Upload
vuongcong
View
258
Download
16
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Hasil
Evaluasi Daerah Otonom
Hasil Pemekaran (EDOHP)
2011
Disusun oleh: Dengan dukungan:
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Decentralization Support Facility
67992P
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
ed
Semua foto yang ada di halaman sampul merupakan Hak Cipta © Bank Dunia, mohon untuk tidak
digunakan tanpa ijin.
Laporan ini dicetak pada Bulan November 2011
Laporan Hasil
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
(EDOHP)
2011
Disusun oleh:
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri
Dengan dukungan:
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP).
yang panjang sejak awal tahun 2010, melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan
data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah disampaikan secara resmi
Pemerintah Daerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 120 – 277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil
Pemekaran Tahun 1999 sampai dengan 2009.
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
kinerja seluruh daerah otonom hasil peme
Hasil evaluasi ini merupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Keme
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, hasil evaluas
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi
seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan
Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada
bersedia menjadi Tim Evaluator EDOHP
juga kepada pimpinan dan staf Direktorat
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah yang telah bekerja keras menyelesaikan kegiatan ini
Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih atas
kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.
Akhirnya kami berharap agar Laporan EDOHP ini
kebijakan otonomi daerah yang lebih
khususnya cita-cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui
pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya daya saing daerah
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP). Laporan evaluasi ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi
melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan
data, analisis dan penulisan laporan. Hasil evaluasi ini sudah disampaikan secara resmi kepada Pemerintah,
aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil
engan 2009.
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
eluruh daerah otonom hasil pemekaran sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009.
erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Keme
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
dengan mekanisme pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, hasil evaluasi ini juga akan menjadi dasar
rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi
seluruh daerah otonom sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya masing-masing.
Untuk itu kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada para pakar/akademisi/pengamat yang telah
dia menjadi Tim Evaluator EDOHP. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan
Direktorat Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD)
yang telah bekerja keras menyelesaikan kegiatan ini. Kepada
Support Facility (DSF), kami juga mengucapkan terima kasih atas sumbangan pemikiran, dukung
kerjasama yang baik yang telah terjalin selama ini.
aporan EDOHP ini bisa memberikan sumbangan positif terhadap
yang lebih baik, demi tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Republik Indonesia,
cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui
pemberian pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatnya daya saing daerah.
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Dalam Negeri telah menyelesaikan
Laporan evaluasi ini dihasilkan dari sebuah proses evaluasi
melalui rangkaian kegiatan persiapan, penyusunan instrumen, pengumpulan
kepada Pemerintah,
aerah dan masyarakat pada acara Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2011 tanggal 25 April
2011 di Istana Bogor. Selanjutnya, hasil EDOHP ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
1 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil
Latar belakang dilaksanakannya EDOHP adalah untuk melengkapi instrumen evaluasi terhadap pemerintahan
daerah yang telah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
No. 21 Tahun 2010
ditetapkanlah mekanisme pelaksanaan EDOHP. Tujuan utama EDOHP adalah untuk mengevaluasi dan memetakan
erupakan sumber informasi yang sangat bernilai bagi Pemerintah khususnya Kementerian
Dalam Negeri dalam menyempurnakan kebijakan mengenai pemerintahan daerah terutama yang berkenaan
i ini juga akan menjadi dasar
rtimbangan dalam merumuskan kebijakan dan program pembinaan dan pengawasan yang lebih optimal bagi
para pakar/akademisi/pengamat yang telah
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan
Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD) pada
. Kepada Decentralization
dukungan pendanaan dan
memberikan sumbangan positif terhadap penyusunan
cita bangsa dan Negara Republik Indonesia,
cita otonomi daerah, terutama terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, melalui
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................................................... i
Daftar Isi ........................................................................................................................................................................ ii
Daftar Istilah .................................................................................................................................................................. v
Summary ....................................................................................................................................................................... vi
Ringkasan ..................................................................................................................................................................... vii
Bab I Pendahuluan ......................................................................................................................................................... 1
Bab II Kerangka Pemikiran ............................................................................................................................................. 4
2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah .............................................................. 4
2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru ............................................................. 8
Bab III Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran ...................................................................................................... 10
3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP ......................................................................................................... 10
3.2 Metode Evaluasi ................................................................................................................................................ 10
3.3 Pelaksanaan EDOHP .......................................................................................................................................... 16
Bab IV Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota .......................................... 17
4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................... 17
4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................................................. 19
4.3 Faktor Kesejahteraan Masyarakat ..................................................................................................................... 21
4.4 Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ................................................................................................................ 24
4.5 Faktor Pelayanan Publik .................................................................................................................................... 27
4.6 Faktor Daya Saing .............................................................................................................................................. 29
4.7 Perbandingan Hasil EDOHP dengan Evaluasi Sejenis ........................................................................................ 31
4.8 Peta Kinerja DOHP Kabupaten/Kota ................................................................................................................. 34
Bab V Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Provinsi ........................................................ 37
5.1 Kondisi/Karakteristik DOHP Provinsi ................................................................................................................. 37
5.2 Indeks Total ....................................................................................................................................................... 37
5.3 Indeks Faktor-faktor .......................................................................................................................................... 37
5.4 Perbandingan dengan Evaluasi Lain .................................................................................................................. 38
Bab VI Kesimpulan Dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 40
6.1 Kondisi Umum ................................................................................................................................................... 40
6.2 Indikator Evaluasi yang Relatif Mudah dan Sulit dipenuhi DOHP ..................................................................... 41
6.3 Implikasi Kebijakan ............................................................................................................................................ 47
6.4 Penutup ............................................................................................................................................................. 53
Lampiran ...................................................................................................................................................................... 55
Lampiran 1: Definisi Indikator EDOHP ..................................................................................................................... 55
Lampiran 2: Penggunaan Data Kuesioner ............................................................................................................... 70
Lampiran 3: Penghitungan Data Set ........................................................................................................................ 75
Lampiran 4: Kinerja 198 DOHP Kabupaten/Kota ..................................................................................................... 78
Lampiran 5: Diagram Jaring Laba-laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi .............................. 86
iii
Daftar Gambar
Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Baru ...................................... 11
Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan Indeks EDOHP ..................................................... 12
Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat ..................................................... 15
Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ................................................ 15
Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan Publik .................................................................... 15
Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya Saing .............................................................................. 15
Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses Pemekaran............................................................ 17
Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses Pemekaran ................................................................ 17
Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Usia .......................................................................... 17
Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses Pemekaran ................................................... 17
Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota .............................................................................................................. 19
Gambar 4.6: Skor Total berdasarkan Pulau/Kepulauan .............................................................................................. 19
Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP ......................................................................................................... 19
Gambar 4.8 Skor Total berdasarkan Proses Pemekaran ............................................................................................. 19
Gambar 4.9: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Kabupaten dan Kota ........................................... 22
Gambar 4.10: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Pulau/Kepulauan............................................... 22
Gambar 4.11: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Usia DOHP ......................................................... 22
Gambar 4.12: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Proses Pemekaran ............................................ 22
Gambar 4.13: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Kabupaten dan Kota ..................................... 25
Gambar 4.14: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Pulau/Kepulauan .......................................... 25
Gambar 4.15: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Usia DOHP ..................................................... 25
Gambar 4.16: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Proses Pemekaran ........................................ 25
Gambar 4.17: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Kabupaten dan Kota ......................................................... 27
Gambar 4.18: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Pulau/Kepulauan .............................................................. 27
Gambar 4.19: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Usia DOHP ........................................................................ 27
Gambar 4.20: Skor Pelayanan Publik berdasarkan Proses Pemekaran ....................................................................... 27
Gambar 4.21: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Kabupaten dan Kota ................................................................... 30
Gambar 4.22: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Pulau/Kepulauan ........................................................................ 30
Gambar 4.23: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Usia DOHP .................................................................................. 30
Gambar 4.24: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Proses Pemekaran ...................................................................... 30
Gambar 5.1: Skor Total DOHP Provinsi ........................................................................................................................ 37
Gambar 5.2: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat .................................................................................................. 38
Gambar 5.3: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik .............................................................................................. 38
Gambar 5.4: Skor Faktor Pelayanan Publik.................................................................................................................. 38
Gambar 5.5: Skor Faktor Daya Saing ........................................................................................................................... 38
iv
Daftar Tabel
Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009 ........................................................................................................ 1
Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP ............................................................................................................ 16
Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran ........................................................................................ 18
Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk Administrasi ........................................................................... 18
Tabel 4.3: DOHP Kabupaten dengan Skor Total Tertinggi ........................................................................................... 20
Tabel 4.4: 10 Kota dengan Skor Total Tertinggi ........................................................................................................... 21
Tabel 4.5: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat ......................................... 23
Tabel 4.6: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat ................................................... 24
Tabel 4.7: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan ...................................................... 25
Tabel 4.8: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan yang Baik ............................................... 26
Tabel 4.9: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi .................................................................. 28
Tabel 4.10: 10 Kota dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi .......................................................................... 29
Tabel 4.11: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi .......................................................................... 30
Tabel 4.12: 10 Kota dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi .................................................................................... 31
Tabel 4.13: Perbandingan 10 Kabupaten Peringkat Teratas EDOHP dan EKPPD ......................................................... 32
Tabel 4.14: Perbandingan 10 Besar Kabupaten DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD untuk Kabupaten yang Berusia di
atas 3 Tahun ................................................................................................................................................................ 33
Tabel 4.15: Perbandingan 10 Besar Kota Hasil EDOHP dan EKPPD ............................................................................. 33
Tabel 4.16: Estimasi Regresi Sederhana Skor Total ..................................................................................................... 34
Tabel 5.1: Perbandingan Peringkat Provinsi DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD .............................................................. 39
Tabel 6.1: Jumlah Kabupaten dan Kota yang Memiliki Skor di Atas dan di Bawah Rata-rata ..................................... 47
v
DAFTAR ISTILAH
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DOHP : Daerah Otonom Hasil Pemekaran
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DSF : Decentralization Support Facility
EDOB : Evaluasi Daerah Otonom Baru
EDOHP : Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
EKKPD : Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
EKPOD : Evaluasi Kemampuan Penyelengaraan Otonomi Daerah
EPDOP : Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru
GDS : Governance and Decentralization Survey
LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
NGO : Non Government Organization
NPM : New Public Management
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
PP : Peraturan Pemerintah
UMKM : Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
UU : Undang-undang
WB : World Bank
vi
vi Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
SUMMARY
Since the enactment of Law 22/1999 on Regional Governance, there has been a massive regional
proliferation phenomenon in Indonesia. Within the span of ten years (1999-2009) as many as 7 new
provinces, 164 new kabupaten and 34 new kota have been created, in total 205 proliferated regions
were established. Despite that rapid development there is still no comprehensive evaluation to monitor
the progress and development of the new proliferated regions or Daerah Otonom Hasil Pemekaran
(DOHP). Evaluation of Proliferated Autonomous Regions (EDOHP) is required to complement other
existing regional government evaluations.
The evaluation measures 4 (four) factors namely public welfare, public service, regional
competitiveness, and good governance, those factors then derived into 14 variables/aspects and 31
indicators. The result of the evaluation shows the enormous challenge faced by DOHP to conduct a good
performance in order to accomplish the objectives of regional autonomy. A number of particular
indicators are in general easily met by the DOHP; however, apparently there are more indicators that
seem to be difficult to meet by the DOHP. Thus, general conclusion that can be drawn is that most DOHP
still have not accomplished the expected performance, a condition which might be strongly related to
the establishment process as well as advancement and capacity development provided for the DOHP.
This evaluation recommends the need for policy refinement and better policy imposement regarding
procedure, method and process for proliferating new regions. Furthermore, improvement of facilitation
and capacity development for DOHP also need to be done intensively, by taking into account particular
needs of each DOHP. The age or maturity of the region become the criteria in functional assignment,
regional capacity development, and in conducting advancement and monitoring of the DOHP.
In order to improve the quality of democracy in the regions, the government needs to encourage the
availability and enforcement of policies on government transparency and accountability as well as
citizen participation both in central and regional level. Moreover, to improve public welfare, the
government needs to encourage the regions to be able to formulate a pro poor development program.
In this case the government needs to press on efficiency of regional budget utilization as well as to
refine regional budget transfer policy. Whereas to improve regional competitivenes of the DOHP, the
government needs to push DOHP to formulate program and strategy to improve a condusive business
climate in the DOHP.
vii
PAGE \*
MERGEFORRingkasan
RINGKASAN
Sejak disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi
fenomena pemekaran daerah yang sangat massif di Indonesia. Dalam satu dekade saja (1999-2009)
telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota, sehingga total
bertambah 205 daerah otonom baru. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut belum dilakukan evaluasi
yang cukup komprehensif terhadap seluruh daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) tersebut. Evaluasi
Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) dilaksanakan untuk melengkapi evaluasi-evaluasi
pemerintahan daerah yang sudah ada sebelumnya
Evaluasi dilakukan dengan mengukur empat faktor yaitu kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik,
daya saing daerah, dan tata pemerintahan yang baik, yang kemudian diturunkan dalam 14
variabel/aspek dan 31 indikator penilaian. Hasil evaluasi menunjukkan besarnya tantangan yang
dihadapi oleh DOHP untuk dapat menunjukkan kinerja daerah yang baik sehingga dapat mencapai
tujuan otonomi daerah, yang secara normatif menjadi alasan dilakukannya pemekaran daerah-daerah
tersebut. Pada sejumlah indikator tertentu secara umum DOHP terlihat mudah untuk melaksanakan,
namun ternyata ada lebih banyak indikator dimana DOHP terlihat kesulitan untuk dapat
melaksanakannya. Kesimpulan umum yang dapat disampaikan adalah bahwa sebagian besar DOHP
masih belum menunjukkan kinerja yang diharapkan, dimana hal tersebut kemungkinan berkaitan
dengan proses pembentukannya maupun pembinaan yang diberikan kepada DOHP tersebut.
Evaluasi ini merekomendasikan perlunya penyempurnaan kebijakan dan ketegasan pelaksanaan
kebijakan mengenai cara dan proses pembentukan daerah otonom baru. Peningkatan fasilitasi dan
pengembangan kapasitas DOHP juga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan
mempertimbangkan kebutuhan khusus tiap DOHP, faktor usia atau kematangan daerah menjadi kriteria
dalam pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan pada DOHP.
Untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi di daerah, pemerintah perlu mendorong ada dan
berfungsinya kebijakan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta partisipasi
masyarakat baik di pusat maupun daerah. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah
perlu mendorong daerah mampu mengembangkan program pembangunan yang pro poor. Dalam hal ini
pemerintah juga perlu mendorong peningkatan efisiensi penggunaan anggaran daerah dan
menyempurnakan kebijakan transfer anggaran daerah. Sementara untuk meningkatkan daya saing
DOHP, pemerintah perlu mendorong DOHP menyusun strategi dan program yang dapat meningkatkan
iklim usaha yang kondusif di DOHP.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tarik Ulur Pemekaran dan Moratorium Pemekaran Daerah. Sejak disahkannya UU No. 22 Tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah yang membuka keran bagi pembentukan daerah otonom baru, telah
terjadi penambahan jumlah daerah secara signifikan di Indonesia (lihat Tabel 1.1). Lonjakan drastis
jumlah daerah otonom baru ditambah dengan masih banyaknya usulan pembentukan daerah otonom
baru yang masuk ke pemerintah dan DPR memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar mengenai
urgensi dan manfaat dari pemekaran daerah tersebut. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya
pengendalian atas tingginya tuntutan pemekaran yang cenderung kurang memperhitungkan prasyarat
kelayakan dan kesiapan daerah untuk dimekarkan. Upaya tersebut, diantaranya melalui moratorium
atau penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom baru, serta penyempurnaan
peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan daerah otonom.
Arah kebijakan pemekaran daerah
dan pembentukan daerah otonom
baru masih menjadi polemik. Pro
dan kontra pembentukan daerah
otonom baru tidak hanya
melibatkan masyarakat di daerah
tetapi juga aktor-aktor dari
lembaga penyelenggara negara
yang berbeda, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden,
dan pejabat pemerintah.
Ketidaktersediaan informasi
tentang kinerja daerah otonom
hasil pemekaran membuat
pemerintah menjadi terlihat
gamang ketika dihadapkan pada
keinginan warga dan berbagai
kelompok kepentingan di daerah untuk membentuk daerah otonom baru. Sementara aspirasi warga dan
kelompok kepentingan untuk membentuk daerah otonom baru terus mengalir bukan hanya ke DPR
tetapi juga ke Kementerian Dalam Negeri. Sejak 1999 sampai dengan bulan April 2011 sudah ada sekitar
153 usulan pembentukan daerah otonom baru, sekitar dua puluhan diantaranya sudah ada di DPR, yang
harus segera direspon oleh pemerintah.
Untuk mengisi kekosongan informasi tersebut pemerintah telah melakukan serangkaian evaluasi
terhadap daerah seperti evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) dan evaluasi
daerah otonom baru (EDOB), yang diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Tabel 1.1: Penambahan Jumlah DOHP 1999-2009
Tahun Provinsi Kabupaten Kota Total
Sebelum Tahun 1999 26 234 59 319
1999 2 34 9 45
2000 3 - 3
2001 - - 12 12
2002 1 33 4 38
2003 - 47 2 49
2004 1 - - 1
2005 - - - -
2006 - - - -
2007 - 21 4 25
2008 - 27 3 30
2009 - 2 - 2
DOHP Pasca UU No. 22/1999 7 164 34 205
Total Pemda (2009) 33 398 93 524
Sumber: Permendagri No. 21 Tahun 2010.
2
2 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.1 EKPPD yang diselenggarakan setiap tahun dan melibatkan
semua daerah, mestinya dapat menjadi instrumen untuk mengevaluasi kinerja daerah otonom baru
sekaligus membandingkannya dengan kinerja daerah lainnya, termasuk kinerja daerah induk. Namun
sejauh ini EKPPD tidak dirancang untuk mengevaluasi kinerja daerah dalam mencapai tujuan
pembentukan daerah, melainkan untuk mengevaluasi kinerja daerah secara umum sehingga kurang
mampu secara tegas menjawab apakah pembentukan daerah otonom tersebut benar-benar mampu
menghasilkan perubahan sebagaimana dulu dijanjikannya ketika pembentukan daerah.
Untuk evaluasi DOB, pemerintah melakukan Evaluasi Penyelenggaraan Daerah Otonom Baru
(EPDOB),2 yang secara khusus dirancang untuk mengevaluasi kesiapan DOB, yaitu daerah otonom
hasil pemekaran yang usianya 3 tahun dan yang kurang dari 3 tahun. EPDOB memusatkan
perhatiannya pada evaluasi kesiapan DOB dalam menyiapkan kelembagaan daerah seperti DPRD dan
satuan kinerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD, dan rekrutmen pegawai, dsb.
Karena EPDOB hanya memusatkan pada penilaian tentang kesiapan infrastruktur pemerintahan daerah
maka informasi yang dihasilkannya menjadi kurang memadai untuk menilai kinerja secara umum dari
pemerintah DOHP. Untuk dapat menilai kapasitas dan kinerja DOHP dalam mencapai tujuan
pembentukannya maka kajian tentang kapasitas dan kinerja DOHP perlu dirancang secara spesifik dan
dilakukan.
Disamping evaluasi yang telah dilakukan oleh pemerintah, beberapa penelitian tentang efek dari
pemekaran daerah telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti: lembaga donor, NGO, dan perguruan
tinggi. Penelitian tersebut umumnya mengkaji efek dari fragmentasi atau pemekaran daerah terhadap
pelayanan publik, efisiensi, dan stabilitas politik di daerah. Berbagai penelitian tersebut umumnya
mengungkapkan akibat dan efek negatif dari pemekaran daerah. Bahkan, analisis yang secara spefisifk
dirangcang untuk menilai manfaat dan kerugian dari pembentukan daerah juga telah dilakukan.3
Namun, karena kajian-kajian itu tidak secara menyeluruh mengevaluasi kapasitas daerah otonom baru
tersebut dalam mewujudkan nilai-nilai yang dulu mendasari pembentukannya, informasi yang dihasilkan
dinilai belum memadai untuk menata kembali pengaturan kembali tentang pembentukan daerah
otonom.
1 Kebijakan mengenai evaluasi penyelenggaraaan pemerintahan daerah terbilang terlambat. Meskipun UU tentang
pemerintahan daerah sudah mulai efektif berlaku tahun 2001, namun baru pada tahun 2008 pemerintah dapat menyusun
kebijakan evaluasinya, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2008. 2 Sebagai implementasi dari ketentuan mengenai EDOB, Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 23 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonom Baru (EPDOB). EPDOB merupakan penilaian perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan data/informasi hasil monitoring daerah otonom baru. Penilaian tersebut
dilakukan pada 2 tahap, yaitu perkembangan awal DOB usia dibawah 3 tahun dan perkembangan lanjutan DOB usia 4-5 tahun. 3 Penelitian yang dilakukan oleh DSF (2007) menyimpulkan kerugian dari pemekaran daerah jauh lebih besar dari manfaatnya.
Penelitian ini merekemondasikan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tentang pembentukan daerah dengan
menghilangkan insentif yang dimiliki membentuk daerah otonom baru utamanya dalam alokasi DAU dan memperketat
prosedur pembentukan daerah baru. Namun, kajian dari analisis ini terbatas pada efek dari pembentukan daerah baru dan
tidak secara menyeluruh mengkaji efek terbentuknya daerah baru dan implikasinya terhadap pencapaian tujuan pembentukan
daerah.
3
3 Pendahuluan
Pembentukan daerah otonom baru dilakukan umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, dan mewujudkan tata
pemerintahan yang baik. Keempat hal tersebut menjadi argumentasi yang sering diucapkan oleh para
penggagas pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang marak selama satu dekade terakhir ini,
telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah pembentukan daerah otonom baru benar-benar
membawa daerah kepada pencapaian tujuan tersebut. Untuk melengkapi EPDOB yang hanya
mengevaluasi daerah otonom baru yang berusia 0-5 tahun, dipandang perlu dilakukan evaluasi
terhadap seluruh daerah otonom baru yang telah terbentuk sejak tahun 1999, yang kemudian disebut
sebagai Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP). Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 21/2010 menetapkan perlunya dilakukan Evaluasi Daerah Otonom Hasil
Pemekaran (EDOHP). Evaluasi ini pada dasarnya ingin mencari jawaban atas pertanyaan: Dari empat
tujuan otonomi darah, tujuan mana yang telah berhasil diwujudkan? Tujuan yang mana yang belum
berhasil diwujudkan? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas? Untuk menjawab tujuan tersebut di atas maka
evaluasi DOHP dilakukan.
Sementara, untuk menanggapi usulan pembentukan DOHP baru, pemerintah dan DPR membutuhkan
informasi yang akurat dan solid tentang kapasitas dan kinerja daerah otonom baru yang selama ini
telah terbentuk. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui apakah pembentukan DOHP berhasil
mencapai tujuannya, yaitu: meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terwujudnya pelayanan publik,
meningkatnya kualitas governance, dan meningkatnya daya saing. Informasi ini penting untuk
mengetahui apakah proses pembentukan daerah yang selama ini dilakukan telah benar-benar mampu
membuat DOHP tersebut berhasil memenuhi janjinya. Apakah proses yang selama ini terjadi justru
menghasilkan DOHP yang kurang mampu mewujudkan janji dan tujuan pembentukannya? Apa yang
harus dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin agar pembentukan DOHP benar-benar mampu
memenuhi janjinya memperbaiki kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, kualitas
ketatapemerintahan, dan daya saing daerah?
4
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teoritik dari Konsep Desentralisasi dan Pemekaran Wilayah
Penataan daerah menjadi isu penting dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Fragmentasi spasial yang semakin tinggi terkait dengan semakin intensnya penambahan
jumlah daerah otonom di Indonesia selama dekade terakhir ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan
tentang apakah pembentukan daerah otonom baru itu benar-benar memberi manfaat bagi daerah,
negara, dan warganya. Sejak PP 129 tahun 2000 membuka keran bagi daerah untuk mengusulkan
pembentukan daerah baru, sampai dengan tahun 2009 telah terbentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7
provinsi, 163 kabupaten, dan 34 kota.4 Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi pembentukan
DOHP, namun sejauh ini belum ada evaluasi yang menyeluruh baik dilihat dari cakupan jumlah DOHP
ataupun aspek yang dinilai.
Pembentukan DOHP yang relatif masif dalam dekade terakhir ini dan banyaknya usulan untuk
pembentukan DOHP baru telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi, praktisi, dan para
politisi. Pro dan kontra tentang fragmentasi daerah melalui pembentukan daerah otonom baru dan
pemecahan satu daerah kedalam dua atau lebih DOB menjadi keniscayaan. Masing-masing pihak
memiliki argumentasinya sendiri untuk mendukung posisinya terhadap pembentukan DOHP. Kajian yang
lebih menyeluruh diperlukan untuk mengklarifikasi argumen dari masing-masing pihak dan
mengumpulkan fakta-fakta untuk memperjelas klaim dari pembentukan DOHP selama ini, terutama
terkait dengan implikasinya terhadap kesejahteraan rakyat, perbaikan kualitas governance, perbaikan
pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah.
Kontroversi tentang fragmentasi dan konsolidasi daerah telah lama berkembang dalam kajian
pemerintahan dan administrasi publik. Para pengikut teori public choice menganggap fragmentasi
daerah, misalnya melalui pembentukan daerah baru, sebagai sesuatu yang positif karena semakin
banyak daerah akan membuat kompetisi daerah dalam menawarkan pelayanan, pajak, dan fasilitas
investasi menjadi semakin tinggi. Jika mobilitas warga dan kapital tidak memiliki kendala, semakin
banyak daerah akan memberi semakin banyak pilihan untuk berinvestasi. Daerah akan terdorong untuk
menawarkan fasilitas, kemudahan, dan pelayanan kepada warga untuk menarik investasi masuk ke
daerahnya. Fragmentasi daerah karenanya dapat menciptakan tekanan pada daerah lainnya untuk
memperbaiki daya saingnya dalam memperebutkan investasi yang terbatas.
Dari perspektif ilmu politik dan pemerintahan, pembentukan DOHP seringkali didasarkan pada
argumentasi untuk membuat jarak fisik dan kejiwaan antara warga dengan pemerintahnya menjadi
4 PP 129 Tahun 2000 kemudian direvisi dengan PP 78 Tahun 2007. Revisi dilakukan untuk memperketat proses pembentukan
daerah otonom baru dengan menambah persyaratan dan proses pengusulan pembentukan daerah otonom baru.
5
5 Kerangka Pemikiran
semakin dekat (reciproxity).5 Ketika jarak fisik antara warga dengan pemerintah dan para pejabatnya
menjadi semakin dekat maka warga akan menjadi semakin mudah berpartisipasi dalam kegiatan
pemerintahan. Aspirasi dan kepentingan warga menjadi semakin mudah tersalurkan dalam proses
kebijakan daerah. Representasi warga dalam proses pembuatan kebijakan publik di daerah juga akan
menjadi semakin tinggi. Jika hal tersebut terjadi maka kebijakan pemerintah daerah akan menjadi
semakin responsif terhadap kebutuhan warganya dan rasa kepemilikan warga terhadap kebijakan
daerah juga menjadi semakin kuat. Kedekatan jarak fisik juga membuat warga semakin mudah
mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena itu fragmentasi daerah bukan
hanya akan membuat pemerintah menjadi semakin partisipatif tetapi juga dapat memperbaiki
akuntabilitas pemerintahan.
Dari sisi kejiwaan, kedekatan warga dengan pemerintah dan para pejabatnya akan membuat
hubungan emosional antara pemerintah dengan warganya akan menjadi semakin mudah dibangun.
Ketika hubungan emosional warga dengan pemerintah dan para pejabatnya menjadi semakin kuat maka
afeksi warga terhadap terhadap pemerintah menjadi semakin kuat pula. Karena itu tidak mengherankan
kalau beberapa pihak sering mengklaim fragmentasi daerah dapat membuat meningkatkan kepercayaan
publik terhadap pemerintahnya.6 Fragmentasi daerah dapat membuat jarak kejiwaan antara pemerintah
dengan warganya menjadi semakin dekat dan warga menjadi semakin mudah menilai apakah
pemerintah peduli kepada kepentingan, dapat dipercaya, dan mampu memenuhi kebutuhannya.
Fragmentasi daerah sering juga dijadikan alasan untuk memperbaiki akses warga terhadap
pelayanan publik. Beberapa pengalaman pembentukan dan pemekaran daerah di beberapa negara
lainnya seperti Polandia menunjukan bagaimana fragmentasi daerah dijadikan sebagai argumentasi
untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.7 Ketika daerah baru dibentuk, atau
dipecah menjadi beberapa daerah baru, maka pusat kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik akan
menjadi semakin dekat dengan tempat tinggal warga. Ketika lokasi penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik menjadi semakin dekat maka tentu warga akan menjadi semakin
mudah mengakses pelayanan publik dan karenanya pelayanan publik akan menjadi semakin efisien pula.
5 Meluasnya pengaruh New Public Management (NPM) di banyak negara maju di Barat yang kemudian diikuti oleh banyak
negara-negara sedang berkembang ikut memperkuat argumentasi perlunya fragmentasi daerah. Fragmentasi daerah dinilai
dapat mempermudah terwujudnya desentralisasi, partisipasi, kewirausahaan, dan inovasi dalam pelayanan publik dan
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tesis utama dari gerakan NPM. Penyebaran kekuasaan kepada daerah akan
membuat proses pemerintahan dan pelayanan publik dapat memperkuat tata-pemerintahan yang partisipatif, inovatif, dan
akuntabel. 6 Hasil Governance and Decentralization Survey (GDS) 2006 menunjukan bahwa semakin rendah tingkat pemerintahan semakin
tinggi tingkat kepercayaan publik. Para pemangku kepentingan di daerah cenderung memiliki kepercayaan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan desa dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pemerintah kabupaten/kota
menikmati kepercayaan publik yang lebih tinggi daripada pemerintah provinsi, dst. Salah satu penyebabnya karena jarak fisik
dan kejiwaan semakin rendah untuk tingkat pemeirntahan yang lebih rendah. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam
Dwiyanto, Agus, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM: Yogyakarta. 7 Swianiewicz, Pawel and Mikolaj Herbst, “Economies and Diseconomies of Scale in Polish Local Governments” on Pawel
Swianiewicz, Consolidation or Fragmentation?: The Size of Local Governments in Central and Eastern Europe. Open Society
Institute. Budapest. 2002:225.
6
6 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Pembentukan daerah baru sering juga didorong oleh pertimbangan keadilan sosial. Ketika
sekelompok warga merasa bahwa keberadaannya kurang diperhatikan oleh pemerintah dan
diperlakukan secara tidak adil oleh kelompok mayoritas yang mengusai pemerintah daerah maka
keinginan untuk membentuk daerah sendiri menjadi mengemuka. Apalagi ketika kelompok tersebut
memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang
tinggi maka kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri cenderung
amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika mereka memiliki pemerintahan
daerah sendiri maka mereka akan mengelola kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsive
sehingga kemakmuran warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap
dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok tetapi juga dapat
memperkuat indentitas kelompok dan daerah.
Dalam aras yang berbeda, muncul beberapa pemikiran yang mendorong terjadinya integrasi wilayah,
seperti yang terkandung dalam teori-teori new regionalism, new functionalism, hak properti (property
right), dan biaya transaksi.8 Semua teori tersebut dengan argumentasinya masing-masing menjelaskan
pentingnya integrasi wilayah dilakukan karena hal tersebut dapat memberi manfaat yang tidak dapat
diperoleh ketika satu daerah atau wilayah berdiri sendiri. Teori-teori tersebut dapat menjelaskan
mengapa beberapa negara seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Australia, Denmark, dan Afrika
Selatan melakukan konsolidasi daerah dengan mendorong integrasi dua atau lebih satuan pemerintahan
menjadi satuan yang lebih luas.9 Penggabungan daerah umumnya dilakukan pada tingkat
kabupaten/kota (municipalities).10
Perspektif new regionalism menjelaskan bagaimana integrasi wilayah dapat memperkuat identitas
wilayah, mendorong mereka untuk fokus pada masalah bersama, dan mengatasi berbagai masalah
yang muncul karena saling ketergantungan yang terjadi pada wilayah itu.11
Walaupun perspektif ini
banyak digunakan untuk menjelaskan integrasi wilayah antarnegara, seperti yang terjadi di dalam Uni
Eropa, namun perspektif ini banyak juga digunakan untuk menjelaskan pentingnya integrasi wilayah
dalam suatu negara. Integrasi wilayah dapat memperbesar skala ekonomi dan membuat produksi
barang dan jasa menjadi lebih murah.
Sebagaimana new regionalism, teori-teori new functionalism12
juga menjelaskan bahwa dalam
masyarakat industrial ketergantungan antar sektor akan menjadi semakin kuat dan integrasi sektoral
8 Diskusi tentang bagaimana perspektif new regionalism digunakan untuk menjelaskan pengalaman Negara-Negara Eropa dan
Amerika Latin dalam mereformasi kelembagaan seperti: pelembagaan perencanaan wilayah, perluasan ruang politik bagi
wilayah dalam pembentukan struktur governance pada tingkat meso, dan konsolidasi daerah pada tingkat wilayah dapat dibaca
dalam Scot, James W., 2009. De-Coding New Regionalism: Shifting Social-Political Contexts In Central Europe and Latin America,
Farnham, Surrey: Asghate Publishing Limited
9 Gabe Ferrazi, 2007. International Experience in Territorial Reform, Implications for Indonesia, USAID DRSP for the Management
Group on Territorial Reform 10
Di Amerika Serikat konsolidasi dilakukan pada tingkat school board, selama tahun 1952-1982 pemerintah Amerika Serikat
berhasil menggabungkan 64,355 menjadi 18, 851, Ferazi, ibid 11
Mattli, Walter, 2003. The Logic of Regional Integration, New York: Cambridge University Press 12
ibid
7
7 Kerangka Pemikiran
tidak dapat dilakukan dengan mudah ketika terjadi fragmentasi wilayah. Integrasi wilayah tidak
secara otomatis terjadi, tetapi melalui sebuah proses sosial dan politik yang melibatkan kepentingan
para aktor dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Integrasi wilayah akan dapat dengan mudah dilakukan ketika masing-masing daerah mengalami
kesulitan untuk menyelesaikan masalahnya sendirian. Kebutuhan untuk menyelesaikan masalah
bersama tersebut sering menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi wilayah. Integrasi wilayah dapat
membuat mereka dapat memaksimalkan pencapaian kesejahteraan. Kedua perspektif ini, new
regionalism dan new functionalism, menjelaskan bahwa integrasi wilayah menjadi kebutuhan yang tak
terhindarkan karena adanya saling ketergantungan antarwilayah dan antarsektor yang tidak mungkin
diselesaikan oleh satu daerah sendirian dan adanya kebutuhan untuk memaksimalkan kemampuan
mereka dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Teori hak properti menjelaskan bahwa kebutuhan untuk adanya pengaturan kelembagaan baru
diperlukan karena adanya eksternalitas. Ketika manfaat/kerugian dari satu kegiatan melewati batas-
batas jurisdiksi satu daerah maka para pihak yang ingin melakukan internalisasi pasar akan menuntut
perubahan kelembagaan, ketika mereka menilai manfaat dari internalisasi itu akan melebihi dari
biayanya. Walaupun teori ini dikembangkan untuk menjelaskan perubahan kelembagaan dalam pasar
namun sebenarnya penerapannya juga dapat digunakan untuk menjelaskan munculnya kebutuhan
integrasi kelembagaan dan wilayah. Ketika muncul kebutuhan untuk menginternalisasikan kegiatan
ekonomi, pembangunan, dan pelayanan publik yang seringkali melewati batas-batas administratif satu
daerah maka integrasi wilayah menjadi salah satu pilihan yang dapat dilakukan. Teori ini berpendapat
bahwa sebenarnya kebutuhan untuk melakukan integrasi wilayah dapat muncul dari bawah, yaitu ketika
para aktor di daerah ingin menginternalisasikan manfaat dari kegiatan ekonomi dan pelayanan publik.
Sedangkan teori biaya transaksi, yang banyak dikembangkan dalam ekonomi kelembagaan,
berargumentasi bahwa fragmentasi daerah akan membuat biaya untuk menangkap keuntungan dari
pertukaran dalam pasar menjadi lebih tinggi. Perbedaan struktur governance antar daerah, termasuk
peraturan dan prosedur, yang harus direspon oleh para pelaku pasar membuat biaya transaksi menjadi
lebih mahal. Biaya transaksi disini mencakup semua biaya yang diperlukan merumuskan,
menegosiasikan, memonitor, dan memaksakan kepatuhan terhadap kontrak. Ketika fragmentasi daerah
menjadi semakin tinggi maka biaya yang harus dibayar untuk memastikan daerah memiliki kinerja yang
baik dalam mengelola kegiatan ekonomi dan pelayanan publik di daerah juga menjadi semakin mahal.
Kegiatan monitoring dan koordinasi antar susunan pemerintahan dan para pejabatnya menjadi semakin
mahal. Semakin tinggi fragmentasi daerah semakin besar biaya transaksi yang harus dibayar oleh negara
dan warganya. Keinginan untuk memperkecil biaya transaksi menjadi salah satu faktor yang mendorong
adanya kebutuhan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi daerah.
Berbagai teori di atas menjelaskan mengapa banyak negara dalam beberapa dekade terakhir ini
berusaha melakukan konsolidasi dan integrasi daerah. Integrasi menawarkan banyak kesempatan dan
manfaat yang tidak mungkin diperoleh oleh daerah, para pelaku ekonomi, dan warga pada umumnya,
ketika mereka memiliki wilayah yang terfragmentasi kedalam wilayah yang sempit. Namun, kebutuhan
untuk melakukan integrasi sering tidak dapat diwujudkan karena banyak sekali kendala yang dihadapi
oleh daerah dan negara dalam mewujudkan integrasi wilayah. Ada banyak kendala dalam supply untuk
8
8 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
integrasi wilayah, terutama kemauan elit politik di daerah. Jika elit politik di daerah menilai otonomi
politik lebih penting dari berbagai manfaat yang dijanjikan oleh integrasi wilayah maka mereka tentu
tidak tertarik untuk melakukan integrasi wilayah. Begitu pula dengan elit birokrasi yang mungkin
khawatir akan kehilangan peran jika integrasi dilakukan, mereka akan melakukan berbagai cara untuk
menghambat terjadinya integrasi wilayah.
2.2 Isu-isu Pokok Berkenaan Dengan Pembentukan Daerah Otonom Baru
Dengan mengkaji teori dan pemikiran yang mendasari fragmentasi dan integrasi daerah maka beberapa
isu yang terkait dengan pembentukan daerah otonom baru dapat dirumuskan:
Pertama, isu tentang kesejahteraan ekonomi. Para penggagas teori pro pada fragmentasi dan pro pada
integrasi sama-sama mengklaim bahwa, dengan argumentasi yang berbeda, pilihannya akan dapat
memperbaiki kesejahteraan warganya. Menurut pihak yang mendukung fragmentasi, kesejahteraan
akan dapat diperoleh ketika kompetisi antar daerah menjadi semakin ketat, daerah akan menawarkan
fasilitas yang menarik agar orang mau tinggal di daerah. Mereka juga akan menawarkan besaran pajak
yang kompetitif untuk menarik investasi masuk ke daerahnya. Sebaliknya, mereka yang mendukung
integrasi juga mengklaim peningkatan kesejahteraan melalui besaran skala ekonomi yang membuat
produksi barang dan jasa menjadi lebih efisien. Produksi barang dan jasa juga menjadi lebih efisien
ketika biaya transaksi menjadi lebih kecil dan internalisasi dapat dilakukan secara murah. Hal itu semua
dapat dilakukan jika integrasi wilayah dilakukan.
Kedua, isu tentang kualitas governance. Para pendukung fragmentasi daerah mengklaim bahwa
fragmentasi daerah akan membuat kualitas governance menjadi lebih baik karena hal itu akan
mendekatkan institusi pemerintah, proses pembuatan kebijakan, dan para penjabatnya menjadi lebih
dekat dengan warganya. Fragmentasi membuat proses pemerintahan dan pelayanan publik menjadi
lebih dekat dengan warganya. Dalam situasi seperti itu, maka warga akan menjadi lebih mudah untuk
berpartisipasi dalam proses kebijakan daerah. Mereka juga akan menjadi semakin mudah dalam
mengendalikan proses pengambilan keputusan dan perencanaan agar kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik mampu menjawab kebutuhan daerah. Pemerintah, kebijakan, dan pejabatnya menjadi
semakin akuntabel pada warganya. Sebaliknya, para penggagas integrasi wilayah menyatakan bahwa
integrasi wilayah akan dapat memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari penyelenggaraan pemerintahan,
melalui banyak mekanisme seperti semakin rendahnya biaya transaksi, biaya internalisasi, dan
koordinasi. Integrasi horizontal dan vertikal akan membuat penyelenggaraan pemerintahan menjadi
semakin mudah dan kualitas governance juga akan meningkat dengan sendirinya.
Ketiga, isu yang menjadi rasionalitas dari fragmentasi dan integrasi adalah perbaikan pelayanan
publik. Jarak yang jauh antara kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik dengan warganya sering
membuat akses terhadap pelayanan menjadi terbatas. Fragmentasi diharapkan dapat memperbaiki
akses terhadap pelayanan publik. Sebaliknya, mereka yang mendukung integrasi juga berargumentasi
bahwa konsolidasi daerah akan membuat daerah dapat memperbaiki efisiensi dan pemerataan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Ketika konsolidasi dilakukan dengan menggabung dua atau lebih
daerah menjadi satu daerah maka skala pelayanan publik di daerah menjadi semakin besar dan dengan
9
9 Kerangka Pemikiran
skala pelayanan yang lebih besar maka pelayanan publik akan menjadi lebih efisien. Skala pelayanan
yang lebih besar akan selalu diikuti oleh efisiensi yang lebih tinggi. Integrasi wilayah juga dapat
membuat penerapan standar pelayanan yang sama diterapkan pada wilayah yang lebih luas sehingga
akses terhadap kualitas pelayanan dapat diwujudkan.
Keempat, isu yang seringkali diperdebatkan antara fragmentasi versus integrasi daerah adalah
mengenai daya saing daerah. Para penggagas fragmentasi menyatakan bahwa fragmentasi akan dapat
menciptakan iklim persaingan antar daerah. Daerah akan dihadapkan pada situasi untuk memperbaiki
infrastruktur daerah, membuat kebijakan yang pro-investasi, dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya karena dihadapkan pada penawaran investasi yang terbatas. Semakin banyak daerah
membuat tekanan untuk melakukan perbaikan daya saing daerah menjadi semakin besar. Sementara
para pendukung integrasi wilayah berargumentasi bahwa daya saing daerah justru akan semakin baik
ketika skala ekonomi daerah menjadi semakin besar, biaya transaksi menjadi semakin tinggi, dan biaya
internalisasi pasar juga semakin murah. Hal itu hanya dapat diwujudkan ketika integrasi wilayah dapat
dilakukan.
10
BAB III
EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN
3.1 EDOHP Untuk memetakan Kinerja DOHP
EDOHP terkait dengan kebijakan evaluasi pemerintahan daerah dan kebijakan
penghapusan/penggabungan daerah. Dasar hukum EDOHP adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 21/2010 sebagai dasar hukum kegiatan EDOHP tahun 2010, yang merujuk pada kebijakan di atasnya
yaitu PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain PP
No. 6 Tahun 2008, EDOHP juga merujuk pada PP No. 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
EDOHP ditujukan untuk memetakan kinerja DOHP. EDOHP dilaksanakan dengan tujuan untuk: (a)
memetakan kinerja pemerintahan daerah di DOHP; (b) mengembangkan program dan strategi yang
tepat untuk pembinaan dan perbaikan kinerja daerah otonom baru; dan (c) menjadi bahan masukan
bagi revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan kebijakan pemerintah lainnya yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah. Maksud dari dilaksanakannya EDOHP adalah untuk: (a)
memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) mengukur kinerja DOHP; (c)
merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah di
masa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Evaluasi juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan
kebijakan untuk meningkatkan kinerja DOHP. Cakupan kegiatan EDOHP ini akan meliputi 205 daerah
otonom hasil pemekaran (DOHP), yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Pada awalnya
direncanakan untuk juga mengevaluasi 127 pemerintah daerah induk sebelum dilakukan pemekaran
daerah sebagai pembanding. Namun atas sejumlah pertimbangan teknis evaluasi terhadap daerah induk
tersebut tidak jadi dilaksanakan.
Keluaran dari kegiatan ini adalah adanya hasil evaluasi yang dapat memberikan informasi yang
memadai tentang kinerja DOHP, unsur-unsur yang membentuk kinerja DOHP, dan klasifikasi daerah
menurut kinerjanya. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam
rangka pengaturan kembali persyaratan dan mekanisme pembentukan daerah, peningkatan kinerja
daerah, dan penataan kembali daerah otonom. Evaluasi terhadap daerah induk dilakukan untuk melihat
efek dari pemekaran terhadap daerah induk. Hasilnya diharapkan dapat memberikan informasi tentang
dinamika yang terjadi di daerah sebagai akibat dari terpecahnya daerah tersebut ke dalam dua atau
lebih daerah otonom.
3.2 Metode Evaluasi
Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian kinerja daerah otonom hasil pemekaran ini adalah
dengan menggunakan pengukuran indeks. Perhitungan angka indeks merupakan salah satu metode
yang digunakan untuk mendapatkan skor akhir penilaian kinerja. Dengan membuat peringkat indeks
11
11 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
Penyusunan
Desain Studi
Pengumpulan
Data
Data
Entry
Data
Processing
Hasil
DOHP
diharapkan dapat menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Berikut
tujuan pengembangan studi menggunakan perhitungan angka indeks: (a) Membangun penilaian dan
peringkat keberhasilan DOHP dalam mencapai tujuan DOHP; (b) Menguji tingkat signifikansi hubungan
antara faktor-faktor terkait dengan profil daerah (usia, proses pembentukan, tipe daerah otonomi).
Gambar 3.1: Metode Pengukuran Indeks Evaluasi Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Baru
3.2.1 Pengembangan Faktor, Aspek dan Indikator
Instrumen pengukuran didasarkan pada tujuan otonomi daerah. Dasar perumusan ”faktor” dalam
evaluasi DOHP adalah Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Selain itu, ditambahkan faktor Tata Pemerintahan
yang Baik (Good Governance) sebagai wujud rasa kepedulian terhadap upaya pembenahan tata kelola
pemerintahan daerah dengan mencermati dinamika yang berkembang sejak reformasi didengungkan
tahun 1998.
Indikator pengukuran berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2010. Untuk
mencapai tujuan otonomi daerah (faktor evaluasi DOHP), perlu diketahui penilaian “variabel” yang
menggambarkan kinerja daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Selanjutnya untuk mengukur
sejauh mana kemampuan daerah dalam memenuhi tingkat variabel yang ditetapkan untuk mencapai
tujuan otonomi daerah, maka digunakan indikator sebagai ukurannya. Pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 21 Tahun 2010, terdapat 33 indikator yang menjadi bagian dari 14 variabel. Dalam proses
evaluasi ini istilah variabel kemudian diubah menjadi “aspek” karena yang menjadi ukuran variabel
dalam penelitian ini adalah indikator itu sendiri. Penetapan indikator tersebut memperhatikan 7 (tujuh)
persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu indikator, yaitu: (a) Ketersediaan data; (b)
Kemudahan dalam memperoleh data; (c) Kemudahan dalam proses penghitungan data; (d) Relevan; (e)
Terukur; (f) Akurat dan valid; dan (g) Reliabel.
� Tujuan EDOHP.
� Kerangka
penyusunan
instrument
evaluasi.
� Ujicoba
instrumen.
� Sosialisasi.
� Pengumpulan
kuesioner.
� Input data.
� Verifikasi/
validasi.
� Data cleaning.
� Menstandarisasi
data dengan Z-
score (untuk
indeks).
� Analisis regresi.
� Analisis DOHP
berdasar bentuk
daerah, usia, proses
pembentukan,
wilayah.
12
12 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Gambar 3.2: 4 Faktor, 14 Aspek dan Indikator dalam Penyusunan Indeks EDOHP
Faktor 1: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Aspek 1: Aspek Kemakmuran Masyarakat Indikator:
1. Laju pertumbuhan PDRB per kapita. 2. Penurunan tingkat kemiskinan. 3. Komitmen pemerintah pada peningkatan kemakmuran rakyat
yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan. Aspek 2: Berkurangnya Ketimpangan Gender Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.
2. Tingkat kelembagaan yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.
Faktor 2: Tata Pemerintahan yang Baik Aspek 1: Aspek Efektivitas Indikator:
1. Ketepatan waktu Daerah Menetapkan APBD. 2. Daya serap anggaran (APBD) Per Tahun.
Aspek 2: Aspek Transparansi Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada azas transparansi yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan terhadap transparansi.
2. Publikasi APBD dan pengadaan barang/jasa (procurement). Aspek 3: Aspek Akuntabilitas Indikator:
1. Sarana yang disediakan pemerintah untuk penanganan pengaduan masyarakat.
2. Komitmen penyelenggara negara/pejabat pada azas integritas. 3. Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 4. Tingkat komitmen pemerintah pada kepentingan publik.
Aspek 4: Aspek Partisipasi Indikator:
1. Keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi dan konsultasi publik dalam penyusunan kebijakan.
2. Jumlah Peraturan Daerah dari inisiatif DPRD.
Faktor 4: Peningkatan Daya Saing Daerah Aspek 1: Aspek Kebijakan Daerah Indikator:
1. Kepastian peruntukan lahan untuk usaha. 2. Komitmen pemerintah daerah pada perlindungan lingkungan
hidup. Aspek 2: Aspek Kelembagaan Daerah Indikator:
1. Komitmen pemerintah untuk memudahkan perizinan usaha 2. Upaya pemerintah daerah untuk mempromosi potensi ekonomi
daerah Aspek 3: Aspek Fasilitasi Investasi Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada pengembangan usaha untuk UMKM 2. Kerjasama pemerintah daerah dengan pelaku usaha dalam
peningkatan investasi Aspek 4: Realisasi Investasi Indikator:
1. Nilai realisasi investasi
Faktor 3: Ketersediaan Pelayanan Publik Aspek 1: Pendidikan Indikator:
1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan pendidikan 2. Tingkat Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat,
SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat Aspek 2: Aspek Kesehatan Indikator:
1. Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan kesehatan 2. Persentase Balita Gizi Buruk
Aspek 3: Aspek Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum Indikator:
1. Komitmen pemerintah pada penyediaan sarana air bersih dan sanitasi
2. Laju pertumbuhan sarana jalan 3. Inisiatif Pemda dalam penanganan krisis listrik
Aspek 4: Aspek Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan Indikator:
1. Ketertiban pemerintah dalam pendataan penduduk 2. Ketertiban pemerintah dalam mencatat kelahiran anak
Penyesuaian indikator. Dari 33 indikator, 2 indikator tidak memenuhi syarat penetapan indikator.
Indikator “Produk Hukum Daerah yang Memberikan Intensif dan/atau Kemudahan Kepada Investor
untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah” dihilangkan karena ketersediaan data
yang kurang memadai. Sedangkan indikator “Jumlah Realisasi Investasi” dihilangkan karena standar
ukuran investasi yang pantas untuk dihitung tidak jelas disebutkan sehingga ukuran investasi suatu
daerah tidak dapat diukur dengan jelas. Daerah yang memiliki jumlah investasi yang banyak belum tentu
Indeks
EDOHP
13
13 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
memiliki ukuran investasi yang lebih besar. Karena bisa saja daerah dengan investasi yang sedikit
memiliki skala investasi besar, sedangkan yang memiliki banyak investasi terdiri dari investasi dengan
skala kecil. Dengan pengurangan 2 indikator, terdapat 31 indikator yang menjadi indikasi keberhasilan
suatu daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah (Gambar 3.2).
3.2.2 Pengumpulan Data
Data diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh pemerintah daerah dan data sekunder lainnya. Sebelum
dilakukan pengisian kuesioner untuk mengumpulkan data kebutuhan EDOHP diselenggarakan Sosialisasi
dan Rapat Teknis dengan seluruh pemerintah daerah hasil pemekaran pada tanggal 24 April 2010.
Peserta dari pemerintahan daerah menghadiri Rapat Teknis dengan membawa kuesioner yang sudah
diisi, profil daerah, rekap APBD selama 10 tahun, serta data pendukung lain yang diangggap perlu.
Pengumpulan data juga ada yang dilakukan melalui pengiriman langsung melaui Pos atau email yang
sudah ditetapkan.
3.2.3 Verifikasi dan Validasi Data
Verifikasi data dan kunjungan lapangan. Verifikasi dan validasi terhadap data dilakukan untuk
mengecek kelengkapan dan keakuratan data. Terhadap data yang meragukan, dilakukan konfirmasi
kepada pemerintah daerah yang bersangkutan untuk segera melengkapinya, agar tidak menyebabkan
distorsi atau kesalahan pada saat pengolahan data maupun analisis data. Selain itu, dilakukan
pengecekan lapangan terhadap data yang tidak terkumpul, meskipun jumlah daerah yang dapat
dikunjungi sangat terbatas. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan data serta untuk melihat
kondisi obyektif di daerah yang bersangkutan.
Banyak kuesioner/data dari daerah yang tidak lengkap. Kendala yang ditemui dalam kegiatan ini
adalah adanya cukup banyak kuesioner yang pengisiannya kurang sesuai dengan yang dibutuhkan,
seperti: pemerintah daerah tidak secara lengkap mengirimkan data sesuai dengan usianya untuk
beberapa data yang bersifat time series; pengisian data yang tidak komparabel antar daerah karena
kesalahan pengertian pengisian kuesioner; dan daerah tidak menjawab seluruh pertanyaan kuesioner
sehingga data menjadi missing. Prosedur yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah meminta
daerah untuk mengirimkan data sampai batas waktu tertentu, sementara untuk beberapa daerah
dilakukan penjemputan data oleh staf Kemendagri. Untuk pengisian data yang tidak dapat
diperbandingkan karena kesalahan dalam memahami isi kuesioner (PDRB, PDRB per kapita, Angka
Kemiskinan, Jumlah Penduduk) dilakukan re-entry data dengan menggunakan data BPS. Untuk data di
mana sebagian besar daerah tidak dapat mengisikan kuesioner (Jumlah Balita Gizi Buruk, Sanitasi di
kluster provinsi) dilakukan reentry dengan menggunakan proksi dari data Kementerian Keseharan RI
tahun 2008. Digunakannya proksi data 1 tahun tersebut karena Tim hanya dapat menemukan dataset
yang comperhensive dan memadai dalam 1 tahun untuk indikator tersebut. Namun demikian dengan
upaya tersebut, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki missing values.
14
14 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
3.2.4 Prosedur Pengolahan Data
Teknik Perhitungan Indeks. Perhitungan indeks dilakukan untuk membandingkan kinerja pemerintah
daerah dari setiap 205 Daerah Otonomi Hasil Pemekaran (DOHP) yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten dan 34 kota. Berikut tahap proses pengolahan dan analisis data.
Tahap Awal (Pembagian Kluster). Output dari pengolahan dan analisa data adalah untuk menghasilkan
tabel peringkat keberhasilan DOHP. Untuk menghasilkan output tersebut data set distandardisasi
kemudian dikompositkan menggunakan bobot. Pada tahap awal, daerah otonomi baru dikelompokkan
menjadi 2 kluster yaitu kluster provinsi dan kabupaten/kota
Perlakuan Atas Data Ekstrim. Setelah dilakukan pembagian kluster, tahap selanjutnya yaitu mengganti
data ekstrim dengan proses sebagai berikut: (a) Menghitung trimmed rata-rata dan trimmed standar
deviasi setiap indikator. Standar deviasi dan rata-rata dihitung pada 95% dari pusat distribusi (untuk
2,5% batas atas dan bawah tidak dihitung untuk menentukan rata-rata dan standar deviasi); (b) Setiap
observasi pada indikator yang terletak di atas 2,5 diganti dengan (rata-rata + 2,6 X trimmed standar
deviasi) jika berada pada ekor kanan, dan jika berada pada ekor kiri diganti dengan (rata-rata - 2,6 X
trimmed standar deviasi).
Prosedur Standardisasi. Dari setiap item indikator distandardisasi, sehingga diperoleh skor
standardisasi. Asumsi dari penggunaan pendekatan ini adalah sebaran skor yang diperoleh secara
statistik terdistribusi secara normal. Standardisasi atau normalisasi skor diterapkan terhadap seluruh
indikator untuk menghilangkan satuan skor masing-masing indikator yang memiliki ukuran berbeda
dengan skala nominal, skala ordinal, dan rasio. Dengan asumsi bahwa semua indikator dinilai dengan
skala 0 sampai dengan 100, di mana skor 0 adalah skor terjelek suatu daerah untuk masing-masing
indikator yang dimaksud, sedangkan skor 100 adalah skor terbaik suatu daerah untuk masing-masing
indikator yang dimaksud; maka normalisasi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
3.2.5 Masalah Missing Data dalam Penulisan Laporan
Terdapat sejumlah DOHP yang hanya memperoleh skor total sebesar nol (atau missing data), yaitu: tiga
DOHP pada faktor kesejahteraan masyarakat,13 dua daerah pada faktor ketatapemerintahan yang baik,14
dan 27 DOHP pada faktor daya saing.15 Dua DOHP, yaitu Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, memiliki
13 Ketiga DOHP tersebut adalah Kabupaten Paniai, Puncak Jaya dan Deiyai.
14 Kedua DOHP yaitu Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya.
Skor Standardisasi xi = 100 × (�i– �min)
(�max – �min)
15
15 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
y = 0,6578x + 4,0317
R² = 0,7751
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Kesejahteraan Masyarakat
y = 0,6408x + 13,377
R² = 0,6799
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Good Governance
y = 0,7096x + 12,11
R² = 0,6415
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Pelayanan Publik
y = 0,7018x + 22,661
R² = 0,5563
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
To
tal
Daya Saing
skor indeks kesejahteraan masyarakat, ketatapemerintahan yang baik, dan daya saing yang sama, yaitu
nol. Untuk mengujinya, dilakukan analisis regresi sederhana antara skor total dan skor masing-masing
faktor.
15 Ke 27 DOHP tersebut, yaitu: Gorontalo Utara, Murung Raya, Natuna, Mesuji, Tulang Bawang Barat, Maluku Barat Daya, Buru
Selatan, Kepulauan Aru, Morotai, Kota Subulussalam, Sabu Raijua, Yalimo, Puncak, Paniai, Memberamo Tengah, Nduga, Mappi,
Dogiyai, Puncak Jaya, Tambraw, Maybrat, Kepulauan Meranti, Toraja Utara, Sigi, Kepulauan Sitaro, Nias Utara dan Kota Gunung
Sitoli.
Gambar 3.3: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 3.4: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor
Tata Pemerintahan yang Baik
Gambar 3.5: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Pelayanan Publik
Gambar 3.6: Regresi Skor Total terhadap Skor Faktor Daya Saing
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
16
16 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Skor R2, yang memberikan onformasi mengenai goodness of fit antara skor total dan skor masing-
masing faktor, terbesar terdapat pada faktor kesejahteraan masyarakat, sedangkan yang terkecil pada
faktor daya saing (Gambar 3.3 dan 3.6). Hal ini disebabkan karena faktor kesejahteraan masyarakat
memiliki bobot terbesar (yaitu 30 persen) terhadap skor total, sementara faktor daya saing memiliki
bobot terkecil (20 persen). Selain itu, kondisi missing data yang cukup serius pada faktor daya saing--
yang terlihat dari bayaknya titik pada sumbu vertikal-- juga menyebabkan rendahnya skor R2 tersebut.
Oleh karenanya hasil dari evaluasi ini perlu disikapi dengan hati-hati untuk DOHP yang terletak pada
urutan yang relatif bawah karena adanya masalah missing data tadi. Selain itu, secara keseluruhan
terdapat 28 DOHP yang paling tidak memperoleh skor nol pada salah satu indikator evaluasi.
Karenanya, dalam laporan ini tidak akan disajikan peringkat daerah dengan kinerja terendah.
3.3 Pelaksanaan EDOHP
Pelaksana. Pelaksana kegiatan EDOHP adalah Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja
Daerah (PKEKD), Direktorat Jenderal Otonomi Daerah di Kementerian Dalam Negeri. Pelaksanaan teknis
evaluasi dilakukan oleh sebuah tim evaluator independen yang berasal dari kalangan akademisi,
perwakilan dunia usaha, organisasi kemasyarakatan/peneliti dan media massa. Tim ini dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 188.205 – 39 Tahun 2010 Tentang Tim Evaluasi
Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah (lihat Tabel 3.1).
Pelaksanaan. Pelaksanaan evaluasi diawali dengan kegiatan diseminasi desain dan instrumen
pengumpulan data EDOHP dengan mengundang pimpinan/perwakilan pemerintah daerah dari 7
Provinsi dan 164 Kabupaten/Kota hasil pemekaran. Kegiatan ini dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 24
Februari 2010 yang dibuka oleh Menteri Dalam Negeri.
Tabel 3.1: Daftar Nama Tim Evaluator EDOHP
Nama Institusi Posisi
Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MA.
Prof. Dr. Muchlis Hamdi, MPA.
Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si.
Dr. Alberto D. Hanani
Dr. Tri Ratnawati
Dr. Alit Merthayasa
P. Agung Pambudhi, MM.
Natalia Soebagjo, MA.
Dadan S. Suharmawijaya
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Kamar Dagang Indonesia (KADIN)
Peneliti Utama LIPI Bidang Politik
Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD)
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Center for the Study of Governance, Universitas Indonesia
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)
Ketua
Wakil Ketua
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.205 – 39 Tahun 2010.
Diseminasi Hasil EDOHP. Hasil-hasil utama laporan diseminasikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi pada Hari Otonomi Daerah tanggal 25 April 2011 di Kota Bogor. Selanjutnya Direktur Jenderal
Otonomi Daerah – Kementerian Dalam Negeri yang didampingi Tim Evaluator EDOHP menyampaikan
hasil EDOHP tersebut kepada publik melalui konferensi pers di kantor Kementerian Dalam Negeri di
Jakarta pada tanggal 28 April 2011.
17
17 Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran
BAB IV
HASIL EVALUASI KINERJA RELATIF
DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN KABUPATEN/KOTA
4.1 Beberapa Kondisi/Karakteristik DOHP Kabupaten/Kota
Sebagian besar DOHP dibentuk berdasarkan inisiatif pemerintah dan DPR. Kecuali di Jawa, sebagian
besar DOHP dibentuk atas inisiatif pemerintah dan DPR. Ada 198 DOHP kabupaten/kota baru di
sepanjang kurun waktu 1999-2009. Pemekaran paling banyak terjadi di pulau Sumatera dan di wilayah
Indonesia Bagian Barat (Gambar 4.1 dan 4.2). Dalam hal ini, proses pemekaran daerah di Indonesia
umumnya melalui tiga jalan, yaitu: (a) Melalui prosedur inisiatif pemerintah pusat; (b) Melalui prosedur
hak inisiatif DPR; (c) Melalui proses tranformasi menjadi daerah otonom.16
Gambar 4.1: Proporsi DOHP berdasarkan Kepulauan dan Proses Pemekaran
Gambar 4.2: Proporsi DOHP berdasarkan Wilayah dan Proses Pemekaran
Gambar 4.3: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Usia
Gambar 4.4: Proporsi DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
16 Sebelum menjadi DOHP penuh, sebuah daerah terlebih dulu melalui proses menjadi kota atau kabupaten administratif
terlebih dahulu selama beberapa tahun sampai dianggap cukup siap untuk pisahkan dari daerah induk mendai kota atau
kabupaten tersendiri. Contohnya adalah Kota Administratif Depok yang awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Bogor
kemudian dimekarkan menjadi Kota Depok. Contoh dari Kabupaten Administratif adalah Kabupaten Kepulauan Seribu di
Provinsi DKI Jakarta. Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada lagi kabupaten dan kota administratif, sehingga
pemekaran daerah dapat langsung dilakukan secara otomatis begitu UU pembentukan daerah baru tersebut disahkan.
40%
36%
80%
36%
0%
51%
53%
58%
12%
55%
44%
37%
7%
6%
8%
9%
56%
12%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Maluku & Papua = 45 …
Sulawesi = 33 DOHP
Kalimantan = 25 DOHP
Nusa Tenggara = 11 …
Jawa = 9 DOHP
Sumatera = 75 DOHP
Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi daerah otonom
40%
44%
51%
53%
48%
34%
7%
7%
15%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Indonesia Bagian Timur = 45 DOHP
Indonesia Bagian Tengah = 54 DOHP
Indonesia Bagian Barat = 99 DOHP
Inisiatif pemerintah pusat Inisiatif DPR Transformasi menjadi daerah otonom
21%
30%
79%
70%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kota = 34 DOHP
Kabupaten = 164 DOHP
0-3 Tahun > 3 Tahun
21%
52%
26%
46%
53%
2%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kota = 34 DOHP
Kabupaten = 164 DOHP
Inisiatif pemerintah Inisiatif DPR Transformasi
18
18 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Data yang ada menunjukkan kecenderungan
proses pemekaran berbeda di tiap pulau dan
wilayah. Di Kalimantan peran pemerintah dalam
mengusulkan pembentukan DOHP terlihat sangat
dominan (80 persen). Sementara di Jawa, sebagian
besar proses pemekaran melalui proses
transformasi menjadi daerah otonom (56 persen),
dan tidak ada DOHP yang dibentuk atas inisiatif
pemerintah (lihat Gambar 4.1). Jika dilihat berdasar
proporsi pembentukan DOHP per daerah, di
Indonesia Bagian Barat proses pembentukan DOHP
atas inisiatif pemerintah dan transformasi daerah
proporsinya terlihat lebih tinggi dibandingkan pada
daerah lain. Sementara di Indonesia Bagian Timur,
peran DPR tampak lebih aktif dalam mengusulkan
pemekaran tersebut (Gambar 4.2).
Dalam tahun-tahun terakhir, DPR lebih
berperan dalam mengusulkan pembentukan
DOHP. Jika dilihat berdasarkan usia daerah,
terlihat ada perbedaan kecenderungan peran
pemerintah dan DPR dalam mengusulkan
pemekaran. Pada DOHP yang berusia 0-3 tahun,
peran DPR terlihat sangat dominan lebih dari 90
persen. Sebaliknya pada DOHP berusia lebih
dari tiga tahun, pemerintah terlihat lebih aktif
mengusung usulan pemekaran daerah (lihat
Tabel 4.1).
Sekitar 70-80 persen kabupaten/kota berusia
di atas tiga tahun (Gambar 4.3).17 Secara
keseluruhan, dari 198 kabupaten/kota sebagian
besar berusia di atas 3 tahun, yaitu 141 daerah atau 71 persen. Dalam tiga tahun terakhir terlihat
adanya kecenderungan pembentukan kabupaten baru yang cukup banyak di Sumatera, Maluku-Papua
dan Sulawesi (Tabel 4.2).
17 Tiga tahun dijadikan ukuran karena dikaitkan dengan waktu pelaksanaan evaluasi suatu daerah yang baru terbentuk yang
diatur dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selain itu, hal tersebut
juga dikaitkan dengan pembagian usia daerah dalam EPDOB, yaitu 0-3 tahun dan 4-5 tahun. Diharapkan dengan kesamaan
satuan tersebut dapam membantu jika dibutuhkan untuk perbandingan kinerja daerah dari beberapa evaluasi berbeda.
Tabel 4.1: DOHP berdasarkan Usia dan Proses Pemekaran
Usia dan Proses Pembentukan DOHP
Frekuensi Persentase
Usia 0-3 tahun
Inisiatif DPR 52 91.23
Inisiatif Pemerintah Pusat 5 8.77 Transformasi menjadi daerah
otonom 0 0
Jumlah 57 100
Usia > 3 tahun
Inisiatif DPR 32 22.7
Inisiatif Pemerintah Pusat 87 61.7 Transformasi menjadi daerah
otonom 22 15.6
Jumlah 141 100
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Tabel 4.2: DOHP berdasarkan Kepulauan dan Bentuk Administrasi
Pulau Kab/Kota Usia DOHP (Tahun) Jumlah 0-3 > 3
Sumatera Kota 2 11 13
Kabupaten 17 45 62
Jawa Kota 2 6 8
Kabupaten 1 0 1
Kalimantan Kota 0 3 3
Kabupaten 3 19 22
Sulawesi Kota 1 3 4
Kabupaten 10 19 29
Nusa Tenggara
Kota 0 1 1
Kabupaten 6 4 10
Maluku-Papua Kota 1 3 4
Kabupaten 14 27 41
Total 57 141 198
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
19
19 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
47.17
34.4847.13
39.48
31.1518.94
0
10
20
30
40
50Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
4.2 Indeks Total DOHP Kabupaten/Kota
Secara umum kinerja kota lebih baik dari kabupaten. Hasil analisis menunjukkan bahwa skor total kota
lebih tinggi dari kabupaten. Skor total gabungan kabupaten dan kota sebesar 36,65 yang diperoleh dari
skor total kabupaten sebesar 35,17 dan skor total kota sebesar 43,78 (Gambar 4.5).
Kinerja DOHP Kabupaten/Kota di Jawa paling tinggi dibanding pulau/kepulauan lainnya. Jika
dibandingkan berdasar pembagian lima pulau/kepulauan di Indonesia, kinerja DOHP Kabupaten/Kota di
Jawa memiliki skor total tertinggi, diikuti DOHP di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Maluku-Papua (Gambar 4.6). Perbedaan skor total antara Jawa dengan Maluku-Papua terlihat cukup
tinggi, yaitu 45,51 berbanding 26,79.
Gambar 4.5: Skor Total Kabupaten dan Kota Gambar 4.6: Skor Total berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.7: Skor Total berdasarkan Usia DOHP Gambar 4.8 Skor Total berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Faktor usia DOHP Kabupaten/Kota cenderung berbanding lurus dengan kinerjanya. Pada Gambar 4.7
terlhat bahwa baik di kabupaten maupun kota, DOHP berusia lebih dari 3 tahun menunjukkan skor total
yang lebih tinggi dibandingkan DOHP Kabupaten/Kota berusia dibawah 3 tahun.
Ada perbedaan kinerja daerah dilihat dari proses pembentukannya. Gambar 4.8 menunjukkan
perbedaan kinerja DOHP Kabupaten dan Kota berdasarkan proses pembentukannya. Pada DOHP Kota,
capaian skor total pada kota yang dibentuk melalui proses inisiatif pemerintah dan transformasi menjadi
daerah otonom dapat dikatakan sama. DOHP Kota yang dibentuk melalui proses inisiatif DPR capaian
43.78
35.17
0 10 20 30 40 50
Kota
Kabupaten 39.39
45.41
42.89
37.30
34.96
26.790
20
40
60
Sumatera (75 DOHP)
Jawa (9)
Kalimantan (25)
Sulawesi (33)
Nusa Tengara (11)
Maluku-Papua (45)
28.49
47.74
24.62
39.8
0 10 20 30 40 50
0-3 Th
> 3 Th
Kabupaten Kota
20
20 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
skor totalnya terendah. Sebaliknya, pada DOHP Kabupaten, DOHP yang dibentuk melalui proses
transformasi justru hanya mampu mencapai sekitar setengah saja dari skor total DOHP yang dibentuk
melalui proses inisiatif pemerintah dan DPR. Meskipun secara proporsi DOHP Kabupaten yang dibentuk
melalui proses transformasi jumlahnya sedikit saja.
DOHP Kabupaten peringkat tertinggi berusia lebih dari 3 tahun. Tabel 4.3 menunjukkan 10 DOHP
Kabupaten dengan skor total tertinggi. Ada kecenderungan bahwa faktor usia DOHP (kesepuluh daerah
berusia lebih dari 3 tahun) mempengaruhi capaian tersebut. Sebanyak 7 dari 10 DOHP Kabupaten
tersebut berada di Sumatera. Kesepuluh DOHP Kabupaten tersebut dibentuk melalui inisiatif DPR dan
pemerintah. Analisis statistik mengenai pengaruh dan hubungan kinerja kabupaten dengan usia dan
proses pembentukan akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Tabel 4.3: DOHP Kabupaten dengan Skor Total Tertinggi
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Total
Skor Peringkat
Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 59,43 1
Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 59,18 2
Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 58,52 3
Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 56,42 4
Serdang Bedagai Sumut Inisiatif DPR > 3 55,35 5
Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR > 3 55,20 6
Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 54,68 7
Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 54,43 8
Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 53,66 9
Sumbawa Barat NTB Inisiatif DPR > 3 53,36 10
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Seperti halnya pada kabupaten, faktor usia juga berpengaruh terhadap kinerja 10 DOHP Kota
berperingkat tertinggi. Kesepuluh DOHP Kota berperingkat tertinggi berusia lebih dari 3 tahun (Tabel
4.4). Sebanyak 7 dari 10 kota berperingkat terbaik tersebut dibentuk melalui proses transformasi
menjadi daerah otonom. Dari 10 kota tersebut, 3 diantaranya berasal dari Provinsi Jawa Barat.
Pada bagian selanjutnya akan diuraikan temuan hasil evaluasi pada tiap faktor berdasarkan bentuk
daerah, pulau/kepulauan, usia dan proses pembentukan.
21
21 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
Tabel 4.4: 10 Kota dengan Skor Total Tertinggi
No Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Total
Skor Peringkat
1 Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 64,61 1
2 Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 60,43 2
3 Singkawang Kalbar Transformasi > 3 58,12 3
4 Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 57,40 4
5 Palopo Sulsel Transformasi > 3 57,20 5
6 Cilegon Banten Transformasi > 3 56,62 6
7 Banjar Jabar Transformasi > 3 56,36 7
8 Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 55,77 8
9 Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 55,36 9
10 Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 53,64 10
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
4.3 Faktor Kesejahteraan Masyarakat
Para penggagas pembentukan daerah otonom baru seringkali berargumentasi bahwa pembentukan
daerah otonom baru akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa teori menjustifikasi
argumentasi ini dengan mengatakan bahwa fragmentasi daerah akan dapat mendorong kompetisi antar
daerah. Daerah akan memperebutkan investasi dan modal yang terbatas dan mendorong mereka untuk
lebih efisien. Pembentukan daerah juga diharapkan dapat memperbaiki rasa keadilan karena adanya
daerah otonom baru memungkinkan pemerintah daerah baru tersebut untuk memperhatikan
kepentingan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Banyak daerah baru dibentuk karena
sekelompok pemangku kepentingan merasa kepentingannya kurang diperhatikan oleh pemerintah
induknya. Karena itu ketika mereka berhasil membentuk daerah otonom baru diharapkan pemerintah
DOHP itu lebih peduli kepada kepentingan mereka.
Fragmentasi daerah diharapkan dapat membuat pemerintah menjadi lebih fokus kepada kelompok
penduduk yang selama ini terpinggirkan. Mereka mendukung pembentukan daerah baru karena
berharap pemerintah daerah yang baru akan lebih peduli dengan kesejahteraan mereka. Menilai kinerja
DOHP dalam meningkatkan kesejahteraan warganya menjadi amat penting dalam menilai keberhasilan
pembentukan daerah.
Kesejahteraan masyarakat yang menjadi salah satu tujuan otonomi daerah di Indonesia, yang dalam
evaluasi ini diukur berdasarkan perbandingan relatif antar DOHP yang dinilai kinerjanya melalui indeks
komposit dari indikator-indikator, yaitu: laju pertumbuhan PDRB per kapita, penurunan angka
kemiskinan, kebijakan pemberdayaan penduduk miskin, produk hukum kesetaraan gender, dan bentuk
kelembagaan penanganan kesetaraan gender. Indeks ini menunjukkan posisi tiap daerah terhadap
standar kinerja yang ditetapkan oleh evaluator, dari peningkatan kesejahteraan masyarakat.
22
22 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Gambar 4.9: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Kabupaten dan Kota
Gambar 4.10: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.11: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Usia DOHP
Gambar 4.12: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Pada faktor kesejahteraan masyarakat, DOHP Kota berkinerja lebih baik. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa kinerja DOHP Kota pada faktor kesejahteraan masyarakat cenderung lebih baik dibanding DOHP
Kabupaten. Sementara itu, DOHP Kabupaten/Kota di Jawa memiliki skor tertinggi pada faktor
kesejahteraan masyarakat, diikuti oleh Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku-
Papua. Pada Gambar 4.10 terlihat perbedaan skor yang cukup tinggi antara DOHP di Jawa dengan
Maluku-Papua, yaitu 62,84 berbanding 35,28.
Usia DOHP tampaknya berpengaruh terhadap kinerja daerah dalam pemenuhan kesejahteraan
masyarakat. Baik di DOHP Kabupaten maupun Kota, DOHP yang berusia di atas 3 tahun capaian skor
evaluasinya lebih tinggi dari daerah yang berusia 0-3 tahun (Gambar 4.11. DOHP yang dibentuk atas
inisiatif pemerintah cenderung lebih mampu memberikan kesejahteraan masyarakat. Baik di DOHP
Kabupaten maupun Kota, DOHP yang dibentuk atas inisiatif pemerintah memperoleh skor tertinggi pada
faktor kesejahteraan masyarakat. Menariknya, DOHP Kabupaten yang dibentuk dari proses transformasi
justru memperoleh skor terendah (Gambar 4.12). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa peringkat
pertama faktor belum tentu peringkat teratas secara total. Pada seluruh uraian berikutnya akan terlihat
bahwa sekalipun daerah menduduki peringkat pertama pada masing-masing faktor, namun posisi
tersebut bukan serta merta menjadi posisi teratas secara total. Masih banyak faktor lain yang lebih
dominan mempengaruhi peringkatnya secara signifikan.
58.39
47.98
0 10 20 30 40 50 60
Kota
Kabupaten53.87
62.84
59.23
51.36
44.09
35.28
0
20
40
60
80Sumatera (75 DOHP)
Jawa (9)
Kalimantan (25)
Sulawesi (33)
Nusa Tenggara (11)
Maluku & Papua = 45 DOHP
44.23
62.06
34.69
53.81
0 10 20 30 40 50 60 70
0-3 Th
> 3 Th
Kabupaten Kota
63.22
47.4561.98
52.82
43.7324.67
0
20
40
60
80Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
23
23 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
Tabel 4.5: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat
No Daerah Provinsi Proses
Pembentukan Usia
Faktor Kesejahteraan
Masyarakat Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
1 Serdang Bedagai Sumut Inisiatif DPR > 3 76,80 1 55,35 5
2 Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 71,80 2 53,66 9
3 Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 71,74 3 54,43 8
4 Minahasa Selatan Sulut Inisiatif DPR > 3 71,57 4 50,14 20
5 Seruyan Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 70,23 5 48,34 24
6 Padang Lawas Sumut Inisiatif DPR 0-3 70,20 6 39,83 65
7 Minahasa Utara Sulut Inisiatif DPR > 3 69,80 7 40,05 63
8 Pasaman Barat Sumbar Inisiatif pemerintah > 3 69,76 8 46,02 31
9 Siak Riau Inisiatif pemerintah > 3 69,63 9 43,76 41
10 Luwu Timur Sulsel Inisiatif DPR > 3 69,46 10 49,28 23
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
DOHP Kabupaten berperingkat terbaik umumnya berusia di atas 3 tahun. Sebagian besar DOHP
Kabupaten yang masuk peringkat 10 daerah dengan skor tertinggi pada faktor kesejahteraan masyarakat
berusia lebih dari 3 tahun (Tabel 4.5). Hanya satu DOHP Kabupaten berusia 0-3 tahun yang masuk
peringkat 10 besar yaitu Padang Lawas (Sumatera Utara). Sebanyak 6 dari 10 daerah tersebut berasal
dari Sumatera. Kesepuluh daerah tersebut dibentuk atas inisiatif pemerintah atau DPR, dan tidak
satupun yang merupakan hasil transformasi menjadi daerah otonom.
DOHP Kota di Jawa kinerjanya lebih baik dibanding kota-kota di pulau lainnya.Temuan evaluasi yang
disajikan pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa DOHP Kota di Jawa menunjukkan kinerja yang menonjol
pada faktor kesejahteraan rakyat. Peringkat 1 sampai 3 ditempati oleh Kota Banjar dan Depok (Provinsi
Jawa Barat) dan Cilegon (Banten). Dari sepuluh daerah tersebut, hanya Kota Kotamobagu yang berusia
0-3 tahun.
24
24 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Tabel 4.6: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Kesejahteraan Masyarakat
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia
Faktor Kesejahteraan
Masyarakat Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Banjar Jabar Transformasi > 3 74,50 1 56,36 7
Depok Jabar Transformasi > 3 74,31 2 48,52 14
Cilegon Banten Transformasi > 3 73,83 3 56,62 6
Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 72,65 4 64,61 1
Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 72,19 5 53,64 10
Singkawang Kalbar Transformasi > 3 71,39 6 58,12 3
Dumai Riau Transformasi > 3 70,21 7 47,20 16
Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 70,10 8 55,77 8
Kotamobagu Sulut Inisiatif pemerintah 0-3 70,04 9 40,57 21
Palopo Sulsel Transformasi > 3 69,21 10 57,20 5
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
4.4 Faktor Tata Pemerintahan yang Baik
Untuk menilai kinerja DOHP dalam mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, evaluasi DOHP
menggunakan skor indeks yang merupakan komposit dari 10 indikator (Ketepatan APBD, Penyerapan
Anggaran, Produk Hukum Transparansi, Publikasi APBD dan Procurement, Pelembagaan Penanganan
Pengaduan, Pakta Integritas, Publikasi Pertanggungjawaban APBD, Persentase Anggaran DPRD dan
Kepala Daerah, Konsultasi Publik dan Jumlah Peraturan Daerah yang dibuat atas Inisiatif DPRD).
Pada faktor tata pemerintahan yang baik, kinerja DOHP di Kalimantan menonjol dibanding daerah
lain. Seperti halnya pada faktor kesejahteraan masyarakat, pada faktor tata pemerintahan inipun DOHP
Kota menunjukkan kinerja yang sedikit lebih baik dibandingkan kabupaten (Gambar 4.13). Dilihat data
per pulau, DOHP Kabupaten/Kota di Kalimantan menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan DOHP
Kabupaten/Kota di pulau lainnya. Pada faktor tata pemerintahan yang baik ini, DOHP Kabupaten/Kota di
Jawa bahkan memperoleh skor yang lebih kecil dibandingkan DOHP di Sulawesi dan Sumatera (Gambar
4.14).
Usia justru cenderung menurunkan kinerja DOHP Kabupaten pada faktor tata pemerintahan yang
baik. Jika dilihat berdasarkan usia pada Gambar 4.15 terlihat temuan yang menarik. Pada DOHP yang
berusia 0-3 tahun, perbedaan skor antara DOHP Kabupaten dengan Kota pada faktor tata pemerintahan
yang baik terlihat tidak terlalu jauh berbeda. Namun, pada DOHP yang berusia di atas 3 tahun, terlihat
perbedaan yang sangat mencolok antar kedua jenis daerah tersebut. Temuan ini sangat menarik karena
DOHP Kabupaten yang berusia di atas 3 tahun skor-nya justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang
berusia di bawah 3 tahun.
25
25 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
Gambar 4.13: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Kabupaten dan Kota
Gambar 4.14: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.15: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Usia DOHP
Gambar 4.16: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
41.43
35.29
0 10 20 30 40 50
Kota
Kabupaten
38.63
36.06
45.59
36.34
36.00
27.55
0
10
20
30
40
50Sumatera (75 DOHP)
Jawa (9)
Kalimantan (25)
Sulawesi (33)
Nusa Tenggara (11)
Maluku & Papua = 45 DOHP
26.63
45.27
25.49
6.29
0 10 20 30 40 50
0-3 Th
> 3 Th
Kabupaten Kota
47.56
35.0242.25
40.47
30.4715.83
0
10
20
30
40
50Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
Tabel 4.7: 10 Kabupaten dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia
Faktor Tata Pemerintah
yang Baik Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 77,87 1 59,18 2
Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 77,12 2 59,43 1
Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 70,27 3 56,42 4
Bangka Selatan Babel Inisiatif DPR > 3 68,55 4 55,20 6
Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 66,77 5 54,68 7
Karimun Kepri Inisiatif pemerintah > 3 65,94 6 52,15 15
Muaro Jambi Jambi Inisiatif pemerintah > 3 64,86 7 54,43 8
Pidie Jaya NAD Inisiatif DPR 0-3 63,84 8 46,50 28
Kepahiang Bengkulu Inisiatif pemerintah > 3 63,81 9 49,53 22
Parigi Moutong Sulteng Inisiatif pemerintah > 3 63,69 10 45,51 34
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
26
26 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Pada faktor tata pemerintahan, DOHP yang dibentuk atas inisiatif pemerintah kinerjanya lebih baik.
Hasil evaluasi pada Gambar 4.16 menunjukkan bahwa pada faktor tata pemerintahan yang baik ini,
DOHP (baik kabupaten maupun kota) yang dibentuk berdasarkan inisiatif pemerintah kinerjanya lebih
baik dibandingkan yang dibentuk melalui proses lain. Pada DOHP Kota, DOHP yang dibentuk melalui
proses transformasi memperoleh skor yang sedikit lebih tinggi dibanding DOHP Kota bentukan inisiatif
DPR. Sebaliknya, pada DOHP Kabupaten, DOHP yang dibentuk melalui proses transformasi memperoleh
skor paling kecil, bahkan dapat dikatakan cukup timpang dibandingkan DOHP yang dibentuk melalui
proses lainnya.
DOHP Kabupaten dari Sumatera kinerjanya sangat menonjol pada faktor tata pemerintahan yang
baik. Tabel 4.7 memperlihatkan 10 DOHP Kabupaten yang memperoleh skor tertinggi pada faktor tata
pemerintahan yang baik. 7 diantara 10 kabupaten tersebut berasal dari Sumatera. Namun, faktor usia
mungkin juga mempengaruhi kinerja DOHP pada faktor ini, terlihat hamper semua DOHP tersebut
berusia lebih dari 3 tahun. Catatan lain adalah bahwa tidak ada satupun DOHP Kabupaten dari proses
transformasi yang berhasil masuk peringkat 10 besar pada faktor tersebut.
DOHP Kota hasil transformasi daerah otonom mendominasi 10 DOHP Kota berperingkat teratas.
Tabel 4.8 menyajikan data 10 DOHP Kota yang memperoleh skor tertinggi pada faktor tata
pemerintahan yang baik. Kesepuluh DOHP tersebut berusia diatas 3 tahun. Lebih dari setengahnya
merupakan DOHP hasil transformasi menjadi daerah otonom. Temuan menarik adalah masuknya Kota
Sorong di Provinsi Papua Barat sebagai salah satu diantara 10 daerah tersebut, yang bahkan mampu
berada di peringkat ketiga.
Tabel 4.8: 10 Kota dengan Skor Tertinggi pada Faktor Tata Pemerintahan yang Baik
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia
Faktor Tata Pemerintah
yang Baik Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 83,08 1 64,61 1
Batam Kepri Inisiatif pemerintah > 3 72,64 2 55,77 8
Sorong
Papua
Barat Inisiatif pemerintah > 3
66,05 3 47,33 15
Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 63,37 4 60,43 2
Singkawang Kalbar Transformasi > 3 61,76 5 58,12 3
Cilegon Banten Transformasi > 3 61,20 6 56,62 6
Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 59,78 7 57,40 4
Lubuk Linggau Sumsel Transformasi > 3 57,30 8 53,49 11
Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 54,22 9 55,36 9
Tidore Kepulauan Malut Inisiatif DPR > 3 54,03 10 51,07 13
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
27
27 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
45.31
32.8249.80
35.65
29.6820.87
0
10
20
30
40
50Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
4.5 Faktor Pelayanan Publik
Faktor ketiga yang digunakan untuk menilai kinerja DOHP adalah ketersediaan pelayanan publik.
Ketersediaan pelayanan publik dinilai dari 4 (empat) aspek, yaitu: pelayanan pendidikan, kesehatan,
penyediaan sarana dan prasarana umum, dan pelayanan administrasi kependudukan. Keempat jenis
pelayanan publik ini dinilai mampu menggambarkan kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonominya.
Pada faktor pelayanan publik, kinerja DOHP Kota lebih menonjol. Seperti halnya pada faktor
kesejahteraan masyarakat dan tata pemerintahan yang baik, pada faktor pelayanan publik inipun DOHP
Kota menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan DOHP Kabupaten (Gambar 4.17). Pada faktor ini,
DOHP Kabupaten/Kota di Jawa memperoleh skor paling tinggi dibandingkan DOHP di pulau-pulau
lainnya (Gambar 4.18).
Gambar 4.17: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Kabupaten dan Kota
Gambar 4.18: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.19: Skor Faktor Pelayanan Publik berdasarkan Usia DOHP
Gambar 4.20: Skor Pelayanan Publik berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Kinerja DOHP pada faktor pelayanan publik dipengaruhi oleh usia daerah. Sementara jika dilihat
berdasarkan usia, DOHP berusia di atas 3 tahun berkinerja lebih baik dibanding DOHP yang lebih muda
dengan selisih skor yang cukup jauh (Gambar 4.19). Temuan menarik lain adalah, DOHP Kota hasil
transformasi menjadi daerah otonom memiliki skor hasil evaluasi yang paling tinggi, namun DOHP
Kabupaten hasil proses transformasi justru memiliki skor yang paling rendah (Gambar 4.20).
44.38
32.56
0 10 20 30 40 50
Kota
Kabupaten37.43
47.28
32.87
36.67
34.29
26.82
0
10
20
30
40
50
Sumatera (75 DOHP)
Jawa (9)
Kalimantan (25)
Sulawesi (33)
Nusa Tenggara (11)
Maluku & Papua = 45 DOHP
23.49
49.79
22.31
37.06
0 10 20 30 40 50
0-3 Th
> 3 Th
Kabupaten Kota
28
28 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Tidak ada DOHP Kabupaten hasil transformasi yang masuk peringkat 10 tertinggi pada faktor
pelayanan publik. DOHP Kabupaten yang memperoleh skor paling tinggi ditampilkan pada Tabel 4.9.
Tidak ada DOHP yang dibentuk berdasar proses transformasi menjadi daerah otonom yang masuk dalam
10 daerah dengan skor tertinggi pada faktor ini. Kabupaten Sarmi dari Provinsi Papua justru
menunjukkan kinerja yang cukup baik sehingga masuk dalam daftar tersebut. Masuknya Sumbawa Barat
(NTB) dan Lembata (NTT) juga menunjukkan bahwa DOHP di bagian Timur Indonesia pun dapat
‘bersaing’ dengan DOHP di wilayah lainnya. Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa
usia kemungkinan memang mempengaruhi kinerja daerah karena kesepuluh DOHP Kabupaten tersebut
berusia lebih dari 3 tahun.
DOHP Kota dari Jawa dan yang dibentuk melalui proses transformasi paling banyak masuk peringkat
terbaik. Sementara dari daftar 10 DOHP Kota dengan skor tertinggi pada Tabel 4.10 dapat dikatakan
didominasi oleh DOHP dari Jawa (4 DOHP). Sebagian besar DOHP dalam daftar tersebut dibentuk
berdasarkan proses transformasi. Dilihat dari usianya, kesepuluh DOHP berusia lebih dari 3 tahun.
Tabel 4.9: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia
Faktor Pelayanan
Publik Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Bangka Barat Babel Inisiatif DPR > 3 63,10 1 53,66 9
Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 62,23 2 58,52 3
Sumbawa Barat NTB Inisiatif DPR > 3 61,72 3 53,36 10
Luwu Utara Sulsel Inisiatif pemerintah > 3 61,04 4 50,86 17
Minahasa Selatan Sulut Inisiatif DPR > 3 60,11 5 50,14 20
Lembata NTT Inisiatif pemerintah > 3 57,93 6 40,92 56
Bangka Tengah Babel Inisiatif DPR > 3 57,60 7 59,18 2
Boalemo Gorontalo Inisiatif pemerintah > 3 56,28 8 56,42 4
Sarmi Papua Inisiatif pemerintah > 3 55,66 9 41,06 55
Rokan Hulu Riau Inisiatif pemerintah > 3 55,13 10 45,44 35
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
29
29 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
4.6 Faktor Daya Saing
Peringkat daya saing daerah yang diuraikan disini merupakan perbandingan relatif antar DOHP, di mana
indeks yang dihasilkan merupakan komposit dari 4 (empat) aspek yang terdiri dari 7 (tujuh) indikator
daya saing. Sebagai suatu perbandingan relatif antar daerah, daerah yang berada di peringkat atas
dinilai lebih baik kinerjanya dari daerah yang berada di peringkat di bawahnya.
Pada faktor daya saing kinerja DOHP Kota lebih menonjol. Hasil evaluasi yang disajikan pada Gambar
4.21 menunjukkan bahwa pada faktor daya saing kinerja DOHP Kota lebih baik dibandingkan DOHP
Kabupaten. Jika penilaian kabupaten/kota digabungkan, terlihat bahwa DOHP di Jawa dan Kalimantan
memiliki skor tertinggi yang tidak terlalu jauh berbeda (Gambar 4.22). Perbedaan usia DOHP tampaknya
juga mempengaruhi kinerja daerah, terlihat di Gambar 4.23 bahwa DOHP berusia di atas 3 tahun lebih
tinggi skor-nya dibandingkan yang berusia dibawah 3 tahun. Sementara itu, proses pembentukan DOHP
menghasilkan kecenderungan yang berbeda, dimana DOHP Kota yang dibentuk melalui proses
transformasi memperoleh skor tetinggi, namun DOHP Kabupaten yang dibentuk dari proses yang sama
justru memperoleh skor terendah.
Tidak ada DOHP hasil proses transformasi yang berada di peringkat 10 terbaik pada faktor daya
saing. Peringkat 10 DOHP Kabupaten dengan skor tertinggi disajikan pada Tabel 4.11. Kesepuluh DOHP
tersebut dibentuk melalui proses inisiatif pemerintah atau DPR, dan tidak satupun yang merupakan hasil
transformasi menjadi daerah otonom. Ada 8 dari 10 DOHP dalam daftar tersebut yang berusia di atas 3
tahun. Temuan yag menarik adalah masuknya Buru (Maluku) dan Rote Ndao (NTT) dalam daftar
tersebut.
Tabel 4.10: 10 Kota dengan Skor Faktor Pelayanan Publik Tertinggi
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia
Faktor Pelayanan
Publik Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Tomohon Sulut Inisiatif pemerintah > 3 72,91 1 53,64 10
Tasikmalaya Jabar Transformasi > 3 65,06 2 57,40 4
Singkawang Kalbar Transformasi > 3 64,31 3 58,12 3
Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 64,30 4 60,43 2
Banjar Jabar Transformasi > 3 64,02 5 56,36 7
Langsa NAD Transformasi > 3 61,51 6 46,85 17
Palopo Sulsel Transformasi > 3 58,69 7 57,20 5
Cilegon Banten Transformasi > 3 56,14 8 56,62 6
Metro Lampung Inisiatif pemerintah > 3 55,97 9 46,68 18
Lhokseumawe NAD Transformasi > 3 54,50 10 45,22 19
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
30
30 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Gambar 4.21: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Kabupaten dan Kota
Gambar 4.22: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Pulau/Kepulauan
Gambar 4.23: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Usia DOHP
Gambar 4.24: Skor Faktor Daya Saing berdasarkan Proses Pemekaran
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
24.06
19.07
0 10 20 30
Kota
Kabupaten 21.08
28.63
27.53
18.18
20.78
13.10
0
10
20
30
Sumatera (75 DOHP)
Jawa (9)
Kalimantan (25)
Sulawesi (33)
Nusa Tenggara (11)
Maluku & Papua = 45 DOHP
13.45
26.81
11.33
22.46
0 5 10 15 20 25 30
0-3 Th
> 3 Th
Kabupaten Kota
24.78
16.4127.60
23.02
14.9811.83
0
5
10
15
20
25
30Inisiatif Pemerintah
Inisiatif DPRTransformasi
Kota Kabupaten
Tabel 4.11: 10 Kabupaten dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Faktor Daya Saing Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Belitung Timur Babel Inisiatif DPR > 3 58,34 1 49,88 21
Lamandau Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 57,87 2 52,15 14
Buru Maluku Inisiatif pemerintah > 3 54,75 3 45,12 37
Dharmas Raya Sumbar Inisiatif DPR > 3 49,59 4 59,43 1
Samosir Sumut Inisiatif DPR > 3 48,22 5 58,52 3
Malinau Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 46,69 6 54,68 7
Rote Ndao NTT Inisiatif pemerintah > 3 46,22 7 53,04 11
Kubu Raya Kalbar Inisiatif DPR 0-3 44,00 8 33,36 101
Katingan Kalteng Inisiatif pemerintah > 3 43,52 9 52,28 13
Bandung Barat Jabar Inisiatif DPR 0-3 43,17 10 44,08 39
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
31
31 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
Seluruh DOHP Kota berperingkat terbaik pada faktor daya saing berusia di atas 3 tahun. Pada faktor
daya saing ini, sebanyak 8 dari 10 DOHP Kota dengan skor tertinggi dibentuk melalui proses transformasi
menjadi daerah otonom (Tabel 4.12). DOHP yang masuk dalam daftar tersebut relatif cukup merata,
kecuali dari Nusa Tenggara, Maluku-Papua. Seluruh DOHP tersebut berusia di atas 3 tahun.
4.7 Perbandingan Hasil EDOHP dengan Evaluasi Sejenis
Idealnya temuan EDOHP dapat dibandingkan dengan hasil EDOB atau EPDOB karena sama-sama
melakukan evaluasi terhadap daerah otonom baru.18 Namun karena perbedaan metode
pengukuran/evaluasi, menjadi sulit untuk membandingkannya dengan temuan EDOHP. Jenis evaluasi
yang metode pengukuran/evaluasinya mirip dengan EDOHP (menggunakan indeks, meskipun dengan
indikator evaluasi berbeda) adalah EKPPD.19 Bagian berikut akan mencoba membandingkan temuan
antar kedua evaluasi tersebut.
18 Direktorat Jenderal Otonomi Daerah – Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan evaluasi DOB yang dituangkan dalam
laporan bertajuk “Hasil Evaluasi Perkembangan 57 Daerah Otonom Baru” (disusun tahun 2010). Obyek evaluasi adalah DOB
berusia di bawah 3 tahun (dari keseluruhan 205 DOB yang dibentuk antara 1999-2009), dimana terdapat 57 DOB yang dibentuk
antara tahun 2007-2009. Evaluasi tersebut menilai 10 aspek perkembangan penyelengaraan pemerintahan, yaitu: perangkat
daerah, personil, DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, pembiayaan, asset dan dokumen, tata batas, sarana dan
prasarana pemerintahan, RTRW, dan ibukota daerah. Evaluasi perkembangan daerah otonom baru dilakukan pada dua tahapan
usia, yaitu Tahap Perkembangan Awal (usia 0-3 tahun) dan Tahap Perkembangan Lanjutan (usia 4-5 tahun). 19
Laporan EKPPD 2010 yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri merupakan hasil evaluasi terhadap seluruh daerah
otonom yang ada sampai dengan tahun 2008. Sumber informasi/data yang menjadi dasar EKPPD adalah Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD). Pada tahun 2008 terdapat 474 daerah otonom yang wajib menyusun LPPD (dari
total 524 daerah otonom saat itu). Dalam laporan tersebut, ada bagian yang secara khusus mengevaluasi DOB. EKPPD
mengukur capaian kinerja daerah otonom dalam hal pelaksanaan urusan wajib oleh daerah (urusan pendidikan, kesehatan,
lingkungan hidup, pekerjaan umum, tata ruang, perumahan, ketahanan pangan dan otonomi daerah), serta indeks rasio belanja
pelayanan dasar kepada masyarakat terhadap PDRB kabupaten/kota.
Tabel 4.12: 10 Kota dengan Skor Faktor Daya Saing Tertinggi
Daerah Provinsi Proses Pembentukan Usia Faktor Daya Saing Total
Skor Peringkat Skor Peringkat
Lubuk Linggau Sumsel Transformasi > 3 42,89 1 53,49 11
Banjarbaru Kalsel Transformasi > 3 42,82 2 64,61 1
Palopo Sulsel Transformasi > 3 42,33 3 57,20 5
Cimahi Jabar Inisiatif DPR > 3 38,95 4 60,43 2
Tanjung Pinang Kepri Transformasi > 3 37,97 5 55,36 9
Banjar Jabar Transformasi > 3 37,54 6 56,36 7
Lhokseumawe NAD Transformasi > 3 37,45 7 45,22 19
Dumai Riau Transformasi > 3 34,99 8 47,20 16
Depok Jabar Transformasi > 3 32,89 9 48,52 14
Bontang Kaltim Inisiatif pemerintah > 3 32,81 10 51,62 12
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
32
32 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
DOHP di Sumatera paling menonjol kinerjanya. Kabupaten DOHP di Sumatera paling banyak
menduduki sepuluh peringkat terbaik EDOHP dan EKPPD. Tabel 4.13 menyajikan perbandingan sepuluh
kabupaten peringkat teratas dari EDOHP (data hanya diambil dari 164 kabupaten DOHP saja) maupun
EKKPD. Tampak bahwa di kedua evaluasi tersebut, kabupaten DOHP di pulau Sumatra paling banyak
menduduki peringkat sepuluh terbaik. Menarik untuk dicermati bahwa tidak ada satupun kabupaten
DOHP dari Jawa20 dan Maluku-Papua yang dapat mencapai peringkat sepuluh terbaik tersebut.
Tabel 4.13: Perbandingan 10 Kabupaten Peringkat Teratas EDOHP dan EKPPD
EDOHP 2011*
EKPPD 2008#
No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi
1 Dharmas Raya Sumatera Barat Luwu Utara Sulawesi Selatan
2 Bangka Tengah Bangka Belitung Serdang Begadai Sumatera Utara
3 Samosir Sumatera Utara Ogan Ilir Sumatera Selatan
4 Boalemo Gorontalo Wakatobi Sulawesi Tenggara
5 Serdang Bedagai Sumatera Utara Humbang Hasundutan Sumatera Utara
6 Bangka Selatan Bangka Belitung Bangka Tengah Bangka Belitung
7 Malinau Kalimantan Timur Kaur Bengkulu
8 Muaro Jambi Jambi Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
9 Bangka Barat Bangka Belitung Boalemo Gorontalo
10 Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Rokan Hulu Riau
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Keterangan: * Peringkat dari 164 kabupaten DOHP saja (tidak termasuk kota DOHP).
# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 5, peringkat kinerja daerah kabupaten sebagai daerah otonom pemekaran 1999-2004,
berdasar desk evaluation saja.
DOHP Kabupaten dari Sumatera mendominasi hasil EDOHP maupun EKPPD yang Berusia Lebih Dari 3
Tahun. Kabupaten DOHP berperingkat 10 teratas dalam EDOHP seluruhnya berusia di atas 3 tahun
(Tabel 4.14). Sebanyak 7 dari 10 kabupaten peringkat teratas di EDOHP dan 5 dari 10 kabupaten
peringkat teratas di EKKPD berasal dari Sumatera. Jika dibandingkan dengan 10 kabupaten peringkat
teratas EKKPD yang berusia di atas 3 tahun (3-10 tahun). Ada satu kabupaten dari Papua Barat yang
menunjukkan kinerja tinggi di 10 daerah peringkat teratas EKPPD, yaitu Kabupaten Teluk Wondama.
20 Kabupaten DOHP di Jawa memang sedikit. Dari 9 DOHP, 8 diantaranya berbentuk kota dan hanya ada 1 kabupaten saja, yaitu
Bandung Barat (Jawa Barat).
33
33 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
Tabel 4.14: Perbandingan 10 Besar Kabupaten DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD untuk Kabupaten yang Berusia di atas 3 Tahun
EDOHP 2011*
EKPPD 2008#
No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi
1 Dharmas Raya Sumatera Barat Luwu Utara Sulawesi Selatan
2 Bangka Tengah Bangka Belitung Serdang Bedagai Sumatera Utara
3 Samosir Sumatera Utara Wakatobi Sulawesi Tenggara
4 Boalemo Gorontalo Humbang Hasundutan Sumatera Utara
5 Serdang Bedagai Sumatera Utara Bangka Tengah Kep. Bangka Belitung
6 Bangka Selatan Bangka Belitung Kaur Bengkulu
7 Malinau Kalimantan Timur Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
8 Muaro Jambi Jambi Boalemo Gorontalo
9 Bangka Barat Bangka Belitung Rokan Hulu Riau
10 Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Teluk Wondama Papua Barat
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Keterangan: * Peringkat dari 114 kabupaten DOHP saja, yaitu kabupaten DOHP yang berusia di atas 3 tahun.
# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 7, peringkat kabupaten pemekaran 1999-2004 yang berusia 3-10 tahun berdasarkan penilaian
portofolio secara desk evaluation dan penilaian lapangan.
DOHP Kota dari Jawa paling banyak dalam 10 pertingkat tertinggi EDOHP dan EKPPD. Ada banyak
kesamaan nama daerah dalam 10 peringkat tertinggi kota baru dalam EDOHP maupun EKPPD, meskipun
urutannya berbeda (Tabel 4.15). Berkebalikan dengan situasi kabupaten, DOHP Kota dari pulau Jawa
paling banyak yang mencapai 10 peringkat tertingi kota di kedua evaluasi tersebut (5 dari 10 pada
EDOHP dan 4 dari 10 pada EKKPD). Dapat ditambahkan bahwa sebagian besar daerah berkinerja terbaik
tersebut adalah yang telah berusia di atas 3 tahun.
Tabel 4.15: Perbandingan 10 Besar Kota Hasil EDOHP dan EKPPD
EDOHP 2011*
EKPPD 2008#
No. Kabupaten Provinsi Kabupaten Provinsi
1 Banjarbaru Kalimantan Selatan Banjarbaru Kalimantan Selatan
2 Cimahi Jawa Barat Batam Kep. Riau
3 Singkawang Kalimantan Barat Depok Jawa Barat
4 Tasikmalaya Jawa Barat Palopo Sulawesi Selatan
5 Palopo Sulawesi Selatan Langsa NAD
6 Cilegon Banten Cimahi Jawa Barat
7 Banjar Jawa Barat Tasikmalaya Jawa Barat
8 Batam Kepulauan Riau Bau-bau Sulawesi Tenggara
9 Tanjung Pinang Kepulauan Riau Pagaralam Sumatera Selatan
10 Tomohon Sulawesi Utara Banjar Jawa Barat
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
Keterangan: * Peringkat kinerja 10 kota terbaik dari 34 kota (tidak termasuk kabupaten).
# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 6, pemeringkatan berdasar desk evaluation saja.
34
34 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
4.8 Peta Kinerja DOHP Kabupaten/Kota
Selanjutnya, untuk mengetahui signifikansi hubungan dan pengaruh antar dan/atau seluruh variabel
yang digunakan dalam EDOHP, laporan ini juga mencoba melakukan uji regresi, yang temuan utamanya,
sebagai berikut:
Uji statistik menunjukkan siginifikansi perbedaan kinerja antara DOHP Kabupaten dengan Kota. Hasil
regresi sederhana pada Tabel 4.16 mengkonfirmasi temuan di awal bahwa DOHP Kabupaten secara
signifikan memiliki skor total yang lebih rendah dibandingkan dengan kota. Atau dengan kata lain DOHP
Kota kinerjanya relatif lebih baik dibandingkan DOHP Kabupaten. Hal ini dapat dipahami karena secara
umum kota memiliki infrastruktur pemerintahan dan sumberdaya manusia yang lebih mendukung
dibandingkan DOHP Kabupaten.
Tabel 4.16: Estimasi Regresi Sederhana Skor Total
Uji statistik juga mengkonfirmasi lebih tingginya secara siginifikan kinerja DOHP di Jawa dibanding
daerah lain. Selain itu, regresi sederhana pada Tabel 4.16 tadi juga membandingkan skor total dari
setiap gugusan kepulauan terhadap Jawa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa skor total EDOHP yang
Kabupaten -8.610 *** -8.230 ***
(2.42) (2.38)
Sumatera -6.021 -4.336
(4.24) (3.67)
Kalimantan -2.521 -2.297
(4.67) (4.10)
Sulawesi -8.113 * -5.349
(4.52) (3.91)
Nusa Tenggara -10.455 * -3.439
(5.40) (4.58)
Maluku-Papua -18.618 *** -15.448 ***
(4.39) (3.84)
Usia >3 tahun 16.222 *** 17.597 ***
(1.73) (1.94)
Inisiatif DPR -10.493 *** 8.917 ***
(2.99) (3.09)
Inisiatif Pemerintah -1.938 6.554 **
(2.97) (2.85)
Kontanta 43.780 *** 45.412 *** 25.097 *** 42.001 *** 30.632 ***
(2.20) (4.01) (1.46) (2.66) (3.85)
Adjusted-R2 0.056 0.172 0.307 0.105 0.481
Observasi 198 198 198 198 198
Sumber: Diolah dari EDOHP
***, **, * menyatakan signifikan pada tingkat kesalahan 1%, 5%, 10 %
Kabupaten/Kota Kepulauan Usia DOHP Proses DOHP Seluruh Variabel
35
35 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Kabupaten/Kota
terletak di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (atau pulau-pulau di daerah Indonesia Bagian
Timur) secara signifikan lebih rendah daripada total total EDOHP Kabupaten/Kota di pulau Jawa. Hal ini
dapat dipahami karena 8 dari 9 DOHP di Jawa merupakan DOHP Kota. Karena DOHP Kota secara umum
dapat dikatakan lebih baik kinerja dan kondisinya, maka wajar jika secara total skor atau kinerja DOHP di
Jawa lebih baik dibandingkan pulau lainnya.
Hasil regresi menunjukkan bahwa faktor usia memang berpengaruh terhadap kinerja DOHP. Dilihat
dari sudut pandang usia DOHP, maka DOHP yang berusia lebih dari 3 tahun memiliki skor total yang
lebih tinggi daripada DOHP yang berusia dibawah 3 tahun.21 Hambatan yang dialami oleh DOHP baru
(yang usianya di bawah 3 tahun), diantaranya dapat dijelaskan dengan merujuk dari hasil EDOB
(Kemendagri, 2010:41) yang menyatakan pada umumnya DOB yang baru terbentuk (berusia belum 1
tahun) belum dapat menyelesaikan penyusunan perangkat daerah karena masih melakukan penyusunan
draft keputusan Penjabat Bupati/Walikota. Selain itu, pada masa-masa awal DOHP kerap mengalami
masalah dalam pengisian dan penempatan personil pemerintahan daerah yang sesuai dengan
kebutuhan, kepangkatan dan kompetensinya. Masalah pengalihan pembiayaan baik dari provinsi
maupun dari kabupaten induk juga kerap menjadi masalah di DOHP. Begitu pula dengan masalah proses
pengalihan peralatan, dokumen dan asset yang di banyak daerah masih belum berjalan dengan baik.
Akibatnya banyak daerah otonom baru yang masih belum punya lahan dan/atau gedung perkantoran
sendiri. Kondisi ini jelas mempengaruhi kinerja DOHP baik untuk menjalankan roda administrasi
pemerintahan daerah apalagi dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warganya.
Uji statistik menunjukkan DOHP yang dibentuk dari transformasi menjadi daerah otonom cenderung
berkinerja lebih baik. DOHP yang proses pembentukannya berdasarkan inisiatif DPR memiliki skor total
yang secara signifikan lebih rendah daripada DOHP hasil transformasi. Sementara itu, skor total bagi
DOHP yang diinisiasi oleh pemerintah tidak menunjukkan perbedaan yang secara signifikan berbeda
dengan DOHP hasil transformasi. Ada kemungkinan DOHP hasil transformasi lebih sedikit mengalami
masalah-masalah yang diuraikan pada point sebelumnya di atas (terkait dengan personil, anggaran,
peralatan, dokumen, aset, dll.). Proses transformasi tampaknya relatif memberi waktu dan kesempatan
yang cukup memadai bagi DOHP maupun daerah induk (termasuk pemerintah provinsi dan pusat) untuk
mempersiapkan berbagai instrumen yang diperlukan bagi sebuah DOHP baru.
Skor total DOHP Kabupaten signifikan lebih tinggi daripada skor total DOHP Kota. Analisis statistik
terhadap seluruh variabel menunjukkan hasil yang tidak selalu sama dengan temuan sebelumnya.
Apabila seluruh variabel yang digunakan dalam EDOHP diikutsertakan dalam analisis regresi, maka skor
total DOHP Kabupaten justru signifikan lebih tinggi daripada skor total DOHP Kota. Temuan ini berbeda
dengan hasil analisis sebelumnya. Sementara, hasil regresi variabel keseluruhan mengkonfirmasi analisis
sebelumnya bahwa DOHP dengan usia lebih dari 3 tahun memiliki skor total yang secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan DOHP yang relatif lebih muda. Dari kelompok kepulauan, hanya DOHP yang
terletak di Maluku dan Papua yang memiliki skor total yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan
21 Temuan ini menyadarkan bahwa instrumen survei ini ternyata cenderung condong bias bagi DOHP yang lebih muda, seperti
pada variabel tata pemerintahan yang baik dan pelayanan publik. Hal tentunya akan menjadi catatan berharga sebagai
pembelajaran bagi survei atau evaluasi sejenis berikutnya.
36
36 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
dengan DOHP yang terletak di pulau Jawa. Sementara itu, perubahan terjadi pada hasil estimasi variabel
proses pembentukan DOHP dimana DOHP yang diinisiasi baik oleh DPR maupun pemerintah kini
memiliki skor total yang secara signifikan lebih tinggi daripada DOHP yang dibentuk melalui proses
transformasi. Menarik untuk disampaikan disini bahwa interaksi antar variabel – bentuk administrasi
(kabupaten atau kota), kepulauan, usia serta proses pembentukan – telah menghasilkan estimasi yang
berbeda dengan estimasi yang hanya menggunakan variabel proses pembentukan DOHP.
37
BAB V
HASIL EVALUASI KINERJA RELATIF
DAERAH OTONOMI HASIL PEMEKARAN PROVINSI
5.1 Kondisi/Karakteristik DOHP Provinsi
Antara tahun 1999-2009 telah dibentuk tujuh provinsi DOHP. Seluruh provinsi DOHP tersebut dibentuk
atas inisiatif pemerintah pusat, dan seluruhnya telah berusia di atas 3 tahun. Kecuali di Kalimantan dan
Nusa Tenggara, pemekaran terjadi di hampir semua pulau/kepulauan, yaitu: (a) Pronvinsi Kepulauan
Bangka Belitung tahun 2000 yang dimekarkan dari Sumatera Selatan; (b) Kepulauan Riau tahun 2002,
pemekaran dari Riau; (c) Provinsi Banten tahun 2000, pemekaran dari Jawa Barat; (d) Gorontalo tahun
2000, pemekaran dari Sulawesi Utara; (e) Sulawesi Barat tahun 2004, pemekaran dari Sulawesi Selatan;
(f) Maluku Utara tahun 1999, pemekaran dari Maluku; dan (g) Papua Barat tahun 1999, pemekaran dari
Papua.
5.2 Indeks Total
Skor indeks Provinsi Papua Barat hanya setengah
dari skor provinsi lainnya. Indeks faktor total
sebagaimana terlihat pada Gambar 5.1 menunjukkan
bahwa provinsi DOHP dengan indeks kinerja tertinggi
adalah Maluku Utara. Provinsi Gorontalo berada
pada peringkat kedua, disusul Kepulauan Bangka
Belitung, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten,
dan terakhir Provinsi Papua Barat.
5.3 Indeks Faktor-faktor
Skor indeks Provinsi Papua Barat paling rendah di hampir semua faktor. Dari tujuh DOHP Provinsi,
Sulawesi Barat berada pada peringkat teratas pada faktor kesejahteraan masyarakat, disusul Gorontalo,
Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Papua Barat (Gambar 5.2).
Terlihat adanya perbedaan skor yang cukup tinggi antara skor terendah (Papua Barat) dan tertinggi
(Bangka Belitung). Sementara pada faktor tata pemerintahan yang baik, DOHP Provinsi dengan kinerja
terbaik adalah Kepulauan Riau, diikuti oleh Gorontalo, Maluku Utara, Kepulauan Bangka Belitung,
Banten, Sulawesi Barat, dan terakhir Papua Barat. Selisih skor terendah dan tertinggi pada faktor ini
bahkan lebih mencolok lagi, yaitu antara Papua Barat dengan Kepulauan Riau.
Maluku Utara terbaik pada faktor Pelayanan Publik dan Daya Saing. Provinsi Maluku Utara berhasil
menjadi DOHP Provinsi dengan kinerja terbaik pada faktor pelayanan publik, diikuti oleh Kepulauan
Bangka Belitung, Banten, Kepulauan Riau, Papua Barat, Sulawesi Barat dan Gorontalo (Gambar 5.4).
Gambar 5.1: Skor Total DOHP Provinsi
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
49.64
46.64
44.57
51.3146.73
55.88
24.99
0
10
20
30
40
50
60Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Banten
Gorontalo Sulawesi Barat
Maluku Utara
Papua Barat
38
38 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
66.66
45.27
48.0029.38
32.90
73.31
33.25
0
20
40
60
80Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Banten
Gorontalo Sulawesi Barat
Maluku Utara
Papua Barat
41.4874.53
27.45
64.81
26.39
55.30
19.08
0
20
40
60
80Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Banten
Gorontalo Sulawesi Barat
Maluku Utara
Papua Barat
Begitu pula pada faktor daya saing, Maluku Utara menempati posisi teratas, diikuti oleh Gorontalo,
Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten, dan Papua Barat (Gambar 5.5).
Gambar 5.2: Skor Faktor Kesejahteraan Masyarakat Gambar 5.3: Skor Faktor Tata Pemerintahan yang Baik
Gambar 5.4: Skor Faktor Pelayanan Publik Gambar 5.5: Skor Faktor Daya Saing
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
5.4 Perbandingan dengan Evaluasi Lain
Perbedaan variabel/indikator pada evaluasi berbeda memungkinkan dihasilkannya temuan yang
berbeda. Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa peringkat provinsi DOHP antara EDOHP dengan EKPPD sama
sekali berbeda. Pada EDOHP, Maluku Utara menempati peringkat teratas dari 7 provinsi DOHP,
sementara hasil EKKPD menunjukkan provinsi tersebut justru ada di peringkat terakhir.
64.00
30.63
60.76
65.88
66.49
47.20
26.61
0
10
20
30
40
50
60
70Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Banten
Gorontalo Sulawesi Barat
Maluku Utara
Papua Barat
49.64
46.64
44.57
51.3146.73
55.88
24.99
0
10
20
30
40
50
60Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Banten
Gorontalo Sulawesi Barat
Maluku Utara
Papua Barat
39
39 Hasil Evaluasi Kinerja Relatif Daerah Otonomi Hasil Pemekaran Provinsi
Tabel 5.1: Perbandingan Peringkat Provinsi DOHP Hasil EDOHP dan EKPPD
No EDOHP EKPPD#
1 Maluku Utara Kep. Bangka Belitung
2 Gorontalo Banten
3 Kep. Bangka Belitung Gorontalo
4 Sulawesi Barat Kep. Riau
5 Kep. Riau Sulawesi Barat
6 Banten Papua Barat
7 Papua Barat Maluku Utara
Keterangan:
# Laporan EKPPD 2010, Lampiran 4, peringkat provinsi pemekaran 1999-2004 berdasarkan penilaian portofolio secara desk
evaluation.
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kondisi Umum
Hasil EDOHP menunjukan bahwa janji dan ekspektasi dari pembentukan daerah otonom ternyata masih
jauh dari yang diharapkan. Pada setiap tujuan yang mendasari pembentukan daerah otonom baru, yaitu:
peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan kualitas pelayanan publik, perbaikan tata
pemerintahan, dan peningkatan daya saing, DOHP Provinsi dan Kabupaten/Kota masih memiliki banyak
kendala untuk mewujudkannya.22 Harapan warga dan pemangku kepentingan untuk memiliki nasib yang
lebih baik melalui pembentukan daerah otonom tampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras
lagi.
Kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai berikut:
(a) Pemerintah khususnya masih menghadapi tantangan yang sangat besar untuk dapat
meningkatkan kapasitas DOHP agar dapat mencapai kinerja pemerintahan daerah yang optimal.
Realitas bahwa DOHP umumnya belum mampu mencapai skor yang tinggi pada sebagian besar
indikator kinerja DOHP memperlihatkan bahwa masalah yang dihadapi oleh pemerintah dalam
pengembangan dan penataan daerah adalah bukan hanya pada bagaimana mengelola proses
pembentukan yang dapat menghasilkan DOHP yang sehat dan mampu mencapai tujuannya.
Masalah lain yang sama penting dan mendesaknya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas
daerah yang telah dibentuknya sehingga daerah-daerah tersebut dapat berkembang secara
wajar dan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warganya.
(b) Berbagai target, harapan, dan ketentuan peraturan perundangan dalam pengelolaan
pemerintahan daerah yang selama ini dibebankan kepada DOHP tampaknya belum sebanding
dengan kapasitas yang tersedia pada DOHP untuk memenuhinya.
(c) Temuan bahwa sebagian besar DOHP belum berhasil mewujudkan kinerja yang tinggi menjadi
indikasi bahwa pembentukan DOHP tidak otomatis membuat daerah langsung menjadi lebih
baik dari sebelum dimekarkan. DOHP pada masa awal terbentuknya tampaknya masih
disibukkan melakukan penataan infrastaruktur pemerintahan dan personil, yang mempengaruhi
kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.
22 Karena pertimbangan kepraktisan, hasil EDOHP mengenai capaian kinerja berdasarkan indikator-indikator yang digunakan
dalam evaluasi pada tiap DOHP tidak disajikan dalam laporan ini. Namun peta kinerja tersebut akan menjadi salah satu bahan
masukan bagi Kementerian Dalam Negeri dalam memetakan kebutuhan pembinaan dan peningkatan kapasitas daerah
selanjutnya.
41
41 Kesimpulan dan Rekomendasi
6.2 Indikator Evaluasi yang Relatif Mudah dan Sulit dipenuhi DOHP
Jika hasil evaluasi ini dipilah berdasarkan kategori tingkat kesulitan dan tingkat kemudahan daerah
untuk memenuhi harapan dari setiap indikator kinerja, tampak ada kecenderungan bahwa DOHP
umumnya berhasil menunjukan kinerja yang cukup baik dalam tiga indikator yang relatif mudah untuk
dicapai oleh DOHP, yaitu:
(a) Kelembagaan penanganan kesetaraan gender.
Lebih dari 75 persen DOHP mampu memenuhi ekspektasi dalam ketiga hal tersebut. DOHP
umumnya memiliki lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengelola kegiatan
peningkatan kesetaraan gender, sebagaimana diharapkan oleh pemerintah melalui Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Dalam Negeri. Kesediaan daerah untuk mengembangkan
lembaga tersebut menunjukan setidaknya dua hal. Hal ini mengindikasikan adanya kepedulian
daerah terhadap masalah pemberdayaan perempuan sehingga mereka bersedia membentuk
organisasi pemerintah daerah untuk mengelola kegiatan pemberdayaan perempuan.
Ketika DOHP memiliki satuan kerja perangkat daerah yang secara khusus bertanggungjawab
untuk mengelola kegiatan peningkatan kesetaraan gender maka kemungkinan DOHP tersebut
memiliki kegiatan pemberdayaan perempuan akan jauh lebih besar daripada DOHP yang tidak
memiliki satuan kerja sejenis di daerahnya. Tentu pembentukan satuan kerja itu sendiri belum
cukup menggambarkan adanya peningkatan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Pembentukan satuan kerja hanya satu langkah awal untuk percepatan peningkatan
kesetaraan gender. DOHP yang telah berhasil membentuk satuan kerjayang relevan perlu terus
didorong untuk meningkatkan optimalitas dari keberadaan satuan kerja tersebut agar dapat
menjadi penggerak dan pendorong dari berbagai kegiatan peningkatan kesetaraan gender di
daerah.
(b) Publikasi APBD dan pengadaan barang dan jasa.
Indikator lainnya yang relatif mudah bagi DOHP untuk mewujudkannya adalah publikasi APBD
dan pengadaan barang dan jasa. Sebagai indikator dari transparansi dalam pemerintahan
indikator ini tentu penting namun belum cukup menjamin adanya transparansi dalam APBD
ataupun transparansi dalam pengadaaan barang dan jasa. Transparansi APBD sangat tergantung
pada tingkat keterbukaaannya, seberapa rinci DOHP mempublikasikan anggarannya sehingga
menjadi lebih mudah bagi warga untuk mengawasi pelaksanaan dari APBD itu sendiri. Semakin
rinci APBD itu dipublikasikan dan semakin mudah warga mengakses informasi tentang APBD itu
maka kecenderungan DOHP untuk semakin baik kinerjanya dalam transparansi pemerintahan
akan menjadi semakin besar. Hal yang sama juga terjadi pada publikasi pengadaan barang dan
jasa. Publikasi pengadaan barang dan jasa tidak akan membawa manfaat dalam pengembangan
transparansi pemerintahan kalau tidak diikuti oleh transparansi dalam pengambilan keputusan
pemenang tender. Seberapa terbuka dan obyektif pengambilan keputusan tentang pemenang
tender dilakukan menentukan seberapa besar publikasi pengadaan itu memiliki implikasi
terhadap pengembangan transparansi dalam pemerintahan. Banyak DOHP dalam praktik masih
42
42 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
pada tingkat mewujudkan transparansi prosedural dan belum mencapai tingkat transparansi
yang substantif.
(c) Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Indikator lainnya yang relatif mudah bagi DOHP kabupaten/kota untuk mencapainya adalah
publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan publikasi APBD dan pengadaan barang
dan jasa. Kedua indikator ini dipakai untuk mengukur aspek yang berbeda. Publikasi
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD digunakan untuk mengukur akuntabilitas publik,
sedangkan publikasi anggaran dan pengadaan digunakan untuk mengukur transparansi
pemerintahan. Walaupun tingkat keterbukaan dalam publikasi pelaksanaan APBD berbeda antar
daerah, namun setidaknya temuan ini menunjukan kecenderungan bahwa DOHP telah mulai
melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mempertanggungjawabkan penggunaan APBD
kepada warga. Umumnya DOHP hanya mempublikasikan ringkasan dari pelaksanaan APBD,
namun setidaknya ada beberapa daerah yang telah memulai mempublikasikan secara lebih rinci
laporan mereka tentang pelaksanaan APBD. Sebagai langkah awal kecenderungan DOHP untuk
melaporkan secara terbuka pelaksanaan APBD perlu diberi apresiasi.
Sementara itu hasil evaluasi secara keseluruhan juga menunjukkan bahwa ada sembilan indikator yang
tampaknya relatif cukup sulit untuk segera dapat dipenuhi semua DOHP, yaitu:
(a) Panjang jalan per luas wilayah.
Tersedianya infrastruktur jalan yang memadai diasumsikan akan berpengaruh terhadap
kemudahan mobilitas sosial dan percepatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hasil evaluasi
menunjukkan banyak daerah yang belum dapat memenuhi penyediaan infrastruktur tersebut,
meskipun secara teknis hal tersebut sesungguhnya dibayangkan bukanlah hal yang sulit untuk
dilaksanakan. Hal tersebut tentunya dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat khususnya yang tinggal di kawasan perdesaan. 23
(b) Persentase penduduk yang memiliki KTP.
KTP adalah bukti identitas diri yang vital, karena hampir seluruh aktivitas sosial dan ekonomi
(seperti untuk mendaftar kuliah, melamar pekerjaan, administrasi pernikahan, membuat surat
izin mengemudi, membuat rekening di bank, terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu/Pilkada,
terdaftar sebagai penerima bantuan program pemerintah, dll). Kondisi dimana masih cukup
banyaknya penduduk yang tidak memiliki KTP setidaknya dapat dimaknai sebagai belum
dilaksanakannya pemenuhan hak warga akan bukti identitas diri oleh pemerintah daerah, serta
belum terlaksananya tertib administrasi kependudukan di daerah tersebut. Tertib administrasi
kependudukan bukan hanya penting bagi pengakuan terhadap status kewargaan penduduk dan
hak-hak sipil mereka, tetapi juga penting bagi kegiatan pemerintahan dan politik lainnya, seperti
23 Ada catatan khusus mengenai indikator ini. Dikhawatirkan bahwa sesungguhnya indikator tersebut cenderung bias, karena
kemungkinan akan merugikan untuk daerah yang wilayahnya berupa kepulauan atau daerah berawa-rawa/gambut, dimana
area daratnya terbatas/sedikit namun luas wilayah keseluruhan dianggap luas. Perlu dipertimbangkan lagi penggunaan
indikator ini pada survei sejenis selajutnya.
43
43 Kesimpulan dan Rekomendasi
pelaksanaan pemilu. Kericuhan dalam pelaksanaan pemilu di masa lalu terkait dengan validitas
hak pilih warga muncul karena kualitas dari administrasi kependudukan di daerah pada
umumnya amat rendah. Jika administrasi kependudukan ini tidak segera diperbaiki maka
kerancuan dalam administrasi kependudukan utamanya ketidakjelasan status kewarganegaraan
akan dapat menimbulkan komplikasi politik dan ekonomi yang dapat mengganggu pelaksanaan
program-program pemerintah di daerah.
Hasil studi mengenai pelayanan administrasi publik khususnya KTP ini menunjukkan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi cukup banyaknya warga yang tidak memiliki KTP adalah
masalah jarak (ke kelurahan dan/atau kecamatan, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di
perdesaan, kepulauan atau wilayah terpencil lainnya) dan lamanya waktu pengurusan KTP.
Kedua hal tersebut membuat mereka akhirnya memilih menggunakan jasa perantara (baik dari
warga, swasta ataupun aparat pemerintahan sendiri). Akibatnya biaya pengurusan KTP menjadi
membengkak, dan mungkin memberatkan bagi masyarakat khususnya dari kelompok
masyarakat kurang mampu.24
(c) Persentase kepemilikan akta kelahiran.
Kondisi dan masalah terkait dengan indikator ini kurang lebih sama dengan pelayanan KTP di
point sebelumnya. Bahkan kebutuhan akan akta kelahiran ini lebih mendasar lagi, karena anak-
anakpun memerlukanya sebagai bukti identitas ketika akan mendaftar sekolah misalnya.
(d) Peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi publik di daerah.
Adanya kebijakan daerah mengenai transparansi dan partisipasi tentunya tidak menjamin
bahwa kedua hal tersebut otomatis terwujud dalam praktik. Namun keberadaan basis legal
tersebut diperlukan untuk memperjelas bahwa ada kewajiban dan hak pada pemerintah daerah,
instansi publik di daerah dan masyarakat berkenaan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip dan
mekanisme pelaksanaan transparansi dan partisipasi publik di daerah. Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa sebagian besar DOHP pada semua kluster belum mampu membangun
basis legal yang memadai untuk pengembangan pemerintahan yang transparan, yang menjadi
kondisi yang perlu bagi terwujudnya tata-pemerintahan yang baik. Pengembangan basis legal
untuk pengembangan pemerintahan yang transparan penting karena pengalaman selama ini
aparatur daerah seringkali cenderung enggan menjamin akses publik terhadap informasi karena
tidak adanya dasar hukum bagi mereka untuk membuka akses publik terhadap informasi yang
ada pemerintah daerah. Pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi yang menjamin akses publik
terhadap informasi belum banyak berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku birokrasi
daerah dalam membuka akses publik terhadap informasi. Institusionalisasi UU Keterbukaan
Informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tindakan yang strategis dalam
mempercepat terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan dapat meningkatkan partisipasi publik
24 Lihat Daan Pattinasarany dan Candra Kusuma, “Akses Masyarakat Miskin terhadap Pelayanan Administrasi Kependudukan:
Analisis Pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Berdasarkan Data GDS Tahun 2006” pada Tukiran et.al. (2010) Akses Penduduk
Miskin terhadap Kebutuhan Dasar. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM. Yogyakarta.
44
44 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
dalam proses kebijakan di daerah. Salah satu kendala yang dihadapi warga dan para pemangku
kepentingan untuk terlibat secara efektif dalam proses kebijakan di daerah pada umumnya
disebabkan oleh rendahnya akses mereka terhadap informasi kebijakan.
(e) Peraturan daerah tentang tata ruang.
Hasil evaluasi menunjukkan masih cukup banyak DOHP yang belum memiliki Perda atau
Ranperda mengenai tata ruang daerah. Padahal keberadaan Perda tersebut sangatlah penting
yang menggambarkan visi, misi, dan orientasi pembangunan daerah, dan menjadi basis dalam
perencanaan, peruntukan dan pemanfaatan sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang ada
di daerah tersebut.
(f) Besaran anggaran untuk pelayanan kesehatan.
Evaluasi ini juga membuktikan bahwa walaupun provinsi dan kabupaten/kota yang usianya lebih
dari 3 tahun sebagian besar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, namun namun
sebagian besar dari DOHP tersebut tidak/belum mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
pelayanan kesehatan. Akibat dari kondisi tersebut, salah satu indikasinya adalah masih cukup
tingginya angka gizi buruk pada balita. Temuan ini tentu amat memprihatinkan karena
kegagalan untuk mengatasi problema gizi buruk dapat memiliki akibat jangka panjang yang
sangat luas bukan hanya pada kualitas penduduk, tetapi juga pada daya saing bangsa. Jika
tidak dikelola dengan baik dan dicarikan solusinya, angka kemiskinan dan gizi buruk dapat
menjadi ancaman bagi kelangsungan masa depan bangsa.
(g) Anggaran pengembangan UMKM.
Dukungan terhadap ekonomi rakyat sangat penting mengingat ada banyak keluarga khususnya
dari keluarga kurang mampu yang menggantungkan hidupnya di sektor tersebut. Terkait dengan
pengembangan pemerintahan daerah yang pro-poor, penting untuk digarisbawahi bahwa
sebagian besar DOHP tampaknya belum memebrikan perhatian yang memadai terhadap
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), setidaknya ditunjukan oleh
rendahnya anggaran untuk pengembangan UMKM. Sedangkan pengembangan UMKM selama
ini memiliki peran yang penting dalam penciptaan lapangan kerja yang dibutuhkan untuk
menurunkan angka pengangguran, yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang utama.
Penelitian sebelumnya juga menunjukan bahwa pelaksanaan program-program pemberdayaan
UMKM cenderung lebih banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar sehingga dampaknya bagi
penguatan UMKM cenderung amat terbatas. Rendahnya keterkaitan antara UMKM dengan
usaha besar menjadi salah satu kendala dalam pengembangan UMKM di daerah. Kondisi ini
diperparah dengan fragmentasi kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan UMKM, yang
muncul sebagai akibat dari banyaknya Kementerian dan lembaga yang terlibat dalam
pemberdayaan UMKM. Pengembangan kebijakan UMKM yang lebih koheren dan sinergis amat
diperlukan bagi pengembangan UMKM di Indonesia. Hanya dengan cara seperti ini kita dapat
berharap bahwa pengembangan UMKM dapat memberi kontribusi yang positif bagi penurunan
angka kemiskinan dan peningkatan daya saing nasional.
45
45 Kesimpulan dan Rekomendasi
(h) Forum komunikasi regular antara pemerintah daerah dengan pelaku usaha.
DOHP tampaknya memang belum memiliki perhatian yang memadai terhadap pengembangan
daya saing daerah. Indikator yang relatif sederhana untuk dipenuhi seperti pengembangan
forum pertemuan regular antara pimpinan daerah dengan para pelaku usaha ternyata tidak
banyak dikembangkan daerah. Sedangkan hal seperti ini bukan hal yang sulit dilakukan oleh
daerah, kalau mereka memang peduli dengan kendala dan kesulitan yang dihadapi oleh para
pelaku usaha.
Temuan ini menunjukan bahwa DOHP umumnya belum menyadari sepenuhnya keterkaitan
perekonomian di daerah dengan masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha di daerahnya.
Mereka belum menganggap penting peran yang dimilikinya untuk memfasilitasi kegiatan usaha
di daerah. Sedangkan pengembangan kegiatan usaha sebenarnya menjadi kebutuhan daerah
terutama untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang amat dibutuhkan oleh warganya.
Pengembangan kegiatan usaha karenanya harus dipandang sebagai kebutuhan daerah dan
menjadi tugas pemerintah daerah untuk memfasilitasi kebutuhan para pelaku usaha. Forum
pertemuan regular dengan para pelaku usaha dapat menjadi media penting bagi daerah untuk
memfasilitasi pengembangan kegiatan usaha di daerahnya.
(i) Nilai realisasi investasi.
Temuan evaluasi juga menunjukkan banyak DOHP yang belum mampu menarik investor untuk
mau merealisasikan investasinya di daerah tersebut. Sementara investasi tersebut diperlukan
untuk menyerap tenaga kerja di daerah, meningkatkan pemasukan dari retribusi dan pajak
daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah, dan sebagainya. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh kurangnya promosi yang didukung informasi yang memadai mengenai potensi
dan insentif dan kejelasan/kemudahan administrasi/perizinan yang mendukung pengembangan
usaha di daerah tersebut.
Jika dianalisis lebih mendalam, secara umum kesulitan DOHP untuk memenuhi ekspektasi dalam
indikator tersebut muncul karena berbagai penyebab yang berbeda, antara lain komitmen anggaran dan
orientasi DOHP untuk memprioritaskan dan berupaya memenuhi kebutuhan dasar warganya. Misalnya,
untuk indikator panjang jalan per luas wilayah, persentase angka balita dengan gizi buruk, anggaran
untuk UMKM, dan anggaran untuk pelayanan kesehatan adalah indikator yang hanya dapat dipenuhi
ketika DOHP memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pelayanan dan
pengembangan UMKM. Komitmen anggaran untuk penyelenggaraan berbagai pelayanan publik sangat
problematik bagi DOHP, karena beberapa hal, yaitu (a) DOHP pada awal kelahirannya tentu
membutuhkan anggaran yang besar untuk pengembangan sarana dan prasarana pemerintahan, seperti
perkantoran dan berbagai fasilitas lainnya; (b) sebagaimana daerah otonom lainnya DOHP memiliki
anggaran yang terbatas karena sebagian besar anggaran yang tersedia sudah terserap untuk belanja
tidak langsung (pegawai dan operasional pemerintahan daerah). Hanya DOHP yang memiliki kepedulian
yang tinggi dan mampu mengendalikan jumlah organisasi pemerintahan daerah dan pegawainya yang
mampu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kegiatan pelayanan publik. Disamping
keterbatasan anggaran, ketidakmampuan DOHP memenuhi harapan dalam beberapa indikator di atas
menunjukan belum responsifnya DOHP pada umumnya terhadap kebutuhan warga. Akibatnya, APBD
46
46 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
yang besar tidak menjamin DOHP memiliki kebijakan dan program yang pro rakyat, setidaknya jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di daerah tersebut.25
Sementara itu, kesulitan DOHP untuk membentuk serangkaian Perda yang digunakan untuk mengukur
kinerja DOHP mengindikasikan beberapa hal. Pertama, hal ini menunjukan keterbatasan pemerintah
DOHP dalam mengelola proses pembuatan regulasi dan peraturan daerah. Pembentukan perda
memerlukan bukan hanya anggaran yang cukup besar tetapi juga membutuhkan kemampuan mengelola
proses politik di daerah. Proses pembuatan regulasi di daerah dapat menjadi kegiatan yang mahal
karena tradisi yang ada di DPRD dalam pembuatan perda seringkali dilakukan dengan melakukan
kegiatan studi banding dari para anggota DPRD. Kegiatan studi banding dapat menjadi amat mahal bagi
daerah yang memiliki anggaran terbatas, karena biasanya melibatkan lebih dari separuh anggota DPRD.
Kedua, kapasitas politik pemerintah DOHP bisa jadi kurang memadai untuk mengelola konflik dan tensi
politik yang sering terjadi dalam pembentukan Perda. Apalagi Perda tentang tata ruang, perlindungan
lingkungan, dan transparansi sering menjadi perda yang menimbulkan pro dan kontra karena
pengaturan tentang hal tersebut melibatkan konflik kepentingan antar aktor dan elit di daerah.
Catatan penting di bagian ini adalah bahwa ternyata dari seluruh indikator yang relatif sulit diwujudkan
oleh DOHP di atas, hampir separuhnya merupakan indikator untuk mengukur Faktor Daya Saing Daerah.
Dalam peningkatan daya saing daerah, sebagian besar DOHP belum memiliki kinerja yang memuaskan.
Sebagian besar DOHP untuk semua kluster memiliki kapasitas rendah dalam semua aspek daya saing
daerah, seperti kebijakan, kelembagaan, fasilitasi, dan kinerja investasi. Sebagian besar daerah pada
semua kluster daerah memiliki kapasitas yang rendah untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan
dalam rangka meningkatkan daya saing daerah. Kecuali untuk DOHP kota yang berusia lebih dari 3
tahun, kapasitas DOHP mengembangkan institusi pelayanan terpadu dalam perizinan umumnya masih
rendah. Hal yang sama juga terjadi dalam aspek fasilitasi. Kapasitas DOHP pada semua kluster untuk
memberdayakan pelaku usaha pada umumnya masih amat terbatas. Akibatnya, tidak mengherankan
kalau kinerja investasi pada DOHP umumnya jauh dari memuaskan. Fenomena di atas menunjukan
bahwa secara umum kinerja DOHP dalam mewujudkan daya saing masih jauh dari yang diharapkan.
Sementara bahkan dalam evaluasi ini sendiripun banyak ditemukan missing data, yang kemungkinan
diakibatkan oleh tidak/belum tersedianya data/informasi di daerah terkait dengan indikator-indikator
pendukung daya saing tersebut.
Salah satu pilihan yang dapat diambil Pemerintah di tahap awal pasca evaluasi ini adalah lebih
mencermati kondisi dan kebutuhan akan pembinaan dan pengawasan di sejumlah kabupaten dan kota
yang memiliki skor di bawah rata-rata, seperti tergambar pada Tabel 6.1.
25 World Bank, Making the New Indonesia Work for the Poor (2007). Lihat juga World Bank, Indonesia Public Expenditure Review
2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunity (2007).
47
47 Kesimpulan dan Rekomendasi
Tabel 6.1: Jumlah Kabupaten dan Kota yang Memiliki Skor di Atas dan di Bawah Rata-rata
Sumber: Tim EDOHP, Kementerian Dalam Negeri.
6.3 Implikasi Kebijakan
Uraian mengenai kondisi DOHP berdasarkan hasil temuan evaluasi tersebut memiliki implikasi kebijakan,
sebagai berikut:
(a) Penyempurnaan kebijakan dan ketegasan pelaksanaan kebijakan mengenai cara dan proses
pembentukan daerah otonom baru.
Evaluasi ini juga mengindikasikan bahwa cara pembentukan daerah otonom dan pintu masuk
pengusulan pembentukan daerah otonom baru memiliki hubungan dengan skor indeks kinerja
DOHP. DOHP yang dibentuk melalui pengalaman menjadi daerah administratif cenderung
memiliki kinerja yang lebih baik. Rerata skor indeks DOHP yang dulunya menjadi daerah
administratif lebih tinggi daripada DOHP yang tidak melalui daerah administratif. DOHP yang
pembentukannya diusulkan melalui pemerintah memiliki rata-rata skor indeks yang lebih tinggi
daripada yang diusulkan melalui DPR.
Temuan ini mengingatkan perlunya proses pengasuhan (nurturing) dalam pembentukan daerah.
Proses pengasuhan dapat dilakukan sebelum dan atau setelah satu daerah otonom dibentuk.
Dalam sejarah pengalaman desentralisasi di Indonesia, proses pengasuhan calon daerah otonom
dilakukan dengan menetapkan calon daerah otonom sebagai daerah persiapan (daerah
administratif). Selama proses pengasuhan satu daerah persiapan dibina oleh daerah induknya
untuk akhirnya dapat menjadi satu daerah otonom. Setelah dinilai memiliki kesiapan menjadi
daerah otonom, daerah tersebut kemudian diusulkan menjadi daerah otonom baru. Proses
pengasuhan juga dapat dilakukan ketika satu daerah otonom baru tersebut telah disahkan.
Pemberdayaan daerah otonom baru diperlukan terutama bagi daerah yang memiliki kapasitas
rendah untuk untuk mengelola urusan-urusan pemerintahan dasar tertentu, yang menurut
Undang-Undang wajib diselenggarakan oleh semua daerah otonom. Pengasuhan oleh
pemerintah pusat terhadap daerah otonom baru yang memiliki keterbatasan kapasitas dalam
mengelola pelayanan dasar amat penting dalam rangka melindungi akses warga dan pemangku
kepentingan terhadap pelayanan dasar.
Skor
Rata-
rata
Jumlah Daerah
dengan Skor di
Atas Rata-rata
Jumlah Daerah
dengan Skor di
Bawah Rata-
rata
Skor
Rata-
rata
Jumlah Daerah
dengan Skor di
Atas Rata-rata
Jumlah Daerah
dengan Skor di
Bawah Rata-
rata
Faktor Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 58.39 18 16 47.98 98 66
Faktor Tata Pemerintahan yang Baik 41.43 16 18 35.29 79 85
Faktor Ketersediaan Pelayanan Publik 44.38 17 17 32.56 86 42
Faktor Peningkatan Daya Saing Daerah 24.06 18 16 19.07 72 92
Faktor Total 43.78 19 15 35.17 93 71
Kota (N = 34) Kabupaten (N = 164)
48
48 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Dalam proses pengasuhan kepada daerah otonom baru peran Kementerian Dalam Negeri dan
Gubernur sebagai wakil pemerintah menjadi sangat strategis. Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian teknis terkait melakukan pengasuhan kepada provinsi baru sesuai dengan kendala
teknis yang dihadapi provinsi dalam mengelola urusan pemerintahannya. Sebagai leading
agency dalam pembinaan dan pengawasan daerah, Kementerian Dalam Negeri perlu
mengembangkan kebijakan dan pola pengasuhan yang relevan dengan kendala dan tantangan
yang dihadapi oleh masing-masing DOHP, yang dapat berbeda antar DOHP dalam kluster yang
berbeda. Gubernur sebagai wakil pemerintah dapat menjalankan fungsi pengasuhan kepada
DOHP kabupaten dan kota agar dapat menjalankan fungsi sebagai daerah otonom secara efektif.
Kebijakan tentang pengasuhan daerah otonom hasil pemekaran perlu dirumuskan dengan jelas
dan dikelola dengan baik agar benar-benar dapat mempercepat pembentukan kapasitas daerah
otonom baru.
Kebijakan tersebut harus mencakup perubahan dalam cara dan proses pembentukan daerah
dan atau pengelolaan daerah pasca pembentukan daerah. Selama ini cara dan proses
pembentukan daerah belum mampu menjamin bahwa pembentukan daerah benar-benar
dilakukan untuk kepentingan publik dan bukan semata-mata kepentingan elit di daerah.
Penyempurnaan kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut perlu menjadi perhatian, baik di
level UU, PP ataupun kebijakan di tingkat Kementerian. Hal ini tentunya juga memerlukan
dukungan dan komitmen politik yang memadai baik dari pimpinan pemerintahan di pusat
maupun daerah.
(b) Peningkatan fasilitasi dan pengembangan kapasitas DOHP.
Kebijakan penataaan daerah bukan hanya terpusat pada pembenahan proses pembentukan
tetapi juga penguatan DOHP pasca pembentukannya. Dukungan fasilitasi dari pemerintah
kepada DOHP agar mampu mengurus rumah tangganya sangat dibutuhkan, mengingat
sumberdaya dan kondisi tiap DOHP sangat beragam dan perlu pendekatan yang sesuai dengan
tingkat perkembangan DOHP itu sendiri. Pemerintah juga harus mampu mendorong DOHP
untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitasnya sendiri, berikut upaya-
upaya yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kerjasama antara pemerintah
dan pemerintahan daerah, kerjasama antar daerah, dan kerjasama dengan berbagai pihak yang
dapat mendukung upaya tersebut baik dari pihak lembaga pendidikan/akademisi, NGO, dan
lembaga donor perlu terus ditingkatkan. Metode dan teknis pengembangan kapasitas juga perlu
dikembangkan sehingga tidak terjebak pada pola-pola konvensional (ceramah, seminar, dan
sejenisnya). Perlu dikembangkan metode dan teknik yang lebih inovatif dan dapat memacu
keinginan pemerintah daerah untuk mau dan mampu terus mengembangkan kapasitasnya
sendiri.
Kecenderungan bahwa usia DOHP berpengaruh terhadap kinerjanya dalam mewujudkan tujuan
pembentukan daerah otonom menimbulkan beberapa pertanyaan kebijakan tentang perlunya
pemerintah mempertimbangkan faktor usia atau kematangan daerah menjadi kriteria dalam
pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan pada DOHP. Selama ini pemerintah cenderung menyeragamkan perlakuan kepada
49
49 Kesimpulan dan Rekomendasi
semua daerah. Daerah yang baru lahir diberi urusan pemerintahan yang sama dengan daerah
yang usianya sudah cukup panjang dan memiliki infrastruktur kelembagaan yang memadai.
Pengembangan kapasitas daerah juga cenderung dilakukan secara seragam tanpa melihat
problema yang spesifik dari daerah, termasuk mempertimbangkan usia daerah. Hal yang sama
juga terjadi dalam pelaksanaan pembinaan. Kebijakan yang sama kepada semua DOHP tanpa
memperhatikan kendala yang mereka hadapi, yang cenderung berbeda antar DOHP dengan
kelompok usia yang berbeda, akan membuat pelaksanaan kebijakan itu menjadi tidak efektif.
Karenanya pemerintah perlu mempertimbangkan faktor usia atau kematangan daerah menjadi
kriteria dalam pembagian urusan, pengembangan kapasitas daerah, dan dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan pada DOHP. Kebijakan dalam pengembangan daerah yang
memperlakukan daerah secara sama tanpa mempertimbangkan usia daerah perlu ditinjau
kembali. Kinerja DOHP sangat dipengaruhi oleh usianya. Dalam usia DOHP yang berbeda
terkandung kapasitas daerah yang berbeda. Kebijakan dan pengembangan DOHP perlu
mempertimbangkan faktor usia dari DOHP itu sendiri.
Atas dasar ini, maka pemerintah perlu memperbaharui kebijakan yang selama ini dilakukan
dalam pembagian urusan pemerintahan. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang pembentukan daerah selama ini mendesentralisasikan urusan pemerintahan kepada
daerah secara sama kepada semua daerah, tanpa melihat usia daerah dan tingkat kematangan
kelembagaan, kapasitas aparatur, kapasitas fiskal, dan karakteristik lainnya yang ada pada
daerah. Kebijakan desentralisasi simetrik seperti ini perlu dikaji ulang karena cenderung tidak
fair kepada daerah otonom baru, yang pada umumnya masih memiliki kapasitas yang rendah
dalam mengelola berbagai urusan pemerintahan. DOHP yang umumnya masih memiliki kendala
dalam pengembangan institusi birokrasi dan aparaturnya tentu akan mengalami kesulitan dalam
mengelola kegiatan pemerintahannya ketika mereka harus menjalankan urusan pemerintahan
yang amat banyak, sebagaimana daerah-daerah lainnya yang sudah lama terbentuk dan
memiliki struktur kelembagaan dan aparatur yang kuat. UU pemerintahan daerah perlu
mengatur adanya pengalihan urusan pemerintahan kepada daerah otonom baru sesuai dengan
kesiapan dan karakteristik daerah. Pemerintah perlu secara lebih tegas mengembangkan
kebijakan desentralisasi yang asimetris dan mengembangkan kebijakan pengaturan,
peningkatan kapasitas, dan pembinaan secara bervariasi sesuai dengan karakteristik daerah.
Kebijakan desentralisasi dan penataan daerah yang seragam tanpa membedakan karakteristik
daerah cenderung kurang responsif.
Pemerintah perlu secara lebih tegas mengembangkan kebijakan desentralisasi yang asimetris
dan mengembangkan kebijakan pengaturan, peningkatan kapasitas, dan pembinaan secara
bervariasi sesuai dengan karakteristik daerah. Evaluasi ini juga menunjukan bahwa DOHP
dengan usia 3 (tiga) tahun kebawah dengan DOHP yang memiliki usia lebih dari 3 tahun
cenderung memiliki kinerja yang berbeda. DOHP dengan usia 3 tahun kebawah cenderung
memiliki kinerja yang lebih buruk dalam banyak indikator kinerja dibandingkan dengan kinerja
DOHP yang memiliki usia lebih dari 3 tahun. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
misalnya, hasil evaluasi ini menunjukan bahwa kabupaten dan kota DOHP dalam kluster
50
50 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
kelompok umur di atas 3 tahun (>3 th) memiliki kinerja yang lebih baik dalam mendorong
pertumbuhan PDRB perkapita dan menurunkan angka kemiskinan daripada DOHP kabupaten
dan kota dari kelompok umur 3 tahun kebawah. Kecenderungan bahwa DOHP yang lebih lama
memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan DOHP yang lebih muda usianya juga
terjadi dalam berbagai indikator tata-pemerintahan yang baik, seperti: daya serap anggaran,
pelembagaan mekanisme pengaduan, dan rasio anggaran KDH dan DPRD terhadap APBD. Selain
itu, perhatian khusus perlu diberikan pada DOHP di Indonesia Bagian Timur karena secara
keseluruhan kinerjanya selalu relatif lebih rendah dibandingkan dengan DOHP di wilayah
lainnya.
Peran pemerintah provinsi sesungguhnya juga menjadi penting berkenaan dengan upaya
pembinaan terhadap kabupaten/kota. Kendalanya adalah dalam kebijakan yang ada saat ini
provinsi memang cenderung kurang memiliki kewenangan untuk itu. Pertimbangan mengenai
peningkatan peran provinsi dalam hal pembinaan tersebut perlu menjadi bagian dalam
perumusan kebijakan nasional mengenai otonomi daerah. Meskipun di sejumlah daerah, agak
sulit mengharapkan pemerintah provinsi dapat berperan optimal dalam pembinaan sementara
kinerjanya sendiri cenderung rendah. Dalam hal ini, pemerintah pusat juga perlu
mempertimbangkan kapasitas tiap-tiap provinsi dalam melaksanakan hal tersebut.
(c) Meningkatkan kualitas pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil.
Peningkatan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil perlu ditingkatkan, karena
sesungguhnya dokumen-dokumen berkenaan dengan kedua hal tersebut adalah hak seorang
warga negara, dan pada akhirnya juga akan memudahkan pemerintah dan pemerintah daerah
dalam melakukan analisis perencanaan pembangunan, pengalokasian anggaran, penetapan
kelompok sasaran program, pendataan pemilih dalam Pemilu/Pilkada, dan sebagainya.
Pemerintah dan pemerintah daerah perlu mengerahkan segenap upaya yang memungkinkan
semua warga negara dapat dengan mudah memiliki dokumen-dokumen tersebut. Untuk
dokumen akta kelahiran dan KTP sebaiknya memang dibuat gratis/bebas biaya. Selain itu,
sosialisasi mengenai pentingnya dokumen identitas dan mudahnya mengurus administrasi
kependudukan dan catatan sipil, serta pembuktian nyata dalam praktek pelayanan dokumen-
dokumen tersebut perlu terus ditingkatkan oleh pemerintah.
(d) Menyempurnakan kebijakan transfer anggaran daerah.
Tanpa mereformasi kebijakan transfer, amat sulit bagi DOHP dan daerah-daerah lainnya untuk
meningkatkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada warganya
karena daerah umumnya telah memiliki kendala anggaran yang sangat ketat. Disiplin anggaran
dalam hal perencanaan, pengalokasian, transfer, penggunaan dan pelaporannya harus terus
ditingkatkan, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Untuk itu kejelasan dan ketegasan
pelaksanaan jadwal dari siklus anggaran perlu ditingkatkan, dan bila perlu disertai dengan sanksi
administratif yang tegas atas pelanggarannya.
51
51 Kesimpulan dan Rekomendasi
(e) Memperkuat kebijakan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintahan serta
partisipasi masyarakat baik di pusat maupun daerah.
Dalam mewujudkan tata-pemerintahan yang baik, DOHP pada umumnya juga masih mengalami
kendala dalam mengembangkan pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Janji
desentralisasi dan fragmentasi daerah untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih dekat
dengan warganya, sehingga membuat warga lebih mudah untuk terlibat dalam proses kebijakan
dan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan ternyata belum tampak
dari hasil evaluasi ini. Sebagian besar daerah gagal melakukan konsultasi publik dalam setiap
pembuatan kebijakan daerah. Kedekatan secara fisik antara pemerintah dengan warganya
ternyata tidak diikuti dengan kedekatan secara emosional dan kejiwaan. Pemerintah daerah
masih enggan melakukan konsultasi publik kepada warganya ketika mereka membuat peraturan
daerah dan merumuskan APBD. Temuan ini memperkuat studi-studi lainnya yang menunjukkan
bahwa desentralisasi dan pembentukan daerah baru tidak selalu menghasilkan pemerintahan
yang partisipatif. Sedangkan sebagai pemangku kepentingan warga perlu didengar aspirasinya
dan dipahami kepentingan dan kebutuhannya sehingga kebijakan dan program pemerintah
daerah benar-benar menjawab kepentingan dan kebutuhannya.
Tantangannya adalah bagaimana menjadikan fenomena ini sebagai pintu masuk untuk
mendorong DOHP untuk bukan hanya lebih terbuka kepada warganya tentang apa yang mereka
lakukan dengan APBD-nya tetapi juga mendorong warga untuk lebih peduli terhadap apa yang
dilakukan oleh pemerintahnya. Selama ini warga kebanyakan kurang peduli terhadap apa yang
dilakukan oleh pemerintah dengan anggaran yang dikuasainya. Salah satunya karena informasi
yang dimiliki oleh warga dan pemangku kepentingan tentang APBD sangat terbatas. Pemerintah
perlu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong DOHP menjadi lebih terbuka dalam
mempertanggungjawabkan apa yang mereka telah lakukan selama setahun sebelumnya kepada
warganya. Dengan cara ini warga dan pemangku kepentingan juga akan menjadi lebih peduli
kepada program dan proyek pemerintah dan interaksi warga dengan pemerintahnya akan
menjadi semakin intens.
Adalah tugas pemerintah untuk mendorong DOHP melangkah lebih jauh meninggalkan
transparansi prosedural menunju transparansi yang lebih subtantif. Ketidakmampuan DOHP
untuk mengembangkan basis legal yang solid bagi pengembangan transparansi dalam
pemerintahan menunjukan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pengembangan
transparansi pemerintahan. Tanpa ada basis legal yang kuat yang dapat memaksa adanya
transformasi dari transparansi prosedural menuju pada transparansi yang subtantif maka amat
sulit membayangkan DOHP akan segera dapat mentransformasi dirinya sebagai pemerintah
yang akuntabel dan responsif.
Untuk mempercepat terwujudnya pemerintahan yang partisipatif, pengakuan terhadap hak-hak
warga untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah perlu diatur secara lebih jelas. Dalam UU
No.32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, ketentuan mengenai kedudukan warga,
hak-hak, kewajiban, dan hubungannya dengan pemerintahan daerah belum diatur dengan jelas.
Dalam konstruksi peraturan perundangan yang ada sekarang ini, warga cenderung ditempatkan
52
52 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
sebagai konsumen yang pasif. Warga belum diperlakukan sebagai pemangku kepentingan yang
perlu didengar pendapatnya dalam proses pembuatan peraturan daerah dan perancangan
APBD. Sedangkan sebagai pemangku kepentingan warga perlu didengar aspirasinya dan
dipahami kepentingan dan kebutuhannya sehingga kebijakan dan program pemerintah daerah
benar-benar menjawab kepentingan dan kebutuhannya.
(f) Efisiensi dan efektifitas pengelolaan anggaran daerah.
Penempatan belanja pegawai dalam alokasi dasar sebagai bagian dari formula DAU perlu dikaji
kembali relevansinya, mengingat implikasinya bagi kapasitas daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. pemerintah perlu mendorong daerah melakukan rightsizing birokrasinya.
Untuk mendorong daerah melakukan rasionalisasi belanja pegawai dan belanja tidak langsung
lainnya, perlu dioptimalkan upaya untuk menyambungkan program pusat dengan program
daerah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional. Selain itu, Kementerian dan
Lembaga Non-Kementerian juga perlu mengembangkan ukuran pencapaian tujuan-tujuan
nasional dengan pencapaian output dan outcome dari daerah dan mengurangi kecenderungan
menggunakan input seperti keberadaan institusi sejenis sebagai kriteria untuk mengukur
sinergitas dari kegiatan pusat dan daerah.
(g) Pengembangan program pro-poor.
Pengembangan program pro-poor dapat menjadi salah satu jawaban terhadap pertanyaan di
atas. Untuk mendorong DOHP mengembangkan program-program pro-poor, pemerintah dapat
memanfaatkan instrumen fiskal untuk mendorong daerah peduli pemenuhan kebutuhan dasar,
misalnya dengan mendorong penguatan keterkaitan antara pengalokasian dana perimbangan
dengan penyelenggaraan pelayanan dasar. Pemerintah juga perlu mengembangkan kebijakan
yang mencegah terjadinya elite capture dalam penganggaran, sebagaimana ditunjukan oleh
hasil evaluasi ini. Anggaran yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan elit birokrasi dan
politik dan belanja pegawai seharusnya tidak boleh melebihi anggaran untuk pelayanan publik.
Pengaturan tentang pembatasan maksimal anggaran untuk KDH, DPRD, dan belanja pegawai
perlu dibuat karena kecenderungan yang terjadi sekarang ini proporsi anggaran untuk
kebutuhan KDH, DPRD, dan belanja pegawai telah melampau kewajaran dan jika dibiarkan dapat
menghalangi daerah untuk mencapai tujuan utama dari kehadirannya, yaitu meningkatkan
kesejahteraan warganya. Jika instrumen kebijakan seperti ini dapat dirumuskan dengan baik
maka kepedulian pada penurunan angka kemiskinan dan gizi buruk akan dapat ditingkatkan
secara lebih cepat.
(h) Meningkatkan iklim usaha yang kondusif di DOHP.
Selain bahwa diperlukan adanya kerjasama antara daerah dalam pelaksanaan pembangunan
sosial, ekonomi dan kewilayahan, dengan semakin bertambahnya jumlah DOHP tak terelakkan
berarti meningkat pula persaingan dalam memperebutkan akses investasi ataupun pemasaran
produk-produk antar daerah. Investasi yang dimaksud tentunya yang dapat membawa kebaikan
dan manfaat bagi seluruh pihak, dan bukan lantas yang justru hanya menguntungkan sebagian
kecil saja dan merugikan kepentingan masyarakat ataupun merusak tatanan sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup di daerah. Untuk itu pemerintah perlu terus mendorong terbangunnya
53
53 Kesimpulan dan Rekomendasi
kapasitas pemerintah daerah dalam mengembangkan iklim usaha yang sehat dan kondusif di
daerah khususnya DOHP, agar tidak bergantung pada sumber pendapatan daerah konvensional
(pajak/retribusi daerah, dan memberi ruang seluasnya serta melonggarkan kontrol atas
pemanfaatan sumber daya alam daerah alam) dan dana perimbangan atau anggaran transfer
daerah dari pusat (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Dana
Dekonsentrasi).
Pemerintah harus mendorong terbangunnya kesadaran dan kerangka berpikir yang jelas bahwa
iklim usaha yang sehat merupakan kebutuhan dan kepentingan baik bagi DOHP maupun pelaku
usaha (baik lokal, nasional maupun multinasional). Kejelasan dan ketegasan kebijakan investasi
di daerah berikut masalah perizinan, pajak daerah/retribusi, stabilitas politik di daerah dan
lainnya akan sangat mempengaruhi hal tersebut. Dalam situasi dimana DOHP memerlukan
kepastian investasi dan pelaku usaha memerlukan kepastian iklim usaha yang kondusif,
tentunya terbuka ruang untuk secara kontinyu dilakukan pertemuan atau dialog dalam rangka
membantu semua pihak memahami dinamika dan masalah terkait iklim investasi tersebut, dan
bersama-sama mencari jalan keluar yang tepat untuk kebaikan DOHP, masyarakat dan pelaku
usaha itu sendiri.
6.4 Penutup
Keseluruhan proses EDOHP telah memberi pelajaran berharga bahwa meskipun penting, diperlukan dan
sesungguhnya juga mendesak untuk dilakukan, evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan khususnya
pelaksanaan otonomi daerah selama ini ternyata belum dilaksanakan dengan memadai. Selain
memerlukan biaya, waktu dan sumber daya manusia yang tidak sedikit, pengalaman EDOHP
menyadarkan bahwa dibutuhkan pemahaman dan penguasaan metode evaluasi yang komprehensif,
berikut kecermatan dan kehati-hatian dalam menyusun dan menggunakan instrumen survei serta dalam
mengolah data, menganalisis, serta menyajikannya dalam laporan yang memadai. Evaluasi ini juga
mengajarkan bahwa meskipun data profil dan capaian perkembangan pembangunan sangat diperlukan
namun masih menjadi masalah dan belum teratasi sampai saat ini. Masalah ketersediaan, kelengkapan,
keseragaman, kemudahan mengakses dan terlebih kualitas serta validitas data pembangunan memang
masih menjadi persoalan di Indonesia, baik di pusat, dan terlebih di daerah.
Kapasitas dan kinerja internal di Kementerian Dalam Negeri untuk mampu mengelola dan melaksanakan
seluruh tahapan evaluasi dalam skala nasional dan dengan menggunakan metodologi evaluasi yang
tepat dan benar disadari memang masih harus ditingkatkan. Pembinaan, koordinasi dan kerjasama
antara Kementerian Dalam Negeri dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah dalam rangka
evaluasi semacam ini juga perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, memang perlu dipertimbangkan adanya
suatu desain evaluasi pemerintah yang menyeluruh dan terintegrasi sehingga dapat dihindari tumpang
tindih kegiatan evaluasi, yang selain tidak efisien juga memberatkan semua pihak, khususnya
pemerintah daerah, yang harus menyediakan waktu dan sumberdaya yang tidak sedikit untuk
memenuhi beragam evaluasi yang sesungguhnya tidak terlalu jauh berbeda satu sama lain.
54
54 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Pelajaran lain yang diperoleh adalah bahwa model evaluasi yang melibatkan secara penuh sebuah tim
dari para akademisi dan pengamat pemerintahan dan pembangunan sangat membantu pemerintah
dalam kegiatan evaluasi semacam ini. Evaluasi dapat dilaksanakan dengan relatif lebih otonom dan
netral dibandingkan jika dilakukan sendiri oleh internal Kementerian Dalam Negeri. Hasil evaluasi dapat
menjadi pembanding dari hasil evaluasi internal yang dilakukan oleh pemerintah. Meskipun disana-sini
masih ditemukan kekurangan dan perlu penyempurnaan, namun model semacam ini dipandang layak
dan perlu dikembangkan pada evaluasi-evaluasi lainnya.
55
LAMPIRAN
Lampiran 1: Definisi Indikator EDOHP
No Faktor Indikator Bobot
1. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 30%
1.1 Aspek Kemakmuran Masyarakat 80%
1.1.1 Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita
Definisi:
PDRB merupakan singkatan dari Produk Domestik Regional Bruto, yaitu
penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang dihasilkan dari seluruh
kegiatan ekonomi (mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri
pengolahan, sampai jasa) di suatu wilayah tertentu (provinsi,
kabupaten/kota) dalam kurun waktu tertentu (biasanya dihitung dalam satu
tahun kalender). PDRB per Kapita adalah angka perbandingan antara PDRB
suatu daerah dengan jumlah penduduk di daerah tersebut.
Cara Menghitung:
PDRB dihitung dengan cara melihat nilai tambah barang dan jasa atas dasar
harga konstan, yaitu nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung dengan
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu. Angka ini
berguna untuk memonitor pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Laju
pertumbuhan ekonomi tersebut dihitung menggunakan rumus CAGR
(Compound Annual Growth Rate). Data yang digunakan adalah data PDRB per
kapita daerah otonom pada 3 tahun terakhir.
Treatment data ekstrim dengan mengganti data ekstrim dengan nilai minimum
dan maksimum :
Min = - 22%
Max = 29 %
- Jarak minimum ke rata-rata, harus sama dengan jarak maximum ke rata-
rata.
- Dipilih jarak terdekat di antara kedua jarak sebagai standar jarak ke rata-
rata.
30%
1.1.2 Tingkat Kemiskinan
Definisi:
Definisi kemiskinan yang digunakan dalam konteks ini mengacu pada definisi
kemiskinan BPS. Pada tahun 1994, BPS merumuskan kemiskinan sebagai
kondisi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya
kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
Cara menghitung:
Angka kemiskinan dihitung melalui Rata-rata Rasio Jumlah Penduduk Miskin
terhadap Total Penduduk selama 3 th terakhir. Nilai ini memiliki nilai yang
40%
56
56 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
reverse direction. Semakin kecil tingkat kemiskinan, maka kinerja suatu
daerah semakin baik.
Treatment data ekstrim:
Outlier: 2 SD + rata-rata
Min = 2,57%
Max = 62 %
1.1.3 Komitmen pemerintah pada peningkatan kemakmuran rakyat yang dilihat
dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.
Definisi:
Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk
Miskin adalah keberadaan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan/Keputusan
Kepala Daerah dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin. Kebijakan
pemberdayaan penduduk miskin dapat berupa perda, program, renstra,
dan/atau kegiatan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan secara
terpadu dan berkelanjutan di daerah. Kebijakan ini terutama dimaksudkan
untuk pencapaian kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin
perdesaan.
Cara Menghitung:
• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan
• Skor untuk jenis kebijakan :
a. Maksimum Skor untuk perda = 5
b. Maksimum Skor untuk PKD = 4
c. Maskimum Skor untuk Kep= 3
d. Maksimum Skor untuk renstra = 2
• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai
terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:
a. Kebijakan langsung berhubungan pemberdayaan masyarakat miskin
dengan isu yang strategis
b. Kebijakan langsung berhubungan pemberdayaan masyarakat miskin
dengan isu yang relevan
c. Kebijakan yang menunjang pemberdayaan masyarakat miskin
d. Kebijakan yang sekedar terkait pemberdayaan kemiskinan
e. Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi,
berdasarkan relevansi judul
f. kebijakan, apakah kebijakan dianggap memiliki dampak langsung
terhadap pengurangan kemiskinan.
Treatment data ekstrim:
Min = 0
Max = 5
30%
57
57 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
1.2 Berkurangnya Ketimpangan Gender 20%
1.2.1 Komitmen pemerintah pada kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan
perempuan yang dilihat dari bentuk hukum, relevansi dan dampak kebijakan.
Definisi:
Produk Hukum Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan
Perempuan adalah keberadaan peraturan daerah, peraturan/keputusan
kepala daerah dan/atau kebijakan berupa renstra, program, kegiatan, dsb.
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
partisipasi perempuan dalam pembangunan, sebagai akibat dari adanya
praktek diskriminasi terhadap perempuan. Keberadaan produk hukum terkait
kesetaraan gender merupakan wujud perhatian pemerintahan daerah untuk
membuka akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang
baik, pendidikan yang tinggi, ketenagakerjaan, dan keterlibatan perempuan
dalam bidang politik serta kegiatan publik lainnya sekaligus untuk
meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development
Indeks, GDI).
Cara Menghitung:
• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan
• Skor untuk jenis kebijakan :
a. Maksimum Skor untuk perda = 5
b. Maksimum Skor untuk PKD = 4
c. Maskimum Skor untuk Kep= 3
d. Maksimum Skor untuk renstra = 2
• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi, berdasarkan
relevansi judul kebijakan dan apakah kebijakan dianggap memiliki dampak
langsung terhadap pengurangan ketimpangan gender.
• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai
terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:
a. Kebijakan langsung berhubungan pengurangan ketimpangan gender
dengan isu yang strategis
b. Kebijakan langsung berhubungan pengurangan ketimpangan gender
dengan isu yang relevan
c. Kebijakan yang menunjang pengurangan ketimpangan gender
d. Kebijakan yang sekedar terkait pengurangan ketimpangan gender
50%
1.2.2 Tingkat Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau
Pemberdayaan Perempuan
Definisi:
Bentuk Kelembagaan yang Menangani Kesetaraan Gender adalah
bentuk/jenis perangkat daerah yang membantu kepala daerah, khususnya
sebagai pengelola kegiatan kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan
perempuan.
50%
58
58 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
Cara Menghitung:
• Data berupa Bentuk Kelembagaan yang menangani Ketimpangan Gender dan/
Pemberdayaan Perempuan
• Setiap Bentuk Kelembagaan diberi Skor sbb:
a. Badan Skor 10
b. Dinas Skor 10
c. Kantor Skor 8
d. Bagian Skor 6
e. Seksi Skor 4
f. Unit Skor 1
• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat Kelembagaan tertinggi yang dimiliki
daerah.
2. Good Governance 25%
2.1 Aspek Efektivitas 20%
2.1.1 Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD
Definisi:
Ketepatan waktu daerah menetapkan APBD merupakan amanah dari Pasal 53
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Diakui bahwa ketepatan waktu penetapan APBD bukanlah
hal utama dalam menjamin keberhasilan atau keunggulan kinerja APBD,
namun paling tidak hal itu harus dipenuhi terlebih dahulu oleh daerah.
Apabila penetapan APBD terlambat, maka semua proses pelaksanaan
anggaran daerah akan menjadi terlambat pula, mulai dari proses tender
sampai dengan penyelesaian proyek-proyeknya.
Cara Menghitung:
• Data berupa Waktu penetapan APBD (tgl/bulan/ Tahun) sejak daerah
memiliki APBD yang ditetapkan sendiri
• Penetapan Skor serial :
a. < 31 Des point 5
b. < 15 Januari point 4 (Januari)
c. < 21 Januari point 3 (Februari)
d. < 15 Feburari point 2 (Maret)
e. < 31 Feburari point 1 (April)
f. > Maret point 0 (Mei - ……….)
40%
2.1.2 Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun
Definisi:
Daya serap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu
ukuran atas efektivitas pengelolaan dan penggunaan belanja daerah sesuai
alokasi pemanfaatannya dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Hal ini
sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah
60%
59
59 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dalam Pasal 18 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut
dinyatakan bahwa belanja daerah adalah belanja yang telah dialokasikan
dalam APBD secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh
kelompok masyarakat tanpa diskriminasi khususnya dalam pelayanan umum
baik aparatur maupun publik.
Cara Menghitung:
• Data berupa rasio Silpa/APBD tiga tahun terakhir
• Diolah dengan rumus CAGR
Treatment data ekstrim
- Jarak minimum ke rata-rata harus sama dengan jarak maximum ke rata-rata
- Reverse direction
- Min = - 97%
- Max = 125%
2.2 Aspek Transparansi 20%
2.2.1 Komitmen pemerintah pada azas transparansi yang dilihat dari bentuk hukum,
relevansi dan dampak kebijakan terhadap transparansi.
Definisi:
Produk Hukum Daerah untuk Transparansi adalah keberadaan peraturan
daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang berupaya
mewujudkan keterbukaan dan pertanggungjawaban sebagai salah satu pilar
good governance. Produk hukum untuk transparansi ini merupakan aturan
dan prosedur kerja pemerintahan daerah yang bersifat transparan dan
diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung jawab dan
untuk memerangi korupsi. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa
mengambil keputusan apa beserta alasannya”. Format dan konsep
transparansi yang wajib diimplementasikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-
azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas KKN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik
tuntutan adanya transparansi tidak hanya kepada pemerintah daerah
(eksekutif) tetapi juga kepada DPRD (legislatif).
Cara Menghitung:
• Data berupa nama /judul/tentang/nomor dan Tanggal Kebijakan
• Skor untuk jenis kebijakan :
a. Maksimum Skor untuk perda = 5
b. Maksimum Skor untuk PKD = 4
c. Maskimum Skor untuk Kep= 3
30%
60
60 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
d. Maksimum Skor untuk renstra = 2
• Penentuan Skor akhir dipilih dari Tingkat kebijakan tertinggi, berdasarkan
relevansi judul kebijakan dan apakah kebijakan dianggap memiliki dampak
langsung terhadap transparansi
• Untuk setiap jenis kebijakan terjadi gradasi dari nilai maksimal ke nilai
terendah dengan ketentuan urutan penurunan sbb:
a. Kebijakan langsung berhubungan upaya transparansi dengan isu yang
strategis
b. Kebijakan langsung berhubungan upaya transparansi dengan isu yang
relevan
c. Kebijakan yang menunjang upaya transparansi
d. Kebijakan yang sekedar terkait upaya transparansi
• Program dan kegiatan dihilangkan, karena bukan produk hokum
2.2.2 Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement)
Definisi:
Publikasi Pengadaan Barang / Jasa (Procurement) adalah mekanisme
pemberitahuan kepada publik dalam rangka pelaksanaan rangkaian kegiatan
yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan pengadaan barang/
jasa yang akan dilaksanakan oleh Pemda.
Cara Menghitung:
• Data berupa jenis publikasi yang dimiliki oleh daerah dalam 3 tahun terakhir
• Skor :
a. Website Resmi Pemda Skor 3
b. Surat Kabar Skor 2
c. Pengumuman di SKPD Terkait Skor 1
• Skor dihitung secara rata-rata dari komposit Skor selama 3 tahun terakhir
70%
2.3 Aspek Akuntabilitas 40%
2.3.1 Sarana yang disediakan pemerintah untuk penanganan pengaduan
masyarakat
Definisi:
Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat adalah sistem, mekanisme,
dan prosedur yang dilembagakan oleh pemerintahan daerah dalam upayanya
mengelola keluhan dan/atau protes-protes yang mungkin muncul dari
berbagai pihak secara terstruktur, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan
mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bentuk-bentuk
pengaduan dapat berupa pengaduan melalui kotak pos dan/atau e-mail
berbentuk pengaduan tertulis. Pengaduan melalui alamat kantor Pemda dan
melalui staf dapat berbentuk pengaduan lisan dan dapat pula berbentuk
pengaduan tertulis. Pengaduan tertulis dimungkinkan dalam bentuk surat
kaleng dan dalam bentuk surat dengan keterangan jelas. Pengaduan lisan
dapat disampaikan secara individual maupun ber kelompok serta dapat pula
disampaikan melalui forum rapat komunitas.
30%
61
61 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
Cara Menghitung:
• Data berupa jenis-jenis sarana yang digunakan untuk penanganan
pengaduan masyarakat
• Skor:
a. Unit pengaduan Skor 10
b. Website Skor 5
c. Surat kabar Skor 5
d. Talk show Skor 5
e. SMS Skor 3
f. Kotak Pengaduan Skor 1
g. Coffee morning Skor 2
2.3.2 Komitmen penyelenggara negara/pejabat pada azas integritas
Definisi:
Pakta Integritas dan/atau Kontrak Kinerja merupakan Surat Pernyataan yang
ditandatangani secara bersama oleh pengguna barang/jasa/panitia
pengadaan/ pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk
mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam
pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Elemen dan karakteristik dari Pakta
Integritas adalah adanya proses pengambilan keputusan yang dibuat secara
sederhana dan transparan. Pakta Integritas pada hakekatnya adalah janji
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan yang
berlaku. Filosofi dasarnya adalah membuat transaksi bisnis di antara peserta
lelang/kontraktor menjadi lebih fair. Kendati belum ada suatu peraturan yang
spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di Indonesia, namun konsep dan
penerapannya sangat relevan dengan amanat penegakan hukum dan tata
kelola sistem kenegaraan yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel dan
transparan.
Cara Menghitung :
• Data berupa bentuk ikrar “pakta integritas“ dan “Kontrak Kinerja”
• Skor:
a. Pakta Integritas Skor 5
b. Kontrak Kinerja Skor 10
30%
2.3.3 Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Definisi:
Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD adalah pemberian dan/atau
penyampaian informasi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
dan/atau pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada masyarakat melalui
media cetak dan/atau media elektronik.
Cara Menghitung :
• Data berupa jenis publikasi untuk pertanggung-jawaban APBD selama 3 th
terakhir
• Skor :
a. Website Skor 3
20%
62
62 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
b. Surat Kabar Skor 2
c. Pengumuman SKPD Skor 1
• Skor dihitung secara rata-rata dari komposit Skor selama 3 tahun terakhir
2.3.4 Tingkat komitmen pemerintah pada kepentingan publik
Definisi:
belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih. Sesuai Pasal 31 ayat (1), belanja daerah
dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari
urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian
atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan.
Cara Menghitung :
• Untuk mengukur Elite Capture, jika anggaran DPRD dan KDH semakin tinggi
berarti anggaran untuk publik semakin kecil
• Anggaran belanja DPRD + KDH / TOTAL BELANJA APBD dihitung rata-rata 3 th
terakhir
• Reverse Direction
Treatment data ekstrim :
- Jarak minimum ke rata-rata sama dengan jarak maximum ke rata-rata
- Min = 0,11%
- Max = 5%
20%
2.4 Aspek Partisipasi 20%
2.4.1 Keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi dan konsultasi publik dalam
penyusunan kebijakan
Definisi:
Konsultasi publik (KP) adalah cara, mekanisme, dan proses melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik,
baik oleh eksekutif maupun legislatif. Bentuk konsultasi kepada masyarakat itu
dapat berupa berdialog, berunding, musyawarah, meminta nasehat atau
saran, atau pun melaporkan kebijakan apa yang sudah atau akan dilakukan
pemerintah daerah kepada publik (masyarakat).
Cara Menghitung :
• Jika ada perda, diberi point 5, jika tidak ada diberi point 0
• Nilai distandardisasi (100* skor-max/max-min)
60%
2.4.2 Jumlah Perda Inisiatif DPRD
Definisi:
Jumlah Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD adalah banyaknya Perda yang
proses pembuatannya merupakan inisiatif anggota legislatif atau DPRD.
40%
63
63 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama sama Pemerintah Daerah,
artinya dapat berasal dari hak inisiatif DPRD maupun prakarsa dari Pemerintah
Daerah (Eksekutif).
Cara Menghitung :
• Data jumlah Perda sejak daerah berdiri
• Setiap Perda di beri point
3. Ketersediaan Pelayanan Publik 25%
3.1 Aspek Pendidikan 25%
3.1.1 Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan pendidikan
Definisi:
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang
dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran
pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak
termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan
pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran
pendidikan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan
terhadap total anggaran belanja daeralh
Kegunaan:
Alokasi anggaran pendidikan secara proporsional berdampak pada
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
• Data berupa rasio anggaran pendidikan terhadap APBD
• Perhitungan rata-rata rasio anggaran selama 3 tahun terakhir
Treatment data ekstrim
- Min = 5%
- Max = 31%
- Jarak antara minimum ke rata-rata dan maximum ke rata-rata harus sama
50%
3.1.2 Tingkat Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan
SMA/Sederajat
Definisi:
Angka Partisipasi Kasar SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat
adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat pendidikan SD/Sederajat,
SMP/ Sederajat, dan SMA/Sederajat dibagi dengan jumlah penduduk usia 7
(tujuh) hingga 18 (delapan belas) tahun. Apabila dilihat dari tingkat
ketuntasannya, terdapat 5 jenis ketuntasan, yaitu:
a. Paripurna : bila pencapaian APK ≥ 95%
b. Utama : bila pencapaian APK antara 90%-94%
c. Madya : bila pencapaian APK antara 85%-89%
d. Pratama : bila pencapaian APK antara 80%-84%
e. Belum tuntas: bila pencapaian APK ≤ 80%
50%
64
64 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
Cara Menghitung :
• Perhitungan menggunakan angkarata-rata tiga tahun terakhir
Treatment data ekstrim
- SD
Min = 62
Max = 140
- SMP
Min = 51
Max = 119
- SMA
Min = 14
Max = 100
- Total (bobot APK SD,SMP,SMA)
3.2 Aspek Kesehatan 25%
3.2.1 Tingkat komitmen pemerintah pada pelayanan kesehatan
Definisi:
Anggaran kesehatan adalah alokasi anggaran pada fungsi kesehatan yang
dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran
kesehatan melalui transfer ke daerah, untuk membiayai penyelenggaraan
kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran
kesehatan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran kesehatan
terhadap total anggaran belanja daerah.
Cara Menghitung:
• Data berupa rasio anggaran kesehatan terhadap APBD
• Perhitungan rata-rata rasio anggaran selama 3 tahun terakhir
Treatment data ekstrim:
- Min = 2%
- Max = 12%
50%
3.2.2 Persentase Balita Gizi Buruk
Definisi:
Persentase Balita Gizi Buruk adalah proporsi balita dalam kondisi gizi buruk
terhadap jumlah balita. Keadaan tubuh anak atau bayi dilihat dari berat badan
menurut umur.
• Data berasal dari Kementerian Kesehatan
• Sumber : Kementerian Kesehatan th 2007
50%
3.3 Aspek Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum 25%
3.3.1 Komitmen pemerintah pada penyediaan sarana air bersih dan sanitasi
40%
65
65 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
Definisi:
Persentase Penduduk Berakses Air Minum adalah proporsi jumlah penduduk
yang mendapatkan akses air minum terhadap jumlah penduduk secara
keseluruhan. Sedangkan persentase rumah tinggal bersanitasi adalah proporsi
rumah tinggal bersanitasi terhadap jumlah rumah tinggal. Sanitasi rumah
adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan
terhadap struktur fisik, di mana orang menggunakannya sebagai tempat
berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana tersebut
antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,
konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia, dan penyediaan air bersih.
Cara Menghitung:
• Data berupa rasio kepala keluarga terakses air bersih+sanitasi terhadap
jumlah kepala keluarga
• Perhitungan rata-rata rasio KK terakses selama 3 tahun terakhir
• Untuk provinsi, data diambil dari laporan DPU th 2009
3.3.2 Laju pertumbuhan sarana jalan
Definisi:
Proporsi panjang jaringan jalan per luas wilayah adalah angka perbandingan
antara panjang jaringan jalan dalam kondisi baik terhadap luas wilayah secara
menyeluruh di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Mutu jalan di suatu
daerah berpengaruh terhadap berbagai kegiatan penduduk, khususnya
kegiatan perdagangan dan upaya untuk melakukan integrasi antar wilayah
terbelakang dengan pasar yang lebih besar.
Cara Menghitung:
Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth
Rate) dari data 3 th terakhir
Treatment data ekstrim:
- Min = 0 (judgment)
- Max = 40 (1SD)
35%
3.3.3 Inisiatif Pemda dalam penanganan krisis listrik
Definisi:
Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik adalah upaya inovatif yang
dilakukan Pemerintahan Daerah untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduk
di wilayahnya.
Cara Menghitung:
• Pemberian skor:
0 = Tidak melakukan apa-apa
1 = Wacana (rapat, pendataan, dll)
2 = Membangun dengan kerjasama (dg swasta, daerah lain, negara lain,
25%
66
66 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
PLN)
3 = Kebijakan penghematan
4 = Membangun secara mandiri (pemerintah dan atau masyarakat,
bantuan melalui pemerintah)
3.4 Aspek Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan 25%
3.4.1 Ketertiban pemerintah dalam pendataan penduduk
Definisi:
Rasio penduduk ber-KTP per satuan penduduk adalah perbandingan jumlah
penduduk usia 17 tahun ke atas yang ber-KTP terhadap jumlah penduduk usia
17 tahun ke atas atau telah menikah. Setiap Penduduk berumur di atas 17
tahun atau telah/pernah menikah wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Cara Menghitung:
• Data berupa rasio jumlah penduduk yang memiliki kartu tanda penduduk
terhadap jumlah penduduk wajib KTP
• Perhitungan rata-rata rasio kepemilikan KTP selama 3 tahun terakhir
Treatment data ekstrim:
• Min = minimum data
• Max = maximum data
50%
3.4.2 Ketertiban pemerintah dalam mencatat kelahiran anak
Definisi:
Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran dalam konteks ini adalah rasio bayi
ber-akte kelahiran, yaitu perbandingan jumlah bayi lahir dalam 1 (satu) tahun
yang berakte kelahiran terhadap jumlah bayi lahir pada tahun yang sama.
Cara Menghitung:
• Data berupa rasio jumlah penduduk yang memiliki akta kelahiran terhadap
jumlah penduduk
• Perhitungan rata-rata rasio kepemilikan akta kelahiran selama 3 tahun
terakhir
50%
4. Peningkatan Daya Saing Daerah 20%
4.1 Aspek Kebijakan Daerah 30%
4.1.1 Kepastian peruntukan lahan untuk usaha
Definisi:
Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang adalah dasar hukum pengaturan tata
ruang daerah yang dikeluarkan/disahkan oleh pemerintahan daerah dalam
rangka penataan ruang wilayah (provinsi/kabupaten/kota), sehingga mampu
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pengembangan
wilayah. Perda penataan ruang merupakan landasan hukum (legal instrumen)
untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah dan tujuan-tujuan
pembangunan.
50%
67
67 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
Cara Menghitung:
• Data berupa Nama Perda yang terkait dengan aturan Tata ruang Daerah
• Point diberikan berdasarkan relevansi judul Perda
4.1.2 Komitmen pemerintah daerah pada perlindungan lingkungan hidup
Definisi:
Produk Hukum Daerah yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup
adalah keberadaan perda, peraturan/keputusan kepala daerah, renstra,
program, dan / atau kegiatan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam
rangka menumbuhkan kesadaran bersama tentang kondisi lingkungan dan
sumber daya alam yang semakin buruk. Perda perlindungan lingkungan ini
pada akhirnya akan mendesak seluruh pemerintahan daerah untuk segera
merubah paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi
ekonomi-ekologis.
Cara Menghitung:
• Data berupa Nama Perda yang terkait dengan aturan Lingkungan Hidup
Daerah
• Point diberikan berdasarkan relevansi judul Perda
50%
4.2 Aspek Kelembagaan Daerah 20%
4.2.1 Komitmen pemerintah untuk memudahkan perizinan usaha
Definisi:
Mengacu pada Angka 11 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24
Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP), dijelaskan bahwa penyelenggaraan PTSP adalah kegiatan
penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya
mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan
dalam satu tempat. Adapun sasaran penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu adalah:
a. Terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan,
pasti, dan terjangkau;
b. Meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Cara Menghitung :
• Data berupa ada tidaknya institusi pelayanan terpadu untuk ijin usaha
• Skor (0-5) dengan penilaian sesuai kewenangan yang dimiliki oleh institusi
60%
4.2.2 Upaya pemerintah daerah untuk mempromosi potensi ekonomi daerah
Definisi:
Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan dalam Situs
Web Pemda adalah informasi potensi ekonomi daerah yang dipublikasikan
melalui situs web pemda sebagai salah satu media informasi dan komunikasi
kepada masyarakat/publik. Bentuk penyajian informasi memanfaatkan
40%
68
68 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No Faktor Indikator Bobot
perkembangan teknologi informasi komunikasi (Information Comummnication
Technology), yaitu perubahan dari bentuk buku (publikasi konvensional) ke
bentuk publikasi elektronik (media baru) melalui internet. Menampilkan
informasi potensi ekonomi daerah melalui situs web Pemerintah Daerah
mempunyai sasaran agar masyarakat Indonesia dapat dengan mudah
memperoleh akses kepada informasi dan layanan Pemerintah Daerah, dan ikut
berpartisipasi di dalam pembangunan daerah.
Cara Menghitung :
• Data berupa ada tidaknya website
4.3 Aspek Fasilitasi Investasi 25%
4.3.1 Komitmen pemerintah pada pengembangan usaha untuk UMKM
Definisi:
Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM adalah anggaran
APBD yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
peningkatan kapasitas UMKM, terutama dalam hal: a) produksi; b) pemasaran;
c) akses finansial; dan d) administrasi keuangan usaha. Perkembangan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar
dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh
keberadaan UMKM dan koperasi yang telah mencerminkan wujud nyata
kehidupan sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran
UMKM yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional,
jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Alokasi
anggaran dalam APBD yang peruntukannya secara spesifik untuk program
pengembangan usaha melalui UMKM bertujuan untuk: 1) peningkatan kualitas
SDM; 2) peningkatan kualitas produk/jasa; 3) promosi produk/jasa; dan 4)
pengelolaan keuangan/akses pembiayaan. Program dapat berupa training,
workshop, pameran, dan lain-lain.
Cara Menghitung:
• Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth
Rate) dari data 3 th terakhir
• Data berupa anggaran UMKM 3 tahun terakhir
Treatment data ekstrim:
- Min = - 79
- Max = 217
Jarak yang sama
40%
4.3.2 Kerjasama pemerintah daerah dengan pelaku usaha dalam peningkatan
investasi
Definisi:
Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan
Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara
Konsisten adalah forum yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
secara reguler untuk meningkatkan kualitas hubungan pemerintah daerah
dengan pelaku usaha (dapat mencakup pengembangan potensi daerah,
60%
69
69 Lampiran
No Faktor Indikator Bobot
pemecahan masalah pelaku usaha, dll.). Forum komunikasi tersebut diadakan
tidak dengan suatu agenda khusus, dan tidak untuk menanggapi suatu
kebijakan atau masalah tertentu, namun secara rutin (dapat bulanan, dua
bulan sekali, triwulanan, dsb.) diadakan untuk tujuan tersebut di atas. Forum
komunikasi dapat berupa coffee morning, forum bulanan, dll.
Cara Menghitung:
• Data Berupa ada tidaknya “forum komunikasi reguler” yang diberi point 4 jika
ada dan 0 jika tidak ada
• Penentuan nilai berdasarkan relevansi/dampak forum terhadap peningkatan
investasi dan dilakukan secara reguler atau tidak. Daerah boleh mengisi lebih
dari satu forum
4.4 Aspek 4: Realisasi Investasi 25%
4.4.1 Nilai Realisasi Investasi
Definisi:
Nilai Realisasi Investasi adalah nilai moneter (rupiah dan/atau USD) yang
ditanamkan dalam suatu proyek investasi di suatu daerah, telah disetujui, dan
yang sudah direalisasi, baik proyek baru maupun perluasan skala usaha.
Pemda dalam meraih investasi di daerah harus memperhatikan peningkatan
nilai investasi dan sekaligus pemberdayaan investasi kalangan dunia usaha
lokal.
Cara Menghitung:
• Laju dihitung dengan menggunakan rumus CAGR (Compound Annual Growth
Rate) dari data 3 th terakhir
Treatment data ekstrim:
- Min = - 95, 42
- Max = 437
100%
70
70 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Lampiran 2: Penggunaan Data Kuesioner
Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap
Kuesioner F01
1. Data Umum :
- Luas Wilayah
- Populasi
- Jumlah Kecamatan saat pembentukan daerah
- Jumlah Kecamatan saat ini
- Struktur Ekonomi Daerah 9 Sektor
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
3. Pendapatan Asli Daerah
4. Jumlah PNS
5. Jumlah SKPD
6. Jumlah Kecamatan
Kuesioner F02
7. Jumlah Penduduk dan PDRB atas dasar harga konstan
8. Angka Kemiskinan
9. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada
Kuesioner F01
1. Data Umum :
- Luas Wilayah
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kuesioner F02
3. Jumlah Penduduk dan PDRB atas dasar harga konstan
4. Angka Kemiskinan
5. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
6. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
7. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan
8. Nama Kelembagaan (Nomenklatur)
1. PDRB dari buku Daerah Dalam Angka
2. Jumlah Penduduk dari buku Daerah Dalam Angka
3. Angka Kemiskinan BPS
4. Data Balita Gizi Buruk Kementerian Kesehatan tahun 2007
5. Sanitasi Provinsi dari sumber PU tahun 2008-2009
1. PDRB dari buku Daerah Dalam Angka
2. Jumlah Penduduk dari buku Daerah Dalam Angka
3. Angka Kemiskinan BPS
4. Produk Hukum/Kebijakan terkait pemberdayaan penduduk miskin (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
5. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
6. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan
7. Nama Kelembagaan (Nomenklatur) yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan
8. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk
9. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk
10. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi
71
71 Lampiran
Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap
tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
10. Produk Hukum/Kebijakan terkait kesetaraan gender dan/atau emberdayaan perempuan (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
11. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan
12. Nama Kelembagaan (Nomenklatur) yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan
13. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk
14. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk
15. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
16. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan
9. Waktu Penetapan APBD sejak daerah dibentuk
10. APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah dibentuk
11. Produk Hukum/Kebijakan untuk menjamin transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
12. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
13. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya
14. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan
15. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah dibentuk (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
11. Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa/Procurement (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
12. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya
13. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan
14. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
15. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
16. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)
17. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai
72
72 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap
17. Jenis sarana yang digunakan untuk melakukan penanganan pengaduan masyarakat dan dasar pelaksanaannya
18. Ada tidaknya ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan
19. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (WebsiteResmi Pemda, Surat Kabar, Pengumuman di SKPD terkait)
20. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
21. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)
22. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)
23. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk
24. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun
25. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak
16. Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
17. Ada tidaknya konsultasi publik dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 (disertai Lampiran)
18. Ada tidaknya Perda hasil inisiatif DPRD sejak daerah dibentuk sampai akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)
19. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk
20. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun
21. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk
22. Gizi Balita Buruk
23. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk
24. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk
25. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya
akhir 2009 (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda)
18. Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk
19. Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun
20. Belanja Kesehatan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak daerah dibentuk
21. Data Balita Gizi Buruk Kementerian Kesehatan tahun 2007
22. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk (Kabupaten dan Kota)
23. Sanitasi Provinsi dari sumber PU tahun 2008-2009
24. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk
25. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya
26. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)
27. Data kepemilikan akta kelahiran
73
73 Lampiran
Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap
daerah dibentuk
26. Gizi Balita Buruk
27. Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak daerah dibentuk
28. Data luas wilayah dan panjang jalan yang menjadi kewenangan Pemda sejak daerah dibentuk
29. Ada tidaknya inisiatif Pemda untuk menangani krisis listrik dan bentuk inisiatif penanganannya
30. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)
31. Data kepemilikan akta kelahiran
32. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)
33. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
34. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang,
26. Data kepemilikan KTP (Jumlah warga ber-KTP/Jumlah penduduk wajib KTP)
27. Data kepemilikan akta kelahiran
28. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)
29. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
30. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
31. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)
32. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda
33. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait
28. Ada tidaknya Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (disertai lampiran Perda atau RaPerda)
29. Ada tidaknya Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan” (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
30. Hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah (Ada tidaknya kebijakan/Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
31. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)
32. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda
33. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d.
74
74 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Data Kuesioner Lengkap Data yang Dipakai dari Kuesioner Data Tambahan & Sumber Data Set Lengkap
Nomor, dan Tanggal)
35. Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha (Ada tidaknya/apakah melayani semua perizinan dasar atau perizinan lain juga/apakah memiliki kewenangan dalam menandatangani perizinan/bentuk kelembagaannya)
36. ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda
37. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Usaha.
38. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)
39. Jumlah dan Nilai investasi yang terealisasi
dengan peningkatan kinerja UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Usaha.
34. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)
35. Nilai investasi yang terealisasi
Administrasi Keuangan Usaha.
34. Pelaksanaan Forum Komunikasi Reguler (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha (Nama Forum/dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular)
35. Nilai investasi yang terealisasi
75
75 Lampiran
Lampiran 3: Penghitungan Data Set
No. Indikator Cara Penghitungan Data Set
Data Kuantitatif
1 PDRB per Kapita CAGR 3 tahun
2 Angka Kemiskinan Average 3 tahun
3 SILPA CAGR 3 tahun
4 DPRD+KDH Average 3 tahun
5 Anggaran Pendidikan Average 3 tahun
6 APK SD Average 3 tahun
APK SMP Average 3 tahun
APK SMA Average 3 tahun
7 Anggaran Kesehatan Average 3 tahun
8 Balita Gizi Buruk Average 3 tahun
9 Air Bersih + Sanitasi Average 3 tahun
10 Panjang Jalan CAGR 3 tahun
11 KTP Average 3 tahun
12 Akte Average 3 tahun
13 UMKM CAGR 3 tahun
14 Investasi CAGR 3 tahun
Data Kualitatif
1 Pemberdayaan Penduduk Miskin Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :
a. Maksimum skor untuk perda = 5
b. Maksimum skor untuk PKD = 4
c. Maskimum skor untuk Kep= 3
d. Maksimum skor untuk renstra = 2
2 Hk.Kesetaraan Gender Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :
a. Maksimum skor untuk perda = 5
b. Maksimum skor untuk PKD = 4
c. Maksimum skor untuk Kep= 3
d. Maksimum skor untuk renstra = 2
3 Lembaga Kesetaraan Gender Pemberian skor terhadap kelembagaan yang dimiliki
dengan ketentuan penilaian sbb :
a. Badan = 10
b. Dinas = 10
c. Kantor = 8
d. Bagian = 6
e. Seksi = 4
76
76 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
No. Indikator Cara Penghitungan Data Set
f. Unit = 1
4 Ketepatan APBD Rata-rata poin. Penetapan skor serial :
a. < 31 Desember = point 5
b. < 15 Januari = point 4 (Januari)
c. < 21 Januari = point 3 (Februari)
d. < 15 Feburari = point 2 (Maret)
e. < 31 Feburari = point 1 (April)
f. > Maret = point 0 (Mei - ……….)
5 Hk. Transparansi Pemberian skor terhadap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah daerah dengan ketentuan penilaian sbb :
a. Maksimum skor untuk perda = 5
b. Maksimum skor untuk PKD = 4
c. Maskimum skor untuk Kep= 3
d. Maksimum skor untuk renstra = 2
6 Publikasi APBD& Pengadaan Skor dihitung secara rata-rata dari komposit skor
selama 3 tahun terakhir. skor :
a. Websiter Resmi Pemda = 3
b. Surat Kabar = 2
c. Pengumuman di SKPD Terkait = 1
7 Pelembagaan Penanganan Pengaduan Penghitungan melalui komposit skor. skor :
a. Unit pengaduan = 10
b. Website = 5
c. Surat kabar = 5
d. Talk show = 5
e. SMS = 3
f. Kotak Pengaduan = 1
g. Coffee morning = 2
8 Pakta Integritas Pemberian skor :
a. Pakta Integritas = 5
b. Kontrak Kinerja = 10
9 Publikasi Pertanggungjawaban skor dihitung secara rata-rata dari komposit skor
selama 3 tahun terakhir. skor :
a. Website Resmi Pemda = 3
b. Surat Kabar = 2
c. Pengumuman di SKPD Terkait = 1
10 Konsultasi Publik Jika ada perda, diberi point 5, jika tidak ada diberi
point 0
11 Jumlah Perda Inisiatif Jumlah Perda sejak daerah berdiri. Setiap Perda di
beri point 1
77
77 Lampiran
No. Indikator Cara Penghitungan Data Set
12 Krisis Listrik Pemberian Poin :
a. Poin 0 = Tidak melakukan apa-apa
b. Poin 1 = Wacana (rapat, pendataan, dll)
c. Poin 2 = Membangun dengan kerjasama (dg
swasta, daerah lain, negara lain, PLN)
d. Poin 3 = Kebijakan penghematan
e. Poin 4 = Membangun secara mandiri (pemerintah
dan atau masyarakat, bantuan melalui pemerintah)
13 Perda Tata Ruang Poin diberikan berdasarkan relevansi judul perda
14 Prod Hukum Lingkungan Hidup Poin diberikan berdasarkan relevansi judul perda
15 Tipologi PelayananTerpadu Skor (0-5) dengan penilaian sesuai kewenangan yang
dimiliki oleh institusi
16 Web skor 1 = ada website, skor 0 = tidak ada
17 Forkom Reguler Penentuan nilai berdasarkan relevansi/dampak forum
terhadap peningkatan investasi dan dilakukan secara
reguler atau tidak. Daerah boleh mengisi lebih dari
satu forum
78
78 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Lampiran 4: Kinerja 198 DOHP Kabupaten/Kota
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
1 Aceh Singkil NAD 1 1 51,05 109 29,26 130 34,08 108 28,16 58 36,78 107
2 Aceh Barat Daya NAD 1 1 44,29 137 15,52 176 36,79 92 31,60 43 32,68 130
3 Bireun NAD 1 1 51,51 105 48,08 49 46,00 42 15,76 111 42,12 72
4 Simeuleu NAD 3 1 50,57 112 36,47 95 40,61 65 7,20 156 35,88 114
5 Aceh Jaya NAD 1 1 35,70 164 19,65 165 44,09 49 10,80 136 28,81 146
6 Nagan Raya NAD 1 1 47,93 128 24,18 151 19,55 163 11,54 132 27,62 152
7 Gayo Lues NAD 1 1 44,52 135 31,54 119 33,59 110 7,20 157 31,08 141
8 Aceh Tamiang NAD 1 1 57,54 78 24,30 150 51,59 31 39,04 19 44,04 59
9 Bener Meriah NAD 1 1 40,04 149 48,11 48 47,89 38 22,20 84 40,45 81
10 Pidie Jaya NAD 2 0 37,98 158 63,84 11 42,17 56 43,00 11 46,50 46
11 Kota Lhokseumawe NAD 3 1 52,23 102 33,76 109 54,50 21 37,45 28 45,22 55
12 Kota Langsa NAD 3 1 67,97 29 23,29 154 61,51 9 26,29 67 46,85 44
13 Kota Subulussalam NAD 2 0 43,50 139 38,58 82 30,40 121 0,00 172 30,30 144
14 Padang Lawas Utara Sumut 2 0 20,28 179 23,30 153 17,86 170 12,00 129 18,77 178
15 Padang Lawas Sumut 2 0 70,20 13 47,60 52 16,98 170 13,11 126 39,83 89
16 Nias Selatan Sumut 1 1 39,32 153 30,07 126 41,88 57 13,20 124 32,42 132
17 Nias Utara Sumut 2 0 10,00 189 6,60 190 13,11 182 0,00 173 7,93 195
18 Nias Barat Sumut 2 0 19,60 181 25,84 146 9,23 190 9,00 144 16,45 181
19 Pak Pak Bharat Sumut 2 1 64,48 43 32,73 115 38,23 85 13,87 123 39,86 88
20 Humbang Hasundutan Sumut 2 1 61,41 61 32,54 116 41,43 59 28,16 57 42,55 69
21 Serdang Bedagai Sumut 2 1 76,80 1 57,67 25 50,06 35 26,91 64 55,35 14
22 Samosir Sumut 2 1 64,59 42 55,75 27 62,23 7 48,22 5 58,52 5
23 Batu Bara Sumut 1 0 61,35 62 19,86 163 35,43 101 40,12 17 40,25 84
24 Labuhanbatu Selatan Sumut 2 0 59,18 70 30,07 127 35,60 100 7,20 158 35,61 117
25 Labuhanbatu Utara Sumut 2 0 55,17 87 34,40 105 34,15 106 18,20 101 37,33 103
26 Kota Padangsidimpuan Sumut 3 1 56,95 81 38,18 86 36,00 96 23,82 83 40,39 82
79
79 Lampiran
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
27 Kota Gunungsitoli Sumut 2 0 28,40 174 12,58 184 0,91 198 0,00 174 11,89 185
28 Kepulauan Mentawai Sumbar 1 1 45,57 132 47,38 54 26,75 136 4,80 168 33,16 129
29 Dharmas Raya Sumbar 2 1 68,62 25 77,12 3 38,56 83 49,59 4 59,43 3
30 Solok Selatan Sumbar 1 1 62,68 53 41,43 70 40,18 72 31,82 41 45,57 51
31 Pasaman Barat Sumbar 1 1 69,76 17 33,89 108 44,45 48 27,56 61 46,02 49
32 Kota Pariaman Sumbar 1 1 57,75 76 21,91 157 34,22 105 15,00 116 34,36 124
33 Sarolangun Jambi 1 1 62,63 55 25,97 145 35,07 102 31,68 42 40,38 83
34 Tebo Jambi 1 1 55,30 86 31,24 121 43,16 51 16,23 109 38,43 99
35 Muaro Jambi Jambi 1 1 71,74 8 64,86 10 43,15 52 29,53 51 54,43 17
36 Tanjung Jabung Timur Jambi 1 1 65,05 40 61,02 19 39,45 75 36,42 31 51,91 27
37 Kota Sungai Penuh Jambi 2 0 47,80 130 30,81 122 40,72 64 14,00 121 35,02 119
38 Muko-Muko Bengkulu 1 1 61,27 63 19,25 168 39,44 76 7,13 165 34,48 122
39 Bengkulu Tengah Bengkulu 2 0 36,47 162 16,59 173 28,69 129 9,10 143 24,08 165
40 Kaur Bengkulu 1 1 49,74 117 26,49 143 54,59 20 22,20 85 39,63 92
41 Seluma Bengkulu 1 1 40,74 145 38,11 87 46,04 41 18,53 100 36,96 105
42 Lebong Bengkulu 1 1 38,92 154 47,61 51 11,16 186 7,06 166 27,78 151
43 Kepahiang Bengkulu 1 1 66,99 34 63,81 12 40,96 61 16,20 110 49,53 35
44 Rokan Hilir Riau 1 1 53,71 94 37,70 89 16,90 174 22,06 87 34,17 125
45 Siak Riau 1 1 69,63 18 42,33 66 31,85 117 21,66 88 43,76 60
46 Kep. Meranti Riau 2 0 53,37 97 7,42 189 9,42 189 0,00 175 20,22 175
47 Pelalawan Riau 1 1 59,01 71 37,12 91 42,71 54 36,47 30 44,96 57
48 Rokan Hulu Riau 1 1 60,47 65 33,10 114 55,13 19 26,22 69 45,44 53
49 Kuantan Singingi Riau 1 1 67,97 28 53,87 33 50,96 32 29,94 49 52,59 23
50 Kota Dumai Riau 3 1 70,21 12 35,35 100 41,22 60 34,99 33 47,20 42
51 Karimun Kep. Riau 1 1 57,85 75 65,94 9 53,42 26 24,76 79 52,15 26
52 Natuna Kep. Riau 1 1 55,67 85 33,51 111 25,65 140 0,00 176 31,49 138
53 Lingga Kep. Riau 1 1 54,07 91 40,57 75 40,61 66 21,49 89 40,81 78
80
80 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
54 Kepulauan Anambas Kep. Riau 2 0 39,66 152 33,40 113 25,33 142 8,00 150 28,18 148
55 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 3 1 68,94 23 54,22 31 54,11 23 37,97 24 55,36 13
56 Kota Batam Kep. Riau 1 1 70,10 14 72,64 4 43,26 50 28,85 52 55,77 12
57 Bangka Selatan Babel 2 1 65,23 38 68,55 6 42,90 53 38,83 22 55,20 15
58 Bangka Tengah Babel 2 1 65,36 37 77,87 2 57,60 14 28,54 54 59,18 4
59 Bangka Barat Babel 2 1 71,80 7 38,52 84 63,10 6 33,55 37 53,66 18
60 Belitung Timur Babel 2 1 51,13 107 42,71 64 48,80 37 58,34 1 49,88 34
61 Empat Lawang Sumsel 1 0 47,95 127 39,58 80 21,00 156 9,00 145 31,33 139
62 Banyuasin Sumsel 1 1 56,31 83 54,68 29 27,69 132 28,28 56 43,14 65
63 OKU Selatan Sumsel 2 1 50,60 111 34,10 107 36,05 94 7,20 159 34,16 127
64 OKU Timur Sumsel 2 1 64,39 44 41,16 73 45,46 45 22,16 86 45,40 54
65 Ogan Ilir Sumsel 2 1 62,78 52 44,35 59 45,79 44 25,34 77 46,44 47
66 Kota Prabumilih Sumsel 3 1 53,80 93 27,37 136 54,27 22 8,75 146 38,30 101
67 Kota Pagar Alam Sumsel 3 1 49,74 116 49,99 44 45,86 43 20,51 93 42,99 66
68 Kota Lubuk Linggau Sumsel 3 1 68,24 27 57,30 26 40,46 68 42,89 12 53,49 20
69 Way Kanan Lampung 1 1 63,03 51 52,71 39 29,19 126 18,97 97 43,18 64
70 Lampung Timur Lampung 1 1 48,80 122 45,96 56 52,87 28 20,06 94 43,36 63
71 Pesawaran Lampung 1 0 53,39 96 43,31 62 17,30 172 28,72 53 36,91 106
72 Pringsewu Lampung 2 0 52,23 101 13,74 180 11,07 187 8,40 148 23,55 167
73 Mesuji Lampung 2 0 19,45 184 21,89 158 19,89 161 0,00 177 16,28 182
74 Tulang Bawang Barat Lampung 2 0 48,81 121 12,27 186 18,94 166 0,00 178 22,44 169
75 Kota Metro Lampung 1 1 52,68 100 53,03 37 55,97 17 18,14 102 46,68 45
76 Kota Cilegon Banten 3 1 73,83 4 61,20 18 56,14 16 25,70 74 56,62 9
77 Kota Serang Banten 2 0 60,67 64 27,96 135 39,57 74 25,00 78 40,08 85
78 Kota Tangerang Selatan Banten 2 0 30,78 171 12,47 185 7,72 193 20,00 95 18,28 179
79 Bandung Barat Jabar 2 0 65,06 39 23,19 155 40,51 67 43,17 10 44,08 58
80 Kota Depok Jabar 3 1 74,31 3 31,33 120 47,27 39 32,89 38 48,52 37
81
81 Lampiran
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
81 Kota Cimahi Jabar 2 1 69,06 22 63,37 14 64,30 4 38,95 21 60,43 2
82 Kota Tasikmalaya Jabar 3 1 69,12 21 59,78 21 65,06 2 27,28 63 57,40 7
83 Kota Banjar Jabar 3 1 74,50 2 41,98 69 64,02 5 37,54 13 56,36 11
84 Kota Batu Jatim 3 1 48,24 125 3,20 194 40,90 62 7,20 160 26,94 155
85 Sumbawa Barat NTB 2 1 62,08 60 47,94 50 61,72 8 36,63 29 53,36 21
86 Lombok Utara NTB 2 0 36,20 163 17,26 172 33,94 109 8,00 151 25,26 159
87 Kota Bima NTB 3 1 50,20 114 26,19 144 19,42 165 7,20 161 27,90 150
88 Lembata NTT 1 1 40,73 99 36,32 138 57,93 107 25,68 162 40,92 76
89 Rote Ndao NTT 1 1 59,35 69 63,24 15 40,72 63 46,22 7 53,04 22
90 Sabu Raijua NTT 2 0 10,00 190 13,60 181 13,63 181 0,00 179 9,81 191
91 Manggarai Barat NTT 1 1 62,62 56 44,78 58 32,76 115 27,40 62 43,65 61
92 Manggarai Timur NTT 2 0 40,50 148 37,82 88 18,49 167 41,00 15 34,43 123
93 Nagekeo NTT 1 0 51,86 104 40,33 76 44,84 47 4,33 169 37,72 102
94 Sumba Tengah NTT 2 0 34,55 167 22,72 156 29,12 128 24,00 81 28,12 149
95 Sumba Barat Daya NTT 2 0 36,90 161 45,85 57 24,62 146 8,16 149 30,32 143
96 Bengkayang Kalbar 1 1 51,01 110 35,03 103 32,06 116 38,16 23 39,71 90
97 Landak Kalbar 1 1 67,17 32 44,10 60 34,63 103 30,18 47 45,87 50
98 Kubu Raya Kalbar 2 0 34,64 166 39,96 79 16,72 175 44,00 8 33,36 128
99 Melawi Kalbar 1 1 43,26 140 34,18 106 22,92 150 21,20 91 31,49 137
100 Sekadau Kalbar 1 1 66,52 35 34,89 104 40,18 71 10,87 135 40,90 77
101 Kayong Utara Kalbar 2 0 57,58 77 52,92 38 35,98 97 17,00 105 42,90 67
102 Kota Singkawang Kalbar 3 1 71,39 10 61,76 17 64,31 3 25,94 72 58,12 6
103 Tanah Bumbu Kalsel 1 1 59,43 68 38,52 85 38,99 77 28,35 55 42,88 68
104 Balangan Kalsel 1 1 64,38 45 33,63 110 25,51 141 11,03 134 36,31 112
105 Kota Banjarbaru Kalsel 3 1 72,65 5 83,08 1 53,92 24 42,82 13 64,61 1
106 Katingan Kalteng 1 1 67,31 31 51,89 40 41,65 58 43,52 9 52,28 24
107 Seruyan Kalteng 1 1 70,23 11 54,32 30 26,91 134 34,81 34 48,34 38
82
82 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
108 Sukamara Kalteng 1 1 67,67 30 59,76 22 28,40 130 26,19 70 47,58 40
109 Lamandau Kalteng 1 1 62,22 59 50,62 42 37,00 91 57,87 2 52,15 25
110 Gunung Mas Kalteng 1 1 63,85 47 55,68 27 29,58 124 37,96 25 48,06 39
111 Pulang Pisau Kalteng 1 1 48,68 123 58,26 24 6,41 194 30,02 48 36,77 108
112 Murung Raya Kalteng 1 1 63,29 49 41,17 72 25,69 139 0,00 180 35,70 115
113 Barito Timur Kalteng 1 1 68,88 24 41,35 71 38,98 79 26,60 66 46,07 48
114 Nunukan Kaltim 1 1 53,05 98 38,57 83 27,69 133 30,99 44 38,68 98
115 Malinau Kaltim 1 1 62,47 57 66,77 7 39,62 73 46,69 6 54,68 16
116 Tanah Tidung Kaltim 2 0 52,69 99 27,05 138 34,14 107 7,20 162 32,54 131
117 Kutai Barat Kaltim 1 1 47,81 129 13,76 179 9,42 188 20,00 96 24,14 163
118 Kutai Timur Kaltim 1 1 57,09 80 53,76 34 38,30 84 11,42 133 42,43 70
119 Penajam Paser Utara Kaltim 1 1 38,82 155 21,24 160 22,39 152 12,61 128 25,08 160
120 Kota Bontang Kaltim 1 1 68,54 26 47,55 53 50,42 33 32,81 39 51,62 28
121 Boalemo Gorontalo 1 1 59,44 67 70,27 5 56,28 15 34,74 35 56,42 10
122 Bone Bolango Gorontalo 2 1 56,68 82 33,47 112 16,43 177 10,22 139 31,52 136
123 Gorontalo Utara Gorontalo 2 0 27,38 175 28,30 132 22,24 153 0,00 181 20,85 174
124 Pohuwato Gorontalo 1 1 41,32 144 48,94 46 38,99 78 10,43 138 36,46 110
125 Luwu Utara Sulsel 1 1 57,24 79 53,29 35 61,04 10 25,50 76 50,86 30
126 Luwu Timur Sulsel 2 1 69,46 19 36,02 97 53,13 27 30,77 45 49,28 36
127 Toraja Utara Sulsel 2 0 50,37 113 15,54 175 20,40 157 0,00 182 24,09 164
128 Kota Palopo Sulsel 3 1 69,21 20 53,20 36 58,69 12 42,33 14 57,20 8
129 Bombana Sultra 2 1 55,06 89 18,64 170 29,36 125 0,50 170 28,62 147
130 Wakatobi Sultra 2 1 63,86 46 40,97 74 52,82 29 39,04 20 50,41 32
131 Konawe Selatan Sultra 1 1 62,44 58 35,16 102 33,40 112 32,61 40 42,39 71
132 Kolaka Utara Sultra 2 1 58,42 73 26,81 141 48,80 36 13,97 122 39,22 93
133 Konawe Utara Sultra 2 0 62,65 54 30,26 123 26,89 135 16,44 108 36,37 111
134 Buton Utara Sultra 2 0 49,80 115 42,49 65 28,02 131 15,25 114 35,62 116
83
83 Lampiran
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
135 Kota Bau-Bau Sultra 3 1 24,19 176 19,27 167 38,65 82 15,20 115 24,78 161
136 Buol Sulteng 1 1 55,81 84 42,75 63 37,16 90 34,27 36 43,57 62
137 Morowali Sulteng 1 1 43,11 142 59,71 23 26,73 137 25,76 73 39,70 91
138 Tojo Una-Una Sulteng 2 1 40,70 147 30,17 125 23,69 148 0,18 171 25,71 158
139 Banggai Kepulauan Sulteng 1 1 49,07 120 25,10 148 42,48 55 12,78 127 34,17 126
140 Parigi Moutong Sulteng 1 1 49,50 118 63,69 13 38,00 86 26,22 68 45,51 52
141 Sigi Sulteng 2 0 22,01 178 2,20 196 12,55 183 0,00 183 10,29 190
142 Kepulauan Talaud Sulut 1 1 39,99 151 27,17 137 22,53 151 15,36 113 27,50 153
143 Kepulauan Sitaro Sulut 2 0 67,02 33 37,48 90 37,94 87 0,00 184 38,96 95
144 Minahasa Selatan Sulut 2 1 71,57 9 48,80 47 60,11 11 7,20 163 50,14 33
145 Minahasa Utara Sulut 2 1 69,80 16 20,52 161 50,26 34 7,06 167 40,05 86
146 Bolmong Utara Sulut 2 0 38,08 157 19,02 169 19,75 162 18,00 103 24,72 162
147 Bolmong Timur Sulut 2 0 19,82 180 25,23 147 14,77 180 15,00 117 18,95 177
148 Bolmong Selatan Sulut 2 0 19,60 182 29,96 128 21,91 154 15,00 118 21,85 171
149 Minahasa Tenggara Sulut 2 0 59,84 66 61,95 16 36,04 95 39,90 18 50,43 31
150 Kota Tomohon Sulut 1 1 72,19 6 35,85 99 72,91 1 23,97 82 53,64 19
151 Kota Mobagu Sulut 1 0 70,04 15 35,90 98 19,97 160 27,97 59 40,57 79
152 Mamasa Sulbar 1 1 44,18 138 44,07 61 51,90 30 9,32 142 39,11 94
153 Mamuju Utara Sulbar 2 1 55,13 88 37,08 92 36,35 93 35,10 32 41,91 73
154 Kepulauan Aru Maluku 2 1 36,95 160 14,43 177 25,07 144 0,00 185 20,96 173
155 Maluku Tenggara Barat Maluku 1 1 32,63 169 24,00 152 9,05 191 18,75 99 21,80 172
156 Buru Maluku 1 1 44,65 134 49,71 45 33,40 111 54,75 3 45,12 56
157 Seram Bagian Barat Maluku 2 1 54,45 90 40,22 77 37,63 88 14,91 120 38,78 97
158 Seram Bagian Timur Maluku 2 1 58,19 74 19,28 166 26,38 138 9,86 140 30,84 142
159 Maluku Barat Daya Maluku 2 0 33,60 168 18,37 171 20,34 159 0,00 186 19,76 176
160 Buru Selatan Maluku 2 0 6,00 195 5,60 192 1,80 197 0,00 187 3,65 196
161 Kota Tual Maluku 2 0 28,43 173 28,14 134 25,16 143 7,20 164 23,29 168
84
84 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
162 Halmahera Timur Malut 2 1 63,40 48 25,02 149 30,06 123 8,68 147 34,52 121
163 Halmahera Utara Malut 2 1 49,26 119 28,30 133 35,62 99 7,79 155 32,32 133
164 Halmahera Selatan Malut 2 1 65,00 41 50,79 41 40,38 70 24,44 80 47,18 43
165 Kepulauan Sula Malut 2 1 63,08 50 31,93 117 31,09 118 11,84 131 37,05 104
166 Morotai Malut 2 0 38,63 156 6,60 191 17,39 171 0,00 188 17,59 180
167 Kota Ternate Malut 2 1 52,04 103 47,27 55 32,89 114 21,45 90 39,94 87
168 Kota Tidore Kepulauan Malut 2 1 66,35 36 54,03 32 53,74 25 21,11 92 51,07 29
169 Sorong Selatan Papua Barat 1 1 44,71 133 38,63 81 34,62 104 18,00 104 35,33 118
170 Kepulauan Raja Ampat Papua Barat 1 1 58,77 72 36,50 94 30,52 119 30,63 46 40,51 80
171 Tambrauw Papua Barat 2 0 10,00 191 4,80 193 15,32 179 0,00 189 8,03 194
172 Maybrat Papua Barat 2 0 10,00 192 2,37 195 19,45 164 0,00 190 8,46 193
173 Teluk Bintuni Papua Barat 1 1 29,80 172 31,82 118 38,81 80 26,00 71 31,80 135
174 Teluk Wondama Papua Barat 1 1 30,99 170 29,07 131 30,41 120 15,51 112 27,27 154
175 Kaimana Papua Barat 1 1 53,52 95 35,29 101 33,36 113 27,88 60 38,79 96
176 Kota Sorong Papua Barat 1 1 51,24 106 66,05 8 40,41 69 26,71 65 47,33 41
177 Paniai Papua 3 1 0,00 196 0,00 197 4,73 196 0,00 191 1,18 198
178 Dogiyai Papua 2 0 10,83 188 21,84 159 17,97 169 0,00 192 13,20 184
179 Mimika Papua 3 1 48,10 126 26,86 140 30,23 122 40,14 16 36,73 109
180 Puncak Jaya Papua 3 1 0,00 197 0,00 198 7,92 192 0,00 193 1,98 197
181 Pegunungan Bintang Papua 1 1 46,71 131 60,73 20 23,09 149 16,78 106 38,32 100
182 Yahukimo Papua 1 1 53,96 92 20,30 162 35,94 98 29,57 50 36,16 113
183 Tolikara Papua 1 1 43,12 141 13,80 178 38,74 81 16,56 107 29,38 145
184 Memberamo Tengah Papua 2 0 10,00 193 9,80 188 24,80 145 0,00 194 11,65 186
185 Yalimo Papua 2 0 19,60 183 42,14 67 21,79 155 0,00 195 21,86 170
186 Lanny Jaya Papua 2 0 14,00 186 19,79 164 18,04 168 8,00 152 15,26 183
187 Nduga Papua 2 0 10,00 194 15,67 174 16,02 178 0,00 196 10,92 187
188 Sarmi Papua 1 1 48,41 124 42,02 68 55,66 18 10,59 137 41,06 75
85
85 Lampiran
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Total
No Daerah Provinsi Proses* Usia^ Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat Skor Peringkat
189 Keerom Papua 1 1 51,10 108 30,23 124 45,00 46 37,88 26 41,71 74
190 Waropen Papua 1 1 37,79 159 26,92 139 24,59 147 9,78 141 26,17 157
191 Boven Digoel Papua 1 1 44,32 136 26,73 142 11,59 184 18,77 98 26,63 156
192 Mappi Papua 1 1 40,01 150 29,74 129 47,22 40 0,00 197 31,24 140
193 Asmat Papua 1 1 43,04 143 40,10 78 37,57 89 11,95 130 34,72 120
194 Supiori Papua 1 1 34,72 165 50,09 43 29,13 127 8,00 153 31,82 134
195 Memberamo Raya Papua 2 0 23,47 177 36,88 93 20,37 158 13,15 125 23,98 166
196 Puncak Papua 2 0 11,75 187 11,66 187 16,58 176 0,00 198 10,59 189
197 Intan Jaya Papua 2 0 14,80 185 12,60 183 5,63 195 8,00 154 10,60 188
198 Deiyai Papua 2 0 0,00 198 13,60 182 11,19 185 15,00 119 9,20 192
Keterangan:
Faktor 1 = Kesejahteraan Masyarakat; Faktor 2 = Tata Pemerintahan yang Baik; Faktor 3 = Peningkatan Daya Saing Daerah; Faktor 4 = Ketersediaan Pelayanan Publik.
* Proses pembentukan: 1 = Inisiatif pemerintah pusat; 2 = Inisiatif DPR; 3 = Transformasi menjadi daerah otonom
^ Usia: 1 = > 3 tahun; 0 = ≤ 3 tahun
86 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Lampiran 5: Diagram Jaring Laba-laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi
NAD
Kab.Aceh Singkil Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Jaya
Kab. Pidie Jaya
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
100
F4
100
F4
86
Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi
Kab. Aceh Barat Daya Kab. Bireun Kab. Simeleu
Kab. Nagan Jaya Kab. Gayo Lues
Kab. Pidie Jaya
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
laba Setiap Daerah Otonomi Hasil Pemekaran per Provinsi
Kab. Simeleu
0255075
100F1
F2
F3
Sumut
Sumbar
Kab. Kepulauan Mentawai Kab. Dharmas Raya
Kota Pariaman
0255075
100F1
F2
F3
F4
100
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
87
Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
87 Lampiran
Kab. Pasaman Barat
0255075
100F1
F2
F3
88 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Jambi
Bengkulu
Riau
88
Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Kab. Bangka Selatan
Kab. Belitung Timur
100
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
89
Kab. Bangka Selatan
Kab.
0255075
100F1
F2
F3
100.00
F4
89 Lampiran
Kab.Bangka Barat
0.0025.0050.0075.00
100.00F1
F2
F3
90 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Sumatera Selatan
Lampung
Banten
90
Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Jawa Barat
Jawa Timur
NTB
91
91 Lampiran
92 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
92
Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Kab. Balangan Kota Banjarbaru
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4
Kalimantan Tengah
Kab. Pulang Pisau
Kalimantan Timur
Kab. Nunukan Kab. Malinao
Kab. Kutai Timur Kab. Penajam Paser Utara
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
100
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
100
F4
93
Kab. Pulang Pisau
Kab. Malinao Kab. Tanah Tidung Kab. Kutai barat
Kab. Penajam Paser Utara Kota Bontang
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4
93 Lampiran
Kab. Kutai barat
0255075
100F1
F2
F3
94
94 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Gorontalo
Prov. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Gorontalo Utara
Kab. Pohuwatu
Sulawesi Selatan
Kab. Luwu Utara Kab. Luwu Timur Kab. Toraja Utara Kota Palopo
Sulawesi Tenggara
Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Konawe Selatan Kab. Kolaka Utara
Kab. Konawe Utara Kab. Buton Utara Kota Bau-bau
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kab. Kepulauan Talaud Kab. Kepulauan Sitaro
Kab. Bolmong Utara Kab. Bolmong Timur
Kota Tomohon Kota Mobagu
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
95
Kab. Kepulauan Sitaro Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa
Kab. Bolmong Timur Kab. Bolmong Selatan Kab. Minahasa Tenggara
Kota Mobagu
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
F4 F4
0255075
100F1
F2
F3
95 Lampiran
Kab. Minahasa Utara
Kab. Minahasa Tenggara
0255075
100F1
F2
F3
0255075
100F1
F2
F3
96
96 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Sulawesi Barat
Prov. Sulawesi Barat Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara
Maluku
Kab. Kepulauan Aru Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Buru Kab. Seram Bagian Barat
Kab. Seram Bagian Timur Kab. Maluku Barat Daya Kab. Buru Selatan Kota Tual
Maluku Utara
Prov. Maluku Utara Kab. Halmahera Timur Kab. Halmahera Utara Kab. Halmahera Selatan
Kab. Kepulauan Sula Kab. Morotai Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F40
255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F40
255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
97
97 Lampiran
Papua Barat
Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Tambrauw Kab. Maybrat
Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kota Sorong
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
98
98 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011
Papua
Kab. Paniai Kab. Dogiyai Kab. Mimika Kab. Pucak Jaya
Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Memberamo Tengah
Kab. Yalimo Kab. Lanny Jaya Kab. Nduga Kab. Sarmi
Kab. Keerom Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi
Kab. Asmat Kab. Supiori Kab. Memberamo Raya Kab. Puncak
Kab. Intan Jaya Kab. Deiyai
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F40
255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
0255075
100F1
F2
F3
F4 0255075
100F1
F2
F3
F4
99
99 Lampiran
100 Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran 2011