37
Ekonomi Politik Regulasi Media A. PENDAHULUAN Berawal dari era keterbukaan Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlah sekedar ‘kebebasan dari’ (freedom from) absolutisme, kekuasaan otoriter, sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuah Harian melalui fit and proper test yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dari itu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’ (freedom for the people) dan kebebasan manusia (freedom of the people). Kebebasan untuk dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dan konsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehingga kebebasan manusia, meminjam istilah Feurbach sebagai ‘galthung’ makhluk alamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapat terealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan. Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasi sebagai individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang ‘sesungguhnya’ adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosial menuju demokratisasi, sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi politik publik luas yang didorong oleh mekanisme alur informasi yang bebas.

Ekonomi Politik Regulasi Media

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ekonomi Politik Regulasi Media

Ekonomi Politik Regulasi Media

A. PENDAHULUAN

Berawal dari era keterbukaan

Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlah sekedar ‘kebebasan dari’ (freedom from) absolutisme, kekuasaan otoriter, sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuah Harian melalui fit and proper test yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dari itu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’ (freedom for the people) dan kebebasan manusia (freedom of the people).

Kebebasan untuk dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dan

konsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehingga

kebebasan manusia, meminjam istilah Feurbach sebagai ‘galthung’ makhluk

alamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapat

terealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan.

Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakan

pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasi sebagai

individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang ‘sesungguhnya’

adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosial menuju demokratisasi,

sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang

menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi

politik publik luas yang didorong oleh mekanisme alur informasi yang bebas.

Dalam wilayah itu, tarik-menarik atas kontroversi RUU Penyiaran yang

dibuat oleh tim inisiatif DPR yang kini masih ‘ngendon’ di pemerintah patut

dipertanyakan. Pilihan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU tersebut bisa

menimbulkan efek yang kontra-produktif bagi jalannya proses transisi demokrasi

ini. Di satu sisi, pemerintah hendak membangun kepercayan publik (public trust)

bagi upaya recovery / pemulihan ekonomi akibat krisis.

Page 2: Ekonomi Politik Regulasi Media

Di sisi lain, pemerintah dihadapkan oleh situasi penolakan baik oleh para

pemilik kapital media massa yang juga di dukung melalui pemberitaan media

terhadap ‘nasib’ RUU penyiaran yang mereka sebut sebagai ‘pemasung

kebebasan pers’. Misalnya, judul pemberitaan yang dimuat oleh media cetak

tentang RUU tersebut, misalnya; RUU Penyiaran bentuk penghianatan terhadap

agenda reformasi (Kompas, 13 Maret 2001), RUU Penyiaran kekang kebebasan

(Suara pembaharuan, 24 Maret 2001), dan seterusnya.

Atau penolakan oleh lembaga semi atau quasi pemerintah seperti Dewan

Pers (yang merasa memiliki hak untuk mengatur atau lebih tepatnya mengontrol

dan bertanggung-jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pers nasional)

terhadap substansi RUU penyiaran. Ketua dewan Pers Atmakusumah Atmaja,

menyebut adanya ancaman terhadap pasal-pasal yang ‘memasung kebebasan

pers’ yang dipaksakan masuk dalam RUU penyiaran yang mengindikasikan

ketakutan-ketakutan pemerintah terhadap eksistensi kebebasan pers.

Pada saat demikian, pilihan penundaan pengesahan RUU tersebut memiliki

dua makna yang signifikant. Pertama, belum munculnya political will pemerintah

untuk benar-benar memproduksi undang-undang yang partisipatif dan akomodatif

bagi keberlangsungan hajat publik bagi terbukanya ruang publik yang terbuka,

setara, dan menjamin kepentingan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,

penundaan itu bisa dilihat sebagai kasus dari adanya upaya negosiasi elektron

kepentingan bisnis dari kelompok-kelompok tertentu dengan pemerintah untuk

secara sadar mempengaruhi dan mengubah substansi dasar RUU penyiaran.

Menuju usaha substantif

Mengapa? Secara substantif, memang RUU penyiaran mengandung nilai-

nilai kebebasan pers (freedom for dan freedom of the people) sesungguhnya,

yang saat ini dikawatirkan akan membatasi celah-celah ekonomi-bisnis mereka

atau bisa juga menutup sama sekali ruang monopoli kepemilikan media. Di

samping itu, RUU tersebut juga memuat upaya terciptanya perubahan nilai-nilai

Page 3: Ekonomi Politik Regulasi Media

sosial, semisal terjadinya pluralisme masyarakat, sarana public sphere, dan

proses demokratisasi menuju terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang

beradab.

Dan kedua, lebih lanjut, penundaan tersebut memperlihatkan praktek-

praktek relasi kekuasaan antara state di satu sisi, dengan market di sisi lain yang

membangun hubungan mutualistik-otokratik, sebagaimana dipraktekan oleh

rezim sebelumnya. Dalam wilayah ini, yang menjadi kekhawatiran publik menjadi

jelas dihadapan. Bahwa persekutuan antara state dan market tidak lebih dari

usaha mencari keuntungan dalam wilayah ekonomi, dan kehendak untuk

memberangus kesadaran politik masyarakat. Praktek ini menunjukan domain

publik yang dipinggirkan atas nama ‘kebijakan’ yang sama sekali keluar dari nilai-

nilai kebijakan itu sendiri. Pemerintah (state) sebagai decision maker kebijakan

tidak lagi mementingkan aspirasi dan kepentingan publik. Pada tahap ini

kebuntuan dan monopoli informasi publik menjadi keniscayaan. Problem ini

menjadi tanggung-jawab bersama-sama oleh setiap individu dalam masyarakat.

Makalah ini akan berusaha melihat muatan-muatan RUU Penyiaran

terhadap ‘ajaran’ civil society, yang dalam konteks ke-Indonesiaa saat ini sedang

trend dan menjadi diskursus up to date untuk menggagas perubahan dan

transformasi sosial. Juga hendak menunjukan relevansinya terhadap kesadaran

politik publik bagi konstruksi sosial baru di masyarakat. Ide-ide pemenuhan

domain publik secara luas, bebas dari intervensi, hegemoni negara, sentralisme

dan monopolisme kapital, equality (kesetaraan) dan liberty (kebebasan)

masyarakat menjadi substere untuk digagas lebih lanjut. Di sinilah letak cepat-

lambatnya gerakan sosial yang membawa risalah kesadaran kritis publik

terhadap, meminjam istilah Gramsci hegemoni negara yang dominan, untuk

menuju civil society.

Page 4: Ekonomi Politik Regulasi Media

B. PEMBAHASAN

Pendekatan politik ekonomi media massa

Konseptualisasi

Konsepsi politik ekonomi pada awalnya bermula dari upaya dukungan

terhadap akselerasi kapitalis yang menolak sistem politik merkantilis yang

dianggap tidak efektif dan efesien pada abad ke-18. Secara historis, The New

Palgrave,1 membuat definisi politik ekonomi sebagai studi tentang kesejahteraan

dan usaha manusia untuk memenuhi nafsu perolehan (penawaran dan

pemenuhan hasrat).

Tidak mengherankan kemudian, Adam Smith dalam Theory of Moral

Sentiment dan The Wealth of Nations, melihat fenomena itu sebagai sebuah

karakteristik yang berguna namun tidak dipuji, yang berakibat pada pengejaran

nilai kebendaan, yang bila dipandang dari sudut filsafat yang tidak memihak,

tampak ‘menjijikan dan remeh’ atau bisa disebut ‘vulgar’. Bahwa hasrat atas

nafsu perolehan memiliki konsekwensi-konsekwensi yang banyak dikecam karena

menimbulkan perilaku-perilaku kekikiran atau nafsu tamak. Dengan demikian,

dorongan bagi pemenuhan kekayaan bisa berpengaruh pada interaksi hubungan

produksi komersial ke dalam masyarakat.

Bagi William dalam Etimologi Sosial, sebelum menjadi disiplin ilmu, politik

ekonomi didefinisikan sebagai tradisi sosial (social custom), praxis, dan

pengetahuan untuk mengatur rumah-tangga, surat-menyurat dan komunitas.

Konsep politik ekonomi merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi (oikos

dan nomos) terkait pada tata atur rumah tangga, politik (polis) berdimensi kota-

negara (city-state). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsi politik ekonomi

Page 5: Ekonomi Politik Regulasi Media

klasik, ditandai oleh munculnya pandangan liberal yang diawali oleh Adam Smith,

David Ricardo, dkk (dikupas bab berikutnya).

Selanjutnya, politik ekonomi dipandang sebagai kombinasi dari kajian

relasi negara/pemerintah terhadap aktivitas industri individu (Palgrave, 1917).

Dengan demikian, konsepsi politik ekonomi dapat dirumuskan sebagai studi

tentang relasi-relasi sosial khususnya relasi kekuasaan yang dalam interaksinya

secara bersama-sama menentukan sisi produksi, distribusi dan konsumsi sumber

daya (Mosco, 1996).

Bila dikaitkan dalam wilayah komunikasi, khususnya industri media massa,

sumber daya yang dimaksud berupa surat kabar, buku, video, film, audien dan

seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (resource) untuk

didistribusikan ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi, distribusi, dan

konsumsi dalam industri media massa melibatkan relasi pihak jurnalis, organisasi

media, pemilik modal atau kapitalis (perspektif ekonomi-bisnis), dan negara atau

tepatnya pemerintah (perspektif politis). Yang diutamakan terjadinya alur umpan

balik proses produksi yang melibatkan jaring-jaring produser, agen, pengecer, dan

konsumen beli-sewa dalam mata rantai komersial.

Dalam arti tertentu, politik ekonomi komunikasi mengalami pergeseran

pada upaya kontrol dalam rangkaian alur produksi, distribusi, dan konsumsi.

Sehingga, bisa saja ia didefinisikan secara lebih umum dan ambisius sebagai studi

tentang pengendalian (control) dan ketahanan (survivel) dalam kehidupan sosial.

Kontrol terkait pada organisasi internal dari individu dan anggota kelompok

politik, yang berproses secara politik dalam hubungannya dengan komunitas.

Sedangkan survivel dilihat sebagai usaha produksi dan reproduksi untuk

pemenuhan kebutuhan sendiri (ekonomi).

Pandangan Liberalisme

Page 6: Ekonomi Politik Regulasi Media

Dalam upaya menjelaskan peryataan tersebut, terlebih dahulu dipahami

kata kunci kalimat di atas. Liberalisme politik ekonomi merupakan idiologi kelas

tertentu yang mencirikan kepentingan tertentu. Asal mulanya erat kaitannya

dengan munculnya masa pencerahan (enlightment) dan Revolusi Perancis akhir

abad ke-18. Ciri-ciri pemikiran Pencerahan yang universal dan mutlak serta

idiologi liberal, seperti semboyan Revolusi Perancis ‘kebebasan (liberty),

persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity)’ yang menjadi aspirasi kaum

borjuis Perancis---pengusaha kelas menengah yang baru muncul, pemilik toko,

pedagang, bankir, intelektual, dan seterusnya---yang merasa dikekang oleh

kepentingan monarki obsolut Perancis.

Kaum borjuasi Perancis ini yang pada abad ke-18 berusaha mengakhiri

penguasaan ekonomi model ‘merkantilisme’ yang telah ketinggalan zaman pada

aspek perdagangan, penanaman modal, dan pengembangan usaha. Selain itu,

mereka juga menghendaki dikuranginya peranan Gereja Katolik sebagai pemilik

harta kekayaan dan lembaga ekonomi dan menuntut pengurangan kekuasaan

monarki, penghapusan hak-hak istimewa, tuntutan sistem kontrol terhadap

parlemen, dan menuntut sistem perdagangan bebas.

Pemikiran liberal klasik awal melihat perlunya keselarasan sosial oleh masing-

masing individu untuk mengejar dan memperoleh hasrat dan kepentingan. Untuk

itu, liberalisme memberi pengakuan terhadap pandangan individu sebagai pelaku

hidup independen. Sebuah pengakuan terhadap hak-hak individu untuk

melakukan aktivitas kehidupan secara bebas, baik atas nama individu atau sosial

secara sadar. Menurut John Lock, individu memiliki dua dimensi, etika/moral dan

ontologi. Etika dimaknai sebagai individu otonom yang memiliki nilai-nilai dasar

hidup, seperti kebahagiaan, kesenangan, dan seterusnya. Sedangkan ontologi

kehendak individu untuk mengejar nilai-nilai individu yang dihasratkan. Tindakan

individu bisa saja disebut sebagai tindakan rasional/sadar untuk mengorganisasi

dirinya secara individual, seperti kooperasi, mengejar keuntungan dan produksi.

Page 7: Ekonomi Politik Regulasi Media

Individualitasnya dihayati sebagai manusia yang bebas menentukan

tindakannya secara sadar dan disengaja. Ia adalah bebas dalam arti bebas untuk

menentukan sendiri apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak. Atau dalam

arti lain mau tidak mau ia harus mengambil pilihan sikap terhadap aktivitas sosial

di sekelilingnya, bisa saja ia menyesuaikan atau kooperatif terhadap orang-orang

lain, tetapi bisa saja ia bertindak menentang mereka, atau sama sekali keluar dari

pilihan-pilihan dan membangun pilihan sendiri.

Individu dikatakan bebas apabila ia mampu melihat ruang gerak

kemungkinan yang ada dihadapannya atas pilihan-pilihan yang harus dipegang

salah satunya. Ketika ia mampu menciptakan pilihannya dan bertanggung-jawab

atas pilihannya, dalam arti ini individu memiliki eksistensi diri sebagai individu

otonom yang memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya. Bahwa ia memiliki

otoritas penuh terhadap dirinya dan bertangggung-jawab sepenuhnya terhadap

perilaku-perilaku individu. Dengan demikian, bisa dikatakan perwujudan

liberalisme sebagai isme adalah adanya kebebasan kodrati yang melekat pada

individu-individu manusia.

Karakteristik liberalisme.

Ada dua karakteristik umum liberalisme politik ekonomi, yaitu pasar bebas

(kebebasan ekonomi), fungsi negara yang dipersempit (kebebasan politik). Pasar

Bebas menurut Adam Smith, Bapak politik ekonomi merupakan konsep tatanan

kosmis yang harmonis dalam bidang ekonomi. Sebagai sistem sosial yang

ditunjang oleh keadilan sebagai aturan main utama bagi para pelaku ekonomi.

Atau bisa disebut sebagai panggung aturan sosial-ekonomi yang menerapkan

kemungkinan asas keadilan dapat diwujudkan. Hanya dengan mekanisme pasar

bebas keadilan komutatif dalam wilayah ekonomi dapat dipertahankan.

Keadilan komutatif yang dimaksud sebagaimana disebut oleh Aristoteles,

dan Smith sebagai keadilan yang terkait dengan pemulihan kembali kerusakan

atau kerugian yang terjadi dalam sebuah transaksi sosial serta terkait dengan

Page 8: Ekonomi Politik Regulasi Media

model pertukarn yang fair dalam transaksi ekonomi. Model keadilan ini dibangun

atas dasar konsep filsafati. Dalam arti melihat persamaan yang utuh dan hakiki

yang melekat pada setiap individu manusia.

Pada akhirnya, memang Smith memperluas makna keadilan komutatif

sebagai no harm, bahwa pasar bebas memiliki prinsip untuk tidak menyakiti dan

merugikan orang lain. Atau juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya

hak-hak dan kepentingan orang lain. Dengan demikian, keadilan komutatif

menjamin adanya ruang hukum yang memungkinkan terciptanya pemulihan

kerugian ekonomi dan terbukanya aturan hukum yang memungkinkan tidak

terjadinya pelanggaran hak dan kepentingan orang-orang tertentu.

Ada dua argumen pokok mengenai pasar bebas, argumen ekonomi dan

argumen moral. Argumen ekonomi melihat penekanan ekonomi yang

mewujudkan efesiensi dan ekfektivitas perekonomian. Bahwa masalah ekonomi

dilihat secara utuh dalam wilayah ekonomi yang mengaitkan aspek produksi,

distribusi dan konsumsi bagi kesejahteraan individu dan sosial. Argumen moral

menekankan aspek-aspek moral dari ekonomi pasar bebas. Ada tiga ciri utama

argumen moral dari pasar bebas. Pertama, terdapatnya prinsip-prinsip utilitas.

unsur pembentuk utilitas adalah utilitas dilihat secara psikologis, dan secara

fungsional. Secara psikologis, bahwa pasar bebas menjembatani ekspresi

ekonomi antar individu untuk melakukan transaksi barang sebagai pelaku

ekonomi. Pasar bebas mengandung nilai moral, sebab di dalamnya memuat

pelayanan pemenuhan kepentingan dan kebutuhan setiap individu. Secara

fungsional, pasar bebas dinilai membuka adanya manfaat sosial yang diperoleh.

Karena mekanisme yang dipergunakan memungkinkan terdapatnya aturan yang

disepakati bersama sebagai kerangka legal, politis, bagi kesejahteraan bersama.

Kedua, moralitas dalam pasar bebas. Menurut Adam Smith, pasar bebas

memuat aspek-aspek moral. Sebab, di dalamnya mengandung sebuah pranata

sosial yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan bersama setiap individu.

Page 9: Ekonomi Politik Regulasi Media

Bahwa hakikat hidup sesuai dengan kodrat manusia untuk menciptakan sistem

hidup yang baik. Bagi Smith, hidup yang baik merupakan sistem hidup yang

dimiliki oleh pasar bebas yang memungkinkan setiap individu secara kodrati

mengejar dan mengembangkan hajat hidupnya sesuai dengan kodrat yang

melekat.

Dan ketiga, pasar bebas tidak memihak. Bahwa sifat pasar bebas yang

tidak memihak (impartial) dalam menentukan dan menyediakan barang dan jasa

dan karenanya bersikap netral bagi semua orang. Impartial dalam arti tidak

adanya pemberian wewenang tertentu bagi orang tertentu, sehingga bisa saja

menciptakan monopoli, hak-hak istimewa, dan dukungan lain yang

memungkinkan terjadinya kerugian di pihak lain. Bahwa pasar bebas menjadi

tempat yang sama bagi setiap orang untuk bertransaksi, berbisnis yang

memungkinkan terciptanya kesetaran ekonomi bagi masing-masing orang.

Fungsi negara yang dipersempit (kebebasan politik). Liberalisme melihat

perlunya penggabungan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan politik, sehingga

fungsi negara harus dipersempit. Sebab pengejaran kepentingan ekonomi tidak

dapat secara langsung diatur melalui regulasi ekonomi yang dibuat oleh negara.

Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan ‘kemakmuran bangsa’oleh Bapak

politik ekonomi Adam Smith dilihat sebagai adanya peran negara yang

kekuasaanya terbatas.

Oleh karena itu, peran yang memungkinkan diemban negara bahwa

negara seharusnya melindungi hak-hak asasi setiap individu untuk memiliki dan

memperoleh kekayaan. Proses ekonomi terjadi sebagai akibat dari usaha dn kerja

keras individu untuk memperoleh keuntungan ekonomisnya. Sehingga, negara

yang membatasi hak-hak pemenuhan ekonomi, berarti menurut John Lock telah

mengingkari ‘kontrak sosial’ yang menjadi satu-satunya kekuasaan yang penuh

dan sah.

Page 10: Ekonomi Politik Regulasi Media

Wewenang negara yang terbatas, menjadi sarana terciptanya mekanisme

pasar bebas yang mengapresiasi setiap kepentingan ekonomis orang-orang yang

terlibat dalam transaksi ekonomi. Dalam konteks ini, bila negara memiliki

wewenang yang luas, maka akan dimungkinkan menimbulkan kendala signifikant

bagi laju proses kebebasan individu dalam mekanisme pasar. Campur tangan

negara sudah barang tentu menimbulkan gangguan keseimbangan sosial dalam

perekonomian. Dengan pembataasn berarti dibatasi pula hak-hak kodrati untuk

memenuhi hasrat ekonomisnya. Pada titik ini, sebenarnya negara tidaklah secara

langsung mempunyai hak untu bertindak sebagai ‘wali sosial’ untuk mengatur

kehidupan private setiap individu untuk mengatur kepemilikan kekayaan dan

modal.

Keunikan dari liberalisme bisa dilihat sebagai sistem nilai dan sistem

sosial. Sistem nilai, liberalisme memuat nilai-nilai kapitalisme yang bekerja dalam

tataran kapitalistik. Atau kapitalisme adalah anak kandung dari liberalisme.

Dalam kapitalisme nilai yang muncul adalah nilai instrumentalis. Menurut Franz

Magnis Suseno, didalamnya memuat nilai mengabdi, menjalankan, demi sebuah

tataran nilai yang lebih luas, berupa nilai dinamisasi kapital. Nilai kapitalisme

lebih memintingkan nilai tukar dari pada nilai guna, sebab hal itu memungkinkan

terjadinya transaksi modal, bisa berupa barang, jasa, uang untuk memenuhi

keuntungan-keuntungan kapital yang lebih besar.

Sebagai sistem sosial, liberalisme memungkinkan hadir sebagai sistem

masyarakat modern yang menjadi dasar bagi pembentukan ‘masyarakat pasar’

bersama dalam kerangka pemenuhan sistem produksi dan tenaga kerja. Nilai-nilai

seperti kebebasan, kesetaraan menjadi perekat bagi usaha membentuk sistem

sosial bersama di antara pelaku-pelaku ekonomi di masyarakat.

Kritik Marxisme.

Liberalisme bukan tanpa kritik. Setidaknya yang disebut oleh Karl Marx (1818-

1883), seorang filsuf Jerman dan roh pembimbing gerakan sosialisme. Kritik Marx

Page 11: Ekonomi Politik Regulasi Media

tidak dijelaskan secara luas dalam tulisan ini. Marx melihat bahwa mekanisme

pasar bebas yang menjadi fundement liberalisme politik ekonomi justru

menimbulkan banyak ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Mark

melihat implikasi yang ditimbulkan terjadinya akumulasi modal yang terpusat.

Dan keuntungan yang menjadi hak asasi individu, disebut Marx sebagai kondisi

pembagian yang ‘tidak adil’ atas produksi antara kerja sebagai proses dan kerja

sebagai komoditas.

Pekerja sebagai penggerak proses produksi dilihat hanya menjadi mesin-

mesin yang memenuhi hasrat produksi kapitalistik. Dalam konteks ini, hubungan

antara kerja dan imbalan yang diperoleh oleh pekerja menjadi tidak seimbang.

Menurut Marx nilai kerja mengacu pada nilai terpaksa dalam aktivitas produksi.

Sehingga, buruh menjadi terasing pada aktivitas kerja yang dikerjakannya.

Sebuah pekerjaan tidak mengembangkan aktivitasnya, melainkan mengasingkan

dirinya. Bagi Marx, liberalisme dan kepemilikan pribadi hanya mementingkan

keuntungan daripada pertukaran nilai yang seimbang; keduanya mementingkan

aspek-apek perdagangan, sehingga yang lebih dahulu muncul adalah aspek

investasi ketimbang kebersamaan.

Dalam kondisi ini, kuantitas tenaga kerja manusia dibutuhkan dalam alur

produksi saja dan dinilai rendah. Sehingga, para pekerja dan bisa saja seluruh

keluarganya bekerja selama sepuluh, dua belas jam, tetapi mereka tetap saja

masih miskin. Apa yang terjadi ? Marx menyebut telah terjadi penyumbangan

sejumlah besar nilai lebih (surplus value) kepada pemilik pabrik yang kapitalis.

Dalam arti sederhana, model liberalisme hanya memungkinkan terciptanya

eksploitasi orang sedikit terhadap orang banyak.

Bisa saja disebabkan oleh keadaan yang tidak adil karena faktor

ketamakan pribadi-pribadi, dan mekanisme pasar yang teramat ‘kejam’ yang

menimbulkan kondisi buruk bagi pekerja yang terpinggirkan oleh mekanisme

kapitalistik. Pada titik ini, bagi Mark yang utama bagi pekerja membangun ikatan

Page 12: Ekonomi Politik Regulasi Media

antara mereka, merencanakan, mengorganisasikan dan menentang seluruh

sistem dan mekanisme kapitalistik. Sehingga diperlukan campur tangan negara

yang dominan untuk mengatur hasrat politik ekonomi liberalisme.

Campur tangan negara bagi Marx dan kaum marxian, tidak saja

diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan negara semata, lebih dari itu diperlukan

usaha struktural dan sistemik dari negara untuk mendominasi ranah masyarakat.

Hal ini berarti, marx telah menolak total dari mekanisme pasar bebas dan memilih

jalan ‘damai’ atas dominasi negara terhadap aspek-aspek perekonomian

masyarakat.

Pandangan Neo-Liberalisme

Konsep neo-liberalisme secara sederhana berarti ‘liberalisme baru’.

Diperkenalkan oleh John Stuart Mill tentang konsep laissez faire (negara tidak

campur tangan, sebagai pengganti dari merkantilisme) yang berakhir pada

terkondisinya sistem ekonomi pada sebagian kecil orang, adanya monopoli

produksi yang merugikan orang lain. Neo-liberalisme menekankan peranan

negara yang lebih besar dalam mengurusi masalah-masalah warga negara. Baik

masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya.

Kritik Marx dan kaum Marxian terhadap sistem politik ekonomi liberalisme

(klasik) atas paradigma pasar bebas-nya, mendorong kaum liberalis untuk melihat

kembali akar-akar liberalisme klasik. Kritik itu menjadi awal dari munculnya

pembaharuan di tubuh liberalisme. Politik ekonomi neo-liberalisme melakukan

reformasi besar-besaran pada sistem kapitalis, yang dimulai dari konsepsinya

tentang negara kesejahteraan (welfare state). Konsepsi ini melihat pentingnya

peranan negara dalam hubungan politik ekonomi terutama terhadap jaminan

kepada masyarakat yang tertinggal dari mekanisme ekonomi bebas. Konsepsi ini

bisa berbentuk melalui tunjangan-tunjangan kesehatan, hari tua, penganggur,

dan kompensasi optimal atas eksternalitas prroses produksi bagi kalangan miskin

yang dirugikan dan lingkungan ekosistem.

Page 13: Ekonomi Politik Regulasi Media

Neo-liberalisme juga memandang konsep-konsep keseimbangan

(equilibrium) dalam ekonomi klasik yang ternyata justru gagal menyelamatkan

dunia dari belenggu depresi politik ekonomi pada tahun 1930. Depresi ini

mengakibatkan stagnasi pada sisi produksi atau sisi penawaran (suplay)

disebabkan oleh rendahnya daya beli masyrakat waktu itu. Dalam kondisi

demikian, J.M. Keynes, ekonom asal Inggris, melihat pentingnya sisi permintaan

(demand). Konsep ini menilai bahwa konsepsi equilibrium tidak bisa serta merta

mampu memenuhi ‘ambisi’ ekonominya secara sendiri. Untuk itu, diperlukan

perangkat lain yang dapat mendorong tercapainya equilibrium, berupa perlunya

intervensi nilai permintaan atau sisi daya beli masyarakat melalaui konsumsi

negara.

Beda halnya dengan Marx dan Marxian yang memandang perlunya dominasi

negara atas sisi perekonomian masyarakat. Keynesian juga memandang sama,

tetapi sedikit lunak pengertiannya bahwa intervensi negara memang secara

langsung atau tidak mampu untuk menjaga keseimbangan perekonomian

masyarakat sebagai akibat dari kesenjangan alur produksi kapitalistik.

Dengan demikian, model intervensi negara dalam kerangka untuk

mensejahterakan masyarakat yang dipinggirkan. Misalnya, untuk mempengaruhi

majikan/pemilik modal bagi kesejahteraan para pekerja mereka. Jadi, pemakian

kekuatan negara secara langsung untuk mendorong atau melindungi kegiatan

ekonomis masyarakat bagi kepentingan publik bersama. Dalam perspektif ini, lalu

muncul upaya-upaya pengaturan oleh negara untuk mengatur urusan publik.

Sehingga, akibat yang ditimbulkan dari alur produksi kapitalistik bisa

diminamalisir. Aturan-aturan tersebut menjadi platform bersama setiap individu-

individu masyarakat untuk dijalani dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan

seterusnya.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran yang bersumber dari Keynesian ini

mengakar dan menjadi mainstream pola perencanaan pembangunan. Akibatnya

Page 14: Ekonomi Politik Regulasi Media

intervensi berlebihan dalam wilayah-wilayah ekonomi, politik, sosial menimbulkan

efek negatif di masyarakat. Seperti penguasaan berlebihan atas faktor produksi

dan sumber daya alam. Dalam kondisi demikian, ketika terjadi manipulasi

birokrasi, dan korupsi oleh negara, ada usaha rekayasa sistematik terhadap

sumber daya oleh kalangan elit-elit tertentu. Contoh yang relevan dalam kajian

makalah ini adalah intervensi negara dalam regulasi siaran di Indonesia.

Regulasi media

Dalam kaitannya dengan komunikasi, model intervensi kebijakan negara

juga membuat pengaturan-pengaturan (regulasi) terhadap media dan industrinya.

Selama ini, peran negara dalam mengatur kehidupan media teramat besar.

Negara menjadi pengatur (regulator) siapa yang berhak dan boleh memasuki

wilayah industri media, juga menentukan dan mengatur sekaligus keberadaan

dan fungsinya dalam masyarakat.

Kebijakan negara dalam pengaturan industri media bisa saja dilihat dari

aras kebijakan politik komunikasi yang dijalankan. Sehingga hal itu akan

berpengaruh secara signifikant terhadap usaha-usaha perwujudan kebijakan

kebebasan komunikasi masyarakat. Atau dalam arti lain, berbagai kebijakan

pemerintah yang dibuat melalui (regulasi, deregulasi) pada wilayah komunikasi

mengandung banyak makna budaya dan politik yang ditimbulkan sebagai akibat

dari perkembangan sejarah dan politik negara.

Dalam usaha menjelaskan regulasi media dapat dilihat dari aspek

pemfungsian media komunikasi yang dilakukan oleh negara. Dimana negara

memiliki wewenang untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan apakah media

dibuat untuk mendorong terciptanya perubahan sosial di masyarakat, atau bisa

saja media diciptakan untuk menjadi corong kekuasan yang menginformasikan

kepentingan-kepentingan negara.

Page 15: Ekonomi Politik Regulasi Media

Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa media di satu sisi menjadi

instrumen politik yang sangat ampuh untuk melakukan indoktrinasi politik

masyarakat. Atau di sisi lain justru media merupakan sarana membangun

kesadaran masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam medio

demokratisasi dan penguatan stabilitas sosial.

Di Indonesia, memperbincangkan regulasi media tidak dapat serta merta

melepaskan tiga varian utama, negara (state), pasar (market), dan masyarakat

(society). Hubungan di antara ketiganya bisa harmonis, dalam arti terdapat

hubungan mutualsitik yang inter-aktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi.

Pada titik ini, hubungan ketiganya menjadi ideal untuk diciptakan. Tetapi bisa

juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi.

Misalnya saja, pasar yang mendominasi terhadap masyarakat. Atau

hubungan pasar dan negara yang juga mendominasi terhadap kepentingan

masyarakat. Dan bisa juga sebaliknya, masyarakat yang justru menekan pada

kepentingan negara dan pasar. Tetapi yang perlu diingat adalah hubungan

ketiganya tetap harus menempatkan society sebagai prioritas.

Nah, dalam kerangka itu, untuk mewujudkan cita-cita ideal hubungan

ketiganya menjadi peran penting yang mesti dilakukan oleh negara. Sebagai

fungsi regulator, negara berhak dan memiliki wewenang mengatur kebijakan

media sehingga menguntungkan semua pihak. Pada tahap ini, fungsi negara

menjadi vital untuk merumuskan kebijakan media yang tidak saling mendominasi

di antara ketiganya.

Saat ini, realitas RUU penyiaran dalam media siaran di Indonesia menjadi

substere untuk melihat kecenderungan kebijakan itu apakah mengabdi pada

kepentingan masyarakat, dalam arti kebijakan negara dalam RUU penyiaran

tersebut yang mengatas-namakan kepentingan publik semestinya mampu

menyelesaikan dan mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat di

bidang pemeroleh atau akses atas dan kebebasan infomasi.

Page 16: Ekonomi Politik Regulasi Media

RUU Penyiaran

Lahirnya RUU penyiaran kini adalah hasil dari proses dinamika dan

transformasi sejarah yang panjang teramat panjang di Indonesia. Dalam catatan

sejarah penyiaran Indonesia, RUU penyiaran hari ini (2001--) adalah untuk kedua

kalinya termuat dalam bentuk undang-undang setelah undang-undang penyiaran

pertama No. 24 tahun 1997. Sebelumnya, dimulai dari munculnya stasiun

penyiaran TVRI, stasiun pertama yang ditetapkan melalui Keppres No. 215/1963,

tanggal 20 Oktober 1963 tentang pembentukan yayasan Televisi Republik

Indonesia dengan pimpinan Presiden RI, yang operasionalisasinya dibantu oleh 3

orang direktur muda (bab 1 pasal 3 Keppres No 215/1963). Selanjutnya,

fenomena munculnya stasiun televisi swasta sebagai antisipasi dari mulai

maraknya siaran televisi asing yang dapat diterima melalui penggunaan antena

parabola melalui satelit palapa.

Regulasi penyiaran televisi swasta pertama kali dibuat melalui Surat

keputusan Menteri. Seperti, S.K.Menpen No. 190A/Kep/Menpen/1987 tentang

siaran saluran terbatas/SST-TVRI, S.K.Menpen No. 111/Kep/Menpen/1990 tentang

penyiaran televisi di Indonesia, dan terakhir adalah Undang-Undang Penyiaran No.

24 tahun 1997.

Dengan demikian, kehadiran RUU penyiaran selain ditunggu-tunggu oleh

masyarakat, yang utama apakah RUU tersebut menciptakan produk undang-

undang yang berpihak pada kepentingan masyarakat sehingga memungkinkan

terbangunya ruang publik yang bebas bagi public sphere. Lebih dari itu, apakah

RUU penyiaran mendorong terbentuknya civil society di Indonesia. Pertanyaan-

pertanyaan ini setidaknya berangkat dari realitas dari UU No. 24 tahun 1997,

yang ketika muncul pertama kali mendapat respon positif dan negatif.

Positif dalam arti aturan penyiaran telah terlegalisasi melalui undang-

undang yang dianggap lebih maju dari sebelumnya. Negatif, bahwa kelahiran

undang-undang ini menjelang jatuhnya rezim diktator Soeharto, sehingga bisa

Page 17: Ekonomi Politik Regulasi Media

saja secara eksplisit mengandung aspek politis yang kental. Hal itu terbukti

melalui pasal-pasal yang ada masih mencerminkan betapa kuatnya hegemoni

negara dalam membatasi kegiatan penyiaran. Seperti, tidak adanya pasal yang

menjamin kebebasan pers dan aturan wajib relay yang bersifat memaksa,

dualisme peridzinan; Dep. Perhubungan untuk frekuensi, dan Dep. Penerangan

untuk izin siaran, dan seterusnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, RUU penyiaran sudah pernah untuk

ditulis ulang pada masa pemerintahan Habiebie yang seumur jagung. Namun,

ketika Gus Dur naik salah satu pilar dunia pers “Dep. Penerangan’, selama orde

baru menjadi corong penguasa dibubarkan. Dalam arti lain, dibubarkannya Dep.

Penerangan mengindikasikan adanya semangat kebebasan informasi di setiap

warga masyarakat. Bahwa hak untuk memperoleh, dan mengakses informasi

adalah milik setiap warga masyarakat. Negara dalam arti tertentu tidak berhak

memonopoli informasi publik. Paling tidak, dibubarkannya Dep. Penerangan

menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong lahirnya RUU penyiaran baru di

tengah suasana transisi demokrasi.

Di awal masa transisi ini, keterlibatan publik untuk ikut serta merancang

pembuatan RUU penyiaran sebenarnya mutlak diperlukan. Sebut saja, dari

kalangan perguruan tinggi, mahasiswa, para cendekiawan komunikasi, organisasi

non-pemerintah, dan seterusnya. Mengingat, RUU tersebut menyangkut hajat

hidup orang banyak dan terkait dengan salah satu hak asasi manusia,

terdapatnya akses informasi yang bebas bagi setiap warga negara. Aneh

memang, justru yang banyak memberikan masukan terhadap materi RUU

tersebut berasal dari para insan dan praktisi media. Dalam arti tertentu, para

praktisi media bisa saja berkepentingan terhadap muatan-muatan RUU untuk

keberlangsungan sisi ekonomi bisnisnya di dunia penyiaran yang disinyalir banyak

mendapatkan keuntungan.

Page 18: Ekonomi Politik Regulasi Media

Setidaknya ada empat draft RUU penyiaran yang sempat diajukan ke DPR.

Yaitu, draft yang diajukan oleh MPPI, Forum Profesional Televisi Swasta, Tobby

Mondel (ahli komunikasi Unesco), dan Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia.

Banyaknya para praktisi media yang mengajukan draft RUU paling tidak

mengisyaratkan betapa mereka sangat berkepentingan terhadap substere RUU.

Yang utama, draft yang mereka ajukan bermuatan ekonomis-bisnis semata.

Paling tidak, menurut Prof Dr. A. Muis (pakar Ilmu Komunikasi Universitas

Hasanuddin), ia menolak model draft RUU yang dibuat oleh MPPI.

Sebab dalam penyusunanya melibatkan kerjasama dan didanai oleh

lembaga Internews-lembaga swadaya asing yang bergerak di bidang penyiaran.

Selain itu, muatan RUU tersebut memiliki banyak kelemahan di antaranya, tidak

adanya dasar teori komunikasi dan jurnalistik. Seperti, adanya keinginan untuk

memaksakan kesamaan antara jurnalistik media cetak dan jurnalistik penyiaran

atau udara (pasal bahwa UU penyiaran tunduk pada UU pers). (Kompas, sabtu 7

Oktober 2000).

Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana upaya para praktisi media

untuk memaksakan keinginan subjektif mereka dalam kerangka muatan RUU

penyiaran. Oleh karena itu, ketika hasil RUU inisiatif DPR dimunculkan ke

pemerintah dan publik. Hampir bisa dipastikan kecaman dan penolakan yang

mucul pun berasal dari kalangan media. Bahkan setting pemberitaan yang

dilakukan melalui media cetak pun hampir seragam. Yaitu, usaha untuk

memunculkan opini publik bahwa RUU penyiaran hasil inisiatif DPR dianggap

memberangus kebebasan pers, dan melanggar hak-hak asasi manusia di tengah

nuansa reformasi.

Belajar dari sejarah

Pada titik ini, kasus penolakan RUU di atas menunjukan bahwa yang paling

berkeberatan terhadap muatan-muatan RUU datang dari media. Bahwa media

dengan nuansa relasi kapitalistik di sekelilingnya terancam kepentingan

Page 19: Ekonomi Politik Regulasi Media

bisnisnya. Sebab, nilai ekonomis dari industri media menjadi lahan menarik untuk

diperebutkan oleh para pemilik stasiun penyiaran swasta di Indonesia. Sebut saja

hasil perolehan dari iklan yang ditayangkan televisi swasta. Belum lagi terkait

dengan sedikitnya jumlah televisi swasta yag beredar di Indonesia.

Hingga kini, (selain fenomena munculnya Metro TV, Trans TV, Global TV,

dst) baru terdapat lima stasiun swasta televisi yang beredar secara bebas tanpa

adanya regulasi ketat. Masing-masing RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan AN-Teve ).

Realitas demikian tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan sistem politik yang

melingkupinya, sistem politik orde baru yang banyak diwarnai oleh intervensi atas

nama negara bagi kepentingan bisnis tertentu.

Misalnya, kasus di RCTI yang mengudara tahun 1989. Berawal dari S.K.

Menpen No.190A/Kep/Menpen/1987 tentang siaran saluran terbatas /SST-TVRI.

Yang dimaksud dengan SST adalah siaran televisi gambar yang menggunakan

kabel, serat optik, atau dengan cara memutarbalikan (scrambel) melalui sinyal

audio dan video televisi. Maka, untuk menangkap siaranya diperlukan perangkat

tambahan alat pembuka kode sinyal atau decoder. Dan itupun beredar hanya di

Jakarta. Akan tetapi, hanya dalam tempo dua tahun. Pihak RCTI berhasil

mendesak pemerintah untuk memandulkan regulasi S.K. Menpen tersebut.

Maka pada tahun 1990, muncul S.K.Menpen No.111 /Kep / Menpen /

tentang penyiaran televisi di Indonesia. Dimana, disebut dalam regulasi tersebut

tentang perubahan mendasar dengan diperbolehkannya televisi swasta beredar

secara nasional. Dengan demikian, untuk menangkap siaran televisi swasta tidak

lagi diperlukan decoder (Siaran saluran Umum). Artinya, siaran televisi dalam

bentuk gambar dan suara dengan sistem gelombang radio dapat ditangkap dan

diterima langsung oleh publik melalui pesawat televisi tanpa alat khusus.

Kasus di RCTI ini, pada akhirnya berimbas bagi munculnya televisi swata

SCTV yang mengudara pada 24 Agustus 1990 tanpa menggunakan decoder. Pada

titik ini, sebagai akibat dari deregulasi penyiaran tersebut mengakibatkan

Page 20: Ekonomi Politik Regulasi Media

problem serius; pertama, munculnya struktur kepemilikan stasiun televisi swasta

yang berputar di sekitar lingkaran elit-dekat penguasa rezim orde baru. Dari

kelima stasiun swasta tersebut dimiliki oleh orang-orang dekat rezim, sebut saja

RCTI dan SCTV milik Bambang Trihadmojo (putra tertua Soeharto), TPI milik Siti

Hardiyanti ‘tutut” Rukmana (puteri tertua Soeharto), An-Teve milik Agung

Laksono dan Abu Rizal Bakri (orang Golkar dan relasi bisnis), dan Indosiar milik

Soedono Salim (relasi bisnis). Bahkan Metro TV juga dikuasai oleh rekan bisnis

keluarga Cendana Surya Paloh dkk.

Kedua, kebijakan deregulasi secara jelas menguntungkan bagi televisi

swasta. Dengan mengudara secara nasional, berarti para konsumennya pun

berskala nasional. Dalam wilayah ini, tentunya kesempatan untuk menambah

jumlah iklan pun menjadi bertambah. ketiga, paraktek siaran yang dimunculkan

oleh televisi swasta membentuk sebuah pola konsumerisme yang ditampilkan

secara bebas, terbuka dan vulgar. Informasi-informasi publik yang berdimensi

sosial-politik sangat jarang dimunculkan, kecuali melalui wawancara dan talkshow

saja. Keempat, munculnya sentralisasi informasi bagi publik. Publik (bc;

masyarakat) dikondisikan atau bisa disebut dipaksa untuk mengkonsumsi

informasi yang hanya di produksi oleh sejumlah kecil stasiun televisi swasta yang

notabene ngendon di Jakarta.

Dan kelima, yang terpenting, sentralisasi informasi tersebut menyebabkan

masyarakat tercerabut eksistensinya sebagai zoon politicon atau tercipta

depolitisasi masyarakat, sehingga kesadaran kritis masyarakat menjadi berkurang

atau bahkan hilang sama sekali. Dalam perspektif ini, tayangan-tayangan yang

dimunculkan mendorong terciptanya homogenisasi, konsumeristik, dan

individualistik. Sehingga, isu-isu yang menyangkut kepentingan publik sense of

public jarang direspon secara aktif.

Berangkat dari realitas sejarah perkembangan kebijakan media dan

industri media, menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh agar munculnya hak-hak

Page 21: Ekonomi Politik Regulasi Media

istimewa yang diperoleh oleh kelompok-kelompok terbatas bisa dikurangi atau

ekstreamnya dibatasi dan dihilangkan. Momentum transformasi sejarah baru

Indonesia, yang ditandai oleh dinamisasi politik semestinya dijadikan platform

bersama setiap stakeholder untuk membangun produk UU penyiaran yang

akuntable bagi publik bersama.

Muatan-muatan RUU penyiaran

Realitas munculnya kecaman dan gugatan terhadap muatan-muatan RUU

penyiran hasil inisiatif DPR tidak bisa dipungkiri. Bahwa ada Kelompok-kelompok

yang begitu intens menggugat muatannya yang dianggap dapat mengganggu

pluralitas dan kebebasan ekspresi manusia sudah disinggung sebelumnya.

Barangkali, sebagai kenyataan, untuk membuat produk Undang-undang

penyiaran yang benar-benar ideal bagi kepentingan publik (hubungan seimbang

antara negara, pasar, masyarakat) dengan segala keterbatasan dan

kelemahannya sulit untuk diwujudkan. Ia akan tetap menjadi tantangan yang

mesti ditempuh rasionalisasinya. Dan oleh karena rasionalisasi selalu dibatasi

oleh kekurangan-kekurangan. Maka membongkar RUU penyiaran hasil inisitaif

DPR adalah dalam kerangka merasionalisasikan untuk kemudian menyusun

usaha-usaha sistematis (di dalamnya kritik) yang berguna untuk mewujudkannya.

Untuk itu, jika kita baca seksama bab demi bab, pasal demi pasal, ayat

demi ayat terhadap content RUU tersebut (yang hingga kini masih terdampar di

pemerintah karena alasan masih dalam tahap pembahasan) sulit rasanya untuk

menemukan pasal-pasal yang bisa disebut mengekang kebebasan media. Dalam

pengertian ini, industri media justru dibuka secara terbuka dan dalam arti

tertentu boleh didirikan di setiap daerah tertentu di Indonesia. Tidak semata-mata

terpusat di Jakarta.

Secara sederhana, muatan-muatan RUU penyiaran dapat dikategorisasikan

dalam tiga kategori utama, kategori substantif/isi, kategori teknis administratif,

Page 22: Ekonomi Politik Regulasi Media

dan kategori lain-lain. Kategori substantif mengandung pokok-pokok aturan dan

prinsip-prinsip dasar penyiaran. Yang masuk dalam kategori ini antara lain;

bab 1 ketentuan umum (pasal 1, ayat 1-11) bab 2 dasar, tujuan, fungsi dan arah (pasal 2, 3, 4 ayat 1-2, dan 5 point a-

h)

bab 3 penyelenggaraan penyiaran, terdiri atas;

o bagian umum (pasal 6 ayat 1-4),

o komisi penyiaran (pasal 7 ayat 1-4, 8 ayat 1-3, 9 ayat 1-6, dan 10 ayat 1-4),

o jasa penyiaran (pasal 11, ayat 1-2),

o lembaga penyiaran publik (pasal 12 ayat 1-5, dan 13 ayat 1-2),

o lembaga penyiaran swasta (pasal 14 ayat 1-2, 15 ayat 1-4, 16 ayat 1-2, dan 17),

o lembaga penyiaran komunitas (pasal 18 ayat 1-5),

o lembaga penyiaran asing (pasal 19 ayat 1-3), dan

o stasiun penyiaran dan wilayah jangkauan siaran (pasal 20 ayat 1-5, dan 21 ayat 1-2)

bab 6 peran serta masyarakat (pasal 37 ayat 1-3), dan

bab 7 pertanggung-jawaban (pasal 38 ayat 1-2, dan 39).

Penjelasan secara lengkapnya akan dikaitkan secara langsung terhadap

implikasi yang ditimbulkan dari muatannya dengan usaha mendorong penguatan

gerakan civil society di masyarakat pada penjelasan selanjutnya. Sedangkan,

kategori teknis administratif bisa dilihat dalam bab-bab yang mengandung

muatan aturan teknis pembatasan, aturan main, dst. Yang bisa dikelompokan

dalam kategori ini antara lain;

bab 3 penyelenggaraan penyiaran, peridzinan (pasal 22 ayat 1-8, dan 23 ayat 1-4)

bab 4 pelaksanaan penyiaran, terdiri atas;

o isi siaran (pasal 24, dan 25 ayat 1-6)

Page 23: Ekonomi Politik Regulasi Media

o bahasa siaran (pasal 26 ayat 1-6)

o rilai dan siaran bersama (pasal 27 ayat 1-2, dan 28)

o kegiatan jurnalistik (pasal 29)

o hak siar (pasal 30 ayat 1-4)

o ralat siaran (pasal 31 ayat 1-3)

o arsip siaran (pasal 32 ayat 1-2)

o siaran iklan (pasal 33 ayat 1-10)

o pedoman perilaku (pasal 34 ayat 1-5, 35 ayat 1-5, dan 36 ayat 1-2)

bab 8 ketentuan pidana (pasal 40 ayat 1-3, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, --60)

Dan terakhir kategori lain-lain, yang tidak termasuk dua kategori

sebelumnya. Dalam arti lain, bab dan pasal; hanya menjelaskan aturan peralihan

dan penutup. Kategori ini yaitu;

bab 9 ketentuan peralihan (pasal 61 ayat 1-3), dan

bab 10 ketentuan penutup (pasal 62, dan 63).

Dalam hubungan itulah wacana civil society diletakan sebagai alat untuk

menunjukan terhadap muatan-muatan RUU penyiaran yang di satu sisi bisa saja

mencakup nilai-nilai yang mendorong kuatnya gerakan civil society, atau bisa

juga muatan-muatannya belum menampakan relevansinya secara ideal.

Civil society sebagai alat

Yang membedakan perkembangan gerakan civil society di Indonesia

dengan di Barat, sebagaimana disebut oleh Habermas adalah pada fungsi

media/pers. Bagi Habermas, hal itu ditentukan oleh terciptanya ruang publik yang

bebas (public sphere). Fungsi media adalah menjembatani dan menjaga wacana

bebas bagi publik. Dimana setiap warga negara secara bebas dapat ikut serta

Page 24: Ekonomi Politik Regulasi Media

melibatkan diri dalam diskursus tentang realitas sosial untuk mengawasi negara

(state) dan pasar (market).

Ruang tersebut bisa dipergunakan oleh media untuk menyebarluaskan dan

menginformasikan fakta-fakta empirik yang dibutuhkan bagi pemenuhan dan

penentuan sikap warga, baik sikap sosial, ekonomi, budaya, terlebih sikap politik.

Pada sisi ini, media bisa menempatkan diri secara independen, otonom yang

membuka jalan bagi terciptanya perdebatan publik secara dewasa, bukan

memihak apalagi memanipulasi informasi yang berdampak pada manipulasi

publik secara vulgar.

Praktek-praktek wacana bebas, jika menggunakan pendekatan kultural

‘aseli’ Indonesia (biasanya kita menengok pada model coffe house Inggeris, salon

Perancis, dan tichgesllchaften Jerman, menurut Habermas) bisa dilihat pada

model diskursus yang ada pada masyarakat Minang Sumatera Barat. Model

‘Lapau’ dan Balai desa ala Minang juga mempunyai kemiripan dengan konsep

‘wacana hidup’ sebagaimana yang disebut oleh Habermas. Pada Lapau, secara

tradisi warga berkumpul di warung-warung untuk mencoba menggagas realitas

kultural di satu sisi, biasanya bermula dari obrolan tentang masalah perdagangan,

keluarga, adat dst. Pada sisi lain, obrolan tersebut justru menjadi arena publik

untuk menciptakan diskursus masalah-masalah negara, seperti; kejadian

ekonomi, politik, sosial, budaya, dst.

Oleh karena itu, yang utama harus dimengerti bahwa ruang publik adalah

sebagai sebuah proses sosiologis yang bisa saja berbeda oleh karena faktor

geografis dan kultural yang berbeda. tetapi secara substantif mempunyai ide

dasar yang serupa. lebih dari itu, ia juga bisa mengalami pasang surut, kemajuan

dan kemunduran, serta kelemahan dan kekurangan seiring perkembangan

sejarah.

Sebagai sebuah ruang publik, media adalah suatu sarana yang menjamin

berlangsungnya perilaku, tindakan, sikap, dan refleksi diri, cita-cita diri warga

Page 25: Ekonomi Politik Regulasi Media

negara. Pada space ini, terjadi pertemuan fungsi ideal media dengan pemaknaan

dari civil society, jika kita menggunakan konseptualisasi ala Tocqueville, yang

menyebut civil society, disebut oleh Hikam, sebagai wilayah-wilayah kehidupan

sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain; kesukarelaan (voluntary),

keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting)

kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-

norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga negaranya.

Pada dataran ini, terlihat bahwa ada pembagian yang tegas antara warga

negara dengan negara sendiri. Dengan demikian, negara sebagai pembuat

produk undang-undang di satu sisi dapat menciptakan konstruksi sosial di warga

negara dengan produknya. Di sisi lain, warga negara bisa mendorong kontrol

yang kuat bagi negara. Bagaimana dengan RUU penyiaran?

Muatan RUU

bagi masa depan civil society

Selanjutnya, jika dilihat dengan kacamata penjelasan di atas, dapat

dikatakan bahwa secara garis besar muatan-muatan yang ada dalam RUU

penyiaran hasil inisiatif DPR membuka jalan bagi terciptanya penguatan gerakan

civil society di Indonesia. Peryataan ini bisa dilihat melalui pasal-pasal yang

mengatur model penyiaran baik televisi atau radio bagi warga negara. Substansi

dasar yang menjadi argumentasi penguatan civil society melalui RUU penyiaran

adalah sebagai berikut;

Pertama, diakuinya spektrum gelombang elegtromagnetik yang

dipergunakan dalam media penyiaran sebagai ranah publik dan sumber daya

alam terbatas. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 6, dan bab 3 pasal 6 ayat 2. ini berarti,

spektrum gelombang dikuasai oleh negara bagi kepentingan dan kesejahteraan

publik. Sebab, wilayah udara adalah domain publik yang tidak bisa secara sengaja

dimiliki oleh swasta.

Page 26: Ekonomi Politik Regulasi Media

Kedua, diterimanya lembaga penyiaran publik dan penyiaran komunitas.

Lihat bab bab 1 pasal 7, bab 3 pasal 12 dan 13 (penyiaran publik), bab 3 pasal 18

(penyiaran komunitas). Melalui media komunitas ini, warga negara mampu secara

langsung melakukan kontrol bagi negara dan pasar. Sebab, aspirasi komunitas di

setiap level warga dapat tertampung secara langsung di penyiaran komunitas.

Dalam konteks ini, munculnya penyiaran komunitas dapat memperkuat potensi

warga. Dengan demikian, setiap daerah bisa membuat media penyiaran yang

mengakar pada tradisi daerahnya sendiri.

Ketiga, dihilangkannya peran penyuluhan, pembimbing, pengaturan oleh

lembaga pemerintah, semisal Departemen pemerintah untuk mengkontrol media

penyiaran. Dengan dialihkan melalui pembentukan komisi penyiaran Indonesia,

baik di tingkat pusat dan daerah. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 11, bab 3 pasal 7, 8, 9,

dan 10. komisi ini membuka jalan bagi terciptanya perwakilan publik yang

menjadi fasilitasi terhadap pengaturan media penyiaran.

Selain, metode pemilihan anggota komisi yang ditentukan oleh DPR RI

untuk KPI pusat, dan DPRD untuk KPI daerah dengan prosedur fit and proper test,

setidaknya menjanjikan personal-personal independen, dan imparsial yang

mampu mengejawantahkan nilai-nilai penguatan civil society. Pada tahap ini,

keberadaan KPI menjadi vital. Dalam arti, KPI harus memposisikan diri sebagai

katalisator bagi usaha penciptaan kesadran kritis publik melalui pengaturn media

penyiaran yang akuntable.

Keempat, kembalinya fungsi penyiaran sebagai fungsi budaya. Lihat bab 2

pasal 4 ayat 1. Dengan berlatar pada keberagaman budaya yang ada, nilai-nilai

pluralisme bisa diwujudkan. Bersentuhan dengan budaya berarti menempatkan

diri sebagai warga negara yang bersikap toleran, anti kekerasan, dan humanis

terhadap sesama warga negara. Budaya adalah seni interaksi sosial.

Kelima, pelarangan terhadap kepemilikan silang (monopoli kepemilikan)

dan mendorong persaingan sehat dibidang penyiaran. Lihat bab 2 pasal 5 point g.

Page 27: Ekonomi Politik Regulasi Media

monopoli kepemilikan mediadi satu sisi hanya menguntungkn pihak pemilik

media. Di sisi lain menciptakan monopoli informasi publik, yang itu berarti

mematikan kreativitas dan potensi warga negara. Dan menyebabkan adanya

keseragaman berita yang ditayangkan. Monopoli kpemilikan bis dilihat pada kasus

kepemilikan surat kabar, televisi, dan radio. Sebut saja, Kompas + Global TV,

Media Indonesia + Metro TV, atau Indosiar + Indofood, dst.

Keenam, adanya pembatasan jangkauan wilayah siaran setiap televisi dan

radio (menjadi bersifat lokal, dan bila dimungkinkan untuk menjangkau secara

nasional, diperlukan sistem jaringan yang melibatkan stasiun televisi

lokal/daerah). Lihat bab 3 pasal 20 dan 21. ini berarti membuka peluang

terciptanya keberagaman informasi di masyarakat. Dan ini mendorong pluralisme

informasi yang bisa diakses oleh setiap warga negara.

Ketujuh, hilangnya kewajiban relay terhadap stasian pemerintah. Lihat bab

4 pasal 27-28. bahkan dalam RUU ini jelas-jelas menghilangkan konsep televisi

pemerintah. Sehingga, citra keberpihakan pada publik dan usaha mendorong

penguatan warga masyarakat dapat diderivasikan secara langsung. Misalnya,

kewajiban relay acara TVRI Laporan Khusus pada televisi swasta, pukul 21.30

WIB.

Kedelapan, terdapat pembatasan porsi iklan yang bisa ditayangkan dalam

keseluruhan jam siaran. Lihat bab 4 pasal 33. kesembilan, dibukanya ruang peran

serta masyarakat dalam usaha pengembangan media penyiaran. Lihat bab 5

pasal 37. Peran serta dan partisipasi warga diberi tempat secara terbuka. Hal ini

bisa mempercepat keterlibatan publik dalam memantau sepak terjang negara dan

pasar.

Dan kesepuluh, adanya sangsi pidana bagi mereka yang secara sadar dan

langsung melanggar atuyran dan kode etik penyiaran, sebagaimana yang

dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya. Lihat bab 7 pasal 40 sampai 60.

Page 28: Ekonomi Politik Regulasi Media

C. PENUTUP

Regulasi media penyiaran yang dijelaskan melalui pembuatan RUU

penyiaran tahun 2001—jika dicermati secara seksama mencerminkan penguatan-

penguatan kekuatan civil society, yang pada masa orde baru mengalami tekanan

sedemikian rupa. Sebagai, salah satu pilar pembentuk demokrasi, maka media

penyiaran sudah saatnya memuat prinsip-prinsip civil society untuk mendukung

transformasi sosial pada perubahan sikap, nilai, dan kesadaran kritis warga

negara. Dengan demikian, setelah melalui analisa ‘sejenak’ pada RUU penyiaran,

paling tidak ada tiga hal mendasar yang menarik;

Pertama, bahwa RUU penyiaran mendorong terciptanya public sphere

yang luas. Diskursus di antara sesama warga dan akses setara dalam

pemerolehan informasi membuka ruang publik yang terbuka untuk menentukan

pilihan dan sikap hidupnya sebagai warga.

Kedua, mendorong terbangunnya nilai pluralisme di warga negara.

Pluralisme bisa juga disebut sebagai penguatan nilai-nlai komunitarianisme.

Berasal dari komunitas, ruang cerdas yang berakar pada kekuatan-kekuatan

warga pada level komunitas. Lawan dari puritanisme.

Dan ketiga, membuka celah desentralisasi media penyiaran. Sebagai

sebuah kebijakan, minimal bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melihat sejauh

mana kerelaan negara pusat untuk melakukan desentralisasi kebijakan ke

daerah-daerah.

Kandungan pada tiga hal mendasar tersebut sesungguhnya yang menjadi

pra-syarat bagi terbangunnya kekuatan civil society yang mapan di Indonesia.

Catatan, 1) KPI masih berfungsi administratif, masih terkesan ada campur tangan

Page 29: Ekonomi Politik Regulasi Media

negara pada level penentu kebijakan, dan 2) bab 4 pasal 29, jurnalistik, tunduk

pada ruu dan uu pers.

Page 30: Ekonomi Politik Regulasi Media

Daftar bacaan;

Gibbons, Thomas, ‘Regulating The Media’ second edition, (1998), London; Sweet 7 Maxwell.

Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, 1999, Jakarta; LP3ES

Jacob, T, membongkar Mitos Masyarakat Madani, 2000, Yogyakarta; Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

Keraf, A. Sony, Pasar bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, 1996, Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).

Lichtenberg, Judith, ‘Democracy and Mass Media’ (1990), New York; Combridge University Press.

Mosco, Vincent, ‘The Political Economy o Communiction’ (1996), London; SAGE Publication.

Rodee, Carlton Clymer, Pengantar Ilmu Politik, 1988, Jakarta; Rajawali Press.

Wahyuni, Hermin Indah, Televisi dan Intervensi negara, Konteks Politik kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi, 2000, Yogyakarta; Media Pressindo.

Undang-Undang

Draft RUU Penyiaran hasil inisiatif DPR RI.