Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA”
(Studi Pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah “1924 – 1995” Dalam Kitab Tahrir
Al-Mar’ah Fii ‘Ashri Al-Risalah)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh;
IRHAM MUBAROK PAMUNGKASNIM. 1112044100063
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGAFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1440H/2019M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
IRHAM MUBAROK PAMUNGKAS. NIM 1112044100063. HAK DANKEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA (STUDI PEMILIRAN ABDULHALIM ABU SYUQQAH “1924-1995” DALAM KITAB TAHRIR AL-MAR’AHFII ASHRI AL-RISALAH). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah),Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1440 H/2019 M. xii + 81 halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqahtentang hak dan kewajiban suami istri, dan kedudukan wanita dalam keluarga, sertarelevansinya terhadap KHI.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan analisisnormatif yang didasarkan dengan melakukan penelitian terhadap data kepustakaan,pendapat para ahli, dan teori yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebutdengan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan studikepustakaan (library research) yang berusaha mengangkat pemikiran Abdul HalimAbu Syuqqah.
Hasil dari penelitian ini adalah, suami istri memiliki hak dan kewajibannyamasing-masing dan dalam hal ini Abdul Halim Abu Syuqqah berpendapat bahwakedudukan istri dalam keluarga adalah sama dengan suami, istri memliki haksebagaimana suami memiliki hak, dan istri memiliki kewajiban sebagaimana suamimemiliki kewajiban. Beliau juga berpendapat bahwa hak itu ada yang umum yaituhak ri’ayah, yang meliputi tanggung jawab kepemimpinan dan memberi nafkah bagisuami, dan mengurus anak-anak serta mengatur urusan rumah tangga bagi istri.Selain itu ada juga hak-hak juz’iyyah yang meliputi, hak kelemah lembutan, kasihsayang, reproduksi, kepercayaan dan berbaik sangka, keterlibatan dalam berbagaikepentingan, berhias, berhubungan biologis, hiburan dan hak untuk cemburu.Pemikiran beliau juga sangat relevan dengan UU di Indonesia yang dalam hal inikhususnya adalah KHI. Antara lain terkait kedudukan suami istri dalam keluargayang sama-sama menyatakan bahwa kedudukan istri adalah sama dengan suami(pasal 79). Keselarasan itu juga dapat dilihat pada pasal 77 dan 80 yang menyatakanbahwa suami istri wajib menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah danrahmah, serta saling tolong menolong dalam setiap ruang lingkup keluarga, baiknafkah maupun memelihara dan mendidik anak.
Kata Kunci : Hak dan kewajiban Suami Istri, Abu Syuqqah, Tahrir Al-Mar’ah
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah. M.A
Daftar Pustaka : 1987 s.d 2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul HAK DAN KEWAJIBAN
SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA (STUDI PEMILIRAN ABDUL HALIM
ABU SYUQQAH “1924-1995” DALAM KITAB TAHRIR AL-MAR’AH FII
ASHRI AL-RISALAH). Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhamad SAW yang
telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas akhir
dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai. Serta
penulis tidak lupa meminta maaf apabila dalam penulisan skripsi ini ada yang
kurang berkenan di hati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis
jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Dr. Hj. Azizah, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan begitu banyak kontribusi berupa saran-saran dan masukan
yang bersifat konstuktif, dan meluangkan waktunya dalam menyusun skripsi ini.
penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak juga. Untuk itu sebagai ungkapan rasa
hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA.,Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Thalabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para
Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
vi
3. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Ahmad Chairul Hadi, M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga.
4. Dr. Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik sekaligus
merangkap dosen pembimbing skripsi yang telah sabar mendampingi
penulis hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam perumusan
desain judul skripsi ini.
5. Seluruh bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu dalam perkuliahan selama masa studi penulis.
6. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan fasilitas dalam studi kepustakaan.
7. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi.
Ayahanda Bahri (alm) dan Ibunda tercinta Sutirah yang selalu mendoakan
dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan skripsi ini,
serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik,
membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Mustahil penulis
mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua
selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada yang sangat saya hormati Udin dan Mimi Maryami selaku Bapak
dan Ibu mertua yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran
penulisan skripsi ini.
9. Teristimewa untuk istri tercinta, Syifa Awaliyah yang tak pernah bosan
memberikan support dan dukungan serta doa dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini. Dan juga anak-ku tercinta Zakiyyah Putri Alfaiza yang selalu
menjadi motifasi bagi penulis.
10. Kepada kakak tercinta Nur Hasanah, Saiful Bahri, Siti Iqlimah, Siti
Rahmawati, dan adik tercinta Maya, Dani, Faqih, Dilah, Mufti, Ubaidullah,
dan Anisa, yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam
viiviivii
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi menggunakan System Library of Congress. Secara garis besar
uraian sebagai berikut:
b = ب
t = ت
ts = ث
j = ج
h = ح
kh = خ
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
s = ص
d = ض
t = ط
z = ظ
‘ = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek Vokal Panjang
___ آ ___ = a () = a<<< >
___ إ ___ = i () = i>
___ أ ___ = u () = u>
Diftong Pembauran
aw (او) al = (ال)
ay (اى) al-sh = (الش)
-wa al = (وال)
ix
Ketentuan penulisan kata sandang al ( ali>f la>m), baik ali>f la>m qamariyyah maupun ali>f
la>m shamsiyah ditulis apa adanya (al) contoh:
فسر الت = Al-tafsi>r لحدث ا = Al-h}adi>th
Ta’Marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis “h”,
حكمة = h}ikmah
Ketentuan ini tidak berlaku pada kosakata Bahasa Arab yang sudah terserap
ke dalam Bahasa Indonesia seperti zakat, salat dan lain-lain kecuali memang
dikehendaki sesuai lafal aslinya.
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis “t”
نعمة هللا = ni’matullah
زكاة الفطر = zaka>t al-fit}ri
Istilah keislaman (serapan) : istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Sharh{ Syarah
7 Matn Matan
x
8 S{ala>t Salat
9 Tas{awwuf Tasawuf
10 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
Catatan:
Jenis Font yang digunakan untuk transliterasi Arab-Indonesia menggunakan Times
New Arabic dengan ketentuan ukuran Font 12 pt untuk tulisan pada artikel dan daftar
Pustakanya, ukuran 10 pt untuk catatan kaki.
1. Untuk membuat titik di bawah:
a. Huruf Kapital (H{) dengan menekan tombol “H” diikuti {
b. Huruf kecil (h{) dengan menekan tombol “h” diikuti {
2. Untuk membuat garis di atas huruf:
a. Huruf kapital (A<) dengan menekan “A” diikuti <
b. Huruf kecil (a<) dengan menekan “a” diikuti <
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR....................................................................................................... v
PEDOMAN LITERASI.................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1B. Identifikasi masalah.............................................................................. 9C. Pembatasan dan Perumusan Masalah. .................................................. 9D. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................. 10E. Metode Penelitian................................................................................. 10F. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 12G. Sistematika Penulisan........................................................................... 13
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HUKUM PERKAWINANISLAM
A. Perkawinan. .......................................................................................... 151. Pengertian Perkawinan. ................................................................... 152. Dasar Hukum Perkawinan. .............................................................. 173. Tujuan Perkawinan. ......................................................................... 204. Hikmah Perkawinan......................................................................... 21
B. Hak dan Kewajiban Dalam Perkawinan............................................... 221. Kewajiban Suami............................................................................. 232. Kewajiban istri................................................................................. 27
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Hukum Positif. ...................... 33
BAB III PROFIL ABDUL HALIM ABU SYUQQAH DAN KITABTAHRIIR AL-MAR’AH FII ASHRI AR-RISAALAH
A. Biografi Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah......................................... 38B. Gambaran Umum Kitab Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashari Risalah. ............. 41
1. Latar Belakang Penulisan.............................................................. 412. Tema Dan Metode Penulisan. ....................................................... 423. Ringkasan Kitab ............................................................................ 45
xii
BAB IV PEMIKIRAN ABDUL HALIM ABU SYUQQAH TENTANGHAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DANRELEVANSINYA TERHADAP ATURAN KHI
A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Tinjauan Kitab Tahriir Al-Mar’ah.. ................................................................................................ 511 Hak-hak Yang Seimbang. ............................................................. 522 Hak-hak Asasi Yang Umum. ........................................................ 553 Hak-hak Parsial Bagi Suami Istri .................................................. 66
B. Relevansi Pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah Tentang Hakdan Kewajiban Suami Istri Terhadap Aturan KHI. .............................. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 77B. Saran..................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan
hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Hal
ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur
hidup.
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, karena perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh
Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk memberikan keturunan
dan melestarikan hidupnya.1 Bila menelusuri ketentuan-ketentuan hukum
islam dalam permasalahan perkawinan, keempat imam madzhab secara
minimal semuanya mendefinisikan perkawinan dengan hubungan seksual.2
Seiring berjalannya waktu, definisi perkawinan mulai berubah dan
disempurnakan oleh ulama kontemporer, dengan lebih menekankan aspek
tujuan dan maksud perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.3
Undang-undang No.1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Pada hakikatnya penyaluran hasrat nafsu manusiawi untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia dapat saja ditempuh melalui jalur luar
perkawinan, namun dalam Islam, ketenangan dalam hidup bersama antara
1. Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Kencana, 2010)h. 6
2. Ahmad Thalabi Kharlie dan Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia IslamKontemporer, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011) h. 259
3. Ahmad Thalabi Kharlie dan Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia IslamKontemporer, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011) h. 160
2
suami dan istri tidak mungkin didapat kecuali melalui jalur perkawinan yang
sesuai dengan syari’at Islam.
Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan) maka
seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam
keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu
perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Disamping itu mereka pun
memikul tanggung jawab kewajiban sebagai akibat dari mengikat diri dalam
perkawinan itu.4
Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang erat, yang menyatukan
antara seorang laki-laki dan perempuan. Dalam ikatan perkawinan tersebut
suami istri diikat dengan komitmen untuk saling melengkapi antara keduanya
semua bukan tanpa alasan, sebab tanpa pemenuhan kewajiban dan hak
masing-masing maka hikmah dari perkawinan yang menghasilkan keluarga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan tercapai.5
Untuk mewujudkan itu semua maka kedua belah pihak baik suami
maupun istri perlu memahami, mengerti dan memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing. Maka dalam memenuhi hak dan kewajiban tersebut harus
dilandasi dengan beberapa prinsip, diantaranya kesamaan, keseimbangan dan
keadilan diantara keduanya.
Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ulama yang menyatakan
bahwa kedudukan antara suami istri adalah kedudukan yang sejajar dan
bersifat kemitraan, sehingga dalam keluarga tidak diperkenankan adanya
superioritas walupun masih harus jelas adanya kepatuhan terhadap konsep
kepemimpinan yang ada dalam keluarga. Dalam hal ini Allah SWT
menggambarkan hubungan suami istri seperti dalam surah Al-Baqarah (2) :
187 :
ھن لباس لكم و انتم لباس لھن
4. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) h.635. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I (Yogyakarta : ACCADEMIA TAZZAFA,
2005), h. 4
3
Ternyata, pakaian dipilih Allah SWT untuk menjadi perumpamaan
dalam kehidupan keluarga, menarik untuk kita cermati bagaimana perumpaan
ini telah dibuat oleh Allah SWT bahwa pasangan suami istri harus kompak
dalam mengarungi bahtera rumah tangga saling melengkapi, saling menutupi,
saling dukung, saling bantu, saling mencintai, mengasihi, menghormati dan
memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Islam mewajibkan seorang suami memenuhi hak istri dan juga kepada
istri untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Hak suami, yang
merupakan kewajiban istri, terletak dalam ketaatannya, menghormati
keinginannya dan mewujudkan kehidupan yang tenang dan damai
sebagaimana yang diinginkan. Hak dan kewajiban tersebut penting untuk
menjauhkan mereka berdua dari permusuhan sehingga rumah tangga tidak
menjadi tumbuh bagai di depan neraka jahim.6
Dalam perjalanan rumah tangga, sepasang suami istri pasti akan
menemui lika-liku kehidupan dalam rumah tangga, mulai dari permasalahan
sosial, kehadiran keturunan, atau bahkan masalah perekonomian keluarga.
Untuk menjaga keutuhan serta keharmonisan rumah tangga maka suami istri
harus mempertimbangkan jalan keluar dari segala aspek agar tercipta keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan cita-cita perkawinan.
Perlu diketahui bahwa musyawarah merupakan akhlak seorang
muslim dalam semua lapangan kehidupan, dalam urusan keluarga maupun
diluar urusan keluarga, dalam masalah khusus dan masalah umum. Sebagai
pelaksanaan terhadap firman Allah SWT :
“dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka”. (asy-Syuura : 38)
Dan sudah seyogyanya seorang suami bermusyawarah dengan istrinya
dalam sebagian urusan keluarga dan istri bermusyarawah dengan suaminya.
Dan sebagaimana halnya terkadang musyawarah itu didasarkan atas
permintaan salah seorang dari suami istri, maka adakalanya musyawarah itu
6. Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta:Sinar Grafika Ofseet, 2010), h. 144
4
terjadi atas usulan yang lain, seperti musyawarah yang diusulkan Ummu
Salamah kepada Rasulullah SAW pada hari Hudaibiyah.7
Terdapat sejumlah nash kulli (umum) disamping nash tafshili
(terperinci) yang membahas hak dan kewajiban suami istri. Diantaranya
adalah nash yang umum yang menjelaskan bahwa hak laki-laki dan wanita
adalah sama. Sedangkan nash-nash yang terperinci itu sudah terkandung nash
yang umum, dan nash-nash yang umum itu sudah pasti hukumnya, sehingga
tidak diperbolehkan seseorang melupakan nash-nash yang umum dan hanya
terpaku pada nash-nash yang terperinci, hal ini karena nash yang umum
bersama nash yang khusus adalah merupakan syari’ah itu sendiri.
Nash-nash yang terperinci tersebut jika banyak terdapat dalam suatu
bidang maka semua nash itu hanya berkaitan dengan bidang tersebut.
Misalnya adalah dalam bidang ketaatan wanita kepada suami, maka
kebanyakan nash-nashnya merujuk kepada fenomena yang dominan terjadi di
kalangan masyarakat Madinah, yaitu karena tekanan yang keras dari wanita-
wanita Anshar yang disinyalir oleh Umar bin Khattab sebagai kaum yang
didominasi oleh wanita. Maka tidak heran jika dalam kondisi ini Rasulullah
SAW menganjurkan wanita-wanita untuk taat pada suaminya.8
“....Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 228)
Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah9, ayat ini menetapkan bahwa
wanita mempunyai hak sebagaimana mereka mempunyai kewajiban. Ini
7. Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriir al-Mar’ah Fii ‘Ashri al-Risaalah, (Kuwait:Daralkalam, 2018), Jilid 5, h. 103Selanjutnya Penulis Akan Merujuk Pada Terjemahan Kitab Tersebut, Yang diterjemakan OlehDrs. As’ad Yasin, Dengan Judul Buku Kebebasan Wanita.
8. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) KebebasanWanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 136
9. Selanjutnya Penulis Akan Menggunakan kata Abu Syuqqah.
5
berarti bahwa setiap hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki. Dengan
demikian maka hak mereka berimbang.10
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini bukanlah kesamaan
wujud sesuatu dan karakternya, melainkan bahwa hak antara mereka itu saling
mengganti dan melengkapi. Maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan
wanita untuk suaminya melainkan suami juga harus melakukan suatu
perbuatan yang seimbang untuknya. Jika tidak seimbang dalam sifatnya,
hendaklah seimbang dalam jenisnya. Maka mereka mempunyai kesamaan
dalam hak dan amalan, sebagaimana mereka memiliki kesamaan dalam indra,
perasaan, dan pikiran, yakni karena masing-masing mereka adalah manusia
utuh yang memiliki akal untuk menentukan apa yang maslahat baginya, hati
yang gembira terhadap apa yang dianggapnya cocok dan menyenangkannya,
serta membenci terhadap apa yang dirasa tidak cocok dan lari dari padanya.
Maka tidak adil jika seseorang bertindak sesuka hatinya terhadap yang lain
dan menjadikannya sebagai budak yang rendah dan hanya melayani kepenti
ngan-kepentingannya. Terlebih setelah melaksanakan akad nikah dan hidup
bersama yang tidak mungkin dapat dicapai kebahagiaan kecuali dengan saling
menghormati dan menunaikan kewajiban antar mereka.11
Adapun menurut Abu Syuqqah dalam kitabnya Tahriir al-mar’ah fii
‘ashrir al-Risaalah yakni menukil dari pendapat ath-Thabari dalam
mentakwilkan firman Allah SWT “dan bagi laki-laki (suami) memiliki satu
tingkat kelebihan dari pada istrinya”, Dia berkata : “sebagian mereka
berkata, makna Darajat ini adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada
para suami dalam hal waris dan jihad”. Yang lain lagi berkata, “Tingkatan
kelebihan itu adalah kewenangan untuk memerintah dan ditaati”. Yang lain
lagi berkata, “tingkatan kelebihan yang merupakan haknya atas istri itu ialah
tugasnya untuk memuliakan istri dan memberikan haknya, serta memaafkan
10. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) KebebasanWanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 136
11. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) KebebasanWanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, hal 138
6
sebagian kewajiban istri kepadanya”. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a
berkata, “aku tidak suka mengambil semua hakku atasnya, karena Allah
berfirman, dan para suami memiliki satu tingkat kelebihan dari padanya”.
Selanjutnya ath-Thabari berkata : “pendapat yang lebih dekat terhadap
takwil ayat ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, yaitu bahwa
derajat yang disebutkan oleh Allah ialah pemaafan suami terhadap istri dalam
sebagian kewajibannya, mendiamk annya (tidak menuntut), dan sebaliknya ia
menunaikan semua kewajibannya terhadap istrinya.12
Menurut Abu Syuqqah hak asasi yang paling pokok ialah hak ri’ayah
(pemeliharaan atau kepemimpinan) sebagai mana telah dijelaskan dalam
Hadits Nabi SAW. Dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu bertanggung
jawab terhadap kepemimpinannya... dan laki-laki adalah pemimpin terhadap
ahli rumahnya, dan wanita adalah pemimpin terhadap rumah tangga
suaminya dan anaknya, maka tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap
kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (H.R Bukhari dan
Muslim)
Hak ri’ayah ini mewaibkan masing-masing suami istri dua tanggung
jawab yang penting. Laki-laki memimpin tanggung jawab kepemimpinan dan
memeberi nafkah. Sedangkan wanita memikul tanggung jawab memelihara
dan mendidik anak, dan tanggung jawab mengatur urusan rumah tangga.
Apabila pembagian tanggung jawab antara suami istri ini merupakan urusan
yang vital untuk meneggakan kehidupan keluarga dan mengatur urusannya
serta merealisasikan misinya, maka tolong menolong diantara mereka
merupakan sesuatu yang vital juga untuk kesempurnaan penunaian tanggung
jawab tersebut dari satu segi, dan untuk memelihara rasa cinta kasih dari segi
lain.13
12. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) KebebasanWanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998) jilid 5, h. 139
13. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) KebebasanWanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid 5, h.147
7
Berkaitan dengan tanggung jawab penunaian kewajiban antara suami
istri agar terciptanya tujuan perkawinan yaitu membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah, dalam hal ini Abu Syuqqah menekankan
kepada kekompakan antara keduanya, saling menghormati, saling membantu,
dan tolong-menolong untuk mewujudkan itu semua, dengan kata lain tidak
ada pembebanan antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Abu Syuqqah juga menyatakan didalam kitabnya yang berjudul
Tahriirul-Mar’ah Fii ‘Ashrir-Risaalah, bahwa hak-hak yang terpenting bagi
pasangan suami istri, antara lain adalah;
a. Hak Kelemah lembutan
b. Hak Kasih Sayang
c. Hak Reproduksi
d. Hak Kepercayaan dan Berbaik Sangka
e. Hak Keterlibatan Dalam Berbagai Kepentingan Baik Urusan
Umum Dan Khusus
f. Hak Berhias
g. Hak Bergaul Dan Melakukan Hubungan Biologis
h. Hak Mendapatkan Hiburan
i. Hak Cemburu
Dari uraian yang telah terpapar diatas, serta menimbang pentingnya
hak dan kewajiban dalam tatanan kehidupan rumah tangga, dan kenyataan
bahwa hak dan kewajiban suami istri sering menjadi sebab utama
keberhasilan atau kegagalan dalam berumah tangga, penulis tertarik untuk
meneliti lebih jauh dan mendalam tentang hak dan kewajiban suami istri, apa
saja yang termasuk dalam hal ini, dan bagimana pelaksanaan yang seharusnya
sehingga dapat diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh umat islam.
Pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah terlebih yang tertuang dalam kitab
Tahriirul-Mar’ah Fii ‘Ashrir-Risaalah. Berkaitan dengan hal ini penulis
menyusun penelitian ini dengan mengangkat judul HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA (Studi Pemikiran
Abdul Halim Abu Syuqqah “1924-1995” Dalam Kitab Tahriirul-Mar’ah Fii
8
‘Ashrir-Risaalah). Penelitian ini menjadi penting guna memberikan
penjelasan yang lebih besar terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam
rumah tangga dengan harapan seluruh muslimin dan muslimat dapat
mengintropeksi diri mereka sendiri juga merenungi firman Allah SWT dan
Sunnah Rasulullah SAW.
9
B. Identifikasi Masalah
Cukup banyak permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban suami istri, maka terlebih dahulu penulis mengidentifikasi
permasalahan yang perlu diungkap dalam penelitian ini, antara lain;
a. Pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah tentang kewajiban suami istri
dalam perkawinan.
b. Pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah tentang kedudukan wanita dalam
keluarga dan persamaan hak antara suami dan istri.
c. Pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak-hak parsial bagi
suami dan istri.
d. Relevansi pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak dan
kewajiban dalam konteks aturan KHI
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Membatasi masalah adalah suatu kegiatan yang melihat bagian demi
bagian dan mempersempit ruang lingkup pembahasannya, sehingga dapat di
pahami betul apa yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan skripsi
ini, serta bertujuan untuk memfokuskan batasan masalah dengan jelas
sehingga memungkinkan penemuan faktor – faktor yang termasuk kedalam
ruang lingkup pembahasan dan yang bukan termasuk ruang lingkup
pembahasan.
Penulisan ini terbatasi dengan suatu pembahasan terkait pendapat
Abdul Halim Abu Syuqqah tentang relasi hubungan suami istri dalam
keluarga.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut;
1. Bagaimana pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak dan
kewajiban suami istri ?
10
2. Bagaimana kedudukan wanita dalam keluarga menurut pandangan Abdul
Halim Abu Syuqqah ?
3. Bagaimana relevansi pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak
dan kewajiban suami istri dalam KHI ?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ;
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah
tentang hak dan kewajiban suami istri.
2. Untuk mengetahui pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah tentang
kedudukan wanita dalam keluarga Islam.
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah
tentang hak dan kewajiban suami istri dalam konteks aturan KHI.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah;
1. Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan ataupun
pengetahuan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam pandangan
Abdul Halim Abu Syuqqah.
2. Bagi masyarakat, untuk membuka pemikiran pada masyarakat tentang
pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga.
3. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi
dan acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi di dalam menunjang
penelitian selanjutnya yang mungkin cakupannya lebih luas sebagai
bahan perbandingan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam pembahasan skripsi
ini adalah sebagai berikut;
1. Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah menggunakan analisis normatif yang didasarkan dengan
11
melakukan penelitian terhadap data kepustakaan, pendapat para ahli dan
teori yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data
sekunder. Yang bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan data
seteliti mungkin yang menggambarkan objek penelitian dan kemudian
menghasilkan data berupa kata – kata tertulis dari sumber – sumber yang
diperoleh.selanjutnya data tersebut di analisis dan di ambil
kesimpulannya.
2. Sumber Data Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini, peneliti menyusun
berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu sumber
data utama ( primer ) dan sumber data tambahan ( sekunder ) ialah;
a. Sumber Data Primer
Adapun sumber data primer yang digunakan ialah kitab karya Abdul
Halim Abu Syuqqah yang berjudul Tahriirul-Mar’ah Fi ‘Ashrir Ar-
Risaalah.
b. Sumber Data Sekunder
Adapun data sekunder yang digunakan ialah berupa bahan – bahan
yang dapat dijadikan rujukan dalam penelitian ini, berupa buku –
buku, makalah seminar, artikel, jurnal, situs dan blog.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
kepustakaan ( Library Research ) yaitu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan serta menganalisa data yang diperoleh dari literatur –
literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penulisan skripsi ini beruba buku, artikel dan sebagainya.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan untuk menyelesaikan
skripsi ini menga cu pada “ Pedoman Penulisan Skripsi “ yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
12
F. Kajian ( Review ) Studi Terdahulu
Pembahasan dalam penelitian ini, penulis melakukan telaah studi
terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan
pembahasan yang akan diangkat oleh penulis dalam skripsi ini, antara lain
yaitu;
1. Skripsi atas nama Lilik Ummi kaltsum, Fakultas Usuluddin Jurusan
Tafsir dan Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul Hak-
hak Perempuan Dalam Pernikahan Menurut Wahbah al-Zuhaili. Hasil
penelitian skripsi ini membahas tentang hak-hak perempuan yang
dituangkan dalam tafsir al-munir karangan Wahbah al-Zuhaili yang
dipaparkan dalam beberapa hak; hak memilih pasangan, hak memperoleh
mahar, hak menjadi istri, hak sebagai ibu, hak talak, masa iddah dan
poligami.
2. Skripsi atas nama Imam Mustaqim, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul Hak Dan Kewajiban Suami
Istri Dalam Perkawinan (Studi Pemikiran Quraisy Shihab Dalam Tafsir
al-Misbah), skripsi ini berusaha meneliti tafsir al-Misbah khuusnya yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga.
3. Skripsi atas nama Arjuwin Taqwa, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Perspektif Gender, Studi Kritis UU no 1 Tahun 1974, skripsi ini meneliti
untuk kemudian membongkar ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
no.1 Tahun 1974 yang dinilai tidak sesuai dengan perspektif gender.
4. Skripsi atas nama Age Surya Dwipa Chandra, Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung, dengan judul, Pemikiran
Qasim Amin Tentang Pembaruan Hukum Perkawinan Dalam Islam
(Studi Kitab Tahrir Al-Mar’ah). Skripsi ini meneliti tentang kesetaraan
hak-hak wanita, khususnya dalam keluarga, yang dalam hal ini mencakup
tiga aspek yaitu: perkawinan, poligami, dan perceraian.
13
5. Jurnal Khazanah atas nama Hanief Monady, Universitas Islam Negri
Antasari Banjarmasin, dengan judul Hermeneutika Hadis Abu Syuqqah.
Jurnal ini membahas tentang hermeneutika hadis Abu Syuqqah yang ada
dalam kitab Tahriir al-Mar’ah Fii ‘Ashri Al-Risaalah dan dalam hal ini
hanya fokus pada pembahasan tentang cadar sebagai penutup wajah bagi
wanita.
G. Sistematika Penulisan
Dalam memaparkan penelitian ini kedalam bentuk tulisan, maka
penulis menyusunnya secara sistematis guna memudahkan dalam
menganalisis suatu masalah.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah;
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, review studi
terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab kedua penulis memaparkan tentang kajian teoritis hukum
perkawinan dalam Islam, dalam bab ini dibahas mengenai pengertian, dasar
hukum, hikmah dan tujuan perkawinan, serta hak-hak dan kewajiban suami
istri yang di sertai beberapa dalil Al-Qur’an maupun Al-Hadits dan juga
pasal-pasal dalam KHI.
Bab ketiga penulis membahas tentang biografi, metode serta prinsip
dan pokok – pokok pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah yang merupakan
objek dari penelitian. Dalam bab ini dibahas secara menyeluruh tentang
biografi beliau, kitab karangan beliau serta pemikiran beliau yang khuusus
membahas tentang hukum perkawinan yang tertuang dalam kitab Tahriir al-
Mar’ah Fii ‘Ashri al-Risaalah.
Bab keempat yaitu terkait analisis pemikiran dan metode istinbat
hukum Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak dan kewajiban suami istri
dalam perkawinan. Dalam bab ini dibahas mengenai analisis terhadap
14
pandangan Abdul Halim Abu Syuqqah tentang hak dan kewajiban suami istri
serta kedudukan wanita wanita dalam keluarga dan keseimbangan hak antara
suami istri, serta relevansi pemikiran beliau dalam aturan KHI.
Bab kelima ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi
keseluruhan skripsi ini, meliputi kesimpulan, yang merupakan jawaban dari
pokok masalah dan saran – saran yang merupakan masukan dari penulis untuk
penambahan di bidang keilmuan yang lebih baik.
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an bahwa Allah SWT telah
menciptakan manusia berpasang-pasangan, hal ini tertuang dalam beberapa
surat di dalam Al-Qur’an, di antaranya terdapat dalam QS. Yasin : 36 yang
berbunyi:
ا تنبت األرض ومن أنفسھم ومما ال یعلمون سبحان الذى خلق األزواج كلھا مم“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka lihat”.
Hal tersebut juga tertuang dalam QS. Adz-Dzariyat : 49 yang berbunyi :
ومن كل شيء خلقنا زوجین لعلكم تذكرون“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat kebesaran Allah SWT”.
Ketentuan mengenai penciptaan manusia yang berpasang-pasangan
dipertegas dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum : 21 yang berbunyi :
ومن أایتھ أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إلیھا وجعل بینكم مودة ورحمة إن
فى ذالك ألیت لقوم یتفكرون“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-nya ialah dia menciptakan
pasang-pasangan untuk mu dari jenis kamu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dia menjadikan diantara kamu rasa dan kasih
dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaumnya yang berfikir”.
Secara etimologi pernikahan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj.
Kedua kata ini yang terpakai sehari-hari dalam bahasa orang arab dan juga
banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. al-Nikah memiliki arti al-
Wath’i, al-Dhammu, al-Tadakhul, al-Jam’u dan al-‘Aqd yang berarti
16
bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad. Secara termonilogis
pernikahan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta’
(persetubuhan) dengan seorang wanita. Selama wanita tersebut bukan
termasuk wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan ataupun sebab
persusuan. Menurut Dr. Ahmad Ghandur seperti yang disadur oleh Prof. Dr.
Amir Syarifuddin dalam bukun karangan Mardani, bahwa nikah yaitu akad
yang membolehkan bergaulnya laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri
kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara
timbal balik hak dan kewajibannya.1
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian) antara
calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan pergaulan sebagaimana
mestinya suami istri, dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika
agama. Sedangkan perkawinan menurut istilah adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu,
sekarang, dan masa yang akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan
sebagai ikatan yang kuat, ikatan yang suci, suatu perjanjian yang mengandung
makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak
keperdataan biasa tetapi juga hubungan menghalalkan hubungan badan antara
suami istri sebagai penyaluran libido sexsual manusia yang terhormat.oleh
karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 1
berbunyi:
1. Mardani, Hukum Perkawinan Islam: Di Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta: GrahaIlmu, 2011) h. 4
2. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 73. Yayan Sofyan, Islam-Negara (Transformasi Hukum Perkawinan IslamDalam Hukum
Nasional), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011) h. 127
17
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pada pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut diatas, dapat
disimpulkan rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Perkawinan berarti
ikatan lahir batin seorang pria denga seorang wanita sebagai suamin istri,
sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Menurut Sayuthi Thalib pernikahan adalah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian
disini untuk memperlihatkan kesenjangan dari suatu pernikahan serta
menampakkannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan sebutan suci untuk
pernyataan segi kegamaannya dari suatu pernikahan.5
2. Dasar Hukum Perkawinan
Segolongan Fuqoha yakni Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa
nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyyah berpendapat bahwa nikah
itu wajib. Para Ulama Malikiyyah muta’akhirin berpendapat bahwa nikah itu
wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk
golonga lainnya. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan
kekhawatiran (kesusahan) dirinya.6
Perbedaan pendapat itu salah satunya adalah dikarenakan terjadi perbedaan
penafsiran atas ayat atau hadits tentang perkawinan yang di dalamnya terdapat
kalimat perintah, apakah kalimat perintah tersebut harus diartikan wajib,
sunnah, atau bisa juga mubah?
Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas,
meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehan atau
hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi
4. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia,(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 3
5. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Pres, 2009) h. 476. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakkahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 16
18
kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafi’i menganggap bahwa menikah
bersifat mubah.7
Imam Syafi’i menyatakan bahwa nikah itu hukumnya jaiz atau mubah,
hukum jaiz tersebut dapat dapat berkembang ke tingkat yang lebih tinggi yaitu
wajib dan bisa juga menjadi haram. Dalam sistem hukum syafi’iyyah tidak
menekankan hanya kepada kaidah hukum asalnya saja tetapi juga dilihat dari
aspek agama, sosial, moral yang sesuai dengan jiwa syariat Islam. Lebih lanjut
kita tinjau hukum menikah dari kondisi perorangan dengan berlandaskan pada
kaidah ini diterapkan kedalam hukum perkawinan maka menghasilkan
perubahan hukum yang didasarkan dari perbedaan ‘illat.8
Hukum pernikahan juga bergantung pada keadaan orang yang
bersangkutan, baik dari segi psikologis, materi, maupun kesanggupannya
memikul tanggung jawab. Adakalanya pernikahan itu wajib bagi seseorang
adakalanya juga pernikahan itu haram bagi orang yang lain. Oleh dari sebab itu
akan dibahas secara rinci tentang hukum pernikahan.9
a. Wajib
Pernikahan wajiba bagi orang yang memiliki kemampuan untuk
menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis dan khawatir
untuk berbuat zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan
perkawinan ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan
kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib.10
b. Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi
siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah
dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, tetapi ia merasa yakin
akan kemampuannya untuk mengendalikan itu semua sehingga tidak
7. Abdur Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),cet 1, h. 7
8. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2010) h. 284
9. Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqih Munakahat Terkini, (Yogjakarta:Bening, 2011) h.18
10. Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 91
19
khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah
SWT. Orang seperti ini tetap di anjurkan untuk menikah, sebab
bagaimanapun nikah itu lebih afdhal dari pada mengkonsentrasikan diri
secara total untuk beribadah.11
c. Makruh
Jika seorang laki-laki yang tidak memiliki syahwat untuk
menikahi seorang perempuan ataupun sebaliknya, sehingga tujuan
pernikahan yang sesungguhnya tidak akan tercapai, maka yang
demikian itu hukumnya makruh. Misalnya seseorang yang impoten.12
Begitu pula makruh bagi orang yang jika ia menikah, ia khawatir
istrinya akan teraniaya, akan tetapi jika ia tidak menikah ia khawatir
akan terjatuh pada perzinaan, karena manakala bertentangan hak Allah
dan hak manusia, maka hak manusia harus diutamakan dan orang ini
wajib mengekang nafsunya supaya tidak berzina.13
d. Haram
Pernikahan menjadi haram apabila salah satu pihak bertujuan
untuk menyakiti pihak yang lain, bukan demi menjalankan ibadah dan
mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Misalnya seorang laki-laki yang
menikahi seorang wanita hanya untuk balas dendam, dan sejenisnya.
Hal ini menjadi haram karena masuk dalam katagori ketidak mampuan
memberi nafkah dan tidak dapat memenuhi kewajiban lainnya.
Keharaman tersebut juga ada pada orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga,
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya
dan istrinya.14
11. Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapatPara ‘Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 4
12. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2010) h. 285
13. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2010) h. 286
14. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 20
20
e. Mubah
Pernikahan yang mubah adalah pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya faktor-faktor yang mendorong (memaksa) atau menghalang-
halangi. Perkawinan mubah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah
masyarakat luas, dan oleh kebanyakan Ulama dinyatakan sebagai
hukum dasar atau hukum asal pernikahan.15
3. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut ajaran Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
bahagia yang dibalut dengan cinta dan kasih sayang. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban keluarga, sejahteran artinya terciptanya
ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan
batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota
keluarga. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah perkawinan adalah
mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah, yang selalu dihiasi
mawaddah dan rahmah.16
Menurut Imam Al-Ghazali dalam buku Ihyanya, bahwa tujuan pernikahan
dapat dikembangkan menjadi lima17, yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan
menumpahkan kasih sayang.
c. Memenuhi panggilan Agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
15. Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, (Jakarta: Rajawali Pers,2004), h. 93
16. Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta:Darussalam, 2004), h. 19
17. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 24
21
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
4. Hikmah Perkawinan
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini
berlanjut dari generasi ke generasi. Selain sebagai penyalur nafsu insani yang
sah dan menghindari godaan syetan yang menjerumuskan, pernikahan juga
berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan asas
saling tolong menolong dalm wilayah kasih sayang, dimana wanita
berkewajiban untuk mengerjakan tugas di dalam rumah tangganya seperti
mengatur rumah dan menjaga anak dan menciptakan suasana yang nyaman dan
tentram, dengan begitu seorang laki-laki juga dapat mengerjakan kewajibannya
dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.18.
Sayyid Sabiq menjelaskan hikmah-hikmah perkawinan yang tertuang dalam
buku Abd. Rahman Ghazaly antara lain adalah19:
a. Menikah merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan
sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Penyaluran seks
melalui pernikahan akan menjadikan badan segar, jiwa tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram, serta perasaan tenang menikmati
sesuatu yang halal.
b. Menikah merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia,
serta memelihara nasab yang dalam islam sangat diperhatikan.
c. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-
batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-
tugasnya.
18. Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidh, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998) h. 378
19. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h.69-72
22
d. Dengan pernikahan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang, dan
dijunjung.
Dengan demikian, secara singkat dapat digambarkan bahwa hikmah
perkawinan itu antara lain: menyalurkan naluri seks yang sah secara syari’at,
jalan mendapatkan keturunan, dorongan untuk bekerja keras, memahami
batasan-batasan hak dan kewajiban suami dan istri, dan menjalin tali
silaturrahim antara dua keluarga.
B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Tujuan dari pernikahan akan terwujud jika masing-masing pasangan siap
melakukan perannya secara positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan yang
kekal dan abadi. Semua itu telah diatur oleh islam yang berkaitan dengan
hukum umatnya secara adil dan proposional, tidak di tambah atau dikurangi
karena setiap hamba memiliki hak dan kewajibannya masing-masing.
Jika perkawinan telah berlangsung dan sah menurut syarat dan rukunnya,
maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian perkawinan akan
menimbulkan juga hak dan kewajiban selaku suami istri dalam kehidupan
keluarga yang meliputi ; hak suami istri bersama, hak suami atas istri dan hak
istri atas suami.20 Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa apa yang
diterima seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa yang
musti atau harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.21 Hak dan
kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami istri secara
berkesinambungan. Maka dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hak dan
kewajiban itulah yang menentukan keharmonisan suatu keluarga.
Suami dan istri memiliki peran masing-masing dalam sebuah keluarga,
maka disini pasangan suami istri dituntut harus paham akan perannya, termasuk
20. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 15521. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,
2004) h.165
23
hak dan kewajiban masing-masing. Seorang istri memiliki peran yang sentral
dalam rumah tangga karena istri harus bisa mengatur urusan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Dalam melaksanakan kewajibannya istri
juga berhak mendapatkan hak dari suaminya. Sebagaimana Allah SWYT
berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
ولھن مثل الذى علیھن بالمعروف وللرجال علیھن درجة“dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya”
Ayat ini menjelaskan bahwa istri memiliki hak dan juga kewajiban,
maka kewajiban istri merupakan hak bagi suami namun suami memiliki
kedudukan setingkat lebih tinggi dari pada istrinya, yaitu sebagai pemimpin dan
kepala rumah tangga sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat diatas.
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan (materi).
b. Hak dan kewajiban yang bukan bersifat kebendaan.22
1. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Adapun kedua kewajiban tersebut suami harus melaksanakannya dengan
sebaik baiknya. Adapun kewajiban suami yang bersifat kebendaan (materi)
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mahar, mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada
istrinya yang dilakukan ketika akad nikah. Dikatakan yang pertama
karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materil yang harus
dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan istu berlangsung.23
b. Nafkah, setelah mahar dibayarkan serta resmi dan sah menjadi pasangan
suami istri maka akan timbul kewajiban selanjutnya yaitu nafkah.
Hukum membayar atau memberi nafkah untuk istri baik dalam bertuk
22. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta:Liberty, 1999) h.87
23. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,2004) h.87
24
pembelanjaan, pakaian, ataupun tempat tinggal adalah wajib. Kewajiban
tersebut bukan disebabkan karena istri membutuhkannya untuk
kehidupan berumah tangga, tetapi kewajiban tersebut timbul dengan
sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri.24
Sedangkan kewajiban suami yang merupakan hak bagi istrinya yang tidak
bersifat kebendaan (bukan materi) adalah sebagai berikut :
a. Menggauli istrinya secara baik dan patut.25 Hal ini sesuai dengan apa
yang Allah SWT serukan dalam firmannya pada Q.S an-Nisa ayat 19 :
وعاشروھن بالمعروف فإن كرھتموھن فعسى أن تكرھو شیئا ویجعل هللا فیھ خیرا
كثیرا“dan pergaulilah mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka (maka bersabarlah) karbena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”
Yang dimaksud pergaulan secara baik dan patut disini adalah
pergaulan suami istri yang termasuk kepada hal-hal yang berkenaan
dengan kebutuhan seksual, bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat
ini diistilahkan dengan cara yang makruf yang mengandung arti secara
baik. Sedangkan bentuk dari makruf itu tidak dijelaskan secara khusus.
Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut menuirut
pandangan adat dan lingkungan setempat.26 Selain itu yang dapat
dipahami juga dari ayat ini adalah suami harus menjaga ucapan dan
perbuatannya guna tidak menyakiti fisik maupun perasaan istri.
b. Keadilan dalam poligami, memberikan keadilan kepada beberapa istri
jika seorang suami tersebut berpoligami adalah suatu kewajiban, bahkan
adil adalah salah satu syarat jika seorang suami ingin berpoligami.
24. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,2004) h.166
25. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Prenadea, 2006) h.160
26. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,2004) h.161
25
Sebagaimana Allah menerangkan dalam firmannya pada al-Qur’an surat
an-Nisa ayat 3 :
وإن خفتم أن ال تقسطوا فى الیتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثالث
ورباع فإن خفتم أن ال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أیمانكم ذالك أدنى ألن ال تعولوا“dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilahwanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah)seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian ituadalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dari ayat di atas dapat dicermati bahwa Allah SWT
membolehkan kaum laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu, yang
tentunya juga dengan segala konsekuensi tertentu seperti berlaku adil
dan tidak berat sebelah.
Dalam hal apakah suami harus berlaku adil terhadap istrinya
ketika berpoligami?
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan
pangan, pakaian, tempat tinggal giliran berada pada masing-masing istri,
dan lainnya yang bersifat kebendan, tanpa membedakan antara istri yang
kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan
yang berasal dari golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai
anak yang jumlahnya berbeda, atau jumlahnya sama tapi biaya
pendidikannya berbeda, tentu saja dalam hal ini harus menjadi
pertimbangan dalam memberi keadilan.27
Berkenaan dengan ketidak adilan suami terhadap istri-istrinya,
Rasulullah bersabda :
“dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi SAW bersabda: barang
siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah
satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya
miring”. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan Nasai dan Ibnu Hibban)
27. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 132
26
Sedangkan adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih
sayang, Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada di luar
kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah
SWT yang mampu membolak balikan menurut kehendaknya. Begitu
pula dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairah dengan istri
yang satu tetapi tidak bergairah dengan istri yang lain. Dalm hal ini, jika
tidak disengaja ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar
kemampuannya.28 Dalam kaitannya dengan ini Aisyah r.a berkata :
“Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil.
Dan beliau bersabda: Ya Allah, ini bagianku yang dapat ku kerjakan,
karena itu jangan lah Engkau mencelakakan aku tentang apa yang
Engkau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu daud berkata :
yang dimaksud dengan engkau kuasai dan aku tidak menguasainya yaitu
hati”. (H.R. Abu Daud, dan Tirmidzi, dan Nasai, dan Ibnu Hibban).
c. Menjaga dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh suatu kesulitan dan mara
bahaya.29 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat at-
Tahrim ayat 6:
منوا قوا أنفسكم و أھلیكم نارا وقودھا الناس والحجارة علیھا ملئكة یاأیھا الذین أ
غالظ شداد ال یعصون هللا ما أمرھم ویفعلون ما یؤمرون“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
panjangnya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjaga kehidupan
beragama dalam keluarga, membuat istri tetap menjalankan perintah
agama dan menjauhkannya dari segala sesuatu yang dimurkai Allah
28. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003) h. 13329. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,
2004) h.161
27
SWT. Suami juga wajib memberikan pendidikan agama maupun
pendidikan lainnya yang berguna dalam kedudukannya sebagai istri,
dengan tujuan agar terhindar dari perbuatan dosa dan kemaksiatan.
d. Suami wajib memberikan kehidupan perkawinan yang diharapkan oleh
Allah SWT, yaitu perkawinan yang berlandaskan sakinah, mawaddah
dan rahmah.30 Untuk itu suami wajib memberikan rasa tenang dan
tentram bagi istrinya, rasa cinta yang tulus, serta kasih sayang yang itu
semua adalah kunci dan cita-cita keluarga bahagia sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam, yaitu hubungan ikatan pernikahan yang bahagia,
kuat, dan langgeng, hungga terbentuk suatu keluarga yang diperintahkan
Allah SWT dalam firman-Nya pada al-Qur’an surat ar-Ruum ayat 21 :
ومن ایتھ أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إلیھا وجعل بینكم مودة ورحمة
إن فى ذالك ألیت لقوم یتفكرون“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
2. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Suami istri masing masing memiliki hak dan kewajibannya sendiri, hak istri
yang merupakan kewajiban bagi suami dan juga hak suami yang merupakan
kewajiban bagi istri. Berikut akan dijelaskan mengenai hak suami yaitu
kewajiban seorang istri terhadap suami :
a. Menjadi istri yang shalihah, ulama sepakat dalam kewajiban taatnya istri
pada suami selama hal itu bukan dalam kemaksiatan dan ketaatan itu
disebabkan bahwa suami adalah seorang pemimpin dalam rumah tangga,
30. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Putra Grafika,2004) h.162
28
maka istri yang shalihah harus taat pada suaminya. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضھم على بعض وبما أنفقوا من
أموالھم
فعظوھن واھجروھن فى المضاجع و اضربوھن فإن أطعنكم فال تبغوا علیھن
كبیراسبیال إن هللا كان علیا“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telamelebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah darihartanya, maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yangtaat pada Allah dan menjaga diri saat suaminya tidak ada, karena Allahtelah menjaga mereka, dan perempuan-perempuan yang kamu hawatirkanakan nusyuz hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlahmereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan kalau perlu pukullah mereka,tetapi jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasanuntuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi MahaBesar”.قوامون (qawwaamuun) merupakan bentuk jama’ dari kata qawwam yang
merupakan bentuk mubalaghah dari kata qa’im yang berarti orang yang
melaksanakan sesuatu secaea sungguh-sungguh sehingga hasilnya semprna.
Itulah sebabnya kenapa qawwamun diartikan sebagai penanggung jawab,
pelindung, pengurus, dan juga pemimpin yang mana itu diambil dari kata
qiyam sebagai asal dari kata kerja qaama-yaquumu yang berarti berdiri. Jadi
kata qawwamuun secara bahasa artinya adalah orang-orang yang
melaksanakan tanggung jawab. Dan pada ayat ini kata qawwaamun
diartikan sebagai pemimpin.31
Asbab an-Nuzul ayat di atas bahwa Ibnu Jarir meriwayatkan dari berbagai
jalur dari Hasan al-Bashri dan disebagian jalur disebutkan, “pada suatu
ketika seorang lelaki anshar menampar istrinya, lalu istrinya mendatangi
Nabi SAW untuk meminta kebolehan qishash, lalu Nabi SAW menetapkan
lelakinya harus diqishash, lalu turunlah firman Allah SWT : .....dan
janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) al-Qur’an
31. Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) h.162
29
sebelum selesai diwahyukan kepadamu..... (Q.S Taha : 114). Dan kemudian
setelah itu turunlah firman Allah SWT : ......kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita.... (Q.S. an-Nisa : 34)”.32
Secara garis besar ayat ini menjelaskan bahwa kaum laki-laki itu sebagai
pemimpin, pemelihara, pembela, dan juga pemberi nafkah yang memiliki
tanggung jawab penuh terhada perempuan yang telah dinikahinya. Ayat ini
juga menjelaskan bahwasanya seorang istri diwajibkan untuk selalu taat
pada suaminya, memelihara kehormatan dan juga harta suaminya saat sang
suami berada jauh darinya. Karena seorang istri yang shalihah adalah
seorang istri yang senantiasa taat dan patuh pada suaminya.
b. Kewajiban untuk menutup auratnya. Salah satu cara yang ditunjukkan Allah
SWT kepada kaum perempuan untuk menutup auratnya ialah dengan cara
memakai hijab, sebagaimana tertera dalam firmannya yang terdapat pada
Q.S al-Ahzab : 59
نبي قل ألزواجك وبناتك ونساء المؤمنین ید نین علیھن من جالبیبھن ذالك الیاأیھا
أدنى أن یعرفن فال یؤذین وكان هللا غفورا رحیما“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
keseluruh tubuh mereka yang demikian itu lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”
جالبیب (jalaabiib) adalah bentuk jamak dari kata jilbab yang biasa diartikan
sebagai pakaian yang lebar, yang biasa dipakai untuk menutupi pakaian
(dalam) mereka dan menutupi seluruh tubuh (kecuali yang boleh
ditampakkan). Ibnu Hazm menuliskan bahwa dalam bahasa Arab, jilbab
merupakan kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh, sepotong
pakaian yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut
sebagai jilbab.33
32. Mardani, Ayat-Ayat Tematik : Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 2133. Imam Taufiq, Tafsir Ayat Jilbab Kajian Terhadap Q.S al-Ahzab : 59, dalam Jurnal at-
Taqaddum, Vol, 5 No. 2, 2013, h. 341
30
Secara lahiriyah, teks dalam ayat diatas merupakan bentuk kalimat yang
redaksinya mengandung perintah, yang mana perintah tersebut ditunjukkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan kepada para istri dan
juga anak-anak perempuannya serta terhadap seluruh mukminat untuk
mengenakan jilbab sebagai salah satu cara untuk menutup auratnya.
c. Menundukkan pandangannya, kewajiban seorang istri untuk menundukan
pandangannya dari yang bukan mahramnya, sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur’an surat an-Nur : 31 :
وقل للمؤمنات یغضضن من أبصارھن ویحفظن فروجھن وال یبدین زینتھن إال ما
ن على جیوبھنظھر منھا ولیضربن بخمرھ“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan
jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak dari
padanya, dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dada mereka...”
(walaa yubdiina ziinatahunna) artinya dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya (auratnya). Kata yubdiina adalah mentuk fiil mudhari’ dari
kalimat bada yang artinya muncul dengan jelas. Orang-orang arab
menyebut orang yang hidup di perkampungan dengan sebutan Baduy
karena rumah-rumahnya terlihat jelas. Berbeda dengan orang yang hidup di
perkotaan yang rumahnya saling berhimpitan hingga tertutup. Maka kata
walaa yubdiina ziinatahunna memiliki arti janganlah para wanita
memperlihatkan perhiasan mereka yang maksudnya adalah anggota tubuh
yang menjadi tempat perhiasan seperti kalung yang berada di leher.
Asbabun nuzul ayat ini adalah : Ibnu Hatim meriwayatkan dari Muqatil
bahwa mereka mendapat kabar bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan
bahwa Asma’ binti Murstad ketika itu sedang berada di kebun kurmanya,
tiba-tiba beberapa wanita masuk kebun tanpa mengnakan busana sehingga
terlihat perhiasannya (gelang) dikaki mereka, juga terlihat dada dan rambut
31
mereka, maka Asma’ berkata : alangkah buruknya hal ini” maka kemudian
turunlah ayat mengenai hal tersebut.34
Ayat di atas jelas telah mengisyaratkan kepada kaum wanita untuk menjaga
pandanganya dan senantiasa menutup perhiasannya (auratnya) kepada laki-
laki yang bukan mahramnya.
d. Kewajiban seorang istri untuk tidak berbicara lembut pada laki-laki lain,
dalam kehidupan sosial tentunya antara laki-laki dan perempuan akan saling
berbicara dan bertegur sapa atau bisa disebut dengan istilah komunikasi.
Dalam Islam, kemampuan berkomunikasi yang dimiliki manusia
merupakan keistimewaan yang sangat besar dan termasuk salah satu dari
perkara yang membedakan manusia dengan hewan, serta tidak dipisahkan
dalam kehidupan manusia sebab berkomunikasi hampir dibutuhkan pada
setiap gerak dan langkah manusia. Akan tetapi Islam memberikan rambu-
rambu ketika hendak berkomunikasi.35 Terlebih komunkasi yang terjadi
antara laki-laki dan perempuan. Perlu diketahui bahwasanya dalam
berinteraksi dengan lawan jenis seorang mempunyai batasan yang harus
diikuti terlebih lagi untuk seorang isteri. Karena seorang isteri memiliki
tanggung jawab ganda yaitu menjaga kehormatan dirinya dan juga
suaminya. Seorang isteri tidak diperbolehkan untuk berbicara pada laki-laki
yang bukan suaminya dengan nada yang lembut yang mana dengan
berbicara seperti itu akan membuat lawan bicaranya menjadi salah
pengertian. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab:32
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik.”
Ayat ini dengan sangat jelas menegaskan bahwa seorang isteri memang
dilarang untuk berbicara lembut pada laki-laki yang bukan suaminya,
34.Mardani, Ayat-Ayat Tematik : Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 218-21935 Amir Mukmin Solihin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an, Kajian Tafsir
Tematik”, Skripsi, Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 28.
32
karena dikhawatirkan akan timbul penyakit hati pada lawan bicaranya
berupa ketertarikan pada dirinya.
e. Tetap berada di rumah, di antara hak dari seorang suami terhadap isterinya
adalah agar seorang wanita tidak keluar rumah kecuali dengan izin dari
suaminya. Namun seorang suami tidak boleh melarang isterinya untuk
berkunjung kepada orang tuanya sebab itu dapat memutuskan tali
silaturrahmi. Dengan melarang seorng isteri menemui orang tuanya maka
seorang suami telah merampas hak seorang isteri untuk mendapatkan
perlakuan baik dari suaminya. Dengan demikian maka seorang suami harus
menjadi orang yang lunak agar apa yang menjadi kewajibannya juga
terlaksana.36
Seorang istri memiliki kewajiban untuk mengurus rumah, suami, dan juga
anak-anaknya. Dan kewajiban tersebut akan terlaksana ketika seorang istri
tetap berada di rumahnya untuk melakukan apa yang telah menjadi
tanggung jawabnya itu. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah
SWT dalam QS. Al-Ahzab : 33
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingk laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasulnya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa seorang istri hendaknya tetap
berada didalam rumahnya, karena tempat yang paling utama bagi seorang
istri adalah di rumah. Seorang istri menjadi manager dalam rumah tangga
yang berkewajiban mengatur segala sesuatu yang berada di dalam
rumahnya, ketika ia tidak berada di dalam rumahnya maka tugasnya tidak
akan terlaksana dengan baik.
36. Muhammad bin Abdullah bin Mu’adzir, “Hak dan Kewajiban dalam KehidupanBerumah Tangga” dalamhttps://dl.Islamhouse.com/data/id/ih_articles/single2/id_Hak_Dan_Kewajiban_Dalam_Kehidupan_Berumah_Tangga.pdf, diakses 19 Juni 2019 jam 04:00 WIB.
33
Seorang istri diperbolehkan keluar dari rumah dengan tujuan yang baik,
dan wajib pula baginya ketika akan keluar rumah untuk berpakaian rapih
dan tertutup, karena ayat di atas menjelaskan bahwa seorang istri dilarang
untuk berhias dan bertingkah seperti orang jahiliyyah atau jika dalam
kondisi yang sekarang ini seperti perempuan yang tidak baik. Sebagaimana
telah di ungkapkan oleh pemikir muslim dari pakistan
Al-Maududi, seorang pemikir muslim pakistan kontemporer dalam
bukunya al-Hijab menuliskan bahwa tempat wanita adalah rumah, mereka
tidak dibebaskan dari pekerjaan diluar rumah kecuali agar mereka selalu
berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat
melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun ketika memiliki hajat
untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.37
C. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Hukum Positif
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI,
hak dan kewajiban yang dibebankan kepada masing-masing baik suami
maupun istri tidak berbeda jauh dengan pendapat para ulama fiqih, karena
memang yang menjadi rujukan dasar pembuatan Undang-undang adalah Al-
Qur’an dan Al-Hadits serta ijma’ para ulama. Dalam Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam
pasal 30 sampai dengan pasal 34.
Pasal 30
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
37. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol. 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2007) cet, VII.h. 266
34
1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Sama halnya dengan hukum Islam, hak dan kewajiban suami istri dapat
dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu: hak dan kewajiban yang berupa
kebendaan serta hak dan kewajiban yang bukan kebendaan. Hak dan
kewajiban yang berupa kebendaan yaitu suami wajib memberikan nafkah
kepada istrinya. Maksudnya adalah bahwa suami harus memenuhi kebutuhan
isri yang meliputi makanan, pakian, tempat yinggal, dan kebutuhan rumah
tangga pada umumnya. Ketentuan suami memberikan nafkah kepada istri
merupakan konsekuensi dari pasal 31 ayat (3) yang menempatkan suami
sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Kedudukan suami
sebagai kepala keluarga membawa tanggung jawab untuk memberikan nafkah
kepada istrinya sesuai kemampuannya.
Adapun yang menjadi hak dan kewajiban suami istri yang bukan kebendaan
anatara lain:
35
a. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
b. Saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami wajib melindungi istrinya.
d. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga.
Selanjutnya, dalam Kompilasi Hukum Islam hak dan kewajiban suami istri
dijelasakan secara rinci dalam bab XII pasal 77 sampai pasal 84.
Pasal 77
1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk meneggakan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyarakat.
2) Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun
kecerdasanya dan pendidikan agamanya.
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-maisng dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.
Pasal 78
1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.
2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri
bersama.
Pasal 79
1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2) Hak dan keudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Pasal 80
36
1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan frumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami sitri bersama.
2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
c. Biaya bagi pendidikan bagi anak.
5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) hurus a
dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami didalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimkasud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada
pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
37
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah
istri nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tiodak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
Baik Islam, UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam mewajibkan seorang suami memenuhi hak istri dan juga kepada
istri untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Hak suami, yang
merupakan kewajiban istri terletak dalam ketaatannya, menghormati
keinginannya dan mewujudkan kehidupan yang tenang dan damai
sebagaimana yang dinginkan. Hak dan kewajiban tersebut menjadi penting
untuk memjauhkan mereka berdua dari permusuhan sehingga rumah tangga
tidak menjadi tumbuh bagai didepan neraka jahim.38
38. Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta:Sinar Grafika Ofseet, 2010), h. 144
38
BAB III
PROFIL ABDUL HALIM ABU SYUQQAH DAN KITAB TAHRIR AL-
MAR’AH FII ‘ASHRI AR-RISAALAH
A. Biografi Abdul Halim Abu Syaqqah
Abdul Al Halim Muhammad Abu Syuqqah, lahir di kota Kairo pada
tanggal 28 Agustus 1924 M atau 28 Muharram 1343 H. Pendidikannya
dimulai di Kairo. Beliau belajar beragam ilmu dan pada tahun 1356 H atau
1938 M.Beliau mendapat Syadah al-Ibtida’iyah dari Madrasah al-Amiriyah Li
al-Banin.Kemudian melanjutkan jenjang tsanawiyahnya di Madrasah al-
Taufiqiyah dan langsung melanjutkan di Jami’ah Fu’ad al-Awwal.Beliau
menjadi sarjana di Kulliyah al-Adab dengan program studi al-Tarikh.1
Selama hidupnya, beliau tinggal di beragam tempat.Beliau pernah
tinggal di sebelah masjid kecil milik salah satu asosiasi Islam. Beliau juga ikut
dalam kegiatan asosiasi tersebut dan fokus dalam pendidikan individu
muslim. Selama belajar di Jami’ah, beliau berkenalan dengan dua remaja asal
Suriah yang telah menyelesaikan masa belajarnya di Kairo.Beliau kemudian
diperkenalkan kepada salah satu guru mereka, yakni Syaikh Khadir Husain
asal Tunisia, yang dulunya pernah menjadi guru di Al-Azhar.Beliau memiliki
majelis ilmu yang di dalamnya membicarakan tentang hadits-hadits
keagamaan (diniyah) dan pendidikan (tarbawiyah) yang beragam.Beliau juga
dikenalkan kepada Qadhi Ahmad Syakir, seorang qadhi dan penulis dari
‘Isham yang fokus dalam Bahasa Arab dan Syair.Darinya, Abu Syuqqah
belajar tentang pentingnya bahasa dan seputar pendidikan dasar dalam
menyiapkan diri menjadi seorang individu.Beliau juga dikenalkan kepada
Muhbib al-Din al-Khatib, pemilik dari majalah al-Fath, yaitu majalah yang
membicarakan tentang politik dan agama yang terbuka secara nasional.
1. Ar.wikipedia.org, Abdul Halim Abu Syuqqah, lihat di situs, http://ar.wikipedia.org/wiki/,.diakses tanggal 19 Juni 2019 pada jam 09:00 WIBعبد الحلیم ابو شقة
39
Selain itu, Abu Syuqqah juga mengunjungi banyak organisasi Islam,
seperti Jam’iyah al-Syar’iyah, al-Madrasah al-Salafiyah, al-Madrasah al-
Shufiyah, Hizb al-Tahrir al-Islami, dan al-Ikhwan al-Muslimin. Dari semua
organisasi yang beliau datangi, pengaruh yang terbesar baginya adalah saat
beliau berada di pergerakan al-Ikhwan al-Muslimin.2 Di sana beliau
merasakan keterbukaan dalam berdiskusi dengan banyak orang, membahas
sesuatu, dan berpikir tanpa ada hambatan atau rasa gugup. Beliau juga banyak
melakukan diskusi dengan Syaikh Hasan al-Banna saat pergerakannya dirasa
berbahaya karena ajarannya, dan pengurangan kegiatan perpolitikan yang
sangat menyempitkan pergerakan mereka.Diskusi tersebut dibangun di atas
landasan ilmiah dari banyak pengalaman hidup dan pendidikan yang
ditempuhnya, sehingga Abu Syuqqah, selain berdiskusi, juga mempelajirnya.3
Bukan hanya hal di atas yang didapat Abu Syuqqah dari dua orang
pemuda tersebut, namun juga ada kegiatan ibadah lainnya.Beliau juga ikut
dalam ibadah qiyam al-lail, ibadah individual, dan tafakkur.Ibadah tersebut
beliau jadikan sebagai upaya penting dalam pengamalan pengajaran, dan
untuk kebutuhan masyarakat sampai kepada pemuda Muslim yang fokus
kepada pengajaran dan pendidikan.
Pada akhir tahun 1940an, Abu Syuqqah memfokuskan dirinya pada
isu-isu pemikiran, pendidikan dan hal lain sebagainya.Pada saat itu Mesir
sedang dalam suasana politik yang tegang, sehingga pendidikan dan
pemikiran dipinggirkan. Oleh karena itu, dan untuk menghindarkan para
pelajar dari arus militerisasi, ekstremisme, dan kekerasan yang berlangsung,
beliau bersama dengan teman-temannya mendirikan sebuah perpustakaan
yang diberi namaMaktabah Lajnah al-Syabab al- Muslim untuk menerbitkan
buku-buku dan artikel untuk mengingatkan kesadaran kepada pendidikan dan
2. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1. h. 28.
3Ar.wikipedia.org, Abdul Halim Abu Syuqqah, lihat di situs, http://ar.wikipedia.org/wiki/, عبد .diakses tanggal 19 Juni 2019 pada jam 10:00 WIBالحلیم ابو شقة
40
pemikiran tersebut. Perpustakaan ini akhirnya diyakini oleh penguasa saat itu
sebagai wadah bagi mereka yang anti-pemerintah dan memiliki maksud
khusus untuk, melawan, maka namaLajnah al-Syabab al- Muslim, bersama
dengan mereka yang bergabung di dalamnya, dengan jumlah anggota 70
orang, ditangkap. Perpustakaan itu ditutup dan semua isinya disita di
pertengahan tahun 1950.Kemudian, pada tahun 1953, Abu Syuqqah ditangkap
ketika beliau sedang mengajar di Madrasah al-Banat Tsanawiyah.
Setelah beliau keluar dari penjara, beliau berpikir untuk pindah dari
Mesir. Terlebih adik perempuannya sudah menikah dengan salah satu dari
pemuda asal Suriah, dan pindah ke sana. Adiknya tersebut sudah bekerja di
Ma’had Al ‘Arabi Al Islami di Damaskus selama setahun.Setelah pindah ke
Suriah, pada tahun 1374 H atau 1955 M, beliau pindah ke Qatar.Kemudian
pada tahun 1384 H atau 1965 M, beliau pulang kembali ke Mesir.4
Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa Abu Syuqqah adalah
seorang ulama yang sangat mencintai agamanya, menghargai ilmu
pengetahuan, ikhlas membela yang hak, tidak suka debat kusir yang banyak
dikuasai oleh ulama-ulama tanggung dan lebih memilih cara yang didasarkan
pada pemaparan riwayat-riwayat yang disadur dari al-Bukhari dan al-Muslim,
dan (pada bukunya yang akan dibahas di bawah) sedikit sekali beliau
mengemukakan Hadits-hadits di luar riwayat kedua periwayat tersebut.5
Yusufal-Qardhawi mengatakan bahwa ‘Abd. Halim tidak begitu
dikenal di kalangan luas, kalangan yang mengenalnya akan merasa kagum dan
mengakui kemampuannya dalam berpikir secara tenang dan mendalam.
Pandangannya yang kritis, reformis, dan berani mengemukakan apa yang
diyakininya benar, sampai pada kejururan dan sikap istiqamahnya sehingga
lahir dan bathinnya tetap seirama. Beliau kemudian menegaskan, bahwa
4Ar.wikipedia.org, Abdul Halim Abu Syuqqah, lihat di situs, http://ar.wikipedia.org/wiki/, عبد diakses tanggal 19 Juni 2019الحلیم ابو شقة pada jam 10:30 WIB.
5Pengantar dari Al Syakh Muhammad Al Ghazali, dalam Abu Syuqqah, Tahrir Al Mar’ah Fi‘Ashr Ar Risalah, jilid 1. h. 6.
41
beliau sudah mengenal Abu Syuqqah sama-sama bekerja di kementrian
pendidikan di Qatar. Sejauh yang Yusuf Al Qardhawi ketahui, Abu Syuqqah
selalu berbicara jujur, benar, bersih, sopan, halus, jenius, dan kritis.6
B. Gambaran Umum Kitab Tahriral-Mar’ah Fii ‘Ashriar-Risalah
1. Latar Belakang Penulisan
Dari latar belakang penulisan karya tersebut, Abu Syuqqah memulai
dengan menyampaikan ketertarikannya untuk melakukan kajian yang
mendalam tentang Sirah Nabawiyah, Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad
SAW, dengan berdasarkan buku-buku sunnah agar memiliki pegangan
yang kuat. Saat beliau menulis karya tersebut, beliau mengatakan bahwa
kisah atau sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW belum mendapatkan
perhatian yang cukup sehingga banyak sanad yang belum diteliti.Sehingga,
masih sulit untuk menentukan mana yang shahih dan mana yang dha’if
sanadnya. Faktor yang mendorong Abu Syuqqah untuk melakukan
penelitian sehingga menerbitkan karya tersebut, adalah beliau menyadari
adanya kenyataan bahwa Sirah Nabawiyah yang mengetengahkan
kehidupan Rasulullah SAW mengandung banyak sekali perkataan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang masuk ke dalam kategori sunnah,
sehingga dapat ditiru kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Karena itu,
menurut beliau, Sirah harus diketengahkan kepada kaum muslim dengan
dalil yang lebih jelas sehingga mereka dapat mengikuti petunjuknya
dengan perasaan tenang dan mantap melalui keabsahan dalil-dalil yang
dijadikan pegangan.7
Setelah melakukan penelitian Sirah Nabawiyah tersebut, Abu Syuqqah
melanjutkan penelitian beliau dengan mulai mempelajarai al-Shahih
6Pengantar dari Yusuf Al Qardhawi dalam Abu Syuqqah, Tahrir Al Mar’ah Fi ‘Asr AlRisalah, jilid, 1. h. 18.
7. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 28.
42
Muslim dan Syarhdarial- Imam al-Nawawi.Namun saat menguraikan dan
mengelompokkan hadits-hadits tersebut, beliau menemukan sebagian
hadits yang bersifat praktis dan operasional, serta berkaitan dengan
masalah wanita dan hubungannya dengan laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan. Beliau menemukan hadits-hadits tersebut dan memahaminya
hingga beliau menyimpulkan bahwa hadits tersebut bertolak belakangan
dengan apa yang beliau pahami dan praktekkan selama ini, bahkan dengan
apa yang dipahami dan dipraktekkan oleh berbagai kelompok Islam yang
pernah memiliki hubungan dengan beliau. Kelompok tersebut terdiri dari
berbagai aliran, seperti organisasi al-Syari’ah, al-Ikhwan al-Muslimin,
kelompok Sufi, kemlpok Salaf, Hizb al-Tahrir al-Islami, dan lain
sebagainya.Bahkan hadits-hadits itu, karena dirasa pentingnya, telah
membuat Abu Syuqqah ingin membenahi persepsi mengenai karakteristik
wanita muslimah dan sejauh mana keterlibatannya dalam berbagai bidang
kehidupan pada zaman kerasulan Nabi Muhammad SAW.8
Karena ketertarikan tersebut maka Abu Syuqqah mengubah haluan
pengkajian dari proyek penulisan Sirah Nabawiyah pada proyek
pengkajian wanita muslimah pada masa kenabian.Kondisi wanita
muslimah pada masa kenabian memberikan gambaran yang jelas sekali
tentang udara kebebasan yang dapat dihirup oleh kaum wanita.Abu
Syuqqah terdorong karena adanya bahaya besar dan Abu Syuqqah masih
rasakan pada saat beliau hidup, yaitu dominasi visi dan persepsi yang
bertolak belakang dengan ajaran agama mengenaiemansipasi wanita.9
2. Tema dan Metode Penulisan
Adapun tema penulisan buku tersebut, dari judulnya saja sudah jelas
bahwa yang ingin Abu Syuqqah lakukan adalah mengangkat tema-tema
8. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 28.
9. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 30.
43
yang berkaitan dengan wanita.Buku tersebut merupakan kajian sosial yang
memiliki nuansa fiqih sosial mengenai wanita pada masa kerasulan. Abu
Syuqqah berupaya untuk memuat semua nash, baik dari Al Qur’an
maupun hadits Nabi Muhammad SAW, yang mengindikasikan pada
wanita, dari dekat ataupun jauh, dalam hal kehidupannya, baik yang
sifatnya pribadi maupun umum. Begitu juga dengan hubungan sosial
wanita dengan sekeliling serta keanekaragaman kegiatannya di masa
tersebut.Hal ini karena, Abu Syuqqah mengatakan, bahwa agama Islam
mengatur kehidupan individu, baik lelaki atau wanita, seperti halnya
mengatur tatanan masyarakat. Penggabungan antara kajian sosial dan
kajian fiqih serta keterkaitan kegiatan sosial dengan dalil-dalilfiqhiyahnya
akan menjadi faktor yang sangat membantu dalam penyelidikan yang
menyeluruh terhadap perilaku seorang individu muslim, dalam hal ini
adalah wanita muslimah.10
Abu Syuqqah berusaha melihat gejala sosial baru yang berpengaruh
terhadap kegiatan wanita dan hubungannya, baik dalam keluarga atau
dalam bidang profesi, sosial, dan politik.Begitu juga berpengaruh terhadap
pakaian wanita dan perhiasannya.Semua itu dimaksudkan beliau agar
wanita muslimah dapat menyesuaikan diri secara benar dan dapat
bermasyarakat secara modern sambil tetap berpijak pada substansi yang
digariskan oleh agama Islam. Dengan demikian, wanita muslimah akan
senantiasa konsisten terhadap perintah agama Allah SWT, Islam, dan
wanita muslimah modern mendapatkan gambaran dan mengikuti langkah-
langkah atau aktifitas wanita masa kerasulan dengan berpedoman petunjuk
Nabi Muhammad SAW.11
10. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 38.
11. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 38-39.
44
Abu Syuqqah merasa bahwa emansipasi atau pembebasan pemikiran
kalangan muslim modern sudah menjadi hal yang penting untuk
diupayakan. Terdapat belenggu pemikiran, ukuran-ukuran palsu, dan
pemikiran yang merusak yang telah menguasai umat Islam, sehingga umat
menjadi lemah dan rusak. Jika belenggu tersebut telah hilang dan
pemikiran umat Islam modern terbebas, segala aktifitas dan kehidupan
akan senentiasa sesuai dengan pancaran cahaya hidayah Allah SWT.
Pembebasan pemikiran umat Islam merupakan jalan satu-satunya menuju
kebebasan yang sempurna dan murni bagi wanita dan lelaki muslim secara
sekaligus.12
Beliau mulai mempelajari isi kitab al-Shahihal-Bukhari yang berkaitan
dengan wanita dan berbagai aspek kehidupannya. Selanjutnya beliau
mempelajari kitab al-Shahih Muslim, dilanjutkan hingga beliau
menamatkan 14 kitab hadits, yaitu al-Shahihal-Bukhari, al-Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunanal-Tirmidzi, Sunanal-Nasa’i, Sunan
Ibnu Majah, al-Muwaththa’Imam Malik, Zawa’id Shahih Ibnu Hibban,
Musnad Ahmad, tiga kitab Mu’jamal-Thabrani, Musnadal-Bazzar, dan
Musnad Abu Ya’la.13
Kemudian, metode Abu Syuqqah dalam menulis kitab tersebut adalah
metode tematis yang berkaitan dengan wanita dalam Al Qur’an serta kitab
Sahih Bukhari dan Muslim. Abu Syuqqah yakin bahwa penulisan kitab ini
adalah sebagai langkah konkrit dalam dakwah ke arah pengelompokan
baru terhadapnash Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan umat Islam yang terus berkembang.14
12. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 39.
13. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid1, h. 40.
14. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998),jilid 1, h. 42.
45
3. Kesimpulan Tulisan
Penulis sengaja untuk tidak melampirkan seluruh isi dalam kitab
tersebut, akan tetapi akan penulis lampirkan kesimpulan yang
dikemukakan oleh Abu Syuqqah mengenai tulisan beliau ini. Kesimpulan
atau hasil kajian Abu Syuqqah ini dikelompokkan ke dalam 5 bidang
sesuai dengan tema yang disusun oleh Abu Syuqqah.
a) Karakteristik wanita
1) Wanita muslimah pada masa Nabi Muhammad SAW memahami
karakteristiknya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama
Islam yang murni sehingga dia melalui berbagai bidang
kehidupannya dengan dasar pemahaman tersebut.
2) Karakteristik wanita tersimpul dalam sabda Rasulullah SAW yang
menetapkan dasar-dasar persamaan antara laki-laki dan wanita
dengan beberapa kekhususan dalam beberapa bidang.
3) Hadits yang mengatakan bahwa wanita itu “kurang akal dan agama”
adalah hadits shahih yang dipahami dan diterapkan secara keliru
oleh banyak orang, sehingga mereka menghapus karakteristik
wanita yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya dan
diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam Sunnahnya.
b) Pakaian dan Perhiasan
1) Membuka wajah sudah umum dilakukan pada masa Nabi
Muhammad SAW. Kondisi seperti ini merupakan kondisi awalnya.
Adapun memakai cadar, sehingga yang terlihat hanya kedua bola
mata, merupakan salah satu tradisi/mode/cara berdandan yang
menjadi trend pada sebagian wanita sebelum atau sesudah
kedatangan Islam.
2) Berdandan secara wajar pada wajah, kedua telapak tangan, dan
pakaian diperbolehkan agama Islam dalam batas-batas yang pantas
dilakukan oleh seorang wanita muslimah.
46
3) Tidak pernah diwajibkan mengikuti satu mode tertentu dalam
berpakaian, yang diwajibkan adalah menutupi badan. Tidak berdosa
mengikuti beberapa mode sesuai dengan kondisi cuaca dan
lingkungan sosial.
4) Kriteria-kriteria di atas membantu wanita untuk lebih bebas
bergerak dan memudahkannya dalam mengikuti kegiatan sosial.
c) Keterlibatan Wanita dalam Kehidupan Sosial
1) Sudah jelas bahwa menetap di rumah dan memakai hijab
merupakan kekhususan untuk isteri-isteri Nabi Muhammad SAW,
sebagaimana juga sudah jelas bahwa sahabat-sahabat wanita yang
mulia tidak mengikuti perbuatan ister-isteri Nabi SAW tersebut.
2) Wanita ikut dalam kehidupan sosial dan seringkali bertemu dengan
kaum lelaki dalam semua bidang kehidupan, baik yang bersifat
umum maupun khusus, guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan
hidup yang serius dan untuk memberi kemudahan bagi semua orang
mukmin, baik lelaki maupun wanita.
3) Keterlibatan ini tidak ada syaratnya selain beberapa tuntutan dan
aturan yang mulia dan sifatnya adalah memelihara, bukan
menghambat.
4) Wanita terlibat dalam bidang sosial, politik, dan profesi sesuai
dengan kondisi serta kebutuhan hidup pada masa kerasulan. Dalam
bidang sosial misalnya, wanita muslimah terlibat dalam beberapa
bidang seperti kebudayaan, pendidikan, jasa atau pelayanan sosial,
dan hiburan yang bijak. Dalam bidang politik, wanita muslimah
memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan masyarakat
dan pihak penguasa. Wanita muslimah menghadapi tekanan dan
siksaan, kemudian dia berhijrah untuk membela dan
menyelamatkan keyakinannya itu. Di samping itu, wanita muslimah
mempunyai perhatian dan rasa peduli terhadap urusan masyarakat
47
umum, mengemukakan pendapat dari berbagai isu politik, dan
kadang-kadang bersikap oposisi dalam bidang politik. Sementara
dalam bidang profesi, wanita ikut terlibat dalam bidang pertanian,
peternakan, kerajinan tangan, administrasi, perawatan, pengobatan,
kebersihan dan pelayanan rumah tangga. Kegiatan tersebut
membantu wanita mewujudkan dua hal, yakni mewujudkan
kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya dalam keadaan
suaminya sudah tiada, lemah, atau miskin, dan mencapai kehidupan
yang lebih mulia dan terhormat, sebab dengan hasil usahanya itu dia
mampu bersedekah di jalan Allah SWT.
5) Mengingat semakin seriusnya kondisi sosial pada masa kini yang
menuntut semakin ditingkatkannya partisipasi wanita dalam bidang
sosial, politik, dan profesi, maka kaidah-kaidah dan aturan-aturan
yang telah digariskan syariat harus menjadi pengatur kondisi
tersebut sampai akhir zaman.
6) Di antara hasil keterlibatan wanita, semakin matangnya cara
berpikir dan mampunya wanita melaksanakan berbagai kegiatan
yang bermanfaat.
d) Keluarga
1) Menegaskan bahwa wanita berhak memilih suami dan berhak
meminta cerai jika dia memang tidak menyukai suaminya,
walaupun dia tidak dirugikan oleh suaminya dengan syarat dia
mengembalikan apa yang dia ambil dari seuaminya dengan
ketetapan dari suami atau hakim setelah dibuktikan bahwa dia
benar-benar sudah tidak menyukai suaminya.
2) Berbagi tanggung jawab di antara pasangan suami isteri dan
melakukan kerjasama yang baik patut dilakukan demi sempurnanya
pelaksanaan tanggung jawab tersebut.
3) Hak suami dan isteri sama. Allah SWT berfirman,
48
بالمعروف وللرجال علیھن مثل الذي علیھن ولھنyang artinya “…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya…”.
(QS. Al Baqarah (2): 228). Derajat atau satu tingkatan yang
dimaksud adalah kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau
kelebihan mengalahnya suaminya dari beberapa hak yang harus dia
peroleh.Di antara hak-hak tersebut adalah hak dicintai, hak
disayang dan dikasihani, hak berdandan dan menikmati hubungan
seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan
kesusahan seperti yang dialami oleh setiap pihak.
4) Syariat telah menentukan syarat-syarat dan peraturan mengenai
perceraian dan poligami. Keadaan sebuah keluarga muslim tidak
akan berjalan dengan baik kalau salah satu syarat dan peraturan
tersebut timpang. Karena itu tidak ada salahnya jika pada masa
sekarang untuk ditetapkan suatu aturan yang menjamin dipenuhinya
semua syarat dan peraturan.
5) Peranan wanita atau isteri dalam keluarga merupakan tugas utama
dan pertama. Tapi hal ini tidak menafikkan bahwa wanita juga
mempunyai kewajiban lain di tengah masyarakat. Tumbuhnya
kesadaran bermasyarakat dan adanya kerjasama yang erat antara
suami dan isteri merupakan dua faktor yang sangat penting untuk
mengkoordinasikan tugas pertama wanita dengan tugas-tugas
lainnya yang dibutuhkan demi terwujudnya kemaslahatan
masyarakat muslim sehingga dalam masyarakat terwujud
perkembangan positif dan kemajuan yang progresif.
e) Bidang Seksual
49
1) Seks merupakan bagian dari kesenangan di dunia dan di akhirat.
Seks adalah halal dan baik. Seseorang dapat memperoleh pahala
karena melakukan aktifitas seksual yang sesuai dengan batas-batas
yang digariskan oleh agama. Persepsi umat Islam perlu diluruskan
mengenai masalah ini karena telah dikaburkan oleh pemikiran
sufistik yang menyimpang dan dilatarbelakangi oleh faham
rahbaniyah (kerahiban) dari kalangan Kristen serta sebagian agama
Timur Kuno.
2) Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya berjalan
mengikuti jalur yang menuju arah terwujudnya pendidikan seks
yang benar dan pengetahuan seks yang bersih dan murni. Hal ini
menghasilkan mental yang sehat di kalangan lelaki dan wanita.
Perlu dilenyapkan tembok raksasa yang selama ini menghambat dan
menutupi segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks.
3) Rasulullah SAW adalah contoh manusia yang sempurna, baik
dalam kondisi beristeri satu ataupun dalam keadaan berpoligami,
baik dari segi sifat zuhud dan kesederhanaannya ataupun dari segi
kesempurnaannya dalam bergaul dan berhubungan dengan para
isteri beliau. Kemudian, setelah membetulkan persepsi mengenai
seks secara umum, perlu juga untuk membetulkan persepsi
mengenai sikap Rasulullah SAW terhadap seks.
4) Mempermudah proses perkawinan sejak usia dini merupakan salah
satu ciri masyarakat Islam. Alangkah banyak bentuk kemudahan
yang telah digariskan Sunnah dalam masalah ini. Dengan penuh
tekad dan semangat, harus dibuka jalan kemudahan bagi proses
perkawinan pada masa sekarang sesuai dengan apa yang telah
digariskan oleh Yang Maha Pencipta, Dia tentu lebih mengetahui
mengenai ciptaan-Nya. Setiap tindakan yang sifatnya mempersulit,
hanya akan membuat orang semakin jauh dari mentaati Allah SWT
50
sehingga semakin dekat pada perbuatan yang tidak terpuji, baik
yang terlihat maupun yang terselubung, bahkan mungkin terjebak di
dalamnya15.
15. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 1, h. 45-48.
51
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT ABDUL HALIM ABU
SYUQQAH DAN RELEVANSINYA TERHADAP ATURAN KHI
A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri tinjauan Kitab Tahriir al-Mar’ah
Keluarga merupakan suatu organisasi yang memiliki kekhususan-kekhususan,
yang paling utama adalah didasari dan ditegakkan di atas dasar cinta dan kasih
sayang, kemudian hubungan internalnya terjalin dengan cara yang tidak terdapat
di dalam organisasi manapun, yaitu meliputi seluruh sisi kehidupan pribadi
dimulai dengan hubungan yang paling khusus yakni hubungan biologis,
ditambah lagi dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, makanan, minuman,
serta pakaian, dan lebih penting lagi adalah pemeliharaan dan pendidikan anak
keturunan. Oleh karena itu, seharusnya memang keluarga atau rumah tangga itu
menjadi tempat ketentraman dan ketenangan.1 Sebagaimana dimaksud dalam Al-
Qur’an QS. Ar-Rum : 21
ومن ایتھ أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إلیھا وجعل بینكم مودة ورحمة إن فى
ذالك ألیت لقوم یتفكرون“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ayat diatas menerangkan bahwa penunaian hak dan kewajiban antara suami
istri harus dalam bingkai mawaddah (cinta), jika rasa cinta itu melemah karena
suatu hal, maka hak dan kewajiban tersebut harus tetap senantiasa terpelihara,
hanya saja dalam bingkai rahmah, yaitu kasih sayang dan kesetiaan dalam
1. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h.152-153
52
pergaulan suami istri.2 Dan hendaklah masing-masing antara suami istri
mengingat sabda Rasulullah SAW
ال یؤمن أحدكم حتى یحب ألخیھ ما یحب لنفسھ“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang dari kamu sehingga ia menyukai
apa yang untuk saudaranya sebagaimana ia menyukai untuk dirinya sendiri”
Abu syuqqah memberikan penafsiran terkait Hadits diatas, bahwasanya Islam
mengatur hak-hak persaudaraan sesama muslim secara umum sampai sede
mikian kuatnya, maka hak antara suami istri yang muslim pasti lebih besar dan
kuat lagi, sebab ikatan tersebut lebih dikuatkan dengan adanya ikatan
perkawinan. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam QS. An-
Nisa’ : 21 :
و أخذن منكم میثاقا غلیظا“...dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.”
Suami istri harus senantiasa mengingat Allah SWT dan selalu merasa diawasi
olehnya dalam menunaikan hak dan kewajiban tersebut, serta hendaklah suami
istri mengintropeksi diri masing-masing apakah ia sudah memberikan apa yang
ia cintai untuk pasangannya? Jika hal tersebut telah ia lakukan, maka itu adalah
hal yang bagus. Namun jika itu semua belum dilakukan, maka hendaklah
membulatkan tekad dan memohon pertolongan kepada Allah SWT serta jangan
lemah untuk melakukan hal tersebut. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama
orang-orang yang benar.3
1. Hak-Hak Yang Seimbang
Allah SWT menyatakan dalam firmannya yang berbunyi:
درجة وهللا عزیز حكیم بالمعروف وللرجال علیھن مثل الذي علیھن ولھن
2.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 145
3.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 146
53
“....Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(al-Baqarah: 228)
Menurut Abu Syuqqah, ayat ini menetapkan bahwa seorang wanita atau istri
itu memiliki hak sebagaimana mereka memiliki kewajiban. Hal ini berarti bahwa
setiap hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki, dan kewajiban wanita
diimbangi dengan kewajiban laki-laki. Dengan demikian maka hak mereka
berimbang.4
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini bukanlah kesamaan wujud
sesuatu dan karakternya, melainkan bahwa hak antara mereka itu saling
mengganti dan melengkapi. Maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan
wanita untuk suaminya melainkan suami juga harus melakukan suatu perbuatan
yang seimbang untuknya. Jika tidak seimbang dalam sifatnya, hendaklah
seimbang dalam jenisnya. Maka mereka mempunyai kesamaan dalam hak dan
amalan, sebagaimana mereka memiliki kesamaan dalam indra, perasaan, dan
pikiran, yakni karena masing-masing mereka adalah manusia utuh yang memiliki
akal untuk menentukan apa yang maslahat baginya, hati yang gembira terhadap
apa yang dianggapnya cocok dan menyenangkannya, serta membenci terhadap
apa yang dirasa tidak cocok dan lari dari padanya. Maka tidak adil jika seseorang
bertindak sesuka hatinya terhadap yang lain dan menjadikannya sebagai budak
yang rendah dan hanya melayani kepentingan-kepentingannya. Terlebih setelah
melaksanakan akad nikah dan hidup bersama yang tidak mungkin dapat dicapai
4.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 136
54
kebahagiaan kecuali dengan saling menghormati dan menunaikan kewajiban
antar mereka.5
Didalam mentakwilkan Ayat di atas, ath-Thabari mengemukakan beberapa
riwayat,6 yang mana ada beberapa riwayat bahwa sebagian ulama mengatakan,
“dan mereka (wanita) mempunyai hak untuk ditemani dengan baik dan
dipergauli dengan cara yang makruf oleh suami mereka, sebagaimana mereka
berkewajiban mentaati suami dalam hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas
mereka”.
Adh-Dhahak berkata: “Apabila mereka (wanita) taat kepada Allah SWT dan
taat kepada suami, maka suami wajib memperlakukannya dengan baik dan tidak
boleh menyakitinya dan harus memberinya nafkah sesuai dengan
kemampuannya”.
Ibnu Zaid berkata: “Hendaklah mereka (suami) takut kepada Allah SWT
mengenai urusan mereka (istri), sebagaimana para istri harus takut kepada Allah
mengenai urusan suami”.
Ibnu Abbas berkata:
ولھن مثل : "قول ألن هللا تعالى ذكره ی, إني أحب أن أتزین للمرأة كما أحب أن تتزین لي
"الذي علیھن بالمعروف
“Aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana aku suka dia berhias untukku,
karena Allah yang Maha Tinggi berfirman : dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Dan kesimpulan ath-Thabari dari riwayat-riwayat tersebut ialah bahwa
masing-masing berkewajiban untuk tidak saling memberi mudharat. Kemudian ia
berkata: “dan ayat tersebut juga bisa berarti bahwa apa yang menjadi kewajiban
bagi yang satu, maka menjadi kewajiban pula bagi yang lainnya”. Maka masing-
5.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 138-139
6. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 136
55
masing harus menunaikan kewajibannya kepada yang lain. Dengan demikian,
masuklah kandungan ayat di atas terhadap apa yang dikatakan oleh adh-Dhahak,
Ibnu Zaid, Ibnu Abbas dan lain-lain.7
Adapun menurut Abu Syuqqah dalam kitabnya Tahriir al-Mar’ah fii ‘ashri
al-Risaalah yakni menukil dari pendapat ath-Thabari dalam mentakwilkan
firman Allah SWT “dan bagi laki-laki (suami) memiliki satu tingkat kelebihan
dari pada istrinya”, Dia berkata : “sebagian mereka berkata, makna Darajat ini
adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada para suami dalam hal waris dan
jihad”. Yang lain lagi berkata, “Tingkatan kelebihan itu adalah kewenangan
untuk memerintah dan ditaati”. Yang lain lagi berkata, “tingkatan kelebihan
yang merupakan haknya atas istri itu ialah tugasnya untuk memuliakan istri dan
memberikan haknya, serta memaafkan sebagian kewajiban istri kepadanya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata, “aku tidak suka mengambil semua
hakku atasnya, karena Allah berfirman, dan para suami memiliki satu tingkat
kelebihan dari padanya”.
Selanjutnya ath-Thabari berkata : “Pendapat yang lebih dekat terhadap
takwil ayat ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, yaitu bahwa derajat
yang disebutkan oleh Allah ialah pemaafan suami terhadap istri dalam sebagian
kewajibannya, mendiamkannya (tidak menuntut), dan sebaliknya ia menunaikan
semua kewajibannya terhadap istrinya.8
2. Hak Asasi Yang Umum: Hak Ri’ayah
7.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 136-137
8.Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 139
56
Hak asasi yang paling umum dan komplit adalah hak ri’ayah yakni hak
pemeliharaan atau kepemimpinan. Sebagaimana Rasulullah SAW telah
menjelaskan dalam hadits syarif berikut,
Dari Ibnu Umar r.a, bahwa Nabi SAW bersabda:
راعیة والمرءة , والرجل راع على اھل بیتھ.... ل عن رعیتھكلكم راع وكلكم مسئو
فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعیتھ, على بیت زوجھا وولده
“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya... dan laki-laki adalah pemimpin terhadap ahli
rumahnya, dan wanita adalah pemimpin terhadap rumah tangga suaminya dan
anaknya, maka tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya”. (H.R Bukhari dan Muslim)
Hak ri’ayah ini mewaibkan masing-masing suami istri dua tanggung jawab
yang penting. Laki-laki memimpin tanggung jawab kepemimpinan dan
memberi nafkah. Sedangkan wanita memikul tanggung jawab memelihara dan
mendidik anak, dan tanggung jawab mengatur urusan rumah tangga. Apabila
pembagian tanggung jawab antara suami istri ini merupakan urusan yang vital
untuk meneggakkan kehidupan keluarga dan mengatur urusannya serta
merealisasikan misinya, maka tolong menolong diantara mereka merupakan
sesuatu yang vital juga untuk kesempurnaan penunaian tanggung jawab
tersebut dari satu segi, dan untuk memelihara rasa cinta kasih dari segi lain.9
Berkaitan dengan tanggung jawab penunaian kewajiban antara suami istri
agar terciptanya tujuan perkawinan yaitu membangun keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, dalam hal ini Abu Syuqqah menekankan kepada
kekompakan antara keduanya, saling menghormati, saling membantu, dan
9. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 147
57
tolong-menolong untuk mewujudkan itu semua, dengan kata lain tidak ada
pembebanan antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Sebagaimana tersebut diatas bahwa masing-masing suami istri memiliki
dua tanggung jawab penting, yang dengan itu akan dipaparkan tanggung jawab
tersebut secara rinci sebagai berikut,
a. Tanggung Jawab Pertama Suami: Kepemimpinan Terhadap Keluarga
Allah Berfirman:
الرجال قوامون على النساء“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (An-Nisa’ : 34)
Sebagaimana telah disebutkan oleh Abu Syuqqah dengan mengutip salah
satu riwayat yang dibawakan oleh Ath-Thabari dalam menafsirkan firman
Allah SWT “dan para suami mempunyai satu tingkat kelebihan dari pada
istrinya” menunjukkan bahwa tingkatan kelebihan itu ialah kewenangan untuk
memerintah dan ditaati, yaitu kepemimpinan.
Abu Syuqqah menganggap bahwa laki-laki lah yang memiliki kelebihan
tersebut, baik kelebihan berupa jihad, kepemimpinan, atau dalam memuliakan
istrinya dan mentolerir sebagian haknya yang itu merupakan kewajiban bagi
istrinya. Apabila qiwamah (kepemimpinan) ini memiliki kelebihan dan
kemuliaan, maka itu adalah kelebihan kepemimpinan yang penuh kasih sayang
dan kemuliaan memikul tanggung jawab, bukan kelebihan seorang pemimpin
yang membuat kesulitan didalam kepemimpinannya atau lupa terhadap beban
tanggung jawabnya. Kemudian, jika seorang laki-laki memiliki kelebihan
kepemimpinan dan kemuliaan, maka wanita memiliki kelebihan memberi
ketentraman dan kemuliaan keibuan.10
Adalah sesuatu yang fitri badahi (amat jelas) bahwa setiap organisasi kecil
maupun besar, pasti memiliki pemimpin guna mengatur segala urusan di dalam
10. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 148
58
organisasi tersebut, dan sesuatu yang fitri ini dikuatkan dengan tata manajemen
ilmiah. Begitupun dalam kehidupan rumah tangga, yang bsudah pasti memiliki
pemimpin didalamnya. Tidak ada dua orang pun yang berbeda pendapat bahwa
laki-laki pada umumnya memiliki kelebihan berupa domain akalnya dari pada
perasaannya, sedangkan wanita memiliki keistimewaan dengan emosionalnya
dan kasih sayangnya ditambah lagi dengan perbedaan bentuk tubuh dan
kejiwaannya, seperti kelembutan tubuhnya dan daya tariknya yang kuat, dan
pada waktu tertentu seorang wanita akan mengalami keadaan dimana tubuh dan
kejiwaannya mengalami kelemahan yang menjadikannya dalam batasan
tertentu untuk menjauhi kehidupan umum, seperti pada saat kehamilan,
melahirkan dan menyusui. Sedangkan laki-laki pada umumnya dapat selalu
eksis dengan kekuatan fisiknya melakukan kegiatan di luar secara positif,
ditambah lagi dengan luasnya wilayah pergaulan laki-laki dalam berbagai
lapangan kehidupan diluar rumah, dapat melakukan aktifitas umum di luar
rumah secara konstan dalam kondisi yang stabil yang menjadikannya lebih
mampu mendapatkan pengalaman yang lebih luas dan lebih mantap. Dengan
demikian maka laki-laki lebih pantas memegang kendali kepemimpinan rumah
tangga, agar urusan rumah tangga lebih stabil.11
Menurut Abu Syuqqah, kepemimpinan dalam keluarga itu bukannya
sistem otokrasi, akan tetapi lebih kepada musyawarah, karena musyawarah itu
merupakan anjuran syari’at Islam kepada setiap muslim. Dan kepemimpinan
ini merupakan syari’ah, yakni diatur dengan banyak kaidah syari’ah. Utamanya
yang berkaitan dengan seluruh hukum yang khusus tentang perkawinan, talak,
rujuk dan adab-adab pergaulan. Demikian pula seluruh nilai akhlak untuk
mengatur kehidupan dan mengarahkannya kepada kebaikan, akhirnya,
kepemimpinan dalam keluarga itu adalah kepemimpinan cinta kasih, yakni di
tegakkan atas dasar cinta dan kasih sayang.
11. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 149-150
59
Dengan pemikiran yang tajam dan bijaksana dalam menguraikan
pendapatnya, Abu Syuqqah berpendapat bahwa kepemimpinan dalam keluarga
tetap dibawah kendali seorang laki-laki, karena tidak akan berjalan baik
hubungan suatu organisasi tanpa adanya seorang pemimpin, maka dalam hal ini
istripun haru tetap menyadari posisinya sebagai orang yang dipimpin, akan
tetapi dalam melaksanakan kepemimpinannya, seorang suami juga tidak
diperkenankan berbuat sesuka hatinya sendiri, tetap harus ada perbincangan
baik dengan cara musyawarah dalam menentukan keputusan-keputusan penting
dalam urusan rumah tangga, dengan begitu hubungan suami istri akan
senantiasa berjalan harmonis dengan berlandaskan cinta dan kasih sayang.
b. Tanggung Jawab Kedua Untuk Suami: Memberi Nafkah Kepada Keluarga
Tanggung jawab suami untuk memberi nafkah kepada keluarganya pada
dasarnya karena dia memiliki kemampuan dan keluasan untuk bekerja dan
berusaha, sedangkan seorang istri telah direpotkan dengan mengandung,
melahirkan dan menyusui anak-anaknya serta harus juga mengurus urusan
rumah tangga. Hal ini lah yang biasanya menghalangi mereka untuk bekerja
dan berusaha.12
Allah SWT berfirman:
قوامون على النساء بما فضل هللا بعضھم على بعض وبما أنفقوا من أموالھمالرجال “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka..”
(QS. An-Nisa’: 34)
Jabir Bin Abdullah berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:
12. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 163
60
ولھن علیكم رزقھن وكسوتھن بالمعروف“...dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka dan memberi pakaian
secara makruf (patut)” (HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi nash-nash yang tidak hanya mengakui tanggung
jawab ini, bahkan menganjurkan kepada suami dengan segala cara untuk
memberi kelapangan kepada istri dan anak-anaknya. Dan nash juga
menetapkan bahwa yang demikian (kewajiban memberi nafkah) ini termasuk
amal shaleh yang berpahala, bahkan didahulukan pahalanya dari pada pahala-
pahala mempergunakan harta untuk semua jalan kebaikan, berapapun besarnya.13 Sebagaimana Hadits Nabi SAW,
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أنفق المسلم على أھلھ وھو یحتسبھا كانت لھ صدقةإذا“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keuarganya dengan
ikhlas, maka yang demikian itu merupakan sedekah baginya” (HR. Bukhari
dan Muslim)
c. Tanggung Jawab Pertama Istri: Memelihara Dan Mendidik Anak
Pada hakikatnya wanita mulai melaksanakan tugas atau tanggung jawab
untuk memelihara anak-anak sejak saat dia mengandung janin dalam
rahimnya.14 Sebagaimana Allah berfirman:
ووصینا اإلنسان بوالدیھ حملتھ أمھ وھنا على وھن وفصالھ فى عامین أن اشكر لى
إلي المصیرولوالدیك “dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
13. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 164
14. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 174
61
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanaya kepadaku lah
kembalimu”. (QS. Luqman : 14)
Rasulullah SAW juga menetapkan dalam haditsnya,
Dari Abdullah Bin Umar r.a, Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
والمرءة راعیة على أھل بیت زوجھا وولده وھي ....
...مسئولة عنھم
“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya, dan wanita adalah pemimpin terhadap
keluarga rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban tentang mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim)
d. Tugas Istri Yang Kedua: Mengatur Urusan Rumah Tangga
Allah SWT berfirman:
ما قال سلم قوم إذ دخلوا علیھ فقالوا سل.
فراغ إلى أھلھ فجاء بعجل سمین. منكرون “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim
(yaitu Malaikat-Malaikat) yang dimuliakan? (ingatlah) ketika mereka masuk ke
tempatnya lalu mengucapkan: salaamun. Ibrahim menjawab: salaamun,
(kamu) adalah orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam
menemui keluarganya (istrinya) kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.
(QS. Adz-Dzariyat : 24-26)
Menurut Abu Syuqqah ayat diatas mengisyaratkan bahwa istri Nabi
Ibrahim a.s lah yang mengurus persiapan daging anak sapi pangang yang
gemuk itu.
وامرأتھ قائمة فضحكت فبشرنھا بإسحاق ومن وراء إسحاق یعقوب“dan istrinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka kamin
sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak, dan dari Ishak
(akan lahir putranya) Ya’kub” (QS. Hud : 71)
62
Sedangkan ayat ini menurut tafsir Ath-Thabari dan tafsir Al-Qurthubi
bahwa istri Nabi Ibrahim a.s berdiri melayani tamunya.15
Jelas sudah dari uraian nash di atas bahwa seorang istri wajib mengurus
urusan rumah tangga, yaitu mengurus keperluan suami dan anak-anaknya.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa apabila pembagian
tanggung jawab antara suami istri ini merupakan urusan yang vital untuk
meneggakan kehidupan keluarga dan mengatur urusannya serta merealisasikan
misinya, maka tolong menolong diantara mereka merupakan sesuatu yang vital
juga untuk kesempurnaan penunaian tanggung jawab tersebut dari satu segi,
dan untuk memelihara rasa cinta kasih dari segi lain.16
Jika tanggung jawab kepemimpinan terhadap keluarga itu dibebankan
kepada seorang suami, maka tolong menolong antara suami istri dalam
menunaikan tanggung jawab kepemimpinan merupakan hal yang sangat
penting agar terealisasinya cita-cita kehidupan berumah tangga.
Dalam hal tolong menolong untuk menunaikan tanggung jawab
kepemimpinan dapat diwujudkan dengan beberapa cara, yakni dengan ketaatan
istri kepada suami, dalam arti keikut sertaan hati serta ridha dan senang tanpa
melampaui batasan-batasan yang makruf. Selain itu, musyawarah juga suatu
hal yang penting dalam menunaikan tanggung jawab ini, bertukar argumen dan
saling memberi masukan terhadap permasalah yang dihadapi dalam rumah
tangga. Dengan demikian, kebijaksanaan suami dan sikap suka membantunya
seorang istri akan menjadikan bahtera rumah tangga berjalan dengan lancar
tanpa ada perasaan diperlakukan secara sewenang-wenang, yang ada hanyalah
rasa kasih sayang, lemah lembut dan keadilan yang sangat membantu.
Begitupun halnya dalam masalah tanggung jawab memberi nafkah yang
dibebankan kepada suami, tidak serta merta seorang istri tidak diperbolehkan
15. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 187
16. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 147
63
mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga, bahkan sangat dianjurkan
untuk berbuat begitu (saling membantu mencari nafkah), walaupun pada
dasarnya tetaplah kewajiban tersebut melekat pada diri seorang suami selama
sang suami mampu untuk melakukan itu. Terlebih lagi jika sang istri adalah
orang yang mumpuni dalam hal ekonomi, baik kelebihan tersebut didapat dari
warisan atau hasil kerjanya sebelum menikah, sangatlah terpuji jika ia mau
membantu meringankan dan memakmurkan ekonomi keluarga dengan hartanya
itu, sehingga terwujudlah kesenangan, kelapangan hidup rumah tangga dan
bertambah rasa cinta dan kasih sayang antara keduanya. Karena seorang wanita
yang membantu suaminya dalam hal nafkah (tetap dengan izin suami) maka ia
mendapatkan dua keutamaan sekaligus, yaitu keutamaan menjalin kekerabatan
dan keutamaan berjuang di jalan Allah SWT.
Zainab istri Abdullah Ibnu Mas’ud r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW
bersabda17:
تصدقن یا معشر النساء ولو من حلیكن “Bersedekahlah kalian wahai segenap kaum wanita, walaupun dengan
perhiasan-mu”
Lalu Zainab kembali pada Abdullah seraya berkata kepadanya “engkau
adalah seorang laki-laki yang miskin, sedangkan Rasulullah memerintahkan
kami (kaum wanita) untuk bersedekah, maka pergilah engkau kepada beliau
dan tanyakan kalau hal itu boleh saya berikan kepadamu, dan jika tidak boleh
maka saya akan berikan pada selain kamu”. Maka Abdullah berkata kepadaku:
“engkau saja yang pergi kepada beliau”. Maka sayapun pergi, tiba-tiba ada
seorang wanita Anshar di depan pintu Rasulullah SAW yang keperluannya
sama dengan keperluanku. Kemudia Rasulullah SAW bersabda18:
17. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 169
18. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 170
64
دقةلھما أجران أجر القرابة و أجر الص“Mereka mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menjalin kekerabatan dan
pahala sedekah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sama halnya dengan tugas-tugas pokok seorang suami yang tetap perlu
adanya tolong menolong baik dalam hal kepemimpinan dan mencari nafkah
sebagaimana telah dijelaskan diatas. Tugas seorang istripun perlu adanya
bantuan seorang suami, yaitu dalam hal memelihara dan mendidik anak dan
tugas mengurus urusan rumah tangga.
Abdullah Amr bin al-‘Ash r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إن لولدك علیك حقا“Sesungguhnya anakmu mempunyai hak terhadap dirimu” (HR. Muslim)
“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, bahwa Rasulullah SAW
menunaikan shalat sambil menggendong Ummah putri Zainab binti Rasulullah
SAW dengan Abil Ash bin Rabi’ah bin Abdi Syams. Maka apabila beliau sujud
beliau letakkan dia, dan apabila beliau berdiri maka beliau gendong dia”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Anas berkata, Rasulullah SAW biasa bermain-main dengan Zainab putri
Ummu Salamah, seraya beliau berkata,
مرارا, یا زوینب , ا زوینب ی“Hai Zainab kecil, hai Zainab kecil, berulang-ulang”. (HR. Adh-Dhiya’
Al-Muqaddasi)
Hanzhalah, seorang sahabat yang mulia tertawa-tawa dan bermain-main
dengan anak-anaknya.
“Hanzhalah berkata, kami berada disisi Rasulullah SAW, lalu beliau
menasihati kami dan menyebut-nyebut neraka. Kemudian aku pulang ke
rumah, lalu aku tertawa-tawa dengan anak-anak”. (HR. Muslim)
Nash-nash diatas menyebut-nyebut tentang menggendong, memeluk,
bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak, dapat disimpulkan bahwa itu
65
semua hanyalah fenomena pemeliharaan yang penuh kasih sayang terhadap
anak-anak yang masih kecil. Sangat jelas pula bahwa pemeliharaan ini terus
berkembang dalam bentuk pendidikan, pengarahan dan pertolongan.19
Dalam hal pendidikan terhadap anak, Rasulullah SAW mencontohkan
sebagaimana dalam riwayat, bahwa Umar bin Abi Salamah berkata, “aku
adalah seorang anak yang berada dalam asuhan Rasulullah SAW, dan tanganku
mengacak di talam”, maka Rasulullah berkata kepadaku,
ا یلیكسم هللا وكل بیمینك, یا غالم وكل مم“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu
dan makanlah apa yang dekat darimu”.
Maka kata Umar, begitulah kebiasaanku makan sesudah itu.20 (HR.
Bukhari)
Adapun tolong menolong dalam menunaikan tugas mengurus urusan
rumah tangga, dalam hal ini Rasulullah pun mencontohkannya, sebagaimana
disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa Al-Aswad bertanya kepada Aisyah,
“apakah yang dikerjakan Rasulullah di rumah?” Dia menjawab, “beliau biasa
didalam tugas sehari-hari keluarganya (melayani keluarganya) maka apabila
telah tiba waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan waktu shalat”. (HR.
Bukhari)
Dan diriwayat Ahmad, ahwa Aisyah ditanya, “apakah yang dikerjakan
Rasulullah di rumah?”. Dia menjawab:
یفلي ثوبھ ویحلب شاتھ ویخدم نفسھ, كان بشرا من البشر “Beliau adalah seorang manusia biasa, membersihkan pakaiannya,
memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya”.
Dan diriwayat lain,
19. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 186
20. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 186
66
“Beliau biasa menjahit pakaiannya, menjahit sandalnya, dan mengerjakan
apa yang biasa dikerjakan kaum laki-laki di rumah”.21
Imam Bukhari telah meringkas dengan baik tiga bab yang mengatur
tanggung jawab mengurus rumah tangga yakni bab ‘amalil mar’ah fii baiti
zaujiha, bab khaadimil mar’ah, dan bab khidmati rajul fii ahlihi. Maka
tanggung jawab wanita untuk mengurus rumah tangga diatur pula dalam hadits
syarif, “Wanita adalah pemimpin atau pemelihara di dalam rumah tangga
suaminya”. Bukan berarti semua tugas rumah tangga harus dikerjakan seorang
diri olehnya, mulai dari menyiapkan makanan, mencuci pakaian, menyetrika,
hingga membersihkan, mengatur dan memperindah rumah. Tetapi semua ini
hanyalah tanggung jawabnya dan kewajibannya saja menurut syara’. Adapun
pelaksanaannya tergantung dari berbagai faktor, seperti finansial, kesempatan
dan sebagainya, adakalanya tugas-tugas tersebut dapat dibantu oleh anaknya,
tetangganya, pembantunya atau bahkan suaminya sendiri. Dengan catatan tidak
mengabaikan tugas-tugas lain seperti merawat dan mendidik anak. Yang
terpenting adalah tidak adanya penetapan dan penekanan yang pasti dari syara’
yang membebankan semua pekerjaan itu kepada wanita, melainkan kondisi
keluargalah yang akan menentukan jalan yang tepat dan sesuai, disertain
pengertian bahwa sikap saling tolong menolong dalam keluarga merupakan
faktor asasi dan vital dalam semua situasi dan kondisi, yang menjamin
terealisasinya tugas-tugas rumah tangga dengan mudah dan gampang.22
3. Hak-Hak Parsial Bagi Suami Istri
Sesungguhnya hak ri’ayah (pemeliharaan) meliputi semua hak juz’iyyah
(parsial), jika hak-hak ini direnungkan niscaya akan didapati bahwa hak-hak ini
merupakan sarana aplikasi pemeliharaan kasih sayang. Abu Syuqqah
21. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 194
22. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 195-196
67
mengungkapkan bahwa tujuan dari pemaparan pembagian perincian ini adalah
agar hak-hak ini mendapatkan porsi penjelasan yang lebih besar, sehingga
setelah penjelasan ini diharapkan bagi kaum mukminin dan mukminat dapat
mengintropeksi diri dengan merenungkan firman-firman Allah SWT dan
sunnah Rasulullah SAW.23
Adapun hak-hak parsial yang terpenting adalah:
a. Hak kelemah lembutan.
b. Hak kasih sayang.
c. Hak reproduksi.
d. Hak kepercayaan dan berbaik sangka.
e. Hak keterlibatan dalam berbagai kepentingan.
f. Hak untuk berhias.
g. Hak untuk bergaul dan berhubungan biologis.
h. Hak mendapatkan hiburan.
i. Hak cemburu.
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang hak-hak juz’iyyah antara suami
istri, dalam hal ini Abu Syuqqah memaparkan perasaan yang mulia, yakni
perasaan al-hubb (cinta), yang ditanamkan Allah SWT kedalam hati orang
yang dikehendaki dari hamba-hambanya. Dengan harapan, perasaan ini yang
mendominasi suami istri untuk dapat membantu penunaian hak dan kewajiban
itu dalam bentuk yang paling sempurna.
Cinta yang dimaksud bukannya perasaan selintas yang cepat reda, tetapi
cinta itu adalah perasaan yang tertanam dalam dan mengakar selama hidup
yang merupakan karunia dan nikmat dari allah SWT.24
Sebagaimana Rosulullah SAW berkata mengenai Khodijah,
23. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 201
24. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 202
68
زقت حبھا إني ر“Aku telah mendapatkan cintanya”. (HR.Muslim)
a. Hak Pertama Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Kelemah Lembutan
Syariat menganjurkan suami berlemah lembut kepada istrinya,
sebagaimana Allah berfirman,
“... dan bergaullah dengan mereka secara patut ...”. (QS. An-nisa : 19)
Artinya wajib atas laki-laki mukmin untuk mempergauli istrinya dengan
baik, seperti menemani dan memperlakukannya secara makruf sebagaiamana
yang disukai hati mereka, dan tidak melanggar syara, tradisi, dan kesopanan.
Maka mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau
perbuatan yang tercela, banyak cemberut dan bermuka masam semua itu
menafikan pergaulan secara makruf.25
b. Hak Kedua Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Kasih Sayang
Pada dasarnya rumah tangga itu ditegakkan atas dasar mawaddah yakni
cinta. Dan cinta ini akan menimbulkan saling mementingkan yang dicintai, dan
karena sikap ini masing-masing suami istri akan memberikan hak yang satu
melebihi kewajibannya dan tidak suka menuntut haknya sendiri diantara contoh
kasih sayang yang penuh dengan rasa cinta ialah sikap para Ummul Mukminin
yang memilih menjadi teman hidup Rosulullah SAW meskipun dalam
kehidupan yang sempit. Dan diantara contoh kerelaan berkorban yang penuh
dengan rasa cinta ialah pengorbanan istri Nabi Ayyub a.s pada wakrtu beliau
sedang menderita sakit yang sangat parah.26
25. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 215
26. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 229
69
c. Hak Ketiga Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Reproduksi
Hak reproduksi dan keinginan untuk mempunyai anak itu merupakan
sesuatu yang fitri bagi laki-laki dan wanita, namun pada waktu tertentu,
terkadang seorang tidak berusaha untuk mendapatkannya. Oleh karena itu,
sudah seyogyanya bagi salah satu pihak yang tidak mengiginkannya baik suami
maupun istri agar sekiranya memelihara dan menjaga keinginan yang satu
dengan yang lain.
Masing-masing suami istri harus menjaga hak pasangannya dalam hal
mendapatkan anak, maka masing-masing juga harus menjaga hak pasangannya
untuk mengatur reproduksi ( kelahiran ), atu merencanakan keturuan ( keluarga
berencana ). Mengatur keturunan itu merupakan perbutan yang baik selama
untuk mewujudkan kemaslahatan pokok bagi suami istri atau salah satunya.
Seperti halnya kepentingan istri yang mengiginkan ada jarak waktu yang cukup
antara dua kehamilan, agar ia mempunyai kesempatan untuk menyusui dan
memeliharanya, disamping itu ia juga perlu beristirahat setelah menanggung
beban mengandung dan melahirkan.27
d. Hak Keempat Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Kepercayaan Dan
Berbaik Sangka
Syariat menganjurkan untuk saling mempercayai dan menjauhi buruk
sangka, sebagaimana yang dikatakan Jabir Bin Atik, bahwa Nabi SAW
bersabda28:
هللا ومنھا ما یبغض هللا من ا اللتي یحبھا هللا فالغیرة فى الریبة , الغیرة ما یحب , فأم
وأما اللتي یبغضھا هللا فالغیرة فى غیر الریبة
27. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 238
28. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 241-242
70
“ Cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibencinya. Cemburu
yang disukai Allah adalah cemburu didalam keraguan dan cemburu yang
dibenci Allah ialah cemburu yang tidak dalam keraguan”. (HR. Abu Daud)
Rasa percaya pada suami istri itu akan menambah kejujuran dan tentang
memelihara kesetiaan antara keduanya.
e. Hak Kelima Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Keterlibatan Dalam
Berbagai kepentingan
Rasulullah SAW melibatkan istrinya dalam urusan penting sebagaimana
Aisyah r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata kepadanya, “ apakah
engkau tidak melihat kaummu ketika membangun Ka’bah, mereka
menguranginya dari pilar-pilar bangunan Ibrahim ?”. saya menjawab, “ wahai
Rasulullah, apakah tidak engku kembalikan menurut pilar-pilar bangunan
Ibrahim?”. Beliau menjawab, “ kalau bukan karena kaummu baru saja keluar
dari kekafiran, nisacaya aku lakukan hal itu”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata “dalam hadits tentang pembangunan Kabah
ini terdapat bebrapa faidah, diantaranya adalah tentang pembicaraan suami
dengan istri dalam urusan-urusan umum.29
f. Hak Keenam Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Untuk Berhias
Berhias merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia, dan banyak nash-nash
yang menjelaskan tentang itu. Allah menjadikan laki-laki senang jika wanita
berhias untuknya dan sebaliknya, dan ini merupakan kecocokan fitri untuk
mewujudkan kebahagiaan bagi suami istri. Oleh karena itu, masing-masing
suami istri harus menjaga hak ini, namun jika salah satunya enggan untuk
berhias, terlebih jika yanag enggan itu adalah wanita, maka biasanya hal ini
menjadi indikasi terjadinya kerenggangan dalam hubungan keluarga. Dalam
29. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 247
71
keadaan ini sebaiknya kerenggangan tersebut harus segera diobati, sehingga
rumah tangga itu tidak kehilangan keseimbangan.30
Wanita mukminat yang bijaksana akan suka mendekatkan diri kepada
Allah dengan berhias untuk suaminya, bahkan ada yang sampai belajar tata
caranya, agar itu semua dapat dilakukan dengan baik tanpa menghambur-
hamburkan uang dan membuang-buang waktu.31 Dengaan tujuan agar
suaminya semakin mencintainya dan menjadikan rumah tangganya harmonis
dan bahagia. Sebagaimana anjuran Rasul dalam sebuah hadits,
Dari Abdullah Bin Salam berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:
ك إذا أبصرت خیر النساء من تسر“Sebaik-baiknya wanita (istri) adalah yang menyenangkan mu jika engkau
memandangnya”. (HR. Ath-Thabrani)
Berhias tidak hanya dianjurkan untuk kaum wanita saja, laki-lakipun
dianjurkana untuk berhias, sebagaimana diterangkan dalam Hadits Nabi SAW,
Dari Abdullah Bin Mas’ud, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi,
“Sesungguhnya seseorang menyukai pakaian yang bagus dan sendal yang
bagus”. Beliau berkata:
الجمال هللا جمیل یحب إن“Sesungguhnya Allah itu maha indah yang menyukai keindahan”. (HR.
Muslim)
g. Hak Ketujuh Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Untuk Bergaul Dan
Berhubungan Biologis
Allah SWT berfirman:
وقدموا ألنفسكم واتقوا هللا واعلموا أنكم , نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
ملقوه وبشر المؤمنین
30. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 248
31. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 249
72
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuinya. Danberilah kabar
gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 223)
Jabir r.a berkata, “dahulu orang yahudi mengatakan, apabila seseorang
mencampuri istrinya dari belakang (tetapi tetap pada vaginanya) maka anaknya
nanti akan juling matanya”. Kemudian turunlah Ayat QS. Al-Baqarah: 223.
(HR. Bukharidan Muslim)
Ibnu Abbas r.a berkata, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, salah
seorang dari mereka menikahi wanita Anshar, lalu dilakukanlah kepada istrinya
hal yang demikian (tidak menyetubuhi dalam posisi miring, dan
mencampurinya dalam posisi depan, belakang dan telentang), lalu istrinya
mengingkarinya seraya berkata, “kami (wanita Anshar) biasa dicampuri dengan
posisi miring, karena itu lakukanlah yang demikian itu, jika tidak mau maka
jauhilah aku!”. Begitulah sehingga informasi tentang mereka menjadi populer
dan sampai kepada Rasul, kemudian turunlah ayat QS. Al-Baqarah : 223. (HR.
Abu Daud)32
Kedua Hadits ini menunjukkan kebebasan bersenang-senang antara suami
istri, dan tidak ada larangan untuk melakukan bentuk apapun yang dianggap
baik oleh kedua belah pihak sampai ada larangan syari’at untuk hal ini, yaitu
larangan bersetubuh lewat dubur dan ketika dalam keadaan haid. Hal itu
dikarenakan bahwa setiap sesuatu itu mubah sampai ada dalil yang
mengharanmkannya.33
32. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 271
3333. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 272
73
h. Hak Kedelapan Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Mendapatkan
Hiburan
Aisyah r.a berkata, “aku bermain-main dengan boneka disisi Nabi SAW
(yaitu pada hari-hari pertama pernikahan) dengan beberapa teman wanita.
Maka apabila Rasul masuk rumah, mereka bersembunyi karena malu dan takut.
Lalu beliau membebaskan mereka bermain denganku”. (HR. Bukhari dan
Muslim)34
Hadits ini menunjukan bahwa seorang istri berhak untuk mendapatkan
hiburan untuk menyenangkan hatinya, dan tidak selalu mengurusi rumah
tangga sepanjang hari.
i. Hak Kesembilan Bagi Masing-masing Suami Istri: Hak Cemburu
‘Iyadh berkata, “al-ghairah (cemburu) adalah variasi bentuk kata dari
taghaayurul-qalbi wa hayajaanul-ghadhab (berubahnya hati dan bergejolaknya
marah) disebabkan keikut sertaan orang lain dalam sesuatu yang khusus. Dan
kecemburuan yang paling kuat adalah kecemburuan antara suami dan istri. Dan
ada yang mengatakan bahwa kecemburuan itu pada asalnya adalah gengsi dan
harga diri, dan ia merupakan penafsiran yang merujuk pada kemarahan.35
B. Relevansi Pemikiran Abu Syuqqah Tentang Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Terhadap Aturan KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam
yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal terdiri atas tiga kelompok
materi hukum, yaitu hukum perkawinan (170 pasal), hukum kewarisan
termasuk wasiat dan hibah (44 pasal), dan hukum perwakafan (14 pasal),
ditambah dengan 1 pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga
34. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 279
35. Abdul Halim Abu Syuqqah, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin) Kebebasan Wanita,(Jakarta: Gema Insani, 1998), jilid 5, h. 284
74
kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan
melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik yang terjadi dinegeri ini
dari masa-kemasa.36
H. Abdurrahman, SH. mengatakan bahwa kompilasi hukum Islam di
Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama
fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada pengadilan agama untuk
diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan.37
Adapun pembahasan tentang hak dan kewajiban suami istri, termaktub
secara rinci dalam pasal 77 sampai dengan pasal 84 Kompilasi Hukum Islam.
Adapun relevansinya terhadap pendapat Abu Syuqqah dalam kitab Tahriir Al-
Mar’ah akan dijelaskan sebagai berikut:
Abu Syuqqah berpendapat bahwa kedudukan wanita didalam keluarga
adalah seimbang dengan kedudukan suami di mata hukum meskipun laki-laki
memiliki satu tingkatan kelebihan yaitu bahwa laki-laki dalah pemimpin bagi
wanita. Hal ini merujuk pada QS. Al-Baqarah : 228. Begitupun dalam aturan
KHI yang tertuang dalam pasal 79 menyatakan bahwa:
Pasal 79
1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2) Hak dan keudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Abu Syuqqah menyatakan bahwa sekiranya suami dan istri harus
membentuk rumah tangga yang sakinah (ketentraman),dengan berlandaskan
36. Coretan Ruang Imajinasi, Polemik Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, lihathttp://tintapenaamhy.blogspot.com diakses pada Jum’at -05-07-2019 jam 09.45
37. Robby Aneuknangroe, Kompilasi Hukum Islam, lihathttp://www.google.com/amp/s/masalahukum.wordpres.com diakses pada Jum’at-05-07-2019 jam09.55
75
mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), serta sikap saling tolong
menolong antara keduanya untuk melaksanakan tanggung jawab-tanggung
jawab dalam keluarga, baik dari segi kepemimpinan, nafkah, maupun
mengurus dan mendidik anak. Hal ini selaras dengan apa yang termaktub
Dalam pasal 77 dan 80 KHI menyatakan bahwa:
Pasal 77
1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk meneggakan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyarakat.
2) Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasanya
dan pendidikan agamanya.
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-maisng dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.
Pasal 80
1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan frumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami sitri bersama.
2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
76
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
c. Biaya bagi pendidikan bagi anak.
5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) hurus a dan
b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Dengan demikian maka pemikiran Abu Syuqqah dalam hal hak dan
kewajiban suami istri sudah sangat selaras dan banyak kecocokan dengan
aturan dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya saja dalam urusan tempat tinggal
Abu Syuqqah tidak membahasnya secara rinci, sedangkan dalam pasal-pasal di
atas sangat rinci penjelasan tentang kewajiban suami untuk memberi nafkah
lahir dan batin, yang termasuk didalamnya tempat tinggal untuk istri dan anak-
anaknya.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan-pembahasan di atas, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Abu Syuqqah membagi hak dan kewajiban suami istri kepada dua
katagori, yakni hak-hak yang umum yaitu hak ri’ayah, dimana hak
ri’ayah ini mewajibkan masing-masing suami istri mengemban dua
tanggung jawab, Laki-laki memimpin tanggung jawab kepemimpinan
dan memeberi nafkah. Sedangkan wanita memikul tanggung jawab
memelihara dan mendidik anak, dan tanggung jawab mengatur urusan
rumah tangga.
Yang kedua adalah hak-hak parsial, dalam hal ini Abu Syuqqah
merincikan kepada beberapa hak yang penting, yaitu:
a. Hak kelemah lembutan.
b. Hak kasih sayang.
c. Hak reproduksi.
d. Hak kepercayaan dan berbaik sangka.
e. Hak keterlibatan dalam berbagai kepentingan.
f. Hak untuk berhias.
g. Hak untuk bergaul dan berhubungan biologis.
h. Hak mendapatkan hiburan.
i. Hak cemburu.
2. Abu Syuqqah berpendapat bahwa kedudukan wanita adalah seimbang
dengan kedudukan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga, dengan
merujuk pada QS. Al-Baqarah: 228, beliau menyatakan bahwa setiap
hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki dan kewajiban wanita
78
diimbangi dengan kewajiban laki-laki, maka dalam hal ini hak antara
mereka itu berimbang, saling mengganti dan melengkapi. Adapun laki-
laki memiliki satu tingkat kelebihan dari pada perempuan, dan
kelebihan itu adalah hak kepemimpinan dan kelebihan untuk tidak
menuntut haknya tetapi tetap memenuhi semua kewajibannya.
3. Pemikiran beliau dalam masalah hak dan kewajiban suami istri masih
relevan ketika disandingkan dengan perundang-undangan di Indonesia
yang dalam hal ini adalah KHI. Hal ini dapat dilihat dari pendapatnya
yang menyatakan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sama di mata
hukum, walaupun kepemimpinan keluarga tetap terletak pada suami,
begitupun halnya yang diatur dalam KHI dalam pasal 79. Selanjutnya
Abu Syuqqaah berpendapat bahwa suami istri wajib menciptakan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, serta saling tolong
menolong dalam mengatur urusan rumah tangga, mulai dari nafkah
maupun pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. Hal ini juga
termaktub dalam KHI pasal 77 dan 80.
B. Saran
Setelah melihat dan mempelajari pembahasan-pembahasan di atas,
penulis memberikan saran kepada masyarakat, Ulama intelektual dan
cendikiawan Islam, serta peneliti yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
terkait pemikiran Abdul Halim Abu Syuqqah. Saran penulis antara lain:
1. Kepada masyarakat khususnya yang beragama Islam, agar sekiranya
belajar untuk memahami lebih dalam terkait batasan hak dan kewajiban
suami istri dalam rumah tangga, agar tercapainya cita-cita perkawinan
yang berlandaskan cinta dan kasih sayang.
2. Perkembangan pemikiran dalam Islam merupakan fenomena yang
wajar. Oleh sebab itu, Ulama intelektual dan cendekiawan Islam perlu
untuk membuka cakrawala pemikiran terhadap ide dan gagasan baru
79
dalam upaya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga
didapati kesinambungan antara Islam dan realitas kehidupan.
3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti pemikiran Abu
Syuqqah, penulis menyarankan untuk melakukan penelitian dengan
pendekatan yang lain, sehingga hasil yang didapat dari pemikiran beliau
semakin beragam dan memperluas khazanah ilmu pengetahuan.
80
DAFTAR PUSTAKA
‘Uwaidh, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998.
Abidin, Slamet, Fikih Munakahat Bandung: PT. Pustaka Setia, 1999.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Ar.wikipedia.org, Abdul Halim Abu Syuqqah, lihat di situs,
http://ar.wikipedia.org/wiki/, .عبد الحلیم ابو شقة
Asmawi, Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan,
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika Ofseet, 2010.
Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, as-Sunnah, dan
pendapat Para ‘Ulama, Bandung: Karisma, 2008.
Coretan Ruang Imajinasi, Polemik Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, lihat
http://tintapenaamhy.blogspot.com.
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat Jakarta: Kencana, 2003.
Kharlie, Ahmad Thalabi dan Asep Syarifudin Hidayat, Hukum Keluarga Di
Dunia Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2011.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: Di Dunia Islam Moderen, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011.
Mu’adzir, Muhammad bin Abdullah bin, “Hak dan Kewajiban dalam Kehidupan
Berumah Tangga” dalam
https://dl.Islamhouse.com/data/id/ih_articles/single2/id_Hak_Dan_Kewa
jiban_Dalam_Kehidupan_Berumah_Tangga.pdf.
81
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta : ACCADEMIA
TAZZAFA, 2005
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan Di
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2004.
Robby Aneuknangroe, Kompilasi Hukum Islam, lihat
http://www.google.com/amp/s/masalahukum.wordpres.com.
Rohman, Abdur I.Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
1992. cet 1
Sati, Pakih, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqih Munakahat Terkini,
Yogjakarta: Bening, 2011.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah vol. 11, Tangerang: Lentera Hati, 2007.
cet, VII.
Shomad, Abd, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1999.
Sofyan, Yayan, Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Solihin, Amir Mukmin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an, Kajian
Tafsir Tematik”, Skripsi, Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Putra
Grafika, 2004.
82
Syuqqah, Abdul Halim Abu, (Diterjemahkan Oleh Drs. As’ad Yasin)
Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insani, 1998. jilid 5
Syuqqah, Abdul Halim Abu, Tahriir al-Mar’ah Fii ‘Ashri al-Risaalah, Kuwait:
Daralkalam, 2018. Jilid 5
Taufiq, Imam, Tafsir Ayat Jilbab Kajian Terhadap Q.S al-Ahzab : 59, dalam
Jurnal at-Taqaddum, Vol, 5 No. 2, 2013.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Pres, 2009.
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap, Jakarta: Kencana,
2010.