Upload
auni-nafeesah
View
203
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tentang penjelasan bagaimana sebuah difusi osmosis terjadi dalam memberikan info untuk mendukung hasil penelitian minyak atsiri
Citation preview
REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI
DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN LAJU ALIR UAP BERTAHAP
TUTI TUTUARIMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap adalah karya saya sendiri atas arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Tuti Tutuarima NRP F351060031
ii
ABSTRACT
TUTI TUTUARIMA. Process Design of Vetiver Oil Distillation by Increase of Pressure and Steam Flow Rate. Under direction of MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR and EDY MULYONO.
Indonesia is one of world wide vetiver oil major producers. The main problem of Indonesian vetiver oil especially the oil from Garut is low yield (about 0.6-0.8%) and poor quality (dark color & scorched odor). This study was aimed to improve distillation process performance of vetiver oil to obtain better oil recovery and quality.
Steam distillation and stainless steel kettle (5 kg capacity of vetiver) with pressure reducing valve (PRV) were used in this study. Raw material used in the study was vetiver root (Vetiveria zizanioides Stapt) in the type of Pulus Wangi collected from vetiver plantation in Garut, West Java. Treatments applied in this study were distillation by gradual increased steam pressure (2, 2.5, and 3 bar) with constant water steam flow rate (1, 1.5, and 2 l/h kg) for each of the steam pressure for 9 hours period. Other two additional treatments were also applied in the study, namely (1) distillation by gradual increased steam pressure without regulated steam flow rate, and (2) distillation by gradual increased steam pressure with gradual steam flow rate. Quality of the vetiver oil was analyzed according to the method of SNI 06-2386-2006 and compared with ISO 4716:2002. Compositions of the vetiver oil were identified through the GC MS analysis.
The use of gradual increased steam pressure (2, 2.5, 3 bar) resulted in 92.58% of recovery performance, which was slightly higher than 90.37% of the constant pressure of 3 bars. Steam flow rate affected the recovery performance of distillation process, significantly. The increased steam flow rate during distillation process was able to improve the recovery performance of distillation. However, in general, the highest constant steam flow rate of 2 l/h kg showed better recovery performance. The use of gradual increased pressure up to 3 bars and steam flow rate of 2 l/h kg material revealed high performance recovery with appropriate quality as the SNI and ISO standards. The use of gradual increased pressure up to 3 bars could produce vetiver oil fraction with appropriate component composition of boiling point. Components of vetiver oil, khusimene and khusimone, were extracted at the pressure of 2 and 2.5 bars; whereas α-vetivone, β-vetivon, and khusenic acid were extracted at the three type of pressures with the greater increased of percentage at 3 bars. The kinetics for vetiver oil distillation could be predicted by the equations of the solvent extraction kinetics model. The obtained equation of kinetics parameters was k = 0840 V0.530.
Keywords : vetiver oil, steam distillation, oil recovery
iii
RINGKASAN
TUTI TUTUARIMA. Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap. Dibimbing oleh MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR dan EDY MULYONO.
Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor minyak atsiri secara keseluruhan. Permasalahan utama yang dihadapi minyak akar wangi Indonesia khususnya di Garut adalah rendahnya rendemen (berkisar antara 0,6–0,8%) dan kualitas minyak (warna gelap dan bau gosong). Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses penyulingan minyak akar wangi sehingga dapat menghasilkan recovery dan kualitas tinggi melalui rekayasa disain proses penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju uap secara bertahap.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan tekanan konstan terhadap recovery minyak akar wangi. Tekanan yang digunakan adalah 1, 2, dan 3 bar. Hasil yang didapat pada penelitian pendahuluan digunakan untuk menentukan disain proses penyulingan dengan pendekatan peningkatan tekanan secara bertahap. Penelitian utama bertujuan untuk melihat pengaruh disain proses penyulingan tekanan bertahap pada laju alir uap yang berbeda terhadap recovery dan mutu minyak akar wangi. Laju alir uap yang digunakan adalah 1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan. Selain itu juga dilakukan 2 perlakuan tambahan yaitu penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap seiring peningkatan waktu. Analisa mutu minyak akar wangi berdasarkan SNI 06-2386-2006 dan dibandingkan dengan ISO 4716:2002. Analisa mutu meliputi warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan vetiverol. Komponen penyusun minyak akar wangi dideteksi melalui analisa GC MS.
Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan bahwa penggunaan tekanan yang lebih tinggi memberikan recovery yang lebih besar pada waktu yang sama. Penggunaan tekanan bertingkat untuk penelitian utama ditentukan berdasarkan nilai kemiringan grafik recovery minyak hasil penelitian pendahuluan. Peningkatan tekanan yang digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar masing-masing setelah jam ke 2, 5, dan 9 operasi.
Penelitian utama memberikan hasil bahwa peningkatan tekanan dan laju alir uap mempengaruhi total recovery minyak yang dihasilkan dan waktu penyulingan. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap 2; 2,5; 3 bar, dan penggunaan laju alir uap yang lebih tinggi menaikkan recovery minyak hingga 92.58%. Kondisi proses ini juga dapat mempersingkat waktu penyulingan menjadi 9 jam sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap adalah 92.58%, sedangkan recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan adalah 90.37%. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap menghasilkan minyak dengan mutu yang baik ditinjau dari beberapa parameter mutu SNI dan ISO. Sebagian besar komponen minyak akar
iv
wangi terdistribusi sempurna sesuai dengan derajat penguapannya sebagai akibat dari penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap.
Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery perlu dilakukan. Ini bertujuan untuk mengetahui batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat meningkatkan recovery.
Kata Kunci : minyak akar wangi, penyulingan uap, recovery minyak
v
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
vi
REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN
LAJU UAP BERTAHAP
TUTI TUTUARIMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prayoga Suryadarma, STP. MT.
viii
Judul Tesis : Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi
Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap
Nama : Tuti Tutuarima NRP : F351060031
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Erliza Noor Anggota
Ir. Edy Mulyono, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 18 Agustus 2009 Tanggal Lulus :
ix
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada qudwah ummah sepanjang masa, Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para shohabat dan orang-orang yang istiqomah menapaki jalan Nya hingga yaumil akhir nanti.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir, Meika Syahbana Rusli, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Erliza Noor dan Bapak Ir. Edy Mulyono, MS. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Prayoga Suryadarma, STP. MT. selaku penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan staf, terutama Pak Dedi, Pak Makmun, Bu Eni serta staf dan teknisi laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu selama penelitian. Terimakasih juga kepada Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah mendanai penelitian ini.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Mak dan Bak, kakak-kakak terutama Dodang, keponakan, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Terima kasih pula buat saudaraku Rahmat, Ria, Mba Tini, Bu Ros, Bu Cut; teman-teman di PCH Uni Fit, Ayuk Desi, Kak Sahara, Ayuk Sherly; teman-teman ngaji Teh Erni, Patma, Mba Tiwi, Siti, Mba Rina; serta rekan-rekan TIP angkatan 2006 yang selalu memberikan dukungan. Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan, baik berupa petunjuk-petunjuk, bimbingan, dan lain-lainnya dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penuliskan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan hati yang ikhlas penulis mengharapkan agar kiranya kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT menerima apa yang telah penulis lakukan sebagai wujud syukur kepada-Nya dan Allah mengampuni semua kesalahan kita. Amin.
Bogor, Agustus 2009
Tuti Tutuarima
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 11 April 1983 dari ayah H.M.Sabri dan ibu Hj. Ruhana. Penulis merupakan putri bungsu dari tujuh bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bengkulu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Bengkulu melalui jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA) pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, lulus tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor pada program studi yang sama atas tawaran Kakak tercinta Mahyudin Shobri. Biaya penelitian penulis peroleh dari Departemen Pertanian melalui Program KKP3T tahun 2007.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................... 4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Akar Wangi........................................................................ 6 2.2 Standar Mutu Minyak Akar Wangi................................................. 12 2.3 Penyulingan Minyak Akar Wangi................................................... 13 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi 17 2.5 Model Kinetika Penyulingan Minyak Atsiri ................................... 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 22 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 22 3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................... 24 3.4 Pemodelan Kinetika ........................................................................ 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Akar Wangi ............................................................... 29 4.2 Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan ......... 29 4.3 Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi............................ 32
4.4 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap ............................................................... 34
4.5 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan .................................................................... 36
4.6 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap................................................................................... 37
4.7 Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap .......................................................................................... 38
4.8 Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi .................................... 44 4.9 Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi......................... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...................................................................................... 53 5.2 Saran................................................................................................ 53
xii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................55 LAMPIRAN....................................................................................................... 60
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perkembangan ekspor impor akar wangi............................................... 1
Tabel 2 Komposisi kimia minyak akar wangi .................................................... 9
Tabel 3 Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi .................................... 10
Tabel 4 Beberapa penelitian minyak akar wangi ................................................ 11
Tabel 5 Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen..... 12
Tabel 6 Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006............. 13
Tabel 7 Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 7416 : 2002 ................ 13
Tabel 8 Hasil karakterisasi akar wangi ............................................................... 29
Tabel 9 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan............................ 33
Tabel 10 Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat ... 44
Tabel 11 Distribusi luas area GC-MS minyak akar wangi ................................... 45
Tabel 12 Nilai koefisien distilasi .......................................................................... 49
Tabel 13 Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan...................... 50
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kantung minyak akar wangi ............................................................... 7
Gambar 2 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air .................. 14
Gambar 3 Skema proses difusi ............................................................................ 15
Gambar 4 Skema proses osmosis......................................................................... 16
Gambar 5 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap................. 17
Gambar 6 Skema sistem penyulingan uap langsung............................................ 23
Gambar 7 Diagram alir tahapan penelitian .......................................................... 25
Gambar 8 Akumulasi recoveri minyak terhadap waktu penyulingan.................. 30
Gambar 9 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan....... 31
Gambar 10 Recoveri minyak terhadap waktu penyulingan.................................. 33
Gambar 11 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa
pengaturan laju alir uap dan tekanan bertahap laju alir uap
konstan ...............................................................................................34
Gambar 12 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap
tanpa pengaturan laju ......................................................................... 35
Gambar 13 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju
alir uap konstan selama 9 jam ............................................................ 36
Gambar 14 Recoveri minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap................. 38
Gambar 15 Tampilan warna minyak akar wangi .................................................. 40
Gambar 16 Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap.......... 42
Gambar 17 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil
penyulingan dengan penyulingan tekanan bertahap dan laju alir
uap 2 l/j/kg ......................................................................................... 46
Gambar 18 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil
penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap
bertahap..............................................................................................47
Gambar 19 Kinetika penyulingan minyak akar wangi ......................................... 49
Gambar 20 Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap ............................. 50
Gambar 21 Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil
prediksi model pada laju bertahap...................................................... 51
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Daftar istilah dan simbol .................................................................. 61
Lampiran 2 Prosedur analisa kadar air dan kadar minyak.................................. 62
Lampiran 3 Prosedur analisa sifat fisika kimia minyak akar wangi ................... 66
Lampiran 4 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan ..................... 76
Lampiran 5 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa
pengaturan laju alir uap ................................................................... 76
Lampiran 6 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap
dan laju alir uap konstan.................................................................. 77
Lampiran 7 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir
uap bertahap.................................................................................... 77
Lampiran 8 Laju alir uap pada tekanan konstan ................................................. 78
Lampiran 9 Laju alir uap pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir
uap ...................................................................................................78
Lampiran 10 Laju alir uap pada tekanan bertahap dan laju alir uap konstan...... 79
Lampiran 11 Laju alir uap pada tekanan dan laju alir uap bertahap..................... 79
Lampiran 12 Mutu minyak pada penyulingan tekanan bertahap dan laju alir
uap konstan...................................................................................... 80
Lampiran 13 Mutu minyak pada penyulingan tekanan dan laju alir uap
bertahap........................................................................................... 80
Lampiran 14 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar
Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan
Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan ........................................................... 81
Lampiran 15 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar
Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir
Uap Bertahap................................................................................... 85
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang
memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor
minyak atsiri secara keseluruhan. Pada perdagangan internasional, Indonesia
merupakan penghasil utama minyak akar wangi terbesar ketiga setelah Haiti dan
Bourbon. Perkembangan ekspor dan impor minyak akar wangi sejak tahun 2001–
2005 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan ekspor impor akar wangi
Ekspor Impor Tahun
Volume (kg) Nilai (US $) Volume (kg) Nilai (US $)
2001 1.583.798 1.759.241 2.312 43.728
2001 79.714 1.973.451 2.572 46.312
2003 45.821 1.428.682 2.465 18.680
2004 58.444 2.445.744 2.231 51.308
2005 74.210 1.544.618 532 22.890
Sumber : BPS 2001-2005
Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Fluktuasi volume ekspor ini terutama disebabkan oleh mutu minyak akar
wangi yang tidak sesuai dengan permintaan pasar (tidak seragam dan mutu
rendah) (Kardinan 2005). Pasar luar negeri yang menyerap produk minyak akar
wangi antara lain negara Jepang, China, Singapura, India, Hongkong, Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Swiss, dan Italia (BPS 2005).
Sentra budidaya tanaman dan produksi minyak akar wangi di Indonesia
berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produksi minyak akar wangi sebagian
besar dilakukan oleh industri kecil dengan menggunakan teknologi yang
sederhana/konvensional, sehingga seringkali minyak yang dihasilkan tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan eksportir maupun konsumen. Mutu
minyak akar wangi Indonesia merosot tajam sejak akhir tahun 90an sebagai akibat
2
terjadinya burning pada proses penyulingan yang menyebabkan adanya aroma
gosong, sehingga dalam perdagangannya mendapatkan harga yang rendah
(Suryatmi et al. 2006).
Produksi minyak atsiri dilakukan melalui beberapa metode diantaranya
distilasi (penyulingan), pengepresan, ekstraksi pelarut, dan ekstraksi dengan
lemak padat (Ketaren 1985; Heat dan Reineiccus 1987; Wright 1991).
Penyulingan merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan
minyak dari bahan yang berbentuk buah, biji, daun, dan akar. Menurut Guenther
(1990) metode penyulingan dapat dilakukan dengan air (water distillation), air
dan uap atau kukus (water and steam distillation), dan uap (steam distillation).
Metode penyulingan yang digunakan produsen minyak akar wangi Garut adalah
penyulingan uap (steam) dengan tekanan tinggi berkisar 4–5 bar (Suryatmi 2006).
Penyulingan ini menghasilkan minyak dengan mutu yang kurang baik, seperti bau
gosong dan warna gelap. Pada tekanan uap 4 bar suhu mencapai 150oC, sehingga
terbentuk uap kering (superheated steam) yang dapat menghanguskan bahan-
bahan organik yang rentan terhadap panas. Metode dan kondisi operasi proses
penyulingan merupakan tahapan penting untuk menghasilkan minyak atsiri
dengan jumlah dan mutu yang tinggi. Menurut Ketaren (1985) jumlah minyak
yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-komponen
dalam minyak, dan laju penyulingan.
Guenther (1990) berpendapat agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi
maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah. Penyulingan
dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai keuntungan yaitu
minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat panas. Hasil kajian
Suryatmi (2006) memperlihatkan bahwa penyulingan minyak akar wangi
menggunakan variasi tekanan konstan hingga 3 bar menghasilkan minyak akar
wangi yang lebih baik dibanding hasil minyak akar wangi pada umumnya karena
tidak berbau gosong. Penelitian lain menggunakan tekanan 2,5–3 bar
menghasilkan minyak akar wangi yang berbau lebih halus dan berwarna lebih
jernih (Feryanto 2007). Penggunaan tekanan yang lebih rendah membutuhkan
waktu penyulingan yang lebih lama. Pada tekanan tinggi (4–5 bar) hanya
dibutuhkan waktu 12 jam, tetapi pada tekanan lebih rendah diperlukan waktu
3
selama 16–18 jam. Hal ini berdampak pada besarnya biaya bahan bakar (minyak
tanah) yang dikeluarkan (rata-rata 22 liter minyak tanah/jam) (Feryanto 2007).
Kondisi yang dihadapi industri minyak akar wangi di Garut tidak hanya
berdampak pada penurunan perolehan devisa negara, tetapi juga berdampak pada
pendapatan yang dialami sejumlah besar petani dan penyuling akar wangi.
Permasalahan ini perlu diatasi dengan upaya-upaya nyata secara tepat.
Penyelesaian permasalahan dalam proses penyulingan (distilasi) minyak akar
wangi dapat dilakukan melalui inovasi teknologi dengan menggunakan prinsip-
prinsip proses distilasi. Berdasarkan Hukum Hidrodestilasi, percepatan proses
penyulingan dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan uap air (steam) secara
bertahap (Sakiah 2006). Untuk menguapkan komponen-komponen minyak akar
wangi yang bertitik didih lebih tinggi diperlukan kalor yang besar, untuk itu laju
uap perlu ditingkatkan secara bertahap agar diperoleh rendemen minyak akar
wangi yang lebih tinggi. Sakiah (2006) melakukan penyulingan minyak pala
selama 10 jam dengan tekanan awal 0 bar selama 4 jam kemudian ditingkatkan
menjadi 0,5 bar selama 4 jam berikutnya dan ditingkatkan lagi menjadi 1,5 bar
sampai akhir penyulingan. Hal ini dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi
(15.30% untuk biji pala dan 16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan
penyulingan pada penggunaan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20%
untuk biji pala dan 15.41% untuk fuli pala).
Selain tekanan, laju penyulingan berperan penting dalam menghasilkan
minyak yang baik. Laju yang tidak sesuai mengakibatkan proses penyulingan
tidak berlangsung sempurna. Milojevic (2008) menyimpulkan bahwa penggunaan
laju penyulingan yang besar dapat menghasilkan jumlah minyak yang lebih
banyak. Pada penggunaan laju penyulingan 0.13, 3.6, 10, dan 11.7 ml/menit
dihasilkan minyak 0.65%, 1.30%, 1.40%, dan 1.42%.
Sebagai upaya untuk menghasilkan minyak akar wangi bermutu dan
tingkat rendemen yang tinggi maka pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi
proses penyulingan metode uap langsung menggunakan variasi peningkatan
tekanan dan laju uap. Sebagai alternatif dari proses penyulingan dengan tekanan
yang tinggi secara konstan, pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu
dan perolehan minyak akar wangi.
4
1.2. Perumusan Masalah
Penyulingan akar wangi menggunakan tekanan tinggi menghasilkan
minyak bermutu rendah yang ditandai dengan warna gelap dan bau gosong. Mutu
minyak akar wangi yang baik, diharapkan mampu meningkatkan harga jual baik
untuk pasar dalam dan luar negeri. Permasalahan yang menjadi dasar penelitian
ini adalah :
a. Bagaimana kondisi operasi proses penyulingan untuk menghasilkan
recovery minyak yang tinggi?
b. Bagaimana pengaruh kondisi proses tersebut terhadap mutu minyak akar
wangi yang dihasilkan?
c. Bagaimana sebaran komponen senyawa penyusun minyak akar wangi
hasil penyulingan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mendapatkan kondisi operasi proses penyulingan untuk memperoleh
recovery yang tinggi dan mutu yang sesuai dengan SNI dan ISO;
b. Mengidentifikasi senyawa penyusun minyak akar wangi dari berbagai
tahapan penyulingan;
c. Memperkirakan model dan parameter kinetika pada penyulingan minyak
akar wangi.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi minyak akar
wangi yang memenuhi standar mutu nasional (SNI 06-2386-2006) dan
internasional (ISO 4716:2002) sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan
petani dan penyuling, serta memberikan manfaat terhadap pengembangan
teknologi produksi minyak atsiri.
1.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada penelitian ini adalah :
a. Karakterisasi bahan baku akar wangi meliputi kadar air dan kadar minyak.
Bahan baku yang digunakan adalah akar wangi jenis Pulus Wangi
5
berumur 12 bulan yang berasal dari Kecamatan Sukahardja Kabupaten
Garut.
b. Penyulingan minyak akar wangi menggunakan metode uap langsung yang
berasal dari boiler berbahan bakar listrik. Alat penyuling terbuat dari
bahan stainles steel kapasitas 5 kg akar wangi kering (volume 90 liter);
dilengkapi PRV (Pressure Reducing Valve); kondensor tipe spiral.
Penyulingan terdiri dari berbagai perlakuan, antara lain penyulingan
dengan tekanan konstan 1-3 bar, penyulingan dengan tekanan meningkat
bertahap, penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir
uap konstan 1-2 l/j kg bahan, penyulingan dengan tekanan dan laju alir
uap meningkat bertahap
c. Analisa mutu minyak akar wangi menggunakan metode berdasarkan SNI
06-2386-2006. Parameter yang dianalisa adalah bobot jenis, indeks bias,
putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester
dan bilangan ester setelah asetilasi.
d. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil menggunakan GC MS
(Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry) dan database WILEY275 di
Labkesda DKI Jakarta. Identifikasi ini hanya dilakukan pada minyak hasil
penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir uap konstan
2 l/j kg bahan serta minyak hasil penyulingan dengan tekanan dan laju alir
uap meningkat bertahap.
Penelitian ini dilaksanakan bersama-sama dengan kandidat Magister Sains
Program Mayor Teknologi Pasca Panen (TPP), Ir. Rosniyati Suwarda, dalam
kerangka Proyek Penelitian Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama
Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2007.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Akar Wangi
Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah
lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor nonmigas.
Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang memiliki
sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan
(Ketaren 1985 dan Santoso 1993). Tanaman akar wangi dapat menghasilkan
minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui proses
penyulingan.
Pada tanaman akar wangi menurut Heyne (1987), hanya bagian akar yang
mengandung minyak, sedangkan batang, daun, dan bagian lain tidak mengandung
minyak. Akar yang menghasilkan minyak dengan mutu yang baik dipanen pada
umur 22 bulan dan rendemen akar yang diperoleh 190 gram per rumpun. Ketaren
(1985) menyebutkan bahwa akar yang masih muda bersifat lemah, halus seperti
rambut dan jika dicabut dapat putus dan tertinggal dalam tanah. Selain itu akar
yang muda menghasilkan minyak dengan berat jenis dan putaran optik yang
rendah, berbau seperti daun. Akar yang lebih tua dan cukup baik pertumbuhannya,
berupa akar yang lebih tebal dan dapat menghasilkan minyak dengan mutu yang
lebih baik, serta memiliki jenis dan putaran optik yang lebih tinggi, berbau lebih
wangi dan lebih tahan lama.
Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning kecoklatan
hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody (Martinez et al.
2004). Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan
kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi dan pencegah
serangga (Kardinan 2005). Minyak akar wangi dapat juga digunakan sebagai
aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai penambah aroma dalam pengalengan
asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman (Martinez et al. 2004).
Minyak ini juga berfungsi sebagai pengikat karena mempunyai daya fiksasi
(pengikat) yang kuat, sehingga sering digunakan sebagai campuran parfum untuk
mempertahankan aroma.
7
Minyak akar wangi memiliki aroma yang kuat (Luu 2007), oleh karena itu
minyak ini banyak digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk
wewangian pada parfum, deodorant, lotions, sabun; sebagai bahan aromaterapi
(Guenther 1990; Luthony & Yeyet 1999; Luu 2007); sebagai zat fiksatif dan
komponen campuran dalam industri kosmetik (Akhila & Rani 2002; Martinez et
al. 2004; Kardinan 2005); sebagai pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan
2005); dalam obat herbal sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretic
(Lavania 1988; Akhila & Rani 2002); dalam industri pangan digunakan sebagai
flavor agent pada pengalengan asparagus dan berbagai minuman (Martinez et al.
2004).
Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang
berada diantara lapisan cortex dan endodermis (Gambar 1). Minyak yang terletak
dibawah lapisan permukaan disebut sebagai subcutaneous oils (Denny 2001).
Pengeluaran minyak dari dalam bahan dilakukan dengan melewatkan uap panas
untuk merusak lapisan luar yang menutupi kantung minyak (epidermis dan
cortex). Menurut Guenther (1990), suhu tinggi dan pergerakan uap air yang
disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel mempercepat proses difusi. Istilah
difusi dalam konteks ini adalah penetrasi dari berbagai komponen secara timbal
balik sehingga tercapai keseimbangan.
Gambar 1. Kantong minyak akar wangi (Lavania et al. 2008)
Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang mengandung
campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat kompleks
8
(Cazaussus 1988; Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri yang sangat
kental dengan laju volatilitas yang rendah (Akhila & Rani 2002). Luu (2007)
menyebutkan, komponen utama penyusun minyak akar wangi terdiri dari
sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, α-amorphine, aromadendrene,
junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol, spathulenol,
khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivone (α-vetivone, β-vetivone,
khusimone dan turunan esternya). Diantara komponen-komponen tersebut, α-
vetivone, β-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai
penentu aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari
(finger print) minyak akar wangi (Demole et al. 1995).
Shibamoto et al. (1981) mengidentifikasi sebelas komponen yang
terkandung dalam fraksi fenolik minyak akar wangi asal India menggunakan
metode kromatografi gas–spektrometri massa (KG-SM) dan resonansi magnet inti
(RMI). Komponen tersebut antara lain : metoksifenol, o-kresol, p-kresol, m-
kresol, eugenol, 4-vinilguaikol, cis-isoeugenol, trans-isoeugenol, 4-vinilfenol,
vanilin, dan asam zizanoat. Subhas et al. (1982) mengidentifikasi komponen
fraksi karbonil minyak akar wangi (±13%) antara lain : zizanal, epizizanal, α-
vetivone, β-vetivone, khusimone dan (+)-(1S,10R)-1,10-dimetilbisiklo[4.4.0]-dec-
6-en-3-on. Sementara komponen minyak akar wangi asal Burundi terdiri dari α-
muurolene, valensene, β-vetivene, α-vetivone, β-vetivone, khusimole, α-cadinol,
vetiselinenol, isosedranol, isokhusimol, dan β-bisabolol (Dethier et al. 1997).
Beberapa hasil identifikasi komponen menunjukkan kandungan senyawa
lebih dari 100 komponen (Cazaussus 1988), 28 komponen terutama dari golongan
sesquiterpen (Martinez et al. 2004). Hasil analisis terhadap minyak akar wangi
yang berasal dari Brazil, Haiti, Bourbon dan Indonesia, komposisi minyak
berbeda secara kuantitatif tetapi jenis komponen yang dihasilkan hampir sama
(Martinez et al. 2004). Komposisi minyak akar wangi dari beberapa daerah
produsen disajikan pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Komposisi kimia minyak akar wangi
Komponen Brazil (%) Haiti (%) Bourbon (%) Indonesia (%)
Pre-zizaene 1.0 0.4 0.4 0.8 Khusimene 1.7 0.9 - 3.0 α-amorphene 1.6 1.8 2.1 4.2 Cis-eudesma—6,11-diene 1.2 1.4 0.8 2.4 α-amorphene 1.4 1.1 1.8 3.5 β-vetispirene 1.0 1.1 1.0 2.7 γ-cadinene 0.6 - 0.3 0.7 γ-vetivenene 1.3 - 0.8 5.1 β-vetivenene 2.0 1.6 1.7 5.2 α-calacorene 0.9 0.8 - 0.7 Cis-eudesm-6-en-11-ol 1.9 2.4 2.1 1.1 Khusimone 3.6 3.5 3.9 2.6 Ziza-6(13)-en-3-one 2.5 1.4 2.8 2.1 Khusinol 3.4 1.9 1.7 2.4 Khusian-2-ol 3.4 3.4 2.8 1.3 Vetiselinenol 1.7 2.3 1.8 1.0 Cyclocopacamphan-12-ol 1.0 1.7 1.3 0.3 2-epi-ziza-6(13)-3 α-ol 1.9 1.6 1.2 1.1 Isovalencenal 1.6 2.5 2.1 1.0 β-vetivone 1.5 5.6 3.9 6.0 Khusimol 7.2 13.3 6.4 9.7 Nootkatone 1.1 0.4 0.4 - α-vetivone 5.4 4.8 3.3 4.0 Isovalencenol 3.0 15.3 8.9 4.4 Bicyclovetivenol 0.5 1.1 0.8 - Zizanoic acid 11.8 0.5 0.9 3.3 Hydrocarbons 12.7 9.1 8.9 28.3 Alcohols 24.0 43.0 27.0 21.3 Carbonyl compounds 15.7 18.2 16.4 17.7 Carboxylic acids 11.8 0.5 0.9 3.3 Total identified 64.2 70.8 53.2 70.6
Sumber : Martinez et al. (2004)
Kandungan minyak akar wangi Bone dan Garut menunjukkan adanya 21
dan 20 komponen senyawa minyak akar wangi untuk masing-masing daerah.
Jenis komponen disajikan pada Tabel 3.
10
Tabel 3. Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi Luas Relatif (%)
No. Komponen Formula Molekul Bone Garut
1. Isokaryophyllen C15H24 0.65 - 2. Karyophyllen C15H24 0.62 1.33 3. Napthallen C15H24 0.58 1.02 4. α- Amorphen C15H24 0.93 1.05 5. α- Karyophyllen C15H24 0.69 0.69 6. Kuparen C15H22 0.75 1.63 7. Kloven C15H24 0.65 0.49 8. 1,3,5-Siklononatrien C15H24 0.63 1.46 9. Dehidroaromadendren C15H22 0.69 0.46 10. 1H-Siklopropa[a] Napthallen C15H22 1.58 3.63 11. β- Kopaen C15H24O 1.78 2.56 12. Santalol C15H24O 1.88 2.70 13. Aromadendren C15H24 1.10 0.93 14. Ledol C15H26O 2.12 1.77 15. Azulenon C15H22O 1.18 1.23 16. Cendrenol C15H24O 1.98 2.10 17. Spathulenol C15H24O 5.82 9.18 18. β- Kopaen-4-α –ol C15H24O 3.28 6.54 19. Trisiklo oktan-5-asam karboksil C15H22O2 5.82 3.93 20. 3,7-Siklodecadien-1-on C15H22O 2.27 3.50 21. 2(3H)-Naphtalenon C15H22O 2.74 5.62
Sumber : Abraham (2002)
Penelitian tentang minyak akar wangi yang telah dilakukan hingga kini
mencakup teknik budidaya tanaman, teknologi proses, hingga komponen
penyusunnya. Pada Tabel 4 dapat dilihat rangkuman penelitian teknologi proses
produksi minyak akar wangi.
11
Tabel 4. Beberapa penelitian minyak akar wangi
Referensi Kondisi Operasi
Metode Parameter proses Hasil
Triharyo et al. (2007)
• P = 1; 2; dan 3 atm.
• V = 17 ml/menit
• t = 12; 20; & 24 jam
Penyulingan uap Pengaruh tekanan dan waktu terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi serta penggunaan energi selama penyulingan.
Penggunaan tekanan 2 bar selama 20 jam memberikan rendemen 1,92% dengan menggunakan direct use geothermal.
Suryatmi (2006) • P = 1; 2; dan 3 atm.
• V = 0,32 – 0,35 ml/det
• t = 16 jam
Penyulingan uap Pengaruh tekanan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.
Rendemen terbaik pada tekanan 3 atm sebesar 1,124%
Abraham (2002) • P : 1,2 kg/cm2
• V : 116 ml/mnt
• t : 10 jam
Penyulingan uap Identifikasi komponen minyak akar wangi asal Bone dan Garut
Rendemen yang dihasilkan masing-masing 0,62% dan 0,96%. Diidentifikasi komponen yang sama dari kedua asal minyak yaitu α-vetivone, β-vetivone, khusimol, bisiklovetiverol, trisiklovetiverol, dan vetiver alkohol.
Rusli dan Anggraeni
(1999)
• P = 0,4; 0,8 dan 1,2 kg/cm2
• t = 8; 10; dan 12 jam
• V = 1,3 l/j/kg bahan
Penyulingan uap Pengaruh tekanan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.
Kondisi yang terbaik adalah penggunaan tekanan 1,2 kg/cm2 selama 10 jam yang menghasilkan rendemen sebesar 2,3%.
Aggarwal et al. (1998)
• t = 12 jam • P = 103-
124 kPa • V = 15-20
liter/jam
Penyulingan air dan penyulingan uap
Pengaruh penyimpanan dan lama penyulingan terhadap yield
Waktu penyimpanan akar wangi yang lama akan menurunkan recoveri minyak. Waktu 10 jam dibutuhkan untuk menghasilkan minyak, lebih dari 10 jam tidak meningkatkan recoveri secara signifikan.
Moestafa et al. (1991)
• V : 500 dan 600 gr uap/jam
• t : 12; 16; 20; 24; 28; 32; dan 36 jam
Penyulingan air Pengaruh lama dan kecepatan penyulingan terhadap kadar minyak dan vetiverol akar wangi dengan penyulingan air
Hasil terbaik penyulingan dengan kecepatan 600 gram uap/jam selama 36 jam menghasilkan rendemen 2,47% & kadar vetiverol 63,91%.
Hardjono et al. (1973)
• M = 0,1 dan 0,07 kg/liter
• t = 16, 20, 24 dan 28 jam
Penyulingan air dan uap (kukus)
Pengaruh kepadatan bahan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan kualitas minyak akar wangi
Hasil terbaik adalah kepadatan 0,07 kg/liter selama 20 jam dengan rendemen 2,02%.
Keterangan : P : tekanan; V : kec. penyulingan; t : waktu penyulingan; M : kepadatan bahan.
12
2.2. Standar Mutu Minyak Akar Wangi
Senyawa-senyawa penyusun minyak akar wangi berpengaruh besar terhadap
sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Sifat ini menentukan mutu dan juga
dipengaruhi oleh faktor lain seperti asal daerah, jenis tanaman, umur panen,
metode dan peralatan penyulingan yang digunakan. Oleh karena itu, sifat fisik dan
kimia minyak akar wangi yang berasal dari beberapa negara produsen berbeda
satu sama lainnya. Perbedaan sifat minyak akar wangi tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen
Jawa Karakteristik
Mutu Baik Mutu Ringan Reunion Haiti
Bobot jenis pada 15o 0,9926– 1,0444 0,9852–1,0015 0.99–1.02 0.999–1.014 Putaran optik + 20o 30’ s.d
+ 46o 0’ +14o 25’ s.d + 24o 10’
+14o 0’ s.d + 37o 0’
+22o 0’ s.d + 31o 44’
Indeks bias pada 20o 1,5189–1,5306 1,5223–1,52612
1.515–1.529
1.5198–1.5250
Bilangan asam 8,4–40,1 7,5–14,9 4.5–17 7.5–16.8 Bilangan ester 5,6–24,6 6,5–14,9 5–20 8.4–52.3 Bilangan ester setelah asetilasi
103,7–151,2 98–119,5 119–145 124–264
Kelarutan dalam alkohol 80 %
Larut dalam 1–2 vol. Kadang-kadang berubah warna sampai keruh dengan jumlah alkohol lebih banyak.
Tidak seluruhnya larut. Bercampur sempurna dengan alkohol 90%; pada kasus tertentu berubah warna jika diencerkan.
Larut dalam 1-2 vol alkohol 80%, dengan warna sedikit suram sampai keruh
Larut dalam 0.5 vol. alkohol 90%, kadang buram (cloudy) jika pengenceran dilanjutkan. Kadang juga larut dalam 1 vol. alkohol 80%.
Sumber : Guenther (1990)
Tinggi rendahnya mutu minyak akar wangi ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan
kimianya. Ciri-ciri fisikokimia yang menjadi parameter mutu minyak akar wangi
antara lain warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester,
bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan
vetiverol dalam senyawa aromatik.
Minyak akar wangi Indonesia yang akan diperdagangkan harus memenuhi
standar mutu dan persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia yaitu
SNI 06-2386-2006, seperti yang tercantum pada Tabel 6.
13
Tabel 6. Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006
No. Jenis Mutu / Satuan Satuan Syarat Mutu 1. Warna
- Kuning muda sampai coklat kemerahan
2. Bau - Khas akar wangi 3. Bobot jenis 20o/20o C - 0,980 – 1,003 4. Indeks bias pada 20o - 1,520 – 1,530 5. Bilangan asam - 10 - 35 6. Kelarutan dalam etanol 95 % - 1:1 jernih, dan seterusnya jernih 7. Bilangan ester - 5 – 26 8. Bilangan ester setelah asetilasi - 100 – 150 9. Vetiverol total % Minimum 50
Sumber : SNI 2006
Untuk perdagangan internasional standar yang diacu adalah ISO
(International Organization for Standardization) 4716:2002, seperti tercantum
pada Tabel 7.
Tabel 7. Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 4716:2002
Syarat Mutu No. Jenis Mutu / Satuan
Reunion Haiti 1. Warna Coklat hingga
merah kecoklatan Coklat hingga merah kecoklatan
2. Bau Khas akar wangi Khas akar wangi 3. Bobot jenis 20o/20o C 0,99 – 1,015 0,986 – 0,998 4. Indeks bias pada 20o 1,5220 – 1,5300 1,521 – 1,526 5. Bilangan asam Maks. 35 Maks. 14 6. Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20o C Maks. 1 : 2 Maks. 1 : 2 7. Bilangan ester 5 - 16 5 – 16 8. Putaran optik pada 20o C +19 – +30 +22 – +38 9. Bilangan karbon 44 – 68 23 - 59
Sumber : ISO 2002
2.3. Penyulingan Minyak Akar Wangi
Penyulingan (distilasi) merupakan proses pemisahan komponen berupa
cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan
titik uapnya (Ketaren 1985). Proses penyulingan umum digunakan untuk
mendapatkan minyak atsiri dari tanaman.
Guenther (1990) menyebutkan ada tiga cara penyulingan yang umum
digunakan, yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan
air dan uap (water and steam distillation), dan penyulingan dengan uap (steam
distillation). Pada penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak
langsung dengan air mendidih. Pada penyulingan dengan menggunakan uap dan
14
air, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang, sehingga bahan tidak
mengalami kontak langsung dengan air yang digunakan untuk menghasilkan uap.
Tekanan yang dihasilkan dalam ketel suling untuk kedua cara ini biasanya sekitar
1 atm. Penyulingan dengan menggunakan uap, pada dasarnya hampir sama
dengan penyulingan menggunakan uap dan air. Perbedaannya adalah uap panas
yang digunakan berasal dari ketel uap yang terpisah dari ketel suling. Tekanan
uap dalam ketel suling dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi bahan.
Pemilihan metode penyulingan sangat menentukan keberhasilan dan
efisiensi proses penyulingan. Penyulingan dengan uap langsung memiliki efisiensi
yang lebih tinggi dibandingkan penyulingan air dan penyulingan air–uap, tetapi
membutuhkan peralatan yang lebih komplek dan mahal (Risfaheri & Mulyono
2006). Ketaren (2004) merekomendasikan penyulingan uap untuk bahan yang
mengandung minyak bertitik didih tinggi/fraksi berat yang lebih stabil terhadap
panas seperti nilam, akar wangi, cendana, dan pala, karena dapat mempersingkat
waktu penyulingan.
Proses Penyulingan
Penyulingan menggunakan air (water distillation), air dan uap (kukus), dan
uap (steam distillation) umum digunakan untuk mendapatkan minyak akar wangi
(Tabel 4). Proses penyulingan tersebut terdiri dari beberapa mekanisme penting
yang dapat membantu dalam memahami fenomena yang terjadi selama proses.
Mekanisme penyulingan menggunakan air disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air (water
distillation) (Azlina 2005)
15
a. Difusi
Difusi memegang peranan penting pada ekstraksi minyak atsiri dari
tanaman. Geankoplis (1983) menyebutkan difusi molekuler didefinisikan
sebagai perpindahan molekul dalam fluida secara acak. Gambar 3
memperlihatkan skema proses difusi molekuler. Dari gambar tersebut, terlihat
molekul A (dalam hal ini adalah uap) berdifusi secara acak melalui molekul B
(minyak dalam tanaman) dari titik 1 ke 2. Hal ini dikarenakan jumlah molekul
A yang ada di sekitar titik 1 lebih banyak daripada yang berada disekitar titik
2. Hukum Fick menyebutkan penyebab terjadinya difusi adalah perbedaan
konsentrasi komponen. Akibat perbedaan ini komponen akan berpindah ke
berbagai arah hingga konsentrasi mencapai kesetimbangan. Arah difusi dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Gambar 3. Skema proses difusi (Geankoplis 1983)
Sel tanaman terdiri dari membran sel. Membran sel merupakan lapisan
pelindung tanaman yang memisahkan sel dari lingkungan luar. Minyak atsiri
berada dalam kelenjar minyak (oil glands). Molekul-molekul yang berada
disekitar sel dapat berpindah masuk atau keluar sel. Membran sel selective
permeabel mengatur molekul yang melewatinya. Air dapat melewati
membran sel dengan bebas melalui proses difusi dan osmosis.
b. Osmosis
Peristiwa osmosis berperan membawa minyak yang terdapat dalam
kelenjar ke permukaan bahan. Osmosis merupakan peristiwa perpindahan
partikel dari tempat yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke tempat yang
16
memiliki konsentrasi yang lebih rendah melewati membran selektif permeabel
hingga tercapai keseimbangan dinamis.
Gambar 4. Skema proses osmosis
c. Pemanasan, penguapan dan kondensasi
Pemanasan akan menyebabkan temperatur air meningkat hingga tekanan
uap cairan sama dengan tekanan sekitar. Pada kondisi ini tidak terjadi
peningkatan suhu dan penambahan energi panas hanya akan membuat cairan
menguap. Molekul-molekul uap tersebut akan tetap berada dalam gerakan
yang konstan (keadaaan setimbang). Pada sistem tertutup, keadaan setimbang
dipengaruhi oleh suhu. Kondensasi merupakan proses perubahan wujud uap
menjadi cairan dengan cara mengalirkan air pendingin pada tabung
kondensor. Kondensasi dan penguapan melibatkan fase cairan dengan
koefisien pindah panas yang besar. Kondensasi terjadi apabila uap jenuh
seperti uap bersentuhan dengan padatan yang suhunya dibawah jenuh
sehingga membentuk cairan (Geankoplis 1983).
d. Pemisahan
Pemisahan campuran air dan minyak umumnya dilakukan berdasarkan
berat jenis. Secara umum minyak memiliki berat jenis lebih kecil dari berat
jenis air (=1), sehingga minyak akan berada di lapisan atas.
Pada proses ekstraksi minyak atsiri dengan menggunakan uap (steam
distillation), ada sedikit perbedaan mekanisme yang terjadi. Variasi mekanisme
pada proses penyulingan dengan steam distillation disajikan pada Gambar 5.
17
Gambar 5. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap ( steam distillation) (Azlina 2005)
Pertama-tama uap akan berdifusi ke dalam bahan, untuk melepas minyak
yang terdapat dalam bahan akan larut. Campuran minyak yang dibawa uap ini ke
luar menuju permukaan bahan melalui peristiwa osmosis. Setelah mencapai
permukaan, minyak dibawa oleh uap yang melewati bahan. Penambahan jumlah
minyak yang larut dalam air dan proses osmosis sangat tergantung pada jumlah
air yang masuk ke dalam jaringan tanaman tersebut. Air masuk ke dalam jaringan
tanaman melalui proses difusi. Dengan kata lain, peristiwa osmosis dan difusi
terjadi dalam waktu yang bersamaan (simultaneously). Proses-proses ini
berlangsung terus menerus hingga semua komponen volatil minyak keluar dari
jaringan tanaman.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi
a. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi
Perlakuan pendahuluan pada bahan sebelum proses penyulingan dapat
meningkatkan rendemen dan memperbaiki mutu minyak. Perlakuan pendahuluan
terhadap akar wangi sebelum proses penyulingan antara lain pembersihan,
pengeringan, dan pengecilan ukuran. Peningkatan rendemen minyak yang diawali
perlakuan pendahuluan telah dibuktikan Adams et al. (2008) dengan proses
pembersihan, Bacon dalam Jong (1987) dengan proses pengeringan, serta Rusli
(1985), Sudibyo (19890, dan Moestafa et al. (1998) dengan proses pengecilan
ukuran.
Adams et al. (2008) membandingkan rendemen minyak akar wangi yang
dibersihkan dan tidak dibersihkan. Rendemen yang diperoleh dari akar wangi
18
yang dibersihkan adalah 1.04%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan rendemen dari
akar wangi yang tidak dibersihkan yaitu 0.66%. Pada proses pengeringan,
sebagian besar membran sel akan pecah sehingga cairan sel bebas melakukan
penetrasi dari satu sel ke sel yang lain hingga membentuk senyawa-senyawa yang
mudah menguap (Sastrohamidjojo 2004). Oleh karenanya Ketaren (1985) dan
Thorpe (1947) menyebutkan bahwa pengeringan akan mempercepat proses
penyulingan, menaikkan rendemen serta memperbaiki mutu minyak meskipun
kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena penguapan dan oksidasi oleh
oksigen udara. Hasil penelitian Bacon dalam Jong (1987) memperlihatkan bahwa
pengeringan memberikan peningkatan rendemen minyak akar wangi. Rendemen
dari bahan yang dikeringkan sebesar 1,09 % sedangkan rendemen akar wangi
yang tidak dikeringkan hanya 0,45 %. Perajangan bahan sebelum disuling
bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan dan
mengurangi sifat kamba bahan (Ketaren 1985). Pada perajangan akar wangi tanpa
bonggol dengan ukuran 15–20 cm diperoleh rendemen 1.6%-2.1% (Rusli 1985).
Untuk ukuran biji jintan yang dihancurkan diperoleh rendemen 2,18–2,43%,
dibanding biji jintan yang tidah dihancurkan hanya sebesar 1,90–2,23% (Sudibyo
1989). Perajangan halus ukuran 2-3 mm pada penyulingan jeruk purut juga
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 4.58% dibandingkan dengan jeruk
purut yang dirajang kasar 2 cm sebesar 4.18% (Moestafa et al. 1998)
b. Kondisi Penyulingan
Selain metode penyulingan dan perlakuan bahan, kondisi proses
penyulingan juga akan mempengaruhi rendemen minyak. Menurut Ketaren
(1985) jumlah minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul
komponen-komponen dalam minyak, dan kecepatan minyak dikeluarkan dari
bahan.
1. Kepadatan bahan
Kepadatan bahan di dalam ketel sangat berpengaruh pada kemudahan
uap berpenetrasi kedalam bahan untuk membawa molekul minyak, sehingga
mempengaruhi rendemen dan efisiensi penyulingan (Risfaheri & Mulyono
2006). Guenther (1990) menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan
19
berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang
terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan terbentuknya jalur uap ”rat
holes” yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak.
Hasil penelitian Hardjono et al. (1973) telah membuktikan bahwa pada
kepadatan akar wangi 0,10 kg/liter dihasilkan rendemen lebih kecil yaitu
1,43% dibanding dengan kepadatan 0,07 kg/liter yang menghasilkan
rendemen 2,02%.
2. Tekanan uap
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penguapan minyak pada
proses penyulingan adalah besarnya tekanan uap yang digunakan (Ketaren
1985). Menurut Guenther (1990), agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi
maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah dan dapat
juga pada tekanan tinggi tetapi dalam waktu yang singkat. Proses
penyulingan dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai
keuntungan yaitu minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat
panas. Disamping itu mengurangi penguapan komponen bertitik didih tinggi
dan larut di air. Penyulingan dengan tekanan tinggi tidak selalu memghasilkan
rendemen dan mutu yang lebih baik. Penggunaan tekanan uap yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun minyak.
Lestari (1993) membuktikan bahwa pada penyulingan sereh wangi
dengan tekanan 228.53 kPa memberikan rendemen 3.51% basis kering dan
tingkat mutu bagus. Sedangkan penggunaan tekanan 297.2 kPa dihasilkan
rendemen 2.52% dengan tingkat mutu biasa. Penyulingan minyak nilam
dengan menggunakan uap langsung selama 4 jam menghasilkan rendemen
sebesar 3.21%, 3.11%, 3.44%, dan 3.27% berat kering masing-masing untuk
tekanan penyulingan 158.86, 173.57, 190.24, dan 206.96 kPa (Dahlan 1989).
Kondisi penyulingan minyak akar wangi menggunakan tekanan 1.2 kg/cm2
menghasilkan rendemen 2.3% (Rusli & Anggraeni 1999).
3. Laju Penyulingan
Laju penyulingan menyatakan jumlah air suling yang dihasilkan per
satuan waktu. Pengaturan laju penyulingan disesuaikan dengan diameter ketel
dan volume antar ruang bahan (Guenther 1990). Laju penyulingan yang
20
rendah menyebabkan uap terhenti pada bahan yang padat, sehingga proses
ekstraksi minyak tidak berjalan sempurna. Sebaliknya, jika laju penyulingan
terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui bahan dengan
membentuk jalur uap serta mengangkut bahan partikel ke dalam kondensor,
sehingga menghambat aliran uap di dalam kondensor (Risfaheri & Mulyono
2006).
Laju penyulingan memberi pengaruh nyata terhadap rendemen dan
kadar vetiverol pada penyulingan minyak akar wangi. Jumlah minyak sebesar
2.47% pada laju penyulingan 0,6 kg uap/jam dengan kadar vetiverol 63.91%
lebih tinggi dibandingkan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam yang
menghasilkan minyak 2.17% dan kadar vetiverol 61.79% (Moestafa, et al.
1991).
4. Pengaruh Lama Penyulingan
Lama penyulingan mempengaruhi kontak air atau uap air dengan bahan.
Pada penyulingan yang lebih lama, jumlah minyak yang terbawa oleh uap
semakin banyak sehingga rendemen minyak yang diperoleh lebih banyak.
Lama penyulingan juga berpengaruh terhadap penguapan fraksi yang bertitik
didih tinggi. Semakin lama penyulingan, penguapan fraksi yang bertitik didih
tinggi akan semakin besar (Guenther 1990).
Hasil penelitian penyulingan pada beberapa minyak atsiri menunjukkan
lama waktu penyulingan menghasilkan minyak yang semakin banyak.
Penyulingan nilam selama 6 jam menghasilkan rendemen 2.59%
dibandingkan penyulingan selama 4 dan 5 jam yaitu 2.28% dan 2.52%
(Setiadji & Tamtarini 2006). Biji jintan yang disuling selama 3, 5, dan 7 jam
menghasilkan rendemen 1.90%, 2.10%, dan 2.23% (Sudibyo 1989). Begitu
pula halnya pada penyulingan minyak jeruk purut (Moestafa, et al. 1998).
Penyulingan jeruk purut selama 8 jam menghasilkan rendemen 4.58%, nilai
ini lebih tinggi dari rendemen minyak yang disuling selama 6 jam yaitu
3.58%. Rusli & Anggraeni (1999) juga memperoleh rendemen minyak akar
wangi lebih tinggi pada penyulingan yang lebih lama yaitu 2.07% selama 12
jam dibandingkan dengan penyulingan 8 jam yang hanya 1.78%. Namun
21
perpanjangan waktu penyulingan berdampak pada besarnya biaya bahan bakar
yang digunakan (Feryanto 2007).
2.5. Model Kinetik Proses Penyulingan Minyak Atsiri
Model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri dengan metode
hydrodistillation menggunakan pendekatan mekanisme yang sama dengan
ekstraksi pelarut untuk tanaman. Mekanisme distilasi minyak atsiri dilakukan
melalui dua tahap yaitu :
1. Pelepasan minyak atsiri yang berada di sekitar permukaan luar bahan
(disebut juga fast oil distillation). Peristiwa ini terjadi di awal
penyulingan (t = 0). Ciri-ciri dari tahap ini adalah jumlah minyak yang
dihasilkan meningkat dengan cepat pada awal proses.
t = 0 ; q = qw atau bq
q
q
q
o
w
o
== (1)
dimana qw = yield minyak pada t = 0; q = yield minyak pada t = i;
qo = konsentrasi minyak awal dalam bahan; b = koefisien fast distillation
2. Pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan menuju ke permukaan
luar bahan (disebut juga slow oil distillation). Ciri-ciri dari tahap ini
adalah peningkatan jumlah minyak yang dihasilkan berlangsung lambat.
Umumnya terjadi di akhir penyulingan.
Persamaan dasar kinetika untuk proses penyulingan minyak atsiri adalah :
( ) kt
o
o ebq
qq −−=−.1 (2)
Atau
( ) ktbq
o
o −−=−1lnln (3)
dimana k = koefisien slow distillation; t = waktu
22
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2007–Desember 2008
yang dilakukan di Balai Besar Litbang Pascapanen Cimanggu, Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Cimanggu, Laboratorium Teknik Kimia
Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, dan Laboratorium Kesehatan
Daerah DKI Jakarta.
3.2. Bahan dan Alat
a. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan baku utama dan
bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah akar wangi (Vetiveria
zizanioides Stapt) yang berasal dari perkebunan akar wangi rakyat di daerah
Garut, Jawa Barat. Sebelum digunakan dilakukan persiapan pendahuluan bahan
baku untuk penyulingan meliputi proses pengeringan, dan pengecilan ukuran
(pencacahan).
Bahan pembantu adalah bahan kimia yang digunakan untuk pengujian
sifat fisika kimia minyak akar wangi. Bahan kimia ini terdiri dari etanol, KOH,
penophtalein, HCL, asam asetat anhidrit, natrium asetat anhidrat, akuades, NaCl,
Na2SO4 anhidrid, Na2CO3, dan toluen.
b. Alat
Penyulingan menggunakan sistem penyulingan dengan uap langsung
(steam distillation) dimana uap dibangkitkan dari ketel yang terpisah (boiler). Alat
penyulingan terdiri atas boiler, ketel penyuling, alat pendingin (kondensor), alat
penampung dan pemisah minyak (separator). Sistem penyulingan uap langsung
disajikan pada Gambar 6. Alat-alat ukur dan uji sifat fisika kimia yang digunakan
adalah piknometer, refraktometer, polarimeter, termometer, tabung reaksi, gelas
ukur, neraca analitik, dan penangas air.
Boiler yang digunakan adalah boiler buatan Jerman menggunakan tenaga
listrik daya 9 kWh dan menghasilkan tekanan uap maksimum 7 bar. Air masuk ke
23
boiler dengan menggunakan pompa. Penambahan air ke boiler dilakukan secara
otomatis. Uap yang dihasilkan dari boiler kemudian dialirkan ke dalam ketel
dengan terlebih dahulu melewati pressure reducing valve. Besarnya tekanan uap
diamati pada indikator tekanan di boiler.
Keterangan : A = Boiler; B = pressure reducing valve (PRV); C = Ketel suling; D = Kondensor; E = Separator; a = air boiler keluar; b = indikator tekanan; c = valve ; d = strainer ; e = bahan; f = air ketel keluar; g = air masuk kondensor; h = spiral kondensor; i = air keluar kondensor
Gambar 6. Skema sistem penyulingan uap langsung (steam distillation)
Pressure reducing valve (PRV) yang digunakan adalah tipe BRV2 dengan
spring code warna hijau yang mampu mengontrol tekanan keluar antara 1,4–4,0
bar. PRV ini dilengkapi dengan strainer yang terbuat dari bahan stainless steel
untuk menyaring uap yang akan masuk ke PRV, indikator tekanan, savety valve
dan valve.
Ketel suling terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 40 cm dan
tinggi 72 cm. Volume ketel adalah 90 liter dan volume bahan adalah 33,4 liter.
Tekanan yang masuk ke ketel diatur dengan memutar handwheel pada PRV.
Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat dideteksi melalui sensor
tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel suling. Pada ketel suling
terdapat saringan yang terbuat dari besi dengan ketinggian 10 cm dari dasar ketel.
24
Besarnya tekanan uap yang disalurkan ke ketel suling diamati pada
indikator tekanan di boiler. Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat
dideteksi melalui sensor tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel
suling. Untuk pengaturan besarnya tekanan didalam ketel suling digunakan katup
yang dapat diatur yang diletakkan dialiran masuk ke kondensor dekat kepala ketel
suling, katup ini juga dipasang pada aliran uap (steam) dari boiler (Gambar 6c).
Kondensor yang digunakan adalah penukar panas tipe spiral dengan
panjang spiral 9 m dan diameter 19 mm. Kondensor terbuat dari bahan stainless
steel dengan diameter 26,7 cm dan tinggi 52 cm. Media pendingin menggunakan
air. Alat pemisah kondensat terbuat dari bahan gelas dengan tinggi 40 cm dan
diameter 20 cm.
Analisa Gas Chromatography–Mass Spectrometry menggunakan agilent
technologies 6890 gas chromatograph dan 5972 mass selective detector dan
chemstation data system. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler HP Ultra 2
dengan panjang 17 m, diameter 0,25 mm dan tebal 0,25 µm. Kondisi operasi yang
digunakan antara lain: suhu injeksi 250 oC, suhu ion source 230 oC, suhu interface
280 oC, suhu quadrupole 140 oC, flow kolom 0,7 µl/menit, volume injeksi 2µL.
3.3. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) karakterisasi
akar wangi, (2) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan, (3)
menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan
tekanan dan laju alir uap, (4) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan
bertahap, (5) menganalisis kualitas minyak akar wangi, (5) menganalisis distribusi
komponen penyusun minyak akar wangi. Diagram alir tahapan penelitian
disajikan pada Gambar 7.
25
Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian
a. Karakterisasi bahan baku
Karakterisasi meliputi kadar air dan kadar minyak dari bahan baku akar
wangi. Kadar air akar wangi yang masih tinggi perlu dikurangi hingga kadar air
mencapai ± 12 %. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran selama 1–2 hari.
Selain itu, juga dilakukan pengukuran kadar minyak dari akar wangi. Prosedur
analisa kadar air dan kadar minyak dimuat pada Lampiran 2.
b. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan (Penelitian Pendahuluan)
Pada tahap ini terdapat tiga perlakuan penyulingan yaitu penyulingan
menggunakan tekanan 1 bar, 2 bar, dan 3 bar konstan sampai akhir penyulingan (9
jam). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali ulangan. Laju alir uap
yang masuk ke boiler diasumsikan sama dengan laju destilat yang keluar dari
26
kondensor. Pada setiap perlakuan dilakukan pengukuran laju destilat dan
pengambilan sampel setiap jam selama penyulingan.
Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut :
P1 : Tekanan 1 bar
P2 : Tekanan 2 bar
P3 : Tekanan 3 bar
Pada tahap ini, laju alir uap hanya diukur dari jumlah destilat yang keluar dari
kondensor per satuan waktu. Laju ini hanya menjadi respon dari masuknya uap
dari boiler ke ketel setiap waktu.
c. Menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap
Disain proses penyulingan minyak akar wangi ditentukan oleh trend laju
recovery minyak yang tersuling pada penelitian pendahuluan selama 9 jam waktu
penyulingan. Gambaran pola recovery minyak inilah yang nantinya menjadi dasar
untuk menaikkan tekanan.
Peningkatan tekanan dibagi menjadi 3 tahap, dengan asumsi bahwa minyak
akar wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah.
Idealnya tahapan peningkatan tekanan lebih banyak agar data yang diperoleh lebih
baik. Namun keterbatasan waktu dan biaya menyebabkan penelitian ini dibuat
menjadi lebih sederhana. Kisaran tekanan dan penentuan waktu untuk masing-
masing tahap penyulingan yang akan digunakan pada penelitian ini ditentukan
berdasarkan trend laju recovery minyak hasil penelitian pendahuluan.
d. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan dan laju alir uap bertahap (Penelitian Utama)
Data-data kondisi operasi hasil penyulingan konstan pada penelitian
pendahuluan dijadikan dasar untuk disain proses penyulingan pada tahap ini. Pada
tahap ini dilakukan peningkatan tekanan dan laju alir uap secara bertahap selama
9 jam penyulingan.
27
Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu tekanan uap
secara bertahap dan laju alir uap. Sedangkan laju alir uap yang akan digunakan
yaitu 1 liter/jam/kg bahan, 1.5 liter/jam/kg bahan, dan 2 liter/jam/kg bahan.
Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut :
V1 : Laju uap 1 liter/jam kg bahan.
V2 : Laju uap 1.5 liter/jam kg bahan.
V3 : Laju uap 2 liter/jam kg bahan.
V4 : Laju uap 1 liter/jam kg bahan ; laju uap 1.5 liter/jam kg bahan ; laju
uap 2 liter/jam kg bahan (meningkat bertahap sesuai dengan
peningkatan tekanan).
Pengaturan laju alir uap dilakukan dengan mengatur jumlah uap yang masuk
ke ketel dan mengatur besar kecilnya bukaan katup pada leher angsa dekat
kondensor. Pengecekan dilakukan dengan mengukur jumlah destilat yang yang
keluar dari kondensor per satuan waktu.
Pada setiap perlakuan dan kenaikan tekanan diamati kondisi operasi seperti
suhu penyulingan, suhu destilat, laju distilat, tekanan boiler, dan lain-lain. Minyak
akar wangi yang diperoleh dari setiap penyulingan dipisahkan menjadi tiga fraksi
yaitu fraksi 1 (hasil tekanan 2 bar), fraksi 2 (hasil tekanan 2.5 bar), dan fraksi 3
(hasil tekanan 3 bar).
e. Menganalisis kualitas minyak akar wangi
Semua sampel yang didapat (hasil penyulingan konstan dan bertahap)
dianalisa sifat fisik dan kimia. Analisa sifat fisik dan kimia meliputi bobot jenis,
indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan
ester dan bilangan ester setelah asetilasi. Prosedur analisa dimuat pada Lampiran
3.
f. Menganalisis distribusi komponen penyusun minyak akar wangi
Penentuan komponen minyak akar wangi dilakukan melalui analisa GC MS
(Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry). Analisa ini dilakukan hanya pada
sampel perlakuan tekanan bertahap dengan laju uap 2 liter/jam kg bahan dan
perlakuan tekanan dan laju uap meningkat bertahap.
28
3.4. Pemodelan Kinetika
Model kinetika penyulingan minyak akar wangi menggunakan model
persamaan Milojevic et al. (2008). Nilai koefisien distilasi dihitung dari
transformasi data recovery minyak menggunakan model eksponensial (Chapra &
Canale 1991). Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien
distilasi) terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva
kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan menggunakan
persamaan pangkat sederhana (power).
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Akar Wangi
Karakteristik akar wangi hasil pengeringan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil karakterisasi akar wangi
Perlakuan Kadar Air (% bb) Kadar Minyak (% bb)
P1 (1 bar) 10.0 3.8
P2 (2 bar) 8.4 3.5
P3 (3 bar) 8.3 3.1
V1 (1 l/j kg) 10.7 3.1
V2 (1,5 l/j kg) 10.0 3.0
V3 (2 l/j kg) 9.4 3.2
V4 (bertahap) 9.5 3.3
Dari Tabel 8, terlihat bahwa akar wangi yang digunakan pada penelitian
ini memiliki kadar air berkisar antara 8-11%. Nilai ini menunjukkan bahwa akar
wangi ini memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akar
wangi yang umum digunakan masyarakat dengan kondisi kebun yaitu sebesar
42%. Hanya sebagian kecil agroindustri penyulingan akar wangi di Garut yang
memakai bahan baku akar wangi kering jemur hingga kadar air 15% (Indrawanto
2006). Pada penelitian ini, sebelum proses penyulingan dilakukan penjemuran
selama ± 25 jam.
Nilai hasil analisa kadar minyak pada Tabel 8 menunjukkan persentase
kadar minyak yang terkandung di dalam akar wangi yang digunakan pada
penelitian ini berkisar antara 3-4%. Perbedaan kadar air dan kadar minyak akar
wangi yang digunakan pada penelitian ini mungkin disebabkan karena terjadi
penguapan selama proses penyimpanan.
4.2. Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan
Penyulingan minyak akar wangi selama 9 jam pada tiga tekanan berbeda
yaitu 1, 2, dan 3 bar menghasilkan recovery minyak yang berbeda (Gambar 8).
Peningkatan tekanan akan meningkatkan recovery minyak. Semakin tinggi
30
tekanan, maka recovery yang dihasilkan memiliki kecenderungan meningkat.
Recovery minyak akar wangi pada tekanan 1, 2 dan 3 bar berturut-turut 78.31 %,
88.88 %, dan 90.37 %.
Pada penggunaan tekanan 1 bar dihasilkan recovery minyak yang paling
kecil (78.31%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tekanan 1 bar pada
penyulingan minyak akar wangi tidak efektif karena membutuhkan waktu yang
sangat panjang untuk menghasilkan recovery yang sama dengan tekanan 2 dan 3
bar. Penggunaan tekanan 4 bar dapat merusak minyak karena dengan tekanan 4
bar temperatur jenuh uap mencapai 150 0C, sehingga ada kemungkinan minyak
teroksidasi (Triharyo 2007). Oleh karena itu penelitian selanjutnya menggunakan
tekanan 2-3 bar.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu (jam)
Aku
mula
si reco
very
(%
)
P1=1 barP2=2 barP3=3 bar
Gambar 8. Akumulasi recovery minyak terhadap waktu penyulingan
Perbedaan recovery dari kenaikan tekanan disebabkan oleh jumlah minyak
akar wangi dengan komponen bertitik didih tinggi lebih banyak yang ikut
menguap. Suryatmi (2006) memperoleh rendemen 1%, 1.057%, dan 1.124% pada
penyulingan dengan tekanan 1, 2, dan 3 atm selama 16 jam.
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan,
maka recovery yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan paling cepat
terjadi pada waktu 0-3 jam, lalu setelah itu kenaikannya cenderung sedikit. Waktu
penyulingan akar wangi selama 9 jam diperkirakan sudah dapat mengeluarkan
sebagian besar minyak, karena setelah 9 jam kenaikan recovery minyak sedikit
dan tidak sebanding dengan jumlah bahan bakar yang dikeluarkan (tidak efisien).
78.31%
90.37%
88.88%
31
Hasil penelitian Triharyo (2007) juga diperoleh pola yang sama untuk tekanan
hingga 3 bar selama 24 jam. Peningkatan jumlah minyak yang signifikan terjadi
pada 0-8 jam.
Laju distilat yang keluar dari kondensor diasumsikan sama dengan laju
uap yang masuk ke ketel suling. Hasil pengukuran laju alir pada setiap
penyulingan dengan tekanan berbeda ditampilkan pada Gambar 9. Laju alir uap
pada penyulingan dengan tekanan konstan 1, 2, dan 3 bar bervariasi dengan rata-
rata 2.8, 2.7, dan 2.4 l/j kg bahan.
Secara umum, penggunaan tekanan yang lebih tinggi menghasilkan laju
uap yang lebih rendah. Tanpa adanya alat kontrol, uap yang masuk ke ketel sangat
tergantung kemampuan boiler dan pengaturan katup baik di boiler maupun
kondensor. Guenther (1990) menyebutkan bahwa pada penyulingan dengan
tekanan rendah mengakibatkan suhu proses yang rendah, tetapi membutuhkan
jumlah uap yang lebih besar per satuan berat minyak sereh wangi yang dihasilkan.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu (jam)
La
ju s
tea
m (
l/j k
g b
hn
)
1 bar 2 bar 3 bar
Gambar 9. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan Hukum hidrodestilasi menyebutkan bahwa peningkatan suhu
mengakibatkan perbandingan jumlah air dan minyak menurun, yang berarti
adanya peningkatan jumlah minyak. Guenther (1990) telah memperlihatkan
pengaruh tekanan uap terhadap perbandingan air dan minyak pada penyulingan
minyak sereh wangi dengan sistem penyulingan uap. Pada tekanan 152.2 mmHg
perbandingan air dan minyak dalam destilat 6.6, sedangkan pada tekanan 1109.1
mmHg hanya 3.7.
32
Penggunaan laju alir uap yang lebih besar diduga dapat meningkatkan
recovery minyak. Moestafa (1991) memperoleh rendemen 2.47% pada laju uap
600 gram uap/jam. Nilai ini lebih besar daripada penyulingan dengan laju uap 500
gram uap/jam yang menghasilkan rendemen 2.17%. Oleh karena itu penyulingan
dengan perlakuan laju alir uap akan dilakukan pada penelitian ini.
4.3. Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi
Hipotesa yang digunakan untuk memperbaiki performa penyulingan
minyak akar wangi terkait efisiensi proses (energi dan biaya) adalah dengan
meningkatkan tekanan secara bertahap selama penyulingan berlangsung.
Peningkatan tekanan dimaksudkan untuk merusak kesetimbangan fase uap yang
terjadi dalam ketel. Keadaan setimbang terjadi jika tekanan campuran uap air dan
minyak sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing. Sesuai dengan
hukum hidrodestilasi, pemberian tekanan uap air yang lebih besar akan
menurunkan perbandingan berat air dan minyak dalam campuran. Pengeluaran
minyak dari tanaman tergantung dari titik didih atau tekanan parsialnya. Guenther
(1990) menyebutkan bahwa minyak atsiri terdiri dari berbagai komponen yang
memiliki sifat berbeda. Titik didih komponen minyak berkisar antara 150-300 oC
pada tekanan 1 atm. Pada awal pemanasan (suhu rendah), komponen minyak yang
bertitik didih lebih rendah akan menguap lebih dahulu. Jika komponen minyak
bertitik didih lebih tinggi dalam uap dominan dan jumlah uap minyak dalam fase
uap mulai berkurang, maka suhu akan naik secara bertahap sampai mencapai suhu
uap jenuh pada tekanan operasional (Guenther 1990).
Penggunaan tekanan dan penentuan waktu untuk menaikkan tekanan
didasarkan pada trend laju recovery minyak yang dihasilkan dari penyulingan
dengan penggunaan tekanan konstan (1, 2, dan 3 bar). Recovery minyak untuk
penyulingan pada semua tekanan 1, 2, dan 3 bar menunjukkan penurunan selama
proses (Gambar 10). Penurunan recovery minyak terhadap lama penyulingan
diduga akibat difusi antara uap dan minyak dari dalam bahan yang semakin
lambat serta kandungan minyak dalam bahan yang terus berkurang.
33
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9Waktu (jam)
Rec
over
y (%
)
1 bar
2 bar
3 bar
Gambar 10. Recovery minyak terhadap waktu penyulingan
Penurunan recovery minyak dapat diperlihatkan dari kemiringan grafik
(slope). Dari kemiringan garis dapat dibedakan atas 3 fase yaitu pada jam ke 0-2,
2-5, dan 5-9, dimana semakin lama penyulingan laju recovery minyak semakin
kecil (Tabel 9). Fase penurunan recovery untuk masing-masing tekanan terjadi
setelah jam ke 2 dan ke 5. Oleh karena itu fase ini menjadi patokan waktu untuk
menaikkan tekanan. Pada penelitian selanjutnya pengamatan terhadap recovery
diamati setelah 2, 5, dan 9 jam.
Tabel 9. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan
Recovery minyak (%) Tekanan
Jam ke 0-2 (2 jam) Jam ke 2-5 (3 jam) Jam ke 5-9 (4 jam) 1 bar 31.1688 30.9152 16.2236
2 bar 43.8854 31.1662 13.8287
3 bar 49.2812 30.2373 10.8520
Telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan tekanan akan memperkecil
perbandingan antara jumlah air dan minyak yang berimplikasi pada penurunan
perbandingan berat air dan minyak (hukum hidrodistilasi). Oleh karena itu,
peningkatan tekanan dapat dilakukan untuk memperoleh berat minyak yang lebih
banyak. Peningkatan tekanan secara bertahap dalam proses penyulingan minyak
akar wangi diharapkan mampu menghasilkan recovery minyak yang tinggi
2 bar
2,5 bar
3 bar
34
dengan mutu yang lebih baik serta waktu yang dibutuhkan lebih singkat, sehingga
dapat mengurangi biaya produksi.
Pada subbab sebelumnya telah ditetapkan bahwa penelitian utama
menggunakan tekanan berkisar antara 2-3 bar. Dengan asumsi bahwa minyak akar
wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah, maka
penggunaan tekanan disesuaikan menjadi tiga tahap. Oleh karena itu tekanan yang
digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar. Sedangkan waktu untuk menaikkan tekanan
adalah pada jam ke 2 dan ke 5.
4.4. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap
Minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan dengan peningkatan
tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap memperlihatkan pola yang lebih
baik dengan jumlah recovery yang lebih besar dibandingkan pada tekanan konstan
2 dan 3 bar. Akumulasi recovery minyak untuk penggunaan tekanan bertahap
tanpa pengaturan laju alir uap yaitu 92,58%. Nilai ini lebih besar dibanding
penyulingan konstan 2 dan 3 bar yaitu 88.88% dan 90.37%.
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9Waktu (jam)
Aku
mul
asi r
ecov
ery
(%)
2 bar
3 bar
Tek Bertahap
Gambar 11. Recovery minyak tersuling pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan tekanan konstan
Gambar 11 memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan 2, 2.5, dan 3 bar
secara bertahap mampu mendorong minyak keluar lebih banyak jika
dibandingkan pada penggunaan tekanan konstan. Sakiah (2006) melakukan
2 bar 2,5 bar 3 bar
92.58%
90.37%
88.88%
35
penyulingan minyak pala dengan peningkatan tekanan 0, 0.5, dan 1.5 bar selama
10 jam dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi (15.30% untuk biji pala dan
16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan penyulingan pada penggunaan
tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20% untuk biji pala dan 15.41% untuk
fuli pala).
Laju alir uap rata-rata yang diperoleh pada penyulingan tekanan bertahap
tanpa pengaturan laju alir berkisar 2.4-3.0 l/j kg. Nilai ini lebih tinggi dibanding
pada penyulingan dengan tekanan konstan 3 bar yaitu 2.2-2.6 l/j kg (Gambar 12).
Hal ini dikarenakan laju uap yang masuk ke ketel ditentukan oleh kemampuan
boiler untuk mensuplai uap. Pada perangkat penyulingan yang tidak dilengkapi
dengan alat kontrol tekanan PRV (Pressure Reducing Valve), maka pengaturan
tekanan ditentukan dari besar kecilnya bukaan valve pada kondensor. Pembukaan
katup ini juga mempengaruhi laju alir uap yang masuk ke ketel.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu (jam)
Laju
ste
am (
l/j k
g bh
n)
3 bar Tek. Bertahap
Gambar 12. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju
Recovery minyak yang tinggi akibat penggunaan laju uap yang lebih besar
juga dihasilkan oleh Milojevic et al. (2008) pada biji juniper. Rendemen 1.42%
diperoleh dari penyulingan biji juniper pada laju 11.7 ml/menit sedangkan pada
laju 0.13 ml/menit diperoleh rendemen 0.65% (Milojevic et al. 2008).
2 bar 2,5 bar 3 bar V =2.90
V =2.71
V =2.69
36
4.5. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan
Penyulingan dengan tekanan bertahap menggunakan variasi laju alir uap
1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan menghasilkan recovery minyak berbeda satu sama lain
(Gambar 13). Penyulingan dengan laju alir uap 1 l/j kg bahan hanya mampu
merecovery sekitar 76,60% minyak. Sementara recovery minyak pada laju 1,5 l/j
kg dan 2 l/j kg bahan berturut-turut sebesar 83,05% dan 90,42%. Hasil ini
menunjukkan bahwa penggunaan laju yang lebih tinggi (2 l/j kg bahan) dihasilkan
recovery minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan laju yang
lebih rendah. Menurut Guenther (1990), uap dengan kecepatan tinggi
menimbulkan perbedaan tekanan dalam ketel suling, sehingga uap mencegah
stagnasi pada bagian bahan yang padat. Oleh karena itu peningkatan laju alir uap
akan mempercepat pengeluaran minyak dari dalam bahan tanaman (Deny 2001).
0
20
40
60
0 2 4 6 8 10
Waktu, jam
Reco
very
, %
V1 = 1 l/j/kg
V2 = 1.5 l/j/kg
V3 = 2 l/j/kg
Gambar 13. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan selama 9 jam.
Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap dan laju alir uap
konstan yang bervariasi juga memberikan recovery minyak yang berbeda pada
setiap tahapannya. Pada tekanan 2 dan 2,5 bar, penyulingan dengan menggunakan
laju alir uap 2 l/j kg bahan masih menghasilkan jumlah minyak paling tinggi yaitu
39,58% dan 38,02%. Namun saat tekanan dinaikkan menjadi 3 bar, penggunaan
laju uap 2 l/j kg bahan menghasilkan minyak paling sedikit (12,81%). Hal ini
diduga minyak yang masih terkandung dalam bahan merupakan minyak yang
2 bar 2,5 bar 3 bar
76.60%
90.42%
83.05%
37
memiliki titik didih tinggi dengan jumlah yang semakin berkurang dan hampir
habis.
Hal yang menarik adalah recovery minyak pada penyulingan dengan laju
1.5 l/j kg yang lebih banyak daripada penyulingan dengan laju 1 l/j kg ketika
tekanan dinaikkan menjadi 3 bar. Walaupun recovery minyak yang dihasilkan
keduanya pada tekanan 2 dan 2.5 bar hampir sama, namun perbedaan laju uap
yang digunakan dapat mendorong minyak keluar lebih banyak.
Hasil kajian Moestafa et al. (1991) pada akar wangi juga menunjukkan
bahwa penggunaan laju uap yang lebih besar menghasilkan minyak yang lebih
banyak. Dimana penyulingan pada laju 0,6 kg uap/jam diperoleh minyak 2.47%
dan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam dihasilkan minyak 2.17%.
4.6. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap
Penyulingan dengan peningkatan tekanan 2, 2.5, 3 bar dan laju alir uap 1,
1.5, 2 l/j kg bahan secara bertahap terhadap waktu juga dilakukan dalam
penelitian ini. Recovery minyak terlihat terus meningkat dengan kenaikan tekanan
dan laju alir uap (Gambar 14). Peningkatan tekanan yang berarti juga peningkatan
suhu mampu mempercepat proses difusi minyak. Sedangkan peningkatan laju alir
uap menjadikan proses ekstraksi berjalan sempurna.
Recovery minyak yang dihasilkan pada perlakuan tekanan dan laju alir uap
bertahap ini masih lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tekanan bertahap
dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan. Perlakuan dengan laju alir uap konstan
2 l/j kg bahan mampu merecovery minyak hingga 90,42% sedangkan perlakuan
laju bertahap ini hanya menghasilkan 73,03%.
Diperkirakan jumlah minyak pada penyulingan dengan peningkatan
tekanan dan laju alir uap bertahap masih dapat diperbesar hingga menyamai
jumlah minyak pada perlakuan peningkatan tekanan bertahap dengan laju alir uap
konstan 2 l/j kg bahan, tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Akantetapi
penambahan waktu penyulingan membutuhkan energi yang lebih besar, sehingga
biaya produksi untuk bahan bakar meningkat.
38
21.8825.42
25.73
38.02
39.58
12.81
0
20
40
60
0 2 4 6 8 10
Waktu, jam
Rec
over
y, %
V4 = Bertahap
V3 = 2 l/j/kg
Gambar 14. Recovery minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap
Kajian Milojevic et al. (2008) terhadap biji juniper juga diperoleh hasil
yang sama dimana rendemen minyak dari peningkatan laju alir uap 0.13 ml/menit
menjadi 10 ml/menit secara bertahap (0.94 g minyak/100 g bahan) lebih rendah
dibandingkan dengan rendemen minyak pada penyulingan dengan laju alir uap
konstan 10 ml/menit (1.4 g minyak/100 g bahan).
4.7. Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap
Setiap jenis minyak atsiri mempunyai sifat khas tersendiri. Sifat ini
tergantung dari komponen senyawa penyusunnya. Sifat-sifat khas dan mutu
minyak dapat berubah mulai dari minyak yang masih berada dalam bahan, selama
proses ekstraksi, penyimpanan dan pemasaran (Ketaren 1985). Mutu minyak atsiri
didasarkan atas kriteria atau batasan yang dituangkan dalam standar mutu.
Warna dan Aroma
Warna merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi salah satu
pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Umumnya warna yang bening lebih
disukai dari pada warna yang gelap. Warna minyak hasil penyulingan bertahap
lebih baik dibanding minyak hasil penyulingan tekanan konstan. Minyak yang
dihasilkan pada fraksi 1 (tekanan 2 bar, jam ke 0-2) berwarna lebih muda yaitu
kuning dan jernih. Minyak hasil fraksi 2 (tekanan 2.5 bar, jam ke 2-5) berwarna
kuning kecoklatan, dan dari fraksi 3 (tekanan 3 bar, jam ke 5-9) berwarna coklat
2 bar 2,5 bar 3 bar
39
kemerahan. Sementara minyak hasil penyulingan konstan 3 bar fraksi 1 terlihat
lebih gelap. Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tekanan bertahap (dengan
maupun tanpa pengaturan laju alir uap), secara visual menunjukkan warna yang
cenderung semakin gelap seiring dengan bertambahnya waktu penyulingan.
Semua hasil yang diperoleh pada setiap fraksi masih memenuhi SNI.
Perbedaan warna yang dihasilkan dari tiap-tiap fraksi diduga akibat
perbedaan tekanan yang digunakan pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan uap
juga akan menaikkan suhu dalam ketel suling. Pada suhu yang tinggi ini
komponen minyak yang memiliki titik didih tinggi berwarna kecoklatan. Selain
itu, suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya proses browning dan
reaksi polimerisasi yaitu kemungkinan rusaknya minyak (Brown dan Islip 1953)
dan warna minyak menjadi lebih gelap. Penampilan visual warna minyak akar
wangi masing-masing fraksi dapat dilihat pada Gambar 15.
Warna minyak akar wangi dari semua penyulingan yang dilakukan pada
penelitian ini, memberikan warna yang lebih baik jika dibandingkan dengan
warna minyak dari penyulingan rakyat yaitu coklat kehitaman. Warna yang gelap
ini memiliki kualitas yang rendah yang ditandai oleh kerusakan beberapa
komponen (senyawa) minyak.
Aroma minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini khas akar wangi.
Minyak akar wangi fraksi 3 beraroma lebih kuat dibandingkan minyak hasil fraksi
1 dan 2. Hasil analisa GC-MS menunjukkan persentase komponen α-vetivon dan
β-vetivone (yang memberikan aroma khas akar wangi) pada fraksi 3 lebih tinggi
dari fraksi 1 dan 2. Namun keseluruhan minyak dari semua perlakuan tidak
berbau gosong seperti halnya minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat.
Penyulingan tekanan bertahap Penyulingan rakyat
F3 F2 F1
40
Penyulingan tekanan 2 bar Penyulingan tekanan 3 bar
Gambar 15. Tampilan warna minyak akar wangi
Bobot jenis, indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester
Berdasarkan SNI 2006 kisaran bobot jenis adalah 0.980–1.003. Untuk itu
hanya minyak hasil fraksi 1 yang memenuhi standar (Gambar 16). Sementara
fraksi 2 dan 3 dari setiap perlakuan berada di atas rentang tersebut. Fenomena ini
sangat mungkin terjadi karena SNI melakukan uji terhadap seluruh minyak yang
disuling dari awal hingga akhir, sementara pada penelitian ini sampel minyak
diambil berdasarkan peningkatan tekanan yang terbagi menjadi 3 fraksi.
Sedangkan nilai indeks bias minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan
bertahap memberikan nilai yang sesuai dengan kisaran standar yang telah
ditetapkan SNI yaitu 1.520–1.530.
Gambar 16a dan 16b memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap
pada setiap perlakuan meningkatkan nilai bobot jenis dan indeks bias.
Peningkatan tekanan uap akan menyebabkan kenaikan suhu di dalam ketel yang
berimplikasi pada peningkatan titih didih penguapan minyak. Komponen minyak
yang bertitik didih rendah dapat menguap pada suhu yang rendah, begitupula
sebaliknya komponen minyak yang bertitik didih tinggi menguap pada suhu yang
tinggi.
Bobot jenis dan indeks bias minyak berbanding lurus dengan titik didih
komponen yang terdapat dalam minyak tersebut. Pada tekanan rendah, minyak
yang tersuling umumnya memiliki titik didih yang rendah seperti monoterpen dan
monoterpen-O yang mempunyai bobot jenis rendah. Pada tekanan tinggi
komponen minyak yang bertitik didih tinggi seperti sesquiterpen dan
sesquiterpen-O tersuling dan akan meningkatkan bobot jenis minyak. Menurut
F3 F2 F1 F3 F2 F1
41
Ketaren dan Djatmiko (1978) nilai indeks bias yang tinggi dapat disebabkan
karena komponen-komponen terpen teroksigenasinya mengandung molekul
berantai panjang dengan ikatan tak jenuh atau mengandung banyak gugus
oksigen. Peningkatan nilai bobot jenis dan indeks bias minyak akar wangi ini juga
dapat dideteksi melalui hasil analisa GC-MS. Komponen khusimene dan
khusimone yang merupakan komponen dengan titik didih yang rendah dapat
menguap pada fraksi 1 dan 2. Sedangkan pada fraksi 3 komponen ini sudah tidak
keluar lagi. Kemungkinan disebabkan jumlah komponen tersebut dalam bahan
telah semakin berkurang atau bahkan telah habis. Nilai bobot jenis dan indeks
bias yang melampaui batasan SNI dan ISO mengindikasikan adanya zat pengotor
maupun kerusakan pada komponen-komponen minyak.
Standar mutu untuk bilangan asam minyak akar wangi berada pada
kisaran 10–35 (SNI 2006). Namun nilai bilangan asam hasil penelitian berkisar
antara 2.5–9.5. Nilai bilangan asam yang rendah ini dapat dikarenakan kondisi
penyulingan yang cukup terkontrol, sehingga hidrolisis ester yang menjadi
pemicu naiknya bilangan asam dapat diminimalkan. Jika dibandingkan dengan
standar mutu internasional (ISO 2002), bilangan asam minyak akar wangi hasil
penelitian masuk dalam kriteria yaitu maksimal 35. Ini berarti bahwa minyak
yang dihasilkan dari penelitian ini tergolong cukup baik. Sementara nilai bilangan
ester berkisar 4-20. Bilangan ester yang diperoleh dari minyak akar wangi hasil
penyulingan tekanan bertahap secara umum berada dalam rentang nilai baik
sesuai dengan SNI. Rata-rata dari ketiga fraksi, dihasilkan minyak akar wangi
sesuai dengan standar baik SNI maupun ISO.
42
0.9700
0.9800
0.9900
1.0000
1.0100
1.0200
1.0300
1.0400
1.0500
0 2 4 6 8 10
Waktu, jam
Bob
ot je
nis
V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap
1.5200
1.5210
1.5220
1.5230
1.5240
1.5250
1.5260
1.5270
1.5280
0 2 4 6 8 10Waktu, jam
Inde
ks b
ias
V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap
0
2
4
6
8
10
0 2 4 6 8 10
Waktu, jam
Bila
ngan
asa
m
V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap
0
5
10
15
20
25
0 2 4 6 8 10
Waktu, jam
Bila
ngan es
ter
V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap
Gambar 16. Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap (a) Bobot jenis; (b) Indeks bias; (c) Bil. asam; (d) Bil. ester
2 bar 2,5 bar 3 bar
2 bar 2,5 bar 3 bar
2 bar 2,5 bar 3 bar
2 bar 2,5 bar 3 bar
(a)
(d)
(c)
(b)
43
Gambar 16c dan 16d memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap
pada setiap perlakuan meningkatkan bilangan asam dan bilangan ester.
Peningkatan tekanan mengakibatkan jumlah ester yang menguap meningkat serta
terjadinya hidrolisa dari ester-ester seperti vetivenyl-vetivenat bereaksi dengan air
sehingga membentuk asam dan alkohol (Hardjono et al. 1973). Rusli (1974)
menyebutkan bahwa ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan
fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Penggunaan laju uap yang tinggi
juga menghasilkan nilai bilangan asam dan ester yang tinggi pula. Hal ini menurut
Milojevic et al. (2008) dikarenakan oleh transformasi hidrolisis persenyawaan
minyak terhadap peningkatan jumlah air/uap.Laju uap yang rendah menyebabkan
proses hidrodifusi berjalan kurang sempurna karena uap air yang kontak dengan
bahan sedikit sehingga ester-ester yang memiliki berat molekul tinggi tidak dapat
tersuling.
Mutu minyak hasil penelitian ini dinilai lebih baik jika dibandingkan
dengan minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat. Nilai bobot jenis dan
indeks bias hasil penyulingan rakyat masih memenuhi standar, namun nilai
bilangan asam dan ester tidak terpenuhi (Tabel 10). Nilai bilangan asam minyak
akar wangi hasil penyulingan rakyat berkisar antara 26–51 (Mulyono 2007).
Sementara batasan standar mutu internasional untuk bilangan asam minyak akar
wangi adalah maksimal 35. Bilangan asam yang tinggi umumnya menjadi tanda
adanya penurunan mutu minyak. Penyebab kerusakan yang mengakibatkan nilai
bilangan asam menjadi lebih tinggi adalah proses oksidasi golongan terpen
menjadi asam rantai pendek dan proses hidrolisa ester yang mengubah komponen
ester dalam minyak menjadi asam. Proses penyulingan yang lama (± 18 jam) yang
biasa digunakan oleh masyarakat bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya proses
oksidasi dan hidrolisa.
44
Tabel 10. Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat
Standar Mutu Parameter Penelitian
Penyulingan Rakyat Indonesia Reunion Haiti
• Warna Kuning –
coklat kemerahan
Coklat tua / gelap
Kuning muda - coklat
kemerahan
Coklat - merah
kecoklatan
Coklat - merah
kecoklatan • Bobot jenis
20/20 oC 0,997 – 1,001
0,9882 – 0,9870
0,980 – 1,003 0,99 – 1,015
0,986 – 0,998
• Indeks bias pada 20oC
1,5228 – 1,5267
1,5178 – 1,5221
1,520 – 1,530 1,5220 – 1,5300
1,521 – 1,526
• Bilangan asam < 10 26,82 – 51,17
10 - 35 Maks. 35 Maks. 14
• Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20oC
1:1 1:1 1:1 Maks. 1 : 2 Maks. 1 : 2
• Bilangan ester 4,86 – 20,69 3,17 – 17,82 5 – 26 5 - 16 5 – 16 • Vetiverol total
(asetilasi) 46,01 – 70,28 - Min 50 - -
• Kadar vetiverol (GC)
13,45 – 22,84 4,44 – 6,31 - - -
Sumber : Mulyono et al.(2007), SNI (2006), ISO (2002).
4.8. Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi
Komponen penyusun minyak akar wangi diidentifikasi dengan metode
GC-MS. Analisa ini dilakukan untuk setiap fraksi pada minyak hasil penyulingan
tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan dan laju alir uap bertahap.
Hasil yang diperoleh berupa dugaan komponen, waktu retensi, dan persen area
komponen minyak akar wangi. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil
GCMS ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base
WILEY275. Komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap
dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan diperlihatkan pada Gambar 17. Sedangkan
komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan dan laju alir uap
bertahap disajikan pada Gambar 18.
Berdasarkan spektrum massa komponen-komponen minyak akar wangi,
terdapat 8 komponen yang diduga sebagai sidik jari minyak akar wangi.
Komponen-komponen tersebut antara lain: khusimene, khusimone, cyclopropan
emethanol, 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne, beta gamma
nootkatone, khusenic acid, 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl dan nootkatone.
Spektrum massa hasil GCMS dibandingkan dengan spektrum massa minyak akar
wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002), komponen-komponen yang
tersebut adalah : Cycloporopan emethanol sebagai trisiklovetiverol; 4-(1-
cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne sebagai β-vetivon; beta
45
gamma nootkatone sebagai α-vetivone; dan 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl sebagai
vetiver alkohol.
Secara umum Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa komposisi
komponen penyusun minyak akar wangi dipengaruhi oleh tekanan. Kedua gambar
memperlihatkan kesamaan pola peak pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan
(gambar a, b, dan c) mengakibatkan peak dengan luas area besar bergeser ke
kanan. Pergeseran pola peak antar fraksi menunjukkan komponen dengan waktu
retensi rendah keluar lebih banyak pada tekanan rendah, begitupula sebaliknya.
Waktu retensi pada gambar hasil GC MS menunjukkan titik didih setiap
komponen. Sehingga komponen yang terdeteksi di awal memiliki titik didih lebih
rendah daripada komponen yang terdeteksi di akhir. Tabel 11 menyajikan luas
area masing-masing komponen dalam minyak akar wangi pada masing-masing
fraksi.
Tabel 11. Distribusi luas area GCMS minyak akar wangi
% Area V3 V4 Komponen
Titik didih (oC) Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3
Khusimene 100 1,18 0,26 - 1,27 0,51 - Khusimone 100 3,22 1,97 - - 2,14 - Trisiklovetiverol 110 17,21 17,12 13,45 16,84 22,84 16,76 β-vetivone 110 1,35 2,66 2,60 1,11 2,45 2,43 α-vetivone 110 3,15 6,03 7,29 2,65 5,16 5,92 Khusenic acid 158 0,29 10,79 34,45 3,25 8,51 31,15 Vetiver alkohol - - 0,42 0,70 - - 0,99 Nootkatone 120 - - 1,73 - - 1,59
46
Gambar 17. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V3 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
(a)
(b)
(c)
1
2
3
5
6
7
4
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol
3
4
5
7
8
6 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
1
2
3
4
5
6
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid
47
(a)
(b)
(c)
Gambar 18. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V4 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
1
3
4
5
6
1. Khusimene 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid
1
2
3
5
6 4
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid
3
4
5
7
8
6
3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
48
4.9. Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi
Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan
kinetik untuk proses penyulingan minyak atsiri seperti yang dilakukan Milojevic
(2008). Persamaan tersebut adalah :
t = 0 ; q = qw atau bq
q
q
q
o
w
o
== (4)
( ) kt
o
o ebq
qq −−=−.1 (5)
Atau
( ) ktbq
o
o −−=−1lnln (6)
Yield minyak awal (qo) dalam bahan dan yield minyak pada waktu
tertentu (q) diambil dari hasil penelitian.
Pengembangan model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri
menggunakan mekanisme yang sama seperti pada isolasi bahan tanaman melalui
ekstraksi pelarut. Berdasarkan mekanisme tersebut, penyulingan minyak akar
wangi terdiri dari 2 tahap : (1) penyulingan cepat yaitu pelepasan minyak atsiri
yang berada di sekitar permukaan luar bahan tanaman diawal proses. Pada kondisi
ini koefisiennya (b) diartikan sebagai jumlah minyak yang terekstrak pada saat t =
0. (2) penyulingan lambat yaitu pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan
menuju ke permukaan luar bahan. Koefisien distilasi pada penyulingan lambat (k)
ini merupakan konstanta kinetika pada keseluruhan proses penyulingan.
Nilai koefisien distilasi dihitung dari transformasi data menggunakan
model eksponensial (Chapra & Canale 1991). Transformasi dilakukan dengan
memplotkan kurva hubungan ln[(qo-q)/qo] terhadap waktu (persamaan 6).
49
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)
ln [(
qo-q
)/qo
]V1 V2 V3
Gambar 19. Kinetika penyulingan minyak akar wangi
Nilai koefisien distilasi, k, merupakan kemiringan (slope) kurva,
sedangkan nilai koefisien distilasi b, merupakan perpotongan (intercept) kurva.
Nilai koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai koefisien distilasi
Perlakuan k (s-1) b (1) R2
V1 1 l/j kg 0,1629 0,0158 0,9988
V2 1,5 l/j kg 0,1911 0,0224 0,9971
V3 2 l/j kg 0,2369 0,0450 0,9855
Nilai koefisien distilasi meningkat seiring dengan peningkatan laju alir
uap. Nilai koefisien k lebih besar daripada koefisien b. Hal ini menyatakan bahwa
laju alir uap lebih besar pengaruhnya terhadap koefisien k dari pada koefisien b.
Artinya peningkatan laju alir uap pada proses penyulingan lebih berperan pada
proses pelepasan minyak yang terdapat dari dalam bahan menuju ke permukaan
bahan dan bukan pada pelepasan minyak yang ada di dekat permukaan bahan.
Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien distilasi)
terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil
(least square curve fitting method) dengan menggunakan persamaan pangkat
sederhana (power). Plot masing-masing nilai koefisien distilasi terhadap laju alir
uap disajikan pada Gambar 20.
50
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Laju
k
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Laju
b
Gambar 20. Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap
Berdasarkan Gambar 20, maka model persamaan matematis untuk
masing-masing parameter kinetik disajikan pada Tabel 13. Penelitian mengenai
model persamaan kinetika pada penyulingan biji juniper dengan menggunakan
tekanan konstan juga dilakukan oleh Milojevic (2008). Model persamaan yang
dihasilkan juga disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan
Penelitian Koefisien distilasi R2 Keterangan proses
Milojevic (2008) k = 0.984 V0.532 0,995
b = 0.871 V0.167 0,946
• Tekanan konstan
• Laju konstan
Tutuarima (2009) k = 0.840 V0.530 0,967
b = 0.985 V1.446 0,920
• Tekanan bertahap
• Laju konstan
Masing-masing persamaan pada Tabel 13 memperlihatkan ada sedikit
perbedaan yang dihasilkan dari kedua penelitian tersebut. Pada penelitian
Milojevic (2008) nilai k lebih besar daripada nilai b. Ini berbanding terbalik
dengan penelitian ini yang menghasilkan nilai k yang lebih kecil daripada nilai b.
Nilai k yang besar berarti kinetika yang terjadi selama proses penyulingan
berjalan cepat. Pada penelitian Milojevic (2008) penyulingan dilakukan terhadap
biji jintan yang telah dihancurkan/bubuk (comminuted ripe juniper berries).
Guenther (1990) menyebutkan bahwa penyulingan bahan tanaman dengan ukuran
yang lebih kecil mempermudah proses hidrodifusi. Hal ini berarti bahan tanaman
dengan ukuran yang lebih kecil lebih mudah menguap daripada bahan dalam
keadaan utuh. Sementara pada penelitian ini bahan akar wangi juga telah
51
diperkecil. Namun jika dibandingkan dengan ukuran bubuk juniper, maka ukuran
ini masih lebih besar. Perbedaaan ukuran bahan yang disuling inilah yang diduga
menjadi penyebab terjadinya perbedaan konstanta kinetika.
Percobaan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap pada periode
waktu tertentu selama proses penyulingan juga dilakukan pada penelitian ini.
Peningkatan laju alir uap secara bertahap tidak mampu memberikan jumlah
minyak yang lebih tinggi dari pada minyak yang dihasilkan dengan menggunakan
laju alir uap konstan yang tertinggi, dalam hal ini 2 l/j kg bahan (lihat Gambar
14). Nilai koefisien distilasi dari kedua parameter untuk penyulingan dengan laju
alir uap bertahap (k = 0,1336 min-1; b = 0,0214) lebih rendah daripada nilai
koefisien parameter kinetika pada penyulingan dengan laju alir uap konstan
tertinggi. Oleh karena itu diduga laju alir uap yang rendah pada awal penyulingan
tidak cukup mampu membebaskan seluruh minyak dari akar wangi.
Model persamaan kinetika penyulingan minyak akar wangi yang
dihasilkan pada Tabel 13, diujicobakan pada percobaan penyulingan dengan
peningkatan laju alir uap secara bertahap. Hasil perhitungan dari persamaan
kinetika dibandingkan dengan hasil percobaan (Gambar 21).
0.029
0.0240.021
0.009 0.016
0.007
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu, jam
q, g
/g
q hit q perc
Gambar 21. Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil prediksi model pada V = bertahap.
Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan antara konsentrasi minyak
hasil percobaan dengan hasil perhitungan. Konsentrasi minyak hasil percobaan
lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan, tetapi keduanya menunjukkan
52
pola kedekatan nilai yang cukup baik. Peningkatan laju alir uap dan penambahan
waktu penyulingan memperbesar perbedaan nilai hasil perhitungan dan
percobaan. Perbedaan konsentrasi minyak antara hasil perhitungan dan percobaan
tidak terlalu besar dan masih dapat ditoleransi, hanya berkisar antar 0.002–0.005
g/g minyak. Perbedaan ini diduga akibat terjadinya kendala teknis selama
penyulingan seperti terjadinya kondensasi uap dalam ketel suling yang
mengakibatkan minyak yang telah dibawa uap tidak terpisah, beberapa komponen
minyak yang larut dan teremulsi ke dalam air destilat serta faktor-faktor luar yang
diabaikan saat melakukan perhitungan.
53
V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
1. Tekanan uap pada ketel suling yang berbeda mempengaruhi kinerja proses
penyulingan. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan uap konstan
1 bar terbukti tidak efektif, sedangkan tekanan uap konstan 3 bar mampu
menghasilkan recovery yang tinggi dengan mutu yang baik. Penggunaan
peningkatan tekanan uap bertahap (2, 2.5, 3 bar) menghasilkan kinerja
recovery sebesar 92.58%, sedikit lebih tinggi dari tekanan konstan 3 bar
yaitu 90.37%.
2. Laju alir uap signifikan menentukan kinerja recovery proses penyulingan.
Peningkatan laju alir uap selama proses mampu meningkatkan kinerja
recovery penyulingan. Namun secara keseluruhan, laju alir uap konstan
tertinggi 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery lebih baik.
3. Penggunaan peningkatan tekanan uap secara bertahap sampai dengan 3 bar
dan laju alir uap 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery tinggi dengan
mutu sesuai dengan standar SNI dan ISO.
4. Penggunaan tekanan bertahap sampai dengan 3 bar dapat menghasilkan
fraksi minyak akar wangi dengan komposisi komponen sesuai dengan
kelompok titik didihnya. Komponen minyak akar wangi khusimene,
khusimone keluar pada tekanan 2 dan 2.5 bar; α-vetivone, β-vetivon, dan
khusenic acid keluar pada ketiga tahapan dengan persentase semakin besar
pada tekanan 3 bar.
5. Kinetika untuk penyulingan minyak akar wangi dapat diprediksi
menggunakan persamaan model kinetika ekstraksi pelarut. Persamaan
parameter kinetika yang diperoleh adalah k = 0.840 V0.530.
5.2. Saran
Penelitian yang telah dilakukan ini memiliki banyak tujuan antara lain
mendapatkan recovery yang tinggi, mutu yang baik, penggunaan waktu yang
singkat dan energi yang lebih sedikit. Oleh karena itu penyulingan dengan
menggunakan tekanan bertahap pada proses penyulingan minyak akar wangi akan
54
sangat membantu baik dari segi biaya dan waktu. Namun sebelum diaplikasikan
ke skala yang lebih besar perlu dilakukan :
1. Penelitian lanjutan dengan fokus utama optimasi parameter-parameter
kondisi proses yang telah digunakan. Hasil optimasi ini untuk
mendapatkan kondisi operasi yang optimum.
2. Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg
bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery.
Ini bertujuan untuk batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat
meningkatkan recovery.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abraham. 2002. Telaah Komponen Volatil Akar Wangi (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Liar Asal Bone secara Kromatografi Gas–Spektrometri Massa [tesis]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.
Adams RP., Sanko Nguyen, Dennis A. Johnston, Sunghun Park, Tony L. Provin,
Mitiku Habte. 2008. Comparison of vetiver root essential oils from cleansed (bacteria- and fungus-free) vs. non-cleansed (normal) vetiver plants. Biochemical Systematics and Ecology 36:177-182
Aggarwal A, Singh A, Kahol AP, Singh M. 1998. Parameters of Vetiver Oil
Distillation. J.Herbs Spices & Med.Plants. 6(2):55-61 Akhila A, Mumkum R. 2002. Chemical Constituents and Essential Oil Biogenesis
in Vetiveria Zizaniodes. Didalam Massimo Maffei. Vetiveria : The Genus Vetiveria. New York : Taylor and Francs Ind..
Anonim. 2009. Wikipedia : Ensiklopedia Bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/ [26
Agustus 2009] Atkins PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 1 Ed ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah;
Rohhadyan T & Hadiyana K, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry.
Azlina N. 2005. Study of Important Parameters Affecting The Hydro-Distillation
for Ginger Oil Production [thesis]. Malaysia : Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, University Teknology Malaysia.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia.
Jakarta : Biro Pusat Statistik. Brown E, Islip HT. 1953. Stills for Essential Oil: Colonial Plant and Animal
Product. 3:287-319; di dalam Monograf Nilam. 1998. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor
Cazaussus A, Pes A, Sellier N, Tabet JC. 1988. GC-MS and GC-MS-MS Analysis
of a Complex Essential Oil. Chromatographia 25(10) : 865 - 869. Chapra SC, Raymond P Canale. 1991. Metode Numerik untuk Teknik. Sardy S,
penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari : Numerical Methods for Engineers.
Dahlan D. 1989. Model Matematik Pengaruh Tekanan Uap Terhadap Rendemen
Penyulingan Minyak Nilam [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
56
Denny E F K (Tim). 2001. Field Distillation for Herbaceous Oils Third Edition. Tasmania, Australia : Denny, McKenzie Associates.
Dethier M, Sakubu S, Ciza A, Cordier Y. 1997. Aromatic Plants of Tropical
Central Africa. XXVIII. Influence of Cultural Treatment and Harvest Time on Vetiver Oil Quality in Burundi. J. Essent.Oil. (9) : 447-451
Earle RL. 1982. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Nasution Z,
penerjemah. Jakarta: Sastra Hudaya. Terjemahan dari: Unit Operation in Food Processing.
Feryanto. 2007. Garut : The Land of Vetiver. http://ferry-atsiri.blogspot.com/2007
/12/garut-land-of-vetiver.html [6 April 2008]. Geankoplis CJ. 1983. Transport Processes and Separation Prosess Principles
(Includes Unit Operations) Fourth Edition. New York : Prentice Hall. Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah.
Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : The Essential Oils.
Hardjono, Rusli S, Deswert RJ. 1973. Cara-cara Penyulingan Mempengaruhi
Rendemen dan Kwalitas Minyak Akar Wangi. Pemberitaan LPTI 15 – 16 : 39 – 47.
Heldman DR, Singh RP. 1980. Food Process Engineering Second Edition.
Westport, Connecticut : AVI Publishing Company, INC. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta : Balitbang
Kehutanan. Indrawanto. 2006. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Akar Wangi di
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol XVIII (2) : 78 - 83
[ISO] International Organization for Standardization 4716 : 2002. Oil of vetiver
(Vetiveria zizanioides (Linnaeus) Nash). http://www.iso.org/iso/iso_ catalogue/catalogue_tc/catalogue_detail.htm?csnumber=28587 [15 April 2008].
Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia
Pustaka. Ketaren S, Djatmiko B. 1978. Minyak Atsiri Bersumber dari Batang dan Akar.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Bogor : FATEMETA, IPB Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.
57
Lavania UC. 1988. Enhanced Productivity of The Essential Oil in The Artificial Autopolyploid of Vetiver (Vetiveria zizaniodes L. Nash). Euphytica 38: 271 – 276.
Lavania UC, Surochita Basu, Seshu Lavania. 2008. Towards Bio-Efficient And Non-Invasive Vetiver : Lessons From Genomic Manipulation And Chromosomal Characterization. http://www.vetiver.org/ICV4pdfs /EB02.pdf [23 Agustus 2009]
Lestari RSE. 1993. Pengaruh Tekanan Uap dalam Proses Distilasi Terhadap
Rendemen Minyak Sereh Wangi (Andropogon nardus) [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lutony TL, Yeyet R. 1999. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta : Penebar Swadaya.
Luu TD. 2007. Development of Process for Purification of α dan β-vetivone from
Vetiver Essential Oil & Investigation of Effect of Heavy Metals on Quality and Quantity of Extracted Vetiver Oil. Thesis. University of New South Wales. Sydney. http://www.vetiver.org/AUS_Research%20 Proposal%20vet%20oil.pdf. [15 Juli 2007].
Marshall JA. 1967. The Vetivane Sesquiterpenes. J. Am. Chem. Soc. 89: 2748 –
2750. Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM.
2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil. J. Agr and Food Chem. 52 : 6578 – 6584.
Milojevic S, Stojanovic T, Palic R, Lazic M, Veljkovic V. 2008. Kinetics of
Distillation of Essential Oil from Comminuted Ripe Juniper (Juniperus communis L) berries. Biochem. Eng. J. 39:547-553.
Moestafa A, Sumarsi, Lestari D. 1998. Pengaruh Ukuran Bahan dan Lama
Penyulingan Terhadap Yield dan Karakteristik Minyak Jeruk Purut (Citrus hystrix DC). Warta IHP 13 (1-2) : 25 – 29.
Moestafa A, Waspodo P, Hakim S. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan
Penyulingan Terhadap Kadar Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP 8 (2) : 11 – 15.
Moestafa, A. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan Penyulingan terhadap Kadar
Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP Vol. 8 (2) : 11 – 15 Mulyono E, Risfaheri, Hernani, Tatang H, Sari IK, Wisnu B, Meika SR, Ketaren,
Hari S. 2007. Laporan Akhir Penelitian Perbaikan Mutu dan Efisiensi Penyulingan Minyak Akar Wangi. Bali Besar Penelitian dan Pascapanen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Tidak dipublikasi].
58
Oyen, Dung NX. 1999. Plant Resources of Shouth East Asia (PROSEA) 19 Essential Oil Plant. Bogor: Backhoys Publisher, Leider the Netherland.
PT Djasula Wangi. 2006. Akar Wangi (Vetiver). Di dalam : Menuju IKM Minyak
Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 44 – 46.
Risfaheri dan Edi, M. 2006. Standar Proses Produksi Minyak Atsiri. Di dalam :
Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 68 – 80.
Rusli S, Anggraeni. 1999. Pengaruh Tekanan Uap dan Lama Penyulingan
Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Vol. X (1) : 25 – 32
Rusli S. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edisi
Khusus 2. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Sakiah S. 2006. Modifikasi Proses Penyulingan dengan Variasi Tekanan Uap
Untuk Memperbaiki Karakteristik Aroma Minyak Pala [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso HB. 1993. Akar Wangi Bertanam dan Penyulingan. Yogyakarta :
Kanisius. Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Setiadji, Tamtarini. 2006. Mempelajari Pengaruh Metode dan Lama Penyulingan
Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Nilam. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 128 – 134.
Shibamoto T, Nishimura O. 1982. Isolation and Identidication of Phenols in Oil of
Vetiver. Phytochemistry. 21(3):793 [SNI] Standar Nasional Indonesia 06- 2386-2006. Minyak Akar Wangi.
http://www.bsn.or.id/files/sni/SNI%2001-2386-2006%20_akar%20 wangi_.pdf [10 Februari 2008].
59
Sudibyo A. 1989. Pengaruh Lama Penyulingan dan Penghancuran Biji Jintan (Cuminum Cyminum L.) Terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Atsiri yang Dihasilkan. Warta IHP Vol. 6 (1) : 1 – 4.
Suryatmi RD, Henanto H, Purwanto W, Wibowo T. 2006. Teknologi Proses
Produksi Minyak Atsiri Mutu Tinggi. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 150 – 158.
Suryatmi RD. 2006. Kajian Variasi Tekanan pada Penyulingan Minyak Akar
Wangi Skala Laboratorium. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 173 – 177.
Triharyo. 2007. Solusi Untuk Industri Penyulingan Akar Wangi dengan
Menggunakan Energi Panas Bumi. http://www.triharyo.com/dl_jump. php?id=11 [6 April 2008].
Weyerstahl P, Helga M, Ute S, Dietmar W, Horst S. 2000. Constituent of Haitian
Vetiver Oil. Flavour Fragr. J. 15 : 395-412 Wibowo TY, Suryatmi RD, Meika SR, Imelda HS. 2008. Kajian Proses
Penyulingan Uap Minyak Jintan Putih. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol 17 (3) : 89-96
60
61
Lampiran 1. Daftar Istilah dan Simbol
A. Istilah
Boiler : alat untuk menghasilkan uap air, yang akan digunakan untuk pemanasan.
Ketel suling : alat yang berfungsi sebagai wadah tempat air dan atau uap
untuk mengadakan kontak dengan bahan serta menguapkan minyak atsiri
Kondensor : alat pendingin yang berfungsi untuk mengubah seluruh uap
air dan uap minyak menjadi fase cair Separator : alat yang berfungsi untuk menampung distilat dan
memisahkan minyak dari air suling Laju distilasi : nilai perbandingan antara jumlah air suling dengan waktu
(jumlah air yang disuling tiap jam) Laju alir uap` : nilai perbandingan antara jumlah uap air dari boiler yang
masuk ke ketel suling terhadap waktu (jumlah uap yang masuk tiap jam)
Recovery : jumlah minyak yang dapat dikeluarkan dari keseluruhan
minyak yang terkandung dalam bahan tanaman Rendemen : jumlah minyak yang dihasilkan pada proses penyulingan
persatuan bahan Tekanan : satuan fisika untuk menyatakan gaya (F) per satuan luas (A). Tekanan uap : tekanan suatu uap pada kesetimbangan dengan fase bukan
uapnya B. Simbol
P = tekanan
Konversi satuan : 1 bar = 0.9869 atm = 1.0197 kg/cm2
1 bar = 100 kPa = 750.0617 mmHg
V = laju alir uap; ml/menit, l/jam
t = waktu penyulingan; menit, jam
T = suhu penyulingan; oC
62
Lampiran 2. Prosedur Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak a. Penentuan Kadar Air (SNI 01-3181-1992)
Ruang lingkup
Metoda ini digunakan untuk penentuan kadar air dari bumbu dan rempah-
rempah.
Definisi
Yang dimaksud dengan kadar air adalah banyaknya air, dinyatakan dalam
presentasi massa yang disuling dan dikumpulkan sesuai dengan metoda yang
diuraikan.
Prinsip
Penentuan banyaknya air yang dipisahkan dengan cara destilasi dengan
bantuan suatu cairan organik yang tidak bercampur dengan air, dan yang
dikumpulkan dalam sebuah tabung ukuran.
Bahan-Bahan Kimia
Toluena. Jenuhkan toluena dengan mengocoknya dengan sejumlah kecil air
dan sulinglah. Gunakan destilat ini untuk penentuan kadar air.
Peralatan
1. Alat penyulingan terdiri atas bagian-bagian di bawah ini dipasang
bersama-sama dengan menggunakan sambungan-sambungan kaca asah :
a. Labu leher pendek, paling sedikit berkapasitas 500 ml.
b. Pendingin refluks.
c. Penampung dengan tabung berukuran, ditempatkan diantara labu
dan pendingin,
2. Neraca Analitik
Pengambilan Cuplikan
Lakukanlah pengambilan cuplikan bahan dengan menggunakan metoda
seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices and Condiments
sampling.
63
Cara Kerja
1. Persiapan alat.
Seluruh alat dibersihkan dengan larutan pencuci kalium dikhromat-asam
sulfat untuk memperkecil kemungkinan melekatnya tetes-tetes kecil air
pada sisi-sisi pendingin dan penampung. Bilaslah dengan air secara baik
dan keringkan dengan sempurna sebelum alat tersebut digunakan.
2. Penbuatan cuplikan untuk pengujian.
Buatlah cuplikan seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices
and Condiments - Preparation of Sample for Test.
3. Cuplikan yang diperiksa.
Timbanglah mendekati 0.01 kira-kira cuplikan yang telah dibuat untuk
pengujian, sedemikian rupa sehingga banyaknva air yang diukur tidak
akan rnelebihi 4,5 ml.
4. Penentuan.
Pindahkan secara kuantitatip cuplikan yang diperiksa ke dalam labu
destilasi dengan toluene, tambahkan toluena secukupnya (kira-kita 75 ml)
untuk menutupi cuplikan itu seluruhnya, dan kocoklah perlahan-lahan
untuk mencampurnya. Pasanglah alat dan isilah penampung dengan
pelarut dengan cara menuangkannya melalui pendingin sampai mulai
meluap ke dalam labu destiIasi. Bila perlu sisipkanlah sumbat kapas yang
longgar dibagian atas pendingin atau pasanglah sebuah tabung pengering
kecil berisi kalsium klorida untuk mencegah pengembunan uap air dari
udara di dalam tabung pendingin.
Agar refluks dapat diatur, selubungilah labu dan tabung yang menuju ke
penampung dengan kain asbes. Panaskanlah labu sedemikian rupa
sehingga kecepatan destilasi adalah kira-kira 100 tetes per menit. Bila
sebagian besar air telah tersuling, naikkanlah kecepatan destilasi sampai
kira-kira 200 tetes per menit dan teruskanlah hingga tidak ada lagi air
yang tertampung. Sekali-sekali bersihkan dinding sebelah dalam dari
pendingin refluks dengan 5 ml toluena selama destilasi berlangsung untuk
membilas air yang mungkin melekat pada dinding pendingin. Air dalam
penampung dapat dipaksa untuk memisah dari toluene dengan sekali-
64
sekali menggunakan sebuah spiral kawat tembaga turun naik dalam
pendingin dan penampung, sehingga air mengendap pada dasar
penampung. Reflukslah hingga tinggi air dalam penampung tetap tidak
berubah selama 30 menit dan hentukanlah sumber panas.
Bilaslah pendingin dengan toluena bila diperlukan, dan gunakanlah spiral
kawat tembaga untuk melepaskan tetes-tetes air yang ada. Celupkanlah
penampung ke dalam air pada suhu kamar paling sedikit selama 15 menit
atau sampai lapisan toluena menjadi jernih, dan kemudian bacalah volume
air.
Cara Menyatakan Hasil
Kadar air dalam persentase massa sama dengan :
M
VairKadar
100=
dimana :
V : adalah volume, dalam milliliter air yang ditampung.
M : adalah massa, dalam gram. cuplikan yang diperiksa.
Dianggap bahwa rapat massa air tepat 1 g/ml.
b. Penentuan Kadar Minyak (SNI 01-0025-1987)
Ruang lingkup
Metoda ini digunakan untuk menentukan kadar minyak atsiri pada bumbu dan
rempah-rempah.
Definisi
Kadar minyak atsiri adalah kandungan minyak yang dihasilkan dari bagian
tanaman, bersifat mudah menguap pada suhu kamar, berbau wangi khas tidak
larut dalam air tetapi larut dalam bahan organik.
Prinsip metode
Contoh dipotong-potong kecil, dimasukkan ke dalam labu didih. Tambahkan
air dan didihkan. Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi
“Dean – Stark”.
65
Bahan kimia
1. Aquadest
2. Bumbu dan rempah-rempah
Peralatan
1. Timbangan analitik
2. Labu didih berkapasitas 1 liter
3. Alat destilasi “Dean – Stark”
Cara kerja
1. Timbanglah dengan teliti mendekati 1 gram, kira-kira 35 – 40 gram
cuplikan yang telah dipotong kecil-kecil sebelumnya dan masukkan ke
dalam labu didih.
2. Tambahkan air sampai seluruh cuplikan terendam dan tambahkan
kedalamnya sejumlah batu didih. Contoh dipotong-potong kecil,
dimasukkan kedalam batu didih. Tambahkan air dan didihkan.
Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi “Dean – Stark”.
3. Sambunglah labu didih dengan alat “Dean – Stark” sehingga dapat
digunakan untuk pekerjaan destilasi dan panaskanlah labu didih tersebut
beserta isinya. Penyulingan dihentikan bila tidak ada lagi butir-butir
minyak yang menetes bersama-sama air atau bila volume minyak dalam
penampung tidak berubah selama beberapa waktu.
Cara Menyatakan Hasil
Kadar minyak atsiri dapat ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai
berikut :
100)1(
min(%)min ×
−=
airkadarcuplikanberat
dibacayangyakmlatsiriyakKadar
66
Lampiran 3. Prosedur Analisa Sifat Fisika Kimia Minyak Akar Wangi
(SNI 06-2386-2006)
a. Penentuan warna
Prinsip
Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra
penglihatan langsung, terhadap contoh minyak akar wangi.
Peralatan
1. Tabung reaksi kapasitas 15 ml atau 20 ml;
2. Pipet gondok atau pipet berskala kapasitas 10 ml;
3. Kertas atau karton berwarna putih ukuran 20 cm x 30 cm.
Prosedur
1. Pipet 10 ml contoh minyak akar wangi
2. Masukkan kedalam tabung reaksi, hindari adanya gelembung udara
3. Sandarkan tabung reaksi berisi contoh minyak akar wangi pada kertas atau
karton berwarna putih.
4. Amati warnanya dengan mata langsung, jarak pengamatan antara mata dan
contoh 30 cm
b. Penentuan Bau
Prinsip
Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra
penciuman langsung, terhadap contoh minyak akar wangi.
Penyajian hasil uji
Hasil uji yang disajikan harus sesuai dengan warna contoh minyak akar wangi
yang diamati. Apabila contoh minyak akar wangi yang diamati berwarna
kuning muda, maka warna contoh minyak akar wangi dinyatakan kuning
muda.
67
c. Penentuan Bobot Jenis
Prinsip
Perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu
yang sama.
Peralatan
1. Neraca analitik dengen ketelitian 0,001 g;
2. Penangas air yang diperlengkapi dengan thermostat;
3. Piknometer berkapasitas 5 ml.
Cara kerja
1. Cuci dan bersihkan piknometer, kemudian basuh berturut-turut dengan
etanol dan dietil eter.
2. Keringkan bagian dalam piknometer tersebut dengan arus udara kering
dan sisipkan tutupnya
3. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan
timbang (m)
4. Isi piknometer dengan air suling sambil menghindari adanya gelembung-
gelembung udara.
5. Celupkan piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20oC ± 0,2 oC
selama 30 menit
6. Sisipkan penutupnya dan keringkan piknometernya
7. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit,
kemudian timbang dengan isinya (m1)
8. Kosongkan piknometer tersebut, cuci dengan etanol dan dietil eter,
kemudian keringkan dengan arus udara kering.
9. Isilah piknometer dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung-
gelembung udara
10. Celupkan kembali piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20 oC ±
0,2 oC selama 30 menit. Sisipkan tutupnya dan keringkan piknometer
tersebut.
11. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan
timbang (m2).
68
Penyajian hasil uji
mm
mmdjenisBobot
−−==
1
22020
dengan keterangan:
m, adalah massa piknometer kosong (g);
m1, adalah massa, piknometer berisi air pada 20oC (g);
m2, adalah massa, pikonometer berisi contoh pada 20oC (g).
d. Penentuan indeks bias
Prinsip
Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang
dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap.
Bahan kimia
• Air suling
Peralatan
1. Refraktometer;
2. Penangas air;
3. Lampu natrium.
Cara kerja
1. Alirkan air melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu saat
pembacaan akan dilakukan
2. Suhu harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 oC
3. Sebelum minyak ditaruh di dalam alat, minyak tersebut harus berada pada
suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan
4. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil
Penyajian hasil uji
( )ttnbiasIndeks tD −+= 10004,01
Dengan:
1tDn adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan ;
tDn adalah indeks bias pada suhu 20o;
69
t1 adalah suhu yang dilakukan pada suhu pengerjaan;
t adalah suhu referensi (20oC);
0.0004 adalah faktor koreksi untuk indeks bias.
e. Penentuan kelarutan dalam etanol
Prinsip
Kelarutan minyak akar wangi dalam etanol absolut atau etanol 95 %
membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan-perbandingan
seperti yang dinyatakan.
Bahan kimia
1. Etanol 95 %
2. Larutan pembanding (dibuat baru)
Dengan menambahkan 0,5 ml larutan perak nitrat (AgNO3) 0,1 N ke
dalam 50 ml larutan natrium khlorida (NaCl) 0,0002 N dan dikocok.
Tambahkan satu tetes asam nitrat (HNO3) encer (25 %) dan amati setelah
5 menit. Lindungi terhadap sinar matahari langsung.
Peralatan
1. Gelas ukur 50 ml;
2. Gelas ukur tertutup 10 ml atau 25 ml.
Cara kerja
1. Tempatkan 1 ml contoh minyak dan diukur dengan teliti di dalam gelas
ukur yang berukuran 10 ml atau 25 ml
2. Tambahkan etanol 95 %, setetes demi setetes. Kocoklah setelah setiap
penambahan sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkin pada
suhu 20 oC
3. Bandingkanlah kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan
pembanding, melalui cairan yang sama tebalnya, bila larutan tersebut
tidak bening.
Penyajian hasil uji
Hasil uji dinyatakan sebagai berikut:
Akan membentuk larutan jernih atau opalesensi ringan, apabila ditambahkan
etanol sebanyak maksimum sepuluh kali volume contoh.
70
f. Penentuan bilangan asam
Prinsip
Asam-asam bebas dinetralkan dengan larutan terstandar kalium hidroksida
etanol.
Bahan kimia
1. Etanol 95 % (v/v) pada 20oc, yang dinetralkan dengan larutan kalium
hidroksida (KOH) dengan menggunakan indikator fenolftalein (pp);
2. Fenolftalein (pp), larutan 0,4 g/l dalam etanol 20 % (v/v) yang telah
dinetralkan;
3. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,1 N dalam etanol yang telah
distandardisasi.
Peralatan
1. Neraca analitik dengan ketelitian 0,001 g;
2. Labu penyabunan kapasitas 250 ml, yang dilengkapi dengan pendingin
refluks;
3. Buret dengan skala terbagi dalam seper sepuluh milimeter.
Cara kerja
1. Timbang 4g ± 0,05 g contoh minyak, larutkan dalam 5 ml etanol netral
pada labu saponifikasi penyabunan
2. Tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein sebagai indikator
3. Titrasi larutan tersebut dengan kalium hidroksida 0,1 N sampai warna
merah muda
Penyajian hasil uji
m
NVasamBilangan
××= 1,56
dengan keterangan:
56,1 adalah bobot setara KOH;
V adalah volume larutan KOH yang diperlukan (ml);
N adalah normalitet larutan KOH (N);
m adalah massa contoh yang diuji (g).
71
g. Penentuan bilangan ester
Prinsip
Penyabunan ester-ester dengan larutan KOH alkohol berlebihan. KOH
dititrasi kembali dengan asam klorida (HCl). Ester-ester dihidrolisis dengan
larutan standar kalium hidroksida berlebih pada kondisi panas. Kelebihan
alkali ditetapkan dengan titrasi kembali dengan asam klorida.
Bahan kimia
1. Etanol 95 % (v/v) yang baru dinetralkan dengan larutan alkali, dengan
menggunakan larutan indikator fenolftalein (pp);
2. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,5 N dalam etanol;
3. Larutan standar volumetri asam klorida (HCL) 0,5 N;
4. Larutan fenolftalein (pp) 1% dalam etanol.
Peralatan
1. Labu penyabunan, terbuat dari gelas dengan leher kaca asah yang tahan
terhadap alkali, berkapasitas 250 ml, dapat dilengkapi dengan sebuah pipa
kaca, panjangnya paling sedikit 1 m, dan diameter sebelah dalam 1 cm,
yang digunakan sebagai kondensor refluks atau bila perlu sebagai
pendingin refluks. Pasanglah tabung berisi penyerap karbon dioksida pada
pendingin selama pendinginan;
2. Gelas ukur 5 ml;
3. Buret standar 50 ml;
4. Pipet standar 25 ml;
5. Penangas air.
Cara kerja
a) Pengujian blanko
1. Isi labu penyabunan dengan beberapa potong batu didih atau porselen,
lalu tambahkan 25 ml larutan kalium hidroksida 0,5 N dalam alkohol
2. Refluks dengan hati-hati di atas penangas air mendidih selama 1 (satu)
jam setelah larutan mendidih. Diamkan larutan hingga menjadi dingin.
3. Lepaskan kondensor refluks dan tambah 5 tetes larutan fenolftalein
dan kemudian titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan
warna.
72
b) Pengujian contoh
1. Timbang contoh 4 g ± 0,05 g dan masukkan ke dalam labu, tambahkan
25 ml kalium hidroksida 0,5 N dan batu didih.
2. Refluks diatas penangas air selama 1 jam
3. Lepaskan kondensor refluks, tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein,
dan titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan warna
Penyajian hasil uji
Bilangan ester (E) dihitung dengan rumus:
( )m
NVVE 011,56 −=
dengan keterangan:
56,1 adalah bobot setara KOH;
V1 adalah volum HCl yang digunakan dalam penentuan blanko (ml);
Vo adalah volume HCl yang digunakan untuk contoh (ml);
m adalah massa dari contoh yang diuji (g);
N adalah normalitet HCl (N).
h. Penentuan bilangan ester setelah asetilasi
Prinsip
Asetilasi minyak atsiri oleh anhidrida asetat dengan adanya natrium asetat.
Isolasi dan pengeringan minyak atsiri yang terasetilasi tersebut. Penentuan
bilangan ester setelah asetilasi. Perhitungan kadar alkohol bebas, dengan
memperhatikan bilangan ester minyak sebelum asetilasi
Peralatan
1. Alat destilasi, termasuk sebuah labu asetilasi berdasar bundar dengan leher
kaca asah berkapasitas 100 cm³, dilengkapi dengan sebuah pipa kaca
untuk bertindak sebagai pendingin reflaksi, panjangnya paling sedikit 1 m
dan diameter sebelah dalam paling sedikit 10 m.
2. Gelas ukur kapasitas 10 cm³ dan 50 cm³.
3. Alat pemanas yang sesuai untuk mendidihkan, tanpa terjadinya pemanasan
setempat yang berlebih.
4. Corong pemisah berkapasitas 250 ml.
73
5. Alat penyabunan, termasuk labu kaca tahan alkali berkapasitas 100 sampai
200 ml, yang dilengkapi dengan sebuah pipa kaca untuk bertindak sebagai
pendingin refluks. Pasanglah tabung penyerap karbon dioksida pada
pendingin selama pendinginan.
6. Buret berkapasitas sedikitnya 20 ml.
Bahan kimia
1. Asam asetat anhidrat 98% sampai 100% untuk analisa.
2. Natrium asetat anhidrat, baru dilebur dan dihaluskan.
3. Natrium khlorida, larutan jenuh.
4. Natrium karbonat/natrium khlorida, larutan mengandung 20 g natrium
karbonat anhidrat per liter, dijenuhkan dengan natrium khlorida
5. Magnesium sulfat, anhidridat netral, baru dipijarkan dan dihaluskan,
sebagai pengganti dapat juga digunakan natrium sulfat
6. Kertas lakmus fenolftalein, larutan 2 g fenolftalein per liter 95% (v/v)
etanol yang dinetralkan pada 25°c
7. Kalium hidroksida 0,1 n dalam 95% (v/v) etanol
8. Larutan hidroksida 0,5 n dalam 95% (v/v) etanol
9. Asam khlorida 0,5% n
Prosedur pengujian
1. Campurkan kira-kira 10 ml contoh minyak, 10 ml asam asetat anhidrat dan
2 g natrium asetat anhidrat dalam labu asetilasi. Tambahkan potongan-
potongan kecil batu apung atau porselen dan lengkapilah labu tersebut
dengan pendingin reflaksinya.
2. Panaskan labu dengan alat pemanas dan refluks cairan dengan hati-hati
selama 2 jam. Biarkan menjadi dingin.
3. Tambahkan 50 ml air suling dan panaskan pada suhu antara 40°C-50°C
selama 15 menit, menggunakan alat pemanas dan sering dikocok.
Dinginkan sampai suhu kamar.
4. Tanggalkan pipa refluks dan pindahkan cairan ke dalam corong pemisah
lalu bilas labu dua kali masing-masing dengan 10 ml air suling, dan
tambahkan air pencucian ini ke dalam isi corong pemisah. Tunggu sampai
cairan memisah dengan sempurna, kemudian buanglah lapisan airnya.
74
5. Cuci lapisan minyak dengan jalan menggosok berurut-turut dengan 50 ml
larutan natrium khlorida, 50 ml larutan natrium karbonat/natrium khlorida,
50 ml larutan natrium khlorida, 20 ml air suling.
6. Kocok dengan baik minyak atsiri yang terasetilasi ini dengan larutan
larutan jenuh tersebut kemudian hati-hati dengan air suling sedemikian
rupa sehingga bila pencucian telah dilakukan dengan baik minyak itu
netral terhadap kertas lakmus (pH7).
7. Pindahkan lapisan minyak ke dalam sebuah tabung yang kering dan
kocoklah beberapa kali selama 15 min dengan sedikitnya 3 g magnesium
sulfat anhidrat. Saringlah minyak yang sudah dikeringkan itu. Ulangi
pengocokan dengan 3 g magnesium sulfat berikutnya sampai minyak yang
terasetilasi ini bebas dari air.
8. Timbanglah sampai ketelitian 0,5 mg minyak atsiri yang terasetilasi
sebanyak 2 g dan tambahkan 2 ml air suling dan 0,5 ml larutan
fenolptalein.
9. Tambahkan 25 ml larutan etanol kalium hidroksida 0,5 N. Didihkan
campuran tersebut dalam pendingin refluks diatas penangas air selama 1
jam, kemudian dinginkan dengan cepat, dengan menambhkan 20 ml air
suling dan titrasi kelebihan alkali dengan larutan asam khlorida 0,5 N.
Penyajian hasil uji
Pertama-tama hitunglah bilangan ester dari minyak atsiri.
( )c
baasetilasisetelahesterBilangan
−= 05,28
dengan keterangan:
a adalah volume dalam ml dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan untuk
menitrasi blanko;
b adalah volume dalam ml larutan dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan
untuk menetralisasi penentuan contoh;
c adalah berat contoh minyak dalam g setelah asetilasi.
75
i. Penentuan alkohol bebas sebagai vetiverol
Senyawa-senyawa alkohol bebas sebagai vetiverol dihitung dari bilangan ester
setelah asetilasi dan sebelum asetilasi
Kadar vetiverol
( )2
12
42,0561 E
EEMvetiverolKadar
−−=
dengan keterangan:
M adalah bobot molekul vetiverol
E1 adalah bilangan ester setelah asetilasi
E2 adalah bilangan ester sebelum asetilasi
76
Lampiran 4. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan
Recovery minyak (%) jam ke- Tekanan Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total
1 bar 3.35 10 3.018 3.8 12.29 18.88 13.55 8.64 8.73 5.03 5.44 3.74 2.01 78.31
2 bar 3.2 9.25 2.9095 3.6 22.07 21.81 14.20 9.60 7.37 3.75 5.88 2.58 1.62 88.88
3 bar 3.55 7.5 3.285 3.9 28.18 21.10 18.75 6.84 4.64 3.67 3.32 2.42 1.44 90.37
Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke- Tekanan Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 bar 3.35 10 3.018 3.8 12.29 31.17 44.71 53.36 62.08 67.12 72.55 76.30 78.31
2 bar 3.2 9.25 2.9095 3.6 22.07 43.89 58.09 67.69 75.05 78.81 84.69 87.26 88.88
3 bar 3.55 7.5 3.285 3.9 28.18 49.28 68.03 74.87 79.52 83.19 86.51 88.93 90.37 Lampiran 5. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap
Recovery minyak (%) Jam ke- Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total
3.10 11.25 2.75 3.65 22.67 17.28 13.32 11.60 8.58 6.90 4.88 4.11 3.23 92.58
Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke- Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
3.10 11.25 2.75 3.65 22.67 39.96 53.28 64.88 73.46 80.36 85.24 89.35 92.58
77
Lampiran 6. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan
Recovery minyak wb Akumulasi recovery minyak wb Fraksi Fraksi Kode Laju Berat
Bahan Kadar
Air Bahan Kering
Kadar Minyak
1 2 3 Total
1 2 3 V1 1 lt/ jam 3 10.75 2.68 3.1 29.06 28.33 19.20 76.60 29.06 57.40 76.60
V2 1,5 lt/jam 3 10 2.7 3 29.51 29.39 24.15 83.05 29.51 58.90 83.05
V3 2 lt/jam 3 8.83 2.74 3.3 39.58 38.02 12.81 90.42 39.58 77.60 90.42
Lampiran 7. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap
Recovery minyak wb Akumulasi recovery minyak wb Fraksi Fraksi Kode Laju
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
1 2 3 Total
1 2 3
V4 Bertahap 4 9.5 3.615 3.3 21.88 25.42 25.73 73.03 21.88 47.30 73.03
78
Lampiran 8. Laju alir uap pada penyulingan tekanan konstan
Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir
Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
1 bar - 3.35 10 3.02 3.8 3.11 2.88 2.78 2.74 2.83 2.61 2.74 2.70 2.91 2.81
2 bar - 3.2 9.25 2.91 3.6 3.04 2.79 2.56 2.46 3.07 2.51 2.44 2.77 2.81 2.87
3 bar - 3.55 7.5 3.29 3.9 2.62 2.39 2.31 2.44 2.34 2.22 2.30 2.56 2.54 2.41
Lampiran 9. Laju alir uap pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap
Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir
Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Bertahap - 3.1 11.25 2.75 3.65 3.17 3.10 2.99 2.92 2.69 2.52 2.88 2.81 2.28 2.81
79
Lampiran 10. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan
Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir
Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Bertahap 1 l/j/kg 3 10.75 2.6775 3.1 1.01 1.03 1.07 1.03 1.04 1.04 1.05 1.03 1.04 1.04
Bertahap 1,5 l/j/kg 3 10 2.7 3 1.40 1.57 1.55 1.49 1.53 1.44 1.51 1.53 1.42 1.49
Bertahap 2 l/j/kg 3 8.83 2.735 3.3 2.02 2.03 2.00 2.02 2.00 2.00 2.05 1.89 1.86 1.99
Lampiran 11. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap
Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan
Laju Alir Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata-rata
Bertahap Bertahap 4 9.5 3.615 3.3 1.09 1.05 1.41 1.47 1.53 1.95 1.93 2.06 2.03 1.61
80
Lampiran 12. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan
Bobot jenis Indeks Bias Bil. Asam Bil. Ester Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Kode Laju
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
V1 1 lt/ jam 0.9972 1.0163 1.0427 1.5228 1.5260 1.5267 3.34 4.87 6.67 4.05 6.52 14.26
V2 1,5 lt/jam 1.0004 1.0107 1.0305 1.5228 1.5251 1.5258 4.23 6.55 7.79 8.02 12.54 19.13
V3 2 lt/j kg bh 1.0022 1.0157 1.0328 1.5229 1.5254 1.5267 6.90 7.15 8.38 8.66 14.97 20.69
Lampiran 13. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap
Bobot jenis Indeks Bias Bil. Asam Bil. Ester Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Kode Laju
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
V4 Bertahap 0.9993 1.0235 1.0394 1.5233 1.5257 1.5264 2.78 5.26 7.27 5.19 9.86 16.40
81
Lampiran 14. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual
1 8.59 0,78 cis-tricyclo[7.5.0.0(2,8)tetra…. 70 8.57 0,28 6-N-Butyl-1,2,3,4-tetrahydronap. 87
2 8.90 0,23 alpha-cendrene 96
3 9.09 0,28 1-acetamidobenzocyclobutene 35 9.09 1,26 s-triazolo[4,3-a]pyridine,3,5,… 43
4 9.63 0,43 alpha-terpinolene 92
5 9.79 0,18 alpha-gurjunene 95
6 9.92 0,33 aromadendrene 86
7 10.11 0,40 (E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl… 78
8 10.37 0,81 5-epiprezizaene 60 10.35 0,27 aromadendrene 68
9 10.40 0,87 benzene,,1,2,4,5-tetraethyl-.. 96
10 10.48 1,18 khusimene 78 10.45 0,26 khusimene 70
11 10.65 0,30 alpha-gurjunene 96
12 10.68 0,28 2-cyclohexen-1one,3-(1,3-buta…. 38 10.68 0,61 benzene tetraethyl 60
13 10.81 0,80 5-acetyl-4-methyl-benzimida… 80
14 10.88 0,65 phenol,2-methoxy-4-(2-propen… 42
15 10.90 1,36 trans-isolimonene 70
16 11.06 0,32 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96
17 11.24 0,90 alpha-muurolene 97 11.23 0,31 alpha-muurolene 90
18 11.39 2,36 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dimet.. 64 11.36 1,37 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-di.. 90
19 11.43 4,75 aromadendrenepoxide-(II) 38
20 11.73 0,47 ar-curcumene 64
21 11.76 0,54 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex… 86
82
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual
22 11.84 0,25 delta-cadinene 86
23 11.97 0,91 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex… 53 11.94 0,46 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex.. 53
24 12.07 0,66 beta-guaiene 98
25 12.23 0,22 delta-cadinene 99
26 12.36 0,35 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 64 12.36 0,95 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 78 12.33 1,54 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-bu. 90
27 12.52 0,95 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,…. 97 12.49 0,29
2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,…. 87
28 12.69 0,46 calacorene 72
29 12.83 2,69 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96 12.81 2,19 1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a. 96 12.78 1,06 1H-cyclopropa[a]naphthalen,.. 98
30 12.98 0,45 2-(alpha-methylstyryl)thiophe… 90 12.98 0,58 methyl-2-methylene-3-(4-meth… 87
31 13.09 1,27 1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a. 95 13.07 1,16 1H-cyclopropa[a]naphthalen,.. 90
32 13.15 2,18 beta-eudesmol 93
33 13.28 0,73 2-hexyl furan 30
34 13.31 1,07 4-methyl-endo,exo-te…. 30
35 13.45 0,44 bicyclo[2.2.1]hept-2-ene,1-met… 58
36 13.62 0,66 1-deoxycapsidiol 35
37 13.67 0,44 (3E,5E,8E)-3,7,11-trimethyl-1,3… 47
38 13.71 0,76 beta-eudesmol 38
39 13.91 3,22 khusimone 86 13.85 1,97 khusimone 89
40 14.01 1,41 alpha-longipinene 91
41 14.28 3,60 fonenol 64
42 14.30 2,10 beta-guaiene 90
43 14.56 1,18 junipene 72
44 14.70 2,21 5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2.. 50
45 14.71 2,02 guaiyl acetate 12
Lanjutan Lampiran 14…
83
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual
46 14.76 2,21 agaruspirol 46
47 14.87 1,44 ledenoxide 70
48 14.91 2,28 caryophyllene oxide 46
49 15.03 2,31 8(15)-cendren-9-ol 55
50 15.20 1,67 valencene 90
51 15.27 8,75 beta-patchoulene 78
52 15.32 9,32 sinularene 78
53 15.49 2,62 zizanol 46
54 15.59 6,00 vulgarol A 52
55 15.66 7,53 volgarol A 35
56 15.84 1,13 isospathulenol 25
57 15.88 1,24 tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene…. 41
58 15.92 0,72 aromadendrene 84 16.01 1,83 dehydroaromadendrene 84
59 16.05 2,50 spathulenol 51
60 16.31 1,89 (1S,7R)-1,4,4,7-tetramethyl... 58
61 16.35 2,14 gamma-selinene 60
62 16.38 1,00 delta-selinene 90
63 16.55 1,20 gamma-cadinene 95
64 16.61 3,17 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-… 90
65 16.64 3,23 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-… 90
66 17.17 17.21 cyclopropan emethanol 25 17.12 22,32 cy clopropan emethanol 25 16.97 13,45 cyclopropan emet hanol 90
67 17.38 1,38 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 78 17.37 2,03 diepipalustrol 53
68 17.63 0,73 2-naphthalenecarboxylic acid,8… 60
69 17.73 3,95 5-methyl-5,8-dihydro-1,4-nap. 87
Lanjutan Lampiran 14…
84
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual
70 17.78 2,37 2-isopropylidenedihydrobenzof…. 64
71 17.89 1,39 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxo… 64
72 17.97 4,91 valerenol 86
73 18.00 4,55 valerenol 86
74 18.19 0,56 valerenol 38
75 18.25 1,73 Nootkatone 90
76 18.33 1,25 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimethyl… 89 18.32 2,44 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dime… 90
77 18.53 1,35 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimeth…. 80 18.52 2,66 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyl.. 72 18.4 3 2,60 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimet. 64
78 18.56 3,06 2-ethyl-4,6-dimethylindane 59
79 18.63 1,70 2,10-dimethyl-7-isopropenyl-… 55
80 18.66 1,01 (E,Z)-2-acetyl-5-[beta-(2-fu… 64
81 18.98 3,15 beta-gamma-nootkatone 70 18.98 6,03 beta -gamma-nootkatone 89 18.89 7,29 beta-gamma-nootkato ne 64
82 19.43 5,40 khusenic acid 90 19.49 10,79 khusenic ac id 90 19.55 34,45 khusenic acid 90
83 19.88 0,29 khusenic acid 90 19.95 4,77 khusenic acid 90
84 20.68 0,22 patchoulene 46
85 20.71 0,91 9-propyl-9-borabicyclo[3.3.1… 46
86 39.47 0,35 cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin… 72 39.48 1,35 cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin… 64 39.47 3,26 hymenoquinone diacetate 90
87 39.82 0,42 4-flouro-4'-methoxyphenyl 50
88 41.15 1,41 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydro… 86
Lanjutan Lampiran 14…
85
Lampiran 15. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3
No. RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
1 8.57 0,31 6-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph.. 78
2 8.59 1,07 5-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph.. 70
3 8.89 0,23 alpha cendrene 96
4 9.01 0,06 benzene,4-ethyl-1,2-dimethyl-.. 91
5 9.09 0,31 pyrazine,isopropenyl 35 9.09 1,11 1-amino-2-cyano-4-methylene-1.. 38
6 9.62 0,49 acoradiene 95
7 9.78 0,19 zingiberene 94
8 9.91 0,16 germacrene d 89
9 9.92 0,36 alpha copaene 83
10 10.11 0,44 (E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl… 78
11 10.37 0,87 5-epiprezizaene 92
12 10.40 0,63 benzene,1,2,4,5-tetraethyl-.. 96
13 10.45 0,51 khusimene 89
14 10.48 1,27 khusimene 89
15 10.64 0,32 beta guaiene 95
16 10.67 0,50 benzene,tetraethyl 70
17 10.68 0,27 2-cyclohexyl-5,5-dimethyl-1-hex… 72
18 10.81 0,75 2,2,6,7-tetramethylbicyclo[… 46
19 10.85 0,71 phenol,2-methoxy-4-(2-propenyl… 70
20 10.88 1,36 trans-isolimonene 70
21 11.04 0,21 9,10-dehydro isolongifolene 90
86
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
22 11.06 0,38 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96
23 11.21 0,31 cycloisosativene 93
24 11.24 0,85 alpha muurolene 95
25 11.36 1,53 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dime.. 90
26 11.39 2,28 naphthalene,1,2,3,4-tetrahydro.. 70
27 11.43 5,32 cyclooctane,4-methylene-6-(1-p… 44
28 11.72 0,34 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydronaph… 90
29 11.73 0,45 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 49
30 11.76 0,60 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 83
31 11.83 0,20 para cymenene 55
32 11.85 0,31 delta cadinene 86
33 11.98 1,06 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 53 11.95 0,44 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 46
34 12.08 0,60 beta guaiene 95
35 12.23 0,27 delta cadinene 98
36 12.33 1,32 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-bute… 83
37 12.36 0,38 4,5-dehydro isolongifolene 64 12.36 1,00 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxometh… 90
38 12.49 0,28 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,… 83
39 12.52 0,81 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,… 95
40 12.66 0,20 naphthalene,1,2-dihydro-1,1-6-.. 64
41 12.69 0,48 calacorene 78
42 12.78 1,33 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 95
43 12.81 1,98 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a…. 95
44 12.86 3,62 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96
Lanjutan Lampiran 15…
87
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
45 12.95 0,45 methyl-2-methylene-3-(4-methyl.. 93
46 12.98 0,63 4,5,9,10-dehydro isolongifolene 93 12.98 0,60 methyl-2-methylene-3-(4-methylp… 93
47 13.09 1,31 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a…. 95 13.06 1,18 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 94
48 13.17 2,41 beta eudesmol 84
49 13.28 0,72 cyclohexane,1,2-dibromo-,trans… 35
50 13.31 1,22 4-methyl-endo,exo-te…. 42
51 13.45 0,52 17-octadecen-14-ynoic acid,me… 80
52 13.64 0,79 isospathulenol 44
53 13.67 0,49 (E)-1,4,5,6,7,7a-hexahydro-7a… 38
54 13.73 0,80 delta guaiene 41
55 13.84 0,69 alpha longipinene 91
56 13.85 2,14 khusimone 70
57 13.93 4,83 silane,diazidomethylphenyl 83
58 14.27 1,09 junipene 78
59 14.29 3,78 alloaromadendrene 64 14.30 2,11 allo aromadendrene 86
60 14.51 0,43 cyclooctane,4-methylene-6-(1-p… 45
61 14.56 1,27 junipene 84
62 14.70 2,00 5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2-cy.. 38
63 14.73 2,10 2,3-dehydro-alpha isomethylio 25
64 14.77 2,39 agaruspirol 53
65 14.84 0,69 5BH,7B,10A-selina-4(14),11-die.. 76
66 14.87 1,44 (4aS,5R,8S,8aS)-8-isopropyl-5-m… 86
67 14.92 2,47 vulgarol A 48
68 15.03 2,83 alpha costol 45
Lanjutan Lampiran 15…
88
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
69 15.09 1,96 germacra-4(15),5E,10(14)-trien-… 44
70 15.22 2,49 beta patchoulene 90
71 15.29 7,06 beta patchoulene 83
72 15.32 9,87 sinularene 78
73 15.52 3,22 (3E,5E,8Z)-3,7,11-trimethyl-1,3… 52
74 15.62 6,23 vulgarol A 45
75 15.69 7,95 2-naphthalenecarboxylic acid,8… 45
76 15.83 1,02 1-deoxycapsidiol 50
77 15.89 1,22 clovene 44
78 15.94 0,77 tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene…. 46
79 15.98 0,98 zizanyl acetate 38
80 16.02 1,87 1,5,9-trimethyl-2-oxatricyclo[7… 83
81 16.06 2,55 cadina-1(10),6,8-triene 38
82 16.32 2,08 4,5-dimethyl-11-methylenetricyc.. 74
83 16.38 2,43 1,2,3,4-tetrahydro-2,3-methano… 78
84 16.39 1,03 delta selinene 90
85 16.51 0,32 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimet… 78
86 16.55 1,45 aromadendrenepoxide 46
87 16.62 3,12 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-1… 90
88 16.65 2,80 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-1… 90
89 17.01 16,76 cyclopropan emethanol 27
90 17.18 22,84 cyclopropan emethanol 25
91 17.21 16,84 cyclopropan emethanol 91
92 17.31 1,23 isospathulenol 41
Lanjutan Lampiran 15…
89
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
93 17.38 1,83 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 78
94 17.40 0,67 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 68
95 17.47 0,67 rishitin 83
96 17.63 0,68 cyclohexanol,1,3,3-trimethyl-2.. 50
97 17.74 3,10 3-methyl-1-benzoxepin-5(2H)-.. 72
98 17.83 2,36 9,10-dehydro isolongifolene 86
99 17.90 1,71 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomet.. 72
100 18.02 3,95 valerenol 87 18.00 4,06 valerenol 86
101 18.19 0,51 valerenol 86
102 18.26 1,59 Nootkatone 78
103 18.33 1,09 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimethyl… 83 18.34 2,19 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimeth… 81
104 18.44 2,43 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls 49
105 18.53 1,11 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls. 72 18.5 3 2,45 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls. 74
106 18.57 2,40 6,propyltetraline 64
107 18.65 1,89 2,10-dimethyl-7-isopropenyl-bic… 38
108 18.66 0,70 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls…. 52
109 18.90 5,92 beta gamma nootkatone 64
110 18.98 2,65 beta gamma nootkatone 76 18.99 5,16 beta gamma nootkatone 89
111 19.22 2,02 isokhusenic acid 70
112 19.38 3,25 khusenic acid 83
113
114 19.61 8,51 khusenic acid 83 19.64 31,15 khusenic ac id 90
115 19.98 1,02 1,6-dioxospiro[5.4]decane-2-car… 43
116 20.04 2,50 khusenic acid 60
Lanjutan Lampiran 15…
90
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.
RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual
117 20.71 0,23 patchoulene 46
118 20.78 0,47 4,hydroxy-2,3-dimethoxy-4-(3-… 41
119 34.13 0,19 longifolenbromid-I 38
120 39.45 0,62 hymenoquinone diacetate 90 39.45 2,06 hymenoquinone diacetate 90
121 41.13 0,99 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydronap… 78
Lanjutan Lampiran 15…