Upload
iqbal-harziky
View
243
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aaa
Citation preview
Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral
Seyed Reza Saeidian 1; Mohammad Reza Pipelzadeh 2,*; Saleh Rasras 3; Masud Zeinali 3
1Department of Physical Medicine and Rehabilitation, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical
Sciences, Ahwaz, Iran
2Department of Anesthesia, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran
3Department of Neurosurgery, Golestan Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran
*Corresponding author: Mohammad Reza Pipelzadeh, Anesthesia Department, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz
Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran. Tel: + 98-9166167018, E-mail: [email protected], pipelzadeh-
Received: October 20, 2013; Revised: November 17, 2013; Accepted: March 7, 2014
Latar Belakang : Active Muscular Trigger Points (aMTPs) yang muncul pada nyeri menyebar
dapat mempengaruhi diagnosis dan pengobatan pada pasien yang menderita radikulopati
lumbosakral
Tujuan: Kami ingin mendiagnosis dan mengevaluasi pemberian terapi trigger point terhadap
outcome nyeri pasien dengan radikulopati lumbosakral.
Bahan dan Metode : Sebanyak 98 pasien dengan nyeri kronik dan radikulopati lumbosakral
pada L4-L5 dan L5-S1 yang merupakan calon pasien dengan terapi non-pembedahan. Semua
pasien menerima pengobatan konservatif, termasuk tirah baring, anti-inflamasi non steroid
(NSAIDs) dan fisioterapi. Pengobatan ini dilanjutkan selama seminggu. Pasien kemudian
dinilai terhadap kemunculan trigger point pada ekstremitas bawah. Pasien-pasien yang
mengalami trigger point selanjutnya dibagi ke dalam dua grup ( TP dan N). pasien pada grup
TP mendapatkan terapi berupa injeksi trigger point. Sedangkan pada grup N tidak diberikan
terapi tambahan. Skor nyeri serta tes angkat kaki / straight leg raise (SLR) test pada kedua
kelompok kemudian didata dan dianalisis pada hari ketujuh dan kesepuluh setelah pemberian
terapi. Hasilnya dilakukan analisa dengan uji t berpasangan dan uji chi-square
Hasil : dari 98 pasien, 64 mengalami trigger point. 32 pasien dikelompokkan ke masing-
masing grup. Skor nyeri (Mean ± SD) pada kelompok TP adalah 7.12 ± 1.13 dan pada
kelompok N adalah 6.7 ± 1.16, P = 0.196. setelah intervensi pengobatan dilakukan, skor nyeri
adalah 2.4 ± 1.5 pada kelompok TP dan 4.06 ± 1.76 pada kelompok N dengan P = 0.008. Uji
SLR menjadi negative pada seluruh pasien di kelompok TP dan hanya 6 (19%) pasien di
kelompok N, P = 0.001
Kesimpulan : hasil menunjukkan bahwa injeksi pada trigger point untuk pasien yang
menderita radikulopati lumbosakral kronik dengan trigger point dapat secara signifikan
meningkatkan penyembuhan, serta terapi konservatif saja tidak adekuat.
Kata Kunci: Trigger Point; radikulopati ; nyeri punggung bawah
1. Latar Belakang
Radikulopati lumbosakral merupakan keluhan yang umum pada klinik konsultasi
musculoskeletal (1). Hal ini berkembang akibat penekanan atau kerusakan pada serabut saraf
pada region tersebut, yang berakibat pada munculnya gejala-gejala klinis, seperti SLR (straight
leg raise) test yang positif (2). Penyakit-penyakit penyulit lainnya seperti herniasi diskus,
diabetes mellitus, skoliosis, osteoarthritis, penyakit rematologis, penyakit infeksi, penyakit
vascular, dan tumor (3,4). Trigger point juga merupakan nyeri muskuloskeketal hebat dengan
nodul yang dapat dipalpasi pada serat otot (5), serta nyerinya dapat berkualitas hebat dan
menyebar ke area yang luas. Terdapat beberapa gejala spesifik seperti terbatasnya ruang
gerak sendi / range of movements (ROM), nodul yang dapat dipalpasi, serta nyeri yang
menyebar (6). Gejala-gejala ini hanya muncul pada otot. Pemeriksaan fisik bukanlah satu-
satunya alat diagnostic yang dapat digunakan. Gejala lain yang mungkin muncul adalah
overload otot akut, kelelahan otot, menggigil, trauma, gangguan jantung dan organ visceral
seperti kerusakan empedu dan kolik ginjal, arthritis sendi, dan gangguan emosional (5).
Terapi utama pada radikulopati lumbosakral termasuk tirah baring, fisioterapi, dan pemberian
obat anti-inflamasi non steroid. Pasien secara umum merespon terapi dengan baik setelah 6-12
minggu. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis kemungkinan membutuhkan injeksi
steroid. Steroid dapat menurunkan tekanan dan edema pada saraf serta mengurangi nyeri.
Meskipun begitu, beberapa pasien mungkin membutuhkan pembedahan (2). Pengobatan
trigger point termasuk mioterapi (massase, penekanan dalam, dan stretching), terapi panas,
elektroterapi, terapi laser rendah (low laser), dan terapi injeksi (8,9). Nyeri akibat trigger point
terkadang mnucul pula pada radikulopati lumbosakral. Berdasarkan observasi, trigger point
adalah lebih sering terjadi pada pasien dengan radikulopati. Insidensinya adalah sebesar 51%
pada radikulopati servikal. Nyeri akibat trigger point yang aktif dapat muncul berdampingan
dengan radikulopati serta memperburuk ketidaknyamanan pada pasien.
Dengan mempertimbangkan kebutuhan diagnostic dan terapetik pada TP, dibutuhkan lebih
banyak penelitian untuk diferensiasi sumber nyeri yang saling bertumpuk ini. Lebih dari itu,
gangguan musculoskeletal lain yang menyebabkan TP dapat muncul berdampingan pula
dengan radikulopati lumbosakral. Pada kasus nyeri kombinasi, pengobatan TP aktif menjadi
penting karena terapi standar radikulopati bias jadi gagal. Pengobatan segera terhadapa TP
dapat membantu mengurangi intervensi lain yang tidak dibutuhkan serta pengurangan tindakan
diagnostic yang mahal. (10,11)
Studi ini bertujuan untuk menentukan prevalensi TP aktif yang menyertai radikulopati
lumbosakral dan mengevaluasi efek injeksi TP terhadap skor nyeri pasien dan SLR.
2. Tujuan
Meskipun studi ini tidak bertujuan untuk menilai efek reahibilatif pada penyakit diskus, hal ini
diharapkan dapat menjelaskan bahwa terapi fisik dapat mengurangi komplikasi akibat
kurangnya pergerakan.
3. Bahan dan Metode
Setelah mendapat persetujuan dari The Ethics Committee of Ahvaz Jundishapur University of
Medical Sciences, semua pasien yang dirujuk ke klinik ortopedi akibat radikulopati lumbosakral
diikutsertakan pada studi ini selama 3 tahun, serta persetujuan pasien juga diminta. Setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin, termasuk CBC, FBS, dan
ESR, serta foto x-ray lumbosakral, MRI dan EMG yang bertujuan untuk diagnosis radikulopati
lumbosakral dilakukan pada setiap pasien yang akan dipelajari. Kemudian, derajat nyeri
(menggunakan skor VAS) dan uji SLR dilakukan. SLR dianggap positif jika pasien merasakan
nyeri pada pengangkatan kaki sebesar 0-70 derajat. Apabila pengangkatan kaki tidak
memprovokasi terjadinya nyeri, maka akan dianggap sebagai SLR negative (4). Semua pasien
diperiksa dan dinilai oleh 2 orang ahli bedah saraf yang berpengalaman. Dilakukan konfirmasi
diagnosis radikulopati lumbosakral melalui foto x-ray lumbosakral dan MRI untuk
mengkonfirmasi gangguan diskus L5-S1. Lalu, pasien yang didiagnosis dengan tumor spinal,
fraktur spinal, ataupun spondilolistesis dikeluarkan dari penelitian.
Pada tahap selanjutnya, studi elektrodiagnostik (EDX) dilakukan dengan tujuan untuk menilai
permalasahan dasar pada masig-masing pasien disebabkan oleh penyakit diskus lumbosakral.
Studi ini dilakukan dengan menilai kemampuan sensorik ekstremitas bawah dan konduksi motor
neuron untuk menilai ada atau tidaknya proses polineuropati perifer, evaluasi reflex-H pada
kedua ekstremitas bawah, serta studi elektromiografi untuk menilai adductor longus, medial
head otot gastroknemius, tibialis anterior, tibialis posterior, short head pada biseps femoris, dan
otot paraspinalis lumbal pada pasien (12). Apabila EDX menunjukkan piloneuropati perifer
ataupun suatu proses miopati pada pasien, maka pasien akan dikeluarkan dari studi (2). Serta
pasien harus memiliki hasi CBC dan ESR yang normal pula untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi atau penyakit inflamasi yang disebabkan nyeri punggung bawah ( low back pain).
Selanjutnya, semua pasien dengan demam dan pasien dengan KGD puasa > 126 mg.dl juga
dikeluarkan dari studi ini.
Derajat nyeri dinilai menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dari 0 (tidak nyeri) hingga 10
(nyeri maksimum), dan melakukan uji SLR dengan perlahan-lahan mengangkat ekstremitas
bawah sambil mempertahankan ekstensi lutut (4). Semua pasien tersebut lalu dilakukan
perawatan inap / inpatient serta rehabilitasi untuk mengontrol nyeri radikuler, melakukan tirah
baring serta fisioterapi fisik, menerima edukasi penting serta untuk supervise program
penelitian. Segera setelah nyeri pasien mulai berkurang dan pasien belajar untuk menghindari
aktivitas berat (yang akan meningkatkan tekanan intradiskus), sehingga pasien dapat
melakukan hamper seluruh aktivitas hariannya, lalu pasien dapat dipulangkan dan difollow-up
setelah rawat jalan (13). Pasien lalu dinilai ada atau tidaknya TP pada ekstremitasnya.
Trigger Point didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan munculnya nyeri setelah diberikan
penekanan 2 kg/cm2 pada area yang diyakini merupakan sumber TP dan membandingkannya
pada ekstremitas kontralateral (5). Fisioterapi harian termasuk latihan aktif punggung dan
modalitas fisik lainnya seperti memberikan hot pack selama 10 menit dan stimulasi saraf
transkutan. Serta pasien menerima Na Diclofenac ( dosis 25 mg) per oral, 3mpat kali sehari
(13). Setelah 1 inggu, pasien dinilai kembali akan gejala TP-nya dan derajat nyeri pada
punggung dan ekstremitas bawah. Pasien yang tidak lagi menderita TP ataupun nyeri
dikeluarkan dari penelitian dan dipulangkan dari rumah sakit. Pasien dengan TP dan masih
mengeluhkan adanya nyeri radikulopati dikelompokkan menjadi 3 kelompok (kelompok TP dan
N).
Kelompok N menerima terapi konservatif seperti sebelumnya selama tiga ahri berturut-turut.
Kelompok TP mendapatkan injeksi pada trigger point selain terapi konservatif seperti pada
kelompok N (7,10). Injeksi yang dilkaukan dengan jarum 21G secara insersi perpendikuler pada
bagian tengah masing-masing trigger point aktif, tiga kali pada 1 sesi dengan 1ml lidocaine 2%
untuk masing-masing trigger point. Setiap pasien juga mendapatkan 1ml (40 mg) triamsinolon.
Pada pasien yang menderita trigger point lebih dari 1 titik, mendapatkan total dosis triamsinolon
yang sama sehingga obat triamsinolon diencerkan dalam lidokain. Derajat keparahan nyeri
pada kedua kelompok dibandingkan dengan uji t berpasangan. Lebih lanjut, uji SLR yang dinilai
pada hari ketujuh dan kesepuluh setelah pemberian obat dinilai dengan uji chi-square. Untuk uji
analisis digunakan software SPSS versi 19. Nilai P value <0.05 dinilai signifikan.
4. Hasil
Gambaran MRI pada 2 pasien menunjukkan adanya tumor pada tulang belakang, sehingga
keduanya dieksklusikan dari penelitian. Sejumlah 98 pasien dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Enam puluh empat (65%) dari pasien tersebut memiliki criteria trigger point sehingga dilanjutkan
dalam studi. Dua kelompok studi lalu dibentuk dengan mempertimbangkan criteria demografis
serta usia, jenis kelamin, dan durasi nyeri (Tabel 1). Secara umum, seluruh 204 trigger point
yang dimiliki pasien dilakukan injeksi. Jumlah rata-rata trigger point pada masing-masing pasien
adalah 3 ± 1. Otot yang lebih umum terkena pada pasien ditunjukkan pada table 1. Temuan
EDX pada pasien menunjukkan kecocokan dengan gambaran klinis pada gangguan serabut
saraf L5-S1. Konduksi saraf pada ekstremitas bawah pasien adalah dalam batas normal, yang
akan mengeksklusikan adanya polineuropati perifer. Enam puluh tiga pasien menunjukkan
abnormalitas reflex-H yang membuktikan adanya lesi pada serabut S1. Semua pasien
menunjukkan adanya abnormalitas elektromiografi pada ekstremitas bawah dan otot
paraspinalis. Nilai rata-rata dan standar deviasi terhadap lama perawatan pasien adalah 5 ± 2
hari. Total dosis Na Diklofenak adalah 900 mg untuk masing-masing pasien selama 9 hari
berturut-turut. Total volume injeksi Xylocaine 2% adalah 204 ml. pada hari ketujuh, skor nyeri
adalah 6.7 ± 1.16 pada kelompok TP dan 7.12 ± 1.13 pada kelompok N. pada hari kesepuluh,
kelompok TP memiliki skor nyeri rata-rata 2.4 ± 1.5 dibandingkan kelompok N 4.06 ± 1.76 (P <
0.008). lebih lanjut, semua pasien di kelompok TP memiliki hasil uji SLR negative sedangkan
hanya 6 pasien (19%) pada grup N yang tidak lagi menghasilkan SLR positif (P < 0.01).
Table 1. Data Demografis Pasien Berdasarkan Kelompok a,b
Durasi Nyeri, d Rasio Pria/Wanita Usia, y Kelompok
57 ± 36 1.28 49.1 ± 13.4 N
55 ± 37 1.21 46 ± 13 TP
0.77 0.54 0.33 P Value
a data ditunjukkan sebagai Mean ± SD.
b Data demografis: tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup.
5. Diskusi
Trigger point merupakan gejala yang wajar pada gangguan skeletal dengan nyeri. Hal ini
mengikuti stimulasi mekanis maupun neurologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi
trigger pount berkala dapat memberikan prognosis yang lebih baik dan merupakan factor
penting dalam pengobatan radikulopati lumbosakral kronik. Skor nyeri menjadi lebih rendah dan
uji SLR menjadi lebih baik. Kegagalan terapi TP dapat berujung pada kekakuan otot dan
pembatasan gerak, serta dapat meningkatkan kecacatan dan memperparah penyakit dasar.
Pada suti ini, 65% radikulopati lumbosakral memiliki trigger point yang aktif, yang juga lebih
tinggi dari penelitian sebelumnya (8,11). Pasien yang mendapatkan injeksi TP mendapatkan
skor nyeri yang lebih rendah dan perbaikan SLR hampir sepenuhnya. Koeksistensi trigger point
dan berbagai penyakit musculoskeletal dengan nyeri telah banyak dilaporkan (12,13). Meskipun
begitu, signifikansi terapi trigger point baru ditunjukkan pada penelitian ini.
Enam puluh lima persen pasien mengalami trigger point di ekstremitas bawah, di mana angka
ini lebih tinggi dibandingkan laporan-laporan sebelumnya (7,11). Penting pula untuk mengingat
bahwa SLR positif mungkin muncul karena trigger point aktif, yang mengubah signifikansi
diagnostic. Kekakuan otot akibat nyeri trigger point yang aktif dan penurunan ruang gerak dapat
menjadi komorbid yang mengganggu pengobatan radikulopati. Kecacatan dapat pula terjadi
akibat sensitisasi sentral atau gangguan sirkulasi jaringan local (14,15). Dengan kata lain,
trigger point dapat menginduksi sensitisasi sentral dan sindrom nyeri kronik.
Dapat dinilai pada penelitian sebelumnya bahwa produksi protein kalsitonin menurun
sehubungan injeksi trigger point. Substansi ini bertanggungjawab dalam menyebabkan proses
sensitisasi sentral (16). Trigger point yang dihasilkan akibat inflamasi kronik tidak dinilai secara
spesifik pada penelitian ini. Hal ini dapat menjadi factor pembatas. Craig menunjukkan bahwa
hasil uji SLR dapat dipengaruhi oleh determinan-determinan seperti stabilitas tulang lumbar,
bracing pelvic-abdomen, dan aktivasi muskulatur di bawah tulang spinal (17). Tujuan
pengobatan pada manajemen konservatif radikulopati lumbosakral adalah untuk mengurangi
inflamasi, menurunkan nyeri, dan memperbaiki kerusakan pada serabut-serabut saraf yang
terkena. Meskipun tirah baring merupakan bagian penting pada pengobatan nonoperatif, tirah
baring yang diperlama tidak lagi disarankan dan hanya direkomendasikan untuk kontrol gejala.
Selama pasien telah diberikan edukasi untuk mengurangi aktivitas berat, yang akan meningkat
peningkatan tekanan intradiskus, pasien akan dapat melakukan sebagian besar kegiatan
hariannya. Satu studi menunjukkan efek dari 14 hari terapi tirah baring horizontal,
menyebabkan tubuh lebih sulit digerakkan, dan perubahan parameter pergerakan tubuh serta
fungsi lutut. (18) Penelitian lain menunjukkan tirah baring masih menjadi bagian penting dalam
rehabilitasi pasien yang menderita penyakit diskus degenerative (13). Trigger point seringkali
dijumpai pada pasieni yang menderita radikulopati lumbosakral dan penilaian awal serta
pengobatannya dapat memperbaiki keadaan nyeri dan pergerakan pasien, serta outcome
kesehatan pasien. Injeksi pada trigger point dinilai sebagai terapi adjuvant yang baik apabila
trigger point ini berkoeksistensi dengan radikulopati.
References
1. Konstantinovic LM, Kanjuh ZM, Milovanovic AN, Cutovic MR, Djurovic AG, Savic VG, et al.
Acute low back pain with radiculopathy: a double-blind, randomized, placebo-controlled
study. Photomed Laser Surg. 2010;28(4):553–60.
2. Bratt JM, Franzi LM, Linderholm AL, O'Roark EM, Kenyon NJ, Last JA. Arginase inhibition in
airways from normal and nitric oxide synthase 2-knockout mice exposed to ovalbumin.
Toxicol Appl Pharmacol. 2010;242(1):1–8.
3. Love JG. The Differential Diagnosis of Intraspinal Tumors and Protruded Intervertebral Disks
and Their Surgical Treatment*. Neurosurg J. 1944;1(4):275–90.
4. Canbulat N, Sasani M, Ataker Y, Oktenoglu T, Berker N, Ercelen O, et al. A rehabilitation
protocol for patients with lumbar degenerative disk disease treated with lumbar total disk
replacement. Arch Phys Med Rehabil. 2011;92(4):670–6.
5. Travell J, Simons D. General issues. In: Lippincott Williams editor. Myfascial pain and
dysfunction the Trigger Point Manual.. USA; 1992.
6. Travell J, Simons D. Background and principles. In: Lippincott Williams editor. Myfascial pain
and dysfunction the Trigger Point Manual.. USA; 1992. pp. 5–44.
7. Lucas N, Macaskill P, Irwig L, Moran R, Bogduk N. Reliability of physical examination for
diagnosis of myofascial trigger points:
8. Shah JP, Danoff JV, Desai MJ, Parikh S, Nakamura LY, Phillips TM, et al. Biochemicals
associated with pain and inflammation are elevated in sites near to and remote from active
myofascial trigger points. Arch Phys Med Rehabil. 2008;89(1):16–23.
9. Lauder TD. Musculoskeletal disorders that frequently mimic radiculopathy. Phys Med Rehabil
Cl North America. 2002;13(3):469–85.
10. Cannon DE, Dillingham TR, Miao H, Andary MT, Pezzin LE. Musculoskeletal disorders in
referrals for suspected lumbosacral radiculopathy. Am J Phys Med Rehabil. 2007;86(12):957–
61.
11. Sari H, Akarirmak U, Uludag M. Active myofascial trigger points might be more frequent in
patients with cervical radiculopathy. Eur J Phys Rehabil Med. 2012;48(2):237–44.
12. de Oliveira RA, de Andrade DC, Machado AG, Teixeira MJ. Central poststroke pain:
somatosensory abnormalities and the presence of associated myofascial pain syndrome. BMC
Neurol. 2012;12:89.
13. O'Neill S, Manniche C, Graven-Nielsen T, Arendt-Nielsen L. Generalized deep-tissue
hyperalgesia in patients with chronic low-back pain. Eur J Pain. 2007;11(4):415–20.
14. Sikdar S, Ortiz R, Gebreab T, Gerber LH, Shah JP. Understanding the vascular environment
of myofascial trigger points using ultrasonic imaging and computational modeling. Conf Proc
IEEE Eng Med Biol Soc. 2010;2010:5302–5.
15. Grinnell AD, Chen BM, Kashani A, Lin J, Suzuki K, Kidokoro Y. The role of integrins in the
modulation of neurotransmitter release from motor nerve terminals by stretch and hypertonicity.
J Neurocytol. 2003;32(5-8):489–503.
16. Venancio R. A, Alencar FG, Zamperini C. Different substances and dry-needling injections
in patients with myofascial pain and headaches. Cranio. 2008;26(2):96–103.
17. Liebenson C, Karpowicz AM, Brown SH, Howarth SJ, McGill SM. The active straight leg
raise test and lumbar spine stability. PM R. 2009;1(6):530–5.
18. Sarabon N, Rosker J. Effect of 14 days of bed rest in older adults on parameters of the body
sway and on the local ankle function. J Electromyogr Kinesiol. 2013;23(6):1505–11.