Upload
arga-zaqi-mubaraq
View
32
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penyakit dalam
Citation preview
Demam Tifoid
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A atau B atau
Salmonella lain (s. typhi menimbulkan penyakit / gejala yang lebih serius). Mikroorganisme ini
banyak terdapat di kotoran, tinja manusia dan makanan atau minuman yang terkena
mikroorganisme yang di bawa oleh lalat. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah
dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Transmisi Agent
Mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi feses dan urin dari penderita
demam tifoid atau carier. Lalat mungkin bisa membawa bakteri dari kotoran ke makanan.
Transmisi langsung dari manusia ke manusia terjadi melalui jalur fecal-oral. Transmisi juga
dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya (Sudarno et al, 2008).
Epidemiologi Demam Tifoid
Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden
pada laki-laki dan perempuan.
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %,
usia > 40 tahun 5 – 10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita
demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate
687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000
penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika
Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.6 Di Indonesia
demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per
100.000 penduduk.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersamadengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan
bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6
kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang
mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam
tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di
daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang
rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control
, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik
(OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar
terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar
berat coliform (OR=6,4) .
Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan
minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme
penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam
penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit
penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada
penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi
kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapimedika-mentosa dengan obat
anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan
anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab
yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan
meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit
cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit
menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa
tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok
salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada
penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu :
1. Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch
2. Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ – organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya (interaksi dengan makrofag memunculkan mediator-mediator inflamasi) dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala
dan sakit perut juga menyebabkan instabilitas vaskuler, inisiasi beku darah dan depresi sumsum
tulang. Pada Plaque Peyeri sendiri mengalami hyperplasia, nekrosis dan ulkus. Di dalam hati
sendiri kuman ini berkembangbiak dan dikeluarkan dalam cairan empedu ke lumen usus secara
intermittent sebagian keluar ke feses dan sebagian masuk ke sirkulasi darah setelah menembus
usus. Berhubung makrofag terlah teraktivasi dan hiperaktif maka terjadi pelepasan mediator
inflamasi dan gejala sistemik yang sudah dijelaskan diatas.
Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya
lebih ringan jika dibanding dengan penderita
dewasa. Masa inkubasi rata-rata 7-14 hari
(bisa 10->60 hari). Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu
tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. Demam merupakan
keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam
dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai
septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Gejala menggigil
tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo et al, 2007).
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma.
Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat dan ada yang disertai
dengan komplikasi. Pada minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi
akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi dan atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan
fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah
tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
gangguan kesadaran berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Diagnosis (+Pemeriksaan Lanjutan)
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode
untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis
klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari
tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggupertama. Hasil ini menurun
drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun
demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada
minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c.Diagnosis serologic
c.1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang
yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam
tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu
dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,
misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah
endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka
reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain.
Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Daya aglutinasi suspensi antigen
dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai
dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi
yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara
teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double
antibody sandwich ELISA.
Tes Tubex
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit
(Chrishantoro, 2006).
Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum pasien dengan cara
menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan magnetik antigen-partikel. Tes ini juga
spesifik untuk mendeteksi antigen Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan dan
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara langsung dari
koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex menjadi tes yang unik.
Kemampuannya mendeteksi antibodi dan antigen secara teoritis penting untuk diagnosis
serologis penyakit infeksi akut, karena antigen yang diharapkan muncul pada infeksi pertama
(Tam et al. 2007).
Tes Tubex menggunakan reaksi kolorimetri yang dimasker dalam sampel hemolisis. Hasil
beberapa percobaan yang telah dilakukan di beberapa Negara berkembang, Tubex menunjukkan
hasil terbaik dan dapat lebih baik daripada tes Widal yang sudah dipakai sejak seratus tahun lalu.
Tes ini juga memiliki kelemahan, yaitu sulitnya menginterpretasikan hasil dari sampel hemolisis
yang memakai reaksi kolometri. Tes ini juga dapat bernilai positif palsu jika seseorang sudah
pernah terinfeksi Salmonella enteritidis dan mendapatkan terapi antibiotic yang tidak tepat
(Olsen, et. al. 2004).
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim et al (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%
dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di Negara berkembang (Kristina et al,
2007).
KRITERIA DIAGNOSIS
Demam naik secara bertangga lalu menentap selama beberapa hari, demam terutama pada
sore/malam hari.
Sulit buang air besar atau diare, sakit kepala.
Kesadaran berkabut, bradikardia relatif, lidah kotor, nyeri abdomen, hepatomegali, atau
splenomegali.
Kriteria Zulkarnaen:
o Febris > 7 hari, naik perlahan, seperti anak tangga bisa remitten atau kontinua,
disertai delirium/apatis, gangguan defekasi.
o Terdapat 2 atau lebih :
Lekopeni.
Malaria -.
Kelainan urine -.
o Terdapat 2 atau lebih :
Penurunan kesadaran.
Rangsang meningeal -.
Perdarahan usus +.
Bradikardi relatif.
Splenomegali +.
o Dengan pemberian chloramfenicol 4 x 500mg, suhu akan lisis dalam 3 - 5 hari.
o Temperatur turun, nadi naik : “Toten creutz”.
Diagnosa ditegakkan dari :
o Riwayat dan gejala klinik sesuai untuk typhus (5 gejala kardinal dianggap sebagai
positif, 3 gejala kardinal curiga).
5 cardinal sign (Manson-Bahr (1985))
1. Demam
2. Ratio frekuensi nadi = suhu yang rendah (bradikardi relatif).
3. Toxemia yang karakteristik.
4. Splenomegali
5. Rose spot
Sign lainnya :
1. Distensi abdomen.
2. Pea soup stool.
3. Perdarahan intestinal
o Biakkan Salmonella typhi +
o Tes widal meningkat atau peninggian ≥ 4x pada 2 kali pemeriksaan.
o Gall kultur+, Media SS agar.
Diagnosis Banding
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Nyeri perut kadang tak dapat
dibedakan dengan apendisitis atau adanya abdominal abces. Penderita pada tahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Diagnosa banding atas demam adalah
pneumonia, DBD atau demam dengue, malaria, TB.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderitamengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun
dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke
seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai
syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis
dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata,
dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis,
dan sindrom katatonia.
Tatalaksana
Medikamentosa
1. rehidrasi oral atau parenteral
2. antipiretik
3. transfuse darah dengan indikasi
4. vitamin b kompleks dan vit c untuk menjaga kesegaran dan kekuatan tubuh dan untuk
kestabilan pembuluh darah
5. antibiotik
Floroquinolon dianggap sebagai pengobatan yang optimal untuk demam tifoid pada orang
dewasa. Karena floroquinolon murah, lebih dapat ditoleril tubuh, lebih cepat dan efektif dari
antibiotic terdahulu seperti kloramfenikol, ampisilin, amoxisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole. Floroquinolon juga baik dalam menembus jaringan, membunuh bakteri
salmonella pada fase intraselular di dalam monosit atau makrofag dan dapat mencapai level
tinggi di kantong empedu disbanding obat lain. Obat ini juga mempunyai respon cepat,
menurunkan demam dan gejala dalam 3-5 hari. Beberapa penelitian di Asia menyebutkan
efektifitas yang sama didapatkan pada anak-anak.
Non-medikamentosa
1. Istirahat
Tirah baring absolut dilakukan selama 7 hari bebas demam atau samai kurang dari 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai tingkat kesembuhan pasien. Tirah baring dimaksudkan
mencegah komplikasi dan mempercepat kesembuhan.
2. Diet atau pemberian nutrisi
Pasien diberikan bubur saring, lalu bubur kasar sampai nasi seseuai dengan tingkat kesembuhan
pasien. Namun, beberapa penelitian menyebutkan pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dan
lauk pauk rendah selulosa (pantang sayur dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman,
dibutuhkan juga suplementasi vitamin dan mineral. Pada kasus perforasi dan rejatan septik
diperlukan perawatan intensif, nutrisi parenteral. Antibiotika spectrum luas atau kombinasi. Serta
kortikosteroid dipakai pada rejatan septik.
Prevensi
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat
atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 4
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang
sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil,
ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa
0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan
interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada
tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan
kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak
awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam
tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau
sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit
membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih
menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat
menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi.
Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola
hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam
tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita,keadaan kesehatan
sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan adatidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yangadekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di negara berkembang,
angkamortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,perawatan dan pengobatan.
Munculnya komplikasi, seperti perforasigastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, danpneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Relaps
sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderitayang tidak diobati dengan antibiotik. Pada
penderita yang telah mendapatterapi anti mikroba yang tepat, manifestasi klinis relaps menjadi
nyatasekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupaipenyakit akut namun
biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individuyang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah
infeksi umumnya menjadikarier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah
danmeningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasiendemam tifoid.
Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris) lebihtinggi pada karier kronis dibandingkan
dengan populasi umum.
DEMAM
Definisi demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan
dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh
normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal
temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C
(Kaneshiro & Zieve, 2010).
Tipe demam
Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain:
Demam septik
Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.
Demam hektik
Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari
Demam remiten
Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal
Demam intermiten
Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Demam Kontinyu
Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik
Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas
demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
(Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)
Etiologi demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi
bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada
umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis,
selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang
pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan
lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit
Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik,
difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat
mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari
(Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah
gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Patofisiologi demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat
yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen
yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh
dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini
pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan
neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel
darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1,
IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru
sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan
menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase
pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk
memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu
fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik
patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang
berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal &
Zhukovsky, 2006).