endo revisi (4-5-12)

Embed Size (px)

Citation preview

Aplikasi Antibiotik secara Lokal pada Perawatan Endodontik (Studi Pustaka) Mohammadi, Z and Abbott, PV. 2009. Review: On the local applications of antibiotics and antibiotic-based agents in endodontics and dental traumatology. International Endodontic Journal: 1-13.

Abstrak Antibiotik merupakan bahan yang digunakan oleh tenaga kesehatan untuk menanggulangi infeksi bakteri. Antibiotik dapat diaplikasikan baik secara sistemik (peroral dan/atau parenteral) atau lokal (contoh: intra-dental melalui irigan dan medikamen) selama perawatan endodontik khususnya tramua pada gigi. Aplikasi antibiotik secara lokal dinilai lebih efektif dalam perawatan endodontik, dengan mempertimbangkan resiko efek samping dari aplikasi antibiotik secara sistemik dan ketidakefektifannya di dalam pulpa gigi nekrotik dan jaringan periradikular. Tujuan dari artikel ini adalah untuk meninjau sejarah, perbandingan serta aplikasi irigan dan medikamen yang mengandung antibiotik dalam endodontik dan traumatologi gigi. Penyusunan untuk artikel ini dilakukan sejak tahun 1981 hingga 2008 dan dibatasi pada karya tulis berbahasa Inggris. Kata kunci untuk pencarian dalam Medline adalah Antibiotics and endodontics, Antibiotics and root canal irrigation, Antibiotics and intra-canal medicament, Antibiotics and dental trauma, dan Antibiotics and root resorption. Referensi dari tiap artikel telah ditelusuri secara manual untuk mendapatkan sumber informasi yang sesuai. Antibiotik secara lokal dinilai sebagai cara yang lebih efektif dibandingkan aplikasi sistemik. Beberapa jenis antibiotik telah diuji dalam beberapa penelitian dan setiap jenisnya memiliki beberapa keuntungan. Tetrasiklin merupakan golongan antibiotik bersifat bakteriostatik dengan substantivitas antibakterial lebih dari 12 minggu. Golongan ini khususnya digunakan bersamaan dengan kortikosteroid, dan kombinasi ini memiliki kandungan anti-inflamatori, anti-bakterial serta anti-resorpsi. Tetrasiklin juga telah digunakan sebagai bagian dari cairan irigasi namun substantivitasnya hanya mencapai 4 minggu. Klindamisin dan sebuah kombinasi dari tiga antibiotik (metronidazol, siprofloksasin dan minosiklin) juga telah dinyatakan efektif dalam mengurangi jumlah bakteri di dalam sistem saluran akar gigi yang terinfeksi. Kata kunci: antibiotic, endodontik, irigan, medikamen.

1

Pendahuluan Peranan mikroorganisme dalam perkembangan dan kelanjutan penyakit pulpa serta periapikal telah dibuktikan dalam penelitian dengan objek hewan dan manusia (Kakehashi, et al. 1965, Moller dkk, 1981). Eliminasi mikroorganisme dari sistem saluran akar yang terinfeksi merupakan suatu tantangan. Berbagai pengukuran telah dijelaskan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme di dalam sistem saluran akar, termasuk penggunaan beberapa teknik instrumentasi. Bukti definitif tidak didapatkan di dalam literatur yang menyatakan bahwa instrumentasi mekanis sendiri dapat menghasilkan sistem saluran akar yang bebas bakteri. Hal tersebut tidaklah mengejutkan dengan mempertimbangkan anatomi sistem saluran akar yang kompleks (Hess, 1925), dan sebaliknya, terdapat bukti klinis dan laboratoris bahwa instrumentasi mekanis meninggalkan bagian signifikan dari dinding saluran akar yang tidak tersentuh (Peters dkk, 2001) dan eliminasi bakteri yang menyeluruh dari sistem saluran akar tidak dapat dicapai dengan menggunakan instrumentasi saja(Bystrom & Sundqvist, 1981, Dalton dkk, 1998, Card dkk, 2002, Trope & Bergenholtz 2002). Oleh karena itu metode tambahan seperti penggunaan cairan kimia, dibutuhkan untuk disinfeksi sistem saluran akar dan membunuh mikroorganisme sebanyak mungkin. Perawatan kimiawi pada sistem saluran akar secara umum dapat dibagi menjadi irigan, pembilas dan medikamen inter-appointment. Tujuan dari artikel ini adalah untuk meninjau penelitian tersebut berdasarkan penggunaan antibiotik saluran akar selama perawatan endodontik serta selama perawatan trauma pada gigi.

2

Penyusunan dilakukan sejak 1981 hingga 2008 dan dibatasi pada karya tulis berbahasa Inggris. Kata kunci dari pencarian pada Medline adalah Kata kunci untuk pencarian dalam Medline adalah Antibiotics and endodontics, Antibiotics and root canal irrigation, Antibiotics and intra-canal medicament, Antibiotics and dental trauma, dan Antibiotics and root resorption. Referensi dari tiap artikelnya telah ditelusuri secara manual untuk mendapatkan sumber informasi yang sesuai.

Sejarah Antibiotik pertama kali ditemukan pada tahun 1928 namun tidak secara rutin digunakan untuk keperluan klinis sampai awal tahun 1940-an selama Perang Dunia Kedua (Abbott, 2000). Selama periode tersebut, kebanyakan penyebab kematian saat perang adalah karena infeksi bakteri pada luka, dibandingkan dari luka itu sendiri. Penggunaan antibiotik saat itu menjadi populer setelah berhasil memberikan penyembuhan yang cepat pada anggota militer yang terluka dan popularitasnya berlanjut hingga perang berakhir (Abbott, 2000). Antibiotik merupakan bahan yang sangat bernilai bagi tenaga kesehatan seta tidak diragukan lagi telah menyelamatkan banyak kehidupan. Dalam endodontik dan traumatologi gig, antibiotik telah diaplikasikan secara sistemik (peroral atau parenteral) dan lokal (intra-dental). Penggunaannya dalam perawatan endodontik pertama kali dilaporkan sebagai penggunaan antibiotik secara lokal pada tahun 1951 saat Grossman (1951) menggunakan pasta poli

3

antibiotik yang dikenal sebagai PBSC (sebuah campuran penisilin, basitrasin, streptomisin dan sodium kaprilat), penisilin digunakan untuk organsime Grampositif, basitrasin untuk golongan yang resisten-penisilin, streptomisin untuk organisme Gram-negatif dan sodium kaprilat untuk mengeliminasi ragi. Nistatin telah menggantikan caprylate sodium sebagai agen antijamur dalam medikamen serupa yang dikenal sebagai PSBN belakangan ini (Weine 2003).

Pertimbangan untuk Aplikasi Antibiotik secara Lokal Pemberian antibiotik sistemik secara klinis terlihat efektif sebagai bahan tambahan dalam prosedur endodontik bedah ataupun non-bedah, namun pemberian dengan cara ini memiliki resiko adanya pengaruh samping yang tidak diinginkan, seperti alergi, toksisitas dan perkembangan golongan mikroba resisren. Sebagai tambahan, administrasi antibiotik sistemik biasanya tergantung pada ketahanan pasien terhadap regimen dosis diikuti dengan absorpsi melalui saluran gastro-intestinal dan distribusi melalui sistem sirkulasi untuk membawa obat ke daerah yang terinfeksi. Berdasarkan hal tersebut, daerah yang terinfeksi membutuhkan aliran darah normal dimana hal tersebut tidak akan didapatkan pada gigi dengan pulpa nekrosis atau tidak lagi memiliki jaringan pulpa. Oleh karena itu, aplikasi antibiotik lokal pada sistem saluran akar dapat mejadi cara yang lebih efektif untuk memberikan obat ini (Gilad dkk, 1999).

4

Tetrasiklin Tetrasiklin, termasuk tetrasiklin HCl, minosilin, demeklosiklin dan doksisiklin, adalah golongan antibiotik spektrum luas yang efektif melawan sebagian besar mikroorganisme (Torabinejad dkk, 2003a). Tetrasiklin pada dasarnya merupakan agen bakteriostatik (Torabinejad dkk, 2003b). Hal ini dapat menjadi suatu keuntungan karena, saat tidak ada sel bakteri yang lisis, produk antigen seperti endotoxin tidak akan terlepas (Barkhordar, dkk, 1997). Tetrasiklin juga memiliki sifat tambahan selain aksi antimikrobanya, seperti inhibisi kolagenase mamalia, yang dapat mencegah kerusakan jaringan (Pierce & Lindskog 1987, Venillo dkk, 1994), dan inhibisi sel klastik (Pierce & Lindskog 1987, Pierce dkk, 1988, Bryson dkk, 2002), yang menghasilkan aktivitas anti-resorpsi (Bryson dkk, 2002). Penyakit inflamasi seperti periodontitis akan mengalami suatu kelebihan pada kolagenase jaringan, yang dapat dihentikan oleh tetrasiklin, sehingga dapat memberikan perbaikan pada pembentukan kolagen dan tulang (Barkhordar dkk, 1997). Tetrasiklin telah digunakan untuk menghilangkan smear dari dinding saluran akar yang telah diinstrumentasi (Barkhordar dkk, 2007, Haznedaroglu & Ersev 2001), irigasi kavitas apikal pada ujung akar saat prosedur bedah periapikal (Barkhordar & Russell 1998), dan sebagai medikamen saluran akar dalam endodontik (Molander & Dahlen 2003). Barkhordar, et al (1997) menunjukkan bahwa doxycycline-HCl mampu mengeliminasi smear pada konsentrasi 100 mg mL-1 secara lebih efektif

5

dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Pada penelitian lainnya, Haznedaroglu & Ersev (2001) melaporkan bahwa tetrasiklin dapat seefektif asam sitrat dalam menghilangkan smear. Barkhordar & Russell (1998) mengevaluasi pengaruh doksisiklin dengan penetrasi tinta ke ujung akar melalui pinggiran tambalan. Gigi dengan IRM atau tambalan amalgam ditempatkan berikut irigasi doksisiklin dan menunjukkan bahwa penetrasi tinta secara signifikan lebih sedikit dibanding yang tidak diirigasi dengan doksisiklin. Pinheiro dkk, (2004) mengevaluasi suspektibilitas antibiotik terhadap Enterococcus faecalis yang diisolasi dari saluran akar dengan lesi periapikal yang telah diisi. Antibiotiknya adalah benzypenisilin, amoxisilin, amoxisilin dengan asam klavunalat, eritromisin, azithromisin, vancomisin, chloramfenikol,

tetrasiklin, doksisiklin, ciprofloxasin dan moxillofloxasin. Hasilnya mayoritas (85,7%) isolat suspektibel terhadap tetrasiklin dan doksisiklin. Berdasarkan hipotesis bahwa mikroorganime dapat mecapai area apikal pada gigi yang baru saja direplantasi dari dalam rongga mulut (atau dari permukaan akar yang terkontaminasi selama waktu ekstra oral), dan bahwa tetrasiklin berpotensi menghambat kontaminasi bakteri dari jalur ini, Cvek at al., (1990) mengembangkan sebuah prosedur untuk perawatan topikal pada akar ggi yang terekspos dengan menggunakan doksisiklin sebelum replantasi. Tujuannya adalah untuk mengeliminasi mikroorganisme dari permukaan akar dari gigi yang avulsi melalui aplikasi antibiotik secara lokal untuk menurunkan frekuensi dan keparahan respon inflamasi. Prosedur ini menunjukkan bahwa doksisiklin topikal

6

secara signifikan meningkatkan kemungkinan keberhasilan revaskularisasi pulpa dan menurunkan jumlah mikroorganisme yang dapat diisolasi dari saluran akar. Aplikasi doksisiklin topikal juga dilaporkan dapat menurunkan frekuensi ankilosis, penggantian resorpsi eksternal dan resorpsi inflamasi eksternal. Pengaruh menguntungkan dari membilas gigi di dalam doksisiklin juga telah dibuktikan oleh Yanpiset & Trope (2000). Ritter dkk, 2004 telah meneliti pengaruh perawatan antibiotik topikal terhadap revaskularisasi pulpa pada replantasi gigi anjing menggunakan flowmeter laser Doppler (LDF) secara radiografis dan histologis. Setelah ekstraksi, gigi disimpan dalam keadaan kering selama 5 menit dan kemudian diaplikasikan dengan minosiklin, dibilas dalam doksisiklin atau dalam larutan salin sebelum reimplantasi. Gigi dalam grup kontrol positif tidak diekstraksi. Radiografi postoperasi dan pembacaan LDF dilakukan setelah 2 bulan pasca replantasi. Setelah hewan percobaan dibunuh, rahang kemudian dikumpulkan dan diproses dengan mikroskop cahaya. Pembacaan LDF serta pemeriksaan radiografi sebelum dan sesudah replantasi, berikut dengan hasil pemeriksaan histologisnya kemudian dianalisa untuk dinilai revaskularisasinya. Revaskularisasi pulpa terjadi pada 91% gigi yang telah dirawat dengan minosiklin, 73% pada gigi yang dibilas dengan doksisiklin, dan hanya 33% pada gigi yang dibilas dalam saline. Bryson dkk, (2003) mengevaluasi pengaruh minosiklin terhadap penyembuhan replantasi gigi anjing setelah tambahan waktu pengeringan gigi selama 60 menit. Hasilnya akar dengan atau tanpa perawatan minocycline tidak

7

menunjukkan perbedaan yang signifikan pada sisa akar atau pada penyembuhan permukaan akar yang diinginkan. Keuntungan dari penggunaan minosiklin topikal tidak ditemukan pada pengurangan atau pencegahan resorpsi akar eksternal. Perbedaan yang kurang signifikan sebagai hasil dari periode tambahan pengeringan gigi sebelum replantasi lebih dikarenakan sel ligamen periodontal yang mungkin telah mati dalam periode tersebut serta menghasilkan gambaran khas terjadinya penggantian resorpsi eksternal.

Substantivitas Tetrasiklin Tetrasiklin dapat langsung melekat pada dentin dan terlepas secara perlahan tanpa menghilangkan aktivitas antibakterinya (Torabinejad dkk, 2003a). Hal ini menciptakan sebuah reservoir agen antibakteri aktif, yang kemudian dilepaskan dari permukaan dentin secara pasti dan perlahan., Stabholz dkk, (1993) membandingkan substantivitas dari dua konsentrasi tetrasiklin HCl (50 mg/mL, 10 mg/mL) dan klorheksidin 0.12% dalam sebuah penelitian periodontal secara in vivo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua konsentrasi tetrasiklin menunjukkan aktivitas antibakteri residual dan substantivitas dari ketiga cairan dalam urutan menurun adalah: tetrasiklin 50 mg/mL > tetrasiklin 10 mg/mL > 0.12% CHX. Abbott dkk, (1988 ) menunjukkan bahwa tetrasiklin membentuk ikatan revesibel yang kuat dengan jaringan keras gigi dan menunjukkan pelepasan lambat serta difusi melalui dentin selama periode yang lebih lama hingga

8

minimal 12 minggu. Khademi dkk, (2006) membandingkan substantivitas antibakteri dari CHX 2%, doksisiklin-HCl 100mg/mL dan NaOCl 2.6% pada dentin akar gigi species bovin selama lima periode percobaan yaitu 0, 7, 14, 21 dan 28 hari secara in vitro. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah 7 hari, golongan NaOCl dan doxycycline memiliki jumlah unit pembentukkan koloni (CFU) yang terendah dan tertinggi. Namun golongan CHX memberikan jumlah CFU yang paling rendah setelah periode yang lebih lama. Mohammadi dkk, (2007) mengevaluasi substantivitas antibakteri dari tiga konsentrasi doxycycline-HCl (100 mg mL-1, 50 mg mL-1 dan 10 mg mL-1) dalam dentin akar species bovine selama lima periode percobaan yakni 0, 7, 14, 21 dan 28 hari. Grup 100 mg mL-1 dan 10 mg mL-1 menunjukkan jumlah CFU yang terendah dan tertinggi pada hari ke-7. Jumlah CFU meningkat secara signifikan seiring dengan waktu pada tiap grupnya

Biopure (MTAD) Biopure (Dentsply, Tulsa Dental, Tulsa, OK, USA), yang juga dikenal dengan MTAD (mixture of tetrasiklin, acid and detergen) adalah irigan saluran akar yang relatif baru, yang diperkenalkan oleh Torabinejad & Johnson (2003). Cairan ini mengandung doxycycline (konsentrasi 3%), asam sitrat (4.25%) dan detergen, Polysorbate 80 (0.5%) (Torabinejad & Johnson 2003). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas MTAD untuk disinfeksi saluran akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MTAD mampu menghilangkan

9

smear (Torabinejad & Johnson 2003) dan efektif membunuh E. faecalis (Shabahang & Torabinejad 2003, Shabahang dkk, 2003, Torabinejad dkk, 2003). Shabahang dkk, (2003) membandingkan efektivitas antibaktari dari kombinasi irigan saluran akar NaOCl 1.3% dan MTAD sebagai pembilas terakhir dengan NaOCl 5.25%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan MTAD sebagai tambahan pada NaOCl 1.3% dinilai lebih pengaruhetif untuk disinfeksi saluran akar dibandingkan dengan penggunaan NaOCl 5.25% sendiri. Namum, Tay dkk, (2006) menemukan bahwa saat MTAD diaplikasikan pada dentin yang telah diirigasi NaOCl 1.3%, maka MTAD akan mengalami penurunan substantivitas antimikrobial. Hal ini dihubungkan dengan oksidasi MTAD oleh NaOCl dalam cara yang sama yang ditunjukkan oleh peroksidasi tetrasiklin oleh spesies oksigen reaktif. Pada penelitian lainnya, Shabahang & Torabinejad (2003)

membandingkan pengaruh antibakterial MTAD dengan NaOCl serta EDTA dengan teknik mikrobiologi in vitro standar dan melaporkan bahwa MTAD secara signifikan lebih efektif melawan E. faecalis. Selain itu, Kho & Baumgartner (2006) membandingkan efektivitas antimikrobial NaOCl 1.3%/MTAD melawan E. faecalis dengan alternatif irigan saluran akar kombinasi NaOCl 5.25% dan EDTA 15%. 20 sampel bakteri diambil lebih awal dalam proses pembersihan saluran tanpa diirigasi dengan NaOCl 5.25%/EDTA 15%, namun 8 dari 20 sampel yang diirigasi dengan NaOCl 1.3%/MTAD menunjukkan pertumbuhan bakteri. Sampel selanjutnya diambil setelah pembesaran saluran akar dan menunjukkan tidak

10

ada pertumbuhan bakteri yang terjadi pada 20 sampel yang menggunakan NaOCl 5.25%/EDTA 15%, namun masih terdapat pertumbuhan bakteri pada 10 dari 20 sampel yang menggunakan NaOCl 1.3%/MTAD. Penelitian ini menunjukkan disinfeksi yang konsisten pada saluran akar terinfeksi saat menggunakan NaOCl 5.25%/EDTA 15%. Namun kombinasi NaOCl 1.3%/MTAD meninggalkan hampir 50% saluran akar yang terkontaminasi dengan E. faecalis. Krause dkk, (2007) membandingkan pengaruh antimikrobial MTAD terhadap E. faecalis, dua dari komponennya (doksisiklin dan asam sitrat) dan NaOCl dalam dua model in vitro menggunakan dua metode yang berbeda. Dalam model gigi, NaOCl dan doksisiklin lebih efektif daripada kontrol dalam membunuh E. faecalis pada kedalaman pengeboran hingga dentin. Namun NaOCl lebih efektif pada pengeboran yang lebih dalam. NaOCl menghasilkan inhibisi bakteri yang lebih kecil dibandingkan MTAD atau doksisiklin pada model difusi agar. Ghoddusi dkk, (2007) mengevaluasi pengaruh MTAD sebagai irigan terakhir terhadap penetrasi bakteri ke dalam saluran akar, dan interaksinya dengan dua semen saluran akar konvensional (semen AH-Plus dan Rickert). Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan EDTA atau MTAD sebagai agen penghilang smear mengakibatkan penetrasi bakteri kedalam saluran akar menjadi lebih lama. Davis dkk, (2007) menguji aksi antimikrobial Dermacyn (Oculus Innovative Sciences, Petaluma, CA, USA), MTAD, CHX 2% dan NaOCl 5.25% terhadap E. faecalis menggunakan tes zona inhibisi. MTAD menunjukkan zona inhibisi yang

11

lebih besar dibandingkan dengan NaOCl 5.25%, CHX 2% dan Dermacyn. Newberry, dkk, (2007) meneliti pengaruh antimikrobial MTAD sebagai irigan terakhir terhadap delapan golongan E. faecalis secara in vitro, yang diukur menggunakan konsentrasi inhibitor minimum (MIC) dan konsentrasi letal minimum (MLC). Saluran dan permukaan luar akar diberikan paparan MTAD selama 5 menit setelah diirigasi dengan NaOCl 1.3%. Regimen terapi ini terbukti efektif dalam menghilangkan pertumbuhan 7 dari 8 rantai E. faecalis secara lengkap. Tes MIC/MLC menunjukkan bahwa MTAD menghambat pertumbuhan banyak rantai E. faecalis bila diencerkan 1:8192 kali dan MTAD dapat membunuh banyak rantai E. faecalis bila diencerkan 1:512 kali. Shabahang dkk (2008) meneliti pengaruh penambahan klorheksidin pada MTAD dan penggantian doksisiklin pada MTAD dengan klorheksidin untuk menghasilkan larutan baru yang diberi nama MCAD. Mereka membandingkan keefektifan formulasi ini dalam mendisinfeksi gigi manusia yang telah dicabut dan terinfeksi E. faecalis. Tidak ada sampel yang dirawat dengan MTAD biasa atau dengan MTAD/yang dicampur klorheksidin yang menunjukkan adanya bakteri residual. Namun, 7 dari 10 sampel yang dirawat dengan MCAD (doksisiklin yang diganti dengan klorheksidin) menunjukkan kultur positif E. faecalis. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa, walaupun telah ditambahkan klorheksidin, namun tidak berdampak negatif terhadap kemanjuran MTAD, doksisiklin yang diganti dengan klorheksidin secara signifikan kurang efektif. Aktivitas dari bahan dasar MTAD

12

Tetrasiklin (termasuk doksisiklin) akan berikatan dengan dentin dan kemudian dikeluarkan tanpa menghilangkan aktivitas antibakterinya

(Torabinejad dkk, 2003). Kandungan doksisiklin pada MTAD berperan sebagai zat yang memiliki efek antimikroba (Torabinejad dkk, 2003). Mohammadi dan Shahriari (2008) meneliti aktivitas dari bahan dasar NaOCL, CHX dan MTAD dengan menggunakan preparat gigi secara in vitro. Dentin dibersihkan dari dinding saluran akar dengan bor bundar low-speed dengan ukuran diameter: 025, 027, 029, 031, 033 dengan interval waktu 0, 7, 14, 21 dan 28 hari diikuti irigasi dengan larutan MTAD. Peneliti menyimpulkan bahwa aktivitas dari bahan dasar MTAD secara signifikan lebih baik dari pada CHX dan NaOCL. Mohammed (2008) menilai aktivitas dari bahan dasar MTAD dengan tiga konsentrasi (100%, 10% dan 1%) yang dipakai pada dentin sapi di model. Seperti prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya, dentin dalam saluran akar dibersihkan dengan bor

bundar low speed ukuran: 025, 027, 029, 031, 033 dengan interval waktu 0, 7, 14, 21 dan 28 hari. Hasil menunjukkan bahwa pada kultur pertama, MTAD 100% dan MTAD 1% memiliki jumlah CFU masing-masing kelompok terendah dan tertinggi. Jumlah CFU masing-masing kelompok meningkat secara signifikan setiap waktu. Kesimpulannya, aktivitas dari bahan dasar MTAD 100% secara signifikan lebih baik dari dua konsentrasi MTAD yang lebih rendah.

Tetraclean

13

Tetraclean (Ogna Laboratory Farmaceutici, Muggio, Italy), seperti MTAD, yaitu campuran antibiotik, asam dan detergen. Konsentrasi antibiotik, doksisiklin (50mg/mL) dan jenis detergen (polipropylen glikol) berbeda dengan MTAD (Giardino dkk, 2006). Giardino dkk (2006) membandingkan tegangan permukaan dari EDTA 17%, Cetreksidin, Smear Clear, NaOCL 5,25%, MTAD dan Tetraclean. NaOCL dan EDTA memiliki tegangan permukaan yang paling tinggi, sedangkan Cetreksidin dan Tetraclean memiliki nilai terendah. Pada penelitian lain, mereka membandingkan efek antimikroba dari NaOCL 5,25%, MTAD dan Tetraclean terhadap biofilm E. faecalis yang ada pada filter membran nitrat selulosa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya NaOCl yang dapat menghilangkan biofilm pada setiap interval waktu uji, sedangkan Tetraclean menyebabkan pemisahan biofilm yang lebih baik jika dibandingkan dengan MTAD pada setiap interval waktu uji (Giardino dkk, 2007).

Pasta Ladermix Ladermix adalah senyawa anibiotik-glukokortikosteroid yang

dikembangkan oleh Schroeder dan Triadan pada tahun 1960, dan didistribusikan untuk dijual di Eropa oleh Lederle Pharmaceutical pada tahun 1962 (Athanassiadis dkk, 2007). Pengembangan pasta Ledermix didasarkan pada

penggunaan kortikosteroid dalam mengontrol rasa nyeri dan inflamasi yang dipengaruhi oleh penyakit pulpa dan periapikal (Athanassiadis dkk, 2007). Penambahan senyawa antibiotik pada Ladermix adalah untuk mengkompensasi

14

kemungkinan kortikosteriod akan menurunkan respon imun host. Pada percobaan pertama dimasukkan kloramfenikol pada obat ini, tetapi ketika Lederle Pharmaceutical menjadi subuah perusahaan, antibiotik diganti dengan demeklosiklin-HCL. Pasta Ladermix merupakan kombinasi dari antibiotik tertrasiklin, demeklosiklin-HCL (konsentrasi 3,2%) dan kortikosteroid,

triamsinolon asetonida (konsentrasi 1%), polietilen glikol (Athanassiadis dkk, 2007). Kedua komponen terapi pada pasta Ladermix (yaitu triamsinolon dan demeklisiklin) memiliki kemampuan menyerap ke dalam tubuli dentin dan sementum untuk mencapai jaringan periradikular dan periapikal (Abbott, 1990). Abbott dkk (1988) menunjukkan bahwa tubuli dentin merupakan jalan masuk awal untuk suatu komponen dapat menyebar ke jaringan periradikular, sementara foramen apikal bukan merupakan jalan masuk yang baik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi masuknya komponen aktif ke jaringan periradikular, termasuk ada atau tidak adanya smear (Abbott dkk, 1989a), ada atau tidaknya sementum (Abbott dkk, 1989a), dan adanya material lain pada saluran, seperti kalsium hidroksida (Abbott dkk, 1989b). Konsentrasi demeklosiklin pasta Ledermix (ketika ditempatkan pada saluran akar) berpengaruh cukup tinggi terhadap keberadaan spesies bakteri. Namun, dalam daerah periferal dentin dan jaringan periradikular, konsentrasi yang dicapai melalui cara difusi tidak cukup untuk menonaktifkan bakteri dari waktu ke waktu (Abbott dkk, 1990). Aplikasi pasta pada hari pertama

15

menghasilkan tingkat penghambatan pertumbuhan bakteri yang tinggi oleh demeklosiklin, namun tingkat penghambatan tersebut menurun hingga sepersepuluh dari tingkat awal setelah satu minggu baik pada setengah panjang akar ataupun sepertiga apikal. Konsentrasi demeklosiklin pada sementum

setelah satu hari tidak cukup tinggi untuk menghambat pertumbuhan 12 dari 13 rantai bakteri endodontik yang paling sering dilaporkan (Abbott dkk, 1990). Heling dan Pecth (1991) melaporkan bahwa keduanya, pasta Ledermix dan tertasiklin 3% dalam hidrous base efektif untuk menurunkan pertumbuhan

Staphylococcus aureus pada tubuli dentin setelah 7 hari diinkubasi dan juga setelah rekontaminasi, tetapi mereka tidak lagi berpengaruh setelah 24 jam. Walaupun terjadi perdebatan pada tahun 1960-1970an mengenai kemungkinan efek samping sistemik pada penggunaan kortikosteroid dan tetrasiklin di dalam gigi (Athanassiadis dkk, 2007), Abbott (1992) membuktikan bahwa penggunaan pasta ledermix intradental tidak menghasilkan efek sistemik seperti yang diperdebatkan, karena jumlah komponen yang dapat mencapai jaringan periradikular sangatlah sedikit. Selain itu, pengenceran dalam jumlah besar segera terjadi ketika komponen tersebut mencapai jaringan periradikuler sehingga meniadakan segala kemungkinan munculnya efek samping sistemik. Pierce dkk (1988) menyatakan bahwa Pasta Ledermix secara histologis mampu mencegah peradangan resorpsi akar eksternal secara in vivo. Mereka juga menemukan bahwa Pasta Ledermix tidak memiliki pengaruh merusak

16

membrane periodontal dan pasta ini merupakan obat yang efektif untuk perawatan akar teresorpsi progresif pada gigi yang trauma akibat kecelakaan. Taylor dkk (1989) menilai pengaruh Pasta Ledermix dan Pasta Pulpdent pada mitosis serta fibroblast tikus dan Lactobacillus casel dan Streptococuccus mutans secara in vitro. Pasta Ledermix ditemukan mampu menghambat mitosis dengan kisaran konsentrasi 10-3 10-6 mg/mL. Penggabungan Pasta Ledermix dengan Pulpdent tidak dapat dimodifikasi pengaruh antimitotiknya. Pasta Ledermix mampu membunuh fibroblast tikus pada konsentrasi 10 -3 mg/mL dan lebih rendah, sedangkan Pulpdent membunuh pada 1 mg/mL dan lebih rendah. Pengaruh toksik dari Pulpdent dapat dihilangkan dengan mencampurnya dengan Pasta Ledermix. Ledermix membunuh S. mutans pada konsentrasi rata-rata yang sama dengan membunuh sel mamalia, tetapi dibutuhkan 1000 kali konsentrasi yang lebih tinggi untuk membunuh L. casei. Pulpdent membunuh L. casei dan S. mutans dengan rata-rata seperlima dari konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh sel mamalia. Thong dkk (2001) menemukan bahwa peradangan ligament periodontal dan peradangan akar yang teresorpsi dapat dicegah dengan kalcium hidroksida (pasta Pulpdent) dan pasta antibiotic kortikosteroid pada control yang tidak diobati. Penggantian resorpsi paling rendah pada kelompok antibiotickortikosteroid, dan secara signifikan ligament periodontal lebih normal didapatkan pada kelompok kalsium hidroksida dan kelompok kontrol.

17

Wong dan Sae-Lim (2002) meneliti pengaruh penempatan segera pasta Ledermix dalam saluran akar pada resorpsi akar gigi monyet yang terlambat direplantasi. Pasta Ledermix sebelumnya diaplikasikan dalam saluran akar gigi subjek penelitian, kemudian dicabut dan direplantasi setelah 1 jam dibiarkan kering. Pada gigi kontrol positif dilakukan pengisian saluran akar dan direplantasi setelah 1 jam, sedangkan pada gigi kontrol negatif dilakukan pengisian saluran akar kemudian segera dilakukan replantasi. Seperti yang diharapkan, kelompok kontrol negatif secara signifikan menghasilkan lebih banyak penyembuhan yang menguntungkan dan lebih sedikit penyembuhan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan kelompok Ledermix. Kelompok Ledermix menunjukkan lebih banyak penyembuhan lengkap (35,46%) dibandingkan kelompok positif (16,58%), tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah resorpsi akar inflamatori dan penggantian resorpsi. Namun, saat kedua pola penyembuhan yang tidak menguntungkan dikombinasikan, didapatkan jumlah penyembuhan tidak menguntungkan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok Ledremix (65,54%) dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (84,43%). Hasil penyembuhan yang tidak menguntungkan dalam kelompok

Ledermix ini tidak terlalu berbeda dengan hasil penyembuhan yang menguntungkan dengan perlakuan yang sama. Hasil dari kelompok yang dirawat dengan Ledermix dalam penelitian ini nampaknya telah dipengaruhi oleh penyimpanan kering selama 1 jam karena kondisi tersebut memicu penggantian resorpsi akar sehingga sangat sedikit sel ligamen periodontal yang dapat

18

bertahan pada kondisi ini. Selanjutnya, resorpsi inflamatori jarang terjadi pada kelompok control atau kelompok uji karena saluran akar terisi baik oleh obat maupun tambalan sebelum gigi dicabut. Hal tersebut menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi pada akar yang nantinya akan menurunkan kemungkinan terjadinya resorpsi inflamatori eksternal. Brison dkk (2002) mengevaluasi pengaruh dari penempatan Pasta Ledermix dan Ca(OH)2 dalam saluran akar gigi anjing segera setelah replantasi yang diikuti dengan penambahan waktu pengeringan selama 60 menit. Penemuan mereka menunjukkan bahwa akar yang mendapat perlakuan Pasta Ledermix secara statistik lebih banyak menyembuhkan dan lebih sedikit resorpsi dibandingkan saluran yang diberi Ca(OH)2 . Che dkk (2008) mengevaluasi pengaruh dari triamsinolon dan demeklosiklin secara terpisah pada resorpsi akar eksternal setelah penambahan waktu pengeringan sebanyak 60 menit secara ekstra oral. Gigi yang diberikan pasta Ledermix, triamsinolon dan demeklosiklin penyembuhannya lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang diberikan Gutta Perca dan direplantasi setlah 60 menit waktu pengeringan (contohnya kontrol positif). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penyembuhan dengan menggunakan Ledermix dan Tiamsinolon, sedangkan kelompok demeklosiklin menunjukkan

penyembuhan yang lebih menguntungkan dibandingkan kontrol negatif, kelompok Ledermix dan kelompok triamsinolon. Kesimpulan pada penelitian mereka menyimpulkan bahwa kortikosteroid dan tetrasiklin, sebagai agen

19

antiinfalamsi dan antiresoprsi, menghentikan atau memperkecil reaksi inflamasi termasuk resorpsi mediasi tipe sel klastik, dan selanjutnya memberikan penyembuhan yang lebih menguntungkan dibandingkan kelompok kontrol positif, yang tidak memiliki medikamen saluran akar. Selanjutnya mereka memprediksikan bahwa dalam trauma yang parah, dimana diharapkan terdapat daerah peradangan ligament periodontal lebih besar, prosedur pengangkatan pulpa dan penempatan kortikosteroid dalam saluran akar pada kunjungan darurat akan menjadi protokol standar (Chen dkk, 2008). Trope (1990) meneliti hubungan antara obat saluran akar terhadap endodontic flare-ups. Penelitian ini menggunakan Formokresol, Ledermix dan kalsium hidroksida yang diberikan pada kasus gigi dengan gambaran ronsen periodontitis apikalis atau tanpa gejala dan gambaran yang bukan periodontitis apikalis. Pada penelitian ini dihasilkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam flare-ups antara ketiga medikamen saluran akar tersebut. Penelitian ini tidak membedakan antara penyakit pulpa dan periapikal sehingga tidak mungkin untuk menentukan jumlah kasus yang saluran akarnya telah terinfeksi dan apakah obat tersebut memiliki efek antimikroba atau tidak. Sebaliknya Ehrmann dkk (2003) meneliti hubungan antara rasa sakit post operasi yang dihubungkan dengan tiga regimen perawatan yang berbeda pada gigi yang terinfeksi dengan periodontitis apikal akut setelah debridemen biomekanis yang lengkap dari sistem saluran akar pada pasien yang datang dengan rasa nyeri akut. Mereka melaporkan bahwa pasien yang giginya diberikan pasta Ledermix lebih sedikit

20

dari pasien yang giginya diberikan kalsium hidroksida atau tidak diberikan apaapa. Meskipun gigi diberikan perlakuaan yang berbeda secara acak, gigi yang diberikan pasta Ledermix memiliki rasa nyeri sebelum operasi yang lebih tinggi, tetapi untuk perawatan berikutnya rasa sakitnya akan berkurang, dan perhatian lebih terhadap kegunaan obat ini dalam menyembuhkan rasa sakit yang terkait dengan periodontitis apikalis. Pengaruh obat ini dalam menghilangkan rasa sakit akibat periodontitis apikalis masih perlu mendapat perhatian lebih. Kiem dkk (2000a,b) meneliti apakah pasta Ledermix yang digunakan sebagai medikamen saluran akar dapat menyebabkan pewarnaan pada gigi, dan apakah pewarnaan tersebut berhubungan dengan metode aplikasi atau pengaruh dari cahaya matahari. Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah 12 minggu, paparan cahaya matahari menyebabkan terbentuknya noda berwarna coklat tua keabuan pada gigi tetap (Kiem dkk 200a) dan gigi tetap muda (Kiem dkk 2000b) pada kelompok Ledermix, dan pewarnaan lebih parah terjadi pada gigi tetap muda karena tubuli dentin yang lebih lebar. Gigi tersebut tidak terwarnai jika ditempatkan pada daerah yang gelap dan jauh dari cahaya matahari. Pewarnaan pada mahkota gigi hanya terjadi pada saat pulpa diisi pasta Ledermix dan tidak terjadi ketika pasta diisikan pada saluran akar gigi. Sehingga penempatan Ledermix disarankan untuk tidak melebihi margin gusi untuk meminimalisir pengaruh tersebut.

21

Kombinasi Ledermix dengan Kalsium Hidroksida Penggunaan kombinasi pasta Ledermix dengan kalsium hidroksida untuk perawatan pulpa gigi terinfeksi dengan pembentukan akar yang belum sempurna dipelopori oleh Schroeder. Kombinasi pasta Ledermix dan kalsium hidroksida dengan rasio 50:50 juga pernah digunkan sebagai medikamen saluran akar pada kasus infeksi saluran akar, nekrosis pulpa dan infeksi pada saluran akar yang belum sempurna (medikamen awal yang digunakan hanya kalsium hidroksida saja untuk apeksifikasi), perforasi, inflamasi resorpsi akar, inflamasi resorpsi tulang periapikal, serta perawatan lesi periapikal radiolusen yang besar (Abbott 1990). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kombinasi dengan rasio 50:50 akan menghasilkan pelepasan dan difusi dari komponen aktif pasta Ledermix secara lebih lambat, sehingga obat akan bertahan lebih lama dalam saluran akar (Abbott dkk, 1989b). Hal ini bertujuan untuk menjaga keadaan sepsis dalam saluran akar lebih lama dan menjaga tingginya konsentrasi semua komponen aktif dalam saluran akar (Abbott dkk, 1989b). Kombinasi pasta Ledermix dan kalsium hidroksida dengan rasio 50:50 tidak akan merubah pH (Taylor dkk, 1989) sehingga diharapkan kombinasi ini akan menghasilkan efek yang sama ketika hanya menggunakan kalsium hidroksida. Hasil penelitian Taylor dkk (1989) juga menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi pasta Ledermix dan kasium hidroksida dengan rasio 50:50 lebih efektif terhadap mikroorganisme indikator (Lactobacillus casei dan Streptococcus mutans yang bersifat kariogenik) dari pada penggunaan pasta

22

kalsium hidroksida secara tunggal. Namun, Seow (1990) menyatakan bahwa untuk Streptococcus sanguis dan Staphylococcus aureus, penambahan 25% volume calyxl (kalsium hidroksida dalam pasta salin) (Otto and Co., Frankrurt, Jerman) pada pasta Ledermix akan mengubah zona inhibisi komplit yang awalnya terlihat pada Ledermix menjadi zona inhibisi sebagian. terbaru ini menyarankan bahwa beberapa obat Sehingga penelitian tidak selalu harus

dikombinasikan, dan ketika dua obat dengan aktivitas antimikroba yang kuat dikombinasikan maka terdapat kemungkinan tidak terjadi efek yang sinergis dalam melawan mikroorganisme (Seow, 1990). Chu dkk (2005) membandingkan efektivitas dari disinfeksi saluran akar dengan lesi radiolusen periapikal saat dirawat dengan obat

antibiotik/kortikosteroid baik pada pasta Ledermix atau pasta Septomixin Forte (campuran dari Neomicin, polymixin B sulfat, dexametason) (Septodont, SaintMaur, Prancis), atau dengan pasta kalsium hidroksida (Calasept). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada kelompok Ledermix, 38 rantai bakteri telah membaik. Kelompok Septomixin Forte memiliki 25 ikatan, dan kelompok Calasept memiliki 25 ikatan. Gram-positif coccus fakultatif anaerob (termasuk staphylococcus dan streptococcus) memiliki prevalensi yang lebih banyak dibandingkan gram negatif batang anaerob obligat setelah dirawat dalam ketiga grup ini.

23

Septomixin Forte Septomixin Forte terdiri dari dua antibiotik- neomisin dan polymixin B sulfat. Keduanya tidak dapat dianggap ideal atau cocok untuk menghambat pertumbuhan bakteri endodontik karena spektrum aktivitas mereka yang terbatas (Abbott dkk, 1990). Neomisin bersifat bakterisid untuk basil Grampositif namun tidak efektif terhadap Bakteroides dan spesies lain seperti jamur. Polymixin B sulfat tidak efektif untuk bakteri Gram-positif, seperti yang ditunjukkan oleh Tang dkk (2004) yang membuktikan bahwa aplikasi rutin Septomixin Forte selama 1 minggu tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan sisa bakteri saluran akar pada antar pertemuan. Selain itu, walaupun agen antiinflamasi (kortikosteroid), dexametason (pada konsentrasi 0.05%), secara klinis terbukti efektif, namun triamsinolon dianggap memiliki efek samping sistemik yang lebih sedikit.

Klindamisin Klindamisin efektif terhadap banyak bakteri endodontik patogen yang sering ditemukan, seperti Actinomyces, Eubacterium, Streptococcus, Fusobacterium, Peptococcus,

Propionobacterium,

microaerofilik

Peptostreptococcus, Veilonella, Prevotella dan Porphyromonas. Klindamisin juga sangat efektif terhadap spesies bakteri berpigmentasi gelap seperti Prevotella dan Porphyromonas secara in vitro (Gilad dkk, 1999).

24

Molander dan Dahlen (2003) meneliti pengaruh klindamisin pada saluran akar yang terinfeksi dan periodontitis apikalis ketika ditempatkan sebagai dressing intrasaluran. Mereka menggunakan klindamisin kapsul 150mg yang dicampurkan dengan larutan saline steril. Setelah itu dengan sampling bakteriologis awal dan instrumentasi rutin pada saluran akar, pasta klindamisin kemudian ditempatkan ke dalam saluran akar selama 14 hari. Ada atau tidaknya bakteri ditentukan pada sampel yang diambil segera setelah pengangkatan dressing, serta setelah observasi lebih lanjut selama 7 hari saat saluran terisi oleh cairan sampling. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa klindamisin tidak memberikan keuntungan sebagau dressing saluran akar konvensional, seperti yang dapat diberikan oleh kalsium hidroksida. Namun, tidak ada kontrol negatif yang digunakan dan besar konsentrasi obat tidak dinyatakan dalam penelitian ini. Kemampuan klindamisin untuk penetrasi ke dalam sistem saluran akar juga tidak diteliti. Meskipun demikian, pasta klindamisin berhasil menghilangkan pertumbuhan bakteri pada 21 dari 25 gigi yang diuji di hari ke-14 penelitian. Pada empat gigi yang tersisa, Enterococci adalah spesies yang dominan. Gilad dkk, (1999) mengevaluasi efektivitas klindamisin pada vehikel etilen vinil asetat (EVA) dalam mengurangi pertumbuhan bakteri secara in vitro. Serat klindamisin dibuat dengan prosedur sebagai berikut: 0,075 g kalsium monobasa fosfat dicampur dengan 10 mL air terdistilasi, kemudian ditambahkan ke dalam larutan yang berisi 0,05 g klindamisin fosfat dan 10 mL air terdistilasi. Campuran larutan tersebut dilyofilisasi selama 24 jam, lalu endapan bubuk disaring untuk

25

menghasilkan ukuran partikel yang seragam yaitu 45 . Bubuk (125 g) dicampurkan dengan 375 mg partikel EVA kemudian diproses menggunakan plastometer ekstrusi berdiameter 2 mm, 1 mm dan 0,5 mm. Ekstrusi akhir menghasilkan 250 mm serat panjang, dengan dosis perkiraan 0,2 mg

klindamisin/mm serat. Hasil tes sensitivitas bakteri menunjukkan bahwa semua bakteri uji memperlihatkan berbagai derajat inhibisi (terutama P. intermedia, F. nucleatum, P. micros dan S. intermedius) pada konsentrasi 10gmL-1. Serat klindamisin/EVA mengurangi jumlah bakteri pada gigi manusia secara signifikan. Serat klindamisin/EVA juga menunjukkan kemampuan untuk melepaskan obat selama minimal dua minggu. Lin dkk (2003) membandingkan pengaruh antibakteri klindamisin dan tetrasiklin pada model tubulus dentin sapi serta tes difusi agar. Mereka menyatakan bahwa klindamisin mengurangi jumlah bakteri dalam setiap lapisan dentin dibandingkan dengan tetrasiklin secara signifikan. Hasil tes difusi agar (pengenceran 1:3 dan 1:9) menunjukkan bahwa kedua medikamen memiliki aktivitas antibakteri, tetapi klindamisin lebih baik secara signifikan. Klindamisin memiliki pengaruh minor, sedangkan tetrasiklin tidak berpengaruh sama sekali pada pengenceran 1:27.

Pasta Tiga Antibiotik Infeksi saluran akar disebabkan oleh polimikroba yang terdiri dari kedua spesies bakteri aerob dan anaerob. Penggunaan antibiotik tunggal tidak

26

menghasilkan disinfeksi yang efektif pada sistem saluran akar karena kerumitan infeksi saluran akar. Kombinasi antibiotik diperlukan untuk mengatasi beragam flora yang ditemukan. Kombinasi antibiotik juga mengurangi kecenderungan pembentukan strain bakteri resisten. Kombinasi metronidazole, siprofloksasin dan minosiklin menunjukkan pengaruh terbaik (Windley dkk, 2005). Sato dkk (1996) menguji potensi kombinasi obat tersebut untuk membunuh bakteri di lapisan dalam dentin saluran akar in situ. Bakteri dari dentin dinding saluran akar terinfeksi tidak ditemukan setelah aplikasi kombinasi obat selama 24 jam, kecuali pada satu kasus ditemukan beberapa bakteri. Hoshino dkk (1996) meneliti pengaruh antibakteri kombinasi obat yang sama (dengan dan tanpa penambahan rifampisin) terhadap bakteri yang diambil dari dentin saluran akar terinfeksi. Efektivitas juga ditentukan terhadap bakteri pada karies dentin dan infeksi pulpa yang menjadi bakteri penyebab infeksi saluran akar. Obat tunggal tidak ada yang dapat mengeliminasi semua bakteri, tetapi kombinasi obat dapat mendisinfeksi semua sampel secara konsisten. Iwaya dkk (2001) memaparkan laporan kasus tentang gigi premolar kedua mandibula immature yang mengalami infeksi pada pulpa, saluran akar, periapikal dan saluran sinus. Perawatan dilakukan tanpa mengikuti standar protokol perawatan saluran akar dan apeksifikasi, yaitu dengan memasukkan dua antibiotik (metronidazol dan siprofloksasin) ke dalam saluran akar yang sebelumnya kosong. Pemeriksaan radiografis memperlihatkan permulaan

penutupan apikal 5 bulan setelah penyelesaian protokol antimikroba. Penebalan

27

dentin akar dan penutupan apikal lengkap dikonfirmasi terjadi 30 bulan setelah perawatan, yang mengindikasikan potensi revaskularisasi pulpa gigi tetap muda menjadi ruang saluran akar yang bebas bakteri. Takushige dkk (2004) menguji efektivitas pasta poliantibiotik yang terdiri dari siprofloksasin, metronidazol dan minosikilin terhadap hasil klinis perawatan Sterilisasi Lesi dan Perbaikan Jaringan pada gigi tetap dengan lesi periradikuler. Mereka menyatakan bahwa gejala klinis (seperti pembengkakan gusi, saluran sinus, nyeri tumpul saat terkena rangsang, nyeri tumpul spontan dan nyeri saat menggigit) menghilang setelah perawatan pada semua kecuali empat kasu s. Empat kasus yang tidak sembuh setelah perawatan awal memperlihatkan pengurangan tanda-tanda dan gejala klinis setelah perawatan lebih lanjut dengan mengulangi prosedur yang sama.Abses gusi dan drainase sinus menghilang setelah beberapa hari. Gigi tetap pengganti bererupsi tanpa gangguan, atau terlihat normal dan dalam proses erupsi secara radiografis. Semua kasus dinilai sukses. Waktu fungsional rata-rata gigi permanen adalah 680 hari (rentang: 68-2390 hari), kecuali pada satu kasus gigi tetap pengganti hilang secara kongenital. Windley dkk (2005) menilai efektivitas pasta tiga antibiotik terhadap disinfeksi gigi anjing yang immature dengan periodontitis apikalis. Sampel diambil dari saluran akar sebelum (S1) dan setelah (S2) diirigasi dengan NaOCl 1,25% dan setelah diisi dengan pasta tiga antibiotik (S3) yang terdiri dari metronidazol, siprofloksasin dan minosiklin. Hasil kultur bakteri positif dengan

28

jumlah CFU rata-rata 1,7x10 sebanyak 100% pada sampel s1.Sebanyak 10% sampel bebas bakteri dengan jumlah CFU rata-rata 1,4x10 pada S2, dan 70% sampel bebas bakteri dengan jumlah CFU rata-rata hanya 26 pada S3. Pengurangan jumlah CFU rata-rata antara S1 dan S2 serta antara S2 dan S3 signifikan secara statistik.

Metronidazol Metronidazol adalah senyawa nitroimidazol yang menghambat spektrum luas protozoa dan bakteri anaerob. Metronidazol memiliki pengaruh antibakteri kuat terhadap bakteri kokus anaerob, batang Gram-negatif dan Gram-positif, sehingga digunakan untuk perawatan penyakit periodontal baik secara sistemik maupun topikal. Metronidazol mudah menembus membran sel bakteri, kemudian berikatan dengan DNA, menghancurkan struktur heliks DNA, sehingga menyebabkan kematian sel secara cepat (Windley dkk, 2005). Roche dan Yoshimori (1997) meneliti aktivitas antibakteri metronidazol terhadap isolat klinis abses odontogenik secara in vitro. Mereka menyatakan bahwa metronidazol memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob tapi tidak berpengaruh terhadap bakteri aerob. Siquera dan de Uzeda (1997) menguji aktivitas antibakteri klorheksidin gel 0,12%, metronidazol gel 10%, kalsium hidroksida ditambah air terdistilasi, kalsium hidroksida ditambah camphoratedparamonochlorophenol (CPCM) dan kalsium hidroksida ditambah gliserin dengan menggunakan tes difusi agar. Pasta

29

kalsium hidroksida/CMCP dan klorheksidin efektif terhadap seluruh strain bakteri yang diuji. Metronidazol menginhibisi pertumbuhan seluruh bakteri anaerob obligat yang diujikan, dan lebih efektif daripada kalsium hidroksida/CPCM terhadap dua dari seluruh strain bakteri. Lima dkk (2001) menguji efektivitas medikasi yang berbahan dasar klorheksidin atau antibiotik untuk mengeliminasi biofilm E. faecalis. Mereka menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara formulasi yang diuji. Asosiasi klindamisin dan metronidazol mengurangi jumlah sel pada biofilm usia 1 hari secara signifikan. Medikasi yang mengandung klorheksidin 2% mampu mengeliminasi kedua biofilm E. faecalis yang berusia 1 hari dan 3 hari terbanyak daripada medikasi lain. Wang dkk (2003) menguji pengaruh larutan metronidazol-klorheksidin pada perawatan periodontitis apikalis kronis. Mereka melaporkan bahwa 97,6% kasus telah sembuh. Yu dkk (2000) meneliti pengaruh pasta yang terbuat dari erythromycin ethylsuccinate, metronidazole dan camphorated

paramonochlorophenol (CP) untuk mensterilisasi saluran akar. Hasil observasi klinis terhadap 180 pasien yang perkembangan apeksnya telah lengkap dan mengalami periodontitis apikalis akut atau kronis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada disinfeksi saluran akar dengan menggunakan campuran erythromycin-ethylsuccinate-metronidazole-CP

dibandingkan dengan formokresol. Campuran erythromycin-ethylsuccinatemetronidazole-CP dapat mengurangi irritabilitas dan toksisitas perawatan lebih baik daripada formokresol. Kesimpulannya adalah disinfeksi saluran akar dengan

30

memakai erythromycin-ethylsuccinate-metronidazole-CP merupakan metode yang aman dan efektif untuk memicu penyembuhan penyakit periapikal (Yu dkk, 2000). Gao dkk (2004) meneliti pengeluaran berkelanjutan dari gutta-percha point yang mengandung metronidazol (SRDGM) untuk disinfeksi saluran akar, menentukan konsentrasi obat, waktu mempertahankan obat, dan konsentrasi obat yang efektif secara in vitro. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa SRDGM mengandung 2013 microgram metronidazol dan dapat mengeluarkan 68,24% obat selama periode 24 jam ketika diuji secara in vitro. Konsentrasi metronidazol yang efektif dikeluarkan selama lebih dari 10 hari. Pada hari ke-10 dikeluarkan sebanyak 33,13 g mL-1 metronidazol, lebih banyak dari konsentrasi inhibisi metronidazol minimal. Hoelscher dkk (2006) menguji pengaruh antimikroba lima antibiotik (amoksisilin, penisilin, klindamisin, metronidazol dan doksisiklin) terhadap E.faecalis saat ditambahkan ke dalam Kerr Pulp Canal Sealer EWT secara in vitro. Mereka menemukan bahwa semua antibiotik dapat meningkatkan pengaruh antimikroba sealer kecuali metronidazol. Krithikadatta dkk (2007) meneliti disinfeksi tubulus dentin menggunakan klorheksidin gel 2%, metronidazol gel 2%, bioactive glass (S53P4) dan kalsium hidroksida. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa persentase inhibisi pertumbuhan bakteri (pada kedalaman 200 dan 400 di dalam dentin)

31

klorheksidin (100%), metronidazol gel (86,5%), bioactive glass (62,8%) dan kalsium hidroksida (58,5%) kurang efektif. Simpulan 1. Aplikasi antibiotik secara lokal ke dalam sistem saluran akar lebih efektif daripada melalui rute sistemik. 2. Tetrasiklin digunakan untuk membuang smear layer dari dinding saluran akar setelah instrumentasi, irigasi kavitas ujung apikal akar selama prosedur bedah periapikal, dan sebagai medikamen saluran akar. 3. Substantivitas tetrasiklin terjadi paling sedikit selama 12 minggu. 4. BioPure (MTAD) efektif untuk membuang smear layer. Kemampuan antimikroba 1,3% NaOCl/MTAD dibandingkan dengan kombinasi alternatif 5,25% NaOCl dan 15% EDTA terhadap E. faecalis masih menjadi kontroversi. 5. Substantivitas MTAD terjadi minimal selama 4 minggu. Aplikasi MTAD pada dentin yang diirigasi dengan 1,3% NaOCl dapat mengurangi

substantivitasnya. 6. Tetraclean adalah campuran dari antibiotik (doksisiklin), asam dan detergen (mirip MTAD), dengan tegangan permukaan yang sangat rendah dan kemampuan tinggi terhadap biofilm bakteri. 7. Ledermix adalah senyawa antibiotik glukokortikosteroid yang memiliki kemampuan anti-inflamasi, antibakteri dan antiresorpsi, dan membantu mengurangi reaksi inflamasi periapikal secara menyeluruh, termasuk

resorpsi sel yang diperantarai oleh sel klastik. Bahan ini telah terbukti

32

menurunkan insidensi inflamasi dan penggantian resorpsi secara signifikan, sehingga lebih menguntungkan untuk penyembuhan replantasi gigi. 8. Campuran 50:50 pasta Ledermix dan kalsium hidroksida dianjurkan sebagai pengisi saluran akar untuk kasus infeksi pulpa dan saluran akar, nekrosis pulpa dan infeksi pada akar yang belum terbentuk sempurna (apeksifikasi), perforasi, resorpsi akar terinflamasi, resorpsi tulang periapikal terinflamasi dan perawatan dengan lesi radiolusen besar di periapikal. 9. Klindamisin tunggal atau dalam ethylene vinyl acetate (EVA) dapat mengurangi jumlah bakteri di dalam sistem saluran akar (termasuk tubulus dentin) secara signifikan. 10. Pasta tiga antibiotik terdiri dari metronidazol, siprofloksasin dan minosiklin terbukti efektif untuk disinfeksi sistem saluran akar.

33