Upload
alice-pan
View
40
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aa
Citation preview
Diksi ialah pemilihan perbendaharaan kata dan gaya ungkapan yang tepat dan berkesan untuk
mengungkapkan idea.
Dalam bidang kesusasteraan dan fonetik, sinkope (sinkop') ialah pemendekan sesuatu kata
dengan menggugurkan satu atau lebih huruf atau suku kata dari tengah-tengah kata itu.[1]
Contoh sinkop dalam bahasa Melayu ialah pengguguran "ha" dalam sahaja menjadi saja, dan
"id" dalam tidak menjadi tak.
Sinkope berlaku dalam persajakan, percakapan harian, peminjaman kata asing dan perubahan
zaman.
JENIS-JENIS GAYA BAHASA
1. Diksi ialah pemilihan dan penyusunan kata-kata yang indah sehingga membawa pengertian yang
mendalam dan tepat penggunaannya. Contoh: Mukanya berisi keriangan.
2. Personifikasi merujuk bahasa yang memberikan sifat manusia kepada sesuatu benda, keadaan
atau suasana. Contoh: Pokok kelapa itu melambai-lambai ke arahnya.
3. Metafora pula ialah bahasa kiasan yang tidak menggunakan kata-kata bandingan. Metafora boleh
terdiri daripada konsep logik dan abstrak. Contoh: Lautan fikirannya (Lautan bermaksud laut dan
banyak ilmu. Fikiran pula hanya ada satu maksud iaitu berfikir atau otak).
4. Simile ialah kiasan yang membandingkan dua benda yang berbeza tetapi ada persamaan.
Penggunaan bak, umpama, seperti, bagai dan laksana banyak digunakan dalam ayat jenis ini.
Contoh: wajahnya pucat umpama mayat.
5. Hiperbola pula perbandingan yang tidak logik atau melampau. Contoh: matanya berapi-api.
6. Paradoks merujuk pernyataan yang ganjil atau bertentangan tetapi mempunyai maksud yang
tepat. Contoh: benci tetapi rindu.
7. Asonansi ialah pengulangan vokal. Contoh: segar angin laut (pengulangan vokal a).
8. Aliterasi ialah pengulangan konsonan. Contoh: segar angin laut. (pengulangan konsonan n)
9. Pengulangan/ repitasi ialah pengulangan perkataan dalam ayat atau rangkap yang sama.
Contoh: tenaga pemuda tenaga beerti.
10. Inversi ialah pembalikan susunan kata. Contoh: sihat badan wajah berseri (sepatutnya; badan
sihat wajah berseri)
11. Anafora ialah pengulangan kata di depan baris. Contohnya: bila diikat dia jalan, biladibuka ia
berhenti.
12. Responsi ialah pengulangan kata di tengah baris. Contohnya: mencipta rumah tempatberlindung,
membina bilik tempat berteduh.
13. Epifora ialah pengulangan kata-kata di akhir baris puisi
14. Simbol/ perlambangan. Contoh: Ombak melambangkan cabaran dalam kehidupan.
15. Sinkof/ sinkope ialah singkatan. Contoh: tak (tidak), ku (aku), mu (kamu).
16. Jenis bahasa iaitu bahasa Arab, bahasa Jawa, bahasa Klasik dan lain-lain.
17. Imej Alam. Contoh: padi, bulan, rumput.
18.Peribahasa-susunan kata yang pendek dengan makna yang
luas ,mengandungi kebenaran , sedap , didengar dan bijak perkataannya.
Contohnya- cakar ayam, kaki ayam.
A. Pengantar
Mempelajari sastra khususnya puisi merupakan suatu hobi sebagian
orang. Jika ingin mendapatkan pemahaman dalam sebuah puisi, maka
kita harus mempelajari bagaimana puisi itu sendiri. Salah satu yang harus
dipelajari adalah memahami karakteristik bahasa puisi.
Pada pertemuan sebelumnya, kita sudah membahas karakteristik bahasa
puisi: perbedaannya dengan karya sastra lain dan diksi dalam puisi, yang
telah dipresentasikan Faliq Ayken. Pada pertemuan tersebut telah kita
ketahui bahwa puisi memiliki kekhasan sendiri dibanding dengan sastra
lainnya. Hal itu dapat dilihat salah satunya melalui diksi dalam karya
sastra itu sendiri.
Pada pertemuan ini, akan dibahas karakteristik bahasa puisi yang ditinjau
dari makna denotasi dan konotasi serta bahasa kiasan.
B. Makna Denotasi dan Konotasi
Puisi merupakan karya sastra berupa gubahan atau rangkaian dalam
bahasa yang dibentuk secara selektif, tertata, dan cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus
(Oktav, Makalah, 2014). Pada makalah sebelumnya, unsur-unsur makna
yang terdapat di dalam puisi, sudah sangat jelas menjelaskan maksud
dari makna. Makna memiliki definisi lebih kompleks daripada arti,
sedangkan arti merupakan perwujudan aktual dari makna (Oktav,
Makalah, 2014). Kata makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam
Jaringan menyebutkan, makna adalah arti; maksud pembicara atau
penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
Kata denotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan
menyebutkan, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang
didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau
yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif.
Kata konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007:
588) menyebutkan bahwa konotasi adalah tautan pikiran yang
menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan
sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi.
Dalam buku Semantik Pengantar Memahami Makna Bahasa yang
mengutip Trask (Subuki, 2011: 48) mengemukakan bahwa denotasi
mengacu kepada arti sentral dari sebuah bentuk linguistik yang dapat
dipertimbangkan sebagai hal yang diacunya. Bagi Cruse, denotasi
mencakup persoalan ekstensi dan intensi (Cruse, 2006: 136). Subuki yang
mengutip Kreidler (2011: 48) menyebutkan, ekstensi dari sebuah bentuk
linguistik mencakup seluruh entitas yang dapat didenotasi oleh bentuk
tersebut, misalnya kata buahdapat mendenotasi mangga, apel, jeruk, dan
sebagainya yang masih termasuk dalam kelompok buah; sedangkan
intensi dari sebuah bentuk linguistik mengacu pada ciri dan/atau sifat
yang dimiliki bersama oleh ekstensinya, misalnya ciri dan/atau sifat yang
sama antara mangga, apel, jeruk, dan sebagainya. Sementara istilah
konotasi yang dikutip dari Trask (1999: 51) didefinisikan sebagai arti kata
yang lebih luas dari makna sentral dan makna utamanya yang biasanya
diperoleh melalui asosiasi yang berulang (Subuki, 2011: 49).
Menurut Waridah (2013: 302) makna denotasi adalah makna suatu kata
sesuai dengan konsep asalnya, tanpa mengalami perubahan makna atau
penambahan makna, dan disebut pula makna lugas. Sementara makna
konotasi diartikan sebagai makna suatu kata berdasarkan perasaan atau
pemikiran seseorang, dapat dianggap sebagai makna denotasi yang
mengalami penambahan makna, dan dapat disebut pula sebagai makna
kias atau makna kontekstual.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditarik sebuah benang
merahnya bahwa makna denotasi merupakan sebuah makna yang
sebenarnya dari kata tersebut dan mempunyai arti atau makna yang
sama dalam kamus atau dapat disebut sebagai makna leksikal.
Sementara makna konotasi dapat diartikan sebagai makna yang tidak
sebenarnya dari suatu kata atau tidak didasarkan atas kondisi kebenaran
(non-truth-conditional) dan merupakan makna tambahan terhadap makna
dasarnya yang berupa nilai rasa dan bersifat subjektif sesuai
penggunanya.
Untuk lebih memahami makna denotasi dan konotasi, berikut diberikan
tabel contohnya:
KataDenotasi Konotasi
Makna Kalimat Makna Kalimat
Wajah MukaWajahnya tampak
berseri.
Gambaran
umum yang
tampak
Jakarta adalah
wajah Indonesia.
Tenggelam Karam
Kapal laut
tenggelam setelah
dihantam ombak
setinggi 5 meter.
Bangkrut;
hilang
Usaha kecilnya
tenggelam akibat
krisis ekonomi.
KacamataLensa tipis
untuk mata
Kakek membaca
koran
menggunakan
kacamata.
Sudut
pandang
Aku selalu salah
menurut
kacamatanya.
Dikemukakan oleh Wellek (1962: 23) yang pemakalah sadur dari Pradopo
(2012: 60) bahwa bahasa sastra penuh arti ganda, penuh homonim,
kategori-kategori arbiter, atau irasional, menyerap peristiwa sejarah,
ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi.
Dalam sebuah puisi, kata yang tersusun tidak hanya mengandung makna
denotasi saja. Pada umumnya, puisi memiliki makna tambahan yang
ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Seperti
yang telah dibahas oleh Faliq Ayken dalam makalah sebelumnya bahwa
puisi lebih cenderung menggunakan bahasa konotatif (bermakna
konotasi) sementara makna denotasi atau bahasa sehari-hari lebih dekat
dengan bahasa prosa dan drama (Ayken, Makalah, 2014).
Puisi sebagai karya sastra memiliki gaya bahasa dengan makna yang
tidak hanya menerangkan, tetapi juga sangat ekspresif yang membawa
nada dan sikap pada si pembicara atau si penulis. Makna konotasi dalam
sebuah puisi membuat penikmat puisi memiliki imajinasi yang membawa
emosi perasaan tertentu. Misalnya pada bait sajak Toto Sudarto Bachtiar
di bawah ini:
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
(Toto Sudarto
Bachtiar, http://pecintapuisi.wordpress.com/2007/12/15/pahlawan-tak-
dikenal/, akses 22 Juni 2014).
Puisi Toto Sudarto Bachtiar di atas sangat tergambar makna konotasi
yang dibuatnya. Penyair menuliskan kata 'terbaring'; 'tapi bukan tidur',
hal ini dapat diartikan dengan mati atau meninggal. Puisi di atas
memberikan imajinasi bagi pembacanya untuk membayangkan seorang
pahlawan yang terkapar atau terbaring akibat tertembak.
Contoh puisi lainnya adalah sebagai berikut:
Cermin Mimi Aya
Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku
Waktu kutitipkan cermin kesayanganku kepadamu?
Bagaimana rasanya becermin?
Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,
saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?
Setiap malam sebelum aku dijemput mimpi,
aku berdiri di depannya sambil mengedipkan mata,
terkedip-kedip seperti matamu sebelum tidur dalam tafakur keabadian
Dijemput Kekasihmu yang sudah lama kaunantikan
Ialah Mimi Aya, perempuan yang tak pernah menyerah memberikan arah
kala aku terjebak hiburan-hiburan jalanan
Ialah kau, Ibu yang tak suka anak-anaknya mencuri dan mencari
cermin-cermin lain sebelum ilmu cermin itu dihabiskan
... dst
(Faliq Ayken, Puisi Cermin, http://kolibet.blogspot.com/2014/04/cermin-
mimi-aya.html, akses 22 Juni 2014).
Pada puisi di atas, kata cermin memiliki makna konotasi sebagai teladan
atau pelajaran. Penulis puisi tersebut memberikan gambaran bahwa Mimi
Aya adalah sebagai cerminnya. Mimi Aya sebagai Ibu yang selalu
memberikan penulis arah. Dan karena itulah penulis menganggap Ibunya
sebagai cermin, teladannya.
C. Perubahan Makna
Dalam susunan kata, sebuah kata seringkali mengalami perubahan
makna dalam penggunaannya. Berikut akan diuraikan beberapa
perubahan makna tersebut.
1. Perluasan Makna (Generalisasi), perluasan makna yang terjadi apabila
makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh:
Kata Makna Asal Makna Baru
AdikSaudara sekandung yang
lebih muda
Semua orang yang usianya di
bawah kita
Bapak Ayah Setiap laki-laki dewasa
Kepala Bagian badan sebelah atas
Jabatan tertinggi; pimpinan
seperti padakepala sekolah,
kepala rumah sakit
2. Penyempitan Makna (Spesialisasi), penyempitan makna yang terjadi
apabila sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang luas,
kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna.
Contoh:
Kata Makna Asal Makna Baru
Gadis Anak dara Perawan
Sastra Tulisan
Karangan-karangan yang
bernilai keindahan dan dapat
menggugah perasaan
3. Ameliorasi, perubahan makna yang nilainya lebih tinggi dari makna
asalnya.
Contoh:
Kata
Lembaga
permasyarakatanNilai rasanya lebih tinggi
daripada
Bui; tahanan
Wanita Perempuan
Tuna susila Pelacur
Pramuniaga Pelayan toko
4. Peyorasi, perubahan makna yang nilai rasanya lebih rendah dari makna
asalnya.
Contoh:
Kata Makna Asal Makna Baru
FundamentalisOrang yang berpegang pada
prinsip
Orang yang hidupnya
eksklusif, mengedepankan
kekerasan
Cuci tanganKegiatan mencuci tangan
setelah makan dan bekerja
Tidak bertanggungjawab
dalam suatu persoalan
Kroni Sahabat Kawan dari seorang penjahat
5. Sinestesia, perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran
tanggapan dua indera yang berbeda.
Contoh:
Rinrin tampak manis bila mengenakan baju kebaya. ('tampak manis'
merupakan pertukaran antara indera penglihatan dengan indera
pengecap).
Suara penyanyi itu sangat lembut. ('suara penyanyi' dan 'sangat lembut'
merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera
perasa).
Perubahan makna sinestesia sering digunakan oleh seorang penyair untuk
mengungkapkan perasaannya.
Contoh:
Wangiku telah menjadi coklat tanahmu
Wangiku telah menjadi garam dalam lautmu
Wangiku akan selalu dikicaukan burung-burung
(D. Zawawi Imron, "Selamat
Datang", https://id.answers.yahoo.com/question/index?
qid=20091003171438AAmR31R, akses 22 Juni 2014).
Wangi adalah aroma yang berkaitan dengan indera penciuman, kemudian
ditukar dengan indera penglihatan 'warna coklat', indera pengecapan
'garam', dan indera pendengaran 'kicau'.
Angin Angan
Pintu berderit saat udara malam bergerak perlahan
menelusup ke dalam tulang terdalam sepasang kekasih
di hening hujan malam pertemuan
….. dst
(Oky Primadeka, Puisi Angin, http://kolibet.blogspot.com/2014/05/angin-
angan.html, akses 22 Juni 2014)
Pada puisi di atas, 'pintu berderit' dan 'udara malam bergerak perlahan'
merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera
penglihatan.
6. Asosiasi, makna kata yang timbul karena persamaan sifat.
Contoh:
Kata Makna Asal Makna Baru
Kursi Tempat duduk Jabatan
BunglonBinatang sejenis kadal yang
dapat bertukar warna kulit
Orang yang pendiriannya
tidak tetap
TikusBinatang pengerat yang
sering menimbulkan kerugianKoruptor
Makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan beberapa unsur berikut
ini:
a. Waktu atau peristiwa
Contoh:
Kartosuwiryo mengganas di Jawa Barat.
Lagu Mengheningkan Cipta dikumandangkan pada upacara
memperingati Hari Pahlawan.
b. Tempat atau lokasi
Contoh:
Mantan pejabat itu sekarang menginap di hotel prodeo. (penjara)
Tanah Lot menjadi tujuan liburan keluarga. (tempat pariwisata di Bali)
c. Warna
Contoh:
Warna putih pada suatu pertempuran mengasosiasikan ‘menyerah dan
lawan harus menghentikan pertempuran’.
Warna hijau pada lampu lalu intas mengasosiasikan ‘berjalan’.
d. Tanda atau lambang tertentu
Contoh:
Tanda S berasosiasi dengan perintah untuk berhenti.
Tanda Sendok dan Garpu berasosiasi dengan rumah makan.
D. Bahasa Kiasan
Menurut Mulyono, gaya bahasa adalah cara khas menyatakan pikiran dan
perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Menurut HB Jassin, gaya bahasa
adalah perihal memilih dan mempergunakan kata sesuai dengan isi yang
ingin disampaikan. Sedangkan menurut Nata Wijaya, gaya bahasa adalah
pernyataan dengan pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri
terhadap pemerhati pembaca dan pendengar
(Yusuf,http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html,
akses 20 Mei 2014). Menurut Keraf (2006: 113), gaya bahasa merupakan
cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperhatikan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Sedangkan dalam Tarigan (1985: 5) dinyatakan bahwa gaya bahasa
adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau
hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum
(Admin,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter
%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).
Dapat pemakalah katakan bahwa gaya bahasa merupakan suatu pikiran
yang disampaikan seorang penulis dengan kata-kata (baik secara tulis
ataupun lisan) sebagai ekspresi dalam dirinya yang menimbulkan suatu
efek bagi pembaca atau pendengarnya.
Selanjutnya, Keraf (1984) membagi gaya bahasa menjadi lima bagian,
yaitu gaya bahasa yang dibagi menjadi segi non-bahasa dan bahasa itu
sendiri; gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang terdiri dari gaya
bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan; gaya
berdasarkan nada yang dibagi lagi menjadi gaya sederhana, gaya mulia
dan bertenaga dan gaya menengah; gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat yaitu menyangkut klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan
repetisi; dan yang terakhir gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna yang terbagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan
(Saida, http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5FFCF6DF3C432EF1
777FBB04E4E6ABAC.pdf, akses 21 Juni 2014).
Sementara itu, Tarigan membagi gaya bahasa menjadi empat varian,
yaitu gaya bahasa perbandingan yang terdiri atas sebelas macam, gaya
bahasa pertentangan yang terdiri atas dua puluh satu macam, gaya
bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan gaya bahasa
perulangan yang terdiri atas tiga belas macam
(Admin,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter
%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).
Meruncing kepada gaya bahasa kiasan, pemakalah akan menerangkan
mengenai bahasa kiasan dengan merujuk pada pendapat Keraf.
Menurut Keraf (2004: 136), gaya bahasa kiasan adalah membandingkan
sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba untuk
menemukan ciri yang menunjukkan kesamaan antara dua hal tersebut.
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan
perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang
lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan
antara kedua hal tersebut (Keraf, 2006: 136). Perbandingan sebenarnya
mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam
gaya bahasa yang polos atau dalam arti makna denotasinya dan
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan atau dalam arti
makna konotasi. Berikut contohnya:
a. Dia sama pintarnya dengan kakaknya.
b. Parasnya seperti rembulan yang bercahaya.
Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.
Perbandingan pertama mencakup dua anggota yang termasuk dalam
kelas yang sama dan gaya bahasa yang digunakan memiliki makna
denotatif, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan,
mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan dan
bermakna konotasi
(Admin,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter
%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).
Bahasa kiasan atau majas dalam sebuah karya sastra dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi
tertentu. Penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan
kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2007: 62).
Pradopo (2000: 62) mengemukakan bahwa jenis majas meliputi
perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile),
personifikasi, metonimia, sinekdoke (synecdoche), dan alegori. Badrun
(1989: 26) berpendapat bahwa jenis majas terdiri dari simile, metafora,
personifikasi, sinekdoke, metonimia, simbol, dan alegori
(Admin,http://eprints.uny.ac.id/9525/3/bab%202-05210141021.pdf, akses
21 Juni 2014).
Sementara itu, Keraf (2004: 124-145) membagi bahasa kiasan yang
merupakan bagian dari gaya bahasa yang berdasarkan langsung tidaknya
makna meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel,
personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia,
hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis
(Sukir, http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-
retorika-gaya-bahasa.html, akses 21 Juni 2014).
Berikut akan diberikan penjelasan mengenai macam-macam bahasa
kiasan.
1. Simile
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit, yaitu gaya bahasa yang langsung menyatakan sesuatu
yang sama dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding
seperti: bagai, bagaikan, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama,
laksana, sepantun, penaka, se, dan lainnya. Contoh:
biarlah ia pergi laksana hembusan angin
walau sesaat...
tetap saja,
pernah menyejukkan
2. Metafora
Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang
singkat. Metafora adalah majas perbandingan yang tidak menggunakan
kata-kata pembanding. Menurut Altenbernd, metafora menyatakan
sesuatu sebagai hal yang sama dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak
sama (Pradopo, 2012: 66). Contohnya: tangan kanan (orang
kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bangsa
(pahlawan), dan lain sebagainya (http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-
page_7809.html, akses 20 Mei 2014). Contoh lainnya seperti pada kalimat
rumahku surgaku, pemuda adalah bunga bangsa.
Contoh pada puisi:
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
(Subagio Sastrowardjojo, "Dewa Telah
Mati", http://sapuani.blogspot.com/2010/05/dewa-telah-mati.html, akses
22 Juni 2014)
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok
(principal term) dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007: 66-67).
Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term
pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term
kedua atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya 'Aku' ini
'binatang jalang': 'Aku' adalah term pokok, sedang 'binatang jalang' term
kedua atauvehicle. Namun seringkali penyair langsung menyebutkan term
kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora ini disebut
metafora implisit (implied metaphor) (Pradopo, 2007: 66-67).
3. Alegori
Alegori adalah kata kiasan berbentuk lukisan atau cerita kiasan. Cerita
kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula
dikatakan sebagai lanjutan dari metafora atau merupakan metafora yang
dikembangkan. Majas ini banyak ditemui pada puisi-puisi Angkatan
Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo,
2012: 71). Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang
abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya: Cerita tentang
putri salju.
Contoh pada puisi:
Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Terembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
……………………………….
(Sanusi Pane,
"Teratai", http://immhabib5.wordpress.com/2012/12/23/majas-dalam-
puisi/, akses 22 Juni 2014)
4. Parabel
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya
manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya
berhubungan dengan agama. Misalnya: Cerita tentang anak yang durhaka
kepada orang tuanya.
5. Fabel
Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia
binatang, di mana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia.
Misalnya: Cerita dongeng Sang Kancil.
6. Personifikasi
Merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati
yang tidak bernyawa yang seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia
(Waridah, 2013: 342). Pradopo (1995: 75) berpendapat bahwa
personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan
manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, perpikir, dan
sebagainya seperti manusia.
Contoh:
Ombak berlarian ke tepi pantai
Angin mengejar dan berhembus sejuk
7. Alusi
Alusi atau dikenal pula dengan istilah alusio adalah gaya bahasa yang
memakai ungkapan, kiasan atau peribahasa yang sudah lazim dipakai
orang (admin,http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-
puisi.html, akses 20 Mei 2014). Dengan demikian, alusi merupakan gaya
bahasa yang menampilkan adanya persamaan antara tempat, orang, atau
peristiwa dari sesuatu yang dilukiskan dengan referensi atau gambaran
yang sudah dikenal pembaca.
Contoh :
Hidupnya seperti telur di ujung tanduk.
Semoga di masa yang akan datang, lahir Bung Karno – Bung Karno kecil
bagi bangsa ini.
8. Eponim
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 25) berpendapat bahwa
eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk
menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan
sesuatu berdasarkan sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf
(2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di
mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat
tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat.
Misalnya: Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.
9. Epitet
Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah acuan yang berusaha
menyugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Epitet
adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau suatu hal. Misalnya: Sang putri malam sedang
menunjukkan sinarnya (=bulan).
10. Sinekdoke
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam
bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian. Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang
menyebutkan sesuatu sebagian untuk menyatakan keseluruhan ataupun
sebaliknya (Waridah, 2013: 343).
Pars pro toto: jenis yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.
Contoh:
Hingga saat ini ia belum kelihatan batang hidungnya.
Totum pro parte: jenis yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.
Contoh:
Indonesia akan mendukung tim sepak bolanya malam ini.
11. Metonimia
Metonimia adalah jenis majas yang penggunaannya paling jarang
dibandingkan dengan majas-majas perbandingan lainnya. Dalam bahasa
Indonesia, metonimia disebut sebagai pengganti nama. Kemudian,
menurut Altendberg (1970: 21), bahasa metonimia berupa penggunaan
sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
hubungannya dekat untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 2012:
77). Seperti yang dikutip pada Djojosuroto, metonimia adalah bahasa
kiasan yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk
menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan
relasional (admin, http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html,
akses 20 Mei 2014).
Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah pengganti
kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat
terdapatnya ciri yang bersifat tetap.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah
penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang
sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut.
Misalnya:
Ia membeli sebuah Chevrolet.
Kakak membeli Aqua gelas.
12. Antonomasia
Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud
penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar
resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Dengan kata lain,
antonomasia adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan
sebutan lain sesuai dengan ciri fisik dirinya atau watak orang tersebut,
atau berupa penyebutan gelar resmi dan semacamnya untuk
menggantikan nama diri.
Contoh:
Si gendut baru bangun tidur.
Megawati Soekarno Putri dan Meutia Hatta adalah putri-putri Sang
Proklamator yang aktif di bidang pemerintahan.
13. Hipalase
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya
bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan
sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang
menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk
menjelaskan kata yang lain.
Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah (yang gelisah adalah
manusianya bukan kasurnya).
14. Ironi
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi
adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau
maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-
katanya. Ironi/sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-
kata dengan berbeda atau berlawanan dengan maksud yang
sesungguhnya, dan pembaca atau pendengar diharapkan memahami
maksud penyampaian tersebut.
Contoh:
Pagi sekali kau pulang, masih jam 2 malam.
Kulihat kutu buku itu selalu berada di perpustakaan.
15. Sinisme
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa
sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya
bahasa yang bertujuan menyindir, mirip dengan ironi, tetapi kata-kata
yang digunakan agak kasar dengan tujuan agar orang tersindir secara
lebih tajam dan menusuk perasaan.
Contoh:
Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti
aku ini!
Kau memang cepat memutuskan suatu pilihan hingga tak memerlukan
pendapat orang lain hingga hasilnya tak maksimal!
16. Sarkasme
Waluyo (1995: 86) berpendapat bahwa sarkasme adalah penggunaan
kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik.
Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar yang
mengekspresikan kemarahan dan dapat membuat sakit hati.
Contoh:
Mulutmu harimaumu
Bangsat tak tahu diri pria itu!
Sikapmu seperti anjing dan sifatmu seperti babi!
17. Satire
Keraf (2004: 144) mengatakan bahwa satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu.
Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang
kelemahan manusia.
Contoh:
Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini
pun kau sudah kewalahan.
18. Innuendo
Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran
dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Jadi, innuendo adalah
gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari
yang sebenarnya.
Contoh:
Ia menjadi juragan tanah di daerah itu berkat kelihaiannya bermain mata
dengan penguasa (Waridah, 2013: 337).
Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum.
19. Antifrasis
Menurut pendapat Keraf (2004: 132), antifrasis adalah semacam ironi
yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya,
yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai
untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Antifrasis adalah
gaya bahasa sejenis ironi dengan menggunakan kata yang maknanya
berlawanan dengan realita yang ada
(admin,https://danririsbastind.wordpress.com/tag/gaya-bahasa/, akses 20
Mei 2014).
Contoh:
Si Bule telah datang. (orang berkulit hitam)
Dia dikenal jenius dikelas ini. (padahal bodoh)
Lihatlah sang raksasa telah datang! (maksudnya si cebol)
E. Kesimpulan
Makna denotasi dan makna konotasi serta gaya bahasa merupakan salah
satu unsur dari sebuah puisi. Puisi lebih umum menggunakan makna
konotasi. Penyair menggunakan gaya bahasa sebagai cara khas dalam
menyatakan pikiran, gagasan, dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan
agar puisi lebih indah, hidup, dan menimbulkan efek pada pembaca atau
pendengarnya.
Dari klasifikasi gaya bahasa yang dikemukakan Keraf, bahasa kiasan
dapat diklasifikasikan ke dalam 4, yaitu majas perbandingan (simile,
metafora, personifikasi, dan alegori), majas pertautan (metonimia,
sinekdoke, alusi, eponim, epitet, dan antonomasia), majas sindiran (ironi,
sinisme, sarkasme, innuendo, dan antifrasis), majas pertentangan
(hipalase, dan satire) dan sisanya parabel serta fabel.
Dinotatif-
Konotatif-
Ambiguiti-kekaburan,
Puan sajai binti abdullah