5
Giffari Rizki R 5V/18 Kebudayaan Menurut Durkheim Durkheim memiliki teori perubahan sosial dan kebudayaan Masyarakat. Teori Emile Durkheim di dalam perubahan sosial budaya masyarakat meliputi pembagian kerja dan solidaritas sosial. Ia memusatkan pada aspek solidaritas sosial serta proses evolusi social. Pemikiran Durkheim didasari pada gejala sosial yang terjadi pada masa revolusi Industri di Inggris, ia mengamati perubahan sosial dari masyarakat primitive(tradisional) menuju masyarakat Industri. Aspek yang menjadi perhatian Durkheim adalah pada pembagian kerja dalam kedua tipe masyarakat tersebut. Menurutnya, pembagian kerja pada masyarakat primitive (masyarakat tradisional) masih sangat sedikit, sedangkan pada masyarakat Industri, pembagian kerjanya sangat kompleks. Faktor utama yang menyebabkan perubahan bentuk pembagian kerja tersebut menurut Durkheim adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kepadatan moral yang kemudian diikuti semakin rapatnya hubungan antara anggota masyarakat. Begitu pula dengan hubungan antarkelompok, berbagai bentuk interaksi sosial baru bermunculan. Hal ini akan meningkatkan kerja sama dan munculnya gagasan-gagasan baru dalam masyarakat terkait dengan peningkatan pembagian kerja. Menurut Berger Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi dengan diberikannya kemampuan daya manusia. Manusia memiliki kemampuan yang ada dalam diri manusia semacam daya kemampuan akal, intelegensia, dan intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku sebagai makhluk yang berkehendak dan memiliki abdomen terhadap sesuatu Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Tentang adanya hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia sebagai penciptanya dan

Durkheim dan Berger

Embed Size (px)

DESCRIPTION

antropolgi

Citation preview

Page 1: Durkheim dan Berger

Giffari Rizki R

5V/18

Kebudayaan

Menurut Durkheim

Durkheim memiliki teori perubahan sosial dan kebudayaan Masyarakat. Teori Emile Durkheim di dalam perubahan sosial budaya masyarakat meliputi pembagian kerja dan solidaritas sosial. Ia memusatkan pada aspek solidaritas sosial serta proses evolusi social. Pemikiran Durkheim didasari pada gejala sosial yang terjadi pada masa revolusi Industri di Inggris, ia mengamati perubahan sosial dari masyarakat primitive(tradisional) menuju masyarakat Industri.

Aspek yang menjadi perhatian Durkheim adalah pada pembagian kerja dalam kedua tipe masyarakat tersebut. Menurutnya, pembagian kerja pada masyarakat primitive (masyarakat tradisional) masih sangat sedikit, sedangkan pada masyarakat Industri, pembagian kerjanya sangat kompleks. Faktor utama yang menyebabkan perubahan bentuk pembagian kerja tersebut menurut Durkheim adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kepadatan moral yang kemudian diikuti semakin rapatnya hubungan antara anggota masyarakat. Begitu pula dengan hubungan antarkelompok, berbagai bentuk interaksi sosial baru bermunculan. Hal ini akan meningkatkan kerja sama dan munculnya gagasan-gagasan baru dalam masyarakat terkait dengan peningkatan pembagian kerja.

Menurut Berger

Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi dengan diberikannya kemampuan daya manusia.

Manusia memiliki kemampuan yang ada dalam diri manusia semacam daya kemampuan akal, intelegensia, dan intuisi; perasaan dan emosi; kemauan; fantasi; dan perilaku sebagai makhluk yang berkehendak dan memiliki abdomen terhadap sesuatu

Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan. Tentang adanya hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia sebagai penciptanya dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai actor pendukungnya. Hal ini disebut sebagai dialektika fundamental. Dialektika fundamental ini terdiri dari tiga tahap; 1). Tahap objektivasi 2). Tahap internalisasi, dan 3). Tahap eksternalisasi

Obyektivasi adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realita objektif, yang berada di luar diri manusia atau sebagai upaya re-definisi nilai yang sudah ada pada kepercayaan dalam kesadaran diri manusia. Dalam tahap ini, muncul pertanyaan kritis tentang fungsi, materi, dan beberapa hal lain terkait dengan nilai yang sudah dipahami tersebut.

Internalisasi adalah tahap di mana realitas objektif hasil ciptaan manusia yang diserap oleh manusia kembali. Jadi, ada hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal atau proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman.

Page 2: Durkheim dan Berger

Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus-menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental atau usaha ekspresi manusia atas re-definisinya terhadap nilai yang selama ini diyakini sebagai kebenaran.

Fakta sosial

Menurut Durkheim

Dalam karyanya The Rules of Sociological Method,Durkheim mengemukakan bahwa objek sosiologi adalah fakta sosial, dan semua fakta sosial – termasuk masyarakat – harus diperlakukan sebagai benda (thing). Bagi Durkheim, fakta sosial ada di level kehidupan bersama atau kolektif, sehingga dibedakan dari fakta individual. Fakta sosial pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat massal, dan individu terpengaruh oleh fakta sosial lantaran individu merupakan bagian kolektif dari dinamika masyarakat ini. Salah satu fakta sosial yang dipandang penting oleh Emile Durkheim adalah solidaritas sosial, yakni suatu bentuk hubungan sosial di antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada sentimen moral dan kepercayaan bersama, dan diperkuat oleh perasaan senasib sepenanggungan.

Menurut Berger

Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adalah sebagai kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif. Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.

Agama

Menurut durkheim

Analisisnya terkait hubungan timbal-balik yang erat antara agama dan masyarakat, diuraikan secara panjang-lebar dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, yang mana dia mengembangkan perspektif teoretisnya secara menyeluruh tentang solidaritas sosial. Dalam telaahnya, ia menjelaskan bahwa agama sebagai fakta sosial hadir dalam kesadaran anggota masyarakat, karena gejalanya yang inter-subjektif. Bagi Durkheim, analisis sosiologis mengenai agama harus dimulai dengan pengakuan akan adanya saling ketergantungan antara agama dan masyarakat. Pilihannya untuk mempelajari masyarakat sederhana (“masyarakat primitif” menurut terminologi yang dia pakai), dikarenakan sifat ketergantungan ini nampak lebih nyata dibanding dalam konteks masyarakat yang sudah maju.

Dengan demikian, bagi Durkheim, dasar-dasar moral dalam masyarakat mempunyai asal-usulnya dalam pengalaman-pengalaman religius kolektif. Kepercayaan-kepercayaan agama dan ritus-ritusnya mencerminkan dan memperkuat kembali struktur sosial masyarakat. Sehingga memudarnya

Page 3: Durkheim dan Berger

pengaruh agama dalam masyarakat modern mungkin dapat dilihat dengan mudah dalam perspektif Durkheim sebagai satu indikator runtuhnya solidaritas sosial.

Inti dari teori Durkheim ini adalah,agama muncul karena adanya konsep yang bermula dari perasaan ketidakberdayaan (takut, lemah, dan tak berdaya terhadap kekuatan jahat) menghadapi lingkungannya. Karenanya, ia butuh bergantung pada suatu keberadaan yang lebih superior yang dapat menjadi tumpuannya. Bagaimana individu-individu menjadi sadar akan suatu kekuasaan yang seperti itu, sebetunya didasarkan pada satu bentuk interaksi dan saling merangsang – yang dalam hal tertentu dapat dibandingkan dengan dinamika-dinamika psikologi kerumunan. Individu-individu datang berkumpul pada suatu kesempatan upacara (ritus) dan melalui interaksi yang tinggi sambil memusatkan perhatian pada satu objek yang sama, mereka memunculkan suatu peningkatan emosional secara bertahap yang menjadi kuat dalam setiap orang, karena kesadaran bahwa yang lain pun sedang ikut dalam pengalaman yang sama. Tindakan setiap orang berkontribusi terhadap pengalaman bersama itu, sehingga pengalaman kolektif secara keseluruhan melampaui setiap individu. Hasil akhir dari proses saling merangsang secara kolektif ini, adalah terciptanya suatu situasi emosional di mana individu-individu kehilangan individualitasnya serta kontrol diri dan terhanyut dalam suatu jenis keadaan yang secara emosional “tinggi”. Dengannya, ada rangsangan perilaku yang tidak akan pernah terjadi dalam kesempatan-kesempatan biasa (profan) atau secara pribadi. Perasaan setiap anggota kelompok, lantas diperkuat oleh interaksi antar sesama yang seringnya terjadi secara intensif.

Menurut Berger

Berger menciptakan teori dialektika fundamental. Ia menggambarkan tiga momentum proses dialektisnya, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Inti dari ketiga momentum proses dialektis ini adalah bahwa manusia melalui tindakan dan interaksinya secara terus menerus menciptakan suatu realitas sosial yang dimiliki bersama, termasuk realitas yang dialami sehari-hari. Berger memahami agama sebagai bentuk proyeksi manusia yang dihasilkan lewat eksternalisasi. Menurut Berger, agama merupakan bentuk legitimasi paling efektif karena agama itu menghubungkan konstruksi realitas yang sulit (precarious reality) dari masyarakat empiris dengan realitas akhir (ultimate reality). Selain itu agama mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi persoalan-persoalan sosial seperti kematian, perang, kenakalan remaja, kemiskinan, dan lain sebagainya, dan juga mampu memberikan warna bagi berjalannya nilai dan norma di masyarakat. Oleh sebab itu, agama disebut dengan langit suci (sacred canopy), yang melindungi masyarakat dari situasi meaningless, chaos, dan chauvinistic.

Dengan demikian agama sangat berperan dalam membentuk perilaku masyarakat, dan mampu membangun kesadaran manusia untuk bertindak sesuai dengan dinamika nilai dalam masyarakat. Sekali lagi, dalam konteks ini, agama yang berintikan iman (belief) akan mengarahkan bahkan membentuk perilaku masyarakat (practice). Belief yang dalam ranah sosiologis dikategorikan sebagai sesuatu yang abstrak dan berada dalam wilayah kesadaran (mind) akan mendeterminasi perilaku dan tindakan (matter) yang dilakukan oleh manusia, baik sebagai individu atau masyarakat dalam wilayah nyata.

Agama akan mendeterminasi pranata sosial yang lahir dan berada dalam masyarakat, yang tentu saja tidak mengeliminir elemen pembentuk lain seperti struktur sosial yang telah ada. Agama telah menjelma menjadi bentuk norma dan perilaku sekaligus, dan ia menjadi sebuah gejala budaya, di satu sisi, serta menjadi sistem budaya di sisi lain. Dalam konteks ini, apa yang diungkapkan Clifford Geertz bahwa agama menjadi sistem budaya (cultural system), sejalan dengan konsep Berger tentang “kehadiran” Tuhan dalam masyarakat (theodicy).