Upload
truongtruc
View
239
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
EFIKASI HERBISIDA METIL METSULFURON TERHADAP GULMA
PADA LAHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)
TANAMAN MENGHASILKAN
(Skripsi)
Oleh
Dhanu Evantam Eka Saputra
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Dhanu Evantam Eka Saputra
ABSTRAK
EFIKASI HERBISIDA METIL METSULFURON TERHADAP GULMA
PADA LAHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)
TANAMAN MENGHASILKAN
Oleh
Dhanu Evantam Eka Saputra
Tanaman kelapa sawit yang memiliki nama latin Elaeis guineensis Jacq. merupakan
tanaman penghasil minyak utama di Indonesia. Keberadaan gulma pada lahan
budidaya kelapa sawit menyebabkan terjadinya persaingan sarana tumbuh dan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Salah satu bahan aktif herbisida
yang umum digunakan untuk mengendalikan gulma di pertanaman kelapa sawit TM
adalah herbisida metil metsulfuron.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis herbisida metil metsulfuron yang
efektif dalam mengendalikan gulma, mengetahui perubahan komposisi jenis gulma
pada piringan tanaman kelapa sawit menghasilkan setelah aplikasi herbisida metil
metsulfuron, dan mengetahui pengaruh aplikasi herbisida metil metsulfuron pada
tanaman kelapa sawit menghasilkan. Penelitian ini dilakukan di kebun kelapa sawit
rakyat di Desa Gayabaru VIII, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung
Dhanu Evantam Eka Saputra
Tengah dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan
Januari 2018 hingga April 2018.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan
dan 4 ulangan dengan dosis metil metsulfuron sebagai berikut 20; 26,6; 33,2; 40; dan
46,6 g/ha; penyiangan mekanis dan kontrol. Homogenitas ragam data diuji dengan
uji Bartlett, additivitas data diuji dengan uji Tukey, dan perbedaan nilai tengah
perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Herbisida metil metsulfuron dosis 20 –
46,6 g/ha efektif mengendalikan gulma total, gulma golongan daun lebar, gulma
Asystasia gangetica dan gulma Borreria alata hingga 12 MSA. Herbisida metil
metsulfuron dosis 26,6 g/ha, 40 g/ha dan 46,6 g/ha efektif mengendalikan gulma
Ottochloa nodosa hanya pada 12 MSA., (2) Aplikasi herbisida metil metsulfuron
dosis 20 – 46,6 g/ha menyebabkan adanya perubahan komposisi gulma pada 4, 8 dan
12 MSA, dan (3) Aplikasi herbisida metil metsulfuron dosis 20 – 46,6 g/ha pada
piringan tidak menyebabkan keracunan terhadap tanaman kelapa sawit.
Kata kunci : efikasi, herbisida, kelapa sawit, metil metsulfuron.
EFIKASI HERBISIDA METIL METSULFURON TERHADAP GULMA
PADA LAHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)
TANAMAN MENGHASILKAN
Oleh
Dhanu Evantam Eka Saputra
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kau akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.
Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang
yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya
pintu dibukakan.
(Matius 7 : 7 – 8)
Dengan kejujuran dan kerja keras maka pintu kesuksesan terbuka
lebar menanti di depan
(Dhanu Evantam, 2018)
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada 25 Juni 1996 yang merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Antonius Suharto dan
Ibu Desak Made Christina. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak
(TK) Xaverius Panjang, Bandar Lampung pada tahun 2001 dan selesai pada tahun
2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Xaverius Panjang, Bandar
Lampung dan selesai pada tahun 2008. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan
ke SMP Negeri 23 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2011, kemudian
melanjutkan pendidikan ke SMA Fransiskus Bandar Lampung dan selesai pada tahun
2014.
Pada tahun 2014, penulis diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui Ujian Masuk Lokal (UML) Mandiri.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Lembaga Studi Mahasiswa
Pertanian (LS-MATA) sebagai anggota Bidang Hubungan Masyarakat periode
kepengurusan 2015 – 2016. Kemudian penulis pernah melakukan Praktik Umum
(PU) di PT Tunas Baru Lampung. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten
dosen Produksi Tanaman Pangan, Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-
ubian, Pengelolaan Gulma Perkebunan dan Pengelolaan Perkebunan.
ii
SANWACANA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat, kasih dan bimbingan-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efikasi Herbisida Metil
Metsulfuron terhadap Gulma pada Lahan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Tanaman Menghasilkan”. Penulis menyadari bahwa sulit untuk menyelesaikan
skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dikesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
3. Bapak Ir. Dad R. J. Sembodo, M.S., selaku pembimbing pertama atas
bimbingan, saran, penelitian yang dipercayakan kepada penulis serta kesabaran
dalam memberikan nasihat kepada penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S., selaku pembimbing kedua atas bimbingan,
saran, nasihat – nasihat, serta kesabaran dalam memberikan bimbingannya
kepada penulis.
5. Ibu Prof. Dr. Ir. Nanik Sriyani, M. Sc., selaku pembahas atas segala masukan
yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
iii
6. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M. Sc., selaku pembimbing akademik yang
sudah banyak memberikan arahan, nasihat dan saran dari awal masuk kuliah.
7. Kedua orang tuaku Bapak Antonius Suharto dan Ibu Desak Made Christina
yang sudah membesarkan dan mendukung dalam moril dan materi selama ini,
serta adik-adikku Priskila Dwi Putri Handayani dan Nathanael Nicholas
Trijunanto.
8. Teman-teman kontrakan Khusni Ekky, Irvan Saputra, Erwin Faizal, Erik
Suwandana, Bimo, Dimas, Dwiki Yayan dan Eki Valen yang sudah menemani
selama ini.
9. Teman-teman Weed Buster: Adi Prayoga, Khusni Ekky, Raditya Grimaldi,
Jatmiko Umar, Irvan Saputra, Eki Valen, Ridho Ernando, Indra dan Alief yang
sudah menemani selama penelitian. Terkhusus untuk Adi Prayoga sudah sangat
membantu dalam pelaksanaan penelitian, Mbak Endah Kusumayuni yang
sangat membantu dalam mengolah data.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Bandar Lampung,
Dhanu Evantam E. S
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.4 Landasan Teori ....................................................................................... 5
1.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 8
1.6 Hipotesis ................................................................................................. 12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kegunaan Kelapa Sawit ......................................................................... 13
2.2 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit ........................................................ 13
2.2.1 Akar .............................................................................................. 14
2.2.2 Batang .......................................................................................... 14
2.2.3 Daun ............................................................................................. 14
2.2.4 Bunga ........................................................................................... 15
v
2.2.5 Buah ............................................................................................. 15
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit ................................................. 16
2.4 Pengendalian Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit ................................ 17
2.5 Herbisida ................................................................................................ 19
2.6 Metil Metsulfuron .................................................................................. 20
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 22
3.2 Bahan dan Alat ....................................................................................... 22
3.3 Metode Penelitian ................................................................................... 22
3.4 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 24
3.4.1 Pemilihan lokasi ........................................................................... 24
3.4.2 Pembuatan petak percobaan ........................................................ 24
3.4.3 Aplikasi herbisida ......................................................................... 25
3.4.4 Penyiangan mekanis ..................................................................... 25
3.5 Pengamatan .............................................................................................. 26
3.5.1 Fitotoksisitas kelapa sawit ............................................................. 26
3.5.2 Bobot kering gulma ........................................................................ 26
3.5.3 Penekanan herbisida terhadap gulma ........................................... 27
3.5.4 Summed dominance ratio (SDR) ................................................... 28
3.5.5 Koefisien komunitas (C) ................................................................. 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Efikasi Herbisida Metil Metsulfuron terhadap Gulma Total .................... 30
4.2 Efikasi Herbisida Metil Metsulfuron terhadap Gulma Pergolongan ......... 32
4.2.1 Efikasi herbisida metil metsulfuron terhadap gulma
golongan daun lebar ......................................................................... 32
vi
4.2.2 Efikasi herbisida metil metsulfuron terhadap gulma
golongan rumput .............................................................................. 34
4.3 Efikasi Herbisida Metil Metsulfuron terhadap Gulma Dominan .............. 36
4.3.1 Efikasi herbisida metil metsulfuron terhadap gulma
Asystasia gangetica .......................................................................... 36
4.3.2 Efikasi herbisida metil metsulfuron terhadap gulma
Borreria alata ................................................................................. 38
4.3.3 Efikasi herbisida metil metsulfuron terhadap gulma
Ottochloa nodosa ........................................................................... 41
4.4 Perbedaan Komposisi Gulma (Koefisien Komunitas) ............................. 44
4.5 Fitotoksisitas Tanaman Kelapa Sawit ...................................................... 46
4.6 Rekomendasi ............................................................................................ 47
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ................................................................................................... 48
5.2 Saran .......................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 50
LAMPIRAN .................................................................................................... 52
Tabel 11 – 67 .......................................................................................... 53 – 73
Gambar 14 ................................................................................................. 74
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Satuan perlakuan ................................................................................... 23
2. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma total ................................................................................... 31
3. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma golongan daun lebar ......................................................... 33
4. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma golongan rumput ............................................................... 35
5. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Asystasia gangetica .......................................................... 37
6. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Borreria alata ................................................................... 39
7. Pengaruh perlakuan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Ottochloa nodosa .............................................................. 42
8. Koefisien komunitas 4 MSA (%) ........................................................... 45
9. Koefisien komunitas 8 MSA (%) ........................................................... 46
10. Koefisien komunitas 12 MSA (%) ......................................................... 46
11. Jenis dan tingkat dominansi gulma (SDR) pada 4 MSA ........................ 53
12. Jenis dan tingkat dominansi gulma (SDR) pada 8 MSA ........................ 54
13. Jenis dan tingkat dominansi gulma (SDR) pada 12 MSA ...................... 55
14. Bobot kering gulma total pada 4 MSA akibat perlakuan
herbisida metil metsulfuron .................................................................... 56
15. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total pada 4 MSA
akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ......................................... 56
viii
16. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 4 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 56
17. Bobot kering gulma total 8 MSA akibat perlakuan herbisida
metil metsulfuron ...................................................................................... 57
18. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma total pada 8 MSA
akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ......................................... 57
19. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 8 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 57
20. Bobot kering gulma total 12 MSA akibat perlakuan herbisida
metil metsulfuron ..................................................................................... 58
21. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma total pada 12 MSA
akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ......................................... 58
22. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 12 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 58
23. Bobot kering gulma golongan rumput 4 MSA akibat perlakuan
herbisida metil metsulfuron .................................................................... 59
24. Transformasi √ √(x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput
pada 4 MSA ............................................................................................ 59
25. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 4 MSA
akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ......................................... 59
26. Bobot kering gulma golongan rumput 8 MSA akibat perlakuan
herbisida metil metsulfuron .................................................................... 60
27. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput
pada 8 MSA ............................................................................................ 60
28. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 8 MSA
akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ......................................... 60
29. Bobot kering gulma golongan rumput 12 MSA akibat perlakuan
herbisida metil metsulfuron .................................................................... 61
30. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma golongan rumput
pada 12 MSA .......................................................................................... 61
31. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada
12 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron .......................... 61
ix
32. Bobot kering gulma golongan daun lebar 4 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 62
33. Transformasi √ √(x+0,5) bobot kering gulma golongan daun
lebar pada 4 MSA ..................................................................................... 62
34. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada
4 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ............................ 62
35. Bobot kering gulma golongan daun lebar 8 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 63
36. Transformasi √ (x+0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar
pada 8 MSA .............................................................................................. 63
37. Bobot kering gulma golongan daun lebar 12 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 63
38. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan
daun lebar pada 12 MSA ........................................................................ 64
39. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma golongan
daun lebar pada 12 MSA ......................................................................... 64
40. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar
pada 12 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron .................. 64
41. Bobot kering gulma Asystasia gangetica 4 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron .................................................... 65
42. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 4 MSA ............................................................................................ 65
43. Analisis ragam bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 4 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron .................... 65
44. Bobot kering gulma Asystasia gangetica 8 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron .................................................... 66
45. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 8 MSA ............................................................................................ 66
46. Analisis ragam bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 8 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................... 66
47. Bobot kering gulma Asystasia gangetica 12 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 67
x
48. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 12 MSA .......................................................................................... 67
49. Analisis ragam bobot kering gulma Asystasia gangetica
pada 12 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................. 67
50. Bobot kering gulma Borreria alata 4 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron .................................................... 68
51. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Borreria alata
pada 4 MSA ............................................................................................. 68
52. Analisis ragam bobot kering gulma Borreria alata
pada 4 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................... 68
53. Bobot kering gulma Borreria alata 8 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 69
54. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma Borreria alata
pada 8 MSA ............................................................................................ 69
55. Analisis ragam bobot kering gulma Borreria alata
pada 8 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................... 69
56. Bobot kering gulma Borreria alata 12 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 70
57. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma Borreria alata
pada 12 MSA ........................................................................................... 70
58. Analisis ragam bobot kering gulma Borreria alata
pada 12 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................. 70
59. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa 4 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 71
60. Transformasi √√√ (x+0,5) bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 4 MSA ............................................................................................ 71
61. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 4 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................... 71
62. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa 8 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 72
63. Transformasi √ √ √ (x+0,5) bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 8 MSA ............................................................................................ 72
xi
64. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 8 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................... 72
65. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa 12 MSA akibat
perlakuan herbisida metil metsulfuron ................................................... 73
66. Transformasi √√ (x+0,5) bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 12 MSA .......................................................................................... 73
67. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa
pada 12 MSA akibat perlakuan herbisida metil metsulfuron ................. 73
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram alir ........................................................................................... 11
2. Rumus bangun herbisida metil metsulfuron .......................................... 21
3. Tata letak percobaan .............................................................................. 24
4. Petak pengambilan sampel gulma ......................................................... 27
5. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma total .................................................................................. 32
6. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma golongan daun lebar ........................................................ 34
7. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma golongan rumput .............................................................. 36
8. Gulma Asystasia gangetica .................................................................... 37
9. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Asystasia gangetica ......................................................... 38
10. Gulma Borreria alata ............................................................................ 40
11. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Borreria alata .................................................................. 41
12. Gulma Ottochloa nodosa ....................................................................... 42
13. Tingkat penekanan herbisida metil metsulfuron terhadap bobot
kering gulma Ottochloa nodosa .............................................................. 43
14. Pengamatan gulma 4 MSA pada petak perlakuan 1 (A);
perlakuan 2 (B); perlakuan 3 (C); perlakuan 4 (D); perlakuan 5 (E);
perlakuan 6 (F); kontrol (G) ................................................................... 74
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman penghasil minyak yaitu kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal
dari negara Amerika Selatan dan Afrika (Guinea) (Sastrosayono, 2003). Kelapa
sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan penghasil minyak utama di
Indonesia yang memiliki rendemen yang cukup tinggi yaitu 5,50 – 7,30 %.
Dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit juga membuat pendapatan petani
meningkat dan produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang
menciptakan nilai tambah di dalam negeri serta ekspor CPO yang menghasilkan
devisa dan menyediakan kesempatan kerja. Pada tahun 2014, produksi kelapa
sawit mencapai 30,34 juta ton dengan produktivitas rata-rata 3,56 ton/ha/tahun
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2014).
Seiring dengan peningkatan luas lahan tanaman kelapa sawit di Indonesia baik
perusahaan swasta asing atau negara, menurut GAPKI (Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia) (2017) data produksi CPO tahun 2016 menunjukkan
angka 31,5 juta ton dan PKO sebesar 3 juta ton sehingga total keseluruhan
produksi miyak kelapa sawit Indonesia adalah 34,5 juta ton. Angka ini
menunjukkan penurunan sebesar 3% jika dibandingkan dengan produksi tahun
2015 yaitu 35,5 juta ton. Pada tahun 2017 industri sawit di Indonesia menorehkan
2
kinerja yang baik, produksi CPO pada tahun 2017 mencapai 38,17 juta ton dan
PKO sebesar 3,05 juta ton maka total produksi minyak sawit Indonesia adalah
41,22 juta ton (GAPKI, 2018).
Keberadaan gulma menjadi salah satu faktor lingkungan yang harus diperhatikan
dalam meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit. Gulma bersifat kompetitif
maka dapat merugikan tanaman budidaya. Gulma pada tanaman kelapa sawit
merugikan mulai dari areal pembibitan, tanaman belum menghasilkan hingga
tanaman menghasilkan. Dengan adanya gulma dapat menurunkan produksi
kelapa sawit, mengganggu dalam proses manajemen kebun, menaikkan biaya
usaha pertanian, mengurangi fungsi saluran drainase dan pemborosan air akibat
penguapan yang lebih cepat (Effendi, 2011).
Menurut Sembodo (2010) gulma yang tumbuh di sekitar tanaman budidaya dapat
mengganggu tanaman tersebut, seperti perebutan unsur hara, air, cahaya matahari
dan menimbulkan kerugian dalam produksi baik dari kuantitas maupun kualitas.
Faktor – faktor yang menentukan tingkat kompetisi gulma yaitu jenis gulma,
kerapatan gulma, waktu kehadiran gulma, zat alelokimia dan kultur teknis yang
diterapkan.
Spesies gulma pada tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan
berbeda jenis. Gulma yang tumbuh pada tanaman belum menghasilkan lebih
banyak dibandingkan dengan tanaman menghasilkan, hal ini disebabkan karena
intensitas cahaya dan penutupan pada permukaan tanah menjadi lebih sedikit pada
tanaman menghasilkan. Intensitas cahaya matahari yang diteruskan ke permukaan
tanah menjadi 1,32% (Purwasih, 2013).
3
Fase tanaman menghasilkan (TM) merupakan fase yang sangat penting bagi
kelapa sawit karena tanaman mulai menghasilkan buah dan dapat dipanen. Untuk
itu, pemeliharaan tanaman sangat penting dilakukan khususnya dalam
pengendalian gulma. Menurut Tjitrosoedirdjo et al, (1984), pengendalian gulma
saat tanaman belum menghasilkan (TBM) lebih memerlukan biaya serta
perawatan yang besar dibandingkan tanaman menghasilkan (TM). Menurut
Rambe et al. (2010) Mikania micrantha dapat menurunkan produksi tandan buah
segar (TBS) sebesar 20% karena pertumbuhan yang sangat cepat serta zat
alelokimia yang dikeluarkan bersifat racun bagi tanaman pokok. Pada tahun 2010,
di Provinsi Jambi tercatat kerugian hasil pada komoditi kelapa sawit yang
disebabkan oleh Mikania micrantha sebesar Rp 38.110.500,00 dengan luas
serangan 757,5 Ha, Imperata cylindrica sebesar Rp 59.971.500,00 dengan luas
serangan 1.086 Ha, dan Paspalum conjugatum sebesar Rp 43.416.599,00 dengan
luas serangan 1.150 Ha.
Herbisida merupakan bahan kimia yang memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma jika digunakan dengan dosis yang tepat
(Sembodo, 2010). Dalam areal lahan yang cukup luas seperti perkebunan
penggunaan herbisida dalam pengendalian gulma sangat diminati, salah satunya
herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron. Herbisida ini merupakan
herbisida sistemik yang dapat digunakan pada pra tumbuh dan purna tumbuh
(Tjitrosoedirdjo dkk,. 1984).
4
Masa berlaku dari suatu merk dagang herbisida yaitu 5 tahun dan dapat
diperpanjang perizinannya untuk 5 tahun selanjutnya. Pengujian ulang herbisida
dilakukan setiap 10 tahun sekali guna membuktikan kebenaran klaimnya
mengenai mutu, efikasi dan keamanan herbisida. Apabila pengujian terhadap
herbisida berhasil dan memenuhi persyaratan tertentu, maka herbisida tersebut
dapat didaftarkan ulang di Komisi Pestisida berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2015. Dosis rekomendasi
herbisida metil metsulfuron yang ditetapkan oleh formulator yaitu 26.6 g/ha (nilai
X). Lalu dosis rekomendasi tersebut (nilai X) dinaikkan dan diturunkan menjadi
beberapa taraf dosis yang diuji. Dengan pengujian ini diharapkan dapat diketahui
dosis herbisida yang efektif mengendalikan gulma pada pertanaman kelapa sawit
TM dan pengaruhnya terhadap tanaman kelapa sawit.
1.2 Rumusan Masalah
Percobaan ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam
pertanyaan sebagai berikut:
1. Berapakah dosis metil metsulfuron yang efektif dalam mengendalikan gulma
pada tanaman kelapa sawit TM?
2. Apakah dengan dilakukan aplikasi herbisida metil metsulfuron menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi gulma?
3. Apakah aplikasi herbisida metil metsulfuron pada piringan menyebabkan
terjadinya fitotoksisitas pada tanaman kelapa sawit menghasilkan?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui dosis herbisida metil metsulfuron yang efektif dalam
mengendalikan gulma pada tanaman kelapa sawit menghasilkan.
2. Mengetahui perubahan komposisi jenis gulma pada piringan tanaman kelapa
sawit menghasilkan setelah aplikasi herbisida metil metsulfuron.
3. Mengetahui fitotoksisitas pada piringan tanaman kelapa sawit menghasilkan
akibat aplikasi herbisida metil metsulfuron.
1.4 Landasan Teori
Dalam praktik budidaya tanaman dengan adanya gulma yang tumbuh
berdampingan dengan tanaman budidaya dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman pokok, maka dilakukan pengendalian gulma. Prinsip dari pengendalian
tersebut yaitu usaha untuk meningkatkan daya saing tanaman pokok dan
melemahkan daya saing gulma. Oleh karena itu keunggulan tanaman pokok harus
ditingkatkan sehingga gulma tidak mampu mengembangkan pertumbuhannya
secara berdampingan atau pada waktu yang bersamaan dengan pertumbuhan
tanaman pokok (Pahan, 2007).
Kehadiran gulma pada budidaya tanaman memberikan dampak negatif yaitu
menurunkan produksi akibat persaingan dalam mengambil unsur hara, air, cahaya,
dan ruang tumbuh; menurunkan kualitas hasil akibat kontaminasi dari gulma;
6
adanya zat allelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman; sebagai
inang hama dan penyakit; meningkatkan biaya usaha tani (Jumin, 1991).
Berbagai cara dilakukan guna mengendalikan gula di perkebunan, seperti
pengendalian secara mekanis, biologis, kimiawi, kultur teknis dan terpadu. Pada
umumnya di perkebunan kelapa sawit dilakukan pengendalian dengan mekanis
dan kimiawi, hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Penilaian gulma dan
pengindentifikasian pertumbuhan gulma di lapangan perlu dilakukan guna
mengetahui besar penutupan serta keadaan gulma (Syahputra dkk., 2011).
Menurut Moenandir (1993), dalam skala luasan areal yang besar, pengendalian
secara kimiawi dengan herbisida lebih sering dilakukan dibanding dengan
penyiangan manual (mekanis). Suatu bahan kimia yang mampu menghentikan
pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya jika digunakan dengan dosis yang
tepat merupakan pengertian dari herbisida. Gulma yang mati akibat aplikasi
herbisida apabila jumlah molekul yang sampai ke “site of action” dalam jumlah
yang cukup mematikan. Dengan dilakukan pengendalian gulma menggunakan
herbisida terdapat beberapa keuntungan diantaranya dapat mengendalikan gulma
sebelum tahap mengganggu, dapat mengendalikan gulma pada bagian larikan
tanaman pokok, dapat mencegah kerusakan pada bagian perakaran tanaman, dan
dapat meningkatkan hasil panen tanaman budidaya dibandingkan dengaan
penyiangan secara manual (Sukman, 1995).
Terdapat beberapa jenis herbisida yang termasuk herbisida sistemik, salah satunya
berbahan aktif metil metsulfuron. Pada umumnya herbisida ini digunakan dalam
mengendalikan gulma pada masa pratumbuh dan awal purnatumbuh. Berikut
7
adalah sebagian gulma berdaun lebar yang dapat dikendalikan dengan herbisida
berbahan aktif metil metsulfuron Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, dan
Synedrella nodiflora (Tomlin, 2004).
Menurut Sensemen (2007), herbisida berbahan aktif metil metsulfuron termasuk
dalam famili Sulfonilurea yang bekerja dengan cara menghambat kerja dari enzim
acetolactate synthase (ALS) atau acetohydroxy synthase (AHAS). Tahapan awal
mekanisme kerja dari herbisida ini yaitu menghambat perubahan α ketoglutarate
menjadi 2-acetohydroxybutyrate dan piruvat menjadi 2-acetolactate sehingga
mengakibatkan rantai cabang asam amino valin, leusin, dan isoleusin tidak
dihasilkan. Asam amino ini merupakan bagian penting dalam pembentukan
protein, dan jika protein tidak terbentuk maka tumbuhan akan mengalami
kematian.
Perubahan komunitas jenis gulma terjadi hampir pada semua cara pengendalian
gulma. Hal ini biasanya terjadi karena pengulangan aplikasi herbisida. Menurut
Harper (1995), terdapat dua fenomena yang menyebabkan perubahan komunitas
jenis gulma yaitu pengendalian gulma yang selektif dan terdapat gulma yang
resisten terhadap herbisida tersebut. Pada kondisi penggunaan herbisida yang
berulang-ulang terdapat dugaan bahwa pada akhirnya spesies gulma yang toleran
akan mengganti spesies yang peka terhadap herbisida.
Menurut hasil penelitian dari Hidayati (2014), herbisida metil metsulfuron dosis
15 hingga 50 g/ha efektif menekan penutupan gulma total dan bobot kering
gulma golongan daun lebar hingga 12 minggu setelah aplikasi (MSA), bobot
kering gulma golongan rumput pada dosis tertentu hingga 4 MSA, bobot kering
8
gulma dominan Cynodon dactylon, Commelina benghalensis dan Centrosema
pubescens, dan menyebabkan keracunan gulma total hingga 12 MSA.
Dalam menentukan keberhasilan pengendalian gulma, seperti aplikasi yang
mengurangi kontak dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan
gulma sehingga tidak sampai meracuni tanaman pokok. Setiap tumbuhan dapat
menyerap air, nutrisi, mineral, dan ion-ion melalui peristiwa osmosis, difusi, dan
imbibisi yang biasa terjadi melalui akar, batang ataupun daun. Herbisida diabsorsi
melalui tempat dan cara yang sama dengan air, nutrisi, dan lain-lain (Rais, 2008).
1.5 Kerangka Pemikiran
Tumbuhnya gulma di sekitar tanaman budidaya merupakan hal yang tidak
diharapkan oleh petani. Pada saat tanaman kelapa sawit masih dalam fase belum
menghasilkan (TBM) merupakan fase tanaman harus terhindar dari kompetisi.
Adanya kompetisi pada fase TBM akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman saat masuk fase TM (Tanaman Menghasilkan). Keberadaan gulma pada
areal budidaya dapat memicu persaingan dengan tanaman budidaya, hal ini
disebabkan karena syarat tumbuh gulma pada areal tersebut sama dengan syarat
tumbuh tanaman budidaya. Persyaratan tumbuh yang sama dengan tanaman
budidaya dapat menimbulkan kompetisi antar keduanya. Persaingan keduanya
akan menjadi lebih ketat ketika bahan-bahan yang dibutuhkan tersebut jumlahnya
tidak mencukupi jika digunakan bersama. Tanaman belum menghasilkan
membutuhkan pemeliharaan yang optimal untuk mencapai produksi maksimal
pada fase TM.
9
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Pengendalian gulma dapat dilakukan
secara manual atau kimiawi, namun pada umumnnya pengendalian secara
kimiawi lebih sering digunakan. Pengendalian kimiawi dilakukan dengan
menggunakan herbisida banyak diminati terutama untuk lahan yang cukup luas.
Selain mudah dilakukan, pengendalian menggunakan herbisida juga dapat
menghemat biaya, tenaga kerja, dan waktu.
Efektifitas dan selektivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat
herbisida (daya kerja, mekanisme kerja, serta formulasinya), cara pemberian, sifat
gulma, dan lingkungan. Dosis herbisida juga perlu diperhatikan, ketika dosis
yang diberikan dikurangi dari dosis efektif maka dapat dikatakan herbisida
tersebut akan menjadi tidak efektif dalam mengendalikan gulma karena herbisida
tidak dapat mencapai organ bawah tanah tumbuhan (akar, umbi, dan rimpang)
serta titik tumbuhnya, namun pemberian herbisida dengan dosis yang terlalu besar
dapat menimbulkan dampak buruk bagi tanaman serta pemborosan.
Perlakuan herbisida dapat mempengaruhi komunitas jenis gulma yang ada. Hal
tersebut dapat dilihat dari perubahan komunitas jenis gulma dan jenis gulma
dominan baik dari golongan rumput, daun lebar, dan teki. Perubahan yang terjadi
dapat disebabkan adanya perbedaan jenis gulma dan resistensi gulma terhadap
herbisida yang diaplikasikan. Hal lain yang menyebabkan perubahan komunitas
jenis gulma adalah perbedaan kecepatan pertumbuhan gulma dan intensitas
cahaya matahari yang tinggi, sehingga mengakibatkan persentase penutupan
gulma dan bobot kering gulma yang tinggi pula dengan berbagai tingkat
keracunannya. Namun, semakin rendah bobot kering suatu gulma, maka dapat
10
diketahui bahwa gulma tersebut dapat dikendalikan oleh herbisida yang
diaplikasikan.
Pengaplikasian herbisida metil metsulfuron yang dilakukan pada bagian piringan
tidak meracuni tanaman kelapa sawit karena pada saat aplikasi mengurangi kontak
dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan gulma. Menurut
Hidayati (2014) herbisida metil metsulfuron dosis 15 hingga 50 g/ha efektif
menekan penutupan gulma total dan bobot kering gulma golongan daun lebar
hingga 12 minggu setelah aplikasi (MSA), bobot kering gulma golongan rumput
pada dosis tertentu hingga 4 MSA, bobot kering gulma dominan Cynodon
dactylon, Commelina benghalensis dan Centrosema pubescens, dan
menyebabkan keracunan gulma total hingga 12 MSA.
11
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Gulma
Pengendalian
Manual Kimiawi
Kontak Sistemik
Metil
Metsulfuron
Dosis
Rekomendasi
Perkebunan Kelapa Sawit
Selektif Non
Selektif
Efikasi
12
1.6 Hipotesis
Dari kerangka pemikiran tersebut maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai
berikut:
1. Herbisida metil metsulfuron pada dosis bahan aktif 26,6 g/ha atau lebih, efektif
dalam pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit menghasilkan (TM)
2. Aplikasi herbisida metil metsulfuron menyebabkan perubahan komposisi
gulma setelah diaplikasi pada perkebunan kelapa sawit menghasilkan (TM).
3. Herbisida metil metsulfuron yang digunakan untuk mengendalikan gulma
dipiringan tidak meracuni tanaman kelapa sawit menghasilkan.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kegunaan Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu sumber minyak nabati yang penting di
samping kelapa, kacang-kacangan, jagung, bunga matahari, zaitun, dan
sebagainya. Komoditas ini juga merupakan komoditas perdagangan yang sangat
menjanjikan, karena pada masa depan minyak sawit diyakini tidak hanya mampu
menghasilkan berbagai hasil industri yang dibutuhkan manusia seperti minyak
goreng, mentega, sabun, kosmetik, dan lain-lain, tetapi juga dapat menjadi
substansi bahan bakar minyak yang saat ini sebagian besar bahan bakar minyak
dipenuhi dengan minyak bumi yang sumbernya tidak dapat diperbarui
(Setyamidjaja, 2006).
2.2 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit yang dalam bahasa ilmiahnya Elaeis guinensis Jacq. ini
adalah tanaman sejenis palma, yang terdiri dari akar,batang,daun,bunga,dan buah.
berikut ini akan dijelaskan secara singkat tetang karakteristik tanaman kelapa
sawit. Berikut adalah klasifikasi kelapa sawit:
Kerajaan :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
14
Kelas :Angiospermae
Ordo :Arecales
Famili: Palmae
Genus :Elaeis guineensis Jacq (Setyamidjaja, 2006).
2.2.1Akar
Akar tanaman kelapa sawit adalah sistem perakaran serabut dan akar yang
pertama kali muncul saat pembibitan disebut akar radikula. Selanjutnya akar
radikula akan mati dan digantikan oleh akar primer dari bagian bawah batang,
yang kemudian bercabang menjadi akar sekunder, tersier dan kuartier. Akar yang
paling aktif dalam menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan kuartier
yang berada pada kedalaman 60 cm dari permukaan tanah dan 2,5 m dari pangkal
batang (Pahan, 2007).
2.2.2 Batang
Batang kelapa sawit berbentuk tegak lurus dan tidak bercabang dengan diameter
45-60 cm dan pangkal batang 60-100 cm. Pada batang menempel pelepah (tempat
tumbuhnya daun ) yang membalut atau menyelimuti batang. Pada umur 25 tahun,
tinggi batang tanaman kelapa sawit dapat mencapai 13-18 m (Pahan, 2007).
2.2.3 Daun
Dalam pertumbuhannya daun terbagi atas beberapa tahap perkembangan yaitu
lanceolate, merupakan daun yang awal keluar pada masa pembibitan yang berupa
helaian yang masih utuh, selanjutnya bifurcate adalah daun dengan helaian daun
15
sudah pecah tetapi bagian ujung belum terbuka dan pinnate adalah bentuk daun
dengan helaian yang telah terbuka dengan sempurna dengan anak daun ke atas
dan ke bawah. Pada tanaman muda biasanya mengeluarkan 30 pelepah (tempat
menempelnya daun) per tahun dan pada tanaman tua 18-24 pelepah pertahun.
Dengan panjang pelepah 9 m untuk tanaman dewasa dengan 125-200 pasang anak
daun dengan panjang 0,9-1,2 m (Risza, 1995).
2.2.4 Bunga
Pada satu pohon kelapa sawit terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Bunga
keluar dari ketiak pelepah bagi pangkal yang bersatu dengan batang. Bunga akan
mulai keluar pada umur lebih kurang 14-18 bulan setelah tanam. Pada mulanya
yang keluar adalah bunga jantan yang kemudian disusul dengan bunga betina,
namun terkadang ditemui bunga banci yaitu bunga jantan dan bunga betina yang
berada pada satu rangkaian (Tim Bina Karya Tani, 2009).
2.2.5 Buah
Pada umumnya kelapa sawit yang ditanam di Indonesia adalah varietas Nigrerces
dengan buah yang berwarna ungu kehitaman saat mentah/buah muda. Buah akan
matang 5-6 bulan setelah penyerbukan dengan warna kulit buah berubah menjadi
orange kemerahan.Buah tersusun atas biji-biji yang disebut sebagai brondolan
yangmelekat pada janjangan yang dalam istilah perkebunannya sering disebut
dengan Tandan Buah Segar atau disingkat TBS. Dalam 1 tandan ada 600-2000
biji/brondolan,dengan berat buah 13-30 gram (Risza, 1995).
16
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit
Dalam membudidayakan tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan
yang baik atau cocok, agar tanaman kelapa sawit dapat tumbuh subur dan dapat
berproduksi secara maksimal. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan kelapa sawit antara lain keadaan iklim dan tanah. Selain itu, faktor
lain yang juga dapat mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit adalah faktor
genetis, perlakuan budidaya, dan penerapan teknologi (Tim Bina Karya Tani,
2009).
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di berbagai tempat seperti
daerah tropik, dataran rendah yang panas, dan lembab. Dalam budidaya tanaman
kelapa sawit distribusi hujan yang merata merupakan hal terpenting untuk
pertumbuhan. Kemarau panjang dapat mengakibatkan pengeringan tanah di
daerah perakaran yang relatif dangkal, sehingga kelembaban tanah bisa berada di
bawah titik layu permanen. Kelembaban untuk tanaman kelapa sawit paling
sedikit adalah 75%, dan keadaan curah hujan yang kurang dari 2.000 mm per
tahun tidak berarti kurang baik bagi pertumbuhan kelapa sawit, asalkan tidak
terjadi defisit air. Efek dari terjadinya defisit air yang tinggi yaitu penurunan
produksi secara drastis dan baru normal kembali pada tahun ketiga atau keempat
(Risza, 1995).
Daerah dataran rendah 200 – 400 meter di atas permukaan laut menjadi daerah
yang ideal untuk tanaman kelapa sawit. Pertumbuhan kelapa sawit menjadi
terhambat dan produksinya menurun pada daerah dengan ketinggian lebih dari
500 meter di atas permukaan laut (Syakir, 2010).
17
Penyinaran matahari diperlukan untuk memproduksi karbohidrat dan memacu
pembentukan bunga dan buah. Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa
sawit adalah 5 – 7 jam per hari. Pertumbuhan kelapa sawit di Sumatera Utara
terkenal baik karena berkat iklim yang sesuai yaitu lama penyinaran matahari
yang tinggi dan curah hujan yang cukup. Umumnya turun pada sore atau malam
hari (Tim Bina Karya Tani, 2009).
Kriteria suhu rata-rata tahunan daerah-daerah pertanaman kelapa sawit berada
antara 25 – 27oC, yang menghasilkan banyak tandan. Variasi suhu yang tidak
berpengaruh baik untuk tanaman kelapa sawit, semakin besar variasi suhu
semakin rendah hasil yang diperoleh. Suhu dingin dapat membuat tandan bunga
mengalami aborsi, serta bunga tidak menyebar merata sepanjang tahun (Syakir,
2010).
2.4 Pengendalian Gulma di Perkebunan Kelapa sawit
Pada perkebunan kelapa, pengendalian gulma mencakup areal sekitar piringan dan
gawangan (antar barisan tanaman). Tujuan pengendalian gulma di daerah
piringan adalah untuk mengurangi persaingan unsur hara, memudahkan
pengawasan pemupukan, memudahkan pengumpulan brondolan, dan menekan
populasi hama tertentu yang menjadikan gulma menjadi inangnya. Sedangkan
pengendalian gulma di gawangan dimaksudkan untuk menekan persaingan unsur
hara dan air, memudahkan pengawasan, dan jalan untuk pengangkutan saprodi
dan panen. Pengendalian gulma tidak dimaksudkan untuk membuat permukaan
tanah bebas sama sekali dari gulma (clean weeding), karena dapat menyebabkan
erosi tanah. Tanaman muda yang mempunyai tanaman penutup tanah yang baik
18
praktis tidak memerlukan penyiangan, hanya pada pinggiran atau tempat-tempat
tertentu dan tanaman perdu yang tumbuh liar (Tim Bina Karya Tani, 2009).
Gulma digolongkan dalam gulma berbahaya dan gulma lunak, gulma berbahaya
merupakan gulma yang memiliki daya saing tinggi terhadap tanaman pokok,
misalnya lalang, lempuyang, beberapa tumbuhan berkayu dan sebagainya.
Sedangkan gulma gulma golongan lunak merupakan gulma yang keberadaannya
dalam kelapa sawit dapat ditoleransi, sebab jenis gulma ini dapat menahan erosi
tanah, namun pertumbuhannya tetap harus dikendalikan, misalnya gulma Cyperus
rotundus dari golongan teki, Axonopus compresus yang merupakan gulma
tahunan dari golongan rumput dapat berkembang biak secara vegetatif selain
melalui biji dan Ageratum conyzoides dari golongan daun lebar yang banyak
ditemui pada areal perkebunan kelapa sawit belum menghasilkan maupun
menghasilkan(Tim Bina Karya Tani, 2009).
Pahan (2007) menyatakan terdapat tiga jenis gulma yang harus dikendalikan, yaitu
ilalang di piringan dan gawangan, rumput di piringan, dan anak kayu di
gawangan. Ilalang di gawangan dan piringan efektif dikendalikan secara kimia
dengan teknik sesuai dengan populasi ilalang yang ada. Gulma rumput di
piringan dapat dikendalikan baik secara manual maupun kimia. Gulma berkayu
dapat dikendalikan dengan metode dongkel anak kayu. Kegiatan pemeliharaan
berperan penting dalam upaya peningkatan produksi kelapa sawit. Salah satu
kegiatan utama dalam pemeliharaan tanaman kelapa sawit adalah pengendalian
gulma. Dalam pengendalian gulma pada Tanaman Menghasilkan (TM)
diperlukan cara yang tepat, seperti:
19
1. Pemeliharaan piringan yaitu dengan maksud untuk memudahkan dalam
mengumpulkan brondolan yang jatuh, pada umumnya dengan radius 2,5 m dari
pusat tumbuh tanaman kelapa sawit hingga ujung pelepah terluar.
Penggarukan piringan pada area TM tua ( > 25 tahun) harus dilakukan satu kali
setahun.
2. Pemeliharaan gawangan (Inter row) biasanya dilakukan secara teratur pada 24
bulan pertama (TBM) untuk memastikan LCC dapat tumbuh dengan subur.
Gulma yang tidak boleh ada yaitu Mikania micrantha.
3. Pemeliharaan pasar pikul dengan lebar ± 2 m harus selalu bersih terpelihara
agar mudah dalam akses keluar masuk hasil panen TBS.
4. Pemeliharaan pelepahdilakukan guna mengendalikan gulma yang merambat.
Dalam pengendalian penyemprotan pada pelepah tidak dianjurkan, untuk
mencegah terjadinya peledakan hama serangga.
2.5 Herbisida
Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat menghambat dan menghentikan
pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila dilakukan pada ukuran yang
tepat. Terdapat beberapa herbisida yang sering digunakan dalam mengendalikan
gulma diataranya yaitu: glifosat, paraquat, dan 2,4 D (Moenandir, 1993).
Dengan dilakukan pengendalian gulma menggunakan herbisida terdapat beberapa
keuntungan diantaranya dapat mengendalikan gulma sebelum tahap mengganggu,
dapat mengendalikan gulma pada bagian larikan tanaman pokok, dapat mencegah
kerusakan pada bagian perakaran tanaman, dan dapat meningkatkan hasil panen
tanaman budidaya dibandingkan dengaan penyiangan secara manual (Sukman,
20
1995). Sedangkan kekurangan dari penggunaan herbisida biasanya dikarenakan
faktor pemilihan jenis herbisida yang tidak sesuai, dosis dan waktu aplikasi,
investasi alat aplikasi, dan kelestarian lingkungan. Herbisida mengendalikan
gulma dengan berbagai cara yaitu dengan mempengaruhi respirasi gulma,
mempengaruhi proses fotosintesis gulma, menghambat perkecambahan gulma,
memiliki efek terhadap sintesis asam amino, mempengaruhi metabolisme lipida,
serta bekerja sebagai hormon (Djojosumarto, 2008).
Menurut Mu’in (2004), berdasarkan waktu aplikasinya herbisida dibagi kedalam 3
golongan, yaitu : (1) herbisida pra tumbuh (pre-emergence) adalah herbisida yang
diaplikasikan sebelum gulma tumbuh dan sebelum tanaman berkecambah; (2)
herbisida pra tanam (pre-planting) diaplikasikan sebelum tanaman ditanam, baik
gulma sudah tumbuh atau belum; (3) herbisida pasca tumbuh (post- emergence)
adalah herbisida yang diaplikasikan sesudah tanaman tumbuh dan gulma tumbuh.
2.6 Metil Metsulfuron
Metil metsulfuron merupakan herbisida selektif daun lebar yang memiliki LD50 ˃
2510 mg / kg, herbisida ini efektif pada dosis rendah dan bersifat selektif pada
gulma daun lebar tanpa mengganggu tanaman budidaya serta mampu
mengendalikan gulma Borria alata dan Asystasia gangetica (Tomlin, 2004).
Menurut Taufik dan Yosmaniar (2010),penggunaan senyawa aktif metil
metsulfuron oleh para petani tidak berbeda dengan bahan kimia pengendali hama,
yaitu memiliki sifat penting berupa daya racun atau toksisitas. Herbisida dengan
rumus kimia C14H15N5O6S pertama kali dipublikasikan oleh Du Pont Numeorus
and Cop pada tahun 1984. Nama kimia herbisida ini adalah 2-(4-methoxy-6-
21
SO2NHCOH N
N
N
methyl-1,3,5 triazin-2ylcarbonylaminosulfonil) benzoic acid.
Rumus bangun herbisida metil metsulfuron digambarkan pada Gambar 2.
CO2 CH3 OCH3
Gambar 2. Rumus Bangun Herbisida Metil Metsulfuron (Tomlin, 2009).
Herbisida metil metsulfuron bersifat sistemik (sering disebut sebagai translocated
herbicides) yang diabsorbsi oleh akar dan daun, serta ditranslokasikan secara
akropetal dan basipetal. Oleh karena sifatnya yang sitemik, herbisida ini mampu
membunuh jaringan gulma yang berada di dalam tanah. Gulma yang peka akan
berhenti tumbuh setelah dilakukan aplikasi post-emergence dan akan mati dalam
beberapa hari. Herbisida metil metsulfuron selektif terhadap gulma daun lebar
(Djojosumarto,2008).
Herbisida yang termasuk dalam famili Sulfonilurea memiliki cara kerja dengan
menghambat kerja enzim acetolsctatesynthase (ALS) atau acetohydroxy synthase
(AHAS) yaitu pada tahapan awal menghambat perubahan α ketoglutarate menjadi
2-acetohydroxybutyrate dan piruvat menjadi 2-acetolactate. Akibat yang
ditimbulkan yaitu rantai cabang asam amino yang merupakan bagian penting
dalam pembentukkan protein tidak terbentuk, jika tanaman tidak membentuk
protein maka tanaman akan mati (Sensemen, 2007).
22
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kebun kelapa sawit menghasilkan milik petani di Desa
Gayabaru VIII, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah dan
Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Januari
2018 hingga April 2018.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM), air, cat
kayu, dan herbisida berbahan aktif metil metsulfuron 20% (Ally 20 WG). Alat
yang digunakan yaitu knapsack sprayer semi automatic, nozel biru, gelas ukur,
ember, rubber bulb, arit, cangkul, meteran, kuas, kantong plastik, oven,
timbangan digital, alat tulis, amplop kertas, dan kuadran besi berukuran 0,5m x
0,5m.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 7 taraf
perlakuan dan 4 ulangan (Tabel 1). Perlakuan tersebut terdiri dari perlakuan
herbisida metil metsulfuron, penyiangan mekanis, dan kontrol (tanpa
pengendalian gulma). Pengelompokan ditetapkan berdasarkan keseragaman
23
spesies gulma yang ada di petak percobaan. Sebagai pembanding untuk
mengetahui pengaruh aplikasi herbisida metil metsulfuron terhadap tanaman
kelapa sawit menghasilkan TM digunakan perlakuan penyiangan secara mekanis
(6), dan untuk mengetahui pengaruh herbisida metil metsulfuron terhadap
pertumbuhan gulma, maka data pengamatan dibandingkan dengan kontrol (7).
Susunan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Satuan Perlakuan
Keterangan :
X = dosis rekomendasi
Untuk menguji homogenitas ragam data digunakan uji Bartlett dan additivitas data
diuji dengan menggunakan uji Tukey. Jika asumsi terpenuhi, maka data dianalisis
dengan sidik ragam dan untuk menguji perbedaan nilai tengah perlakuan diuji
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
No. Perlakuan Dosis bahan aktif
(g/ha)
Dosis formulasi
(g/ha)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Metil metsulfuron
Metil metsulfuron
Metil metsulfuron
Metil metsulfuron
Metil metsulfuron
Penyiangan mekanis
Kontrol
20,0
26,6
33,2
40,0
46,6
-
-
100 (¾X)
133 (X)
166 (1¼ X)
200 (1½ X)
233 (1¾ X)
-
-
24
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pemilihan lokasi
Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perkebunan kelapa sawit dengan
kultivar Tenera atau jenis kelapa sawit yang tersedia atau yang umum digunakan
oleh petani setempat dengan umur tanaman sekitar 7 tahun dan penutupan gulma
seragam yaitu minimal 75%.
3.4.2 Pembuatan petak percobaan
Petak perlakuan ditentukan sebanyak 7 perlakuan dengan 4 ulangan. Setiap
satuan percobaan terdiri atas 3 tanaman kelapa sawit. Masing-masing piringan
tanaman kelapa sawit berjari-jari 3 m. Jarak antar satuan petak perlakuan adalah
satu tanaman kelapa sawit. Tata letak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.
U1 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
U2 P3 P4 P5 P6 P7 P1 P2
U3 P5 P6 P7 P1 P2 P3 P4
U4 P4 P5 P6 P7 P1 P2 P3
Gambar 3. Tata Letak Percobaan
Keterangan:
P1 = Metil metsulfuron 20,0 g/ha
P2 = Metil metsulfuron 26,6 g/ha
P3 = Metil metsulfuron 33,2 g/ha
P4 = Metil metsulfuron 40,0 g/ha
P5 = Metil metsulfuron 46,6 g/ha
P6 = Penyiangan mekanis
P7 = Kontrol
25
3.4.3 Aplikasi herbisida
Sebelum aplikasi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan metode luas untuk
menentukan volume semprot yang dibutuhkan. Metode luas dilakukan dengan
menghitung jumlah air yang digunakan untuk menyemprot satu petak percobaan
yaitu dengan memasukkan sejumlah air pada tangki sebelum aplikasi kemudian
dikurangi dengan sisa air setelah aplikasi. Luas bidang semprot yaitu 28,26 m2
dengan volume semprot saat kalibrasi sebanyak 1,5 liter/plot, maka volume
semprot yang diperoleh setelah melakukan kalibrasi adalah 530 l/ha. Berikut
adalah rumus yang digunakan:
Volume semprot =
Volume semprot =
Volume semprot = 530 l/ha
Dosis herbisida yang telah ditentukan untuk masing-masing petak perlakuan
dilarutkan ke dalam air sebanyak hasil kalibrasi, selanjutnya larutan herbisida
tersebut disemprotkan secara merata pada piringan kelapa sawit. Aplikasi
dilakukan pada pagi hari dan tidak ada hujan minimal 3 jam setelah aplikasi.
3.4.4 Penyiangan mekanis
Untuk mengetahui pengaruh aplikasi herbisida metil metsulfuron terhadap
tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) digunakan perlakuan penyiangan
mekanis sebagai perlakuan pembanding. Penyiangan mekanis dilakukan dengan
dikoret dengan cangkul saat 0 MSA (perlakuan 6).
26
3.5 Pengamatan
3.5.1 Fitotoksisitas kelapa sawit
Terdapat 3 (tiga) tanaman kelapa sawit dalam satu petak percobaan yang menjadi
sampel pengamatan fitotoksisitas. Menurut Direktorat Pupuk dan Pestisida (2012)
Pengamatan tingkat keracunan dapat dinilai secara visual terhadap populasi
tanaman kelapa sawit, diamati pada 2, 4, 8 dan 12 MSA dengan skoring visual
sebagai berikut:
0 = Tidak ada keracunan, 0 – 5% bentuk dan atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak normal
1 = Keracunan ringan, >5 – 20% bentuk dan atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak normal
2 = Keracunan sedang, >20 – 50% bentuk dan atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak normal
3 = Keracunan berat, >50 – 75% bentuk dan atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak normal
4 = Keracunan sangat berat, >75% bentuk dan atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak normal
3.5.2 Bobot kering gulma
Pengambilan gulma untuk mengukur bobot kering gulma total dan gulma
dominan dilakukan sebanyak empat kali, yaitu saat aplikasi, 4, 8, dan 12 MSA.
Gulma diambil dengan menggunakan alat kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m pada
tiga titik pengambilan yang berbeda untuk setiap piringan dan setiap pengambilan
27
contoh gulma. Dengan luas pengambilan contoh gulma berukuran 0,25 m2.
Pengambilan gulma dilakukan pada gulma yang berada di dalam petak kuadran
dipotong tepat setinggi permukaan tanah. Letak petak kuadran ditetapkan secara
sistematis. Selanjutnya, gulma dikelompokkan berdasarkan spesiesnya dan
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80o C selama 48 jam, kemudian
ditimbang.
Keterangan :
Lingkaran : Piringan tanaman kelapa sawit yang dikendalikan
Segitiga : Tanaman kelapa sawit
Kotak : Petak kuadran pengambilan sampel gulma 4 MSA
Kotak : Petak kuadran pengambilan sampel gulma 8 MSA
Kotak : Petak kuadran pengambilan sampel gulma 12 MSA
Gambar 4. Petak pengambilan sampel gulma
3.5.3 Penekanan herbisida terhadap gulma
Dari data bobot kering yang didapat kemudian dikonversi dan dibuat diagram
mengenai persen penekanan herbisida terhadap gulma, baik gulma total, gulma
1
3
3 m
1
2
2
3
2
2
3
3
1
1
3 m
3 m
3 m
3 m
28
pergolongan dan gulma dominan. Penekanan herbisida terhadap gulma diperoleh
dengan menggunakan rumus:
Penekanan
x 100%
3.5.4 Summed dominance ratio (SDR)
Data bobot kering dan kemunculan gulma dalam setiap ulangan digunakan untuk
menghitung jumlah nisbah dominansi atau Summed Dominance Ratio (SDR)
masing-masing gulma, dengan menggunakan rumus:
a. Dominan Mutlak (DM)
Bobot kering jenis gulma tertentu dari setiap ulangan
b. Dominan Nisbi (DN)
DN =
x 100 %
c. Frekuensi Mutlak (FM)
Jumlah ulangan yang memuat jenis gulma tertentu
d. Frekuensi Nisbi (FN)
FN =
x 100 %
e. Nilai Penting (NP)
Nilai Penting = Dominansi Nisbi + Frekuensi Nisbi
29
f. SDR
SDR =
3.5.5 Koefisien komunitas (C)
Dalam menilai koefisien komunitas untuk menentukan perubahan antarkomunitas
akibat perlakuan yang diuji dihitung dengan menggunakan SDR dua komunitas
(perlakuan) yang dibandingkan. Koefisien komunitas dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
C =
x 100 %
Keterangan:
C = Koefisien komunitas
W = Jumlah nilai terendah dari pasangan SDR pada dua komunitas yang
dibandingkan
a = Jumlah semua SDR dari komunitas I
b = Jumlah semua SDR dari komunitas II
Jika nilai C lebih besar dari 75% maka kedua komunitas yang dibandingkan
memiliki komposisi gulma yang sama (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
48
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Herbisida metil metsulfuron dosis 20 – 46,6 g/ha efektif mengendalikan gulma
total, gulma golongan daun lebar, gulma A.gangetica dan gulma B. alata
hingga 12 MSA serta gulma golongan rumput hanya pada 12 MSA. Herbisida
metil metsulfuron dosis 26,6 g/ha, 40 g/ha dan 46,6 g/ha efektif mengendalikan
gulma O. nodosa hanya pada 12 MSA.
2. Aplikasi herbisida metil metsulfuron dosis 20 – 46,6 g/ha menyebabkan adanya
perubahan komposisi gulma pada 4, 8 dan 12 MSA.
3. Aplikasi herbisida metil metsulfuron dosis 20 – 46,6 g/ha pada piringan tidak
menyebabkan keracunan terhadap tanaman kelapa sawit.
49
5.2 Saran
Dalam penelitian ini herbisida metil metsulfuron pada dosis 26,6 g/ha lebih
efisien. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengurangi dosis
herbisida metil metsulfuron dari dosis yang direkomendasikan. Hal ini dilakukan
karena pada dosis yang direkomendaasikan mampu menekan pertumbuhan gulma
total dengan sangat baik.
50
DAFTAR PUSTAKA
Alfredo, N., N. Sriyani, dan D.R.J. Sembodo. 2012. Efikasi Herbisida Pratumbuh
Metil Metsulfuron tunggal dan kombinasinya dengan 2,4-D, Ametrin, atau
Diuron terhadap Gulma pada Pertanaman Tebu (Saccaharum officinarum
L.) Lahan Kering. Jurnal Agrotropika. 17(1):29-34.
Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi
Herbisida. Direktorat Sarana dan Prasarana Pertanian. Jakarta. 229 hlm.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Pertumbuhan Areal Kelapa Sawit
Meningkat. Diakses pada 27 November 2017.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka.
Tanggerang . 340 hlm
Effendi, R. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta. 304
hlm.
Harper, J. L. 1995. Ecological aspects of weed control. Prosiding Seminar
Pengembangan Aplikasi Kombinasi Herbisida. 28 Agustus 1995. Jakarta.
20-22 hlm.
Hidayati, N., N. Sriyani., dan R. Evizal. 2014. Efikasi Herbisida Metil
Metsulfuron Terhadap Gulma pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaesis
guinensis Jacq.) yang Belum Menghasilkan (TBM). Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan. 15 (1): 1-7.
GAPKI, 2017. Refleksi Industri Kelapa Sawit 2017 dan Prospek 2018. http://
www.gapki.id. Diakses pada 21 Agustus 2018.
GAPKI, 2018. Refleksi Industri Kelapa Sawit 2017 dan Prospek 2018. http://
www.gapki.id. Diakses pada 21 Agustus 2018.
Jumin, H. B. 1991. Dasar-dasar Agronomi. Rajawali Press. Jakarta. 140 hlm.
Koriyando, V., H. Susanto., Sugiatno. 2014. Efikasi Herbisida Metil Metsulfuron
untuk Mengendalikan Gulma pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis
Guineensis Jacq.) Menghasilkan. Jurnal Agrotek Tropika. 2 (3): 375-381.
51
Mas’ud, H. 2009. Komposisi dan Efisiensi Pengendalian Gulma pada Pertanaman
Kedelai dengan Penggunaan Bokashi. Jurnal Agroland 16 (2): 118-123.
Moenandir, J. 1993. Persaingan Gulma dengan Tanaman Budidaya. Ilmu
Gulma Buku III. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 101 hlm.
Mu’in, A. 2004. Efikasi Herbisida Pratumbuh Diuron dalam Mengendalian
Gulma pada Kedelai. Prosiding Konferensi Nasional.XVI HIGI : 38-46.
Pahan,. I. 2007. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu
Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Bogor. 411 hlm.
Purwasih, S. 2013. Struktur Komunitas Gulma Pada Kebun Peremajaan Kelapa
Sawit Di Lahan Gambut PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) Kebun
Raya. Pontianak. Sains Mahasiswa Pertanian Tanjungpura. 2(2): 10 – 20
Rais, S. 2008. Efikasi Herbisida Fluroksipir untuk Mengendalikan Gulma Daun
lebar pada Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan. Skripsi. Fakultas
Pertanian.Unila. 9 hlm.
Rambe, T.D., L. Pane, P. Sudharto, dan Caliman. 2010. Pengelolaan Gulma Pada
Perkebunan Kelapa Sawit. PT Smart Tbk. Jakarta.
Riadi, M., R. Sjahril, dan E. Syam’un. 2011. Pengertian dan Klasifikasi
Herbisida. Universitas Hasanudin. 11 hlm.
Sastrosayono., S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64
hlm.
Sembodo, D,. R. J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
168 hlm.
Senseman, S.A. 2007. Herbicide Handbook (Ninth edition). Weed Sciense Society
of America. 546 p.
Sukman, Y. dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. CV Rajawali
Press. Jakarta. 157 hlm.
Taufik, I dan Yosmaniar. 2010. Pencemaran Pestisida pada Lahan Perikanan Di
Daerah Karawang - Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi
V. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo dan J. Wiroatmodjo (Eds). 1984. Pengelolaan
Gulma di Perkebunan. Kerjasama Biotrop Bogor -PT Gramedia. Jakarta.
225 hlm.
Tomlin, C. D. S. 2004. The Pesticide Manual volume 3.0. British Crop Protection
Council. England. 1606 p.