Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DETERMINAN KEMAMPUAN AUDITOR DALAM
MENDETEKSI KECURANGAN
Arifuddin Aini Indrijawati
[email protected] [email protected]
Abstract
The growing number of go public companies makes the profession of public accounting
increasingly needed in the business world, namely to ensure and assess the fairness of the
financial statements presented by companies free of all forms of material misstatement both
due to errors and fraud. This study aims to examine the determinants of the auditor's ability
to detect fraud. Respondents in this study were KAP auditors in the Jakarta, Surabaya and
Makassar regions with purposive sampling techniques. The data collection method used in
this study was to distribute questionnaires to the respondents. The data analysis method used
is multiple linear regression analysis. This research is very useful for auditors in detecting
fraud. The results showed that the professional skepticism, audit experience, and workload
variables had a positive effect on the auditor's ability to detect fraud, while the personality
type variable did not influence the auditor's ability to detect fraud.
Keywords: professional skepticism, audit experience, workload, auditor's ability to detect
fraud
Abstrak
Meningkatnya jumlah perusahaan-perusahaan go publik membuat profesi akuntan
publik semakin dibutuhkan dalam dunia bisnis, yaitu untuk memastikan dan menilai
kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan bebas dari segala
bentuk salah saji materil baik karena kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti determinan kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan (fraud). Responden dalam penelitian ini adalah auditor KAP di wilayah Jakarta,
Surabaya dan Makassar dengan teknik purposive sampling. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada para
responden. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel skeptisme profesional, pengalaman audit, dan beban kerja
berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, sedangkan
variabel tipe kepribadian tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan.
Kata kunci : skeptisme profesional, pengalaman audit, beban kerja, kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan go publik membuat profesi akuntan
publik semakin dibutuhkan dalam dunia bisnis, yaitu untuk memastikan dan menilai
kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan, bebas dari segala bentuk
salah saji materil baik karena kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud). Semakin banyak
perusahaan yang telah go publik muncul mengakibatkan berbagai kasus kecurangan juga semakin
kompleks dengan jenis dan metode yang semakin berkembang.
Pelaksanaan audit oleh profesi akuntan publik atau auditor tidak hanya berorientasi pada
pembayaran fee dari klien, tetapi juga untuk kepentingan bagi pihak ketiga, yaitu masyarakat maupun
berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan. Pernyataan Standar Auditing
(PSA) Nomor 70 menyatakan bahwa dalam sebuah laporan keuangan, masalah salah saji material
(material misstatement) dapat disebabkan karena adanya kekeliruan (errors) ataupun kecurangan
(fraud).
Berbagai kasus audit yang terjadi, salah satunya yang paling terkenal dan cukup memberi
dampak signifikan pada kepercayaan publik adalah kasus Enron yang melibatkan Kantor Akuntan
Publik (KAP) Arthur Andersen. Laporan keuangan Enron dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh
KAP Arthur Andersen, namun publik kemudian dikejutkan dengan kabar kepailitan Enron Corp pada
tanggal 2 Desember 2001. Dalam kasus Enron diketahui terjadinya kasus manipulasi laporan
keuangan dengan mencatat keuntungan sebesar 600 juta Dollar AS padahal perusahaan sedang
mengalami kerugian. Dengan bantuan Arthur Andersen yang memiliki reputasi tinggi dalam profesi
akuntansi, Enron mampu menyembunyikan kewajiban-kewajibannya dan kerugian yang timbul
sehingga keuntungan pada laporan laba rugi akan menggelembung dan pada akhirnya mengangkat
harga sahamnya. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati
oleh investor.
Kasus manipulasi yang melibatkan auditor eksternal juga pernah terjadi di Indonesia, salah
satunya kasus yang terjadi pada PT. Kimia Farma. Ditemukan adanya kesalahan pencatatan dalam
laporan keuangan yang mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang
berakhir 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132
milyar, dan laporan tersebut di audit oleh kantor akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).
Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung
unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma
2001 disajikan kembali, karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Salah saji ini terjadi
dengan cara melebih sajikan penjualan dan persediaan pada 3 (tiga) unit usaha, Selain itu manajemen
PT. Kimia Farma melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada 3 unit usaha. Pencatatan ganda itu
dilakukan pada unit- unit yang tidak disampling oleh auditor, sehingga tidak berhasil dideteksi
(Wiguna, 2015).
Berdasarkan penyelidikan Bapepam disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan
keuangan PT. Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi
kecurangan tersebut. Selain itu KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan
kecurangan tersebut. Bapepam mengemukakan proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya
penggelembungan laba yang dilakukan PT. Kimia Farma. Kesalahan mendasar mungkin timbul dari
kesalahan penghitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan
interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian (Wiguna, 2015).
Selain itu kasus yang terjadi pada PT Telkom dimana Securities and Exchange Commision
(SEC) tidak mengakui laporan keuangan PT Telkom dan memintanya untuk melakukan audit ulang.
Indonesia marak dengan kasus-kasus yang belum terselesaikan, dan kesulitan dalam menemukan titik
terang seperti halnya kasus korupsi. Survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
melaporkan bahwa di tahun 2010 auditor internal hanya mampu mendeteksi kecurangan sebesar
13,7%, sementara auditor eksternal hanya mampu mendeteksi sebesar 4,2%. Tahun 2014 dilaporkan
adanya peningkatan kasus kecurangan yaitu sebanyak 1,483 kasus kecurangan yang terjadi di
lebih dari 100 negara dan Indonesia menyumbang kasus terbanyak untuk kawasan Asia-Pasifik
yakni memiliki 19 kasus fraud. Kasus-kasus tersebut menjadi tantangan bagi auditor. Sebagai pihak
yang independen auditor harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya
salah saji yang terkandung dalam laporan keuangan auditnya. Namun kenyataannya auditor memiliki
keterbatasan dalam kemampuannya mendeteksi kecurangan (Anggriawan, 2014). Keterbatasan ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan pengalaman auditor, kurangnya sikap
independensi, tekanan waktu dan rendahnya skeptisisme professional auditor.
1.2 Motivasi Penelitian
SA Seksi 230 PSA No. 04 (paragraph 6 s.d 8) dan dalam AU Section 230 SAS No. 82
(paragraph 7 s.d 9) mendefinisikan skeptisme profesional sebagai suatu sikap yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Auditor tidak boleh menganggap
bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak menganggap bahwa kejujuran manajemen
tidak dipertanyakan lagi. Hurt (2010:152) telah mengembangkan enam karakteristik skeptisme
profesional yang pertama terdiri dari tiga karakteristik yang berhubungan dengan auditor memeriksa
bukti yaitu questioning mind, suspension of judgment, search for knowledge. Karakteristik keempat
terkait dengan pertimbangan aspek manusia ketika mengevaluasi bukti audit yaitu interpersonal
understanding. Dua karakteristik terakhir yaitu autonomi dan self esteem berkenaan dengan
keberanian profesional auditor.
Nasution dan Fitriany (2012) pada Accounting and Auditing Enforcement Release (AAERs)
menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah
rendahnya tingkat skeptisme profesional yang dimiliki oleh auditor. Auditor dengan skeptisme yang
tinggi akan meningkatkan kemampuan mendeteksinya dengan cara mengembangkan pencarian
informasi-informasi tambahan bila dihadapkan dengan gejala-gejala kecurangan. Wiguna (2015),
Srikandi (2015), Merdian (2014), dan Aulia (2013) hasil penelitian menemukan bahwa skeptisme
profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, semakin
baik tingkat skeptisme profesional auditor maka upaya pendeteksian kecurangan akan semakin
meningkat.
Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs menyatakan bahwa salah satu
penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme
profesional yang dimiliki oleh auditor. Pernyataan ini didukung oleh Carpenter, Durtschi dan Gaynor
(2002) dalam Fitriany (2012) yang mengungkapkan bahwa jika auditor lebih skeptis, mereka akan
mampu lebih menaksir keberadaan kecurangan pada tahap perencanaan audit, yang akhirnya akan
mengarahkan auditor untuk meningkatkan pendeteksian kecurangan pada tahap-tahap audit
berikutnya.
Selain skeptisme professional, penelitian Tirta dan Sholihin (2004) menyatakan bahwa
pengalaman yang dimiliki auditor akan membantu auditor dalam meningkatkan pengetahuannya
mengenai kekeliruan dan kecurangan. Winantyadi dan Waluyo, (2014) menyatakan pengalaman audit
merupakan faktor yang juga memengaruhi skeptisme profesional auditor dan kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan. Semakin banyak seorang auditor melakukan pemeriksaan laporan
keuangan, maka semakin tinggi tingkat skeptisisme profesional auditor yang dimiliki. Auditor yang
berpengalaman juga pasti telah banyak melakukan tugas audit, sehingga mereka pernah menemukan
kasus kecurangan serta memiliki pengetahuan yang luas dan pemikiran yang baik untuk mendeteksi
kecurangan. Auditor yang berpengalaman cenderung memiliki sikap skeptisme yang baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam mendeteksi kecurangan
Lopez dan Peters (2011) mengemukakan bahwa ketika berada pada busy season yaitu pada
periode kuartal pertama awal tahun, auditor diminta untuk menyelesaikan beberapa kasus
pemeriksaan yang mengakibatkan auditor kelelahan dan menurunnya kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan. Tekanan beban kerja yang sangat berat bagi auditor dapat menimbulkan
dampak negatif bagi proses audit, antara lain auditor akan cenderung untuk mengurangi beberapa
prosedur audit dan auditor akan dengan mudah menerima penjelasan yang diberikan oleh klien
(DeZoort and Lord, 1997 dalam Lopez dan Peters, 2011). Fitriany (2011) menyatakan bahwa beban
kerja auditor berhubungan negatif dengan kualitas audit, semakin banyak beban kerja auditor maka
semakin rendah kualitas audit yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, beban kerja
diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan,
Nasution (2012), Supriyanto (2014), dan Indriyani (2015) menyatakan bahwa beban kerja
berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan
Noviyanti (2008) menyatakan bahwa tipe kepribadian seseorang menjadi salah satu faktor
yang menentukan sikap yang dimiliki oleh individu tersebut, termasuk sikap skeptisme yang terdapat
pada diri individu tersebut. Auditor yang memiliki sikap skeptis yang tinggi biasanya memiliki ciri-
ciri kepribadian yang selalu berpikiran logis dan membuat keputusan berdasarkan fakta-fakta yang
ada. Tipe kepribadian merupakan faktor yang sering dilupakan untuk meningkatkan skeptisme
profesional dan kemampuan auditor dalam men- deteksi kecurangan. Penelitian Noviyanti (2008)
menyatakan, bahwa tipe kepribadian seseorang menjadi salah satu faktor yang menentukan sikap
yang dimiliki oleh individu tersebut, termasuk sikap skeptisme yang terdapat pada diri individu
tersebut. Auditor dengan tipe kepribadian ST dan NT berdasarkan teori Myers-Briggs cenderung lebih
memiliki sikap skeptis. Karena auditor tersebut memiliki ciri-ciri kepribadian yang selalu berpikiran
masuk akal dalam membuat keputusan berdasarkan pada fakta yang ada. Sehingga auditor dengan tipe
kepribadian ST dan NT lebih skeptis untuk mendeteksi kecurangan dibanding kan dengan tipe
kepribadian yang lain.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Fullerton dan Durstchi (2010) yang
menguji pengaruh skeptisme profesional terhadap peningkatan kemampuan auditor dalam mendeteksi
gejala-gejala kecurangan, penelitian Suraida (2005) dan Anugerah, Sari dan Frostiana (2011) yang
menguji pengaruh pengalaman audit terhadap skeptisme professional, dan Noviyanti (2008) yang
menguji pengaruh tipe kepribadian terhadap skeptisme profesional.
1.3 Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan
penelitian, adalah.
a. Apakah skeptisme profesional auditor memengaruhi kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan?
b. Apakah pengalaman auditor memengaruhi kemampuan auditor mendeteksi kecurangan?
c. Apakah beban kerja auditor memengaruhi kemampuan auditor mendeteksi kecurangan?
d. Apakah tipe kepribadian auditor memengaruhi kemampuan auditor mendeteksi kecurangan?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah.
a. Untuk menganalisis pengaruh skeptisme profesional auditor terhadap kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan.
b. Untuk menganalisis pengaruh pengalaman auditor terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan.
c. Untuk menganalisis pengaruh beban kerja auditor terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan.
d. Untuk menganalisis pengaruh tipe kepribadian auditor terhadap kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan.
II. Landasan Teori Dan Hipotesis
2.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi menyebutkan bahwa tindakan kecurangan pada dasarnya dilatarbelakangi
oleh konflik kepentingan antara pihak principal dan agent. Principal memberikan tanggung
jawab kepada agent untuk menjalankan kegiatan operasional perusahaan dengan tujuan
memperoleh laba. Principal akan memberikan kompensasi yang tinggi ketika agent mampu
menghasilkan laba optimum. Kompensasi tersebut membuat agent termotivasi untuk menghasilkan
laba sebesar-besarnya yakni dengan cara melakukan tindakan kecurangan (Hanifa, 2015).
Kesempatan
Rasionalisasi Tekanan
Gambar 2.1 Fraud Tiangle
Fuad (2015) menyebutkan bahwa ada tiga hal yang melatarbelakangi seseorang
melakukan tindakan kecurangan (fraud), diantaranya yaitu : Elemen pertama yaitu tekanan
(pressure) yang dapat berupa tekanan finansial dan non finansial (Sukirman, 2013). Tekanan
finansial muncul ketika seseorang memiliki keinginan untuk memunyai gaya hidup berkecukupan
atau memuaskan diri secara materi. Sedangkan faktor non finansial dapat mendorong seseorang
untuk berbuat kecurangan (fraud) seperti tindakan untuk menyembunyikan kinerja buruk.
Elemen kedua yaitu kesempatan (opportunity) yang diakibatkan karena seseorang yang
mempercayai bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak terdeteksi oleh orang lain. Peluang tersebut
dapat terjadi ketika sistem pengendalian suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan dari
FRAUD
TRIANGLE
manajemen maupun prosedur yang tidak memadai yang dapat menciptakan peluang atau
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan (fraud). Elemen ketiga yaitu
rasionalisasi (rationalization) merupakan suatu pembenaran yang dilakukan oleh para pelaku
dengan cara mencari berbagai alasan rasional atas tindakan yang telah dilakukannya. Misalkan
pihak manajemen memanfaatkan standar akuntansi yang memberikan berbagai pilihan alternatif
untuk menjustifikasi tindakan mereka dalam melakukan rekayasa akuntansi laporan keuangan.
2.2 Teori Disonansi Kognitif
Teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) dikembangkan oleh Leon Festinger pada
tahun 1957. Teori ini mengatakan bahwa manusia pada dasarnya menyukai konsistensi, oleh karena
itu manusia akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain dan
menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Disonansi artinya adanya suatu
inkonsistensi. Disonansi kognitif memunyai arti keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang
diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan. Disonansi adalah sebutan
untuk ketidakseimbangan dan konsonasi adalah sebutan untuk keseimbangan. Dalam teori ini yang
dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa yang dipercaya orang
mengenai sesuatu obyek, lingkungan, diri sendiri atau perilakunya (Festinger, 1957). Dalam kaitannya
dengan penelitian ini, teori ini membantu untuk menjelaskan bagaimana sikap skeptisme auditor jika
terjadi disonansi kognitif dalam dirinya ketika mendeteksi kecurangan. Tingkat kepercayaan (trust)
auditor yang tinggi terhadap klien akan menurunkan tingkat skeptisme profesionalnya, demikian
sebaliknya, tingkat kepercayaan (trust) auditor yang rendah terhadap klien akan meningkatkan tingkat
skeptisme profesionalnya. Sedangkan pemberian penaksiran risiko kecurangan (fraudrisk assessment)
yang tinggi dari atasan auditor kepada auditor akan meningkatkan skeptisme profesionalnya dan
pemberian risiko kecurangan (fraudrisk assessment) yang rendah dari atasan auditor kepada auditor
akan menurunkan skeptisme profesionalnya (Noviyanti, 2008).
2.3 Teori Perilaku yang Direncanakan
Ajzen (1991) dalam pandangannya mengenai konsep teori perilaku yang direncanakan
(Theory of Planned Behavior) mengasumsikan bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas
(behave in a sensible manner) sesuai dengan apa yang diinginkan lingkungannya. Tujuan dan manfaat
teori ini dalam konteks penelitian ini adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh
motivasi perilaku, baik kemauan individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari individu tersebut.
Teori perilaku yang direncanakan, menurut Januarti (2011), memiliki fungsi dari tiga dasar
determinan. Pertama, terkait dengan sikap dasar seseorang, contohnya adalah sikap seseorang
terhadap intuisi, orang lain, atau obyek. Teori ini dapat menjelaskan bahwa sikap dasar atau
kepribadian seseorang dapat terbentuk atas respon seseorang tersebut terhadap lingkungan, objek, dan
intuisi. Berkaitan pula dengan penelitian ini, sikap skeptisme yang ditunjukkan auditor merupakan
suatu sikap dalam menghadapi suatu kasus atau penugasan audit yang diberikan. Selain itu, jumlah
beban dalam hal ini beban penugasan atau audit yang ditanggung seseorang juga akan memengaruhi
bagaimana ia akan bersikap. Kedua, menggambarkan pengaruh sosial yang disebut norma subjektif.
Ketiga, berkaitan dengan isu kontrol. Faktor ini berkaitan dengan masa lalu dan persepsi seseorang
terhadap seberapa sulit untuk melakukan suatu perilaku, contohnya adalah pengalaman audit dalam
melakukan prosedur audit dalam penugasan auditnya.
2.4 Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor dan Kemampuan Mendeteksi Kecurangan
Penelitian Noviyanti (2008) menemukan bahwa rendahnya sikap skeptisisme profesional
yang dimiliki auditor menjadi salah satu penyebab kegagalan mendeteksi kecurangan.
Anggriawan (2014) dan Simanjuntak (2015) menyatakan bahwa sikap skeptis yang dimiliki
auditor akan membuat auditor lebih berhati-hati dalam pembuatan keputusan dan pemberian opini.
Aulia (2013) mengemukakan bahwa dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seorang auditor
seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit, tetapi
juga harus disertai dengan sikap skeptisme professional. Sedangkan Anggriawan (2014) menyatakan
skeptisme adalah sikap kritis dalam menilai kehandalan asersi atau bukti yang diperoleh, sehingga
dalam melakukan proses audit seorang auditor memiliki keyakinan yang cukup tinggi atas suatu asersi
atau bukti yang telah diperolehnya dan juga mempertimbangkan kecukupan dan kesesuaian bukti
yang diperoleh. Penelitian yang dilakukan Merdian (2014), Hilmi (2014), Wiguna (2015), Srikandi
(2015) menyatakan bahwa skeptisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1 : Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan (fraud)
2.4.2 Pengaruh Pengalaman Auditor dan Kemampuan Mendeteksi Kecurangan
Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit,
adanya diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, dan dengan adanya program pelatihan dan
penggunaan standar. Perkembangan moral kognitif seseorang diantaranya sangat dipengaruhi oleh
pengalaman (Nasution, 2012). Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu faktor yang penting dalam
memprediksi kinerja auditor (Januarti, 2011). Penelitian Noviyani (2002), Tirta dan Sholihin (2004)
dan Nasution (2012) menemukan auditor yang berpengalaman akan memiliki pengetahuan tentang
kekeliruan dan kecurangan yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan kinerja yang lebih baik
dalam mendeteksi kasus-kasus kecurangan dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman.
Anggriawan (2014) menemukan bahwa auditor yang memiliki tingkat jam kerja yang tinggi akan
menemui banyak kasus atau masalah-masalah yang dapat memperdalam pengetahuan dan
keahliannya. Adnyani dkk (2014) menyatakan bahwa pengalaman auditor dapat berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan pendeteksian kecurangan dan kekeliruan laporan keuangan. Semakin
tinggi pengalaman yang dimiliki auditor, akan semakin meningkat kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan maka hipotesis :
H2: Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan (fraud)
2.4.3 Pengaruh Beban Kerja dan Kemampuan mendeteksi kecurangan
Nasution (2012), Indriyani (2015) dan Supriyanto (2014) menyatakan beban kerja ber-
pengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Setiawan dan Fitriany
(2011) mengemukakan beban kerja auditor dapat dilihat dari banyaknya jumlah klien yang harus
ditangani oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor untuk melakukan proses audit. Nasution
(2012) kelebihan pekerjaan pada saat busy season akan mengakibatkan kelelahan dan ketatnya time
budget bagi auditor sehingga akan menghasilkan kualitas audit yang rendah. Penelitian Nasution
(2012) menemukan beban kerja berpengaruh negatif pada skeptisme profesional. Pada konteks
pendeteksian kecurangan, banyaknya beban kerja juga diduga berpengaruh negatif terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Murtisari dan Ghozali (2006) menemukan bahwa
beban pekerjaan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dan kinerja auditor. Penelitian
Fitriany (2011) menemukan beban kerja auditor berpengaruh negatif terhadap kualitas audit. Hasil-
hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa beban kerja yang semakin meningkat akan
menurunkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan atau kesalahan yang dilakukan
manajemen karena kelelahan sehingga berakibat pada hasil audit yang rendah. Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya, diduga semakin banyak beban kerja yang ditanggung, tidak akan
meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi kecurangan sehingga hipotesis dalam penelitian:
H3 : Beban kerja auditor berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan (fraud)
2.4.4 Pengaruh Tipe kepribadian Auditor dan Kemampuan mendeteksi Kecurangan
Robbins dan Judge (2008) menyatakan kepribadian sebagai organisasi organik dalam individu
yang memiliki sistem psikologis yang menentukan penyesuaian uniknya terhadap lingkungannya, dan
kepribadian merupakan cara-cara yang ditempuh individu dalam bereaksi dan berinteraksi dengan
orang lain. Hafifah dan Fitriany (2012) mengemukakan bahwa auditor dengan tipe kepribadian ST-
NT akan lebih meningkatkan kemampuan mendeteksinya bila dihadapkan dengan gejala-gejala
kecurangan dibandingkkan dengan auditor dengan tipe kepribadian lainnya. Indriyani (2015) dan
Supriyanto (2014) mengemukakan bahwa tipe kepribadian auditor berpengaruh negatif terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Selain itu Penelitian Noviyanti (2008)
menemukan bahwa auditor dengan tipe kepribadian ST (Sense and Thinking) dan NT (Intuition and
Thinking) adalah auditor yang memiliki skeptisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan
auditor dengan tipe kepribadian lainnya. Kepribadian dengan tipe kombinasi ST dan NT merupakan
tipe yang cenderung logis dalam mengambil keputusan karena mempertimbangkan fakta-fakta yang
ada. Tuanakotta (2007) Tipe kombinasi NT cenderung menekankan pola, konteks, dan hubungan
dengan data yang meragukan dan tidak meyakinkan dimana pada kondisi tersebut auditor dituntut
harus menebak-nebak makna dari data tersebut secara intuitif, dan selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk menggali fakta dengan logika dan analisis yang obyektif serta kritis dalam situasi dimana
keputusan harus diambil. Berdasarkan konsep tersebut, maka diduga ada pengaruh tipe kepribadian
kombinasi NT yang ada pada diri auditor terhadap kemampuan auditor tersebut dalam mendeteksi
kecurangan. Berangkat dari argumentasi tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai
berikut:
H4 : Tipe Kepribadian auditor yang sesuai berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan (fraud)
III. Metode Penelitian
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja Kantor Akuntan Publik di Jakarta,
Surabaya dan Makassar, sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Direktori Kantor Akuntan
Publik yang dikeluarkan Ikatan Akuntan Indonesia yaitu sebanyak 176 responden. Kriteria
pengambilan sampel bagi staf auditor yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah auditor
yang memunyai pengalaman kerja di Kantor Akuntan Publik sekurang-kurangnya 1 tahun sehingga
dianggap telah memiliki waktu yang relatif cukup untuk memahami dan menyesuaikan segala bentuk
penugasan yang disertai adanya beban kerja atas penugasan tersebut. Semua variabel dalam penelitian
ini diukur dengan menggunakan kuesioner.
3.2 Definisi operasional Variabel
a. Variabel kemampuan mendeteksi kecurangan yaitu kemampuan untuk mengenali dan
mengidentifikasi gejala-gejala kecurangan (fraud symptoms) yang dikembangkan oleh Fullerton
dan Durtschi (2010) dan dimodifikasi oleh Nasution (2012) yang terdiri dari gejala kecurangan
terkait dengan lingkungan perusahaan (corporate environment) dan gejala kecurangan terkait
catatan keuangan dan praktek akuntansi (financial records and accounting practice).
b. Skeptisme profesional adalah sikap perilaku (attitude) auditor yang akan membawa tindakannya
pada tindakan yang akan selalu menanyakan dan menaksir secara kritis terhadap bukti audit.
Skeptisme profesionalisme mengadopsi dari Hurtt, Eining dan Plumlee (2003) dan indikator antara
lain memahami penyediaan bukti, tindakan yang diambil berdasarkan bukti dan sikap skeptis.
c. Beban kerja adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang. Fitriany (2011)
menyebutkan bahwa beban kerja auditor dapat dilihat dari banyaknya jumlah klien yang harus
dikerjakan oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor untuk melakukan proses audit.
d. Kepribadian sebagai organisasi organik dalam individu yang memiliki sistem psikologis yang
menentukan penyesuaian uniknya terhadap lingkungannya. Jadi kepribadian merupakan cara-cara
yang ditempuh individu dalam bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins dan Judge,
2008:137). Adapun indikator tipe kepribadian diukur menggunakan tes MBTI. (Myers Briggs Type
Indicator). Auditor dengan tipe kepribadian ST (Sense Thinking) dan NT (Intuition Thinking)
diberi nilai 1 dan auditor dengan tipe kepribadian selain ST (Sense-Thinking) dan NT (Intuition-
Thinking) diberi nilai 0.
e. Pengalaman berdasarkan Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary adalah pengetahuan atau
keahlian yang diperoleh dari suatu peristiwa melalui pengamatan langsung ataupun berpartisipasi
dalam peristiwa tersebut. Penelitian yang dilakukan Libby dan Frederick, (1990) menemukan
bahwa auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya memiliki kemampuan untuk
menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) yang tidak lazim yang terdapat dalam
laporan keuangan tetapi juga auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat
terhadap temuannya tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih sedikit pengalaman.
Semakin tinggi skor dalam variabel ini, berarti semakin banyak pengalaman yang telah dimiliki
auditor, terdapat empat pilihan jawaban dimana semakin lama seorang responden bekerja sebagai
seorang auditor maka semakin tinggi nilai yang diberikan.
f. Beban kerja (workload) adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang. Ishak
(2015) menyatakan bahwa work-load dapat dilihat dari berapa jumlah klien yang harus ditangani
oleh seorang auditor. Nasution (2012) menyebutkan bahwa beban kerja auditor dapat dilihat dari
banyaknya jumlah klien yang harus ditangani oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor
untuk melakukan proses audit. Beban kerja diukur melalui rata-rata jumlah penugasan audit yang
dilakukan oleh auditor selama satu tahun. Semakin rendah skor variabel ini, menunjukkan bahwa
semakin ringan beban kerja yang dimiliki auditor.
3.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Data
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s Alpha. Hasil pengujian
menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha > 0,6, hasil tersebut menunjukkan bahwa data yang digunakan
dalam penelitian adalah reliabel.
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Pengujian validitas
ini menggunakan total correlation (corrected item) Pengujian menggunakan dua sisi dengan taraf
singnifikan 0,05. Hasil menunjukkan semua variable penelitian valid.
3.4 Uji Asumsi klasik
Uji multikolinieritas dalam penelitian ini menggunakan nilai tolerance dan nilai variance
inflation factors (VIF) sebagai indikator ada atau tidaknya multikolinieritas diantara variabel bebas.
Dari hasil pengujian diperoleh nilai tolerance angka > 0,10 dan nilai VIF menunjukkan < 10, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikoleniaritas pada model regresi.
Penelitian ini menggunakan uji normalitas dengan pengujian Kolmogorof-Smirnov. Pada uji
Kolmogorov-Smirnov menghasilkan nilai signifikansi > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa model
regresi dalam penelitian ini berdistribusi normal.
Sedangkan uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji Gleyser sebagai indikator
terjadinya heteroskedastisitas. Dari hasil pengujian diperoleh nilai signifikansi (Sig) > 0,05. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan tidak terkena heteroskedastisitas.
3.5 Uji hipotesis
Pengujian Hasil Koefisien Deerminasi (R2)
Tabel 1
Hasil Koefisien Determinasi ( R2 )
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the
Estimate
1 0.955 0.899 0.887 1.211
a.Predictors : (Constanst), Pengalaman auditor, Beban kerja, Kepribadian, Skeptisme
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 1. di atas dapat kita lihat nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar
89,9% yang artinya bahwa variabel independen pengalaman auditor, beban kerja auditor dan
kepribadian dan skeptisme memengaruhi pendeteksian kecurangan dan sisanya 10,1% dipengaruhi
oleh variabel lain yang tidak termasuk diteliti dalam penelitian ini.
3.6 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Hasil uji statistik F didapat nilai F hitung sebesar 3,267 > F tabel sebesar 2,61 dengan
probabilitas sebesar 0,022 < 0,05. Hasil ini menunjukan bahwa model regresi dapat digunakan untuk
memprediksi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan atau variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan bahwa skeptisme profesional memunyai nilai
thitung sebesar 3,278 > dari nilai ttabel sebesar 2,021 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0,002 <
0,05. Hal ini berarti menerima hipotesis pertama sehingga dapat dikatakan bahwa skeptisme
profesional berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan.
Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan bahwa pengalaman kerja memunyai nilai thitung
sebesar 1,788 < dari nilai tabel sebesar 2,021 dengan probabilitas signifikansi 0,023 < 0,05. Hal ini
berarti menerima hipotesis kedua sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh
signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa beban kerja memunyai nilai thitung sebesar
1,887 < dari nilai tabel sebesar 2,021 dengan probabilitas signifikansi 0,020 < 0,05. Hal ini berarti
menerima hipotesis ketiga sehingga dapat dikatakan bahwa beban kerja berpengaruh signifikan
terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Hasil uji hipotesis keempat menunjukkan bahwa tipe kepribadian memunyai nilai thitung
sebesar 0,913 < dari nilai ttabel sebesar 2,021 dengan probabilitas signifikansi 0,63 > 0,05. Hal ini
berarti menolak hipotesis keempat sehingga dapat dikatakan bahwa tipe kepribadian dengan
kombinasi ST dan NT tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan.
IV. Hasil Dan Pembahasan
4.1 Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan (Fraud)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skeptisisme Profesional Auditor berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Hasil penelitian
ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2013), Angriawan (2014), dan
Simanjuntak (2015) yang menemukan adanya pengaruh positif skeptitisme profesional auditor
terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Fullerton dan Durtschi (2004) telah
membuktikan dalam penelitiannya bahwa auditor dengan skeptisme yang tinggi akan meningkatkan
kemampuan mendeteksinya dengan cara mengembangkan pencarian informasi-informasi tambahan
bila dihadapkan dengan gejala-gejala kecurangan. Auditor yang memiliki sikap skeptisisme akan
berhati-hati terutama dalam membuat keputusan serta memberikan opini auditnya. Auditor akan
mencari bukti dan informasi tambahan untuk memastikan sejauh mana tingkat keakuratan dan
keyakinan dari bukti audit untuk digunakan dalam menilai laporan keuangan yang diaudit apakah
terbebas dari segala bentuk salah saji. Skeptisisme akan mempermudah auditor dalam mendeteteksi
kecurangan karena auditor memiliki pikiran kritis dan rasa keingintahuan yang tinggi, sehingga akan
lebih sensitif terhadap gejala kecurangan. Hal ini sejalan dengan theory disonansi kognitif yang
menyatakan bahwa tingkat kepercayaan (trust) auditor yang tinggi terhadap klien akan menurunkan
tingkat skeptisme profesionalnya, demikian sebaliknya, tingkat kepercayaan (trust) auditor yang
rendah terhadap klien akan meningkatkan tingkat skeptisme profesionalnya.
4.2 Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan
(Fraud)
Hasil pengujian pengalaman auditor berpengaruh positif signifikan terhadap kemampuan
mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anggriawan (2014), Indriyani (2015) maupun Wusqo (2016) yang menyatakan bahwa pengalaman
kerja berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Seorang
auditor yang memiliki banyak pengalaman terutama dalam kegiatan auditnya memunyai lebih banyak
hal yang dapat meningkatkan pengetahuan, keahlian dan kemampuannya dalam mendeteksi
kecurangan. Semakin lama bekerja sebagai auditor, akan semakin banyak penugasan dan jenis
perusahaan yang ditangani sehingga auditor akan memiliki banyak pengetahuan dan pemahaman yang
luas yang dapat meningkatkan kesadaran dan kepekaannya jika terjadi kekeliruan atau kecurangan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan theory disonansi kognitif yang menyatakan bahwa manusia pada
dasarnya menyukai konsistensi, oleh karena itu manusia akan cenderung mengambil sikap-sikap yang
tidak bertentangan satu sama lain dan menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
sikapnya.
4.3 Pengaruh Beban kerja auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan
(fraud)
Hipotesis kedua, beban kerja berpengaruh terhadap pendeteksian auditor atas fraud laporan
keuangan auditor. Hasil pengujian sebelumnya menunjukkan bahwa koefisien variabel beban kerja
memiliki pengaruh positif dengan tingkat signifikan sebesar 0,020 dimana lebih kecil dari alpha 0,05.
Dengan demikian beban kerja memunyai pengaruh positif terhadap pendeteksian auditor atas
kecurangan. Hal ini menunjukkan semakin besar beban kerja seorang auditor, maka semakin baik
pendeteksian auditor atas kecurangan dan semakin kecil beban kerja seorang auditor, maka semakin
kurang baik pendeteksian auditor atas kecurangan. Penelitian ini sejalan dengan agency theory yang
menyatakan bahwa tindakan kecurangan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh konflik
kepentingan antara pihak principal dan agent. Principal memberikan tanggung jawab kepada agent
untuk menjalankan kegiatan operasional perusahaan dengan tujuan memperoleh laba dan akan
memberikan kompensasi yang tinggi ketika agent mampu menghasilkan laba optimum. Namun
penelitian ini berbeda dengan penelitian Fitriani (2011) dan Nasution (2012) yang menemukan bahwa
beban kerja memunyai pengaruh negatif terhadap peningkatan kemampuan mendeteksi kecurangan
kurang dapat didukung. Beban kerja yang semakin meningkat akan menurunkan kemampuan auditor
dalam mendeteksi kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) sebuah perusahaan yang akan berakibat
juga dengan kualitas audit yang dihasilkan menjadi lebih rendah (Loperz dan Peters, 2011).
Begitupun dengan Murtisari dan Ghazali (2006) juga menyatakan bahwa beratnya beban pekerjaan
yang mengakibatkan kelebihan pekerjaan akan menurunkan kepuasan kerja dan kinerja auditor dalam
melaksanakan proses audit.
4.4. Pengaruh Tipe Kepribadian Auditor Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan ( Fraud)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepribadian tidak berpengaruh terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan. Adanya perbedaan tipe kepribadian yang dimiliki oleh auditor
tidak memengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hal ini mungkin saja
disebabkan karena auditor telah memiliki kompetensi yang membuat auditor lebih cepat dan tepat
dalam mendeteksi kecurangan, auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya memiliki
kemampuan dalam menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan (fraud) yang tidak lazim yang
terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih
akurat terhadap temuannya tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih dengan sedikit
pengalaman, sehingga perbedaan tipe kepribadian tidak mampu memengaruhi kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan. Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan tipe
kepribadian yang sesuai berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan ditolak. Hal ini tidak sejalan dengan theory planned behavior yang menyatakan bahwa
sikap dasar atau kepribadian seseorang dapat terbentuk atas respon seseorang terhadap lingkungan,
objek, dan intuisi. Hasil penelitian inipun tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fitriany dan Nasution (2012), Indriyani (2015) dan Supriyanto (2014) yang menyatakan bahwa tipe
kepribadian auditor berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
V. Kesimpulan, Implikasi Dan Keterbatasan
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman audit, beban kerja dan skeptisisme
profesional berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan sedangkan tipe
kepribadian tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi auditor, mengingat tugas utama seorang auditor harus mampu
mendeteksi kecurangan.
Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai keterbatasan, kemungkinan timbulnya bias terhadap
respon dari para responden karena adanya ketidak- seriusan responden pada saat mengisi atau
memberikan jawaban terhadap kuisioner yang diberikan sehingga menyebabkan variabel tidak terukur
dengan sempurna. Untuk penelitian kedepan diharapkan peneliti dapat menggunakan metode
wawancara secara langsung kepada responden agar pertanyaan dari kuisioner dapat lebih dipahami.
meskipun jumlah auditor yang menjadi responden sudah memenuhi kriteria minimal jumlah sampel
penelitian, namun akan lebih baik jika jumlahnya lebih banyak lagi sehingga hasilnya lebih
menggambarkan kondisi yang sebenarnya maka disarankan untuk peneliti selanjutnya lokasi
penelitian diperluas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2008. Auditing Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan. UUP STIM.
Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behaviour. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 50
(2). 179-211.
Anggriawan, Eko Ferry. 2014. Pengaruh Pengalaman Kerja, Skeptisme Profesional, dan Tekanan Waktu
Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Fraud. Jurnal Nominal. Volume II No 2. Universitas
Negeri Yogyakarta.
Adnyani, Nyoman dkk. 2014. Pengaruh Skeptisme Profesional Auditor, Independensi, dan Pengalaman Auditor
Terhadap Tanggungjawab Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan dan Kekeliruan Laporan Keuangan. E
Journal. Volume 2 No. 1. Universitas Pendidikan Ganesha
Asih, Dwi Annaning Tyas, 2006. Pengaruh Pengalaman Terhadap Peningkatan Keahlian Auditor Dalam Bidang
Auditing. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Aulia, Muhammad Yusuf. 2013. Pengaruh Pengalaman, Independensi, dan Skeptisme Profesional Auditor
Terhadap Pendeteksian Kecurangan. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Bawono Icuk Rangga dan Elisha Muliani Singgih. 2010. Faktor-Faktor dalam Diri Auditor dan Kualitas Audit.
Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Universitas Jenderal Soedirman. http://journal.uii.ac.id.
Diakses 20 April 2016.
Beasley, M.S., Carcello, J.V., and Hermanson, D.R.2001. “Top 10 Audit Deficiencies.” Journal of Accountancy
(April 2001): 63-66.
Festinger, Leon. 1957. A Theory of Cognitive Dissonance. California : Stanford University Press.
Fitriany. (2011). Analisis Komprehensif Pengaruh Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik Terhadap
Kualitas Audit. Disertasi. Universitas Indonesia.
Fitriani, Rika, (2012), Pengaruh Kemampuan Auditor Investigatif Terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur
Audit dalam Pembuktian Kecurangan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan. Bandung
Fitriany dan Hafah Nasution, 2012. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit dan Tipe Kepribadian Terhadap
Skeptisme Profesional Dan Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan. Skripsi. Universitas
Indonesia Jakarta. http: //sna.akuntansi.unikal.ac.id/ diakses pada tanggal 17 Januari 2016.
Fuad, K. 2015. “Pengaruh Kompetensi, Independensi dan Prosedur Audit Terhadap Tanggung Jawab dalam
Pendeteksian Fraud.” Jurnal Dinamika Akuntansi. Vol.7. No.1. Maret 2015. pp.10-17
Fullerton, Rosemary R. Dan Cindy Durtschi. 2010. “The Effect of Professional Skepticism on The Fraud
Detection Skills of Internal Auditors”. Utah State University, Working Paper.
http://www.ssrn.com/abstract=1140267 diakses tanggal 2 Mei 2010.
Ghozali, Imam. 2016. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM 23 SPSS. Semarang: BPFE
Universitas Diponogoro.
Hafifah Nasution dan Fitriany. 2012. Pengaruh Beban Kerja,Pengalaman Audit dan Tipe Kepribadian Terhadap
Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan.
sna.akuntansi.unikal.ac.id. Jakarta.
Hanifa, S. I., dan Herry, L. 2015. Pengaruh Fraud Indicators Terhadap Fraudulent Financial Statement
: Studi Empiris pada Perusahaan yang Listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2008-2013.
Diponegoro Journal of Accounting. Volume 04, Nomor 04, Tahun 2015. Halaman 1-15.
Herty, Satri Yuninta Sari, 2010. Pengaruh Independensin dan Profesionalisme Auditor Internal Dalam Upaya
Mencegah dan Mendeteksi Terjadinya Fraud. Skripsi. Universitas Islam Negeri Jakarta.
Hilmi, Fakhri. 2011. Pengaruh Pengalaman, Pelatihan, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap
Pendeteksian Kecurangan. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Hurtt, R. K., M. Eining, and R. D. Plumlee. 2003. Professional skepticism: A model with implications for
research, practice, and education. Working paper. University of Wisconsin.
Hurt, Kathy R. 2010. “ Development of a Scale to Measure Profesional Skepticism”. A Journal of Practice &
Theory. Vol 29. No. 1. pp 149-171.
Indriyani, Yosita. 2015. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit, Skeptisisme Profesional dan Tipe
Kepribadian Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Ishak, Febrian Adhi Pratama. 2015. Pengaruh Rotasi Audit, Workload, dan Spesialisasi Terhadap Kualitas
Audit Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Pada Tahun 2009-2013.
Jurnal Organisasi dan Manajemen. Volume 11. Nomor 2. September 2015. 183-194. Universitas Sebelas
Maret.
Januarti, I. 2011. Analisis Pengaruh Pengalaman Auditor, Komitmen Profesional, Orientasi Etis dan Nilai Etika
Organisasi terhadap persepsi & Pertimbangan Etis. Paper Dipresentasikan pada Simposium Nasional
Akuntansi XIV, Aceh.
Kusumastuti, Rika Dewi. 2008. Pengaruh Pengalaman, Komitmen Profesional, Etika Organisasi, dan Gender
Terhadap Pengambilan Keputusan Etis Auditor. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Koroy, Tri Ramaraya. 2008 Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan Oleh Auditor Eksternal. Jurnal. STIE
Nasional Banjarmasin Indonesia.
Libby, R., Frederick, D.M. 1990. Experience and the ability to explain audit findings. Journal of Accounting
Research. No.28. pp.348-67.
Lopez, Dennis M and Gary F. Peters. 2011. The Effect of Workload Compression on Audit Quality.
Merdian. Alif 2014. Pengaruh Skeptisme Profesional dan Pengalaman Auditor terhadap Kemampuan
Mendeteksi Kecurangan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama
Mudrika, Nas. 2011. Membaca Kepribadian Menggunakan Tes MBTI (Myer Briggs Type Indicator). Maret, 10,
2012. http://www.na smudrika. wordpress.com
Murtiasri, Eka dan Imam Ghozali. (2006). Anteseden dan Konsekuensi Burnout pada Auditor: Pengembangan
Terhadap Role Stress Model. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang.
Nasution, H. 2012. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit dan Tipe Kepribadian Terhadap Skeptisme
Profesional dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan. Disertasi. Universitas Indonesia.
Noviyani, Putri. dan Bondi. 2002. Pengaruh Pengalaman dan Pelatihan Terhadap Struktur Pengetahuan Auditor
Tentang Kekeliruan. Jurnal dan Prosiding SNA. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Noviyanti, Suzy. 2008. Skeptisme Profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia. Vol.5. No.1. pp.102-125. Universitas Kristen Satya Wacana.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2001. Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70: Pertimbangan atas
Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan. Jakarta: IAI.
Prihandono, Aldiansyah Utama. 2012. Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor, Situasi Audit, Independensi,
Etika, Keahlian, Dan Pengalaman Dengan Keputusan Pemberian Opini Audit Oleh Auditor.
eprints.undip.ac.id. Universitas Indonesia
Robbins, Stephen P., dan Judge Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi. Buku 1. Jakarta: Selemba Empat
Robbins, Stephen P., dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.
Sanjaya, I Made Dwi Marta. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan
Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011-2013. Skripsi.
Universitas Udayana
Simanjuntak, S.N. 2015. Pengaruh Independensi, Kompetensi, Skeptisme Profesional dan
Profesionalisme Terhadap Kemampuan Mendeteksi Kecurangan (Fraud) pada Auditor di BPK RI
Perwakilan Provinsi Sumatera Utara. Jom FEKON. Vol. 2. No. 2 Oktober 2015.
Sukirman dan Sari, M.P. 2013. “Model Deteksi Kecurangan Berbasis Fraud Triangle”. Jurnal Akuntansi
& Auditing. Volume 9. No. 2. Mei. pp.199 – 225.
Supriyanto. 2014. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit, Tipe Kepribadian, dan Skeptisme Profesional
Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan. eprints.ums.ac.id. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Srikandi, Yanisman Indra. 2015. Pengaruh Kompetensi Dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap
Pendeteksian Kecurangan. elib.unikom.ac.id. Universitas Komputer Indonesia.
Suraida, Ida. 2005. Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko Audit Terhadap Skeptisisme
Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik. Jurnal Sosiohumaniora. Vol.7.
No.3. pp.186-202. Universitas Padjadjaran.
Tirta, Rio., dan Sholihin, Mahfud. (2004). The Efect of Experience and Task-Specific Knowledge on Auditors’
Performance in Assessing A Fraud Case. JAAI. Vol. 8. No.1. pp.1-21.
Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Pengungkapan Fraud di Lembaga Negara Tinjauan Teknik Audit. Economic
Business & Accounting Review. Vol. II. No. 1. Universitas Indonesia.
Widiyastuti, Marcellina dan Sugeng Pamudji. 2015. Pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Profesionalisme
Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan. Value Added: Majalah Ekonomi dan
Bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Semarang.
Wiguna, Floreta. 2015. Pengaruh Skeptisme Profesional dan Indepedensi Auditor Terhadap Pendeteksian
Kecurangan. e Proceeding of Management. Vol.2. No. 1.pp. 453-461. Universitas Telkom.
Winantyadi dan Waluyo. 2014. Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit dan Etika terhadap Skeptisisme
Profesional Auditor. Jurnal Nominal. Vo.3 No.1
Wusqo, U. 2016. “Pengaruh Beban Kerja, Independensi, Skeptisme Profesional, dan Pengalaman Audit
Terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan”. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah. Yogyakarta