Upload
phammien
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN:
KAJIAN TAFSIR TEMATIK
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas UshuluddinUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
AMIR MU’MIN SOLIHINNIM:106034001218
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2011
Penulis,
( Amir Mu’min Solihin )
iii
ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN:
KAJIAN TAFSIR TEMATIK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin
( S.Ud )
Oleh :
AMIR MU’MIN SOLIHINNIM. 106034001218
Di bawah Bimbingan :
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MANIP. 19620624200003 1 001
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: Kajian Tafsir
Tematik telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
pada Jurusan Tafsir Hadits.
Jakarta, 17 Maret 2011
SIDANG MUNAQASAH
Ketua, Sekertaris,
Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S. Th.INIP. 19600908 198903 1 005 NIP.
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, M.A Dr. Yusuf Rahman, MANIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19670213 199203 1 002
Pembimbing,
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MANIP. 19620624200003 1 001
v
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts te dan es
J Je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh ge dan ha
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan FilsafatUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
vi
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
هـ H Ha
‘ Apostrof
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
____َ__ a fathah
____ِ__ i kasrah
____ُ__ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
_َ___ي ai a dan i
_َ___ و au a dan u
vii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــَا â a dengan topi di atas
ــي î i dengan topi di atas
ـــو û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
viii
Contoh:
no Kata Arab Alih aksara
1 طريقة tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
ix
ABSTRAK
Amir Mu’min Solihin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: KajianTafsir Tematik”
Salah satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt, kepada manusiaadalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat membantu manusiadalam memenuhi kebutuhannya secara efektif, dan mempermudah untukberkomunikasi dengan sesamanya. Selain itu, kemampuan komunikasi yang baikdan benar dapat menjadi jalan untuk mengantarkan seseorang dalam meraihkesuksesan dan akan membawa kemaslahatan bagi orang lain. Sebaliknya,komunikasi juga bisa menjadi pemicu munculnya kemudaratan, khususnya jikaseseorang salah dalam berkomunikasi atau membuat orang lain terganggu. Apalagi pembicaraan yang tidak baik tersebut muncul dari seseorang di pandangsebagai pejabat publik atau public figure, sebab pembicaraan yang kurangterkontrol akan menimbulkan keresahan dimasyarakat atau menyebabkanmunculnya reaksi negatif terhadap dirinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui etika komunikasi menurutal-Qur’an, sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman oleh setiap muslim,khususnya dalam berkomunikasi.
Penelitian ini berpijak dari pemikiran bahwa setiap muslim harusberpedoman kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia.Berkomunikasi merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupanmanusia. Agar setiap orang mampu berkomunikasi secara baik dan benar sertamendatangkan kemaslahatan maka ia harus berpedoman pada etika komunikasisebagaimana digariskan dalam al-Qur”an
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsirmaudhu’i (tematik), yang secara umum menggunakan langkah-langkah:menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); menghimpun ayat-ayat yangberkaitan dengan masalah; menyusun tuntutan ayat sesuai dengan masalahturunnya, disertai pengetahuan tentang asbabun Nuzul-nya; menyusunpembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); melengkapi bahasandengan hadits-hadits yang relevan; dan mempelajari ayat-ayat tersebut secarakeseluruhan. Selain itu, penulis juga menggunakan metode content analisis atauanalisis isi.
Data yang ditemukan menunjukkan bahwa kata komunikasi banyak ditemukan dalam al-Qur’an baik yang menggunakan kata qala takallama, dan lain-lain. Yang secara umum berkaitan erat dengan masalah etika komunikasi lisan.
Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut secara seksama, penulis dapatmenyimpulkan bahwa etika komunikasi lisan menurut al-Qur’an dapatdirumuskan sebagai berikut; berkomunikasi haruslah baik; isi pembicaraan harusbenar; dalam berkomunikasi harus menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi
x
kalimat buruk; tidak boleh berkata bohong dan salah (batil), merendahkan diri saatberkomunikasi, larangan bersikap manja bagi wanita ketika berkomunikasi didepan laki-laki yang bukan muhrim dan dalam berkomunikasi hendaklah berlakuadil.
xi
KATA PENGANTAR
بسمSegala Puji dan syukur penulis tersanjung hanya kepada Allah Swt, yang
dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “ Etika Komunikasi Lisan menurut Al-
Qur’an : Kajian Tafsir Tematik ” ini, dapat diselesaikan tugas akhir penulisan
skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat
manusia.
Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka
yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah
bukti keterebatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis
terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian
ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu
penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih
M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir
Hadits), dan Dr. Lilik Umi Kultsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).
xii
2. Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA, selaku dosen pembimbing skripsi
penulis yang dengan keikhlasannya membimbing, mengarahkan dan
memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.
3. Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA yang banyak memberikan masukan, arahan
dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat
merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
5. Yang tercinta Ayahanda H.Ahmad Dimyati (Alm) dan Ibunda Muhinah yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan
yang selalu mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan di masa depan,
semoga penulis selalu mendapat ridho mereka dan dapat berbakti kepadanya.
Papi Somad, adikku (Dede dan Nuh) serta saudara-saudaraku tercinta yang
memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, khususnya teman-
teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2006/2007, khususnya kelas TH-A:
Harfa, Kholid, Ust. Ubaid, Firda, dua Hasan, Mega, Malik dll. yang dengan
ikhlas turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman KKN 80 dan
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini.
xiii
7. Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabatku
(Bontot, Figo, Ust. Ajay). Untuk teman-teman Masyhar : Gondiel, Aki
Zarkasih, Idham, Robi, Ijunk, Jamil, Jreng, Ismail. Teman-teman kampus :
Kholiah, Inmi2takanu dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu
memberi Support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Terlebih “Sang Motivator”Iin Rosita yang selalu setia menemani langkah
penulis dan mengisi hari-hari dengan senyum dan tawa, semoga apa-apa
yang kita citakan dapat terwujud……Amin. ‘I Love you’
9. Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya (ra’ânî yaqazatan kâna am fi
al-manân), bertemu dengan saya (laqiyanî), belajar bersama saya (jâlasanî),
tinggal bersama saya (aqâma ma’î), pernah mendengar suara dan ocehan saya
(sami’a minnî wa akhaza ‘annî syai’an), semua orang yang mau menerima
dan memperkenankan saya untuk mengambil hikmah darinya (wa akhaztu
‘anhu al-hikam wa al-‘ulûm), dan semua orang yang hidup semasa dengan
saya (‘asaranî). Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua
lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa’ul
kepada nabi agar semua orang yang tersebut di atas menjadi orang yang
beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan
oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman
ra’ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra’â man ra’ânî (bifadlih)”. Atas semua
kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali
ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan
xiv
kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ,
Âmîn…..!
Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa
syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,
khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 17 Maret 2011
Ttd,
Amir Mu’min Solihin
Penulis
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………... i
LEMBAR PERNYATAAN………….……………………………………... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………. iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI………………………………………….. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………… v
ABSTRAK…………………………………………………………………… ix
KATA PENGANTAR………………………………………………………. xi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
D. Studi Terdahulu yang Relevan .......................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI
LISAN
A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan ..…………..…………………. 15
B. Jenis-jenis Etika Komunikasi ...……………………………………. 25
C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam ...………..………………….. 28
xvi
D. Etika Komunikasi Qur’ani ……………………................................ 30
BAB III : TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI
A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi ...………………………….. 35
B. Peran dan Fungsi Komunikasi dalam Kehidupan …………………. 39
C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an ...…………............................. 42
D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Komunikasi ...……………………... 52
BAB IV : ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI LISAN DALAM
AL-QUR’AN
A. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Baik atau Diam ...………... 54
B. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Benar ...…………………... 64
C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil .......………………..... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...………………………………………………………. 85
B. Saran ...……………………………………………………………... 87
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan berbicara merupakan salah satu potensi bawaan (Fitroh) yang
diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Sebab, hanya manusialah satu-satunya
makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah
memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya, sebagaimana bisa
dipahami dari firman Allah “mengajarnya pandai berbicara”1.
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi, berkomunikasi adalah
sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Kemampuan
berkomunikasi merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan
strategis. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari
tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi manusia
dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara
kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban2.
1 Q.S. Ar-Rahman: 4.
2 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, danBerpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1,hal. 286.
2
Selain itu kemampuan berkomunikasi juga membantu manusia untuk dapat
memenuhi kebutuhannya secara efektif dan efisien. Sebab dengan memiliki
kemampuan berkomunikasi, manusia akan bisa meminta bantuan kepada orang lain,
atau mengutarakan maksud-maksud lainnya, atau fungsi-fungsi lainnya yang intinya
bahwa berkomunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia.
Memang benar bahwa manusia bisa menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi atau mengekpresikan keinginan dirinya, namun ternyata bahasa
isyarat tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh
yang ditimbulkannya.
Lebih dari itu dengan memiliki kemampuan berkomunikasi juga dapat
meninggikan derajat seseorang, jika ia mampu berbicara secara baik, meyakinkan,
menyenangkan, dan menarik, yakni dengan memakai etika komunikasi. Dalam
realitas kehidupan, kemampuan berkomunikasi secara baik yang dimiliki seseorang
kerap menjadikannya sebagai panutan masyarakat, bahkan tidak sedikit yang
disegani di dunia internasional dikarenakan kemampuannya dalam berkomunikasi
lisan secara baik.
Namun dengan demikian, berkomunikasi juga bisa berakibat fatal bagi
seseorang jika salah dalam berkomunikasi juga dapat menumbuh-suburkan
perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi
3
kemajuan, dan menghambat pemikiran.3 Apalagi jika orang tersebut dipandang
sebagai pejabat public atau pablik figure, sebab pembicaraan yang kurang kontrol
akan menimbulkan keresahan di masyarakat atau menyebabkan munculnya reaksi
negatif terhadap dirinya. Misalnya yang menimpa salah seorang mantan presiden,
bahwa diantara penyebab jatuhnya dari singgasana kepresidenan karena ada
beberapa yang dinilai tidak konsisten dan sering meresahkan masyarakat, sehingga
hal itu menjadi lahan empuk bagi para lawan politiknya untuk menggulingkan dari
jabatanya.
Realitasnya, tidak sedikit perselisihan, percekcokan, permusuhan, dan
pertengkaran muncul karena perkataan yang tidak terkontrol. Bahkan tidak sedikit
pertumpahan darah mengerikan yang berawal dari pekerjaan lidah yang membabi
buta. Rosulullah Saw menegaskan sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori:
:
4
“Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a bahwa Rosulullah Saw. Bersabda:“Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt, dan hari kiamat, maka ia hendaknyaberkata hanya perkara yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada
3 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, danBerpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), hal. 286.
4 Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,1987), Juz. 20, hal. 11.
4
Allah dan hari kiamat, maka ia hendaklah memuliakan tetangganya. Begitu pulabarangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklahmemulaikan tetamunya”.
Dalam hadits yang lain Rosulullah menegaskan lagi tentang bahaya yang
akan menimpa seseorang jika ia berbicara salah:
5
“Telah menceritakan kepada saya Ibrahim kepada Ibrahim bin Hamzah, telahmenceritakan kepada saya Ibn Abi Hajim, dari Yazid, dari Muhammad bin Ibrahim,dari Isa bin Thalhah bin Ubaidillah dari Abu Hurairoh r.a bahwa ia mendengarRosulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba, bisa jadi diamengungkapkan satu kalimat (satu kata) yang tampak dari perkataannya bahwa iaakan tergelincir ke dalam neraka yang sangat jauh (sangat dalam) sejarak timur danbarat”.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut jelaslah bahwa Islam memberikan
perhatian khusus terhadap pembicaraan, bahkan dipandang salah satu perkara yang
akan menyelamatkan manusia, baik didunia dan diakhirat. Pembicaraan dimaksud
adalah pembicaraan yan beretika, sehingga proses komunikasi berjalan dengan baik
serta terjalin hubungan yang harmonis antara komunikator dengan komunikan.
5 Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,1987), Juz. 20, hal. 118.
5
Hanya saja, etika komunikasi yang di maksud dalam kajian ini adalah etika
yang berdimensi moral dan bersumber dari ajaran suci. Berkaitan dengan etika
komunikasi tersebut, bagaimanapun juga seorang muslim harus berpedoman pada
sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sebab akhlak Nabi
sebagimana dinyatakan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Adalah
Al-Qur’an.6
Dalam al-Qur’an Allah ternyata memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap masalah berkomunkasi ini. Bahkan ucapan yang baik dipandang lebih baik
dari pada shadaqah yang dibarengi dengan menyakiti hati penerima:
٢٦٣(
“Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari pada sedekah yangdiiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun“7 (QS. Al-Baqarah: 263)
Dalam ayat lain Allah juga memerintahkan manusia agar berkata baik:
“Bertuturkatalah yang baik kepada manusia.8 “(QS. Al-Baqarah: 83)
Selain itu, ada perintah untuk berkata benar, sebagaimana dinyatakan dalam
Al-Qur’an:
6 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 259
7 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), Cet. Ke-3,jilid.1, hal. 390.
8 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,jilid., hal. 140.
6
٧٠(
“Dan Ucapkanlahlah Perkataan yang benar.9 (QS. Al-Ahzab: 70)
Masih banyak ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan masalah etika
berkomunikasi. Hanya saja dalam kajian ini, akan dibahas ayat-ayat tentang etika
yang menggunakan Shight Fi’il amr. Hal ini disimpulkan dalam enam prinsip
komunikasi, yaitu: Qaulan Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63),
Qaulan Masyuran(QS 17:28), Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS
17:23), Qaulan Ma’rufan(QS 4:5).
Namun demikian, untuk memahami ayat-ayat tersebut bukanlah perkara
mudah, penulis perlukan berbagai ilmu pendukung untuk dapat mengkaji ayat tentang
komunikasi ini. Seperti Firman Allah:
٧٠(
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah danucapkanlah Perkataan yang benar. “10(QS. Al-Ahzab: 70)
Menurut Hamka maksud ayat tersebut bahwa diantara sikap hidup karena
iman dan taqwa adalah jika kata-kata yang tepat, yaitu jitu. Dalam kata-kata yang
tepat itu terkandung kata yang benar.11 Sedangkan Hasbi Ash-Shiddiqi berpendapat
9 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,jilid.8, hal. 140.
10Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,jilid.8, hal. 46.
11Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986), hal. 109.
7
maksud ayat tersebut adalah bahwa ucapkanlah perkataan-perkataan yang benar
yang mengandung kebajikan bagimu dan jauhilah dari ucapan-ucapan yang salah,
yang menyebabkan kamu mendapat azab di akhirat kelak.12 Dengan perkataan yang
tepat atau baik yang terucapkan dengan lidah dan didengar banyak orang maka akan
tersebar luas informasi dan pengaruh yang tidak kecil bagi jiwa dan pikiran
manusia. Kalau ucapan itu baik maka baik pula pengaruhnya, dan bila buruk maka
buruk pula pengaruhnya.13
Pandangan penulis, kajian tentang etika berkomunikasi ini relevan untuk
dikaji dalam kondisi sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia dewasa ini yang
sedang berada era reformasi dan kebebasan, termasuk di dalamnya bebas berbicara.
Sebab, secara fenomenal tidak sedikit di antara masyarakat Indonesia tak terkecuali
kaum terpelajar yang memahami era kebebasan tersebut sebagai kebebasan yang
tanpa batas, terutama dalam berkomunikasi dan mengeluarkan pendapat. Sehingga
tidak jarang yang berkomunikasi menyuarakan ‘kebenaran’ tanpa mengindahkan
etika berkomunikasi. Padahal mereka mengaku sebagai umat Islam.
Berdasarkan deskripsi di atas, penulis akan mengadakan penelitian tentang
“ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN: KAJIAN TAFSIR
TEMATIK”
12Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3315.
13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 33.
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Al-Qur’an merangkai begitu banyak pelajaran dalam hal etika yang tak
kunjung habis untuk digali, salah satunya adalah etika komunikasi lisan yang akan
akan penulis kaji. Agar tidak terlalu luas dalam pembahasan masalah dalam skripsi
ini, maka penelitian ini hanya dibatasi pada ayat-ayat yang menggunakan kata Qala
atau berbagai bentuk derivasinya. Hal ini diambil atau berdasarkan asumsi bahwa
kata tersebut adalah yang paling dekat dengan pola komunikasi verbal, sementara
dalam praktik komunikasi sangat diperlukan adanya etika yang benar. Oleh karena
itu, penulis menilai penelitian tentang kajian terhadap ayat-ayat yang difokuskan
pada etika komunikasi ini.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan beberapa hal
yang akan menjadi pertanyaan besar dalam skripsi ini adalah Bagaimana etika
komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an dan bagaimana nada dan sikap yang
baik ketika berkomunikasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Ada beberapa tujuan pokok penulisan skripsi ini sebagai berikut;
1. Untuk memenuhi syarat akhir studi S1 di fakultas Ushuluddin dan Filasafat.
2. Untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an berbicara mengenai Etika
Komunikasi Lisan.
9
Adapun manfaat atau kegunaan penulisan skripsi ini adalah:
a. Secara akademis tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menambah
khazanah keilmuan tentang literatur, khususnya yang menyangkut etika
komunikasi (communication etic), sehingga berguna bagi menjadi setetes
pengetahuan di tengah-tengah lautan tentang komunikasi yang bermanfaat
bagi para pemikir dan praktisi yang haus akan pengetahuan komunikasi.
b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis,
praktisi dan aktivis Islam pada umumnya termasuk juga civitas akademika
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.
c. Memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat luas akan arti pentingnya
komunikasi, sehingga memotivasi masyarakat, umat islam khususnya, untuk
selalu berkomunikasi yang baik.
D. Studi Terdahulu yang Relevan
Sejauh penelusuran penulis ada penelitian skripsi yang terkait dengan
masalah yang ingin dikaji: terkait dengan hal itu adalah penelitian yang dilakukan
oleh Eneng Maria Ulfah14 dalam sebuah skripsi yang diajukan kepada Jurusan
Tafsir-Hadits UIN Jakarta, skripsi ini mengkaji masalah tentang Etika Menjaga
Lisan dalam Al-Qur’an. Skripsi yang ditulis pada tahun 2006 ini hanya terbatas
pada menjaga lisan saja dan tidak luas maknanya. Sedangkan dalam kaitannya
dengan apa yang penulis kaji, skripsi tersebut mencakup juga pembahasan yang
akan penulis paparkan. Namun bedanya tulisan di atas dengan penelitian yang
14Eneng Maria Ulfah, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 FakultasUshuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
10
hendak penulis angkat di sini adalah bahwa arti komunikasi itu sendiri luas
cakupannya dan juga skripsi ini tidak hanya tercakup pada dua surat saja sementara
itu ayat yang menjelaskan tentang etika komunikasi itu banyak dan inilah yang
penulis akan kaji dalam tulisan ini.
E. Metodologi Penelitian
Sebagai sebuah kajian yang difokuskan pada kajian tafsir tematik, yang dalam
hal ini mengenai etika komunikasi lisan, tentu studi ini tidak hanya terpaku secara
normatif terhadap konsep-konsepnya saja (ontologi). Lebih dari itu, studi tersebut
haruslah diarahkan juga kepada kajian tentang bagaimana etika komunikasi itu, apa
komunikasi dalam al-Qur’an itu. Untuk selanjutnya, studi tersebut harus dapat
diaplikasikan secara proporsional dalam sebuah kajian (aksiologi).
Oleh karena itu, studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini yang digunakan adalah menggunakan metode telaah
perpustakaan (Library research) yaitu, penelitian untuk memperoleh informasi
yang komferehensif tentang konsep Etika komunikasi lisan menurut Al-Qur’an.
2. Sumber Data
Sumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah yang
berhubungan dengan etika Komunikasi, karena studinya menyangkut Al-Qur’an,
maka sumber utamanyapun adalah Tafsir. Dan buku-buku lain sebagai sumber
tambahan seperti kitab-kitab tafsir, hadits, ulumul Qur’an, kamus, dan buku-
buku yang berhubungan dengan penelitian ini.
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey
kepustakaan dan studi literatur, survey kepustakaan yaitu menghimpun data yang
berupa sejumlah literatur yang diperoleh diperpustakaan atau tempat lain ke
dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah
mempelajari, menelaah, dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan
masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Metode Pembahasan
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir
maudu’i (tematik). Selanjutnya penulis mencoba untuk melihat beberapa ayat-
ayat yang berbicara tentang komunikasi lisan dengan menggunakan metode
maudhu’i.
Menurut Al-Faramawi metode maudhu’i (tematik) adalah menghimpun
atau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu dari surat
al-Qur’an yang sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan
berhubungannya dengan ayat lain kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.15
Dengan menggunakan metdode tafsir maudhu’i ini diharapkan akan didapatkan
jawaban al-Qur’an secara komprehensif terhadap masalah komunikasi lisan.
15Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar Terj. Surya A.Samran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.36, Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,( Jakarta: Mizan, 1992), Cet. Ke-1, hal. 115.
12
Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam mempelajari dan
menghasilkan Etika Komunkasi Lisan menurut Al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1. Menetapkan masalah tentang etika komunikasi.
2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah etika
komunikasi lisan.
3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami asbab
an-Nuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk memahami
makna yang tersembunyi dibaliknya.
4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna.
5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits Nabi
yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditemukan
pandangan al-Qur’an terhadap etika komunikasi lisan.
5. Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasannya skripsi ini menggunakan pendekatan deskriptif
analitis. Pendekatan seperti ini diperlukan untuk memaparkan hadis-hadis yang
terkait dengan etika komunikasi lisan. Pendekatan analitis ini dimaksudkan
untuk membuat analisa-analisa yang konfrehensif terhadap masalah yang
dibahas. Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
13
Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan
penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama
dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab-bab selanjutnya.
Agar mempermudah memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh dan
jelas tentang isi penelitian ini, maka skripsi ini disusun secara sistematika penulisan
yang teratur, dimana skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab, sebuah bab
pendahulu dan tiga bab isi, kemudian ditutup dengan sebuah bab penutup yang
menguat kesimpulan penelitian ini. Adapun sistematika pembahasannya sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan
tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, studi terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas landasan teoritis tentang etika komunikasi lisan yang
didalamnya menjelaskan pengertian etika komunikasi lisan, jenis-jenis etika
komunikasi, kedudukan komunikasi dalam Islam, etika komunikasi Qur’ani.
Bab tiga akan di fokuskan pada pembahasan mengenai tinjauan umum teori
komunikasi Qur’ani, pada bagian ini menjelaskan tentang al-Qur’an sebagai media
16 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UINSyarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2.
14
komunikasi, peran dan fungsi komunikasi dalam kehidupan, prinsip komunikasi
dalam al-Qur’an, identifikasi ayat-ayat tentang komunikasi.
Kemudian pada bab keempat, merupakan bab analisis tentang etika
komunikasi dalam al-Qur’an. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang perintah untuk
berkomunikasi dengan baik dan diam, perintah untuk berkomunikasi dengan benar,
perintah untuk berkomunikasi dengan Adil.
Bab kelima, berisikan Kesimpulan dan saran.
15
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI
LISAN
A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan
a. Etika
Etika berasal dari bahasa latin, “etthos”. Yang berarti kesusilaan atau
moral.1 Maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan norma-
norma sosial, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Terdapat
pendapat bahwa kata etika berasal dari ethos (Yunani) yang artinya watak
kesusilaan. Sedangkan pengertian etika secara istilah telah banyak
dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Misalnya Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa ynag harusnya di lakukan manusia,
menyatakan tujuan yang harus di tuju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka, dan menunjukan yang seharusnya diperbuat.2
Sementara itu, pengertian etika menurut Ki Hajar Dewantara adalah
ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan
manusia, terutama yang berkaitan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang
1 Hamzah Ya’qub, Etika Pembinaan Akhlaul Karimah(Suatu Pengantar), (Bandung:Diponegoro: 1990), cet. Ke-4, hal. 12.
2Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, ( Jakarta: Bulan Bintang: 1996), cet. Ke-7,hal. 3.
16
merupakan pertimbangan dan perasaan, sehingga dapat mencapai tujuannya
dalam bentuk perbuatan.3 Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja, sebagaimana
dikutip Abuddin Nata mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan
tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai itu sendiri.4
Dari beberapa pengertian tentang etika diatas, dapat diketahui bahwa
etika berhubungan dengan empat hal, sebagaimana diungkapkan oleh
Abuddin Nata5 yaitu:
a. Dari segi pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang
dilakukan oleh manusia.
b. Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
c. Dilihat dari fungsinya etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu
apakah perbuatan manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia,
terhormat, dan sebagainya.
d. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni berubah-ubah
sesuai dengan tantangan zaman.
Dengan demikian, pokok pembahasan etika adalah penyelidikan
tentang tingkah laku dan sifat-sifat yang dilakukan oleh manusia untuk
dikatakan baik atau buruk. Dalam bidang filsafat, perbuatan baik atau buruk
dapat dikelompokkan pada pemikiran etika, karena berdasarkan pada
pemikiran yang diarahkan untuk manusia. Sedangkan menurut Muhammad al-
3Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 88.4Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 88.5Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 90.
17
Ghozali berpendapat bahwa objek pembahasan etika adalah meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok.6
Kata-kata etika sering disebut etik saja. Karena itu etika merupakan
pencerminan dari pandangan masyarakat mengenai yang baik dan yang buruk,
serta membedakan perilaku yang dapat diterima dengan yang ditolak guna
mencapai kebaikan dalam kehidupan bersama.7
Istilah lain yang semakna dengan kata etika adalah moral, susila dan
akhlak. Ditinjau dari segi etimologi, kata moral berasal dari bahasa latin
“mores” jamak dari kata “mos” berarti adat kebiasaan.8
Selanjutnya, istilah moral menurut Abuddin Nata9 adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat-sifat, perangai
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat disebut benar,
salah, baik atau buruk. Oleh karena itu, moral dapat dipahami sebagai istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan
menilai baik, buruk, benar atau salah.
Sementara itu, Hamzah Ya’qub10 mengartikan moral sebagai perkara
yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima berkaitan dengan tindakan-
tindakan manusia, yang baik dan wajar. Dengan kata lain, perbuatan manusia
6Imam Al-Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin, Terj. Drs. H. Moh. Zuhri, dkk, (Semarang: CV AsySyifa’, 1992), cet. 2, jilid. 3, hal. 197.
7Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT. LogosWacana Ilmu, 1999), hal. 34.
8Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung:Diponegoro), cet. Ke-4, hal. 14.
9Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 81.10Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.
18
yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dengan
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Dengan demikian istilah moral ini jika dihubungkan dengan etika
memiliki objek sama, yakni membahas tentang aktivitas manusia, yang
selanjutnya ditentukan posisinya. Perbedaannya adalah bahwa etika banyak
bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktis.11 Dalam sisi penggunaannya,
istilah moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Istilah susila memiliki makna yang senada dengan etika, moral dan
akhlak. Hal ini bisa dilihat dari pengertian susila secara etimologis. Kata
susila berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik atau
bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, dan peraturan hidup atau norma.12
Sehingga kata susila bisa diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, susila ini merupakan bimbingan kearah yang baik dengan
berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan mengacu kepada
suatu yang dipandang baik oleh masyarakat. Selanjutnya, istilah etika, moral
dan susila ini mempunyai makna yang senada dengan akhlak ( )
sebagaimana disebutkan diatas. Dikatakan memiliki makna nada yang senada,
karena akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata
khulqun ( خلق ) yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku dan tabiat.
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuian dengan kata kholqun ( خلق
11 Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.12Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 94.
19
) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khaliq ( خالق ) yang
berarti pencipta, dan makhluq ( مخلوق ), yang diciptakan.
Oleh karena itu, menurut Hamzah Ya’qub13 perumusan pengertian
akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara Khaliq dan makhluq dan antara makhuk dengan makhluk14. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt, dalam surat al-Qalam ayat 4:
“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur15”
Menurut Abuddin Nata16 kata akhlak atau khuluq secara bahasa berarti
budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau sesuai yang menjadi
tabi’at.
Sedangkan pengertiannya secara terminologi (istilah), Abuddin Nata
mengutip pendapat Ibnu Maskawaih yang menyatakan bahwa akhlak
merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.17 Sementara Ahmad
Amin berpendapat bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang
arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
sebagian manusia kepada yang lainnya.18
13Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.14Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 11.15Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,
Jilid. 10, hal. 262.16Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3.17Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3.18Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 12.
20
Definisi-definisi akhlak di atas, secara substansial tampak saling
melengkapi, sehingga menurut Abuddin Nata19 terdapat lima ciri yang ada
tentang akhlak, yaitu:
a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang yang tertanam dalam jiwa
seseorang.
b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pemikiran.
Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang
bersangkutan tidak sadar, hilang ingatan atau gila. Pada saat
melakukan perbuataan yang bersangkutan tetap sehat akalnya dan
sadar.
c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang
yang mengajarkannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara.
e. Sejalan dengan cirri yang keempat, perbuatan akhlak dilakukan
dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji
orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Dengan demikian, objek pembahasan tentang akhlak berkaitan dengan
norma atau penelitian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang.
Oleh karena itu, apabila suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk, maka
ukuran yang digunakan adalah ukuran normatif.
19Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) , hal. 5.
21
Dari uraian di atas, tentang masalah etika, moral, susila, dan akhlak
secara fungsinya dapat dipahami bahwa semuanya itu sama, yaitu menentukan
hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan kata lain, istilah-istilah
tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,
aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera lahir dan batiniyah.
Oleh karena itu menurut Abudin Nata20, keberadaan etika, moral, dan
susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan
mengoprasionalisasikan ketentuan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an.
Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak merupakan ilmu pengetahuan yang
menjabarkan dan mengajarkan tentang baik dan buruk, benar atau salah
menurut ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Sehingga etika dalam Islam sesuai
dengan fitrah dan akal yang lurus.
b. Komunikasi
Komunikasi dalam bahasa Inggris adalah communication, berasal dari
akar kata bahasa latin, yaitu comunicatio, dan bersumber dari kata communis
yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Maksudnya
orang yang menyampaikan dan orang yang menerima mempunyai persepsi
yang sama tentang apa yang disampaikan. Kalau yang menerima berkata
20Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 96
22
merah, maka yang menerima juga berpresepsi merah.21 Sedangkan kata
komunikasi dalam bahasa arab adalah “Muwaasholat.”22
Komunikasi secara umum adalah sebagai hubungan atau kegiatan-
kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan atau diartikan sebagai
saling tukar menukar pendapat antara manusia baik individu maupun
kelompok23. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud
komunikasi adalah proses penyampaian suatau pernyataan oleh seseorang
kepada orang lain
Komunukasi bisa dipandang sebagai salah satu kemampuan khusus
kepada manusia, bahasa dan pembicaraan itu muncul, ketika manusia
mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada orang lain.
Sebenaranya, manusia juga memiliki cara lain selain dengan
berkomunikasi dalam mengungkapkan keinginan atau tujuannya, seperti
menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi atau mengekpresikan
keinginan dirinya dengan gerak gerik tubuh namun ternyata bahasa isyarat
tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh
yang ditimbulkannya. Hanya saja berkomunikasi merupakan cara paling
efektif untuk menyatakan tujuannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
21Jamaluddin Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, ((Jakarta: Gema Insani Press,1996), Cet. Ke-1, hal. 17.
22Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: (PT Bulan Bintang, 1997), hal. 276.23Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya,
1997), hal. 9.
23
kemampuan berkomunikasi memiliki posisi sangat penting dalam kehidupan
manusia.
Sesuai dengan pemahaman mengenai etika sebagaimana dijelaskan
diatas, maka etika komunikasi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang baik
dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral tingkah laku
manusia dalam proses proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang
kepada orang lain.
Abuddin Nata menilai etika komunikasi berusaha membahas
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersumber pada akal pikiran dan
filsafat, yang berfungsi untuk menilai, menentukan, dan menetapkan terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (apakah perbuatan manusia
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya) yang
berkaitan dengan proses penyampaian dan penerima pesan dari seseorang
kepada orang lain24.
c. Lisan
Kata lisan berasal dari bahsa arab jamak dari kata , lisana, wa lisanu,
alisnatu, wa lisanatu yaitu alat ucap atau dalam bahasa Indonesia disebut
lidah/lisan.25 Selain itu kata lisan juga dapat diartikan bahasa dan perkataan.
24A.W Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 90.25Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hal. 395.
24
Sedangkan pengertian lidah itu sendiri ialah jenis otot yang
memanjang di rongga mulut, organ ini terdiri dari beberapa unsur yang
tersusun secara rapih, seperi otot-otot dan saraf-saraf dibagian lidah terdapat
semacam saraf sebagai alat perasa.26
Lidah termasuk organ bicara yang paling aktif, dengan gerakan-
gerakan tertentu dibagian lidah yang bertemu dengan organ lain, maka akan
terjadilah bunyi yang mempunyai ciri tersendiri. Dengan inilah manusia bisa
berkomunikasi anatara yang satu dengan yang lainnya. Namun disisi lain,
lidah juga bisa membawa manusia kepada suatu bencana.
Pengertian spesifik mengenai etika komunikasi lisan dalam al-Qur’an
aturan tentang perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan
yang yang tidak berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan
diakhirat. Etika dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka
hal tersebut menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi al-
Qur’an mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial
supaya lebih beradab dan lebih terjaga.
26Ahmad Sayuti Ansari Nasution, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, (UIN Jakarta, 2003).
25
B. Jenis-jenis Etika Komunikasi
Di lihat dari segi bentuknya, secara umum komunikasi meliputi bentuk : (1)
Komunikasi Persona, (2) Komunikasi Kelompok, (3) Komunikasi Massa, dan (4)
Komunikasi Medio27.
1. Etika Komunikasi Persona
Komunikasi personal (personal Communication)adalah komunikasi
seputar diri seseorang, baik dalam fungsinya sebagai komunikator maupun
sebagai komunikan28. Komunikasi persona ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu komunikasi intrapersona dan komunikasi interpersona.
Pertama, komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dimana
komunikator dan komunikannya diri seorang pribadi atau komunikasi dalam
bentuk“melamun/menghayal” Materi yang dilamunkan atau dihayalkan bisa
tenang diri sendiri atau orang lain, bisa melamunkan individu, kelompok
maupun umat manusia secara keseluruhan.
Dalam komunikasi intrapersonal ini harus dikendalikan oleh etika agar
komunikasi intrapersonal yang dilakukan dapat menghasilkan niat yang baik
(master plan), penilaian yang baik terhadap orang lain (positif thinking), ide-
ide yang brilian tentang sesuatu yang dianggap baik menurut aturan yang
berlaku.
27 Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7.28 Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 57.
26
Kedua, komunikasi interpersonal adalah proses dimana dua orang
yang berperan sebagai pengirim dan penerima saling bertanggungjawab dalam
menciptakan makna.
2. Etika Komunikasi Kelompok
Onong Uchjana Effendy mengartikan komunikasi kelompok adalah
komunikasi yang berlangsung antara seseorang komunikator dengan
sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang29. komunikasi
kelompok ini adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator
dengan sejumlah komunikan, baik antar komunikator dengan sejumlah
komunikan atau antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Lebih lanjut terdapat beberapa ciri kelompok, antara lain: (1)
Komunikasi dengan tatap muka, (2) Komunikator dengan komunikan saling
berhadapan, (3) Umpan balik bersifat langsung, dan (4) Tanggapan
komunikasi bisa diketahui langsung pada saat komunikasi berlangsung.
Untuk menentukan etika komunikasi kelompok ini, pada dasarnya
tidak sama dengan etika komunikasi yang terdapat dalam komunikasi antar
pribadi.
3. Etika Komunikasi Massa
Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media massa (mass
media communication), yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi
29 Onong Uchjana Efendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, (Bandung: Alumni, 1986), cet. Ke-2, hal. 5.
27
yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film
yang dipertunjukan di gedung-gedung dan bioskop30.
Dalam proses komunikasi massa, baik pimpinan redaksi, wartawan,
penulis pengisi kolom, mereka bukan atas nama pribadi tetapi atas nama
media. Oleh karena itu, mereka perlu memahami norma-norma atau etika
yang berlaku dalam komunikasi massa.
Diantara komunikasi massa, antara lain adalah: (1) beritakan informasi
yang benar dan jujur sesuai denga fakta sesungguhnya, (2) berlaku adil dalam
menyajikan informasi, (3) Gunakan bahasa yang bijak, sopan dan
menghindari kata-kata yang propokatif, dan (4) Tampilkan gambar-gambar
yang sopan dan menghindari gambar-gambar yang seronok.
4. Etika Komunikasi Medio
Komunikasi medio adalah komunikasi dengan menggunakan atau
memanfaatkan media (media communication), seperti: surat, telepon, famplet,
poster, sepanduk, dan lain-lain31.
Berdasarkan pemahaman tentang komunikasi medio yang tidak begitu
berbeda dengan jenis komunikasi massa, maka bentuk dan setandar etika yang
harus terdapat dalam komunikasi medio juga tidaklah mengalami perbedaan
sebagaimana telah dijelaskan.
30 Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 79.31 Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7.
28
C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam
Dalam Islam, kemampuan berkomunikasi yang dimiliki manusia merupakan
keistimewaan sangat besar dan termasuk salah satu perkara yang membedakan
manusia dengan hewan, serta tidak dipisahkan dalam kehidupan manusia, sebab
berkomunikasi hampir dibutuhkan pada semua gerak dan langkah manusia. Namun
demikian, Islam memberikan rambu-rambu ketika hendak berkomunikasi. Ia harus
berkomunikasi secara islami, yakni berkomunikasi yang berakhlakul karimah atau
beretika. Berkomunikasi yang berakhlakul karimah tersebut berarti berkomunikasi
yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut ajaran Islam, berkomunikasi juga memiliki posisi sangat penting
dalam menentukan nasib seorang, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang
mampu mengendalikan pembicaraannya, akan memiliki kedudukan mulia dalam
pandangan mulia dalam pandangan manusia, dan kelak akan memperoleh pahala di
akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengendalikan pembicaraannya, maka
ia akan mudah menciptakan permusuhan dan percekcokan di antara sesama manusia
di dunia, dan kelak akan memperoleh azab di akhirat. Hal itu secara tegas dinyatakan
dalam sabda rasulullah saw.
29
Artinya: telah bercerita kepada kami muhamad bin abu bakar al-muqaddami,telah bercerita kepada kami umar bin ali. Ia mendngar dari abu hazmdari sahal bin sa’ad dari rasulullah saw bahwa beliau bersabda;”barangsiapa mampumenjaga yang ada di janggutnya (lidah), dan apa yang ada di antara dua kakinya(kemaluan), maka aku jamin dia masuk surga”.32
Tentang pentingnya berkomunikasi dalam Islam sangatlah jelas, baik
berkaitan dengan eksistensi seorang muslim maupun aturan-aturan peribadatan yang
terdapat dalam Islam. Seorang muslim, akan diakui eksistensinya sebagai seorang
muslim apabila telah bersaksi dengan kata-katanya (bersyahadat) bahwa hanya Allah
saja Tuhannya dan mengakui bahwa Muhamad adalah utusan-Nya. Selain itu,
berkomunikasi hampir dipakai dalam setiap bentuk ibadah. Seperti dalam sholat
pada hakikatnya. Ia sedang berkomunikasi kepada Tuhannya begitu pula pada
bertransaksi, seorang muslim diharuskan untuk mengucapkan akan jual beli sebagai
salah satu syarat absahnya jual beli dan masih banyak contoh pribadatan lainya yang
melibatkan pembicaraan.
Berkomunikasi juga berperan penting dalam menyebarkan Islam, yakni
dengan berdakwah. Dimaklumi bahwa tersebut da’i atau muballig Islam telah
mendakwahkan Islam sejak masa awal perkembangan Islam sampai sekarang di
segenap penjuru dunia, dengan dakwahnya tersebut. Makan Islam semakin di kenal
luas di sebagai belahan dunia, sehingga umat Islam pun kian hari semakin bertambah
banyak di seluruh dunia. Dengan dakwah pula, ilmu setiap orang islam semakin
bertambah dan iman, mereka semakin kuat. Dakwah tersebut sangat efektif jika
32Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr,1987), Juz. 20, hal. 115.
30
disampaikan lewat kata-kata atau pembicaraan sehingga jelaslah bahwa
berkomunikasi memiliki peranan penting dalam penyebaran islam.
Berdasarkan pembahasan tersebut. Jelaslah bahwa komunikasi memiliki
kedudukan sangat sentral dalam Islam. Hal itu di buktikan pula dengan banyaknya
ayat dan hadits yang isinya berkaitan dangan berkomunikasi.
D. Etika Komunikasi Qur’ani
Komunikasi dalam pengertian Islam adalah sistem komunikasi umat Islam,
pengertian itu menunjukan bahwa komunikasi Islam lebih fokus pada sistemnya
dengan latar belakang filosofi (teori) yang berbeda dengan perspektif komunikasi
non-Islam. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam berdasarkan pada Al-Qur’an
dan Hadits Nabi. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam mempunyai implikasi-
implikasi tertentu terhadap makna proses komunikasi.33
Al-Qur’an menurut al-Qardhawi dinamakan pula “al-Haq” yang memiliki
makna yang sangat luas dan mendalam, diantaranya adalah: (1) al-Haq berarti
petunjuk atas Citra tri Tunggal Yang Luhur, yaitu: kebenaran, kebajikan, dan
keindahan: dan (2) al-Haq berarti etika timbal balik antara manusia34.
33Prof, Dr, Andi Abdul Muis, SH, Komunikasi Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2001), Cet. Ke-1, hal. 65.
34Yusuf Qardawi, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti,1996) cet. Ke-2 , hal. 3.
31
Sebagai kitab etika, didalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat yang
membicarakan tentang konsep dan ajaran etika ini35. Hal ini menunjuk betapa
pentingnya etika, Etika yang diajarkan mengacu kepada standar yang ditetapkan
oleh Allah. Figur contoh keteladanan etika adalah Rosulullah sendiri. Karena itu,
dalam persepektif islam etika tidak saja merupakan suatu ajaran yang bersifat
konseptual tetapi juga praktikal. Keberadaan Rosulullah sebagai figur keteladanan
dalam bidang tingkah laku (behavior), menunjukan metode pengajaran dan aplikasi
nilai-nilai etika yang paling akurat, sehingga dengan demikian nilai-nilai etika dapat
ditiru secara langsung oleh manusia. Rosulullah sendiri mengaku bahwa seluruh
kandungan Al-Qur’an adalah akhlaknya.
Etika Qur’ani menurut Ilyas, mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai
lima cirri utama, yaitu: (1) Rabbani, (2) Manusiawi, (3) Universal, (4)
keseimbangan, dan (5) Realistik.36 Ciri Rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani
adalah etika yang membimbing manusia kearah yang benar, jalan yang lurus, atau
sirathal mustaqim.37 Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan
memenuhi fitrah manusia serta menuntun manusia agar memperoleh kebahagiaan
hidup didunia dan akhirat. Ciri universal adalah etika Qur’ani membawa misi kasih
sayang kepada umat manusia diseluruh dunia menegakkan kedamaian, menciptakan
35 H.M. Darwis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit PustakaFirdaus, 2002) Cet. Ke-1, hal. 189.
36 Drs. H. Yunahar Ilyas Lc. MA, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta. LPPI UMY, 1999), hal. 12.37 Q.S Al-An’am: 153.
32
keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal.38ciri
keseimbangan artinya etika Qur’ani mengajarkan manusia agar memperhatikan
kepentingan duniawi namun tidak melupakan kepentingan ukhrowi, memenuhi
keperluan jasmani tanpa mngabaikan keperluan rohani.39 Ciri relistik adalah etika
Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al-Qur’an memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat
kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan
keringanan (rukshah) bagi yang tidak mampu melakukannya.40
Menurut Abuddin Nata41 etika Komunikasi Qur’ani adalah?
a. Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Menetapkan bahwa yang menjadi sumber ajaran Allah Swt dan Rosul-Nya
(al-Qur’an dan as-Sunnah).
c. Bersifat Universal dan Komprehensif, dapat diterima oleh seluruh manusia
disegala tempat dan waktu.
d. Dengan ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrahnya dan akal
fikiran manusia, maka etika islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh
manusia.
38 Q.S Al-Imron: 104.39 Q.S Al-Baqarah: 201 dan Q.S Al-Qashash: 77.40 Q.S Al-Baqarah: 173 dan 286.41 Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf , (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) . hal. 96.
33
e. Mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang jujur dan meluruskan
perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah Swt, menuju
keridhoan-Nya42.
Prinsip lain yang dijelaskan Al-Qur’an tentang komunikasi atau media massa
adalah perlunya sikap kritis dalam menerima informasi, harus dilihat sumber
informasi itu, apakah datang dari sumber yang dipercaya atau tidak. Dan salah satu
etika komunikasi yang diungkapkan dalam Al-Qur’an khususnya media massa bahwa
tidak dibenarkan menyebar luaskan suatu keburukan atau berita yang negative,
kecuali untuk penegakkan hukum, selain untuk menjaga kehormatan orang lain.
42 Q.S Al-Hujurat: 6.
35
BAB III
TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI
A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi
Al-Qur’an adalah kitab komunikasi, karena didalamnya memenuhi seluruh
komponen komunikasi. Menurut Effendi1, terdapat lima komponen komunikasi,
yaitu: (1) Komunikator (communicator), (2) Pesan (message), (3) Media (media),
(4) Komunikan (communicant). (5) Efek (efect). Dari lima komponen komunikasi
tersebut ada pendapat lain yang menambahkan konteks kedalam komponen
komunikasi, Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga
dimensi2:
1. Fisik, adalah ruang dimana komunikasi berlangsung yang nyata atauberwujud.
2. Sosial-psikoilogis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara merekayang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat dimana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakuprasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atausenda gurau.
3. Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarahdimana komunikasi berlangsung.
Ketiga dimensi lingkungan ini saling berinteraksi; masing-masing
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat
1Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997) ,hal. 6.
2Diakses pada tanggl 15 Maret 2011 Jam 21.30,http://www.lrckesehatan.net/modul/modul%20komunikasi%20dan%20motivasi-FINAL.doc
36
memenuhi janji dengan seseorang (dimensi temporal), dapat mengakibatkan
berubahnya suasana persahabatan-permusuhan (dimensi sosial-psikologis), yang
kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah
makan untuk makan malam (dimensi fisik). Perubahan-perubahan tersebut dapat
menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis.
Komponen komunikasi yang dimaksud adalah: (1) Komunikator adalah Allah
Swt, (2) Komunikan adalah Nabi Muhammad, (3) Pesan Komunikasi berupa ayat,
(4) Media komunikasinya terbagi dua: media langsung melalui perantara Jibril dan
media tidak langsung melalui mimpi dan gemercing lonceng, dan (5) Efek, yaitu
terciptanya ketenangan, ketundukan, dan hidayah.
Ditinjau dari tugas nabi sebagai penerima al-Qur’an, bahwa nabi sesuai
dengan makna leksikal nabi itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari akar kata:
nabaa, jamaknya adalah anbiya, dalam bahasa inggrisnya, prophets yang berarti
pembawa berita.3 Dan berita yang disampaikan oleh nabi adalah al-Qur’an atau
ayat-ayat Allah.
Dengan asumsi seperti itu maka dapat dirumuskan komponen komunikasi
sebagai berikut (1) Komunikator adalah Nabi Muhammad Saw, (2) Komunikan
adalah Sahabat dan Umat, (3) Pesan Komunikasi adalah ayat al-Qur’an, (4) Media
Komunikasi secara langsung adalah lisan, tulisan sedangkan media tidak langsung
melalui code seperti melalui mimpi, gemercing lonceng dan Al-Qur’an yang
3Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-2, hal. 297.
37
dipraktikan oleh Muhammad Saw, dan (5) Efeknya adalah terciptanya suasana
iman, Islam, dan ihsan.
Mempertegas pembahasan tersebut, tugas utama para Nabi pada hakikatnya
mengemban perintah dari Allah agar mengkomunikasikan dan mensyi’arkan syariat
islam kepada umat manusia agar mampu dan memilah serta memilih yang baik dan
benar, serta mencegah dari kesesatan dan kedzaliman. Tujuan utamanya adalah
menuju kebahagian dunia dan akhirat.
Prinsip dasar seorang Nabi sebagai komunikator adalah seseorang yang
mempunyai kemampuan intelektual yang cerdas serta (fathonah) yang dapat
memahami pesan yang diterima, seorang yang jujur (as-shidq), dan dapat dipercaya
(amanah) sehingga benar-benar menyampaikan pesan tersebut dengan tidak dibuat-
buat, dikurangi atau ditambahi.4 Seorang Nabi dalam menjalankan tugas
menyampaikan risalah haruslah didasari perintah Allah, dengan jiwa yang tulus dan
cara-cara yang bersih serta penuh kesabaran.5
Komunitas manusia yang dihadapi sebagai komunikan yang menjadi objek
ajaran tersebut mempunyai beragam socio-cultural, adat istiadat, dan bahasa yang
berlainan. Dalam hal ini seorang nabi harus mampu memahami situasi yang
dihadapi dan menyampaikan pesan sesuai dengan karakteristik manusia. Kurun
waktu yang berbeda, situasi yang beraneka ragam, domisili yang tersebar seantero
4Q.S. Al-Maidah: 99.5Q.S. Muddatsir: 1-7.
38
jagat raya, karakteristiknya pun berkembang sesuai dengan gerak kemampuan
teknologi dan budaya, kesemuanya dipersatukan kepada satu tujuan yang sama.
Dalam menunjang keberhasilan komunikasi seorang nabi khususnya dan
umat manusia umumnya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi
sangat ditentukan bagaimana komunikator menerapkan strategi dan metode yang
tepat guna dan berhasil guna, berhadapan dengan komunitas komunikan yang
beragam sebagaimana dijelaskan diatas.
Dalam Al-Qur’an faktor utama dalam mencapai tujuan komunikasi ditengah-
tengah keragaman komunikan adalah dengan faktor bahasa dalam arti yang
seluasnya. Sebab bahasa merupakan media yang paling banyak dipergunakan dalam
komunikasi dan hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang
kepada orang lain. Apakah itu berbentuk idea, informasi atau opini, baik mengenai
hal yang konkrit maupun abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi
pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan
datang.6 Dengan media bahasa itu pula kita bisa mempelajari beragam ilmu, baik
yang dituils oleh para ilmuan dahulu maupun yang akan datang. Kesamaan dalam
arti pemahamannya, strata pengetahuan komunikator dan komunikan, pola
pendekatan persuasif yang bisa diterima semua orang untuk selanjutnya berhasil
mengubah sikap dan tingkah sadar untuk mengamalkannya, semua itu menjadi
6 Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hal. 11.
39
target para nabi dan rosul yang hanya bisa disampaikan melalui bahasa yng
dimengerti oleh umatnya.7
Secara praktis-aplikasi, al-Qur’an menawarkan metode yang tepat dalam
komunikasi, yaitu dengan cara bijaksana (hikmah), nasehat yang baik (al-Mauidzah
al-Hasanah) dan berdiskusi yang baik (al-Mujadalah)8. Ketiga cara ini merupakan
etika komunikasi berdasarkan al-Qur’an yang dapat diterapkan sesuai dengan
watak dan kemampuan komunikator dan Komunikan.
B. Peran Dan Fungsi Komunikasi Dalam Kehidupan
Peran dan fungsi berbicara sangatlah penting dalam berkomunikasi. Selain
itu, antara berkomunikasi dan berbicara memiliki kaitan sangat erat. Hanya saja,
komunikasi memiliki makna lebih luas dari sekedar berbicara. Dan bisa dikatakan
bahwa berbicara merupakan bagian dari komunikasi, yang bisa disebut sebagai
komunikasi lisan. Manusia berkomunikasi karena beberapa faktor:
a. Perbedaan antara pribadi.
b. Manusia meskipun merupakan makhluk yang utuh namun tetap mempunyai
kekurangan.
c. Adanya perbedaan motivasi antar manusia.
7Syeikh Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:Toha Putra, 1993), Jilid. V, Juz 13, hal. 126.
8Q.S. An-Nahl: 125.
40
d. Kebutuhan akan harga diri yang harus mendapatkan pengakuan dari orang
lain.9
Senada dengan hal tersebut, orang berkomunikasi dengan orang lain karena
hal-hal berikut:10
a. Setiap orang memerlukan orang lain untuk mengisi kekurangan dan membagi
kelebihan.
b. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.
c. Interaksi ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat orang
mengantisipasi masa depan.
d. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan penghalaman yang baru.
Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa keinginan berkomunikasi antar
pribadi disebabkan karena dorongan pemenuhan kebutuhan yang belum, atau tidak
dimiliki seseorang sebelumnya atau belum layak di hadapannya.
Dalam berbicara, bahasa merupakan media yang paling banyak
dipergunakan dalam berkomunikasi, karena bahasalah yang mampu
menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk media
informasi atau ofini; baik yang mengenai yang konkriit abstrak; bukan saja tentang
hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang melain kan juga pada waktu yang
9Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1994), hal. 48.
10Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, hal. 48-49.
41
lalu dan masa yang akan datang.11 Dengan bahasa media itu pula kita, bisa
mempelajari beragam ilmu, baik yang di tulis oleh para ilmuwan dahulu maupun
akan datang.
Dalam komunikasi lisan yang terutama dijumpai dalam komunikasi antar
pribadi. Yang pasti unsur-unsur penting dalam komunikasi tercakup di dalam nya
yaitu: sumber saluran, pesan, kode, penerima dan kerangka rujukan. Dan setiap
unsur memberikan dukungan pada komunikasi verbal.12 Dalam berkomunikasi
secara lisan ada enam jenis yang termasuk dalam komunikasi lisan, yaitu:13
a. Emotive Speech, yaitu gaya bicara yang mementingkan aspek psikologis.
b. Phatic Speech, adalah gaya komunikasi yang verbal yang berusaha
menciptakan hubungan sosial.
c. Coginitive Speech, merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu
pada kerangka berfikir atau rujukan yang mengartikan suatu cara kata
secara denotative.
d. Rethorical Speech, mengacu kepada komunikasi verbalkan yang
menekankan sifat konatif, dan mendorongnya terbentuknya perilaku.
e. Metaliguan Speech, adalah komunikasi secara verbal, tema
pembicaraannya tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia
nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri.
11Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2001), hal. 11.
12Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1994), hal. 43.
13Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1994), hal. 43.
42
f. Poetic Speech, adalah komunikasi lisan secara verbal berkutat secara
struktur penggunaan “kata” yang tepat melalui perindahan pilihan “kata”,
ketepatan unkapan, menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gaya-
gaya lain yang khas.
C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an
Dalam proses komunikasi paling tidak terdapat tiga unsur, yaitu:
komunikator, media dan komunikan.14 Para pakar komunikasi juga menjelaskan
bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti
dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau
informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain.
komunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga
bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public
attitude).
Meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah
komunikasi, namun jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum
prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini dengan melihat kata qaul dalam konteks
perintah, penulis menyimpulkan bahwa ada enam prinsip komunikasi, yaitu: Qaulan
Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63), Qaulan Masyuran(QS 17:28),
Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS 17:23), Qaulan Ma’rufan(QS
4:5). Yang diantaranya adalah:
14YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta, Grasindo, 1998), hal. 69.
43
a. Prinsip Qaulan Balighan
Di dalam al-Qur'an kata qaulan baligh hanya disebutkan sekali, yaitu
surah an-Nisa': 63:
ا
٦٣(“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa
yang di dalam hatinya. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilahmereka nasehat, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas padajiwanya.”15 (QS An-Nisa: 63)
Kata baligh dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran, atau
mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qaul (ucapan atau komunikasi), ‘baligh’
berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki.
Karena itu, prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi
yang efektif.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab,
membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh, antara lain:16
Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan Kalimatnya tidak
bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur Pilihan
kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar Kesesuaian kandungan dan
gaya bahasa dengan lawan bicara Kesesuaian dengan tata bahasa.
b. Prinsip Qaulan Kariman
15Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,Jilid.2, hal. 199-200.
16M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an(Jakarta:Lentera Hati, 2000), jilid. 2, hal. 468.
44
Dalam al-Qur’an terdapat satu ayat yang memuat redaksi qaulan
kariman, yaitu pada surat al-Isra ayat 23:
)٢٣(“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika salahseorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalampemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepadakeduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak keduanya danucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.17”(QS. al-Isra: 23)
Dari sisi substansi ayat, firman Allah ini dalam pemahaman Hamka
merupakan ayat yang menerangkan etika (akhlak) muslim yang berusaha
menerangkan dasar budi pekerti dan kehidupan muslim. Akhlak pertama yang
dibahas adalah etika atau akhlak kepada Allah yang merupakan pokok budi
yang sejati. Sebab hanya Allah yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi
kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada
yang lain hanya Allah.18
Sedangkan akhlak yang kedua adalah berbakti kepada kedua orang tua
dengan cara berkhidmat kepada ibu dan bapak, menghormati keduanya yang
telah menjadi penyebab bagi kita sehingga kita dapat hidup di dunia ini yang
merupakan kewajiban kedua setelah beribadah kepada Allah.
17Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya , (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 458.
18Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz. 15, hal. 63.
45
Dalam ayat ini lebih lanjut secara teknis dijelaskan ketentuan etika
yang baik menurut al-Qur’an mengenai sikap terhadap kedua orang tua. Di
antaranya adalah “jika keduanya atau salah seorang mereka, telah tua dalam
pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata “uff” kepada
keduanya”. Perkataan uffin, menurut Hamka adalah kalimat yang
mengandung rasa bosan atau jengkel meskipun tidak keras diucapkan atau
dengan kata lain seorang anak dituntut supaya menggunakan etika dalam
berkomunikasi kepada kedua orang tuanya.
Sedangkan etika komunikasi menurut ayat ini adalah . Qaulan
Karima secara bahasa berarti perkataan yang mulia. Menurut Al-Mawardi
adalah perkataan dan ucapan-ucapan yang baik yang mencerminkan sebuah
kemuliaan.19 Sedangkan dalam Al-Qur’an dan terjemahannya20.
Diterjemahkan dengan perkataan yang baik. Al-Maraghi21, mengartikan
dengan perkataan yang mulia. Selanjutnya ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang lemah lembut dan baik yang disertai dengan sikap sopan
santun, hormat, ramah, tamah, dan bertatakrama.
Ayat ini memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan
berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali,
19KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta,2002) , hal. 35.
20Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.5, hal. 458.
21Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:Toha Putra, 1993), Jilid. 15, hal. 51.
46
di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-
Qur'an menggunakan term Karim, yang secara kebahasaan berarti mulia.
Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang Karim, dalam
konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan
yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia
berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan
dihormati.22 Qaul karim, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik,
yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
c. Prinsip Qaulan Maysuran
Istilah qaulan masyura hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an
yang terdapat dalam surat al-Isra ayat 28:
٢٨(“Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang engkau harapkan, Maka Katakanlah kepada merekaUcapan yang lemah lembut.23”(Q.s. al-Isra: 28).
Menurut Hamka, qaulan masyura adalah kata-kata yang
menyenangkan. Berdasarkan konteksnya menurut Hamka qaulan masyura itu
pantas diucapkan oleh orang kaya nan dermawan, berhati mulia dan sudi
menolong kepada orang yang pantas ditolong, didalam situasi si dermawan
tersebut sedang “kering” belum mampu memberikan pertolongan. Di dalam
22Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: GemaInsani Press, 2003), juz 13, hal. 318.
23Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,Jilid.5, hal. 464-465.
47
al-Qur’an dan terjemahnya,24 qaulan masyuran diartikan dengan ucapan yang
lemah lembut. Demikian pula yang terdapat di dalam Tafsir al-Maraghi.25
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily26 dalam tafsirnya adalah, “Maka
ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mudah dipahami, lunak dan lemah
lembut.”
Berdasarkan asbab an-Nuzulnya ayat tersebut diturunkan sebagai
perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk menunjukan sikap yang arif dan
bijak dalam menghadapi keluarga-keluarga dekat, orang miskin dan musafir
ucapan yang manis dan pantas kepada mereka agar tetap bersabar dalam
menghadap cemoohan dan hinaan serta bujukan harta kekayaan disamping
mereka juga tidak sungkan memberikan harta kekayaannya kepada musuh-
musuh Islam, yang karenanya bisa menghalangi dan memerangi umat Islam.27
d. Prinsip Qaulan Ma'rufan
Secara bahasa, qaulan ma’rufa berarti perkataan yang ma’ruf
(membangun). Dengan demikian, ia mengandung pengertian perkataan dan
ucapan-ucapan yang baik, santun, dan sopan. Perkataan yang baik akan
menggambarkan kearifan. Perkataan yang santun akan menggambarkan
kebijaksanaan. Dan perkataan yang sopan menggambarkan sikap terpelajar
24Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,Jilid.5, hal. 465.
25Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:Toha Putra, 1993),, jilid 15, hal. 71.
26Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hal. 59.27Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:
Toha Putra, 1993), Jilid 15, hal. 71.
48
dan kedewasaan.28 Berkaitan dengan perkataan yang ma’ruf ini Allah Swt.
berfirman:
٥(
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurnaakalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allahsebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasilharta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.29” (QS. An-Nisa: 5)
Khithab (pembicaraan) pada ayat 5 surah an-Nisa tersebut ditujukan
kepada semua umat dan larangannya mencakup setipa harta, yang intinya
perintah agar memberikan harta kepada anak yatim apabila ia telah baligh dan
memberikan mahar kepada isteri, kecuali apabila mereka termasuk orang safih
(dungu), yang tidak akan bisa menggunakan harta benda. Maka cegahlah harta
mereka agar jangan disia-siakan dan peliharalah harta mereka olehmu hingga
mereka dewasa. Kemudian hendaknya setiap wali menasehati orang yang
diasuhnya apabila ia masih kecil dengan perkataan yang enak dan
membuatnya menjadi penurut.30
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an
mengharuskan setiap muslim untuk selektif dalam berbicara, antara lain
28KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta,2002), hal. 42.
29Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), cet. Ke-1,Jilid. 2. hal. 114.
30Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang:Toha Putra, 1993), jilid 4, hal. 333.
49
dengan menggunakan kata-kata yang baik dan menjauhi kata-kata buruk.
Kata-kata baik tersebut adalah kata-kata halus yang tidak menyinggung orang
lain. Dengan kata lain, serang muslim hendaklah menghindari kata-kata kasar
yang menyinggung lawan bicara, kata-kata tersebut diucapkan. Sebaliknya, ia
harusg memperhatikan tatakrama bicara sesuai dengan lingkungan dimana ia
hidup.
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu QS
al-Baqarah: 235, al-Nisa: 5 dan 8, al-Ahzab: 32. Di dalam QS al-Baqarah:
235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah
ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam QS an-Nisa: 5 dan 8, qaul
ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak
yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di QS. al-
Ahzab: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
e. Prinsip Qaulan Layyinan
Istilah qaulan layyinan hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an
yang terdapat dalam surat Thaha ayat 44:
٤٤(“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, Mudah-mudahan ia sadar atau takut"31. (QS Thaha: 44)
Pada ayat di atas Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Musa dan
Nabi Harun untuk menyerukan ayat-ayat Allah kepada Fir’aun dan kaumnya.
Dikhususkan perintah berdakwah kepada Fir’aun setelah berdakwah secara
31Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirny, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,Jilid. 6, hal. 141.
50
umum, karena jika Fir’aun sebagai raja sudah mau mendengarkan dan
menerima dakwah mereka serta beriman kepada mereka, niscaya seluruh
orang Mesir akan mengikutinya, sebagaimana dikatakan dalam pepatah,
“manusia mengikuti agama raja mereka”.
Wahbah al-Zuhaily32 menafsirkan ayat tersebut dengan, “ Maka
katakanlah kepadanya (Fira’un) dengan tutur kata yang lemah lembut (penuh
persaudaraan) dan manis didengar, tidak menampakkan kekasaran dan
nasehatilah dia dengn ucapan yang lemah lembut agar ia lebih tertarik.
Karenanya ia akan merasa takut dengan siksa yang yang dijadikan oleh Allah
melalui lisanmu”. Maksudnya adalah agar Nabi Musa dan Nabi Harun
meninggalkan sikap yang kasar.
Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang
mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara
berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar
dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan
orang yang diajak bicara tersebut.
f. Prinsip Qaulan Sadidan
Di dalam al-Qur'an kata qaulan sadidan disebutkan dua kali, pertama,
QS. An-Nisa: 9:
32Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 15, hal. 215.
51
)٩(“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang merekakhawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah merekabertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara tutur kata yangbenar.”33(QS. an-Nisa: 9)
Ayat diatas sebagai bukti adanya dampak negative dari perlakuan
kepada anak yatim yang dapat terjadi kepada kehidupan dunia ini. Sebaliknya,
amal-amal yang soleh dilakukan seoarang ayah dapat mengantar
terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang menjadi
yatim.34 Muhammad Sayyid Tanthawi berpendapat bahwa ayat diatas
ditujukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk
berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan
mengalami apa yang digambarkan diatas.35
Dan kedua, QS. al-Ahzab: 70
٧٠(“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar.”36(QS. Al-Ahzab:70)
33Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,Jilid. 2, hal. 114-115.
34M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), vol. 2, hal. 339.
35 M.Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), vol. 2, h. 338.
36Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3,jilid. 8, hal. 46.
52
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan
perkataan yang sadid. Atau dengan istilah lain, qaul sadid menduduki posisi
yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan
seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak
penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat. Perkataan yang tepat
itu terkandunglah kata yang benar,37 pembicaraan yang tepat sasaran dan
perkataan yang disampaikan haruslah baik, benar dan mendidik.38
D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Etika Komunikasi Lisan
Dalam al-Qur’an istilah komunikasi sebagian besar diungkapkan dengan kata
قال - نطق - , dan _كلم atau _تكلم kata قال dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak
1722 kali, yang terdapat pada 141 ayat dalam 57 surat,39 kata نطق dengan berbagai
derivasinya diulang sebanyak 12 kali yang terdapat pada 16 ayat dalam 11 surat,40
dan kata -كلم atau تكلم dengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 75 kali, yang
terdapat pada 72 ayat dalam 35 surat.41 Dari istilah tersebut kata Qala mempunyai
beberapa tema yaitu:
1. Tema komunikasi tentang perintah ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 263; an-
Nisa: 5, 9, 63; al-Maidah: 8; al-An’am: 152; an-Nahl: 90; al-Israa: 23, 28 53; al-
37Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’: 22, hal. 109.38M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol.11, hal. 330.39 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, (al-Haiah al-
Misyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975), hal. 426-444.40 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 726-727.41 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 520-525.
53
Mu’minu: 3; an-Nuuur: 21; al-Qashash: 55; al-Ankabut: 28; az-Zumar: 18; al-
Hujurat: 3; al-Ahzab: 70.
2. Tema komunikasi tentang tauhid ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 83, al-
Imran: 104, al-A’raf: 33, al-Hajj: 24, an-Nuur: 15, 16, 19, Fathir: 10.
3. Tema komunikasi tentang larangan ada beberapa ayat, yaitu: an-Nahl: 105; al-
Furqan: 72; Lukman: 19; al-Ahzab: 32.
Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat yang
berkaitan dengan etika komunikasi lisan dapat diklarifikasikan sebagai berikut: QS.
al-Baqarah [2]: 83, 263; QS. Ali-Imran [3]: 104; an-Nisa [4]: 5, 9, 63, 114, 148; al-
Maidah[5]: 8; al-An’am [6]: 152; al-A’raf [7]: 33; Ibrahim [14]: 24, 25, 26; an-Nahl
[16]: 90, 105; al-Isra’ [17]: 23, 28, 53; Thaha [20]: 44; al-Hajj [22]: 24; al-Muminun
[23]: 3; an-Nuur [24]: 15, 16, 19, 21; a-Furqan [25]: 72: 165; al-Qashash [28]: 55; al-
Ankabut [29]: 28; Lukman [31]: 19; al-Ahzab [33]: 32, 70; Fathir [35]: 10; az-Zumar
[39]: 18; Dan al-Hujurat [49]: 3.
54
BAB IV
ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI DALAM AL-
QUR’AN
A. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Baik atau Diam
Berkomunikasi dengan baik adalah suatu keniscayaan bagi seorang
muslim. Namun demikian, cara berkomunikasi yang baik niscaya timbul dari
budi yang baik. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholih niscaya
perkataan yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata
jelek. Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada
surat al-Isra’ ayat 53. Allah Swt. berfirman:
٥٣(“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itumenimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalahmusuh yang nyata bagi manusia.”1 (QS. Al-Isra: 53)
Berdasarkan ayat tersebut, umat Islam diharuskan untuk selalu berbuat
kebaikan dalam segala kondisi agar dapat menuai hasil (pahala) kebaikan pula,
baik untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk
menggapai pahala tersebut adalah dengan berkomunikasi secara baik, sebab
berkomunikasi baik kepada orang lain akan mendatangkan kemashlahatan, baik
bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya, cara komunikasi yang tidak
baik akan mendatangkan kemadaratan dan permusuhan, sebab bersumber dari
1Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 5, hal. 497.
55
hasutan syaitan yang selalu berusaha agar manusia selalu mengikuti jalannya
dengan berbagai cara, sehingga manusia terperangkap di pelukannya.
Menurut Ibn Katsir, dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman agar berkata baik atau menggunakan kata-kata
terbaik ketika berkomunikasi atau ketika memerintahkan sesuatu kepada sesama.
Jika mereka tidak berbuat demikian, maka di antara mereka akan terkena hasutan
syaitan yang akan berdampak pada perbuatan mereka, sehingga akan terjadi
pertengkaran dan permusuhan di antara mereka.2
Senada dengan tafsiran ayat tersebut, Imam Qurtubi berpendapat bahwa
Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. agar menyuruh
umatnya untuk berkomunikasi dengan baik, atau menggunakan kata-kata yang
terbaik ketika mereka sedang berkomunikasi atau memberikan petuah kepada
sesama mereka.3
Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut, jelaslah bahwa berkomunikasi
dengan baik merupakan perintah dari Allah Swt. hanya saja, munculnya ucapan
baik yang dilontarkan seseorang ternyata berkaitan pula dengan keteguhan iman
seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang imannya kuat dipastikan akan selalu
berusaha untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam berkomunikasi. Hal ini
dinyatakan dalam firman-Nya:
٢٤(
2Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim IbnuKatsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 59.
3Muhammad bin Yazid bin Jarir bin Khalid at-Thabari Abu Ja’far, Tafsir al-Qurtubi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz . 15, hal. 180.
56
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik danditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang Terpuji.4”(QS. Al-Hajj: 24)
Menurut Hamka5, perkataan yang baik niscaya timbul dari budi yang baik
dan sopan santun. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholeh niscaya
perkataannya yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah
berkata jelek. Orang yang memberikan bimbingan untuk bisa bersikap seperti itu
tiada lain adalah utusan-utusan Allah Swt sendiri.
Pendapat tersebut bisa dipahami dikarenakan seorang hamba yang beriman
kuat, tentu saja akan terus berusaha untuk menguasai nafsunya dan
mengendalikan jiwanya, sehingga segala perkataan dan perbuataannya tidak
bertentangan dengan ketentuannya Tuhannya. Ia selalu merasa bahwa dimanapun
ia berada, Allah Swt Senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, sehingga
tidak ada celah sendikit pun baginya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ketentuan-Nya, termasuk dalam komunikasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang yang selalu berkata
baik akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan, sebagaimana dinyatakan
dalam firman-Nya:
١٠(“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik danamal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatanbagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.”6(QS.Fathir: 10)
4Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 6, hal. 375.
5Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 17, hal. 156.6Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 8, hal. 141.
57
Menurut Hamka, maksud dari “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya”. Artinya bahwasannya terlontar dari
mulutnya kata-kata yang baik, dia pun diangkat keatas, kemartabat yang lebih
tinggi oleh amal shaleh. Dan itulah izzah atau kemuliaan sejati.7
Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa siapa saja yang menginginkan
kejayaan di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia selalu taat kepada Allah Swt.
Ketaatanlah yang akan menjadikan seorang hamba memperoleh kejayaan, sebab
kejayaan semata-mata milik Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat. Di
antara ketaatan adalah berkata baik, sebab Allah Swt. akan menerima perkataan-
perkataan yang baik, seperti tauhid, dzikir, dan bacaan al-Qur’an.8
Oleh karena itu, umat Islam sudah semestinya memandang penting untuk
berkata baik, tidak asal bicara, apalagi mempengaruhi orang lain untuk berbuat
kejelekan. Orang yang berkata jelek, tentu saja tidak akan mendapatkan pahala,
sebab perkataan yang mengandung pahala adalah perkataan yang mengandung
kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
١١٤(“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atauberbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapayang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kamimemberi kepadanya pahala yang besar.9” (QS. An-Nisa: 114)
7Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 22 , hal. 219.8Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid. 8, hal. 112-123.9Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.
Ke-3, Jilid. 2, hal. 263.
58
Dengan demikian, selain harus berkata baik seorang muslim pun harus
selektif dalam menerima bisikan dari orang, sebab tidak semua bisikan yang
datang kepadanya layak diceritakan kembali kepada orang atau ia praktikkan
dalam perbuatan, sebab tidak menutup kemungkinan bisikan yang datang
kepadanya akan menjerumuskannya. Begitu pula bisikan jelek yang diterima
seseorang kalau disebarkan kepada orang lain tidak menutup kemungkinan hanya
akan mendatangkan kemadaratan bagi orang lain.
Menurut ayat tersebut, perkataan seseorang semestinya mengandung
ajakan untuk berbuat kebaikan agar menghasilkan kebaikan pula, baik bagi
dirinya maupun orang lain. Bahkan dalam ayat lain Allah Swt. menegaskan:
١٠٤(“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,merekalah orang-orang yang beruntung.”10 (QS. Ali-Imran: 104)
Berkaitan dengan keutamaan berkata baik, Rosulullah Saw. Bersabda:
:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a katanya, “ Nabi Saw telah bersabda,pada setiap hari terdapat sedekah disetiap sendi manusia ketika matahari terbit.
10Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 2, hal. 13.
59
Kemudian Rosulullah Saw. Bersabda: “berlaku adil diantara dua orang manusiaadalah sedekah, membantu seseorang naik keatas binatang tunggangannya ataumengangkat barang-barangnya keatas belakang tunggangannya juga adalahsedekah”. Rosulullah Saw. Bersabda lagi: perkataan yang baik adalah sedekah,setiap langkah menuju sembahyang adalah sedekah dan membuang sesuatu yangberbahaya di jalan adalah sedekah.11(HR. Bukhori)
Berdasarkan hadits tersebut jelas sekali bahwa berkata baik sangat
menguntungkan orang mu’min, karena akan semakin menambah banyak pundi-
pundi amalnya untuk bekal kelak di akhirat. Dalam hal ini tentu saja lebih baik
diam dari pada berkata baik berkata tidak karuan yang memudhorotkan bagi orang
lain.
Ibnu Hajar12 berpendapat, yang dimaksud dengan penyataan bahwa
perkataan yang baik adalah sedekah, yaitu perkataan seseorang yang membuahkan
pahala dari Allah Swt. Baginya, sebagaimana Allah Swt pun telah menjanjikan
kepada orang yang mengeluarkan sedekah. Ia juga mengutip hadits dari Adi bin
Hatim yang menyatakan, “Jagalah diri kalian walaupun dengan biji kurma. Jika
kalian tidak memilikinya, maka dengan perkataan yang baik”.
Dalam hadits yang lain, Rosulullah Saw. Bersabda:
:
11Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar IbnKatsîr, 1987), Juz.10, hal. 163.
12Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl al-‘Asqalani al-Syafi’I, Fath al-Bari, (Beirut: Daral-Ma’rifah, 1379), Juz. 10, hal. 449.
60
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah berceritakepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Husain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah.Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda, “Barangsiapa yang berimankepada Rosulullah Saw dan hari akhirat, hendaklah berkata baik atau diam saja.Dan telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepadakami Isa bin Yunus dari A’Masy dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah. Ia berkatabahwa Rosulullah Saw, telah bersabda sebagaiman hadits dari Abu Hushaintersebut. Hanya saja, beliau bersabda: Hendaklah ia berbuat baik kepadatetangganya.”(HR. Muslim)13
Menurut Imam an-Nawawi, maksud ungkapan , bahwa
jika seseorang akan berkata sesuatu, maka hendaklah berpikir dahulu, jika
perkataannya mendatangkan pahala baginya, baik berkaitan dengan perkara wajib
maupun sunah maka katakanlah. Sebaliknya, apabila perkataannya tidak akan
mendatangkan pahala, baik secara zhahir berkaitan dengan perkara yang makruh
maupun haram, maka hendaklah ia tahan perkataannya.14
Dengan kata lain, diam adalah lebih utama dibandingkan banyak bicara
tetapi tidak bermakna dan hanya mendatangkan kemudhorotan. Menurut Yusuf
Qardhawi, banyak bicara akan membuat orang melakukan banyak kesalahan
karena lidah (lisan) tidak terlepas dari berbagai kekeliruan. Seperti yang dikatakan
Imam al-Ghazhali, lidah mempunyai dua puluh penyakit, antara lain: berdusta,
ghibah, namimat (mengadu domba), bersaksi palsu, bersumpah palsu,
13Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût:Dar al-Fikr, 1993), Juz. 1, hal. 164.
14Abu Zakariya Yahya bib Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim(Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392), Juz. 2, hal. 19.
61
memperbincangkan kesalahan orang, membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah,
mencemooh orang lain, menghina, dan lain-lain.15
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara baik
mendapat perhatian penting dalam Islam dan diperintahkan oleh Allah Swt. dan
Rasul-Nya. Bahkan seseorang dianjurkan untuk berdiam jika tidak bisa berkata
baik, sebab diam adalah lebih baik daripada berkata-kata namun tidak baik dan
juga ada ungkapan bahwa diam itu emas, dari sekian banyak petunjuk agama yang
yang mendorong agar seseorang selalu menimbang-nimbang segala apa yang di
ucapkannya, karena seperti dalam Al-Qur’an:
١٨("Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekat
(pengucap)-nya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapan-ucapantersebut).16 (QS. Al-Qaaf: 18)17
Setiap orang beriman harus berusaha agar setiap perkataan yang
dilontarkannya mengandung kebaikan, sehingga akan mendatangkan pula bagi
pendengarnya. Dengan kata lain, berusaha untuk melontarkan kata-kata yang baik
dan berusaha pula untuk selalu menyimak dan mendengarkan perkataan yang
baik, maka hidupnya akan dipenuhi dengan kebaikan, dan hanya mengikuti jalan
kebaikan.
Dalam al-Qur’an juga membahas masalah berkomunikasi dengan
menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat yang buruk, ayat yang
berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat az-Zumar ayat 18; Ibrahim ayat
15Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (BandungTrigenda Karya, 1996), hal. 113.
16Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 9, hal. 453.
17M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:Mizan, 1994), hal. 283.
62
24, 25, 26; surat an-Nur ayat 26; dan surat al-Qashash ayat 55. Allah Swt.
berfirman:
١٨(“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan merekaitulah orang-orang yang mempunyai akal.18” (QS. Az-Zumar: 18)
Sebab turunnya ayat ini : Jawaibir meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah
yang berkata, “ ketika turun ayat 44 surat al-Hijr, ‘(Jahanan itu mempunya tujuh
pintu,” datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar menghadap Rosulullah
seraya berkata, “Ya Rosulullah, aku mempunya tujuh orang hamab/budak yang
telah saya memerdekakan seluruhnya untuk ketunjuh pintu neraka.” Ayat ini (Q.S.
az-Zumar: 17-18) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menyatakan
bahwa orang tersebut telah mengikuti petunjuk Allah.19
Dalam al-Qur’an Allah Swt. mengumpamakan perkataan yang baik dan
buruk laksana pohon, pohon yang baik akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya
pohon yang buruk akan mendatangkan kejelekan, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya:
)٢٤
)٢٥٢٦(
18Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 8, hal. 425.
19K.H.Q Shaleh dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), Hal. 465.
63
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuatperumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dancabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiapmusim dengan seizin Tuhan-Nya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaanitu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yangburuk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya daripermukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.20” (QS. Ibrahim: 24-26)
Menurut al-Maraghi, dalam ayat tersebut Allah Swt. mengumpamakan
kalimat iman (yang bersumber dari keimanan) dengan sebuah pohon yang akarnya
tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke udara, sedang
pohon itu berbuah pada setiap musim. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah
bersemayam di dalam satu kalbu, maka akan melimpah kepada yang lain dan
memenuhi banyak kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim,
karena buahnya tidak pernah terputus.
Sedangkan perumpamaan kalimat kufur adalah laksana pohon yang buruk,
seperti pohon paria dan sebagainya yang tidak mempunyai pokok yang tetap di
dalam tanah, bahkan akarnya pun tidak mencapai permukaan tanah, sehingga
tumbang di atas tanah karena akar-akarnya dekat kepermukaan tanah. Dengan
kata lain, pohon tersebut cepat rusak dan kurang mendatangkan manfaat bagi
manusia.21
Kemudian al-Maraghi mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa yang
dimaksud dengan kalimat yang baik adalah ucapan La ila ha illa Allah, sedangkan
pohon yang baik adalah pohon kurma.22
Hemat penulis, walaupun al-Maraghi mengartikan kalimat yang baik
tersebut dengan kalimat iman, tidak diartikan sebagai perkataan yang baik, namun
20Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 5, hal. 143.
21Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,1382H/1962M), Jilid. 5, hal. 138-139
22Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. 5, hal. 139.
64
tetap relevan dengan bahasan ini, sebab kalimat iman mencakup perkataan-
perkataan baik yang sesuai dengan ketentuan syara.
Perkataan yang baik biasanya muncul apabila seseorang terbiasa
mendengarkan perkataan-perkataan yang baik pula. Oleh karena itu, seorang
muslim hendaklah tidak memperhatikan kalimat-kalimat buruk atau kalimat-
kalimat tidak bermanfaat yang diucapkan oleh seseorang agar ia tidak terpancing
untuk berkata dengan kalimat-kalimat yang buruk pula. Allah Swt. berfirman:
٥٥(“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling daripadanya dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami danbagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul denganorang-orang jahil.23” (QS. Al-Qashash: 55)
Ayat tersebut menerangkan tentang sikap kaum muslimin pada zaman
Rasulullah yang tidak mempedulikan caci-maki atau ucapan-ucapan buruk dari
orang-orang kafir yang dilontarkan kepada kaum muslimin, sehingga mereka
tidak terhasut dan terpengaruh untuk berperilaku seperti mereka.24
B. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Benar
Sesuatu yang tampak baik, belum tentu benar. Begitu pula dengan
berkomunikasi, setiap orang harus berkomunikasi dengan benar. Menurut
Hamka25, orang yang mengaku sebagai orang yang beriman, supaya memupuk
jiwanya dengan takwa kepada Allah Swt.
23Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 7, hal. 309.
24Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. Ke-II,jilid. 3, hal. 1659.
25Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986),Juz. 22, hal.109.
65
Diantara sikap hidup yang didasarkan pada iman dan takwa kepada-Nya
ialah jika berkata-kata hendaklah memilih kata-kata yang tepat, yakni kata-kata
yang benar. Selain itu tidak boleh berbelit-belit, dan kata-katanya tidak menyakiti
sesama manusia. Pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah dalam surat
al-Ahzab ayat 70:
٧٠(“Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar.26” (QS. Al-Ahzab: 70)Wahbah al-Zuhaily27 mengartikan qaulan sadidan pada ayat ini dengan
ucapan yang tepat dan bertanggung jawab, yakni ucapan yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama. Selanjutnya ia berkata bahwa surah al-Ahzab ayat 70
merupakan perintah Allah terhadap dua hal: Pertama, perintah untuk
melaksanakan ketaatan dan ketaqwaan dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berbicara dengan
qaulan sadidan, yaitu perkataan yang sopan tidak kurang ajar, perkataan yang
benar bukan yang batil.28
Muhammad Fakhruddin al-Razy29 mengemukakan bahwa qaulan sadidan
adalah segala sesuatu yang nampak sebagai manivestasi dari nilai ketaqwaan
seseorang yang mendalam kepada Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Berkata benar atau jujur berperan sangat penting bagi seseorang dan akan
membawa kebaikan baginya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Allah
26Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, jilid. 8, hal. 46.
27Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 3, hal. 260.2828Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962M), Jilid 8, hal. 44-45.29Muhammad Fakhruddin al-Razy, Tafsir Fakhru Razy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid.
3, hal. 260.
66
Swt. mengkategorikan orang yang selalu berkata benar sebagai orang yang
bertaqwa.
٣٣(“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.30” (QS. Az-Zumar:33)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang
berbicara maka haruslah benar menurut standar syariat Islam. Dalam kehidupan
bermasyarakat tidak sedikit orang yang berkata manis, baik dalam tutur kata
maupun isi pembicaraan, tetapi pada kenyataannya orang tersebut berkata tidak
benar atau berbohong. Perbuatan seperti itu tidaklah dibenarkan dalam Islam,
sebagaimana telah disebutkan landasannya, baik dari al-Qur’an maupun as-
Sunnah.
Dalam ayat yang lain Allah Swt. berfirman:
٩(“Dan hendaklah takut kepada Allah Swt. orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirterhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwakepada Allah Swt. dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.31”(QS. An-Nisa: 9)
Kandungan pada ayat 9 surah an-Nisa ini berkaitan dengan ayat
sebelumnya, yaitu masih berkisar tentang para wali (penanggung jawab) dan
orang-orang yang diwarisi, yakni mereka yang dititipi anak yatim. Juga tentang
perintah agar mereka memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara
30Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 8, hal. 441.
31Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 2, hal. 114.
67
kepada mereka dengan qaulan sadidan sebagaimana mereka berbicara kepada
anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka
dengan sebutan manja, seperti anakku, sayangku, dan sebagainya.32
Walaupun kandungan ayat tersebut tampaknya dikhususkan bagi para wali
anak yatim agar berkata lembut kepada anak-anak yatim yang diurusnya, namun
tidak berarti bahwa kepada anak yang lain atau kepada orang lain diperbolehkan
untuk berkata kasar dan berbohong, sebab pada dasarnya keharusan untuk berkata
benar dan sopan adalah berlaku bagi semua umat Islam agar memperoleh
kemashlahatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain perintah berkomunikasi dengan benar, dalam al-Qur’an juga
melarang orang berkomunikasi seperti:
1. Dalam Berkomunikasi Tidak Boleh Bohong dan Berkata Keji (Batil)
Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah di atas
terdapat pada surat an-Nisa: 148; al-An’am: 151; al-A’raf: 33; an-N`ahl:
90; al-Mu’minun: 3; an-Nur: 15, 16, 19, 21; al-Furqan: 72; As-Syu’ara:
165; an-Naml: 54, 55; dan al-Ankabut: 28.
1. Larangan Berkata Keji
Di antara ayat-ayat yang melarang untuk berkata keji adalah
sebagai berikut:
١٤٨(“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan
terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Mahamendengar lagi Maha mengetahui.”33 (QS. An-Nisa: 148)
32Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,1382H/1962M), Jilid 2, hal. 193
33Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 2, hal. 299.
68
Sebab turunnya ayat ini: Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa as-
Suddi berkata, “ Ayat ini turun pada Nabi Swa. Ketika seorang kaya
dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan
Rosulullah saw. Memihak orang yang fakir karena menurut beliau
orang fakir tidak menzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tepat
ingin agar beliau berlaku adil kepada orang yang kaya dan fakir
tersebut.34
Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah bahwa Allah Swt. tidak menyukai ucapan buruk, yakni ucapan
yang akan menimbulkan keburukan. Hal itu merupakan perbuatan
orang-orang zhalim. Namun demikian, tidak pula diperbolehkan untuk
menceritakan perbuatan buruk orang-orang zhalim, atau mendoakan
jelek kepada mereka.35
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga tatanan kehidupan
yang baik di masyarakat, sehingga tidak terjadi percekcokan dan
keributan yang disebabkan oleh ucapan buruk. Dan realitas di
masyarakat banyak sekali keributan atau perkelahian masal gara-gar
ucapan buruk. Itulah sebabnya, ucapan buruk bisa dikategorikan
sebagai perbuatan keji seperti dinyatakan dalam firman Allah Swt:
34 Jalaluddin AS-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,2008), hal. 206.
35Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. II, jilid. 1,hal. 401.
69
١٥١(“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatudengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, danjanganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, danjanganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yangnampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamumembunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkandengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkankepadamu supaya kamu memahami(nya).”36 (Al-An’am: 151)
Larangan untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan keji tersebut,
termasuk diantaranya larangan untuk mendekati perbuatan keji dalam
berbicara, baik dari segi isi pembicaraan maupun cara
pengungkapannya. Allah Swt berfirman:
٣٣(“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkanhujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apayang tidak kamu ketahui.37" (Al-Araf: 33)
Sebaliknya Allah Swt menyuruh hamba-Nya agar berlaku adil dansenantiasa berbuat kebaikan, serta menghindari berbagai kemungkinantermasuk dalam berbicara:
36Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 3, hal. 271.
37Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, jilid. jilid.3, hal. 394.
70
٩٠(“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dariperbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajarankepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”38 (QS.An-Nahl: 90)
Sebaliknya, orang yang mampu menjaga ucapannya dangan baik
sehingga tidak pernah berkata kotor atau berkata keji termasuk katagori
orang yang berbahagia,sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
٣(“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tidak berguna.39 (QS.al-Mu’minun: 3)Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya yang berbicara
tentang orang-orang yangmendapat kebahagiaan dalam pandangan Allah
Swt. Bagai mana pun juga orang yang apik dalam tidak pernah menyakiti
orang lain dengan perkataannya, tentu saja tidak akan pernah dimusuhi
orang, namun sebaliknya ia akan disenangi dan disukai banyak orang.
Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa berbuat keji tiada lain
bersumber dari syaitan yang selalu berusaha agar manusia terjerumus pada
perbuatan keji tersebut. Oleh karena itu Allah Swt. Melarang hamba-
hamba-Nya agar tidak mengikuti perbuatan-perbuatan syaitan:
38Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, jilid. 5, hal. 372.
39Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 6, hal. 470.
71
٢١(“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yangkeji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah danrahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamubersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Mahamendengar lagi Maha mengetahui.40 (QS.An-Nuur: 21)
Ayat tersebut dengan tegas mengharuskan umatt islam agar tidak
mendekati perbuatan-perbuatan syaitan, agar manusia terhindar dari
kejelekan dan perbuatn keji lainnya, termasuk di dalam berkata kotor.
Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang yang mampu
mengendalikan dirinya dari perbuatan keji tidaklah terlepas dari
pertolongan Allah Swt kepadanya. Oleh karena itu.setiap orang selalu
berdoa’ agar bernantiasa dijauhkan dari dari sebagai perbuatan keji, baik
dalam sikap, perilaku, maupun sehingga memperoleh kemaslahatan.
Di antara perkataan yang tergolong perkataan keji antara lain:
perkataan yang mengandung unsur buruk sangka, memata-matai orang,
mencaci orang, gibah, dan lain-lain.
2. Larangan Berkata Bohong
Ayat-ayat yang berkaitan dengan keharusan untuk berkata jujur,
tidak bohong cukup banyak, diantaranya:
40Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 6, hal. 581.
72
١٠٥(
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalahorang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulahorang-orang pendusta.41” (QS. An-Nahl: 105)
Itulah ancaman Allah Swt. bagi orang yang suka berbuat bohong,
bahwa mereka dipandang sebagai orang yang tidak beriman. Hal itu
dikarenakan orang yang suka berbohong sama artinya dengan orang yang
tidak mengakui eksistensi Allah Swt. karena merasa tidak ada yang
mengawasi, padahal Allah Swt. selalu mengawasi gerak-geriknya.
Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa berkata bohong diantara
ciri-ciri orang munafik Rasulullah Saw berabda:
:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a. ia berkata bahwa:Rosulullah Saw pernah bersabda: ada empat perkara jika siapa saja yangmempunyai empat perkara tersebut, maka dia merupakan orang munafik.Barangsiapa yang bersifat dengan salah satunya berarti dia memiliki sifatmunafik, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila membuat persetujuandia khianati, apabila berjanji dia menyalahi dan apabila bertikai diamelampaui batas.42
Hal itu menunjukan bahwa berkata bohong akan menimbulkan
bahaya besar dalam kehidupan seseorang atau akan menimbulkan bencana
41Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 5, hal. 390.
42Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût:Dar al-Fikr, 1993), Juz.1, hal. 90.
73
besar di antaranya bencana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah Saw,
akibat berita bohong adanya fitnah terhadap Siti Aisyah yang dituduh telah
berbuat selingkuh dengan salah seorang sahabat. Berita tersebut
menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam saat itu. Peristiwa tersebut
diungkapkan dalam Al-Qur’an:
١٥
١٦(
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulutke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahuisedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. PadahalDia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata,diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagikita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalahDusta yang besar.43"(QS An-Nur: 15-16)
Kedua ayat tersebut berkaitan dengan fitnah yang menimpa kepada
Siti Aisyah bahwa ia telah dituduh telah berbuat serong dengan laki-laki
lain, sehingga menimbulkan gejolak dikalangan umat Islam saat itu. Berita
tersebut menyebar dari mulut ke mulut yang dihembuskan oleh orang
munafik. Padahal berita tersebut bohong belaka, namun tetap dampaknya
sangat besar karena menyangkut nama istri Rosulullah Saw. Oleh karena
43Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid.6, hal. 578.
74
itu, tidak mengherankan apabila kebohongan seperti itu dipandang sebagai
dusta yang besar.44
Termasuk dalam berbohong adalah memberikan kesaksian palsu, yang
juga dilarang oleh Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Firman-Nya:
٧٢(
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, danapabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakanperbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) denganmenjaga kehormatan dirinya.45” (QS. Al-Furqan: 72)
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits diatas dapat diketahui
bahwa Islam sangat mencela umat yang suka berbohong atau berkata keji.
Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah menjauhi perkataan bohong dan
perkataan keji. Orang yang dikenal sebagai pembohong atau suka berkata
keji, maka ia akan sulit dipercaya orang, sehingga kehidupannya akan
sempit karena orang lain tidak akan bergaul dengan pembohong. Bahkan
orang-orang akan membencinya, karena tidak sedikit yang dirugikan oleh
perbuatannya.
2. Merendahkan Suara Saat Berkomunikasi
Seseorang tidak diperbolehkan untuk bersuara keras yang tidak
sepadan dengannya atau yang lebih tua, apalagi jika bergaul dengan orang
ramai di tempat umum. Orang yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa
44Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim IbnuKatsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 334.
45Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid.7, hal. 38.
75
ditemat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk.
Oleh karena itu, orang yang bersuara keras bukan pada tempatnya
diibaratkan sebagai suara keledai yang memekakkan telinga dan sangat
tidak disukai oleh manusia. Maka tidak mengherankan jika suara keledai
dipandang sebagia suara paling buruk. Dalam al-Qur’an ayat yang
berkenaan dengan masalah di atas terdapat pada surat Luqman ayat 19 dan
al-Hujurat ayat 3. Allah Swt. berfirman:
)١٩(
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.46” (QS. Luqman:19)
Hamka mengutip pendapat Mujahid yang berpendapat bahwa suara
keledai sangatlah jelek. Oleh karena itu. Orang-orang yang bersuara keras,
menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya,
suaranya jadi terbalik-balik, menyerupai suara keledai, tidak enak
didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah Swt.47
Seseorang sebaiknya berkata dengan lemah lembut. Namun
demikian, ia dibolehkan untuk berbicara keras ketika seseorang sedang
mengarahkan orang banyak dalam suatu pekerjaan. Begitu seorang
komandan ketika mengarahkan pasukannya di medan perang.
46Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 7, hal. 545.
47Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’:. 21, hal. 135.
76
Orang yang berusaha untuk bersuara lembut apalagi ketika
bersama Rasulullah Saw. ternyata mendapat pujian dari Allah Swt. dan
akan memperoleh pahala di sisi-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya:
٣(
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisiRasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka olehAllah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.48”(QS. Al-Hujurat: 3)
Sebab turunnya ayat ini: Rosulullah memanggil Tsabit bin Qais
dab berkata, “ sukakah engkau hidup dalam kemulian dan nantinya
meninggal dalam keadaan syahid?’ Tsabit segera menjawab, “ Ya, saya
senang dengan kabar gembira yang saya terima dari Allah dan Rasul-Nya
ini. Saya berjanji tidak akan pernah lagi berbicara lebih keras dari suara
Rosulullah.’ Allah lalu menurunkan ayat Q.S. al-Hujurat: 3.49
Menurut al-Qurtubi, ayat tersebut merupakan larangan agar tidak
meninggikan suara ketika sedang berada di sisi Nabi. Ia juga mengutip
pendapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa dihukumi makruh
meninggikan suara di dekat kuburan Nabi. Sedangkan menurut Qadhi Abu
Bakar al-‘Arabi, bahwa keharusan untuk menghormati Nabi ketika sudah
meninggal sama dengan keharusan untuk menghormati Nabi ketika masih
48Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-1, Jilid. 9, hal. 395.
49 Jalaluddin AS-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,2008), hal. 522.
77
hidup. Begitu pula keharusan untuk menyimak suara Nabi sama dengan
keharusan untuk mendengarkan hadits-haditsnya di tempat-tempat mencari
ilmu.50
Walaupun ayat tersebut tampaknya dikhususkan ketika seseorang
sedang berada di sisi Nabi, namun tidak berarti bahwa seseorang
dibebaskan untuk berbicara seenaknya di hadapan orang lain, sebab
menghormati orang lain termasuk perintah agama Islam, baik dalam
bersikap maupun dalam bicara.
Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an
tidak hanya mengatur isi atau materi pembicaraan, tetapi juga
memperhatikan intonasi suara. Hal tersebut dikarenakan isi pembicaraan
yang baik kalau disampaikan dengan suara keras yang memekakan tidak
akan mungkin diterima oleh pendengar dengan baik, sebaiknya bisa
menimbulkan percekcokan. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatur agar
pembicara merendahkan suaranya saat berbicara.
1. Wanita Dilarang Bersikap Manja Ketika Berkomunikasi
Wanita dikenal sebagai sosok yang memiliki daya tarik sangat
besar khusunya terhadap lawan jenis. Oleh karena itu, dalam Islam
seoarng wanita diharuskan untk menjaga sikap ketika berkomunikasi
dengan lawan jenis. Sebab, jika hal itu tidak diindahkan, maka akan
membawa kemadhartan.
50Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Juz. 16, hal. 203.
78
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah Swt berfirman
dalam surat al-Ahzab ayat 32:
ي
٣٢(
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yanglain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk (lemah gemulai)dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalamhatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”51 (QS. Al-Ahzab: 32)
Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada istri Nabi Saw bahwa
mereka tidak dipersamakan dengan perempuan mukminat yang manapun
dalam segi keutamaan dan penghormatan, jika mereka betul-betul
bertakwa. Oleh karena itu jika mengadakan pembicaraan dengan orang
lain, maka mereka dilarang merendahkan suara yang dapat menimbulkan
perasaan kurang baik terhadap kesucian dank ehormatan mereka, terutama
jika yang dihadapi itu orang-orang fasik atau munafik yang itukad
baiknya di ragukan. 52
Maksud dari “Maka janganlah kamu berlemah gemulai dengan
perkataan”, adalah jika seorang Istri Rosulullah bercakap-cakap,
hendaklah percakapan itu yang tegas dan sopan, jangan genit. Jangan
membuat perangai yang kurang pantas sebagai istri Rosulullah.
Sebenarnya, perintah tersebut tidak hanya ditujukan kepada para isteri
51Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 8, hal. 3.
52 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. 8, hal. 4.
79
Nabi, tetapi ditujukan pula kepada wanita-wanita lainnya.53 Hal itu
sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Katsir bahwa perintah tersebut ditujukan
kepada semua wanita, tidak hanya kepada para isteri-isteri Nabi saja, tetapi
juga kepada semua perempuan, agar mereka tidak bermanja-manja ketika
berbicara sehingga mengundang gairah kaum laki-laki.54
Ayat tersebut sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang,
dimana akhlak sebagian wanita sudah sangat mengkhawatirkan, baik
dalam segi perilaku maupun busana. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila kasus-kasus perkosaan semakin merajalela dimana-mana, sebab
perilaku sebagian wanita tampak seperti menantang gairah para lelaki.
Sikap manja para wanita dalam berbicara tidak kalah berbahayanya
dari berpakaian yang mengumbar aurat, sebab gaya bicara yang diatur
sedemikian rupa agar menarik perhatian lawan jenis juga akan
mengundang gairah seks para kaum lelaki. Begitu pula dalam bernyanyi,
para wanita dilarang menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan lagu-lagu
yang manja dan mengundang gairah seks apalagi jika dilakukan dengan
pakaian seronok dan sengaja dipertontonkan kepada para lelaki.55
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ada
ketentuan khusus untuk para wanita berkaitan dengan berbicara ini,
dimana mereka dilarang untuk bersikap manja ketika berbicara kepada
53 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 261.
54Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim IbnuKatsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 583
55Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (BandungTrigenda Karya, 1996), hal.754-755.
80
lawan jenis yang bukan suaminya ataun muhrimnya. Hal tersebut
dimaksudkan antara lain untuk menghindari fitnah. Karena wanita yang
bersikap manja dalam berbicara kepada lawan jenis akan menimbulkan
birahi kepada lak-laki yang kurang kuat iman sehingga mendorong laki-
laki tersebut untuk melakukan perbuatan tercela.
C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil
Perintah untuk berkomunikasi dengan adil adalah menyangkut ucapan
karena ucapan berkaitan dengan penetapan hukum termasuk dalam
menyampaikan hasil ukuran dan timbangan. Lebih-lebih lagi karena manusia
sering kali bersikap egois dan memihak keluarganya. Untuk itu dinyatakan
bahwa:
١٥٢(
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yanglebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dantimbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorangmelainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklahkamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janjiAllah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamuingat.”56(QS. Al-An’am: 152)
Dalam ayat ini mencontohkan tentang salah satu kemungkinan
terpelesetnya manusia karena kelemahannya, kelemahan yang menjadikan
kekuatan perasaan kekerabatan seseorang mendorongnya untuk saling tolong,
56Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 3, hal. 268.
81
saling melengkapi, dan saling sambung-menyambung. Karena, manusia adalah
sosok yang lemah dan terbatas. Maka, kekuatan kerabatnya menjadi sandaran
bagi kelemahannya, keluasaan keberadaan kerabatnya itu menjadi pelengkap
baginya.
Karena itu, ia menjadi lemah terhadap kerabatnya ketika ia harus menjadi
saksi bagi mereka atau dalam memutuskan perkara yang terjadi antara
kerabatnya dengan orang lain. Dalam situasi yang seperti ini, katakanlah yang
benar dan adil, sebab dengan adil akan berdampak positif dalam segala
tindakaan. Jika selalu berkata benar, maka untuk bertindak adil dala kehidupan
aka lebih mudah lagi terbiasa.57
Islam menarik hati nurani manusia, agar ia mengucapkan perkataan yang
benar dan adil, berdasarkan petunjuk dan berpegang kepada Allah semata,
introspeksi (muraqabah) terhadap Allah semata, merasa cukup dengan-Nya
tanpa butuh bantuan terhadap kerabat, dan memperkuat dirinya agar tidak
memilih untuk memenuhi hak kerabat dengan mengalahkan hak Allah karena
Allah lebih dekat dengan seseorang dibandingkan urat lehernya.58
Dalam bahasan ini akan dikaji tentang hakikat adil yang sebenarnya. Adil
secara bahasa mustaq dari kata ‘adala, ya’dilu, dan adlan fahuwa ‘adilun.59al-
adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu
57Syekh Muhammad Muatawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, Terj: Tim terjemah Safir al-Azhar dkk, (Jakarta: Duta Azhar, 2006), cet. Ke-1, hal. 537.
58Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: GemaInsani Press, 2003), Jilid:8, hal. 94.
59Ibrahim Anis dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth, hal. 617.
82
dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-adl adalah al-qisth, al-mitsl,
dan al-mizan.60
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, adil mengandung
banyak arti a.) Tidak berat sebelah, tidak memihak, b.) berpihak pada yang
benar, c.) berpegang kepada kebenaran, d.) sepatutnya; tidak sewenang-
wenang.61
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain
baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak
berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti
berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan dengan
“wad’u al-syai fi mahalli (meletakan sesuatu pada tempatnya).62
Keadilan didalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai bentuk
diantaranya: al-‘adl, al-Qist dan al-Mizan. Kata ‘adl yang ada dalam berbagai
bentuk terulang 28 kali, kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali yakni pada QS al-
Baqarah: 48, 123, 282 (dua kali), QS an-Nisa: 58, QS al-Maidah: 95 (dua kali)
dan 106, QS al-An’am: 70, QS an-Nahl: 76 dan 90, QS al-Hujurat: 9, serta QS
at-Thalaq: 2.63
Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan banyak orang
saat ini, salah satu elemen yang tak bisa diabaikan dalam penegakkan keadilan
adalah saksi. Penyebutan diri sendiri orang tua dan kerabat dalam ayat ini
60Abdul Aziz Dahlan(ed), “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,1999), vol. 4, hal. 25-26.
61Depdikbud, Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 8.
62Abdul Aziz Dahlan (ed), vol.1, hal. 25-26.63M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 110-127.
83
mengandung makna yang sangat dalam dan tegas. Hal itu karena tentunya tiap
orang mencintainya.
Rasa cinta dan sayang pada diri sendiri inilah yang biasanya menghalangi
seseorang mengatakan kebenaran yang jika ia katakan akan berakibat buruk
baginya. Begitu besar cinta dan sayang pada orang tua dan karib kerabat
menyebabkan seseorang enggan menegakkan keadilan terhadap mereka atau
bersaksi menentang mereka. Seseorang akan lebih mudah bersaksi terhadap
orang lain dibanding orang tua atau keluarganya. Inilah fenomena yang umum
di masyarakat kita saat ini. Banyak orang yang enggan bahkan bersaksi palsu
demi cintanya pada orang tua atau karib kerabatnya.
Di lain pihak ada juga yang enggan menegakkan keadilan atau kesaksian
karena benci terhadap seseorang atau kepada suatu kaum sehingga berlaku
curang karena kebencian pada seseorang atau kepada suatu kaum tersebut. Allah
melarang kepada hal tersebut sebagaimana Firmannya dalam surat Al-Maidah
ayat 8:
ال
٨(“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlahkebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidakadil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalahkepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.”64(Q.SAl-Maidah: 8)
64Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet.Ke-3, Jilid. 2, hal. 364.
84
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab65 menegaskan bahwa manusia yang
bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl dituntut untuk menegakkan
keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap
musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya sendiri
dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan cara meletakkan syahwat dan
amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama.
65M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 4, hal. 337-338.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi mendapat
perhatian sangat besar dalam agama Islam dan mengarahkannya agar setiap muslim
memakai etika islami dalam berkomunikasi. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya
ayat-ayat yang berkaitan dengan etika komunikasi, baik dalam Al-Qur’an maupun
hadits. Hanya saja, penelitian hanya memfokuskan pada etika komunikasi menurut al-
Qur’an sesuai dengan judul skripsi ini, sehingga hasilnya pun banyak didasarkan pada
ayat-ayat al-Qur’an, bukan pada hadits Nabi.
Bedasarkan kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa rumusan etika komunikasi
menurut al-Qur’an sebagai berikut:
1. etika komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an adalah aturan tentang
perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang yang tidak
berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan diakhirat. Etika
dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka hal tersebut
menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi al-Qur’an
mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial supaya lebih
beradab dan lebih terjaga.
85
2. Isi pembicaraan harus benar, tidak boleh berkata bohong dan salah (bathil,
merendahkan suara saat berkomunikasi, wanita tidak diperbolehkan berkata-kata
dengan nada manja ketika berkomunikasi, didalam berkomunikasi harus adil
meskipun itu kerabat sendiri, Keharusan untuk berkomunikasi dengan baik atau
diam, berkomunikasi dengan menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi
kalimat yang buruk, diantara perkataan yang baik adalah, Perkataan yang mulia,
Perkataan yang mudah dicerna, Perkataan yang lembut, Perkataan yang ma’ruf
(membangun).
B. Saran-saran
Semua manusia dapat dipastikan sangat menyadari tentang pentingnya etika
dalam berkomunikasi. Hanya saja, ada yang mau memakai etika tersebut dan ada yang
enggan beretika. Namun demikian, pada akhirnya kembali kepada masing-masing
komunikan itu sendiri untuk mau menggunakan kemampuannya dalam berkomunikasi,
sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Penelitian ini sangatlah sederhana dan belum optimal, namun diyakini akan dapat
membimbing siapa pun yang ingin mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an, khususnya
dalam berkomunikasi. Tentu saja, disarankan pula untuk membaca literatur lainnya
yang berkaitan dengan etika komunikasi, supaya pengetahuan tentang etika komunikasi
bisa maksimal, sehingga dapat mengamalkannya secara maksimal pula.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abiddin, Djamaludin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Abu al-Fidâ, Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu
Katsir , Beirut: Dar al-Fikr, 1412H/1992M.
Al-Fâramawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir al-Maudhu’i: Sebuah Pengantar, Terj:
Surya A. Samran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Alkalali, Asad M, Kamus Indonesia Arab, PT Bulan Bintang, Jakarta 1997.
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, Jakarta: Bulan Bintang: 1996, cet.
Ke-7.
Amir, Mafri, Etika Komunikasi Masa dalam Pandangan Islami, Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1994.
Amrullah, Abdul Malik Karim. (Hamka), Prof, Dr, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 1986.
Ash-Shiddiqi, Teungku Muhammad Hasbi, M.A, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Ayyub, Hassan, Etika Islam Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Trigenda Karya,
Bandung, 1994.
al-‘Arabiyah, Majma’ al-Lugah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, al-Haiah al-
Misyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975.
al-‘Asqâani, Ahmâd bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1379.
87
--------------, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah, Sahîh Bukhâri, Beirût: Dar Ibn
Katsîr, 1407H/1987M.
al-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad bin ‘Usmân, Tadzkiroh al-Huffaz, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419H/1998M.
al-Ghâzâli, Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid, ‘Ihya ‘Ulûm al-Dîn, Terj. Drs.
H. Moh. Zuhri, dkk, Semarang: CV Asy Syifa’, 1992, cet. Ke-2.
al-Marâghi, Ahmad Mustafâ, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk,
Semarang: CV. Toha Putra, 1993.
Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Kairo: Mushtafa al-Babi al-Halabi,
1382H/1962.
Al-Mizzî, Yûsuf bin al-Zakî Abdurrahmân Abû al-Hajjâj, Tahzhîb al-Kamâl Fî Asmâ
ar-Rijâl, Beirut: Darl Al Fikr, 1990.
al-Nawâwi, Abu Zakariyâ Yahya bîn Syâraf, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim
Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392.
al-Qurtubî, Muhammad bin Yâzid bin Jârir, Tafsir al-Qurtubi, Beirut: Dar al-Fikr,
1405H/1984M.
al-Râzy, Muhammad Fâkhrûddin, Tafsir Fakhru Razy, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
an-Naisâbûri, Muslim bin al-Hâjjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî, Sahih Muslim , Beirût:
Dar al-Fikr, 1993.
ar-Rifa’I, Muhammmad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, Terj. Drs. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet. Ke-1,
88
Dahlan(ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva,
1999.
Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1996.
Effendi, Onong Ochjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Rosda
karya, 1997.
---------, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung: Alumni, 1986, cet. Ke-2.
El-Sulthani, Mawardi Labay, KH, Lidah tidak berbohong, Jakarta: Al-Mawardi
Prima, 2002.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, cet. Ke-1.
Gunadi, YS, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta: Grasindo, 1998.
Ibrahim Anis, dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth.
Ilyas, Yunahar, Drs. Lc. MA, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta. LPPI UMY, 1999.
Jalalain, Imam, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, cet. Ke-2.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan
MushafAl-Qur’an, 2009, Cet. Ke-1.
Liliweri, Alo, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1994.
Hude, H.M. Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1.
Muis, Andi Abdul, Prof, Dr, SH, Komunikasi Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001. Cet. Ke-1.
89
Nasution, Ahmad Sayuti Ansari, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, UIN Jakarta,
2003.
Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: CeQda, 2007, cet. Ke-1.
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Qardhawi, Yusuf, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, Surabaya: Penerbit Risalah
Gusti, 1996, Cet. Ke-2.
------------, Problematika Islam Masa Kini Qardawi Menjawab, Trigenda Karya,
Bandung. 1996.
Shihab, M. Quraish, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan, 1994.
---------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993.
---------, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera
Hati, 2002.
---------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993.
Sya’rawi, Syekh Muhammad Muatawalli, Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim terjemah Safir
al-Azhar dkk, Jakarta: Duta Azhar, 2006, cet. Ke-1.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, Cet.
Ke-3.
Ulfah, Eneng Maria, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
90
Widjaja, A.W, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaul Karimah (Suatu Pengantar),
Bandung: Diponegoro: 1996
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989.
Zuhaily, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.