Upload
tambora
View
173
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Prolog“Kami di NTB punya kopi Tambora, di tanam di lereng Gunung Tambora, gunung yang pernah menguncang dunia dengan letusannya yang maha dahsyat pada 1815. Coba cicipi Kopi Tambora, nikmatilah rasanya yang khas...” begitu sepenggal pengantar yang terucap dari bibir Winda Novitasari, di depan stan NTB pada Festival Kopi Nusantara 2011 di Jakarta.__________________________________________________________Kalau anda penasaran dengan kopi Tambora, tanyakan saja lagi pada Winda Novitasari (22) atau kepada Nindi Rahmat Putri (21), maka dari bibir mungil dua gadis manis itu akan mengalir informasi yang cukup lengkap. Maklum keduanya adalah duta kopi NTB yang sempat mencuri perhatian pengunjung pada Festival Kopi Nusantara 2011 di Jakarta. Kopi NTB memang belum sekondang dan diburu banyak orang, seperti kopi Aceh atau Toraja misalnya. Tetapi kopi NTB bukan pula anak bawang. Potensi untuk menjadi sejajar dengan kopi Toraja atau Aceh bukannya tak ada. Kopi Tambora misalnya, ditanam di atas dataran tinggi 600 meter dari permukaan laut, dengan kesuburan tanah vulkanik Gunung Tambora, di hamparan lahan mencapai dua ribu hektar, kopi Tambora menyajikan cita rasa yang khas dan unik. bukan mustahil Kopi Tambora menjadi kopi yang kondang dan diburu banyak orang. Selain kopi Tambora, ada pula kopi Sajang dari dataran tinggi Sembalun, di kaki Gunung Rinjani Lombok. Usaha kopi di Sembalun memang masih merupakan usaha sampingan, pelengkap dari usaha utama warga yang bekerja sebagai petani tanaman holtikultura, peternak dan pedagang. Sekalipun pelengkap, sumbangan usaha kopi rata-rata berkisar 20-30 persen setahun dari total pendapatan rumah tangga warga di Sembalun. Sumbangan yang cukup berarti untuk menyangga ketahanan ekonomi keluarga.Tambora dan Sembalun, keduanya sentra kopi NTB yang menyimpan kisah panjang. Mulai dari sejarah budidaya, pasang surut usaha, hingga potret kerja keras petaninya. Satu benang merah bisa kita tarik. Ternyata usaha budidaya kopi di NTB sudah lama ada dan tak pernah berhenti. Seringkali hasilnya tak melegakan hati dan belum memberi dampak ekonomi yang berarti. Tetapi usaha budidaya kopi seperti di Tambora dan Sembalun, tak pernah benar-benar mati. Ini satu pesan yang jelas dan terang bahwa kopi dan warga di sana sangat mungkin telah menyatu. Ada satu keyakinan besar: dari kopi mereka bisa berjaya. Tugas kita semua membantu mereka membuktikan keyakinan itu tidak tinggal hanya mimpi. Tetapi nyata suatu saat nanti.
Citation preview
Dari Rinjani Sampai Tambora
Wangi Kopi Nusa Tenggara Barat
Daftar Isi Pendahuluan Pengantar Gubernur Visi Misi NTB 2014-2019 Peta Pengembangan Kopi NTB Bagian Pertama Prolog
Wangi Kopi NTB Boks: Kopi Tambora Warisan Belanda Boks Kopi Sajang dari Lereng Rinjani
Bagian Kedua Potensi Pengembangan Luas Lahan dan Produksi Cetak biru Kebijakan Boks: Kopi 555 dari lantan Bagian Ketiga Pengembangan Kopi Spesialti Rencana jangka Menengah dan panjang Menuju Pasar Nasional Boks: Geliat Wirausaha Kopi Bagian Keempat Tantangan Dan Prospek Pengembangan Penguatan Kelembagaan Pendampingan Penguatan Mutu Pendapingan Penguatan Pasar Pendampingan Penguatan Teknik Budidaya Prototipe Kopi NTB Infrastruktur Penunjang Boks: Dusun Prabe, Kampungnya Kopi Lombok Asli
Pengantar Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, saya menyambut baik hadirnya buku Dari Rinjani Sampai Tambora: Harum Kopi Nusa Tenggara Barat. Dari buku ini kita tahu ternyata potensi pengembangan kopi NTB cukup menjanjikan, bahkan disebut-sebut kopi dari NTB, seperti Kopi Sembalun dari kaki Rinjani, Kopi Tepal dari dataran tinggi di Sumbawa dan Kopi Tambora dari lingkar Gunung tambora, ternyata citarasanya tak kalah bersaing dengan kopi Toraja atau Kopi Gayo dari Aceh . Pemerintah NTB sepenuhnya menyadari usaha budidaya kopi di NTB merupakan usaha perekebunan rakyat yang menopang hidup ribuan petani dan keluarga mereka. Dukungan nyata untuk mendukung pengembangan usaha budidaya kopi menjadi kewajiban dan tugas utama pemerintah. Untuk itu saya tekankan pentingnya ikhtiar lebih keras dengan perencanaan yang lebih terukur untuk memastikan usaha budidaya kopi di NTB terus berkembang dan maju. Dimana indikator utamanya akan terlihat dari peningkatan kesejahteran petani kopi NTB. Semoga Allah memudahkan dan meridhoi ikhtiar kita bersama. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Prolog
“Kami di NTB punya kopi Tambora, di tanam di lereng Gunung Tambora, gunung yang
pernah menguncang dunia dengan letusannya yang maha dahsyat pada 1815. Coba cicipi
Kopi Tambora, nikmatilah rasanya yang khas...” begitu sepenggal pengantar yang terucap
dari bibir Winda Novitasari, di depan stan NTB pada Festival Kopi Nusantara 2011 di
Jakarta.
__________________________________________________________
Kalau anda penasaran dengan kopi Tambora, tanyakan saja lagi pada Winda
Novitasari (22) atau kepada Nindi Rahmat Putri (21), maka dari bibir mungil dua
gadis manis itu akan mengalir informasi yang cukup lengkap. Maklum keduanya
adalah duta kopi NTB yang sempat mencuri perhatian pengunjung pada Festival
Kopi Nusantara 2011 di Jakarta. Kopi NTB memang belum sekondang dan diburu
banyak orang, seperti kopi Aceh atau Toraja misalnya. Tetapi kopi NTB bukan pula
anak bawang. Potensi untuk menjadi sejajar dengan kopi Toraja atau Aceh
bukannya tak ada.
Kopi Tambora misalnya, ditanam di atas dataran tinggi 600 meter dari permukaan
laut, dengan kesuburan tanah vulkanik Gunung Tambora, di hamparan lahan
mencapai dua ribu hektar, kopi Tambora menyajikan cita rasa yang khas dan unik.
bukan mustahil Kopi Tambora menjadi kopi yang kondang dan diburu banyak
orang. Selain kopi Tambora, ada pula kopi Sajang dari dataran tinggi Sembalun, di
kaki Gunung Rinjani Lombok. Usaha kopi di Sembalun memang masih merupakan
usaha sampingan, pelengkap dari usaha utama warga yang bekerja sebagai petani
tanaman holtikultura, peternak dan pedagang. Sekalipun pelengkap, sumbangan
usaha kopi rata-rata berkisar 20-30 persen setahun dari total pendapatan rumah
tangga warga di Sembalun. Sumbangan yang cukup berarti untuk menyangga
ketahanan ekonomi keluarga.
Tambora dan Sembalun, keduanya sentra kopi NTB yang menyimpan kisah
panjang. Mulai dari sejarah budidaya, pasang surut usaha, hingga potret kerja
keras petaninya. Satu benang merah bisa kita tarik. Ternyata usaha budidaya kopi
di NTB sudah lama ada dan tak pernah berhenti. Seringkali hasilnya tak melegakan
hati dan belum memberi dampak ekonomi yang berarti. Tetapi usaha budidaya
kopi seperti di Tambora dan Sembalun, tak pernah benar-benar mati. Ini satu pesan
yang jelas dan terang bahwa kopi dan warga di sana sangat mungkin telah
menyatu. Ada satu keyakinan besar: dari kopi mereka bisa berjaya. Tugas kita
semua membantu mereka membuktikan keyakinan itu tidak tinggal hanya mimpi.
Tetapi nyata suatu saat nanti.
Boks
Kopi Tambora Warisan Belanda
April 1815 Gunung Tambora meletus sangat dasyhat.Letusan yang tercatat sebagai salah
satu letusan gunung berapi terbesar di kolong jagad. Tak kurang 10 ribu nyawa langsung
melayang dalam sekejap. 90 ribu nyawa lainnya tercatat sebagai korban susulan. Semburan
Tambora menutupi atmosfir bumi, menyebabkan matahari enggan bersinar di belahan bumi
Eropa sepanjang tahun sesudah terjadinya letusan. Setahun tanpa musim panas, membuat
Eropa terguncang hebat. Bencana kelaparan terjadi di banyak tempat. Letusan Tambora
benar-benar laksana kiamat.
Tapi Tambora bukan hanya kisah soal letusan. Alamnya yang eksotik serta komoditi
pertaniannya yang kaya, juga punya kisahnya sendiri. 25 ribu penduduk yang menetap di
lingkar Tambora bergantung penuh pada kemurahan alam disana. Kopi salah satu komoditi
pertanian unggulan Tambora. Hamparan kebun kopi mudah kita temui, terutama di bagian
lereng sebelah utara. Itu sudah ada sejak zaman Belanda. Para pekerjanya datang dari Pulau
Jawa. Entah didatangkan paksa atau sukarela. Jejak orang Jawa masih tertinggal nyata.
Lihat saja dari nama-nama camp (afdelin) di sana. Seperti Afdelin Sumber Rurip dan
Afdelin Sumber Rejo. Jelas merujuk kepada nama khas Jawa.
Menurut catatan sejarah, perkebunan kopi di lereng Tambora dirintis pertama kali oleh G
Bjorlund, seorang Swedia, pada 1930-an. Ia membuka lahan kopi seluas 80 ribu hektar di
lereng barat laut gunung itu. Seiring waktu perluasan lahan terus terjadi. Luas perkebunan
kopi di lereng tambora peninggalan Belanda itu ditaksir 500 hektar. Selain hamparan
perkebunan, Belanda juga mewariskan gudang prosesing, puluhan rumah pegawai dan
gedung kantor. Semua warisan itu cenderung telantar. Baru pada 1977 mulai terasa
bergeliat, tatkala datang PT. Bayu Aji Bima Sena dari Jakarta mengelola hamparan kebun
kopi Tambora. Tentu saja atas ijin penguasa di Jakarta. Seiring itu, masuknya para
transmigran asal Lombok dan Bali membuat kawasan Tambora makin terbuka. Puluhan
ributransmigran datang secara bergelombang sejak paruh kedua dasawarsa 1970. Cukup
banyak dari para transmigran yang kemudian dengan serius bergelut merintis usaha
budidaya kopi di lahan yang mereka kelola.
Pada 2001, tak jelas benar apa sebabnya, PT. Bayu Aji menghentikan operasi perkebunan
kopi mereka. Ratusan hektar lahan, miliaran aset dan sekitar 150 pegawai menjadi tak
bertuan. Setahun kemudian, pemerintah Kabupaten Bima mengambil alih pengelolaan
kawasan. Kala itu kondisinya sangat mengenaskan. Tanaman Kopi yang produktif hanya 80
hektar. Setiap hektarnya hanya bisa menghasilkan 150 kilogram biji kopi mentah. Tingkat
produktivitas yang terhitung rendah. Itupun masih ditambah persoalan penjarahan kopi
oleh masyarakat sekitar. Alih-alih menguntungkan, pemerintah kabupaten Bima harus
cukup banyak mengelontorkan dana untuk menyehatkan kembali usaha perkebunan kopi
warisan Belanda itu.
Kini setelah 10 tahun berlalu, perkebunan kopi Tambora bisa sedikit bernafas kembali. Luas
tanaman kopi yang produktif bisa mencapai 146 hektar. Setiap hektarnya menghasilkan
Total produksi setahun rata-rata 30 ribu ton. Memberi pemasukan bagi daerah Rp 200–350
juta pertahun. Potret ini masih jauh dari ideal. Karena yang bisa dihasilkan sejatinya bisa
lebih berkali lipat dari itu. “Pengawasan pemerintah di sini lemah sekali, perkebunan kopi
ini cenderung disia-siakan,” terang Wahyudin, Kepala Desa Oi Bura, di Kecamatan
Tambora. Apa yang Wahyudin kemukakan ada benarnya. Soal produktivitas misalnya,
capaian 30 ribu ton pertahun terhitung kecil, seharusnya bisa 2-3 kali lipat dari itu.
Alhasil, setumpuk pekerjaan rumah harus dibereskan untuk memastikan kopi Tambora siap
bersaing di pasaran nasional bahkan global. Potensi kopi Tambora memang besar. Nama
Tambora pun layak menjadi branding . Hanya itu semua bisa jadi sia-sia, jika tak ada
terobosan kebijakan yang berani dan konsisten untuk meningkatkan dayasaing dan nilai
jual kopi Tambora. Dan itu harus dilakukan secara seksama dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Semoga.
Boks
Kopi Sajang dari Lereng Rinjani
“Sebentar, jangan langsung di minum. Hirup dulu asapnya, tahan sejenak, lalu hembuskan
pelan-pelan. Barulah anda akan benar-benar merasakan nikmatnya,” katanya dengan
tenang, ketika kami di petang itu baru saja akan menyeruput kopi hangat yang
disuguhkannya. Memang benar, kepulan asap yang membubung dari dalam gelas
menebarkan aroma khas yang sangat menggoda. Warnanya cokelat pekat, mendekati hitam.
Tampak endapan berwarna cokelat sedikit lebih muda, memenuhi sepertiga gelas kami.
Tidak seperti kopi tubruk pada umumnya yang berwarna hitam dan mengotori gelas, kopi
yang kami minum terasa berbeda. “Lihatlah, gelasnya tetap bersih, tidak ada bekas kopi
yang menempel. Ini pertanda kopi murni tanpa campuran beras,” terangnya lagi. Kopi itu,
katanya, hanya bisa disangrai oleh orang-orang tertentu, sebab memerlukan cara khusus
dan tingkat kematangan tersendiri. “Inilah kopi Arabika Special Tea Rinjani,” katanya lagi
dengan ucapan yang mantap.
Ia adalah Amaq Mulyadi (51), ketua kelompok pekebun kopi Khayangan yang berada di
Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Desa itu terletak di lereng
Gunung Rinjani, sekitar sepuluh kilometer sebelah utara Desa Sembalun Lawang yang
terkenal sebagai sentra pertanian hortikultura di Pulau Lombok. Siang itu, awal November
2013, kami bertandang ke rumahnya yang berada di pinggir jalan kabupaten. Seusai
menikmati kopi tubruk di berugaq, ia mengajak kami berkeliling ke kebun kopi yang terletak
di seberang jalan. Di desa itu terdapat kebun kopi yang cukup luas, sekitar 3,5 x 4 kilometer
persegi atau 1.400 hektar. Perkebunan itu, kata Amaq Mul, telah ada sejak sejak zaman
penjajahan.
Penduduk desa Sajang berjumlah sekitar dua ribu jiwa. Sebagian besar memiliki kebun kopi
dengan rata-rata luas satu hektar perkepala keluarga. Awalnya masyarakat hanya
membudidayakan kopi jenis robusta. Mereka menyebut kopi robusta dengan sebutan kopi
jamaq yang dalam bahasa Sasak berarti kopi biasa. Belakangan, ketika pasar dunia meminati
kopi jenis Arabika, banyak pekebun di sana mengembangkan kopi dataran tinggi itu.
Padahal, Sajang termasuk dataran medium dengan tinggi tempat 850 meter dari permukaan
laut. Kini, meski tidak ada data pasti, namun Amaq Mul memperkirakan populasi kopi
Arabika dan Robusta nyaris sama. Sebagai petani kopi, Amaq Mul mengakui ia bertani
hanya bermodal pengetahuan warisan dari orangtuanya dulu. Begitu juga umumnya semua
petani kopi di Sajang. Mereka minim pengetahuan teknis soal kopi. Mereka juga tak terlalu
tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan pasca panen.
Babak baru perkebunan kopi di Sajang belum lama dimulai. Ditandai dengan diundangnya
kelompok pekebun kopi Khayangan mengikuti acara seminar Kopi di Jawa Timur pada 2007
silam. Di sanalah Amaq Mulyadi dan kawan-kawannya berkesempatan memperkenalkan
kopi dari Sajang. Pemaparannya berhasil menarik perhatian Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao di Jember Jawa Timur. Melalui Dinas Perkebunan Provinsi NTB dan Dinas
Perkebunan Kabupaten Lombok Timur, Puslit Jember melakukan pendampingan terhadap
mereka. Pembinaan itu antara lain meliputi teknis budidaya, panen, dan pasca panen.
Hasilnya memang tidak berbuah sekejap, tetapi setidaknya petani kopi di Sajang
mendapatkan hal baru dalam meningkatkan hasil kebun kopi mereka. Seperti pengetahuan
tentang tindakan peremajaan tanaman atau disebut rejuvinasi. Hal yang tak pernah mereka
ketahui sebelumnya. Tanaman kopi yang sudah terlalu tinggi dipangkas kira-kira satu meter
di atas permukaan tanah. Tunasnya yang tumbuh kemudian disambung dengan pucuk atau
entris dari kopi yang sudah produktif. Dengan cara begitu, selain produksi kopi meningkat
tinggi, pemanenan sudah pasti lebih mudah karena letak buahnya yang lebih rendah. “Kami
terus berharap mendapatkan pendampingan dalam jangka waktu panjang. Semoga bisa
membuat usaha kopi kami maju dan berkembang,” harapan Amaq Mul. Harapan itulah
modal besar petani Kopi Sajang untuk mereka segera berbenah meningkatkan pendapatan
mereka. Pemerintah wajib terus memberikan dukungan dan perhatian yang berkelanjutan.
Luas Lahan dan Produksi
“Kami menanam kopi mengikuti sepenuhnya cara orangtua kami menanam. Pengetahuan kami terbatas sehingga hasil panen pun rasanya tak maksimal.
Syukurlah belakangan ini pemerintah datang membimbing kami. Bagaimana menanam kopi yang baik, mengolahnya setelah panen
dan membuka akses pasar, sudah bisa kami ketahui. Semoga pemerintah terus mendampingi kami,
sampai pendapatan kami meningkat dari usaha kopi ini....”
(Amaq Mulyadi, petani kopi di Desa Sajang, di kaki Gunung Rinjani)
Tidak jelas benar, sejak kapan tanaman kopi masuk ke Indonesia. Yang pasti, Kopi
yang konon berasal dari Ethopia di benua Afrika sana, tercatat sebagai salah satu
komoditas perkebunan terpenting di negeri kita. Setidaknya 1,4 juta petani terlibat
dalam usaha budidayanya. Jawa menjadi sentra kopi utama, lalu sebagian lainnya
tersebar di tanah Sumatra dan Nusa Tenggara. NTB sendiri dengan luas lahan
garapan sekitar 12,5 ribu hektar, menyumbang sekitar 5-6 persen dari total luas
lahan kopi di Indonesia yang mencapai 1,2 juta hektar. Mayoritas merupakan
perkebunan rakyat dengan penyerapan tenaga kerja mencapai dua juta orang.
Merujuk data Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian, Produksi kopi
Indonesia pada 2011 mencapai 709 ribu ton. Meliputi produksi kopi jenis Robusta
sebanyak 554 ribu ton dan Arabika sebesar 155 ribu ton. Sementara volume ekspor
biji kopi Indonesia pada tahun yang sama mencapai 446 ribu ton. Data Ringkas di
atas menunjukkan peran penting kopi sebagai salah satu komoditi perkebunan
andalan Indonesia. Utamanya sebagai komoditi yang menopang lebih dari 1,4 juta
petani dan pendorong agroindustri dan agrobisnis yang memberi pasokan besar
pada devisa negara.
Secara nasional produksi kopi Indonesia rata-rata perhektar berkisar 600-700
kilogram setiap tahunnya. Tercatat sebagai salah satu negara penghasil kopi
terbesar di dunia. Sekalipun demikian, produktivitas petani kopi di Indonesia
masih kalah bersaing. Petani kopi Vietnam misalnya, setiap hektarnya mampu
menghasilkan 2-3 ton. Bahkan Brasil, negara penghasil kopi utama di dunia,
mampu mencapai 4-5 ton. Mengapa produktivitas kopi kita rendah? Sejumlah
faktor disebut sebagai penyebabnya. Antara lain hampir separuh tanaman kopi di
Indonesia telah mencapai usia 20-30 tahun. Usia yang sulit lagi untuk bisa memacu
peningkatan produktivitas tanaman. Setidaknya hingga 50 persen produktivitas
menurun pada tanaman kopi yang berusia tua.
Lima tahun ke depan, pada 2018 ditetapkan target nasional produksi kopi
mencapai 1,3 juta ton. Sejumlah langkah strategis tentu saja harus dilakukan untuk
mencapai target tersebut, selain melakukan peremajaan tanaman kopi secara
massif, juga memperluas areal tanam serta memperbaiki kualitas pengolahan
tanam dan pasca panen. Pertumbuhan areal tanam kopi di Indonesia memang
sangat rendah. Setiap tahunnya tumbuh hanya sekitar 0,02 persen. padahal potensi
untuk pengembangan lahan terbuka lebar. Saat ini luas lahan kopi sebesar 1,2 juta
hektar di seluruh Indonesia, baru mencakup sekitar 30 persen dari potensi luas
lahan yang bisa dikembangkan.
Disini terbuka peluang bagi NTB untuk memberikan kontribusi yang lebih
signifikan bagi produksi kopi nasional. Pengembangan kopi spesialti di NTB
misalnya, menjadi pintu masuk bagi NTB menjadi daerah penghasil kopi yang
diperhitungkan di tanah air. Luas potensi areal kopi di NTB ditaksir mencapai 36
ribu hektar. Pada 2012 tercatat baru 12,8 ribu hektar yang terpakai dengan total
produksi 5,3 ribu ton. Lebih dari separuh areal kopi di NTB tersebar di Pulau
Sumbawa. Begitu juga dengan total produksi, di Pulau Sumbawa hampir tiga kali
lipat dari Pulau Lombok. Sentra budidaya dan produksi kopi di Pulau Sumbawa
terutama berpusat di lingkar Gunung Tambora di Dompu dan Bima serta di
dataran tinggi Tepal Sumbawa.
Jika kita merujuk data BPS NTB, sejak 2008 sampai 2012 terlihat jelas bahwa luas
areal dan total produksi kopi di NTB relatif stagnan. Kisarannya selalu 12 ribu
hektar untuk luas areal dan lima ribu ton untuk total produksi. Ini memberi sinyal
bahwa peluang pengembangan belum tergarap dengan maksimal, sekaligus juga
menjadi isyarat perlunya terobosan kebijakan yang akselaratif untuk
meningkatkan produktifitas dan nilai tambah komoditas kopi di NTB. Terobosan
akselaratif diperlukan karena memang kontribusi produksi kopi NTB secara
nasional masih terhitung sangat kecil. Tak pernah lebih dari dua persen setiap
tahunnya. Selain kontribusi yang kecil dalam aspek total produksi, kopi NTB juga
masih tertinggal dalam hal pengembangan standar kualitas mutu dan akses pasar.
Sehingga berimbas kepada rendahnya nilai tambah produk kopi dan tak
maksimalnya petani meraup pendapatan.
Potret belum maksimalnya produktivitas petani kopi bisa kita lihat di Desa Sajang,
sebagai satu contoh. Sajang merupakan desa di kawasan dataran tinggi Sembalun,
di kaki gunung Rinjani, Lombok Timur. Di sana Perkebunan kopinya rata-rata
setiap hektarnya menghasilkan 7-8 ton buah basah. Untuk menjadi biji siap giling,
penyusutannya bisa mencapai 83 persen untuk Kopi Arabika, dan 73 persen untuk
kopi Robusta. Artinya, tujuh ton buah basah akan menjadi sekitar 1.140 kg biji siap
giling. Mereka menjualnya ke pengepul lokal setiap musimnya. Para pengepul
kemudian mengirimnya ke Bali dan Jawa. Harga jual saat ini rata-rata Rp 25 ribu
per kilogram untuk Arabika dan sekitar Rp 20 ribu per kilogram Robusta.
Dengan pendapatan seperti itu, umumnya petani di desa Sajang mengakui kopi
belum bisa sepenuhnya menyangga ekonomi rumah tangga. Itulah sebabnya
mengapa di Sajang, perkebunan kopi mengunakan sistem tanam tumpangsari. Di
sela tanaman kopi, ditanam juga talas, ubi kayu, pisang, atau sayuran seperti koro
dan kecipir. Dengan sistem tumpangsari, setidaknya bisa menambah penghasilan
dan memanfaatkan kekosongan lahan. “Tanaman tumpangsari tidak mengganggu
tanaman kopi,” terang Amaq Mulyadi (51), ketua kelompok kopi Khayangan yang
berada di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur
Boks
Kopi 555 dari Lantan
Kebun kopi membentang di Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok
Tengah. Di desa ini bermukim 5,2 ribu jiwa yang sebagian besar mereka petani kopi sejak
puluhan tahun silam. Kopi merek 555 yang terkenal puluhan tahun di pasaran lokal
Lombok berasal dari kebun kopi di desa lantan. Kopi 555 sudah ada di lombok sejak tahun
1950-an. “Banyak orang Lombok pergi ke Mekkah membawa kopi 555, kalau tidak minum
kopi ini mereka bilang pusing,”kata Suroso pemilik PT Tresno Kenangan yang
memproduksi kopi 555.
Suroso kini hampir berumur 75 tahun, ia mewarisi usaha perkebunan dan pengolahan kopi
dari orangtuanya sejak umurnya belasan tahun. Lahan kopi di Desa Lantan dikelola Suroso
sejak pertengahan 70-an. Tidak langsung besar tentu saja, Suroso merintisnya dari bawah.
Kopi 555 terus membesar seiring dengan bertambah luasnya lahan yang dikelolanya di
Lantan. Di tanam di atas lahan 300 hektar, kopi 555 merajai pasar lokal untuk waktu yang
lama, bahkan hingga sekarang.
Sejak Akhir 2008, Suroso tidak lagi mengelola lahan kopi di Lantan. Ijinnya tak
diperpanjang pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Tidak jelas benar mengapa, tapi yang
pasti produksi kopi 555 tetap berjalan dengan cara membeli kopi kering Robusta langsung
dari pasar. Memang keuntungan jauh menurun dibanding ketika masih mengelola lahan di
Lantan. “bisa untung lima persen saja sudah bagus,” kata Suroso. Sekalipun begitu Suroso
tetap bertekad mempertahankan kopi 555 tetap ada di pasaran.
Kini, pengelolaan lahan kopi eks PT Tresno Kenangan diserahkan ke masyarakat di bawah
kontrol Kepala Desa dan Camat. Masing-masing warga mendapatkan bagian yang
bervariasi, dari yang hanya 0,5 hektar hingga dua hektar. Ketika masa transisi pengelolaan
dari PT Tresno Kenangan ke Pemerintah Lombok Tengah, masyarakat sempat bertindak di
luar kontrol, membabat pohon penaung seperti gamal, dadap, dan randu, juga tanaman kopi
yang sudah tua, lalu kayunya mereka jual. Akibatnya, kini banyak tanaman pengganti yang
belum berbuah karena masih muda. Dari populasi yang ada warisan PT Tresno, rata-rata
hanya separuhnya saja yang berbuah, itupun buahnya sedikit sekali. “Saya sendiri punya
kebun 0,5 hektar lebih sedikit, hasil panen kemarin kurang dari 300 kilogram,” ujar Amaq
Ati (70), seorang petani kopi di Lantan. Padahal, katanya, produksi sebelumnya bisa dua
kali lipat bahkan lebih.
Selain populasi tanaman kopi yang berbuah hanya sekitar sepertiganya saja, hasil yang
rendah itu juga karena para pekebun di Lantan banyak yang tidak faham cara berkebun kopi
yang benar.. Mereka mengaku hanya meneruskan kebiasaan turun-temurun nenek moyang:
membersihkan gulma, membuang tunas air, dan memberikan sayatan-sayatan pada pohon
kopi. Tak ada inovasi sehingga hasil produksi pun tak bisa meningkat, bahkan cenderung
merosot. Belum lagi perubahan musim dan serangan hama penyakit yang kerpa datang.
menyerang.
Di luar lahan eks PT Tresno itu, di Desa lantan masih ada sekitar 600 hektar kebun kopi
lainnya. Sebagian ada di kawasan Hutan Kelola Masyarakat (HKM),sebagian lagi di tanah
milik masyarakat sendiri. Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lombok Tengah,
luas kebun kopi di Desa Lantan mencapai 70 persen dari total luas kebun kopi di Kabupaten
itu. Petani kopi di Lantan umumnya menjual biji kopi kering giling ke pasar tradisional.
Harganya turun naik tak pasti, dari Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribu perkilo.
Kisah pasang surut usaha kopi 555 dari Desa Lantan menunjukkan satu hal: tak mudahnya
kopi lokal bertahan di pasar lokal, apalagi menembus pasar luar. Petani kopi di Desa Lantan
dan Suroso pengusaha kopi 555 merasakan sendiri pahit getirnya usaha kopi di NTB.
Mereka pionir di bidangnya. Pemerintah wajib memberikan dukungan nyata.
Cetak Biru Kebijakan
“Di NTB ada sekitar 1 juta hektar lahan pertanian potensial, setidaknya 30-40 persen cocok untuk pengembangan
tanaman perkebunan musiman maupun tahunan. NTB telah ditetapkan menjadi daerah
pengembangan kopi spesialti. Sejenis kopi organik dengan mutu terbaik,
yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor.... “
(Ir. Hartina, MM, Kepala Dinas Perkebunan NTB)
Potensi lahan perkebunan yang besar itu, tak boleh disia-siakan. Pemerintah NTB
dituntut untuk lebih pro aktif dan “agresif” untuk melakukan percepatan
optimalisasi potensi tersebut. Petani –termasuk petani kopi didalamnya-- mesti
difasilitasi untuk mendapat insentif meningkatkan produktivitas dan
dayasaingnya. Pengelolaan potensi lahan perkebunan yang besar itu, juga adalah
jawaban nyata dari Komitmen melawan kemiskinan yang prosentase statistiknya
masih terhitung besar di NTB.
Seringkali kita memang tanpa sadar suka meremehkan potensi daerah sendiri.
Ketika tertulis di sebuah media besar terbitan ibukota bahwa produk ranting-
ranting dari Lombok, rata-rata di ekspor 2-4 kontainer tiap bulannya dari Jakarta
oleh pengusaha disana, kita baru sadar besarnya potensi itu. Ketika dikabarkan
Jepang membutuhkan 10 ribu ton ketela setiap tahunnya, kita baru ingat NTB
punya lahan kering lebih dari 1 juta hektar. Tidak terkecuali kopi, NTB menyimpan
potensi pengembangan yang cukup besar untuk komoditas perkebunan yang satu
ini. Untuk itu, sense of direction dan sense of urgencey yang menyangkut kepekaan
dan ketajaman intuisi memilih sektor ekonomi mana yang lebih utama
didahulukan, menjadi kata kunci kemajuan. Dan sense of direction dan sense of
urgencey harus dimiliki oleh pemerintah NTB.
Pemerintah NTB menyadari betul besarnya potensi pengembangan sektor
perkebunan. Terutama yang berbasis perkebunan rakyat, seperti usaha budidaya
kopi. Kesadaran itu misalnya diwujudkan dalam bentuk merancang cetak biru
arah kebijakan pengembangan kopi di NTB. Pendekatan “pengembangan kawasan
agribisnis” berbasis pedesaan menjadi roh dari cetak biru kebijakan itu. Di mana
dalam kawasan tersebut didorong terjadinya integrasi antara hulu, tengah dan hilir
yang berasaskan kebersamaan ekonomi, kesinambungan dan efesiensi usaha serta
peningkatan produktivitas masyarakat. Muara dari itu semua, tentu saja yang
utama dan pertama adalah memastikan petani kopi menjadi penerima manfaat
terbesar dari apa yang mereka usahakan.
Cetak biru kebijakan dirancang dengan paradigma utama membangun manusia
dan masyarakat perkebunan dalam satu tarikan nafas yang sama. Paradigma ini
menolak marginalisasi manusia (petani) dan meletakkan komoditas perkebunan
sebagai instrumen mencapai tujuan pembangunan. Cetak biru juga menekankan
betul aspek keadilan, yang meliputi sekurangnya tiga hal. Pertama, keadilan dalam
pendistribusian sumberdaya. Kedua, keadilan dalam pendistribusian pendapatan
dan ketiga, keadilan dalam akses berusaha. Ketiga aspek keadilan ini dijalankan
secara transparan dan berkelanjutan.
Cetak biru kebijakan dengan pendekatan pengembangan kawasan agribisnis
terpadu yang berparadigma membangun manusia dan masyarakat perkebunan
NTB, diimpelementasikan melalui sejumlah langkah dan strategi yang terencana
dan terukur dampaknya. Antara lain melalui.
1. Mendorong terwujudnya kawasan pengembangan, sistem dan usaha
agribisnis perkebunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan
berkelanjutan.
2. Mendorong pembangunan agribisnis berbasis perkebunan.
3. Memdukung ketahanan pangan melalui pemanfaatan lahan perkebunan
secara maksimal dan berwawasan lingkungan.
4. Memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan optimal
dalam pengembangan sistem usaha agribisnis berbasis perkebunan.
5. Memfasilitasi pelaku usaha melalui pengembangan teknologi, pembangunan
sarana dan prasarana, pembiayaan, akses pasar dan kebijakan pendukung
lainnya.
6. Meningkatkan kualitas petani dan kelembagaan mereka dalam
memanfaatkan kemudahan dan peluang yang ada untuk mengembangkan
usaha perkebunan.
Tolong desain road maap ini polydoor buat yang berbeda, yang bagus siip...
Peta Jalan (Rod Map) Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Kopi Arabika di NTB
PASAR
Ekspor Ekspor
PRODUK
Kopi Biji Arabika Mutu 2/ Mutu 3 (20 Ton)
Kopi Biji Arabika Mutu 2/ Mutu 3 (40 Ton)
KOMPETENSI PETANI
Petugas dan Petani Memahami Program serta
Petugas dan Petani Memahami Dasar-dasar
UPH Mampu Mengolah Kopi dengan Baik
Maksud dan Tujuannya Petani Memiliki UPH Kopi Arabika UPH Memiliki Sarana dan Prasarana UPH Memiliki Mitra Bisnis
Teknologi Pengolahan dan Mutu Kopi UPH Mampu Mengolah Kopi dengan Baik UPH Mampu Menggalang Petani Kopi untuk Menghasilkan Kopi Mutu Baik Pihak-pihak yang Bermitra Memahami Kekurang dan Kelebihan untuk Perbaikan ke Depan
UPH Mampu Menggalang Petani Kopi untuk Menghasilkan Kopi Mutu Baik Petani Memahami Pentingnya Koperasi untuk Membangun Ekonomi Pihak-pihak yang Bermitra Memahami Kekurang dan Kelebihan untuk Perbaikan ke Depan
MEMBANGUN KAPASITAS
Sosialisasi Program kepada Petugas Dinas dan Petani di Kabupaten Stimulasi Pembentukan UPH Fasilitasi Sarana & Prasarana untuk 2 UPH
Sosialisasi Program kepada Petugas Dinas dan Petani di Kabupaten Stimulasi Pembentukan UPH Fasilitasi Sarana & Prasarana untuk 2 UPH Rintisan Membangun Kemitraan
Pelatihan Teknis Budidaya Pengolahan dan Kemitraan di Tingkat UPH Pendampingan Budidaya Proses Pengolahan oleh Tenaga Ahli dan Petugas Dinas Bantuan Permodalan/ Dana Talangan Fasilitasi Sarana & Prasarana untuk 2 UPH (Baru)
Pelatihan Teknis Pengolahan dan Kemitraan (UPH Baru) Pendampingan Proses Pengolahan oleh Petugas Dinas Bantuan Permodalan/ Dana Talangan Fasilitasi Membangun Koperasi Usaha Tani (4 UPH Lama)
Evaluasi Kinerja Tahun Berjalan & Program Kerja Tahun Depan
Fasilitasi Sarana & Prasarana untuk 2 UPH (Baru) Fasilitasi Alsin Produk Hilir (Kopi Bubuk) Evaluasi Kinerja Tahun Berjalan & Program Kerja Tahun Depan
PERSIAPAN Kajian Data Dasar (Baseline Study)
- - -
TAHUN 2010 2011 2012 2013
Bagian Ketiga Pengembangan Kopi Spesialti Rencana jangka Menengah dan panjang Menuju Pasar Nasional Boks: Geliat Wirausaha Kopi
Pengembangan Kopi Spesialti
Agus Wijaya, seorang pengusaha hasil bumi dari Malang Jawa Timur, terbang ke
Mataram NTB pada awal 2011. Tujuannya satu mengikuti Pasar Lelang Forward
yang diadakan dinas Perdagangan dan Industri NTB secara berkala. Komoditas
yang diburu Agus kali itu adalah kopi NTB. Ia dapat order besar dari PT Segar di
Jawa Timur yang biasa bermain di komoditas hasil bumi seperti jagung dan kopi.
“Setiap minggu saya diminta mengirim minimal 15 ton kopi NTB ke PT Segar di
Jawa Timur,” ujar Agus seperti dikutip sebuah harian lokal di Mataram.
Lebih lanjut Agus menuturkan, PT Segar yang memintanya mencari kopi NTB
adalah produsen kopi luwak dan kopi khas dari kawasan tertentu yang bercita rasa
khas pula. Agus menyatakan dari sekian banyak daerah penghasil kopi, PT Segar
meminta padanya untuk khusus berburu kopi di NTB, terutama kopi dari daerah
pegunungan di Rinjani, Tepal dan Tambora. Tak jelas benar mengapa harus kopi
dari NTB yang di buru PT Segar, yang pasti Agus melihat ini peluang bisnis yang
menguntungkan. “Target saya 100 ton dulu dalam tiga bulan untuk tahap awal
memasok kebutuhan PT Segar,” tutur Agus lagi.
Kisah Agus, sang pengusaha itu menunjukkan kopi NTB bukanlah tidak punya
potensi untuk mewarnai pasar kopi nasional. Pernyataan Agus bahwa PT Segar
meminta khusus berburu kopi dari dataran tinggi di NTB, seperti kopi dari
kawasan Rinjani, Tepal dan Tambora, sangat perlu digarisbawahi. Itulah peluang
pengembangan kopi terbesar yang seharusnya dan sepatutnya menjadi titik fokus
kebijakan pemerintah daerah.
Rencana Jangka Menengah dan Panjang
Pemerintah Provinsi NTB, setidaknya sejak 2010 bergiat mendorong percepatan
penanaman kopi organik khas atau biasa disebut dengan kopi spesialti. Tiga lokasi
dipilih sebagai sentra pengembangan kopi spesialti: kawasan Rinjani di Lombok,
Kawasan Tepal dan Tambora di Pulau Sumbawa. Tak kurang dari 350 hektar lahan
disediakan untuk “proyek” masa depan ini. Target jangka menengahnya, selama
lima tahun setidaknya NTB harus sudah memiliki kopi organik dengan cita rasa
khas. Sembari terus memperbaiki kualitas mutu dan standar produksi agar pada
rentang 5-10 tahun sesudahnya, kopi organik NTB dari Rinjani, Tepal dan Tambora
bisa menjadi bagian dari kopi spesialti Indonesia yang di ekspor ke mancanegara.
Pemerintah pusat melalui Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember Jawa Timur
memberikan dukungan penuh bagi pengembangan kopi spesialti di NTB. Antara
lain dalam bentuk mendorong sertifikasi organik dan penerapan teknologi
sambung samping dan sambung pucuk untuk meningkatkan produktivitas dan
standar kualitas kopi. Selain itu juga terus didorong upaya identifikasi dan
spesifikasi produk, pemberdayaan petani, penguatan manajemen mutu dan rantai
pasok, promosi dengan nama geografis, menjaga citra produk dan perlindungan
Hak karya Intelektual (HKI).
© stuppa
SERTIFIKASI ORGANIK UNTUK KOMODITAS
KOPI (LOMBOK UTARA, SUMBAWA
DAN BIMA)
SASARAN:TERSTANDARISASINYA
KUALITAS KOPI S SPESIFIK LOKAL
PENANGGUNGJAWABDINAS PERKEBUNAN
DIMULAINYA INOVASI TEKNOLOGI SAMBUNG
SAMPING DAN SAMBUNG PUCUK
PADA TANAMAN KOPI
SASARAN:TERWUJUDNYA
PENINGKATAN PRODUKSI KOPI
PENANGGUNGJAWABDINAS PERKEBUNAN
PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PRODUK KOPI NTB
Apa itu kopi spesialti? Kopi spesialti adalah kopi organik yang memiliki beberapa
ciri utama: 1)Bercita rasa lokal yang khas. 2) berasal dari wilayah geografis tertentu
yang di sana telah ada usaha budidaya kopi rakyat dalam kurun waktu yang cukup
lama. 3) Dikembangkan di daerah dataran tinggi 800-1.500 meter dari permukaan
laut dengan lama bulan kering 3-4 bulan. 4) Harus lulus sertifikasi dari Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslikoka) yang berkedudukan di Jember,
Jawa Timur. Intinya kopi spesialti adalah kopi jenis wahid yang karena itu wajar
juga harganya mahal. Bagi petani jelas lebih menguntungkan menanam kopi
spesialti dibandingkan kopi biasa. Tetapi tentu saja petani dituntut memeliki
sejumlah kecakapan teknis yang lebih untuk bisa mendapatkan hasil kopi spesialti
yang terbaik.
Menembus Pasar Nasional
Pengembangan kopi spesialti ditujukan terutama untuk orientasi ekspor. Sehingga
kualitasnya harus selalu terjaga dengan kontrol standar yang ketat. Selama ini,
dalam kurun waktu yang cukup lama, petani kopi NTB umumnya menanam kopi
jenis robusta dengan harga rata-rata Rp 15 perkilo. Kalah jauh dibandingkan
dengan harga jual kopi Flores NTB yang bisa mencapai Rp 28 ribu perkilo, apalagi
jika dibandingkan dengan harga jual kopi Bali Rp 35 ribu perkilo. Kedua kopi itu –
Flores dan Bali—merupakan jenis kopi arabica spesialti. Itulah sebabnya harganya
menjadi bersaing. Pengembangan kopi spesialti di NTB, nantinya dalam waktu
cepat akan mendongkrak stadar harga kopi NTB kian bersaing.
Pada pertengahan 2011, Puslitkoka melakukan pengujian atas kopi Arabica hasil
produksi Unit Produksi Hasil (UPH) Sajang di Sembalun Rinjani dan UPH Tepal di
Sumbawa. Hasilnya meraih angka 80 yang berarti kualitas kopi di dua tempat itu
bisa dimasukkan dalam golongan kualitas kopi spesialti. Pengujian tersebut bisa
diyakini keabsahan dan keakuratan proses dan datanya, mengingat Puslitkoka
merupakan pusat penelitian yang berpengalaman dan dua dari tujuh peneliti yang
meneliti kopi Sajang dan Kopi Tepal itu bersertifikat Q-grader dari Specialty Coffee
Association of America (SCAA) yang diakui dunia.
Tentu saja hasil pengujian lapangan Puslitkoka tersebut melegakan. Satu tahap
awal sudah berhasil dilalui dan kopi spesialti dari dataran tinggi Rinjani dan Tepal
itu lulus dengan memuaskan. Tetapi jalan masih panjang untuk bisa memastikan
kopi spesialti dari NTB bisa sejajar dengan kopi Gayo dari Aceh, kopi Jawa dan
kopi Toraja, yang merupakan ikon kopi spesialti di Indonesia. Jalan pun kian makin
panjang jika kopi NTB ingin unjuk gigi di pasar global. Di sana ada sederet kopi
spesialti yang kondang. Mulai dari Kopi kopi Guatemala, kopi Ethiopian Harrar
dari Ethopia, kopi Tanzania Peaberry, kopi Hawaiian Kona, Kopi Mocha Yamen
dan Kopi Santos Brasil. Mereka punya keunikan cita rasa yang diburu banyak
penikmat kopi manca negara.
Karena itu ikhtiar mengembangkan kopi spesialti NTB tak boleh berhenti. Justru
hasil pengujian lapangan dari Puslitkoka yang memuaskan itu seyogyanya menjadi
faktor pengungkit dan sekaligus titik balik bagi dimulainya babak baru
pengembangan kopi di NTB. Faktor pengungkit karena dirasakan betul selama ini
pembangunan sektor perkebunan di NTB “kurang greget”, stagnan dan minim
terobosan. Titik balik lantaran inilah momentum dimana kopi NTB berpeluang
besar untuk masuk ke pasar nasional bahkan dunia. Kerja keras dengan konsep
perencanaan yang terukur, kemampuan melibatkan petani dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, serta konsistensi kebijakan dalam jangka panjang,
menjadi sebagian prasyarat terpenting untuk memastikan harum kopi NTB
memang layak diapresiasi di panggung nasional dan dunia tadi.
Pengembangan kopi spesialti di NTB menjadi pintu masuk terpenting bagi masa
depan kopi NTB. Mengapa kopi spesialti ini menjadi penting? Pertama, harganya
yang mahal. Kedua, pasarnya yang terbuka lebar. kopi spesialti Indonesia harganya
mampu mencapai rata-rata 7-8 dolar Amerika per pon. Tiga kali lipat dari harga
kopi jenis biasa. Soal peluang pasar, sangat terbuka lebar karena hampir 99 persen
kopi spesialti di Indonesa merupakan produk impor. Ini terjadi karena masih
rendahnya produksi kopi spesialti di dalam negeri, kurang dari 500 kilogram
perhektar setiap tahunnya.
Boks
Geliat Wirausaha Kopi
Di Desa Krato, Kecamatan Untir Iwes, Sumbawa besar, ada usaha pengolahan kopi organik
spesialti bermerek Cahaya Robusta. Usaha itu milik Hajjah Nuraini, seorang perempuan
wirausaha yang gigih berjuang. Nuraini merintis usaha kopinya sejak 10 tahun silam
berangkat dari keinginan kuatnya memberdayakan ekonomi keluarga dan kaum perempuan
di lingkungannya. Ia memilih usaha kopi karena melihat peluang besar yang masih terbuka.
Usaha kopi Cahaya Robusta telah berjalan hampir 10 tahun lamanya. Lazimnya usaha
rumahan yang bermodal ala kadarnya dan akses pasar yang terbatas pula, Nuraini
mengalami kesulitan mengembangkan usaha. Sekalipun begitu, perempuan paruh baya ini
tak pernah putus asa. Ia terus melakukan peningkatan kualitas pengolahan kopinya. Antara
lain dengan menjaga standar kopi bubuknya dan mengemasnya jadi lebih menarik lagi.
“Kopi Sumbawa ini saya yakin bisa bersaing, hanya saja kita perlu sabar dan tekun
membuka pasar. Dukungan nyata dari pemerintah sangat kami perlukan,” tegas Nuraini.
Belakangan Nuraini bisa sedikit lega. Dinas Perkebunan NTB mengandeng usahanya
menjadi mitra dalam mendorong percepatan lahirnya wirausaha baru yang menjadi salah
satu program unggulan NTB. Usaha pengolahan kopi organik milik Nuraini memang
cukup potensial untuk menjadi model wirausaha baru. Sebagai mitra, tentu saja Nuraini
mendapatkan sejumlah dukungan. Antara lain berupa paket pelatihan dan dukungan
jaringan pemasaran. Ia pun kerap diajak berpameran pada sejumlah even penting tingkat
nasional yang berlangsung di NTB, seperti peringatan Hari Pangan Sedunia pada 2010
silam.
Nuraini tidak sendiri. Di Desa Batu Mekar Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, ada
kelompok pengembangan usaha agribisnis perkebunan Mule Paice. Kelompok ini juga
memproduksi kopi organik dengan merek Coffee Lombok. Kemasan kopi lombok ini cukup
elegan. Tak kalah dengan kemasan kopi yang banyak diiklankan di TV dan koran-koran.
Tirtawan, ketua kelompok Mule Paice menuturkan kelompoknya itu berdiri sejak 2005
dengan melibatkan anggota sekitar 20 orang.
Coffee Lombok sebagai merek dagang sedang dalam proses pembuatan hak paten. Setiap
harinya diproduksi 10 hingga 30 kilogram kopi organik yang dikemas dalam bentuk
bungkusan (sachet) dan kotak ukuran besar dan sedang. Citarasanya juga beragam. Ada
yang two in one, kopi dan gula dalam satu kemasan. Ada juga yang three in one, kopi, gula
dan jahe menjadi satu. Dan ada lagi kopi murni. “Semua produksi kami dari
bahan organik yang ramah lingkungan,” terang Tirtawan.
Nuraini dengan kopi Cahaya Robusta dan Kelompok Mule Paice dengan Coffee Lombok-nya
adalah contoh kecil dari geliat usaha agribisnis perkebunan di NTB. Kecil memang, tetapi
itu modal besar untuk terus berkembang.
Foto: Nuraini, foto Tirtawan dan masing-masing produk kopi mereka........
Bukan hanya petani kopi saja yang diuntungkan dari bisnis kopi di daerah ini. Wirausaha
baru yang menjajakan kopi seperti di warung kopi atau cafe juga mendapat imbasnya.
“This the best coffee in Mataram” hmm….begitu kata Gaby Stibal seorang perempuan
berkebangsaan Austria, kepada Warta Unggulan saat bertandang ke salah satu warung kopi di
Mataram.
Ungkapan spontan tersebut bukan tanpa alasan, warung kopi bernama Bandini Koffie ini
memang menyajikan kopi yang lain dari pada yang lain. Di warung kopi yang berada tak jauh
dari toko buku Gramedia ini, kita bisa menikmati kopi yang disajikan fresh. Tidak seperti
kopi instan biasa.
Kopi yang enak harus digiling sesaat sebelum disajikan dengan sebuah alat yang bersih dan
modern. Air yang digunakan pun suhunya diatur sedemikian rupa agar bisa menghasilkan
citarasa kopi yang sempurna. “Disini kami tidak menjual kopi instan, kopi di warung ini
diolah langsung sesaat setelah dipesan agar hasilnya lebih baik” kata Ibu Nunik Owner
Bandini Coffie saat menyiapkan sajian kopi kepada para pelanggannya.
Di warung kopi ini ada banyak pilihan. Anda bisa memilih sajian kopi sesuai selera. Lihat
saja menunya, espresso, cappuccino, latte, macchiato, americano, caramel latte, mocha latte,
kopi tubruk, kopi susu, vanilla ice coffee.
Meskipun kopi yang disajikan berselera tinggi, namun bahan dari sajian kopi di Bandini
Coffie, tidak hanya didatangkan dari luar NTB. Beberapa jenis kopi lokal seperti kopi
Tambora, kopi Lombok lingsar, kopi Calabai, serta kopi 555 asli hasil tanah kaki Rinjani,
juga tersedia di warung yang ramai saat sore hingga malam hari ini. Anda penyuka kopi?
mampirlah sekali waktu ke warung yang berada di rindangnya pepohonan di pinggir jalan,
antara Cakranegara dan Mataram ini.
Tantangan & Prospek Pengembangan
“Kita wajib berikhtiar untuk terus mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada di daerah kita.
Sebagai wujud rasa syukur kita pada Allah Yang Kuasa. Kopi NTB Insya Allah bisa bersaing.
Kita punya potensi untuk itu, mari kita berdayagunakan.
(TGH. Dr. M.Zainul Majdi, MA, Gubernur NTB)
Pertengahan Agustus 2010, Gubernur NTB, M. Zainul Majdi dan Direktur Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Departemen Pertanian RI, Teguh Wahyudi
menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pendampingan budidaya dan
pemasaran Kopi Arabika di wilayah NTB. Peristiwa itu bukan sekadar kegiatan
seremonial belaka. Itu menjadi momentum penting bagi sejarah pengembangan
kopi di NTB. Menandai babak baru usaha budidaya kopi jenis organik yang
sebelumnya kurang serius digarap pemerintah dan petani kopi di NTB.
Pemerintah NTB bisa dikatakan beruntung mendapatkan perhatian dari Puslitkoka.
Lembaga yang berbasis di Jember ini punya sumberdaya yang lebih dari cukup
untuk menopang percepatan pengembangan kopi di NTB. Tentu saja Puslitkoka
juga melihat potensi NTB yang cukup besar, sehingga mereka pun bersedia melirik
NTB. “Kami sudah cukup lama mempelajari dunia kopi di NTB. Potensi lahan dan
keunikan cita rasa produk kopi di sini, masih terbuka untuk terus dikembangkan,”
ujar Teguh Wahyudi. Teguh benar, kopi NTB memang potensial untuk
dikembangkan. Terutama jenis kopi organik atau yang dikenal dengan sebutan
kopi spesialti. Kopi jenis ini sedang ramai diburu di pasaran dan tentu saja
menjadikannya primadona dalam pasaran kopi nasional maupun global.
NTB tercatat agak tertinggal dalam memulai pengembangan kopi spesialti. Sumatra
Utara sudah lebih dahulu tersohor dengan Mandailing Coffee, Aceh begitu pula
lewat Gayo Mountain Coffee, Tana Toraja kondang berkat Toraja Coffee, sedangkan
di tanah Jawa ada Java Coffee dari Gunung Ijen Jawa Timur. Sementara Kopi
Kintamani Bali dan Kopi Manggarai dari Flores merupakan produk kopi spesialti
yang belakangan juga terus berkembang. Harga kopi spesialti memang mahal
mengingat citarasanya yang khas dan mutunya yang terjaga. Harga kopi Kintamani
dan Manggarai misalnya berkisar antara Rp28-36 ribu per kilogram. Bandingkan
saja dengan harga kopi Robusta yang selama ini banyak dikembangkan di NTB
dengan harga Rp15-18 ribu per kilogram.
Ikhtiar percepatan pengembangan kopi spesialti di NTB baru saja dirintis. Belum
lagi separuh perjalanan. Sejumlah pekerjaan rumah masih menunggu untuk
dituntaskan. Terutama menyangkut sejumlah aspek yang masih menjadi tantangan
untuk terus diperbaiki dan ditingkatkan sistem dan tata kelolanya. Sebut saja
misalnya aspek penguatan kelembagaan, pendampingan perbaikan mutu,
pendampingan pemasaran, pembekalan teknik budidaya, sosialisasi Satuan
Pengawas Internal (SPI), dan pembuatan prototipe produk kopi. Berikut diuraikan
secara garis besar sejumlah tantangan itu.
Penguatan Kelembagaan
Petani kopi di NTB secara umum tak cukup punya pemahaman yang baik soal
kelembagaan. Terutama dalam kaitannya dengan mempersiapkan diri mereka
untuk membangun kemitraan bisnis dengan perusahaan besar. Padahal penguatan
kelembagaan sangat penting bagi petani untuk memperkuat posisi tawar. Tanpa
dukungan kelembagaan yang kuat, kemitraan dengan pihak manapun tak akan
banyak memberi manfaat bagi petani sendiri. Alih-alih memberi manfaat,
seringkali kemitraan tanpa dukungan kelembagaan yang kuat, hanya menjadi
tameng dari bentuk lain “ekspoitasi tersembunyi” atas diri petani. “Kita sungguh-
sungguh berusaha memastikan kelembagaan petani menjadi kuat, seiring dengan
usaha kita terus meningkatkan produksi dan kualitas kopi di NTB,” tandas Ir.
Hartina, MM, Kepala Dinas Perkebunan NTB.
Memperkuat kelembagaan juga penting agar petani kopi memahami dengan utuh
dan tepat perihal potensi dirinya dan sanggup mengotimalkan potensi itu untuk
sebesar-besarnya peningkatan kapasitas sosial ekonomi mereka. Petani kopi di
NTB, umumnya cukup tahu apa saja yang menjadi potensi dirinya, tetapi sebagian
besar mereka –untuk tidak menyatakan keseluruhannya—sangat lemah dalam
mengelola potensi itu menjadi keunggulan kompetitif mereka. Pelembagaan yang
lemah menjadi faktor penyebabnya. Sehingga petani menjadi kurang kreatif, minim
inovatif dan jatuh kepada sikap mental pasrah menerima keadaan.
Penguatan kelembagaan petani kopi di NTB, setidaknya harus berdampak kepada
tiga kelompok sasaran. Pertama, individu petani itu sendiri. Tidak akan mungkin
kapasitas kelembagaan petani menguat jika kapasitas individu petani tidak
diberdayakan. Penguatan kapasitas individu petani mencakup pengembangan
kapasitas wawasan, kemampuan (skill), sikap dan perilaku. Kedua, kelompok
petani. Setelah individu kuat, maka penguatan kelompok petani menjadi tak terlalu
sulit dilakukan. Apa ciri kelompok petani yang kapasitas kelembagaannya
terbangun dengan kuat? Setidaknya ada dua ciri utama. Di sana terbangun
hubungan sosial saling percaya (interpersonal trust) dan di sana ada usaha kolektif
untuk terus menjadi makin produktif dan berkelanjutan.
Ketiga, struktur sosial. Penguatan kapasitas kelembagaan petani,, sebisa mungkin
dapat pula mewarnai struktur sosial masyarakat. Perubahan ini tentu saja jauh luas
daripada perubahan di tingkat individu dan kelompok masyarakat. Sudah pasti
karena lebih luas, tantangan mewujudkannya juga menjadi lebih sulit dan
kompleks. Pada tataran ini, kelompok tani akan lebih intens berinteraksi dengan
pemerintah, LSM, kalangan usaha bahkan institusi politik sekalipun. Tentu saja
kemandirian kelompok tani di sini wajib tetap terjaga dengan fokus utamanya tetap
pada penguatan kelembagaan.
Pendampingan Perbaikan Mutu
Kopi spesialti identik dengan mutu yang prima. Harga bukan soal, sejauh mutu
terjaga maka seberapa pun produksi yang tersedia, besar kemungkinan akan
terserap pasar segera. Apalagi mengingat permintaan akan kopi spesialti
memperlihatkan trend yang meningkat dari era ke era. Sementara kemampuan
produksi kopi spesialti di tanah air relatif masih “ala kadarnya”, belum mampu
memenuhi permintaan dan kebutuhan pasar yang kian meraksasa. Di sisi lainnya,
kopi spesialti Indonesia kian banyak disukai pasar dunia, di Amerika dan Jepang
misalnya, pengemar kopi disana tak asing dengan kopi Java, Kopi Gayo dan Kopi
Toraja.
Mutu kopi spesialti dari NTB, terutama dari sentra produksi kopi di Sembalun,
Tepal dan Tambora, sejatinya telah layak untuk masuk dalam kategori kopi
spesialti. Ini bukan pernyataan tanpa dasar yang kuat. Pada 2011, Puslitkoka
pernah melakukan uji citarasa dengan menggunakan standar penilaian
internasional dari Special Coffee Association of America. Hasilnya Kopi Sembalun dan
Kopi Tepal dari NTB lolos uji standar kopi spesialti. Kemudian contoh kopi biji
hasil olahan dari Sembalun dan Tepal diikutkan dalam cara Kontes Kopi Spesialti
Indonesia Ke-4 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) pada pertengahan di Jakarta. Ini pertama kalinya kopi spesialti asal NTB
mengikuti kontes tahunan tersebut. Sebuah isyarat kemajuan dari usaha
pengembangan kopi spesialti di NTB.
Pendampingan perbaikan mutu bukan pekerjaan sekali jadi. Butuh nafas panjang
untuk bisa memastikan kopi spesialti NTB selalu berada dalam standar mutu yang
terjaga. Selain juga memastikan tingkat produksinya selalu konstan dan meningkat
secara progresif dari tahun ke tahun. Inilah tantangannya. Standar mutu kopi NTB
memang masih perlu diuji daya tahannya. Keberhasilan lolos uji citarasa dari
Puslitkoka pada 2011 baru satu fase awal untuk membuktikan pada perjalanan
berikutnya standar mutu tetap bisa terjaga bahkan meningkat juga.
Petani kopi di NTB umumnya bertani secara otodidak, mewariskan cara berkebun
kopi dari pendahulunya. Tak banyak petani kopi NTB yang punya pengetahuan
teoritis yang baik soal teknik budidaya. Lebih sedikit lagi dari mereka yang punya
pengalaman lapangan dalam menerapkan teknik budidaya kopi yang baik.
Pendampingan peningkatan mutu harus menitikberatkan pada peningkatan skill
budidaya dan pengolahan pasca panen. Bagaimana prosedur pengolahan kopi
secara basah (wet process) dan bagaimana pula menerapkan teknologi potong pucuk
misalnya harus sudah dikuasai betul jika ingin mendapatkan standar kopi spesialti
yang terjaga mutunya.
Sejak 2011 terasa sekali peningkatan intensitas pendampingan kelompok kopi yang
dilakukan pemerintah NTB. Dukungan dari pemerintah pusat melalui Puslitkoka
Jember sangat mendukung peningkatan intensitas dan kualitas pendampingan. Di
Sembalun misalnya, berkat pendampingan yang intensif sejumlah kelompok tani
kopi di kaki Gunung Rinjani itu telah mampu memproduksi kopi Arabika sebanyak
180 kilogram kopi HS (gabah) kering dengan kadar air 12 persen. Meningkat 2-3
kali lipat dari produksi sebelum pendampingan dilakukan.
Pendampingan Pemasaran
Selain pendampingan mutu, pendampingan pemasaran juga sama pentingnya.
Bahkan mutu dan pemasaran bak mata uang dengan dua sisinya. Keduanya saling
memberi arti, mengabaikan yang satu akan membuat yang lain kehilangan makna.
Mutu yang baik tanpa pemasaran yang pasti hanya akan menjadi jago kandang.
Pemasaran yang baik tanpa mutu yang terjamin pastilah akan bertahan sebentar
saja. Lalu sesudah itu mati. Jadi pendampingan mutu dan pemasaran haruslah
dilakukan paralel dalam tarikan nafas yang sama dan dalam satu konsep
pendampingan yang saling mengisi dan terintegrasi.
Pemasaran memang selalu jadi masalah klasik yang kerap dihadapi petani.
Keterbatasan akses pasar dan standar kualitas produk yang tak terjamin, menjadi
penyebab utama pemasaran yang mandeg atau setidaknya jalan di tempat.
Pemasaran komoditas kopi NTB selama ini memang terbatas pada pasar lokal
dengan kemasan yang juga terkesan ala kadarnya. Kopi 555 misalnya, puluhan
tahun berproduksi, kopi ini memang cukup dikenal penikmat kopi di NTB. Tetapi
di luar NTB relatif bukan apa-apa.
Selama ini petani kopi di NTB memasarkan kopinya secara individu. Kegiatan
pengolahan dan pemasaran kopi secara bersama-sama masih terbatas, minim
bahkan sulit ditemui. Karena bersifat indivual tersebut, kualitas kopi petani di NTB
sulit dikontrol, sangat beragam dan tak tak ada ukuran standar. Dampaknya terasa
pada harga jual kopi yang relatif rendah. Selain secara langsung melemahkan posisi
tawar petani dihadapan pembeli (baca; tengkulak atau pengumpul). Tak sedikit
petani kopi NTB terjebak pada sistem ijon. Di mana para tengkulak memodali
usaha tanam mereka, ketika panen mau tidak mau hasil kopi dijual kepada tersebut
dengan kisaran harga 50 persen lebih rendah dari harga pasar. Selain sistem ijon,
ada juga sistem barter. Dimana kopi ditukar dengan barang kebutuhan hidup
petani. Sistem barter ini misalnya masih kita jumpai di kalangan petani kopi di
Sembalun Lombok Timur.
Pengembangan kopi spesialti jelas membutuhkan pasar yang berskala besar. Jauh
lebih besar dibandingkan produk kopi lokal yang selama ini beredar. Pemasaran
dengan sistem ijon dan sistem barter, keduanya tak produktif untuk pengembangan
kopi spesialti. Petani kopi NTB perlu orientasi baru dalam hal pemasaran. Mereka
mutlak dan wajib mendapatkan pendampingan yang kosnsisten dan berkelanjutan
untuk keluar dari “lumpur” pemasaran yang menjerat pendapata mereka.
Pengembangan kopi spesialti di NTB, pertama-tama dan utama dihajatkan untuk
melayani dan meningkatkan pendapatan langsung petani kopi. Praktek ijon dan
barter harus dikurangi secara drastis, petani kopi harus mampu membangun
kelompok pemasaran yang tangguh dan mandiri mengakses pasar mereka secara
terbuka dan memiliki nilai tawar yang kuat.
Pendampingan pemasaran butuh kemitraan dengan sektor swasta. Akses pasar
memang lebih dominan dikuasai sektor swasta. Asosiasi eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) merilis data betapa besarnya potensi pasar kopi dunia yang belum tergarap
dengan maksimal oleh Indonesia. Padahal di satu sisi potensi pengembangan kopi
khas daerah atau spesialti sangat beragam di negeri ini. Dari ujung barat Aceh
hingga Papua sana, rupa-rupa kopi lokal dengan citarasa khas tersedia. Kopi
spesialti Indonesia memang belum menjadi “raja” di rumah sendiri. Sekalipun
misalnya kopi Gayo dari Aceh disebut-sebut sebagai kopi organik dengan kualitas
terbaik, tetap saja mengalami keterbatasan akses pada pasar.
Direktur eksekutif Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, Ina Murwani seperti dikutip
dari situs berita Jawa Post pertengahan Oktober 2012 mengatakan, produksi kopi
spesialti dalam negeri tumbuh 20-30 persen tiap tahunnya. Permintaan tertinggi
datang dari Amerika Serikat mencapai 40-50 persen dari total produksi nasional.
Sedangkan, sisanya dikirim ke Eropa, Australia dan Jepang. Belakangan Korea dan
China juga melirik kopi spesialti Indonesia. Satu kendala yang terberat dari
pemasaran kopi spesialti Indonesia, yaitu kualitas yang cenderung tidak konsisten.
Sektor swasta yang makin melirik potensi pasar kopi spesialti, merupakan pertanda
baik untuk mendorong kemitraan strategis dengan kelompok petani kopi. Di NTB,
usaha ke arah sana sedang diikhtiarkan. Di sini sekali lagi Puslitkoka berperan
besar. Melalui jaringannya, pusat penelitian ini aktif menawarkan produk kopi
spesialti dari NTB kepada sejumlah perusahaan eksportir kopi nasional. Sejumlah
perusahaan memperlihatkan minatnya yang besar untuk mengakses pasar kopi
spesialti dari NTB. Hanya saja umumnya perusahaan eksportir tersebut meminta
dua hal sebagai syarat utama: ketersediaan stok secara berkala dan standar mutu
yang terjamin kualitasnya.
Pemerintah NTB juga memikirkan satu terobosan kebijakan dengan mendorong
komoditas kopi spesialti NTB bisa masuk dalam pasar lelang kopi yang setiap
tahun dilaksanakan pemerintah pusat. Hanya saja standar untuk mengikuti pasar
lelang kopi ini tidaklah mudah. Harus lulus uji citarasa dari Puslitkoka dan
sanggup memberikan jaminan ketersediaan produksi untuk setidaknya rentang
waktu satu tahun. Pada 2011 kopi Arabika Spesialti produksi dari kelompok tani di
Sembalun Lombok Timur dan Tepal Sumbawa, diundang untuk mengikuti lelang
kopi itu. Hasilnya sebagai pendatang baru kopi spesialti NTB belum bisa banyak
berbicara. Tetapi setidaknya itu rintisan yang baik untuk menakar kekuatan dan
meningkatkan kualitas produksi terus-menerus secara tepat dan cepat.
Pendampingan Teknik Budidaya
Satu lagi pendampingan yang tak kalah pentingnya, yaitu pendampingan teknik
budidaya. Prinsip budidaya yang baik (good agricultural practices) penting dimiliki
setiap petani kopi, apalagi bagi petani kopi seperti di NTB yang selama puluhan
tahun minim sentuhan pengetahuan dan wawasan. Mereka umumnya bertani kopi
mewarisi cara bertani dari orangtua mereka. Seperti teknik budidaya
penyambungan belum pernah mereka lakukan. Di mana tanaman kopi yang tidak
produktif disambung dengan batang atas tanaman kopi yang produktif. Teknik
penyambungan ini diharapkan dapat diterapkan pada kopi Robusta dengan
menggunakan batang atas kopi Arabika, sehingga ke depan diharapkan kopi
Robusta pada ketinggian seribu meter dari permukaan laut, bisa dikonversi ke kopi
Arabika secara bertahap. Begitu juga dengan teknik pemangkasan kopi yang baik
dan benar. Tidak banyak petani kopi di NTB mempraktekkanya. Padahal kegiatan
pemangkasan ini penting untuk meremajakan cabang-cabang kopi agar dapat
memberikan buah yang banyak.
Pemerintah NTB dalam hal ini Dinas Perkebunan NTB bersama-sama dengan
pemerintah kabupaten, didukung sepenuhnya Puslitkoka, sejak 2011 makin
meningkatkan intensitas pendampingan teknik budidaya. Disadari betul, teknik
budidaya petani kopi di NTB tertingal setidaknya 2-3 langkah di belakang petani
kopi di daerah penghasil kopi utama di Indonesia. Potensi pengembangan kopi
spesialti yang menjanjikan di NTB, tingkat keberhasilannya akan ditentukan sekali
sejauh mana petani kopi di NTB mampu memperbaiki dengan cepat teknik
budidaya mereka. Pengalaman di lapangan mengajarkan, petani kopi di NTB
terlihat cukuip cepat menyerap teknik budidaya baru yang mereka dapatkan. Ada
keinginan kuat dari komunitas petani kopi di NTB untuk membuktikan mereka
mampu berbuat lebih baik. Pendampingan tak boleh lepas untuk rentang waktu
yang panjang. Keinginan kuat petani tadi menjadi energi positif yang bisa
mempercepat perbaikan teknik budidaya.
Pembuatan Prototipe Produk
Kopi hasil olah basah dari Unit Pengolahan Hasil (UPH) Sembalun dan Tepal
dimanfaatkan sebagai bahan utama membuat prototipe produk kopi bubuk
unggulan NTB. Dalam pembuatan prototipe ini dilakukan pencampuran (blending)
antara kopi Arabika dan Robusta asli NTB untuk mendapatkan perpaduan citarasa
terbaik khas NTB. Adapun macam-macam prototipe kopi khas NTB yang dibuat,
antara lain:
Kopi Arabika hasil olah basah UPH:
1. Rinjani Mountain Arabica Coffee (kopi spesialti, Produksi UPH Sembalun)
2. Sumbawa Highland Arabica Coffee (kopi spesialti, Produksi UPH Tepal)
Kopi Robusta hasil olah kering petani:
3. Batulanteh Slope Robusta Coffee (Produksi petani di lereng Gunung Batulanteh)
4. Tambora Slope Robusta Coffee (Produksi petani di lereng Gunung Tambora)
5. Rinjani Slope Robusta Coffee (Produksi petani di lereng Gunung Rinjani)
Produk kopi campuran (blending) Arabika dan Robusta:
6. Lombok Coffee Gold Blend (blending Arabica dan Robusta dari Pulau Sumbawa,
dominan Arabika)
7. Lombok Coffee Pearl Blend (blending Arabica dan Robusta dari Pulau Sumbawa,
dominan Robusta)
8. Sumbawa Coffee Gold Blend (blending Arabica dan Robusta dari Sumbawa,
dominan Arabika)
9. Sumbawa Coffee Pearl Blend (blending Arabica dan Robusta dari Sumbawa,
dominan Robusta)
10. NTB Coffee Excellent Blend (blending Arabica dan Robusta dari Pulau Sumbawa
dan Pulau Lombok dengan komposis yang serasi)
11. NTB Coffee Super Blend (blending sesama Robusta dari Pulau Sumbawa dan Pulau
Lombok dengan komposis yang serasi).
Pembuatan prototipe kopi NTB meliputi banyak tahapan, mulai dari seleksi bahan
baku kopi biji (green bean), penyangraian (roasting), pembubukan (grinding), hingga
pengemasan (packaging). Khusus pengemasan dilaksanakan di Laboratorium Pasca
Panen Puslitkoka di Jember Jawa Timur. Prototipe produk kopi dengan bahan baku
kopi biji asli NTB ini sengaja dibuat dengan gradasi mulai dari selera para
peminum kopi (coffee drinkers) sampai pada tingkat penikmat kopi (coffee lovers).
Peminum kopi biasanya cenderung mengkonsumsi kopi dengan kisaran mutu
rendah sampai sedang, adapun penikmat kopi biasanya hanya mengkonsumsi kopi
kisaran mutu tinggi sampai ke mutu spesialti.
Semua produk prototipe kopi NTB tersebut disajikan dalam festival kopi NTB 2011
yang merupakan festival kopi pertama yang pernah dilaksanakan di NTB. Hasil
Festival Kopi NTB berdasarkan kesukaan (preference) citarasa oleh para peserta
festival terhadap prototip produk kopi NTB, dapat terlihat pada tabel berikut:
A J B C G E K D H F I02468
101214161820
%
Macam Kopi
A – Rinjani Mountain Arabica Specialty Coffee K – NTB Coffee Super Blend
J – NTB Coffee Excellent Blend D – Tambora Slope Robusta Coffee
B – Sumbawa Highland Specialty Arabica Coffee H – Sumbawa Coffee Gold Blend
C – Batulanteh Slope Robusta Coffee F – Lombok Coffee Gold Blend
G – Lombok Coffee Pearl Blend I – Sumbawa Coffee Pearl Blend
E – Rinjani Slope Robusta Coffee
Kesukaan peserta Festival Kopi NTB 2011 terhadap prototipe produk kopi yang Disuguhkan
(Kalau bisa tabel ini dibuat ulang yang cantik......)
Dari tabel itu terlihat produk kopi Rinjani Mountain Arabica Specialty Coffee, NTB
Coffee Excellent Blend, dan Sumbawa Highland Specilaty Arabica coffee merupakan
suguhan yang paling digemari citarasanya. Prototip produk kopi Rinjani Mountain
Arabica Specialty Coffee merupakan kopi murni Arabika dari Kecamatan Sembalun.
Prototip produk kopi NTB Coffee Excellent Blend merupakan campuran kopi
Arabika dan Robusta yang berasal dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Proporsi yang dipakai 70 persen Arabika specialti dan 30 persenRobusta Mutu 1.
Sedangkan prototip Sumbawa Highland Specilaty Arabica coffee merupakan kopi
murni Arabika hasil olahan UPH di Desa Tepal, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten
Sumbawa.
boks
“Dusun Prabe”, Kampungnya Kopi Lombok Asli
Orangnya ramah, terbuka, sering tersenyum. Itulah sosok pak Tirtawan, pemilik usaha
“kopi Lombok”. Bagi Tirtawan kopi merupakan sesuatu yang selalu dekat dengan hidupnya.
Dari masa kanak-kanak hingga kini sudah menimang cucu, Tirta selalu mengandalkan kopi
sebagai sumber penghasilan. Sekarang sudah punya usaha kopi sendiri “Mule Paice”.
“Umur 12 tahun, saya sudah ikut bantu orangtua menanam kopi,” kata Tirta mengenang
masa lalunya. Pada saat itu,orangtuanya masih tinggal di bekas kerajaan Prabe, desa Batu
Mekar, Kecamatan Lingsar Lombok Barat.
Menurut Tirtawan,kalau urusan kopi sejak muda dia sudah menjadi pakarnya. “Makanya,
saya nggak bisa dibohongi. Saya ngerti kopi asli dan tidak, tapi saya tidak bisa menjelaskan
rasa kopi yang paling enak itu seperti apa? Hanya saya tahu dan bisa membedakannya.
Tirtawan mengatakan, kopi Prabe sebagian besar adalah kopi Robusta, walaupun ada
sebagian yang Arabica. Keaslian kopi tergantung dari kematangan kopi itu sendiri. Kalau
matangnya bagus, maka dari aromanya bisa kita tebak,”
Lelaki kelahiran asli Lombok tahun 14 Maret 1963 ini mengaku, sudah memulai usaha
produksi kopi bubuk murni sejak 2005. Bisnis kopi dirintis bersama 18 anggota masyarakat
didusunnya. Mereka pun tergabung menjadi satu kelompok “Mule Paice”. Menurut dia,
awalnya usaha kopi Lomboknya niatnya untuk membantu kekurangan ekonomi keluarga,
tapi lama kelamaan dia menjadi sumber pendapatan keluarga yang antara lain bisa dipakai
untuk membiayai empat anak sekolah dan membangun rumah. Itulah keberkah dari usaha
kopi Lombok ini. “ Saya capek sih. Tapi, kan saya tidak bisa berhenti. Kalau berhenti tidak
bisa makan. Saya, tidak bisa membayangkan dusun Prabe tanpa kopi, kopi yang sudah
membantu ekonomi kami,” kata Tirtawan.
Menembus Mancanegara
Rumah di dusun Batu Mekar itu, tak ubahnya warung. Puluhan sandal dan sepatu
berserakan di teras. Di halaman selebar lapangan buku tangkis, satu mobil dan puluhan
sepeda motor terparkir. Ruangan utama rumah itu juga disesaki ratusan plastik. Sejumlah
ibu usia baya duduk di meja mereka masing-masing. Di rumah besar itulah kopi Mule
Paice berpusat. Bukan hal yang aneh jika melihat ada pejabat negara berkunjung kesana,
sebut saja misalnya Gubernur Jawa Barat bersama istri, juga perusahaan kopi terbesar dari
Australia. Mereka mendatangi Batu Mekar. Semua itu berkat kegigihannya selama 20
tahun melestarikan kelompok kopi Mule Paici.
Ya, bersama 18 anggota kelompoknya, Tirtawan membesarkan usaha pemasarnnya kopinya,
awalnya melalui berkebun kopi sekitar desanya. Pesanan demi pesanan ia penuhi, hingga
pada akhirnya ia bisa memasarkan kopi cap Lombok ke luar kota seperti, Jakarta, Malang,
Surabaya, hingga ke Mancanegara Australia. Di NTB, Tirtawan menetapkan titik
penjualan dari rumahnya, karena menurutnya permintaan kopi Lombok cukup tinggi.
Benar saja, tak butuh waktu lama untuk mempromosikan kopinya dari mulut ke mulut.
Sejak itulah jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun terus mengalami peningkatan.
Seiring berjalanya waktu Tirtawan dan anggotanya mendapat bantuan berupa mesin
pengolahan kopi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Dinas Perkebunan
Provinsi NTB, mulai dari sinilah ia melakukan pengemasan kopi gelondongan menjadi
kopi kemasan. Benar saja, tak butuh waktu lama, Tirtawan pun mengirimkan kopi
kemasannya ke para warung kali lima yang ada di Kecamatan Lingsar sekali seminggu.
Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun terus meningkat.
“Dulu, di desa Batu Mekar belum ada banyak menanam kopi, yang ada hannya Singkong.
Sementara saya yang mengenal kopi sejak tahun 50-an, merasa bahwa kopi bisa menjadi
usaha menjanjkan di daerah sini,” kenang Tirtawan tentang awal merintis usaha kopinya.
Dengan bahan baku yang terbilang murah, yakni kopi dibeli lansung dari kebun milik
tetangganya Rp 22 ribu per kilo dalam bentuk gelondongan. Jika dalam bentuk kemasan ia
mmenjual Rp 20 ribu. Ternyata membuat kelompok usaha kopi adalah keputusan yang
tepat. Kelopok Mule Paice-nya tidak hannya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga diminati
pengusaha kopi dari Australia. Pada awal usahanya ia mengirim kopi ke Jakarta dengan
omzet 4-5 juta per bulan. Hingga saat ini, hubungan kopi Mule Paice dengan perusahaan
dari Austrlia tersebut berlanjut.
Tirtawan pun tidak pernah tinggal diam. Ia mengirimkan sms kepada semua pelangganya
yang berada di Jakarta, Surabaya, dan Malang bahwa kopinya selalu tersedia. Kesetiaan
konsumen juga dicoba diraih melalui inovasi produk kopi secara berkelanjutan. Tirtawan
berupaya menciptakan model pemasaran kopi yang lebih variatif dengan mengunakan
desain warna yang digemari, seperti kopi hitam berwarna ke merah-merahan. Hal ini
diketahuinya berdasarkan permintaan yang terus-menerus. Hasilnya, pelanggan menyukai
inovasi tersebut. Hal ini memacu Tirtawan untuk terus berinovasi dan berjuang
mengembangkan usahanya.
Foto pak Tirtawan
Mas ini banyak contoh prototipe kopi NTB, selain untuk
lampiran, siapa tahu ini bisa jadi konsep awal untuk
diletakkan di cover buku atau halaman belakang buku....
terserah aja deh
Ada satu lagi lampiran yaitu Mou antara Gub dengan Pusat
Penelitian Kopi, saya email besok...