa dan Rusia (10%), Asia (1,2%) dan Afrika (0,6%). Sifat wajib dan sukarela itu yang membuat industri mendahulukan sertifikasi wajib, padahal produk yang berlaku di pasar global yang memiliki sertifikasi voluntari. “Yang voluntari pun hanya beberapa kasus saja bisa mendongkrak harga jual,” kata Herman Prayudi dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, dalam beberapa kasus di Papua dan Surabaya, masih memergoki kayu yang hendak dijual ke luar Indonesia mendapat cap SVLK yang palsu. Para pengusaha kayu memalsukan label SVLK untuk kayu-kayu yang diambil dari lahan yang bukan konsesinya atau dari hutan-hutan adat.

Sertifikasi memang diberlakukan juga untuk hutan hak dan hutan milik. Beberapa kelompok perhutanan sosial sudah mendapatkan sertifikasi FSC. Bramastyo Nugroho, dosen Fakultas Kehutanan IPB, tak setuju SVLK dan PHPL dibebankan kepada hutan rakyat atau hutan hak karena akan menjadi beban pemiliknya. Akibatnya, dalam beberapa kasus, para petani hutan kesulitan dalam memenuhi ketentuan ini.

Para petani tersebut boro-boro bisa menjual produk hutan yang bersertifikat. Jika semakin sulit, petani akan terdorong mengganti tanaman hutan dengan tanaman lain yang lebih mudah menjualnya. “Di Wonosobo, kayu sengon ditebang dan diganti salak karena petani kesulitan memenuhi syarat sertifikasi,” kata dia.

Harga yang mahal, dan proses yang berbelit, juga kemampuan audit, dan kesadaran pentingnya manajemen hutan yang terawasi, membuat sertifikasi hutan alon-alon tak kunjung kelakon. “Kendala terbesar dalam sertifikasi adalah membangun tim untuk melaksanakan prosedur dengan konsisten dan benar,” kata Jajag.

Industri-industri besar sudah coba memakai instrumen sertifikasi untuk mendorong terbukanya pasar bagi produk mereka, baik kayu maupun olahannya. Meski begitu, mereka sepakat sertifikasi bukan untuk mendongkrak harga karena sertifikasi lebih kepada menaikkan kepercayaan pembeli bahwa kayu yang mereka olah telah diketahui prosedur mendapatkannya. “Bagi kami sertifikasi juga mendorong manajemen perusahaan lebih baik,” kata Rahardjo Benyamin, Komisaris Utama PT Ratah Timber, perusahaan pertama yang mendapatkan sertifikasi hutan lestari pada 2005.

Sementara bagi Asia Pulp & Paper, perusahaan pulp dan kertas terbesar yang menjadi bagian Sinar Mas Group, sertifikasi mendorong mereka untuk

menghentikan pengambilan kayu dari hutan alam. Sejak 2013, mereka hanya mengambil kayu dari hutan tanaman. “Pabrik, pemasok, dan seluruh perusahaan menuju 100% memakai hutan tanaman,” kata Chief Sustainability Officer Sinar Mas Elim Sritaba. Selain SVLK dan PHPL, Sinar Mas mendapatkan PEFC pada 2010.

Bagi masyarakat, pemilik kayu

perorangan, sertifikasi agaknya belum memberikan faedah bagi peningkatan nilai ekonomi kayu mereka. “Sertifikasi wajib atau sukarela,” kata Edi dari KTH Wonolestari Lumajang, “Belum ada manfaatnya buat rakyat.”

—Libriana Arshanti, Fitri Andriani, Dewi Rahayu, Siti Sadida Hafsyah,

Wike Andiana, Fairuz Ghasiani

Produk.Peralatan dapur 365 diproduksi oleh PT. KWaS sebagai industry furniture yang telah tersertifikasi FSC.

laporan khusus

•••

Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, KLHK, 2019

Page 28: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest54 55j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

FOREST Stewardship Council (FSC) didirikan pada 1993. Berkantor pusat di Bonn, Jerman, ia adalah jawaban atas polemik deforestasi dan degradasi hutan antara aktivis lingkungan dan pebisnis global. Perdebatan itu memuncak pada Konferensi Tingkat Tinggi

Bumi tahun 1990 di Rio de Jenairo, Brazil. Setelah konferensi itu, para pelaku

lingkungan sepakat perlunya kemitraan untuk menjaga keberlanjutan hutan, sekaligus membuat langkah strategis memanfaatkan mekanisme pasar untuk merangsang timbulnya gerakan kesadaran lingkungan. Kini FSC punya 46 kantor cabang nasional dan 6 regional.

FSC berdiri sebagai organisasi nirlaba yang berbasis keanggotaan dengan misi mempromosikan pengelolaan hutan yang ramah lingkungan, bermanfaat secara sosial, dan berkelanjutan secara ekonomi. Penilaian FSC bersifat sukarela dengan menerapkan 10 prinsip:1. Memenuhi aturan yang berlaku baik

global, nasional, dan lokal2. Memiliki hak pengelolaan yang sah

dan legal3. Menghargai hak tradisional atau adat4. Menghargai kemapanan dalam

masyarakat dan pemenuhan hak dasar pekerja

5. Menjaga suberdaya alam agar bermanfaat secara berkelanjutan

6. Mengelola dan mengurangi dampak ekologis

7. Membuat dan melaksanakan rencana pengelolaan

8. Mengawasi secara rutin terhadap dampak pengelolaan hutan terhadap tumbuhan, satwa, tanah, dan air.

9. Pemeliharaan hutan dengan nilai konservasi tinggi

10. Mengelola hutan tanaman untuk

mengurangi tekanan terhadap hutan alam.

Sepuluh prinsip tersebut diturunkan menjadi international generic indicator (IGI) yang berlaku secara global. IGI lalu diadaptasi menjadi FSC Standar Nasional yang disusun oleh Standard Development Group yang beranggotakan pemangku kepentingan masing-masing negara untuk menjamin kesesuaian konteks dan penerimaan prinsip FSC di setiap negara. Standar FSC berlaku untuk semua bentuk pengelolaan hutan: alam, tanaman, rakyat/perhutanan sosial, serta produk hutan baik barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) maupun jasa lingkungan hutan.

Standar Nasional FSC untuk Indonesia dibangun bekerja sama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan saat ini dalam tahap akhir penyelesaian sehingga tahun bisa diberlakukan Perum Perhutani merupakan unit manajemen hutan pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikasi FSC pada 1999, disusul PT Diamond Raya Timber di Riau pada 2001.

Hingga 2019, total luas hutan yang telah mendapatkan sertifikasi FSC di dunia adalah 201.887.000 hektare, sedangkan di Indonesia seluas 2.955.291 hektare. Luas tersebut meliputi 20 unit hutan alam, 7 unit hutan tanaman. Sedangkan untuk hutan berbasis masyarakat sebanyak 13 unit, dengan luas lebih dari 28.000 hektare.

Tidak hanya produk berbasis kayu yang telah mendapatkan sertifikasi FSC di Indonesia, pengelolaan hutan non-kayu berbasis masyarakat pun telah mendapat-kannya, yakni Kelompok Mitra Pengaman Hutan Sesaot di Lombok untuk komoditi jasa lingkungan dan Perkumpulan Petani Rotan Katingan. Dalam waktu dekat, karet alam, bambu, jasa lingkungan keaneka-ragaman hayati, dan karbon, juga akan mendapatkan sertifikat FSC.

Khusus untuk pengelolaan hutan dengan skala kecil dan intensitas rendah, FSC menerapkan skema SLIMF (small

or low intensity managed forest). Termasuk dalam skema SLIMF ini adalah hutan rakyat. Di Asia Pasifik, FSC mengembangkan standar khusus pengelolaan hutan untuk usaha kecil. Standar ini hanya untuk individu petani dengan maksimal lahan adalah 50 hektare. Dengan standar ini, petani bisa mengakses skema sertifikasi dengan lebih mudah.

FSC juga memiliki sertifikat lacak balak (FSC-Chain of Custody) yang berguna untuk memastikan industri maupun pedagang memakai dan menjual bahan baku dari hutan yang tersertifikasi FSC. Industri yang telah disertifikasi dengan skema ini lebih dari 40.700 unit di dunia, dan 317 unit di Indonesia. Meliputi produk kayu berupa panel dan gergajian, furnitur,

kertas, kemasan kertas, dan produk lain yang memakai bahan baku kayu.

Produk yang telah tersertifikasi standar

FSC bisa memakai label FSC untuk membedakannya dari produk lain yang belum tersertifikasi. Untuk menjaga kredibilitas labelnya, FSC mempunyai standar merek dagang sebagai panduan menggunakan label yang berlaku di seluruh dunia.

Penilaian sertifikasi FSC di lapangan dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi oleh Assurance Services International (http://www.asi-assurance.org/s. Di Indonesia ada delapan lembaga yang sudah memiliki akreditasi ini.

Bagi hutan rakyat, sertifikasi juga bisa memberikan manfaat tambahan. Salah satunya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan. Tidak saja untuk pasar global juga untuk pasar dalam negeri. Superindo, retail besar di Indonesia, telah menyediakan produk peralatan dapur dari kayu dengan merek 365 yang berlabel FSC.

Produk 365 diproduksi oleh PT KWaS. Kayunya dipasok oleh PT Sosial Bisnis Indonesia (SOBI) yang mengelola hutan rakyat bersama Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) di Kulonprogo. Semua rantai telah mendapatkan sertifikasi FSC. Dengan menerapkan standar FSC bersama PT SOBI, pengelola hutan rakyat menda-patkan manfaat berupa harga yang lebih baik. Selain itu, dengan standar FSC yang ketat, pengelola hutan rakyat juga menjadi sadar pentingnya menerapkan standar keselamatan untuk penebangan, sehing-ga prosedur penebangan yang standar keamanan pun diterapkan, misalnya, pema kaian perlengkapan alat pelindung diri yang wajib dipakai selama bekerja.

Anggota KWLM juga diwajibkan menanam tiga bibit pohon, sebagai pengganti tiap pohon yang

ditebang. Koperasi menyediakan bibit secara gratis. KWLM telah membagikan lebih dari 20.000 bibit di lahan anggotanya di enam kecamatan.

Selain KWLM, hutan rakyat tersertifikasi FSC yang mendapatkan manfaat sertifikasi secara ekonomi hutan yang dikelola PT Xylo Indah Pratama di Sumatera Selatan. Mereka memasok bahan baku produk pensil ke PT Faber-Castell yang dipasarkan untuk pasar global maupun lokal.

—Indra Setia Dewi, Manajer Komunikasi dan Pemasaran FSC

Dari Label Turun ke HutanForest Stewardship Council merupakan sertifikasi hutan dan hasil hutan berskala internasional. Meningkatkan manfaat ekonomi petani.

laporan khusus

hasil hutan.Petani di Lumajang, Jawa Tengah, membawa pakan ternak dari hutan sosial.Foto: Riandi Eko Priantoro

Page 29: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest56 57j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Sertifikasi hutan dan hasilnya mandek setelah tiga dekade. Apa yang harus kita perbuat?

It is important to understand that the values embedded in all of the different certification assessments will determine how effectively an assessment can determine social and natural and system sustainability.

TIAP kali membicarakan sertifikasi, selalu muncul pertanya “Apakah sertifikasi hutan sudah mencapai tujuan utamanya, yaitu berkontribusi secara signifikan atas pengelolaan hutan secara lestari?” Pertanyaan ini biasanya berentet dengan

pertanyaan lain yang berkaitan dengan kerja sama antar pengembang sistem sertifikasi hutan. Saya sarikan beberapa: • Apakahsemangatuntukduduk

bersama antar pengembang sertifikasi untuk mencapai pengelolaan hutan lestari masih bergelora?

• Kenapatidakterdengaradaforumdiskusi informal atau formal yang digulirkan secara rutin di antara Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI),

Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia, Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC),

pengampu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dan Badan Standardisasi Nasional/Komite Akreditasi Nasional?

• Jikaforumituada,bukankahlebihbaik jika hasil obrolan para pemangku mandat tersebut diwartakan secara luas ke para pihak di seluruh Nusantara?

• Apakahkekuatandanpeluang(strengths and opportunities) pengembangan dan pelaksanaan sertifikasi hutan di Indonesia pernah dirumuskan bersama? Lalu, mengerucut menjadi rencana kerja bersama?

• Apakahkelemahandantantangan/ancaman (weaknesses and threats) pernah diinventarisasi dan

didiskusikan cara penanggulangannya, secara bersama-sama juga?

Jika semua pertanyaan ada jawabannya”, ke mana program sertifikasi di Indonesia akan dibawa? Apakah dalam soal sertifikasi hutan ini kita menganut paham free fight liberalism?

Beberapa pertanyaan di atas merupakan sebagian kecil dari kegundahan yang menyeruak di berbagai forum obrolan yang mendiskusikan pengelolaan hutan dan lahan secara lestari. Tentang apakah kegundahan para pihak tersebut menjadi perhatian para pelaku dan pemegang

Nasib Sertifikasi Hutan Indonesia

SWOT Pengembang Sistem Strengths Weaknesses Opportunities Threats

Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu/SVLK

Forest Stewardship Council/FSC

Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC)

Dan lain-lain

mandat sertifikasi hutan, kita tidak pernah tahu dan paham. Tidak ada secuil pun informasi tersedia di jagat nyata dan maya yang bisa menjelaskan soal ini.

Analisis SWOTMungkinkah analisis SWOT

bisa dijadikan sarana menilai dan mendudukkan posisi sertifikasi hutan di

rotasi tebang.Seorang penduduk berada di bawah tegakan pohon di Wonosobo, Jawa Tengah Foto: R. Eko Tjahjono

laporan khusus

Page 30: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest58 59j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Fitur Kunci Ranking

1 2 3 4

Kemudahan memperoleh sertifikat SVLK LEI FSC IFCC

Kompleksitas Persyaratan FSC IFCC LEI SVLK

Kualitas dari Standar FSC IFCC LEI SVLK

Permintaan dari Pasar Produser Kayu SVLK FSC IFCC LEI

Permintaan dari pasar kayu (end buyer) FSC IFCC SVLK LEI

Memberi panduan bermanfaat bagi industry dan pemegang hak konsesi hutan FSC LEI IFCC SVLK

Citra logo FSC IFCC SVLK LEI

Penting bagi kondisi Indonesia SVLK FSC LEI IFCC

Sesuai dengan kondisi Indonesia LEI SVLK FSC IFCC

Disukai oleh para pihak SVLK FSC IFCC LEI

Strengths [S]S1: Price Premium.S2: Diferensiasi produk.S3: Pengelolaan Hutan yang lebih baik.

Weakness [W]W1: Proses audit mahal.W2: Proses pengelolaan dan monitoring rumit.W3: Waktu pemanenan menjadi lebih lama.W4: Kemampuan tata kelola hutan yang rendah di tingkat para petani hutan.

Opportunities [O]O1: Pembeli lebih banyak.O2: Terlibat dalam jejaring pasar yang lebih luas.

Strategi Maxi-Maxi:• Meningkatkan hubungan antara petani hutan

dengan pembeli kayu.• Meningkatkan kualitas dan jumlah kayu yang siap

dijual untuk mengundang lebih banyak pembeli.• Tetap menjaga hutan dikelola secara lestari

mengikuti kriteria FSC.

Strategi Maxi – Mini:• Mengundang lebih banyak anggota agar biaya

sertifikasi tidak terlalu berat. • Mencari dukungan dari pembeli (seperti penyediaan

uang muka pembelian kayu).• Mengorganisir kelas-kelas pelatihan untuk para

petani hutan (baik oleh perusahaan maupun oleh institusi pemerintah).

Threats [T]T1: Tidak ada dukungan pendanaan dari donor.T2: Fluktuasi harga kayu.T3: Pengunduran diri anggota.

Strategi Mini – Maxi:• Mengupayakan agar biaya sertifikasi dapat

diimbangi dengan harga kayu bersertifikat. • Bekerja sama dalam jangka panjang dengan

berbagai perusahaan yang mendukung sistem FSC.• Mengikuti perkembangan harga kayu dan

memprediksi perkembangan pasar kayu bersertifikat.

Strategi Mini – Mini:• Mencari dukungan pendanaan dari organisasi lain.• Mengumpulkan biaya keanggotaan organisasi petani

hutan.• Melakukan diversifikasi pendapatan petani hutan.• Menyusun aturan internal kelompok tani.

Fitur Kunci Tata Kelembagaan

Environmental-Private (FSC)

Hybrid private-public (LEI)

Producer-private (IFCC) State

Pembuat Keputusan Environmentalist Academics Land owners Government

Keterlibatan pemerintah Tidak ada Sebagian Terbatas Seluruhnya

Pendukung Utama LSM Lingkungan Tidak ada Industri Kehutanan dan perkayuan

Pemerintah

Cakupan Internasional Sebagian besar Nasional (Indonesia)

Internasional Unit Eropa dan Nasional

Keberterimaan Sertifikat Internasional Nasional ( Internasional Unit Eropa dan Nasional

Brand Image Industry Sukarela; Kuat Sukarela; Lemah Sukarela: Cukup Kuat Wajib; lemah

Penegakan Hukum Tidak Tidak Tidak Ya

kancah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia? Dapatkah analisa ini menjadi titik tolak dan sarana untuk menyusun strategi ke depan?

Pada tabel di halaman sebelumnya ada beberapa usulan metode yang dapat digunakan untuk merespons pertanyaan-pertanyaan di atas.

Jika data telah terkumpul, mari kita analisis strategi untuk menyusul kembali dan mencapai tujuan bersama sertifikasi hutan.

Saya telah berusaha mencari data sekunder tentang SWOT dari beberapa

skema sertifikasi. Walau tersedia, tidak semua data dan informasi yang saya butuhkan tersedia untuk mengisi Tabel.

Sebagai penghiburan, ada sebuah teladan: Seb analisis SWOT Hoang et.al [3]. Mereka menganalisis implikasi sertifikat FSC atas kelompok petani hutan di Vietnam memakai SWOT.

Teladan analisis dan usulan kerja ke depan dalam cakupan yang sempit ini (analisis SWOT sertifikasi hutan atas kelompok tani) bisa menjadi titik tolak bagi analisis yang sama untuk setiap skema sertifikasi yang ada di Indonesia. Bahkan

bisa jadi bahan untuk menyusun strategi bersama penerapan sertifikasi hutan untuk kejayaan dan kesejahteraan bersama.

Bukankah item yang ada di setiap S, W, O, T di dalam studi di Vietnam tersebut mirip dengan apa yang menjadi perhatian kita di Indonesia?

Penilaian Para Pihak Di luar SWOT yang menilik hal-hal

internal (kekuatan dan kelemahan) serta hal eksternal (peluang dan ancaman) dari setiap skema sertifikasi hutan, baik juga kita mendengar berbagai pendapat yang selama ini tersedia dan dilaporkan dalam bentuk tulisan akademik.

Menurut Pratiwi et. al [4] performa skema sertifikasi dapat diurutkan berdasarkan ranking seperti di bawah ini.

Sementara Wibowo and Glessen melakukan analisis atas keempat skema sertifikasi hutan dengan beberapa fitur kunci di bawah ini.

Dari gambaran tersebut, Wibowo dan Glessen membuat prediksi ke depan, di antaranya terkait semakin mengerucutnya skema sertifikasi ke beberapa skema yang menguat. Jika fitur kunci, baik dalam analisis Wibowo dan Glessen, maupun dalam analisis Pratiwi et. al, terisi oleh substansi yang semakin mirip, rezim

sertifikasi hutan akan semakin sederhana, dan akan memudahkan para pihak dalam mendukung skema sertifikasi yang kredibel.

Prediksi dan analisis di atas mungkin saja sekarang sudah kadaluwarsa dan perlu dimutakhirkan oleh para pendukung sertifikasi hutan di Indonesia. Sebab sertifikasi adalah sebuah langkah penting bagi pembangunan hutan Indonesia, seperti tergambar dalam kutipan di awal tulisan ini.

—Asep Sugih Suntana, PhD

Referensi:K. A. Vogt, B. C. Larson, J. C. Gordon,

D. J. Vogt and A. Fanzeres, Forest Certification: Roots, Issues, Challenges, and Benefits, Ne Haven, Connecticut : CRC Press, 1999.

I. Viszlai, J. I. Barredo and J. San-Miguel-Ayanz, “JRC Technical Report: Payments for Forest Ecosystem Services,” European Commission, 2016.

H. T. N. Hoang, S. Hoshino and S. Hashimoto, “Forest stewardship council certificate for a group of planters in Vietnam: SWOT analysis and implications,” Journal of Forest Reserach, pp. 35 - 42, 2015.

A. Wibowo and L. Glessen, “From Voluntary Private to Mandatory State

Governance in Indonesian Forest Cerficiation: Reclaiming Authority by Bureaucracies”.

S. Pratiwi, A. Wibowo and L. Giessen, “Third-Party Certification of Forest Management in Indonesia: Analysis Stakeholders’ REcognition and Preferences,” JMHT, Vol. 21, (2)., pp. 65 - 75, 2015.

Magdalena, Andri Setiadi, Rachman Effendi, “Sistem Verifikasi Legalitas Kayu vs Lacey Act: Peluang dan Tantangan,” 2013. [Online]. Available: https://www.forda-mof.org/files/Policy_Brief_7.1.2013-Magdalena,_Andri_n_Rachman.pdf. [Diakses 24 12 2019].

Strengths [S](Internal, Positif )

Weakness [W](Internal, Negatif)

Opportunities [O](Eksternal, Positif)

Strategi SO: Strategi Maxi-MaxiMenggunakan kekuatan untuk memaksimalkan Peluang

Strategi WO:Strategi Maxi – MiniMeminimalkan Kelemahan dengan menggunakan Peluang yang ada

Threats [T](Eksernal, Negatif )

Strategi ST: Strategi Mini – MaxiMenggunakan Kekuatan untuk meminimalkan tantangan/ Ancaman

Strategi WT:Strategi Mini – MiniMeminimalkan Kelemahan untuk menghindari Ancaman

laporan khusus

Page 31: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest60 61j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Sertifikat legalitas kayu anasir penting dalam perdagangan. Seharusnya ekspor kayu Indonesia meningkat.

KETIKA dunia menuntut perdagangan juga ramah lingkungan, konsumsi kayu pun terdorong untuk mengikuti tren itu. Pada 2009, pemerintah Indonesia mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sebagai instrumen

yang memastikan bahwa kayu yang beredar di dalam dan keluar dari wilayah Indonesia bukan hasil pembalakan liar.

Sebatang kayu disebut legal bila asal-usulnya, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, hingga perdagangannya bisa dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal. Karena pasar menuntutnya begitu, SVLK seharusnya bisa meningkatkan daya saing dan nilai kayu dari Indonesia, yang berujung pada naiknya pendapatan masyarakat. Bagaimana praktiknya?

Pemerintah beberapa negara impor-tir memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor yang masuk di masing-masing negara. Pemerintah Amerika Serikat memberlaku-kan Lacey Act, Uni Eropa dengan Timber Regulation, Australia melalui Illegal Logging Prohibition Act, dan Jepang lewat Green Konyuho (GoHo Wood).

Kendati SVLK mulai berlaku pada 1 September 2009, praktiknya mulur hingga 2013 karena pemegang izin konsesi yang boleh menebang pohon di kawasan hutan belum siap ketika peraturan itu mulai diterapkan. Senyampang menunggu kesiapan, SVLK disinergikan dengan kebijakan ekspor dari Menteri Perdagangan yang mulai diberlakukan 1

Tulang Punggung Perdagangan Kayu

Januari 2013.Ada banyak syarat dan aturan yang

menyertai SVLK. Pada 2014 terbit aturan Menteri Kehutanan soal penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu untuk pemegang izin pada hutan hak. Syarat-syarat ini adalah permintaan negara-negara

konsumen kayu Indonesia, terutama Uni Eropa.

Melalui berbagai pertemuan dan negosiasi yang panjang dengan Komisi Uni Eropa, pada 30 September 2013 di Brussel, Belgia, Forest Law Enforcement Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-

VPA) Indonesia-Uni Eropa sepakat menandatangani dan menyetujui SVLK. Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian itu setahun kemudian lewat Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014. Meski begitu, Uni Eropa tetap menuntut syarat lain. Salah satunya penyertaan dokumen V-Legal untuk produk ekspor

terbatas.Pada 15 September 2016 di Yogyakarta

perundingan Indonesia dan Uni Eropa memutuskan bahwa FLEGT-License sebagai lisensi kayu Indonesia bisa diterima di negara-negara Eropa. Hingga 15 November 2019 telah terbit sebanyak 118.232 dokumen FLEGT-License

untuk ekspor ke-28 negara anggota Uni Eropa. Belanda, Inggris, Jerman, Belgia, dan Prancis adalah lima negara tujuan terbanyak yang menyerap kayu Indonesia. Khusus dengan Pemerintah Inggris yang sudah keluar dari Uni Eropa, pemerintah Indonesia dan Inggris menyepakati perjanjian tambahan yang berlaku pada Desember 2018.

Sejak dokumen V-Legal diberlakukan, nilai ekspor produk industri kehutanan naik sampai November 2019, meski nilai ekspor tertinggi terjadi pada 2018 sebesar US$ 12,13 milyar atau Rp 169 triliun. Sedangkan nilai ekspor terendah terjadi pada 2013 sebesar US$ 6,05 milyar.

Produk kertas merajai nilai ekspor Indonesia pada periode itu, lalu panel, dan pulp. Asia masih mendominasi tujuan ekspor produk industri kehutanan Indonesia diikuti negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Uni Eropa. Negara-negara di kawasan Asia mendominasi tujuan ekspor produk industri kehutanan, antara lain: Cina, Jepang, dan Korea.

Dengan melihat data-data tersebut, SVLK bisa dikatakan sebagai tulang punggung industri kayu Indonesia. Tanpa SVLK, produk kayu olahan Indonesia tak akan memiliki pasar karena negara-negara konsumen menuntut kayu legal, yang tak diperoleh dengan cara haram. Industri kehutanan juga bisa bersaing lebih sehat dengan syarat yang ketat sehingga hanya perusahaan yang bisa memenuhinya saja yang bisa masuk ke pasar.

Tantangan terbesar adalah penegakan hukum karena penyalahgunaan SVLK masih acap terdengar diberitakan oleh media. Indonesia yang menjadi negara kepulauan masih jadi kendala karena “pintu ekspor” menjadi banyak. Kerja sama bea cukai, polisi air, dan Kementerian Kehutanan untuk mencegah kayu “haram tapi halal” keluar Indonesia menjadi penting.

Secara prinsip, SVLK telah diterima oleh pasar internasional sehingga semestinya menjamin pengelolaan hutan Indonesia yang lestari. Sebab, hal paling penting dalam perdagangan kayu adalah mendorong ekonomi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat seraya tetap menjaga hutan Indonesia yang menjadi andalan terakhir di planet ini dari ancaman pemanasan global. —Drajad Kurniadi

Kayu.Kayu produksi di areal hutan PT Ratah Timber.Dok. Ratah Timber

laporan khusus

11,483.90

0

8,000

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*)

US$

US$

Kertas Panel Pulp Produk Pertukangan Mebel Total

Sumber: KLHK, 2019 Sumber: KLHK, 2019

4,591.10 4,871.20

6,904.60 6,600.50

7,814.308,482.20

8,001.30

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*)

Asia Amerika Utara Uni Eropa Oseania Afrika Amerika Selatan Eropa (Non EU)

Page 32: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest62 63j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Nilai perdagangan bambu paling besar dibanding produk hasil hutan lainnya. Nilai tambah bambu Indonesia masih rendah karena terbentur standarisasi.

BAMBU adalah salah satu produk hasil hutan bukan kayu Indonesia yang belum mendapat perhatian optimal. Padahal nilai devisa hasil hutan bukan kayu mencapai 90% dari keseluruhan nilai hasil hutan. Menurut data Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kayu hanya menyumbang 10% dari produksi hasil kehutanan seluruhnya pada 2019.

Pemanfaatan bambu di Indonesia masih belum optimal yang ditujukan oleh nilai tambah yang masih rendah. Padahal, pemanfaatan bambu modern berbasis industri telah menghasilkan produk berkualitas tinggi yang sekaligus bisa meningkatkan perekonomian rakyat, seperti yang sudah dicapai Cina.

Statistik perdagangan internasional perserikatan bangsa-bangsa (UN Comtrade) juga menunjukkan bahwa nilai total pasar produk bambu dan rotan dunia pada tahun 2017 lebih dari US$ 60 miliar. Dari nilai ini sebanyak 80% adalah produk olahan bambu. Nilai ekspor dunia pun relatif stabil bahkan cenderung meningkat hingga mencapai US$ USD 1,69 miliar, dengan bambu yang menguasai pangsa 40%.

Rendahnya nilai tambah bambu itu diduga karena belum adanya standar dan sertifikasi pada produk ini. Padahal, di era globalisasi, standarisasi dan sertifikasi produk kayu dan non kayu sangat penting sebagai prasyarat memasuki pasar global, sebagai jaminan kualitas dan efisiensi dalam menghasilkan suatu produk, serta jaminan proses yang sudah sesuai dengan regulasi dan aturan yang berlaku.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa standar terkait dengan bambu khususnya standar pemanfaatan dan produk. Badan Standarisasi Nasional sudah menetapkan lima Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait bambu di antaranya; SNI 8020-2014 tentang kegunaan bambu; SNI 7944-2014 tentang bambu lamina penggunaan umum; SNI 01-4033-1996 tentang rebung bambu dalam kaleng; SNI 7555.22-2011 tentang furnitur, kursi bambu, dan SNI 8466-2018 tentang angklung.

Saat ini beberapa standar masih dalam pembahasan di antaranya bambu sebagai komponen struktur bangunan (bamboo for structural component), panduan pembuatan bambu rekayasa sebagai bahan bangunan (guidance to manufacture lumber from laminated bamboo for building material) dan panduan pengawetan bambu sebagai material konstruksi sipil (guidance to preservation of bamboo for civil construction).

Sertifikasi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management) pertama kali muncul untuk menjawab isu deforestasi dan isu kerusakan lingkungan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Pengelolaan sumber daya alam yang

berkelanjutan dicetuskan pertama kali dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan tahun 2012 di tempat yang sama.

Negara-negara di dunia sepakat bahwa pembangunan harus berpegang pada prinsip keberlanjutan secara sosial, ekonomi, ekologi, dan lingkungan. Sertifikasi SFM dipercaya mendukung pembangunan yang berkelanjutan sekaligus mempromosikan dan menjamin aspek legalitas suatu produk yang memperhatikan kelestarian lingkungan.

Di Indonesia skema dan mekanisme sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan terkait produk kayu terbagi ke dalam dua kategori: pertama, Skema Sertifikasi Internasional. Contohnya Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) dan Forest Stewardship Council (FSC) Certification; kedua, Skema Sertifikasi Nasional yang dicontohkan pada sistem verifikasi legalitas kayu/SVLK yang menjadi syarat wajib legalitas produk kayu nasional, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation IFCC.

Meski begitu, secara umum Indonesia

belum memiliki standar dan sertifikasi dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu yang berkelanjutan, khususnya produk bambu yang memiliki peluang besar di pasar produk kayu dunia. Dengan perkembangan teknologi dan desain yang semakin maju, bambu bisa diolah menjadi produk pengganti kayu yang lebih ramah lingkungan.

Sampai saat ini hanya dua negara yang sudah memiliki standar sertifikasi pengelolaan bambu secara khusus, yakni Cina dan Ekuador. Standar dan mekanisme pengelolaan hutan bambu hampir sama dengan SFM, termasuk auditnya. Beberapa hal yang membedakan hanya soal pengelolaan hutan bambu yang tidak mensyaratkan annual allowance cut (AAC) atau jatah tebang tahunan karena bambu bisa dipanen setiap tahun, sehingga hanya perlu rencana manajemen jangka pendek (tahunan) yang lebih intensif.

Untuk menuju sertifikasi pengelolaan hutan bambu yang berkelanjutan, perlu ada perubahan paradigma dalam sistem pengelolaannya. Sebab, peluang yang ada jauh lebih besar dibandingkan bila kita bicara tentang tantangannya. Tantangan pengolahan bambu terletak pada penanam, industri, dan eksportir.

Tantangan bagi petani pengelola bambu

adalah standarnya lebih tinggi dan harus membuat rencana pengelolaan dengan prinsip keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Juga kebutuhan biaya yang lebih besar untuk audit, perbaikan dan pemeliharaan. Di samping itu perlu ada koordinasi antar pemilik bambu bila sertifikasi akan dilakukan secara berkelompok.

Industri pengolah bambu pada umumnya adalah industri kecil dan menengah, sehingga tantangannya adalah proses sertifikasi yang memerlukan standar sistim manajemen yang lebih tinggi, yang berimplikasi pada kebutuhan biaya naik, sementara permintaan ekspor belum stabil. Meski begitu, manfaat dan keuntungan tetap jauh lebih bagus ketimbang tantangannya. Lagi pula sertifikasi bisa membangun citra positif industri yang bertanggung jawab dalam kelestarian lingkungan.

Dalam rangka mewujudkan standarisasi dan sertifikasi hutan bambu yang berkelanjutan di Indonesia, Yayasan Bambu Lestari bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Kebijakan, Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK mengembangkan Sistim Hutan Bambu Lestari (HBL) yang sudah berjalan

di hutan bambu rakyat di Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Secara umum tahap sistem HBL adalah sosialisasi, survei potensi bambu, pemberian kode tahun tebang, panen lestari, penimbunan rumpun, dan pengangkutan. Data dan informasi setiap tahapan diinput dalam sistim aplikasi “bamboo app-sheet”, pencapaian target, kinerja di tiap divisi, dan kendala yang dapat dimonitor secara langsung. Sistem ini juga mempermudah dalam melakukan evaluasi proses serta bisa diakes langsung oleh pihak terkait untuk verifikasi dan validasi data.

Mekanisme HBL sudah berjalan sehingga bisa menjadi model dan masukan positif dalam penyusunan standar pengelolaan hutan bambu berkelanjutan di Indonesia. Di Ngada, YBL memakai sertifikasi dengan sama Forest Management-Forest Stewardship Council (FM-FSC). Sertifikasi pengelolaan hutan bambu lestari yang berkelanjutan di Kabupaten Ngada ini akan menjadi yang pertama ada di Indonesia.

—Desy Ekawati, Koordinator Kerjasama Bamboo Agroforestry, KANOPPI-2,

FOERDIA-ACIAR-ICRAF, dan Arief Rabik, Yasasan Bambu Lestari

Saatnya Menengok Bambu

Lantai bambu rekayasa (atas)

Hutan Bambu.Hamparan Hutan Bambu Rakyat di kabupaten Ngada, NTT (kanan).

laporan khusus

Page 33: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest64 65j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Pariwisata yang Ramah LingkunganSektor pariwisata juga wajib mengikuti standar pengelolaan lingkungan lestari. Meluncur tahun ini.

THE World Economic Forum’s Travel and Tourism Competitiveness Report 2019 menempatkan sumber daya alam Indonesia di peringkat 17 terbaik dunia. Karena itu tak heran jika sektor kehutanan memberikan peran sangat besar bagi

sektor pariwisata karena wisata terkait erat dengan alam. Meski begitu ada rambu-rambu yang harus menjadi standar agar alam tak rusak oleh pengelolaan dan kehadiran manusia.

Prinsip ekowisata adalah mempertahankan bentang alam, memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, selaras dengan sosial budaya masyarakat setempat, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, pengusaha maupun pemerintah serta tetap menjamin kepuasan, keselamatan, dan kenyamanan pengunjung objek daya tarik wisata alam tersebut.

Lebih spesifik lagi, pengelolaan pariwisata alam haruslah dilakukan dengan memperhitungkan pemanfaatan jasa lingkungan yang optimal dan berdasarkan daya dukung masing-masing ekosistem yang ada dalam mengelolanya. Semua aspek tersebut merupakan dasar penyusunan Standar Nasional Indonesia 8013:2014 tentang Pengelolaan Pariwisata Alam.

SNI 8013:2014 merupakan jenis standar voluntary-based yang beyond compliance. Pemenuhan kriteria dan indikator dari standar ini dipastikan meningkatkan

kualitas dari pengelolaan pariwisata alam di Indonesia. Sebab SNI 8013:2014 mengacu pada prinsip-prinsip pariwisata alam, yaitu kelestarian fungsi ekosistem, kelestarian Obyek daya tarik wisata alam (ODTWA), kelestarian sosial budaya, kepuasan, keselamatan dan kenyamanan pengunjung, dan manfaat ekonomi.

Kelima prinsip ini terbagi lagi dalam 14 kriteria dengan masing-masing enam pengembangan indikator. Apabila dikelompokkan, terdapat 13 fokus area dalam SNI 8013:2014, yaitu penataan fungsi ruang, pengamanan, pengelolaan kawasan, pengelolaan produk wisata alam, pengelolaan pengunjung dan penyediaan sistem informasi, perencanaan, pengelolaan pengunjung, penyediaan sarana prasarana, pengelolaan sarana prasarana, penataan kelembagaan, pengelolaan dampak negatif dan bahaya kegiatan pengelolaan, manfaat bagi pengusaha (pengelolaan kawasan, produk wisata alam, sarana dan prasarana, penataan kelembagaan), manfaat bagi pemerintah (pengelolaan kawasan, produk wisata alam, sarana dan prasarana, pengunjung, penataan kelembagaan).

Karena karakteristiknya yang unik, pengelolaan pariwisata alam di kawasan

hutan merupakan jenis wisata minat khusus, bukan untuk wisata massal. Barangkali karena itu, meski pariwisata mendapat tempat dalam sektor kehutanan, belum ada valuasi jasa lingkungan yang optimal, tidak ada alat monitor pengelolaan pariwisata alam untuk mendukung kegiatan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Karena itu, dengan mengombinasikan SNI, Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan membuat tim penilai pariwisata alam pada 12 Desember 2019. Skema penilaian kesesuaian SNI bisa segera dimanfaatkan oleh semua pengelola pariwisata alam yang berada di dalam kawasan hutan. Dalam melakukan penilaian kesesuaiannya, skema pihak pertama ini dilakukan secara self-assessment oleh penilai yang ditunjuk oleh pengelola kawasan/Kepala UPT/Kepala KPH/Kepala KUPS dan cukup mengikuti tata caranya di laman standardisasi.

menlhk.go.id.Selain Skema Penilaian Pihak

Pertama, Badan Standardisasi Nasional (BSN), KLHK, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengembangkan Skema Penilaian Kesesuaian Pihak Ketiga SNI 8013:2014. Secara resmi skema penilaian kesesuaian pihak ketiga SNI 8013:2014 akan diluncurkan pada tahun 2020 melalui peraturan Kepala BSN.

Makin banyaknya inisiatif standarisasi pengelolaan lingkungan menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam mengelola lingkungan secara bertanggung jawab, lestari, terutama dalam manajemen pariwisata. Hal ini juga sejalan dengan program PBB One Planet Network yang sesuai tujuan pembangunan dengan menekankan pada pengelolaan sektor wisata.

—Reiza Syarini, Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Wakatobi.Seorang nelayan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sedang memancing ikan di laut. Wakatobi menjadi salah satu wisata yang sedang dipromosikan pemerintah Indonesia.

laporan khusus

Page 34: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest66 67j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

teknologi

Rumah ramah gempa bisa dirancang dengan cara murah dan mudah. Perlu disiapkan secara masif.

SEBAGAI kepulauan yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yakni Indo-Australia di selatan, Eurasia di utara dan Pasifik di bagian Timur, Indonesia rawan dengan bencana. Gempa bumi berpeluang terjadi di hampir seluruh wilayah,

kecuali Kalimantan. Rumah dan bangunan paling rentan dengan guncangan bumi ini. Namun, selama ini pembangunan rumah ramah gempa hanya bersifat sementara, sehingga boros dan tak ramah lingkungan.

Salah satu solusi untuk mengatasi hal itu antara lain dengan membuat rumah sederhana sistem buka-pasang (knockdown) terbuat dari kayu-kayu inferior yang potensinya cukup memadai. Bahan utamanya kayu hasil hutan tanaman/rakyat, karena mudah

diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis kayu komersial lainya, seperti duren (Duriao sp.), manglid (Manglieta glauca Bl.), mangium (Acacia mangium Wild.), afrika (Maesopsis eminii), sengon (Paraserianthes falcataria) dan kayu rimba campuran melalui teknologi pembuatan rumah tanggap darurat bencana.

Pada 2006 telah dibuat rumah kayu sistem buka-pasang terbuat dari kayu kelapa oleh Adi Santoso, Abdurachman, Osly Rachman, dan Nurwati Hadjib memakai teknologi struktur tahan gempa terutama pada struktur fondasi umpak dengan angkur yang ditanam secara kaku untuk menahan goyangan akibat gempa bumi. Beberapa komponen bangunan memakai teknologi kayu laminasi (glulam) yaitu pada kolom/tiang struktur, kusen serta kuda-kuda. Rumah kayu kelapa sistem knockdown ini adalah rumah tipe 36 dengan denah/tata ruangnya modifikasi desain rumah T-36 standar BTN.

Prinsip pembuatan rumah, permanen maupun knockdown, adalah mampu menahan seluruh beban atau gaya yang bekerja seperti beban beratnya sendiri, beban angin, beban air hujan, bahkan beban gempa. Untuk itu diperlukan sistem

struktur yang kuat dan kaku terutama pada bagian simpul-simpul sambungan. Seluruh beban kerja baik statis maupun dinamis pada akhirnya diteruskan ke tanah melalui fondasi. Khusus untuk menahan beban dinamis akibat gempa sudah ada fondasi yang dilengkapi dengan benda elastis terbuat dari karet alam.

Bangunan rumah kayu sistem knockdown ini dibangun di atas tanah padat di areal kompleks Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Bahan banguann 90% kayu. Jenis kayu untuk tiang struktur, sloof, ringbalk, kuda-kuda, papan lantai dan sebagian komponen rangka dinding adalah kayu manglid, mangium, duren, afrika dan sengon yang diperoleh dari hutan tanaman/rakyat di Jawa Barat. Sedangkan untuk komponen lain digunakan kayu kelompok rimba campuran yang diperoleh dari toko bahan bangunan di Bogor. Sebelum digunakan kayu-kayu tersebut dikeringkan di dapur pengering dan diawetkan dengan bahan pengawet CCB dengan cara direndam dingin selama 2-4 pekan.

Bagian-bagian konstruksi yang dibuat secara knockdown pada pertemuan antara

fondasi dengan sloof kayu, tiang struktur dengan ringbalk, titik-titik kumpul pada kuda-kuda dan rangka dinding dengan tiang struktur dan kusen. Pertemuan-pertemuan tersebut dihubungkan dengan baut dan paku sekrup sehingga mudah dilepas apabila dilakukan bongkar pasang.

Rata-rata retensi dan penetrasi bahan pengawet CCB pada konsentrasi 10% masing-masing kayu afrika 3,234 kg/m3 dan 70,90%, kayu duren 5,176 kg/m3 dan 66,75% dan kayu rimba campuran 2,521 kg/m3 dan 74,75%. Retensi kayu duren lebih tinggi dari yang lainnya sedangkan penetrasinya lebih rendah, sedangkan retensi kayu meranti paling rendah sementara penetrasinya paling tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Retensi dan penetrasi untuk semua jenis kayu yang diteliti ini tidak memenuhi standar pengawetan (SNI-01-7207-2006). Hal tersebut disebabkan antara lain konsentrasi terlalu rendah, waktunya terlalu singkat dan metode pengawetan kurang tepat.

Pada rangka atap (upper strucktur) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mendesain suatu bangunan, karena mulai dari beban paling atas sampai pada

Rumah Ramah Gempa

bagian struktur bawah akan diteruskan kepada fondasi, selanjutnya ke tanah. Semakin ringan beban di atas fondasi dan semakin kenyal bahan yang digunakan maka akan semakin ringan risiko runtuh akibat beban-beban luar terutama beban kejadian alam seperti air hujan, angin dan gempa bumi.

Berat satu buah kuda-kuda yang terbuat dari kayu meranti dan glulam kayu mangiun yaitu sebesar 79,2 kilogram. Kemudian hasil perhitungan beban yang bekerja akibat beban mati sebesar 25,28 kilogram per meter persegi, beban angin tekan 11,38 kilogram per meter persegi, beban angin hisap -16 kilogram per meter persegi, beban hidup berupa beban air hujan 12,62 kilogram per meter persegi dan beban orang yang melakukan pekerjaan di atas rangka sebesar 100 klogram.

Beban-beban tersebut merupakan gaya-gaya yang bekerja pada struktur rangka atap yang dianalisis lebih lanjut sampai dapat diperoleh gaya-gaya setiap elemen batang. Analisa struktur dimaksudkan antara lain untuk menentukan dimensi dari bahan kayu yang digunakan dengan meninjau tegangan dan lenturan yang

terjadi. Tegangan lentur yang terjadi akibat

kombinasi pembebanan tetap yang terdiri dari beban mati (DL) dan beban hidup (LL) adalah sebesar 112,03 kilogram per sentimeter persegi. Nilai ini lebih besar dari tegangan lentur yang diizinkan menurut PKKI-1961 untuk kelompok kayu kelas kuat III yaitu 75 kilogram per sentimeter persegi. Ini berarti harus dilakukan peninjauan kembali terhadap bahan kayu serta jenis material non kayu yang digunakan.

Biaya yang diperlukan untuk mendirikan bangunan rumah kayu ini sebesar Rp 32.685.985,- atau setara dengan Rp. 1.556.475,48 per meter persegi yang pendiriannya dapat diselesaikan dalam waktu 18 hari kerja.

Dengan hasil penelitian ini, rumah ramah bencana terutama gempa jauh lebih murah karena mudah, cepat, dan memanfaatkan kayu di sekitar lokasi bencana.

—Abdurachman, ST, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Page 35: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest68 69j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

penelitian

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa memproyeksikan pada pertengahan abad ke-21 sekitar 2 miliar manusia di planet ini akan kekurangan air bersih. Di Indonesia, kini, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air. Geografi kepulauan

Indonesia membuat akses air bersih melalui pipa menjadi sulit. Saatnya kita menengok potensi hujan.

Air hujan adalah sumber daya air yang menjadi asupan aliran permukaan dan bawah permukaan. Karena itu sumber kelangkaan air di tiga pulau itu sesungguh-nya bersumber dari rusaknya vegetasi dan daerah tangkapan air, ditambah minimnya konservasi sehingga limpasan air hujan tidak terserap dengan baik.

Sebagai negara dengan iklim hujan yang jelas dan intensitas di atas 2.000 milimeter per tahun, air hujan bisa menjadi sumber daya prospektif untuk memenuhi kebutuhan air. Pemanenan air hujan adalah bentuk konservasi air yang cukup lama dilakukan oleh masyarakat di Indonesia sebagai bagian dari mitigasi kelangkaan air.

Secara tradisional, masyarakat di Indo-nesia telah memanen pemanenan air hujan walaupun jumlahnya tidak terinventarisasi dengan baik. Berdasarkan data Komuni-tas Banyu Bening di Desa Sardonoharjo, Kab. Sleman, Provinsi Yogyakarta, jumlah komunitas yang mengleola air hujan sebanyak 129 kelompok.

Beberapa kelompok masyarakat sudah mempraktikkan panen hujan, seperti mas-yarakat Selatpanjang di Kabupaten Riau,

Sumber: Data penelitian

Komponen Kebutuhan Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

Talang flat 5,00 batang 75.000 375.000

Pipa PVC 8” (tipe D) 1,00 batang 594.600 594.600

Pipa PVC 5” (tipe D) 2,00 batang 256.300 512.600

Pipa PVC 2” (tipe D) 2,00 batang 59.000 118.000

Aksesoris perpipaan (kran, lem, dsb.) 1,00 paket 1.100.000 1.100.000

Tangki Penampungan HDPE 2.850 liter 1,00 unit 8.750.000 8.750.000

Meja/dudukan tangki penampungan (beton) termasuk di dalamnya biaya tenaga kerja, semen, pasir, batu, dsb.

1,00 paket 1.500.000 1.500.000

Biaya pemasangan IPAH (di luar meja/dudukan tangki) 1,00 paket 500.000 500.000

Jumlah 15.000.000

Panen Air HujanMasyarakat Indonesia bisa memenuhi kebutuhan air dari air hujan yang melimpah. Sebelum krisis.

masyarakat Suku Tengger, masyarakat perkumpulan di Labuan Bajo, dan perkum-pulan di Desa Sardonoharjo, Yogyakarta.

Mereka mengumpulkan dan menampung air hujan dengan berbagai jenis tampungan. Cara paling sederhana yang dilakukan masyarakat adalah dengan memanfaatkan atap rumah sebagai media pengumpul, kemudian menyalurkannya melalui talang air di bibir atap. Talang-talang ini yang memasukkan air hujan ke tabung penjernihan, sebelum masuk ke tabung penampungan.

Secara sederhana, instalasi pemanenan air hujan (IPAH) yang dipakai masyarakat Indonesia punya struktur sederhana (lihat gambar di atas): (1) area tangkapan air; (2) area saluran distribusi; ada (3) area tampungan. Beberapa kelompok masyarakat lain memasang instalasi tambahan berupa saluran penyaring (4). Saluran ini ada di area distribusi sebelum air hujan masuk ke area tampuNgan.

Struktur sederhana ini menghabiskan anggaran sebesar Rp15 juta per unit (dengan asumsi harga tahun 2018-2019).

Dengan memakai material yang ada di sekitar, masyarakat di beberapa tempat yang menjadi objek penelitian saya mampu membuatnya secara mandiri. Proses modifikasi yang tak rumit pun membuat alat sederhana ini mudah diaplikasikan.

Dari penelitian saya, air hujan tak hanya bagus sebagai sumber air alternatif karena mengandung H2O murni, juga bisa menghasilkan secara ekonomi.

Dengan anggaran tersebut, IPAH bisa menampung air 2.500-3.000 liter air hujan. Dengan memperhitungkan biaya dan membandingkannya dengan pembelian air dari perusahaan air minum, masyarakat yang memakai IPAH bisa menghemat Rp 8,4 juta per tahun. Analisis investasi memakai formula net present value (NPV) menunjukkan nilai sebesar Rp 47 juta de ngan periode pengembalian sekitar 3 tahun.

Selain manfaat ekonomi, secara ekologi

pemanenan air hujan juga mampu mem-berikan dampak terhadap pengurangan limpasan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Juga secara sosial. Pem-buatan IPAH bisa memberikan pekerjaan berupa pembuatan instalasi, pemeliharaan rutin tiga bulan, dan inovasi teknologi sederhana penjernihan air.

Hasil survei berdasarkan pergerakan komunitas Banyu Bening, ada empat aspek sosial yang memberikan pengaruh dalam perkembangan kegiatan pemanenan air hujan: peran tokoh agama, media massa, strata sosial, dan adat istiadat. Empat aspek ini saling terkait dalam mempopulerkan panen air hujan hingga berskala ekonomi.

Dari penelitian untuk diserta di Sekolah Lingkungan Universitas Indonesia ini saya menyimpulkan bahwa model kegiatan pemanenan air hujan dan unit instalasinya bisa digunakan sebagai pendekatan lingkungan, ekonomi dan sosial. Secara nilai investasi model aman untuk diinvestasikan selama 20 tahun walaupun umur IPAH bisa mencapai 25 tahun.

Secara ekologi panen air hujan juga mampu mengurangi ketergantungan akan air tanah dan penyedia komersial. Karena itu jika masyarakat perdesaan meniru apa yang sudah dilakukan kelompok masyarakat lain, kelangkaan air bersih tak akan datang lebih cepat dari perkiraan para ilmuwan.

—Robby Cahyanto, mahasiswa studi doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan

Universitas Indonesia

Medan Teluk Bintuni

Nabire Maluku** Ternate Surabaya Mojo-kerto

Jakarta** Yogya-karta**

komunitas yang mengleola air hujan

1 1 1 121 2

8

112

Page 36: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest70 71j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

liputan khusus

Omnibus law adalah cara parlemen dan pemerintah potong kompas memperbaiki tumpang tindih aturan. Lima hal harus diperhatikan agar risiko penerapannya tak terlalu besar.

PENGELOLAAN sumber daya alam menghadapi masalah kompleks, bukan hanya memerlukan solusi dari berbagai otoritas pemerintahan, juga memerlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu.

Dalam konferensi tenurial di Jakarta pada 2017 mengemuka

pendapat masih banyaknya ketimpangan penguasaan sumber daya alam, konflik tanah/hutan, kriminalisasi, menurunnya fungsi hutan dan kualitas lingkungan hidup, serta tata kelola pemerintahan yang kurang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan sumber-sumber agraria. Soal lain adalah sulitnya akses hukum bagi petani, kelompok perempuan, dan masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan hukum serta mengelola tanah dan sumber daya alam.

Konferensi itu juga menggarisbawahi masih tingginya kesenjangan antara kebijakan nasional dengan pelaksanaan kebijakan di tingkat praksis, antara lain lambatnya respons pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, respons swasta maupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas.

Penyelesaian masalah di lapangan tidak lepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam maupun penetapan alokasi ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat

keranjang sampah Omnibus Law

perbaikan, peningkatan partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata

pengelolaan tanah/hutan dan sumber daya alam lainnya secara baik.

Penyelesaian itu memerlukan komitmen politik seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, serta langkah-langkah kongkret di lapangan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat spesifik serta memerlukan

informasi akurat dan detail. Untuk itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Dasar komitmen politik itu pun sudah dinyatakan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR itu memberi arahan

bagi penataan kebijakan serta penyelesaian konflik agraria pada masa lalu dengan memberikan ruang yang semakin besar kepada petani dan masyarakat adat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan lestari. Dalam

ketetapan itu juga ditegaskan adanya mandat untuk mengkaji ulang berbagai peraturan-perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor. Namun, struktur pemerintahan membuat sinkronisasi itu mandek. Setiap kementerian seolah-olah punya undang-

shutterstock

Page 37: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest72 73j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

undang sendiri, DPR bekerja memisah-misahkan pembahasan sebuah masalah melalui komisi-komisi berbeda.

Terhadap kenyataan seperti itu, salah satu mekanisme penyelesaian yang bisa dipakai adalah omnibus hukum (omnibus law), yaitu perubahan berbagai materi dari segenap undang-undang secara bersama-sama dalam satu proses pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR. Omnibus berasal dari kata Prancis yang dipakai untuk menyebut bus panjang yang ditarik kuda untuk mengangkut barang dan orang sekaligus pada 1820-an. Kata ini kemudian sampai di Amerika Latin dengan arti “untuk apa pun” oleh para imigran dan New York yang kemudian dipakai untuk menyebut penyederhanaan pelbagai aturan dalam satu undang-undang.

Dilihat dari ruwetnya problem lingkungan hidup, tumpang tindih izin, tidak sinkronnya kewenangan pemerintah pusat dan daerah, omnibus hukum tampak sesuai sebagai strategi untuk menjalankan Tap MPR Nomor IX/2001. Kita butuh aturan yang sederhana, selaras, tapi sekaligus berpihak pada pengelolaan lingkungan hidup yang adil dan lestari. Apakah omnibus law yang tengah digodok pemerintah sekarang memenuhi asas itu?

Pada akhir Oktober 2019, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan prinsip-prinsip omnibus hukum untuk kemudahan berusaha dengan mengubah 71 undang-undang. Di dalamnya ada beberapa klaster untuk menyederhanakan prosedur investasi melalui perubahan 15 undang-undang, kegiatan usaha berbasis risiko dengan mengubah 54 undang-undang, penataan kewenangan dengan mengubah 2 undang-undang, pembinaan dan pengawasan dengan mengubah 20 undang-undang, peringanan sanksi dengan mengubah 46 undang-undang maupun kemudahan investasi melalui pemberian insentif dengan mengubah 8 undang-undang. Selanjutnya omnibus hukum tersebut ditetapkan berjudul “Cipta Lapangan Kerja”, dengan menambahkan klaster untuk ketenagakerjaan, dukungan riset dan inovasi, pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.

Menurut saya, agak keliru jika pemerintah memakai fokus mempercepat

investasi dengan menempuh omnibus hukum. Agenda paling mendesak saat ini adalah mengelola seadil-adilnya aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup bagi pelaksanaan reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Prinsip pembentukan negara ini adalah melindungi segenap bangsa, memastikan bahwa sumber-sumber agraria bisa dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat guna mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, memastikan bahwa akses masyarakat terhadap agraria dan sumber daya alam secara adil adalah tujuan utama dari kemerdekaan Indonesia.

Politik Omnibus HukumOmnibus hukum menjadi bentuk

strategi teknis maupun politis di berbagai negara. Secara teknis ia bisa meningkatkan produktivitas legislasi, secara politis partai-partai mayoritas bisa lebih mudah mewujudkan tujuannya saat proses legislasi. Disertasi Glen C. Krutz (1999) “Explaining institutional change: the rise and impact of omnibus legislating” menganalisis pengambilan keputusan kongres melalui studi literatur dan pemeriksaan lebih dari 1.000 ketetapan pada 1949-1994. Ia menemukan selain menjadi cara mengelola ketidakpastian di lembaga legislatif Amerika Serikat,

omnibus juga cara menghindari tekanan politik dan kompleksitas masalah serta kemacetan pemerintahan yang terpecah.

Para pendukung omnibus umumnya berpendapat bahwa metode ini sebagai cara untuk menyelesaikan sesuatu dalam proses legislatif yang sebelumnya mustahil. Menurut Barbara Sinclair (1997) penyelesaian masalah itu dilakukan dengan mengemasnya untuk mengembangkan respons koheren atas masalah publik. Faktor pendorong omnibus hukum, karena itu, adanya unsur koalisi yang kuat sehingga bisa menjalankan agenda partai dan langkah-langkah distribusi yang mungkin akan gagal bila dilakukan dengan cara konvensional.

Kruitz, dalam “Hitching a Ride: Omnibus Legislating in the U.S. Congress” (2001), menggambarkan di Amerika praktik seperti itu sudah dilakukan lebih setengah abad lalu. Beberapa undang-undang paling penting di era kontemporer diambil dengan cara omnibus. Di Kanada, Australia, Inggris, Belgia, Jerman, Turki, Cina, Filipina, Kamboja, Malaysia, Singapura dan Vietnam juga menerapkan praktik omnibus hukum (World Bank 2006; MenkoEkon, 2019; Busroh, 2019).

Menurut Kruitz, dari pengamatannya terhadap negara yang menjalakan omnibus, ada tiga manfaat yang mereka dapatkan. Pertama, perubahan terintegrasi karena mengubah berbagai undang-undang dengan satu kerangka dan tujuan yang sama. Hal tersebut akan lebih sulit bila dilakukan perubahan secara terpisah. Kedua, memberikan kepastian hukum sebab omnibus dilakukan untuk mengharmonisasi materi muatan dan memangkas tumpang-tindih serta pertentangan norma hukum. Ketiga, proses lebih cepat karena bisa menyelesaikan perdebatan yang rumit dari berbagai undang-undang dalam waktu yang bersamaan.

Meski begitu, di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, perkembangan praktik omnibus hukum sudah di luar kendali, karena berjalan dengan banyak masalah. Satu rancangan omnibus hukum bisa menjangkau ratusan atau bahkan ribuan halaman dan sering kali disusun dengan tenggat sangat pendek. Dengan begitu besar dan rumit isinya, pembuat undang-undang kadang-kadang bahkan

tidak tahu apa isi penting omnibus sebelum mereka diminta memberikan suara.

Briana Bierschbach, dalam “Everything you need to know about omnibus bills, and why they’re so popular at the Minnesota Legislature” (MinnPost, 31 Maret 2017), menyebut bahwa omnibus hukum telah menjadi bagian dari strategi politik, yaitu cara anggota parlemen mengeluarkan ketentuan kontroversial ke dalam undang-undang dengan judul yang diinginkan semua orang. Pernyataan itu mirip dengan omnibus yang kini sedang dibahas pemerintah Indonesia yang bernama “Cipta Lapangan Kerja”, suatu judul yang mestinya diinginkan banyak orang.

Bierschbach membuat katalog sebutan omnibus oleh politisi Minnesota, sep-erti “pill poison”, yaitu proses legislasi omnibus yang menyebabkan seseorang terlihat menentangnya karena kerumi-tan isi omnibus. Istilah lain “log rolling”, ketika suatu rancangan omnibus hukum mendapat dukungan sebagian kecil ang-gota parlemen, tetapi ketika voting, may-oritas anggota parlemen mendukungnya. Senator Peter Wattson menambahkan satu istilah lain, “woodchuck”, cara sekelom-pok anggota parlemen menyembunyikan ketentuan kontroversial dalam pasal-pasal yang sengaja dirahasiakan dari anggota parlemen lain.

Dalam buku Kruitz di atas juga disebut para politisi biasanya jarang menyadari hal-hal kecil dalam paket omnibus. Ketika ditanya tentang isi omnibus pada Oktober 1998, senator Robert Byrd saat itu menjawab: “Apakah saya tahu apa yang ada dalam rancangan undang-undang ini? Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada dalam kebodohan ini”. Tidak jelas apakah senator Byrd merujuk pada Tuhan yang religius atau kepemimpinan Republik. Dengan begitu, legislasi omnibus menjadi suatu teknik untuk mengarahkan perhatian para politisi pada hal-hal tertentu dan menjauhkan mereka dari hal lainnya.

Barbara Sinclair, dalam Unorthodox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S. Congress (1997), juga menyebut bahwa legislasi omnibus berbeda signifikan dengan pembuatan hukum konvensional dalam beberapa hal.

Pertama, legislasi omnibus mengubah proses legislasi dalam waktu singkat

karena pembahasannya sering kali berjalan cepat, tertutup, dan dengan pertimbangan yang kurang konvensional. Legislasi omnibus mengaburkan jalur perwakilan dan mempengaruhi akuntabilitas demokrasi. Mereka membuatnya kurang jelas bagi konstituen, di mana parlemen berdiri pada isu-isu penting mereka. Mereka berpotensi membubarkan apa yang disebut sebagai “rantai sebab-akibat” antara anggota parlemen dan konstituen.

Kedua, paket omnibus menyajikan rute legislasi alternatif yang layak bagi para politisi.

Ketiga, legislasi omnibus menyediakan alat yang sangat kuat bagi para pemimpin partai mayoritas dan dapat mempengaruhi hasil akhir yang ingin dicapai, karena omnibus berisi ketentuan yang mungkin tidak lolos bila diproses berdasarkan undang-undang konvensional.

Keempat, penggunaan omnibus mengubah proses legislasi secara tradisional dengan cara yang kurang ideal dari sudut pandang representasi. Anggota parlemen sendiri biasanya tidak banyak berpartisipasi dan sering kali tidak mengetahui apa yang mereka pilih. Kolumnis politik George F. Will menyamakan omnibus dengan “ember sampah (garbage pails)” karena terlalu banyak penolakan pada saat undang-undang dijalankan.

Meminimalkan RisikoKesenjangan antara pengelolaan sumber

daya alam dengan isi omnibus adalah patahnya “rantai sebab-akibat” antara parlemen dan konstituen, sebagaimana disebut Barbara Sinclair, juga terjadi di Indonesia. Dengan memperhatikan kompleksitas masalah pengelolaan sumber daya alam dan perizinannya di lapangan, beberapa hal tersebut perlu dipertimbangkan guna meminimalkan risiko.

Pertama, cakupan omnibus hukum terlalu sempit apabila soal kemudahan investasi menjadi fokus. Hambatan investasi bukan terletak pada peraturan belaka, tapi diakibatkan oleh persoalan kerusakan dan ketidakadilan manfaat sumber daya alam yang lebih luas.

Kedua, undang-undang omnibus dan undang-undang sisanya semestinya menjadi satu kerangka pemikiran. Hal itu sangat diperlukan karena teks

undang-undang tidak serta-merta bisa memperbaiki perilaku aparatur negara maupun masyarakat, yang bekerja lebih berperan secara administratif daripada substantif (KPK, 2018).

Ketiga, pemisahan kerangka pemikiran tersebut bisa membatasi substansi revisi undang-undang non-omnibus. Apabila segenap pasal dari 71 undang-undang akan diubah atau dihapus demi percepatan investasi, sementara undang-undang yang pasal-pasalnya telah dihapus itu juga akan direvisi, ruang-lingkup revisi akan sangat terbatas karena tidak bisa bertentangan dengan Undang-Undang Omnibus yang telah disahkan. Hal itu berarti perbaikan undang-undang yang tersisa tidak mungkin diperbaiki secara paradigmatik. Padahal persoalan kerusakan dan ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam ada pada tingkat ini, tidak hanya berada pada tataran praktis.

Keempat, sejauh ini belum ada pernyataan dari para penyusun omnibus hukum bahwa “investasi” yang dipercepat itu mempunyai batasan tertentu. Konon akan ada omnibus hukum untuk usaha kecil dan menengah, tapi karena itu monopoli usaha besar harus menjadi perhatian. Investasi dan ekonomi punya ruang yang sama, yang diperebutkan dari waktu ke waktu, dan yang lemah seharusnya mendapat perlindungan.

Kelima, untuk mempercepat investasi terdapat pemikiran awal, misalnya, menghapus penunjukan dan tata batas kawasan hutan dan menggantinya dengan peta digital. Demikian pula terdapat pemikiran untuk melakukan pembatasan pelibatan masyarakat. Pemikiran seperti itu sebaiknya tidak diterima karena sama saja mengajak membangun negara despotik tradisional: negara akan mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala kehidupan masyarakat.

Jika tak hati-hati, dalam arti menyusun peraturan dengan tidak memakai paradigma pengelolaan lingkungan yang adil dan lestari, omnibus law akan jatuh seperti istilah George F. Will tadi. Dan ia akan mengancam masa depan demokrasi kita karena menciptakan preseden buruk potong kompas membuat aturan demi sepotong investasi yang belum tentu menyejahterakan orang banyak.

— Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University

liputan khusus

Dilihat dari ruwetnya problem lingkungan hidup, tumpang tindih izin, tidak sinkronnya kewenangan pemerintah pusat dan daerah, omnibus hukum tampak sesuai sebagai strategi untuk menjalankan Tap MPR Nomor IX/2001. Kita butuh aturan yang sederhana, selaras, tapi sekaligus berpihak pada pengelolaan lingkungan hidup yang adil dan lestari. Apakah omnibus law yang tengah digodok pemerintah sekarang memenuhi asas itu?

Page 38: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest74 75j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

reportase

EKSPEDISI Himpunan Profesi Mahasiswa Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tahun 2019 ke Kabupaten Tanggamus, Lampung. Karena dua tahun terakhir tema ekspedisi Forest Management Student Club adalah perhutanan

sosial, kami mengunjungi sejumlah kelompok tani yang menggarap hutan kemasyarakatan. Ekspedisi tak hanya meneliti keanekaragaman hayati tapi juga keadaan masyarakat sekitar hutan.

Kami berada di Desa Margoyoso di Sumberejo selama sepekan, 29 Juli-8 Agustus 2019, persisnya di Hutan Kemasyarakat Beringin Jaya. Masyarakat desa itu mengelola kawasan hutan lindung di Register 30 Gunung Tanggamus berdasarkan izin Menteri Kehutanan Nomor 886/Menhut-II/2013 dan izin Bupati pada 2014 seluas 871 hektare.

Hutan kemasyarakatan itu dikelola delapan kelompok: Lestari Jaya 1 hingga 8 plus Kelompok Wanita Tani Himawari. Tiap kelompok punya anggota 446 orang kepala keluarga. Mereka berada di bawah bimbingan Kesatuan Pengelola Hutan Lindung Kota Agung Utara dan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Kota Agung Utara (Korut).

KWT Himawari mengembangkan kopi yang mengolahnya menjadi tiga produk: kopi codot, kopi petik merah, dan kopi premium. Kopi codot adalah kopi unik

yang hanya ada di Tanggamus. Seperti kopi Luwak yang diambil dari tinja Luwak, kopi codot adalah biji kopi sisa makan Codot—sejenis kelelawar—yang hanya memakan daging dari buah kopi merah. Biji kopi itulah yang dipungut petani perempuan Himawari.

Kopi codot punya aroma dan rasa yang khas. Sebelum petani mendapatkan izin hutan sosial dan mengembangkan produksi kopi, mereka mengonsumsinya sendiri atau menjualnya dengan harga murah. Ketua Himawari Eka Nur Fitriasari mengatakan ketika pertama menjualnya, reaksi pasar langsung bagus. Harga kopi Codot mentah laku Rp 40 ribu per kilogram.

Karena masih tradisional, pengelolaan kopi oleh Himawari masih tergolong merugi, bahkan tidak layak jika memakai perhitungan-perhitungan modern memakai perhutangan Net Present Valu (NPV) atau nilai barang pada masa mendatang yang diukur hari ini, Internatl Rate Return (IRR) atau discount rate yang menyamakan nilai sekarang (present value) dari arus kas masuk dan nilai investasi usaha, serta Benefit Cost Rasio (BCR) atau rasio penghasilan dengan biaya produksi.

Dari analisis kami, capaian dari angka-angka yang rendah itu karena produksi kopi tidak dilakukan secara optimal. Jika optimal akan mampu mencapai hingga 7.200 kilogram dan memenuhi model optimal yang sesuai dengan syarat kelayakan usaha. Hal lain, Himawari tidak mengolah produk kopi secara rutin karena ketiadaan pasar yang menampung produk

mereka. Mereka baru produksi kopi begitu ada permintaan. Padahal, kapasitas alat giling 5 kilogram per proses roaster sehingga pemanfaatan mesin tersebut belum maksimal.

Apabila model optimal bisa dilakukan, Himawari akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar. Selain itu, akan muncul multiplier effect berupa penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dan penyerapan bahan baku biji kopi basah dari HKm Beringin Jaya.

Problem lain pengelolaan hutan sosial di Beringin Raya adalah rendahnya pengetahuan petani akan program ini. Dari wawancara dengan 37 petani, terlihat bahwa umumnya para petani merasa tak meningkat penghasilan mereka sebelum dan sesudah mendapatkan izin mengelola hutan lindung. Sebelum 2013, mereka dikategorikan perambah hutan. Hingga 2019, mereka tetap saja menjual hasil hutan kepada tengkulak sehingga harga

kopi tidak pernah stabil.Untuk membebaskan petani dari

tengkulak, pada 2015, Beringin Jaya membentuk koperasi. Menjual ke tengkulak membuat petani selalu berada dalam posisi rendah dan tertekan. Mereka tak bisa menentukan harga kopi dan produk hutan mereka bahkan dipaksa berutang dengan bunga tinggi untuk keperluan di luar mengurus ladang, seperti sekolah anak-anak. Pengurus koperasi berusaha meneruskan produk petani langsung kepada pembeli besarnya.

Koperasi kian berdaya setelah mereka mendapatkan pinjaman modal bunga rendah dari program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi dari BRI, sebesar Rp 1,76 miliar. Pembayaran pinjaman mereka bayar secara tanggung renteng sehingga hukuman sosial berlaku jika ada anggota yang telat membayar.

Meski begitu, pengelolaan hutan sosial Beringin Jaya masih terengah-engah.

Meski begitu, petani umumnya paham mereka mengelola hutan lindung sehingga mereka mengerti sistem zonasi yang menjadi syarat pengelolaan hutan sosial. Karena itu, kelestarian hutan meningkat karena tak ada lagi kerusakan hutan seperti penebangan ilegal. Izin hutan sosial juga membuat mereka tenang menggarap lahan tanpa harus kucing-kucingan dengan polisi hutan.

Karena kopi merupakan tanaman yang butuh naungan, petani menanam pohon berkayu sebelum menaburkan benih kopi. Mereka memilih pohon naungan pancang. Akibatnya, hutan lindung dan hutan produksi kembali hijau karena pohon-pohon terawat. Meski begitu, biodiversitas dan regenerasi tanaman kehutanan tergolong rendah karena dominannya jenis kopi.

NILAI MODEL ASLI MODEL OPTIMAL

NPV Rp 181.518.037 Rp 2.356.763.475

IRR 5,245% 259,573%

BCR 0,781 1,331

Kopi Codot dari TanggamusStudi di Hutan Kemasyarakatan Beringin Jaya di Lampung oleh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB. Tiga tujuan hutan sosial belum tercapai karena lemahnya organisasi petani.

Dominasi kopi dibanding pohon berkayu terpengaruh oleh stereotip yang berkembang di masyarakat Tanggamus bahwa penanaman pohon selain kopi menyebabkan luas lahan garapan berkurang sehingga menurunkan hasil panen kopi. Padahal, di banyak tempat, kopi justru subur jika makin banyak pohon penaungnya.

Terlepas dari itu, beberapa petani mulai menanam pohon-pohon multiguna seperti pala, alpukat, dan cengkeh. Beberapa pohon kehutanan juga ditemukan di sana seperti jenis mahoni, sonokeling, dan surian.

Dari segi fauna, spesies yang dijadikan objek adalah serangga terbang dengan jalur berjumlah 20 berukuran 20 x 100 meter. Jumlah famili yang mendominasi adalah dari ordo Lepidoptera dengan berbagai jenis yang dapat dilihat pada tabel. Namun, kekayaan jenis dan keanekaragamannya rendah karena jenis tumbuhan yang ada juga tidak beragam sehingga tidak menunjukkan habitat hutan yang lebih stabil.

Spesies dominan di HKm Beringin Jaya adalah famili Libellulidae. Kami menemukan sebanyak 273 individu yang salah satunya adalah capung. Jumlah capung yang tergolong banyak menunjukkan bahwa kualitas air di HKm Beringin Jaya bisa dikategorikan tidak tercemar. Capung merupakan bioindikator untuk mengetahui kondisi lingkungan, khususnya air, yang masih seimbang.

Dari hasil penelitian tersebut, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan sehingga bisa mendekatkan pengelolaan hutan sosial dengan tujuannya, yakni memberikan nilai ekonomi, meredam konflik sosial, dan mencapai keseimbangan ekologis hutan. Manajemen organisasi perlu dibenahi agar anggota merasa terlibat sehingga arus informasi dan program terkirim secara merata.

Setelah itu, ada kerja sama dengan industri untuk menampung produk hasil hutan mereka. Karena itu mereka perlu mendapat pelatihan produksi hasil hutan agar suplainya bisa mengimbangi permintaan jika sudah masuk skala industri. Para pendamping dan KPH bisa memberikan pelatihan-pelatihan rutin kepada anggota kelompok.

—Milka Priskila, Diki Setiadi Permana

Tim.Tim Ekspedisi Manajemen Hutan 2019

Page 39: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest76 77j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

SEBAGAI tindak lanjut rencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan, pemerintah Indonesia melakukan studi banding untuk mendapatkan referensi pembangunan kota sesuai konsep “kota rimba” dan selaras alam. Pemerintah memilih

Jepang sebagai referensi karena negara ini sukses mengembangkan forest city, selain Tiongkok.

Kita tahu ibu kota baru akan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Alasannya karena dua kabupaten ini punya risiko bencana alam yang kecil, berada di bagian tengah Indonesia, memiliki infrastruktur memadai, serta status tanah milik pemerintah seluas 180.000 hektare. Juga alasan sejarah karena Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia.

Saya berada dalam rombongan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam studi banding pada 25-28 Desember 2019. Delegasi sembilan orang itu dipimpin Staf Ahli Menteri Lingkungan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Laksmi Wijayanti. Ada juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Inovasi KLHK Agus Justianto, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

Erik Teguh Primantoro, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Sri Muniningtyas, serta staf Biro Kerjasama Luar Negeri Zahrul Mutaqien dan Susi Susanti, Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata kelola Lingkungan, Krisna Kumar dan Hendrayanto.

Selama empat hari, kami berkeliling ke sejumlah kota, bertemu para pejabatnya untuk menimba ilmu pengembangan “kota rimba”. Antara lain wali kota dan anggota

dewan kota Karuizawa dan Tateyama di Provinsi Nagano dan Toyama. Fokus kami adalah mencari informasi pengembangan kota di area bekas pertambangan, seperti Penajam dan Kutai.

Kami mengunjungi Ashio, Kebun Raya Karuizawa, Taman Shiroma, empat kawasan ekoriparian di sungai Daiya dan Kegan Falls di Taman Nasional Nikko, Pegunungan Takao, Danau Sagami, dan daerah tangkapan air di kawasan

Akigawa di Hachioji. Kota-kota itu, menurut Laksmi Wijayanti, dipilih sebagai referensi karena punya nilai sejarah, pernah melewati masa keemasan, masa kemunduran, dan sedang mencari bentuk baru untuk bisa tetap bertahan di era teknologi canggih.

Yang mengesankan dari kota-kota itu, seperti dikatakan Agus Justianto, adalah cara pemerintah pusat dan daerah Jepang berkoordinasi mengelola air. Kita tahu

air adalah salah satu sumber kehidupan sekaligus indikator pengelolaan sebuah wilayah berkelanjutan. Jepang mengelola air secara terpadu dari hulu hingga hilir,

efisien memanfaatkan hutan dan ruang, terpadu dalam membangun infrastruktur air, mengembangkan wilayah ekoriparian kawasan penyangga dan sempadan sungai, serta efektif mengelola siklus air untuk semua wilayah.

Pelajaran penting dalam kunjungan itu sewaktu kami ke Ashio di Provinsi Tochigi, daerah reklamasi bekas pertambangan. Kami didampingi dua pejabat, Hitoshi Saito dan Toshio Matsura dari Nikko District Forest Office. Tambang tembaga di Ashio ditemukan empat abad lalu. Jepang yang sedang membangkitkan industri senjata di awal abad 19 mengeksploitasi Ashio dengan mengeruk tanahnya.

Jepang keburu sadar, eksploitasi itu berakibat fatal bagi lingkungan di sekitarnya, juga kesehatan masyarakat. Asam belerang dari proses pemurnian bijih dan debu yang mengandung logam berbahaya mencemari udara dan sungai serta meracuni tanaman pertanian. Sementara penggundulan kawasan hutan menyebabkan sungai Watarase meluap. Kerusakan akibat banjir yang mengandung racun menyebar ke lebih dari 100.000 hektare lahan milik masyarakat. Racun dari tambang tembaga juga meracuni air minum.

Pada tahun 1970-an, Biro Air Kota Kiryu di Perfektur Gunma, yang mendapatkan pasokan air dari hulu sungai Watarase masih menemukan kandungan arsenik dalam air setelah hujan lebat. Logam kadmium yang tersimpan di tanah menyebabkan masalah kesehatan di kalangan petani karena kandungan logam ditemukan pada beras yang ditanam petani di daerah ini.

Kerusakan alam dan degradasi hutan daerah ini sangat berat akibat pencemaran hujan asam dan logam berbahaya akibat pemurnian tembaga. Pembalakan hutan untuk bahan bakar industri membuat tanah erosi dan tercemar.

Upaya pengembalian fungsi kawasan hutan dimulai pada 1956. Namun, musim tanam yang pendek serta hilangnya tanah pucuk membuat rehabilitasi susah dilakukan. Ada banyak teknik untuk mengatasi problem itu, seperti pembuatan blok vegetasi memakai jerami, tanah dan pupuk untuk menjadi media bagi berbagai biji pohon dan perdu yang kemudian ditutup dengan koran agar tidak rusak.

Teknik lain memakai kantung vegetasi

reportase

Jepang Sebagai Referensi Ibu KotaIndonesia hendak membangun ibu kota baru di Kalimantan yang menyatu dengan alam. Meniru Jepang.

Pohon baru.Bekas tambang Ashio yang sudah ditumbuhi pohon.Foto: Shutterstock

Page 40: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest78 79j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

(gauze bags) yang berukuran lebih besar dari blok vegetasi dan berisi lebih banyak tanah yang sudah diisi biji tanaman dan pupuk. Pada medan terjal dan sulit dijangkau, pemerintah memakai helikopter menyebarkan biji tanaman, dan rumput. Ada juga usaha penyulaman untuk mengganti tumbuhan atau pohon yang tidak tumbuh.

Saat kami ke sana, areal rehabilitasi terlihat pohon sudah mulai tumbuh. Kawasan yang berhasil direhabilitasi menarik satwa seperti babi hutan, rusa, babi rusa, dan beruang untuk datang kembali ke kawasan ini, yang terusir akibat aktivitas pertambangan. Populasi rusa juga dilaporkan bertambah. Tapi akibatnya tanaman muda menjadi rusak karena dikonsumsi. Untuk mengatasi gangguan satwa pemerintah memasang pagar kawat tipis yang mengelilingi tegakan pohon.

Pemerintah Jepang menghabiskan dana yang sangat besar untuk proses pemulihan ekosistem hutan akibat penambangan tembaga yang berlangsung sejak ratusan tahun lalu di kawasan Ashio, dan tidak hanya itu anggaran besar juga digelontorkan untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat yang tercemar logam beracun.

Kini tak ada lagi kegiatan penambangan di Ashio. Pemerintah Jepang menjadikan kawasan ini wisata edukasi untuk mengingat tragedi lingkungan terhebat yang pernah terjadi akibat industrialisasi.

Hal lain yang jadi pelajaran dari kunjungan ini adalah Jepang tak mengubah bentang alam ketika mereka membangun kota. Pemulihan daerah aliran sungai memakai konsep ekoriparian yang sebetulnya sudah lama diterapkan di Indonesia, seperti di sungai Citarum di sektor Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat; di sungai Ciliwung sektor Srengseng Sawah di Depok.

Ekoriparian adalah memanfaatkan sempadan atau pinggiran sungai untuk kawasan wisata dan edukasi lingkungan. Karena itu sempadan sungai ditingkatkan kualitasnya dengan membangun kolam retensi untuk mencegah banjir, penanaman jenis yang mampu menahan erosi tanah seperti bambu, pengembangan perikanan darat dan ekowisata sungai, serta membangun taman umum untuk menciptakan ruang terbuka hijau dengan menanam jenis lokal.

Di sungai Daiya, Kota Nikko, komponen biotik dan abiotik alami dipertahankan menjadi daya tarik bagi para pengunjung terutama yang ingin mempelajari ekosistem riparian beserta keanekaragaman hayati alaminya.

Hal kecil yang menjadi ciri khas Jepang adalah disiplin masyarakat. Tak ada sampah di semua tempat yang kami kunjungi. Ketika kami ke sana, musim salju sedang deras. Masyarakat secara sukarela membersihkan jalan dari tumpukan air beku itu. Di semua tempat makanan dan minuman selalu ada tempat sampah. Toilet publik teramat bersih. Meski tanpa peringatan dan anjuran buang sampah atak tak mengotori area umum, masyarakat mematuhinya.

Di tempat-tempat wisata atau pertokoan, anak-anak menunjukkan perilaku ramah lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya. Seorang pemilik penginapan mengingatkan kami agar tak terlalu lama berdiri di pedestrian karena akan mengganggu pejalan kaki. Disiplin dengan semangat tak merugikan orang lain adalah semangat sosial Jepang yang begitu tinggi.

Bagaimana dengan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mengingat Jepang menerapkan otonomi khusus yang luas? Penataan kota adalah jawaban atas pertanyaan yang di Indonesia menjadi problem pelik ini. Pemerintah pusat dan daerah kompak dalam merancang dan menyusun tata ruang dan pemanfaatan lahan sesuai dengan kebutuhan lokal dan nasional sehingga tidak terjadi konflik kepentingan.

Wali Kota Karuizawa maupun Tateyama yang kami tanya soal ini menjelaskan

bahwa pemerintah pusat memberikan arahan pembagian kewenangan pengaturan negara bagian dengan jelas dan masyarakat sangat patuh terhadap peraturan yang diberlakukan, terutama menyangkut kebutuhan air. Pemerintah mengatur pengelolaan air dengan sistem jaringan dan infrastruktur yang kuat. Kawasan hutan dan daerah riparian di kelola sedemikian rupa untuk menjaga fungsi tata air dan juga jasa lingkungan.

Pengembangan ekonomi daerah berbasis alam dan dukungan aktif masyarakat menjadi kunci pokok dalam menjaga dan memelihara sumber daya alam. Sehingga pemanfaatannya pun dirasakan tidak hanya oleh masyarakat, juga oleh pengunjung dan wisatawan yang datang. Kami atau siapa pun yang datang ke sana mendapatkan pelajaran yang berharga tentang pembangunan kota yang berkelanjutan melalui penerapan konsep “smart city” dan “forest city” yang selaras dengan alam, sehingga sesuai dengan pembangunan mencegah perubahan iklim—sebuah cita-cita yang ingin ditiru dalam pembangunan ibu kota baru. Nanti.

—Titiek Setyawati, peneliti ekologi hutan, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi

KLHK.

reportase

Tim Ibu Kota Negara.Penyerahan cinderamata 60 jenis kayu komersial Indonesia oleh ketua Delegasi Tim Ibu Kota Negara Laksmi Widjayanti kepada Wali Kota Karuizawa Susumi Fujiyaki di kantor Pemerintah Kota Karuizawa. Foto: Titiek Setyawati

F rest D gest

untukbumi

yanglestari

Berlangganan: Drajad Kurniadi [email protected]

Page 41: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest80 81j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Matematika Ibu Segala IlmuTanpa konsep matematika, kita tak akan bisa membaca dan membuat jembatan. Tak ada matematika, hidup akan hampa.

Asal-Usul “Hutan untuk Rakyat”Buku yang berisi pemikiran Jack Westoby. Ramalan-ramalannya tentang nilai hutan terbukti 40 tahun kemudian.

MATEMATIKA adalah gerbang ilmu pengetahuan, kata Roger Bacon, filsuf Inggris yang lahir pada 1214. Mengabaikan matematika, kata Bacon, akan melukai semua

pengetahuan. Dan matematika adalah cara berpikir mahluk hidup sejak mula.

Seekor burung akan tahu jumlah telur yang ia tetaskan. Manusia memakai konsep “sedikit” dan “banyak” dalam berebut sumber daya alam untuk memenuhi nafsu atau sekadar bertahan hidup. Matematika adalah dasar pikir mahluk hidup yang memiliki otak.

Matematika juga tanda kehidupan sosial. Semakin kompleks konsep matematika, kian kompleks pula hidup kita. Ketika orang Babilonia belum memikirkan dan menemukan angka 0, manusia hanya soal bertahan hidup. Ketika angka 0 ditemukan di India, arsitektur berkembang sangat pesat. Kini kita mengenal komputer super-canggih berkat algoritma.

Buku ini tak sekadar soal bilangan dan rumus-rumus. Dalam pengantarnya A Brief History of Mathematical Thought ini, Luke Heaton—matematikawan dari Universitas Oxford, Inggris—melacak konsep matematika ke zaman purba, ke sejarah Yunani, Mesir Kuno, hingga Mesopotamia dengan pertanyaan: bagaimana manusia merumuskan konsep matematika awal? Hasilnya adalah sebuah

JACK Westoby, seorang ahli statistik dan ekonomi, menjadi petinggi yang membidangi persoalan kehutanan di Organisasi Pangan Sedunia (FAO) pada 1952-1974. Dia adalah ikon penting di balik konsep “social forestry”, yang di Indonesia sempat diterjemahkan sebagai

“kehutanan masyarakat” lalu kini “perhutanan sosial.

Westoby, yang wafat pada 1988 pada usia 76, terkenal dengan ucapannya: “Forest is not about trees, it is about people. And it is only about trees insofar as it serves the needs of people.” Kemunculannya dalam Kongres Kehutanan Sedunia di Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta pada 1978 menjadi tonggak penting pembuat kebijakan kehutanan di Indonesia. Tahun 1978 selalu diingat sebagai tahun penanda perhutanan sosial.

Tapi Indonesia mencari dan menempuh jalan lain dari yang dianjurkan Westoby. Atau menafsirkan lain dengan apa yang dimaksudkan Westoby. Hutan untuk rakyat memang terdengar berhaluan sosialis. Indonesia yang sedang menyingkirkan gulma ini lalu menjauh dari konsep “forest for people” dan patuh pada konsep teknokratis multiflier effect ekonomi. Hutan pun dibagi ke pengusaha dengan harapan dampak ekonominya akan memberi kemakmuran kepada masyarakat melalui tenaga kerja, melalui setoran pajak.

Para teknokratis itu benar separuh. Kroniisme Orde Baru menghancurkan konsep kapitalisme itu. Akibatnya, alih-alih menjadi efek pengganda hutan dikuasai segelintir orang untuk memupuk kekayaan sendiri. Keserakahan semacam itu membuat hal buruk lain segera terjadi: ketidakpedulian pada konsep manajemen

buku yang menakjubkan.Dari Heaton kita tahu bahwa konsep

bilangan jauh lebih tua ketimbang konsep percakapan. Matematika sama tuanya dengan bahasa manusia. Orang zaman dulu merumuskan konsep perhitungan, jumlah, jarak, atau ukuran ke dalam lambang-lambang. Kita mengenalnya kini sebagai angka. Tapi matematika bukan semata bilangan.

Matematika adalah bahasa. Karena itu bukan angka dan hasil yang paling penting. Seperti bahasa, dalam rumus dan konsep matematika yang paling penting adalah argumen. Juga seperti bahasa, matematika adalah pola yang disusun dan ditemukan lalu dikonsepsikan menjadi rumus, menjadi torema. Orang

hutan yang lestari. Orde Baru jatuh salah satunya karena kroniisme yang akut dan kerusakan lingkungan yang dahsyat.

Pertanyaannya, apa yang terjadi seandainya Indonesia yang tak tergoda pada anjuran-anjuran Mafia Berkeley dan tunduk menjalankan apa yang dianjurkan Westoby?

Dipicu rasa penasaran, saya mencari bukunya. Saya ingin tahu terutama landasan pemikiran Pak Westoby. Buku Introduction to World Forestry ini terbit pada 1989. Sudah tak dicetak lagi. Saya membelinya di toko online Amazon. Stok tinggal dua buku dengan harga lumayan, Rp 958 ribu, plus ongkos kirim.

Seperti tampak dalam buku ini, Westoby orang yang cukup dalam dan luas perspektifnya tentang kehutanan. Dia menyodorkan kritik bahwa ilmu kehutanan termasuk yang “underdeveloped”, tidak berkembang, dan fokusnya cenderung cuma pada

Mesopotamia sudah memakai perhitungan Phitagoras dalam menghitung bidang persegi, ratusan tahun sebelum Phitagoras lahir. Mereka bahkan sudah merumuskan konsep dasar perhitungan sudut dan lingkaran yang kini kita kenal sebagai ilmu trigonometri.

Tiap-tiap kebudayaan punya konsep matematikanya sendiri. Orang Sumeria kuno, misalnya, tak memakai bilangan persepuluh dalam konsep perhitungan, tapi kelipatan 60. Karena itulah kita mengenal sudut 360o atau satu jam sama dengan 60 menit, dan satu menit adalah 60 detik.

Orang-orang purba merumuskan bilangan dari apa yang terlihat. Bilangan ganjil, misalnya, diasosiasikan dengan laki-laki, sementara bilangan genap mengacu kepada perempuan. Tentu saja mereka mengacu kepada morfologi. Tapi lebih dari itu, sejak mula sebenarnya, perempuan mendapat penghargaan dibanding laki-laki dalam hal cara berpikir. Struktur sosial kemudian mengubah konsep itu menjadi “perempuan menggenapi laki-laki.”

Tapi perempuan pulalah yang berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan, yakni ketika Ratu Cleopatra dari Mesir menghadiahkan perpustakaan Alexandria kepada Julius Caesar. Konsep matematika yang ditulis para ilmuwan Mesir yang mereka salin dan serap dari Yunani pun menyebar ke Roma. Orang-orang Romawi merumuskan matematika menjadi konsep yang kian kompleks hingga menyebar ke seluruh dunia, hingga dipelajari Alan Turing di Inggris hingga ia menemukan konsep komputer ketika berusaha memecahkan kode rahasia Perang Dunia.

Matematika pun menjadi lebih kompleks. Tak hanya berperan meletakkan logika dasar dan merumuskan jalan pikiran manusia, matematika kini telah menjadi ilmu terapan yang mempengaruhi peradaban. Sejarah pemikiran, filsafat hingga seni, sangat ditopang oleh matematika.

Tak heran jika Roger Bacon menyebut matematika sebagai ibu dari segala ilmu. Tanpa konsep 1 + 1 = 2, kita tak akan bisa menuliskan logika yang kompleks, tak akan bisa membangun jembatan, atau jalan melayang, bahkan terowongan bawah laut hingga kapal selam. Matematika melahirkan beragam ilmu lain dalam kemajuan berpikir. —

kayu. Padahal, hutan adalah rangkaian ekosistem yang kompleks dan punya relasi yang kompleks dengan manusia di sekitarnya.

Menurut Westoby, pendekatan yang lebih komprehensif, melibatkan berbagai ilmu sosial (antropologi, sosiologi, ekonomi) harus dilakukan untuk memahami hutan. Belakangan, saya tahu dari seorang dosen IPB bahwa universitas

ini tengah IPB mengembangkan studi transdisiplin dalam setahun terakhir untuk memahami persoalan hutan.

Dalam buku ini Westoby dengan rinci mengisahkan bagaimana hutan dari masa ke masa, di berbagai tempat di dunia. Salah satu benang merah penting yang dicatat Westoby adalah bahwa eksploitasi hutan terjadi kian parah bukanlah karena ledakan dan tekanan populasi manusia, tetapi lebih karena ada kelompok kepentingan (penguasa, pengusaha, elite) yang sedang melakukan ekspansi perluasan kuasa.

Westoby seorang futuristik. Sejak 1960-an dia sudah mengatakan bahwa produk hutan yang paling penting di masa depan bukanlah kayu, tetapi air. Ya, air bersih! Prediksinya benar. Hutan kita yang rusak atau

terkonversi menjadi permukiman atau industri membuat ketersediaan air absolut Indonesia, terutama di Jawa, menjadi minus. Air Jawa akan mati pada 2045.

Hanya hutan dengan kerapatan pohon, tanah yang penuh humus, ekosistem yang sehat yang bisa menjalankan tugas dalam siklus hidrologi. Manajemen air, manajemen tanah mengelola dan menampung hujan, dan aktivitas fotosintesis dedaunan dan pohon-pohon adalah kunci keseimbangan iklim—yang sekarang jadi persoalan besar di tengah krisis iklim.

Saya sambungkan poin Westoby tentang air itu dengan pengalaman berkunjung ke berbagai lokasi hutan desa atau nagari di Jambi dan Sumatera Barat. Di Rantau Kermas, Jambi, mata air yang melimpah telah menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air 40 Mega Watt. “Kami jago rimbo supaya air terus melimpah. Rimbo terjago, listrik nyalo,” begitu semboyan orang Rantau Kermas. —Mardiyah Chamim

bukubuku

A Brief History of Mathematical ThoughtLuke HeatonRobinson, 2015321 halaman

Tak heran jika Roger Bacon menyebut matematika sebagai ibu dari segala ilmu. Tanpa konsep 1 + 1 = 2, kita tak akan bisa menuliskan logika yang kompleks, tak akan bisa membangun jembatan, atau jalan melayang, bahkan terowongan bawah laut hingga kapal selam.

Page 42: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest82 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Multidimensi Sumber Daya AlamBedah buku “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan”. Urusan kehutanan tak semata hutan, tapi sosial, ekonomi, birokrasi, hingga politik.

PARIWISATA acap diklaim sebagai usaha yang ramah lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat dan menaikkan pajak. Tapi bagi Paox Iben, pariwisata lebih banyak meruak

alam. Bahkan laki-laki 44 tahun ini menyimpulkan kerusakan alam akibat pengembangan pariwisata jauh lebih masif ketimbang pengerukan sumber daya alam oleh perusahaan tambang.

Paox, bernama asli Ahmad Ibnu Wibowo, menarik kesimpulan itu setelah berkeliling Indonesia pada 2015-2016 selama sembilan bulan. Ia mendatangi komunitas adat dari Aceh hingga Halmahera dan melihat kehancuran sumber daya alam akibat pelbagai konversi lahan. Paox membagi pengalamannya berkeliling Indonesia saat bedah buku “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan” di yang digelar Himpunan Mahasiswa Sylva Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, 14 Desember 2019.

Muhammad Syukran, dari Komunitas Penjaga Pulau juga berpendapat sama. Daerah pesisir merupakan wilayah yang paling banyak terkonversi menjadi pariwisata. Karena itu Komunitas Penjaga Pulau fokus mengedukasi masyarakat di wilayah pesisir. Sejak 2010, Komunitas mendatangi pesisir-pesisir dan mengajari pemuda lebih peduli pada pesisir yang rusak akibat pariwisata.

Menurut Paox, kerusakan alam Indonesia sudah sangat memprihatinkan. “Gerakan kita sekarang adalah bagaimana memutus mata rantai kerusakan itu,” katanya. “Birokrasi sudah tak bisa

diandalkan, saatnya akademisi turun lapangan.”

“Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan” adalah kumpulan tulisan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, yang terbit tahun lalu. Sebagai guru besar kebijakan, Hariadi acap menyoroti state capture atau korupsi yang dilegalkan atas nama peraturan. Bersama KPK, ia juga tergabung dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya

Alam.Yang mengejutkan dari bedah buku

dan diskusi penyelamatan sumber daya alam ini adalah para peserta acara itu, dari mahasiswa, dosen, aktivis, birokrat, hingga lembaga donor, baru mengetahui bahwa lagu Indonesia Raya berisi tiga stanza. Selama ini stanza yang dinyanyikan tiap upacara bendera merah putih atau pembuka kegiatan adalah stanza pertama.

Lagu Indonesia Raya diciptakan Wage Rudolf Supratman

dan pertama dinyanyikan pada 28 Oktober 2018. Selama 80 tahun, dua stanza terakhir tak pernah diperdengarkan. Kini simbol negara itu wajib dinyanyikan seluruhnya. “Saya baru sadar ternyata selama ini lagu kebangsaan Indonesia Raya memiliki 3 stanza,” kata Syukran.

Menurut Hariadi, apa yang ia tulis dalam buku itu adalah pengingat bahwa urusan kehutanan tidak boleh dilihat semata problem kehutanan. Sebab, di balik hutan ada konteks sosial, politik, dan kejumudan birokrasi. “Buku itu memberikan pesan bahwa ilmu pengetahuan harus kita pakai untuk masuk ke

sana,” kata dia.Sebagaimana halnya pariwisata yang

disampaikan Paox Iben, ia tak sekadar urusan kemakmuran. Dalam pariwisata, ada bentang alam, ada masyarakat. Pendeknya ada urusan sosial. Karena itu dalam paradigma baru pengelolaan hutan lestari, tak hanya ekonomi yang jadi perhatian, tapi juga sosial dan ekologis.

—rizki Sukarman S dan Baiq nursarah azwani

buku

Dari Pinggiran Mencatat Hutan SosialBuku yang mengulas perhutanan sosial dari komandan kebijakannya. Disajikan secara naratif dari perspektif personal.

PERHUTANAN sosial adalah isu lama tapi baru populer lima tahun belakangan. Ia sesungguhnya tema Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta tahun 1978 dengan nama “forest for people”, hutan untuk rakyat. Tapi orientasi pembangunan

ekonomi Orde Baru membuat tema ini tak diterapkan secara mulus. Masyarakat yang mengelola kawasan hutan dianggap perambah karena izin diberikan sepenuhnya kepada korporasi.

Hasilnya adalah deforestasi dan degradasi kawasan hutan yang menjadi problem pelik hari ini. Pemerintah kemudian menengok kembali tema itu dan menjadikannya kebijakan nasional dengan menempatkan perhutanan sosial menjadi direktorat jenderal sendiri di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2014. Targetnya lumayan besar, 12,7 juta hektare selama lima tahun dengan satu keyakinan bahwa masyarakat lebih arif dalam memperlakukan hutan di sekitar mereka.

Sebab, praktik hutan sosial sesungguhnya sudah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Keberadaan mereka hingga hari ini menjadi bukti bahwa masyarakat jauh lebih lestari dalam mengelola hutan karena rimba adalah ekosistem yang menjadi hidup dan menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari.

Karena menyangkut manusia maka

sebuah hutan sosial sesungguhnya memiliki cerita yang memiliki semua anasir pengisahan. Penulis buku ini, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, agaknya sadar bahwa sebuah hutan sosial memiliki aktor yang bergerak membentuk kisah-kisah unik dengan segala kearifan lokal yang ada di dalamnya.

Maka meski penceritanya seorang pejabat yang menangani dan menjadi komandan kebijakan ini, yang tampil dalam buku ini adalah para petani hutan yang mempraktikkan pengelolaan rimba secara berkelanjutan, para pendamping, penyuluh, hingga offtaker yang terlibat di dalamnya. Penulisnya hanya menjadi semacam pengamat dari praktik perhutanan sosial yang ia kawal kebijakan dan realisasinya di lapangan.

Secara empiris dan kebijakan, delegasi izin mengelola hutan kepada masyarakat memiliki tujuan meningkatkan ekonomi, meredakan konflik, dan meningkatkan tutupan hutan secara ekologis. Buku ini tak mengurai secara rigid tiga tujuan ini satu per satu. Tapi kisah-kisah yang dipilih

dalam buku ini secara otomatis mencerminkan tiga tujuan tersebut yang dibungkus dengan cerita petani dengan bahasa yang mudah dicerna dan dekat dengan percakapan kita.

Masih belum banyak buku yang menceritakan praktik kebijakan negara di tingkat tapak yang disajikan dengan cara berkisah seperti ini. Karena itu buku ini menjadi semacam oase: kebijakan negara pun bisa dituliskan secara asyik, enak dibaca, dan mudah dipahami.

Agaknya, ini buku kedua tentang perhutanan sosial yang disajikan secara berkisah seperti ini, setelah Lima Hutan Satu Cerita yang ditulis wartawan Tosca Santoso dan terbit awal 2019. Bedanya, yang ditulis Bambang Supriyanto ini sebanyak 11 cerita perhutanan sosial, baik yang sudah mendapatkan izin maupun belum tapi sudah mempraktikkan cara-cara mengelola hutan memakai salah

satu skema hutan sosial sejak lama. Tentu saja, 11 cerita ini masih kurang karena kini sedikitnya

ada 5.000 hutan sosial yang sudah mendapatkan izin kendati baru 1

persen yang benar-benar mandiri hingga bisa memasarkan produknya ke luar daerah petani.

Seperti kata Imam Prasodjo yang membahas buku ini saat peluncuran pada 28 November 2019, di hari kedua Festival Perhutanan Sosial Nasional di Manggala Wana Bakti Jakarta, buku ini kurang mengulas “konflik” dalam pengelolaan hutan sosial. Sosiolog Universitas Indonesia itu menilai Bambang masih terlalu sopan sehingga tak mengulas soal proses pemberian izin hutan sosial yang ribet dan birokratis. “Meski pun buku ini enak dibaca dan disajikan secara naratif seperti novel,” kata Imam. “Tapi novel yang datar.”

Mendapat tantangan itu, Bambang berjanji ia akan membuat edisi revisi buku itu, juga edisi kedua karena masih banyak hutan sosial yang inspiratif dan layak mendapat tempat dalam sebuah buku agar dokumentasinya bisa dibaca generasi mendatang. —

buku

F rest D gest 83j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Page 43: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest84 85j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Membidik Satwa Liar

CARA terbaik mengawetkan satwa adalah dengan memotretnya. Sehingga senjata terbaik membidik mereka bukan bedil dan senapan, melainkan lensa kamera. Memotret hewan di alam bebas (wild life photography) tidak sekadar memotret satwa secara close-up dan menempatkannya di tengah frame. Menunggu hingga memakan waktu berjam bahkan berhari-hari merupakan jadwal para fotografer alam bebas agar

mendapat momen terbaik atau ekspresi hewan yang mewakili sifat mereka. Karena itu kemampuan memilih momen aktivitas satwa dan mengomposisinya dalam sebuah foto menjadi sangat penting. Penguasaan teknis dasar fotografi, seperti pengoperasian kamera, pemilihan lensa, penentuan waktu yang tepat untuk memotret hingga pengaturan komposisi obyek merupakan, syarat yang perlu kuasai dan

Beberapa tips memotret satwa liar:• Penguasaan substansi dari obyek pemotretan, bisa

dilakukan dengan membaca literatur maupun observasi lapangan.

• Untuk bisa merekam segala aktivitas satwa yang tidak bisa diprediksi, penggunaan mode high continuous akan sangat menguntungkan dalam menangkap momen terbaik .

• Mode continuous focusing akan sangat membantu merekam gerakan obyek.

• Hewan adalah makhluk hidup yang memiliki ekspresi dan keunikan tersendiri. Temukan sifat-sifat alami mereka yang unik.

• Memakai mode Semi Manual seperti speed priority untuk memudahkan mengambil keputusan dalam pengaturan pencahayaan

• Potret obyek dari sudut yang berbeda. • Memakai lensa tele.• Gunakan flash bila diperlukan dengan pengaturan

kompensasi pencahayaan sedemikian rupa sehingga suasana terlihat natural

• Menunggu momen hingga kontak mata dengan satwa agar menghasilkan foto ekspresif.

• Menempatkan unsur-unsur alam di sekitar obyek untuk membuat komposisi foto.

• Menyamar agar tak mengejutkan satwa objek foto.

Naskah: Asep AyatFotografer: Asep Ayat, R. Eko Tjahjono

fotografi

Page 44: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest86 87j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

Piring Pelepah PinangTiga anak muda mengembangkan piring penganti styrofoam dan plastik dengan pelepah pinang. Segera diproduksi massal.

KEMATIAN paus sperma pada November 2018 yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mendorong Fadhlan Makarim meriset pemakaian plastik untuk kebutuhan sehari-hari. Soalnya, paus itu diduga tewas

akibat memakan plastik yang ditemukan di dalamnya perutnya sebanyak 6 kilogram.

Fadhlan adalah inisiator Footloose Initiative, gerakan mengurangi plastik untuk kebutuhan sehari-hari di Bandung. Ia mendirikan Inisiatif itu bersama dua desainer produk lain, Rengkuh Bayu dan Almira Zulfikar, yang tinggal di Jakarta dan Bali. “Setelah membaca berita kematian paus, kami memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk mencegah plastik masuk laut,” kata Fadhlan kepada Forest Digest pada pertengahan Januari 2020.

Mereka lalu melihat ke India. Di sana, penduduk memakai piring dari pelepah pohon pinang untuk alas makanan dalam upacara-upacara adat. Ketiga anak muda ini pun sepakat mewujudkan ide yang sama itu di Indonesia. Selama ini, dalam pelbagai kenduri, orang Indonesia memakai piring berbahan plastik atau styrofoam sekali pakai. Padahal, styrofoam adalah produk yang tak bisa diurai alam.

Mengganti piring styrofoam dengan pelepah pinang, selain ramah lingkungan juga memanfaatkan sampah di hutan dari pelepah yang tak dipakai petani. Selama ini, petani hanya memanfaatkan buah pinang untuk pelbagai keperluan,

teroka

sementara daun dan pelepahnya menjadi sampah, atau sekali-kali dipakai sebagai penutup tempayan.

Fadhlan dan teman-temannya lalu mengontak Koperasi Mendis Maju Bersama di Desa Mendis, Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada awal 2019. Ada sekitar 30 petani yang tertarik dengan ide ini. Menurut Fadhlan, di Desa Mendis tiap petani memiliki lahan dua hektare yang hampir pasti menanam pinang, sehingga bahan baku tak jadi masalah. “Kami latih mereka jadi vendor,” kata Fadhlan.

Karena Musi Banyuasin masuk wilayah Kemitraan Pengelolaan Lanskap (Kelola) Sembilang Dangku (Sendang) dari Zoological Society of London, para aktivis yang ada di sana mendampingi para petani mengolah pelepah pinang jadi piring ini. Fadhlan mengajak para aktivis Kelola Sendang untuk terjun mengajari petani cara membuat hingga memasarkan piring.

Gerakan Footloose Initiative disambut baik oleh penduduk lokal. Mereka bahkan menunggu-tunggu realisasi dari rencana-rencana Fahdlan dkk yang sudah dipresentasikan sejak awal tahun 2019. Petani sudah tak sabar dengan ide baru itu.

Baru pada April 2019, program memanfaatkan pelepah mulai jalan. Menurut Fadhlan, butuh hampir setahun menyiapkan prosesnya sebelum petani akhirnya bisa memproduksi piring. Sebab, kata dia, ketika awal mengerjakan, pelepah pinang sebagai bahan baku ditumbuhi jamur sehingga tak layak diproduksi.

Para petani juga antusias dengan ide ini. Selain mudah, membuat piring pelepah pinang juga praktis. Pelepah yang jatuh atau diambil dari pohon pinang dikeringkan memakai pemanas elektrik atau cahaya matahari. Pelepah lalu dipotong sesuai dengan bentuk

piring dengan ukuran yang diinginkan. “Sebelum dicetak, pelepah harus dibasahi agar lentur dan tidak gampang sobek,” kata Supriyanto, petani Desa Mendis yang menjadi Ketua Koperasi, kepada Tempo.co.

Menurut Supriyanto, pelepah pinang tak perlu diplitur karena sudah mengkilat secara alami. Supriyanto membeli satu pelepah dari petani seharga Rp 300-400 berukuran lebar 25 sentimeter. Setiap lembar pelepah pinang bisa jadi dua piring. Sebetulnya tak hanya piring, Koperasi Mendes juga membuat sendok dari pelepah pinang. Potongan-potongan

pelepah sisa produksi dijadikan pakan ternak sapi dan

kambing.Setiap bulan,

jika cuaca bagus, Supriyanto dan para petani bisa memproduksi 50.000 unit piring dan sendok. Harga per unit

antara Rp 1.500 hingga Rp 1.800.

Sejauh ini, kata Supri, bahan baku dari petani

di Desa Mendis sangat cukup. Satu pelepah pinang

dihasilkan dari satu pohon pinang per bulan. Satu

pelepah dihasilkan Jika permintaan melimpah, dan bahan baku kurang, para petani mengambil dan membelinya dari Jambi, sekitar dua jam perjalanan.

Desa Mendis adalah satu dari 23 desa di Kecamatan Bayung Lencir Sumatera

Selatan berjarak 8 jam perjalanan darat ke Timur

Laut dari Palembang. Luasnya kira-kira 307 hektare. Dari sekitar 1.300 keluarga, mayoritas buruh dan petani. Sisanya pedagang dan pegawai negeri. Desa-desa di Bayung Lencir umumnya berupa perkebunan kepala sawit dan gambut.

Fadhlan menargetkan Koperasi Mendis bisa memproduksi piring pelepah pinang 60.000 unit per bulan. Dengan

menaikkan jumlah unitnya, ongkos produksi bisa ditekan. Sebab harga per unit piring pelepah pinang masih mahal jika dibanding harga piring styrofoam. Di Tokopedia, harga satu piring bulat Rp 600. Tantang petani Koperasi Mendis dan pengelola adalah menurunkan ongkos produksi agar harga minimal sama dengan piring styrofoam.

Selama ini, beberapa pesanan datang dari pelbagai rumah sakit di beberapa kota, yang memang peduli lingkungan, belum jadi produk massal. Turis yang datang ke desa ini baru menjadikannya oleh-oleh, belum sebagai kebutuhan.

Manajer Kelola Sendang Wijaya Asmara menambahkan bahwa pemanfaatan pelepah piang sebagai produk usaha juga sekaligus mencegah masyarakat hanya tergantung pada hasil hutan di sekitar mereka. Sering kali untuk mendapatkannya dengan cara merambah atau meluaskan lahan kebun dengan cara membakar. Menurut Wijaya, karya petani Mendis ini sudah didaftarkan ke Kementerian Hukum untuk mendapatkan hak paten.

Kendati belum massal, pemerintah Banyu Asin mendukung inisiatif ini. Bupati Dodi Reza Alex Noerdin akan menjadikan piring pelepah pinang sebagai pengganti peralatan makan dan minum di kantor pemerintah daerah yang berbahan plastik.

Dukungan Bupati Dodi Reza menggembirakan pada inisiator piring pelepah pinang. Fahdlan berharap pemerintah daerah memberikan subsidi agar harga jual piring setara dengan styrofoam yang masih separuhnya. Sejauh ini menggandeng pemerintah baru sebatas dukungan regulasi untuk mempermudah pemasaran dan pendirian usaha kecil. “Dengan subsidi, harga jadi tak masalah,” kata Fadhlan.

Cara lain adalah efisiensi bahan baku dan optimalisasi produksi. Kelak, kata Fadhlan, ketika pemakaian bahan baku efisien dan produksi pelepah bisa dioptimalkan membuat pelbagai barang, harga satuannya menjadi kian murah. “Kami akan coba dari segala lini,” kata dia.

Omong-omong, kelak merek piring dan segala produk pelepah pinang adalah “Plepah”. Peluncuran pertama masuk pasar komersial pada Januari 2020.

—Siti Sadida Hafsyah

Page 45: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest88 89j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

wawancara

VISI negara maju 2045 diterjemahkan Joko Widodo yang terpilih kembali menjadi presiden periode 2019-2024 menjadi negara yang ramah investor. Di era keduanya, investor akan dianggap seperti raja yang harus dilayani

segala kebutuhannya sehingga mereka berinvestasi besar-besaran di sini. Visi yang terdengar seperti visi Indonesia di awal Orde Baru.

Jokowi menegaskannya kembali dalam pidato bertajuk “Visi Indonesia” di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada Juli 2019. Ia menekankan bahwa Indonesia membuka lebar pintu investasi.

Sejumlah usaha ditempuh. Salah satunya menggodok omnibus law, undang-undang sapu jagad yang akan menyederhanakan, memampatkan, memangkas, aturan-aturan yang sudah ada tapi tidak sinkron, tumpang-tindih, yang membuat investor, seperti kata Jokowi, balik kanan meski sudah sampai pintu depan Indonesia. Cara ini dikritik sejumlah aktivis lingkungan. Tidak saja proses omnibus law tertutup, juga karena investasi acap menghasilkan kerusakan lingkungan yang parah, seperti pengalaman Indonesia di bawah Presiden Soeharto.

Soalnya, Indonesia juga punya komitmen menurunkan emisi karbon 29-41 persen pada 2030. Deforestasi dan degradasi lahan paling banyak menyumbang emisi yang mengakibatkan suhu bumi memanas 0,8 derajat Celsius dalam 100 tahun terakhir.

Emil Salim punya banyak pendapat soal ini. Di usianya yang ke-89 ia masih energik dan aktif menghadiri pelbagai acara. Ia berbicara kepada wartawan, termasuk Siti Sadida Hafsyah dari Forest Digest, soal isu-isu terhangat seusai jumpa pers Kehati

Award 2020. Di Yayasan Keanekaragaman Hayati ini, Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1978-1993 ini menjadi pembina.

INVESTASI DAN PERUBAHAN IKLIMpemerintah tengah merancang

omnibus law untuk menarik investasi. apa yang harus diperhatikan agar keanekaragaman hayati juga tetap terjaga?

Sebelum berfokus pada keanekaragaman hayati, perlu diketahui bahwa kita perlu mengembangkan sumber daya manusia, dengan memanfaatkan bonus demografi. Kalau lihat peta Indonesia, bagian timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, memiliki ketersediaan sumber daya manusia yang tertinggal.

Sekarang, kita perlu mencari pola untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia, termasuk handicap-nya seperti stunting dan semacamnya agar dapat diatasi. Karena itu dibutuhkan riset bersama dengan mereka yang bergerak di inovasi. Bagaimana memanfaatkan air laut menjadi sumber air tawar. Bagaimana energi yang ada di laut dikembangkan menjadi energi bersih. Bagaimana sinar matahari di tropis menjadi source, bukan minyak bumi, tetapi sinar matahari. Kita hidup di khatulistiwa. Matahari memancar 12 bulan dalam setahun. Itu source of energy. Solar energy harus ditancap gas. Kemudian pemanfaatan untuk air bersih dari air laut itu dengan memanfaatkan perubahan melalui energi matahari, dan lain-lain.

artinya, investasi dalam omnibus law harus lebih banyak untuk riset?

Kita sekarang mengalami bonus demografi. Anak-anak muda menghadapi tantangan lain dibanding zaman saya yang tua ini. Menteri pendidikan itu betul. Ia ingin mengubah cara pendidikan. Tapi itu menghendaki investasi. Cari investasi,

besar-besaran, tetapi yang mendukung pendidikan. Semua penghasilan sumber daya alam yang tidak diperbarui, seperti minyak bumi, hasilnya jangan dimakan, tapi untuk otak. Minyak bumi habis, tapi otak berkembang. Dan ini mendorong generasi muda dari bonus demografi ini. Saya sangat mendukung menteri pendidikan tancap gas. Beri dia banyak dana, terutama dari sumber daya alam yang tidak diperbaharui. Mining, batu bara, minyak bumi, itu habis dipakai, hilang.

Selain riset, apa lagi untuk mencegah perubahan iklim?

Perubahan iklim pasti datang. Hutan Brazil, Australia, Indonesia, terbakar. Kita juga harus bersiap bahwa permukaan air laut akan naik. Dengan demikian, yang terancam adalah pantai utara Jawa karena land subsidence. Maka banjir yang kita alami bukan hanya banjir Jakarta, tapi banjir pantai utara Jawa. Maka kita harus bersiap dan memanfaatkan teknologi. Jadikan air laut berubah menjadi air tawar. Manfaatkan energi matahari. Jadi tantangan lingkungan yang kita hadapi

adalah memanfaatkan sains dan teknologi untuk pembangunan Indonesia. Sehingga banjir bisa diatasi, air tawar bisa diatasi, listrik diatasi.

Badan nasional penanggulangan Bencana (BnpB) mengakui sistem peringatan dini belum akurat...

Ancaman curah hujan besar diperkirakan akan terjadi 12 Januari hingga 15 Januari. Tidak terbukti karena BPPT berhasil intervensi dengan siram garam ke awan. Lagi-lagi, teknologi, lagi-lagi, ilmu. Saya percaya intervensi ilmu bisa mengatasi bermacam-macam gangguan alam kita. Maka pembangunan otak, ilmu, menjadi sangat penting.

pada persoalan banjir di Jabodetabek, bentuk kerja sama atau koordinasi apa yang dibutuhkan?

Kalau banjir itu lain lagi. Saya ingin ada waduk lepas pantai untuk mencegah naiknya muka laut. Kenapa? Karena perubahan iklim. Jadi, apa pun yang kau lakukan di sungai, mau normalisasi atau naturalisasi, airnya tak akan sampai ke laut karena muka airnya lebih tinggi. Oke-lah penting memang rehabilitasi

sungai. Tapi kuncinya adalah bagaimana muka laut yang sekarang naik bisa tetap menampung air sungai, tidak terbanting kembali menjadi banjir. Ini yang harus kita tangani. Intervensi teknologi, tidak perlu buat badan setingkat kementerian. Otak kembangkan teknologi pakai ilmu-ilmu mereka. Dan ini harus direncanakan secara nasional. Buat waduk lepas pantai di sepanjang Laut Jawa.

KEDAULATAN PANGANkita banyak impor pangan, bawang

putih, garam, dan lain-lain. Bagaimana anda melihat soal kedaulatan pangan kita?

Begini, tampaknya perlu ada sinkronisasi antara perdagangan, Badan Urusan Logistik, dan Kementerian Pertanian. Ketika harga naik, jebret impor. Tapi impor naik, stok Bulog juga naik, jadi sulit. Ini harus sinkron. Kementerian Pertanian produksi, Bulog distribusi, dan Kementerian Perdagangan mengurus impor. Tiga ini komandannya adalah pertanian. Jadi pertaniannya harus menentukan dan utamakan

EMIL SALIM:Intervensi Ilmu Bisa Mengatasi Gangguan Alam

produksi pertanian kita. Terbukti bahwa pertanian kita ini bisa kompetitif kalau kita melakukan panca usaha, dari pupuk, penyuluhan, bibit. Sekarang itu penyuluh lapangan ngapain saja mereka? Dulu itu ada penyuluh lapangan yang membantu petani menghantam tikus, hama, dan semacamnya. Jadi kembali ke basic, kembali ke pola pertanian, produksi diutamakan dengan mendorong kekuatan ekonomi dalam negeri.

tapi lahan pertanian banyak dikonversi menjadi permukiman dan perkebunan....

Menteri Pertanian kan menguasai kawasan wilayah pertanian, itu harus diamankan Itu harus diselamatkan dalam tata ruang. Harus tata ruang kabupaten, tidak cukup provinsi, ditetapkan tidak boleh diubah. Ini untuk pertanian, tidak boleh untuk pemukiman atau yang lain-lain.

Selamatkan dulu wilayah-wilayah pertanian. Kalau tidak, kita ngomong-ngomong sekarang, ya, ini jalan terus. Jadi selamatkan tata ruang untuk mengamankan pertanian yang dikomandoi oleh Menteri Pertanian.

IBUKOTA BARUSoal tata ruang, pemerintah berencana

memindahkan ibu kota ke Kalimantan...Saya memang agak berbeda pendapat.

Tetapi pemerintah telah memutuskan, jadi sekarang jalan pemerintah yang ditempuh. Maka pendapat saya tidak ada gunanya lagi.

Soal pelibatan asing dalam pembangunan ibukota, anda punya pendapat?

Itu rupanya yang menjadi bagian dari strategi presiden. Beliau rupanya punya satu angan-angan, biarlah beliau mengembangkannya. Kalau saya punya kesempatan, saya akan memberikan nasihat lain. Tapi keputusan telah turun, ya, sudahlah. Saya enggak bisa apa-apa.

Tampaknya itu untuk mendapatkan pembiayaan. Asing ini kan sebagai pengarah, sebagai advisor. Saya sendiri tak mengerti, tak tahu.

Soal menjaga lingkungan di ibu kota baru, apa saran anda?

Menurut para perencana di Bappenas, itu diperhitungkan. Saya tak terlibat di sana, jadi saya tidak mengerti apa yang direncanakan. —

Page 46: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest90 91j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

bintang

RAHMANIA ASTRINITimbal Balik Alam

PAMUNGKASHukum Alam

BANJIR, longsor, dan bencana alam lain yang kian sering terjadi hari-hari ini, menurut Rahmania Astrini, akibat perubahan iklim yang membuat bumi memanas sehingga mengubah arah musim. Semua kejadian itu, menurut Penyanyi

Solo R&B Terbaik di Anugerah Musik Indonesia 2019 ini, adalah respons alam terhadap cara manusia berhubungan dengan alam. “Salah satu akibat kita sembarangan buang sampah dan

BAGI Rizky Pamungkas, alam punya mekanismenya sendiri dalam berproses. “Jika berjalan dengan benar, semua penghuninya akan lestari,” kata penyanyi solo yang terkenal dengan panggilan Pam, dari Pamungkas, itu. “Dari

semua itu, hutan adalah sumber hukum alam terbesarnya.”

Sebab, kata Pamungkas, hutan adalah sumber terbesar penghasil oksigen yang dibutuhkan manusia. Oksigen itu dihasilkan melalui proses tumbuhan bersama hewan yang ada di dalamnya. Karena itu, nomine penyanyi pendatang baru terbaik versi Anugerah Musik

konsumtif memakai plastik,” kata dara kelahiran Amerika Serikat 18 tahun lalu itu.

Karena itu, menurut Astri, cara sederhana menjaga dan menyelamatkan lingkungan adalah dengan tertib membuang sampah ke tempatnya, untuk diangkut dan diolah menjadi produk lain yang bisa dimanfaatkan kembali. Ia ingin cara ini ditiru oleh para penggemarnya di mana pun sehingga lingkungan menjadi terjaga dan manusia

Indonesia 2019 berkat lagu “I Love You but I’m Letting Go” ini, sedih ketika hutan di Sumatera dan Kalimantan terbakar.

Hutan yang seharusnya menghasilkan oksigen, terlalap api dan menghasilkan asap karbon yang justru berbahaya bagi manusia. Tapi, ia tak mau masuk dalam polemik soal siapa yang menjadi pem-bakarnya. Menurut Pamungkas, ada ba-nyak perspektif dalam melihat kebakaran: bisnis, lingkungan, politik. “Dari perspek-tif lingkungan, pengaruhnya besar sekali kepada manusia,” kata penyanyi 26 tahun itu kepada Asadia dari Forest Digest.

Di kalangan pecinta musik, Pamungkas lumayan terkenal. Sejak menelurkan solo album pada 2008 berjudul “Walk the Talk”, namanya memincut banyak anak muda. Aliran musik tekno yang diusungnya juga menggaet banyak

terhindar dari bencana. “Sebaiknya kita lebih peduli kepada lingkungan,” katanya. “Ketahui dampak- dampak apa saja yang terjadi ketika kita tidak merawat lingkungan dan hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan mencegahnya di lingkungan sendiri.”

Astri mengingatkan bahwa lingkungan adalah tempat tinggal

manusia sehingga jika ia rusak karena ulah kita, manusia pula yang terkena imbasnya. Untuk lebih mendorong keterlibatan

anak muda peduli terhadap alam, Astri berencana membuat album dengan

tema semesta. “Bahkan terjun langsung sebagai volunteer memperbaiki lingkungan,” kata Astri kepada Rifqi Fauzan dari Forest Digest. —

penggemar muda. Pertengahan bulan lalu ia menjadi bintang tamu “Semarak Kehutanan” di Grha Widya Wisuda IPB di Kampus Darmaga Bogor.

Meski tak terpilih menjadi pendatang baru terbaik di AMI Awards, karena kategori itu jatuh pada Nadin Amizah, Pamungkas bertekad terus melahirkan musik-musik yang gampang dicerna oleh kaum muda. Ia lebih banyak menciptakan lagu dalam bahasa Inggris karena, kata dia,

“Bahasa Indonesia agak susah karena tiap kata punya arti banyak.”

Melihat antusiasme mahasiswa Fakultas Kehutanan menonton

penampilannya, Pamungkas jadi makan sadar arti penting hutan dan lingkungan bagi planet ini. “Suatu hari saya

akan menulis lagu bertema ini,” kata dia. “Ini tema

penting karena manusia punya sistem dan alam

punya hukum. —

Page 47: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

F rest D gest92 j a n u a r i - m a r e t 2 0 2 0

DI taman ini, di pusat kawasan Mitte yang dekat Alexanderplatz dan di pojok-seberang kantor Wali Kota Berlin, patung Karl Marx dan Friedrich Engels berdiri menjulang. Dengan semen dan perunggu yang kokoh, keduanya menatap Berlin seperti sedang bersabda di bawah suhu 4 derajat. Tapi seseorang mencoret patung itu dengan tulisan setengah peringatan setengah mengutuk: komunisme membunuhmu, mereka adalah pembunuh, komunisme telah mati.

Sial benar komunisme. Mereka pembunuh yang mati. Komunisme memang sudah mati, bahkan di patung Marx dan Engels ini. Orang kini datang ke hadapan mereka untuk berfoto-foto, tersenyum melihat keduanya, lalu pergi lagi tanpa berkata-kata. Turisme membuat patung ini hanya jadi objek swa-foto, bukan lagi tempat berkumpul para pemuda sosialis mendiskusikan ajaran keduanya dalam Forum Marx-Engels pada 1980-an, ketika taman ini masih berada dalam kawasan Berlin Timur.

Seorang teman Jerman yang menemani saya dalam kunjungan ke taman ini, ia lahir di Timur dan baru tiga tahun ketika tembok yang memisahkan Jerman Barat yang pro Amerika yang kapitalis dan Jerman Timur yang pro Rusia yang komunis runtuh pada 1991, tak lagi sungguh-sungguh percaya adakah komunisme cocok diterapkan di zaman Internet ini. Di sekolah ia hanya mempelajari sejarahnya tanpa menyerap ajarannya.

Setelah Jerman bersatu, tak ada lagi yang bisa menebak siapakah yang mencoret patung dengan mengutuk Marx dan Engels ini. Bisa jadi orang dari Barat, tapi mungkin juga seorang tua dari Timur—yang kehilangan sanak saudara akibat pemisahan Jerman dan menderita di bawah kekuasaan sosialis di Jerman Timur. Keduanya bisa mungkin ketika Alexanderplatz saja jadi tujuan wisata yang mencorong. Tak ada lagi jejak-jejak komunisme di sini, lebur dalam kesibukan ekonomi sehari-hari yang rutin.

Padahal di Jerman masih ada partai kiri, bahkan Partai Sosial Demokrat menjadi partai kedua terbesar setelah Partai Kristen. Keduanya berkoalisi mengantarkan Angela Merkel menjadi kanselir yang membuka gerbang bagi imigran, kendati kini ia tengah dirundung dilema soal itu. Jerman yang memimpin Eropa kini adalah Jerman yang tak lagi setia pada satu corak ideologi pemerintahan; pasarnya terbuka tapi Undang-Undang Tenaga Kerja mereka mewajibkan pegawai libur pada Sabtu dan Minggu. Jangan belanja pada hari itu karena toko-toko akan tutup atau buka setengah-hari. Pegawai juga punya hak yang sama untuk

jalan-jalan di hari libur yang sama dengan para majikan.Semua itu adalah jasa Marx dan Engels. Marx, yang ilmuwan,

merumuskan Manifesto Komunisme pada 1848 yang didukung penuh Engels, pengusaha cum aktivis yang menanggung hidup Marx selama masa emas pemikirannya itu. Traktat itu kelak menjadi primbon gerakan sosialisme di Eropa dan dunia.

Berkat keduanya juga, serikat-serikat pekerja punya kedudukan yang kuat. Selesai melewati Taman Karl Marx itu, dua hari kemudian, saya ke stasiun sentral untuk mengejar kereta ke Bonn. Tapi hari itu, 10 Desember 2018 di hari Senin kedua dan menjelang Natal, jadwal kereta kacau. Asosiasi Masinis Deutsche Bahn—PT Kereta Api Jerman—mogok menuntut naik gaji 7,5 persen dari 500 euro per bulan.

Mogok itu cukup efektif menyita perhatian publik karena dilakukan pada Senin kedua bulan Desember, ketika banyak orang Jerman mulai mudik ke kampung halaman mereka untuk merayakan Natal. Manajemen PT Kereta Jerman mengajak para

masinis bernegosiasi dan menawarkan kenaikan 5,1 persen. Para masinis yang jumlahnya 160.000 itu menuntut naik gaji setelah PT Kereta menaikkan harga tiket 1,9 persen.

Akibat mogok itu saya terdampar di stasiun Hamm, masih dua jam ke Köln—menuju Bonn mesti ganti kereta lagi dari sana untuk perjalanan 20 menit. Harga tiket kereta dari Berlin yang melaju 265 kilometer per jam itu 30,4 euro atau Rp 500 ribu. Kami harus ganti kereta karena gerbong tingkat dari Berlin itu harus menuju kota lain untuk menjemput penumpang lain yang terdampar juga. Kami harus menunggu kereta di belakang yang mengubah

tujuan ke Köln.Tak ada penumpang yang menggerutu, berbeda ketika kereta

telat karena alasan tak jelas. Orang Jerman biasanya menggerutu tiap ada layanan publik yang kacau. Kini mereka maklum dengan tuntutan para masinis. “Semoga negosiasinya cepat selesai,” kata seorang penumpang perempuan di sebelah kursi saya.

Kesetaraan itu berkat Marx dan Engels. Sosialisme–yang dipraktikkan dengan ekstrem dalam bentuk komunisme lewat partai dan kekuasaan negara– mendorong tiap-tiap orang punya hak atas pencarian ekonomi dan setara dalam memperjuangkannya. Toh, anak-anak muda Jerman kini tak lagi hirau dengan ideologi yang mereka rumuskan. Seseorang bahkan memaki dan mengutuknya lewat coretan di patung yang dibuat Ludwig Engelhardt pada 1986 itu.

Dunia memang tak sederhana naik kereta: selalu ada pertentangan-pertentangan di dalamnya, semacam dialektika yang akan menyajikan tesis dan antitesis—seperti basis teori-teori Karl Marx. —Bagja Hidayat

Di Taman Karl Marx

oase

F rest D gest com

lebih interaktifklik

Page 48: F rest · Minuman, dan Tembakau (03), Kayu dan Produk Kayu (06) LSSMK3 (Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen K3/ISO 45001) Lingkup : Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kayu dan

Jus Kedongdong

2 20Tahun baru, menu baru

Selamat Tahun baru

Nasi Goreng SeafoodSukun dan Talas Goreng Sambal Roal

Es KopiKeponakan/Ijs Koffie Keponakan

Jus Pare

GedunG Alumni iPB, BoGor JAlAn CidAnGiAnG no.1, BoGor 16680 TELP. (0251) 8385624

Bakmi Goreng Spesial Sapi