66
TANYA-JAWAB PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 2 Jelaskan inovasi besar yang sedang dilakukan dunia pendidikan di Indonesia ! Mengapa ? Jawab : Visi reformasi pembangunan dalam rangka penyelematan dan reformasi kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah terwujudnya masyarakat Indoensia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memeiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Perwujudan masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing. Hal tersebut diperlukan, terutama untuk mengantisipasi era kesejagatan, khususnya globalisasi pasar bebas di lingkungan negara-negara ASEAN, seperti AFTA (Asean Free Trade Area), AFLA (Asean Free Labour Area), maupun di kawasan negara-negara Asia Pasifik (APEC) Dalam kaitannya dengan pendidikan, Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. (1998), mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidian yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional. Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar

DAFTAR PUSTAKA - Web viewcukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih meprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga

  • Upload
    vudan

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

TANYA-JAWAB PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 2

Jelaskan inovasi besar yang sedang dilakukan dunia pendidikan di Indonesia ! Mengapa ?Jawab :

Visi reformasi pembangunan dalam rangka penyelematan dan reformasi kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah terwujudnya masyarakat Indoensia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memeiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

Perwujudan masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing. Hal tersebut diperlukan, terutama untuk mengantisipasi era kesejagatan, khususnya globalisasi pasar bebas di lingkungan negara-negara ASEAN, seperti AFTA (Asean Free Trade Area), AFLA (Asean Free Labour Area), maupun di kawasan negara-negara Asia Pasifik (APEC)

Dalam kaitannya dengan pendidikan, Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. (1998), mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidian yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.

Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan melalui kerjasama secara demokratis. Unesco (1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan Pancasila: pertama; pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua, belajar seumur hidup (life long learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.

Upaya peningkatan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah dalam hal ini Menteri pendidikan Nasional juga mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang

cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih meprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami perubahan secara merata (Depdiknas, 2001:1-2).

Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Faktor ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.

Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui penataan peringkat lunak (soft ware) maupun perangkat keras (hard ware). Di antara upaya tersebut, antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang tentang Sisdiknas 2003, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangannya berada pada pemerintah daerah kota/kabupaten. Dalam kaitan ini visi, misi dan strategi Kantor Depdiknas pada tingkat kabupaten harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata organisasi maupun lingkungannya, dan harus mendukung pula misi pendidikan nasional, serta harus mampu memelihara garis kebijaksanaan dari birokrasi yang lebih tinggi. Di samping itu, tujuan harus layak, dapat dicapai dengan kemampuan yang ada serta memiliki wawasan tentang gambaran ideal kondisi pendidikan yang diharapkan di masa depan.

Menurut Sidi (2000) mengemukakan empat isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah. Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan pendidikan. Keempat hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar

kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi yang mungkin akan berbeda antar sekolah atau antar daerah akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal, normal (mainstrem), dan unggulan.

2. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia bagi terciptanya tujuan pendidikan yang diharapkan.

3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat dan perwakilan siswa. Peran komite meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja sekolah.

4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal serta pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.

Sejalan dengan uraian di atas, dan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan global pada persaingan pasar bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang semakin hari semakin canggih, maka pemerataan pelayanan pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang tanrsparan, berkeadilan dan demokratis (democartic education). Hal tersebut harus

dikondisikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai sebuah masyarakat kecil (mini society) yang merupakan wahana pengembangan peserta didik, dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis (democratic instruction), agar terjadi proses belajar yang menyenangkan (joyfull learning).

Dengan iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan calon penerus pembangunan masa depan yang sabar, kompeten, mandiri, kritis, rasional, cerdas, kreatif, dan siap menghadapi berbagai macam tantangan, dengan tetap bertawakal terhadap maha pencipta.

Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan nasional, yang dipandang oleh berbagai pihak sudah tidak efektif, dan tidak mampu lagi memberikan bekal, serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing dengan bagsa lain di dunia. Perubahan yang mendasar tersebut berkaitan dengan kurikulum, yang sendirinya menuntut dan mempersyaratkan berbagai perubahan pada komponen pendidikan lain.

Berkaitan dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum), yang dapat membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntutan reformasi, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan kesejahteraan sosial, lentur, dan adaptif terhadap berbagai perubahan. Kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien dan berhasil guna.

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan negara. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya, yaitu sekolah.

Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka ini KBK tampil sebagai alternatif kurikulum yang ditawarkan. KBK merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam meningkatkan mutu, dan efisiensi pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik.

Dalam kehidupan suatu negara pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia. Masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan yang berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Menurut Mulyasa (2002:17-18), bahwa pembangunan pendidikan nasional didasarkan pada visi dan misi sebagai berikut:

1. Meningakatkan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bersamaan dengan peningkatan mutu. Bersamaan dengan upaya perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, semakin kuat pula tuntutan masyarakat dan pembangunan nasional akan perlunya pendidikan yang lebih bermutu, relevan, adil, manusiawi, dengan menjangkau semua orang dalam semua lapisan atau golongan.

2. Pengembangan wawasan persaingan dan keunggulan. Bangsa Indonesia harus memiliki keunggulan sehingga dapat bersaing secara global. Kuncinya adalah tersedianya pendidikan yang bermutu. Wawasan keuanggulan diperlukan karena masyarakat Indonesia dan dunia terus berubah dalam irama yang semakin cepat. Salah satu aspek dari wawasan kuunggulan ialah bahwa bangsa Indonesia perlu melihat posisinya di tengah bangsa-bangsa lain.

3. Memperkuat keterkaitan pendidikan agar sepadan dengan kebutuhan pembangunan. Pendidikan nasional harus memiliki keterkaitan dengan pembangunan nasioanal, agar dapat menunjang pembangunan nasional melalui penyediaan sumberdaya manusia yang lebih bermutu dan jumlah yang memadai.

4. Mendorong terciptanya masyarakat belajar. Masyarakat Indonesia masa depan, tanpa memandang usia dan tingkat pendidikannya, adalah masyarakat yang memiliki kehendak, kemauan dan kemampuan untuk belajar atas prakarsanya sendiri secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Pendidikan merupakan sarana untuk menyiapkan generasi masa kini dan sekaligus masa depan. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan yang dilakukan pada saat ini bukan semata-mata untuk hari ini, melainkan untuk masa depan.

6. Pendidikan merupakan sarana untuk memperkuat jati diri bangsa dalam proses industrialisasi dan mendorong terjadinya perubahan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi di abad 21. Pembangunan pendidikan harus mampu memantapkan jati diri bangsa Indonesia di tengah pergaulan dengan bangsa lain dalam keadaan bagaimanapun, tetap tampil sebagai bangsa Indonesia dengan segala kepribadiannya.

Beberapa program pemerintah pusat (Depdiknas) dalam mewujudkan visi, misi, tujuan dan standar kopetensi pendidikan nasional antara lain: kurikulum berbasis kompetensi (KBK), broad based education yang berorientasi life skill, (BBE-LE), pemberian block grant, pemberdayaan MKKS dan MGMP, serta lomba keilmuan (Depdiknas, 2002).a. Kurikulum Berbasis Kompetensi

Menurut Mulyasa (2002:27) bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa pengausaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Dengan demikian implementasi kurikulum dapat menumbuhkan tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum (public policy), serta memberanikan diri berperanserta dalam berbagai kegiatan, baik di sekolah maupun di masyarakat.

Kurikulum berbasis kompetensi memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sesuai dengan potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat di sekitar sekolah. Silabus KBK dikembangkan di tiap sekolah, sehingga dimungkinkan beragamnya kurikulum antarsekolah atau wilayah tanpa mengurangi kompetensi yang telah ditetapkan dan berlaku secara nasional (standar nasional)

Impelementasi kurikulum berbasis kompetensi di sekolah sangat erat kaitannya dengan kebijakan Depdiknas mengenai pelaksanaan Broad Based Education (BBE) dalam mewujudkan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu penerapan KBK menggunakan konsep BBE yang berorientasi life skill (BBE-LS), dan mendayagunakan semua potensi sumber belajar yang dimiliki sekolah dan yang ada di sekitar sekolah, baik yang direncanakan untuk kepentingan belajar (learning resourcess by design), maupun yang dimanfaatkan (learning resourcess by utilization)

Reorientasi pembelajaran (class room reform) sebagai salah satu implementasi program BBE-LS dilaksanakan dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi dengan silabus yang dikembangkan oleh pihak sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah dan guru memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan reorientasi pembelajaran. Contoh kompetensi lulusan Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:(1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.(2) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.(3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk

melanjutkan pendidikan.(4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup di masyarakat lokal dan

global.(5) Berekspresi dan menghargai seni.(6) Menjaga kebersihan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.(7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara secara demokratis (Depdiknas, 2002).b. Broad Based Education yang berorientasi Life Skill

Program BBE, diterjemahkan pendidikan berbasis masyarakat luas yang berorientasi kecakapan hidup (life skill-LS) adalah inisiatif pemerinta pusat untuk menjawab tantangan tersebut. Program ini berbasis masyarakat luas karena melayani kebutuhan sebagian besar masyarakat, yakni lulusan sekolah yang memiliki kecakapan hidup. Implementasi program BBE-LS terfokus pada lima hal berikut: (1) reorientasi pembelajaran menuju pembelajaran dan evaluasi yang efektif, (2) pengembangan budaya sekolah, (3) peningkatan efektivitas manajemen sekolah, (4) penciptaan hubungan yang harmonis, dan sinergis antara sekolah dengan masyarakat, serta (5) pengisian muatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Program BBE-LE secara alami berada dalam kerangka MBS/MPMBS, karena kelima penekanan tersebut bersandar pada pengambilan keputusan di level masyarakat sekolah. Proses pembelajaran, evaluasi, kondisi sekolah, dan manajemen sekolah yang efektif sulit dilaksanakan pada pola sentralistik, tetapi akan menemukan kesempatan yang luas dalam konteks MBS/MPMBS. Pengisian muatan kurikulum yang dibutuhkan masyarakat pada BBE-LS akan mendorong partisipasi dalam hubungan yang harmonis, dan sinergis dengan masyarakat jika dikembangkan dalam konteks MBS/MPMBS, yang responsif dan antisipatif.c. Pemberian Block Grant

Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat terlepas dari masalah dana, bahkan seringkali menjadi penghambat utama. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan berbagai kewenangan pada sekolah, antara lain pemberian block grant yang ditujukan langsung ke sekolah. Hal ini merupakan pengalihan proyek pemerintah yang pada masa yang lalau memberikan intervensi langsung dalam bentuk dan kadar yang sesungguhnya bisa dan lebih efisien, jika dilakukan oleh sekolah. Proyek ini mencakup pendirian dan rehabilitasi bangunan sekolah, penyediaan fasilitas dan bahan, serta pengembangan staf. Blok grant diberikan berdasarkan pada need assesment, prioritas, perencanaan dan keputusan sekolah bersama masyarakat yang dituangkan dalam proposal

sekolah. Pendekatan bottom up ini, diharapkan dapat mendorong terciptanya suasana kondusif bagi peningkatan mutu pendidikan, seperti pengambilan keputusan secara partisipatif, penyusunan perencanaan yang jelas dan terarah, serta transparansi manajemen yang mencerminkan sifat otonomi sekolah.

Block grant yang telah diberikan adalah dana bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) yang merupakan performance based grant, diberikan kepada sekolah yang memiliki potensi nyata untuk meningkatkan kinerja,namun terhambat oleh keterbatasan dana. Kategori ini meliputi life skill block grant yang diberikan mulai tahun ajaran 2002/2003. Block grant yang lain adalah matching grant, diberikan langsung ke sekolah dengan istilah bantuan imbal swadaya (BIS). Sifatnya agak berbeda dengan performance based grant, dana BIS bertujuan merangsang partisipasi finansial warga masyarakat, dengan mensyaratkan secara mutlak kemampuan sekolah bersama masyarakat untuk menyediakan dana swadaya (sharing cost). Dana swadaya tersebut tidak harus dalam bentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk barang, dan jasa yang disediakan oleh warga sekolah dan masyarakat.d. Pemberdayaan MKKS dan MGMP

Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MPKKS) merupakan suatu wadah pertemuan atau perkumpulan kepala sekolah yang berada pada satu wilayah, kabupaten atau gugus sekolah, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi, konsultasi, dan tukar pengalaman. Sesuai dengan perubahan paradigma pendidikan, hal tersebut perlu lebih diberdayakan, terutama untuk meningkatkan kualitas dan kinerja kepala sekolah sebagai ujung tombak inovasi dan reformasi pendidikan di sekolah (school reform). Tujuan MGMP antara lain untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai kebutuhan peserta didik.Pada dasarnya wadah komunikasi profesi sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebijakan pemerintah tentang peningktan mutu pendidikan, seyogyanya penyelenggaraan pertemuan MGMP dibiayai dengan dana mandiri dari sekolah atau para anggotanya.

Pemberdayaan MKKS dan MGMP memberikan banyak manfaat terhadap implementasi program school reform dan classroom reform, antara meningaktkan profesionalisme tenaga kependidikan dalam melayani peserta didik. Pemberdayaan forum MKKS dan MGMP sebagai wadah peningkatan profesionalisme, menuntut kepala sekolah untuk mengubah peran dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan.e. Lomba-Lomba Keilmuan

Peningkatan mutu pendidikan menuntut kerja keras berbagai pihak, mulai tenaga pendidikan, orang tua, peserta didik, masyarakat, dan pemerintah untuk mencapai tujuan akhir yaitu sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk meraih cita-cita tersebut diperlukan nilai tambah yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir. Hal tersebut penting terutama untuk menghadapi persaingan di masa depan yang semakin keras, sehingga peserta didik perlu dipersiapkan sejak dini agar dapat berkompetisi dalam berbagai bidang kehidupan. Keperluan ini dapat dilakukan antara lain melalui berbagai kegiatan ilmiah dan lomba keilmuan, yang dimulai tingkat sekolah, kemudioan kegiatannya diintensifkan dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Dalam hal ini, kondisi dan kesempatan yang diciptakan pemerintah, dan lembaga swasta melalui lomba keilmuan akan menumbuhkan semangat belajar yang tinggi, karena seleksinya dilakukan mulai tingkat sekolah sampai ke tingkat nasional bahkan menuju tingkat internasional.

Salah satu tujuan nasional Indonesia ialah terciptanya masyarakat yang sejahtera. Berarti menciptakan kesejahteraan bagi tiap individu manusia, karena individu merupakan komponen pembentuk masyarakat. Agar setiap individu sejahtera, mereka harus memiliki penghidupan yang layak yang diperolehnya melalui pekerjaan yang selaras dengan kemampuan individualnya. Agar supaya individu memperoleh pekerjaan (pasal 27 UUD 45)

demi pencapaian taraf penghidupan yang layak maka setiap individu berhak atas pengajaran (baca: pendidikan) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 UUD 45. Untuk maksud itulah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengangkat strategi pendidikan yakni pemerataan pendidikan berupa perluasan kesempatan belajar bagi setiap manusia Indonesia, peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan dunia pekerjaan sebagaimana diprogramkan dalam GBHN, dan efisiensi pendidikan agar pelaksanaan pendidikan mampu mencapai hasil yang semaksimal mungkin dengan pengorbanan biaya dan waktu yang sekecil mungkin. Sejauh mana keberhasilan pelaksanaan strategi pendidikan dalam kaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional dapat dipantau melalui data pendidikan yang dijaring berdasarkan indikator-indikator pendidikan. Dengan demikian, perumusan indikator-indikator pendidikan dan penggalian data yang mengekspresikan ketercapaian indikator-indikator termaksud merupakan suatu upaya vital yang tidak boleh diabaikan.

Abad 21 disebut abad globalisasi, yang menumbuhkan dampak besar bagi berbagai bidang kehidupan, sosial budaya, politik, maupun ekonomi. Globalisasi memungkinkan arus barang, jasa, tenaga ahli dan aliran informasi menembus batas-batas negara tanpa hambatan. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah persaingan antar bangsa di segala segi kehidupan. Untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan yang ditimbulkan globalisasi diperlukan SDM yang berkualitas, baik untuk tenaga profesional maupun untuk penerap iptek, serta tenaga dalam bidang lain dari seluruh aspek kehidupan. Upaya peningkatan kualitas SDM ini dilakukan melalui pendidikan yang berjenjang (Dasar, Menengah, Perguruan Tinggi). Melalui pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia Indonesia yang menguasai iptek dan seni yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan daya saing yang sejajar dengan bangsa lain.

Peranan guru dalam pendidikan merupakan titik sentral dan strategis dalam membekali ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik. Mulai dari membaca, menulis, dan menghitung merupakan jasa guru kepada peserta didik sehingga menjadi pandai. Dalam era pembangunan dan mengantisipasi masa depan bangsa, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas guru dalam hal pengetahuan dan keterampilan, metodologi dan manajemen kegiatan belajar mengajar melalui berbagai pelatihan/penataran (training) dan pendidikan formal baik di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut sejalan dengan UU nomor 2, tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 4, bahwasanya "setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa ". Sekalipun demikian, hasil upaya tersebut masih belum sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakal. Kendala yang masih dirasakan sebagai penghambat antara lain, masalah distribusi pemenuhan guru belum merata, penguasaan materi, kinerja guru masih relatif rendah, serta belum memadainya kesejahteraan guru.

Pembangunan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun, pada sisi yang lain, pembangunan ternyata menimbulkan dampak negatif bagi kualitas lingkungan dan kualitas hidup manusia seperti erosi, perubahan iklim, pemanasan global, kebakaran hutan, dan sebagainya. Kenyataan tersebut mendorong manusia mencari strategi baru dalam pembangunan. Pembangunan konvensional, terutama di negara-negara industri, ternyata menimbulkan dampak negatif yang bersifat fisik dan sosial. Strategi yang dipilih manusia adalah pembangunan berwawasan lingkungan. Strategi ini menjamin terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sehingga pembangunan bukan hanya untuk kemakmuran generasi masa kini tapi juga kemakmuran generasi masa depan. Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan diperlukan manusia-manusia berwawasan lingkungan. Sebagai salah satu tempat bagi berlangsungnya enkulturasi, sekolah menjadi pendukung usaha menghasilkan manusia berwawasan lingkungan. Untuk itu diperlukan guru

berwawasan lingkungan, yaitu sosok guru yang mempunyai pola pikir dan tindakan yang integralistik dalam menempatkan dirinya sebagai salah satu bagian dari ekosistem lingkungan hidupnya. Memasuki milenium ketiga, tantangan yang dihadapi guru bertambah kompleks, karena guru harus menyiapkan anak didiknya menghadapi perubahan dari masa sekarang dan mengantisipasi perubahan yang berjalan cepat.

Semangat Otonomi Pendidikan dan Otonomi Daerah. Implementasi otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999, berdampak positif pada

pelaksanaan manajemen pendidikan baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Otonomi daerah dimaksudkan untuk mengubah paradigma pemerintahan yang semula berorientasi sentral ke pusat dalam manajemen pemerintahan yang sentralistis, berubah 180 derajat. Otonomi daerah selain dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dalam segala bidang kehidupan, termasuk layanan pendidikan bermutu dalam satuan pendidikan di sekolah, juga untuk mengejar ketertinggalan dalam kehidupan global.

Pengaruh besar otonomi daerah ke sekolah-sekolah tampak pada perubahan kondisi kerja, yang semula berorientasi ke pusat menunggu perintah dan petunjuk atasan, kini menjadi pemerakarsa yang harus mengambil inisiatif sendiri. Konsep otonomi daerah adalah ;

Konsep manajemen sektor publik yang berfokus pada perbaikan kinerja organisasi. Penerapan konsep tersebut berimplikasi pada perlunya dilakukan perubahan manajerial, terutama perubahan personel dan struktur organisasi yang semula berorientasi birokrasi, menjadi berorientasi playanan publik yang mengutamakan mutu. (Mardiasmo, (2002:13))Implementasi otonomi daerah kedalam pendidikan berbentuk Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS). MBS dewasa ini sedang menjadi pusat perhatian para pengelola pendidikan, baik pada tingkat persekolahan, kecamatan, kota dan kabupaten, provinsi maupun tingkat nasional. Sebab implementasi otonomi pendidikan dalam bentuk MBS menjadi konsekwensi logis dari keputusan pemerintah menerapkan kebijakan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1999/Undang undang No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, peraturan pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah Otonom.

Esensi kebijakan otonomi daerah pada dasarnya ingin mengubah keterpurukan bangsa kerah yang lebih maju untuk menyusul ketertinggalan, intinya adalah peningkatan mutu pelayanan publik. Dunia pendidikan juga memperoleh keuntungan dengan adanya kebijakan ini yaitu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik di sektor pendidikan dengan melakukan berbagai perbaikan manajemen lembaga dan peningkatan mutu pembelajarannya. Pendidikan menjadi semakin akrab dengan masyarakat yang dilayaninya, masyarakat menjadi dilibatkan dalam penyelenggaraan dan pengawasan pendidikan. Peningkatan mutu layanan dalam pendidikan intinya tiada lain adalah peningkatan mutu yang berfokus pada layanan belajar, yang sekarang oleh berbagai kalangan dirasakan rendah.

Peran serta masyarakat dalam pengawasan pendidikan diatur secara jelas dan kuat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB XV, yang secara khusus mencantumkan wadahnya dalam Dewan Pendidikan/Komite Sekolah pada bagian ketiga, pasal 56, ayat (3) :Komite sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(Undang-Undang Sisdiknas No 20,2003:27)

Gagasan MBS sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah, implementasinya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai mana di kemukakan dalam Buku Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat (2001:5). Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk :

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama

3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada publik, orang tua dan pengguna jasa pendidikan tentang mutu pendidikan

4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan

Otonomi Daerah berimplikasi terhadap pengelolaan satuan pendidikan, pada tingkat persekolahan diharapkan menghasilkan manfaat nyata, yaitu terciptanya :

1. Peningkatan mutu layanan pembelajaran di sekolah-sekolah karena terciptanya suasana kerja baru yang lebih kondusif.

2. Meningkatnya pelayanan sekolah terhadap peserta didik terutama pelayanan belajar dari guru yang makin profesional terhadap peserta didik

3. Meningkatnya kinerja sekolah dalam meningkatkan kreativitas dan inisiatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

4. Para Kepala Sekolah lebih berani mengambil inisiatif dalam memberdayakan guru untuk memecahkan berbagai kesulitan dalam proses pendidikannya karena kewenangannya yang lebih besar dalam mengelola sekolah.

Seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, pendidikan pun menuntut otonomi seluas-luasnya. Hal ini harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Menurut Gumelar dan Tjep Dahyat (2002:41) bahwa prinsip pendidikan nasional dijabarkan dalam empat strategi kebijakan dasar yaitu: pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi pengelolaan pendidikan.

Perubahan pendidikan dari sentralisasi menuju desentralisasi akan menyebab terjadinya perbedaan dalam hal kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan oleh keragaman potensi sumberdaya yang dimiliki daerah. Daerah yang surplus seperti Riau, ada kemungkinan akan melejit, karena sumber dana yang kuat. Sekarang, Riau sudah bisa memberikan tunjangan fungsional yang cukup besar kepada guru. Hal ini bisa menambah gairah guru dalam PBM yang berdampak meningaktnya mutu pendidikan. Sebaliknya, ada daerah minus yang tidak bisa menaikkan tunjangan fungsional guru dan tidak adanya peningkatan sarana belajar. Perbedaan ini, bisa mengakibatkan beragamnya hasil belajar. Untuk itulah diperlukan standar mutu, baik global yang harus diatur dalam suatu sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan harus tetap mengacu kepada standarisasi pendidikan secara nasional dan global.

Inti dari pemertaan pendidikan adalah demokrasi pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan keadaan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, lokasi geografis.

Perubahan dari pendidikan yang terpusat menuju otonomi daerah tidak serta merta mengubah kurikulum nasional. Kurikulum nasional tetap sebagai inti atau core (Prof. H.A. Kosasih Djahiri, 2002). Kurikulum nasional menjadi standar dalam merumuskan kompetensi siswa. Oleh karena itu isi program disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaian dengan

lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang satuan pendidikan.

Kurikulum berbasis lingkungan adalah kurikulum yang senantiasa mengaitkan atau melibatkan aspek lingkungan. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Aspek lingkungan yang dimaksud adalah menyangkut geografis dan sumber daya alam maupun aspek lingkungan sosial seperti kebudayaan, ekonomi, agama, politik dan keamanan. Dilibatkannya lingkungan dalam pendidikan disebabkan otonomi pendidikan intinya kebebasan bagi guru untuk mengembangkan daya imajinasi, potensi dan kreativitas dalam proses belajar mengajar. Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang potensial.

Salah satu bagian dari pengembangan kurikulum adalah muatan lokal. Sekolah dapat mengembangkan kurikulum muatan lokal atau mulok ini untuk memberdayakan potensi daerah. Mulok akan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Sebagai contoh, anak-anak di kawasan pinggir laut diberikan mulok mengenai peirkanan laut, cara hidup nelayan dan teknik penangkapan ikan. Hal ini sangat menunjang kehidupan mereka kelak, sehingga mereka tidak perlu pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka bisa mengembangkan potensi yang ada di daerahnya. Anak-anak ini wawasannya akan semakin bertambah, karena pengetahuan yang didapat tidak hanya diwarisi secara turun temurun, melainkan melalui pendidikan.

Semangat Millennium Development Goals (MDG)KTT Milenium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan

Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDG). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target. Target yang tercakup dalam MDG sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi kematian anak dan ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya, serta memastikan kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan.

Untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan critical mass di bidang pendidikan. Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar: untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk bekal menjalani kehidupan dalam masyarakat, untuk membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi tinggi, untuk mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa.

Target MDG adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, lakilaki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Target itu sejalan dengan target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SLTP/MTs mencapai 90 persen persen paling lambat pada 2008, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar yang pada saat ini masih di bawah standar nasional.( Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2006)

Dalam kaitan dengan itu, maka perencanaan pengajaran yang tidak lagi bersifat sentralisasi, berubah menjadi desentralisasi yang pada akhirnya berimbas pada dikembangkannya Kurikulum Tingkat Saruan Pendidikan ( KTSP ).

Perbandingan Dilihat dari Sisi Ide KurikulumKBK 2004 KTSP 2006

Salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum dimasa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum dari Sabang sampai Marauke, tidak melihat pada situasi ril di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan demikian, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan daerahnya. Akibatnya para lulusan kalah bersaing di dunia kerja dan berimplikasi terhadap peningkatan angka pengangguran.

Disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah masing – masing, sehingga potensi dan kemampuan siswa sangat berbeda. Dengan demikian kurikulum tersebut lebih proposional sehingga memberikan kompetensi yang cukup untuk mengembangkan sendiri sesuai demgam potensi daerah masing – masing.

Desain KurikulumYang dimaksudkan dengan desain adalah rancangan, pola, atau model yang menjadi

patolakan.Mendesain kurikulum berarti menyusun rencana atau menyusun model kurikulum sesuai dengan visi dam misi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum sama seperti seorang arsitektur. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi seorang arsitek terlebih dahulu merancang model atau desain bangunan yang dibangun. ( Wina Sanjaya, 2006 : 37 )Berbicara mengenai desain kurikulum, maka dalam kaitan dengan penyusunan desain

kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi yakni dimansi horisontal dan dimensi vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering di integrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Desain vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju kepada yang lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.

Tiga pola desain kurikulum yakni sebagai berikut :1. Subject centered design, suatau desain kutikulum yang berpusat pada bahan ajar.

Dalam Subject centered design, kurikulum dipusatkan pada isi atau meteri yang dajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah.

2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang menggunakan peran siswa.Learner centered design, memberikan tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau pendidik hannya bereran menciptakan situasi belajar mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

3. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah masalah yang dihadapai dalam masyarakat.Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama ini menusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama. ( Nana S Sukmadinata, 2006 : 113 )Dalam kaitan dengan pengembangan kurikulum ( KTSP ) yang lebih terarah sehingga

dapat menjawab semua permasalahan yang ada.Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih

banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas. (S. Hamid Hasan, http://ppsupi.org/sghamidh.html)

Keseluruhan Proses Pengembangan Kurikulum Dapat Digambarkan Sebagai berikut :

Perbandingan Dilihat dari Sisi Desain KurikulumKBK 2004 KTSP 2006

Sekolah kurang diberikan kewenangan secara lebih luas walaupun dalam KBK sudah ada, dan pengembangan kurikulum sudah ditentukan elaborasi pusat dan daerah sehingga kadang kala tidak sesuai dengan kondisi masing- masing sekolah.

Mengacu kepada paduan kurikulum ringkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BSNP, sekolah diberikan keleluasan, merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang dapat dimunculkan oleh sekolah. Sekolah dapat mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan. Prinsip pengembangan KTSP adalah (1) berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggapan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; (7) dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bank, James, With Clegg, 1975, Teaching Strategis for Social Studies: Inquiry, Valuing and Decission Making , New York : White Plaens.

Hasan Hamid. S. ( 1996 ). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi.Ibrahim, M.Sc. 1988. Inovasi Pendidikan. Dep.Dik.Bud. DirJed Pendidikan Tinggi. Jakarta.Ibrahim, R dan Sukmadinata, N., S.. (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.Komariah Aan. ( 2006 ). Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Sebagai Jaminan Mutu Guru Profesional “

Makalah pada Konfrensi Internasional Bersama Kedua UPI – UPSI “. Bandung : UPI – UPSI.Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.Nasution, S. (2003). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.Purwanto, M, Ngalim. (2001). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja RosdakaryaSanjaya Wina. ( 2006 ). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media.Sardiman A.M. ( 2006 ). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar/ Bab VIII. Jakarta Jakarta : Raja Grafindo

Persada.Saud Saefudin Udin. H. Dan Suherman Ayi. ( 2006 ). Inovasi Pendidikan (Inovasi Kurikulum Berbasis

Masyarakat). Bandung : Universitas Pensisikan Indonesia.Supriatna Nana. ( 2007 ). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Prees.Sukmadinata, N., S. (2005). Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumantri, M, Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.Sumantri, Mulyana. (1998). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Depdiknas.Suwarma Al Muctar, 2001, Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.Suwarma Al Muctar, 2004, Pengembangan Berpikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS, Bandung : Gelar Pustaka

Mandiri.___________(2004) Kurikulum Ketentuan Pokok dan Struktur Program.. Bandung: Depdiknas UPI. (2003). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti. (2005). Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK . Bandung: Remaja

Rosdakarya. ( 2006 ). IPS Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ” Makalah ” .

Bandung : Program IPS-PPS.

Pendidikan IPS sebagai bidang ilmu masih diperdebatkan dalam aspek-aspek antologis dan epismologinya, walaupun secara aksiologis sudah jelas manfaatnya.1. Batang tubuh (body of knowledge) PIPS atau Studi social apabila PIPS adalah seleksi

secara psikologis dari bahan ilmu-ilmu social untuk keperluan pendidikan.Numan Somantri mengatakan : kalau ditelesuri dari filsafat ilmu, Pendidikan IPS

harus bisa menjawab aspek antologis, epistemologis, dan aksiologis, yaitu :a). Apa yang dikaji dalam Pendidikan IPS b).Bagaimana proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam Pendidikan IPS.c). Apa kegunaan Pendidikan IPS.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa digunakan batasan Pendidikan IPS untuk pendidikan dasar dan menengah serta untuk FPIPS. Batasan Pendidikan IPS, yakni ”Seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. Untuk menelusuri filsafat ilmu tentang Pendidikan IPS, kita bisa saja menganalisis berbagai faham ilmu (Barat) dan filsafat pendidikan, dengan pengertian bahwa :

a). Kebenaran yang dicari dalam Pendidikan IPS ialah kebenaran yang dilandasi iman, taqwa, dan kebudayaan Indonesia dengan ide vitalnya Pancasila.

b). Intraceptive knowledge dan extraceptive knowledge merupakan satu nafas.c). Domain cognitive, efektif, dan keterampilan psikomotorik merupakan kesatuan

. (1)Sedangkan dalam aspek konseptual yang merujuk pada arti ontologi, epistomologi dan

aksiologi dalam filsafat ilmu serta sumber Pendidikan IPS dan studi perbandingan di negara-negara lain yang sudah lama mengembangkan social science education, dirumuskan bahwa Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. (2)

(1) Somantri (2001 : 88-89). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(2) (hasil forum komunikasi II HISPIPSI 1991 di Yogyakarta).

Maka melihat pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli, jelaslah bahwa fungsi filsafat ilmu pendidikan dalam memecahkan permasalahan Pendidikan IPS adalah sebagai landasan dalam menyelediki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan “tujuan”, “latar belakang”, “cara”, serta hakikat ilmu Pendidikan IPS, dan juga yang bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya dengan menggunakan struktur ilmu, yaitu metode dan bentuk pengetahuan ilmiah Serta makna teoritis dan praktis dari ilmu. (4) (4) Kattsoff, L.O. (1996). Pengantar Filsafat.. Alih bahasa : Soejono Soemargono. Jakarta: Tiara Wacana.

Pendidikan IPS suatu program pendidikan yang memilih pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humanity, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan spikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).

Pendidikan IPS bersumber dari beberapa dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin ilmu pendidikan, kegiatan dasar manusia dalam masyarakat, dan tujuan pendidikan nasional, yang semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrative. Dalam buku yang sama, disebutkan pula bahwa ada anggapan dikalangan para penjabat Depdikbud, dosen, dan guru bahwa Pendidikan IPS adalah program pendidikan terpadu, yaitu memadukan seluruh disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi “disiplin baru”. (5)(5) Somantri (1993). .Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS dan

kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.

Secara filosofis, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan IPS di Indonesia mengacu kepada keyakinan dan kebudayaan bangsa, disamping mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.

Pendidikan IPS di Indonesia adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan segala sesuatu yang bersifat sosial, yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis dengan Pancasila dan UUD 1945. dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 itu harus melakukan penetrasi (perembesan) terhadap tujuan, bahan pendidikan dan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.

Dalam aspek filosofis, Somantri dalam hal ini memandang bahwa filsafat pendidikan IPS dan posisi sentral pendidikan IPS di antara faham-faham filsafat menunjukkan adanya berbagai pemikiran dalam filsafat ilmu dan filsafat pendidikan yang memiliki kebermanfaatan untuk pengembangan pendidikan IPS. Tetapi ada perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang mendasar antara pemikiran filsafat ilmu dan filsafat pendidikan (Barat) dengan pendidikan IPS yang berlandaskan Pancasila ialah bahwa intraceptive knowledge dengan extraceptive knowledge, yaitu iman, taqwa, dan kebudayaan (termasuk ilmu pengetahuan) merupakan satu nafas, sementara filsafat ilmu (Barat) cenderung untuk memisahkan ilmu dan keimanan (sekuler).

Karena itu, kedudukan pendidikan IPS dalam aneka ragam pemikiran filsafat ilmu (Barat) berada dalam posisi sentral, sehingga kebenaran dalam arti filsafat ilmu (Barat) akan diberi arti sebagai “kebenaran” yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (aksiologis). Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pendidikan IPS akan dikembangkan dan disajikan secara doksologis, melainkan sedapat mungkin mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Karena itu pula Pendidikan IPS akan berada dalam posisi sentral diantara adagium “ intellectus quaerens fidem” , yaitu akal mengatasi atau lebih utama daripada iman/agama dan “fides quaerens intellectum”, yaitu sebaliknya dimana iman/agama mengatasi atau lebih utama daripada akal.

Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu social untuk keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhanaan materi tersebut, maka para siswa dengan mudah melihat, menganalisis dan memahami gejala-gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah interaksi dengan lingkungan.

Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat katagori berikut ini : Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa

belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari

sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi.

Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills).

Attitude, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intellectual behaviour) dan tingkah laku social (social behaviour).

Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan antar manusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.

Selain itu, juga terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu Petama, menanamkan etika social, dengan mengupayakan peserta didik agar berprilaku

sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong, dan sebagainya.

Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini,ilmu-ilmu variable-variabelnya, dengan hokum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa social tertentu.

Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi social dalam kehidupan social ditempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah.

Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan inovasi, yang diperlukan setelah siswa mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini, maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan masyarakatnya ke arah yang lebih baik (6) (6) Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo Media Pratama.

Membedakan Pendidikan yang dikembangkan untuk jenjang persekolahan yang berlandaskan kurikulum dengan orientasi esensialisme dengan PIPS yang mengikuti kurikulum dengan orientasi ke arah rekonstruksi sosial :

Sementara itu dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni Pendidikan IPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan

penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan

Pendidikan Disiplin IPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagodis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk tujuan pendidikan professional guru IPS.

Filosofi IPS ada tiga pandangan yaitu esensialisme, perenialisme dan transsion of culture. Menurut pandangan esensialisme, disebutkan bahwa pengajaran disiplin ilmu tersebut harus diajarkan dalam bentuk aslinya. Pandangan perenialisme menyebutkan bahwa sebagai disiplin itu dapat melakukan kolrelasi maupun intregrasi. Sedangkan pandangan transsion of culture menghendaki pendidikan sebagai alat untuk pewarisan budaya walaupun ini hanya dikenakan pada pendidikan sejarah. (7) (7) Hamid Hasan (2002 :7) Diktat Kuliah PIPS UPI Bandung

Studi tentang kurikulum sosial studies di berbagai negara menunjukkan fenomena yang semakin kuat bahwa IPS di Indonesia harus mengubah orintasi filosofi kurikulumnya terutama untuk SD dan SMP sedangkan untuk SMA diperlukan perubahan pada model desain kurikulum. Kondisi masyarakat baik dalam kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu, teknologi dan seni menunjukkan adanya tuntutan yang tidak dapat dijawab hanya oleh orientasi kurikulum IPS sekarang ini. Tantangan kehidupan yang dihasilkan adanya otonomi daerah dan kehidupan persaingan global serta suasana kehidupan politik tingkat nasional telah memberikan dasar yang kuat bagi orientasi baru kurikulum IPS.

Ketiga pandangan di atas ternyata tidak mampu mewadahi pengembangan IPS sebagai pendidikan sosial karena pendidikan IPS tidak hanya sebagai alat pewaris kebudayaan, melainkan pula harus dapat berperan aktif dalam kehidupannya di masyarakat (agent of change) sehingga diperlukan perubahan pandangan filosofinya menjadi pandangan rekonstruksi sosial. Atas pandangan rekonstruksi sosial, maka kurikulum IPS harus dapat : Mengembangkan kemampuan dan keterampilan sosial yang diperlukan masyarakat dan

dirinya. Mengembangkan life skills yang berkenaan dengan berbagai hal yang diperlukan

masyarakat Indonesia masa kini dan mendatang seperti disiplin, kerja keras, kerja sama, taat peraturan, komunikasi, toleransi, hemat, kreatif dan sebagainya.

Mengembangkan berbagai sikap yang diperlukan untuk mendukung dan keterampilan sosial seperti sikap menghargai waktu, pekerjaan, karya orang lain, hormat pada prestasi, kepedulian terhadap mutu.

Rekonstruksi sosial juga diperlukan bagi kurikulum di SD dan SMP karena justru pada pendidikan dasar ini perubahan filosofi harus mulai dilakukan agar terdapat kesinambungan antara pendidikan dasar dengan pendidikan menengah dan Perguruan Tinggi. Pada akhirnya, IPS tidak lagi dipenuhi dengan fakta, konsep, generalisasi dan teori disiplin itu yang harus dikuasai peserta didik tanpa jelas kebermaknaannya dalam kehidupan tetapi berkenaan dengan hal-hal yang diperlukan dirinya dan masyarakat termasuk berbagai konsep, generalisasi dan teori terpilih dari disiplin ilmu berdasarkan kegunaannya di masyarakat. (8)(8) Winataputra (2007). Dinamika Pemikian Inovatif dalam Khasanah Social Studies dan IPS untuk Pendidikan

Dasar dan Menengah di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional PIPS program studi PIPS-PPs UPI. Bandung: UPI.

Untuk menghadapi problema dunia yang ditandai oleh polusi, pemanasan global, ledakan kependudukan dan kemiskinan, Fritjof Capra (2001) menawarkan pendekatan ekologis dalam prosedur epistemologis ilmu.1. Mengapa perlu ada perubahan dalam penggunaan metode ilmiah Cartesian –

Newtonian, apakah tidak cukup dengan aspek aksilogisnya yang beretika :Capra adalah seorang fisikawan menjadikan Daoisme sebagai sumber etika. Capra

melihat adanya ketidak seimbangan atau ketimpangan yang luar biasa antara kemajuan pengetahuan yang rasional, kekuatan intelek, dan keterampilan teknologi di satu sisi, dengan perkembangan kebijaksanaan, spritualitas, dan etika disisi yang lain. Pada hal didalam cosmogoni Cina, keseimbangan dari dua kutub Yang dan Yin merupakan conditio sine qua non dari ketertiban, kestabilan, dan keseimbangan dunia. Dalam hal ini harman adalah tujuan dari kehidupan individu, masyarakat dan negara. Kemajuan pesat dibidang ilmu dan teknologi yang dirintis dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman Mesir, Yunani dan Islam diikuti dengan sangat lamban oleh kemajuan ilmu-ilmu tentang etika atau moral, spritualitas, dan berbagai perilaku manusia. Ketidak seimbangan inilah nampaknya yang menimbulkan disequilibrium, ketidak pastian, ketidak aturan, dan chaos.

Fritjof Capra menilai bahwa kerusakan kehidupan modern sebagai akibat dari merajalelanya "krisis persepsi" manusia terhadap realitas yang cenderung bersifat analitis-

reduksionis, mekanistis, dan linear sehingga memilah, mengisolasi dan mendistorsi keanekaragaman dan dinamika realitas itu sendiri. Cara memandang realitas itu berakibat pada "kebangkrutan" substansi realitas, ketidaktepatan merumuskan realitas sehingga usaha untuk membereskan persoalan juga membuahkan lagi persoalan yang lain karena landasan pijakan atau asumsi yang keliru atau tak lengkap.

Krisis persepsi itu terjadi atau disebabkan oleh pandangan dunia modern yang masih menganut paradigma Cartesian-Newtonian yang bersifat analitis-reduksionis, mekanistis, dan linear itu. Paradigma itu bergulir sejak 300 tahunan lalu dan sukses dalam mengembangkan sains dan teknologi, namun mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri, sehingga menciptakan krisis-krisis kemanusiaan, misal perang, kerusakan lingkungan, kerusakan jiwa, dan lain-lain yang dalam istilah Capra disebut sebagai "penyakit-penyakit peradaban".

Capra menilai, paradigma Cartesian-Newtonian itu biang krisis manusia modern yang dalam bahasa RD Laing dinyatakan begitu bagus sebagai paradigma "yang menawarkan kepada kita suatu dunia yang mati: lenyapnya pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan penciuman, serta bersama itu mati pula kepekaan etis dan estetis, nilai, kualitas, jiwa, kesadaran, dan rohani". Akibatnya, masih menurut Laing, "Kita telah menghancurkan dunia ini secara teori sebelum kita menghancurkannya dalam praktik."

Kini dibutuhkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman yang cenderung saling berinteraksi, berkorelasi, dan saling mempengaruhi dalam suatu jaringan kehidupan akibat terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang begitu menakjubkan melibas jarak ruang dan waktu, sehingga runtuhlah batas-batas lama yang bernama ideologi politik, nasionalitas, dan agama maupun geografi. Kondisi kehidupan saat ini yang telah berubah secara revolusioner harus diiringi paradigma baru melihat realitas. Artinya, paradigma lama Cartesian-Newtonian setidaknya harus dievaluasi, ditimbang ulang, dikoreksi, untuk menemukan paradigma lain yang lebih cocok dengan zaman. Kondisi zaman dan cara pandang harus sinkron, tak ketinggalan zaman, supaya tak berbahaya bagi kehidupan itu sendiri.

Paradigma baru itu harus bisa memandang keseluruhan ketimbang bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistis, nonlinear, yaitu paradigma holistik. Paradigma ini dapat juga disebut filsafat holistik yang potensial bisa mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains.(9)(9) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Perbedaan pendekatan antroposentris dengan pendekatan ekologis dalam pandangan perlakuan terhadap planet bumi :

Pada intinya perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :Pendekatan Antroposentris :

Bahwa manusia dipandang sebagai pusatnya, dimana manusia berada di atas atau di luar alam, sebagai sumber nilai, dan akan dianggap sebagai instrumen atau hanya bernilai “guna.”

Pendekatan ekologis:Pendekatan ekologis memandang planet bumi sebagai satu kesatuan system dimana adanya kesalingtergantungan fundamental semua fenomena dan sebagaimana individu dan masyarakat, kita sekalian berada dalam dan bergantung secara mutlak pada proses siklis alam.

Paradigma yang berakar dari hukum gerak Newton dan pemikir-filsof Descartes ini memang banyak membawa kemajuan pada kehidupan manusia, seperti sarana transportasi darat, laut dan udara, sistem persenjataan, dan konstruksi bangunan. Namun perjalanan

peradaban manusia kemudian menunjukkan bahwa paradigma mekanistik ini ternyata gagal bila diterapkan pada sistem kehidupan seperti kehidupan sosial, pengelolaan hutan, pengelolaan danau dan sungai, atau bahkan kawasan transmigrasi. Paradigma yang telah menghujam lama dan berakar pada setiap individu dan kelompok atau golongan masyarakat modern ini telah menjadi inti dari berbagai akar masalah timbulnya kerusakan ekosistem hutan, degradasi keanekaragaman hayati, pencemaran ekosistem sungai dan laut, dan berbagai masalah lingkungan hidup yang kita jumpai saat ini.

Menurut ahli falsafah Daoisme, dao bermaksud metafizik. Ini bermaksud jika terdapat suatu proses kewujudan,maka hendaklah terdapat suatu puncak utama yang meluas dan ini dipanggil Dao. Seperti First Cause yang terdapat dalam kepercayaan Kristian. Menurut Konfusius Dao adalah satu konsep tata tertib moral yang mesti dipatuhi oleh seseorang individu, atau suatu set peraturan-peraturan etika yang harus diikuti oleh seorang individu. Ia juga menunjukkan kepada suatu corak atau jenis pentadbiran yang dapat menjamin kepentingan dan kesejahteraan rakyat dengan cara yang paling baik.

Konsep Dao mempunyai pelbagai maksud. Maksud terawal menunjuk kepada "jalan"atau "lorong". Sebelum kedatangan falsafah Konfusius , Dao digunakan untuk menunjukkan satu "jalan"ataupun suatu cara kelakuan atau tabiat sama ada tabiat baik ataupun buruk. Selepas kedatangan Konfusius, orang-orang yang mengikut fahaman Daoisme (berasal dari perkataan Dao) menggunakan konsep Dao dengan suatu maksud metafisik untuk menunjukkan kepada keseluruhan alam semesta.

Capra di dalam bukunya “Titik Balik Peradaban” menyebutkan Dao atau Tao merupakan suatu proses perubahan dan aliran yang terus menerus. Dalam pandangan falsafah dao ini semua fenomena yang kita amati turut serta didalam proses kosmik sehingga secara instrinsik bersifat dinamis. Ciri utama filsafat Dao atau Tao adalah alam yang berputar dalam gerakannya yang tak pernah berhenti; semua perkembangan di alam semesta, baik dialam fisik maupun psikologis dn sosial, menunjukkan adanya pola berputar ini. Orang-oranmg Cina memberi suatu struktur yang pasti pada konsep pola berputar ini dengan memperkenalkan dua kekuatan yang berlawanan, yin dan yang, yaitu kutub yang membatasisiklus perubahan. Yang setelah mencapai klimaksnya mundur demi Yin, lalu yin setelah mencapai klimaknya mundur demi yang.

Menurut Capra paradigma yang lebih tepat untuk penanganan atau pengelolaan suatu sistem kehidupan adalah paradigma ekologi. Paradigma ini berciri organik, sistemik, partisipatif, non-linier dan ekosentris. Karakter utamanya terletak pada hubungan manusia dan alam yang saling sinergi - tidak terpisah, penekanan pada kualitatif, dua arah, subyek dan obyek saling interaktif, dan ekologi menjadi penentu daya dukung lingkungan. Karakter lain dari paradigma ekologi ini adalah adanya sifat desentralisasi, menerapkan pendekatan multi dimensi dan penghargaan kepada pluralitas (kemajemukan) sehingga terwujud kerjasama atau integrasi.

Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya dan struktur social merupakan jaring-jaring kehidupan abstrak yang telah mengubah dunia nyata beserta isinya. Namun manusia dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut banyak yang mengesampingkan nilai etis dan estetis. Manusia mengeksploitasi habis-habisan bumi beserta isinya sehingga bumi tidak lagi berada dalam keseimbangan. Akibatnya sejak akhir abad ke-20 masyarakat dunia diperhadapkan pada serangkaian masalah global yang membahayakan masa depan planet bumi. Diantara serangkaian masalah global yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia yang menjadi masalah utama dan dominan adalah masalah lingkungan hidup.

Masalah-masakah global menyangkut kehidupan masyarakat dunia baik sekarang maupun masa yang akan datang tersebut perlu ditangapi dengan kerja keras dan pemikiran

yang komprehensip, sistematik dan futuristic maka diperlukan suatu perubahan radikal dalam persepsi, pemikiran dan nilai-nilai. Dalam hubungan tersebut, Capra mengemukakan teorinya tentang nilai-nilai yang bersifat ekosentris dengan menyodorkan formula baru tentang paradifgma ilmu pengetahuan dan kehidupan, yaitu pemikiran system.

Dengan memodifikasi defenisi Thomas Kuhn mengenai paradigma ilmiah kepada paradigma social maka Capra merumuskan bahwa “ suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-nilai, persepsi-persepsi dan praktek-praktek yang digunakan bersama oleh suatu komunitas, yang membentuk suatu visi tertentu atas realita yang merupakan basis bagi cara komunitas tersebut mengatur dirinya’. Paradigma baru ini dinamakan suatu pandangan dunia holistic, yang memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, bukan suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah. Paradigma baru tersebut disebut juga suatu pandangan ekologis, yakni dengan melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantuing satu sama lain secara fundamental. Ekologi mengakui nilai instrinsik semua mahkluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaring-jaring kehidupan atau tidak dapat dipisah-pisah, satu sama lain saling tergantung. Seperti masalah keterbelakangan yang dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga. Masalah produktivitas tenaga kerja yang rendah, akan menyangkut banyak aspek kehidupan seperti pendapatan menjadi rendah. Akibat pendapatan yang rendah menyebabkan tingkat gizi dan kesehatan rendah, kesempatan pendidikan terbatas, tabungan menjadi rendah, sehingga tingkat pengangguran menjadi tinggi. Masalah-masalah inilah yang menjadi dasar pemikiran Fritjof Capra menyodorkan teori system tersebut. Dengan teorinya ini diharapkan dunia dapat kembali dalam suatu keseimbangan yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Sekaligus tercipta sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan yakni yang mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan tanpa mengurangi prospek generasi-genertasi masa depan. Dengan demikian, metode ilmiah itu harus dapat dikendalikan oleh etika guna mengantisipasi kehancuran manusia dengan adanya penemuan berbagai bidang ilmu. Perlu adanya kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari pada keseluruhan dunia atau jaring-jaring keseluruhan yang lebih luas sebagaimana telah dijelaskan tersebut. (10) (10) Fritjof Capra. (2004). Titik Balik Peradaban. Yogyakarta : PT. Bentang Pustaka

Dalam alam, perubahan kecil dalam sistem dapat menimbulkan konsekuensi berskala besar. Dalam teori chaos biasa disebut ”efek kupu-kupu” dengan bahasan geometri Factal untuk menerangkan konsep dasar kompleksitas dengan contoh krisis moneter tahun 1998 :

Ketika Mandelbrot menerbitkan buku perintisnya pada pertengahan tahun 70-an, ia tidak menyadari hubungan antara geometri fraktal dengan teori chaos, namun tidak lama kemudian para matematikawan dan ia sendiri menemukan bahwa penarik-penarik aneh ini merupakan contoh-contoh indah mengenai fraktal. Jika bagian-bagian dari strukturnya diperbesar, mereka akan memperlihatkan substruktur yang berlapis-lapis, yang di dalamnya pola-pola yang sama akan diulangi lagi dan lagi. Dengan demikian lazim mendefinisikan penarik aneh sebagai lintasa-lintasan peluru di dalam fase ruang yang menampilkan geometri fraktal.. Hubungan penting lainnya antara teori chaos dengan geometri fraktal ialah perubahan dari kuantitas menjadi kualitas. Seperti telah kita lihat, mustahil memprediksikan nilai variabel-variabel dari suatu khaotik pada waktu tertentu, tetapi kita dapat memprediksikan ciri-ciri kualitatif perilaku sistemnya. Sama halnya, mustahil menghitung panjang atau area

suatu bentuk fraktal, tetapi kita dapat mendefinisikan tingkat ”kebergerigian (jaggedness)” – nya dengan cara kualitatif.

Di Indonesia tahun 1998 terjadi krisis moneter, yang diawali dengan nilai mata uang Rupiah anjlok dari $ 1 = Rp. 3.000 menjadi $ 1 = Rp. 10.000. Mengapa ini sampai terjadi ? Berawal dari sekelompok orang yang memiliki banyak uang, dan mereka suka sekali berpergian ke luar negeri dan suka berbelanja. Selain itu mereka lebih senang memiliki uang dolar dari pada uang rupiah, sehingga menukar uangnya ke dalam uang dolar.

Pada saatnya persepsi nilai uang rupiah mulai berkurang dan menaiknya persepsi nilai uang dolar, terjadilah krisis moneter. Krisis ini terus berlanjut kepada dunia perdagangan, terutama pada barang impor yang menggunakan standar nilai mata uang dolar. substansi yang paling merugikan pada utang negara yang kian membungbung tinggi. Sementara nilai ekspor lebih rendah dari nilai impor, devisa semakin berkurang. Perekonomian dalam negeri mulai goncang karena harga semakin naik sementara nilai uang rupiah makin kecil. Masyarakat daya belinya menurun. Maka masyarakat yang sudah banyak miskin, kini makin bertambah jumlahnya, dengan ketidak mampuan dalam daya beli.

Kekecewaan rakyat semakin bertambah-tambah terhadap pemerintah. Muncullah permasalaha baru atau dalam teori chaos disebutkan sebagai peluru yang meluncur dan mengembang kepada fase berikutnya. Yaitu krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Krisis ini akhirnya mendorong rakyat melakukan demontrasi bahkan perusakan sarana umum.

Fase selanjutnya semakin melebar pada masalah yang lebih serius dan lebih besar lagi, yaitu dekadensi moral. Dengan daya beli yang kecil sementara kebutuhan harus tetap dipenuhi. Terjadi tindak kejahatan dimana-mana. Tidak hanya sekedar itu, munculnya masalah yang lain dalam fase ini, yaitu masalah KKN, Nepotisme, dan korupsi.

Jadi permasalahan krisis moneter ini terus berkembang menjadi masalah nasional. Dari satu masalah yaitu nilai uang rupiah terhadap mata uang dolar beranjak kepada masalah multi deminsi pada tingkat nasional.

”Bagaimanpun juga, ini merupakan kesimpulan yang sangat optimistik, bahwa semula studi terhadap choas merupakan usaha untuk menemukan aturan-aturan sederhana yang terdapat dalam jagad di sekitar kita ......usaha-usaha itu selalu mencari penjelasan-penjelasan sederhana atas realitas-realitas yang rumit. Tetapi perbedaan antara kesederhanaan dengan kerumitan tak pernah dapat dibandingkan di manapun dengan apa yang kita temukan dalam konteks ini” (Mandelbrot)

Pesona besar yang ditampilkan oleh teori chaos dan geometri fraktal pada orang di segala bidang, dari ilmuwan, manajer hingga seniman, barangkali merupakan tanda yang menjanjikan bahwa pengucilan matematika sedang berakhir. Sekarang ini matematika baru mengenai kompleksitas semakin menyadarkan orang bahwa matematika lebih dari pada sekedar rumus-rumus yang kering ; dunia hidup di sekiling kita, dan segala persoalan mengenai pola, keteraturan, dan kompleksitas pada dasarnya bersifat matematis. (11) (11) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Tanggung jawab cendikiawan, menurut Edward Said (1998), merupakan kewajiban moral yang harus dipenuhi karena mereka merupakan individu yang mampu mengartikulasikan pesan, pandangan, gagasan, atau filsafah kepada publik.1. Julien Benda dengan ”La Trahison des Clercks”

Buku yang terbit untuk pertama kali di Prancis pada 1927 ini berisi sebuah renungan mendalam tentang peran dan kewajiban para cendekiawan di tengah-tengah masyarakat. Kemunculan esai ini bermula dari sebuah peristiwa (disebut "L'Affaire Dreyfus") yang

menggemparkan masyarakat Prancis pada tahun 1894, sewaktu seorang perwira Prancis berdarah Yahudi, Dreyfus, diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada dinas intel Jerman. Dreyfus dinyatakan bersalah dan dibuang selama sepuluh tahun.

Sebagai reaksi terhadap pengadilan yang tidak adil itu, sejumlah cendekiawan -- antara lain Emile Zola -- bangkit dan mengumumkan sebuah "Manifes Para Intelektual". Dengan manifes itulah para cendekiawan (yaitu para ilmuwan, seniman, dan filosuf) untuk pertama kali menyatakan diri sebagai sebuah golongan masyarakat. Peristiwa ini pulalah yang kemudian mendorong Benda untuk memikirkan hubungan kaum cendekiawan itu dengan negara, dengan kaum militer, dan dengan dunia politik.

Roy Eyerman mencoba menjernihkan pemahaman kita mengenai proses menjadi cendekiawan. Dalam fenomena kontekstualisasi historis, misalnya, posisi cendekiawan ada yang muncul dari pihak negara atau kerajaan dan ada pula kelompok cendekiawan yang berkembang karena panggilan sejarah dari massa rakyat dalam hubungannya dengan kelas menengah. Rusia pada masa Peter Agung (awal abad ke-19) bisa dijadikan contoh bagaimana sekelompok cendekiawan yang dibentuk atas restu Kaisar tentu saja berkepentingan dan digunakan posisinya untuk mendukung dan menjalankan misi dari negara. Baru setelah satu dan dua generasi kemudian muncul kaum cendekiawan yang makin terdiversifikasi posisinya dan semakin berfungsi kritis serta menjadi jembatan pendidik massa rakyat dan kelas menengah lainnya. (12) (12) Roy Eyerman (1994), Between Culture and Politics Intellectuals in Modern Society

Istilah cendekiawan atau padanannya intellectual dalam bahasa asing, untuk pertama kali muncul di penghujung abad ke-19 di Barat, untuk memberi sebutan kepada sekelompok elite yang mematuhi kaidah-kaidah tertentu sebagai panutan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menghadapi pelbagai persoalan fundamental yang perlu ditanggapi secara fundamental pula.

Di Barat sana, kehadiran kaum cendekiawan sebagai tokoh masyarakat, seperti dikatakan J.P. Nettl, berkaitan erat dengan budaya (nilai, norma, gagasan) dan konflik, yaitu hal-hal yang juga terjadi di sini, bahkan di mana pun. Selama ada orang-orang yang berusaha mengubah sistem nilai dengan jalan mengatur ulang prioritas dari komponen-komponennya, kerap muncul konflik antara gagasan-gagasan (ideas), dan konflik macam itu lantas menemukan gema strukturnya yang khas; di Yunani Purba, misalnya, berbentuk transformasi intelektual dari sistem kepercayaan ideal menjadi gerakan sosio politis; di Rusia berupa perubahan revolusioner kekuasaan dari kekuasaan ortodoks ke diktator proletar.

Julien Benda memosisikan seorang cendekiawan dalam sosok yang ideal, yaitu seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka itu, dalam pandangan Benda, adalah para ilmuwan, filosuf, seniman, dan ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu, bukan dalam penerapan hasil-hasilnya.

Para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang aktivitasnya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Benda memaknai kecenderungan tersebut sebagai kecenderungan awam untuk menuruti kehendak-kehendak pribadi yang sifatnya sesaat.

Karena peran kaum cendekiawan inilah, menurut Benda, walaupun selama 2.000 tahun umat manusia berbuat jahat, mereka tetap menghormati yang baik. Namun, ujar Benda, sejak akhir abad ke-19, semuanya praktis berubah. Kini, mereka berbalik menggelorakan dan memuaskan gairah-gairah politik, dan menjungkirbalikkan tatanan moral.

Sekarang, mayoritas kaum sastrawan, ilmuwan, filosuf, dan ulama, ikut serta dalam paduan suara kebencian rasial dan kelas, serta turut mendukung gairah yang menuju pada cauvinisme, fanatisme yang memicu terjadinya perang, xenobia, sebagaimana tercermin dalam pikiran Nietzsche, Georges Sorel, dan Bergson, yang mementingkan keperkasaan serta mengagungkan sikap kekerasan, mendapat tempat persemaian yang lapang. Dengan

munculnya fenomena semacam ini, maka menurut Benda, para cendekiawan tadi telah kehilangan "kecendekiawanan"-nya dan menjadi tidak berbeda lagi dengan kaum awam. Pembalikan peran atau fungsi inilah yang oleh Benda kemudian ditengarai sebagai "pengkhianatan kaum cendekiawan

Begitulah Julien Benda. Meski La Trahison des Clercs ini ditulis 77 tahun lalu, namun getaran semangatnya masih sangat relevan untuk memikirkan, merefleksikan, dan menilai ulang eksistensi dan situasi para cendekiawan kita di Indonesia, tentang peran mereka dalam masyarakat, tentang kewajiban mereka terhadap bangsa, dan tentang hubungan mereka dengan negara. (13) (13) Tulisan Drs. Alex Sobur, M.Si, dosen bidang kajian ilmu jurnalistik Fikom Unisba, mahasiswa program doktor BKU Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Unpad. Pikiran Rakyat, 16 Juli 2004.

Kaitan antara kaum cendikiawan dengan identitas nasional, atau nasionalisme (elaborasi):

“…dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya…” (Edward W. Said)

Edward W. Said lebih menyukai batasan cendekiawan yang diberikan Antonio Gramsci dalam bukunya Selection from Prison Notebooks (1978). Gramsci mengatakan, "Semua manusia adalah cendekiawan (intelektual), namun tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi cendekiawan." Gramsci mengelompokkan dua jenis cendekiawan.

Pertama, cendekiawan tradisional semacam guru, ulama, dan para administratur. Mereka ini secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, cendekiawan organik, yaitu kalangan profesional. Menurut Said, definisi Gramsci ini lebih dekat kepada realitas daripada konsepsi Julien Benda, terutama pada akhir abad ke-20 ketika muncul begitu banyak profesi baru

Apa dan siapa cendekiawan itu? Jawaban yang kita peroleh tak pernah seragam. Namun, satu hal yang menarik ketika kita membincangkan ihwal cendekiawan adalah karena dengannya kita seolah diajak untuk bersolek di depan cermin. Kita diminta untuk selalu memandang dan menyadari bahwa di depan kita hadir sebuah wajah yang senantiasa berubah keberadaannya, wajah manusia. Mau tak mau, memang, membicarakan golongan berlabel cendekiawan mengharuskan kita memperhatikan jati dirinya yang paling asal, sebagai manusia, sebagai pribadi, bukan sebagai kolektiva.

"Memberikan nama atau predikat kepada seseorang sebagai cendekiawan merupakan suatu self-definition, yakni mendefinisikan diri sendiri," demikian tulis Zygmunt Bauman (1987). Yang ia maksudkan adalah bahwa biasanya para cendekiawanlah yang menulis mengenai cendekiawan lain. Boleh jadi, pendapat ini ada benarnya, khususnya bila seseorang menyetujui bahwa para cendekiawan adalah mereka yang menulis buku-buku dan artikel-artikel ilmiah. Jika pendapat itu kita terima, maka tentu terjadi banyak upaya untuk mendefinisikan diri sendiri, dan bukannya untuk mengerti diri sendiri.

Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat, para intelektual adalah pencipta bahasa –dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.

Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan, bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya. Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya, untuk itu dia butuh ‘makna’. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali Syari’ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari’ati seringkali ‘membebankan’ perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan, yang dalam pendapat Syari’ati disebut dengan ‘raushanfikr’.

Menurut Syari’ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif dengan posisi status quo. Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati’ati adalah Muhammad pendakwah Islam.

EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam. Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif. Dan, karena tuntutan untuk ‘tidak sekedar berbicara’, melainkan harus bertindak dan bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat, setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh Mussolini.

Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata –menurut Julien Benda dan diamini dengan lantang oleh EWS, jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur, sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.

Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana komunikasi modern membanamkan kita.

Namun, kenapa terjadi pembalikan peran? Tampaknya dunia modern, seperti ditunjukkan Benda, telah menjadikan cendekiawan sebagai "warga negara," yang dibebani dengan segala kewajibannya. Maka itu, lebih sulit bagi mereka untuk menolak gairah-gairah awam. (14)(14) Haris Fauzi, Majalah Solid, Situs Keluarga, Kolom KENISAH, 71 Desember 2007

Kasus Indonesia, zaman Orde Baru dikenal „Mafia Berkeley“, juga pada Orde berikutnya golongan intelektual dimanfaatkan (Komperatif) :

Julien Benda, penulis buku klasik, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat dalam dua bagian yang tidak bersentuhan sama sekali (Dhakidae, 2003). Pertama adalah cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam

pencarian kebenaran-utama. Mengikuti prinsip yang dikembangkan dalam metode ilmiah, pencarian terhadap kebenaran menjadi tujuan utama. Karena itu, cendekiawan dipandang bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran di dalam kesederhanaan. Golongan kedua adalah kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi. Termasuk dalam golongan ini adalah pedagang, politikus, dan masyarakat biasa. Oleh Julien Benda, kaum awam ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada cendekiawan. Karena itu, intelektual yang mengabdi kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap pengkhianat. Mereka mengkhianati tujuan hidupnya dan mengingkari posisi kelasnya yang terhormat.

Benda menempatkan cendekiawan dalam posisi yang sangat tinggi, bahkan nyaris absolut. Tetapi, realitasnya tidak hitam putih seperti yang ditulis oleh Julien Benda. Pencarian kebenaran yang menjadi obsesi oleh kaum cendekiawan sejatinya tidak berada di ruang hampa. Pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran itu sendiri.

Peran Intelektual IndonesiaZaman Kolonial Pasca Kemerdekaan Orde Lama Orde Baru

Kaum Cendikia (intelektual Organik) muncul yang terdiri dari elite pribumi yang berprofesi dokter, sarjana hokum, insinyur, mahasiwa, dll memelopori pergerakan nasional untuk kemerdekaan

Terjadi pergeseran posisi kaum intelektual yang praktis menjadi penguasa, mereka memainkan peranan baru dengan semangat berlebih. Mereka tampil lebih populis dan merasa lebih teremban untuk mencerdaskan dan memajukan rakyat, mereka umumnya tetap tampil sebagai benteng akal sehat yang bias kritis terhadap kekuasaan itu sendiri

Kaum cendikiawan terimbas dengan pemimpin Negara (Soekarno). Para cendikian menjadi pemberontak/simpatisan karena otoriternya dari kepemimpinan Negara.Tak terhitung jumlah para cendikia yang kehilangan nyawa, dibui atau pergi ke pengasingan

Para intelektual terbagi menjadi dua bagian, yang menang menuju akses kekuasaan. Intelektual masuk dalam dunia politik dan masuk dalam birokrasi. Intelektual teranggas dengan eufisme dan kehipokritanIntelektual Independen masih ada (YB Mangunwijaya, Arief Budiman, Goerge Junus Aditjondro

Tokoh : Wahidin, Tjipto, Sutomo, dll

Tokoh : Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro, dll

Tokoh : Sjarifuddin P, Natsir, Hatta, dan Soemitro Djojohadikusumo

Tokoh : Widjojo Nitisastro, Ginanjar Kartasasmita, Daoed Joesoef, Fuad hasan

(15) www.yahoo.com. Tersedia dalam diosdias wordpress.com. Diakses tanggal 29 November 2007

Tentu masih segar dalam ingatan kita pengalaman di bawah pemerintahan Orde Baru yang represif. ”Mafia Berkeley” muncul dari perdebatan pola industrialisasi yang akan di pakai oleh bangsa Indonesia. Seorang ekonom California yaitu Berkeley memberikan gambaran dan contoh transformasi ekonomi AS bukanlah di awali dengan landasan terjadinya pergeseran struktural dari sektor pertanian ke industri dalam bentuk tenaga kerja dan output nasional, melainkan dilandasi oleh adanya proses yang mendorong peningkatan produktivitas di sektor pertanian secara luar biasa. Sektor pertanian secara sengaja telah dijadikan sebagai sektor inti (core sector). Sebagai sektor yang dinamis, sektor pertanian telah menjadi aktor utama yang mendorong ekspansi industri-indudtri hulu dan hilir di sektor manufaktur. Sebagian besar ekonom di Indonesia yakin bahwa peningkatan produktivitas sekotr pertanian merupakan

prasyarat bagi keberhasilan industrialisasi. Skenario produktivitas pertanian yang meningkat akan menciptakan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. (16) (16) Dr. Ahmad Erani Yustika, 2007 ; Perekonomian Indonesia, Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi – BPFE _ UNIBRAW. Ekonom yang mendukung pola industrialisasi atas pendapat Berkeley, akhirnya mereka disebut sebagai ”mafia Berkeley”.

Kekuasaan turut menentukan apa yang boleh dipelajari, apa yang dilarang. Saat itu bahkan intelijen bisa hadir di ruang kelas, mengikuti ceramah akademis dan ikut menentukan buku apa yang boleh dan harus dibaca. Intervensi kekuasaan juga berimplikasi pada pendanaan. Topik penelitian yang disukai oleh penguasa akan mendapat kucuran dana besar. Sebaliknya, gagasan yang berseberangan atau paradigma yang berlawanan, tidak akan mendapat dukungan pendanaan yang memadai.

Oleh sebab itu, posisi cendekiawan tidaklah setinggi seperti yang digambarkan oleh Julien Benda. Bahkan cendekiawan kerap menjadi bagian dari aparatur kekuasaan. Apalagi kekuasaan juga beroperasi, salah satunya, melalui bahasa sehingga keberadaan cendekiawan sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tentang cendekiawan, Daniel Dhakidae memberikan gambaran yang lebih realistis tentang cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan merupakan hasil dari suatu pola hubungan antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun cendekiawan adalah anak kandung kebudayaan, eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Mengikuti pengertian ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari kekuasaan, dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalahgunakannya. Termasuk melakukan korupsi. (17) (17) www.republika.co.id. Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005

Di awal-awal masa reformasi 1998-an yang lalu, negeri kita sebenarnya telah melahirkan banyak cendekiawan generasi baru. Mereka kemudian tergabung dalam kelompok atau organisasi cendekiawan. Mereka tampil "cantik" lewat panggung-panggung media. Mereka berdebat di forum-forum seminar. Mereka semua berangkat dengan tujuan yang sama, menyuarakan nurani rakyat.

Kini, kemudian, kita tahu. Para cendekiawan ramai-ramai membangun partai. Sebuah organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, mungkin tidaklah aneh. Terlebih lagi jika sejak awal mula kelahirannya, kecenderungan ke arah itu sudah tampak. Kalau organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, semua itu sah-sah saja. Masing-masing individu cendekiawan bergabung ke partai politik tertentu, juga boleh-boleh saja.

Namun, peralihan pemihakan dari soal ilmiah maupun segi-segi sosial dalam hidup rakyat ke praksis politik, seperti terjadi belakangan ini, tampaknya tak bisa diberi makna lain kecuali bahwa itu berarti tak ada lagi orang mau peduli akan hidup rakyat.

Pergeseran peran dan orientasi kultural kaum cendekiawan menjadi mesin-mesin partai politik berarti juga sebuah pergeseran bahwa rakyat memang tak lagi punya kawan. Rakyat tak punya lagi pendamping yang bersedia membela mereka secara gigih. Ketika kaum cendekiawan makin tak peduli atas nasib rakyat, mereka harus berjuang atau membela nasib sendiri.

Tak perlu kita mungkiri, lewat partai politik orang bisa meraih cita-cita politiknya untuk melakukan mobilitas sosial. Bila ditanya secara terbuka dan kaum cendekiawan mau bicara jujur, jalur politik memang lebih mereka sukai. Barangkali cuma sedikit cendekiawan yang tetap sabar berjuang di jalur ilmiah dan berani hidup jauh dari partai politik. Mereka yang memiliki naluri politik, dan sebab itu besar pula ambisi politiknya, jelas akan menganggap jalan politik seperti itu paling strategis bagi perjuangan mereka. Mereka pura-pura lupa, atau pura-pura tidak tahu bahwa bila tujuan politik kita tercapai, kita lantas diam. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa jalan politik pada batas tertentu merupakan jalan buntu.

Wadah politik memang mendekatkan mereka ke kekuasaan. Namun ia juga hampir otomatis menjauhkan diri dari rakyat.

Apabila kaum cendekiawan sudah berketetapan hati untuk masuk dalam jaring-jaring partai, maka kita sudah bisa menduga-duga bahwa di dalam partai politik mereka akan lebih suka diam, apalagi jika mereka leluasa menikmati fasilitas partai maupun kemewahan.

Jika kaum cendekiawan kita rame-rame menjadikan dirinya sebagai komoditas politik; jika kaum cendekiawan kita sudah pada banyak berharap memperoleh keuntungan politis yang jelas buat diri sendiri maupun kelompoknya; dan jika akhirnya kemudian kaum cendekiawan kita sudah kehilangan kekuatan kultural dan jati dirinya; lantas, siapa lagi yang akan memainkan peran sebagai penjaga hati nurani masyarakat? Siapa lagi yang akan berdiri dalam posisi memberi kontrol atas jalannya proses politik?

Pemilihan Umum 1999 diselenggarakan oleh KPU yang beranggotakan perwakilan partai politik. Dalam perjalanannya, KPU justru sering terperosok dalam konflik tiada akhir di antara anggotanya. Klimaksnya, hasil akhir dari Pemilu 1999 tidak ditentukan oleh KPU yang gagal menyatukan suara, melainkan oleh Presiden Habibie waktu itu.

Pada saat yang sama, berbagai dugaan korupsi merebak dalam pengadaan barang dan jasa di KPU. Korupsi diduga terjadi pada hampir seluruh pengadaan material untuk pemilu. Alih-alih mendapatkan harga murah dan menghemat keuangan negara, anggota KPU justru memberikan kontrak kepada pengusaha dekatnya. Karena korupsi, dua mantan anggota KPU telah divonis bersalah oleh pengadilan. Belajar dari pengalaman, KPU pun diubah. Anggotanya bukan lagi perwakilan dari partai politik tetapi tokoh masyarakat yang independen. Diharapkan, mereka menjadi wasit yang adil bagi partaipolitik yang berkompetisi. Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan dan aktivis berhasil menjadi anggota KPU. Masuknya cendekiawan dalam KPU tidak bisa dilepaskan dari pandangan yang menempatkan kaum intelektual pada posisi tinggi dan terhormat dimasyarakat. Para pencari kebenaran sejati itu dianggap tidak memiliki hasrat politik untuk berkuasa dan menimbun harta. Apalagi sebagian di antaranya masih aktif di dunia akademis. Dunia yang sangat mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Karena itu, beranggotakan cendekiawan, KPU diharapkan menjadi wasit yang adil dan bersih.

Pemilu 2004 berjalan dengan lancar. Bahkan ancaman munculnya konflik horizontal tidak terjadi selama proses pemilu. Dari sisi penyelenggaraan, KPU patut mendapat penghargaan. Tetapi keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004 ternoda oleh dugaan korupsi. Seperti kejadian dalam Pemilu 1999, korupsi diduga mewarnai pengadaan barang dan jasa di KPU. Bahkan situasinya lebih buruk, anggota KPU nan terhormat justru tertangkap basah melakukan penyuapan. Seakan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, ada sejumlah penjelasan mengapa KPU bisa jatuh dalam praktik korupsi. Pertama, korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan untuk melakukan korupsi. Dalam konteks ini, cendekiawan yang menjadi anggota KPU memegang kekuasaan yang amat besar dan dengan mudah tergoda untuk menyalahgunakannya.

Kedua, korupsi sering kali tidak terjadi dan dilakukan secara telanjang, seperti mengambil uang di atas meja. Korupsi dilakukandalam birokrasi dengan segala prosedurnya

dan terjadi tanpa disadari. Seolah-olah dana yang mengalir ke kantong adalah harta yang sah. Karena itu, diperlukan keahlian teknis pada bidang-bidang khusus untuk bisa mencegah terjadinya korupsi. Dalam konteks ini, korupsi di KPU terjadi karena absennya sistem integritas. (18) (18) www.republika.co.id. Diakses tanggal 28 November 2007 J Danang Widoyoko, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))

Pendidikan IPS

Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.

Secara ideal, Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak, kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship. Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).

Mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dengan berbagai aspeknya, tentu tidak dapat dipisahkan seperti ilmu-ilmu sosial yang membahas dari berbagai sudut pandangnya, seperti sejarah, geografi, psikologi, ekonomi politik, dan sebagainya. Bahkan MM Ohlsen (dalam Vembriarto; 1979) menegaskan eratnya hubungan Pendidikan IPS dengan ilmu-ilmu sosial, bahwa Pendidikan IPS merupakan keterpaduan dari berbagai ilmu sosial, termasuk geografi, sejarah dan kewarganegaraan. Demikian juga Kenworthy (1973) menegaskan bahwa pada kenyataannya dapat disebutkan bahwa antropologi dan sosiologi, ilmu ekonomi, geografi, ilmu politik, sejarah, psikologi merupakan lapangan Pendidikan IPS. Disebutkan pula bahwa Pendidikan IPS berhubungan erat dengan seni dan musik, agama dan filsafat serta ilmu-ilmu lain.

Dengan banyaknya ilmu-ilmu sosial yang tercakup dalam Pendidikan IPS, tidak berarti bahwa Pendidikan IPS adalah penjumlahan dari bermacam-macam ilmu sosial tersebut, namun suatu pembelajaran tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang lain, serta menolong siswa mengembangkan kompetensi dan sikap menjadi warga negara dalam masyarakat bebas, dengan menggunakan bahan dari berbagai ilmu sosial untuk memahami masalah-masalah sosial (Gross, 1979).

Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari materi ilmu-ilmu sosial untuk keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhaan materi tersebut, maka para siswa dengan mudah dapat melihat, menganalisis dan mamahami gejala-gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan pembelajaran Pendidikan IPS mempergunakan pendekatan integratif.

Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berikut ini. Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi. Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills). Attitudes, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intelectual behaviour) dan tingkah laku sosial (social behaviour). Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan antarmanusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.

Sedangkan tujuan utama Pendidikan IPS adalah untuk melatih siswa dapat bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik (Gross, 1978). Di samping itu juga untuk menolong anak dan pemula untuk dapat aktif berpengetahuan, menjadi manusia yang mampu beradaptasi, mampu berfungsi dan berperan dalam menghadapi seluruh kehidupannya dan mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya lewat kegiatan pembelajaran Pendidikan IPS di SD (Joyce, 1979).

Terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pertama, menanamkan etika sosial, dengan mengupayakan peserta didik agar berperilaku sesusai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong, dan sebagainya. Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini, ilmu-ilmu variabel-variabelnya, dengan hukum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa sosial tertentu.

Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi sosial dalam kehidupan sosial di tempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah. Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi, yang diperlukan setelah siswa mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan juga masyarakatnya ke arah yang lebih baik (Achmad Sanusi, dalam Akub Tisna Somantri, 1993).

Pendidikan IPS di SD merupakan bidang studi yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara dan sejarah. Pendidikan IPS yang diajarkan di SD sebagaimana diungkapkan di atas terdiri dari dua bahan kajian pokok: pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah meliputi perkembangan masyarakat Indonesia sejak lampau hingga kini.

Adapun fungsi Pendidikan IPS di SD ialah mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk melihat kenyataan sosial yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengajaran sejarah berfungsi menumbuhkan rasa kebangsaan dan kebanggaan terhadap perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini. Pendidikan IPS di SD bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa

lalu hingga kini agar siswa memiliki kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia dan cinta tanah air (Kurikulum Pendidikan Dasar, 1994/1995).

Pembelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPS di sekolah dasar bersifat integratif, materi yang dibelajarkannya merupakan akumulasi sejumlah disiplin ilmu sosial (Martorella, 1985). Pembelajaran IPS pun lebih menekankan aspek "pendidikan" daripada "transfer-konsep", karena melalui pembelajaran IPS siswa diharapkan memahami sejumlah konsep, dan melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar mempengaruhi oleh berbagai faktor, yakni bahan yang dipelajari, faktor-faktor instrumental, faktor-faktor lingkungan, dan kondisi individual si pelajar (Depdikbud, 1983).

Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses belajar, bahwa masukan untuk sistem belajar terdiri atas orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluarannya berupa siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam yang berupa proses pembelajaran atau pendidikan. Reigeluth (1983) secara lebih spesifik menyoroti tentang variabel-variabel pembelajaran yang meliputi tiga komponen: metode, kondisi, dan hasil-hasil. Metode merupakan cara menyampaikan isi pesan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kondisi pembelajaran mencakup karakteristik siswa, lingkungan belajar, bahan pembelajaran dan tujuan kelembagaan. Sedangkan hasil-hasil pembelajaran menggambarkan apa atau seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai.

Pembelajaran sebagai suatu proses, menurut Surya (1982) melandaskan diri kepada prinsip-prinsip: (1) sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku; (2) hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan; (3) merupakan suatu proses; (4) terjadi karena adanya sesuatu pendorong dan tujuan yang akan dicapai; dan (5) merupakan bentuk pengalaman.

Sedangkan ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar, meliputi perubahan intensional, perubahan positif dan aktif, perubahan efektif dan fungsional (Surya, 1982). Perubahan intensional mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan bersifat positif, artinya bermanfaat dan sesuai dengan harapan. Juga berarti bahwa perubahan itu senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru dan lebih baik daripada yang telah diperoleh sebelumnya. Sedangkan aktif berarti bahwa perubahan itu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi lebih karena usaha siswa itu sendiri. Sedangkan perubahan yang bersifat efektif artinya berdayaguna, membawa pengaruh, makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Bersifat fungsional artinya bahwa hasil dari perubahan itu relatif menetap, dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan itu dapat direproduksi dan dimanfaatkan.

Kombinasi antar-variabel pembelajaran, khususnya karakteristik siswa dan metode yang digunakan, akan menghasilkan keluaran berupa siswa dengan ketiga bentuk perubahan tadi yang mencakup ranah-ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik (Bloom, 1974) sebagai akibat

pengalaman belajar. Untuk mengukur efektivitas metode tertentu dihubungkan dengan karakteristik siswa, dapat dilakukan dengan cara mengukur penampilan siswa setelah belajar.

Wahab, et al (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan potensi dan minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin.

Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif, dan evaluatif.

Dalam konteks tersebut model pembelajaran role playing dapat dijadikan salah satu alternatif selain metode ceramah yang hampir dijadikan sebagai satu-satunya metode pembelajaran IPS di sekolah dasar. Menurut Wahab, et.al. (1986) banyak alasan mengapa metode ceramah menjadi sangat terkondisi dalam proses belajar-mengajar, di antaranya ialah: (1) mengikuti kebiasaan umum yang lazim menggunakannya; (2) kebiasaan yang telah membaku (inheren) pada diri guru; (3) pertimbangan praktis, murah, mudah, cepat, dan tidak memerlukan fasilitas yang banyak; (4) kurangnya waktu dan jumlah program; dan (5) tidak mengetahui cara menggunakan metode lainnya.

Model Role Playing

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Zuhaerini (1983) mengemukakan bahwa tujuan penggunaan model ini dalam proses belajar mengajar antara lain:

1. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut orang banyak dan berdasar pertimbangan didaktis, lebih baik didramatisasikan, daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak.

2. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.

3. Pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.

Ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi "di sini dan kini" (here and now) sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini mengasumsikan bahwa

proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.

Untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi siswa terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan. Pembelajaran dengan model role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.

Kemampuan Guru dalam Pembelajaran IPS

Kemampuan guru dalam arti performansi dalam pembelajaran merupakan seperangkat perilaku nyata guru pada waktu memberikan pelajaran kepada siswanya (Johnson, dalam Natawidjaya, 1996). Menurut Sunaryo (1989) dan Suciati (1994), performansi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran mencakup tiga aspek, yaitu membuka pelajaran, melaksanakan pelajaran, dan menutup pelajaran.

Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan suasana kesiapan mental dan menumbuhkan perhatian siswa terhadap hal-hal yang akan dipelajari. Dasar kesiapan mental yang dimaksud, menurut Sumaatmadja (1984) antara lain minat, dorongan untuk mengetahui kenyataan, dan dorongan untuk menemukan sendiri gejala-gejala kehidupan. Menurut pendapat Connel (1988), kesiapan belajar siswa meliputi kesiapan afektif dan kesiapan kognitif. Sedangkan menurut Bruner (dalam Maxim, 1987), kesiapan merupakan peristiwa yang timbul dari lingkungan belajar yang kaya dan bermakna, dihadapkan kepada guru yang mendorong siswa dalam berbagai peristiwa belajar yang menggugah.

Berdasarkan kutipan pendapat di atas, aktivitas membuka pelajaran pada hakikatnya merupakan upaya guru menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan, dan membuat keterkaitan. Menarik perhatian siswa dapat dilakukan antara lain dengan gaya mengajar, penggunaan alat-bantu mengajar, dan pola interaksi yang bervariasi. Kemampuan melaksanakan proses pengajaran menunjuk kepada sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh guru ketika ia menyajikan bahan pelajaran. Pada tahap ini berlangsung interaksi antara guru dengan siswa, antarsiswa, dan antara siswa dengan kelompok belajarnya. Selanjutnya, Oregon (1977) mengemukakan pula mengenai cakupan pelaksanaan pengajaran seperti aspek tujuan pengajaran yang dikehendaki, bahan pelajaran yang disajikan, siswa yang belajar, metode mengajar yang digunakan, guru yang mengajar, dan alokasi waktu dalam mengajar.

Kemampuan mengakhiri atau menutup pelajaran merupakan kegiatan guru baik pada akhir jam pelajaran maupun pada setiap penggalan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud agar siswa memperoleh gambaran yang utuh mengenai pokok-pokok materi yang dipelajarinya. Menutup pelajaran secara umum terdiri atas kegiatan-kegiatan meninjau kembali dan mengevaluasi. Meninjau kembali pelajaran mencakup kegiatan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi pelajaran merupakan kegiatan untuk mengetahui adanya pengembangan wawasan siswa setelah pelajaran atau penggal kegiatan belajar berakhir

Kemukakan tiga masalah pembelajaran yang terdapat dalam wacana di atas , pilih salah satu yang kemudian diberikan alasan mengapa hal tersebut diidentifikasi sebagai masalah pembelajaran Pendidikan IPS.Jawab :

Menurut pasal 1 ayat (19) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum menurut Sukmadinata (2001:150-154), yaitu: Prinsip-prinsip umum, meliputi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip-prinsip khusus berkenaan dengan tujuan pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran, serta kegiatan penilaian.

Selama ini pengembangan kurikulum di Indonesia lebih berorientasi pada materi (isi kurikulum) daripada proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan baik dalam budaya belajar maupun dalam budaya mengajar. Permasalahan tersebut antara lain:

a. Budaya belajar lebih berorientasi pada bentuk menghapal daripada belajar berpikir; belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial daripada berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya; motivasi belajar hanya sekedar mendapatkan nilai daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; belajar menerima informasi daripada mencari, mengolah dan menggunakan informasi; belajar pasif daripada belajar aktif; belajar santai daripada belajar kompetitif secara sehat; belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dari pada memecahkan masalah sosial.

b. Budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain kebiasaan memberi matari pelajaran daripada menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk masalah sebagai media stimulus bagi perkembangan berpikir dan nilai; kebiasaan berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar daripada berperan sebagai fasilitator belajar yang dapat memberi kemudahan belajar; kebiasaan menciptakan pola interaksi satu arah daripada menciptakan pola interaksi komunikasi serba arah; kebiasaan mengajarkan nilai daripada mengklarifikasi nilai; kebiasaan memberikan hapalan daripada merangsang untuk berpikir tingkat tinggi.

Kondisi tersebut tidak/kurang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran IPS. Menurut Djahiri dan Ma’mun (1978:36), sasaran pengajaran IPS antara lain membina insan sosial yang paripurna yang mampu hidup dalam arena kehidupan masyarakat serta dapat berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab; membina kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan-keputusan yang baik, kemampuan hidup mandiri, kemampuan melakukan hubungan dengan sesama (berinteraksi sosial), kemampuan ekonomis yang survive, rasa tanggung jawab sebagai insan mandiri/sosial dan politik, kemampuan teknis dalam mempelajari sesuatu (learning how to learn). Untuk itu pengembangan kurikulum IPS harus mengarah kepada upaya pencapaian sasaran tersebut.

Secara empirik permasalahan dalam pengembangan kurikulum IPS, di antaranya:a. Pengembangan kurikulum IPS lebih berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu

sosial, ketimbang pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan mengklarifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat.

b. Pendekatan sentralistik dalam pengembangan kurikulum (kurikulum 1994) pendidikan IPS mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya budaya belajar mengajar untuk mencapai target kurikulum sebagai tuntutan kedinasan.

c. Muatan materi yang padat (kurikulum 2004) tidak diimbangi dengan alokasi waktu yang cukup, akibatnya guru sebagai pengembang kurikulum mengalami kesulitan dalam pembelajaran.

d. Banyak guru IPS terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki kualifikasi atau kelayakan untuk mengemban tugas sebagai guru IPS, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum IPS.Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan memperlemah proses dan hasil

pendidikan IPS serta memperkokoh anggapan sementara pihak bahwa pendidikan IPS kurang bermanfaat dibandingkan dengan MIPA. Untuk itu guru IPS harus berani mengambil terombosan di antaranya dengan menggunakan pendekatan pengembangan berpikir dan nilai dalam pembelajaran IPS.

Hasil penelitian dan pengkajian akademis yang dilakukan oleh Al Muchtar (2004:233-236) merupakan gagasan inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPS, yaitu:a. Pendidikan IPS memerlukan reorientasi dan transformasi dasar konseptual dari konsepsi

yang lebih menekankan pada orientasi upaya mempersiapkan peseta didik untuk melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan praktik pendidikan melatih mereka supaya berhasil dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kepada orientasi yang harmonis antara mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar lebih lanjut dengan membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial untuk menjalani kehidupan di masyarakat.

b. Ketidakjelasan dasar konseptual pendidikan IPS yang selama ini terjadi, perlu dihilangkan dengan cara dikembangkan suatu definisi dalam wawasan pengembangan berpikir dan nilai secara konsisten. Difinisi tersebut bersifat kontekstual dan memungkinkan terjadinya dinamisasi pemikiran inovatif di kalangan para pelaku pendidikan IPS. Definisi yang dimaksud tidak dalam suatu rumusan formal yang kaku sehingga kreativitas para pengembang pendidikan IPS terbelenggu. Untuk itu perlu dikembangkan atas acuan: (1) tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir dan nilai; (2) tujuan dengan orientasi pengembangan IPTEK dan era informasi modern serta globalisasi, (3) tujuan dengan orientasi pengembangan ilmu sosial dan peran ilmu sosial.

c. Gagasan ini dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ke arah budaya otonomisasi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam perspektif nasional dan lokal dengan para guru dan kepala sekolah bertindak tidak hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi harus lebih bertindak sebagai pengembang kurikulum (curicullum developer). Adanya wawasan konseptual yang jelas, maka identifikasi dan pencarian alternatif pemecahan masalah dalam pendidikan IPS yang selama ini sulit dilakukan, akan mendapatkan konseptual yang jelas sehingga usaha peningkatan mutu mudah untuk dilaksanakan. Di samping itu perlu dikembangkan sikap guru untuk memberi makna terhadap pendekatan pengembangan sentralistik, dengan cara tidak berpikir tekstual dan sektoral yang dapat mempersempit wawasan dan semangat inovasi sebagai pengembang kurikulum. Untuk itu pengembangan IPS hendaknya diperankan sebagai bagian dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga pengembangan tidak terbatas pada lingkup pendidikan persekolahan semata.

Sebaik apapun gagasan hasil kajian akademik untuk mengatasi permasalahan dalam pendidikan IPS apabila tidak didukung oleh political will dari pengambil kebijakan (pemerintah), hasilnya tidak akan optimal apalagi maksimal. Sedangkan menurut Wahab (1998:7), bahwa: Upaya perbaikan dalam arti reorientasi dan revitalisasi bagi refungsionalisasi PIPS di sekolah harus dimulai dari para guru IPS sendiri dengan menunjukkan kemampuan profesionalnya dalam pendidikan IPS melalui upaya perubahan dan perbaikan terhadap berbagai kekurangan dalam pengajaran IPS yang selama ini

dilakukan di sekolah. Hal ini patut disadari bersama oleh karena guru merupakan ujung tombak dari berbagai kebijakan termasuk upaya reorientasi dan revitalisasi pengajaran IPS di sekolah tersebut. Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena guru kurang memperoleh informasi dan karena kurangnya komitmen profesional guru.

Antara political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) dengan tekad dan semangat dari komunitas pendidikan IPS baik akademisi maupun praktisi harus berjalan secara simultan, tanpa itu upaya meningkatkan mutu pendidikan IPS sulit untuk diwujudkan. Jadi, political will pemerintah dan tekad serta semangat komunitas pendidikan IPS merupakan kunci utama untuk mengatasi permasalahan pendidikan IPS.

Bahan pelajaran IPS akan lebih fungsional bagi pengembangan berpikir dan nilai jika diorganisir atas dasar acuan struktur ilmu-ilmu sosial sebagai sumber keilmuan dan masalah sosial budaya sebagai sumber nilai yang diorganisir secara “integrated” dalam kemasan problematis sebagai media stimulus bagi pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan pembinaan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya. Jika hal ini dilakukan maka anggapan bahwa pendidikan IPS sebagai bahan yang “paling tidak menarik” yang selama ini berkembang dikalangan peserta didik akan berubah menjadi mata pelajaran yang menantang dan menarik untuk dipikirkan dan dipelajari secara serius hal ini dapat dilakukan apabila para guru bertindak sebagai pengembang kurikulum yang memiliki wawasan penguasaan materi selain berupa konsep-konsep ilmu sosial, juga diperkaya dengan penguasaan dan kemampuan pengetahuan sosial budaya dan perkembangannya (Al Muchtar, 2004:239-240).

Lebih lanjut menurut Al Muchtar (2004:240), bahwa: Transformasi yang harus dilakukan oleh guru dan penulis buku IPS, adalah dari kebiasaan memberikan bahan pelajaran sebanyak-banyaknya dalam kemasan informasi dan pengetahuan kepada penyajian bahan yang diseleksi atas petimbangan esensial dalam kemasan problematik untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membina kemantapan internalisasi nilai.

Dalam penyusunan materi pembelajaran, ada beberapa prinsip (Depdiknas, 2003:14) yang harus diperhatikan, yaitu:a. Relevansi, yaitu relevan atau sinkron antara materi pembelajaran dengan kemampuan

dasar yang ingin dicapai. b. Konsistensi, yaitu konsisten, ada keajegan antara materi pembelajaran dengan kemampuan

dasar dan standar kompetensi.c. Adequasi (kecukupan), berarti cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup lengkap

untuk tercapainya kemampuan yang telah ditentukan.Lebih lanjut dalam menentukan urutan materi pembelajaran (Depdiknas, 2003:13),

perlu ditempuh pendekatan prosedural, dari materi pembelajaran yang sederhana ke yang sukar, konkrit ke abstrak, spiral, tematis, hirarkis, terpadu, dan terjala.Salah satu praktek kependidikan di sekolah yang perlu dibenahi adalah kebiasaan anak dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya produktif’. Budaya konsumtif antara lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif: mencatat - mendengar - meniru sedangkan budaya produktif adalah kebiasaan siswa untuk menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat model - meneliti - memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang profesional, produktif, dan efisien.

Meskipun belum ada data akurat, disinyalir sejumlah lulusan sekolah kurang produktif. Mereka kurang mahir menulis gagasannya, kurang berani mengungkapkan

gagasan, kurang terampil memecahkan masalah, kurang terampil merencanakan penelitian, kurang berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir berpikir alternatif untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus asa jika menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional. Mengapa ini terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau apakah peluang untuk menjadi produktif belum tersedia secara optimal?

Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif merupakan sikap bawaan anak sejak kecil sebab setiap anak kecil memiliki dua sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau kedua sikap ini dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap pertama lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan baru. Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan alam sekitar - yang kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun dalam wujud ‘gagasan naif’. Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu anak bermain-main. Anak sering membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu bermain di pantai, sering melukis macam-macam gambar sesuai seleranya, sering berandai-andai dirinya menjadi makhluk selain manusia. Dengan demikian, ketika bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua sikap ini, suatu modal dasar untuk melatih anak menjadi produktif.

Supaya peran siswa sebagai ‘produsen’ seimbang dengan peran ‘konsumen’, guru perlu melakukan pengajaran edukatif (educative teaching) dengan menempatkan diri dalam peran sebagai fasilitator. Para ahli membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran (teaching) yang berkonotasi pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan indoktrinasi (indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari. Karena itu, penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup hanya menyediakan bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk mencari/menyediakan bukti sendiri dan menilai bukti yang disajikan sebelum suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya.

Sementara itu, pengajaran dalam bentuk training/ drill lebih mengacu pada upaya peningkatan ketrampilan tentang tehnik dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang hakekat apa dan mengapa (know what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk conditioning adalah bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku respon (R) yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward) kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran adalah indoctrination. Jenis pengajaran ini – yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya dalam kategori cara mengajar yang tidak edukatif - mengacu pada pemaksaan keyakinan/ kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga guru yang mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata pelajaran dengan sasaran kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS ini masih ada (dan bahkan mungkin masih banyak). Di antara ketiga jenis pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih baik meski perlu ditingkatkan kearah bentuk educative teaching.

Dengan demikian, pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan, guru perlu melakukan perubahan wawasan yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan perlakukan guru ke siswa, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran siswa sebagai produsen. Dalam Tabel, disajikan beberapa contoh perlakuan yang disajikan dalam dua kutub ekstrim, yaitu kutub siswa sebagai konsumen kutub siswa sebagai produsen.

Perlakuan Guru Terhadap Siswa di KelasSiswa Sebagai Konsumen Siswa Sebagai Produsen

Mendengarkan penjelasan guru sepanjang Mengajukan pertanyaan, berkomentar

hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan

Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya

Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau mengulangi informasi yang tertuang dalam buku teks.

Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti ‘Mahluk hidup selalu berna ………’ , kata guru dan anak meneruskan dengan ‘faaaas’

Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru.

Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.

Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa di planet Mars itu tidak ada udara maka disana tidak mungkin ada kehidupan, ya…kan’. Jawaban guru disertai wajah sinis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.

terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif

Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.

Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penelaran logis

Mengomentari jawaban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan

Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana

Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci

Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, ‘Menurutmu bagaimana, ada atau tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada, apakah mahluk hidup di sana seperti mahluk hidup di bumi?’ ‘Kalau tidak ada, apakah tidak mungkin planet itu dijadikan objek pariwisata pada masa mendatang oleh umat di bumi?’

Menurut pandangan constructivism, otak anak (siswa) pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak tidak kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun beberapa pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut anak pengetahuan-pengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam satu jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur kognitif ini dengan schemata.

Sayang sekali, masih ada guru yang memandang anak tidak memiliki pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru sering menampilkan diri sebagai sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah sedangkan anak - secara tidak sengaja - diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’ kepala anak yang dianggap ‘kosong’.

Hasil survei the British Council (Sukandi, U. Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap 192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih menganggap mengajar sebagai kegiatan

mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang menganggap mengajar sebagai menciptakan kondisi sehingga peristiwa siswa belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini, kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.

Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini, guru perlu merubah peran dirinya dari peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan hanya anak pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah. Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan sekolah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat dirinya belajar sepanjang hayat.

Dalam Tabel selanjutnya disajikan beberapa bentuk perlakuan guru terhadap siswa, dimana pada kolom kiri merupakan prilaku yang dikategorikan destroyer (pengganggu peristiwa belajar) dan pada kolom kanan yang dikategorikan ‘facilitator’ (pemermudah peristiwa belajar).

Peran Guru di KelasSebagai Destroyer

(Pengganggu Peristiwa Belajar)Sebagai Facilitator

(Pemermudah Peristiwa Belajar)

Guru yang menganggap masalah anak sebagai masalah guru sehingga kalau anak memperoleh masalah guru langsung menyelesaikannya lalu memberikannya jawaban langsung. Misalnya, ketika anak bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin sulit!’. Menanggapi keluhan ini guru langsung memberikan uraian jawaban secara panjang lebar sehingga tidak ada ruang bagi anak untuk menambahkan gagasannya.

Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris bewilder itu?’ Menanggapi pertanyaan, seorang Ibu guru Bahasa Inggeris yang fasih berbahasa Inggeris langsung memberikan respon. ‘Masak tidak tahu, bewilder itu kan artinya mengembara’.

Guru yang menempatkan masalah anak sebagai masalah anak. Pada keadaan ini guru hanya berperan menyediakan kondisi dan memberikan dorongan sehingga anak mau menyelesaikan masalahnya tanpa beban. Misalnya ketika anak memeperoleh PR/soal matematika tentang jual beli yang dianggapnya sulit guru hanya mengajukan pertanyaan seperti; ‘Apakah kamu sudah mencoba dengan rumus itu?’ atau, ‘Bagaimana kalau soalnya dirinci menjadi seperti ini?’ atau ‘Bagaimana kalau melakukan pengamatan langsung pada pedagang ke pasar?’

Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris bewilder itu?’, guru langsung memberikan kamus untuk mencarinya sendiri arti kata tersebut.

Dalam era kesejagatan yang penuh dengan perubahan dan yang kecepatan perubahannya pun berlangsung begitu cepat, prilaku dan lingkungan belajar peserta didik ikut berubah. Menyikapi situasi ini, praktisi pendidikan khususnya guru perlu melakukan perubahan pola pikir/pandangan dan pola tindak. Perubahan-perubahan itu meliputi:

1. Pola pikir dan pandangan tentang hakikat belajar-mengajar. Belajar lebih diartikan pada pembangunan gagasan yang bermakna oleh pebelajar (baca: siswa) dalam suatu jaringan schemata kognitif sedangkan peristiwa ‘mengajar’ baru terjadi kalau

peristiwa ‘belajar’ benar-benar sudah berlangsung. Dengan kata lain, dalam konteks belajar mengajar, ‘mengajar’ sebagai dimensi ‘sebab’ dan belajar sebagai dimensi ‘akibat’.

2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, guru perlu menggeser peran siswa supaya menjadi lebih variatif dalam rentangan peran sebagai ‘konsumen’ (baca: meniru gagasan secara pasif) dan sebagai ‘produsen’ (baca: menggagas gagasan secara kreatif). Kurangi peran siswa yang melulu hanya diposisikan sebagai ‘konsumen’ yang lazim dicirikan dengan kebiasaan mengulangi kata-kata guru/buku, menyalin, mendengarkan.

3. Konsekuensi dari orientasi pada proses learning dari pada proses teaching mengharuskan guru untuk berperan sebagai facilitator peristiwa belajar. Untuk keperluan ini guru perlu menyediakan kegiatan teaching dalam wajah educative teaching atau conditioning sambil menghindari dominasi kegiatan teaching dalam wujud indoctrination ataupun training. Model adalah suatu pola atau gaya dari suatu proses pembelajaran yang berlangsung

untuk mencapai keberhasilan dari suatu program pembelajaran. Sedangkan pembelajaran adalah suatu upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi agar terjadi proses belajar mengajar. Model Konvensional adalah model lama yang kering dengan variasi dan terjebak kedalam rutinitas metode ceramah pasif dan proses “menghafal” materi pelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Al Mukhtar (1999:70) yang menyatakan :

Proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh kognitif tingkat rendah. Proses belajar belum mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi…Kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka belum diperankan sebagai pembelajar secara mandiri melakukan kegiatan belajar. Lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berfikir, posisi menerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum dilibatkan secra optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual dan emosional dirinya sendiri.

Slavin (1995:19) menjelaskan bahwa secara historis cooperative learning telah dikenal sejak lama. Pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau tutor sebaya. Hal ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa yang lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain yaitu teman sebaya. Hal ini dilakukan karena keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh siswa lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman sebaya.

Cooperative adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Sedangkan Cooperative Learning artinya belajar bersama-sama dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cooperative learning adalah menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang (Bernet dalam Broto Kiswoyo, 1995 :9)

Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis (Davidson dan Warsharn :1992).

Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu banyak guru mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning terjadi dlam bentuk kerja kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative learning. Ishak Abdullah (2001:19-20) menjelaskan bahwa pembelajaran cooperative dilaksanakan melalaui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri.

Menurut Bernet dalam Broto Kiswoyo (1995:9) ada lima unsur dasar yang dapat membedakan antara cooperative learning dengan belajar kelompok .

2. Positive interdependence, yaitu hubungan antar timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan yang sama diantara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.

3. Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antara siswa tanpa adanya perentara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu dan yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa.

4. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok lebih kuat pribadinya.

5. Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok dan memelihara hubungan kerja yang efektif.

6. Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses kelompok), yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat tercapai dalam cooperative learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan. Ini merupakan keterampilan yang penting dan diperlukan dalam masyarakat.Beberapa konsep dasar pengembangan Model Cooperative Learning seperti yang

tertera berikut ini : 1. Kejelasan tujuan pembelajaran2. Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar3. Saling membutuhkan sesama anggota kelompok4. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran5. Tanggung jawab individu6. Heterogenitas kelompok7. Sikap dan perilaku sosial yang positif8. Defrefing (refleksi)9. Kepuasan dalam belajar

Menurut Al Muchtar (2003:13) pendidikan multikultural sebagai sebuah paradigma dalam pengembangan pendidikan yang diunggulkan dan dijadikan wacana berkaitan dengan bagaimana memperkuat peran pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai kemajemukan, pluralitas dan keragaman untuk membentuk sikap keterbukaan, toleransi dan memperkuat demokrasi, dengan demikian dapat memperkuat ketahanan budaya. Lebih lanjut Al Muchtar (2003:17) mengemukakan, bahwa pendidikan multikultural bertujuan memperkuat makna dan validitas sosial budaya pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai untuk menghargai pluralitas dengan menekankan ajaran etika nilai budaya yang bersumber dari ajaran agama, yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual serta pengamalan akhlak mulia. Sementara menurut Wiriaatmadja (2002:255) tujuan utama pendidikan multikultural ialah mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya.

Adapun sasaran pendidikan multikultural menurut Banks sebagaimana dikutip oleh Skeel (1995:102) mengarahkan siswa tanpa memandang perbedaan jender, sosial, budaya, ras, dan etnik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan/pengalaman belajar siswa di sekolah; membantu siswa untuk mengembangkan sikap positif terhadap adanya perbedaan budaya, suku, dan agama/kepercayaan; memberikan kekuatan kepada siswa yang menjadi korban tindak kejahatan dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengambil keputusan dan keterampilan sosial; membantu para siswa mengembangkan ketergantungan lintas budaya dan cara pandang mereka terhadap perbedaan kelompok.

Langkah-langkah operasional pendidikan multikultural yang disajikan di kelas majemuk, miniatur Indonesia. Memberi penjelasan dan pemahaman kepada siswa bahwa kita (Indonesia) ditakdirkan menjadi bangsa yang majemuk, sehingga diharapkan siswa dapat menyadarinya. Kemajemukan bukan sesuatu hal yang dapat dijadikan alasan oleh kita untuk saling bermusuhan, tetapi justru sebagai aset bangsa yang dapat mempersatukan kita. Bagi kita bersatu dalam kemajemukan adalah suatu anugrah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri.

a. Mengarahkan siswa akan keharusan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk, di antaranya saling menghormati/menghargai perbedaan, toleransi, dan tenggang rasa.

b. Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada siswa, bahwa hidup damai tanpa konflik akan membuahkan ketenangan dan kesejahteraan.

Perbedaan pendidikan global dengan pendidikan multikultural. Menurut Sapriya (2002:155), pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan (perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Pada umumnya, tujuan pendidikan setiap mata pelajaran untuk kondisi saat ini menekankan pada kemampuan siswa dalam berpikir kritis (critical thinking skill), namun ada hal yang unik dalam pendidikan global, yakni fokus substansinya yang berasal dari hal-hal mendunia yang semakin bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Tujuan pendidikan global adalah untuk mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitudes) yang diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin menipis dan ditandai oleh keragaman etnis, pluralisme budaya dan semakin saling ketergantungan. Sementara Kniep (Sapriya, 2002:158) mengemukakan bahwa isi pendidikan global dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dunia sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep memperkenalkan empat unsur kajian yang dianggap esensial dan mendasar dari pendidikan global: (1) kajian tentang nilai manusia (the study of human values); (2) kajian tentang sistem global (the study of global systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global (the study of global problems and issues); dan (4) kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang, budaya, dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence among peoples, cultures, and nations).

Perbedaan antara pendidikan global dengan pendidikan multikultural, yaitu bahwa pendidikan global ini lebih menekankan hal-hal yang sifatnya mendunia yang bercirikan pluralisme, interdependensi dan perubahan. Contoh materi pendidikan global: Isu-isu global seperti HAM, terorisme dan wabah HIV/AIDS; dan peranan organisasi-organisasi internasional.

Sedangkan pendidikan multikultural lebih menekankan kepada keragaman budaya pada tingkat lokal dan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan budaya dan integritas nasional. Contoh materi pendidikan multikultural: teloransi; dan pemahaman keragaman budaya, etnik dan agama.