View
69
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
0BUKU AJAR
PENYAKIT KULIT DI DAERAH TROPIS
Oleh:
Muhammad Dali Amiruddin
Faridha S. Ilyas
Safruddin Amin
Dianawaty Amiruddin
LKPP
UNHA
S
1PENYAKIT KULIT KAUSA BAKTERI
PIODERMA
TUJUAN PEMBELAJARAN
I. Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit impetigo krustosa.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo krustosa.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo krustosa.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo krustosa.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo krustosa.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo krustosa.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo krustosa.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo krustosa.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo krustosa.
LKPP
UNHA
S
2I. Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)
Patogenesis : Tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada S.aureus dan group streptococcus
Definisi :
Bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis
Gejala Klinis :
Gatal Effloresensi : Makula eritem, vesikel, bulla, secret kekunungan, krusta tebal
Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk (anemia dan malnutrisi)
Histopatologi :
-Peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. -Dermis dilatasi pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN
Etiologi :
Streptococcus
Terapi :
Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Dapat terjadi glomerulonefritis
Prognosis :
Baik
IMPETIGO KRUSTOSALKPP
UNHA
S
3Definisi
Bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, gambaran yang dominan
ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis.
Penyebab dan epidemiologi
- Penyebab: Paling sering disebabkan oleh grup streptococcus
- Umur: terutama pada anak-anak.
- Jenis kelamin: frekuensinya sama pada pria dan wanita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit
- Musim: musim panas atau cuaca panas yang lembab.
- Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk (anemia dan
malnutrisi)
Gejala Klinik
Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2
mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah
pecah dan mengeluarkan secret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering
dan membentuk krusta berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat
daerah erosive yang mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal.
Predileksi : Pada wajah atau ekstremitas setelah trauma
Patogenesis : Kulit yang intak resisten terhadap kolonisasi atau impetigenisasi,
kemungkinan tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada
S.aureus dan group streptococcus yang menyebabkan lesi
Pemeriksaan Fisis
- Lokalisasi: daerah yang terpajan, terutama wajah (sekitar hidung dan mulut), tangan,
leher, dan ekstremitas.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa miliar sampai lentikular, difus; pustule
miliar sampai lentikular; krusta kuning kecoklatan, nerlapis-lapis, mudah diangkat.
LKPP
UNHA
S
4Gambaran histopatologi
Berupa peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. Terbentuk bula atau
vesikopustula subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis.
Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh
darah, edema dan infiltrasi PMN.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium
Biakan bakteriologis eksudat lesi; biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan
dengan tes resistensi.
Diagnosis banding
1. Varisela: lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikasi vesikal.
2. Ektima: lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih berat. Ditutupi krusta yang
keras, jika diangkat akan berdarah secara difus.
3. Impetigenisasi: pioderma sekunder, prosesnya menahun sering masih tampak
penyakit dasarnya.
Penatalaksanaan
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi pakai sabun 2 kali sehari. Jika krusta banyak,
dikeluarkan dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotic seperti
kloramfenikol 2% ,teramisin 3%, dan mupirocin ointment. Jika lesi banyak dan disertai
gejala konstitusi (demam, dll), berikan antibiotic sistemik, misalnya penisilin, kloksasilin,
atau sefalosporin.
Prognosis
Baik. Namun, dapat timbul komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis, dan lain-lain.
LKPP
UNHA
S
5I. Impetigo Bulosa
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit impetigo bulosa.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo bulosa.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo bulosa.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo bulosa.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo bulosa.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo bulosa.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo bulosa.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo bulosa.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo bulosa.LKPP
UNHA
S
6II. Impetigo Bulosa
Patogenesis : Tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada S.aureus dan group streptococcus
Definisi :
Bentuk pioderma dengan gejala adanya bulla
Gejala Klinis :
Vesikel, bulla, krusta
Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk - malnutrisi
Histopatologi :- vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. - Dermis sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah
Etiologi :
Staphylococcus.
Terapi :
Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Selulitis, limfangitis dan bakterimia
Prognosis :
Baik
IMPETIGO BULLOSA LKPP
UNHA
S
7Definisi
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama dengan gejala utama
berupa bulla berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak
hipopion.
Penyebab dan epdemiologi
- Penyebab: terutama disebabkan oleh staphylococcus.
- Umur: anak-anak dan dewasa.
- Jenis kelamin: frekuensi sama dengan pria dan wanita
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
- Daerah: lebih banyak pada daerah tropis dengan udara panas.
- Musim/iklim: musim panas dengan banyak debu.
- Kebersihan/higiene: higiene kurang.
- Gizi: lebih sering dan lebih berat pada keadaan kurang gizi dan anemia.
- Lingkungan: yang kotor dan berdebu akan lebih sering dan lebih hebat.
Gejala Klinik
Vesikel sampai bulla timbul mendadak pada kulit sehat, bervariasi mulai miliar hingga
lentikular, dapat bertahan 2-3 hari. Berdinding tebal dan ada hipopion. Jika pecah
menimbulkan krusta yang coklat datar dan tipis.
Pemeriksaan kulit
- Lokalisasi: ketiak, dada, punggung dan ekstremitasatas dan bawah.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga
lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan, kadang-kadang tampak
hipopion.
Gambaran histopatologi
Pada epidermis tampak vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. Pada
dermis tampak sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah.
LKPP
UNHA
S
8Pemeriksaan pembantu/laboratorium
1. Preparat mikroskopik langsung dari cairan bula untuk mencari stafilokok.
2. Biakan cairan bula dan uji resistensi.
Diagnosis banding
1. Pemfigus: biasanya bula berdinding tebal, dikelilingioleh daerah eritematosa dan
keadaan umum buruk.
2. Impetigenasi: menunjukkan pula gejala-gejala penyakit primer dengan gejala
konstitusi berupa demam dan malaise.
3. Tinea sirsinata: jika lepuh pecah, bagian tepi masih menunjukkan danya lepuh, tetapi
bagian tengah menyembuh.
Penatalaksanaan
Menjaga kebersihan dan menghilangkan faktor-faktor predisposisi. Jika bula besar dan
banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan antiseptic (betadine) dan
diberi salep antibiotic (kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika Pada dewasa dengan
gejala ekstensive atau bulla diberikan diberikan antibiotik sistemik seperti amoksisilin +
asam klavulanat 25 mg/kg BB, cephalexin (40-50 mg/kg/hr), dicloxacin 250-500 mg 4
kali sehari, eritromisin 250-500 mg.
Topikal Sistemik DosisFirst line Mupirocin
Asam FusidatDicloxacin
Amoksisilin+asam klavulanat
250-500 mg 4 kali sehari selama 5-7 hari 25 mg.kgBB, 250-500 mg 4 kali sehari
Second line Azthromycin
ClindamycinEritromycin
500 mg x 1, 250 mg/hr selama 4 hari15 mg/kg/hr 3 kali sehari250-500 mg 4 kali sehari selama 5-7 hari
Prognosis
Umumnya baik
LKPP
UNHA
S
9II. Ektima
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit ektima.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit ektima.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang ektima.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya ektima.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari ektima.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis ektima.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit ektima.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit ektima.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit ektima.LKPP
UNHA
S
10
III. Ektima
Patogenesis :
Staphylococcus aureusmemproduksi beberapa toksin membantu perlekatan bakteri dengan sel host
Definisi :
Pioderma yang menyerang epidermis dan dermis
Gejala Klinis :Vesikel atau vesikopustula di atas kulit yang eritematosa, membesar dan pecah, terbentuk krusta tebal . Jika krusta dilepas terdapat ulkus dangkal
Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk - malnutrisi
Histopatologi :
Peradangan dalam dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses
Etiologi :
Streptococcus atau Staphylococcus
Terapi :
Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Bakterimia
Prognosis :
Dubia
EKTIMALK
PP
UNHA
S
11
Definisi :
Adalah pioderma yang menyerang epidermis dan dermis, membentuk ulkus dangkal yang
ditutupi oleh krusta berlapis.
Penyebab dan epidemiologi:
Penyebab : streptokok piogenik, stafilokok atau ke duanya
Umur : Frekuensi pada anak-anak lebih tinggi daripada dewasa
Jenis kelamin: Pria dan wanita sama
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
Musim/iklim : panas dan lembab
Kebersihan atau higiene: Kebersihan yang kurang higiene yang buruk, serta malnutrisi.
Gejala Klinik
Keluhan : gatal. Lesi awal berupa vesikel atau vesikopustula di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah, terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar di lepas
dari dasarnya. Jika krusta dilepas terdapat ulkus dangkal. Jika keadaan umum baik akan
sembuh sendiri dalam waktu 3 minggu, meninggalkan jaringan parut yang tidak berarti.
Jika keadaan umum buruk dapat menjadi gangrene.
Pemeriksaan kulit:
Lokalisasi; Ekremitas bawah, wajah dan ketiak
Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa lentikular hingga nummular, vesikel dan
pustula miliar hingga nummular, difus, simetris serta krusta kehijauan yang sukar di
lepas.
Gambaran histopatologi:
Peradangan dalam dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel
pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.
Diagnosis banding:
1.Impetigo krustosa: Krusta mudah di angkat, warna krusta kekuningan
2.Folikulitis : Biasanya berbatas tegas, berupa papul miliar sampai lentikular
LKPP
UNHA
S
12
Penatalaksanaan
Umumnya : Memeperbaiki higiene dan kebersihan
Khusus : Jika lesi sedikit :salepkloramfenikel 2%;jika luas diberi antibiotic
sistemik:penisilin 600000-1,5 juta IU intramuscular selama 5-10 hari. Terapi topikal
dangan kompres terbuka untuk melunakkan krusta dan membersihkan debris.
Prognosis: baik
LKPP
UNHA
S
13
III. Folikulitis
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit folikulitis.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit folikulitis.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit folikulitis.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya folikulitis.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari folikulitis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis folikulitis.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit
folikulitis.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit folikulitis.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit folikulitis.LKPP
UNHA
S
14
IV. Folikulitis
Patogenesis : Staphylococcus aureusmemproduksi beberapa toksin membantu perlekatan bakteri dengan sel host
Definisi :
- Infeksi epidermis pada folikel rambut. - Terdapat dua tipe : folikulitis superfisial dan folikulitis profunda.
Gejala Klinis :
Nodul atau pustule dengan dasar eritem
Faktor Pencetus :
- Paparan senyawa kimia Penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi.- kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk.Diabetes mellitus, kelelahan dan kurang gizi
Histopatologi :
Folikel rambut tampak
edematosa dengan sebukan
sel-sel radang akut.
Etiologi :
Staphylococcus aureusgram positif.
Terapi : Menjaga kebersihanTopikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Pada folikulitis profundalupoid sycosis
Prognosis :
Baik
Folikulitis LKPP
UNHA
S
15
Definisi
Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis pada folikel rambut. Terdapat dua tipe
folikulitis berdasarkan kedalaman invasi, yakni folikulitis superfisial dan folikulitis
profunda.
Folikulitis superfisialis
merupakan salah satu jenis folikulitis yang juga disebut sebagai Bockhart of Impetigo.
Penyebab
- Penyebab: Staphylococcus aureus gram positif.
- Umur: semua umur lebih sering dijumpai pada anak-anak.
- Jenis kelamin: frekuensi sama antara pria dan wanita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
- Paparan senyawa kimia di tempat kerja. Sebagai contoh paparan dengan minyak mineral
dan tar.
- Penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi.
- Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk.
- Lain-lain: diabetes mellitus, kelelahan dan kurang gizi merupakan faktor yang
mempercepat dan memperberat penyakit. Insidens meninggi pada lingkungan yang
kotor.
Patogenesis
Secara umum, hampir 20% populasi manusia memiliki bakteri Staphylococcus aureus
dalam tubuh mereka. Lokasi yang paling sering adalah hidung, aksila dan perineum.
Staphylococcus aureus memproduksi beberapa toksin yang dapat meningkatkan
kontribusi untuk invasi dan membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam
jaringan. Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan berbagai
efek pada sistem kekebalan tubuh penderita. Produk-produk yang dihasilkan pada
dinding sel ini adalah asam teichoic, peptidoglycan dan protein A. Protein A ini
membantu pelekatan bakteri pada sel host. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc
dari IgG sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE.
LKPP
UNHA
S
16
Pada follikulitis superfisial, populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian
infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini merupakan satu
contoh yang disebutkan sebagai suatu invasi secara langsung.
Gejala klinik
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan:
Lesi berbentuk bulat atau pustul dengan dasar eritematosa. Dapat terbentuk pustul
berwarna kuning yang dapat menghilang dalam 7 hingga 10 hari tanpa membentuk
sikatris. Biasanya disertai rasa gatal. Pertumbuhan rambut sendiri tidak terganggu
kadang-kadang penyakit ini ditimbulkan oleh discharge (sekret) dari luka dan abses.
Pemeriksaan kulit
- Lokalisasi: daerah berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: berupa macula eritematosa, papula, pastula, dan krusta
miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut.
Gambaran histopatologi
Folikel rambut tampak edematosa dengan sebukan sel-sel radang akut.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium
Pemeriksaan bakteriologis dari secret lesi (dengan pewarnaan Gram).
Diagnosis banding
1. Akne vulgaris: terutama di wajah punggung.
2. Impetigo bockhart: daerah yang terkena adalah ekstremitas, dengan dasar eritematosa
dan tampak pustule miliar.
Penatalaksanaan
Menjaga kebersihan umum terutama kulit; makanan tinggi protein dan tinggi kalori.
LKPP
UNHA
S
17
Folikulitis stafilokokus superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan,
atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor
predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang berat, dibutuhkan
penggunaan antibiotik topikal atau sistemik.
Folikulitis bakterial superficial dapat diobati dengan antibakterial yang mengandung
chlorhexidine, triclosan atau povidine-iodine, yang dapat digunakan dalam bentuk krim,
lotion, sabun, atau campuran pada bak mandi. Dianjurkan untuk membersihkan area lesi
sebanyak tiga kali sehari dengan menggunakan sabun antibakteri. Ointment antibakteri
(bacitracin atau mupirocin 2%) juga dapat digunakan selama 7-10 hari terbatas pada
daerah lesi. Apabila terjadi kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada tubuh
atau rekuren, dapat diberikan antibiotik golongan -lactam, macrolides.
Prognosis
Baik.
Folikulitis profunda.
Sycosis barbae merupakan folikulitis profunda dengan inflamasi perifolikuler yang
terjadi pada daerah wajah atau atas bibir. Jika tidak diobati lesi akan lebih dalam dan
kronik. Pengobatan local dengan kompres salin dan antibotik topikal ( muprocin atau
clindamycin) untuk mengontrol infeksi. Pada kasus yang berat diberikan antibiotik
sistemik LKPP
UNHA
S
18
IV. Furunkel
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit furunkel.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit furunkel.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit furunkel.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya furunkel.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari furunkel.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit
furunkel.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit furunkel.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit furunkel.LKPP
UNHA
S
19
V. Furunkel
Patogenesis : Definisi :
Peradangan folikel
rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya.
Gejala Klinis :
Sakit dan nyeriInfiltrat kecil, nodus eritematous dengan bintk putih ditengah
Faktor Pencetus :
- obesitas, DM, hiperhidrosis.- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk
Histopatologi :
abses yang dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN
Etiologi :
staphylococcus aureus.
Terapi : mengurangi faktor penyebab seperti obesitas, DM, hiperhidrosis.Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Bakteremia dan rekurensi
Prognosis :
Baik
Furunkel
LKPP
UNHA
S
20
Definisi
Adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya.
Penyebab dan epidemiologi
- Penyebab: staphylococcus aureus.
- Umur: dapat terjadi pada anak-anak atau orang muda.
- Jenis kelamin: sama pada pria dan wanita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
- Musim/iklim: lebih sering pada musim panas karna banyak berkeringat.
- Kebersihan/higiene: kebersihan dan higiene yang kurang.
- Lingkungan: lingkungan yang kurang baik/bersih. Lain-lain: diabetes, obesitas,
hiperhidrosis, anemia, dan stress emosional mempengaruhi tingkat insidens.
Gejala klinik
Sakit dan nyeri pada daerah lesi. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu
singkat membesar membentuk nodula eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada
tempat rambut keluar tampak bintik-bintikputih sebagai mata bisul. Nodus tadi aka
melunak (supurasi) menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minorisresistensie
yaitu muara folikel, rambut menjadi rontok/terlepas.
Pemeriksaan kulit
- Lokalisasi: sering pada bagian tubuh yang berambutdan mudah terkena iritasi,
gesekan atau tekanan; atau pada daerah yang lembap seperti ketiak, bokong,
punggung leher, dan wajah.
- Eflorensia/sifat-sifatnya: mula-mula berupa macula eritematosa lentikular nummular
setempat, kemudian menjadi nodula lentikularnumular berbentuk kerucut.
LKPP
UNHA
S
21
Gambaran histopatologi
Berupa abses yang dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada folikel
rambut. Pada bagian bawah folikel rambut (dalam jaringan subkutis), abses dapat pula
mengandung stafilokok.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium
Pemeriksaan bakteriologi dari secret.
Diagnosis banding
1. Sporotikosis: kelainan jamur sistemik, menimbulkan benjolan-benjolanyang berjejer
sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan kenyal dan nyeri.
2. Blastomikosis: benjolan multiple dengan beberapa pustule, daerahsekitarnya
melunak.
3. Skrofuloderma: biasanya berbentuk lonjong, livid dan ditemukan jembatan-jembatan
kulit (skin bridges).
Penatalaksanaan
- Higiene kulit harus ditingkatkan.
- Jika masih berupa infiltrate, topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5% atau
salep antibiotic.
- Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin masih merupakan obat
terpilih atau antibiotic berspektrum luas member hasil yang baik.
- Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi salep
kloramfenikol 2 %.
- Usaha mengurangi faktor penyebab seperti obesitas, DM, hiperhidrosis.
Prognosis
Baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang baik
ketika terjadi rekurensi.
LKPP
UNHA
S
22
V. Karbunkel
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit karbunkel.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit karbunkel.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit karbunkel.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya karbunkel.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari karbunkel.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit karbunkel.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit karbunkel.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit karbunkel.
VI. Karbunkel
LKPP
UNHA
S
23
Definisi
Patogenesis Definisi :
Gabungan beberapa furunkel
Gejala Klinis :
nyeri
Nodul eritematous, abses
Faktor Pencetus :
- obesitas, DM, hiperhidrosis.- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk
Histopatologi :
abses yang dalam, dibentuk oleh limfositdan leukosit PMN
Etiologi :
staphylococcus aureus.
Terapi :
Mengurangi faktor penyebab, DM, hiperhidrosis.Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi :
Bakteremia
Prognosis
Rekurensi
Karbunkel LKPP
UNHA
S
24
Adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal
dari jaringan subkutan yang padat. Perkembangan dari furunkelmenjadi karbunkel
bergantung pada status imunologis penderita.
Penyebab dan epidemiologi
- Penyebab: staphylococcus aureaus.
- Umur: anak-anak dan dewasa.
- Jenis kelamin: frekuensi sama pada pria dan wanita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
- Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higien yang buruk.
- Faktor predisposisi: DM, obesitas, dan hiperhidrosis.
- Lingkungan: yang kotor dengan berdebu mempengaruhi penjalaran penyakit.
Gejala klinik
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: keluhan berupa
nyeri pada lesi dan malaise. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu singkat
membesar menjadi nodus-nodus eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada tempat
rambut keluar tampak bintik putih sebagai mata bisul. Nodus-nodus tadi akan melunak
menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minoris resitensie yaitu muara folikel.
Pemeriksaan kulit
- Lokalisasi: tengkuk, punggung, dan bokong.
- Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular
hingga nummular, regional, bentuk teratur dan tampak fistula mengeluarkan secret
putih/kental.
Gambaran histopatologi
Berupa abses yang dalam, dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada
folikel rambut. Pada bagian folikel rambut yang terdapat di jaringan subkutan, abses
dapat mengandung stafilokok.
LKPP
UNHA
S
25
Pemeriksaan pembantu/laboratorium
1. Pemeriksaan darah: leukositosis.
2. Pemeriksaan bakteriologik secret lesi.
Diagnosis banding
1. Sporotrikosis: nodula berjejer sepanjang aliran limfe.
2. Blastomikosis: nodula kronik dengan multiple fistula.
3. Akne konglobata: selain dipunggung, nodula-nodula merah hitam tampak di daerah
wajah dan lengan, menyebar di satu region.
Penatalaksanaan
- Umum:
Usaha untuk mengatasi faktor predisposisi seperti obesitas, DM dan hiperhidrosis.
Menjaga kebersihan dan mencegah luka kulit.- Khusus:
Topikal: jika masih infiltrate diberi salep iktiol 10%; jikalesi matang lakukan insisi dan aspirasi, dipasang drainase lalu dikompres.
Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg selama 7-14 hari, pensilin 600.000 IU selama 5-10 hari.
Antibiotika yang masih sensitive memberikan hasil yang memuaskan seperti
sefalosporin atau gilongan kuinolon.
Prognosis
Baik, jika faktor predisposisi dapat diatasi. Prognosis menjadi kurang baik jika terjadi
rekurensi.
LKPP
UNHA
S
26
VI. Eritrasma
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit eritrasma.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit eritrasma.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit eritrasma.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya eritrasma.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari eritrasma.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis eritrasma.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit eritrasma.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit eritrasma.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit eritrasma.LKPP
UNHA
S
27
VII. Eritrasma
Definisi :
Infeksi bakteri superfisial
Gejala Klinis :
Gatal, eritem, rasa panas, dapat disertai ekskoriasi dan likenifikasi
Faktor Pencetus :
Kegemukan, peminum
alkohol, cuaca lembab,
higiene buruk
Histopatologi :Hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, serta pelebaran pembuluh darah dan sebukan sel-sel polinuklear.
Etiologi :
Corynebacterium minutissimum
Terapi :
Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik
Komplikasi : Prognosis :
Baik
ERITRASMALK
PP
UNHA
S
28
Definisi : eritrasma adalah infeksi bakteri superficial pada kulit yang ditandai dengan
makula merah kecoklatan dengan batas ireguler dan terjadi sering pada daerah lipatan.
Penyebab dan epidemiologi : Penyebab : Corynebacterium minutissimum
Umur : Dewasa muda
Jenis kelamin : Frekuensinya sama pada pria dan wanita
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
Orang-orang yang banyak keringat, kegemukan, peminum alkohol lebih sering terkena
penyakit ini.
Daerah/musim/iklim : Daerah beriklim panas lebih sering daripada daerah dingin.
Kebersihan/higiene : Higiene buruk berperan penting dalam menimbulkan penyakit.
Lingkungan : Panas dan lembab mempermudah timbulnya penyakit.
Gejala Klinik
Di awali dengan rasa gatal pada daerah genitocrural lalu menjadi eritema, teraba panas.
Dapat juga disertai ekskoriasi dan likenifikasi.
Pemeriksaan kulit:
Lokalisasi : Lipat paha bagian dalam sampai skrotum, aksila, dan intergluteal
Efloresensi/sifat-sifatnya: Eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan
terkadang erosif.
Gambaran histopatologi: Hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, serta pelebaran
ujung-ujung pembuluh darah dan sebukan sel-sel polinuklear.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium:
1.sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram, tampak batang gram positif.
2.sinar wood: fluoresensi merah bata.
Diagnosis banding:
1.Tinea kruris: Biasanya gatal dengan papula-papula eritematosa
2.Kandidiasis: eritema dengan lesi satelit, erosif dan gatal.
LKPP
UNHA
S
29
Penatalaksanaan:
Pada eritrasma local, pada daerah kaki dapat dicuci dengan benzoil peroksida dan gel 5 %
efektif pada banyak kasus. Clindamycin solution atau azole krim juga merupakan agen
topikal yang efektif.
Sistemik: eritromosin 15 mg/kg BB, 4 kali sehari selama 5-10 hari. Claritromycin 1 gr
dosis tunggal
Prognosis: Baik
LKPP
UNHA
S
30
VII. Erisipelas
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit erisipelas.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit ersipelas.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit erisipelas.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya erisipelas.
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari erisipelas.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis erisipelas.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit erisipelas.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit erisipelas.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit erisipelas.LKPP
UNHA
S
31
VIII. Erisipelas
Definisi :
Peradangan akut pada kulit yang disebabkan streptococcus
Gejala Klinis :
Luka kecil kemudian menjadi kemerahan, edema,berbatas tegas dan nyeri tekan
Faktor Pencetus :
Higiene kurang
DM atau malnutrisiHistopatologi :Epidermis edematosa, dengan sebukan sel PMN, dermis dilatasi pembuluh darah Etiologi :
Streptococcus hemolyticus
ERISEPELAS
Terapi :
Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,analgetik,antipiretik
Komplikasi :
Bakterimia
Prognosis :
Baik
LKPP
UNHA
S
32
Definisi: Adalah peradangan akut pada kulit yang disebabkan streptokok dengan gejala
utama kemerahan kulit.
Penyebab dan epidemiologi:
Penyebab: Streptococcus hemolyticus
Umur: Banyak pada anak-anak dan dewasa
Jenis kelamin: Frekuensinya sama pada pria dan wanita
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti;
Kebersihan/higiene: Orang-orang dengan kebersihan dan higiene yang kurang lebih
mudah terkena.
Faktor predisposisi: Diabetes mellitus, infeksi saluran napas atas gizi kurang lebih mudah
di serang
Gejala singkat penyakit:
Lesi di mulai dengan luka-luka kecil di kulit selanjutnya lebih menjadi merah cerah,
berbatas tegas, edema dan nyeri tekan. Terasa panas pada perabaan, di bagian tengah
terkadang ditemukan vesikel atau bula, pada tempat masuk kuman.
Pemeriksaan kulit:
Lokalisasi: Kaki, tangan dan wajah
Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa nummular hingga plakat, berbatas tegas,
edematosa, panas pada perabaan dan nyeri tekan. Pada bagian tengah di temukan vesikal
miliar atau bular lentikular.
.
Gambaran histopatologi: Epidermis tampak edematosa, sel-sel membengkak dan dan
sebukan sel inflamasi serta polimorfonuklear. Pada dermis pelebaran pembuluh darah dan
sabukan sel-sel radang.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium:
1.Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis.
2.Biakan darah, usapan tenggorok dan hidung dapat diisolasi streptokok beta hemolitik.
Diagnosis banding:
1.Urtikaria: warna merah akan menghilang pada penekanan
2.Flurunkulosis: biasanya nyeri, berbentuk kerucut dan berbatas tegas.
Penatalaksanaan:
LKPP
UNHA
S
33
Sistemik : antipiretik dan analgetik.
Penisilin 0,6-1,5 mega unit selama 5-10 hari
Sefalosporin 4x400 mg selama 5 hari member hasil yang buruk.
Topikal: kompres dengan larutan asam borac 3%
Prognosis: Baik
Referensi
1. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Superficial Cutaneus
Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Godlsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 7th ed. USA: McGraw-Hills; 2008. p. 1732-37
2. Siregar,RS. Saripati Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 2. ECG.Jakarta.2003.p.45-67
3. Hay RJ, Adriaans BM Bacterial Infections In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology Volume 1-4 7th ed. UK: Blackwell
Publishing; 2004. p. 27.1-27.21
LKPP
UNHA
S
34
VIII. Hidradenitis Supuratif
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit hidradenitis supuratif.
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit hidradenitis supuratif.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit hidradenitis supuratif.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya hidradenitis supuratif
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari hidradenitis supuratif
5. Menjelaskan diferensial diagnosis hidradenitis supuratif.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit hidradenitis
supuratif.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit hidradenitis supuratif.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit hidradenitis supuratifLKPP
UNHA
S
35
HIDRAADENITIS SUPURATIVA
Defenisi
Patogenesis :
Inflamasi sekitar folikel rambut Rupture folikel keratin dan bakteri formasi abses
Definisi :
Infeksi kelenjar Apokrin
Gejala Klinis :
nodul yang nyeri, blind boils pada lesi awal, abses, sinus, scar
Etiologi &Faktor Pencetus :
Genetik, hormonal, faktor host, pakaian ketat
Histopatologi :
Oklusi inflamasi,nekrosis sebaceous,apocrinitis
HIDRAADENITIS SUPURATIF
Terapi :
Antibotik , Kortikosteroid, Pembedahan
Komplikasi :
Selulitis, fistula, lmphedema
Prognosis :
Kualitas hidup terganggu
LKPP
UNHA
S
36
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit yang mengenai kelenjar apokrin yang
menuju ke kulit. Ditandai dengan adanya nodul bulat yang berulang, nyeri, yang dapat
membentuk abses dan sinus dengan supurasi dan jaringan parut hipertrofik dari kelenjar apokrin.
didefinisikan hanya dengan gambaran klinis dan kronisitasnya, tidak ada gambaran patologis
yang khas
Epidemiologi
HS umumnya terjadi pada dewasa muda. Rasio jenis kelamin diperkirakan: wanita tiga kali lebih
sering terkena, di genito-femoralis sementara ada dominasi yang jelas laki-laki di daerah peri-
anal, di daerah aksila rasionya sama.
Etiologi dan faktor resiko
Genetik Riwayat keluarga pada 30% sampai 40% dari pasien. Pola dominan autosomal
telah dilaporkan dan hubungan untuk lokus pada kromosom 1p21.1-1q25.3 telah
dilaporkan dalam keluarga.
Hormonal Premenstrual, perempuan lebih dominan dan sering terjadi setelah menarche,
peningkatan selama kehamilan menarik perhatian terhadap faktor hormonal dan hipotesis
sindrom hiperandrogenik. Ketiadaan tanda-tanda klinis virilism, yang menunjukkan
normalitas sirkulasi androgen, tidak adanya hyperseborrhea, dan efek terbatas dari
perawatan anti-androgen, menyingkirkan peran hiperandrogenism. Penelitian case
control menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan dalam kadar hormon serum
pasien HS. Hubungan antara HS dan hiperandrogenisme sebagian besar didasarkan pada
temuan bahwa indeks androgen bebas meningkat karena tingkat hormone-binding
globulin yang rendah , yang dipengaruhi oleh berat badan.
ImunologiTidak ada data yang kuat yang dapat menjelaskan pada faktor-faktor tersebut berperan
tetapi hubungan dengan penyakit Crohn memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut.
Faktor host
LKPP
UNHA
S
37
Suatu penelitian case control yang meneliti 302 pasien telah mengkonfirmasi bahwa
merokok dan kelebihan berat badan merupakan dua faktor utama yang terkait dengan HS. Fakto-
faktor non-genetik ainnya seperti penggunaan antiperspirant, bedak dan deodoran, hair removal
dengan pisau cukur silet telah dikesampingkan. Pakaian ketat dapat menyebabkan
ketidaknyamanan dapat dipertimbangkan.
Patogenesis
Berdasarkan gambaran histologis, HS merupakan penyakit inflamasi yang terjadi sekitar folikel
rambut. Rupture folikel menyebabkan keluarnya kerarin dan bakteri sepanjang dermis yang
mneyebabkan respon kemotaktik dan terbentuknya formasi abses, yang kemudian sel epitel
folikuler ini menuju ke saluran sinus. Genetik mungkin berkontribusi, dilaporkan lebih sering
terjadi pada kelainan genetik yang diturunkan autosomal dominan.
Gejala Klinik
Kriteria Diagnostik diadopsi dari Congress of HSF Foundation 2009
1. Lesi tipikal , yaitu nodul yang nyeri, blind boils pada lesi awal, abses, sinus, scar dan
tombstones dengan komedo terbuka pada lesi sekunder.
2. Topografi tipikal, yaitu aksila, pangkal paha, perineum dan perianal, bokong, lipatan mammae
infra dan intermamae.
3. Kronisitas dan kambuh.
Ketiga kriteria harus dipenuhi untuk menegakkan diagnostik.
Pemeriksaan histopatologis
HS awalnya digambarkan sebagai penyakit kelenjar apokrin; Studi histologis mengungkapkan
bahwa lesi awal diamati pada lesi yang dipotong menunjukkan folikel dengan keratinisasi
infundibular,
mengarah ke gambar histologis yang sesuai dengan oklusi inflamasi (infiltrasi limfositik awal
menjadi kronis infiltrat inflammatory histiosit yang mengandung dan sel raksasa terkait dengan
fragmen keratin) dan nekrosis sebaceous dan / atau kelenjar keringat adalah fenomena sekunder.
LKPP
UNHA
S
38
Namun, Jemec et al mencatat bahwa pemeriksaan histopatologi lanjut mengungkapkan
apocrinitis utama dalam 5% dari semua kasus non-infundibular epitel keratin dan non-keratin HS
lesi telah terbukti sama dengan yang diamati di luar selubung akar menunjukkan partisipasinya
dalam patogenesis HS.
Diagnosis Banding
Karbunkel dan Furonkulosis
Infeksi kelenjar bartholini
IInfeksi kista epidermal
Lymphogranuloma venereum , Scrofuloderma, Actinomyces
Fistula yang berkembang
Nodular acne and pilonidal kista
Terapi
Pengobatan berdasarkan klasifikasi Hurley
Grade I : Formasi abses, tunggal atau multiple tanpa keterlibatan saluran sinus dan dapat
sembuh kembali
Grade II : Abses berulang dengan pembentukan saluran dan dapat menjadi sembuh kembali.
Tunggal atau multiple , secara luas dipisahkan lesi
Kelas III : Diffuse atau keterlibatan beberapa saluran sinus yang terkait dan abses di seluruh
area
Pengobatan tahap akut
Beberapa pasien menderita nodul menyakitkan berulang tetapi juga mengalami periode remisi.
Terapi topikal termasuk antiseptik dan antibiotik dianjurkan oleh beberapa penulis,
klindamisin topikal telah diklaim efektif dan seefektif tetracycline dalam uji klinis.
Antibiotik oral dengan tujuan memperpendek durasi nyeri dan menghindari evolusi
menuju lesi abses. berbagai antibiotik telah digunakan : amoxicilline, cephalosporine,
clindamycine, rifampisin, M-jenis penisilin. amoksisilin + asam klavulanat
Steroid intralesional (misalnya triamcinolone (5-10 mg) telah
dianjurkan. Involusi yang cepat (12-24 jam) dari lesi awal mungkin diperoleh
LKPP
UNHA
S
39
dosis tinggi steroid sistemik dapat digunakan untuk mengurangi peradangan
dan nyeri. Mereka dapat digunakan sebagai alternatif untuk dosis tinggi
antibiotik yang mencegah evolusi lesi menjadi abses atau sebagai tambahan dengan
antibiotik. Dan ditappering dengan cepat.
Untuk abses, yaitu ketika lesi mengalami fluktuasi, penuh cairan, dan terapi medis tidak efektif ,
seharusnya tidak menunda untuk dilakukan prosedur drainase bedah (insisi).
2. Tahap Kronik
- Antibiotik : Untuk pasien dengan derajat peradangan dan nyeri yang hebat serta discharge yag
banyak, regimen kombinasi klindamisin dan rifampicin selama 10 minggu sangat berguna.
- Zinc salts dosis tinggi (90 mg of Zinc gluconate , yang digunakan untuk acne) telah terbuti
efektif dalm penelitian singkat
- Metronodazole pada kasus dengan discharge yang berbau dapat membantu
- Dapson telah digunakan dan memberikan hasil yang baik
- Radioterapi : Beberapa kasus dilaporkan diberikan radioterapi dan memberikan hasil yang baik
Pengobatan Bedah
Petunjuk utama untuk hasil yang baik dan permanen adalah pemetaan saluran sinus dan fistula,
biasanya dilakukan selama intervensi bedah.
Lokal excisions dan penutupan primer: Ketika tingkat keterlibatan kulit terbatas, terutama dalam
hal kekambuhan abses dan nanah di lokasi yang sama, lokal eksisi dapat dilakukan.
Exteriorization merupakan terapi alternatif, kekambuhan mungkin terjadi.
LKPP
UNHA
S
40
Radikal eksisi dan penyembuhan sekunder atau graft. Ini merupakan pilihan terbaik dalam tahap
III.
Komplikasi
- Infeksi akut yang meluas seperti selulitis atau infeksi sitemik sangat jarang terjadi
- Pembentukan fistula ke dalam uretra, kandung kemih, rektum, atau peritoneum.
- Konsekuensi dari supurasi kronis dapat mencakup anemia, hypoproteinemia, amiloidosis
- Arthropathy Peripheral dan aksial. - Kronis malaise dan depresi
- Obstruksi limfatik dan lymphoedema anggota badan, elephantiasis skrotum
- Karsinoma sel skuamosa pada lokasi perineum dan gluteal
Prognosis
Perubahan yang mendalam dari kualitas hidup diamati bahkan pada kasus ringan. Sebuah studi
dari 114 pasien dengan HS menggunakan indeks DLQI mencatat nilai sangat tinggi terutama
untuk pertanyaan 1 mengukur tingkat rasa sakit, gatal dan nyeri. Sebuah studi baru-baru ini dari
61 pasien dengan HS menggunakan beberapa kualitas hidup kuesioner menunjukkan bahwa
penurunan kualitas hidup di setiap 'dimensi' secara statistik lebih tinggi ( P
41
IX. Morbus Hansen (MH)
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Morbus Hansen (MH).
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menyebutkan tentang penyakit Morbus Hansen.
2. Menjelaskan penyebab dari penyakit Morbus Hansen.
3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Morbus Hansen
4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Morbus Hansen
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Morbus Hansen.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit Morbus Hansen
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit Morbus Hansen.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit Morbus HansenLKPP
UNHA
S
42
MORBUS HANSEN
Patogenesis
kerusakan saraf dibagi 3 bentuk:
1. Lesi intrafasikuler;
2.Lesi intraneural-ekstrafasikuler;
3. Lesi ekstraneural.
Gejala Klinis
Ada 3 tanda kardinal:
1. lesi kulit yang anestesi;
2. penebalan saraf perifer;
3. ditemukannya M.leprae.
Histopatologi
Ditemukan basil tahan asam
Definisi
penyakit infeksi granulomatosamenahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M.leprae.
Triger Faktor
Etiologi
M. leprae
KUSTA
Terapi
Dapson
MDT
Golongan flukinolon, etionamid/protionamid, golongan tiourea, ROM
Imunoterapi
Komplikasi
Kecacatan
Prognosis
Dubia
LKPP
UNHA
S
43
Definisi
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosamenahun yang disebabkan oleh
organisme intraseluler obligat M.leprae. Awalnya, kuman ini menyerang susunan saraf tepi, lalu
menyerang kulit, mukosa, saluran napas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis.
Klasifikasi
Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi
Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,
dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe
yaitu:
1. Tipe Tuberkuloid(TT);
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT);
3. Tipe Borderline (BB);
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL);
5. Tipe Lepromatous (LL).
Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk pemberantasan penyakit kusta, maka WHO
mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit dan
pemeriksaan apusan lesi kulit, yaitu:
1. Tipe Pausibasiler (PB) terdiri atas tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (TT), Borderline
Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) negatif.
2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL),
Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA
positif.
Dalam program pemberantasan penyakit kusta nasional di Indonesia, maka Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 1991 mengambil kebijaksanaan dalam penyederhanaan metode
pelaksanaan pengobatan kombinasi bahwa sarana laboratorium tidak mutlak harus ada melainkan
cukup hanya berdasarkan atas gambaran klinis. Bila klasifikasi meragukan maka penderita kusta
digolongkan dalam klasifikasi MB.
LKPP
UNHA
S
44
Gambaran Klinis
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang
lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah
seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis
dan memerlukan suatu pengobatan.
Bagian tubuh yang dingin seperti saluran napas, testis, bilik mata depan dan kulit terutama
cuping telinga dan jari merupakan daerah yang biasa terkena. Bagian tubuh yang dingin tidak
hanya karena pertumbuhan optimal M.leprae pada suhu rendah tetapi mungkin juga karena
kurangnya respon imunologi akibat rendahnya suhu pada daerah tersebut.
Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada:
1. multiplikasi dan diseminata kuman M.leprae;
2. respon imun penderita terhadap kuman M.leprae;
3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Ada 3 tanda kardinal yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari
penyakit kusta yakni:
1. lesi kulit yang anestesi;
2. penebalan saraf perifer;
3. ditemukannya M.leprae.
Lesi Kulit yang Anestesi
Makula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba, rasa
sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna berupa
lesi hipopigmentasi atau eritem dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.
Penebalan Saraf Perifer
Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah
endemik kusta temuan ada-nya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan latihan yangterus-menerus cara meraba saraf dan
pada saat pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.Penebalan saraf (awal biasanya asimetri)
pada daerah yang berdekatan dengan lesi kulit seperti aurikular, ulnar, radial, peroneal
superfisial, dan tibial posterior. Penebalan saraf ini dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri
dan menyebabkan gangguan sensoris dan motoris pada saraf yang terkena.
LKPP
UNHA
S
45
Terdapat M.leprae
M.lepraedimasukkan dalam genus Mycobacterium, famili Mycobacteriaceae, ordo
Actinomycetales, klas Schyzomycetes. Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya
berbentuk paralel dengan kedua ujungnya bulat; ukuran panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm.
Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang Gram positif, tidak bergerak, dan tidak
berspora.
Dengan mikroskop elektron kuman ini akan terlihat gambaran ultrastruktur yang umumnya sama
dengan mikobakteria lain. M.leprae terdiri atas:
- Kapsul: terdiri atas 2 macam lemak yaitu phthiocerol dimycerosate, lemak yang berperan
sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1), lemak dengan 3 molekul gula metilat
yang melekat pada molekul fenol pada lemak phthiocerol. Pada imunofluoresensi tidak
langsung didapatkan lokasi PGL1 ini yaitu pada permukaan M.leprae. Kapsul lemak akan
melindungi bakteri dari efek toksis enzim lisosom dan metabolit oksigen reaktif lainnya dalam
makrofag host. Adanya ikatan trisakarida spesifik pada PGL1 terhadap laminin-2 lamina
basalis sel schwann saraf menyebabkan M.leprae dapat memasuki sel saraf perifer.
- Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri atas 2 lapisan yaitu:
a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang
arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang
ditemukan pada mikobakterium lain serta kompleks protein lipopolisakarida.
b). Lapisan dalam: terdiri dari peptidoglikan yang berbeda dengan peptidoglikan mikobakteria
lainnya, dimana L-alanin diganti dengan glisin.
Dinding sel yang berhubungan dengan lipoprotein ini berikatan dengan Toll-like receptor 2/1 yang
berperan dalam inisiasi respon host terhadap invasi M.leprae.
- Membran sel: berada dibawah dinding sel, penting untuk transportasi molekul ke dalam dan ke
luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari lemak dan protein.
- Sitoplasma: merupakan isi sel dan terdiri dari granul-granul cadangan, DNA, dan RNA.
Port of exit M.leprae
Yang dimaksud port of exit adalah tempat di mana M.leprae keluar dari tubuh manusia yaitu
kulit dan mukosa hidung. Masih diperdebatkan apakah M.leprae terdapat pada deskuamasi sel
epitel kulit yang intak, namun yang jelas bahwa M.leprae dikeluarkan dari kulit yang terluka,
LKPP
UNHA
S
46
cairan/discharge yang keluar dari ulkus penderita dan melalui kelenjar keringat dan kelenjar
sebasea. Mukosa nasal melepaskan pa-ling banyak M.leprae di mana mampu melepaskan 10
miliar organisme hidup per hari dan mampu hidup lama di luar tubuh manusia sekitar 7-9 hari di
daerah tropis.
Pada saat berbicara, batuk dan bersin, M.leprae juga dikeluarkan dari penderita di mana sekali
bersin mampu melepaskan 110.000 basil. Penularan melalui droplet infeksi memegang peranan
yang cukup besar, di samping penularan melalui kontak erat dari kulit ke kulit.
Darah penderita kusta juga mengandung banyak M.leprae. Pada penderita kusta tipe lepromatosa
mengandung lebih dari 105 bakteri per mililiter darah.
Feses penderita kusta juga dikatakan mengandung M.leprae yang hidup dan dianggap mungkin
bisa menular.
Pada wanita hamil penderita kusta lepromatosayang belum diobati, sejumlah besar bakteri dapat
melewati plasenta dan menginfeksi janin yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya kadar IgA anti M.leprae pada janin dari ibu yang menderita kusta, yang menunjukkan
adanya paparan bakteri pada janin yang akan merangsang respon imun janin. IgA mendeteksi
reaksi imunologi janin terhadap paparan bakteri karena IgA tidak dapat melewati plasenta,
sedangkan yang dapat melewati plasenta adalah IgG.Air susu dinyatakan sebagai sumber
pelepasan M.leprae, walaupun kemungkinan penularan kepada bayi sampai saat inimasih
dipertanyakan. Sekali minum air susu ibu yang menderita kusta tipe lepromatosa bayi akan
meminum sebanyak lebih kurang 2 miliar bakteri. Walaupun belum ada studi epidemiologi yang
menyebutkan apakah bayi yang minum air susu yang mengandung begitu banyak bakteri akan
menderita kusta. Penularan terhadap bayi melalui air susu pada penderita kusta yang telah diberi
pengobatan dapson/DDS tidak perlu dikhawatirkan, karena DDS dapat membunuh bakteri dalam
air susu dalam beberapa minggu. Di samping itu, obat tersebut juga disekresikan melalui air susu
satu atau dua jam setelah ibu meminumnya, sehingga bayi secara tidak langsung juga mendapat
terapi profilaksis.
Port of entry M.leprae
Port of entry adalah tempat masuknya kuman M.leprae ke dalam tubuh manusia. Ada beberapa
cara masuk M.leprae ke dalam tubuh yaitu:
- Penularan melalui kontak
LKPP
UNHA
S
47
Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama dan berulang. M.leprae terutama
memasuki tubuh manusia melalui lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan bahwa
penularan melalui kulit yang intak juga mungkin tetapi lebih sulit. Menggunakan pakaian
pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi kemungkinan penularan kusta pada negara
berkembang di mana kusta masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup pada lingkungan
diluar tubuh manusia/tanah selama lebih dari 46 hari.
- Penularan melalui inhalasi
Penularan melalui saluran pernapasan yaitu percikan ludah, di mana M.leprae tidak
mengakibatkan lesi pada paru-paru karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung
masuk ke aliran darah. Dari aliran darah M.leprae kemudian dapat mencapai saraf tepi dan
difagosit sel schwann dan bermultiplikasi di dalamnya.
- Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan
Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengan-dung sangat banyak bakteri yang hidup,
namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu yang menderita kusta lepromatosa
hanya setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal ini menunjukkan
bahwa penularan melalui air susu masih dipertanyakan.
- Penularan melalui gigitan serangga
Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga. Untuk terjadinya penularan, ada
3 hal yang diperlukan:
1. Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak;
2. Adanya makanan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat ditularkan kepada host;
3. Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.
Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesiini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesikulit bisa satu atau beberapa dengan ukuran 3-30
cm, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Anestesi atau hiperestesi merupakan
karakteristik mayor pada tipe ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Tipe TT ini sering
menyebabkan kecacatan yang berat. Adanya infiltrasi tuberkuloiddan kurang atau tidak adanya
LKPP
UNHA
S
48
basil merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
Granulomaepiteloidini terdapat pada sebagian besar atau seluruh dermis yang dikelilingi oleh
infiltrasi limfosit yang meluas. Granulomasering meluas ke sel basal epidermis sehingga tidak
ada daerah clear zone dan dapat berpenetrasi ke dermis bagian bawah. Pada berkas saraf dapat
terjadi nekrosiskaseosaatau fibrinoiddi daerah dermis. Banyak sel raksasa langhans yang
dikelilingi oleh limfosit dalam perineurium. Pada penderita dengan tipe ini biasanya hasil
Mitsuda positif kuat dan uji in vitro untuk SIS pada M.leprae positif pada sebagian besar kasus.
BTA tidak ditemukan, tetapi dapat ditemukan dalam jumlah yang kecil dengan biopsi pada tepi
lesiyang aktif.
Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesipada tipe ini menyerupai tipe TT yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai
lesisatelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipo-pigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe TT, adanya gangguan saraf tidak
seberat pada tipe IT, biasanya asimetris. Lesisatelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal. Sitologi dan komposisi dari granuloma biasanya susah dibedakan dengan tipe TT,
tetapi ini bisa dilihat dengan adanya zona subepidermal walaupun sangat sempit. Granuloma
dapat dibedakan dengan tipe BB dengan melihat adanya limfosit pada zona perifer atau adanya
sel raksasa langhans yang kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang banyak. Sel makrofag
menunjukkan derajat yang bervariasi mulai dari diferensiasi epiteloidsampai sel raksasa. BTA
didapat dalam jumlah sedikit 0,1 atau 2 + di dalam granuloma, dan biasanya 1+ sampai 3+ pada
serabut saraf yang terkena. Uji lepromin positif tetapi tidak terlalu kuat. Merupakan tipe yang
paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik
dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesidapat berbentuk makula infiltrat. Permukaan lesidapat
mengkilat, batas lesikurang jelas dengan jumlah lesiyang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesisangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan
adanya lesi punched-outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang
merupakan ciri khas tipe ini.
Yang paling spesifik yaitu adanya sel epiteloidyang difus dan tersebar ke dalam granulomadan
tidak terfokus dalam zona sel epiteloid, sel epiteloidmenjadi lebih besar tetapi tidak seberat pada
tipe BT, tanpa sel raksasa Langhans. Limfosit sedikit dan berkelompok. Mulai nampak daerah-
LKPP
UNHA
S
49
daerah epidermal clear zone. Saraf tampak normal, perineuriummeng-adakan laminasi. BTA 3+
sampai 4+. Reaksi Mitsuda negatif dan uji transformasi limfosit sangat lemah atau negatif.
Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Secara klasik lesidimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makulalebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih
kecil, papul dan noduslebih tegas dengan distribusi lesiyang hampir simetris dan beberapa
nodusnampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesibagian tengah se-ring nampak normal
dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak
seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibanding tipe LL dengan
penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi. Tampak bentuk granuloma dari
makrofag yang tidak berdiferensiasi. Vakuolisasisel sedikit dan dapat ditemukan sedikit
makrofagdengan sel busa dan dapat dengan atau tanpa sel busa. Biasanya uji Mitsuda negatif.
Basil tahan asam dapat mencapai 3+ sampai dengan 4+.
Tipe Lepromatous (LL)
Jumlah lesisangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak
tegas dengan tepi yang kabur dan cenderung menyatu serta tidak ditemukan gangguan anestesi
dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesikhas yakni di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga sedang di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan
permukaan ekstensor tungkai bawah. Nodul dan papul yang merupakan karakteristik pada tipe
LL biasanya berjumlah banyak. Nodul tersebut terutama terdapat pada cuping telinga.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosisyang dimulai
pada bagian lateral alis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitaspada hidung.
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.
Bila penyakit ini menjadi progresif, makula dan papula baru muncul sedangkan lesi yang lama
menjadi plakat dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer meng-alami
degenerasi hialinatau fibrosisyang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot-otot tangan dan
LKPP
UNHA
S
50
kaki. Tampak granulomamakrofagtanpa sel epiteloid dan sangat sedikit limfosit. Ditemukan
granulomayang terdiri atas histiosit yang menunjukkan perubahan degenerasi lemak yang
bervariasi dengan dibentuknya sel-sel busa. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa atau
vakuolisasi disebut sebagai sel Lepra atau sel virchow. Potongan saraf yang nampak berbentuk
kulit bawang tanpa infiltrasi sel atau dapat normal. BTA mencapai 5+ sampai 6+. Uji Mitsuda
negatif.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi
diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I) yang merupakan stadium
awal kusta yang terdiri atas lesi hipopigmentasiatau eritem dengan sisik yang sedikit dan dapat
saja masih sensitif. Lokalisasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,
kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini
hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologisdidapatkan basilatau terdapat
infiltrat di sekitar saraf. Pada 20-80% kasus penderita kusta, tipe ini merupakan tanda pertama.
Sebagian besar akan sembuh spontan. Secara histopatologis tidak dapat dibedakan dengan
dermatitis kronik, bila didapatkan kepadatan sel meningkat pada satu berkas saraf (perineural
cuffing) maka ini bersifat spesifik. Basil tahan asam tidak didapatkan atau hanya sedikit. Bila
hanya ditemukan sebukan sel makrofagyang banyak maka kemungkinan perkembangan akan ke
arah tipe LL, sedangkan bila didapatkan beberapa granuloma sel epiteloidmaka perkembangan
ke arah tipe TT.
Etiologi/Patofisiologi Kerusakan Saraf
Etiologi/patofisiologi kerusakan saraf dapat dibagi dalam 3 bentuk:
1. Lesi intrafasikuler;
2. Lesi intraneural-ekstrafasikuler;
3. Lesi ekstraneural.
1. Lesi intrafasikuler
Lesiintrafasikulerdiakibatkan oleh pengaruh basil secara langsung pada sel schwann. Ini
merupakan tanda khas tipe lepromatosawalaupun tidak semua kerusakan saraf pada tipe L
disebabkan oleh infiltrasi basil. Serangan saraf tersembunyi dan lambat walaupun terjadinya
LKPP
UNHA
S
51
sangat dini dan menimbulkan gangguan fungsi saraf yang berat. Keadaan ini dapat berlangsung
tanpa rasa nyeri sebagai gejala awal suatu neuritisakut. Pada batang saraf yang mengalami
infiltrasi basil, terbentuk sikatriksyang menyebabkan fibrosisdan saraf kaku seperti tali. Saraf
tidak menebal, tetapi ada gangguan konduksi. Pada keadaan reaksi (tidak tergantung derajat
kerusakan saraf sebelumnya) dapat timbul nyeri saraf akut akibat kompresi intra neuralyang
cepat atau fenomena ekstraneural.
2. Lesi Intraneural-Ekstrafasikuler
Epineuronsering mengalami proliferasifibrosasehingga saraf menebal dan kaku. Dalam keadaan
reaksi kusta oleh karena fenomena imun, terjadi gejala radang pada batang saraf berupa edema
interfasikuleryang sangat nyeri. Fungsi saraf tiba-tiba berkurang. Fibrosisepineuralmencegah
perluasan sekunder dari edemainterfasikuler, meningkatkan tekanan intraneural, dan
menimbulkan kerusakan saraf. Terjadi obliterasivaskulerdan iskemibatang saraf yang telah
mengalamivaskulitis leprosayang khas memperberat pengurangan fung-si saraf.
Pada tipe T, fenomena imunyang hebat dan iskemisaraf setempat dianggap miielinyang
bertanggung jawab untuk terjadinya nekrosis kaseosayang disebut absessaraf. Neuritisakut
setempat pada batang saraf yang tidak berfungsi dan telah mengalami fibrosisdapat
menimbulkan nyeri hebat dan kadang-kadang perlu tindakan operasi. Saraf bengkak dan mielin
mionalmeninggi, tetapi tidak memberikan gejala-gejala saraf di bagian distalnya.
3. Lesi Ekstraneural
Lesi ekstraneuralterjadi karena penekanan dalam saluranosteofibrosadan jalan mielin yang
sempit seperti epitro-char-olecranon dan guyoncanaluntuk n.ulnaris dan carpal tunnel untuk
n.medianus, supinator tunneluntuk lengan atas dan alur retromaleolarmedialisdan richet untuk
n.tibialis posterior. Kerusakan saraf proksimaldari zone saluran osteofibrosa(tunnel). Diagnosis
berdasarkan gejala nyeri atau iritatif saraf (parestesi) pada lokasi tersebut.
Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh:
a. menurunnya isi (fibrosis mielin, mikrohematomoleh karena trauma) jarang terjadi;
b. meningkatnya isi (edemadan pembengkakan saraf).
LKPP
UNHA
S
52
Gangguan keseimbangan dan sirkulasi darah yang tiba-tiba dalam saluran yang disebutkan di
atas, kongesti pasif dan bertambahnya edemamenyebabkan iskemi. Mula-mula fungsi saraf
menjadi iritatif, tetapi kemudian berkurang.
Klasifikasi Kerusakan Saraf
Terdapat bermacam-macam klasifikasi kerusakan saraf yang didasarkan atas hal-hal berikut:
1. Perlangsungan klinis: akut, subakut, kronis;
2. Gangguan fungsi: iritatif, mielin;
3. Anatomi saraf: ulnaris, medianus, radialis, cabang nervus radialis, tibialis posterior, tibialis
myelin, aurikularis, supraorbital, poplitea lateralis, dan fasialis;
4. Topografi: lesitunggal, mielin;
5. Batas/lokasi kerusakan: cabang subkutan, batang saraf, pleksussaraf.
1. PerlangsunganKlinis
Gejala yang timbul pada perlangsungan klinis seperti berikut:
a. neuropatiakut: terjadi nyeri spontan;
b. neuropatisubakut: timbul nyeri bila dirangsang/palpasi;
c. neuropatikronis: tidak memberikan keluhan nyeri.
2. Gangguan Fungsi
Gejala-gejala periode iritatif seperti berikut:
a. sensoris: disestesi, parestesi, hiperalgesi;
b. motoris: fibrilasiotot, kram otot.
Gejala-gejala periode mielinseperti berikut:
a. sensoris: hipestesi, anestesi;
b. motoris: paresis, paralisis. Pada keadaan ini fungsi otot hilang, terjadi atrofidan deformitas;
hilangnya keseimbangan otot;
c. otonom: tidak ada keringat karena paralisis.
3. AnatomiSaraf
Pada penyakit kusta terdapat predileksikhusus dari saraf-saraf yang diserang, yaitu:
- N.ulnaris
- N.medianus
- N.radialis
LKPP
UNHA
S
53
- N.peroneus komunis
- N.tibialis posterior
- N.fasialis
Sebab-sebab atau syarat-syarat terserangnya saraf pada predileksiadalah sebagai berikut:
a. Sarafyangterletaksuperfisialis/subkutan
M.leprae tumbuh baik pada mielinmionalyang lebih rendah daripada mielinmionaltubuh, yang
cenderung berkelompok dan memperbanyak diri. Temperatur rendah juga dikatakan
menghambat transpormielinmionalnormal dalam akson.
b. Berdekatan dengan tulang dan sendi
Saraf-saraf yang berdekatan dengan tulang mudah terkena trauma. Demikian juga dengan saraf
yang berdekatan dengan sendi karena selalu digerakkan akan memperbesar trauma yang sudah
ada.
c. Mempunyai kemungkinan konstriksi
Pembengkakan saraf terjadi proksimaldan tidak jauh dari tempat konstriksi.
d. Saraf terletak pada titik angulasi
Titik persilangan saraf dalam kanalisfibroosseus, trauma yang berulang-ulang pada waktu sendi
difleksikandan diekstensikanmengakibatkan inflamasidan pembengkakan saraf. Sebagai contoh,
kasus subluksasi n.ulnarisdi atas mielin epikondilus medialisterjadi 6% pada orang normal, tetapi
pada neuritis leprosaditemukan sebanyak 30%.
e. Kerusakan saraf disebabkan oleh berbagai reaksi imun
Pada neuropati tuberkuloiddapat disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap
antigen M.leprae intra-neural. Adapun pada tipe L, neuropatikompleks imunmemegang peranan
penting dalam kerusakan saraf, terutama selama reaksi ENL. Namun, belum ada mielin
mionalterhadap mielinsaraf periferyang diperlihatkan pada penderita kusta.
Cara/Tempat Masuknya M.leprae ke dalam Saraf
Masuknya M.leprae ke dalam saraf melalui cara/tempat berikut:
1. Melalui aksonyang terbuka ke dalam epidermis/dermissuperfisialisdiikuti dengan penembusan
epitel. Kemudian M.leprae berjalan sepanjang eksoplasma;
2. Difagositosisoleh sel perineurium, lalu menyeberangi endoneuriumdan sel schwann;
LKPP
UNHA
S
54
3. Melalui pembuluh darah endoneuralselama bacteriemi. Cara ini kurang penting dibandingkan
mielinmionalkedua cara di atas.
Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M.leprae
1. Pada tipe tuberkuloid: karena infiltrasi M.leprae pada sel schwann, terjadi reaksi radang hebat
oleh karena reaksi imunologikdi dalamnya, timbul edema, lesi vaskuler, iskemi,
nekrosis/perkejuan parenkimsaraf (abses).
2. Sel schwann bukan fagositmielinmional, tetapi fungsi utamanya adalah sintesis mielin.
3. Sel schwann mempunyai kesanggupan invitro untuk membuat sejumlah besar komponen
mielin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai oleh M.leprae.
4. Sel schwann yang mengandung M.leprae dapat menjadi sumber infeksi primer dan persisten
untuk kebocoran basil/antigen basil yang terus-meneruske dalam sirkulasi, yang bertanggung
jawab terhadap infeksi yang menetap atau kambuh pada beberapa kasus tipe L.
5. Sel schwann dari serabut yang tidak bermielinmemperlihatkan afinitasyang lebih besar
terhadap M.leprae dari- pada serabut yang bermielin.
6. Mekanisme fagositosisM.leprae oleh sel schwann sama dengan mekanisme
fagositosismakrofag.
7. Beberapa bukti baru telah muncul. Suatu glikoprotein(-dystroglican) yang mengikat ke permukaan M.leprae juga terikat pada suatu molekul dipermukaan dari permukaan sel schwann
dan menyediakan mekanisme potensial untuk internalisasi dari basiloleh sel schwann.
Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan
pemeriksaan bakteriologik, histopatologik, imunologik, dan lain-lain. Tanda-tanda
kardinalpenyakit kusta adalah:
1. anestesi;
2. penebalan saraf di daerah yang terkena;
3. adanya lesi-lesikulit;
4. ditemukannya BTA.
LKPP
UNHA
S
55
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai salah satu dari ketiga tanda
kardinalyang pertama. Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:
1. pemeriksaan bakteriologik;
2. pemeriksaan histopatologik;
3. pemeriksaan imunologik.
Pemeriksaan Bakteriologik
Tujuan pemeriksaan bakteriologikadalah:
1. membantu menentukan diagnosis;
2. membantu menentukan klasifikasi;
3. menilai hasil pengobatan;
4. mencurigai resistensi terhadap obat.
Pada pemeriksaan bakteriologik, yang penting adalah perhitungan Indeks Bakteriologi (IB) dan
Indeks Morfologi (IM). IB, yaitu angka yang menunjukkan banyaknya kuman M.leprae pada
tiap satuan lapangan tertentu, baik kuman yang mati maupun kuman yang hidup. IB seseorang
adalah IB rata-rata semua lesiyang dibuat sediaan.
Kegunaan menghitung IB:
a. membantu menentukan klasifikasi kusta;
b. membantu menilai berat ringannya infeksi pada kulit;
c. membantu mencurigai terjadinya resistensi obat;
d. untuk mengetahui prognosis penyakit selama pengobatan;
e. untuk monitoring perjalanan penyakit.
Pengertian IB menurut Logaritma Ridley:
Negatif (-) = Tidak ditemukan BTA pada 100 lapangan penglihatan (LP)
1 (+) = 1 - 10 basil / 100 LP
2 (+) = 1 - 10 basil / 10 LP
3 (+) = 1 - 10 basil / 1 LP
4 (+) = 10 - 100 basil / 1 LP
LKPP
UNHA
S
56
5 (+) = 100 - 1000 basil / 1 LP
6 (+) = > 1000 basil / 1 LP
Perlu dicatat bahwa pada kusta tipe TT, apusan kulit menunjukkan hasil negatif. Apusan kulit
hanya akan menunjukkan hasil positif apabila pada setiap gram kulit terdapat minimal 10.000
basil. Oleh karena itu, hasil yang negatif belum tentu menunjukkan penderita sudah sembuh.
Juga pemeriksaan tersebut ditentukan: IM, yaitu angka yang menunjukkan persentase basilkusta
utuh (solid) dalam semua basil yang dihitung.
Kegunaan menghitung IM:
a. menilai kemajuan pengobatan/efektif obat kusta;
b. membantu menentukan kemungkinan resistensi obat.
Dalam berlangsungnya pengobatan, IM lebih cepat berubah dibandingkan dengan IB. IM yang
naik kembali setelah menurun menunjukkan kemungkinan-kemungkinan antara lain penderita
tidak makan obat atau ada gangguan absorbsiobat, atau mungkin telah terjadi resistensi
basilterhadap obat. IM tidak dapat dipakai pada penilaian berat reaksi karena pengobatan MDT
yang efektif lebih cepat menjadi 0%. Tidak ada korelasi antara IB dan IM dengan berat ENL.
Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan histopatologikdapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit kusta
apabila manifestasi klinik dan bakteriologiktidak jelas.
Pemeriksaan ini dilakukan jika:
a. diagnosis tidak pasti, misalnya pada tipe indeterminate, pada keadaan demikian biopsiharus
disertakan kulit yang normal;
b. untuk menentukan klasifikasi secara tepat;
c. untuk menentukan macam reaksi kusta, misalnya antara reaksi down-grading dan up-grading;
d. untuk menentukan kemajuan pengobatan, misalnya dilakukan pada lesi yang tampak paling
aktif untuk menentukan adanya kemungkinan resistensi terhadap obat.
Imunohistokimia
Merupakan bagian dari pemeriksaan histopatologisdengan sediaan biopsikulit yang kemudian
dilakukan fiksasi bufer formalin 15% dan selanjutnya dilakukan pewarnaan untuk
imunohistokimiaberupa:
LKPP
UNHA
S
57
1. S-100 protein; pemeriksaan dengan pewarnaan ini spesifik untuk melihat adanya basil/kuman
kusta dalam neuron dan sel schwann saraf dari saraf perifer pada kulit.
2. PGL-1; pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat adanya deposit antibodi
anti-PGL-1 antigen berupa IgM yang terdapat pada lesi kulit dan serabut saraf perifer penderita.
3. LAM-B (lipoarabinimannan B); pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat
adanya proses granulomatosis dalam sel schwann dari serabut saraf perifer kulit, yang mana
kelainan ini hanya dapat terlihat pada lesi kulit penderita kusta sedangkan penyakit
granulomatosa yang lain tidak ditemukan.
Pemeriksaan Imunologik
Pemeriksaan imunologikini dilakukan tidak untuk menegakkan diagnosis, tetapi hanya untuk
membantu dalam menentukan klasifikasi dan perjalanan penyakit kusta.
Pemeriksaan imunologik terdiri atas:
1. Tes Lepromin;
2. Tes Histamin.
Tes Lepromin
Pemeriksaan leprominmerupakan salah satu alat penunjang diagnosis penyakit kusta yang
menunjukkan seberapa besar kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap kuman
M.leprae yang masuk ke tubuh. Lepromin adalah suatu suspensi steril yang didapat dari jaringan
yang dihancurkan yang mengandung kuman M.leprae dan dipakai sebagai tes kulit secara
intradermal pada penyakit kusta.
Dikenal 2 macam lepromin, yaitu:
a. Lepromin Mitsuda H (Integral Lepromin Mitsuda Wade-Hayashi);
b. Lepromin Dharmendra.
Cara kerja
Dilakukan tes kulit dengan menyuntikkan 0,1 ml lepromin secara intradermal di lengan bawah,
kira-kira 2-3 cm distal dari fossa kubiti dengan alat suntik tuberkulin sehingga terbentuk
benjolan iskemik dengan diameter kurang lebih 8 mm.
Reaksi dan Pembacaan Lepromin
Reaksi kulit terhadap tes lepromin ada 2 macam, yaitu:
LKPP
UNHA
S
58
a. reaksi dini (reaksi Fernandez);
b. reaksi lambat (reaksi Mitsuda).
1. Reaksi Dini (Reaksi Fernandez)
Reaksi dini berbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Reaksi
ini menunjukkan hipersensitivitas yang telah ada terhadap antigen yang disuntikkan. Pembacaan
biasanya dilakukan 48 jam kemudian setelah penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam
degradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).
2. Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)
Reaksi ini berbentuk noduleryang tampak paling jelas pada hari ke 21-30. Reaksi ini
menunjukkan respon terhadap imunitas seluler. Pembacaan dilakukan setelah hari ke-21
penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam gradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).
Kedua jenis leprominDharmendra maupun Mitsuda menghasilkan reaksi dini maupun reaksi
lambat. Reaksi dini paling sering didapatkan pada tes leprominDharmendra, sedangkan reaksi
lambat paling sering didapatkan pada tes leprominMitsuda.
Tes Histamin
Apabila histamindisuntikkan secara intradermalpada kulit normal akan menyebabkan dilatasi
kapiler. Hal tersebut dapat dilihat pada adanya suatu bercak berwarna merah yang disebut
sebagai histamin flare. Keadaan ini tidak disebabkan pengaruh langsung oleh histamin ke
dinding kapiler, karena adanya oxen reflex, dari saraf kulit sehingga terjadinya pun bergantung
pada integritas serabut saraf simpatik. Derajat kerusakan saraf dapat dinilai dengan melihat
ukuran dari bercak merah yang timbul. Ini sangat berguna untuk menentukan apakah suatu
makulahipopigmentasidisebabkan kusta atau kelainan lain.
Tes histamindapat dilakukan dengan cara berikut: Larutan 0,001 % histamin asam fosfat
diteteskan pada lesi yang dicurigai dan pada kulit normal sebagai kontrol. Kemudian kulit
ditusuk dengan jarum melalui tetesan tersebut. Cara lain adalah injeksi intradermal 0,1 cc larutan
1:1000 histamin fosfat. Pada kulit normal akan timbul bintul merah dalam waktu 1-2 menit.
Pembacaan dilakukan setelah 10 menit. Pada kusta indeterminatedan borderlineakan timbul
lambat sedangkan pada tipe tuberkuloidjustru tidak ada.
Selain tes-tes tersebut di atas, terdapat beberapa tes diagnostik untuk penyakit kusta seperti yang
dijelaskan pada uraian berikut.
LKPP
UNHA
S
59
1. Tes Pengeluaran Keringat
Tes ini merupakan cara lain untuk mengetahui integritas dari saraf kulit, selain tes histamin.
Proses berkeringat bergantung pada integritas serabut saraf parasimpatik. Jika suatu makula
hipopigmentasidisebabkan oleh kusta, maka respon dari kelenjar keringat terhadap obat-obat
kolinergikakan berkurang. Cara yang paling praktis untuk mengetahui faal keringat adalah
dengan menyuruh penderita melakukan olahraga di bawah sinar matahari, lalu dilihat apakah
pada daerah yang dicurigai mengeluarkan keringat atau tidak.
2. Tes Pilokarpin
Tes pilokarpindapat dilakukan dengan cara berikut. Diambil 0,1 cc larutan 0,06% pilokarpin
nitrat, disuntikkan intradermal pada makulayang dicurigai dan kulit sehat sebagai kontrol.
Kemudian kulit diolesi dengan tinctura jodine, lalu di atasnya ditaburi dengan tepung amilum.
Jika faal keringat baik maka akan terjadi perubahan warna amilummenjadi biru, sedangkan bila
anhidrosis seperti kusta, warna amilumtetap yang berarti ada kerusakan saraf. Selain tinctura
jodine dan amilum dapat pula dipakai bahan lain yaitu quainizarin dengan interpretasi sama di
atas.
Cara lain selain di atas adalah dengan Methacholine Sweating Test. Pada makula yang dicurigai
dan kulit normal sebagai kontrol diolesi dengan larutan minor (mengandung iodium 2% dan
castor oil 10% dalam alkohol absolut). Setelah itu disuntik secara intradermal dengan 0,1 cc
larutan metachopline 1%. Kemudian ditaburi dengan serbuk amilum. Interpretasi selanjutnya
sama dengan tes pilokarpin.
3. Tes Serologis
Tes serologis yang baik sebagai sarana penunjang dignosis penyakit kusta beserta kontaknya
secara ideal harus yang tepat guna (sensitif, spesifik dan presisi yang tinggi) dan berdaya guna.
Hal itu berarti tes tersebut mempunyai jangkauan yang luas baik dalam fungsi maupun tempat
pelaksanaannya (dapat sampai jenjang Puskesmas). Mengingat bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit rakyat yang terdapat di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sebagian besar masyarakat
Indonesia berdiam di pedesaan maka tes yang tepat untuk menunjang pemberantasan penyakit
kusta ini adalah sarana diagnostik yang mempunyai tepat guna dan daya guna, juga murah serta
praktis dalam pelaksanaanya. Tampaknya tes MLPA dapat memenuhi harapan di atas.
LKPP
UNHA
S
60
Pada daerah dengan prevalensi kusta yang tinggi, diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
pemeriksaan klinis dan mikroskopis. Mendeteksi bakteri merupakan hal yang sulit dilakukan dan
gambaran histopatologis dapat menunjukkan gambaran yang tidak spesifik.
Viabilitas M.leprae sangat sulit ditentukan karena bakteri tidak bisa dibiakkan pada media kultur.
Teknik mouse footpad (MFP) untuk mengetahui replikasi M.leprae memberi harapan untuk
menemukan obat anti kusta baru, mengetahui resistensi obat pada M.leprae, dan
mengembangkan vaksin. Teknik MFP ini memerlukan waktu yang lama, mahal dan memerlukan
tenaga ahli sehingga dianggap tidak praktis digunakan dalam penelitian. Terbatasnya
laboratorium yang dapat melakukan teknik MFP ini juga merupakan hambatan dalam suatu
penelitian.
Teknik Radiorespirometry (RR) diketahui berkaitan dengan pertumbuhan M.leprae pada MFP
dan berguna untuk evaluasi kerentanan M.leprae terhadap obat anti kusta baru, dan terhadap
perubahan lingkungan, misalnya ultraviolet dan radiasi. Selain itu, teknik ini juga dapat
mengetahui terjadinya resistensi terhadap rifampisindan efek M.leprae yang viabel pada sel
schwann. Teknik RR hanya mampu mendeteksi bakteri dalam jumlah yang besar (107), sehingga
membatasi penggunaannya untuk tujuan klinis dan untuk kasus dengan jumlah bakteri yang
sedikit. Selain itu, RR memerlukan substansi radioaktif yang penggunaannya sangat terbatas di
beberapa negara.
Polymerace Chain Reaction (PCR)
Merupakan metode baru untuk