26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Desentralisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang merupakan limpahan pemerintah pusat kepada daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu seperti politik

Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Desentralisasi

Citation preview

Page 1: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah

sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di

daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas

dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan

bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di

daerah dapat mengelola dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih

baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Desentralisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai penyerahan kewenangan

pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintahan daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang

merupakan limpahan pemerintah pusat kepada daerah. Meskipun demikian,

urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

moneter dan fiskal nasional masih diatur pemerintah pusat.

Filosofi dari otonomi daerah adalah (1) eksistensi pemerintah daerah

adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (2) setiap

kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan

kesejahteraan dan demokratis; (3) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan

publik; (4) pelayanan publik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat

pengembangan sektor unggulan.

Sedangkan tujuan desentralisasi, yaitu (1) tujuan politik, untuk

menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis

pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah,

Page 2: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

dan legislatif secara langsung oleh rakyat; (2) tujuan administrasi, agar

pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan

DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni

efektivitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (3) tujuan sosial

ekonomi, mewujudkan pendayagunaan modal sosial, modal intelektual dan

modal finansial masyarakat agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara luas

(Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2000).

Dengan otonomi daerah diharapkan pemberian pelayanan kepada

masyarakat akan dapat terwujud secara efektif dan efisien. Namun, hingga

sekarang kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit

untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu

perijinan tertentu. Padahal desentralisasi merupakan alat mencapai tujuan

pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses

pengambilan keputusan yang lebih demokratis.

Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah

pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah

otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan

ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung

tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai

dengan tuntutan masyarakat, sebagai contoh pelayanan bidang pendidikan,

kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa

yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah

bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta.

Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma

pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma

lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi

yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani.

Padahal pemerintah seharusnya melayani bukan dilayani. Seharusnya era

demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu

menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang

mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun.

Page 3: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :

1. Bagaimana dinamika dan problematika pelayanan publik di era otonomi

daerah dan desentralisasi?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu untuk memberi gambaran singkat terkait

pelayanan publik di era otonomi daerah dan desentralisasi

Page 4: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Isu Desentralisasi dan Otonomi Daerah adalah isu yang paling aktual

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Daya tarik tersebut

tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan sentralisasi, tetapi lebih dititik

beratkan pada kebijakan pemerintah orde baru yang sangat sentralistik. Konsep

desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik dan

desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan sebagai penyerahan

kewenangan yang melahirkan daerah-daerah otonom, sedangkan desentralisasi

administratif merupakan penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi

program yang melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain

pendelegasian sebagian wewenang untuk melaksanakan program terhadap tingkat

yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990,8).

Ada beberapa pengertian desentralisasi. Leemans, misalnya, membedakan

dua macam desentralisasi: representative local government dan field

administration (Leemnas, 1970) Maddick mendefinisikan desentralisasi sebagai

proses dekonsentrasi dan devolusi (Maddick,1983).

Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheema and Rondinelli (1983)

didorong oleh beberapa faktor, yaitu :

(1) Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan pengawasan

sentral dalam pembangunan;

(2) Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan

manusia;

(3) Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak mungkin lagi

dikelola secara terpusat.

Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi bahwa “negara

yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab secara cepat dan tepat semua

kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dan daerah”. Paradigma pemerintahan

dewasa ini berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu:

Page 5: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

(1) Sentralisasi dan desentralisasi perencanaan pembangunan;

(2) Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (Big Government ke Small

Government);

(3) Peningkatan Tax ke Penuntutan Tax;

(4) Privatisasi pelayanan (service), dan

(5) Social capital ke individual capital. (Rasyid; 1997,8)

Pandangan tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi perubahan

(globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan dunia. Maka terhadap

kekuatan tersebut bagi negara yang berbentuk kesatuan maupun federal

jawabannya adalah “Desentralisasi”. Setiap makhluk hidup memerlukan otonomi,

demikian juga kelompok termasuk Negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi

otonomi adalah Suatu kesatuan social dinamakan otonomi manakala terdapat

suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih untuk bertindak, atau

tidak melakukan jika menyukai untuk melakukannya (Susilo;2000,8).

Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan utama

desentralisasi, yaitu; (1) Bidang Ekonomi; dalam rangka mengurangi cost dan

menjamin pelayanan public lebih tepat sasaran; (2) Bidang Politik; dalam upaya

mengembangkan grassroots democracy dan mengurangi penyalahgunaan

kekuasaan oleh pusat serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang

administrasi; dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan keputusan

menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya; mengembangkan kebhinekaan

dan budaya lokal (Jurnal Otonomi Daerah;2002,2).

Devas (1997) menafsirkan terhadap desentralisasi ternyata sangat beragam,

dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervaiasi dari negara yang satu

ke negara yang lain. Tetapi, secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi

selama ini banyak diacu adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999),

bahw desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-

fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga

semi pemerintah, maupun kepada swasta.

Page 6: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

2.2 Pelayanan Publik

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan”

adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan

orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan

sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the

the government or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka

pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang

dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public),

terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia,

yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau

masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum),

public ownership (milik umum) dan public utility (perusahaan umum). Sedangkan

dalam pengertian “negara” salah satunya adalah public authorities (otoritas

negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaaan negara).

Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada

pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang

melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan

pengertian masyarakat.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/Kep/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala

kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan

ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan

pengertian public service sebagai a service such as transport or health care that a

government or an official organization provides fofrl people in general in a

particular society.

Pelayanan publik bisa dibedakan ke dalam tiga jenis : (1) menyediakan

sarana and prasarana sosial ekonomi, contoh pembangunan dan pemeliharaan

jalan, jembatan, saluran irigasi, bangunan sekolah, pasar dan sebagainya.

Sebagian besar masyarakat merasakan bahwa mereka menerima pelayanan ini

Page 7: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

secara gratis, padahal mereka sudah membayarnya dengan membayar pajak; (2)

pelayanan dasar, contoh kesehatan dasar di puskesmas; (3) pelayanan administrasi

yang sifatnya mengatur saja, contoh pemberian KTP.

Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta.

Namun demikian terdapat persamaan diantara keduanya, yaitu :

a. Keduanya berusaha memenhi harapan pelanggan, dan mendapatkan

kepercayaannya;

b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.

Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakan

dari pelayanan swasta adalah :

a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata.

Misalnya perijinan, sertifikat dan lain sebagainya.

b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk

sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional atau bahkan nasional.

c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi

pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip

utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi

nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokan

petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.

d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan

peningkatan mutu pelayanan.

e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung

yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.

f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan

masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

Nurcholis (2005:180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam

bidang-bidang sebagai berikut :

a. Pendidikan;

b. Kesehatan;

c. Keagamaan;

d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan;

Page 8: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

e. Rekreasi : taman, teater, musium;

f. Sosial;

g. Perumahan;

h. Pemakaman;

i. Registrasi penduduk ;

j. Air minum;

k. Legalitas (hukum) seperti KTP, paspor, dll.

Page 9: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pelayanan Publik di Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan

publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, dimana paradigma

pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan

yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan

pelanggan (customer driven government) dengan ciri-ciri:

1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan

yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan

kepada masyarakat;

2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat

mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan

yang telah dibangun bersama;

3. Menerapkan sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik

tertentu sehungga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas;

4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi

pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan;

5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat;

6. Memberi akses kepada masyarakat dan resfonsif terhadap pendapat dari

masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya;

7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan;

8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan; dan

9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar

menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak

diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh

pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat

dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal

Page 10: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena

masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya.

Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif

yang hanya memperhatikan atau mengutamakan kepentingan pimpinan atau

organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki

kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka

harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan

paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri kepada

kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi

pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara

umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami

perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, namun dilihat dari sisi

efisiensi dan efektifitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif)

masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan.

Berkaitan denga hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan

publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003):

1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur

pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front liner) sampai

dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai

keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan

diabaikan sama sekali.

2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada

masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari

jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan

pelayanan tersebut.

4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu sama lain sangat

kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun

pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi

pelayanan lain yang terkait.

Page 11: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya

dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga

menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan

penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk

menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan

masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka

menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat

sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama

untuk diselesaikan.

6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya

aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar

keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan

dengan apa adanya, tanpa ada perbaika dari waktu ke waktu.

7. Inefisinesi. Berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan

dengan pelayanan yang diberikan.

Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada

disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan

kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi

berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk

melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi

penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga

menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003).

Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia,

pemerintah melalui Keptusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81

Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan

kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan, seperti

kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis,

dan keadilan yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus

diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia. Prinsip

kesederhanaan misalnya, mempunyai maksud bahwa prosedur atau tata cara

pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga

Page 12: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat,

tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi

isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam memberikan pelayanan kepada

publik akan sangat memengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara

keseluruhan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.

Tuntutan kesiapan birokrasi pelayanan di Indonesia untuk dapat menghadapi era

global sampai saat ini masih menjadi tanda tanya bagi banyak kalangan.

Karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli

sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya

perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang

berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola

pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung

mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk

pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak

ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan

tantangan yang harus sefera diatasu pada era persaingan bebas saat ini.

Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian

kepercayaan masyarakat harus di segera diwujudkan.

Selain itu, terdapat lima gap yang perlu diperhatikan dalam setiap

pelayanan publik, (Pasrasuraman, 1985) yaitu:

1. Kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang

diharapkan oleh konsumen. Hal ini terjadi disebabkan karena kurang

dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil

penelitian secara tepat serta kurang terjadinya interaksi antara penyedia

pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya

komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan

(customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh

informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah

Page 13: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan

juga merupakan salahsatu faktor munculnya kesenjangan ini.

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas

pelayanan. Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam

mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen

terhadap kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen

terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demikian pula dengan

tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya

penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dengan penyampaian

pelayanan. Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri

pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan

keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknologi

yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan

penghargaan, serta kurang kerjasama internal.

4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan dengan proses

penyampaian pelayanan. Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya

komunikasi horizontal dalam organisasi, dan

5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)

dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).

Kesenjangan ini menunjukan dan menggambarkan ukuran dari tingkat

kepuasan masyarakat terhadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan

kesenjangan sebelumnya, kesenjangan ini menitikberatkan pada sisi

pelanggan.

Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita

ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan

memperhatikan gap-gap/kesenjangan-kesenjangan tersebut di atas sehingga

permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir, sehingga ke

depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan

masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima..

Page 14: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

3.2 Paradigma Baru Pelayanan Publik

Sebagai bahan perbandingan perilaku birokrat yang tidak baik dan tidak

benar di negara-negara barat, khususnya di Amerika Serikat, Osborne dan Geebler

menyarankan reformasi dengan mengemukakan 10 prinsip fundamental

reinventing government dalam melakukan pembaharuan manajemen

pemerintahan:

1. Catalitic Government : Steering Rather Than Rowing. Bukan hanya

memfokuskan kepada pelayanan masyarakat, tetapi juga pada mengkatalisasi

semua sektor pemerintah, tetapi juga pada mengkatalisasi semua sektor

pemerintah, swasta dan lembaga swadaya kedalam tindakan untuk

memecahkan masalah masyarakat. Pemerintah katalisis memisahkan fungsi

pengarah dengan fungsi pelaksana, kemudian menggunakan berbagai

cara/metode agar organisasi publik mencapai tujuan, efisiensi, efektifitas,

persamaa, pertanggungjawaban dan fleksibilitas.

2. Community Own Govermen : Empowering Rather Than Serving. Masyarakat

diberdayakan, wewenang kontrol dialihkan kepada masyarakat yang menjadi

pemilik pemerintah. Dengan adanya kontrol dari masyarakat para pejabat akan

memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam

memecahkan masalah.

3. Competitive Government : Injecting Competiton Into Service Delivery.

Memasyarakatkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan

untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Kompetisi adalah kekuatan

fundamental untuk memaksa badan pemerintah melakukan perbaikan.

4. Mission Driven Government : Transforming Rule Driven Organization.

Pemerintah digerakkan oleh misi, bukan hanya oleh ketentuan dan peraturan.

Manajemen pemerintah berorientasi misi melakukan deregulasi internal,

menghapus banyak peraturan internal dan menyederhanakan sistem

administrasi seperti anggaran keuangan, kepegawaian dan pengadaan.

Diisyaratkan semua unit kerja mendapatkan misi yang jelas dan setiap manajer

diberi kebebasan untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut

dalam batas-batas legal.

Page 15: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

5. Result Oriented Government : Funding Outcomes Not Input. Pemerintah yang

berorientasi pada hasil mengubah fokus kepada input yaitu kepatuhan pada

peraturan dan membelanjakan uang sesuai ketetapan anggaran dan aturan

formal keuangan menjadi berfokus kepada akuntabilitas output/hasil. Kinerja

badan publik diukur, menetapkan target dan memberi imbalan kepada unit

kerja yang mencapai atau melebihi target.

6. Costumer Driven Government : Meeting The Need of The Customer, Not The

Bureaucracy. Melakukan survey pelanggan, menentukan standar pelayanan.

Dengan masukan dari para pelanggan, melakukan redesign organisasi untuk

menyampaikan pelayanan paling baik kepada para pelanggan.

7. Enterprising Government : Earning Rather Than Spending. Dalam

menjalankan manajemen bukan hanya menghabiskan uang anggaran tetapi

juga memfokuskan energi kepada menghasilkan uang. Meminta kepada

masyarakat yang dilayani untuk membayar, menuntut return of invesment,

juga memanfaatkan sistem insentif yang berlaku.

8. Anticipatory Government : prevention rather than cure. Pemerintah antisipatif

adalah pemerintah yang berpikir ke depan. Mencegah timbulnya masalah

daripada memberikan pelayanan untuk mengatasi masalah, manajemen

pemerintah menggunakan perencanaan yang strategis, pemberian isi masa

depan dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.

9. Decentralized Government : From Hirarchy to Participation and team work.

Mendelegasikan wewenang dan melaksanakan manajemen partisipatif,

mendorong pelaksana untuk lebih berani membuat keputusan sendiri.

10. Market oriented government : Leveraging change through the market.

Manajemen pemerintahan konvensional memecahkan masalah melalui

mekanisme administratif, seperti melakukan kontrol, memberi perintah,

menyampaikan pelayanan dengan menggunakan peraturan, manajemen

pemerintah berorientasi pasar sering memanfaatkan struktur pasar swasta

untuk memecahkan masalah, seperti menciptakan insentif uang para pembayar

pajak dini.

Page 16: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

Mengakhiri penjelasan 10 prinsip tersebut, Osborne dan Geebler

mengemukakan putting it all together. Sepuluh prinsip yang dikemukakan diatas

adalah peta dalam melakukan perubahan dalam segala bidang. Sepuluh prinsip

tersebut adalah kerangka baru, cara berpikir baru, paradigma baru yang

mengintegrasikan pasar dengan sektor publik untuk melakukan perubahan

fundamental dalam pemerintahan.

Page 17: Desentralisasi Dan Pelayanan Publik

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat

birokrasi perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian

yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun yang

dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”,

“mendorong bukan menghambat”, “mempermudah bukan mempersulit”.

Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi

pelayanan dan pengabdi masyarakat.

Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah

seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi

dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya

komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh

staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala

daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi terwujudnya peningkatan

kualitas pelayanan publik di daerahnya.

Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi

lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM yang terampil memiliki wawasan

serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari

sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi

memerlukan daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT

dan tampilan sidik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi citra

kuatnya komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas

kepada masyarakat.

Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi dan

memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan

pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih

terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif.