dali - tdk(1)

Embed Size (px)

Citation preview

  • 0BUKU AJAR

    PENYAKIT KULIT DI DAERAH TROPIS

    Oleh:

    Muhammad Dali Amiruddin

    Faridha S. Ilyas

    Safruddin Amin

    Dianawaty Amiruddin

    LKPP

    UNHA

    S

  • 1PENYAKIT KULIT KAUSA BAKTERI

    PIODERMA

    TUJUAN PEMBELAJARAN

    I. Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit impetigo krustosa.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo krustosa.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo krustosa.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo krustosa.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo krustosa.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo krustosa.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo krustosa.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo krustosa.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo krustosa.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 2I. Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)

    Patogenesis : Tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada S.aureus dan group streptococcus

    Definisi :

    Bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis

    Gejala Klinis :

    Gatal Effloresensi : Makula eritem, vesikel, bulla, secret kekunungan, krusta tebal

    Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk (anemia dan malnutrisi)

    Histopatologi :

    -Peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. -Dermis dilatasi pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN

    Etiologi :

    Streptococcus

    Terapi :

    Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Dapat terjadi glomerulonefritis

    Prognosis :

    Baik

    IMPETIGO KRUSTOSALKPP

    UNHA

    S

  • 3Definisi

    Bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, gambaran yang dominan

    ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis.

    Penyebab dan epidemiologi

    - Penyebab: Paling sering disebabkan oleh grup streptococcus

    - Umur: terutama pada anak-anak.

    - Jenis kelamin: frekuensinya sama pada pria dan wanita.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit

    - Musim: musim panas atau cuaca panas yang lembab.

    - Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk (anemia dan

    malnutrisi)

    Gejala Klinik

    Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2

    mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah

    pecah dan mengeluarkan secret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering

    dan membentuk krusta berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat

    daerah erosive yang mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal.

    Predileksi : Pada wajah atau ekstremitas setelah trauma

    Patogenesis : Kulit yang intak resisten terhadap kolonisasi atau impetigenisasi,

    kemungkinan tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada

    S.aureus dan group streptococcus yang menyebabkan lesi

    Pemeriksaan Fisis

    - Lokalisasi: daerah yang terpajan, terutama wajah (sekitar hidung dan mulut), tangan,

    leher, dan ekstremitas.

    - Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa miliar sampai lentikular, difus; pustule

    miliar sampai lentikular; krusta kuning kecoklatan, nerlapis-lapis, mudah diangkat.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 4Gambaran histopatologi

    Berupa peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. Terbentuk bula atau

    vesikopustula subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis.

    Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh

    darah, edema dan infiltrasi PMN.

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium

    Biakan bakteriologis eksudat lesi; biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan

    dengan tes resistensi.

    Diagnosis banding

    1. Varisela: lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikasi vesikal.

    2. Ektima: lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih berat. Ditutupi krusta yang

    keras, jika diangkat akan berdarah secara difus.

    3. Impetigenisasi: pioderma sekunder, prosesnya menahun sering masih tampak

    penyakit dasarnya.

    Penatalaksanaan

    Menjaga kebersihan kulit dengan mandi pakai sabun 2 kali sehari. Jika krusta banyak,

    dikeluarkan dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotic seperti

    kloramfenikol 2% ,teramisin 3%, dan mupirocin ointment. Jika lesi banyak dan disertai

    gejala konstitusi (demam, dll), berikan antibiotic sistemik, misalnya penisilin, kloksasilin,

    atau sefalosporin.

    Prognosis

    Baik. Namun, dapat timbul komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis, dan lain-lain.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 5I. Impetigo Bulosa

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit impetigo bulosa.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo bulosa.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo bulosa.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo bulosa.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo bulosa.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo bulosa.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo bulosa.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo bulosa.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo bulosa.LKPP

    UNHA

    S

  • 6II. Impetigo Bulosa

    Patogenesis : Tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada S.aureus dan group streptococcus

    Definisi :

    Bentuk pioderma dengan gejala adanya bulla

    Gejala Klinis :

    Vesikel, bulla, krusta

    Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk - malnutrisi

    Histopatologi :- vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. - Dermis sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah

    Etiologi :

    Staphylococcus.

    Terapi :

    Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Selulitis, limfangitis dan bakterimia

    Prognosis :

    Baik

    IMPETIGO BULLOSA LKPP

    UNHA

    S

  • 7Definisi

    Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama dengan gejala utama

    berupa bulla berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak

    hipopion.

    Penyebab dan epdemiologi

    - Penyebab: terutama disebabkan oleh staphylococcus.

    - Umur: anak-anak dan dewasa.

    - Jenis kelamin: frekuensi sama dengan pria dan wanita

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    - Daerah: lebih banyak pada daerah tropis dengan udara panas.

    - Musim/iklim: musim panas dengan banyak debu.

    - Kebersihan/higiene: higiene kurang.

    - Gizi: lebih sering dan lebih berat pada keadaan kurang gizi dan anemia.

    - Lingkungan: yang kotor dan berdebu akan lebih sering dan lebih hebat.

    Gejala Klinik

    Vesikel sampai bulla timbul mendadak pada kulit sehat, bervariasi mulai miliar hingga

    lentikular, dapat bertahan 2-3 hari. Berdinding tebal dan ada hipopion. Jika pecah

    menimbulkan krusta yang coklat datar dan tipis.

    Pemeriksaan kulit

    - Lokalisasi: ketiak, dada, punggung dan ekstremitasatas dan bawah.

    - Efloresensi/sifat-sifatnya: tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga

    lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan, kadang-kadang tampak

    hipopion.

    Gambaran histopatologi

    Pada epidermis tampak vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. Pada

    dermis tampak sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 8Pemeriksaan pembantu/laboratorium

    1. Preparat mikroskopik langsung dari cairan bula untuk mencari stafilokok.

    2. Biakan cairan bula dan uji resistensi.

    Diagnosis banding

    1. Pemfigus: biasanya bula berdinding tebal, dikelilingioleh daerah eritematosa dan

    keadaan umum buruk.

    2. Impetigenasi: menunjukkan pula gejala-gejala penyakit primer dengan gejala

    konstitusi berupa demam dan malaise.

    3. Tinea sirsinata: jika lepuh pecah, bagian tepi masih menunjukkan danya lepuh, tetapi

    bagian tengah menyembuh.

    Penatalaksanaan

    Menjaga kebersihan dan menghilangkan faktor-faktor predisposisi. Jika bula besar dan

    banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan antiseptic (betadine) dan

    diberi salep antibiotic (kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika Pada dewasa dengan

    gejala ekstensive atau bulla diberikan diberikan antibiotik sistemik seperti amoksisilin +

    asam klavulanat 25 mg/kg BB, cephalexin (40-50 mg/kg/hr), dicloxacin 250-500 mg 4

    kali sehari, eritromisin 250-500 mg.

    Topikal Sistemik DosisFirst line Mupirocin

    Asam FusidatDicloxacin

    Amoksisilin+asam klavulanat

    250-500 mg 4 kali sehari selama 5-7 hari 25 mg.kgBB, 250-500 mg 4 kali sehari

    Second line Azthromycin

    ClindamycinEritromycin

    500 mg x 1, 250 mg/hr selama 4 hari15 mg/kg/hr 3 kali sehari250-500 mg 4 kali sehari selama 5-7 hari

    Prognosis

    Umumnya baik

    LKPP

    UNHA

    S

  • 9II. Ektima

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit ektima.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit ektima.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang ektima.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya ektima.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari ektima.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis ektima.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit ektima.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit ektima.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit ektima.LKPP

    UNHA

    S

  • 10

    III. Ektima

    Patogenesis :

    Staphylococcus aureusmemproduksi beberapa toksin membantu perlekatan bakteri dengan sel host

    Definisi :

    Pioderma yang menyerang epidermis dan dermis

    Gejala Klinis :Vesikel atau vesikopustula di atas kulit yang eritematosa, membesar dan pecah, terbentuk krusta tebal . Jika krusta dilepas terdapat ulkus dangkal

    Faktor Pencetus :- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk - malnutrisi

    Histopatologi :

    Peradangan dalam dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses

    Etiologi :

    Streptococcus atau Staphylococcus

    Terapi :

    Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Bakterimia

    Prognosis :

    Dubia

    EKTIMALK

    PP

    UNHA

    S

  • 11

    Definisi :

    Adalah pioderma yang menyerang epidermis dan dermis, membentuk ulkus dangkal yang

    ditutupi oleh krusta berlapis.

    Penyebab dan epidemiologi:

    Penyebab : streptokok piogenik, stafilokok atau ke duanya

    Umur : Frekuensi pada anak-anak lebih tinggi daripada dewasa

    Jenis kelamin: Pria dan wanita sama

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    Musim/iklim : panas dan lembab

    Kebersihan atau higiene: Kebersihan yang kurang higiene yang buruk, serta malnutrisi.

    Gejala Klinik

    Keluhan : gatal. Lesi awal berupa vesikel atau vesikopustula di atas kulit yang

    eritematosa, membesar dan pecah, terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar di lepas

    dari dasarnya. Jika krusta dilepas terdapat ulkus dangkal. Jika keadaan umum baik akan

    sembuh sendiri dalam waktu 3 minggu, meninggalkan jaringan parut yang tidak berarti.

    Jika keadaan umum buruk dapat menjadi gangrene.

    Pemeriksaan kulit:

    Lokalisasi; Ekremitas bawah, wajah dan ketiak

    Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa lentikular hingga nummular, vesikel dan

    pustula miliar hingga nummular, difus, simetris serta krusta kehijauan yang sukar di

    lepas.

    Gambaran histopatologi:

    Peradangan dalam dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel

    pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.

    Diagnosis banding:

    1.Impetigo krustosa: Krusta mudah di angkat, warna krusta kekuningan

    2.Folikulitis : Biasanya berbatas tegas, berupa papul miliar sampai lentikular

    LKPP

    UNHA

    S

  • 12

    Penatalaksanaan

    Umumnya : Memeperbaiki higiene dan kebersihan

    Khusus : Jika lesi sedikit :salepkloramfenikel 2%;jika luas diberi antibiotic

    sistemik:penisilin 600000-1,5 juta IU intramuscular selama 5-10 hari. Terapi topikal

    dangan kompres terbuka untuk melunakkan krusta dan membersihkan debris.

    Prognosis: baik

    LKPP

    UNHA

    S

  • 13

    III. Folikulitis

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit folikulitis.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit folikulitis.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit folikulitis.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya folikulitis.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari folikulitis.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis folikulitis.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit

    folikulitis.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit folikulitis.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit folikulitis.LKPP

    UNHA

    S

  • 14

    IV. Folikulitis

    Patogenesis : Staphylococcus aureusmemproduksi beberapa toksin membantu perlekatan bakteri dengan sel host

    Definisi :

    - Infeksi epidermis pada folikel rambut. - Terdapat dua tipe : folikulitis superfisial dan folikulitis profunda.

    Gejala Klinis :

    Nodul atau pustule dengan dasar eritem

    Faktor Pencetus :

    - Paparan senyawa kimia Penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi.- kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk.Diabetes mellitus, kelelahan dan kurang gizi

    Histopatologi :

    Folikel rambut tampak

    edematosa dengan sebukan

    sel-sel radang akut.

    Etiologi :

    Staphylococcus aureusgram positif.

    Terapi : Menjaga kebersihanTopikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Pada folikulitis profundalupoid sycosis

    Prognosis :

    Baik

    Folikulitis LKPP

    UNHA

    S

  • 15

    Definisi

    Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis pada folikel rambut. Terdapat dua tipe

    folikulitis berdasarkan kedalaman invasi, yakni folikulitis superfisial dan folikulitis

    profunda.

    Folikulitis superfisialis

    merupakan salah satu jenis folikulitis yang juga disebut sebagai Bockhart of Impetigo.

    Penyebab

    - Penyebab: Staphylococcus aureus gram positif.

    - Umur: semua umur lebih sering dijumpai pada anak-anak.

    - Jenis kelamin: frekuensi sama antara pria dan wanita.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    - Paparan senyawa kimia di tempat kerja. Sebagai contoh paparan dengan minyak mineral

    dan tar.

    - Penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi.

    - Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk.

    - Lain-lain: diabetes mellitus, kelelahan dan kurang gizi merupakan faktor yang

    mempercepat dan memperberat penyakit. Insidens meninggi pada lingkungan yang

    kotor.

    Patogenesis

    Secara umum, hampir 20% populasi manusia memiliki bakteri Staphylococcus aureus

    dalam tubuh mereka. Lokasi yang paling sering adalah hidung, aksila dan perineum.

    Staphylococcus aureus memproduksi beberapa toksin yang dapat meningkatkan

    kontribusi untuk invasi dan membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam

    jaringan. Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan berbagai

    efek pada sistem kekebalan tubuh penderita. Produk-produk yang dihasilkan pada

    dinding sel ini adalah asam teichoic, peptidoglycan dan protein A. Protein A ini

    membantu pelekatan bakteri pada sel host. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc

    dari IgG sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 16

    Pada follikulitis superfisial, populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian

    infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini merupakan satu

    contoh yang disebutkan sebagai suatu invasi secara langsung.

    Gejala klinik

    Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan:

    Lesi berbentuk bulat atau pustul dengan dasar eritematosa. Dapat terbentuk pustul

    berwarna kuning yang dapat menghilang dalam 7 hingga 10 hari tanpa membentuk

    sikatris. Biasanya disertai rasa gatal. Pertumbuhan rambut sendiri tidak terganggu

    kadang-kadang penyakit ini ditimbulkan oleh discharge (sekret) dari luka dan abses.

    Pemeriksaan kulit

    - Lokalisasi: daerah berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas.

    - Efloresensi/sifat-sifatnya: berupa macula eritematosa, papula, pastula, dan krusta

    miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut.

    Gambaran histopatologi

    Folikel rambut tampak edematosa dengan sebukan sel-sel radang akut.

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium

    Pemeriksaan bakteriologis dari secret lesi (dengan pewarnaan Gram).

    Diagnosis banding

    1. Akne vulgaris: terutama di wajah punggung.

    2. Impetigo bockhart: daerah yang terkena adalah ekstremitas, dengan dasar eritematosa

    dan tampak pustule miliar.

    Penatalaksanaan

    Menjaga kebersihan umum terutama kulit; makanan tinggi protein dan tinggi kalori.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 17

    Folikulitis stafilokokus superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan,

    atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor

    predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang berat, dibutuhkan

    penggunaan antibiotik topikal atau sistemik.

    Folikulitis bakterial superficial dapat diobati dengan antibakterial yang mengandung

    chlorhexidine, triclosan atau povidine-iodine, yang dapat digunakan dalam bentuk krim,

    lotion, sabun, atau campuran pada bak mandi. Dianjurkan untuk membersihkan area lesi

    sebanyak tiga kali sehari dengan menggunakan sabun antibakteri. Ointment antibakteri

    (bacitracin atau mupirocin 2%) juga dapat digunakan selama 7-10 hari terbatas pada

    daerah lesi. Apabila terjadi kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada tubuh

    atau rekuren, dapat diberikan antibiotik golongan -lactam, macrolides.

    Prognosis

    Baik.

    Folikulitis profunda.

    Sycosis barbae merupakan folikulitis profunda dengan inflamasi perifolikuler yang

    terjadi pada daerah wajah atau atas bibir. Jika tidak diobati lesi akan lebih dalam dan

    kronik. Pengobatan local dengan kompres salin dan antibotik topikal ( muprocin atau

    clindamycin) untuk mengontrol infeksi. Pada kasus yang berat diberikan antibiotik

    sistemik LKPP

    UNHA

    S

  • 18

    IV. Furunkel

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit furunkel.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit furunkel.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit furunkel.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya furunkel.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari furunkel.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit

    furunkel.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit furunkel.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit furunkel.LKPP

    UNHA

    S

  • 19

    V. Furunkel

    Patogenesis : Definisi :

    Peradangan folikel

    rambut dan jaringan

    subkutan sekitarnya.

    Gejala Klinis :

    Sakit dan nyeriInfiltrat kecil, nodus eritematous dengan bintk putih ditengah

    Faktor Pencetus :

    - obesitas, DM, hiperhidrosis.- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk

    Histopatologi :

    abses yang dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN

    Etiologi :

    staphylococcus aureus.

    Terapi : mengurangi faktor penyebab seperti obesitas, DM, hiperhidrosis.Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Bakteremia dan rekurensi

    Prognosis :

    Baik

    Furunkel

    LKPP

    UNHA

    S

  • 20

    Definisi

    Adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya.

    Penyebab dan epidemiologi

    - Penyebab: staphylococcus aureus.

    - Umur: dapat terjadi pada anak-anak atau orang muda.

    - Jenis kelamin: sama pada pria dan wanita.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    - Musim/iklim: lebih sering pada musim panas karna banyak berkeringat.

    - Kebersihan/higiene: kebersihan dan higiene yang kurang.

    - Lingkungan: lingkungan yang kurang baik/bersih. Lain-lain: diabetes, obesitas,

    hiperhidrosis, anemia, dan stress emosional mempengaruhi tingkat insidens.

    Gejala klinik

    Sakit dan nyeri pada daerah lesi. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu

    singkat membesar membentuk nodula eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada

    tempat rambut keluar tampak bintik-bintikputih sebagai mata bisul. Nodus tadi aka

    melunak (supurasi) menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minorisresistensie

    yaitu muara folikel, rambut menjadi rontok/terlepas.

    Pemeriksaan kulit

    - Lokalisasi: sering pada bagian tubuh yang berambutdan mudah terkena iritasi,

    gesekan atau tekanan; atau pada daerah yang lembap seperti ketiak, bokong,

    punggung leher, dan wajah.

    - Eflorensia/sifat-sifatnya: mula-mula berupa macula eritematosa lentikular nummular

    setempat, kemudian menjadi nodula lentikularnumular berbentuk kerucut.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 21

    Gambaran histopatologi

    Berupa abses yang dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada folikel

    rambut. Pada bagian bawah folikel rambut (dalam jaringan subkutis), abses dapat pula

    mengandung stafilokok.

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium

    Pemeriksaan bakteriologi dari secret.

    Diagnosis banding

    1. Sporotikosis: kelainan jamur sistemik, menimbulkan benjolan-benjolanyang berjejer

    sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan kenyal dan nyeri.

    2. Blastomikosis: benjolan multiple dengan beberapa pustule, daerahsekitarnya

    melunak.

    3. Skrofuloderma: biasanya berbentuk lonjong, livid dan ditemukan jembatan-jembatan

    kulit (skin bridges).

    Penatalaksanaan

    - Higiene kulit harus ditingkatkan.

    - Jika masih berupa infiltrate, topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5% atau

    salep antibiotic.

    - Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin masih merupakan obat

    terpilih atau antibiotic berspektrum luas member hasil yang baik.

    - Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi salep

    kloramfenikol 2 %.

    - Usaha mengurangi faktor penyebab seperti obesitas, DM, hiperhidrosis.

    Prognosis

    Baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang baik

    ketika terjadi rekurensi.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 22

    V. Karbunkel

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit karbunkel.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit karbunkel.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit karbunkel.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya karbunkel.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari karbunkel.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit karbunkel.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit karbunkel.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit karbunkel.

    VI. Karbunkel

    LKPP

    UNHA

    S

  • 23

    Definisi

    Patogenesis Definisi :

    Gabungan beberapa furunkel

    Gejala Klinis :

    nyeri

    Nodul eritematous, abses

    Faktor Pencetus :

    - obesitas, DM, hiperhidrosis.- musim panas atau cuaca yang lembab.-kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk

    Histopatologi :

    abses yang dalam, dibentuk oleh limfositdan leukosit PMN

    Etiologi :

    staphylococcus aureus.

    Terapi :

    Mengurangi faktor penyebab, DM, hiperhidrosis.Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi :

    Bakteremia

    Prognosis

    Rekurensi

    Karbunkel LKPP

    UNHA

    S

  • 24

    Adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal

    dari jaringan subkutan yang padat. Perkembangan dari furunkelmenjadi karbunkel

    bergantung pada status imunologis penderita.

    Penyebab dan epidemiologi

    - Penyebab: staphylococcus aureaus.

    - Umur: anak-anak dan dewasa.

    - Jenis kelamin: frekuensi sama pada pria dan wanita.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    - Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higien yang buruk.

    - Faktor predisposisi: DM, obesitas, dan hiperhidrosis.

    - Lingkungan: yang kotor dengan berdebu mempengaruhi penjalaran penyakit.

    Gejala klinik

    Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: keluhan berupa

    nyeri pada lesi dan malaise. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu singkat

    membesar menjadi nodus-nodus eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada tempat

    rambut keluar tampak bintik putih sebagai mata bisul. Nodus-nodus tadi akan melunak

    menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minoris resitensie yaitu muara folikel.

    Pemeriksaan kulit

    - Lokalisasi: tengkuk, punggung, dan bokong.

    - Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular

    hingga nummular, regional, bentuk teratur dan tampak fistula mengeluarkan secret

    putih/kental.

    Gambaran histopatologi

    Berupa abses yang dalam, dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada

    folikel rambut. Pada bagian folikel rambut yang terdapat di jaringan subkutan, abses

    dapat mengandung stafilokok.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 25

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium

    1. Pemeriksaan darah: leukositosis.

    2. Pemeriksaan bakteriologik secret lesi.

    Diagnosis banding

    1. Sporotrikosis: nodula berjejer sepanjang aliran limfe.

    2. Blastomikosis: nodula kronik dengan multiple fistula.

    3. Akne konglobata: selain dipunggung, nodula-nodula merah hitam tampak di daerah

    wajah dan lengan, menyebar di satu region.

    Penatalaksanaan

    - Umum:

    Usaha untuk mengatasi faktor predisposisi seperti obesitas, DM dan hiperhidrosis.

    Menjaga kebersihan dan mencegah luka kulit.- Khusus:

    Topikal: jika masih infiltrate diberi salep iktiol 10%; jikalesi matang lakukan insisi dan aspirasi, dipasang drainase lalu dikompres.

    Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg selama 7-14 hari, pensilin 600.000 IU selama 5-10 hari.

    Antibiotika yang masih sensitive memberikan hasil yang memuaskan seperti

    sefalosporin atau gilongan kuinolon.

    Prognosis

    Baik, jika faktor predisposisi dapat diatasi. Prognosis menjadi kurang baik jika terjadi

    rekurensi.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 26

    VI. Eritrasma

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit eritrasma.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit eritrasma.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit eritrasma.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya eritrasma.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari eritrasma.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis eritrasma.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit eritrasma.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit eritrasma.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit eritrasma.LKPP

    UNHA

    S

  • 27

    VII. Eritrasma

    Definisi :

    Infeksi bakteri superfisial

    Gejala Klinis :

    Gatal, eritem, rasa panas, dapat disertai ekskoriasi dan likenifikasi

    Faktor Pencetus :

    Kegemukan, peminum

    alkohol, cuaca lembab,

    higiene buruk

    Histopatologi :Hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, serta pelebaran pembuluh darah dan sebukan sel-sel polinuklear.

    Etiologi :

    Corynebacterium minutissimum

    Terapi :

    Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,simptomatik

    Komplikasi : Prognosis :

    Baik

    ERITRASMALK

    PP

    UNHA

    S

  • 28

    Definisi : eritrasma adalah infeksi bakteri superficial pada kulit yang ditandai dengan

    makula merah kecoklatan dengan batas ireguler dan terjadi sering pada daerah lipatan.

    Penyebab dan epidemiologi : Penyebab : Corynebacterium minutissimum

    Umur : Dewasa muda

    Jenis kelamin : Frekuensinya sama pada pria dan wanita

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

    Orang-orang yang banyak keringat, kegemukan, peminum alkohol lebih sering terkena

    penyakit ini.

    Daerah/musim/iklim : Daerah beriklim panas lebih sering daripada daerah dingin.

    Kebersihan/higiene : Higiene buruk berperan penting dalam menimbulkan penyakit.

    Lingkungan : Panas dan lembab mempermudah timbulnya penyakit.

    Gejala Klinik

    Di awali dengan rasa gatal pada daerah genitocrural lalu menjadi eritema, teraba panas.

    Dapat juga disertai ekskoriasi dan likenifikasi.

    Pemeriksaan kulit:

    Lokalisasi : Lipat paha bagian dalam sampai skrotum, aksila, dan intergluteal

    Efloresensi/sifat-sifatnya: Eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan

    terkadang erosif.

    Gambaran histopatologi: Hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, serta pelebaran

    ujung-ujung pembuluh darah dan sebukan sel-sel polinuklear.

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium:

    1.sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram, tampak batang gram positif.

    2.sinar wood: fluoresensi merah bata.

    Diagnosis banding:

    1.Tinea kruris: Biasanya gatal dengan papula-papula eritematosa

    2.Kandidiasis: eritema dengan lesi satelit, erosif dan gatal.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 29

    Penatalaksanaan:

    Pada eritrasma local, pada daerah kaki dapat dicuci dengan benzoil peroksida dan gel 5 %

    efektif pada banyak kasus. Clindamycin solution atau azole krim juga merupakan agen

    topikal yang efektif.

    Sistemik: eritromosin 15 mg/kg BB, 4 kali sehari selama 5-10 hari. Claritromycin 1 gr

    dosis tunggal

    Prognosis: Baik

    LKPP

    UNHA

    S

  • 30

    VII. Erisipelas

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit erisipelas.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit ersipelas.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit erisipelas.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya erisipelas.

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari erisipelas.

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis erisipelas.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit erisipelas.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit erisipelas.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit erisipelas.LKPP

    UNHA

    S

  • 31

    VIII. Erisipelas

    Definisi :

    Peradangan akut pada kulit yang disebabkan streptococcus

    Gejala Klinis :

    Luka kecil kemudian menjadi kemerahan, edema,berbatas tegas dan nyeri tekan

    Faktor Pencetus :

    Higiene kurang

    DM atau malnutrisiHistopatologi :Epidermis edematosa, dengan sebukan sel PMN, dermis dilatasi pembuluh darah Etiologi :

    Streptococcus hemolyticus

    ERISEPELAS

    Terapi :

    Topikal : Kompres , antibiotic topikalSistemik : Antibiotik,analgetik,antipiretik

    Komplikasi :

    Bakterimia

    Prognosis :

    Baik

    LKPP

    UNHA

    S

  • 32

    Definisi: Adalah peradangan akut pada kulit yang disebabkan streptokok dengan gejala

    utama kemerahan kulit.

    Penyebab dan epidemiologi:

    Penyebab: Streptococcus hemolyticus

    Umur: Banyak pada anak-anak dan dewasa

    Jenis kelamin: Frekuensinya sama pada pria dan wanita

    Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti;

    Kebersihan/higiene: Orang-orang dengan kebersihan dan higiene yang kurang lebih

    mudah terkena.

    Faktor predisposisi: Diabetes mellitus, infeksi saluran napas atas gizi kurang lebih mudah

    di serang

    Gejala singkat penyakit:

    Lesi di mulai dengan luka-luka kecil di kulit selanjutnya lebih menjadi merah cerah,

    berbatas tegas, edema dan nyeri tekan. Terasa panas pada perabaan, di bagian tengah

    terkadang ditemukan vesikel atau bula, pada tempat masuk kuman.

    Pemeriksaan kulit:

    Lokalisasi: Kaki, tangan dan wajah

    Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa nummular hingga plakat, berbatas tegas,

    edematosa, panas pada perabaan dan nyeri tekan. Pada bagian tengah di temukan vesikal

    miliar atau bular lentikular.

    .

    Gambaran histopatologi: Epidermis tampak edematosa, sel-sel membengkak dan dan

    sebukan sel inflamasi serta polimorfonuklear. Pada dermis pelebaran pembuluh darah dan

    sabukan sel-sel radang.

    Pemeriksaan pembantu/laboratorium:

    1.Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis.

    2.Biakan darah, usapan tenggorok dan hidung dapat diisolasi streptokok beta hemolitik.

    Diagnosis banding:

    1.Urtikaria: warna merah akan menghilang pada penekanan

    2.Flurunkulosis: biasanya nyeri, berbentuk kerucut dan berbatas tegas.

    Penatalaksanaan:

    LKPP

    UNHA

    S

  • 33

    Sistemik : antipiretik dan analgetik.

    Penisilin 0,6-1,5 mega unit selama 5-10 hari

    Sefalosporin 4x400 mg selama 5 hari member hasil yang buruk.

    Topikal: kompres dengan larutan asam borac 3%

    Prognosis: Baik

    Referensi

    1. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Superficial Cutaneus

    Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Godlsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks

    Dermatology in General Medicine 7th ed. USA: McGraw-Hills; 2008. p. 1732-37

    2. Siregar,RS. Saripati Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 2. ECG.Jakarta.2003.p.45-67

    3. Hay RJ, Adriaans BM Bacterial Infections In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

    Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology Volume 1-4 7th ed. UK: Blackwell

    Publishing; 2004. p. 27.1-27.21

    LKPP

    UNHA

    S

  • 34

    VIII. Hidradenitis Supuratif

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit hidradenitis supuratif.

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit hidradenitis supuratif.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit hidradenitis supuratif.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya hidradenitis supuratif

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari hidradenitis supuratif

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis hidradenitis supuratif.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit hidradenitis

    supuratif.

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit hidradenitis supuratif.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit hidradenitis supuratifLKPP

    UNHA

    S

  • 35

    HIDRAADENITIS SUPURATIVA

    Defenisi

    Patogenesis :

    Inflamasi sekitar folikel rambut Rupture folikel keratin dan bakteri formasi abses

    Definisi :

    Infeksi kelenjar Apokrin

    Gejala Klinis :

    nodul yang nyeri, blind boils pada lesi awal, abses, sinus, scar

    Etiologi &Faktor Pencetus :

    Genetik, hormonal, faktor host, pakaian ketat

    Histopatologi :

    Oklusi inflamasi,nekrosis sebaceous,apocrinitis

    HIDRAADENITIS SUPURATIF

    Terapi :

    Antibotik , Kortikosteroid, Pembedahan

    Komplikasi :

    Selulitis, fistula, lmphedema

    Prognosis :

    Kualitas hidup terganggu

    LKPP

    UNHA

    S

  • 36

    Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit yang mengenai kelenjar apokrin yang

    menuju ke kulit. Ditandai dengan adanya nodul bulat yang berulang, nyeri, yang dapat

    membentuk abses dan sinus dengan supurasi dan jaringan parut hipertrofik dari kelenjar apokrin.

    didefinisikan hanya dengan gambaran klinis dan kronisitasnya, tidak ada gambaran patologis

    yang khas

    Epidemiologi

    HS umumnya terjadi pada dewasa muda. Rasio jenis kelamin diperkirakan: wanita tiga kali lebih

    sering terkena, di genito-femoralis sementara ada dominasi yang jelas laki-laki di daerah peri-

    anal, di daerah aksila rasionya sama.

    Etiologi dan faktor resiko

    Genetik Riwayat keluarga pada 30% sampai 40% dari pasien. Pola dominan autosomal

    telah dilaporkan dan hubungan untuk lokus pada kromosom 1p21.1-1q25.3 telah

    dilaporkan dalam keluarga.

    Hormonal Premenstrual, perempuan lebih dominan dan sering terjadi setelah menarche,

    peningkatan selama kehamilan menarik perhatian terhadap faktor hormonal dan hipotesis

    sindrom hiperandrogenik. Ketiadaan tanda-tanda klinis virilism, yang menunjukkan

    normalitas sirkulasi androgen, tidak adanya hyperseborrhea, dan efek terbatas dari

    perawatan anti-androgen, menyingkirkan peran hiperandrogenism. Penelitian case

    control menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan dalam kadar hormon serum

    pasien HS. Hubungan antara HS dan hiperandrogenisme sebagian besar didasarkan pada

    temuan bahwa indeks androgen bebas meningkat karena tingkat hormone-binding

    globulin yang rendah , yang dipengaruhi oleh berat badan.

    ImunologiTidak ada data yang kuat yang dapat menjelaskan pada faktor-faktor tersebut berperan

    tetapi hubungan dengan penyakit Crohn memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut.

    Faktor host

    LKPP

    UNHA

    S

  • 37

    Suatu penelitian case control yang meneliti 302 pasien telah mengkonfirmasi bahwa

    merokok dan kelebihan berat badan merupakan dua faktor utama yang terkait dengan HS. Fakto-

    faktor non-genetik ainnya seperti penggunaan antiperspirant, bedak dan deodoran, hair removal

    dengan pisau cukur silet telah dikesampingkan. Pakaian ketat dapat menyebabkan

    ketidaknyamanan dapat dipertimbangkan.

    Patogenesis

    Berdasarkan gambaran histologis, HS merupakan penyakit inflamasi yang terjadi sekitar folikel

    rambut. Rupture folikel menyebabkan keluarnya kerarin dan bakteri sepanjang dermis yang

    mneyebabkan respon kemotaktik dan terbentuknya formasi abses, yang kemudian sel epitel

    folikuler ini menuju ke saluran sinus. Genetik mungkin berkontribusi, dilaporkan lebih sering

    terjadi pada kelainan genetik yang diturunkan autosomal dominan.

    Gejala Klinik

    Kriteria Diagnostik diadopsi dari Congress of HSF Foundation 2009

    1. Lesi tipikal , yaitu nodul yang nyeri, blind boils pada lesi awal, abses, sinus, scar dan

    tombstones dengan komedo terbuka pada lesi sekunder.

    2. Topografi tipikal, yaitu aksila, pangkal paha, perineum dan perianal, bokong, lipatan mammae

    infra dan intermamae.

    3. Kronisitas dan kambuh.

    Ketiga kriteria harus dipenuhi untuk menegakkan diagnostik.

    Pemeriksaan histopatologis

    HS awalnya digambarkan sebagai penyakit kelenjar apokrin; Studi histologis mengungkapkan

    bahwa lesi awal diamati pada lesi yang dipotong menunjukkan folikel dengan keratinisasi

    infundibular,

    mengarah ke gambar histologis yang sesuai dengan oklusi inflamasi (infiltrasi limfositik awal

    menjadi kronis infiltrat inflammatory histiosit yang mengandung dan sel raksasa terkait dengan

    fragmen keratin) dan nekrosis sebaceous dan / atau kelenjar keringat adalah fenomena sekunder.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 38

    Namun, Jemec et al mencatat bahwa pemeriksaan histopatologi lanjut mengungkapkan

    apocrinitis utama dalam 5% dari semua kasus non-infundibular epitel keratin dan non-keratin HS

    lesi telah terbukti sama dengan yang diamati di luar selubung akar menunjukkan partisipasinya

    dalam patogenesis HS.

    Diagnosis Banding

    Karbunkel dan Furonkulosis

    Infeksi kelenjar bartholini

    IInfeksi kista epidermal

    Lymphogranuloma venereum , Scrofuloderma, Actinomyces

    Fistula yang berkembang

    Nodular acne and pilonidal kista

    Terapi

    Pengobatan berdasarkan klasifikasi Hurley

    Grade I : Formasi abses, tunggal atau multiple tanpa keterlibatan saluran sinus dan dapat

    sembuh kembali

    Grade II : Abses berulang dengan pembentukan saluran dan dapat menjadi sembuh kembali.

    Tunggal atau multiple , secara luas dipisahkan lesi

    Kelas III : Diffuse atau keterlibatan beberapa saluran sinus yang terkait dan abses di seluruh

    area

    Pengobatan tahap akut

    Beberapa pasien menderita nodul menyakitkan berulang tetapi juga mengalami periode remisi.

    Terapi topikal termasuk antiseptik dan antibiotik dianjurkan oleh beberapa penulis,

    klindamisin topikal telah diklaim efektif dan seefektif tetracycline dalam uji klinis.

    Antibiotik oral dengan tujuan memperpendek durasi nyeri dan menghindari evolusi

    menuju lesi abses. berbagai antibiotik telah digunakan : amoxicilline, cephalosporine,

    clindamycine, rifampisin, M-jenis penisilin. amoksisilin + asam klavulanat

    Steroid intralesional (misalnya triamcinolone (5-10 mg) telah

    dianjurkan. Involusi yang cepat (12-24 jam) dari lesi awal mungkin diperoleh

    LKPP

    UNHA

    S

  • 39

    dosis tinggi steroid sistemik dapat digunakan untuk mengurangi peradangan

    dan nyeri. Mereka dapat digunakan sebagai alternatif untuk dosis tinggi

    antibiotik yang mencegah evolusi lesi menjadi abses atau sebagai tambahan dengan

    antibiotik. Dan ditappering dengan cepat.

    Untuk abses, yaitu ketika lesi mengalami fluktuasi, penuh cairan, dan terapi medis tidak efektif ,

    seharusnya tidak menunda untuk dilakukan prosedur drainase bedah (insisi).

    2. Tahap Kronik

    - Antibiotik : Untuk pasien dengan derajat peradangan dan nyeri yang hebat serta discharge yag

    banyak, regimen kombinasi klindamisin dan rifampicin selama 10 minggu sangat berguna.

    - Zinc salts dosis tinggi (90 mg of Zinc gluconate , yang digunakan untuk acne) telah terbuti

    efektif dalm penelitian singkat

    - Metronodazole pada kasus dengan discharge yang berbau dapat membantu

    - Dapson telah digunakan dan memberikan hasil yang baik

    - Radioterapi : Beberapa kasus dilaporkan diberikan radioterapi dan memberikan hasil yang baik

    Pengobatan Bedah

    Petunjuk utama untuk hasil yang baik dan permanen adalah pemetaan saluran sinus dan fistula,

    biasanya dilakukan selama intervensi bedah.

    Lokal excisions dan penutupan primer: Ketika tingkat keterlibatan kulit terbatas, terutama dalam

    hal kekambuhan abses dan nanah di lokasi yang sama, lokal eksisi dapat dilakukan.

    Exteriorization merupakan terapi alternatif, kekambuhan mungkin terjadi.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 40

    Radikal eksisi dan penyembuhan sekunder atau graft. Ini merupakan pilihan terbaik dalam tahap

    III.

    Komplikasi

    - Infeksi akut yang meluas seperti selulitis atau infeksi sitemik sangat jarang terjadi

    - Pembentukan fistula ke dalam uretra, kandung kemih, rektum, atau peritoneum.

    - Konsekuensi dari supurasi kronis dapat mencakup anemia, hypoproteinemia, amiloidosis

    - Arthropathy Peripheral dan aksial. - Kronis malaise dan depresi

    - Obstruksi limfatik dan lymphoedema anggota badan, elephantiasis skrotum

    - Karsinoma sel skuamosa pada lokasi perineum dan gluteal

    Prognosis

    Perubahan yang mendalam dari kualitas hidup diamati bahkan pada kasus ringan. Sebuah studi

    dari 114 pasien dengan HS menggunakan indeks DLQI mencatat nilai sangat tinggi terutama

    untuk pertanyaan 1 mengukur tingkat rasa sakit, gatal dan nyeri. Sebuah studi baru-baru ini dari

    61 pasien dengan HS menggunakan beberapa kualitas hidup kuesioner menunjukkan bahwa

    penurunan kualitas hidup di setiap 'dimensi' secara statistik lebih tinggi ( P

  • 41

    IX. Morbus Hansen (MH)

    Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,

    patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

    penyakit Morbus Hansen (MH).

    Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

    1. Menyebutkan tentang penyakit Morbus Hansen.

    2. Menjelaskan penyebab dari penyakit Morbus Hansen.

    3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Morbus Hansen

    4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Morbus Hansen

    5. Menjelaskan diferensial diagnosis Morbus Hansen.

    6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit Morbus Hansen

    7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit Morbus Hansen.

    8. Menjelaskan komplikasi penyakit Morbus HansenLKPP

    UNHA

    S

  • 42

    MORBUS HANSEN

    Patogenesis

    kerusakan saraf dibagi 3 bentuk:

    1. Lesi intrafasikuler;

    2.Lesi intraneural-ekstrafasikuler;

    3. Lesi ekstraneural.

    Gejala Klinis

    Ada 3 tanda kardinal:

    1. lesi kulit yang anestesi;

    2. penebalan saraf perifer;

    3. ditemukannya M.leprae.

    Histopatologi

    Ditemukan basil tahan asam

    Definisi

    penyakit infeksi granulomatosamenahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M.leprae.

    Triger Faktor

    Etiologi

    M. leprae

    KUSTA

    Terapi

    Dapson

    MDT

    Golongan flukinolon, etionamid/protionamid, golongan tiourea, ROM

    Imunoterapi

    Komplikasi

    Kecacatan

    Prognosis

    Dubia

    LKPP

    UNHA

    S

  • 43

    Definisi

    Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosamenahun yang disebabkan oleh

    organisme intraseluler obligat M.leprae. Awalnya, kuman ini menyerang susunan saraf tepi, lalu

    menyerang kulit, mukosa, saluran napas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis.

    Klasifikasi

    Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi

    Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,

    dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe

    yaitu:

    1. Tipe Tuberkuloid(TT);

    2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT);

    3. Tipe Borderline (BB);

    4. Tipe Borderline Lepromatous (BL);

    5. Tipe Lepromatous (LL).

    Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk pemberantasan penyakit kusta, maka WHO

    mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit dan

    pemeriksaan apusan lesi kulit, yaitu:

    1. Tipe Pausibasiler (PB) terdiri atas tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (TT), Borderline

    Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan

    asam (BTA) negatif.

    2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL),

    Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA

    positif.

    Dalam program pemberantasan penyakit kusta nasional di Indonesia, maka Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia 1991 mengambil kebijaksanaan dalam penyederhanaan metode

    pelaksanaan pengobatan kombinasi bahwa sarana laboratorium tidak mutlak harus ada melainkan

    cukup hanya berdasarkan atas gambaran klinis. Bila klasifikasi meragukan maka penderita kusta

    digolongkan dalam klasifikasi MB.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 44

    Gambaran Klinis

    Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang

    lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah

    seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis

    dan memerlukan suatu pengobatan.

    Bagian tubuh yang dingin seperti saluran napas, testis, bilik mata depan dan kulit terutama

    cuping telinga dan jari merupakan daerah yang biasa terkena. Bagian tubuh yang dingin tidak

    hanya karena pertumbuhan optimal M.leprae pada suhu rendah tetapi mungkin juga karena

    kurangnya respon imunologi akibat rendahnya suhu pada daerah tersebut.

    Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada:

    1. multiplikasi dan diseminata kuman M.leprae;

    2. respon imun penderita terhadap kuman M.leprae;

    3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

    Ada 3 tanda kardinal yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari

    penyakit kusta yakni:

    1. lesi kulit yang anestesi;

    2. penebalan saraf perifer;

    3. ditemukannya M.leprae.

    Lesi Kulit yang Anestesi

    Makula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba, rasa

    sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna berupa

    lesi hipopigmentasi atau eritem dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.

    Penebalan Saraf Perifer

    Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah

    endemik kusta temuan ada-nya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk menegakkan

    diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan latihan yangterus-menerus cara meraba saraf dan

    pada saat pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.Penebalan saraf (awal biasanya asimetri)

    pada daerah yang berdekatan dengan lesi kulit seperti aurikular, ulnar, radial, peroneal

    superfisial, dan tibial posterior. Penebalan saraf ini dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri

    dan menyebabkan gangguan sensoris dan motoris pada saraf yang terkena.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 45

    Terdapat M.leprae

    M.lepraedimasukkan dalam genus Mycobacterium, famili Mycobacteriaceae, ordo

    Actinomycetales, klas Schyzomycetes. Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya

    berbentuk paralel dengan kedua ujungnya bulat; ukuran panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm.

    Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang Gram positif, tidak bergerak, dan tidak

    berspora.

    Dengan mikroskop elektron kuman ini akan terlihat gambaran ultrastruktur yang umumnya sama

    dengan mikobakteria lain. M.leprae terdiri atas:

    - Kapsul: terdiri atas 2 macam lemak yaitu phthiocerol dimycerosate, lemak yang berperan

    sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1), lemak dengan 3 molekul gula metilat

    yang melekat pada molekul fenol pada lemak phthiocerol. Pada imunofluoresensi tidak

    langsung didapatkan lokasi PGL1 ini yaitu pada permukaan M.leprae. Kapsul lemak akan

    melindungi bakteri dari efek toksis enzim lisosom dan metabolit oksigen reaktif lainnya dalam

    makrofag host. Adanya ikatan trisakarida spesifik pada PGL1 terhadap laminin-2 lamina

    basalis sel schwann saraf menyebabkan M.leprae dapat memasuki sel saraf perifer.

    - Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri atas 2 lapisan yaitu:

    a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang

    arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang

    ditemukan pada mikobakterium lain serta kompleks protein lipopolisakarida.

    b). Lapisan dalam: terdiri dari peptidoglikan yang berbeda dengan peptidoglikan mikobakteria

    lainnya, dimana L-alanin diganti dengan glisin.

    Dinding sel yang berhubungan dengan lipoprotein ini berikatan dengan Toll-like receptor 2/1 yang

    berperan dalam inisiasi respon host terhadap invasi M.leprae.

    - Membran sel: berada dibawah dinding sel, penting untuk transportasi molekul ke dalam dan ke

    luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari lemak dan protein.

    - Sitoplasma: merupakan isi sel dan terdiri dari granul-granul cadangan, DNA, dan RNA.

    Port of exit M.leprae

    Yang dimaksud port of exit adalah tempat di mana M.leprae keluar dari tubuh manusia yaitu

    kulit dan mukosa hidung. Masih diperdebatkan apakah M.leprae terdapat pada deskuamasi sel

    epitel kulit yang intak, namun yang jelas bahwa M.leprae dikeluarkan dari kulit yang terluka,

    LKPP

    UNHA

    S

  • 46

    cairan/discharge yang keluar dari ulkus penderita dan melalui kelenjar keringat dan kelenjar

    sebasea. Mukosa nasal melepaskan pa-ling banyak M.leprae di mana mampu melepaskan 10

    miliar organisme hidup per hari dan mampu hidup lama di luar tubuh manusia sekitar 7-9 hari di

    daerah tropis.

    Pada saat berbicara, batuk dan bersin, M.leprae juga dikeluarkan dari penderita di mana sekali

    bersin mampu melepaskan 110.000 basil. Penularan melalui droplet infeksi memegang peranan

    yang cukup besar, di samping penularan melalui kontak erat dari kulit ke kulit.

    Darah penderita kusta juga mengandung banyak M.leprae. Pada penderita kusta tipe lepromatosa

    mengandung lebih dari 105 bakteri per mililiter darah.

    Feses penderita kusta juga dikatakan mengandung M.leprae yang hidup dan dianggap mungkin

    bisa menular.

    Pada wanita hamil penderita kusta lepromatosayang belum diobati, sejumlah besar bakteri dapat

    melewati plasenta dan menginfeksi janin yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dengan

    tingginya kadar IgA anti M.leprae pada janin dari ibu yang menderita kusta, yang menunjukkan

    adanya paparan bakteri pada janin yang akan merangsang respon imun janin. IgA mendeteksi

    reaksi imunologi janin terhadap paparan bakteri karena IgA tidak dapat melewati plasenta,

    sedangkan yang dapat melewati plasenta adalah IgG.Air susu dinyatakan sebagai sumber

    pelepasan M.leprae, walaupun kemungkinan penularan kepada bayi sampai saat inimasih

    dipertanyakan. Sekali minum air susu ibu yang menderita kusta tipe lepromatosa bayi akan

    meminum sebanyak lebih kurang 2 miliar bakteri. Walaupun belum ada studi epidemiologi yang

    menyebutkan apakah bayi yang minum air susu yang mengandung begitu banyak bakteri akan

    menderita kusta. Penularan terhadap bayi melalui air susu pada penderita kusta yang telah diberi

    pengobatan dapson/DDS tidak perlu dikhawatirkan, karena DDS dapat membunuh bakteri dalam

    air susu dalam beberapa minggu. Di samping itu, obat tersebut juga disekresikan melalui air susu

    satu atau dua jam setelah ibu meminumnya, sehingga bayi secara tidak langsung juga mendapat

    terapi profilaksis.

    Port of entry M.leprae

    Port of entry adalah tempat masuknya kuman M.leprae ke dalam tubuh manusia. Ada beberapa

    cara masuk M.leprae ke dalam tubuh yaitu:

    - Penularan melalui kontak

    LKPP

    UNHA

    S

  • 47

    Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama dan berulang. M.leprae terutama

    memasuki tubuh manusia melalui lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan bahwa

    penularan melalui kulit yang intak juga mungkin tetapi lebih sulit. Menggunakan pakaian

    pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi kemungkinan penularan kusta pada negara

    berkembang di mana kusta masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup pada lingkungan

    diluar tubuh manusia/tanah selama lebih dari 46 hari.

    - Penularan melalui inhalasi

    Penularan melalui saluran pernapasan yaitu percikan ludah, di mana M.leprae tidak

    mengakibatkan lesi pada paru-paru karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung

    masuk ke aliran darah. Dari aliran darah M.leprae kemudian dapat mencapai saraf tepi dan

    difagosit sel schwann dan bermultiplikasi di dalamnya.

    - Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan

    Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengan-dung sangat banyak bakteri yang hidup,

    namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu yang menderita kusta lepromatosa

    hanya setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal ini menunjukkan

    bahwa penularan melalui air susu masih dipertanyakan.

    - Penularan melalui gigitan serangga

    Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga. Untuk terjadinya penularan, ada

    3 hal yang diperlukan:

    1. Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak;

    2. Adanya makanan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat ditularkan kepada host;

    3. Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.

    Tipe Tuberkuloid (TT)

    Lesiini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesikulit bisa satu atau beberapa dengan ukuran 3-30

    cm, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi

    yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi

    bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang

    biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Anestesi atau hiperestesi merupakan

    karakteristik mayor pada tipe ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Tipe TT ini sering

    menyebabkan kecacatan yang berat. Adanya infiltrasi tuberkuloiddan kurang atau tidak adanya

    LKPP

    UNHA

    S

  • 48

    basil merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

    Granulomaepiteloidini terdapat pada sebagian besar atau seluruh dermis yang dikelilingi oleh

    infiltrasi limfosit yang meluas. Granulomasering meluas ke sel basal epidermis sehingga tidak

    ada daerah clear zone dan dapat berpenetrasi ke dermis bagian bawah. Pada berkas saraf dapat

    terjadi nekrosiskaseosaatau fibrinoiddi daerah dermis. Banyak sel raksasa langhans yang

    dikelilingi oleh limfosit dalam perineurium. Pada penderita dengan tipe ini biasanya hasil

    Mitsuda positif kuat dan uji in vitro untuk SIS pada M.leprae positif pada sebagian besar kasus.

    BTA tidak ditemukan, tetapi dapat ditemukan dalam jumlah yang kecil dengan biopsi pada tepi

    lesiyang aktif.

    Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

    Lesipada tipe ini menyerupai tipe TT yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai

    lesisatelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipo-pigmentasi,

    kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe TT, adanya gangguan saraf tidak

    seberat pada tipe IT, biasanya asimetris. Lesisatelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

    yang menebal. Sitologi dan komposisi dari granuloma biasanya susah dibedakan dengan tipe TT,

    tetapi ini bisa dilihat dengan adanya zona subepidermal walaupun sangat sempit. Granuloma

    dapat dibedakan dengan tipe BB dengan melihat adanya limfosit pada zona perifer atau adanya

    sel raksasa langhans yang kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang banyak. Sel makrofag

    menunjukkan derajat yang bervariasi mulai dari diferensiasi epiteloidsampai sel raksasa. BTA

    didapat dalam jumlah sedikit 0,1 atau 2 + di dalam granuloma, dan biasanya 1+ sampai 3+ pada

    serabut saraf yang terkena. Uji lepromin positif tetapi tidak terlalu kuat. Merupakan tipe yang

    paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik

    dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesidapat berbentuk makula infiltrat. Permukaan lesidapat

    mengkilat, batas lesikurang jelas dengan jumlah lesiyang melebihi tipe BT dan cenderung

    simetris. Lesisangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan

    adanya lesi punched-outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang

    merupakan ciri khas tipe ini.

    Yang paling spesifik yaitu adanya sel epiteloidyang difus dan tersebar ke dalam granulomadan

    tidak terfokus dalam zona sel epiteloid, sel epiteloidmenjadi lebih besar tetapi tidak seberat pada

    tipe BT, tanpa sel raksasa Langhans. Limfosit sedikit dan berkelompok. Mulai nampak daerah-

    LKPP

    UNHA

    S

  • 49

    daerah epidermal clear zone. Saraf tampak normal, perineuriummeng-adakan laminasi. BTA 3+

    sampai 4+. Reaksi Mitsuda negatif dan uji transformasi limfosit sangat lemah atau negatif.

    Tipe Borderline Lepromatous (BL)

    Secara klasik lesidimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat

    menyebar ke seluruh badan. Makulalebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih

    kecil, papul dan noduslebih tegas dengan distribusi lesiyang hampir simetris dan beberapa

    nodusnampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesibagian tengah se-ring nampak normal

    dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak

    seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,

    berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibanding tipe LL dengan

    penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi. Tampak bentuk granuloma dari

    makrofag yang tidak berdiferensiasi. Vakuolisasisel sedikit dan dapat ditemukan sedikit

    makrofagdengan sel busa dan dapat dengan atau tanpa sel busa. Biasanya uji Mitsuda negatif.

    Basil tahan asam dapat mencapai 3+ sampai dengan 4+.

    Tipe Lepromatous (LL)

    Jumlah lesisangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak

    tegas dengan tepi yang kabur dan cenderung menyatu serta tidak ditemukan gangguan anestesi

    dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesikhas yakni di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping

    telinga sedang di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan

    permukaan ekstensor tungkai bawah. Nodul dan papul yang merupakan karakteristik pada tipe

    LL biasanya berjumlah banyak. Nodul tersebut terutama terdapat pada cuping telinga.

    Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka

    menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosisyang dimulai

    pada bagian lateral alis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitaspada hidung.

    Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.

    Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.

    Bila penyakit ini menjadi progresif, makula dan papula baru muncul sedangkan lesi yang lama

    menjadi plakat dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer meng-alami

    degenerasi hialinatau fibrosisyang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot-otot tangan dan

    LKPP

    UNHA

    S

  • 50

    kaki. Tampak granulomamakrofagtanpa sel epiteloid dan sangat sedikit limfosit. Ditemukan

    granulomayang terdiri atas histiosit yang menunjukkan perubahan degenerasi lemak yang

    bervariasi dengan dibentuknya sel-sel busa. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa atau

    vakuolisasi disebut sebagai sel Lepra atau sel virchow. Potongan saraf yang nampak berbentuk

    kulit bawang tanpa infiltrasi sel atau dapat normal. BTA mencapai 5+ sampai 6+. Uji Mitsuda

    negatif.

    Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi

    diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I) yang merupakan stadium

    awal kusta yang terdiri atas lesi hipopigmentasiatau eritem dengan sisik yang sedikit dan dapat

    saja masih sensitif. Lokalisasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,

    kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini

    hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologisdidapatkan basilatau terdapat

    infiltrat di sekitar saraf. Pada 20-80% kasus penderita kusta, tipe ini merupakan tanda pertama.

    Sebagian besar akan sembuh spontan. Secara histopatologis tidak dapat dibedakan dengan

    dermatitis kronik, bila didapatkan kepadatan sel meningkat pada satu berkas saraf (perineural

    cuffing) maka ini bersifat spesifik. Basil tahan asam tidak didapatkan atau hanya sedikit. Bila

    hanya ditemukan sebukan sel makrofagyang banyak maka kemungkinan perkembangan akan ke

    arah tipe LL, sedangkan bila didapatkan beberapa granuloma sel epiteloidmaka perkembangan

    ke arah tipe TT.

    Etiologi/Patofisiologi Kerusakan Saraf

    Etiologi/patofisiologi kerusakan saraf dapat dibagi dalam 3 bentuk:

    1. Lesi intrafasikuler;

    2. Lesi intraneural-ekstrafasikuler;

    3. Lesi ekstraneural.

    1. Lesi intrafasikuler

    Lesiintrafasikulerdiakibatkan oleh pengaruh basil secara langsung pada sel schwann. Ini

    merupakan tanda khas tipe lepromatosawalaupun tidak semua kerusakan saraf pada tipe L

    disebabkan oleh infiltrasi basil. Serangan saraf tersembunyi dan lambat walaupun terjadinya

    LKPP

    UNHA

    S

  • 51

    sangat dini dan menimbulkan gangguan fungsi saraf yang berat. Keadaan ini dapat berlangsung

    tanpa rasa nyeri sebagai gejala awal suatu neuritisakut. Pada batang saraf yang mengalami

    infiltrasi basil, terbentuk sikatriksyang menyebabkan fibrosisdan saraf kaku seperti tali. Saraf

    tidak menebal, tetapi ada gangguan konduksi. Pada keadaan reaksi (tidak tergantung derajat

    kerusakan saraf sebelumnya) dapat timbul nyeri saraf akut akibat kompresi intra neuralyang

    cepat atau fenomena ekstraneural.

    2. Lesi Intraneural-Ekstrafasikuler

    Epineuronsering mengalami proliferasifibrosasehingga saraf menebal dan kaku. Dalam keadaan

    reaksi kusta oleh karena fenomena imun, terjadi gejala radang pada batang saraf berupa edema

    interfasikuleryang sangat nyeri. Fungsi saraf tiba-tiba berkurang. Fibrosisepineuralmencegah

    perluasan sekunder dari edemainterfasikuler, meningkatkan tekanan intraneural, dan

    menimbulkan kerusakan saraf. Terjadi obliterasivaskulerdan iskemibatang saraf yang telah

    mengalamivaskulitis leprosayang khas memperberat pengurangan fung-si saraf.

    Pada tipe T, fenomena imunyang hebat dan iskemisaraf setempat dianggap miielinyang

    bertanggung jawab untuk terjadinya nekrosis kaseosayang disebut absessaraf. Neuritisakut

    setempat pada batang saraf yang tidak berfungsi dan telah mengalami fibrosisdapat

    menimbulkan nyeri hebat dan kadang-kadang perlu tindakan operasi. Saraf bengkak dan mielin

    mionalmeninggi, tetapi tidak memberikan gejala-gejala saraf di bagian distalnya.

    3. Lesi Ekstraneural

    Lesi ekstraneuralterjadi karena penekanan dalam saluranosteofibrosadan jalan mielin yang

    sempit seperti epitro-char-olecranon dan guyoncanaluntuk n.ulnaris dan carpal tunnel untuk

    n.medianus, supinator tunneluntuk lengan atas dan alur retromaleolarmedialisdan richet untuk

    n.tibialis posterior. Kerusakan saraf proksimaldari zone saluran osteofibrosa(tunnel). Diagnosis

    berdasarkan gejala nyeri atau iritatif saraf (parestesi) pada lokasi tersebut.

    Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh:

    a. menurunnya isi (fibrosis mielin, mikrohematomoleh karena trauma) jarang terjadi;

    b. meningkatnya isi (edemadan pembengkakan saraf).

    LKPP

    UNHA

    S

  • 52

    Gangguan keseimbangan dan sirkulasi darah yang tiba-tiba dalam saluran yang disebutkan di

    atas, kongesti pasif dan bertambahnya edemamenyebabkan iskemi. Mula-mula fungsi saraf

    menjadi iritatif, tetapi kemudian berkurang.

    Klasifikasi Kerusakan Saraf

    Terdapat bermacam-macam klasifikasi kerusakan saraf yang didasarkan atas hal-hal berikut:

    1. Perlangsungan klinis: akut, subakut, kronis;

    2. Gangguan fungsi: iritatif, mielin;

    3. Anatomi saraf: ulnaris, medianus, radialis, cabang nervus radialis, tibialis posterior, tibialis

    myelin, aurikularis, supraorbital, poplitea lateralis, dan fasialis;

    4. Topografi: lesitunggal, mielin;

    5. Batas/lokasi kerusakan: cabang subkutan, batang saraf, pleksussaraf.

    1. PerlangsunganKlinis

    Gejala yang timbul pada perlangsungan klinis seperti berikut:

    a. neuropatiakut: terjadi nyeri spontan;

    b. neuropatisubakut: timbul nyeri bila dirangsang/palpasi;

    c. neuropatikronis: tidak memberikan keluhan nyeri.

    2. Gangguan Fungsi

    Gejala-gejala periode iritatif seperti berikut:

    a. sensoris: disestesi, parestesi, hiperalgesi;

    b. motoris: fibrilasiotot, kram otot.

    Gejala-gejala periode mielinseperti berikut:

    a. sensoris: hipestesi, anestesi;

    b. motoris: paresis, paralisis. Pada keadaan ini fungsi otot hilang, terjadi atrofidan deformitas;

    hilangnya keseimbangan otot;

    c. otonom: tidak ada keringat karena paralisis.

    3. AnatomiSaraf

    Pada penyakit kusta terdapat predileksikhusus dari saraf-saraf yang diserang, yaitu:

    - N.ulnaris

    - N.medianus

    - N.radialis

    LKPP

    UNHA

    S

  • 53

    - N.peroneus komunis

    - N.tibialis posterior

    - N.fasialis

    Sebab-sebab atau syarat-syarat terserangnya saraf pada predileksiadalah sebagai berikut:

    a. Sarafyangterletaksuperfisialis/subkutan

    M.leprae tumbuh baik pada mielinmionalyang lebih rendah daripada mielinmionaltubuh, yang

    cenderung berkelompok dan memperbanyak diri. Temperatur rendah juga dikatakan

    menghambat transpormielinmionalnormal dalam akson.

    b. Berdekatan dengan tulang dan sendi

    Saraf-saraf yang berdekatan dengan tulang mudah terkena trauma. Demikian juga dengan saraf

    yang berdekatan dengan sendi karena selalu digerakkan akan memperbesar trauma yang sudah

    ada.

    c. Mempunyai kemungkinan konstriksi

    Pembengkakan saraf terjadi proksimaldan tidak jauh dari tempat konstriksi.

    d. Saraf terletak pada titik angulasi

    Titik persilangan saraf dalam kanalisfibroosseus, trauma yang berulang-ulang pada waktu sendi

    difleksikandan diekstensikanmengakibatkan inflamasidan pembengkakan saraf. Sebagai contoh,

    kasus subluksasi n.ulnarisdi atas mielin epikondilus medialisterjadi 6% pada orang normal, tetapi

    pada neuritis leprosaditemukan sebanyak 30%.

    e. Kerusakan saraf disebabkan oleh berbagai reaksi imun

    Pada neuropati tuberkuloiddapat disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap

    antigen M.leprae intra-neural. Adapun pada tipe L, neuropatikompleks imunmemegang peranan

    penting dalam kerusakan saraf, terutama selama reaksi ENL. Namun, belum ada mielin

    mionalterhadap mielinsaraf periferyang diperlihatkan pada penderita kusta.

    Cara/Tempat Masuknya M.leprae ke dalam Saraf

    Masuknya M.leprae ke dalam saraf melalui cara/tempat berikut:

    1. Melalui aksonyang terbuka ke dalam epidermis/dermissuperfisialisdiikuti dengan penembusan

    epitel. Kemudian M.leprae berjalan sepanjang eksoplasma;

    2. Difagositosisoleh sel perineurium, lalu menyeberangi endoneuriumdan sel schwann;

    LKPP

    UNHA

    S

  • 54

    3. Melalui pembuluh darah endoneuralselama bacteriemi. Cara ini kurang penting dibandingkan

    mielinmionalkedua cara di atas.

    Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M.leprae

    1. Pada tipe tuberkuloid: karena infiltrasi M.leprae pada sel schwann, terjadi reaksi radang hebat

    oleh karena reaksi imunologikdi dalamnya, timbul edema, lesi vaskuler, iskemi,

    nekrosis/perkejuan parenkimsaraf (abses).

    2. Sel schwann bukan fagositmielinmional, tetapi fungsi utamanya adalah sintesis mielin.

    3. Sel schwann mempunyai kesanggupan invitro untuk membuat sejumlah besar komponen

    mielin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai oleh M.leprae.

    4. Sel schwann yang mengandung M.leprae dapat menjadi sumber infeksi primer dan persisten

    untuk kebocoran basil/antigen basil yang terus-meneruske dalam sirkulasi, yang bertanggung

    jawab terhadap infeksi yang menetap atau kambuh pada beberapa kasus tipe L.

    5. Sel schwann dari serabut yang tidak bermielinmemperlihatkan afinitasyang lebih besar

    terhadap M.leprae dari- pada serabut yang bermielin.

    6. Mekanisme fagositosisM.leprae oleh sel schwann sama dengan mekanisme

    fagositosismakrofag.

    7. Beberapa bukti baru telah muncul. Suatu glikoprotein(-dystroglican) yang mengikat ke permukaan M.leprae juga terikat pada suatu molekul dipermukaan dari permukaan sel schwann

    dan menyediakan mekanisme potensial untuk internalisasi dari basiloleh sel schwann.

    Diagnosis

    Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan

    pemeriksaan bakteriologik, histopatologik, imunologik, dan lain-lain. Tanda-tanda

    kardinalpenyakit kusta adalah:

    1. anestesi;

    2. penebalan saraf di daerah yang terkena;

    3. adanya lesi-lesikulit;

    4. ditemukannya BTA.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 55

    Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai salah satu dari ketiga tanda

    kardinalyang pertama. Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:

    1. pemeriksaan bakteriologik;

    2. pemeriksaan histopatologik;

    3. pemeriksaan imunologik.

    Pemeriksaan Bakteriologik

    Tujuan pemeriksaan bakteriologikadalah:

    1. membantu menentukan diagnosis;

    2. membantu menentukan klasifikasi;

    3. menilai hasil pengobatan;

    4. mencurigai resistensi terhadap obat.

    Pada pemeriksaan bakteriologik, yang penting adalah perhitungan Indeks Bakteriologi (IB) dan

    Indeks Morfologi (IM). IB, yaitu angka yang menunjukkan banyaknya kuman M.leprae pada

    tiap satuan lapangan tertentu, baik kuman yang mati maupun kuman yang hidup. IB seseorang

    adalah IB rata-rata semua lesiyang dibuat sediaan.

    Kegunaan menghitung IB:

    a. membantu menentukan klasifikasi kusta;

    b. membantu menilai berat ringannya infeksi pada kulit;

    c. membantu mencurigai terjadinya resistensi obat;

    d. untuk mengetahui prognosis penyakit selama pengobatan;

    e. untuk monitoring perjalanan penyakit.

    Pengertian IB menurut Logaritma Ridley:

    Negatif (-) = Tidak ditemukan BTA pada 100 lapangan penglihatan (LP)

    1 (+) = 1 - 10 basil / 100 LP

    2 (+) = 1 - 10 basil / 10 LP

    3 (+) = 1 - 10 basil / 1 LP

    4 (+) = 10 - 100 basil / 1 LP

    LKPP

    UNHA

    S

  • 56

    5 (+) = 100 - 1000 basil / 1 LP

    6 (+) = > 1000 basil / 1 LP

    Perlu dicatat bahwa pada kusta tipe TT, apusan kulit menunjukkan hasil negatif. Apusan kulit

    hanya akan menunjukkan hasil positif apabila pada setiap gram kulit terdapat minimal 10.000

    basil. Oleh karena itu, hasil yang negatif belum tentu menunjukkan penderita sudah sembuh.

    Juga pemeriksaan tersebut ditentukan: IM, yaitu angka yang menunjukkan persentase basilkusta

    utuh (solid) dalam semua basil yang dihitung.

    Kegunaan menghitung IM:

    a. menilai kemajuan pengobatan/efektif obat kusta;

    b. membantu menentukan kemungkinan resistensi obat.

    Dalam berlangsungnya pengobatan, IM lebih cepat berubah dibandingkan dengan IB. IM yang

    naik kembali setelah menurun menunjukkan kemungkinan-kemungkinan antara lain penderita

    tidak makan obat atau ada gangguan absorbsiobat, atau mungkin telah terjadi resistensi

    basilterhadap obat. IM tidak dapat dipakai pada penilaian berat reaksi karena pengobatan MDT

    yang efektif lebih cepat menjadi 0%. Tidak ada korelasi antara IB dan IM dengan berat ENL.

    Pemeriksaan Histopatologik

    Pemeriksaan histopatologikdapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit kusta

    apabila manifestasi klinik dan bakteriologiktidak jelas.

    Pemeriksaan ini dilakukan jika:

    a. diagnosis tidak pasti, misalnya pada tipe indeterminate, pada keadaan demikian biopsiharus

    disertakan kulit yang normal;

    b. untuk menentukan klasifikasi secara tepat;

    c. untuk menentukan macam reaksi kusta, misalnya antara reaksi down-grading dan up-grading;

    d. untuk menentukan kemajuan pengobatan, misalnya dilakukan pada lesi yang tampak paling

    aktif untuk menentukan adanya kemungkinan resistensi terhadap obat.

    Imunohistokimia

    Merupakan bagian dari pemeriksaan histopatologisdengan sediaan biopsikulit yang kemudian

    dilakukan fiksasi bufer formalin 15% dan selanjutnya dilakukan pewarnaan untuk

    imunohistokimiaberupa:

    LKPP

    UNHA

    S

  • 57

    1. S-100 protein; pemeriksaan dengan pewarnaan ini spesifik untuk melihat adanya basil/kuman

    kusta dalam neuron dan sel schwann saraf dari saraf perifer pada kulit.

    2. PGL-1; pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat adanya deposit antibodi

    anti-PGL-1 antigen berupa IgM yang terdapat pada lesi kulit dan serabut saraf perifer penderita.

    3. LAM-B (lipoarabinimannan B); pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat

    adanya proses granulomatosis dalam sel schwann dari serabut saraf perifer kulit, yang mana

    kelainan ini hanya dapat terlihat pada lesi kulit penderita kusta sedangkan penyakit

    granulomatosa yang lain tidak ditemukan.

    Pemeriksaan Imunologik

    Pemeriksaan imunologikini dilakukan tidak untuk menegakkan diagnosis, tetapi hanya untuk

    membantu dalam menentukan klasifikasi dan perjalanan penyakit kusta.

    Pemeriksaan imunologik terdiri atas:

    1. Tes Lepromin;

    2. Tes Histamin.

    Tes Lepromin

    Pemeriksaan leprominmerupakan salah satu alat penunjang diagnosis penyakit kusta yang

    menunjukkan seberapa besar kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap kuman

    M.leprae yang masuk ke tubuh. Lepromin adalah suatu suspensi steril yang didapat dari jaringan

    yang dihancurkan yang mengandung kuman M.leprae dan dipakai sebagai tes kulit secara

    intradermal pada penyakit kusta.

    Dikenal 2 macam lepromin, yaitu:

    a. Lepromin Mitsuda H (Integral Lepromin Mitsuda Wade-Hayashi);

    b. Lepromin Dharmendra.

    Cara kerja

    Dilakukan tes kulit dengan menyuntikkan 0,1 ml lepromin secara intradermal di lengan bawah,

    kira-kira 2-3 cm distal dari fossa kubiti dengan alat suntik tuberkulin sehingga terbentuk

    benjolan iskemik dengan diameter kurang lebih 8 mm.

    Reaksi dan Pembacaan Lepromin

    Reaksi kulit terhadap tes lepromin ada 2 macam, yaitu:

    LKPP

    UNHA

    S

  • 58

    a. reaksi dini (reaksi Fernandez);

    b. reaksi lambat (reaksi Mitsuda).

    1. Reaksi Dini (Reaksi Fernandez)

    Reaksi dini berbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Reaksi

    ini menunjukkan hipersensitivitas yang telah ada terhadap antigen yang disuntikkan. Pembacaan

    biasanya dilakukan 48 jam kemudian setelah penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam

    degradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

    2. Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)

    Reaksi ini berbentuk noduleryang tampak paling jelas pada hari ke 21-30. Reaksi ini

    menunjukkan respon terhadap imunitas seluler. Pembacaan dilakukan setelah hari ke-21

    penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam gradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

    Kedua jenis leprominDharmendra maupun Mitsuda menghasilkan reaksi dini maupun reaksi

    lambat. Reaksi dini paling sering didapatkan pada tes leprominDharmendra, sedangkan reaksi

    lambat paling sering didapatkan pada tes leprominMitsuda.

    Tes Histamin

    Apabila histamindisuntikkan secara intradermalpada kulit normal akan menyebabkan dilatasi

    kapiler. Hal tersebut dapat dilihat pada adanya suatu bercak berwarna merah yang disebut

    sebagai histamin flare. Keadaan ini tidak disebabkan pengaruh langsung oleh histamin ke

    dinding kapiler, karena adanya oxen reflex, dari saraf kulit sehingga terjadinya pun bergantung

    pada integritas serabut saraf simpatik. Derajat kerusakan saraf dapat dinilai dengan melihat

    ukuran dari bercak merah yang timbul. Ini sangat berguna untuk menentukan apakah suatu

    makulahipopigmentasidisebabkan kusta atau kelainan lain.

    Tes histamindapat dilakukan dengan cara berikut: Larutan 0,001 % histamin asam fosfat

    diteteskan pada lesi yang dicurigai dan pada kulit normal sebagai kontrol. Kemudian kulit

    ditusuk dengan jarum melalui tetesan tersebut. Cara lain adalah injeksi intradermal 0,1 cc larutan

    1:1000 histamin fosfat. Pada kulit normal akan timbul bintul merah dalam waktu 1-2 menit.

    Pembacaan dilakukan setelah 10 menit. Pada kusta indeterminatedan borderlineakan timbul

    lambat sedangkan pada tipe tuberkuloidjustru tidak ada.

    Selain tes-tes tersebut di atas, terdapat beberapa tes diagnostik untuk penyakit kusta seperti yang

    dijelaskan pada uraian berikut.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 59

    1. Tes Pengeluaran Keringat

    Tes ini merupakan cara lain untuk mengetahui integritas dari saraf kulit, selain tes histamin.

    Proses berkeringat bergantung pada integritas serabut saraf parasimpatik. Jika suatu makula

    hipopigmentasidisebabkan oleh kusta, maka respon dari kelenjar keringat terhadap obat-obat

    kolinergikakan berkurang. Cara yang paling praktis untuk mengetahui faal keringat adalah

    dengan menyuruh penderita melakukan olahraga di bawah sinar matahari, lalu dilihat apakah

    pada daerah yang dicurigai mengeluarkan keringat atau tidak.

    2. Tes Pilokarpin

    Tes pilokarpindapat dilakukan dengan cara berikut. Diambil 0,1 cc larutan 0,06% pilokarpin

    nitrat, disuntikkan intradermal pada makulayang dicurigai dan kulit sehat sebagai kontrol.

    Kemudian kulit diolesi dengan tinctura jodine, lalu di atasnya ditaburi dengan tepung amilum.

    Jika faal keringat baik maka akan terjadi perubahan warna amilummenjadi biru, sedangkan bila

    anhidrosis seperti kusta, warna amilumtetap yang berarti ada kerusakan saraf. Selain tinctura

    jodine dan amilum dapat pula dipakai bahan lain yaitu quainizarin dengan interpretasi sama di

    atas.

    Cara lain selain di atas adalah dengan Methacholine Sweating Test. Pada makula yang dicurigai

    dan kulit normal sebagai kontrol diolesi dengan larutan minor (mengandung iodium 2% dan

    castor oil 10% dalam alkohol absolut). Setelah itu disuntik secara intradermal dengan 0,1 cc

    larutan metachopline 1%. Kemudian ditaburi dengan serbuk amilum. Interpretasi selanjutnya

    sama dengan tes pilokarpin.

    3. Tes Serologis

    Tes serologis yang baik sebagai sarana penunjang dignosis penyakit kusta beserta kontaknya

    secara ideal harus yang tepat guna (sensitif, spesifik dan presisi yang tinggi) dan berdaya guna.

    Hal itu berarti tes tersebut mempunyai jangkauan yang luas baik dalam fungsi maupun tempat

    pelaksanaannya (dapat sampai jenjang Puskesmas). Mengingat bahwa penyakit kusta merupakan

    penyakit rakyat yang terdapat di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sebagian besar masyarakat

    Indonesia berdiam di pedesaan maka tes yang tepat untuk menunjang pemberantasan penyakit

    kusta ini adalah sarana diagnostik yang mempunyai tepat guna dan daya guna, juga murah serta

    praktis dalam pelaksanaanya. Tampaknya tes MLPA dapat memenuhi harapan di atas.

    LKPP

    UNHA

    S

  • 60

    Pada daerah dengan prevalensi kusta yang tinggi, diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

    pemeriksaan klinis dan mikroskopis. Mendeteksi bakteri merupakan hal yang sulit dilakukan dan

    gambaran histopatologis dapat menunjukkan gambaran yang tidak spesifik.

    Viabilitas M.leprae sangat sulit ditentukan karena bakteri tidak bisa dibiakkan pada media kultur.

    Teknik mouse footpad (MFP) untuk mengetahui replikasi M.leprae memberi harapan untuk

    menemukan obat anti kusta baru, mengetahui resistensi obat pada M.leprae, dan

    mengembangkan vaksin. Teknik MFP ini memerlukan waktu yang lama, mahal dan memerlukan

    tenaga ahli sehingga dianggap tidak praktis digunakan dalam penelitian. Terbatasnya

    laboratorium yang dapat melakukan teknik MFP ini juga merupakan hambatan dalam suatu

    penelitian.

    Teknik Radiorespirometry (RR) diketahui berkaitan dengan pertumbuhan M.leprae pada MFP

    dan berguna untuk evaluasi kerentanan M.leprae terhadap obat anti kusta baru, dan terhadap

    perubahan lingkungan, misalnya ultraviolet dan radiasi. Selain itu, teknik ini juga dapat

    mengetahui terjadinya resistensi terhadap rifampisindan efek M.leprae yang viabel pada sel

    schwann. Teknik RR hanya mampu mendeteksi bakteri dalam jumlah yang besar (107), sehingga

    membatasi penggunaannya untuk tujuan klinis dan untuk kasus dengan jumlah bakteri yang

    sedikit. Selain itu, RR memerlukan substansi radioaktif yang penggunaannya sangat terbatas di

    beberapa negara.

    Polymerace Chain Reaction (PCR)

    Merupakan metode baru untuk