Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
. Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021x,
103
EFEKTIVITAS PELATIHAN GROWTH MINDSET PADA SISWA SMA
EFFECTIVENESS OF GROWTH MINDSET TRAINING FOR HIGH SCHOOL
STUDENTS
Fatin Rohmah Nur Wahidah1
Edi Joko Setyadi2
Gisella Arnis Grafiyana3
ABSTRACT
The mindset has an influence on students 'beliefs about their capacities and
abilities, including strategies and students' academic achievement in school.
Students with a growth mindset believe that their abilities can be changed.
When faced with academic difficulties, they will try harder, develop new
strategies, and improve their learning performance. This study aims to
determine the effectiveness of growth mindset training in high school
students. Twenty grade XII high school students were randomly selected to
participate in this study. This research uses a quantitative approach. The data
was collected using a mindset scale (α = 0.804) and then analyzed using the
paired sample t-test technique. The results of the study indicate that growth
mindset training is effective in increasing the growth mindset of students.
They were also motivated to change for the better than the current condition
and began planning their life goals in the future to be more focused and
organized.
Keywords: growth mindset , high school students, life goals
ABSTRAK
Mindset berpengaruh pada keyakinan siswa tentang kapasitas dan kemampuan yang dimiliki,
termasuk dalam strategi dan prestasi akademik siswa di sekolah. Siswa dengan growth mindset
percaya bahwa kemampuan mereka bisa berubah. Ketika menghadapi kesulitan akademik, mereka
akan berusaha lebih keras, menetapkan strategi yang baru, dan meningkatkan performa belajarnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelatihan growth mindset pada siswa SMA.
Sebanyak dua puluh siswa SMA kelas XII dipilih secara acak berpartisipasi dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mindset
scale (α = 0,804) lalu dianalisis dengan teknik paired sample t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pelatihan growth mindset efektif untuk meningkatkan growth mindset siswa. Peserta pun
termotivasi untuk berubah menjadi lebih baik dibanding kondisi saat ini dan mulai merencanakan
tujuan hidupnya di masa mendatang agar lebih terarah dan tertata.
Kata kunci: growth mindset , siswa SMA, tujuan hidup
1 Fatin Rohmah Nur Wahidah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Email :
[email protected] 2 Edi Joko Setyadi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Email : [email protected] 3 Gisella Arnis Grafiyana, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Email : [email protected]
Submitted:
01 – 12 - 2020
Revision:
01 – 01 - 2021
Accepted:
04 – 02 - 2021
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas
Pelatihan Growth Mindset pada Siswa SMA
104
PENDAHULUAN
Mindset merupakan belief yang memiliki kecenderungan pada fixed mindset atau
growth mindset (Zeng, Hou, & Peng, 2016). Sudut pandang incremental theory atau growth
mindset meyakini bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang bersifat tidak pasti dan dapat
meningkat (Dweck, 2006; Hochanadel & Finamore, 2015). Di sekolah, siswa dengan growth
mindset percaya bahwa kemampuan mereka dapat ditingkatkan dengan kinerja. Mereka
memandang situasi yang menantang sebagai peluang untuk belajar, bukan sebagai tanda
rendahnya kemampuan yang dimiliki. Ketika menghadapi kesulitan akademik, mereka akan
berusaha dua kali lebih keras, menetapkan strategi yang baru, dan meningkatkan performa
belajarnya. Growth mindset mengarahkan siswa untuk berorientasi pada penyelesaian
kesulitan sehingga mengajarkan kepada siswa bahwa inteligensi dapat berubah dan dapat
meningkatkan prestasi akademiknya (Blackwell, Trzesniweski, & Dweck, 2007; Haimovitz,
Wormington, & Corpus, 2011).
Sementara itu, seseorang yang percaya bahwa kemampuannya bersifat alami dan
sudah ditentukan, disebut memiliki entity theory atau fixed mindset (Dweck, 2006;
Hochanadel & Finamore, 2015). Di sekolah, siswa dengan fixed mindset cenderung melihat
kesalahan dan berbagai upaya yang harus dilakukan pada tugas akademik sebagai tanda
bahwa dia memiliki kemampuan menetap yang rendah. Ia juga menilai performa
pembelajaran secara berlebihan dan berpandangan negatif pada kesalahan dan usaha yang
dilakukan sehingga ia berespon dengan ketidakberdayaan. Misalnya, tidak mau lebih bayak
berusaha, mencontek, dan menghindari situasi serupa di masa depan (Blackwell,
Trzesniweski, & Dweck, 2007). Lebih parah lagi pada siswa SMA yang berisiko yang
mengadopsi cara berpikir seperti ini, mungkin akan terjebak dalam pola berulang yaitu
prestasi rendah, motivasi rendah, dan usaha yang rendah sehingga berdampak panjang pada
kerusakan masa depan setelah lulus SMA (Saunders, 2014). Pada akhirnya, mindset
berpengaruh pada keyakinan siswa tentang kapasitas dan kemampuan yang dimiliki,
termasuk dalam strategi dan prestasi akademik siswa di sekolah (Zeng, Hou, & Peng, 2016).
Prestasi akademik merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan siswa di sekolah.
Maka, menjadi hal wajar jika banyak upaya dilakukan untuk menangani siswa yang
menunjukkan prestasi akademik rendah. Hasil wawancara dari beberapa guru diperoleh
simpulan bahwa upaya yang umumnya dilakukan untuk menangani permasalahan siswa
dengan akademik rendah (hasil belajar di bawah rata-rata ketuntasan minimal) adalah
diberikan remedial dan penambahan jam belajar di sekolah. Akan tetapi, tidak semua siswa
menunjukkan perubahan yang berarti dengan upaya ini.
Dari keterangan siswa dengan nilai akademik rendah diketahui bahwa sebagian
mereka memang merasa kesulitan pada beberapa pelajaran yang diterima, namun mereka
juga merasa malas untuk belajar. Mereka kurang memiliki keinginan untuk memperbaiki
prestasi belajar dan menganggap kurang penting belajar di sekolah. Mereka cenderung
berpikir bahwa kondisi mereka saat ini tidak akan bisa berubah dan cenderung menetap
sehingga belajar pun tidak akan membantu kesulitannya.
Upaya-upaya yang dilakukan pihak sekolah umumnya lebih mengarah pada upaya
peningkatan nilai dan kemampuan akademik siswa. Padahal kondisi psikologis siswa juga
perlu diperhatikan, karena permasalahan yang dimiliki siswa bukan hanya terkait
Psycho Idea, Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021
ketidakmampuannya dalam hal akademik saja. Dengan kata lain, intervensi yang diberika
sekolah belum menyasar pada kondisi psikologis siswa. Salah satu intervensi psikologis yang
bisa diberikan kepada siswa dengan nilai prestasi akademik rendah adalah intervensi growth
mindset .
Intervensi growth mindset yang dilakukan Paunesku, Dweck, Romero, Smith,
Yeager, dan Walton (2015) terhadap siswa SMA di Amerika menunjukkan pengaruhnya
terhadap perubahan belief siswa mengenai tugas-tugas akademik, sebagai suatu aktivitas
yang berguna untuk sarana belajar serta berkembang. Siswa juga belajar bahwa otak manusia
seperti otot yang tumbuh dan berkembang lebih kuat dengan terus berlatih. Pada siswa yang
beresiko tinggi terkena drop out (siswa yang memiliki nilai IPK 2.0 ke bawah atau gagal
dalam satu atau lebih mata pelajaran inti), intervensi growth mindset memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan nilai mereka (Paunesku, Dweck, Romero, Smith,
Yeager, & Walton, 2015). Penelitian ini mengartikan bahwa growth mindset dapat dipelajari
untuk mengubah belief siswa, terutama pada siswa dengan performa yang kurang baik
(Rattan, Savani, Chugh, & Dweck, 2015).
Intervensi growth mindset adalah salah satu intervensi psikologis yang menyasar pada
perubahan mindset siswa. Intervensi ini hanya menargetkan satu dasar keyakinan sehingga
dapat dilaksanakan dalam waktu singkat dan dengan materi yang ringkas, tidak melibatkan
konten khusus, serta tidak bergantung dengan konteks sekolah. Intervensi ini memiliki
prosedur yang praktis dan menggunakan narasi umum (misal: cerita dari siswa yang lebih
tua) dan informasi objektif (misal : konsep ilmiah) untuk mengubah keyakinan inti siswa
tentang sekolah.
Intervensi growth-mindset menekankan bahwa kecerdasan, kemampuan, dan kondisi
dirinya saat ini bisa berubah dan dapat berkembang jika siswa berusaha keras. Para siswa
mendapatkan pesan bahwa kesulitan dan tantangan yang dihadapi (misalnya terkait sekolah,
materi belajar, dan tugas sekolah) serta perjuangan yang dilakukan adalah kesempatan untuk
berkembang, bukan karena mereka tidak mampu. Pesan ini, pada sejumlah penelitian
sebelumnya, telah terbukti membantu siswa meningkatkan nilai dan prestasinya (Paunesku,
Dweck, Romero, Smith, Yeager, & Walton, 2015; Rattan, Savani, Chugh, & Dweck, 2015).
Hal ini membuat intervensi growth-mindset menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
Dalam buku kode etik profesi psikologi yang disusun oleh Himpunan Psikologi
Indonesia (HIMPSI) (2010), disebutkan bahwa intervensi adalah kegiatan sistematis dan
terencana berdasar hasil asesmen. Tujuannya adalah mengubah keadaan sasaran, baik
perorangan, kelompok, atau masyarakat demi perbaikan atau untuk mencegah semakin
buruknya keadaan. Metode yang dapat dilakukan pada intervensi yang dimaksud adalah
psikoedukasi, konseling, atau terapi.
105
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas
Pelatihan Growth Mindset pada Siswa SMA
Berdasarkan definisinya, psikoedukasi adalah kegiatan untuk meningkatkan
pemahaman dan/atau keterampilan. Hal ini dilakukan sebagai usaha pencegahan meluasnya
gangguan psikologis ataupun kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi (HIMPSI, 2010).
Psikoedukasi dapat dilakukan dengan pelatihan maupun tanpa pelatihan. Mereplikasi
penelitian Paunesku, Dweck, Romero, Smith, Yeager, dan Walton (2015), intervensi yang
dilakukan mengarah pada program pelatihan.
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menyusun pelatihan adalah metode
experiential learning dari Kolb (2015). Metode ini menggabungkan teori kognitif dan
behavioristik sehingga menekankan pada pentingnya pengalaman empiris dan proses
berpikir abstrak (Kolb, 2015). Pembelajaran adalah proses dimana pengetahuan diciptakan
melalui transformasi pengalaman (Kolb, 1984 dalam Laird, Holton, & Naquin, 2003). Bagi
Kolb, belajar tidak hanya melibatkan perolehan konten/teori melainkan sebagai interaksi
antara konten dan pengalaman. Artinya, pembelajaran yang baik adalah ketika peserta
mampu mengaitkan apa yang dia alami secara langsung, termasuk pengalaman yang terjadi
pada inderanya, dengan fenomena terkait materi pembelajaran yang sedang dipelajari.
Penggambaran pembelajaran ini sering disebut experiential learning.
Kolb (2015) menyebutkan bahwa experiential learning merupakan proses
pembelajaran yang dilakukan melalui refleksi dan melalui suatu proses pembuatan makna
dari pengalaman langsung. Pelatihan ini menggunakan experiential learning diharapkan agar
pembelajaran yang diberikan lebih bermakna dari pengalaman langsung peserta.
Adapun tahap-tahap atau daur experiential learning adalah concrete experience (CE),
reflective observation (RO), abstract conceptualisation (AC), dan active experimentation
(AE) (Gambar 1). CE merupakan tahap awal berupa pengalaman nyata yang dialami oleh
individu. RO dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap pengalaman nyata yang dialami
atau dilakukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap AC, peserta melakukan perbandingan
antara apa yang mereka alami dengan apa yang sudah mereka ketahui atau dari teori yang
mereka dapatkan. Tahap terakhir adalah AE, dimana peserta menentukan bagaimana mereka
dapat menerapkan hal yang telah dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari.
Gambar 1. Siklus Experiential Learning (Kolb, 2015)
CE (memperoleh pengalaman)
RO(melakukan refleksi dari pengalaman
yang diperoleh)
AC (membandingkan,
menyimpulkan, belajar dari
pengalaman)
AE(mencoba apa yang
sudah dipelajari)
106
Psycho Idea, Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen, menggunakan pendekatan
kuantitatif untuk melihat efektivitas intervensi growth mindset.
Partisipan
Penelitian ini awalnya melibatkan 20 siswa. Kemudian 3 siswa tidak mengikuti
pertemuan kedua sehingga hanya 17 siswa yang dilibatkan dalam data. Peserta adalah siswa
laki-laki maupun perempuan, jurusan IPA dan IPS, serta merupakan rekomendasi guru BK
untuk mengikuti pelatihan.
Prosedur
Peneliti melakukan penelitian di salah satu sekolah daerah Purbalingga, Jawa Tengah
yang dipilih acak. Setelah mendapat izin penelitian, peneliti melakukan intervensi melalui
kegiatan pelatihan secara tatap muka sebanyak dua kali pertemuan, dengan jarak dua minggu
antarpertemuan. Setiap pertemuan dilakukan selama kurang lebih 60 menit,
Pada pertemuan pertama, terdapat 20 peserta yang hadir. Peserta diberikan sebuah
artikel tentang plastisitas otak. Setelah membaca artikel, siswa diminta untuk menuliskan
rangkuman dari artikel tersebut. Selanjutnya, peserta diberikan sebuah studi kasus mengenai
seorang anak yang merasa kurang pandai dan tidak bisa berprestasi di sekolah. Peserta
kemudian diminta untuk memberi masukan kepada anak di studi kasus tersebut, berdasarkan
apa yang telah mereka ketahui.
Pada pertemuan kedua, terdapat 17 peserta yang hadir. Peserta diminta menjawab
beberapa pertanyaan dalam lembar kerja terkait manfaat tugas-tugas di sekolah untuk
mencapai tujuan hidup yang mulia di masa depan. Siswa kemudian diminta memikirkan
tujuan hidupnya dan menuliskan bagaimana belajar dapat membantu mereka mencapai
tujuan tersebut.
Media atau alat bantu yang digunakan dalam pelatihan berupa power point untuk
menampilkan materi dan kertas lembar kerja siswa. Pelatihan ini menggunakan berbagai
metode, yaitu: reading, studi kasus, pengerjaan tugas mandiri atau self-discovery, dan diskusi
kelompok. Pemilihan metode yang bervariasi dimaksudkan untuk memudahkan peserta
mendapatkan pembelajaran serta memudahkan fasilitator pula dalam menarik pembelajaran
terkait materi yang akan disampaikan. Selain itu, dengan adanya metode yang bervariasi,
aktivitas selama pelatihan juga lebih beragam dan diharapkan memotivasi peserta untuk
dapat terus terlibat hingga akhir pelatihan.
Instrumen
Instrumen dalam penelitian ini disiapkan untuk menjadi alat ukur pada pre-test dan
post-test. Instrumen yang digunakan adalah adalah mindset scale. Alat ukur ini
dikembangkan oleh Chrisantiana dan Sembiring (2017), mengacu pada teori Dweck (2006),
yang kemudian diadaptasi oleh Wahidah (2019) yang diujikan pada siswa SMA. Alat ukur
ini terdiri dari 20 aitem, dengan nilai koefisien α adalah 0,804. Setiap aitem memiliki empat
pilihan jawaban (1= sangat tidak setuju hingga 4= sangat setuju), menggunakan Bahasa
107
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas
Pelatihan Growth Mindset pada Siswa SMA
Indonesia. Skor yang dihasilkan merupakan skor tunggal. Semakin tinggi skor yang
diperoleh seseorang, menunjukkan semakin tinggi growth mindset yang dimiliki.
Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah analisis deskriptif dan paired sample t-test
menggunakan SPSS 26. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis demografi
partisipan dan mean nilai pre-test dan post-test. Sementara paired sample t-test digunakan
untuk untuk membandingkan rata-rata dua kelompok yang saling berpasangan. Dalam hal ini
adalah membandingkan skor rata-rata mindset scale pada partisipan yang sama dan
mengalami dua pengukuran berbeda, yaitu sebelum dan setelah diberikan program pelatihan
(Graveter & Wallnau, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data demografi partisipan ditunjukkan dalam tabel 1 berikut. Berdasarkan tabel 1,
diketahui bahwa partisipan yang diperhitungkan dalam perhitungan hanya 17 orang. Karena
hanya 17 partisipan tersebut yang mengkuti rangkaian pelatihan hingga akhir atau hadir pada
kedua pertemuan. Tiga siswa yang tidak hadir di pertemuan kedua, tidak diperhitungkan
dalam analisis ini. Mengingat untuk melihat efektivitas program pada satu sampel,
dibutuhkan partisipan yang bisa mengikuti rangkaian program dan mengisi lembar pre-test
dan post-test.
Tabel 1.
Data Demografi
Keterangan Frekuensi Persentase Persentase Kumulatif
Jenis Kelamin
Laki-Laki 9 52.94 52.94
Perempuan 8 47.06 100.00
Total 17 100.00
Kelas
XII 17 100.00 100.00
Total 17 100.00
Jurusan
IPS 4 23.53 23.53
MIPA 13 76.47 100.00
Total 17 100.00
Penelitian ini menggunakan pre-test dan post-test untuk mengetahui adanya
perubahan tingkat growth mindset dari peserta. Digunakan juga evaluasi kualitatif terkait
pelaksanaan kegiatan, konten materi yang disampaikan, metode yang dipilih, media/alat
bantu yang digunakan, dan fasilitator dalam menyampaikan materi, serta insight yang
diperoleh peserta ketika sebelum dan setelah mengikuti pelatihan. Berikut ini akan dijelaskan
lebih rinci terkait hasil penelitian.
108
Psycho Idea, Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021
Tabel 2.
Perbandingan Skor Hasil Pre-Test dan Post-Test Growth Mindset
N Mean SD SE
PRE 17 63.35 3.20 0.78
POST 17 67.12 4.88 1.18
Hasil pre-test dan post-test dari tabel 2 menunjukkan adanya perubahan tingkat growth
mindset dari peserta. Nilai rata-rata pre-test adalah 63.35 dan nilai post-test naik menjadi 67.12.
Gambar 1 menunjukkan gambaran yang lebih jelas terkait kenaikan tingkat growth mindset
peserta.
Gambar 2. Perbandingan Rata-Rata Skor Growth Mindset
Setelah dilakukan uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk, hasil pada tabel 3
menujukkan bahwa nilai p = 0.59, dimana p > 0.05. Artinya, sampel pengukuran ini terdistribusi
normal. Setelah itu, dilanjutkan dengan uji beda dari sampel berpasangan menggunakan paired
samples t-test (tabel 4).
Tabel 3.
Uji Normalitas (Shapiro-Wilk)
W p
PRE - POST 0.96 0.59
Note. Significant results suggest a deviation from normality.
Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa uji beda menggunakan paired samples t-test
menghasilkan nilai p = 0.007, dimana p < 0.05. Artinya, terdapat perbedaan rata-rata skor hasil
pre-test dan post-test. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh pelatihan growth mindset
dalam meningkatkan skor growth mindset pada siswa. Dengan kata lain, pelatihan ini efektif
dalam meningkatkan growth mindset pada siswa.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Paunesku, Dweck, Romero, Smith, Yeager, dan Walton
(2015) terhadap siswa SMA di Amerika dan penelitian Zeeb, Ostertag, dan Renkl (2020) yang
109
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas Pelatihan
Growth Mindset pada Siswa SMA
menunjukkan pengaruhnya terhadap perubahan belief siswa mengenai tugas-tugas akademik
menjadi lebih positif. Akan tetapi, ada juga penelitian yang menunjukkan hasil berbeda,
diantaranya penelitian Orosz, Peter-Szarka, Bőthe, Toth-Kir´aly dan R. Berger (2017) maupun
Sisk, Burgoyne, Sun, Butler, dan Macnamara (2018). Keduanya menunjukkan bahwa pelatihan
growth mindset kurang efektif. Salah satu alasannya adalah kurang sesuainya konteks materi yang
dipelajari siswa.
Tabel 4.
Uji Beda Paired Samples T-Test
Measure 1 Measure 2 t df p
PRE - POST -3.09 16 0.007
Hasil rata-rata skor evaluasi pelaksanaan pelatihan pada gambar 3 menunjukkan bahwa
secara umum, materi pelatihan, metode/cara yang dipilih, dan media/alat bantu yang digunakan
memperoleh rata-rata skor 3. Artinya, hal-hal tersebut bermanfaat untuk siswa. Terkait dengan
materi, materi pertemuan pertama mendapat rata-rata skor 3, artinya materi tersebut dinilai baik
atau bermanfaat. Begitu juga materi pada pertemuan kedua mendapat rata-rata skor 3. Artinya,
materi tersebut dinilai baik atau bermanfaat. Kemudian untuk fasilitator mendapatkan rata-rata
skor 4. Artinya, fasilitator pelatihan sangat bermanfaat atau sangat membantu dalam
menyampaikan materi. Keterangan hasil evaluasi selanjutnya ditampilkan pada tabel 5.
Gambar 3. Rata-Rata Skor Hasil Evaluasi
Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi pelaksanaan kegiatan ini tergolong
baik dan bermanfaat. Baik dari segi materi pelatihan pertama dan kedua, metode/cara yang dipilih,
media/alat bantu yang digunakan, dan fasilitator yang menyampaikan materi.
Tabel 5.
Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan
No Aitem Keterangan
1. Materi pelatihan secara keseluruhan Bermanfaat
a) Materi 1 : Mengenal keajaiban otak Baik
b) Materi 2: Mengenal tujuan hidup Baik
3 3 3
4
3 3
0
1
2
3
4
5
materi metode media pemateri materi 1 materi 2
R A T A - R A T A S K O R H A S I L E V A L U A S I
110
Psycho Idea, Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021
2. Metode/cara yang digunakan Bermanfaat
3. Media/alat bantu yang digunakan Bermanfaat
4. Pemateri/ fasilitator Sangat bermanfaat
Adapun insight yang diperoleh partisipan, selengkapnya dijabarkan pada tabel 6. Secara
umum, partisipan menunjukkan perubahan positif setelah mengikuti pelatihan, baik secara
pemahaman maupun penghayatan. Partisipan merasa pemahamannya terkait otak dan cara kerja
mindset bertambah. Partisipan juga bertambah keyakinan untuk mencapai tujuan/ mimpinya dan
meningkat kepercayaan dirinya. Selain itu, partisipan menjadi termotivasi untuk berubah menjadi
lebih baik dibanding kondisi saat ini dan mulai merencanakan tujuan hidupnya di masa mendatang
agar lebih terarah dan tertata.
Tabel 6.
Insight Peserta
Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan
Belum tahu tentang keajaiban otak dan bagaimana
cara berpikir/ mindset di dalam otak.
Menjadi tahu tentang keajaiban otak bahwa otak
dapat berkembang jika terus diasah dan mampu
menerapkan cara berpikir / mindset yang lebih
baik.
Beranggapan bahwa kemampuan dan karakter diri
tidak bisa berubah karena ‘inilah saya’, tidak bisa
berubah lagi.
Cara berpikir / mindset jadi berbeda, ingin
memiliki growth mindset untuk mencapai apa
yang diinginkan. Menjadi percaya bahwa karakter
bisa berubah menjadi lebih baik dengan usaha.
Kurang yakin pada kemampuan diri
Menjadi yakin bahwa dengan belajar, bekerja
keras, dan berdoa akan bisa menambah
kemampuan dan lebih percaya diri.
Memiliki mimpi besar tapi kadang lalai
mencapainya dan masih malas mengusahakan.
Belum menganggap tujuan hidup itu penting dan
perlu digambarkan dari sekarang. Belum memiliki
gambaran langkah-langkah yang dilakukan untuk
membuat tujuan hidup. Beranggapan bahwa hidup
hanya mengalir saja mengikuti takdir.
Lebih mengetahui betapa penting tujuan hidup
dan menjadikannya lebih tertata dan terarah.
Lebih termotivasi untuk mengejar mimpi,
menentukan langkah yang bisa dilakukan, dan ada
keinginan untuk mengubah kondisi saat ini
menjadi lebih baik daripada sekarang,
berkeinginan lebih keras berusaha mencapai
mimpi dan tujuan.
Mimpi, semangat, dan kepercayaan diri sempat
hilang. Belum menentukan arah dan tujuan hidup.
Mimpi, semangat, dan kepercayaan diri itu
Kembali muncul. Mulai berpikir untuk masa
depan, akan melakukan apa kemudian.
Pikiran masih terlalu labil dan belum jelas apa
yang diharapkan untuk hari esok. Belum memiliki
tekad yang besar untuk tujuan ke depan.
Pikiran menjadi lebih terbuka, fokus untuk hal hal
yang lebih baik dan memiliki tekad untuk tujuan
ke depannya.
Pelaksanaan penelitian ini memiliki beberapa faktor yang mendukung maupun
menghambat. Faktor pendukung tersebut, diantaranya: sikap sekolah yang positif sehingga
penelitian dan program pelatihan dapat terselenggara dan mendapat dukungan penuh pihak
sekolah. Selain itu, antusiasme partisipan mengikuti program dari awal hingga akhir. Meski ada
partisipan yang tidak dapat mengikuti program pada pertemuan kedua, sebagian besar siswa
lainnya tetap mengikuti. Sementara itu, faktor penghambat yang ditemukan, diantaranya: kondisi
pandemi yang membatasi peserta untuk berkerumun sehingga metode diskusi kelompok dan ice
111
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas Pelatihan
Growth Mindset pada Siswa SMA
breaking untuk mencairkan suasana kurang bisa terlaksana optimal. Hal ini membuat peserta
nampak canggung dan kurang aktif selama mengikuti sesi. Selain itu, media proyektor dan laptop
yang digunakan kurang berfungsi optimal karena gangguan teknis yang seringkali muncul
sehingga mengganggu fokus peserta ketika mendapat penjelasan materi.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Dweck (2006) bahwa mindset cenderung bisa
berubah dan berkembang. Hal ini berpotensi positif pada perkembangan individu karena siswa
dengan growth mindset yang cenderung rendah masih bisa mungkin berkembang. Dampak adanya
growth mindset bisa menjadi modal siswa agar menjadi pribadi yang gigih dalam belajar
(Haimovitz, 2017). Meski mindset yang cenderung fixed mulai terbentuk sejak kecil, tapi mindset
yang growth masih bisa ditumbuhkan (Murphy, 2008).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Paunesku, Dweck, Romero, Smith, Yeager, dan Walton
(2015) yang menunjukkan efektivitas intervensi growth mindset dalam meningkatkan growth
mindset. Growth mindset yang dipelajari, dapat mengubah belief siswa, terutama pada siswa
dengan performa yang kurang (Rattan, Savani, Chugh, & Dweck, 2015) bahkan pada siswa yang
berasal dari ekonomi rendah (Good, Aronson, & Inzlicht, 2003). Akan tetapi, hasil ini belum
menunjukkan keterkaitannya dengan prestasi akademik. Hal ini menjadi limitasi penelitian yaitu
belum adanya tindak lanjut untuk membandingkan nilai akademik partisipan pada sebelum dan
setelah intervensi. Perbedaan lainnya adalah penelitian ini dilakukan secara tatap muka, semetara
Paunesku, Dweck, Romero, Smith, Yeager, dan Walton (2015) dilakukan secara daring. Artinya,
baik tatap muka maupun daring, pelatihan ini bisa dilakukan.
Lebih jauh, pelatihan growth mindset ini dapat diajarkan melalui program sekolah
(Blackwell, Trzesniweski, & Dweck, 2007). Dalam program khusus ini siswa akan belajar bahwa
kemampuan intelektual dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu melalui usaha, strategi belajar
yang lebih baik, dan bantuan dari orang lain. Dengan growth mindset, siswa akan mengembangkan
kegigihan. Beberapa studi yang dilakukan menemukan bahwa growth mindset berpengaruh pada
kegigihan. Semakin tinggi growth mindset, semakin tinggi kegigihan siswa hingga akhirnya
mampu meningkatkan prestasi siswa (Jach, Sun, Chin, Loton, & Waters, 2017; Chrisantiana &
Sembiring, 2017; Renaud-Dubé, Guay, Talbot, Taylor, & Koestner, 2015; Zhao dkk, 2018;
Duckworth & Eskreis-Winkler, 2015; Wahidah & Royanto, 2019)
Berbagai upaya terkait perbaikan kualitas pendidikan terus dilakukan, baik terhadap guru,
sistem masuk sekolah, kurikulum, bangunan fisik sekolah, kemampuan kognitif siswa, dan
sebagainya. Hal lain yang tidak kalah penting adalah perbaikan kualitas siswa yang bersifat non-
kognitif (Polirstok, 2017) seperti growth mindset.
Guru sebagai pihak yang banyak berinteraksi dengan siswa juga dapat berkontribusi
mengembangkan growth mindset siswa, misalnya dengan memberikan pujian yang lebih
menekankan kerja keras siswa dibanding karakter bawaan siswa (Zentall & Morris, 2010;
Gunderson dkk, 2013). Bila perlu, guru juga mengedukasi siswa tentang pentingnya growth
mindset yang dapat mengembangkan kegigihan serta memotivasi siswa untuk memiliki growth
mindset dan mendapat manfaat dari growth mindset tersebut.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan 1) pengetahuan tentang mindset siswa bertambah, 2)
pengetahuan tentang pentingnya belajar dan tujuan hidup siswa bertambah, 3) pelatihan growth
mindset efektif untuk meningkatkan growth mindset pada siswa. Hal ini terlihat dari peningkatan
skor growth mindset pada siswa. Siswa pun termotivasi untuk berubah menjadi lebih baik
112
Psycho Idea, Volume 19 Nomer 01 Tahun 2021
dibanding kondisi saat ini dan mulai merencanakan tujuan hidupnya di masa mendatang agar lebih
terarah dan tertata.
Jika dilakukan pelatihan yang serupa, saran untuk penelitian selanjutnya adalah kegiatan
bisa ditambahkan berupa praktik pembuatan tujuan hidup sehingga siswa dapat langsung
menerapkan cara pembuatan tujuan hidupnya. Selain itu, penelitian selanjutnya dapat menyasar
siswa dengan dengan latar belakang atau karakterisik lain yang berbeda dan jumlah yang lebih
banyak, sehingga dapat diketahui efektivitasnya pada sampel yang berbeda. Dapat juga dilakukan
studi longitudinal untuk mengetahui perbandingan nilai akademik siswa, sebelum dan setelah
program dalam jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Blackwell, K. L., Trzesniewski, K. H., & Dweck, C. S. (2007). Implicit theories of intelligence
predict achievement across an adolescent transition: A longitudinal study and an
intervention. Child Development, 78(1), 246–263. DOI: 10.1111/j.1467-8624.2007.00995.x
Chrisantiana, T. G., & Sembiring, T. (2017). Pengaruh growth dan fixed mindset terhadap grit
pada mahasiswa fakultas psikologi universitas “X” Bandung. Humanitas (Jurnal Psikologi).
https://journal.maranatha.edu/index.php/humanitas/article/view/422
Dweck, C. (2006). Mindset : The new psychology of success. New York: Random House
G. Orosz, S. Peter-Szarka, B. Bőthe, I. Toth-Kir´aly, & R. Berger. (2017). How not to do a mindset
intervention: learning from a mindset intervention among students with good grades.
Frontiers in Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.00311
Duckworth, A. L., & Eskreis-Winkler, L. (2015). Grit. in J.D. Wright (Ed.), International
encyclopedia of the social and behavioral sciences (2nd ed.; pp.397-401). UK : Elsevier.
DOI : 10,1016/B978-0-08-097086- 8.26087-X
Graveter, F.J. & Wallnau, L.B. (2007). Statistics for the Behavioral Sciences Seventh
Gunderson, E. A., Gripshover, S. J., Romero, C., Dweck, C. S., Goldin‐Meadow, S., & Levine, S.
C. (2013). Parent praise to 1- to 3-year-olds predicts children’s motivational frameworks 5
years later. Child Development, 84(5), 1526–1541. https://doi.org/10,1111/cdev.12064
Good, C., Aronson, J., & Inzlicht, M. (2003). Improving adolescents’ standardized test
performance: An intervention to reduce the effects of stereotype threat. Journal of Applied
Developmental Psychology, 24, 645–662. https://doi.org/10.1016/j.appdev.2003.09.002
Edition. Wadsworth: Cengage Learning Haimovitz, K., Wormington, S. V., & Corpus, J. H.
(2011). Dangerous mindset s: How beliefs about intelligence predict motivational change.
Learning and Individual Differences, 21(6), 747–752.
https://doi.org/10,1016/j.lindif.2011.09.002
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta Selatan: Pengurus
Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.
Haimovitz, K. (2017). The Origins of Children’s Growth and Fixed Mindsets: New Research and
a New Proposal. Child Development, 88(6), 1849–1859. https://doi.org/10.1111/cdev.12955
Hochanadel, A., & Finamore, D. (2015). Fixed And growth mindset in education and how grit
helps students persist in the face of adversity. Journal of International Education Research
(JIER), 11(1), 47. https://doi.org/10,19030/jier.v11i1.9099
Kolb, D.A. (2015). Experiential Learning: Experience as the source of learning and development
2nd Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Laird, D., Holton, E. F., & Naquin, S. S. (2003). Approaches to training and development: revised
and updated. Basic Books
113
Fatin Rohmah Nur Wahidah, Edi Joko Setyadi, & Gisella Arnis Grafiyana. Efektivitas Pelatihan
Growth Mindset pada Siswa SMA
Murphy, L. (2008). Dangers of a fixed mindset: Implications of self-theories research for computer
science education. In Proceedings of the Conference on Integrating Technology into
Computer Science Education, ITiCSE (pp. 271–275).
https://doi.org/10.1145/1384271.1384344
Paunesku, D., Walton, G. M., Romero, C., Smith, E. N., Yeager, D. S., & Dweck, C. S. (2015).
Mind-set interventions are a scalable treatment for academic underachievement.
Psychological science, 26(6), 784-793. DOI: 10.1177/0956797615571017
Polirstok, S. (2017). Strategies to improve academic achievement in secondary school students:
Perspectives on grit and mindset. SAGE Open, 7(4), 215824401774511.
https://doi.org/10,1177/2158244017745111
Rattan, A., Savani, K., Chugh, D., & Dweck, C. S. (2015). Leveraging mindset s to promote
academic achievement: Policy recommendations. Perspectives on Psychological Science,
10(6), 721–726. https://doi.org/10,1177/1745691615599383
Renaud-Dubé, A., Guay, F., Talbot, D., Taylor, G., & Koestner, R. (2015). The relations between
implicit intelligence beliefs, autonomous academic motivation, and school persistence
intentions: a mediation model. Social Psychology of Education, 18(2), 255–272.
https://doi.org/10,1007/s11218-014-9288-0
Saunders, S. A. (2014). The impact of a growth mindset intervention on the reading achievement
of at-risk adolescent students. Dissertation Abstracts International Section A: Humanities
and Social Sciences, 74(12-A), 1-229. https://doi.org/10.18130/V3TZ8F
V. F. Sisk, A. P. Burgoyne, J. Sun, J. L. Butler, and B. N. Macnamara. (2018). To what extent and
under which circumstances are growth mind-sets important to academic achievement? Two
meta-analyses. Psychological Science, 29(4), 549–571. DOI: 10.1177/0956797617739704
Wahidah, F. R., & Royanto, L. R. (2019). Peran kegigihan dalam hubungan growth mindset dan
school well-being siswa sekolah menengah. Jurnal Psikologi TALENTA, 4(2), 133-144.
https://doi.org/10.26858/talenta.v4i2.7618
Zentall S. R,, & Morris B. J. (2010). “Good job, you’re so smart”: The effects of inconsistency of
praise type on young children’s motivation. Journal of Experimental Child Psychology;
107:155–163. doi: 10,1016/j.jecp.2010,04.015.
Zeeb, Helene & Ostertag, Julia & Renkl, Alexander. (2020). Towards a Growth Mindset Culture
in the Classroom: Implementation of a Lesson-Integrated Mindset Training. Education
Research International. 2020. 1-13. 10.1155/2020/8067619.
Zeng, G., Hou, H., & Peng, K. (2016). Effect of growth mindset on school engagement and
psychological well-being of chinese primary and middle school students: The mediating role
of resilience. Frontiers in Psychology, 7. https://doi.org/10,3389/fpsyg.2016.01873
Zhao, Y., Niu, G., Hou, H., Zeng, G., Xu, L., Peng, K., & Yu, F. (2018). From growth mindset to
grit in chinese schools: The mediating roles of learning motivations. Frontiers in Psychology,
9. https://doi.org/10,3389/fpsyg.2018.02007
114