45
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI III DPR RI KE PROVINSI BALI PADA PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG 2012 2013 I. Pendahuluan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana yang diamanat kan oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan juga Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan Fungsi Legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Komisi III DPR RI sebagai salah satu alat kelengkapan dewan yang memiliki ruang lingkup kerja di bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan telah diberikan tugas oleh Badan Musyawarah (BAMUS) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. PW/ 01104/ DPR RI/ I/ 2013 tertanggal 31 Januari 2013 untuk melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang- Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagaimana dimaksud dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. R- 88/Pres/12/2012 dan surat No. R-87/Pres/12/2012, tertanggal 11 Desember 2012, yang pada intinya telah menyerahkan Draft RUU KUHP dan KUHAP kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan bersama. Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ini pun akan disejajarkan dengan pembahasan rancangan Draft RUU Kejaksaan Agung dan Draft RUU Mahkamah Agung yang saat ini sedang dibahas di Komisi III DPR RI, sehingga akan tercipta penegakan hukum yang terintegrasi ( integrated criminal justice system). Adapun terkait dengan proses perumusan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tersebut, merupakan pernyataan sikap Komisi III DPR RI dalam melakukan upaya-upaya perbaikan serta dukungan dari sisi legislasi mengenai penegakan hukum, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dan dalam rangka penerapan prinsip integrated justice system di Indonesia. Urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, adalah sebagai berikut: 1. Bahwa KUHP yang selama ini berlaku di Indonesia, adalah produk kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi sejak 1 Januari 1918. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, KUHP dinyatakan berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (sudah diubah dan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI III DPR RI KE PROVINSI BALI PADA PERSIDANGAN IV

TAHUN SIDANG 2012 – 2013

I. Pendahuluan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana yang diamanat

kan oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan juga Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan Fungsi Legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang.

Komisi III DPR RI sebagai salah satu alat kelengkapan dewan yang memiliki ruang lingkup kerja di bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan telah diberikan tugas oleh Badan Musyawarah (BAMUS) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. PW/ 01104/ DPR RI/ I/ 2013 tertanggal 31 Januari 2013 untuk melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagaimana dimaksud dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. R-88/Pres/12/2012 dan surat No. R-87/Pres/12/2012, tertanggal 11 Desember 2012, yang pada intinya telah menyerahkan Draft RUU KUHP dan KUHAP kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan bersama. Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ini pun akan disejajarkan dengan pembahasan rancangan Draft RUU Kejaksaan Agung dan Draft RUU Mahkamah Agung yang saat ini sedang dibahas di Komisi III DPR RI, sehingga akan tercipta penegakan hukum yang terintegrasi (integrated criminal justice system).

Adapun terkait dengan proses perumusan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang tersebut, merupakan pernyataan sikap Komisi III DPR RI dalam melakukan upaya-upaya perbaikan serta dukungan dari sisi legislasi mengenai penegakan hukum, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dan dalam rangka penerapan prinsip integrated justice system di Indonesia.

Urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, adalah sebagai berikut:

1. Bahwa KUHP yang selama ini berlaku di Indonesia, adalah produk kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi sejak 1 Januari 1918. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, KUHP dinyatakan berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (sudah diubah dan

Page 2: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

2

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia), dan selanjutnya KUHP dinyatakan berlaku umum (unifikasi hukum pidana) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 (29 September 1958). Namun demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut, bahwa KUHP dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II di mana untuk daerah-daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915 : 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Harus diakui pula, telah banyak usaha-usaha untuk menyesuaikan KUHP warisan kolonial Belanda ini dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional, antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960, dengan menaikan ancaman hukuman dalam Pasal-pasal 359, 360 dan 188 KUHP; 2) Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960, yang merubah kata-kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi “duaratus lima puluh rupiah”; 3) Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960, memberikan perubahan jumlah hukuman denda; 4) Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964, tentang tata cara pelaksanaan pidana mati; 5) Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, perihal pencegahan, penyalahgunaan/atau penodaan agama, yang antara lain telah menambahkan ke dalam KUHP Pasal 156a; 6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, dengan merubah ancaman pidana dalam Pasal-pasal 303 ayat (1), 542 ayat (1) dan 542 ayat (2) KUHP dan merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis; 7) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976, dengan merubah dan menambah beberapa pasal yang berkaitan dengan perluasan berlakunya KUHP dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan; 8) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara; 8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berkaitan dengan perkara korupsi. Pelbagai pembaharuan dan/atau perubahan yang terjadi tersebut pada dasarnya bersifat ad hoc dan bernuansa evolusioner serta tidak dapat memenuhi tuntutan 4 (empat) misi perubahan mendasar yang telah diuraikan

Page 3: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

3

di atas (dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi dan harmonisasi), sehingga penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru harus dilakukan.

2. Bahwa Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya-upaya yang

bersifat harmonisasi dengan ketentuan yang berlaku secara Internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia. Beberapa ketentuan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum, kemudian dilakukan ratifikasi, antara lain: 1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia;

2) International Covenant on Civil and Political Rights yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) ; dan

3) United Nations Convention Against Corruption yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Dengan adanya pembahasan terhadap rancangan RUU KUHP dan RUU KUHAP ini, perlu kiranya disesuaikan kembali substansi beberapa konvensi tersebut ke dalam rancangan KUHP maupun KUHAP, sehingga meminimalisir benturan pengaturan antara konvensi internasional dengan ketentuan yang diberlakukan di Indonesia.

Selain daripada itu, jangka waktu penahanan perlu juga disesuaikan dengan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 9 Konvensi tersebut mengatur bahwa “seseorang yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tindakan pidana (criminal charge) wajib segera harus segera (Promptly) dibawa secara fisik ke depan hakim untuk disidangkan atau dibebaskan”. Dengan menyadari sepenuhnya karakteristik kondisi geografis yang ada di Indonesia disepakati bahwa pengertian “jangka waktu yang wajar” adalah paling lama 5 (lima) hari dengan ketentuan bahwa waktu tempuh perjalanan membawa tersangka dari tempat ditemukannya atau ditangkapnya tersangka ke tempat penahanan tidak dihitung. Selanjutnya, tersangka harus dibawa secara fisik kepada hakim dalam hal ini hakim khusus yaitu hakim pemeriksa pendahuluan yang menandatangi surat perintah penahanan selama 25 (dua puluh lima) hari yang formulir surat perintah penahanan dipegang dan diisi oleh penuntut umum.

Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi “demokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan

Page 4: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

4

permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pelbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional

Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka dipandang perlu untuk segera dirumuskan Rancangan Undang-Undang tentang KUHP dan Rancangan Undang-Undang tentang KUHAP. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan kedua Rancangan Undang-Undang ini diantaranya adalah:

1. menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan dalam proses pemidanaan terhadap terpidana;

2. proses pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia;

3. meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan konflik hukum didalam masyarakat dengan tetap menegakan norma-norma hukum;

4. sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia; dan

5. memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. Mencermati latar belakang, sasaran, dan materi perubahan atau pengaturan

yang sangat luas dan signifikan, maka perlu pengkajian yang seksama oleh DPR-RI sehingga pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan baik dan cermat. Masukkan dari berbagai kalangan khususnya kalangan penegak hukum dan akademisi perlu dilakukan untuk mengetahui pola/mekanisme hukum acara/formiil para (penegakan hukum) yang sesuai dengan ketentuan standar internasional (best practices) yang diterapkan di negara lain dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sehingga dapat selalu selaras dengan ketentuan standar internasional yang berlaku serta dapat menunjang peningkatan efektifitas penegakan hukum dan undang-undang yang akan datang. Oleh karena itu, Komisi IIII DPR RI perlu untuk melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk mendapatkan masukan. Komisi III DPR RI kemudian mengambil Provinsi Bali dalam rangka untuk mendapatkan masukan, data pembanding, dan pendalaman terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana khususnya terkait dengan pengaturan mengenai mekanisme dan tata kerja penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum setelah sebelumnya melakukan kunjungan ke daerah-daerah lainnya.

Page 5: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

5

II. Ruang Lingkup

Sasaran Kunjungan Kerja meliputi bidang-bidang yang termasuk dalam

ruang lingkup tugas Komisi III DPR RI, yaitu Bidang Hukum, Perundang-Undangan, Hak Asasi Manusia dan Keamanan.

III. Susunan Tim

No Nama Keterangan

1. Gede Pasek Suardika, S.H., M.H. Ketua Tim / Pimpinan Komisi III / F-PD

2. Dr. H. Aziz Syamsuddin Wakil Ketua Komisi III / F-PG

3. Edy Ramli Sitanggang Anggota Tim / F-PD

4. Drs. Edi Sadely, S.H. Anggota Tim / F-PD

5. Hj. Himatull Alyah Setiawaty, S.H Anggota Tim / F-PD

6. Ruhut Sitompul, S.H. Anggota Tim / F-PD

7. H. Daday Hudaya, S.H., M.H. Anggota Tim / F-PD

8. Saan Mustopa Anggota Tim / F-PD

9. H. Bambang Soesatyo, S.E., M.BA Anggota Tim / F-PG

10. H. Nudirman Munir, S.H. Anggota Tim / F-PG

11. Dodi Reza Alex Nurdin Anggota Tim / F-PG

12. Drs. H. M. Ade Surapriyatna Anggota Tim / F-PG

13. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn Anggota Tim / F-PG

14. Dra. Eva Kusuma Sundari, MA., MDE Anggota Tim / F-PDI Perjuangan

15. Sayeed Muhamad Muliady, S.H. Anggota Tim / F-PDI Perjuangan

16. Sugianto Sabran Anggota Tim / F-PDI Perjuangan

17. Drs. H. Imam Suroso, MM Anggota Tim / F-PDI Perjuangan

18. H. Aboe Bakar Al-Habsy, SE Anggota Tim / F-PKS

19. Drs. H. Adang Daradjatun Anggota Tim / F-PKS

20. Taslim, S,Si. ANggota Tim / F-PAN

21. Yadhil Harahap Anggota Tim / F-PAN

22. Ahmad Yani, S.H., M.H. Anggota Tim / F-PPP

23. Drs. H. Achmad Koerdi Moekri Anggota Tim / F-PPP

24. H. Bachruddin Nasori, S.Si., MM Anggota Tim / F-PKB

25. H. Sarifuddin Sudding, S.H., M.H. Anggota Tim / F-Hanura

IV. Pelaksanaan Kunjungan Kerja

Kunjungan Kerja dilaksanakan selama 3 (tiga) hari, sejak tanggal 19 Juni 2013 – tanggal 21 Juni 2013.

Tim Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI dalam Kunjungannya ke Provinsi Bali melakukan berbagai kegiatan, yaitu: melakukan pertemuan dengan Civitas Akademika Universitas Udayana, Universitas Warmadewa, Universitas Mahasaraswati, Universitas Dwijendra dan Undiknas yang dilaksanakan di Gedung Pertemuan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali, selanjutnya Tim melakukan pertemuan dengan aparatur penegak hukum Provinsi Bali yaitu Kepala Kepolisian

Page 6: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

6

Daerah Bali beserta jajarannya, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali beserta jajarannya, Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar beserta seluruh jajarannya dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali yang diadakan di Markas Kepolisian Daerah Bali, Denpasar.

V. Tujuan Kunjungan Kerja

Kunjungan Kerja Spesifik ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan

pertemuan dengan instansi-instansi terkait di daerah seperti Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi beserta seluruh jajarannya dan Akademisi yang expert di bidang hukum pidana maupun hukum acara pidana untuk memperoleh masukan dan informasi dalam rangka penyempurnaan penyusunan rancangan undang-undang kitab undang-undang hukum pidana dan hukum acara pidana.

VI. Hasil Kunjungan Kerja Spesifik :

Pada hari Kamis 20 Juni 2013, pukul 09.00-13.00 WIB Tim Kunjungan Kerja

Komisi IIII DPR RI mengadakan pertemuan dengan Civitas Akademika Universitas Udayana yang diwakili oleh Prof. Dr. I K. Rai Setiabudhi, S.H., M.S., (selaku Guru Besar), Universitas Warmadewa, Universitas Mahasaraswati, Universitas Dwijendra yang diwakili oleh Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum selaku (Rektor) dan Undiknas yang diwakili oleh I Nyoman Budiana yang bertempat di Gedung Pertemuan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali. Selanjutnya pada pukul 14.00-17.00 WIB Tim melakukan pertemuan dengan aparatur penegak hukum Provinsi Bali yaitu Kepala Kepolisian Daerah Bali, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar beserta seluruh jajarannya dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali yang dilaksanakan di Markas Kepolisian Daerah Provinsi Bali, Denpasar. Dalam kunjungan ini Tim Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI memperoleh banyak masukan yang sangat berarti baik dari akademisi maupun aparatur penegak hukum di Provinsi Bali sebagai masukan terhadap Rancangan Undang-Undang KUHP dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tengah dibahas bersama antara Komisi III DPR RI dengan Pemerintah. Berbagai saran dan masukan tersebut akan diuraikan dibawah ini sebagai berikut :

AKADEMISI Universitas Warmadewa

1. Asas Legalitsas dalam rancangan KUHAP seharusnya menjadi padanan dari asas legalitas dalam Hukum Pidana Materiil (KUHP) berdasarkan argumentasi: a. Sebagai satu kesatuan sistem Hukum Pidana Nasional logika hukumnya

haruslah sistematis coheren berkorespondensi antara hukum nasional dengan hukum formil untuk mencegah terjadinya conflic of norm (konflik norma) yang dapat mengundang pandangan hukum yang bersifat multitafsir.

Page 7: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

7

b. Agar sesuai dengan prinsip-prinsip tiga nilai dasar hukum sebagaimana yang dinyatakan Gustav Radbruch yang meliputi kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu penerapan asas legalitas dalam rancangan KUHAP haruslah menjamin terwujudnya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Asas legalitas dalam hukum acara pidana haruslah menjamin bahwa proses penegakan hukum berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia kedepan (Rancangan KUHAP) haruslah menjamin bahwa tidak ada seseorangpun yang dapat disidik, dituntut, diadili dan dijatuhi hukuman apabila tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas telah mengatur proses penegakan hukum tersebut atau hak-hak dasar (hak dasar asasi manusia) terperiksa, tersangka, terdakwa, terpidana harus dilindungi dan dijamin oleh Rancangan KUHAP sebagai implementasi dari Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UUD Negara RI 1945.

2. Hukum tidak tertulis dan Hukum Adat yang hidup di masyarakat dalam sistem Hukum Pidana sejak dahulu telah dianut sebagaimana telah diatur dalam UU Darurat No.1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat 3 b. Ketentuan tersebut diperkuat lagi sebagaimana yang diamantakan dalam Konstitusi kita yakni Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

Oleh karena itu secara Konstitusional pula ketentuan Pasal 18 B ayat (2) harus diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dari UUD 1945 termasuk dalam Rancangan KUHAP. Menurut hemat kami implementasikan hukum yang tidak tertulis dan hukum adat yang hidup di masyarakat haruslah selektif dan nyata-nyata dalam kehidupan masyarakat adat diakui, dilaksanakan/diterapkan dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Mengingat nilai-nilai dari Hukum Adat yang tidak tertulis di Indonesia sangat beragam dan syarat dengan kearifan lokal masing-masing maka penerapannya harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi.

3. Penyususnan sebuah Rancangan Undang-Undang khususnya Hukum acara

pidana merupakan suatu politik hukum bangsa Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kesejarahan/sejarah hukum sosiokultural, sosiopolitik dan sudut pandang bangsa Indonesia terhadap berbagai konvensi Internasional. Ratifikasi terhadap konvensi Internasional menjadi penting karena Indonesia adalah bagian dari bangsa Indonesia didunia.

Karena itu hukum di Indonesia termasuk Hukum Acara Pidana kedepan seyogiyanya selaras dengan ketentuan yang lebih besar agar substansi kandungan Hukum Acara pidana efektif berlaku baik secara Nasional dan Internasional.

Oleh karena itu konvensi Internasional yang telah diratifikasi harus segera dijadikan materi muatan dalam perundang-undangan yang terkait termasuk dalam Hukum Acara Pidana kedepan seperti misalnya tindakan anti kekerasan dan penyiksaan termasuk horizontal yang melanda bangsa Indonesia saat ini baik bernuansa etnis, suku, kelompok dan agama.

Page 8: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

8

4. Ketentuan yang baru dirumuskan terhadap perbaikan Hukum KUHAP Tahun 1981 antara lain : 1. Perlindungan dan pelaksanaan HAM secara nyata dalam semua tahapan

proses penegakan hukum. 2. Pengaturan secara rinci, terukur mengenai kewenangan aparatur penegak

hukum (Polisi, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat) untuk menghindari konfilk kewenangan antara lembaga penegak hukum sebagaimana pernah terjadi dalam kasus cicak buaya jilid satu dan jilid dua.

3. Perlu ada pengaturan secara ketat mengenai pengawasan tentang tersangka, terdakwa, terpidana dalam Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan lainnya dalam rangka menciptakan efek jera bagi semua tahanan pelaku tindak pidana.

4. Perlu diterapkan secara tegas prinsip keadilan dalam menjatuhkan pidsns untuk menghindari disparity of centensing (disparitas/perbedaan sanksi pidana dalam kasus yang sama).

5. Konsep penghormatan terhadap HAM Hukum Acara Pidana yang perlu diatur

kedepan antara lain : 1. Pengaturan secara rinci tentang perlindungan HAM terhadap pelaku tindak

pidana dalam setiap tahapan proses penegakan hukum. 2. Perlu dipertegas pengaturan pendampingan dalam proses beracara pidana

termasuk ancaman pidana dibawah 5 tahun. 6. Kami sependapat bahwa perubahan barang bukti, bukti elektronik dimasukan

dalam Hukum Acara Pidana yang baru akibat perkembangan dari informasi teknologi yang berkembang sangat pesat diera sekarang ini. Selain itu karena bukti elektronik menyimpan bukti-bukti pisual yang banyak ragamnya seperti dalam cyber crime, cyber sex, pemalsuan kartu kredit.

Hanya saja para aparatur penegak hukum elemennya diperkuat termasuk mereka yang berkemampuan secara profesional dibidang IT (Informen Teknologi).

Mengenai pengamatan hakim sebagai barang bukti kami belum sependapat karena dapat menimbulkan subyektivitas dari hakim yang potensial bisa menimbulkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power)

Universitas Udayana (Prof. Dr. I Rai Setiabudhi, S.H., M.S.)

Terkait dengan penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat, bahwa dalam kenyatannya dii Bali dengan tidak mengurangi kekuasaan pengadilan negeri, dalam menangani kasus-kasus yang melanggar huku adat atau hukum yang hidup, tetap diberdayakan peradilan (perdamaian) desa. Misalnya di desa Pakraman Tenganan. Apabila salah seorang warwa melanggar hukum adat, maka si pelanggar akan dihadapkan kepada „klian desa‟ yang berjumlah enam orang. Akan tetapi bilamana tahap ini tidak dapat diselesaikan, maka perkara tersebut akan disidangkan di depan rapat umum di Balai Agung Desa Pakraman Tenganan untuk didengar pendapat atau masukkan dari anggota desa, dan berdasarkan masukan tersebut para klien yang jumlahnya enam orang itu, akan mengambil keputusan.

Page 9: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

9

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di Bali penerapan hukum adat atau hukum yang tidak tertulis masih tetap dilakukan. Walaupun Pengadilan Negeri merupakan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang oleh Negara untuk memeriksa dan memutus perkara perdata maupun pidana termasuk tindak pidana adat, namun dapat juga dilakukan penyelesaian perkara melalui pengadilan desa yang sifatnya hanya mendamaikan atau tidak menjatuhkan pidana badan atau pidana pencabutan kemerdekaan. Biasanya berupa hukuman kewajiban adat, guna mengembalikan keseimbangan yang terjadi akibat pelanggaran adat.

Terkait dengan sistem peradilan pidana baik materiil maupun formil dalam menciptakan kesadaran dan kepatutan masyarakat atas hukum, bahwa sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana dalam penaggulangan kejahatan dengan tujuan untuk : mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Semua komponan diharapkan dapat bekerjasama secara baik sehingga membentuk apa yang dikenal dengan Integrated criminal justice administration. Namun saat ini rupanya pelaksanaan system peradilan pidana baik materiiil maupun formal, balum dilakukan sesuai dengan harapan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang terlibat dalam system peradilan terus merosot tajam. Seharusnya melalui pelaksanaan system peradilan yang baik, akan dapat memberikan rangsangan psykologis kepada masyarakat, bahwa hukum benar-benar telah ditegakkan sesuai dengan tujuan, sehingga masyarakat akan menjadi takut untuk melakukan kejahatan atau melanggar hukum, karena telah dibuktikan dan dapat dilihat langsung hukum benar-benar dijadikan panglima.

Terkait dengan tujuan pemidanaan, bahwa sebaiknya berpegang pada teori utilitarian, yaitu bahwa tujuan pidana adalah pencegahan; pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; pidana harus berorientasi ke depan (bersifat prosfektif), dan pidana dapat mengandung unsur pencelaan, akan tetapi baik pencelaan maupun unsur pembalasan, tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Hal tersebut telah sejalan dengan pemidanaan yang telah berkembang dalam RUU KUHP, antara lain untuk mencegah dilakukannya tindak pidana emi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk. Untuk membumbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna, dan untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Jadi pidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat kemanusiaan. Sehingga mereka dapat mengoreksi dirinya menuju orang yang baik dan berguna serta mampu hidup beradaptasi secara sempurna dengan masyarakat.

Dalam masyarakat yang demokratis yang berpegang pada prinsip rule of law atau rechstaat hukum secara demokratis telah mencerminnkan rasa keadilan masyarakatt karena hukum tersebut bersifat aspiratif (teori hukum responsif dari Philipe Nonet dan Zelnic), sehingga hukum yang ditegakkan mencerminkan rasa keadilan dan tentunya ada kepastian hukum sesuai dengan aspirasi secara demokratis yang berkembang dalam masyarakat.

Untuk itu dalam menyiapkan suatu perangkat hukum pidana ang demokkratis, parlu diperhatikan beberapa syarat, antara lain : masyarakat yang terbuka, transparan dan demokratis. Masyarakat yang terbuka adalah ciri suatu masyarakat

Page 10: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

10

yang demokratis. Karena dalam masyarakat yang terbuka, akan tumbuh berbagai ragam pandangan ide-ide yang selalu mengupayakan adanya perubahan kearah yang lebih baik demi kebaikan kehidupan bersama. Pada masyarakat yang terbuka tumbuh nilai-nilai yang salinng menghormati dan menghargai adanya perbedaan dan pandangan, karena berbagai ragam pemikiran dan pandangan yang sedang dihadapi dan pada akhitnya lahit gagasan-gagasan perubahan yang lebih baik dan dinamis.

Terkait dengan kodifikasi dan unifikasi hukum pidana dalam KUHP, bahwa perubahan yang terdapat dalam RUU KUHP ini sangat banyak sekali. Hal tersebut dapat dilihat dalam sistematika misalnnya dalam KUHP lama terdiri atas tiga buku. Sedangkan dalam RUU KUHP baru hanya terdapat dua buku. Dimana kejahatan dan pelanggaran dijadikan satu buku. Demikian pula jumlah pasal bertambah. Selain mengatur sejumlah hal baru, RUU KUHP juga mengatur tindak pidana yang selama ini sudah ada aturannya, misalnya tentang HAM, Korupsi, Pornografi, dan lain-lain.

Setuju dan mendukung bahwa pembagian tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran tidak dibedakan. Adapun alasannya bahwa dalam perkembangannya tidak ditemukan adanya definisi yang jelas dan konsisten serta kriteria konklusi kualitatif sebagaimana terdapat dalam hukum Anglo Saxon. Kalau di Belanda kualifikasi atau perbedaan tersebut lebih bermakna pada hukum acara yang akan ditempuh, seperti pengadilan manakah yang akan mengadili tindak pidana. Kehahatan diadili oleh mahkamah yang lengkap dengan tiga orang hakim. sedangkan pelanggaran dengan hakim tunggal. Mengenai masalah tindak pidana lalu lintas ringan (pelanggaran), diproses melalui hukum secara administratif yanng tidak sampai ke pengadilan. Disamping itu terdapat konsekuensi bahwa pembantuan dan percobaan untuk menalukan pelanggaran tidak dapat dipidana. Di samping itu, Prof. Remmelink juga setuju dipisah antara kejahatan dan pelanggaran, dengan alasan bahwa sebenarnya tidak satupun tindak pidana yang atas dasar suatu system pengertian tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan yang lainnya pelanggaran. Namun yang lebih menentukan adalah makna dari kebendaan hukum yang tertentu oleh tindak pidana yang bersangkutan, ruang lingkup pelanggaran hukum yang terjadi, bagaiana hal tersebut terjadi, dan lain-lain. Sehingga apabila terdapat perbedaan substansial, pembuat undang-undang akan mengalami kesulitan ketika akan mengubah katagorisasi suatu delik.

Di tengah perdebatan para ahli hukum pidana terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, sangat setuju terhadap mereka yang mendukung bahwa korporasi tetap dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Adapun alasannya, pertama, meskipun korporasi dalam melakukan kegiatan tidak melakukan sendiri, tetapi melalui orang atau pengurus dan para pegawainya, namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi yang bersangkutan, terutama memberikan keuntungan financial, maka tidak adil bagi masyarakat yang dirugikan, baik berupa kerugian nyawa, badaniah, maupun materiil bila korporasi tidak ikut bertanggungjawab. Kedua, disamping pertanggungjawaban para pengurusnya, tapi juga termasuk asset perusahaan atau korporasi ikut menaggung resiko atas kejahatan yang dilakukan.

Page 11: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

11

Universitas Dwijendra (Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum)

Sebelumnya harus dipahami bahwa pakem antara hukum tertulis (positif/negara) dan hukum tidak tertulis (adat) adalah berbeda. Hukum tertulis menekankan pada keadilan dan kepastian hukum, hukum adat menekankan pada rasa kepaturan yang ada dalam masyarakat dan harmoni dalam kehidupan komunal. Hukum tertulis berpedoman pada asas legalitas, stufenbau teori, dan lain-lainnya. Sedangkan hukum tidak tertulis tidak mengenal kepastian, mendudukan orang sesuai dengan statusnya, serta sewaktu-waktu dapat berubah mengikuti perkembangan masyarakat.

Dalam hukum tertulis/positif dianut asas legalitas, sedang dalam hukum adat dianut asas retroaktif dalam arti kasus dahulu ada kemudian baru dicara atau dibuat hukumnya. Disamping itu hukum tidak tertulis bersifat lokal dan tidak dapat ditrerapkan secara universal. Oleh karenanya menurut hemat kami perlu pembedaan dalam pengaturannya. Biarlah hukum tidak tertulis berjalan berdampingan dengan hukum tertulis/positif, dan tidak perlu dirangkum dalam satu kodifikasi, namun hukum tidak tertulis ini tetap harus diakomodir sebagai sanksi tambahan mengikuti sanksi sebagaimana ditetapkan dalam hukum positif.

Sebagai bandingan dapat dilihat pada sejarah pembentukan Pasal 131 dan 163 IS dengan penerapan hukum yang berbeda dalam hukum perdata karena pengakuan atas adanya sistem hukum yang berbeda dalam masyarakat.

Keduanya (hukum pidana materiil dan hukum pidana formal) hendaknya dapat berjalan sejalan. Masalahnya sekarang adalah terlalu banyaknya peradilan yng menangani masalah pidana seperti ada Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Tipikor, dan KPK. Mengapa sistem peradilan pidana tidak disatukan saja di bawah satu atap. Artinya jenis pengadilannya satu, namun di daamnya isinya sesuai dengan sub-sub itu seperti ada yang menangani masalah pidana umum, ada menangani pidana korupsi, dan lain sebagainya sehingga dapat memakai hukum acara yang sama (toh juga sifatnya adalah sekuler). Bila ingin melakukan pembedaan mungkin pengadilan itu dapat dibedakan hanya menjadi dua, yaitu: Pengadilan Negeri (dengan jenjangannya) dan Pengadilan Adat (yang sifatnya lokal dalam menangani masalah adat setempat).

Dalam teori yang saya ketahui maka tentang tujuan pemidanaan ini dapat disebutkan sebagai berikut:

Sebagai pembalasan bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana;

Untuk menakut-nakuti pelaku agar jangan lagi melakukan tindak pidana atau menakut-nakuti masyarakat agar jangan melakukan tindak pidana

Gabungan dari keduanya.

Dalam Rancangan KUHP yang baru ini tampak bahwa tujuan pemidanaan itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 ayat (1) sebagai berikut>

Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

Page 12: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

12

Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Apa yang dikemukakan dalam RUU KUHP ini bagi saya lebih baik pasal tersebut dihilangkan saja atau dipindahkan ke hukum formal (hukum acara/KUHAP), karena menampakkan teknis pelaksanaan hukum materiil. Disamping itu pasal 54 ini tampak terlalu meng ada-ada dalam arti tidak semua orang dapat berpendapat demikian. Juga sebaiknya tujuan itu dibicarakan dalam buku-buku literatur atau berupa doktrin yang dikemukakan para akhli atau pakar dibidang hukum pidana.

Tentang masalah demokratisasi dalam hukum pidana. Saya berpendapat masalah demokrasi adalah masalah ketatanegaraan. Jadi hukum pidana sudah dapat demokratis apabila tidang mengandung unsur diskriminasi, menempatkan orang dalam kedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan, penyusunannya telah melalui Dewan Perwakilan Rakyat, serta telah dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat khususnya kepada pihak yang akan terkena dan aparat pelaksana.

Secara materiil, demokratisasi ini dapat dikatakan ada bila asas yang dianut dalam undang-undang ini berdasarkan pada Pancasila dan dapat dipertanggungjawabkan baik dari sudut filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Kita wajib untuk menghargai ide penyusunan KUHP yang baru melalui suatu kodifikasi. Namun sesunggunya saya kurang setuju dengan cara yang dilakukan seperti sekarang ini dengan cara merubah secara keseluruhan isinya, walaupun secara material masih menjaplak undang-undag yang lama. Bagi saya lebih cocok dilakukan perubahan dengan sistem amandemen, yaitu dengan memperbaikan pasal-pasal yang telah tidak cocok dengan perkembangan jaman atau dengan menambahkan pasal-pasal baru yang merupakan hal yang baru mengikuti perkembangan jaman.

Atau dibuat tidak secara kodifikasi, yakni dengan cara tersebar dalam berbagai undang-undang mengikuti perkembangan yang ada, asalkan sinkronisasi vertikal an horizontal selalu dilakukan dalam penyusunannya. Cara ini mungkin dapat lebih mudah dilakukan dan dapat dilakukan dengan cepat. Jangan sampai penyusunan yang baru ini dengan maksud mengangkat budaya lokal atau kearifan lokal, justru keluar dari teori-teori hukum pidana yang umum berlaku. Harus disadari bila adanya KUHP ini adalah merupakan suatu transplantasi (pencangkukan) hukum dari Wetboek van Strafrecht menjadi KUHP. Namun tidak ada peraturan perundang-undangan yang jelas tentang penterjemahannya (dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia) yang ditetapkan dengan resmi, sehingga ini dapat menimbulkan tafsir yang berbeda. KUHP yang kita gunakan sekarang ini adalah terjemahan Prof. Moeliatno atau terjemahan R. Soesilo.

Page 13: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

13

Tentang wacana untuk tidak membedakan lagi antara “kejahatan” dengan “pelanggaran”, kami kurang setuju. Kami berpendapat bahwa masih sangat perlu untuk adanya pembedaan itu.

Kejahatan (misdrjven) adalah suatu perbuatan yang secara hati nurani telah dirasakan orang sebagai tindakan melawan hukum. Artinya rasa susila orang yang masih berada di dalam hatinya sudah merasakan hal itu sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum. Jadi tanpa melihat undang-undang orang sudah tahu dan merasakan kalau hal itu bertentangan dengan hukum.

Pelanggaran (wetsdelicten), yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatakan demikian.

Pembedaan ini sangat penting bila dikaitkan dengan percobaan, dimana percobaan melakukan kejahatan dapat dihukum namun percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum (karena sebelumnya tidak diketahui bahwa hal itu adalah melanggar hukum).

Oleh karenanya dalam setiap pasal yang berisikan penjatuhan hukuman masih sangat perlu dicantumkan kata-kata ”kejahatan” dan ”pelanggaran”. Misal: ”...... dihukum karena kejahatan dengan hukuman ......”, atau ”...... dihukum karena pelanggaran dengan hukuman .......”.

Tentang subyek hukum pidana, pendapat kami masih tetap pada teori-teori yang lama tentang hukum pidana yaitu bahwa yang dapat dipidana itu adalah orang. Orang yang dimaksud disini adalah naturlijk persoon (manusia), jadi bukan recht persoon (badan hukum/korporasi). Apabila terjadi kejahatan yang dilakukan oleh suatu korporasi, maka yang dikenakan hukuman adalah penanggung jawab (orang yang bertanggung jawab) adat korporasi tersebut. Karena hanya orang yang bisa melakukan kesalahan, pelanggaran, kesengajaan, ataupun kelalaian. Dengan demikian maka tujuan dari hukum pidana dalam hal ini memberikan pembalasan berupa nestapa ataupun menakut-nakuti sibersalah ataupun masyarakat dapat terwujud.

Sebaliknya, apabila korporasinya yang dihukum, apakah evek jera itu akan dapat terwujud. Perlu pula diwaspadai bahwa memasukkan korporasi sebagai subyek hukum pidana, adalah upaya perlindungan bagi pemilik modal ataupun pejabat untuk keluar dari jerat hukum atas kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukannya. Bila kita kembali kepada teori ”lama”, bahwa suatu kejahatan itu dilakukan dengan suatu niat, maka pertanyaannya: apakah korporasi ini bisa memiliki niat?.

Page 14: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

14

Sebagai tambahan dapat kami bahas beberapa contoh dari kebelum sempurnaan dari RUU KUHP ini sebagaimana draf yang saya peroleh, sebagai berikut:

BAB I

Pasal 1

Tiada seorangpun dapat dipidana dan dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

Pasal 2

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Antara Pasal 1 dan Pasal 2 terdapat kontradiksi oleh karena dalam Pasal 1 dianut asas legalitas, sedang pada Pasal 2 (hukum yang berlaku dalam masyarakat/hukum adat) menganut asas retroaktif (artinya ada kasus dahulu, baru kemudian dicarikan atau dibuat hukumnya).

BAB II

Permufakatan Jahat:

Pasal 13

Permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam undang-undang..

Norma sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ini dapat disebut sebagai norma kabur, karena tidak dibuat norma yang memberikan pengertian permufakaan jahat itu yang mengandung unsur-unsur tentang apa yang dimaksud dengan ”permufakatan jahat”.

Pertanyaan untuk Pasal 13, bagaimana bila permufakatan ini tidak pernah dijalankan atau hanya dibicarakan saja dengan tidak ada pelaksanaan awal suatu tindakan pidana, apakah dapat dikenakan hukuman.

Page 15: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

15

Persiapan: Pasal 15

Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana..

ketentuan pasal ini terlalu panjang kurang simpel, disamping itu apakah baru merencanakan tanpa adanya permulaan pelaksanaan sudah dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana. Saya berpendapat bahwa tentang hal ini cukup diatur dalam ”percobaan” saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 17.

Percobaan: Pasal 19

Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I, tindak dipidana.

Apa yang dimaksud dengan ”pidana denda Kategori I”.

Penyertaan: Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23

Kenapa tidak menggunakan atau mengikuti konsep KUHP lama yang memberikan istilah yang berbeda, seperti istilah-istilah: dader, mededader, medeplegen, dan uitloking. Diperinci satu persatu sehingga jelas unsur-unsurnya dan lebih mudah untuk diterapkan.

Kalau diikuti ketentuan bunyi Pasal 21 ternyata masih kabur karena keempatnya (a, b, c, dan d) dirangkum dalam satu pasal sehingga menjadi mempunyai tingkatan yang sama. Sesungguhnya kempat jenis tindakan atau peran itu mempunyai tinggakatan atau kwalitas yang berbeda, yang jenis hukumannya pun seharusnya berbeda.

Kesalahan:

Tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana tanpa kesalahan.

Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Kami berpendapat, apakah dibelakang kata ”alasan pemaaf‟ ini tidak perlu dicantumkan lagi kata ”alasan pembenar”.

Page 16: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

16

Pasal 38

Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Pasal 38 ayat (1) maksudnya mungkin adalah ”delik formal”, tidak perlu mencantumkan pasal yang demikian. Cukup dibuat dalam norma dan norma itu pasti dimengerti oleh penegak hukum. Contoh: ”membawa benda-benda narkotika dihukum dengan ....dst.”

Pasal 38 ayat (2) sebagai norma kabur yang tidak jelas maksudnya. Bukankah dalam hukum pidana harus dijabarkan dalam bunyi pasal yang lugas dan cermat karena akan berdampak pada hak asasi manusia.

Pasal 39

Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau kealpaan.

Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakkan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

Seseorang hanya dapat dipertanggung jawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.

Pasal ini penormaannya adalah norma kabur. Dalam teori penyusunan peraturan perundang-undangan sangat dihindari adanya kata ”kecuali‟ karena ini akan mengaburkan perintah sebelumnya dan menimbulkan tafsiran baru.

Kemampuan Bertanggung Jawab:

Pasal 40

Pasal 41

Ada istilah “tidak dapat dipertanggung jawabkan” (Pasal 40), kemudian ada istilah “kurang dapat dipertanggung jawabkan” (Pasal 41). Ini menimbulkan masalah lagi tentang apa yang dimaksud dengan ”tidak dapat dipertanggung jawabkan” dan apa yang dimaksud dengan ”kurang dapat dipertanggung jawabkan”, apa beda antara “tidak dapat dipertanggung jawabkan” dengan “kurang dapat dipertanggung jawabkan”. Apa kreteria (unsur-unsur) dari kedua istilah tersebut, dan siapa yang dapat menentukan bahwa seseorang ada pada tingkat ”tidak dapat dipetranggung jawabkan” atau dalam keadaan ”kurang dapat dipertanggng jawabkan”.

Mungkin dapat dibahas kembali atau dipertimbangkan kata “kurang” ini, karena menampakkan keragu-raguan dari pembuat undang-undang.

Page 17: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

17

BAB III

Pasal 54

Apa perlu diatur tentang tujuan pemidanaan dalam KUHP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54.

Pedoman Pemidanaan:

Diatur dalam 55 dan Pasal 56.

Tentang hal yang disebutkan dalam kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan Pasal 56), adalah masalah teknis penerapan pidana, oleh karenanya lebih cocok masuk dalam ”hukum pidana formal” atau ”hukum acara”. Jadi Pasal 55 dan Pasal 56 ini lebih baik dimasukan ke dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Undiknas (I Nyoman Budiana)

Terkait dengan penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat yang hidup di masyarakat, perlu diketahui bahwa hukum adat merupakan golongan dari hukum tidak tertulis, hukum adat merupakan aturan yang tumbuh dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang meskipu tidak diundangkan oleh penguasa tetapi dihormati, diikuti dan ditaati oleh masyarakat setempat. Menurut Barda Nawawi Arief, penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat yang hidup di masyarakat dalam sistem hukum pidana didasarkan pada : a. Undang-Undang No. 1 Drt 1951 yang menyatakan bahwa hukum adat yang

masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana.

b. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1), pasal 50 dan pasal 5 ayat (1).

Penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat di masyarakat dalam sistem hukum pidana merupakan suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki hukum adat yang hidup, diakui dan ditaati di masing-masing daerah sebagai hukum yang tidak tertulis. Terkait denngan pelaksanaan sistem peradilan pidana baik materiil maupun formil dalam menciptakan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat atas hukum. Bahwa pelaksanaan sistem peradilan pidana merupakan upaya dari negara dalam melindungi warga negaranya dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan atau melawan hukum pidana. Upaya perlindungan hukum terhadap warga negara atau masyarakat dilakukan melalui Sistem Peradilann Pidana, yang dilaksanalan atau dilakukan oleh lembaga penegak hukum yag selalu berpedoman pada hukum pidana materiil dan formil termasuk undang-undang yang mengatur kekuasaan dan kewenangan masing-masing aparatur penegak hukum. Pelaksanaan sistem peradilan pidana baik materiil maupun formil dalam menciptakan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat atas hukum, saat ini belum efektif, karena beberpa produk hukum yang dihasilkan oleh Pemerintah bersama DPR, belum sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat dan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat, serta kurangnya sosialisasi aturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPR kepada masyarakat sebelum aturan hukum tersebut diundangkan, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan nilai keadilan di masyarakkat seringkali tidak terakomodir dalam aturan hukum tersebut.

Page 18: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

18

Pemidanaan bertujuan untuk : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dnegan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat. b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna. c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Perwujudan demokratisasi hukum pidana ingin menjaga keseimbangan

antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil. Demokratisasi hukum pidana, tercermin dengan dimasukkannya tindak pidana terhadap hak Asasi Manusia, dan dihapusnya tindak pidana emokratisasi hukum pidana, tercermin dengan dimasukkannya tindak pidana terhadap hak Asasi Manusia, dan dihapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (“haatzaai-artikelen”), yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil.

Dengan dilakukannya kodifikasi dan unifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana yang tersebar dalam hukum pidana diluar KUHP yang bersifat umum dalam kendali asas-asas umum hukuum pidana, akan sangat memberikan jaminan kepastian dan unifikasi hukum pidana nasional, sehingga menghindaro adanya perbuatan hukum pidana yang sejenis dalam duan atau lebih peraturan perundang-undangan yang seringkali digunakan sebagai celah hukum oleh pelaku tindak pidana.

Terkait denga adanya wacana bahwa agar dalam RUU KUHP tidak lagi membedaan antara kejahatan dengan pelanggaran. Bahwa secara realistis, Kejahatan dan Pelanggaran tidak dapat dibedakan lagi. Kriteria pembedaan kualitatif antara Kejahatan dan Pelanggaran yang melarbelakangi penggolongan dua jenis tindak pidana tidak dapat dipertahankan lagi. Penggolongan dua jenis tindak pidana tersebut pada zaman Hindia Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan pada saat itu, larena pelanggaran pada dasarnya diperiksa oleh Landggerecht (Pengadilan Kepolisian) dengan hukum acaranya sendiri, dan kejahatan diperiksa oleh Landraad (Pengadilan Negeri) atau Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) dengan hukum acaranya sendiri pula. Sedangkan pembagian kompetensi penggadilan tersebut saat ini di Indonesia sudah tidak dikenal lagi. Pandangan mutakhir mengenai “afkoop” (seperti pada Pasal KUHP/WvS) sebagai alasan penghapus penuntutan tidak hanya berlaku terbatas untuk “pelanggaran” saja, tetapi dapat berlaku untuk semua tindak pidana walaupun dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya.

Dengan berkembangnya teknologi dan informasi, mempengaruhi pula perkembangan subyek hukum maupun jenis tindak pidana. Pelaku tindak pidana saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang, tetapi dapat juga dilakukan oleh organisasi yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (koorporasi), seperti tindak pidana korupsi, money laundering dan tindak pidana khusus lainnya. Dengan demikian korporasi dapat dijadikan subyek hukum, karena korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana

Page 19: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

19

(corporate criminal rersponsibility). Dalam hal terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi itu sendiri, atau kepada korporasi dan pengurusnya, atau kepada pengurusnya saja. Sanksi yang dapat diberikan kepada korporasi, dapat berupa pidana (straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel). Universitas Mahasaraswati

Menjelaskan bahwa perlu adanya revisi mengenai KUHAP yaitu sebagai tujuan untuk menghilangkan kesewanang-wenangan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Perlu juga untuk melindungi hak-hak tersangka dari kekuasaan aparat. RUU KUHAP harus mencerminkan terhadap penegakan hak asasi manusia, dan menjadikan tersangka sebagai subyek dalam hukum pidana bukan obyek yang bisa dipermainkan oleh aparat penegak hukum. Berbicara mengenai alat bukti, alat bukti harus mengikuti perkembangan zaman. Munculnya alat bukti elektronik menjawab kelemahan dalam penggunaan alat bukti oleh penegak hukum. Dikaitkan dengan RUU KUHP, masuknya pengakuan terhadap hukum adat atau hukum tidak tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat merupakan hal yang positif, karena hukum adat harus tetap ada sebagai ciri masyarakat Indonesia. APARATUR PENEGAK HUKUM

Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA)

Usulan Polda Bali terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana

No.

Pasal Draft Awal Usulan Polda Bali Pertimbangan

1 Mengingat

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945.

2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

3. Undang-undang Kejaksaan

1. Polri wajib dan berwenangan melakukan penegakan hukum atas semua jenis tindak pidana.

2. KUHAP tidak boleh bertentangan dengan UUD RI 1945.

3. Hukum Acara Pidana pada UU tertentu tidak bolh bertentangan dengan KUHAP dan UUD RI 1945.

4. Supaya ada sinkronisasi antara semua regulasi terkait dengan penegak

Page 20: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

20

Republik Indonesia.

4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)

hukum yang ada, khususnya regulasi yang mengatur tentang penyidik, Penuntut Umum dan Peradilan

2 RUU KUHAP tidak mengatur tentang Penyelidik

Agar diatur Pejabat Penyelidik dalam KUHAP

1.Bahwa semua anggota Polri adalah Penyelidik

2. Bahwa saat ini semua anggota Polri (Penyelidik) ada dan tersebar di seluruh wilayah hukum Indonesia sampai ditingkat desa.

3 RUU KUHAP tidak mengatur tentang penyelidikan

1.Agar diatur Penyelidikan dalam KUHAP

2.Agar dibuat BAB dan Pasal tersendiri tentang penyelidika dan Penyelidikan termasuk rumusan, tugas dan wewenangnya.

1.mengingat bahwa tidak semua laporan/pengaduan masyarakat adalah tindak pidana sehingga diperlukan langkah penyelidikan

2.tidak semua laporan tindak pidana jelas pelakunya, peristiwanya, saksi-saksi, korban, barang bukti dan modus operandinya.

3.pergeseran pola kejahatan dari konvensional kea rah kejahatan berbasis

Page 21: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

21

teknologi.

4.meniadakan penyelidikan berarti berpotensi pada pelanggaran HAM.

5. meniadakan penyelidikan berarti UU No.8 Tahun 1981 (KUHAP) lebih menjunjung tinggi HAM disbanding RUU KUHAP.

4 Pasal 1 Angka 7

Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dihapus, diganti dengan lembaga praperadilan dengan kewenangan yang diperluas

1.lembaga praperadilan selama ini sudah mengakomodir sebagian besar kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

2. lembaga praperadilan telah dikenal lama oleh masyarakat luas.

3.secara geografis wilayah RI begitu luas terdiri dari beribu-ribu pulau, sehingga negara harus mengangkat banyak Pejabat Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan staf yang akan membebani APBN.

4. bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yaitu cepat, sederhana dan biaya murah.

5. sudah adanya regulasi pengawasan terhadap kinerja penyidik Polri

5 Pasal 4 Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar

Dihapus Pasal ini menimbulkan multitafsir dan

Page 22: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

22

dan perpaduan antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang

membingungkan.

6 Pasal 5 ayat (1)

Setiap Korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat peradilan.

Setiap Korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan mulai tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Bahwa hak-hak korban pada setiap tahapan penegakan hukum wajib diberitahukan

7 Pasal 6 Penyidik adalah:

a.pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b.pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan; dan

c.pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.

Pengertian penyidik kembali kepada UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)

Agar tidak terjadi pemberian kewenangan yang bertentangan dengan UUD RI 1945

8 Pasal 7 ayat (3)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal (6) huruf b dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berkoordinasi dengan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal (6) huruf b dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.

1.bahwa kemampuan sumberdaya PPNS baik secara kualitatif maupun kuantitatif umumnya terbatas, utamanya kemampuan tekhnis penyidikan.

2.sebagai mekanise kontrol pelaksanaan penyidikan yang dilaksanakan oleh PPNS.

9 Pasal 7 ayat (5)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi dan permintaan bantuan

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan

1.bahwa kemampuan sumberdaya PPNS baik secara kualitatif

Page 23: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

23

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah

koordinasi dan pengawasan serta permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah

maupun kuantitatif umumnya terbatas, utamanya kemampuan tekhnis penyidikan.

2.sebagai mekanise kontrol pelaksanaan penyidikan yang dilaksanakan oleh PPNS.

10 Pasal 11 ayat (1)

Penyidik yang mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan tersebut wajib melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan

Penyidik yang mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan atau penyidikan yang diperlukan

1.tidak semua laporan/pengaduan masyarakat adalah tindak pidana;

2.tidak seua tindak pidana jelas pelakunya, peristiwanya, saksi-saksi, korban, barang bukti dan modus operandinya.

11 Pasal 12 ayat (2)

Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum, jiwa, atau hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik

Dihapus Karena tidak termasuk dalam Acara Pidana

12 Pasal 12 ayat (3)

Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada penyidik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut

Dihapus Sudah terakomodir dalam pasal 12 ayat (2) ( setiap orang sudah termasuk pegawai negri)

13 Pasal 12 ayat (12)

Turunan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) penuntut umum wajib menyampaikan kepada penyidik

Dihapus Mendekati rumusan hukum Pidana Material

Page 24: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

24

14 Pasal 13 ayat (1)

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan dan menemukan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik memberitahukan tentang dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari.

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan dan menemukan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik memberitahukan tentang dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari.

Dirubah dari 2 hari menjadi 7 hari dengan alasan : faktor geografis wilayah Indonesia yang luas dan jauh serta keterbatasan sarana transportasi yang memadai

15 Pasal 14 ayat (2)

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada penuntut umum, korban dan/atau tersangka paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penghentian penyidikan

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada penuntut umum, korban dan/atau tersangka paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penghentian penyidikan

Dirubah dari 2 hari menjadi 7 hari dengan alasan : faktor geografis wilayah Indonesia yang luas dan jauh serta keterbatasan sarana transportasi yang memadai

16 Pasal 15 ayat (1)

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan oleh penyidik dikonsultasikan kepada penuntut umum kemudian dilakukan pemberkasan perkara

Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan, penyidik dapat berkoordinasi dengan Penuntut Umum

Guna menghindari bolak baliknya berkas perkara

17 Pasal 15 ayat (2)

Setelah berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap oleh penuntut umum, penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan rangkap 2 (dua) beserta tanggung jawab atas

1.setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut umum, penyidik menyerahkan tanggung jawab

Memberikan kepastian dalam hal dan tanggungjawab hukum

Page 25: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

25

tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum

atas tersangka dan barang bukti

2.bilamana Penuntut Umum dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas diserahkan ke JPU, dan JPU tidak menyatakan lengkap atau tidaknya berkas tersebut maka berkas tersebut dianggap lengkap dan penyidik dapat menyerahkan tersangka dan barang bukti serta secara otomatis telah terjadi pelimpahan tanggungjawab penanganan perkara dari penyidik ke penuntut umum

18 Pasal 15 ayat (3)

Penyidik atas permintaan penuntut umum dapat melaksanakan tindakan hukum tertentu untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan atau melaksanakan penetapan hakim

Dihapus Tugas Pokok, fungsi dan peranan masing-masing sudah diatur dala peraturan perundang-undangan

19 Pasal 16 ayat (1) huruf b

setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyidik

Dihapus Tidak jelas dan membingungkan

20 Pasal 16 ayat (3)

Penyidik yang telah menerima laporan tersebut datang ke tempat kejadian dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari terhitung sejak

Penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian

Mempertibangkan letak geografis wilayah Republik Indonesia, terutama wilayah yang terdiri

Page 26: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

26

menerima laporan dan dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai

sejak menerima laporan dan dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai

dari banyak pulau

21 Pasal 17 ayat (4)

Dalam hal tersangka dan/atau saksi tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan meminta bantuan kepada pejabat yang berwenang untuk membawa tersangka dan/atau saksi kepada penyidik

Dalam hal tersangka dan/atau saksi tidak datang tanpa alasan yang sah, penyidik dapat memanggil sekali lagi dengan disertai Surat perintah membawa

Tidak ada kejelasan siapa yang dimaksud pejabat yang berwenang, yang menjamin kehadiran tersangka/saksi yang dipanggil.

22 Pasal 26 Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari membuat berita acara pemeriksaan yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan/atau saksi, keterangan, catatan mengenai akta atau benda, serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.

Dihapus Tidak jelas dan membingungkan.

23 Pasal 29 ayat (1)

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, maka penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin penggeledahan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan kepada tersangka atau salah satu keluarganya dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, maka penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin penggeledahan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan diganti dengan Ketua PN. Alasan : efisiensi untuk tidak membuat lembaga baru pada PN

Page 27: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

27

dan Pasal 72 dari Ketua Pengadilan Negri kepada tersangka atau salah satu keluarganya dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 72

24 Pasal 29 ayat (2)

Dalam keadaan yang sangat mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3), penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin penggeledahan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Dalam keadaan yang sangat mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3), penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negri dan wajib membawa surat perintah penggeledahan dari atasan Penyidik.

Hakim Pemeriksa Pendahuluan diganti dengan Ketua PN. Alasan : efisiensi untuk tidak membuat lembaga baru pada PN

25 Pasal 29 ayat (3)

Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah dilakukan penggeledahan

Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah dilakukan penggeledahan

Mempertimbangkan letak geografis wilayah Republik Indonesia

26 Pasal 32 ayat (1)

Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin penyitaan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan kepada pemilik atau pihak

Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda

Klausul : Hakim Pemeriksa Pendahuluan semua diganti menjadi Ketua Pengadilan Negri

Page 28: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

28

yang menguasai benda tersebut

pengenalnya dan surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negri atau surat perintah penyitaan dari atasan penyidik kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda tersebut.

27 Pasal 32 ayat (3)

Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah dilakukan penyitaan

Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negri dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah dilakukan penyitaan

Menghindari adanya hari libur, dan letak geografis Indonesia.

28 Pasal 33 ayat (4)

Turunan atau salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, Hakim pemeriksaan pendahuluan, pemilik, atau pihak yang menguasai benda sitaan dan kepada kepala desa atau nama lainnya atau ketua lingkungan

Turunan atau salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, Ketua Pengadilan Negri, pemilik, atau pihak yang menguasai benda sitaan dan kepada kepala desa atau nama lainnya atau ketua lingkungan

Klausul : Hakim Pemeriksa Pendahuluan semua diganti menjadi Ketua Pengadilan Negri

29 Pasal 38 ayat (4)

Dalam hal keluarga korban keberatan terhadap pembedahan mayat, penyidik dapat meminta wewenang dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk melaksanakan pembedahan mayat

Dalam hal keluarga korban keberatan terhadap pembedahan mayat, penyidik dapat meminta wewenang dari Ketua

Klausul : Hakim Pemeriksa Pendahuluan semua diganti menjadi Ketua Pengadilan Negri

Page 29: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

29

Pengadilan Negri untuk melaksanakan pembedahan mayat

30 Pasal 42 ayat (1) huruf a

Penuntut umum mempunyai tugas dan wewenang :

melakukan koordinasi dan memberikan konsultasi pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik;

Dihapus Bertentangan dengan prinsip-prinsip diferensiasi dan fungsionalisasi peran aparat penegak hukum dalam CJS

31 Pasal 42 ayat (1) huruf b

mengajukan surat permohonan kepada Hakim Pemeriksaan Pendahuluan untuk melakukan penggeledahan, penyadapan, dan langkah-langkah yang lain;

mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negri untuk melakukan penggeledahan, penyadapan, dan langkah-langkah yang lain;

32 Pasal 42 ayat (1) huruf d

memperpanjang penahanan selama 5 (lima) hari yang dilakukan oleh penyidik dengan 5 (lima) hari berikutnya

memperpanjang penahanan selama 20 (dua puluh) hari yang dilakukan oleh penyidik dengan 40 (empat puluh) hari berikutnya

1.pelu mempertimbangkan langkah/upaya dalam rangka pemenuhan alat bukti

2. menghindari lepasnya tersangka demi hukum

3.saksi atau tersangka yang tinggal jauh/luar negri

33 Pasal 42 ayat (3)

Kewenangan penuntut umum sebagaim ana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika:

a.tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

b.tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun);

c.tindak pidana yang dilakukan hanya diancam

Kewenangan ini sebaiknya ditambahkan pada kewenangan Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 RUU KUHAP

Efektivitas dan efisiensi dalam penegakkan hukum

Page 30: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

30

dengan pidana denda;

d.umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau

e. kerugian sudah diganti

34 Pasal 59 ayat (1)

(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan atau penetapan hakim terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang: a. diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

b. ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 284, Pasal 296, Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Usulan ditunda menunggu pengesahan KUHP yang baru

Disesuaikan dengan RUU KUHP

Page 31: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

31

35 Pasal 60 ayat (1)

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari oleh penyidik

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 20 (duapuluh) hari oleh penyidik

Kepentingan penyidikan tidak cukup hanya dalam waktu 10 (sepuluh) hari

36 Pasal 60 ayat (2)

Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) hari oleh Penuntut Umum

Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 40 (empatpuluh) hari oleh Penuntut Umum

Kepentingan penyidikan tidak cukup hanya dalam waktu 10 (sepuluh) hari

37 BAB IX HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN

Tidak perlu diatur Tidak efektif. Tidak perlu membuat lembaga baru, cukup dengan Ketua Pengadilan Negri menunjuk atau mendelegasikan kewenangan pada salah seorang hakim untuk melaksanakan tugas ini.

38 Pasal 175 ayat (1)

Alat bukti yang sah mencakup:

a. barang bukti;

b. surat-surat;

c. bukti elektronik;

d. keterangan seorang ahli;

e. keterangan seorang saksi;

f. keterangan terdakwa; dan.

g. pengamatan hakim.

Alat bukti sah menurut pasal 184 UU No.8 Tahun 1981 dan ditambah bukti elektronik

Alat bukti menurut pasal 184 UU No.8 Tahun 1981 dan ditambah bukti elektronik sudah jelas.

Page 32: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

32

Kepala Kejaksaan Tingggi

RUU KUHP

mengenai penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat yang hidup di

masyarakat. Penerapan nya telah dilakukan, salah satunya adalah

penerapan delik “Logika Sanggraha” yang hanya berlaku di Bali dan

Lombok, yang mana aturan hukum ada tersebut diberlakukan berdasarkan

kepada pasal 5 angka 3 huruf b UU Darurat No.1 Tahun 1951, yang

berbunyi: “hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum

materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah

Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Ada, ada

tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa

suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan

pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana sipil, maka

dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara

dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti

bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan

penggantian yang dimaksud sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan

yang terhukum.

Adapun apabila suatu perbuatan dilarang oleh sebagian besar hukum adat,

maka agar terjadi suatu keseragaman, dapat kiranya aturan hukum tersebut

diakomodir dalam ketentuan hukum nasional. Mengingat sifat KUHP yang

kodifikatif maka seharusnya KUHP juga bersifat unifikasi, maka ketentuan

didalam KUH sepatutnya berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana baik materiil maupun formil dalam

menciptakan kesadaran dan kepatuhan masyarakat atas hukum. Adapun

bentuk pendekatan yang paling tepat agar tercipta kesadaran dan kepatuhan

masyarakat atas hukum, tentunya pendekatan siste peradilan pidana berupa

pendekatan sosial, yang memandang para aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga

masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan

atau ketidakberhasilan kinerja aparatur penegak hukum.

Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja

secara efektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan

mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang

di dalam masyarakat. Lebih lanjut juga harus memperhatikan berbagai

kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan

negara, kepentingan masyarakat, kepentingan individu, kepentingan pelaku

tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan (model keseimbangan

kepentingan). Jadi dengan demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa

KUHAP yang menggunakan crime control model dan beberapa aspek harus

Page 33: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

33

dilengkapi dengan pendekatan due process of law, karena menurut teori

check and balance, sifat kesadaran dan kepatuhan juga harus dimiliki oleh

perangkat peradilan dan sistem peradilan itu sendiri. Dan untuk saat ini,

pendekatan yang seharusnya dipergunakan adalah due process of law.

Yang menjadi tujuan pemidanaan terhadap seorang pelaku tindak pidana

yaitu berdasarkan teori relatif. Teori relatif memandang bahwa pemidanaan

bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana

mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju

kesejahteraan, oleh karenanya tujuan pemidanaan adalah sebagai sarana

pencegahan, dan pidana ditetapkan bukan karena ada orang yang

melakukan kejahatan tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Selain

itu terdapat juga model lain yaitu restorative justice. restorative justice

mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh

yaitu korban, pelau dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan

keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. restorative justice juga

menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali

dampak dari ketidak adilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana

untuk mengembalikan mereka dari pada secara sederhana memberikan

pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan

apapun. restorative justice juga mengupayakan untuk me restore keamanan

korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah

sense of control.

Terkait kodifikasi dan unifikasi hukum pidana dalam KUHP baru, sebagai

negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental, maka sudah

seharusnya Indonesia menganut kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, dan

semangat ini telah tampak dengan dirancangnya KUHP dan KUHAP.

Namun, disisi lain juga harus diperhatikan keberadaan UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam

tata perundang-undangannya seolah-olah Indonesia menganut statute law,

oleh karenanya kalau dikembangkan mazhab kodifikasi, maka UU ini

sebelumnya harus direvisi.

Mengenai wacana dalam RUU KUHP yang tidak lagi membedakan antara

pelanggaran dan kejahatan, Sesuai dengan perkembangan hukum yang

berkembang saat ini, bahkan di Belanda pun sudah tidak dilakukan

pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran. Pelanggaran di Belanda

tetap dihukum tetapi dengan sanksi administrasi, dan delik pelanggaran

hanya akan menjadi kejahatan apabila pelanggaran tersebut mempunyai

akibat yang fatal. Selanjutnya, penyebutan dengan tindak pidana sejalan

dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Pandangan terkait dengan subyek hukum pidana yang tidak lagi terbatas

pada orang tetapi juga termasuk korporasi baik berbadan hukum maupun

tidak berbadan hukum, Dengan dimasukkannya korporasi, baik berbadan

hukum maupun tidak berbadan hukum sebagai subyek hukum pidana, akan

Page 34: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

34

memberikan dampak positif, yaitu korporasi dianggap mampu melakukan

tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan hal tersebut secara

pidana (corporate criminal responsibility). Terkait tentang keberadaan

korporasi yang tidak berbadan hukum, penting untuk diperhatikan bahwa

saat ini sudah ada kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh korporasi

yang tidak berbadan hokum, seperti kartel kolombia dan triad hongkong,

sehingga perluasan subyek hukum pidana yang meliputi orang dan

sekumpulan orang ataupun harta kekayaan yang terorganisasi baik yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum perlu dilakukan.

RUU KUHAP

Mengenai hubungan antara penuntut umum dengan penyidik. Misalnya

dalam praktek sekarang ini terjadi bolak-balik berkas antara penyidik dengan

penuntut umum yang sebagian (dalam jumlah besar) tidak lagi muncul ke

pengadilan. Ini sangat merugikan pencari keadilan. Dalam hal ini Kejaksaan

menyampaikan bahwa Proses bolak-balik perkara yang membuat proses

penyidikan menjadi berlangsung lama dan tidak memberikan kepastian

hukum tentunya dapat dicegah, apabila sejak awal penyidik telah melakukan

koordinasi dan/ atau konsultasi kepada penuntut umum.

Adapun tidak mungkin seluruh perkara dapat diajukan ke muka persidangan,

dimana hal tersebut tentunya sangat tergantung akan fakta dan alat bukti

yang diperoleh sebagai hasil proses penyidikan.

Terkait dengan pelaksanaan tugas penyidikan dan penuntutan oleh jaksa,

koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, termasuk juga manajemen

penanganan perkara atau standar operasional prosedur. Kejaksaan

menjelaskan bahwa Koordinasi dan/ atau konsultasi oleh jaksa selaku

penyidik kepada jaksa selaku penuntut umum tetap harus dilaksanakan dan

untuk itu manajemen penanganan perkaranya tetap dilaksanakan, baik

selaku penyidik maupun penuntut umum. Berdasarkan pendekatan teori

standing magistrate, penyidikan dipandang satu nafas dengan penuntutan,

oleh karenanya dimungkinkan bahwa penyidik juga dapat melakukan

penuntutan. Hal tersebut telah lama dilakukan, khususnya pada penanganan

tindak pidana ringan (lalu lintas), dimana penyidik melakukan penuntutan

atas dasar kuasa penuntut umum.

Mengenai pengaturan mekanisme dan jangka waktu penahanan yang

menjadi kewenangan dari kejaksaan selaku penuntut umum, dijelaskan

bahwa Dalam arti luas, suatu proses penahanan harus mempunyai kaitan

erat dengan proses persidangan, oleh karenanya tujuan penahanan bukan

semata-mata untuk kepentingan penyidikan dan/ atau penuntutan saja, tetapi

demi kesuksesan proses persidangan, jadi kebijakan penahan harus

tersentra dan terpadu dalam suatu proses yang sama. Dalam perkembangan

hukum yang baru, penahanan tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama

dan proses peradilan harus dilaksanakan dengan segera.

Page 35: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

35

Mengenai penjelasan mengenai alat bukti yang dapat diajukan ke muka

persidangan yang diatur dalam RUU KUHAP, dijelaskan bahwa harus dipilih

dulu, bentuk pendekatan terhadap alat bukti, dimana apabila menggunakan

list system, maka lingkup alat bukti sebagaimana diatur pada ketentuan

pasal dalam RUU KUHAP lebih luas dan lebih memberikan kesempatan

untuk diperolah hasil penyidikan yang lebih baik dari pada ketentuan pasal

dalam KUHAP. Namun sebagai suatu perbandingan, ada sistem yang dapat

membuat lingkup alat bukti lebih luas dan lebih baik lagi, yaitu apabila

mempergunakan pendekatan berupa pembatasan/ pengaturan cara

memperoleh alat bukti tersebut dengan cara sah, yang berakibat jenis alat

bukti akan lebih luas dan tidak terbatas.

Mengenai terkait dengan aturan penyadapan yang diatur dalam RUU Hukum

Acara Pidana, dan urgensinya, pihak Kejaksaan Tinggi Bali menjelaskan

bahwa Pada hakekatnya penyadapan adalah suatu proses menggeledah

dan menyita data elektronik antara lain berupa rekaman hasil komunikasi,

dimana kegiatan tersebut tentunya sudah termasuk ranah upaya paksa,

sehingga perlu untuk dilakukan pengaturan terhadap pelaksanaan

penyadapan dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini sejalan sejalan dengan

Putusan MK, yang pada pokoknya memutuskan bahwa aturan penyadapan

harus diatur dalam bentuk Undang Undang. Pengaturan tentang

penyadapan oleh penyidik dalam RUU KUHAP sudah cukup rinci. Hasil

penyadapan selanjutnya akan sangat membantu proses pembuktian sebagai

bukti elektronik.

Mengenai implementasi dari hukum adat Kalau menggunakan pendekatan

dimana suatu aturan hukum harus berlaku secara nasional, maka ketentuan

pidana juga harus berlaku untuk semua wilayah Indonesia, dan untuk itu

hukum pidana harus menjadi hukum yang bersifat unifikasi, dan apabila

penanganan Hukum Adat harus dilakukan oleh suatu lembaga peradilan

tertentu seperti pengadilan adat sebagaimana masa HIR, maka akan

diperlukan sarana, prasarana dan biaya besar.

Bahwa didalam aturan hukum pidana yang berlaku saat ini, tidak diatur secara secara tegas sistem keadilan yang dipergunakan, apakah mempergunakan sistem keadilan retributive atau restorative. Oleh karenanya, berakibat tidak jelas pula tujuan pemidanannya, apakah untuk menghukum pelaku atau untuk memperbaiki kerusakan yang timbul akibat perbuatan si pelaku.

Page 36: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

36

Pertanyaan Anggota Komisi III DPR RI dan Jawaban Kejati Bali

Apakah dengan adanya KUHP baru (kodifikasi), maka ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP menjadi tidak berlaku?

Jawaban:Ketentuan pidana yang tersebar tersebut tidak berlaku sepanjang hal

yang sama telah diatur dalam KUHP. Untuk ketentuan pidana lain yang belum

diatur dalam KUHP, maka tetap berlaku. Untuk kepastian hukum, hal ini harus

secara expressive verbis dicantumkan dalam aturan peralihan, namun jangan

sampai pencantuman tersebut menjadi bertentangan dengan asas oportunitas,

dimana apabila terjadi perubahan peraturan undang-undang, maka akan

dikenakan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi tersangka/ terdakwa. Jadi

harus hati-hati, untuk menyatakan bahwa dengan dikeluarkannya undang-

undang ini maka hal-hal yang sejenis tidak berlaku, untuk menghindari

bertentangan dengan asas oportunitas.

Ketentuan pidana tentang santet.

Jawaban:Karena bentuk deliknya formil, maka dalam pembuktian, tidak perlu

dibuktikan yang bersangkutan secara materiil mempunyai kemampuan santet,

cukup yang bersangkutan mengaku dan/ atau menawarkan mempunyai

kemampuan santet.

Apakah penyadapan perlu diatur dalam KUHAP atau di luar KUHAP?

Jawaban :Penyadapan pada hakekatnya adalah melakukan penggeledahan dan

penyitaan suatu data elektronik sehingga masuk ke dalam rumpun upaya paksa,

oleh karenanya harus dimasukkan ke dalam hukum acara. Terminologi

penyadapan sebenarnya mempersempit cakupan metode yang dapat

dipergunakan, karena terbatas pada percakapan yang disadap secara

elektronik.Untuk mencapai cakupan yang lebih luas, seperti bentuk lain selain

percakapan, yakni email, sms dan lain-lain, maka terminologi yang

dipergunakan seharusnya intersepsi.

Apakah dengan dimasukkannya korupsi dalam KUHP, sudah akan merubah

sifat korupsi sebagaimana maksud UU No.3 tahun 1999 Jo. UU 20 tahun

2001 bersifat extra ordinary?

Jawaban :Secara literature, yang termasuk kejahatan yang bersifat luar biasa

hanya pelanggaran HAM berat, karena pelanggaran HAM berat bisa

menyimpang asas non retro aktifitas dan bersifat supra nasional. Pada tahun

2003, dikeluarkan konvensi PBB anti korupsi yang kemudian diratifikasi oleh

Indonesia dengan UU No. 7 tahun 2006. Konsekwensi dari ratifikasi tersebut,

maka ketentuan tindak pidana korupsi di Indonesia harus sejalan dan mentaati

asas-asas dan standar dalam konvensi tersebut. United Nations Convention

against Corruption (UNCAC) tidak menggolongkan korupsi sebagai extra

ordinary crime.

Page 37: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

37

Masalah dihapusnya penyelidikan dalam RUU KUHAP?

Jawaban: Bahwa dalam literature, penyelidikan itu tidak terpisahkan dengan

kegiatan penyidikan. KUHAP-lah yang memisahkan antara penyelidikan dengan

penyidikan. Dalam RUU KUHAP yang dihapus cuma nomenklatur

penyelidikannya, tetapi fungsi penyelidikan termaktub dalam fungsi penyidikan.

Bahwa penggabungan penyelidikan kedalam penyidikan agar sejalan dengan

prinsip chek and balance, dimana apabila sudah dilakukan penyelidikan (yang

nomenklaturnya sudah menjadi penyidikan) maka pihak-pihak lain yang terkait

perkara, seperti penuntut umum dan penasihat hukum sudah dapat

menjalankan fungsi control chek and balance.

Kedudukan hakim pemeriksa pendahuluan?

Jawaban: Bahwa fungsi hakim pemeriksa pendahuluan adalah sebagai fungsi

control dan fungsi balance pra-ajudikasi, jadi upaya paksa dan penilaian berkas

tidak lagi semata-mata didasarkan pada subyektifitas penyidik maupun penuntut

umum, selain itu pihak penasihat hukumpun dapat mengajukan keberatan-

keberatannnya kepada hakim pemeriksa pendahuluan.

Pandangan yang menganggap hakim pemeriksa pendahuluan hanya

memperpanjang birokrasi dan tidak sejalan dengan asas cepat, sederhana dan

biaya ringan tidak sepenuhnya benar, seperti contoh: masa penahanan harus

dimanfaatkan dengan efisien, karena apabila tidak efisien, maka terdapat

kesempatan bagi penasihat hukum untuk meminta tersangka/ terdakwa

dikeluarkan dari tahanan kepada hakim pemeriksa pendahuluan.

Namun yang menjadi perhatian, siapa yang dapat menjadi hakim pemeriksa

pendahuluan? Di Amerika Serikat yang dapat menjadi hakim pemeriksa

pendahuluan (magistrate judge) dan di Perancis (juge d‟intruction) bukanlah

berasal dari hakim yang menyidangkan, namun diangkat dari jaksa-jaksa senior

yang lolos ujian untuk diangkat sebagai hakim pemeriksa pendahuluan.

Apa hambatan bagi penyidik dan penuntut umum untuk mempergunakan

Rupbasan sebagaimana dalam KUHAP?

Jawaban: Karena KUHAP membagi pertangung-jawaban tersebut berdasarkan

sistem kompartemen dan tahapan-tahapan peradilannya dan tanggung-jawab

untuk menghadirkan barang bukti tetap pada penuntut umum. Hal tersebut

rupanya berakibat tidak efisiennya proses pengambilan dan pengembalian

barang bukti ke Rupbasan, dikarenakan lokasi Rupbasan banyak yang jauh dari

lokasi kantor Kejari dan Pengadilan Negeri terkait. Jadi agar fungsi Rupbasan

efektif, maka agar tanggung-jawab untuk menghadirkan barang bukti diserahkan

kepada petugas Rupbasan atas perintah penuntut umum dan lokasi Rupbasan

ditempatkan di dekat Pengadilan Negeri terkait.

Page 38: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

38

Apakah Pengadilan Tipikor sebagaiaman UU No. 46 tahun 2009 harus ada

di kabupaten-kabupeten?

Jawaban: Dikarenakan kondisi geografis, maka terdapat kesulitan bagi penuntut

umum, penasihat hukum, saksi, ahli dan terdakwa untuk menghadiri

persidangan yang dilaksanakan di pengadilan tipikor yang ada di ibukota

propinsi. Untuk efektifitas dalam beracara, pengadilan tipikor sebaiknya tidak

berbentuk sebagai special court tetapi cukup sebagai special chamber dari

pengadilan negeri, sehingga pembentukan pengadilan tipikor di setiap ibu kota

kabupaten/kota dapat segera terealisasi.

Berapa lama status seseorang dapat menjadi tersangka dalam proses

penyidikan? Dalam KUHAP, putusan bebas tidak dapat dilakukan upaya

hukum (biasa), dalam praktik jaksa melakukan kasasi terhadap putusan

bebas tersebut. Apakah ini tidak bertentangan dengan KUHAP? Apakah

saksi pada saat proses pemeriksaan tidak boleh didampingi oleh penasihat

hukum, padahal tidak mungkin status saksi tersebut nantinya beralih menjadi

tersangka? Apakah masa penahanan dalam RUU KUHAP cukup?Terpidana

bukan lagi lingkup penyidikan dan penuntutan. Apa dasarnya dalam RUU

KUHAP, penyidik dan penuntut masih terlibat dalam eksekusi, karena sudah

merupakan kewenangan LAPAS? Apakah dalam RUU KUHAP dikenal

penyidik polri, PPNS dan lembaga lain?

Jawaban: Dengan sistem yang baru (sebagaimana diatur dalam RUU KUHAP),

maka tidak mungkin seseorang akan manjadi tersangka dalam bertahun-tahun,

karena dalam Pasal 88 ayat (3) RUU KUHAP telah disebutkan bahwa: “Dalam

hal tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditahan, berkas

perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai” dan

dalam proses penyidikan, penyidik berkoordinasi dengan penuntut umum, oleh

karenanya tidak akan terjadi lagi proses bolak-balik penanganan berkas

perkara.

Dalam literature memang dikenal putusan bebas murni (zuiver) dan tidak murni

(niet zuiver). Dalam praktek, upaya hukum kasasi atas putusan bebas tidak

murni yang diajukan oleh penuntut umum senantiasa diterima oleh Mahkamah

Agung.

Legal standing, bahwa penuntut umum dapat mengajukan kasasi terhadap

putusan bebas juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstuitusi No. 114/

PUU-X/ 2012 tanggal 28 Maret 2013, yang mana dalam amar putusan tersebut

disebutkan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 UU

No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Page 39: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

39

Dalam literature memang dikenal victim‟s advocate, dimana penasihat hukum

dapat mendampingi saksi yang berstatus sebagai saksi korban dan fungsinya

untuk memberikan sudut pandang victimology kepada penyidik dan penuntut

umum.

Dalam KUHAP, pendampingan terhadap tersangkapun pada prinsipnya within

sighting dan within hearing, oleh karenanya ide/ pemikiran agar saksi juga

didampingi oleh penasihat hukum pada saat proses pemeriksaan juga harus

disinkronkan dengan fungsi LPSK dan BISPA.

Dengan diratifikasinya konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau

penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat

manusia oleh Indonesia dengan UU No.5 tahun 1998, maka pada prinsipnya

penahanan tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu,

masa penahanan yang lama akan bertentangan dengan asas peradilan cepat,

sederhana dan biaya ringan.

Peranan penyidik dan penuntut umum terhadap proses eksekusi tetap

diperlukan, karena berdasarkan anatomi perkara, yang paling awal mengetahui

keberadaan suatu perkara adalah penyidik dan yang melaksanakan fungsi

penuntutan dalam persidangan dan eksekutor adalah jaksa. Selain itu, sangat

perlu untuk diketahui tentang perilaku terpidana sebelumnya pada saat proses

penyidikan dan persidangan serta apakah yang bersangkutan terlibat/ tidak

dalam perkara pidana lainnya.

Dalam RUU KUHAP masih dikenal penyidik selain pejabat Polri, sebagaimana

diatur pada Pasal 6 RUU KUHAP, yaitu: pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia; pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut

undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan;

dan pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-

undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Dan

penyidik lain, selain Polri yaitu TNI, KPK, dan Jaksa (penyidik atas HAM berat

sebagaimana ditentukan dalam stuta roma), jelas masih dibutuhkan. Jadi

ketentuan Pasal 6 RUU KUHAP sudah tepat.

Apakah masyarakat sudah siap atas penerapan RUU KUHP dan RUU

KUHAP? Apakah Negara mampu melaksanakannya? Dalam KUHAP ada

suatu bentuk seperti APC, dimana apabila terdakwa mengaku maka dia

dapat mempergunakan jalur khusus ini. Apakah bentuk seperti ini tidak akan

dimanfaatkan orang untuk dimanipulasi, dimana seseorang menyatakan

bertanggung-jawab padahal yang melakukan sebenarnya orang lain? Dalam

KUHAP dan RUU KUHAP pengajukan PK dilakukan oleh terpidana dan ahli

warisnya. Apakah pembatasan PK ini perlu ditambahkan, mengingat dalam

praktek, ada PK yang diajukan oleh jaksa. Apakah hukum adat dimasukkan

Page 40: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

40

dalam RUU KUHP? Apakah masih perlu memasukkan pasal penghinaan

terhadap presiden mengingat adanya putusan Mahkamah Konstitusi?

Jawaban: Dalam melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik, khususnya

hukum pidana dan peradilan pidana yang lebih baik, dipastikan akan terjadi

perubahan dan konsekwensi atas perubahan tersebut. Sebagaimana juga kita

pahami, dipastikan pula akan berlangsung masa transisi (engagement period)

guna merespon perubahan dan konsekwensi dari perubahan itu sendiri.

Sebagaimana surat keterangan presiden atas rancangan undang-undang

tentang hukum acara pidana tanggal 6 maret 2013, masa transisi yang

dibutuhkan adalah selama 6 (enam) bulan.

Kekhawatiran bahwa proses seperti APC yang dalam RUU KUHAP disebut jalur

khusus dapat dicegah, karena dalam RUU KUHAP telah dilakukan pembatasan-

pembatasan:

1. Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa, jika hakim ragu terhadap

kebenaran pengakuan terdakwa.

2. Perkara yang dapat mempergunakan jalur khusus hanya atas perkara yang

ancaman pidananya tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.

3. Penuntut umum hanya dapat melimpahkan perkara ke sidang acara

pemeriksaan singkat, yang mana untuk itu penuntut umum tetap harus

menghadapkan terdakwa beserta saksi, barang bukti, ahli, dan juru bahasa

apabila diperlukan.

Dalam hukum acara pidana, ada asas yang namanya equal arms, jadi masing-

masing pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam beracara pidana, oleh

karenanya kalau terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK), maka

jaksa juga seharusnya mempunyai kesempatan yang sama. Oleh karena itu,

agar efisien, apabila salah satu pihak mengajukan PK, maka pihak yang lain

juga diminta untuk mengajukan PK. Dengan demikian, ketentuan PK yang dapat

dilakukan Jaksa Agung dalam RUU KUHAP sudah sesuai dengan asas equal

arms, namun untuk kepastian hukum, agar ditentukan batas waktu kapan Jaksa

Agung sudah dapat mengajukan PK, apabila terpidana menolak untuk

mengajukan PK.

Penerapan hukum adat tidak boleh mengabaikan unifikasi, sehingga tidak boleh

tumpang tindih dengan hukum yang ada dan tidak boleh meliputi yang sifatnya

serious crime.

Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menghilangkan pasal penghinaan terhadap

presiden, tetapi merubah bentuk biasa menjadi delik aduan. Dalam beberapa

tradisi hukum dikenal asas Lèse-Majesté seperti halnya di Denmark, Belanda,

Norwegia, Spanyol, Yordania, Maroko dan Thailand, dan walaupun tidak semua

Page 41: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

41

negara menganut asas yang sekuat tradisi Lèse-Majesté, namun simbol-simbol

negara sepatutnya tetap dihormati dan dilindungi oleh hukum.

Apakah perlu lembaga independen dalam proses penyidikan? Cukupkah

masa penahanan 5 (lima) hari? Apakah memang perlu untuk mengadakan

lembaga hakim pemeriksa pendahuluan?

Jawaban: Tidak perlu, karena proses dalam RUU KUHAP sudah memadai,

dimana dalam pelaksanaan upaya paksa dan pra-penuntutan dikenal

keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan. Sebagaimana jawaban di atas,

pada prinsipnya penahanan tidak sepantasnya dilakukan dalam tenggang waktu

yang lama. Sebagaimana kami terangkan di atas, fungsi hakim pemeriksa

pendahuluan adalah sebagai fungsi control dan fungsi chek and balance pra-

ajudikasi, jadi upaya paksa dan penilaian berkas tidak lagi semata-mata

didasarkan pada subyektifitas penyidik maupun penuntut umum, selain itu pihak

penasihat hukumpun dapat mengajukan keberatan-keberatannnya kepada

hakim pemeriksa pendahuluan. Dapat kami pertegas, fungsi hakim pemeriksa

pendahuluan sangat jelas berbeda dengan praperadilan, dimana yang

diutamakan adalah diterapkannya sistem chek dan balance, transparansi dan

memberikan acces to juctice bagi semua pihak, termasuk penasihat hukum.

Bagaimana status orang yang menjadi tersangka yang bertahun-tahun

dimana tidak jelas statusnya dengan berlakunya RUU KUHAP? Apa bisa

perkara pidana yang mudah diselesaikan melalui peradilan adat, untuk

mengurangi beban PN?Apakah masih perlu diberikan imunitas terhadap

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim), karena dianggap bertentangan

dengan asas equality before the law?

Jawaban: Dengan sistem yang baru (sebagaimana diatur dalam RUU KUHAP),

maka tidak mungkin seseorang akan manjadi tersangka dalam bertahun-tahun,

karena dalam Pasal 88 ayat (3) RUU KUHAP telah disebutkan bahwa: “Dalam

hal tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditahan, berkas

perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak penyidikan dimulai” dan

dalam proses penyidikan, penyidik berkoordinasi dengan penuntut umum, oleh

karenanya tidak akan terjadi lagi proses bolak-balik penanganan berkas

perkara.

Sebagaimana telah disampaikan pada poin sebelumnya tentang masalah

hukum adat, maka perlu diperhatikan asas nullum delictum dan asas unifikasi

hukum pidana.

Apabila hukum adat dimasukkan kualifikasi delik hukum adat tersebut harus

masukkan dulu dalam KUHP dan untuk proses hukum acaranya bisa

mempergunakan jalur khusus sebagaimana ditentukan dalam RUU KUHAP.

Page 42: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

42

Mengenai hak imunitas penegak hukum, ini sebenarnya bukan imunitas atau

keistimewaan terhadap aparat hukum tetapi terkait pekerjaan dan pelaksanaan

tugasnya, yang hanya dapat diketahui setelah dilakukan penilaian melalui

pemeriksaan terhadap profesi tertentu, seperti anggota parlemen, menteri,

hakim, jaksa yang dilakukan melalui forum previlegiatum.

Ketua Pengadilan Tinggi

Tentang RUU KUHP

Penerapan hukum tidak tertulis dan hukum adat yang hidup dimasyarakat dalam sistim hukum pidana, khususnya Pengadilan di Bali berpedoman pada ketentuan pasal 5 ayat (3) sub b Undang – Undang Darurat nomor 1 Tahun 1951. Dari ketentuan tersebut, ada 2(dua) konklusi dasar, yaitu:

Bahwa tindak pidana adat yang tidak ada padanannya dalam KUHP, yang bersifat tidak berat atau tindak pidana adat yang ringan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 3(tiga) bulan dan/atau denda.

Sedangkan untuk tindak pidana adat yang berat, dapat dipidana paling lama 10(sepuluh) tahun, dan pidana yang dijatuhkan tersebut sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh pelaku.

Bagi tindak pidana adat yang ada bandingan atau padanannya dalam KUHP,maka ancaman pidananya sama dengan ancaman yang ada dalam KUHP. Agar penjatuhan pidana yang didasarkan pada pasal 5 ayat (3) sub b Undang – undang darurat No.1 Tahun 1951 tersebut tidak bertentangan degan azas legalitas seperti yang dianut dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, maka kami usulkan agar dalam pasal 1 RUU KUHP yang baru berbunyi sebagai berikut :

Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan anologi.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai

Page 43: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

43

Pancasila dan /atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Sudah waktunya untuk memperberat ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana.

Untuk menimbulkan efek jera bagi si pelaku tindak pidana,dan menjadi contoh pelajaran bagi masyarakat lainnya.

Memberi perlakuan yang sama terhadap pelaku tindak pidana, dengan tidak membedakan status, kaya dan miskin, pejabat Negara, pengusaha atau masyarakat biasa, baik di Rumah Tahanan Negara, di Lembaga Permasyarakatan ataupun di sidang Pengadilan.

> Kami menyambut baik dengan RUU KUHP yang baru, karena dalam KUHP sekarang, banyak yang sudah tidak sesuai, khususnya tetang ancaman pidana penjara, pidana denda dan kurungan pengganti denda.

> Disamping itu apabila tidak dibedakan, akan sulit untuk menentukan kualifikasi dari suatu tindak pidana dan sulit menentukan berat ringannya pemidanaan.

> Dalam penyusunan KUHAP yang baru dimohon DPR memperhatikan putusan – putusan MAHKAMAH KONSTITUSI yang menyangkut materi KUHAP, seperti :

Tentang pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Tentang pasal 83 ayat (2) KUHAP.

> Mohon diperhatikan dan diperbaiki adanya beberapa kata / bahasa yang tidak sesuai dengan bahasa hukum, yaitu seperti :

Dalam pasal 139 ayat (4), (5) RUU KUHAP kata “menguatkan” diganti dengan kata “mengabulkan”.

Pasal 139 ayat (6), kata “pendapat” diganti dengan “penetapan”.

Pasal 144 ayat (1) kata “sah” seharusnya ditambah “sah dan patut”.

> Pasal 199 ayat (1) mohon ditinjau kembali, karena bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

Tidak sependapat. Tetap harus dibedakan antara pelanggaran dengan kejahatan. Tindak pidana dalam pelanggaran, pada umumnya dilakukan tanpa disengaja dan belum menimbulkan korban bagi pihak lain sedangkan tindak pidana dalam kejahatan, dilakukan dengan sengaja dan telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat lain.

Page 44: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

44

RUU KUHAP

Hakim Komisaris mempunyai 2 fungsi, yaitu :

Fungsi Kontrol, yaitu untuk mengontrol apakah penahanan, penggeledahan,penyitaan dan penyadapan yang di lakukan oleh polisi dan jaksa sah atau tidak.

Fungsi Investigasi, yaitu melakukan investigasi dalam rangka penyidikan.

- Hakim Komisaris mempunyai kewenangan :

Menyatakan apakah penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, yang di lakukan oleh polisi atau jaksa memenuhi syarat atau tidak.

Berwenang untuk memutuskan apakah suatu perkara dapat dilanjutkan atau dihentikan.

Namun demikian, kami tidak sependapat dengan keberadaan Hakim Komisaris, karena :

Hak – hak Tersangka dan Korban kurang terlindungi karena tidak ada mekanisme meminta ganti rugi atas penangkapan, penahanan, dll yang tidak sah;

Ada mekanisme perlawanan ke PT, yang harus diajukan tersendiri dengan mekanisme gugatan.

Untuk Indonesia : tidak semudah untuk hanya menyisipkan satu bab tentang Hakim Komisaris, karena harus mengubah sistem peradilan pidana yang sekarang dianut;

Indosesia tidak menganut Polisi dan jaksa dalam satu atap ;

Harus mengubah semua perundang-undangan yang berkaitan dengan hal ini, misalnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, dll;

Kewenangan Hakim Komisaris dalam pasal 111 RKUHAP memperpanjang masalah proses penegakan hukum;

Kewenangan tersebut memaksa Hakim Komisaris melakukan investigasi sendiri, sehingga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan;

Pasal 197 ayat (1) KUHAP lama tetap dicantumkan huruf k. Tetapi dalam pasal 197 ayat (2) KUHAP (UU No : 8 Tahun 1981) diperbaiki

Page 45: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN ... · Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan

45

karena bertentangan dengan pasal 193 Jo Pasal 21 KUHAP, yaitu dengan menghilangkan huruf k pada ayat tersebut, sehingga menjadi :

(2) Tidak di penuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sehingga tidak dipenuhinya pasal 197 ayat (1) huruf k, tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.

3) Tupoksi Hakim adalah : menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, dengan berpedoman pada Hukum dan Perundang – undangan yang ada .

Tupoksi Hakim telah ditentukan dalam :

- Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. - Undang-undang Peradilan ; Umum, Agama, TUN dan Militer. - Undang-undang Mahkamah Agung, dll.

4) Sama dengan jawaban angka 1 pada RUU KUHP (tersebut diatas), dengan Hukum acaranya sesuai KUHAP.

5) Dalam KUHAP yang baru, agar ada keseimbangan perlindungan

terhadap Pelaku dan terhadap Korban. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (Penjelasan Terlampir)

VII Penutup Sebagai penutup dan kesimpulan, berdasarkan fakta, data dan informasi yang ditemukan oleh TIM Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI dalam Kunjungan Kerja ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa merupakan suatu keharusan dan sangat mendesak untuk dilakukan perubahan dan penyempurnaan secara komprehensif terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Demikian Laporan Hasil Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI di Provinsi Bali.

Ketua Tim Kunjungan Kerja/ Pimpinan Komisi III DPR RI

Gede Pasek Suardika, S.H., M.H.