Upload
lecong
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN ANTARA HIPOGLIKEMI DENGAN KEJADIAN
HIPOTERMI PADA NEONATUS RUJUKAN DI RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Dio Dara Virgiansari
G0009062
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK Dio Dara Virgiansari, G0009062, 2013. Hubungan antara Hipoglikemi dengan Kejadian Hipotermi pada Neonatus Rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Latar Belakang: Hipoglikemi pada neonatus merupakan penyebab kematian dan gangguan perkembangan neurologis yang dapat dicegah. Neonatus yang mengalami hipoglikemi akan mengalami gangguan termoregulasi sehingga menyebabkan terjadinya hipotermi sekunder. Hipotermi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus terutama di negara berkembang termasuk di Indonesia, dimana sekitar 7 % bayi baru lahir mengalami hipotermi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 81 neonatus yang dipilih berdasarkan teknik fixed- disease sampling. Sampel merupakan pasien neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran kadar glukosa darah dan suhu aksila neonatus di Bagian IGD RSUD Dr. Moewardi. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji regresi logistik ganda dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows.
Hasil Penelitian: Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi 1.98 kali lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi setelah mengontrol pengaruh faktor perancu seperti: usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan status asfiksia, akan tetapi hubungan tersebut dalam analisis secara statistik tidak bermakna. (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p = 0.305). Pada penelitian ini, neonatal dini (0-7 hari), berat badan lahir tidak cukup (< 2.500 gram), neonatus tidak cukup bulan (< 37 minggu), dan neonatus dengan status asfiksia juga merupakan faktor risiko kejadian hipotermi pada neonatus.
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan sedang antara hipoglikemi dengan prognosis kejadian hipotermi, meskipun hubungan tersebut dalam analisis secara statistik tidak bermakna. Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi setelah mengontrol pengaruh faktor perancu usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan status asfiksia.
Kata Kunci: neonatus, rujukan, hipoglikemi, hipotermi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Dio Dara Virgiansari, G0009062, 2013. The Association between Hypoglicemia and Hypothermia on Referral Newborns at Dr. Moewardi Hospital. Mini Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta. Background: Neonatal hypoglycaemia is an avoidable cause of mortality and neurodevelopmental impairment. Hypoglicemia may develop to hypothermia as a result of metabolic thermogenesis disturbance. Hypothermia during the newborns period is widely regarded as a major contributory cause of significant morbidity and mortality in developing countries including Indonesia, about 7% prevalence of hypothermia has been reported happens on newborns. The objective of this study was to determine the association between hypoglicemia and hypotermia in newborns.
Methods: An analytic observational using cross sectional approach was used in this study. A total of eighty one newborns was selected by fixed-disease sampling. Sample of this study were the newborns who referred to Dr. Moewardi Hospital. The data were collected by the measurement of blood glucose concentration and axillary temperature of newborns. The data was analyzed using multiple logistic regression test on SPSS 16 for Windows.
Result: Hypoglycemic newborns have a risk of hypothermia 2.381 times higher than non hypoglicemic newborns after controlling some confounding factors, such as: age, birth weight, gestational age, and status of asphyxia, altough it was statistically not significant (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p = 0.305). Early neonatal age (0-7 days), low birth weight (< 2.500 gram), early gestational age (< 37 weeks), asphyxia status were also risk factors of hypothermia in newborns. Conclusion: There was a moderate association between hypoglicemia and hypothermia on referral newborns, altough it was statistically not significant. Hypoglycemic newborns have a higher risk of hypothermia than non hypoglicemic newborns after controlling some confounding factors, such as: age, birth weight, gestational age, and status of asphyxia.
Keywords: newborns, referral, hypoglicemia, hypothermia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PRAKATA
Alhamdulillahhirobbil’aalamin, segala puja dan puji sempurna hanya milik Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Hubungan antara Hipoglikemi dengan Hipotermi pada Neonatus Rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini juga tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dwi Hidayah, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Leli Saptawati, dr., Sp.MK selaku Pembimbing Pendamping yang tak henti-
hentinya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
4. Ganung Harsono, dr., Sp.A (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Brian Wasita, dr., Ph.D selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Annang Giri Moelya, dr., Sp.A, M.Kes dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Yuda, dr., Reza, dr., dan Yoga, dr., staf bagian HCU Neonatus, staf IGD Moewardi, bagian Rekam Medik Moewardi, dan Diklit Moewardi yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data dalam skripsi ini.
8. Yang tercinta kedua orang tua penulis, Ayahanda Muhdi Wijaya dan Ibunda Rima Diana Sari, serta adik-adik penulis, Viqi Panji Krisna, dan Rama Gian Syukron serta seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
9. Deka Rangers (Rizka, Cindy, Brenda, Andin, Dwi, Hana, Devi, Ami, Isna) dan Qonita Saja, sahabat setia yang senantiasa mendampingi dalam suka dan duka.
10. Keluarga besar Wisma Deka, adik-adik AAI Humaira dan Syifa, keluarga besar asisten Biologi 2009, teman-teman kelompok tutorial 18 dan Keluarga Besar Pendidikan Dokter angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
11. Sahabat seperjuangan, Adik-adik SKI, adik-adik Nisaa’, teman-teman SKI, PHT SKI 2011-2012 yang selalu memberikan dukungan dan doa.
12. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, 10 Januari 2013 Dio Dara Virgiansari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI PRAKATA ................................................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. x BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. 3 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 3 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................................. 5 A. Tinjauan Pustaka ...................................... ........................................... 5
1. Hipoglikemi ...................................... .............................................. 5 2. Hipotermi ....................................... ................................................. 13 3. Hubungan antara kadar glukosa darah dengan kejadian hipotermi . 20
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 24 C. Hipotesis ............................................................................................. 25
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 26 A. Jenis Penelitian ................................................................................... 26 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 26 C. Subjek Penelitian ................................................................................ 26 D. Teknik Sampling .................................................................................. 26 E. Besar Sampel ....................................................................................... 27 F. Rancangan Penelitian ........................................................................... 27 G. Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 28 H. Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................................... 28 I. Instrumen Penelitian ............................................................................ 31 J. Cara Kerja Penelitian …………………………………………........... 32 K. Teknik Analisis Data ............................................................................ 33
BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................................ 36 A. Gambaran Umum Penelitian ................................................................ 36 B. Karakteristik Sampel Penelitian .......................................................... 36 C. Hasil Uji Analisis Bivariat ................................................................... 39 D. Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Ganda .......................................... 43
BABV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 45 BABVI. PENUTUP .................................................................................................. 53
A. Simpulan ............................................................................................. 53 B. Saran ................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 55 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll,
2007). Masa neonatus merupakan masa yang rentan untuk mengalami
kematian. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tingginya morbiditas dan
mortalitas neonatus masih menjadi masalah. Penyebab utama morbiditas dan
mortalitas neonatus di negara berkembang adalah asfiksia, sindrom gangguan
napas, infeksi serta komplikasi hipotermi (Pasaribu, 2011), dimana sekitar 7 %
bayi baru lahir banyak mengalami hipotermi (Afriani, 2010).
Hipotermi pada neonatus adalah suatu keadaan penurunan suhu tubuh
yang disebabkan oleh berbagai keadaan terutama karena tingginya konsumsi
oksigen dan penurunan suhu ruangan (Pasaribu, 2011). Mempertahankan suhu
tubuh dalam batas normal sangat penting untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhan bayi baru lahir terutama bagi bayi prematur (Pasaribu, 2011).
Terdapat beberapa keadaan yang bisa menyebabkan hipotermi, salah satunya
adalah kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi
brown fat, misalnya pada bayi pre-term, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem
saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intrakranial hemorragia, hipoksia, dan
hipoglikemia (Clade, 1980). Hipotermi pada neonatus meningkatkan risiko
terjadinya kematian pada neonatus (Mullany, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Hipoglikemi pada neonatus merupakan penyebab kematian dan gangguan
perkembangan neurologis yang dapat dicegah. Kematian neonatus yang terjadi
merupakan 50-60% dari semua kasus kematian pada anak yang terjadi di
negara berkembang (Pal et al., 2000). Hipoglikemia pada neonatus merupakan
keadaan penurunan kadar glukosa darah, yaitu < 45mg/dl (IDAI, 2010).
Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar dalam tubuh dan di
dalam sel merupakan sumber energi (Iswantoro, 2009). Bagi neonatus glukosa
adalah sumber energi utama. Keseimbangan kadar glukosa darah sangat
penting bagi neonatus. Orang dewasa sehat memiliki kemampuan
mempertahankan kadar glukosa darah tetap normal atau mendekati normal,
kira-kira hingga satu minggu, bahkan pada obesitas glukosa darah dapat
dipertahankan tetap normal hingga satu bulan. Sebaliknya pada neonatus dan
anak sehat, tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kadar glukosa
normal. Apabila neonatus dipuasakan selama 24 - 36 jam, setelah periode
tersebut akan terjadi penurunan kadar glukosa darah progresif sampai ke kadar
hipoglikemi (Susanto, 2007).
Tubuh hendaknya dapat mempertahankan konsentrasi gula darah (dalam
bentuk glukosa) dalam batas tertentu supaya dapat berfungsi secara optimal.
Bila glukosa memasuki sel, enzim-enzim akan memecahnya menjadi bagian-
bagian kecil yang pada akhirnya akan menghasilkan energi, karbon dioksida,
dan air (Iswantoro, 2009). Energi ini sangat penting untuk menghasilkan panas
tubuh (Sherwood, 2001). Neonatus yang mengalami penurunan kadar glukosa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
darah (hipoglikemi) akan terjadi gangguan termoregulasi sehingga
menyebabkan terjadinya hipotermi sekunder (Hassan dan Alatas, 2007).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin meneliti sejauh mana
hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan
di RSUD Dr. Moewardi. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan
untuk penelitian berikutnya, sehingga dapat mengurangi prevalensi hipotermi
pada neonatus yang diakibatkan oleh hipoglikemi.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada
neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD
Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan informasi ilmiah dalam bidang ilmu kesehatan anak
mengenai hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi
pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi.
b. Memberikan tambahan informasi ilmiah tentang salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr.
Moewardi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
2. Manfaat Praktis
a. Dapat mengurangi angka kejadian hipotermi akibat hipoglikemi.
b. Diharapkan penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hipoglikemi
a. Definisi
Definisi hipoglikemia hingga saat ini masih kontroversial, karena
kurangnya korelasi yang bermakna antara kadar glukosa plasma, gejala
klinis, dan gejala sisa jangka panjang. Hipoglikemia ditandai oleh nilai
yang unik pada masing-masing individu neonatus dan bervariasi sesuai
dengan kematangan fisiologis dan pengaruh patologisnya. Menurut
Hassan dan Alatas (2007) hipoglikemi terjadi pada kondisi kadar
glukosa darah < 30 mg/dl pada bayi cukup bulan dan < 20 mg/dl pada
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan menurut IDAI (2010)
hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dl.
b. Faktor risiko
Faktor risiko adalah faktor yang memperbesar kemungkinan
neonatus untuk menderita hipoglikemi.
1) Bayi dari ibu dengan Diabetes
Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki kadar
glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga
merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar
glukosa darah tiba-tiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
padahal kadar insulin masih tinggi, sehingga terjadi hipoglikemia.
Pencegahannya adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah
pada ibu hamil.
2) Bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi glukosa
yang abnormal.
3) Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK).
Selama dalam kandungan, bayi sudah mengalami kekurangan
gizi, sehingga tidak sempat membuat cadangan glikogen, dan
kadang persediaan yang ada sudah terpakai. Bayi KMK
mempunyai kecepatan metabolisme lebih besar sehingga
menggunakan glukosa lebih banyak daripada bayi yang berat
lahirnya Sesuai untuk Masa Kehamilan (SMK), dengan berat badan
yang sama. Meskipun bayi KMK bugar, bayi mungkin tampak
lapar dan memerlukan lebih banyak perhatian. Bayi KMK perlu
diberi minum setiap 2 jam dan kadang masih hipoglikemia,
sehingga memerlukan pemberian suplementasi dan kadang
memerlukan cairan intravena sambil menunggu ASI ibunya cukup.
4) Bayi kurang bulan.
Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru terbentuk pada
trimester ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu awal,
persediaan glikogen ini terlalu sedikit dan akan lebih cepat habis
terpakai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
5) Bayi lebih bulan
Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai berkurang.
Asupan glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin
menggunakan cadangan glikogennya. Setelah bayi lahir, glikogen
tinggal sedikit, sehingga bayi mudah mengalami hipoglikemia.
6) Pasca asfiksia
Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak
sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1
gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan
normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
7) Polisitemia
Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya hipoglikemia dan hipokalsemia, karena pada polisitemia
terjadi perlambatan aliran darah.
8) Bayi yang dipuasakan
Termasuk juga pemberian minum pertama yang terlambat.
Bayi dapat mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah
tidak mencukupi
9) Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan
Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi
mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan
energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
10) Bayi sakit
Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion,
hipotermia, distres pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis
fetalis, sindrom Beckwith-Wiedermann, mikrosefalus atau defek
pada garis tengah tubuh, abnormalitas endokrin atau inborn error
of metabolism dan bayi stres lainnya, mempunyai risiko mengalami
hipoglikemia.
11) Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah
Ibu yang mendapatkan pengobatan (terbutalin, propanolol,
hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu yang mendapat glukosa intra
vena saat persalinan, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia pada
bayinya (IDAI, 2010).
c. Skrining hipoglikemi
Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa
lama pemantauannya, belum disepakati secara umum. Strip glukosa
untuk skrining tidak mahal, praktis, dan hasilnya cepat. Jika
didapatkan hipoglikemia harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
glukosa darah di laboratorium, karena hasil yang diperoleh sering
berbeda sekitar 15% dari hasil laboratorium, atau tidak sesuai dengan
varian yang signifikan dari kadar glukosa yang sesungguhnya.
Beberapa pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir:
1) Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulan yang
asimtomatik tidak perlu dan mungkin merugikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2) Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko
hipoglikemia untuk mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi
yang menunjukkan manifestasi klinis hipoglikemia, dengan
frekuensi dan lama pemantauan tergantung dari kondisi bayi
masing-masing.
3) Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan
dugaan hiperinsulinisme dan tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi
dengan risiko hipoglikemia kategori lainnya.
4) Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar
glukosa darah sebelum minum mencapai normal. Kemudian
lanjutkan tiap 12 jam.
5) Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar
glukosa normal atau dengan pemberian minum saja, didapatkan 2
kali pemeriksaan kadar glukosa normal.
6) Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium
harus dilakukan jika hasil skrining glukosa darah abnormal. (IDAI,
2010)
d. Diagnosis hipoglikemi
1) Anamnesis
a) Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi,
gangguan pernapasan
b) Riwayat bayi prematur
c) Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
d) Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
e) Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Melitus
f) Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g) Bayi yang berisiko terkena hipoglikemia
h) Bayi dari ibu diabetes (Independen Diabetes Melitus)
i) Bayi prematur dan lewat bulan
j) Bayi sakit atau stres (Respiratory Distress Syndrome,
hipotermia)
k) Bayi puasa
l) Bayi dengan polisitemia
m) Bayi dengan eritroblastosis
n) Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya steroid, beta-
simpatomimetik dan beta-blocker
2) Gejala klinis hipoglikemi
a) Keringat dingin
b) Jitteriness
c) Sianosis
d) Kejang atau tremor
e) Letargi dan menyusui yang buruk
f) Apnea
g) Tangisan yang lemah atau bernada tinggi
h) Hipotermia
i) Respiratory Distress Syndrome (RDS) (Kosim et al., 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
e. Terapi hipoglikemi
Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa
darahnya. Glukosa yang diperlukan mungkin belum cukup hanya
dengan pemberian kolostrum saja pada umur beberapa hari, tetapi tidak
ada bukti klinik yang menyebutkan bahwa bayi dengan hipoglikemia
asimtomatik mendapatkan keuntungan dari pemberian glukosa intra
vena yang diberikan.
Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan
ibu untuk menyusui jika kondisi bayi baru lahir sudah memungkinkan.
Berikut ini tata laksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia
menurut IDAI (2010):
1) Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)
a) Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan
kadar glukosa darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap
1-2 jam) atau beri 3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi,
atau berikan suplementasi (ASI donor atau susu formula)
b) Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum
berikutnya sampai kadarnya normal dan stabil
c) Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi
asupannya, hindari pemaksaan pemberian minum, dan
mulailah pemberian glukosa intra vena. Pada beberapa bayi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
yang tidak normal, diperlukan pemeriksaan yang seksama dan
lakukan evaluasi untuk mendapatkan terapi yang intensif
d) Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum,
mulailah terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar
glukosa darah
e) ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan
jumlah dan konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar
glukosa darah
f) Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining
glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan
kondisi klinik bayi (misalnya respon dari terapi yang
diberikan).
2) Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma
< 20-25 mg/dl atau < 1,1 – 1,4 mmol/l.
a) Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 ml
tiap kilogram berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan
terus pemberian glukosa 10% intra vena dengan kecepatan
(Glucose Infusion Rate atau GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat
badan tiap menit
b) Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak
boleh diberikan melalui oral atau pipa orogastrik.
c) Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada > 45
mg/dl atau >2.5 mmol/l
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
d) Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa
darah yang didapat
e) Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi
hipoglikemia menghilang
f) Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan
saat penurunan pemberian glukosa intra vena secara bertahap
(weaning) sampai kadar glukosa darah stabil pada saat tidak
mendapat cairan glukosa intra vena. Kadang diperlukan waktu
24-48 jam untuk mencegah hipoglikemia berulang.
g) Lakukan pencatatan manifestasi klinis, pemeriksaan fisis,
kadar skrining glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi
dan perubahan kondisi klinik (misal respon dari terapi yang
diberikan).
2. Hipotermi
a. Definisi
Menurut Affandi (2007) suhu tubuh normal yang dapat
menjamin kebutuhan oksigen neonatus secara individual adalah
36,5°C – 37,5°C. Sedangkan hipotermi adalah suatu kondisi
abnormal dimana suhu tubuh neonatus turun di bawah 36,5°C
(97,7°F) (Kumar, 2009).
b. Mekanisme terjadinya hipotermi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Hipotermi pada bayi baru lahir timbul melalui beberapa
mekanisme:
1) Evaporasi
Merupakan kehilangan panas karena penguapan cairan
ketuban yang melekat pada permukaan tubuh bayi. Oleh karena itu,
bayi harus segera dikeringkan seluruhnya, termasuk kepala dan
rambut sesegera mungkin setelah dilahirkan.
2) Konduksi
Merupakan kehilangan panas karena panas tubuh melalui
kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin
seperti: meja, tempat tidur atau timbangan yang temperaturnya
lebih rendah dari tubuh bayi akan menyerap panas tubuh bayi
melalui mekanisme konduksi apabila bayi diletakan di atas benda
tersebut.
3) Konveksi
Merupakan kehilangan panas tubuh melalui aliran udara
sekitar bayi. Kehilangan panas juga terjadi jika konveksi aliran
udara dan kipas angin, hembusan udara melalui ventilasi atau
pendingin ruangan.
4) Radiasi
Merupakan kehilangan panas tubuh yang terjadi karena bayi
ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih
rendah dari suhu tubuh bayi karena benda tersebut akan menyerap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
radiasi panas tubuh bayi (Sarwono, 2009; Pasaribu, 2011;
Saifuddin, 2000).
c. Etiologi hipotermi
1) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan,
seperti lingkungan dingin, basah, atau bayi yang telanjang, selama
perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi, pengambilan
sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga
peningkatan aliran udara dan penguapan.
2) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti
defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran,
kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intra
kranial hemorrhage, hipoksia dan hipoglikemi.
3) Ketidakmampuan menahan dingin, seperti pada permukaan tubuh
yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi
permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan tonus
otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih
besar pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Pasaribu, 2011;
Ekaputra, 2011).
d. Patofisiologi hipotermi
Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan
pada sentral pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari
hipothalamus sewaktu mencapai brown fat memacu pelepasan
noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak
secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown
fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh
melalui aliran darah. Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan
oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan
untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolic thermogenesis yang
efektif memerlukan integritas dari sistem saraf sentral, kecukupan
dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen (Ohlson dan
Cannon, 2003).
Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem
saraf pusat antara lain: depresi linier dari metabolisme otak, amnesia,
apatis, disartria, EEG yang abnormal, depresi kesadaran yang
progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat
terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma,
refleks okuli yang hilang, dan penurunan yang progresif dari aktivitas
EEG (Danzl dan Poros, 1994).
Pada jantung dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang
progresif, konstriksi pembuluh darah, peningkatan cardiac output,
dan tekanan darah. Selanjutnya, peningkatan aritmia atrium dan
ventrikel, perubahan EKG dan sistole yang memanjang; penurunan
tekanan darah yang progresif, dan denyut jantung (Parmet dan
Horrow, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Pada pernapasan dapat terjadi takipnea, bronkhorea,
bronkhospasma, hipoventilasi konsumsi oksigen yang menurun
sampai 50 %, kongesti paru dan edema, konsumsi oksigen yang
menurun sampai 75 %, dan apnea (Danzl dan Pozos, 1994).
Pada ginjal dan sistem endokrin, dapat terjadi cold
diuresis, peningkatan katekolamin, steroid adrenal, T3 dan T4,
menggigil, peningkatan aliran darah ginjal sampai 50 %, autoregulasi
ginjal yang intak, dan hilangnya aktivitas insulin. Pada keadaan berat,
dapat terjadi oliguria yang berat, poikilotermia, dan penurunan
metabolisme basal sampai 80 % (Patel dan Drummond, 2005).
Pada otot saraf, dapat terjadi penurunan tonus otot sebelum
menggigil, termogenesis, ataksia, hiporefleksia, dan rigiditi.
Sedangkan keadaan berat, dapat terjadi arefleksia daerah perifer
(Danzl dan Pozos, 1994).
e. Faktor risiko hipotermi
Bayi baru lahir tidak segera dikeringkan, terlalu cepat
dimandikan, setelah dikeringkan tidak segera diberi pakaian, tidak
segera didekap pada tubuh ibu, bayi baru lahir dipisahkan dari ibunya,
tidak segera disusui ibunya (Pasaribu, 2011).
f. Gejala dan tanda hipotermi
Hipotermi memiliki gejala sebagai berikut :
1) Bayi tidak mau menetek.
2) Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3) Tubuh bayi teraba dingin.
4) Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh
bayi mengeras (sklerema).
5) Bayi menggigil.
6) Suhu (aksila) bayi turun di bawah 36oC.
7) Kulit pucat (Pasaribu, 2011).
Hipotermi memiliki tanda sebagai berikut:
Hipotermi sedang (stres dingin):
1) Aktifitas berkurang, letargis.
2) Tangisan lemah.
3) Kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata).
4) Kemampuan mengisap lemah.
5) Kaki teraba dingin.
Hipotermi lanjut:
1) Bibir dan kuku kebiruan.
2) Ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
3) Pernapasan lambat dan tak teratur.
4) Bagian tubuh lainnya pucat.
5) Bunyi jantung lambat.
6) Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung
kaki dan tangan (Pasaribu, 2011).
g. Klasifikasi hipotermi (Hassan dan Alatas, 2007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
1) Hipotermi sepintas, yaitu penurunan suhu tubuh 1 - 2oC sesudah
lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali sesudah bayi
berumur 4 - 8 jam, bila suhu lingkungan diatur sebaik-baiknya.
Hipotermia sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia,
resusitasi yang lama, ruangan tempat bersalin yang dingin, bila
bayi tidak segera dibungkus setelah lahir, terlalu cepat dimandikan
(kurang dari 4 jam sesudah lahir), dan pemberian morfin pada ibu
yang sedang bersalin.
2) Hipotermi akut, terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin
selama 6 - 12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang
tempat bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas,
kelalaian dari dokter, bidan, dan perawat terhadap bayi yang akan
lahir, yaitu diduga mati dalam kandungan tetapi ternyata hidup
dan sebagainya. Gejalanya ialah lemah, gelisah, pernapasan dan
bunyi jantung lambat serta kedua kaki dingin.
3) Hipotermi sekunder, penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan
oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti
sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia atau
hipoglikemia, perdarahan intra-kranial tranfusi tukar, penyakit
jantung bawaan yang berat, dan bayi dengan BBLR serta
hipoglikemia.
4) Cold injury, yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam
ruangan dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mau minum, badan dingin, oliguria, suhu berkisar antara 29,5 -
35oC, tak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan,
kaki, dan muka seolah-olah bayi dalam keadaan sehat; pengerasan
jaringan subkutis.
3. Hubungan antara kadar glukosa darah dengan kejadian hipotermi
Sistem termoregulasi pada manusia memiliki dua proses yaitu
termoregulasi melalui mekanisme menggigil dan tidak menggigil (Arifah
dan Kartinah, 2008).
Dalam proses termoregulasi pada neonatus tidak bisa dihasilkan
melalui mekanisme menggigil seperti pada orang dewasa, bayi harus
mengandalkan termogenesis tanpa menggigil atau kimiawi untuk
memproduksi panas. Mekanisme utamanya adalah menggunakan lemak
coklat. Sel lemak coklat hanya ada pada bayi dan jumlahnya menurun sesuai
perkembangan usia. Lemak coklat memiliki banyak mitokondria yang bisa
digunakan untuk melepaskan asam lemak melalui proses lipolisis. Lemak
coklat membantu meningkatkan suhu tubuh. Sel lemak coklat berisi
glikogen dan banyak mengandung mitokondria dengan multipel cristae
untuk menghasilkan bahan bakar dan energi yang dibutuhkan guna produksi
panas dengan cepat (Arifah dan Kartinah, 2008).
Bayi baru lahir mempunyai area permukaan besar terhadap masa
dibanding orang dewasa (0,066m2/ kg untuk 3 kg bayi dibanding 0,025
m2/kg untuk 70 kg dewasa), yang menyebabkan bayi baru lahir kehilangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
panas lebih cepat. Bayi baru lahir juga mempunyai sedikit lemak untuk
melindungi, (16% berat badan dalam 3,5 kg bayi baru lahir dibanding 20-
30% pada orang dewasa). Seorang bayi prematur, lahir tanpa simpanan
penuh jaringan lemak coklat yang menghambat produksi panas dalam
lingkungan dingin, menyebabkan bayi. Secara khusus, jaringan lemak coklat
berjumlah sekitar 2-5% berat badan neonatus. Jaringan lemak coklat
terutama terdistribusi pada bayi baru lahir untuk menghasilkan produksi
panas yang paling efisien untuk kebutuhan bayi. Pada bayi, lemak coklat
diyakini banyak terdapat pada bagian midskapula, leher posterior, di sekitar
otot leher dan memanjang di bawah clavikula sampai aksila dan sekitar
trakea, esofagus, interskapula dan arteri mamaria, aorta abdominal, ginjal
dan kelenjar adrenal (Arifah dan Kartinah, 2008).
Jaringan lemak coklat terutama terdistribusi pada neonatus untuk
menghasilkan produksi panas yang paling efisien untuk kebutuhan neonatus.
Struktur jaringan lemak coklat secara khusus disesuaikan dengan fungsinya.
Banyaknya vakuola lemak meningkatkan rongga sitoplasma terhadap
lemak, membuat penggunaan lemak lebih efisien. Glikogen yang terdapat
dalam sel lemak coklat menghasilkan glukosa untuk sejumlah mitokondria,
yang digunakan untuk menghasilkan energi terutama untuk produksi panas
(Arifah dan Kartinah, 2008).
Lemak coklat diaktivasi melalui sistem saraf simpatis melalui salah
satu dari dua jalan yaitu melalui dingin atau melalui makanan. Saraf
simpatis yang terangsang akan menyebabkan pelepasan norepinephrin pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
ujung sarafnya dipermukaan sel lemak coklat. Norepinephrin akan
ditangkap oleh beta-adrenergik reseptor dipermukaan sel lemak coklat
sehingga terjadi aktivasi protein kinase dan menstimulasi aktivitas
uncoupling protein 1 (zat termogenin) di membran mitokondria sel lemak
coklat. Uncoupling protein 1 menyebabkan asam lemak dalam sel lemak
dioksidasi menjadi panas yang kemudian dialirkan ke seluruh tubuh melalui
pembuluh darah, sehingga tubuh bayi menjadi hangat. Stimulasi simpatis
pada pembuluh darah lemak coklat menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah sehingga panas lebih cepat dihantarkan ke seluruh tubuh (Arifah dan
Kartinah, 2008).
Pada penurunan persediaan glukosa darah, hati akan mengubah
sebagian glikogen menjadi glukosa dan mengeluarkannya ke dalam aliran
darah. Glukosa ini akan dibawa oleh darah ke seluruh bagian tubuh yang
memerlukan, seperti otak, sistem saraf, jantung dan organ tubuh yang lain
(Iswantoro, 2009).
Neonatus memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk
metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat.
Methabolic thermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem
saraf sentral, kecukupan dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta
oksigen (Ohlson dan Cannon, 2003). Kurangnya metabolisme untuk
menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm,
kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia, dan hipoglikemia dapat
menyebabkan hipotermi (Sessler, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka pemikiran
Keterangan : : Mempengaruhi : Diteliti : Tidak diteliti
a. Sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia b. Perdarahan intra-kranial tranfusi tukar c. Sepsis d. Kehilangan Panas:
1) Evaporasi 2) Konduksi 3) Konveksi 4) Radiasi
Gangguan Mempertahankan Suhu Tubuh
Keterbatasan dalam Merespon Dingin
Hipotermi
Gangguan Memproduksi Asam Lemak
Gangguan Pelepasan Norefinefrin dan Oksidasi Lemak Cokelat
ò Penggunaan Persediaan Glikogen
Keterbatasan dalam Merespon Dingin
ñ Metabolisme Glukosa Darah
Faktor-faktor yang mempengaruhi hipoglikemia 1. Besar masa kehamilan 2. Stres masa kehamilan 3. Neonatus sakit 4. Pasca asfiksia 5. Diabetes melitus 6. Neonatus kurang bulan 7. Neonatus lebih bulan 8. Neonatus kecil masa kehamilan 9. Neonatus puasa 10. Neonatus dari ibu bermasalah
Hipoglikemi
ò Persediaan Glikogen dalam Lemak Coklat
ò Bahan Bakar Metabolisme
ñ Pemecahan dan Penggunaan Glikogen dalam Lemak Coklat
ò Persediaan Glukosa dalam Darah ò Pengunanaan Persediaan Glikogen dalam
Lemak Coklat
ò Bahan Bakar Metabolisme
ñ Pemecahan Simpanan Glikogen di Hati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
C. Hipotesis
Neonatus dengan hipoglikemi memiliki risiko tinggi untuk mengalami
hipotermi dibandingkan dengan neonatus yang tidak hipoglikemi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian menggunakan analitik observasional dengan pendekatan
cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di bagian IGD dan HCU Neonatus RSUD
Dr. Moewardi pada bulan Desember 2011 – Juni 2012.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah neonatus rujukan yang berada di Bagian IGD
dan HCU Neonatus RSUD Dr. Moewardi, dengan:
1. Kriteria Inklusi: Neonatus rujukan yang baru tiba di IGD RSUD Dr.
Moewardi
2. Kriteria Eksklusi: Data tidak lengkap
D. Teknik Sampling
Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode fixed- disease
sampling. Fixed-disease sampling (Murti, 2010) merupakan prosedur
pencuplikan berdasarkan status pengambilan subjek, sedang status paparan
subjek bervariasi mengikuti status pengambilan subjek yang sudah fixed.
Pada pengambilan sampel ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol berasal
dari satu populasi sumber, sehingga peneliti dapat melakukan perbandingan
yang valid antara kedua kelompok studi dalam kelima variabel. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
penelitian ini digunakan perbandingan 1 : 2 untuk kasus hipotermi dan tidak
hipotermi.
E. Besar Sampel
Menurut Thabane dalam Murti (2010), salah satu teknik untuk mengontrol
pengaruh faktor perancu (confounding factor) adalah memperhitungkan
pengaruh itu dengan model analisis multivariat ketika peneliti sudah
mempunyai data.
Hair dalam Murti (2010) memberikan rumus sampel untuk analisis
multivariat jumlah sampel 15 hingga 20 subjek per variabel independen. Pada
penelitian ini didapatkan 5 variabel independen. Sehingga subyek yang
diperlukan minimal 5 x 15 = 75 subyek.
F. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1 Rancangan penelitian
Populasi Neonatus di IGD dan HCU Neonatus RSUD Dr.
Moewardi
Sampel Sesuai dengan Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Pemeriksaan Glukosa Darah
Hipoglikemi Tidak Hipoglikemi
Fixed-disease sampling
Pemeriksaan Suhu Pemeriksaan Suhu
Analisis Statistik Data
Hipotermi Tidak Hipotermi Hipotermi Tidak Hipotermi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Kadar gukosa darah
2. Variabel terikat: Suhu tubuh neonatus
3. Variabel luar :
a. Dapat dikendalikan: usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan
asfiksia.
b. Tidak dapat dikendalikan: faktor genetik, kondisi stres, sepsis,
anomali kongenital, suhu neonatus saat dirujuk, dan lain-lain.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa darah sewaktu yang
diukur dengan menggunakan glucose strips test. Glukosa darah neonatus
kadarnya berbeda-beda sesuai usia neonatus. Kadar glukosa darah
diklasifikasikan menjadi hipoglikemi, normoglikemi, dan hiperglikemi.
Hipoglikemi terjadi pada kondisi kadar glukosa darah < 30 mg/dl pada
bayi cukup bulan dan < 20 mg/dl pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
(Hassan dan Alatas, 2007). Sedangkan menurut IDAI (2010)
hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dl. Pada
penelitian ini kadar glukosa darah dikategorikan menjadi dua: 1) Tidak
hipoglikemi (GDS 45 mg/dl), 2) Hipoglikemi (GDS < 45 mg/dl) (IDAI,
2010). Skala yang digunakan adalah skala nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2. Suhu tubuh neonatus
Suhu tubuh adalah suhu yang diukur secara aksilar dengan
menempelkan termometer pada ketiak dengan lengan atas diluruskan
selama 3 menit. Pada penelitian ini pemeriksaan menggunakan termometer
air raksa. Suhu tubuh diklasifikasikan sebagai hipotermi, normotermi, dan
hipertermi. Suhu tubuh normal neonatus (normotermi) adalah 36,5°C –
37,5°C (Affandi, 2007). Sedangkan kondisi hipotermi terjadi jika suhu
tubuh neonatus turun di bawah 36,5°C (Kumar, 2009). Pada penelitian ini
suhu tubuh neonatus dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Tidak
hipotermi (suhu 36,5°C), 2) Hipotermi (suhu < 36,5 °C ) (Kumar,2009).
Skala yang digunakan adalah skala nominal.
3. Usia neonatus
Usia neonatus merupakan jumlah waktu kehidupan yang telah dicapai,
dihitung sejak tanggal lahir neonatus sampai saat dilakukan pengukuran.
Usia neonatus terbagi dalam dua kategori, yaitu: 1) Neonatal dini (usia 0 -
7 hari ), 2) Neonatal lanjutan (usia 8 - 28 hari). Data usia neonatus
diperoleh dari formulir dan rekam medik neonatus. Skala yang digunakan
adalah skala nominal
4. Berat badan lahir
Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam satu
jam setelah lahir. Berat badan bayi terbagi menjadi empat kategori yaitu
Berat Badan Lahir Lebih (BBLB) yaitu berat badan 4.000 gram, Berat
Badan Lahir Cukup (BBLC) yaitu berat badan < 4.000 gram dan 2.500
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
gram, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) berat badan < 2.500 gram dan
1.500 gram dan Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR) yaitu berat
badan < 1.500 gram. Pada penelitian ini berat badan lahir neonatus dibagi
menjadi dua kategori: 1) Berat tidak cukup (berat < 2.500 gram), 2) Berat
cukup (berat 2.500 gram). Skala yang digunakan adalah skala nominal.
Data mengenai berat badan neonatus diperoleh dari formulir dan rekam
medik neonatus.
5. Usia kehamilan
Usia kehamilan merupakan Usia kehamilan merupakan ukuran lama
waktu seorang janin berada dalam rahim. Usia janin dihitung dalam
minggu dari Hari Pertama Menstruasi Terakhir (HPMT) ibu sampai hari
kelahiran. Usia kehamilan dibagi ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a. Bayi kurang bulan (preterm) : bayi dengan masa kehamilan 37
minggu (259 hari). Dibedakan menjadi prematur ( 37 minggu dan >
28 minggu) dan immatur ( 28 minggu)
b. Bayi cukup bulan (aterm) : bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37
minggu sampai 42 minggu (259 hari sampai 293 hari)
c. Bayi lebih bulan (postterm) : bayi dengan masa kehamilan mulai dari
42 minggu atau lebih (294 hari atau lebih) (Hassan dan Alatas, 2007).
Pada penelitian ini usia kehamilan dibagi menjadi dua: 1) Tidak cukup
bulan (usia kehamilan < 37 minggu), 2) Cukup bulan (usia kehamilan
37 minggu). Data diperoleh dari formulir dan rekam medik neonatus.
Skala yang digunakan adalah skala nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
6. Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan
hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Asfiksia dinilai
dengan menggunakan skor apgar yang didasari pengamatan klinis dari:
a. A (Appearance = warna kulit)
b. P (Pulse rate = frekuensi nadi)
c. G (Grimace = reaksi rangsangan)
d. A (Activity = tonus otot)
e. R (Respiration = pernapasan)
Setiap penilaian diberi angka 0,1,2. Dengan demikian dapat diketahui
apakah bayi normal (vigorous baby, nilai apgar 7-10), asfiksia sedang-
ringan (nilai apgar 4-6), atau asfiksia berat (nilai apgar 0-3) (Hassan dan
Alatas, 2007). Pada penelitian ini status asfiksia dikategorikan menjadi
dua yaitu : a) Asfiksia, b) Tidak asfiksia. Data tentang diagnosis didapat
dari data formulir dan rekam medik pasien neonatus. Skala yang
digunakan adalah skala nominal.
I. Instrumen Penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Glucose strips, untuk mengukur kadar glukosa darah
b. Termometer air raksa, untuk mengukur suhu tubuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Formulir sampel pengukuran suhu tubuh dan kadar glukosa darah
b. Lembar persetujuan menjadi sampel
c. Hasil rekam medik
d. Alat tulis
J. Cara Kerja
1. Persiapan
a. Peneliti meminta surat izin penelitian ke bagian skripsi yang ditujukan
ke Bagian Diklit, Kepala Bagian HCU Neonatus, Kepala Instalasi
Gawat Darurat, dan Direktur RSUD Dr. Moewardi.
b. Setelah mendapatkan izin, peneliti mendapatkan surat pengantar dari
Bagian Diklit ke IGD dan HCU Neonatus untuk melakukan
pengambilan sampel dan ke Bagian Rekam medik untuk melengkapi
karakteristik data sampel.
2. Pelaksanaan
Neonatus yang baru datang di IGD RSUD Dr. Moewardi yang sesuai
dengan kriteria langsung diukur kadar glukosa darah dan suhu tubuhnya.
a. Peneliti melakukan pengukuran kadar glukosa darah pada sampel
dengan cara:
1) Mempersiapkan glucose strips test.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2) Membersihkan telapak atau jari dari kaki atau tangan sampel
dengan kapas alkohol.
3) Menempelkan blood lancet ke bagian tersebut untuk menusuk
kulit sampel.
4) Titik darah yang keluar diperbesar dengan cara memijit jari di
sekeliling titik darah tersebut sehingga cukup untuk pengukuran.
5) Peneliti menyisipkan strip glukosa ke alat glucose strips test
kemudian tetes darah pada sampel ditempelkan ke strip tersebut.
6) Peneliti menunggu sesaat sehingga muncul angka pada alat.
Angka tersebut merupakan kadar glukosa darah sampel.
b. Peneliti melakukan pengukuran suhu tubuh pada sampel dengan cara:
1) Mempersiapkan termometer dan menurunkan air raksa
sehingga pada termometer menunjuk angka 35°C atau di
bawahnya.
2) Memasang termometer pada fosa aksila sampel.
3) Sampel menjepit termometer dengan merapatkan lengan
sampel ke tubuhnya.
4) Peneliti menunggu 3-5 menit.
5) Peneliti membaca hasil yang tertera pada termometer. Angka
tersebut merupakan suhu tubuh sampel.
K. Teknik Analisis Data
Analisis statistik dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik
ganda. Analisis regresi logistik ganda adalah alat statistik yang sangat kuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
P
1 p
untuk menganalisis pengaruh antara sebuah paparan dan penyakit (yang
diukur ordinal) dan dengan serentak mengontrol pengaruh sejumlah faktor
perancu potensial.
Menurut Murti (1997), model regresi logistik selanjutnya dapat
digunakan untuk:
1. Mengukur pengaruh antara variabel respon dan variabel prediktor setelah
mengontrol pengaruh prediktor (kovariat) lainnya.
2. Keistimewaan analisis regresi ganda logistik dibanding dengan analisis ganda
linier adalah kemampuannya mengkonversi koefisien regresi (bi) menjadi Odds
Ratio (OR). Untuk variabel prediktor yang berskala kategorikal, maka rumus OR
= Exp (bi).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Murti, 1997) :
ln = a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5
di mana :
p : Probabilitas untuk hipotermi
1 - p : Probabilitas untuk tidak hipotermi
a : Konstanta
b1..b5 : Konstanta regresi variabel bebas X1…X5
X1 : Hipoglikemi (0: hipoglikemi; 1: tidak hipoglikemi)
X2 : Usia (0: neonatal dini; 1: neonatal lanjutan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
X3 : Berat badan lahir (0: berat tidak cukup; 1: berat cukup)
X4 : Usia kehamilan (0: usia tidak cukup; 1: usia cukup)
X5 : Asfiksia (0: ada; 1: tidak ada)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 36
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian dilaksanakan di IGD dan HCU Neonatus RSUD Moewardi. Subjek
penelitian ini adalah seluruh neonatus rujukan di RSUD Moewardi selama bulan
Desember 2011 - Juni 2102. Pada penelitian ini didapatkan total sampel sebanyak
81 neonatus.
B. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi (n) % 1. Perempuan 27 33.3 2. Laki-laki 54 66.7 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus laki-laki.
Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan usia neonatus
No Usia Frekuensi (n) % 1. 0-7 hari (Neonatal dini) 56 69.1 2. 8-28 hari (Neonatus lanjutan) 25 30.9 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatal dini.
Tabel 4.3. Distribusi sampel berdasarkan berat badan lahir neonatus
No Berat Badan Lahir Frekuensi (n) % 1. BBLL 2 2.5 2. BBLC 45 55.6 3. BBLR 26 32.1 4. BBLSR 8 9.9 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus berat badan lahir cukup (BBLC).
Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan usia kehamilan neonatus
No Usia Kehamilan Frekuensi (n) % 1. Aterm 52 64.2 2. Prematur 28 34.6 3. Immatur 1 1.2 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.4. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus aterm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tabel 4.5. Distribusi sampel berdasarkan status asfiksia
No Status Asfiksia Frekuensi (n) % 1. Asfiksia 31 38.3 2. Tidak asfiksia 50 61.7 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.5. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus yang tidak mengalami asfiksia.
Tabel 4.6. Distribusi sampel berdasarkan kadar Glukosa Darah Sementara (GDS)
No Kadar GDS Frekuensi (n) % 1. Hipoglikemi 14 17.3 2. Tidak hipoglikemi 67 82.7 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi.
Tabel 4.7. Distribusi sampel berdasarkan suhu tubuh neonatus
No Suhu Tubuh Frekuensi (n) % 1. Hipotermi 27 33.3 2. Tidak hipotermi 54 66.7 Jumlah 81 100
Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.7. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti
merupakan neonatus yang tidak mengalami hipotermi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
C. Hasil Uji Analisis Bivariat
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji analisis bivariat. Dengan
uji tersebut dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel
secara statistik bermakna. Penelitian ini mengamati hubungan antara variabel
status hipoglikemi dengan variabel terikat kejadian hipotermi serta variabel
perancu berupa usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan asfiksia. Adanya
variabel perancu berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk
mengendalikannya, dilakukan analisis regresi logistik. Uji statistik menggunakan
Chi Square Test dengan Confidence Interval (CI) = 95%.
Tabel 4.8. Analisis bivariat jenis kelamin dengan kejadian hipotermi
Jenis Kelamin Kejadian Hipotermi
Total OR P Positif n (%) Negatif n (%)
Perempuan 9 (33.3%) 18 (66.7%) 27 (100%) - - Laki-laki 18 (33.3%) 36 (66.7%) 54 (100%) 1.00 1.000
Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.8. didapatkan bahwa persentase kejadian hipotermi sama
antara laki-laki dan perempuan (33.3%). Analisis bivariat terhadap hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan yang
tidak signifikan. Neonatus laki-laki memiliki risiko mengalami hipotermi 1 kali
lebih besar daripada kelompok neonatus perempuan sehingga tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hipotermi (OR= 1.00; CI 95%;
0.38, 2.66; p = 1.000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 4.9. Analisis bivariat usia neonatus dengan kejadian hipotermi
Usia Neonatus Kejadian Hipotermi
Total OR P Positif n (%) Negatif n (%)
(Neonatal dini) 22 (39.3%) 34 (60.7%) 56 (100%) - - (Neonatus lanjutan)
5 (20.0%) 20 (80.0%) 25 (100%) 0.386 0.089
Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.9. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai pada
neonatal dini daripada neonatal lanjutan. Analisis bivariat terhadap hubungan
antara status usia neonatus dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan. Neonatal dini memiliki risiko mengalami hipotermi 0.39
kali lebih besar daripada kelompok neonatal lanjutan (OR= 0.39; CI 95%; 0.13,
1.18; p = 0.09).
Tabel 4.10. Analisis bivariat berat badan lahir dengan kejadian hipotermi
Berat Badan Lahir
Kejadian Hipotermi Total OR P
Positif n (%) Negatif n (%) BBL tidak
cukup 15 (44.1%) 19 (55.9%) 34 (100%) - -
BBL cukup 12 (25.5%) 35 (74.5%) 47 (100%) 0.43 0.080 Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.10. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai
pada neonatus dengan berat badan lahir tidak cukup daripada yang memiliki
berat lahir cukup. Analisis bivariat terhadap hubungan antara berat badan lahir
neonatus dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
signifikan. Neonatus dengan berat badan lahir tidak cukup memiliki risiko
mengalami hipotermi 0.43 kali lebih besar daripada kelompok neonatus yang
memiki berat badan cukup (OR= 0.43; CI 95%; 0.17, 1.11; p = 0.08).
Tabel 4.11. Analisis bivariat usia kehamilan dengan kejadian hipotermi
Usia Kehamilan Kejadian Hipotermi
Total OR P Positif n (%) Negatif n (%)
Tidak cukup bulan 13 (44.8%) 16 (55.2%) 29 (100%) - - Cukup bulan 14 (26.9%) 38 (73.1%) 52 (100%) 0.45 0.101
Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.11. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai
pada neonatus yang tidak cukup bulan (prematur dan immatur) daripada yang
cukup bulan (aterm). Analisis bivariat terhadap hubungan antara usia kehamilan
neonatus dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan. Neonatus yang tidak cukup bulan memiliki risiko mengalami
hipotermi 0.43 kali lebih besar daripada kelompok neonatus yang cukup bulan
(OR= 0.43; CI 95%; 0.17, 1.12; p = 0.101).
Tabel 4.12. Analisis bivariat status asfiksia dengan kejadian hipotermi
Status Asfiksia Kejadian Hipotermi
Total OR P Positif n (%) Negatif n (%)
Asfiksia 16 (51.6%) 15 (73.1%) 52 (100%) - - Tidak asfiksia 12 (24.0%) 38 (76.0%) 29 (100%) 2.97 0.024
Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.12. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai
pada neonatus yang asfiksia daripada yang tidak asfiksia. Analisis bivariat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
terhadap hubungan antara status asfiksia neonatus dengan kejadian hipotermi
menunjukkan hubungan yang signifikan. Neonatus yang asfiksia memiliki
risiko mengalami hipotermi 2.97 kali lebih besar daripada kelompok neonatus
yang tidak asfiksia (OR= 2.97; CI 95%; 1.14, 7.74; p = 0.024).
Tabel 4.13. Analisis bivariat kadar GDS dengan kejadian hipotermi
Kadar GDS Kejadian Hipotermi
Total OR P Positif n (%) Negatif n (%)
Hipoglikemi 20 (29.9%) 47 (70.1%) 67 (100%) - -
Tidak hipoglikemi 7 (50.0%) 7 (50.0%) 14 (100%) 2.35 0.212 Sumber : Data primer, 2012
Dari Tabel 4.13. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai pada
neonatus yang tidak hipoglikemi daripada yang hipoglikemi. Analisis bivariat
terhadap hubungan antara kadar GDS neonatus dengan kejadian hipotermi
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Neonatus yang hipoglikemi
memiliki risiko mengalami hipotermi 2.35 kali lebih besar daripada kelompok
neonatus yang tidak hipoglikemi (OR= 2.35; CI 95%; 0.73, 7.58; p = 0.212), tetapi
hasil ini belum mengontrol pengaruh dari variabel perancu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
D. Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Ganda
Tabel 4.14. Hasil analisis regresi logistik ganda tentang kadar GDS, usia, berat
badan lahir, usia kehamilan, dan status asfiksia dengan kejadian
hipotermi
Variabel OR CI 95%
p Batas Bawah Batas Atas
Kadar GDS 1.98 0.54 7.73 0.305 Usia 0.39 0.12 1.29 0.122 Berat badan lahir 0.86 0.25 2.95 0.816 Usia kehamilan 0.47 0.14 1.64 0.237 Status asfiksia 2.69 0.98 7.35 0.054 N observasi = 81
Nagelkerke R2 = 18.7%
-2 loglikelihood = 91.38 Sumber : Data primer, 2012
Berdasarkan tabel analisis regresi logistik diketahui bahwa setelah
mengontrol pengaruh dari faktor perancu usia, berat badan lahir, usia kehamilan,
dan status asfiksia, neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami
hipotermi 1.98 kali lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami
hipoglikemi (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p = 0.305). Nilai OR = 1.98
menunjukkan hubungan sedang antara hipoglikemi dengan prognosis hipotermi.
Nilai p adalah 0.305. Artinya, probabilitas untuk membuat simpulan salah bahwa
neonatus yang mengalami hipoglikemi memiliki risiko menjadi hipotermi 1.98 kali
dibandingkan yang tidak mengalami hipoglikemi, ketika sesungguhnya pengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
tersebut tidak ada, adalah 30,5 dari 100 kesempatan. Probabilitas tersebut cukup
besar, dengan kata lain hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi
secara statistik tidak bermakna (p > 0.05).
Nagelkerke R2 = 18.7% mengandung arti variabel independen dalam
model regresi logistik yaitu status hipoglikemi, usia, berat badan lahir, usia
kehamilan, dan status asfiksia secara bersama mampu menjelaskan terjadinya
hipotermi sebesar 18.7%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di IGD dan HCU
Neonatus di RSUD Dr. Moewardi. Ada tidaknya hubungan antara kedua variabel
tersebut diuji menggunakan metode uji regresi logistik ganda. Pada penelitian ini
dibahas deskripsi tentang karakteristik hipotermi berdasarkan berbagai faktor,
seperti: usia neonatus, usia kehamilan, berat badan lahir, status asfiksia dan kadar
glukosa darah sementara.
Pada tabel 4.1. dan tabel 4.8. terlihat bahwa sebagian besar sampel neonatus
yang diteliti merupakan neonatus laki-laki. Berdasarkan persentase jenis kelamin,
neonatus laki-laki memiliki persentase yang sama dengan neonatus perempuan
yang mengalami hipotermi, yaitu sebesar (33.3%). Analisis bivariat terhadap
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan. Neonatus laki-laki memiliki risiko mengalami hipotermi 1
kali lebih besar daripada kelompok neonatus perempuan. OR=1.00 memiliki arti
bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin neonatus dengan kejadian
hipotermi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kambarami dan Chidede (2003) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dengan hipotermia pada neonatus. Pada penelitian Zayeri et al. (2007) terhadap
900 neonatus dengan seleksi random di Iran, tentang faktor risiko hipotermi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
rumah sakit rujukan juga didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin dan kejadian hipotermi.
Pada tabel 4.2. dan 4.9. dapat diketahui sebagian besar sampel neonatus
yang diteliti merupakan neonatal dini. Berdasarkan persentase usia, neonatus yang
lebih banyak mengalami hipotermi adalah neonatus usia dini berusia 0-7 hari
(neonatal dini) (39.3%) dibandingkan neonatus usia 8-28 hari (neonatal lanjutan)
(20.0%). Pal et al. (2000) menyatakan bahwa kejadian hipotermi pada neonatus
lebih dominan disebabkan oleh faktor usia. Pada penelitian retrospektif terhadap
261 neonatus di Zimbabwe dilaporkan bahwa neonatal dini berusia 0-7 hari yang
saat masuk di unit pediatri dalam keadaaan hipotermi sebesar 44% walaupun
dalam musim hangat (Zayeri et al., 2007). Hal ini juga didukung dengan adanya
penelitian yang dilakukan di Kabupaten Cirebon yang menggambarkan bahwa
usia mempengaruhi kejadian hipotermi, didapatkan bahwa 88 % kematian
neonatal terjadi pada periode neonatal dini usia 0-7 hari dan 6 % dari kematian
neonatus tersebut disebabkan oleh hipotermi (Hadi, 2008). Neonatus mudah
mengalami kehilangan air secara transepidermal dan kehilangan panas akibat
belum matangnya struktur dan fungsi kulit neonatus. Risiko kehilangan air secara
transepidermal akan berkurang seiring bertambahnya usia neonatus (Waldron,
2007).
Pada tabel 4.3. dan 4.10. dinyatakan bahwa berdasarkan berat badan lahir,
neonatus yang mengalami hipotermi paling banyak pada neonatus dengan berat
badan lahir tidak cukup (BBLR dan BBLSR) (44.1%) dibandingkan dengan
neonatus yang Berat Badan Lahir Cukup (BBLC dan BBLL) (25.5%). Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
sesuai dengan teori dimana neonatus yang lahir dengan berat badan rendah
memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami hipotermi (Dinas Kesehatan Jawa
Tengah, 2006; Kumar et al., 2009). Di Tanzania, Odds Ratio dari hipotermi pada
neonatus dengan berat lahir rendah adalah 11.0 dibandingkan dengan neonatus
dengan berat badan cukup (Kumar et al., 2009). Sedangkan neonatus yang terlahir
dengan berat badan lebih, mampu mengatasi kondisi hipotermi dengan mudah
(Pawlowski, 1998). Christensson et al. dalam penelitiannya pada neonatus di
Zambia dan Briend dalam penelitiannya pada neonatus di Afrika Barat sama-sama
melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan
suhu rektal neonatus (Kumar et al., 2009). Ada beberapa hal terkait berat badan
neonatus yang berhubungan dengan suhu tubuh, yaitu: 1) semakin besar ukuran
neonatus, membuat semakin berkurangnya rasio permukaan tubuh dengan masa
tubuh, 2) semakin meningkatnya jumlah dari jaringan lemak subkutan yang
berfungsi sebagai insulator, 3) peningkatan jumlah dari lemak coklat akan
meningkatkan proses termogenesis tanpa menggigil, 4) terjadinya termogenesis
aktif saat neonatus tidur, dan 5) neonatus cenderung menyimpan panas selama
usia beberapa bulan sehingga suhu tubuhnya seimbang (Pawlowski, 1998).
Tabel 4.4. dan 4.11. tentang kejadian hipotermi berdasarkan usia kehamilan,
tampak bahwa neonatus yang paling banyak mengalami hipotermi adalah
neonatus yang tidak cukup bulan (prematur dan immatur) dengan persentase
sebesar (44.8%) daripada neonatus yang cukup bulan (aterm) dengan persentase
sebesar (26.9%). Menurut Kumar et al. (2009), neonatus pada umumnya dan yang
lahir prematur cenderung mudah untuk mengalami kehilangan panas tubuh karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
luas permukaan tubuhnya yang relatif luas dibandingkan dengan masa tubuh.
Memperjelas hal itu, Mullany et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa neonatus yang preterm (immatur dan prematur) mengalami kehilangan
panas yang lebih cepat daripada neonatus yang aterm. Hal ini disebabkan antara
lain oleh: 1) lebih besarnya rasio antara luas permukaan tubuh dengan masa tubuh
neonatus, 2) lebih cepat mengalami kehilangan air secara transepidermal akibat
barrier epidermis yang tipis, 3) sedikitnya lemak coklat dibandingkan neonatus
yang aterm. Kumar et al. (2009) juga menjelaskan neonatus yang preterm
mengalami terhentinya penyimpanan substrat pada akhir trimester dari masa
kehamilan, sehingga mengurangi jumlah isolator yang seharusnya dihasilkan oleh
lemak subkutan. Neonatus preterm lebih mudah mengalami kehilangan panas
tubuh dibandingkan neonatus yang aterm, hal ini meningkat pada neonatus
dengan usia kehamilan < 33 minggu.
Tabel 4.5. dan 4.12. tentang kejadian hipotermi berdasarkan status asfiksia,
ditemukan bahwa hipotermi lebih banyak dijumpai pada neonatus yang asfiksia
daripada yang tidak asfiksia. Pada penelitian ini, analisis bivariat terhadap
hubungan antara status asfiksia neonatus dengan kejadian hipotermi menunjukkan
hubungan yang signifikan. Neonatus yang asfiksia memiliki risiko mengalami
hipotermi 2.97 kali lebih besar daripada kelompok neonatus yang tidak asfiksia.
Hal ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa neonatus yang mengalami
asfiksia memiliki risiko penurunan suhu tubuh yang sangat tinggi segera setelah
lahir (Kumar et al., 2009). Asfiksia pada neonatus akan menurunkan kecepatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
metabolisme yang mengakibatkan kurangnya kemampuan neonatus untuk
memproduksi panas tubuhnya sehingga terjadi hipotermi (Hey, 2001).
Pada tabel distribusi sampel yaitu tabel 4.6. dan tabel 4.7. didapatkan bahwa
sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatus yang tidak
mengalami hipoglikemi dan tidak mengalami hipotermi. Sampel neonatus pada
penelitian ini berjumlah 81 neonatus dengan perbandingan antara yang hipotermi
dengan tidak hipotermi 1 : 2 sesuai dengan teknik fixed-disease sampling. Hal ini
dimaksudkan agar didapatkan perbandingan yang valid antara kedua kelompok
studi dalam kelima variabel independen (Murti, 2010).
Pada tabel 4.13. persentase kejadian hipotermi lebih banyak dijumpai pada
neonatus yang tidak hipoglikemi daripada yang hipoglikemi. Sedangkan secara
kuantitas, neonatus yang mengalami hipoglikemi lebih banyak yang mengalami
hipotermi daripada neonatus yang tidak hipoglikemi. Analisis bivariat kadar GDS
dengan kejadian hipotermi menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p >
0.05). Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi 2.35 kali
lebih besar daripada kelompok neonatus yang tidak hipoglikemi (OR = 2.35; CI
95%; 0.73, 7.58; p = 0.212), tetapi hasil ini belum mengontrol pengaruh dari
variabel perancu.
Untuk memperjelas hubungan dari hasil analisis data yang didapat maka
dilakukan kontrol terhadap variabel perancu (usia, berat badan lahir, usia
kehamilan, dan status asfiksia) dengan analisis regresi logistik ganda (dapat
dilihat pada tabel 4.14). Setelah mengontrol variabel perancu, risiko menjadi
hipotermi turun menjadi 1.98 kali lebih besar. Nilai OR=1.98 menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
hubungan sedang antara hipoglikemi dengan prognosis hipotermi, namun secara
statistik hubungan tersebut tidak signifikan karena nilai p > 0.05 (OR = 1.98; CI =
95%; 0.54, 7.73; p = 0.305).
Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kurangnya
metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti hipoglikemia dapat menyebabkan
hipotermi. (Sessler, 2008). Hipoglikemia merupakan penyebab terjadinya
hipotermi sekunder, yaitu penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu
lingkungan yang dingin (Hassan dan Alatas, 2007).
Ketidaksignifikansi penelitian ini mungkin disebabkan adanya faktor lain
yang mempengaruhi kejadian hipotermi yang tidak diteliti. Kumar et al. (2009)
menjelaskan bahwa di negara berkembang, kombinasi dari faktor psikologis,
perilaku, dan lingkungan, tanpa memandang berat badan neonatus, membuat
neonatus dalam risiko hipotermi. Sedangkan Pal et al. (2000) menyatakan bahwa
pada dasarnya, hipoglikemi dengan hipotermi pada neonatus lebih dominan
disebabkan oleh faktor usia. Neonatus setelah lahir memang cenderung
mengalami hipoglikemi dan hipotermi dalam waktu bersamaan, sehingga tidak
terdapat kaitan klinis yang kuat di antara keduanya. Asakura (2004) dalam
studinya menyampaikan bahwa segera setelah lahir kondisi tubuh neonatus
berubah secara drastis. Suhu ruangan tempat proses persalinan biasanya sekitar
26℃ to 27℃ , yang berkurang 10℃ dari suhu intrauterin membuat neonatus
terpapar oleh lingkungan yang dingin sehingga berakibat hipotermi.
Ketidaksignifikansi penelitian ini juga mungkin disebabkan karena sampel
yang berasal dari neonatus rujukan luar RSUD Dr. Moewardi adalah neonatus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dengan berbagai jenis penyakit dan komplikasinya seperti kelainan kongenital,
infeksi, gangguan metabolik, dan lain-lain sehingga banyak faktor yang dapat
merancukan kejadian hipotermi dalam penelitian ini. Ada beberapa faktor perancu
yang dikendalikan pada penelitian ini seperti seperti: usia neonatus, jenis kelamin,
usia kehamilan, berat badan lahir, status dan asfiksia. Namun, faktor-faktor lain
yang juga dapat merancukan hasil penelitian seperti faktor genetik, kondisi stres,
kondisi dan suhu tubuh neonatus saat dirujuk dan lain-lain belum dapat
dikendalikan pada penelitian ini.
Keterbatasan pada penelitian ini juga terdapat pada desain penelitian yang
bersifat cross sectional, metode pengambilan sampel, jumlah sampel, dan adanya
variabel luar lain yang tidak diteliti. Penggunaan desain cross sectional
dipengaruhi oleh keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian. Desain cross
sectional kurang dapat menganalisis hubungan sebab akibat yang kuat antara
paparan dengan penyakit/masalah kesehatan karena penilaian hubungan dilakukan
satu waktu, sementara validitas penilaian hubungan kausal pada dasarnya
memerlukan arah waktu yang jelas (paparan mendahului penyakit). Penilaian
hubungan kausal ini paling baik dilakukan dengan desain kohort.
Pengambilan data kadar glukosa darah dan suhu tubuh sampel neonatus
hanya dilakukan satu kali yaitu pada saat pertama kali neonatus datang di IGD.
Hal tersebut dikarenakan waktu yang terbatas dan dapat menjadi kekurangan
dalam penelitian. Hasil pengukuran kadar glukosa darah sewaktu pada neonatus
menggunakan glucose strips test masih perlu dikonfirmasi lagi dengan
pemeriksaan laboratorium namun pada penelitian ini tidak dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Jumlah sampel neonatus telah memenuhi perhitungan pada rumus sampel,
namun dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar diharapkan hasil
penelitian lebih dapat digeneralisasikan. Jumlah sampel yang besar juga akan
meningkatkan presisi atau ketelitian penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Terdapat hubungan sedang antara hipoglikemi dengan prognosis kejadian
hipotermi, meskipun hubungan tersebut dalam analisis secara statistik tidak
bermakna. Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi
1.98 kali lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi
setelah mengontrol pengaruh faktor perancu seperti: usia, berat badan lahir,
usia kehamilan, dan status asfiksia. (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p =
0.305).
B. Saran
1. Neonatus cenderung mengalami hipotermi dan hipoglikemi yang akan
mengakibatkan komplikasi lebih lanjut dan kematian sehingga perlu
dilakukan pemantauan berkala yang teliti dan cermat terhadap kondisi
neonatus serta penanganan yang cepat dan tepat.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian Kohort,
lokasi cakupan penelitian yang lebih luas, jumlah sampel yang lebih
banyak, pengambilan data kadar glukosa darah dan suhu tubuh sampel
neonatus dilakukan lebih dari satu kali, konfirmasi kadar glukosa darah
dengan pemeriksaan laboratorium dan analisis terhadap faktor perancu
sehingga memperkuat simpulan dan memperkecil bias pada penelitian
tersebut. Dengan demikian dapat diperoleh data yang lebih valid mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
hubungan antara antara kasus hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada
neonatus rujukan.