31
171 Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015 DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI AOMA DAN AMBESAKOA SULAWESI TENGGARA Muhammad Alifuddin IAIN Sultan Qaimuddin Kendari Abstrak Masalah utama penelitian ini adalah: Apakah pola dakwah institusional (berbasis Masjid-Gereja) yang dikembangkan selama ini efektif membangun kesadaran inlusiv pada masyarakat yang tersegregasi secara spasial berdasarkan pilihan keyakinan (Islam-Kristen) sebagaimana yang terjadi di Aoma Ambesakoa? Bagaimana pola dakwah yang dapat dikembangkan untuk membangun visi inklusiv pada masya- rakat setempat? Studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengetahui model dakwah pada wilayah segregatif yang dapat dijadikan sebagai alternative pada suasana sosial yang sama meski dengan lokus berbeda. Untuk menjawab

DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

171Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKATSEGREGATIF DI AOMA DAN AMBESAKOA

SULAWESI TENGGARA

Muhammad AlifuddinIAIN Sultan Qaimuddin Kendari

Abstrak

Masalah utama penelitian ini adalah: Apakah pola dakwahinstitusional (berbasis Masjid-Gereja) yang dikembangkanselama ini efektif membangun kesadaran inlusiv padamasyarakat yang tersegregasi secara spasial berdasarkanpilihan keyakinan (Islam-Kristen) sebagaimana yang terjadidi Aoma Ambesakoa? Bagaimana pola dakwah yang dapatdikembangkan untuk membangun visi inklusiv pada masya-rakat setempat? Studi ini bertujuan untuk menjelaskan danmengetahui model dakwah pada wilayah segregatif yangdapat dijadikan sebagai alternative pada suasana sosial yangsama meski dengan lokus berbeda. Untuk menjawab

Page 2: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

172

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

permasalahan penelitian digunakan pendekatan etnografi dananalisis fenomenologi yang dikembangkan oleh Moustakas.Beranjak dari data yang ditemukan di lapangan dapatdisimpulkan bahwa ada dua pola dakwah yang berkembangdi Aoma-Ambesakoa yaitu: pola formal konvensional berbasiskhutbah dan ceramah dan pola non formal berbasiskomunitas. Pola pertama cenderung rigid sedangkan polakedua bersifat fleksibel. Pola kedua merupakan model dakwahpembebasan, solutif dan efektif membangun visi inklusivmasyarakat setempat yang selama ini terkunkung olehethnocentrisme yang ditandai melalui perekayasaan ruangberbasis ideologi (zona eksklusiv) sebagimana tercermindalam sejarah hidup mereka selama ini. Temuan penelitianmenunjukan, media dakwah inklusiv dikedua tempat, tidakberada pada jalur formal konvensional tetapi justru beradapada pendekatan non formal berbasis komunitas. Namundemikian, kedua jalur tersebut harus berpadu dan salingmengisi, mengingat jika nilai-nilai inklusiv hanya berada padamedia tunggal yaitu jalur non formal berbasis komunitassementara jalur formal konvensional tidak dibenahi dan tetapbertahan dengan model paradigma dakwah berbasispenguatan iman plus penegasian, dikhawatirkan nilai-nilaiinklusiv yang dihantar oleh dakwah non formal akankehilangan ruh keagamaan alias layu dan lesuh dara. Sebabmodel dakwah non formal berbasis komunitas sebagaikatalisator energi inklusiv yang tidak ditopang dengan modelformal konvensional, dikhawatirkan tidak dapat menjadimedia tumbuh yang subur bagi pohon inklusiv.

Kata Kunci: dakwah inklusiv, masyarakat, segregatif,

A. Pendahuluan

Secara geografis Aoma dan Ambesakoa berada dalam wilayahKecamatan Wolasi.Wilayah ini dahulu merupakan salah satu wilayahKabupaten Konawe, namun setelah terjadi pemekaran Kabupaten,Wolasi masuk dalam wilayah Kabupaten Konawe Selatan Propinsi

Page 3: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

173

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Sulawesi-Tenggara.1 Jumlah penduduk Kecamatan Wolasi sebesar4815, terdiri dari 2460 laki-laki dan 2355 perempuan. Dari jumlahtersebut yang beragama Kristen Protestan berjumlah 484 atau sekitar10,5% dari seluruh penduduk Kecamatan Wolasi. Komunitas Kristianidi wilayah ini seluruhnya terkonsentrasi di Desa Ambesakoa yangberbatasan langsung dengan Desa Aoma.

Sebagai daerah pedalaman, tentu saja masyarakat TolakiWolasi tidak seakrab masyarakat pesisir dalam menyikapi nuansapluralitas, namun tidak berarti bahwa mereka asing terhadapkeragaman, karena fakta pluralitas adalah bagian yang melekatdengan kehidupan sosial mereka. Hidup satu etnik dengan dua agama(Islam-Kristen) adalah bagian dalam sejarah sosial yang mereka alami.Atas dasar fakta tersebut, maka interaksi antara dua komunitaskeyakinan dalam satu etnik telah menjadi bagian dari perjalanansejarah sosial budaya orang Tolaki Wolasi.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kedua belah pihakmenyikapi realitas perbedaan keyakinan tersebut, dan apakah realitasperbedaan keyakinan tersebut berpengaruh dalam pembentukandan penyebaran secara kuantitatif warga komunitas dalam berbagaiposisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan di antaramereka (termasuk di antaranya hubungan konflik).2

1 Kabupaten Konawe Selatan adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsiSulawesi Tenggara, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di Andoolo. Kabupatenini berasal dari hasil pemekaran Kabupaten Kendari yang disahkan dengan UUNomor 4 tahun 2003, tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten Konawe Selatan secarageografis terletak di bagian selatan khatulistiwa, melintang dari utara ke selatanantara 3.58° dan 4.31° Lintang Selatan, membujur dari barat ke timur antara 121°58’dan 123°16 Bujur Timur, berbatasan dengan: Utara :Kabupaten Konawe dan KotaKendari, Selatan: Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana, Barat: KabupatenKolaka Timur: Laut Banda dan Laut Maluku

2 Ciri utama dari struktur yaitu adanya varian tingkat ketidaksamaan antarbagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehinggamempengaruhi derajat hubungan antar bagian itu yang berupa dominasi,eksploitasi, konflik, persaingan dan kerjasama. Ada dua basis parameterpembedaan struktur, yaitu nominal dan gradual. Parameter nominal membagikomunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup misalnya ras,agama,jenis kelamin, pekerjaan, marga, etnik, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa,

Page 4: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

174

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Sebagaimana masyarakat Tolaki lainnya, di Wolasi masyarakatTolaki juga mayoritas menganut agama Islam. Islam bagi orang Wolasiadalah agama moneteis yang pertama kali mereka temukan dalamkehidupan mereka. Keberadaan pihak Kristen di wilayah ini adalahperkembangan terkini dari sejarah hidup religiusitas mereka. AdalahVan der Klift pada tahun 1924, orang yang pertama kalimemperkenalkan kekristenan pada masyarakat Wolasi. MenurutMuslimin Su’ud kedatangan Klift di Wolasi memberi pengaruhsignifikan bagi perkembangan agama Kristen, hal ini terbukti dengankemampuannya menggiring masyarakat setempat yang dahulunyamuslim menjadi Kristiani. Hasil dari kerja Klift, adalah terbentuknyasatu perkampungan umat Kristiani di wilayah Wolasi.3

Fenomena relasi Islam Kristen pada masyarakat Tolaki Wolasisedikit berbeda dengan realitas hubungan Islam Kristen di Lambuya.Meskipun kasus konflik tidak tampak eksplisit dalam tataran sosial,namun fenomena “ketegangan” antara masing-masing kelompok

nasionalitas dan lain-lain. Pengelompokan yang bersifat horisontal ini akanmelahirkan berbagai “golongan”. Sementara parameter gradual membagikomunitas ke dalam berbagai peringkat status yang menciptakan perbedaaan kelas,seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan dan sebagainya.Pengelompokan yang bersifat vertical ini melahirkan berbagai “lapisan”.Pengelompokan-pengelompokan semacam itu akan menghasilkan apa yang disebutsebagai kelompok mayoritas dan minoritas. Interaksi antar bagian dalam kehidupanbersama dapat terjadi antar kelompok, baik atas dasar parameter nominal maupungradual. Interaksi antar bagian daIam kehidupan sosial dapat mengakibatkan konflikantar individu anggota dari berbagai “golongan” dan “lapisan” tersebut, juga antarakelompok mayoritas dan minoritas. Mustain, dkk. “Segresi Etno-religious:UpayaResolusi Konflik dan Pembangunan Perdamaian” Walisongo, Volume 21, Nomor1, Mei 2013, h. 71

3 Su’ud, wawancara/ Tidak jauh berbeda dengan pandangan beberapatokoh masyarakat yang berada di Lambuya, beberapa informan kunci yang penulistemui menyatakan bahwa, kekristenan masyarakat Tolaki pada mulanya disebabkankarena faktor sosial ekonomi, yang “dimanfaatkan” oleh para missionaris.(Muhammad Ali (Satgas Desa Binaan STAIN Kendari, wawancara, 26/7/2015)/Kegiatan Zending yang merupakan warisan kolonial, hingga kini masihmenampakkan eksistensinya di Wolasi melalui sejumlah kegiatan sosial. Dari segiinfrastruktur umat Kristiani yang hidup dalam satu wilayah ini memiliki tiga Gereja,satu di antaranya Gereja induk yang merupakan cikal bakal dari gerakan Zendingpada masa awal.( Ibid /Randelangi, wawancara, 24/7/2015)

Page 5: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

175

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

tidak sulit untuk ditelisik. Berbeda dengan masyarakat Tolaki Lambuyayang dalam kehidupan sosialnya membaur dalam satu kesatuanwilayah sosial, maka pada masyarakat Tolaki Wolasi tampak jelas garispembatas antara kampung Kristen dan Islam. Wilayah Ambesakoa,Taman Sari seluruh warganya adalah penganut Kristiani diapit olehDesa Aoma dan Leleka yang berpenduduk Muslim. Benih-benihketegangan dapat disimak dari pernyataan Pdt. Marlin, yang me-nyebutkan bahwa “pilihan untuk hidup dengan batas yang jelasantara kampung Kristen dengan Islam, adalah untuk dapat hidup lebihaman dan nyaman”.4

Dalam konteks pernyataan di atas, faktor agama tampakmenjadi variabel utama yang kemudian mengarahkan mereka untukhidup tersegregasi secara spasial. Kondisi tersebut seolah menjadipembenar bagi teori yang menyebutkan bahwa, agama sebagai salahsatu variabel konflik. Oleh karena itu, eksistensi agama dalamperspektif sosiologi mengemban dua fungsi sekaligus yaitu: sebagaiperekat persaudaraan dan pemicu konflik. Keyakinan terhadapagama seringkali melampaui batas-batas dari tujuan agama itusendiri, sehingga menimbulkan sikap intoleran. Fanatisme berlebihanatas nama loyalitas keagamaan tidak jarang kemudian memadukansekolompok orang tetapi pada saat yang sama memisahkan merekadari yang lain.

Pada tingkat yang lebih lanjut, isu-isu keagamaan acapkalimenjadi salah satu biang lahirnya pertentangan hingga konflik social.Dalam konteks ini, maka fakta kejamakan agama justru menjadikatalisator bagi para penganut agama untuk saling membenci danmenghindar, untuk tidak mengatakan saling “membunuh”. Padahal,setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dankeselarasan hidup antar sesama makhluk. Dalam Islam sendiri,kesatuan umat manusia dan permasalahannya secara historisdigambarkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 213.5

4 Pdt. Marlin, wawancara,5 “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka

Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar untuk memberi

Page 6: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

176

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Pada prinsipnya, varian agama sebagaimana kejamakan etnikdan bangsa merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri.Keanekaragaman ini akan memberi dampak dan konsekuensi padaperbedaan batasan golongan sosial. Ketika bersinggungan denganfaktor-faktor lain, perebedaan-perbedaan dan batas-batas sosial iniakan semakin dipertegas sehingga pemahaman terhadap orang lainakan lebih didasarkan pada prasangka. Implikasinya akan dapatmemicu ketegangan dan konflik. Dalam keadaan demikian, toleransiberagama semakin terkalahkan oleh potensi konflik agama, yangpada akhirnya akan berdampak negativ atau bahkan merusak sistemsosial yang sudah terbangun.

Konteks hubungan antar agama dalam masyarakat Tolakimenarik dianalisa. Bahwa sebagaimana diketahui, selain menganutagama Islam, juga terdapat sejumlah Orang Tolaki yang menganutkeyakinan Kristiani sekalipun dalam jumlah yang kecil. Beberapawilayah yang menjadi kantong umat Kristiani adalah Lambuya danWolasi. Namun dalam dua komunitas tersebut, respon merekaterhadap keberadaan orang Tolaki yang berbeda agama sedikitberlainan. Jika pada masyarakat Tolaki Lambuya perbedaan keyakinantidak menjadi masalah pelik dan menyibukkan mereka untukmembangun komunikasi yang elegan dalam semua dimensikehidupan,6 maka sedikit berbeda dengan yang terjadi padamasyarakat Tolaki Wolasi (baca: yang berdiam di Aoma). Padamasyarakat Tolaki Wolasi, tampak ada “ketegangan” sekalipun tidakharus muncul dalam bentuk konflik. Ketegangan tampak denganadanya keterpisahan dan penkonsentrasion penduduk berdasarkankelompok keyakinan (Islam-Kristen). Kesan ini paling tidak dapat

keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklahberselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada merekaKitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orangyang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengankehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nyakepadajalanyang lurus”.

6 Nurjannah, Paralelisme Keimanan: Relasi antar Iman dalam MasyarakatTolaki Lambuya, Laporan Penelitian Kompetitif, Diktis Kemanag RI, 2010, h. iv.

Page 7: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

177

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

ditangkap dari statement Pdt. Marlin, yang menganologikan hidupnyaman dan aman dengan sebab berada dalam lingkungan dan ruangsocial yang sama.7

Atas dasar pemikiran tersebut, penulis tertarik untukmemberikan lukisan analitis tentang pola dakwah dalam masyarakatberpagar (gated communities) sebagaimana yang terjadi di Aomadan Ambesakoa. Wilayah ini berjarak sekitar 35 km dari Kota Kendaridan berada para poros jalan menuju Ibu Kota Kabupaten KonaweSelatan Ando-olo. Secara antropologi penduduk kedua masyarakatberasal dari satu rumpun etnik yaitu etnik Tolaki, namun dalamperjalanan sejarah mereka kemudian memilih agama berbeda.Orang-orang Aoma memilih jalan Islam sedangkan Orang-orangAmbesakoa bersatu dalam iman Kristiani.

Berangkat dari fenomena sosial di atas, maka studi ini adalahikhtiar untuk mengurai secara analitis; Bagaimana pola dakwah yangdikembangkan oleh masyarakat setempat sehingga mereka mampuhidup dalam damai pada ruang yang terbelah berdasarkan pilihankeyakinan (Islam-Kristen)? Dengan demikian tujuan dari studi ini,adalah untuk menjelaskan model kondusif penerapan dakwah padawilayah segragatif sehingga dapat dijadikan sebagai pilihan modelyang mungkin untuk diimplementasikan pada suasana sosial yangsama meski dengan locus yang berbeda.

B. Kajian Pustaka

1. Penelitian RelevanAda banyak penelitian dengan fokus hubungan antar iman

dalam konteks kehidupan masyarakat Tolaki yang dilakukan olehbeberapa peneliti sebelumnya, antara lain penelitian La Malik Idrisdkk., meneliti tentang: Respon Tokoh Agama mengenai GagasanPluralisme di Kendari.8 Dengan menggunakan kerangka analisis yangdikembangkan oleh Mukti Ali dan Ninian Smart, Idris berkesimpulan

7 Pdt. Marlin, wawancara.8 La Malik Idris dan Muhammad Alifuddin,”Respon Tokoh Agama mengenai

Gagasan Pluralisme di Kendari”, Laporan Penelitian Kompetitif Diktis Kemenag,Jakarta: Diktis Kemenag, 2005, h. 104.

Page 8: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

178

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

bahwa secara umum pemahaman para tokoh agama di Kendari dalamperspektif Ali bercorak agre in disagrement. Sedangkan bila ditinjaudari teorisasi yang dikemukakan oleh Smart, maka karakter konstrukpemikiran tokoh agama Islam Kota Kendari tentang hubungan antarkeyakinan cenderung pada pola pikir yang bersifat inklusivhegemonistik. Baik pola pikir agre in disagerment maupun inklusivhegemonistik, tidak memberikan ruang yang luas dan terbuka bagiterciptanya kehidupan yang saling meyapa antara dua pemelukagama yang berbeda. Karena dua corak atau tipologi pemikiran diatas, masih menyisahkan bilik kecurigaan kepada mereka yangberbeda aliran atau agama.

Problem konflik dan Kompromitas dalam etnik Tolaki jugaperna diteliti oleh Asliah Zainal dibawah judul: Konflik dan Kompro-mitas Adat dan Agama (Kasus Perkawinan Suku Tolaki SulawesiTenggara). Hasil penelitian ini menemukan kesimpulan; konflik dankompromitas antara adat di satu sisi dan agama di sisi lain dalamperistiwa perkawinan merupakan sebuah keniscayaan, sehinggakehadiran yang satu tidak harus menegasikan kemungkinan muncul-nya yang lain. Kompromitas yang disuguhkan dalam perkawinanbukannya tanpa potensi konflik. Kompromitas bisa jadi hanyalahsebuah kompromitas semu dan hanya di permukaan, jika usaha untukmenjaga stabilitas dan kemapanan hanya berada pada tarafperedaman (penghambat) konflik dan bukan penyelesaian konflik.Begitu pula sebaliknya, konflik yang terjadi bukan menunjukan situasidisharmonis dan disfungsional, sebab ia bisa menjadi penguat bagikemapanan masyarakat dengan terbukanya peluang bagi sistemsosial baru dalam masyarakat Tolaki.9

Selain dua tulisan di atas, Nurjannah juga melakukan peneliti-an tentang; Paralelisme Keimanan: Relasi Kesepahaman Antar Imanpada Masayarakat Lambuya.10 Penelitian ini Nurjannah bertujuan

9 Asliah Zainal,”Konflik dan Kompromitas Adat dan Agama (KasusPerkawinan Suku Tolaki Sulawesi Tenggara)”, Tesis, Yogyakarata; UGM, 2015, h.iv

10 Nurjannah, dkk., “Paralelisme Keimanan: Relasi Kesepahaman AntarIman pada Masayarakat Lambuya”, Laporan Penelitian Kompetitif, Diktis Kemenagth. 2011.

Page 9: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

179

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

menjelaskan hubungan antar iman pada masyarakat Tolaki diLambuya. Dengan menggunakan metode deskriptif analisis sertapendekatan etnografi, studi tersebut memusatkan telaahnya untukmenjelaskan latar belakang historis dan kultural terjadinya relasikesepahaman antar Islam dan Kristen, sehingga tercipta suasanahidup satu rumah dua agama pada masyarakat Lambuya, serta hal-hal apa sajakah yang menjadi unsur perekat bangunan hidupkeagamaan mereka, sehingga mereka mampu merespon secarapositif keberagaman agama dalam satu atap?

Beranjak dari data-data yang diperolehnya di lapangan,Nurjannah menyatakan bahwa terciptanya relasi kesepahaman antariman pada masyarakat Tolaki tidak dapat dilepaskan dari basis sejarahdan kultur orang Tolaki. Secara kultural etnik Tolaki memegang eratkonsep budaya mereka yang didasarkan atas nilai-nilai kalo. Kalodalam kehidupan Orang Tolaki tidak sekedar benda berbentuklingkaran, tetapi nilai kalo merupakan hukum yang hidup dan niscayaditaati bagi setiap elemen etnik Tolaki.11 Nurjannah juga menemu-kan adanya semacam mekanisme cultural yang mengejawantahdalam sistem kehidupan masyarakat Tolaki. Mekanisme tersebutadalah sebagai penopang bangunan solidaritas sosial. Sikapmengalah, kesadaran sebagai satu etnik, sistem kekerabatan(serumpun), penghormatan terhadap lembaga adat (kalo) dan ritual-ritual adat; adalah pilar-pilar budaya yang menjadi aras integrasi,yang berfungsi memperkokoh kesatuan dan solidaritas sosial yangterbangun dalam lingkungan masyarakat Tolaki. Pilar-pilar penyanggatersebut menjadi fungsioanl karena dia ditopang oleh nilai dasar yangdiyakini bersama yaitu: kalo sara. Lebih lanjut disebutkan bahwa;kalo sara dalam kultur Tolaki adalah nilai yang di dalamnya ter-kandung nilai filosofis yang dalam. Kalo sara sebagai nilai berlakusecara fungsional dalam segala dimensi kehidupan masyarakat Tolaki,termasuk di dalamnya sebagai mekanisme pengendalian konflik.Meskipun berlebihan untuk dinyatakan, tampaknya kalo sara padamasyarakat Tolaki dalam realitasnya berada di atas “agama”, sehinggaagama-agama formal yang dianut dalam ruang keyakinan orang Tolaki

11 Ibid., h. 74.

Page 10: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

180

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Lambuya, tidak lebih sebagai medan pencarian spiritual yang sangatprivat atau individual. Dengan demikian, penertiban social dalamkonteks kehidupan komunitas Tolaki, maka mekanisme hukum yangdiberlakukan adalah kalo sara. Oleh karena itu, dalam kontekskehidupan social, kebersamaan sebagai satu masyarakat bagi orangTolaki di Lambuya lebih dirujuk pada nilai-nilai kalo sara.12

Kendatipun Nurjannah telah melakukan penelitian dengantema plaralisme dan inklusivitas beragama dalam etnik Tolaki diLambuya, namun kajian tersebut terkesan atau “cenderung”mengeneralisasi pandangan Tolaki Lambuya sebagai pandanganseluruh orang Tolaki dalam merespon pluralitas beragama dalam saturumah. Berbeda dengan penelitian di atas, maka penelitianMuhammad Alifudin dibawah judul: Islam dan Pluralisme ResponOrang Tolaki Lambuya dan Wolasi tentang Paradigma Keragamanmencoba menggambarkan sebuah realitas dan fenomena yangberbeda dengan kesimpulan Nurjannah. Dalam penelitian tersebutAlifuddin menemukan: (1). Perbedaan respon tentang pluralismepada masyarakat Tolaki Lambuya dan Wolasi tidak dapat dilepaskandari faktor sejarah masa lalu; dalam hal ini fakta Kristenisasi padakedua komunitas. (2). Pola kehidupan sosial yang kohesif padamasyarakat Lambuya dan realitas struktur social yang tersegresiantara penganut Islam dan Kristiani pada masyarakat Wolasi,menunjukkan pada kuatnya pengaruh ekologi sosiokultural terhadapwarna toleransi pada kedua masyarakat. (3). Pada masyarakat Wolasirespon terhadap keragaman pada prinsipnya juga sangat dipengaruhioleh tata nilai kalo sara, namun pada masyarakat ini, nilai-nilai kalotidak berfungsi maksimal, sedangkan pada masyarakat Lambuya nilai-nilai kalo berfungsi secara baik dan maksimal.13

Satu lagi tulisan yang niscaya untuk disebutkan adalahpenelitian dengan tema: Konflik dan Konsensus dalam Hubunganantar Iman pada Masyarakat Aoma dan Ambesakoa, yang dilakukan

12 Ibid., h. 107.13 Muhammad Alifudin ,”Islam dan Pluralisme Respon Tolaki Lambuya dan

Wolasi tentang Paradigma Keragaman” Laporan Penelitian, Balitbang KemenagRI, 2013, h. 88.

Page 11: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

181

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Alifuddin menyimpulkan: (1). konflik yang terjadi pada keduamasyarakat masih berada pada taraf konflik konstruktif yangfungsional. Konflik ini muncul karena adanya perbedaan antarkelompok dalam menyikapi suatu permasalahan, namun keberbeda-an tersebut tidak sampai mengarahkan mereka untuk bertikai secarafisik. Perbedaan tersebut berjalan secara dialektis yang berujung padalahirnya konsensus sehingga pada akhirnya menghasilkan suatuperbaikan untuk semua.(2). Faktor dominan peyebab konflik terletakpada pilihan ideologi yang dideterminasi oleh faktor sejarah masalalu (fakta Kristenisasi). Faktor diterminan tersebut dipertegas denganpemilahan wilayah permukiman yang tersegregasi secara ideologi(3). Realiats konflik berimplikasi pada, terciptanya upaya kreatif antarapihak untuk saling menghormati.14

Kendatipun beberapa penelitian yang telah disebutkansebelumnya beberapa di antaranya memiliki lokus yang sama dengantema studi ini, namun fokus telaahnya sangat berbeda. Kajian iniadalah upaya untuk mendeskripsikan dan menjelaskan modelkondusif penerapan dakwah pada wilayah segragatif sebagaimanayang terjadi di Aoma Ambesakoa dengan harapan bahwa melaluitemuan penelitian ini ditemukan strategi dakwah yang dapatdijadikan sebagai pilihan model yang mungkin untuk diimplementasi-kan pada suasana sosial yang sama meski dengan lokus yang berbeda.

2. Landasan Paradigmatika. Esensi Dakwah

Kata “dakwah”15 secara etimologi berasal dari bahasa Arab,berasaal dari kata da‘â - yad‘û - da‘watan yang berarti memanggil,menyeru, dan mengundang. Ditinjau dari segi pengimplementasi-annya, maka dakwah dapat dimaknai; sebagai proses penyampaianajaran agama Islam kepada umat manusia dengan asas, cara serta

14 Muhammad Alifuddin,”Konflik dan Konsensus dalam Hubungan antarIman pada Masyarakat Aoma dan Ambesakoa” Laporan Penelitian, LPPM IAINKendari, h. vi.

15 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Jakarta: Pesantren al-Munawir, 1984), h. 439.

Page 12: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

182

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

tujuan yang dapat dibenarkan oleh ajaran agama Islam. Dengandemikian “dakwah” pada prinsipnya merupakan suatu prosesaktivitas yang dilakukan dengan sadar serta berdasarkan dorongankewajiban.16 Oleh karenanya, meskipun term “dakwah” dalam al-Qur’an terkadang digunakan untuk mengajak kepada keburukan ataukejahatan,17 namun kata dakwah yang digunakan dalam tulisan iniadalah term yang secara khusus dipergunakan dalam agama Islamuntuk mengajak kepada kebaikan.18 Dalam konteks pengertian di atas,

16 Hal tersebut didasarkan pada firman Allah yang menyatakan: waltakunminkum ummatun yad’ûna ilâ al-khayr wa ya’murûna bi al-ma’rûf wa yanhawna‘an al-munkar wa ulâika hum al-muflihûn (Hendaklah ada di antara kamusegolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’rufdan mencegah yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung)QS. Ali ‘Imran (3): 104). Departemen Agama RI, al-Quran…h. 67. Kata minkum padasurah Ali Imran (3): 104 di atas, ada ulama yang memahaminya dalam arti“sebahagian”, sehingga dengan demikian, perintah berdakwah yang dipesankanoleh ayat ini tidak tertuju kepada setiap orang. Bagi yang memahaminya demikian,maka ayat ini buat mereka mengandung dua macam perintah, yang pertama,kepada seluruh umat Islam agar membentuk dan menyiapkan satu kelompokkhusus yang bertugas melaksanakan dakwah kepada kebajikan dan ma‘ruf sertamencegah kemungkaran. Ada juga ulama yang memfungsikan kata minkum dalamarti “penjelasan”, sehingga ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang muslimuntuk melaksanakan tugas dakwah masing-masing sesuai kemampuannya. Lihat,M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vo-lume 2 Surah Ali Imran, Surah al-Nisa’ ( Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 162.Lihat juga, La Malik Idris, “Dakwah dalam Masyarakat Plural” disertasi, UINAlauddin, 2009

17 Kata dakwah yang digunakan untuk mengajak kepada keburukan ataukejahatan, antara lain disebutkan dalam QS. Fâþir (35) : 6: Inna al-syaiþân lakum‘aduww fattakhizûh ‘aduww innamâ yad’û hizbah liyakûnû min aºhâb al-sa’îr.(Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu),karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supayamereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala). Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 617.

18 Kata dakwah yang digunakan untuk mengajak kepada kebaikan sepertidisebutkan dalam QS. al-Baqarah (2): 221; wa Allâh yad’û ilâ al-jannat wa al-magfirat bi iznih wa yubayyin âyâtih li al-nâs la’allahum yatazakkarûn (...dan Al-lah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya dan menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambilpelajaran). ibid., h. 43.

Page 13: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

183

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

maka substansi dakwah dalam agama Islam adalah segala kegiatanyang di dalamnya terdapat suatu proses yang dilakukan olehseseorang maupun kelompok organisasi, sebagai upaya untuk men-transfer nilai yang didasarkan prinsip-prinsip etik untuk diejawantah-kan dalam system social dan budaya individu dan masyarakat.

Beranjak dari konsep di atas, maka dakwah pada prinsipnyaadalah usaha sadar yang berorientasi pada pembinaan sikap mentalbaik individu maupun masyarakat. Dalam konteks dan pengertian diatas maka dakwah mengandaikan sebuah tanggungjawab yang besar,baik secara social, budaya maupun politik. Dari segi sosial, dakwahsejatinya menjadi sumber legitimasi bagi penguatan dan pengekalanikatan-ikatan sosial kemasyarakatan dan bertujuan menciptakanintegrasi masyarakat/sosial yang utuh, harmonis, dan dalam suasanayang saling memahami. Sedangkan dari segi budaya, dakwah sejati-nya mampu membentuk tradisi dan pola pikir masyarakat yang tidakhanya kreatif tetapi juga menghargai realitas keragaman. Dari segipolitik dakwah dituntut untuk semakin memperkokoh integrasi sosialdan politik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia di ataslandasan kokoh bineka tunggal ika.

Ragam paradigma sebagaimana terdeskripsi di atas, merupa-kan tuntutan yang tidak sekedar niscaya tetapi juga mendesak untukdirealisasikan. Asumsi ini beranjak dari realitas sosial politik nasionaldewasa ini, yang semakin mengarah pada disintegrasi sosial danpolitik, dan ditandai dengan maraknya konflik yang beraroma agama,suku, dan budaya, paling tidak untuk kurun sepuluh tahun terakhir.Oleh karena itu, implementasi dakwah yang berorientasi pada nilai-nilai inklusivitas untuk konteks masyarakat Indonesia yang bhinekamenjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan plus tidak bisaditawar keberadaannya.

Dakwah atau sosialisasi nilai-nilai agama pada prinsipnyamerupakan konsekuensi dan implikasi dari keimanan seseorang ataukelompok penganut keyakinan terhadap agamanya. Dalam kontekstersebut maka watak missionaris setiap agama terkadung sulit untuktidak menyatakan mustahil dibendung. Keyakinan atas agamakemudian mengantar pelaku dan penganutnya untuk melakukan upayamempertahankan diri, memperbanyak kuantitas plus meningkatkan

Page 14: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

184

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

kualitas keimanan pengikutnya. Dorongan tersebut diimplementasikanmelalui dakwah baik lisan, tulisan ataupun tindakan nyata dalammembumikan nilai-nilai keagamaan di tengah masyarakat.

Mengingat medan sosial dan budaya sebagai lokus penyemainnilai-nilai agama umumnya bersifat majemuk, maka dalam prosespengejawantahan berbagai nilai terkadang menimbulkan masalahatau bahkan gesekan dengan skala yang variatif. Mulai dari gesekanyang mengakibatkan letupan kecil hingga letupan besar dan bahkanterkadang berpadu degan tindak kekerasan. Belajar dari berbagaikasus konflik seperti yang terjadi di Ambon 1998 dan berlanjut hinggakasus Poso, kemudian menyadarkan bangsa ini, bahwa berbagai kasuskonflik hanyalah menyisahkan penderitaan plus kesensaraan. Dalamkonteks tersebut, seluruh komponen bangsa perlu segera berbenahguna melakukan upaya kreatif, konkrit dan konstruktif dalam rangkamembangun suasana damai dalam keragaman (harmony in diversity).

Upaya untuk membangun kehidupan yang bersahaja di tengahkeragamana sosial budaya dan agama adalah menjadi tanggungjawabtak terelakkan oleh setiap anak bangsa dari segala unsur dan elemen.Perwujudan gagasan tersebut dalam ruang sosial dapat dilakunanmelalui rekonstruksi pemahaman sosial keagamaan masyarakatdalam tubuh intern umat beragama, khususnya para pelaku dakwah/dai di lapangan. Upaya mengedepankan rekonstruksi pemahamankeagamaan kepada komunitas da’i didasarkan atas suatu pemaham-an, bahwa mereka yang termasuk dalam jaringan da’i, paling tidakmemegang tiga fungsi utama dalam kehidupan sosial budayamasyarakat yaitu sebagai: (1). motivator, (2). pembimbing moral, dan(3). mediator. Dengan tiga fungsi tersebut, maka para da’i berpotensiuntuk menciptakan harmoni sosial dengan jalan membangunpemahaman umat atau jama-ahnya tentang misi agama sebagaipencipta rasa damai bagi semua dan sesama. Tetapi pada saat yangsama mereka juga efektif untuk membangun dan memicu konflikantar umat beragama.

Peran da’i sebagai pencipta rasa aman, plus membangunintegrasi sosial dalam masyarakat menjadi semakin urgen ketika da’itersebut berada dalam bingkai sistim sosial yang tersegregasi. Dalamteori sosiologi masyarakat yang terbelah dan membangun demarkasi

Page 15: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

185

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

spasial seperti tergambar pada uraian di atas lahir dengan istilah gatedcommunities atau masyarakat berpagar. Dalam koteks masyarakatIndonesia yang jamak, suasana sosial masyarakat berpagar tidaklahkondusif untuk membangun integrasi, sebaliknya dapat menjadi lahansubur bagi konflik. Banyak kasus menunjukkan bahwa segregasi sosialbudaya menjadi pemicu efektif bagi lahirnya konflik horisontalsebagaimana terlihat dan terjadi di Ambon, Poso maupun di Sampit.

b. Dakwah dalam Masyarakat PluralFakta pluralitas masyarakat yang dihadapi umat Islam pada

prinsipnya bukanlah realitas baru, fenomena ini sebenarnya merupa-kan kondisi dan historitas umat Islam sejak masa awal, khususnyaketika periode Madinah. Jika merujuk pada sejarah dakwah nabi diMadinah, menujukkan bahwa realitas sosial yang Nabi hadapi padamasa setelah hijrah merujuk pada ruang keragaman etnik dan agama.Di Madinah hidup tidak saja orang Islam atau muslim tetapi didalamnya juga terdapat Yahudi dan Nasrani, selain perbedaan agama,suasana Madinah juga menggambarkan sistem sosial yang multi-kultur atau hidup beragam etnik di dalamnya.

Fenomena Madinah adalah fakta sejarah yang menunjukkankepada umat Islam, bahwa hidup berdampingan antar kultur yangberbeda secara kohesif bukanlah suatu masalah pelik apalagi harusdipersoalkan. Pertanyaannya kemudian adalah; bagaimana jikasegregasi sosial dan budaya itu terwarisi dari generasi dan peristiwasejarah masa lalu. Jika dalam masyarakat monokultur, demikian pulapada masyarakat yang hidup secara kohesif dalam bingkai keragamanbudaya (agama)problem pola dan metode dakwah tidak meng-undang masalah, maka hal yang sebaliknya akan terjadi dan berbedasuasananya pada suatu lingkungan yang tersegrasi secara budaya.

Dalam masyarakat kohesif yang terbingkai oleh keragamanbudaya dan agama, dakwah berkecenderungan untuk dilakukandiatas landasan kesadaran terhadap realitas keragaman. Tesistersebut sangatlah beralasan; mengingat orang atau komunitas yangberinteraksi di dalamnya terdiri dari latar belakang berbeda namunberada atau menggunakan ruang yang sama. Kondisi tersebutmendorong terciptanya tepo siliro saling memahami perasaan dan

Page 16: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

186

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

penghargaan atas pilihan ideologi. Hal tersebut akan sangat berbedajika sebuah ruang sosial digunakan oleh satu kelompok budaya ter-tentu, maka hal yang sangat mungkin terjadi adalah kelompoktersebut biasanya akan lebih leluasa untuk masuk dalam atau bahkanmemperlebar zona eksklusivitas.

Sikap eksklusiv adalah suatu sikap atau paham yang dianut dandihayati oleh kelompok sosial yang mengandung makna “terpisah dariyang lain, khusus dan tidak mencakup” Ketika menjadi suatu pahamdisebut ekslusivisme, yaitu paham yang mempunyai kecenderunganuntuk memisahkan diri dari masyarakat yang memiliki kecenderunganuntuk melihat kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok yang ada.Komunitas agama yang ekslusiv memandang, bahwa hanya agamanyasaja yang paling benar untuk semua orang, agama lain dengansendirinya salah. Penganut agama lain kadang dipandang sebagaiagama yang harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi.

Sebagai pandangan yang “tertutup”, ekslusivisme dapatdibedakan menjadi dua kategori, yaitu eklusivisme absolut danekskulsivisme relatif. Eklusivisme absolut adalah pandangan yang me-ngacu pada suatu pemahaman, yang secara sederhana meliahatkebenaran hanya terdapat dalam tradisi agama sendiri, sekaligusmemandang agama dan kepercayaan orang lain adalah keliru atautidak benar. Pandangan ini merupakan pandangan umum yang dianutoleh umat beragama, termasuk di dalamnya umat Islam. Adapunkelanjutan eklusivisme absolut, yaitu relativisme absolut, paham inimuncul sebagai akibat dari tradisi keberagamaan yang terlalu me-nekankan eklusivisme absolut. Pandangan relativisme absolutberangkat dari kerangka konseptual yang berdiri di atas landasanberfikir, bahwa berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapatdibandingkan satu sama lain karena orang harus menjadi “orangdalam” untuk dapat mengerti kebenaran masing-masing agama.Karena setiap keyakinan agama tidak pernah mempunyai aksesterhadap agama lain.19

19 Ninian Smart, “Pluralism” dalam Donald W. Musser dan Joseph L. Price,A New Handbook of Cristian Theology (Nasville : Abindon Press, 1992), h. 362.

Page 17: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

187

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Fenomena eksklusivisme juga tejadi pada pendirian beberapabangsa seperti bangsa Aria yang memandang etnik dan bangsanyalahyang terbaik diantara bangsa-bangsa di dunia, Paradigma ini pernahberkembang di Jerman pada masa perang dunia ke II. Selaineksklusivisme budaya, gaya dan agama, maka sifat eksklusiv bisa jugatercipta dalam ruang sosial yang didisain secara sengaja. Misalnya wargaelit perkotaan yang mengelompok dalam satu perumahan. Atau bahkankelompok orang-orang miskin yang hidup bersama dalam satu wilayah,juga memungkinkan terciptanya eksklusivisme. Bentuk lain yang sangatmemungkinkan bagi lahirnya eksklusivisme adalah sistem sosial yangtersegregasi. Potret ini dapat dilihat pada kehidupan masyarakat Aomadan Ambesakoa, yang secara kasat mata teramati melalui kedudukandan tempat tinggal mereka yang diberi garis batas “agama”.

Dengan membuat pembatas geografis yang berbingkai per-bedaan ideologi, maka masing-masing masyarakat hidup dalamhomogenitas dan ruang monokultural yang berdampingan/berbatasdengan masyarakat (lain) yang berbeda kultur. Dualitas yang ter-bangun antara kampung Islam dan Kristen sebagaimana yang terjadidi Aoma dan Ambesakoa secara teoretis rentan terhadap kemungkin-an lahirnya konflik.

Realitas keberbedaan dalam pilihan tempat tinggal yangberlatar pilihan agama seperti yang dideskripsikan menjadi pentinguntuk dicermati. Telaah untuk kejadian atau peristiwa sosial budayadalam suasana perbedaan sebagaimana yang terjadi di Aoma danAmbesakoa niscaya untuk dianalisis secara mendalam, mengingatsetiap peristiwa budaya dalam ruang sosial masyarakat segregasirentan terhadap eksploitasi yang mudah menyulut kasus konflik. Dalamkonteks itulah setiap peristiwa budaya niscaya untuk dilakonkan secarabijak dan menghindari aroma penegasian terhadap budaya lain.

Sebagai peristiwa budaya, dakwah dan pilihan modelnya dalamkonteks ruang sosial dimana terdapat dua komunitas yang hidupberdampingan tetapi tersegrasi secara spasial mesti didesainsedemikian rupa sehingga tidak justru menjauhkan atau bahkanmemicu konflik antar dua masyarakat, tetapi hendaknya lebih meng-arah pada upaya memperkuat jalinan kesepahaman antar warga dalamruang perbedaan. Kemampuan membangun nilai-nilai kesepahaman

Page 18: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

188

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

antar warga yang saling hidup menjauh atas dasar prinsip agamaseperti kasus Aoma dan Ambesakoa pada gilirannya diharapkan akanmendidik mereka lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Harapan tersebut hanya akan terealisasi jika, tokoh agama,adat, masyarakat termasuk di dalamnya da’i memerankan diri sebagaikatalisator persatuan dan kesatuan. Implementasi dari konseptersebut bagi para pelaku dakwah sejatinya lahir dalam bentuk modelatau pola komunikasi yang diterapkan ketika menyampaikan pesandan nilai-nilai agama. Disinilah pentingnya subyek dakwah melakukanpemetaan masalah dan tema-tema dakwah yang akan disampaikanpada ruang publik yang berada dalam bingkai segregatif.

Kondisi ini mengandaikan pada pentingnya melakukan kajianulang terhadap muatan materi dakwah yang ada sekarang baik darisegi kerangka filosofi, materi,maupun metode penyajiannya ataubahkan kemampuan para da’i yang melakukan dakwah. Oleh karenaitu, dakwah sebagai sebuah sarana dalam membina kesadaran agamamasyarakat dalam konteks keindonesian kini, idealnya diarahkan padaupaya untuk merajut silaturrahim dan pengutan basis integrasiberdasarkan atas prinsip-prinsip aqidah, syariah dan akhlah yangberbasis pada nilai-nilai Islam. Yaitu suatu sikap hidup yang mampumemandang, keyakinan budaya, bahasa dan etnik yag beragamsebagai anugrah Tuhan yang layak untuk dihormati, bukan untukdiperangi apalagi dimusnahkan.

Sejalan dengan tanggungjawab tersebut, Abdullah menggaris-bawahi lima tugas utama pendidikan (agama) Islam, dalam meng-hadapi keragaman agama, yaitu (1) mengenalkan isu-isu kontemporeryang dihadapi umat Islam, bersamaan dengan upaya menjelaskanajaran Islam klasik, (2) mengarahkan tujuan utama Islam pada pe-mecahan permasalahan mengenai hubungan antar manusia, (3)mengkontekstualisasikan Islam, (4) mengkritisi penekanan pendidik-an agama hanya pada domain kognitif, dan (5) mendedikasikan Islamtidak semata-mata untuk pengembangan moralitas individu,melainkan juga moralitas publik.20

20 M. Amin Abdullah, Membangun Perguruan Tinggi Islam Unggul danTerkemuka (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hlm. 39- 40.

Page 19: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

189

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Jika merujuk pada argumentasi Abdullah, maka seyogyanyapenatalaksanaan dakwah dalam ruang sosial khususnya padamasyarakat segregatif tidak malah menjadikan isu keragaman agamasebagai “makhluk” aneh dan dipandang sebagai lawan sehingganiscaya disingkirkan dalam arena sosial. Kognisi sensitive beraromakecurigaan (prejudice) yang berlebihan dalam menyikapi keberadaanpihak lain, sejatinya dieliminasi dalam visi dan misi komunitas dai.Fenomena keragaman idealnya dijadikan media untuk membangkit-kan kesadaran terhadap realitas keragaman sebagai anugrah Tuhanyang niscaya untuk disyukuri, untuk kemudian dijaga, dirawat dandipelihara. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dalam rangkapengarustamaan nilai-nilai multikultur dalam materi dakwah. Upayaini dapat berfungsi sekaligus sebagai cara efektif menangkal gerakankontra keragaman yang terkadang menjadikan isu pluralitas/mesebagai mangsa yang menjadi sasaran bidik setiap saat.

Dakwah yang mengeliminasi arti signifikan keanekaragamandan kemajemukan agama, penting untuk segera diantisipasi bersamasedini mungkin dengan berbagai pendekatan, misalnya dengandialog, sosialisasi nilai-nilai multikultur berbasis Islam, work shopdesain materi dakwah ramah sosial. Selain itu dakwah juga sejatinyatidak hanya fokus pada penguatan basis kognisi, tetapi tetapi jugabagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulanmasyarakat yang damai dan sejahtera.

C. Mencarai Format Dakwah dalam Masyarakat Berpagar

Upaya masyarakat beragama mengejawantahkan paham dankeyakinannya pada masyarakat salah satunya ditempuh dengankegiatan dakwah. Dalam konteks ini dakwah berfungsi mengokohkanbasis keimanan penganut agama dan keyakinan. Baik pada masya-rakat Aoma yang muslim maupun masyarakat Ambesakoa yangkristiani, dimana sepanjang sejarah kehidupan mereka diketahuimemiliki upaya-upaya kearah penguatan basis keyakinan yangmereka anut. Bagi masyarakat Ambesakoa anak-anak mereka sebagi-an di antaranya dikirim untuk mengenyam pendidikan di sekolahKristen Lambuya guna didik dan dipersiapkan sebagai calon penyuluhkeimanan pada masa akan datang. Selain itu di tempat ini juga secara

Page 20: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

190

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

bergiliran ditugaskan seorang pendeta atau vikaris yang khususmenangani atau menjadi pembimbing masyarakat kristiani.Sementara di pihak muslim sekalipun manajemen dakwah danpembinaan keagamaan tidak sesistematis Orang Ambesakoa, namunatas kesadaran mempertahankan basis keimanan yang telah diwarisisecara turun temurun, beberapa di antara keluarga menyekolahkandan mendidik anak mereka di sekolah-sekolah agama, mulai darimadrasah hingga ke IAIN di Kendari. Bahkan wilayah Aoma pernahmenjadi wilayah binaan khusus dari IAIN Kendari.

Fakta tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun dalambentuk sederhana, “rivalitas” yang diwujudkan dalam bentuk dakwahdan atau kegiatan missionaris baik yang dilakukan oleh kelompokIslam maupun Kristen tetap berjalan. Dalam pandangan penulisupaya dan kreasi masyarakat setempat dalam menumbuh kembang-kan nilai-nilai religiusitas perlu diapresiasi. Mengingat segala upayatersebut pada prinsipnya adalah sumbangsih masyarakat terhadapNegara untuk turut andil memperkuat basis pendidikan dan penguat-an keilmuan masyarakat dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupanbangsa. Pada sisi lain, agresivitas kedua masyarakat dalam membinadan mengawal dakwah pada masing-masing kelompok perlu untukmendapat binaan dari instansi atau lembaga terkait. Tujuannya agarberbagai pendidikan yang berbasis masyarakat seperti dakwah danpenguatan misi tidak salah arah yang memungkinkan bagi terjadinyasesuatu yang kontra produktif.

Berangkat dari fenomena tersebut, penulis berusaha menilisikmasuk untuk mengetahui realitas dakwah yang dilakukan oleh keduabelah pihak. Dari hasil pengamatan dan telaah penulis terhadapmateri dakwah yang terjadi di Gereja maupun Masjid seluruhnyamasih bersifat konvensional. Dakwah dikedua tempat masih terbataspada ceramah dan khutbah normative teologis. Di Gereja pendetamembacakan Injil dan nyanyian kidung jemaat, sedangkan di Masjiddilakukan khutbah jum’at, selain pembinaan TPQ bagi anak usiasekolah juga terdapat pengajian ibu-ibu majelis taklim. Di Masjid danGereja, masing-masing pihak (Ustad dan Pendeta) berusaha meyakin-kan kepada jama-ahnya tentang kebenaran agama yang mereka anut.Hasil pengamatan penulis tampak model dan pendekatan dakwah

Page 21: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

191

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

oleh kedua pihak masih dikelola secara konvensional. Tidak tampakimprovisasi yang signifikan dalam mengemas dakwah baik metodedan materinya. Metodenya berupa ceramah sedangkan materinyaberkisasr pada persoalan ibadah dan keimanan.

Keterbatasan sumber daya, khususnya di kalangan muslimmenyebabkan dakwah dan tablig di tempat ini masih berkutat padapengajian dengan materi yang disampaikan melalui pendekatan bil-lisan, demikian pula yang terjadi Ambesakoa. Jika dikombinasikandengan suasana sosial yang terbangun pada kedua masyarakat yangmenunjukkan pada realitas keterbelahan, maka tampaknya modeldan pendekatan dakwah yang dilakukan oleh kedua belah pihakbelum memadai. Dakwah yang dilakukan di Masjid maupun di Gerejamelalui ceramah/khutbah dimensi dan ruanglingkupnya semata-mata untuk kepentingan internal masing-masing umat. Jika mencobauntuk jujur, conten pesan lebih bersifat defends / mempertahankanstabilitas keyakinan dari kemungkinan pengaruh eksternal. Strategidan model materi sebagaimana disebutkan tidaklah berarti keliru,karena secara alami siapapun dan kelompok manapun selaluberusaha untuk melanggengkan apa yang diyakininya serayamembentengi diri dari intervensi pihak lain. Namun jika model dancara tersebut dilakukan dalam takaran yang berlebih, maka bolehjadi umat tidak tercerahkan tetapi justru membelenggu merekadalam ikatan primordialisme/fanatisme berlebihan dan kontraproduktif. Dalam kondisi tak terkendali terkadang untuk tidakmenyatakan selalu, model dan strategi dakwah yang lebihmenekankan pada “indokrtinasi” dapat mencelupkan pelaku agamakedalam sifat eksklusivisme dan pada gilirannya terjebak dalam ruangtruth claim. Keterjebakan masyarakat dalam bingkai budaya truthclaim khususnya bila hal tersebut terjadi pada konteks sosial yangtersegregasi akan menimbulkan implikasi yang sangat riskan bagistabilitas social.

Jika eksklusivisme dan truth claim itu adalah taruhan beresikotinggi bagi stabilitas, maka mengapa kedua masyarakat hingga hariini dapat hidup dalam “harmoni” atau paling tidak belum terdengaradanya konflik antar kedua masyarakat bertetangga dan berbedaagama tersebut. Kalau faktanya hingga detik ini tidak terdengar adaya

Page 22: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

192

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

konflik di atara mereka, bukan alasan kuat untuk menjustifikasi keduamasyarakat hidup dalam damai. Karena konflik tidak harus selalumanifest, dalam satu kondisi dan suasana sosial tertentu konflik tetapeksis dalam ruang yang laten. Hasil penelitian sebelumnya me-nunjukkan bahwa: Konflik dalam bentuk benturan fisik memangbelum pernah terjadi pada masyarakat setempat. Namun ketegangandalam bentuk emosional yang beraroma sentimen keagamaanbukannya tidak ada. Kasus perkawinan antar agama, kenakalanremaja, penyajian makanan dalam pesta adalah hal-hal potensialmelahirkan konflik yang kerap terjadi pada kedua masyarakat se-tempat. Kendatipun konflik antara kedua pihak selama ini belumpernah termanifes dalam bentuk fisik, tetapi ketegangan psikis tetapberada dalam zona laten. Oleh karena itu, secara teoretis, konflikyang terjadi pada kedua masyarakat masih berada pada taraf konflikkonstruktif dan bersifat fungsional. Konflik ini muncul karena adanyaperbedaan antar kelompok dalam menyikapi suatu permasalahan,namun keberbedaan tersebut tidak sampai mengarahkan merekauntuk bertikai secara fisik.21

Segregasi spasial pada prinsipnya adalah teks yang meng-gambarkan ketegangan komunal pada wilayah setempat memangterjadi. Meskipun demikian sisi lain yang juga dapat disimpulkanadalah, bahwa dalam suasana keterbelahan budaya (agama) yangdipertegas dengan pemilahan tempat tinggal masing-masingkelompok mampu hidup sekaligus bertahan dalam damai. Kondisitersebut tentu saja bukan tanpa rekayasa atau tidak terjadi dengansendirinya. Harmoni yang selama ini tampak dipermukaan dan terjadidalam waktu lama adalah imbas dari strategi dakwah kedua belahpihak. Dakwah dalam konteks ini tidak harus dimaknai secara formallegalistik, seperti khutbah pada hari jumat bagi umat Islam dan dihari minggu bagi umat Kristiani. Model dakwah yang mengantar danmerekatkan mereka kedalam persaudaraan yang melintasi garis patokgeografis yang ditancap tanamkan oleh pendahulu mereka adalahkesadaran tentang makna penting dari persatuan. Kesadaran tersebut

21 Alifuddin,” Konflik dan Konsensus dalam Hubungan antara Iman padaMasyarakat Aoma Ambesakoa Konawe Selatan” Laporan Penelitian, Kendari:LPPMIAIN Kendari, 2015, h. vi.

Page 23: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

193

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

tumbuh dalam ruang mekanisme komunitas melalui saluran lembagaadat dan kesadaran akan pengalaman pahit dari dampak konflik dibeberapa daerah.

Dengan demikian media dakwah inklusiv dikedua tempatsebenarnya tidak berada pada jalur formal konvensional melaluisarana Masjid dan Gereja. Dakwah inklusiv tersebut meskipun tidakberada jauh dari pintu rumah “tuhan”, tetapi yang jelas tidak beradadalam ruang rumah “tuhan”. Mengingat keberagamaan inklusivadalah amanah Tuhan bagi umat manusia, maka nilai-nilai inklusivharus menjadi bagian integral dalam setiap dakwah, ceramah dankhutbah yang diselenggarakan di dalam rumah Tuhan pada keduatempat. Sebaliknya eksklusivitas sebagai energi yang mengarahkanumat beragama melenceng dari jalur makna hakiki agama itu sendiri,sejatinya tidak lagi menjadi bagian dari nyanyian jemaat dan ceramaserta khutbah di majelis-majelis zikir.

Salah satu tugas utama ke depan adalah mempertahankandakwah inklusiv yang sifatnya non formal sembari berusahamemasukkan nilainya pada jalur formal konvensional. Gagasan inibukan tanpa alasan, mengingat jika nilai-nilai tersebut hanya beradapada media tunggal yaitu jalur non formal dan pada saat yang samajalur formal konvensional tidak dibenahi dan tetap bertahan denganmodel paradigma dakwah berbasis penguatan plus penegasian, makadikhawatirkan nilai-nilai inklusiv yang dihantar oleh dakwah nonformal akan mudah menjadi layu dan lesuh dara. Sebab modeldakwah non formal berbasis komunitas yang menyalurkan energiinklusiv yang tidak ditopan dengan model formal konvensional, didugatidak dapat menjadi media tumbuh yang subur bagi pohon inklusiv.

Pembenahan dan rekonstruksi visi dakwah formal konvensionaldi Aoma dan Ambesakoa dari basis paradigma penguatan danpenegasian pihak lain menuju visi kebersamaan dan kesantunan dalammenyikapi warna-warni peradaban yang mewujud dalam pilihankeberagamaan adalah esensi dari tugas dakwah. Karena dakwah sebagaisebuah proses dalam membentuk jiwa dan semesta kepribadianseseorang (dalam hal ini sasaran dakwah/madh’u) pada prinsipnyamerupakan gerakan pendidikan berbasis masyarakat, yang memilikipengaruh signifikan dalam membentuk watak budaya suatu komunitas.

Page 24: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

194

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Upaya pengembangan dakwah melalui pendekatan kulturkomunitas sebagaimana yang dideskripsikan sebelumnya bukanlahsuatu yang sulit, mengingat kedua masyarakat pada prinsipnya berdiritegak di atas kultur yang sama. Sebagai orang Tolaki maka masyarakatAoma dan Ambesakoa mengembangkan cara dan budaya hidup yangdilandasi atas nilai-nilai budaya ketolakian. Dalam upayanyamembangun sistem kehidupan sosial yang aman dan damai, orangTolaki membangun konsep budaya; medulu mepoko’aso (persatuandan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), danmorini mbu’umbundi monapa mbu’u ndawaro (kemakmuran dankesejateraan). Ketiga konsep di atas sesungguhnya adalah merupakankultur integrasi yang hidup sejak zaman dahulu dan hingga kini dijagadan dipelihara oleh orang Tolaki.22 Oleh karena itu, dalam kehidupankeseharian orang Tolaki sangat menjaga arti penting dari nilai-nilaipersatuan, keadilan dalam rangka mencapai kemakmuran. Modalitasbudaya sebagaimana dibentangkan di atas sesungguhnya berpotensiuntuk membangun visi dan wawasan masyarakat yang inklusiv.Persolannya adalah tinggal bagaimana mengelola potensi kulturtersebut agar dapat terintegrasi dalam muatan dakwah/khutbah parapenceramah di rumah-rumah ibadah.23

22 Budaya perdamaian/integrasi yang terdapat di dalam masyarakat TolakiTolaki antara lain : (1) kepemimpinan tradisional; (2) hukum adat; (3) nilai-nilaikeagamaan; dan (4) falsafah persahabatan. Budaya damai yang diangkat dari tradisi,adat istiadat, nilai budaya dan keagamaan yang hidup dalam berbagai masyarakatdi wilayah Konawe ini menunjukkan bagaimana ia dapat, secara potensial,dimanfaatkan melegitimasi dan membawa pemecahan damai sehubungan denganmasalah-masalah kekerasan. Dengan demikian dalam budaya masyarakat Tolakiterdapat budaya yang berpotensi digunakan sebagai media transformasi kekerasanke perdamaian namun cenderung diabaikan selama ini. Memusatkan prosestransformasi pada budaya damai di dalam masyarakat perlu dilakukan untukmengurangi ketergantungan terhadap pranata modern yang syarat dengan nilai-nilai ketidakdamaian sejati(kedamaian semu). Hasil penelitian beberapa ahli dibidang resolusi konflik menunjukkan sejumlah kelemahan model resolusi konflikyang berbasis pada hukum nasional. Oleh sebab itu, perlu membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik domestik denganmenggunakan pranata adat yang hidup dan bersumber pada budaya lokal.

23 Alifuddin, Islam dan Pluralisme…, h. 46.

Page 25: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

195

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Pengembangan model dakwah inkluisv berbasis kulturkomunitas pada masyarakat Aoma dan Ambesakoa menjadi suatukeniscayaan, mengingat suasana sosial yang tersegregasi berdasarkanpilihan ideologi sangat rentan untuk dimanipulasi oleh pihak-pihaktertentu. Dalam kondisi hubungan antara dua komunitas yangterpisah oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atasidentifikasi agama masing-masing komunitas, menurut penulis padatitik kulminasi tertentu akan mendorong lahirnya prasangka yangberlebihan. Kasus kawin beda agama dipresepsi sebagai upayakristenisasi atau islamisasi, kasus perkelahian remaja antar duakampung yang merupakan imbas dari kenakalan remaja, denganadanya segresi tersebut dapat dipresepsi oleh masing-masing pihaksebagai ketegangan dua agama. Oleh karena itu, pada titik inilahdiduga akan dapat melahirkan streoptipe negative, yang sangat bolehjadi tercipta dengan atau sebagai implikasi dari rekayasa spasial yangterbangun oleh sejarah mereka.24

Fakta lain yang dihasilkan oleh klasifikasi ruang berdasarkanbasis ideologi, adalah terciptanya pagar budaya yang berujung padapenguatan solidaritas kelompok masing-masing. Hal ini tentu sajaberdampak pada respon mereka terhadap konsep pluralitaskeyakinan. Adalah William Graham Sumner, professor sosiologiAmerika Serikat (Yale College), berpendapat bahwa, segresi dapatmenyebabkan (secara otomatis) tiap grup punya pendapat bahwadirinya lebih superior dibanding grup lain dan karenanya (peluang)konflik semakin terbuka lebar ketika dua grup bertemu. MenurutPettigrew dan Tropp, konon di akhir abad ke-19, ide terdepanpsikologi sosial mendikte bahwa kontak antar dua grup yang berbedahampir pasti berakhir pada konflik.25 Meskipun pendapat akandampak segresi seperti yang dikemukakan di atas, tidak selaluterbukti atau bahkan telah dibantah oleh realitas aktual yang terjadipada masyarakat Aoma dan Ambesakoa yang selama ini terkesan“harmoni”. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya konflik fisikselama kurun waktu yang lama antara kedua komunitas, namun riak-

24 Alifuddin, Konflik,….h. 67.25 Sokanto, Pengantar Sosiologi…..h. 167.

Page 26: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

196

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

riak psikis yang mengganjal dua komunitas satu etnis yang berbedakeyakinan tersebut menunjukkan pada adanya bukti konflik yangbersifat laten.

Oleh karena itulah, selain mengembangkan muatan kultursetempat yang beririsan dengan nilai-nilai inklusiv, maka bidukdakwah juga sejatinya diarahkan pada pembentukan manusia yangcerdas, beradab, bermartabat yang ditopang oleh nilai keimanankepada Tuhan sehingga tercipta sumberdaya insani yang berakhlakkarimah, penuh inovasi dan mandiri serta menjadi bagian dari wargamasyarakat yang demokratis, amanah dan bertanggungjawab.Dengan visi dakwah yang demikian, maka diharapkan gerakandakwah mestinya merupakan gerakan pencerahan sekaliguspembebasan dari segala tirani sosial dan budaya yang membelengguharkat dan martabat kemanusian.

Paulo Friere seorang pakar pendidikan pernah mengemuka-kan gagasan brilian berkenaan dengan konsep “pendidikan yangmembebaskan bagi manusia”, maka semestinya dakwahpun harusberorientasi pada “dakwah yang membebaskan manusia dari anekaproblem kehidupan mereka”. Dakwah sebagai salah satu modelgerakan perubahan sosial, sejatinya tidak terbingkai sebatas khutbahatau ceramah lewat mimbar yang hanya lantang bersuara tentangmekanisme ibadah mahdah/hablun minallah, tetapi juga harusdiorientasikan pada upaya konkrit berdimensi sosial kemanusiandalam rangka merajut suasana sosial yang harmonis di tengah warna-warni perbedaan budaya dan agama. Karena itulah esensi dakwahsebenarnya terletak pada upaya untuk mengadakan dan memberikanarah perubahan. Mengubah kondisi sosial budaya yang rentan konflikkepada integrasi, eksklusivisme ke arah inklusivisme, tindak lakukezaliman ke arah keadilan, kebodohan kearah kemajuan-kecerdasan,kemiskinan ke arah kemakmuran, keterbelakangan ke arah kemajuan.Karenanya dakwah harus selalu mengandung dimensi perubahan,peningkatan dan development.26

26 Zulfa Jamali, “Strategi Dakwah pada Masyarakat Suku Terasing diKalimantan Selatan”, Makalah Dacon 2 2014, h. /Semangat pembebasan initerekam dalam firman Allah yang memerintahkan kepada Nabi Musa: izhab ilâ

Page 27: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

197

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Diakui atau tidak, model dakwah yang selama ini dijalankandi beberapa tempat faktanya sering menimbulkan fanatismekeberagamaan dan penciptaan ideologi klaim kebenaran. Praktekdakwah kurang menyentuh aspek realitas sosial, yang sebenarnyajuga merupakan garapan dakwah. Karenanya model dakwah yangcenderung eksklusiv, dogmatis dan tidak menyentuh aspek moralitas,perlu didekonstruksi atau dibongkar, kemudian dimunculkan modeldakwah yang menghargai kemanusiaan, membebaskan daripenindasan, memupuk persaudaraan dan menekankan kebaikan,kesejahteraan bersama, serta kedamaian dalam kemajemukan.

Oleh karena itu, untuk memelihara hubungan harmonisantarumat beragama dalam masyarakat plural, pesan dakwah niscayalebih ditekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta kasih,gotong royong, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, kebajikan,menghormati perbedaan pendapat, dan sikap-sikap kemanusiaanmulia lainnya. Dalam dakwah yang demikian ditanamkan sikap dankesadaran tentang kedewasaan dalam menghadapi perbedaan agamadan perilaku keagamaan. Antarumat beragama bersatu menentangketidakadilan, status quo, monopoli dan bentuk-bentuk kejahatankemanusiaan lainnya. Paradigma dakwah ditekankan pada aspekemansipatoris, transformasi sosial, mengapresiasi humaniora danpembentukan kesadaran pada objek dakwah (masyarakat mad’u) agartercipta suasana hubungan yang harmonis.27

Gerakan dakwah berbasis komunitas sebagaimana yangterjadi secara nonformal di Aoma dan Ambesakoa, pada prinsipnya

fir’awna fainnahû þagâ (pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampauibatas) (QS. al-Nâzi’ât (79): 17). Dari ayat ini, dapat digarisbawahi bahwa Musapada tahap pertama kenabiannya dimandatir untuk meyakinkan Firaun danmembangunkan dalam dirinya sifat manusiawi sejati dengan jalan teguran. Musadinasehati untuk berjuang membebaskan masyarakat tertindas apabila usahapertama itu gagal. Firman Allah: faqul hal laka ilâ an tazakkâ (18) wa ahdiyaka ilârabbika (dan katakanlah (kepada Firaun)! adakah keinginan padamu untukmembersihkan diri, dan bahwa aku hendak membimbingmu menuju Tuhanmumaka kamu akan takut). (QS. al-Nâzi’ât (79): 18 – 19).La Malik Idris, “Dakwah dalamMasyarakat Plural”, Disertasi, IAIN Alauddin, h. 56.

27 Idris, ibid.

Page 28: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

198

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

28Abdul Munir Mulkhan, Menggugat Muhammadiyah, (Yogyakarta: FajarPustaka Baru, 2000) h.245.

merupakan dakwah pembebasan yang sangat solutif bagi masyarakatyang terkunkung oleh fanatisme budaya melalui perekayasaan ruangatau zona eksklusiv seperti yang tercermin dalam hidup dan sejarahOrang Aoma dan Ambesakoa selama ini. Melalui dakwah komunitastersebut setidaknya mereka telah belajar untuk tahu mengenairelung-relung kehidupan orang lain sekaligus membebaskan dirimereka dari kerankeng ekskluisvisme secara perlahan. MenurutMunir Mulkan, konsep dan strategi dakwah yang diarahkan padapembebasan terhadap berbagai permasalahan kehidupan umat dilapangan, pada gilirannya nanti akan melahirkan gambaran dan tigakondisi positif dalam masyarakat, yakni (1) Tumbuhnya kepercayaandan kemandirian umat serta masyarakat, sehingga berkembang sikapoptimis dan dinamis (2) Tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatandakwah guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik dan ideal(3) Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya, politik, ilmupengetahuan dan teknologi sebagai landasan peningkatan kualitashidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat. Dengandemikian, menurut hemat Munir Mulkhan dakwah pemecahanmasalah merupakan upaya yang demokratis bagi pengembangan danpeningkatan kualitas hidup sebagai bagian dari pemberdayaanmanusia dan masyarakat dalam menuntaskan berbagai persoalankehidupan objektif.28

Melalui berbagai program yang terarah dan kebijakan yangproporsional serta model dakwah yang tepat, suatu komunitasmasyarakat dengan problem dan persoalan apapun pada gilirannyadapat dikembangkan menjadi komunitas sosial yang mempunyaikemampuan internal untuk berkembang secara mandiri dalammenyelesaikan persoalannya. Dalam konteks itulah maka paling tidakada enam hal yang mungkin dapat dijadikan ancangan strategi bagipengembangan dakwah pada masyarakat Aoma Ambesakoa yangdapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait sebagai upaya memperkecilpeluang konflik melalui media dakwah yaitu:

Page 29: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

199

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

1. Keterlibatan da’i secara langsung dalam pembinaan masyarakatdengan melakukan pembinaan visi inklusivitas secara ber-kesinambungan, baik melalui forum resmi keagamaan (di Masjiddan Gereja) maupun lewat institusi adat.

2. Peningkatan peran sosial budaya masyarakat melalui upayatransformasi dan pelembagaan nilai-nilai ajaran agama (Islam)dalam realitas kehidupan masyarakat luas seperti kegiatanhumaniora, seni budaya, penggalangan ukhuwah, pemeliharaanlingkungan, kesehatan, dan lain-lain.

3. Melalui pemberdayaan (empowerment) fungsi dan kerjasamainstitusi-institusi sosial kemasyarakatan yang memiliki visi, misidan tugas yang sama dalam menangani persolaan relasi sosialbudaya dan antar Agama pada kedua masyarakat.

4. Melalui upaya kondisioning dalam pemahaman, sikap danpersepsi tentang keberagamaan dan pembangunan manusiaIndonesia yang berwawasan bhineka tunggal ika.

5. Membentuk jaringan kerjasama antar kelompok agama dalambentuk FKUB yang terkoordinir secara baik.

6. Mengembangkan dakwah pada kedua masyarakat tentang visitoleransi yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal baik lewatsaluran formal konvensioanl (dakwah/ceramah di rumah ibadah)maupun lewat mekanisme komunitas.

D. Penutup

Berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan menunjukkanbahwa: internalisasi dan transformasi nilai inklusiv pada masyarakatsegregatif Aoma dan Ambesakoa dilakukan melalui prosudur dakwahberbasis komunitas. Saluran dakwah inklusiv ternyata tidak melaluimekanisme formal konvensional seperti ceramah atau khutbah yangberbasis di Masjid dan Gereja. Basis dakwah inklusiv pada masyarakatsetempat berada pada saluran komunikasi adat atau tradisi lokal.Dalam konteks tersebut maka nilai-nilai inklusiv agama berada padamedan budaya yang sudah mengalami objektivikasi sehingga menjadimodal sosial. Meskipun dakwah formal konvensional dalamimplementasinya tidak menjadi lahan subur dalam mentransformasi

Page 30: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

200

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

nilai inklusiv pada masyarakat setempat, namun sebagai pendekatandakwah yang telah berurat berakar dalam batang tubuh masyarakat,maka pendekatan tersebut tetap harus dipertimbangkankeberadaannya. Mengingat legitimasi nilai-nilai agama padamasyarakat tradisional saluran primernya masih adalah melaluimekanisme dakwah formal konvensional. Dalam konteks itulah, makapendekatan dakwah melalui ceramah/ khutbah, majelis taklimperlahan tetapi pasti menjadi niscaya untuk direkonstruksi dari segimateri dan model pendekatannya. Meteri atau content dakwahkonvensional yang selama ini lebih menekankan pada penguatanbasis keimanan dan kesalehan dalam bentuk ritual formalistikditambah atau dipadu dengan muatan yang mengarah padatransformasi keimanan yang universal dan kesalehan sosial untukseluruh umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Membangun Perguruan Tinggi Islam Unggul danTerkemuka Yogyakarta: Suka

Press, 2010Muhammad Alifuddin, “Islam dan Pluralisme: Respon Masyarakat

Tolaki Wolasi dan Lambuya tentang Paradigma Keragaman”,Laporan Penelitian, Balitbang Kemenag RI, th. 2013

______ “Konflik dan Konsensus dalam Hubungan antara Iman padaMasyarakat Aoma Ambesakoa Konawe Selatan” LaporanPenelitian, Kendari:LPPM IAIN Kendari,2015

Idris, La Malik , “Dakwah dalam Masyarakat Plural” disertasi, UINAlauddin, 2009

______”Islam dan Pluralisme: Respon Tokoh Agama mengenaiGagasan Pluralisme di Kendari”, Laporan Penelitian Kompetitif,Jakarta Diktis Kemenag, 2005

Jamali, Zulfa “Strategi Dakwah pada Masyarakat Suku Terasing diKalimantan Selatan”, Makalah Dacon II, 2014

Mulkhan, Abdul Munir, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta:Fajar Pustaka Baru, 2000

Page 31: DAKWAH INKLUSIF DALAM MASYARAKAT SEGREGATIF DI …

201

Muhammad Alifuddin, Dakwah Inklusif Dalam Masyarakat Segregatif...

Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015

Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir, Jakarta: Pesantren al-Munawir, 1984

Mustain, dkk. “Segresi Etno-religious:Upaya Resolusi Konflik danPembangunan Perdamaian” Walisongo, Volume 21, Nomor1, Mei 2013

Nurjannah, Paralelisme Keimanan: Relasi antar Iman dalamMasyarakat Tolaki Lambuya, Laporan Penelitian Kompetitif,Diktis Kemanag RI, 2011

Shihab, M. Quraish,Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasianal-Quran, Volume 2 Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2000

Smart, Ninian ,”Pluralism” dalam Donald W. Musser dan Joseph L.Price, A New Handbook of Cristian Theology Nasville : AbindonPress, 1992

Zainal, Asliah,”Konflik dan Kompromitas Adat dan Agama (KasusPerkawinan Suku Tolaki Sulawesi Tenggara)”, Tesis,Yogyakarata; UGM, 2015,

Daftar informan:1. Abdul Latif2. Haslita3. Ibrahim4. Marlin, Pdt.5. Mustakim6. Muhammad Ali7. Muslimin Suud8. Nimali Fedelis Buke9. Pelita Sara10. Randelangi11. Yahya Sonaru