12
Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral Seyed Reza Saeidian 1; Mohammad Reza Pipelzadeh 2,*; Saleh Rasras 3; Masud Zeinali 3 1Department of Physical Medicine and Rehabilitation, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran 2Department of Anesthesia, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran 3Department of Neurosurgery, Golestan Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran *Corresponding author: Mohammad Reza Pipelzadeh, Anesthesia Department, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran. Tel: + 98-9166167018, E-mail: [email protected], [email protected] Received: October 20, 2013; Revised: November 17, 2013; Accepted: March 7, 2014 Latar Belakang : Active Muscular Trigger Points (aMTPs) yang muncul pada nyeri menyebar dapat mempengaruhi diagnosis dan pengobatan pada pasien yang menderita radikulopati lumbosakral Tujuan: Kami ingin mendiagnosis dan mengevaluasi pemberian terapi trigger point terhadap outcome nyeri pasien dengan radikulopati lumbosakral. Bahan dan Metode : Sebanyak 98 pasien dengan nyeri kronik dan radikulopati lumbosakral pada L4-L5 dan L5-S1 yang merupakan calon pasien dengan terapi non-pembedahan. Semua pasien menerima pengobatan konservatif, termasuk tirah baring, anti-inflamasi non steroid (NSAIDs) dan fisioterapi. Pengobatan ini dilanjutkan selama seminggu. Pasien kemudian dinilai terhadap kemunculan trigger point pada ekstremitas bawah. Pasien-pasien yang mengalami trigger point selanjutnya dibagi ke dalam dua grup ( TP dan N). pasien pada grup TP mendapatkan terapi berupa injeksi trigger point. Sedangkan pada grup N tidak diberikan terapi tambahan. Skor nyeri serta tes angkat kaki / straight leg raise (SLR) test pada kedua kelompok kemudian didata dan dianalisis pada hari ketujuh dan kesepuluh setelah pemberian terapi. Hasilnya dilakukan analisa dengan uji t berpasangan

Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

Page 1: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

Seyed Reza Saeidian 1; Mohammad Reza Pipelzadeh 2,*; Saleh Rasras 3; Masud Zeinali 3

1Department of Physical Medicine and Rehabilitation, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical

Sciences, Ahwaz, Iran

2Department of Anesthesia, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran

3Department of Neurosurgery, Golestan Hospital, Ahvaz Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran

*Corresponding author: Mohammad Reza Pipelzadeh, Anesthesia Department, Imam Khomeini Hospital, Ahvaz

Jundishapur University of Medical Sciences, Ahwaz, Iran. Tel: + 98-9166167018, E-mail: [email protected], pipelzadeh-

[email protected]

Received: October 20, 2013; Revised: November 17, 2013; Accepted: March 7, 2014

Latar Belakang : Active Muscular Trigger Points (aMTPs) yang muncul pada nyeri menyebar

dapat mempengaruhi diagnosis dan pengobatan pada pasien yang menderita radikulopati

lumbosakral

Tujuan: Kami ingin mendiagnosis dan mengevaluasi pemberian terapi trigger point terhadap

outcome nyeri pasien dengan radikulopati lumbosakral.

Bahan dan Metode : Sebanyak 98 pasien dengan nyeri kronik dan radikulopati lumbosakral

pada L4-L5 dan L5-S1 yang merupakan calon pasien dengan terapi non-pembedahan. Semua

pasien menerima pengobatan konservatif, termasuk tirah baring, anti-inflamasi non steroid

(NSAIDs) dan fisioterapi. Pengobatan ini dilanjutkan selama seminggu. Pasien kemudian

dinilai terhadap kemunculan trigger point pada ekstremitas bawah. Pasien-pasien yang

mengalami trigger point selanjutnya dibagi ke dalam dua grup ( TP dan N). pasien pada grup

TP mendapatkan terapi berupa injeksi trigger point. Sedangkan pada grup N tidak diberikan

terapi tambahan. Skor nyeri serta tes angkat kaki / straight leg raise (SLR) test pada kedua

kelompok kemudian didata dan dianalisis pada hari ketujuh dan kesepuluh setelah pemberian

terapi. Hasilnya dilakukan analisa dengan uji t berpasangan dan uji chi-square

Hasil : dari 98 pasien, 64 mengalami trigger point. 32 pasien dikelompokkan ke masing-

masing grup. Skor nyeri (Mean ± SD) pada kelompok TP adalah 7.12 ± 1.13 dan pada

kelompok N adalah 6.7 ± 1.16, P = 0.196. setelah intervensi pengobatan dilakukan, skor nyeri

adalah 2.4 ± 1.5 pada kelompok TP dan 4.06 ± 1.76 pada kelompok N dengan P = 0.008. Uji

SLR menjadi negative pada seluruh pasien di kelompok TP dan hanya 6 (19%) pasien di

kelompok N, P = 0.001

Kesimpulan : hasil menunjukkan bahwa injeksi pada trigger point untuk pasien yang

menderita radikulopati lumbosakral kronik dengan trigger point dapat secara signifikan

meningkatkan penyembuhan, serta terapi konservatif saja tidak adekuat.

Kata Kunci: Trigger Point; radikulopati ; nyeri punggung bawah

Page 2: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

1. Latar Belakang

Radikulopati lumbosakral merupakan keluhan yang umum pada klinik konsultasi

musculoskeletal (1). Hal ini berkembang akibat penekanan atau kerusakan pada serabut saraf

pada region tersebut, yang berakibat pada munculnya gejala-gejala klinis, seperti SLR (straight

leg raise) test yang positif (2). Penyakit-penyakit penyulit lainnya seperti herniasi diskus,

diabetes mellitus, skoliosis, osteoarthritis, penyakit rematologis, penyakit infeksi, penyakit

vascular, dan tumor (3,4). Trigger point juga merupakan nyeri muskuloskeketal hebat dengan

nodul yang dapat dipalpasi pada serat otot (5), serta nyerinya dapat berkualitas hebat dan

menyebar ke area yang luas. Terdapat beberapa gejala spesifik seperti terbatasnya ruang

gerak sendi / range of movements (ROM), nodul yang dapat dipalpasi, serta nyeri yang

menyebar (6). Gejala-gejala ini hanya muncul pada otot. Pemeriksaan fisik bukanlah satu-

satunya alat diagnostic yang dapat digunakan. Gejala lain yang mungkin muncul adalah

overload otot akut, kelelahan otot, menggigil, trauma, gangguan jantung dan organ visceral

seperti kerusakan empedu dan kolik ginjal, arthritis sendi, dan gangguan emosional (5).

Terapi utama pada radikulopati lumbosakral termasuk tirah baring, fisioterapi, dan pemberian

obat anti-inflamasi non steroid. Pasien secara umum merespon terapi dengan baik setelah 6-12

minggu. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis kemungkinan membutuhkan injeksi

steroid. Steroid dapat menurunkan tekanan dan edema pada saraf serta mengurangi nyeri.

Meskipun begitu, beberapa pasien mungkin membutuhkan pembedahan (2). Pengobatan

trigger point termasuk mioterapi (massase, penekanan dalam, dan stretching), terapi panas,

elektroterapi, terapi laser rendah (low laser), dan terapi injeksi (8,9). Nyeri akibat trigger point

terkadang mnucul pula pada radikulopati lumbosakral. Berdasarkan observasi, trigger point

adalah lebih sering terjadi pada pasien dengan radikulopati. Insidensinya adalah sebesar 51%

pada radikulopati servikal. Nyeri akibat trigger point yang aktif dapat muncul berdampingan

dengan radikulopati serta memperburuk ketidaknyamanan pada pasien.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan diagnostic dan terapetik pada TP, dibutuhkan lebih

banyak penelitian untuk diferensiasi sumber nyeri yang saling bertumpuk ini. Lebih dari itu,

gangguan musculoskeletal lain yang menyebabkan TP dapat muncul berdampingan pula

dengan radikulopati lumbosakral. Pada kasus nyeri kombinasi, pengobatan TP aktif menjadi

penting karena terapi standar radikulopati bias jadi gagal. Pengobatan segera terhadapa TP

dapat membantu mengurangi intervensi lain yang tidak dibutuhkan serta pengurangan tindakan

diagnostic yang mahal. (10,11)

Page 3: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

Studi ini bertujuan untuk menentukan prevalensi TP aktif yang menyertai radikulopati

lumbosakral dan mengevaluasi efek injeksi TP terhadap skor nyeri pasien dan SLR.

2. Tujuan

Meskipun studi ini tidak bertujuan untuk menilai efek reahibilatif pada penyakit diskus, hal ini

diharapkan dapat menjelaskan bahwa terapi fisik dapat mengurangi komplikasi akibat

kurangnya pergerakan.

3. Bahan dan Metode

Setelah mendapat persetujuan dari The Ethics Committee of Ahvaz Jundishapur University of

Medical Sciences, semua pasien yang dirujuk ke klinik ortopedi akibat radikulopati lumbosakral

diikutsertakan pada studi ini selama 3 tahun, serta persetujuan pasien juga diminta. Setelah

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin, termasuk CBC, FBS, dan

ESR, serta foto x-ray lumbosakral, MRI dan EMG yang bertujuan untuk diagnosis radikulopati

lumbosakral dilakukan pada setiap pasien yang akan dipelajari. Kemudian, derajat nyeri

(menggunakan skor VAS) dan uji SLR dilakukan. SLR dianggap positif jika pasien merasakan

nyeri pada pengangkatan kaki sebesar 0-70 derajat. Apabila pengangkatan kaki tidak

memprovokasi terjadinya nyeri, maka akan dianggap sebagai SLR negative (4). Semua pasien

diperiksa dan dinilai oleh 2 orang ahli bedah saraf yang berpengalaman. Dilakukan konfirmasi

diagnosis radikulopati lumbosakral melalui foto x-ray lumbosakral dan MRI untuk

mengkonfirmasi gangguan diskus L5-S1. Lalu, pasien yang didiagnosis dengan tumor spinal,

fraktur spinal, ataupun spondilolistesis dikeluarkan dari penelitian.

Pada tahap selanjutnya, studi elektrodiagnostik (EDX) dilakukan dengan tujuan untuk menilai

permalasahan dasar pada masig-masing pasien disebabkan oleh penyakit diskus lumbosakral.

Studi ini dilakukan dengan menilai kemampuan sensorik ekstremitas bawah dan konduksi motor

neuron untuk menilai ada atau tidaknya proses polineuropati perifer, evaluasi reflex-H pada

kedua ekstremitas bawah, serta studi elektromiografi untuk menilai adductor longus, medial

head otot gastroknemius, tibialis anterior, tibialis posterior, short head pada biseps femoris, dan

otot paraspinalis lumbal pada pasien (12). Apabila EDX menunjukkan piloneuropati perifer

ataupun suatu proses miopati pada pasien, maka pasien akan dikeluarkan dari studi (2). Serta

pasien harus memiliki hasi CBC dan ESR yang normal pula untuk menyingkirkan kemungkinan

infeksi atau penyakit inflamasi yang disebabkan nyeri punggung bawah ( low back pain).

Selanjutnya, semua pasien dengan demam dan pasien dengan KGD puasa > 126 mg.dl juga

dikeluarkan dari studi ini.

Page 4: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

Derajat nyeri dinilai menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dari 0 (tidak nyeri) hingga 10

(nyeri maksimum), dan melakukan uji SLR dengan perlahan-lahan mengangkat ekstremitas

bawah sambil mempertahankan ekstensi lutut (4). Semua pasien tersebut lalu dilakukan

perawatan inap / inpatient serta rehabilitasi untuk mengontrol nyeri radikuler, melakukan tirah

baring serta fisioterapi fisik, menerima edukasi penting serta untuk supervise program

penelitian. Segera setelah nyeri pasien mulai berkurang dan pasien belajar untuk menghindari

aktivitas berat (yang akan meningkatkan tekanan intradiskus), sehingga pasien dapat

melakukan hamper seluruh aktivitas hariannya, lalu pasien dapat dipulangkan dan difollow-up

setelah rawat jalan (13). Pasien lalu dinilai ada atau tidaknya TP pada ekstremitasnya.

Trigger Point didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan munculnya nyeri setelah diberikan

penekanan 2 kg/cm2 pada area yang diyakini merupakan sumber TP dan membandingkannya

pada ekstremitas kontralateral (5). Fisioterapi harian termasuk latihan aktif punggung dan

modalitas fisik lainnya seperti memberikan hot pack selama 10 menit dan stimulasi saraf

transkutan. Serta pasien menerima Na Diclofenac ( dosis 25 mg) per oral, 3mpat kali sehari

(13). Setelah 1 inggu, pasien dinilai kembali akan gejala TP-nya dan derajat nyeri pada

punggung dan ekstremitas bawah. Pasien yang tidak lagi menderita TP ataupun nyeri

dikeluarkan dari penelitian dan dipulangkan dari rumah sakit. Pasien dengan TP dan masih

mengeluhkan adanya nyeri radikulopati dikelompokkan menjadi 3 kelompok (kelompok TP dan

N).

Kelompok N menerima terapi konservatif seperti sebelumnya selama tiga ahri berturut-turut.

Kelompok TP mendapatkan injeksi pada trigger point selain terapi konservatif seperti pada

kelompok N (7,10). Injeksi yang dilkaukan dengan jarum 21G secara insersi perpendikuler pada

bagian tengah masing-masing trigger point aktif, tiga kali pada 1 sesi dengan 1ml lidocaine 2%

untuk masing-masing trigger point. Setiap pasien juga mendapatkan 1ml (40 mg) triamsinolon.

Pada pasien yang menderita trigger point lebih dari 1 titik, mendapatkan total dosis triamsinolon

yang sama sehingga obat triamsinolon diencerkan dalam lidokain. Derajat keparahan nyeri

pada kedua kelompok dibandingkan dengan uji t berpasangan. Lebih lanjut, uji SLR yang dinilai

pada hari ketujuh dan kesepuluh setelah pemberian obat dinilai dengan uji chi-square. Untuk uji

analisis digunakan software SPSS versi 19. Nilai P value <0.05 dinilai signifikan.

4. Hasil

Gambaran MRI pada 2 pasien menunjukkan adanya tumor pada tulang belakang, sehingga

keduanya dieksklusikan dari penelitian. Sejumlah 98 pasien dimasukkan ke dalam penelitian ini.

Enam puluh empat (65%) dari pasien tersebut memiliki criteria trigger point sehingga dilanjutkan

Page 5: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

dalam studi. Dua kelompok studi lalu dibentuk dengan mempertimbangkan criteria demografis

serta usia, jenis kelamin, dan durasi nyeri (Tabel 1). Secara umum, seluruh 204 trigger point

yang dimiliki pasien dilakukan injeksi. Jumlah rata-rata trigger point pada masing-masing pasien

adalah 3 ± 1. Otot yang lebih umum terkena pada pasien ditunjukkan pada table 1. Temuan

EDX pada pasien menunjukkan kecocokan dengan gambaran klinis pada gangguan serabut

saraf L5-S1. Konduksi saraf pada ekstremitas bawah pasien adalah dalam batas normal, yang

akan mengeksklusikan adanya polineuropati perifer. Enam puluh tiga pasien menunjukkan

abnormalitas reflex-H yang membuktikan adanya lesi pada serabut S1. Semua pasien

menunjukkan adanya abnormalitas elektromiografi pada ekstremitas bawah dan otot

paraspinalis. Nilai rata-rata dan standar deviasi terhadap lama perawatan pasien adalah 5 ± 2

hari. Total dosis Na Diklofenak adalah 900 mg untuk masing-masing pasien selama 9 hari

berturut-turut. Total volume injeksi Xylocaine 2% adalah 204 ml. pada hari ketujuh, skor nyeri

adalah 6.7 ± 1.16 pada kelompok TP dan 7.12 ± 1.13 pada kelompok N. pada hari kesepuluh,

kelompok TP memiliki skor nyeri rata-rata 2.4 ± 1.5 dibandingkan kelompok N 4.06 ± 1.76 (P <

0.008). lebih lanjut, semua pasien di kelompok TP memiliki hasil uji SLR negative sedangkan

hanya 6 pasien (19%) pada grup N yang tidak lagi menghasilkan SLR positif (P < 0.01).

Table 1. Data Demografis Pasien Berdasarkan Kelompok a,b

Durasi Nyeri, d Rasio Pria/Wanita Usia, y Kelompok

57 ± 36 1.28 49.1 ± 13.4 N

55 ± 37 1.21 46 ± 13 TP

0.77 0.54 0.33 P Value

a data ditunjukkan sebagai Mean ± SD.

b Data demografis: tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup.

5. Diskusi

Trigger point merupakan gejala yang wajar pada gangguan skeletal dengan nyeri. Hal ini

mengikuti stimulasi mekanis maupun neurologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi

trigger pount berkala dapat memberikan prognosis yang lebih baik dan merupakan factor

penting dalam pengobatan radikulopati lumbosakral kronik. Skor nyeri menjadi lebih rendah dan

uji SLR menjadi lebih baik. Kegagalan terapi TP dapat berujung pada kekakuan otot dan

pembatasan gerak, serta dapat meningkatkan kecacatan dan memperparah penyakit dasar.

Pada suti ini, 65% radikulopati lumbosakral memiliki trigger point yang aktif, yang juga lebih

tinggi dari penelitian sebelumnya (8,11). Pasien yang mendapatkan injeksi TP mendapatkan

skor nyeri yang lebih rendah dan perbaikan SLR hampir sepenuhnya. Koeksistensi trigger point

Page 6: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

dan berbagai penyakit musculoskeletal dengan nyeri telah banyak dilaporkan (12,13). Meskipun

begitu, signifikansi terapi trigger point baru ditunjukkan pada penelitian ini.

Enam puluh lima persen pasien mengalami trigger point di ekstremitas bawah, di mana angka

ini lebih tinggi dibandingkan laporan-laporan sebelumnya (7,11). Penting pula untuk mengingat

bahwa SLR positif mungkin muncul karena trigger point aktif, yang mengubah signifikansi

diagnostic. Kekakuan otot akibat nyeri trigger point yang aktif dan penurunan ruang gerak dapat

menjadi komorbid yang mengganggu pengobatan radikulopati. Kecacatan dapat pula terjadi

akibat sensitisasi sentral atau gangguan sirkulasi jaringan local (14,15). Dengan kata lain,

trigger point dapat menginduksi sensitisasi sentral dan sindrom nyeri kronik.

Dapat dinilai pada penelitian sebelumnya bahwa produksi protein kalsitonin menurun

sehubungan injeksi trigger point. Substansi ini bertanggungjawab dalam menyebabkan proses

sensitisasi sentral (16). Trigger point yang dihasilkan akibat inflamasi kronik tidak dinilai secara

spesifik pada penelitian ini. Hal ini dapat menjadi factor pembatas. Craig menunjukkan bahwa

hasil uji SLR dapat dipengaruhi oleh determinan-determinan seperti stabilitas tulang lumbar,

bracing pelvic-abdomen, dan aktivasi muskulatur di bawah tulang spinal (17). Tujuan

pengobatan pada manajemen konservatif radikulopati lumbosakral adalah untuk mengurangi

inflamasi, menurunkan nyeri, dan memperbaiki kerusakan pada serabut-serabut saraf yang

terkena. Meskipun tirah baring merupakan bagian penting pada pengobatan nonoperatif, tirah

baring yang diperlama tidak lagi disarankan dan hanya direkomendasikan untuk kontrol gejala.

Selama pasien telah diberikan edukasi untuk mengurangi aktivitas berat, yang akan meningkat

peningkatan tekanan intradiskus, pasien akan dapat melakukan sebagian besar kegiatan

hariannya. Satu studi menunjukkan efek dari 14 hari terapi tirah baring horizontal,

menyebabkan tubuh lebih sulit digerakkan, dan perubahan parameter pergerakan tubuh serta

fungsi lutut. (18) Penelitian lain menunjukkan tirah baring masih menjadi bagian penting dalam

rehabilitasi pasien yang menderita penyakit diskus degenerative (13). Trigger point seringkali

dijumpai pada pasieni yang menderita radikulopati lumbosakral dan penilaian awal serta

pengobatannya dapat memperbaiki keadaan nyeri dan pergerakan pasien, serta outcome

kesehatan pasien. Injeksi pada trigger point dinilai sebagai terapi adjuvant yang baik apabila

trigger point ini berkoeksistensi dengan radikulopati.

Page 7: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

References

1. Konstantinovic LM, Kanjuh ZM, Milovanovic AN, Cutovic MR, Djurovic AG, Savic VG, et al.

Acute low back pain with radiculopathy: a double-blind, randomized, placebo-controlled

study. Photomed Laser Surg. 2010;28(4):553–60.

2. Bratt JM, Franzi LM, Linderholm AL, O'Roark EM, Kenyon NJ, Last JA. Arginase inhibition in

airways from normal and nitric oxide synthase 2-knockout mice exposed to ovalbumin.

Toxicol Appl Pharmacol. 2010;242(1):1–8.

3. Love JG. The Differential Diagnosis of Intraspinal Tumors and Protruded Intervertebral Disks

and Their Surgical Treatment*. Neurosurg J. 1944;1(4):275–90.

4. Canbulat N, Sasani M, Ataker Y, Oktenoglu T, Berker N, Ercelen O, et al. A rehabilitation

protocol for patients with lumbar degenerative disk disease treated with lumbar total disk

replacement. Arch Phys Med Rehabil. 2011;92(4):670–6.

5. Travell J, Simons D. General issues. In: Lippincott Williams editor. Myfascial pain and

dysfunction the Trigger Point Manual.. USA; 1992.

6. Travell J, Simons D. Background and principles. In: Lippincott Williams editor. Myfascial pain

and dysfunction the Trigger Point Manual.. USA; 1992. pp. 5–44.

7. Lucas N, Macaskill P, Irwig L, Moran R, Bogduk N. Reliability of physical examination for

diagnosis of myofascial trigger points:

8. Shah JP, Danoff JV, Desai MJ, Parikh S, Nakamura LY, Phillips TM, et al. Biochemicals

associated with pain and inflammation are elevated in sites near to and remote from active

myofascial trigger points. Arch Phys Med Rehabil. 2008;89(1):16–23.

9. Lauder TD. Musculoskeletal disorders that frequently mimic radiculopathy. Phys Med Rehabil

Cl North America. 2002;13(3):469–85.

10. Cannon DE, Dillingham TR, Miao H, Andary MT, Pezzin LE. Musculoskeletal disorders in

referrals for suspected lumbosacral radiculopathy. Am J Phys Med Rehabil. 2007;86(12):957–

61.

11. Sari H, Akarirmak U, Uludag M. Active myofascial trigger points might be more frequent in

patients with cervical radiculopathy. Eur J Phys Rehabil Med. 2012;48(2):237–44.

12. de Oliveira RA, de Andrade DC, Machado AG, Teixeira MJ. Central poststroke pain:

somatosensory abnormalities and the presence of associated myofascial pain syndrome. BMC

Neurol. 2012;12:89.

13. O'Neill S, Manniche C, Graven-Nielsen T, Arendt-Nielsen L. Generalized deep-tissue

hyperalgesia in patients with chronic low-back pain. Eur J Pain. 2007;11(4):415–20.

Page 8: Efek Injeksi Trigger Point Pada Sumber Radikulopati Lumbosakral

14. Sikdar S, Ortiz R, Gebreab T, Gerber LH, Shah JP. Understanding the vascular environment

of myofascial trigger points using ultrasonic imaging and computational modeling. Conf Proc

IEEE Eng Med Biol Soc. 2010;2010:5302–5.

15. Grinnell AD, Chen BM, Kashani A, Lin J, Suzuki K, Kidokoro Y. The role of integrins in the

modulation of neurotransmitter release from motor nerve terminals by stretch and hypertonicity.

J Neurocytol. 2003;32(5-8):489–503.

16. Venancio R. A, Alencar FG, Zamperini C. Different substances and dry-needling injections

in patients with myofascial pain and headaches. Cranio. 2008;26(2):96–103.

17. Liebenson C, Karpowicz AM, Brown SH, Howarth SJ, McGill SM. The active straight leg

raise test and lumbar spine stability. PM R. 2009;1(6):530–5.

18. Sarabon N, Rosker J. Effect of 14 days of bed rest in older adults on parameters of the body

sway and on the local ankle function. J Electromyogr Kinesiol. 2013;23(6):1505–11.