33
BAB I PENDAHULUAN Chronic venous insufficiency (CVI) atau insufisiensi vena kronik adalah stadium lanjut dari penyakit venosa yang dapat disebabkan oleh kejadian patologis yang menyebabkan gangguan venous return atau aliran balik vena, yang dapat terjadi pada vena-vena superfisialis ataupun profunda. Hal ini disebabkan disfungsi katup-katup vena yang menyebabkan aliran darah vena terganggu, sehingga terjadi refluks darah dalam vena. CVI terjadi pada vena ekstremitas bawah dengan manifestasi nyeri pada tungkai bawah, bengkak, edema, perubahan kulit, dan ulserasi. Gangguan ini biasanya berlangsung progresif selama beberapa tahun. 1 Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%. 2 1

Cvi Referat Didi

  • Upload
    endahwm

  • View
    164

  • Download
    23

Embed Size (px)

DESCRIPTION

j

Citation preview

BAB I

PENDAHULUANChronic venous insufficiency (CVI) atau insufisiensi vena kronik adalah stadium lanjut dari penyakit venosa yang dapat disebabkan oleh kejadian patologis yang menyebabkan gangguan venous return atau aliran balik vena, yang dapat terjadi pada vena-vena superfisialis ataupun profunda. Hal ini disebabkan disfungsi katup-katup vena yang menyebabkan aliran darah vena terganggu, sehingga terjadi refluks darah dalam vena. CVI terjadi pada vena ekstremitas bawah dengan manifestasi nyeri pada tungkai bawah, bengkak, edema, perubahan kulit, dan ulserasi. Gangguan ini biasanya berlangsung progresif selama beberapa tahun.1Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%.2BAB II

PEMBAHASAN2.1 Anatomi Vena Ekstremitas Bawah2.1.1 Vena Superfisialis Ekstremitas Bawah

Sistem superfisialis terdiri dari vena safena magna dan vena safena parva. Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki predisposisi terjadinya varises yang membutuhkan pembedahan.3,4 V. Safena magna keluar dari ujung medial jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini berjalan di sebelah anterior maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan nervus safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut dan kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha. Pembuluh ini menembus fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis pada hiatus safenus. Bagian terminal v.safena magna biasanya mendapat percabangan superfisialis dari genitalia eksterna dan dinding bawah abdomen. Dalam pembedahan, hal ini bisa membantu membedakan v.safena dari femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir ke v.femoralis adalah v.safena. Cabang-cabang femoralis anteromedial dan posterolateral (lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha, kadang-kadang juga mengalir ke v.safena magna di bawah hiatus safenus. V. safena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di beberapa tempat melalui vena perforantes. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di bawah maleolus medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah lutut, dan satu hubungan panjang pada paha bawah. Katup-katup pada perforator mengarah ke dalam sehingga darah mengalir dari sistem superfisialis ke sistem profunda dari mana kemudian darah dipompa keatas dibantu oleh kontraksi otot betis. Akibatnya sistem profunda memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada superfisialis, sehingga bila katup perforator mengalami kerusakan, tekanan yang meningkat diteruskan ke sistem superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem ini. V. safena parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas bagian belakang betis kemudian menembus fasia profunda pada berbagai posisi untuk mengalir ke v.poplitea. 2.1.2 Vena Profunda Ekstremitas Bawah

Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari arteri tibialis anterior dan posterior yang melanjutkan sebagai v.poplitea dan v.femoralis. Vena profunda ini membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot saat olahraga.4,5

2.2. Chronic Venous Insufficiency2.2.1. Definisi Chronic venous insufficiency (CVI) pada tungkai bawah yaitu kelainan dengan hipertensi vena, yang disebabkan oleh perubahan abnormal pada struktur dan fungsi vena; baik vena tepi dan atau system vena dalam termasuk varises serta komplikasinya.6,7 Chronic venous insufficiency adalah kondisi dimana pembuluh darah tidak dapat memompa oksigen dengan cukup (poor blood) kembali ke jantung yang ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai. CVI paling sering disebabkan oleh perubahan primer pada dinding vena serta katup-katupnya (valve incompetence) dan perubahan sekunder disebabkan oleh thrombus sebelumnya dan kemudian mengakibatkan reflux, obstruksi atau keduanya. Kelainan kongenital jarang menyebebkan CVI.1 Varises tungkai adalah yang paling banyak ditemukan.2.2.2. Epidemiologi

Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%.8 2.2.3 Etiologi dan faktor resikoEtiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 yaitu, kongenital, primer dan sekunder.9 Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak terbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya yang baru diketahui setelah penderitanya berumur.

Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlalu panjang (elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur tanpa sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun katup yang panjang melambai (floppy, rebundant) sehingga penutupan tidak sempurna (daun-daun katup tidak dapat terkatup sempurna) yang mengakibatkan terjadinya katup tidak dapat menahan aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks. Keadaan tersebut dapat diatasi hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair) dengan operasi untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali.

Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena sekunder) disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu akibat adanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan gangguan kronis pada katup vena dalam. Pada keadaan dimana terjadi komplikasi sumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian trombosis vena dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-trombotic. Pada sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut akibat inflamasi, trombosis kronis dan rekanalisasi yang akan menimbulkan fibrosis, dan juga akan menimbulkan pemendekan daun katup (pengerutan daun katup), perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), dan adhesi katup, sehingga akhirnya akan menimbulkan penyempitan lumen. Kerusakan yang terjadi pada daun katup telah sangat parah tidak memungkinkan upaya perbaikan. Kejadian insufisiensi vena kronis yang primer, dan yang sekunder (akibat trombosis vena dalam, dan komplikasi post-trombotic), dapat terjadi pada satu penderita yang sama.

Faktor resiko chronic venous insufficiency antara lain obesitas, usia lanjut, berjenis kelamin perempuan, berdiri dalam jangka waktu yang lama ( > 6jam/hari), herediter (riwayat varises dalam keluarga), merokok, sedentary lifestyle, riwayat deep vein thrombosis, dan kehamilan. 2.2.4 PatofisiologiVarikoses vena merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada CVI. CVI disebabkan oleh daya elastisitas yang abnormal pada jaringan ikat dinding vena serta katupnya. Varises primer terjadi akibat dilatasi vena tanpa thrombosis sebelumnya, sedangkan varises sekunder disebabkan kerusakan katup setelah deep vein trobosis (DVT) dan rekanalisasi yang kemudian menyebabkan vena dalam dan vena perforantes menjadi inkompeten. Akibatnya adalah drainase yang berkurang serta hipertensi vena yang meninggi tekanan transmural pada pembuluh darah akhir kapiler, dengan akibat kerusakan kapiler kulit, eksudasi cairan, edema dan malnutrisi jaringan yang pada gilirannya mudah mengundang inflamasi, infeksi, thrombosis dan nekrosis jaringan dengan lipodermatosklerosis dan akhirnya ulserasi.10DEFINISI DVTDeep vein thrombosis(DVT) merupakan kondisi dimana terjadi pembekuan darah di dalam vena dalam kaki atau pelvis. Pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. Pembuluh darah dari ekstremitas diklasifikasikan menjadi vena superfisial yang terletak di atas fasia dan mendalam vena yang berada di bawah fasia. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena stasis yang dikenal dengan trias virchow.11EPIDEMIOLOGI

Tromboemboli vena terjadi pada 100 orang per 100.000 setiap tahun di Amerika dan meningkat secara eksponensial dari 5 kasus per 100.000 orang pada usia 15 tahun menjadi 500 kasus (0,5%) per 100.000 orang pada usia 80 tahun. Sekitar sepertiga dari pasien dengan gejala DVT jelas menimbulkan gejala emboli paru. Meskipun sudah diterapi antikoagulan, DVT dapat berulang sering dalam beberapa bulan pertama setelah kejadian awal, dengan tingkat kekambuhan 7% dalam 6 bulan. Kematian terjadi pada 6% dari kasus DVT dan 12% dari kasus emboli paru dalam kurun waktu 1 bulan setelah diagnosis.Salah satu faktor risiko utama untuk DVT adalah etnis, dengan kejadian secara signifikan lebih tinggi di antara orang kulit putih dan Afrika-Amerika dibandingkan kalangan orang Hispanik dan kepulauan Asia Pasifik. Secara keseluruhan, 25% sampai 50% pasien yang datang pertama kali dengan DVT memiliki kondisi idiopatik, Kematian dini setelah DVT sangat terkait dengan presentasi sebagai PE, usia lanjut, kanker, dan penyakit kardiovaskular yang mendasari.PATOGENESIS

Berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.

Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Stasis vena.

2. Kerusakan pembuluh darah.

3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.

1. Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui :

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan subendotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

Trombosis juga terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi : gangguan sel endotel, terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis, stasis, aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von willebrand.

Mekanisme protektif terdiri dari faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.5,6FAKTOR RISIKOFaktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Tabel 1. Faktor risiko DVTFaktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.

Faktor risiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 antitripsin.

Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif

Faktor risiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di operasi.

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.4. Infark miokard dan payah jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung. 5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa2.5MANIFESTASI KLINIK

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v poplitea, v femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai. Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.

Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

bendungan aliran vena.

peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan

Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini disebut flegmasia alba dolens.Penyakit ini dimulai mungkin dengan DVT, yang berlangsung terjadinya total oklusi sistim vena dalam. Hal ini pada tahap ini yang disebut phlegmasia dolens alba. Ini adalah proses yang akut. Kemudian kaki harus bergantung pada sistem vena superfisial untuk drainase. Sistem permukaan tidak memadai untuk menangani volume besar darah yang dikirimkan ke kaki melalui sistem arteri. Hasilnya adalah edema, rasa sakit dan penampilan (alba) kaki putih. Langkah berikutnya dalam perkembangan penyakit ini oklusi sistem vena superfisial, sehingga mencegah aliran vena di sekitar ujung. Pada tahap ini disebut Phlegmasia cerulea dolens. Kaki menjadi semakin bengkak dan sakit. Selain itu, edema dan hambatan aliran vena dapat menyebabkan iskemik dan akhirnya menjadi gangren.4. Sindroma post-trombosis.

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.2.6DIAGNOSIS

Gambar 1. Alur Diagnosis DVT1Diagnosis trombosis vena ditemtukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagai diagnosis definitif. Dari anamnesis dapat ditemukan pembengkakan pada betis, nyeri paha, nyeri tungkai bawah, dan asimtomatik. Pemeriksaan fisik ditemukan edema tungkai unilateral, eritema, hiperemis, nyeri tekan, teraba pembuluh darah superfisial, dan homan sign positif.

Gambar. Homans sign

1. Dalam posisi terlentang, lutut diduga kaki pasien harus tertekuk (Gambar 1).2. Pemeriksa harus kemudian secara paksa dan tiba-tiba dorsiflex pergelangan kaki pasien (Gambar 2). Pemeriksa mengamati apakah pasien merasakan nyeri di betis dan daerah poplitea. Nyeri menunjukkan tanda positif.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan d-dimer menunjukkan adanya trombosis yang aktif dan merupakan pemeriksaan yang sensitif dengan spesivitas 77%.

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, antara lain:

1. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca.2. Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di betis.3. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler. P USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi padaisolated calf vein thrombosissensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain.

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliacDVT danfemoralDVT) dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor risiko . Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) Skor dari Wells (tabel 2) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok risiko ringan, sedang atau tinggi

Tabel 2. Skor Wells3Keadaan klinisSkor

Kanker aktif (dalam pengobatan atau dalam 6 bulan sebelumnya atau paliatif)1

Paralisis, parese, atau imobilisasi plaster ekstremitas bawah akhir-akhir ini1

Akhir-akhir ini bedrest lama lebih dari 3 hari atau operasi besar dalam 4 minggu terakhir1

Nyeri lokal sepanjang distribusi sistem vena dalam1

Bengkak seluruh kaki1

Pembengkakan betis lebih dari 3 cm bila dibandingkan dengan kaki yang asimtomatik (diukur dibawah tuberositas tibia)1

Pitting edema (lebih besar pada sisi kaki yang simtomatik)1

Vena superfisial kolateral (nonvaricose)1

Diagnosis alternatif sebagai kemungkinan atau kemungkinan lebih dari DVT-2

Skor faktor risiko : ringan < 0, sedang 1-2, Tinggi >3

Pemeriksaan D-dimer