Upload
ahmad-lani-andriana
View
207
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Dementia
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul
karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan
gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan
mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku dan
motivasi. Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat sehingga mengganggu
fungsi sosial dan pekerjaan individu. Demensia adalah suatu kondisi klinis yang
perlu didiagnosis dan ditelusuri penyebabnya. Penyebab demensia sangat banyak,
namun tampilan gejala klinis umumnya hampir sama.1
Enam puluh persen demensia adalah irreversibel (tidak dapat pulih ke
kondisi semula), 25% dapat dikontrol, dan 15% reversibel (dapat pulih kembali).
Penyakit penyebab demensia yang dapat diobati harus dapat diidentifikasi dan
dikelola sebaik-baiknya. Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (> 65
tahun) berkisar 3-30%. Demensia tipe Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali
lipat setiap pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila prevalensi demensia pada usia 65
tahun 3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12% pada 75 tahun dan 24%
pada usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada 1 juta orang
dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20 juta orang.3
Demensia merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada
lanjut usia. Di negara-negara barat, demensia vaskular menduduki urutan kedua
terbanyak setelah penyakit Alzheimer. Tetapi karena demensia vaskular
merupakan tipe demensia yang terbanyak pada beberapa negara Asia dengan
populasi penduduk yang besar maka kemungkinan demensia vaskular ini
merupakan tipe demensia yang terbanyak di dunia. demensia vaskular juga
merupakan bentuk demensia yang dapat dicegah sehingga mempunyai peranan
yang besar dalam menurunkan angka kejadian demensia dan perbaikan kualitas
hidup usia lanjut. Dalam arti kata luas, semua demensia yang diakibatkan oleh
penyakit pembuluh darah serebral dapat disebut sebagai demensia vaskular.3
1
Diagnosis demensia vaskular ditegakkan melalui dua tahap, pertama
menegakkan diagnosis demensia, kedua mencari proses vaskular yang mendasari.
Terdapat beberapa kriteria diagnostik untuk menegakkan diagnosis demensia
vaskular, yaitu: (i) diagnostic and statictical manual of mental disorders edisi ke
empat (DSM-IV), (ii) pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ) III, (iii) international clasification of diseases (ICD-10), (iv) the state of
California Alzheimer’s disease diagnostic and treatment centers (ADDTC), dan
(v) national institute of neurological disorders and stroke and the association
internationale pour la recherche et l’enseignement en neurosciences
(NINDSAIREN).1,2,4
Mengingat semakin banyaknya jumlah lanjut usia dan semakin
meningkatkan jumlah demensia di seluruh dunia, penting untuk mengetahui
demensia ini lebih lanjut.
2
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Defenisi 5,6
Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi kognitif yang
bermanifestasi sebagai gangguan memori sehingga mengganggu pekerjaannya,
aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain disertai dua atau lebih gangguan
modalitas kognitif lainnya yaitu orientasi, atensi, berfikir abstrak, fungsi bahasa,
fungsi visuospasial, fungsi eksekutif dan aktivitas sehari-hari.5 Demensia
merupakan gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan
oleh penyakit otak yang tidak berhubungan dengan tingkat kesadaran.6
Tahapan-tahapan pada Demensia 2,13
1. Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik
dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan
menurun.” Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa
hal baru yang di alami,” dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam
keluarga.
2. Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase
demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia).
Penderita mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga
penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, Gangguan
kemampuan merawat diri yang sangat besar, Gangguan siklus tidur
ganguan, Mulai terjadi inkontensia, tidak mengenal anggota keluarganya,
tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi
” Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat
di lingkungan ”.
3. Stadium III/akhir : Berlangsung 6-12 tahun. ” Penderita menjadi vegetatif,
tidak bergerak dangangguan komunikasi yang parah (membisu),
ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan
mobilisasi dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot,
gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa
3
mengendalikan buang air besar/ kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan
bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau trauma.
2.2 Sejarah dan Epidemologi 3,4,7,8,9
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak
memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata
demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam
publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai
istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama
Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang
berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater
Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan
perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot. Sampai abad ke
19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang
membawa kematian.7
Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer
mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral
cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan
sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif
bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-
5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian
neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi
gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan
kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan
menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile
plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. Proses
penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi,
sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut,
pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi
akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis
secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan,
dan vocabulary tidaklah akan menurun.7
4
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan
angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan
antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita
dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur,
5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan
penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di
Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus
AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita Alzheimer
Demensia. 4
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000
pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar
300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan
10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta
penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan
jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi
penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki laki. Hal ini mungkin
refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari
beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.8,9
Istilah demensia vaskular menggantikan istilah demensia multi infark
karena infark multipel bukan satu-satunya penyebab demensia tipe ini. Infark
tunggal di lokasi tertentu, episode hipotensi, leukoaraiosis, infark inkomplit dan
perdarahan juga dapat menyebabkan kelainan kognitif. Saat ini istilah demensia
vaskular digunakan untuk sindrom demensia yang terjadi sebagai konsekuensi
dari lesi hipoksia, iskemia atau perdarahan di otak. Prevalensi demensia vaskular
bervariasi antar negara, tetapi prevalensi terbesar ditemukan di negara maju. Di
Kanada insiden rate pada usia ≥ 65 tahun besarnya 2,52 per 1000 sedangkan di
Jepang prevalensi demensia vaskular besarnya 4,8%. Prevalensi demensia
vaskular akan semakin meningkat dengan meningkatnya usia seseorang, dan lebih
sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan risiko
5
terjadinya demensia vaskular pada laki-laki besarnya 34,5% dan perempuan
19,4%. The European Community Concerted Action on Epidemiology and
Prevention of Dementia mendapatkan prevalensi berkisar dari 1,5/100 wanita usia
75-79 tahun di Inggris hingga 16,3/100 laki-laki usia di atas 80 tahun di Itali.3
2.3 Etiologi Demensia
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas
65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran
antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya
adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia
frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia
infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan
penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti
kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat
depresi.13
2.3 Klasifikasi demensia 4
Demensia terbagi atas 2 dimensi yaitu menurut umur dan menurut level
kortikal. Menurut umur; terbagi atas: Demensia senilis onset > 65 tahun dan
Demensia presenilis < 65 tahun. Menurut level kortikal dibagi menjadi 2 yaitu
demensia kortikal dan demensia subkortikal. Demensia kortikal ditandai dengan
gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia. Demensia subkortikal ditandai
dengan apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak. Klasifikasi lain yang
berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya (1) Anterior :
Frontal premotor cortex yaitu perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti
sosial, reaksi lambat. (2) Posterior: lobus parietal dan temporal yaitu gangguan
kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik. Bentuk terbanyak
dari demensia adalah penyakit Alzheimer dan demensia vaskular.
6
2.3.A Demensia Alzheimer 1,2,4,6
Alzheimer adalah suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat
dibalik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan,
penalaran, bahasa, dan tentunya fungsi fisik. Oleh karena itu, demensia
Alzheimer adalah demensia yang disebabkan oleh Alzheimer, yang berarti
demensia yang disertai oleh perubahan patologis di otak penderitanya dengan
waktu penyebaran sekitar 5 sampai 20 tahun yang diakhiri dengan kematian.
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia
kurang 65 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita
pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset.4
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000
pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar
300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan
10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta
penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan
jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi
penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki laki. Hal ini mungkin
refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari
beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.4,6
Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,
kromosom 14 dan kromosom 1 ditemukan pada 5% pasien. Sementara riwayat
keluarga dan munculnya alel e4 dari apolipoprotein E pada 30% pasien.
Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama (first
degree relative) mempunyai resiko 2-3 kali menderita penyakit Alzheimer.
Walalupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia tetapi munculnya
alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita
penyakit Alzheimer.6
7
Gambar 2.1 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal.2
Gambar 2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan
tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.2
8
Penyebab penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi
ada beberapa faktor yang diperkirakan dan berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bukti yang sejalan, yaitu:
- Usia
Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko paling
penting seseorang menderita penyakit Alzheimer. Walaupun begitu
penyakit Alzheimer ini dapat diderita oleh semua orang pada semua usia.
Namun 96% diderita oleh individu yang berusia 40 tahun keatas.
- Genetik
Faktor genetik merupakan faktor resiko penting kedua setelah faktor usia.
Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita
beresiko dua kali lipat untuk terkena Alzheimer. Pada penderita early
onset umumnya disebabkan oleh faktor turunan. Tetapi secara
keseluruhan kasus ini mungkin kurang dari 5% dari semua kasus
Alzheimer. Sebagian besar penderita Down’s Syndrome memiliki tanda-
tanda neuropatholigic Alzheimer pada usia 40 tahun.
- Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita
Alzheimer lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan pria. Hal ini mungkin
disebabkan karena usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan
dengan pria.
- Pendidikan
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor
pelindung dari resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda
onset manifestasi klinis. Hal ini disebabkan karena edukasi berhubungan
erat dengan intelegensi, oleh karena itu ada juga penderita dengan tingkat
pendidikan yang tinggi. Tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa
kemampuan linguistik seseorang lebih baik dalam hal menjadi prediktor
daripada edukasi.
- Trauma kepala
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penyakit
Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju
9
yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan
banyak neurofibrillary tangles.
Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (2001), membuat
10 gejala penyakit Alzheimer Demensia yang sering muncul. Gejala-gejala
tersebut adalah sebagai berikut:1,2
- Hilang ingatan
Pada awalnya penderita akan mengalami penurunan fungsi kognitif yang
dimulai dengan sulit mengingat informasi baru dan mudah melupakan
informasi yang baru saja didapat. Semakin lama individu menderita
Alzheimer, penurunan fungsi kognitif ini akan semakin parah. Pada gejala
ini biasanya juga disertai dengan gejala agnosia, yaitu: kesulitan
mengenali orang-orang yang disayanginya, seperti keluarga dan teman.
- Apraxia
Hal ini ditandai dengan penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar.
Penderita sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-
hari yang sangat mereka ketahui, contohnya mereka tidak mengetahui
langkah-langkah untuk menyiapkan makanan, berpakaian, atau
menggunakan perabot rumah tangga.
- Gangguan bahasa
Pada awalnya penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat
dalam mengungkapkan isi pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka
ucapan dan/ atau tulisan penderita jadi sulit untuk dimengerti karena
penderita menggunakan kalimat dengan substitusi kata-kata yang tidak
biasa digunakan. Contohnya: jika penerita sulit menemukan sikat giginya,
maka ia akan bertanya "sesuatu untuk mulut saya".
- Disfungsi visuo-spatial yang ditandai dengan disorientasi waktu dan
tempat. Penderita dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa di
mana ia berada, bagaimana ia sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu
bagaimana caranya kembali ke rumah.
10
- Disfungsi eksekutif
Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan,
ditandai dengan: sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan
keputusan dan penilaian. Misalnya penderita mengenakan baju tanpa
mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas/
memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin.
- Bermasalah dengan pemikiran abstrak
Menyeimbangkan buku cek dapat menjadi begitu sulit ketika tugas
tersebut lebih rumit dari biasanya. Namun demikian, pada penderita,
mereka akan benar-benar lupa berapa jumlah atau angkanya, dan apa yang
harus mereka lakukan terhadap angka-angka tersebut.
- Salah menempatkan segala sesuatu
Penderita akan meletakkan segala sesuatu pada tempat yang tidak
sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau
meletakkan jam tangan di dalam mangkuk gula.
- Perubahan moody atau tingkah laku
Setiap orang dapat menjadi sedih atau moody dari waktu ke waktu, tetapi
penderita menampilkan mood yang berubah-ubah dari tenang menjadi
ketakutan kemudian menjadi marah secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang
jelas.
- Perubahan kepribadian
Merupakan bentuk lanjutan dari perubahan moody, ditandai dengan gejala
psikitrik dan perilaku. Penderita dapat sangat berubah, menjadi benar-
benar kacau, penuh kecurigaan, cemas, ketakutan atau menjadi
bergantung pada anggota keluarga. Menurut Ethical Digest, untuk gejala
psikitrik, sekitar 50% penderita mengalami depresi. Selain itu penderita
juga sering mengalami delusi paranoid dan terkadang juga mengalami
halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan untuk gangguan
perilaku, meliputi agitasi (aktivitas verbal maupun motorik yang
berlebihan dan tidak selaras), wandering (mondar-mandir, mencari-cari/
membututi caregiver ke mana pun mereka pergi, berjalan mengelilingi
rumah, keluyuran), dan gangguan tidur (berupa disinhibisi, yaitu perilaku
11
yang melanggar norma-norma sosial, yang disebabkan oleh hilangnya
fungsi pengendalian diri individu).
- Kehilangan inisiatif/ apatis
Penderita jadi pasif, duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur
lebih dari biasanya atau tidak ingin melakukan aktivitas yang biasanya
dilakukan.
Berdasarkan National Alzheimer's Association (2003), gejala-gejala
Alzheimer di atas dapat dibagi menjadi 3 tahap, sesuai dengan tingkat
keparahannya, yaitu:2.4
- Gejala ringan, umum terdapat pada penderita early onset, yaitu: sering
bingung dan melupakan informasi yang baru dipelajari, disorientasi
(tersesat di daerah yang dikenalnya dengan baik), bermasalah dalam
melaksanakan tugas rutin, mengalami perubahan dalam kepribadian dan
penilaian.
- Gejala menengah, yaitu: kesulitan dalam mengerjakan aktivitas hidup
sehari-hari (makan, mandi), cemas, curiga, agitasi, mengalami gangguan
tidur, keluyuran, agnosia. Gejala akut, umum pada penderita late onset,
yaitu: kehilangan kemampuan berbicara, hilangnya nafsu makan,
menurunnya berat badan, tidak mampu mengontrol otot spinchtes, sangat
tergantung pada caregiver atau pengasuh.
Patogenesis Penyakit Alzheimer 2,4,6
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:
a. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer
iniditurunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan
garispertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko
menderitademensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol
normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan
familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio
proximallog arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan
12
lokuspada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrom
memempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40
tahunterdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan
Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit
alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah
monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa
faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non
familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus
kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor
lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
b. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga
penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata
diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan
infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi.
Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease, diduga
berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai
beberapa persamaan antara lain, manifestasi klinik yang sama, tidak
adanya respon imun yang spesifik, adanya plak amyloid pada susunan
saraf pusat, timbulnya gejala mioklonus, adanya gambaran spongioform
c. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat
berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara
lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan
neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut
diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum
adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan
ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas.
13
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke
intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolisma
energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
d. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita
alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan
haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna
dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas
e. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer
dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang
menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak
neurofibrillary tangles.
f. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer
mempunyai peranan yang sangat penting seperti asetilkolin, noradrenalin,
dopamin, serotonin, MAO (Monoamine Oksidase).
2.3.B Demensia Vaskular 1,2,3,4,7
Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional
yangdisebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan
iskemik, jugadisebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuale dari
hipotensi atau hipoksia. Banyak orang lanjut usia dengan penurunan kognitif
yang progresif mempunyai vaskular yang patologi dan perubahan yang
berhubungan dengan Alzheimer secara bersamaan. Pada pasien ini, terdapat
kombinasi patologi penyakit Alzheimer dan vaskular sehingga sukar
untuk menentukan penyebab prinsip dari demensia.1,2
14
Demensia vaskular merupakan penyebab demensia yang kedua tertinggi
di AmerikaSerikat dan Eropa, tetapi merupakan penyebab utama di beberapa
bagian di Asia. Kadar prevalensi demensia vaskular 1,5% di negara Barat dan
kurang lebih 2,2% di Jepang. Di Jepang, 50% dari semua jenis demensia pada
individu berumur lebih dari 65 tahun adalah demensia vaskular. Di Eropa,
demensia vaskular dan demensia kombinasi masing-masing 20% dan 40%dari
kasus. Di Amerika Latin, 15% dari semua demensia adalah demensia vaskular.
Kadar prevalensi demensia adalah 9 kali lebih besar pada pasien yang telah
mengalami stroke berbanding yang terkontrol. Setahun pasca stroke, 25%
pasienmengalami demensia awitan baru. Demensia vaskular paling sering pada
laki-laki, khususnya pada mereka denganhipertensi yang telah ada sebelumnya
atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Insiden meningkat sesuai dengan
peningkatan umur. 4
Penyebab utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular
yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darahserebral berukuran kecil dan sedang, yang
mengalami infark menghasilkan lesi parenkimmultipel yang menyebar pada
daerah otak yang luas. Penyebab infark termasuklah oklusi pembuluh darah oleh
plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh sepertikatup
jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau
pembesaran ruang jantung. 3,4
Patogenesis Demensia Vaskular 4,10,11,12
a) Infark multipel
Demensia multi infark merupakan akibat dari infark multipel dan
bilateral. Terdapat riwayat satu atau beberapa kali serangan stroke dengan
gejala fokal seperti hemiparesis/hemiplegi, afasia, hemianopsia.
Pseudobulbar palsy sering disertai disartria, gangguan berjalan (small
step gait), forced laughing/crying, refleks Babinski dan inkontinensia.
Computed tomography imaging (CT scan) otak menunjukkan
hipodensitas bilateral disertai atrofi kortikal, kadang-kadang disertai
dilatasi ventrikel.
15
b) Infark lakunar
Lakunar adalah infark kecil, diameter 2-15 mm, disebabkan kelainan pada
small penetrating arteries di daerah diencephalon, batang otak dan sub
kortikal akibat dari hipertensi. Pada sepertiga kasus, infark lakunar
bersifat asimptomatik. Apabila menimbulkan gejala, dapat terjadi
gangguan sensorik, transient ischaemic attack, hemiparesis atau ataksia.
Bila jumlah lakunar bertambah maka akan timbul sindrom demensia,
sering disertai pseudobulbar palsy. Pada derajat yang berat terjadi lacunar
state. CT scan otak menunjukkan hipodensitas multipel dengan ukuran
kecil, dapat juga tidak tampak pada CT scan otak karena ukurannya yang
kecil atau terletak di daerah batang otak. Magnetic resonance imaging
(MRI) otak merupakan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat untuk
menunjukkan adanya lakunar terutama di daerah batang otak (pons).
c) Infark tunggal di daerah strategis
Strategic single infarct dementia merupakan akibat lesi iskemik pada
daerah kortikal atau sub kortikal yang mempunyai fungsi penting. Infark
girus angularis menimbulkan gejala afasia sensorik, aleksia, agrafia,
gangguan memori, disorientasi spasial dan gangguan konstruksi. Infark
daerah distribusi arteri serebri posterior menimbulkan gejala amnesia
disertai agitasi, halusinasi visual, gangguan visual dan kebingungan.
Infark daerah distribusi arteri serebri anterior menimbulkan abulia, afasia
motorik dan apraksia. Infark lobus parietalis menimbulkan gangguan
kognitif dan tingkah laku yang disebabkan gangguan persepsi spasial.
Infark pada daerah distribusi arteri paramedian thalamus menghasilkan
thalamic dementia.
16
Gambar 2.3 Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus demensia vaskuler. Letak infark lakunar bilateral multiple
mengenai thalamus, kapsula interna dan globus pallidus.2
d) Sindrom Binswanger
Gambaran klinis sindrom Binswanger menunjukkan demensia progresif
dengan riwayat stroke, hipertensi dan kadang-kadang diabetes melitus.
Sering disertai gejala pseudobulbar palsy, kelainan piramidal, gangguan
berjalan (gait) dan inkontinensia. Terdapat atrofi white matter,
pembesaran ventrikel dengan korteks serebral yang normal. Faktor
risikonya adalah small artery diseases (hipertensi, angiopati amiloid),
kegagalan autoregulasi aliran darah di otak pada usia lanjut, hipoperfusi
periventrikel karena kegagalan jantung, aritmia dan hipotensi.
e) Angiopati amiloid serebral
Terdapat penimbunan amiloid pada tunika media dan adventisia arteriola
serebral. Insidensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Kadang-
kadang terjadi demensia dengan onset mendadak.
f) Hipoperfusi
Demensia dapat terjadi akibat iskemia otak global karena henti jantung,
hipotensi berat, hipoperfusi dengan/tanpa gejala oklusi karotis, kegagalan
17
autoregulasi arteri serebral, kegagalan fungsi pernafasan. Kondisi-kondisi
tersebut menyebabkan lesi vaskular di otak yang multiple terutama di
daerah white matter.
g) Perdarahan
Demensia dapat terjadi karena lesi perdarahan seperti hematoma subdural
kronik, gejala sisa dari perdarahan sub arachnoid dan hematoma serebral.
Hematoma multipel berhubungan dengan angiopati amiloid serebral
idiopatik atau herediter.
h) Mekanisme lain
Mekanisme lain dapat mengakibatkan demensia termasuk kelainan
pembuluh darah inflamasi atau non inflamasi (poliartritis nodosa,
limfomatoid granulomatosis, giant-cell arteritis, dan sebagainya).
18
Gambar 2.4 Gambaran demensia vaskular.2
Serangan terjadinya demensia vaskular terjadi secara mendadak, dengan
didahului oleh transient ischemic attack (TIA) atau stroke, risiko terjadinya
demensia vaskular 9 kali pada tahun pertama setelah serangan dan semakin
menurun menjadi 2 kali selama 25 tahun kemudian.Adanya riwayat dari faktor
risiko penyakit sebero vaskular harus disadari tentang kemungkinan terjadinya
demensia vaskular. Gambaran klinik penderita demensia vaskular menunjukkan
kombinasi dari gejala fokal neurologik, kelainan neuropsikologik dan gejala
neuropsikiatrik. Gejala fokal neurologik dapat berupa gangguan motorik,
gangguan sensorik dan hemianopsia. Kelainan neuropsikologik berupa gangguan
memori disertai dua atau lebih kelainan kognitif lain seperti atensi, bahasa,
visuospasial dan fungsi eksekutif. Gejala neuropsikiatrik sering terjadi pada
19
demensia vaskular, dapat berupa perubahan kepribadian (paling sering), depresi,
mood labil, delusion, apati, abulia, tidak adanya spontanitas. Depresi berat terjadi
pada 25-50% pasien dan lebih dari 60% mengalami sindrom depresi dengan
gejala paling sering yaitu kesedihan, ansietas, retardasi psikomotor atau keluhan
somatik. Psikosis dengan ide-ide seperti waham terjadi pada } 50%, termasuk�
pikiran curiga, sindrom Capgras. Waham paling sering terjadi pada lesi yang
melibatkan struktur temporoparietal.3
Secara umum faktor risiko demensia vaskular sama seperti faktor risiko
stroke meliputi: usia, hipertensi, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit
jantung, penyakit arteri perifer, plak pada arteri karotis interna, alkohol, merokok,
ras dan pendidikan rendah. Berbagai studi prospektif menunjukkan risiko
vaskular seperti hipertensi, diabetes, hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko
terjadinya demensia vaskular. Studi Kohort di Kanada menujukkan, penderita
diabetes risiko mengalami demensia vaskular 2,15 kali lebih besar, penderita
hipertensi 2,05 kali lebih besar, penderita kelainan jantung 2,52 kali lebih besar.
Sedangkan mereka yang makan kerang-kerangan (shellfish) dan berolahraga
secara demensia vaskular.3
2.4 Diagnosis Demensia
Dianostik DSM – IV menggunakan kriteria:
a) Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan memori
dan satu atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini: (i) afasia (gangguan
berbahasa), (ii) apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan
aktivitas motorik, sementara fungsi motorik normal), (iii) agnosia (tidak
dapat mengenal atau mengidentifikasikan benda walaupaun fungsi
sensoriknya normal), dan (iv) gangguan dalam fungsi eksekutif
(merancang, mengorganisasikan, daya abstraksi, membuat urutan).
b) Defisit kognitif pada kriteria (a) yang menyebabkan gangguan fungsi
sosial dan okupasional yang jelas.
c) Tanda dan gejala neurologik fokal (reflex fisiologik meningkat, refleks
patologik positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah, kelumpuhan
anggota gerak) atau bukti laboratorium dan radiologik yang membuktikan
20
adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO), misal infark multipleks
yang melibatkan korteks dan subkorteks, yang dapat menjelaskan
kaitannya dengan munculnya gangguan.
d) Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.
Anamnesis
Menurunnya daya ingat yang terus terjadi.
1. Pada penderita demensia, ”lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak
bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun, tempat penderita demensia berada.
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi,
mangulang kata atau cerita yang sama berkali- kali.
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis yang berlebihan saat
melihat sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang di
lakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita
demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut
muncul.
5. Adanya perubahan tingkah laku seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan
gelisah.
Pemeriksaan demensia.
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena
sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan
pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah
praktis yang dapat dilakukan antara lain :
1. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat
menyebabkan demensia seperti hipotiroidisme, neoplasma, infeksi kronik.
Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular.
21
a) Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui
kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke,
TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan
operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia
seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala
saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari
pada sebab degeneratif.
b) Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis
demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori.
(memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang
dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal
wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.
a) Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang
pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan
ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian,
tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid.
Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini
disebut pseudodemensia.
b) Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik
dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten.
Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan
walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui
bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat
menurunkan fungsi kognitif.
c) Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di
keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit
neurologik, psikiatrik.
22
2. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis,
pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental,
aktivitas sehari-hari/fungsional dan aspek kognitif lainnya.
Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan
pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif,
minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan
neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat
ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi.
Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat
sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu populasi
mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan
demensia. Sebagai awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental
MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini,
penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan
kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 24 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi.
23
No.
Pertanyaan Nilai
Orientasi
1. Sekarang ini (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari) 4
2. Kita berada di mana? (negara), (propinsi), (kota), (RS), (lt) 4
Registrasi
3. Sebutkan 3 objek: tiap satu detik, pasien disuruh mengulangi nama ketiga objek tadi. Nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan benar. Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan benar: buku, pensil, kertas
3
Atensi dan Kalkulasi
4. Pengurangan 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja secara terbalik kata “B A G U S” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan).
5
Mengenal Kembali
5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek di atas tadi 3
Bahasa
6. Pasien disuruh menyebut: pensil, buku 2
7. Pasien disuruh mengulangi kata: “Jika tidak, dan atau tapi” 1
8. Pasien disuruh melakukan perintah: “Ambil kertas itu dengan tangan anda, lipatlah menjadi 2, dan letakkan di lantai”
3
Bahasa
9. Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kalimat “pejamkan mata”
1
10. Pasien disuruh menulis dengan spontan (terlampir) 1
11. Pasien disuruh menggambar bentuk 1
TOTAL 30
Tabel 2.1 Mini Mental State Examination (MMSE)
24
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat
memberi nilai tambah dalam bidang pencegahan, diagnosis, terapi, prognosis
dan rehabilitasi.
a) Pemeriksaan laboratorium rutin
Digunakan untuk menentukan penyebab atau faktor risiko yang
mengakibatkan timbulnya stroke dan demensia. Pemeriksaan darah
tepi, laju endap darah (LED), kadar glukosa, glycosylated Hb, tes
serologi untuk sifilis, HIV, kolesterol, trigliserida, fungsi tiroid, profil
koagulasi, kadar asam urat, lupus antikoagulan, antibodi
antikardiolipin dan lain sebagainya yang dianggap perlu. Pemeriksaan
laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia
ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya
pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia
adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah
lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi
hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
b) Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia. Dengan adanya fasilitas pemeriksaan CT scan otak atau
MRI dapat dipastikan adanya perdarahan atau infark (tunggal atau
multipel), besar serta lokasinya. Juga dapat disingkirkan kemungkinan
gangguan struktur lain yang dapat memberikan gambaran mirip
dengan demensia vaskular, misalnya neoplasma.
c) Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik
dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium
lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodik.
25
d) Pemeriksaan cairan otak (lumbal pungsi)
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen
dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes
sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
e) Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan
epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia
Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan
pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
Membedakan Demensia vaskular dari penyakit Alzheimer 3
Membedakan kedua jenis demensia ini tidak selalu mudah. Looi et al.
mendapatkan bahwa pasien demensia vaskular relatif memiliki memori verbal
jangka panjang yang lebih baik tetapi fungsi eksekutif lobus frontal lebih buruk
dibandingkan pasien dengan demensia Alzheimer. Dapat pula digunakan sistem
skor misalnya skor iskemik Hachinski dan skor demensia oleh Loeb dan
Gondolfo. Diakui bahwa sistem skor ini belum memadai, masih mungkin terjadi
kesalahan dan cara ini tidak dapat menentukan adanya demensia campuran
(vascular dan Alzheimer).
26
Tabel 2.2 skor iskemik Hachinski. Penderita dengan DVa atau demensia multi infark mempunyai skor lebih dari 7, sedang yang skornya kurang dari
4 mungkin menderita Alzheimer 3
Skor Iskemik Hachinski Skor
Permulaan mendadak 2
Progresifnya bertahap 1
Perjalanan berfluktuasi 2
Malam hari bengong atau kacau 1
Kepribadian terpelihara 1
Depresi 1
Keluhan somatik 1
Inkontinesia emosional 1
Riwayat hipertensi 1
Riwayat stroke 2
Ada bukti aterosklerosis 1
Keluhan neurologik fokal 2
Tanda neurologik fokal 2
Tabel 2.3 skor demensia oleh Loeb dan Gondolfo.Bila skornya 0 – 2, kemungkinan menderita demensia karena penyakit Alzheimer, bila skornya 5 – 10 maka
kemungkinan menderita demensia vaskular. 3
Skor Demensia oleh Loeb dan
Gondolfo
Skor
Mulanya mendadak 2
Permulaannya dengan riwayat stroke 1
Gejala fokal neurologik 2
Keluhan fokal 2
CT scan terdapat:
- Daerah hipodens tunggal
- Daerah hipodens multiple
2
3
27
2.5 Penatalaksanaan Demensia 2,3,6
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan
verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas
penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat
diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada
demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan
pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat
berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan
darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam
batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada
pasien demensia vaskuler.3
Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan
fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan
obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor
-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan
fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan
darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak.3 Tindakan bedah untuk mengeluarkan
plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya pada pasien-pasien yang
telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan
demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan
emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-
gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan. 2
Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien
dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori.
Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada
kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat
memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping
memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring
perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit
menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga
kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa
28
pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang. Pasien biasanya akan
mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat
memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga
bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan
disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya.2
Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu
pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai”
dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah
orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta
membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan
melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien
untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena
ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.2
Farmakoterapi
Kolinesterase Inhibitor
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat
kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga
sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari
neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter
kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan
tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan
hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui
penguatan neurotransmisi kolinergik. 2,6,14
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang
tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek
gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada
donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi
neuron progresif. Donezepil dimulai pada dosis 5 mg per hari dan dosis dinaikkan
menjadi 10 mg per hari setelah 1 bulan pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari
29
1,5 mg dua kali perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian 4,5 mg dua kali
perhari sampai dosis maksimal 6 mg dua kali perhari. Galantamin diberikan dengan
dosis awal 4 mg dua kali perhari kemudian 8 mg dua kali perhari dan kemudian 12
mg dua kali perhari. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5-10 mg
untuk donezpil, 6-12 mg untuk rivastigmin, 16-24 mg untuk galantamin.6
Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase inhibitor masih belum
dapat dibuktikan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase ke kolinesterase
yang lain adalah adanya alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan
keluarga dan tidak ada respon pengobatan setelah 6 bulan. Bila akan mengganti obat
dianjurkan untuk menghentikan pemakaian selama 3-4 minggu.6
Antioksidan
Pemberian vitamin E dapat menghambat progresitas Alzheimer dengan
menghambat stress oksidatif dan dapat diberikan sebagai terapi tambahan karena
murah dan aman. 6
Memantin
Mementin adalah antagonis N-Methyl-D-aspartate yang dapat diberi pada
demensia berat dan sedang, dengan efek terapinya melalui glutaminergic
excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin diberi bersamaan
dengan kolinesterase inhibitor didapatkan perbaikan fungsi kognitif.6
30
BAB III
KESIMPULAN
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa
disertai gangguan kesadaran. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan
bertambahnya usia. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe
Alzheimer (Alzheimer’s Diseases) dan demensia vaskular. Demensia dapat
diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak.
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV. Perjalanan penyakit yang klasik
pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an
dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir
dengan kematian. Terapi demensia disesuaikan berdasarkan tipe demensianya.
Namun, secara umum terapi yang digunakan adalah terapi simptomatik, terapi
farmakokinetik dan terapi suportif.
31