Upload
andhika-hadi-wirawan
View
27
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
,
Citation preview
Etika Pergaulan dalam IslamSYAMSU HILAL 11 DES 2012
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS
Adz-Dzariyat: 56) dan misi memakmurkan bumi (isti’marul ardh, QS Hud: 61), tujuan
penciptaan manusia adalah untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal
insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa,
agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim
(persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau
antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa
berinteraksi dengan manusia lainnya.
Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-
orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua
kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan
bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954).
Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial
ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi
prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah
Swt.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat: 55-56).
Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa
adanya aktivitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati
dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa
atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat
Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di
bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak
(berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa
dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan
hukum tersebut.
Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi
ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi
sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi Islam, interaksi sosial pada
hakikatnya adalah dakwah itu sendiri.
Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau
tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya
interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti
dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah
suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu
yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang
lain, atau sebaliknya.
Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak
menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan
antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih
muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim,
hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan ‘umara (pemerintah),
pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah
keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur
oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.
Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan
sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa
kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.
Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat.
Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram
dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya
hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga,
berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan
atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak
sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.
Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal
dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil
Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau
mengatakan, “Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah
teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa
menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan
tawadhu tanpa kehinaan.”
Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-
narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak
menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah
pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang
berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda
berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan
anda, dan semua urusan pribadi anda.
Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa
lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu
anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat
kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.
Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak
melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang
kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling
dekat duduknya dengan anda.
Janganlah anda duduk-duduk di pinggir jalan. Jika anda duduk di pinggir jalan,
maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya,
menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah,
membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta,
memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat
atau ke sebelah kanan anda.
Jika anda bergaul dengan para penguasa atau pejabat, janganlah
menggunjing, jangan berdusta, dapat menjaga rahasia, mempersedikit keperluan,
menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak
berambisi atau menjilat di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan
di sisi mereka.
Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri
terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk
mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang
pintar akan mendengki dan merendahkanmu, sedangkan orang bodoh akan berani
kepadamu. Senda gurau yang berlebihan akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air
muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan
kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda
gurau yang melampaui batas etika Islam juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri
dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi,
memperbanyak aib dan dosa. Demikian, nasehat Said Hawwa.
Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata
pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka
kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan
tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya
sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah
membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (berbaur tetapi tidak
melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.
Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang
lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata,
"Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah
Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan
menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu
akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh
penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-
buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang
ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan
Muslim).
Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam
pergaulan untuk menghindari terjadinya fitnah atau su`uzhzhan (prasangka
buruk) dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi
yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk
kepadanya." Sebuah atsar (perkataanshahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, ulama
salaf) menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah
mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab