34

cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12
Page 2: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12
Page 3: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

1/ 32

`

PENETAPAN

Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas adalah SDM yang memiliki daya saing dalam

menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baik nasional maupun global serta memiliki

tingkat kesehatan, kecerdasan dan kepribadian atau karakter yang optimal.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan yang sempurna

baik fisik, mental maupun sosial tidak hanya terbebas dari penyakit atau

kelemahan/cacat. Sedangkan yang dimaksud dengan cerdas adalah kemampuan untuk

menggunakan daya ingat, pengetahuan, pengalaman, pemahaman, penalaran, imajinasi

dan penilaian untuk memecahkan masalah dan beradaptasi pada situasi baru1.

Upaya membangun SDM pada hakekatnya merupakan upaya terus menerus yang dilakukan

sepanjang siklus hidup. Upaya tersebut dimulai sejak awal kehidupan di dalam kandungan

sebagai janin; kemudian dilahirkan menjadi seorang bayi; tumbuh menjadi balita dan berlanjut

menjadi anak-anak; remaja, dewasa dan manusia usia lanjut. Janin berumur 9 bulan dalam

kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12 bulan; balita, kurang dari 5 tahun; usia

sekolah, antara 5 – 12 tahun; remaja, 12 – 18 tahun; dewasa, 18 tahun – 60 tahun; dan usia

lanjut di atas 60 tahun.

Sebagai tahapan siklus hidup yang paling awal, masa janin sampai usia 2 tahun memegang

peranan penting dan mendasar dalam pembangunan manusia. 1000 hari pertama kehidupan

(HPK) sering disebut sebagai windows of opportunities atau golden periode yang merupakan

masa kritis dan sensitif bagi kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan 1000 HPK adalah

masa selama 270 hari (9 bulan dalam kandungan) dan 730 hari (2 tahun pertama) pasca

kelahiran2. Pada masa tersebut, berbagai organ tubuh dibentuk.

Pada saat bayi baru lahir, pembentukan otak baru mencapai 25% dari otak orang dewasa.

Sel otak terus berkembang pesat dan mencapai 70-80% saat berusia 1 tahun sehingga masa ini

disebut periode lompatan pertumbuhan otak. Pertumbuhan sel otak terus berlanjut sampai

1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. “Pedoman Optimalisasi Potensi Kecerdasan Majemuk (Multiple

Intelligence) Pada Remaja”. Jakarta: Pusat Intelegensia Kesehatan 2 Endang L. Achadi, Periode Kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Dampak Jangka Panjang Terhadap Kesehatan dan

Fungsinya, Departemen Gizi Kesmas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 25 November 2014

POLICY PAPER:

PENGANEKARAGAMAN PANGAN DALAM UPAYA

MEWUJUDKAN SDM BERKUALITAS

Page 4: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[2]

bayi berusia 2 tahun hingga mencapai 90%, dan sisanya berkembang lebih melambat sampai

batas pertumbuhan maturasi atau kedewasaan otak. Selain perkembangan otak, pada 1000

HPK terjadi pula perkembangan indera penglihatan, indera pendengaran fungsi kognitif.

Proses perkembangan indera ini terus berlanjut dan menjadi permanen pasca usia 6 tahun.

Sedangkan proses pertumbuhan fungsi kecerdasan yang lebih kompleks terus berlanjut hingga

usia remaja3. (Gambaran pertumbuhan dan perkembangan otak dapat dilihat pada lampiran

1)

Penelitian yang dilakukan oleh Y. Kelly, Sacker, Gray, J. Kelly, Wolke and Quigley

menemukan gangguan perilaku dan fungsi kognitif pada anak usia 3 tahun yang ibunya

mengkonsumsi sedikit alkohol pada masa kehamilan4. Bahkan penelitian AK Knudsen, JC

Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen menunjukan konsumsi alkohol sebelum

kehamilan pun dapat menimbulkan gangguan perilaku pada anak yang dilahirkan meskipun

ibu telah berhenti mengkonsumsi sebelum kehamilannya5.

Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa proses pembentukan dan pemeliharaan

kesehatan, kecerdasan dan kepribadian/karakter dimulai sejak janin. Proses tersebut

berlanjut hingga remaja. Gangguan tumbuh kembang pada tahapan tersebut dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan kecerdasan maupun perilaku yang tentunya

dapat menjadi penghambat dalam pembentukan SDM berkualitas.

Unicef (2019)6 menyatakan dunia saat ini menghadapi triple burden malnutrition yang

mengancam anak, remaja dan ibu hamil yakni: 1) kurang gizi yang mencakup stunting dan

wasting; 2) kelaparan terselubung (hidden hunger) yaitu tidak tercukupinya zat gizi; dan 3)

berat badan berlebih (over weight)

Dampak dari triple burden malnutrition yang dihadapi oleh anak dan remaja adalah: 1)

kurang gizi berdampak pada: a) hambatan pertumbuhan, infeksi dan kematian; b) rendahnya

fungsi kognitif, membaca dan prestasi sekolah; c) berpotensi mendapatkan penghasilan yang

rendah dikemudian hari; 2) tidak tercukupinya zat gizi berdampak pada: a) gangguan tumbuh

kembang; b) gangguan imunitas dan perkembangan jaringan; c) gangguan kesehatan dan

berisiko kematian; dan 3) berat badan berlebih termasuk obesitas berdampak pada: a) jangka

pendek: gangguan jantung dan pembuluh darah (cardiovascular), infeksi dan gangguan

kepercayaan diri; b) jangka panjang: obesitas, diabetes dan kelainan metabolic lainnya.

3 Thompson RA, Nelson CA. “Developmental Science and The Media: Early Brain Development”, The Amercan Psychologist 2001;

56: 5-15 pada Profil Kesehatan Inteligensia, Delapan Arah Mata Angin, 2016 4 Y Kelly, A Sacker, R Gray, J Kelly, D Wolke and M Quigley, 2008. “Alcohol – Light Drinking in Pregnancy, a Risk for Behavioural

Problems andCognitive Deficit at 3 Years of Age?”, International Journal of Epidemiology 2009; 38: 129-140, Oxford University

Press, October 2008 5 AK Knudsen, JC Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen, 2014. “Maternal Pre-Pregnancy Risk Drinking And Toddler

Behavior Problems: The Norwegian Mother and Child Cohort Study”, Eur Child Adolesc Psychiatry (2014) 23:901-911, Published

on line: 23 July 2014 6 Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A Changing

World”, New York, October 2019

Page 5: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[3]

Dampak dari triple burden malnutrition yang dihadapi oleh ibu hamil adalah: 1) kurang gizi

berdampak pada: a) komplikasi kehamilan; b) bayi lahir premature dan berat badan lahir

rendah; c) penyakit kronis bagi anak dikemudian hari; 2) tidak tercukupinya zat gizi

berdampak pada: a) kesakitan dan kematian ibu; b) kecacatan pada pelindung saraf bayi; c)

bayi lahir premature, berat badan lahir rendah dan gangguan perkembangan kognitif bayi; dan

3) berat badan berlebih termasuk obesitas yang berdampak pada: a) meningkatnya kadar gula

darah pada masa kehamilan (gestational diabetes); b) komplikasi kehamilan; c) obesitas dan

gangguan penyakit kronis pada bayi yang dilahirkan dikemudian hari. (Gambaran triple burden

malnutrition beserta dampaknya bagi anak, remaja dan ibu hamil dapat dilihat dalam lampiran

2)

WHO (2014)7 menyatakan bahwa stunting adalah salah satu hambatan paling signifikan

terhadap perkembangan manusia. Secara global, 162 juta anak di bawah umur 5 tahun

menderita stunting. Stunting didefinisikan sebagai terlalu pendeknya seorang anak untuk

usianya. WHO menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan stunting dalam bagan

berikut:

Sumber: World Health Organization, 2014. “Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of Nutrition for Health

and Development, Geneve, Switzerland

7 World Health Organization, 2014. “Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of Nutrition for Health

and Development, Geneve, Switzerland

Page 6: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[4]

Pada jangka pendek, stunting mengakibatkan: 1) meningkatnya angka kematian dan

kesakitan pada anak; 2) gangguan perkembangan fungsi kognitif, motorik dan bahasa/bicara;

3) meningkatnya pembiayaan kesehatan, dan pengeluaran biaya untuk perawatan anak yang

sakit (opportunity cost).

Sedangkan pada jangka panjang, stunting menimbulkan gangguan kesehatan antara lain: a)

tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur pada saat dewasa; b) kegemukan; dan c) gangguan

kesehatan reproduksi. Akibat dari gangguan kesehatan ini menimbulkan: 1) gangguan pada

prestasi sekolah, kapasitas belajar, serta potensi optimal tidak tercapai; dan 2) gangguan pada

kapasitas dan produktifitas kerja.

Faktor penyebab terjadinya stunting antara lain: 1) faktor rumah tangga dan keluarga yang

terdiri dari faktor ibu dan lingkungan rumah; 2) faktor pemberian makanan tambahan yang

tidak teratur, tidak mencukupi maupun kualitas serta keamanan makanan dan minuman yang

tidak memadai; 3) faktor praktik menyusui antara lain inisiasi menyusui dini, ASI ekslusif yang

belum maksimal; 4) infeksi yang berulang yang dapat menimbulkan menurunnya napsu

makan anak.

Faktor ibu sebelum, selama kehamilan dan setelah melahirkan turut berkontribusi

terhadap terjadinya stunting pada anak, termasuk ukuran tubuh ibu yang pendek, jarak

kelahiran yang dekat serta kehamilan remaja.

Pada awalnya, obesitas merupakan masalah yang ditemukan di negara berpenghasilan

tinggi (high income countries). Namun saat ini berat badan berlebih dan obesitas berkembang

pesat dibanyak negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah (low and lower-middle

income countries) terutama di perkotaan. Angka berat badan berlebih dan obesitas terus

meningkat dari tahun 2000 – 2016. Proporsi berat badan berlebih pada anak umur 5 – 19 tahun

meningkat yang semula 1 berbanding 10 menjadi 1 berbanding 5. (Gambaran sebaran

persentase stunting dan berat badan berlebih pada anak umur dibawah 5 tahun di dunia dapat

dilihat pada lampiran 3)

Indonesia saat ini menghadapi triple malnutrition. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018

(Riskesdas 2018)8 melaporkan persentase balita yang mengalami stunting (tinggi

badan/umur) sebanyak 30,8%. Walaupun persentase stunting telah menurun (Riskesdas

2013: 37,2%) namun Riskesdas 2018 melaporkan masih ada 2 provinsi dengan persentase

stunting di atas 40% yakni Sulawesi Tengah dan NTT.

Hasil kajian status gizi balita Indonesia yang dilakukan pada Maret 2019 oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Pusat Statistik

8 Kementerian Kesehatan RI. 2019. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018”, Jakarta, Lembaga Penerbitan Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Page 7: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[5]

menemukan persentase stunting saat ini telah mencapai 27,67%. Persentase ini masih

dikategorikan tinggi oleh Unicef/WHO dan Bank Dunia yang melaporkan rata-rata persentase

stunting secara global tahun 2018 sebesar 21,9%9. Dalam rangka mewujudkan SDM

berkualitas, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan

Pembangunan Nasional menargetkan prevalensi stunting turun menjadi 19% pada tahun

202410.

Berkaitan dengan status gizi ibu yang berkontribusi pada terjadinya stunting, Riskesdas

2018 melaporkan 48,9% ibu hamil menderita anemia (kurang darah) dan 17,3% menderita

kurang energi kronis. Umumnya (84,6%) ibu hamil yang menderita kurang darah berusia

antara 15 -24 tahun.

Riskesdas 2018 juga melaporkan bahwa pada anak umur 0-59 bulan, gizi buruk (berat

badan/umur) ditemukan sebanyak 3,9%, sangat kurus (berat badan/tinggi badan) sebanyak

3,5%. Dilain sisi ditemukan anak umur 0-59 tahun yang gemuk/obesitas (berat badan/tinggi

badan) sebanyak 8,0%. Dilaporkan pula bahwa pada anak umur 5-12 tahun, gemuk (yaitu

indeks masa tubuh/umur) ditemukan sebanyak 10,8% dan obesitas sebanyak 9,2%. Prevalensi

gemuk meningkat pada anak umur 13-15 tahun sebanyak 11,2% namun menurun pada anak

umur 16-18 tahun sebanyak 9,5%. Tren yang sama terjadi pada kasus obesitas yang meningkat

pada anak umur 13-15 tahun sebanyak 4,8% dan menurun pada anak umur 16-18 tahun

sebanyak 4%. Baik berat badan berlebih maupun gemuk dan obesitas pada semua kelompok

umur ditemukan di perkotaan lebih banyak dari pada dipedasaan. (Gambaran status gizi ibu

hamil, neonatus dan balita dapat dilihat pada lampiran 4)

Dari uraian diatas, asupan gizi menjadi fokus utama terhadap terjadinya triple burden

malnutrition. Asupan gizi tidak hanya sekedar cukup namun juga harus seimbang. Ketidak

seimbangan asupan gizi menyebabkan hidden hunger.

Adapun yang dimaksud dengan kecukupan gizi adalah kecukupan zat gizi rata-rata setiap

hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik,

untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan yang dimaksud dengan gizi

seimbang adalah susunan hidangan makanan sehari hendaknya terdiri atas berbagai ragam

bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan proposi yang sesuai dengan aktivitas fisik,

umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologi tubuh, sehingga dan memenuhi kebutuhan gizi

seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta

pertumbuhan dan perkembangan secara optimal11.

9 Unicef/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrion Estimates, 2019. “Level and Trend in Child Malnutrition, Geneva:

World Health Organization 10 Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2019. “Rancangan

Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024” 11 Peraturan Menteri Kesehatan No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi

Page 8: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[6]

Dalam rangka memenuhi kecukupan dan keseimbangan gizi, maka diperlukan asupan zat

gizi yang beraneka ragam dan berasal dari berbagai sumber pangan. Adapun yang dimaksud

dengan Pangan menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang

berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,

perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau

pembuatan makanan atau minuman12.

Sedangkan yang dimaksud dengan penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan

ketersediaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi

sumber daya lokal.

Riskesdas 2018 melaporkan hanya 46,6% dikonsumsi anak umur 6-23 bulan yang

mengkonsumsi makan yang beraneka raagam. Anak dikategorikan mengkonsumsi makanan

yang beraneka ragam bila memenuhi 7 kelompok makanan per hari. Ke 7 kelompok makanan

tersebut adalah: 1) serelia dan umbi-umbian; 2) kacang-kacangan; 3) susu dan olahannya

(yogurt, susu, keju dan lain-lain); 4) makanan daging (termasuk ikan, ayam, dagi, hati dan lain-

lain); 5) telur; 6) sayur dan buah sumber vitamin A; dan 7) sayur dan buah lainnya.

Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan zat gizi masyarakat perlu dilakukan

upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortisifikasi pangan tertentu. Untuk itu,

Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam menetapkan jenis dan jumlah zat gizi yang akan

ditambahkan serta jenis-jenis pangan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui pengayaan

dan/atau fortifikasi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28

tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan13.

Berkaitan dengan amanat PP tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 41

tentang Pedoman Gizi Seimbang14. Peraturan tersebut memperkenalkan “ISI PIRINGKU” yang

menganjurkan sajian sekali makan terdiri dari 50% buah dan sayur (setengah piring) dan 50%

sisanya terdiri dari karbohidrat (2/3 dari setengah piring), dan protein (1/3 dari setengah

piring). Selain itu, isi piringku juga menekankan pembatasan gula, garam dan lemak dalam

konsumsi sehari-hari, minum air putih dan senantiasa menjaga kebersihan dengan mencuci

tangan sebelum makan. Peraturan tersebut juga telah menuangkan kebutuhan zat gizi

menurut kelompok umur serta untuk ibu hamil maupun menyusui.

12 Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan 13 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 14 Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang

Page 9: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[7]

RUMUSAN MASALAH

Indonesia membutuh SDM berkualitas yang berkualitas dan berdaya saing guna

menghadapi tantangan dan ancaman baik nasional maupun global. Upaya mewujudkan SDM

berkualitas perlu percepatan mengingat Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dalam

beberapa tahun kedepan. Akan tetapi, upaya mewujud SDM berkualitas ini menghadapi

kendala dengan masih rendahnya status gizi baik bayi dan balita serta ibu hamil maupun ibu

menyusui.

Asupan gizi sejak janin hingga remaja menjadi faktor determinan penting dalam

mewujudkan SDM berkualitas. Berkaitan dengan 1000 hari pertama kehidupan maka asupan

gizi bagi ibu hamil dan menyusui turut menjadi faktor determinan. Untuk itu diperlukan

berbagai intervensi baik intervensi terhadap faktor yang berkaitan dengan kesehatan

(intervensi gizi spesifik) maupun intervensi yang berkaitan dengan non kesehatan (intervensi

gizi sensitif).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah berkaitan untuk meningkatkan status gizi

masyarakat dengan diterbitkannya berbagai regulasi maupun implementasi program. Namun

diperlukan upaya lebih untuk percepatan pembentukan SDM unngul. Memperhatikan hal

tersebut di atas maka rumusan masalah dalam analisis ini adalah upaya terobosan apa yang

dapat dilakukan berkaitan dengan penganekaragaman pangan dalam rangka percepatan

terwujudnya SDM berkualitas.

Dari uraian di atas, kerangka konsep dari analisis ini dituangkan kedalam bagan berikut:

SDM UNGGUL

JANINBAYI ASI

EKSLUSIFBADUTA BALITA ANAK REMAJA DEWASA LANSIA

SIKLUS HIDUP

SIKLUS PEMBENTUK SDM UNGGUL

IBU HAMIL

• IBU

MENYUSUI

• BAYI

• IBU

MENYUSUI

• BAYI

• IBU

• BALITA• ANAK REMAJA DEWASA LANSIA

TARGET PENERIMA (BENEFICIARY)

KERANGKA KONSEP PENGANEKARAGAMAN PANGAN DALAM UPAYA MEMBANGUN SDM UNGGUL

EKONOMI

PENDIDIKAN

PERILAKU

BUDAYA

KELUARGA

KECUKUPAN GIZI SEIMBANG

PERUBAHAN PERILAKU

GIZI SENSITIF

AKSES DAN KEMAMPUAN

PENYEDIAAN PANGAN

GIZI SPESIFIK

ISI PIRINGKU

Page 10: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[8]

Berkenaan dengan policy paper yang berfokus pada penganeka ragaman pangan, maka

infeksi yang menjadi salah satu faktor penyebab stunting dalam bagan pertumbuhan dan

perkembangan stunting di atas, tidak menjadi pembahasan.

Dari bagan tersebut pula, terlihat faktor sosial dan masyarakat mempengaruhi terjadinya

stunting antara lain: 1) politik ekonomi; 2) pelayanan kesehatan; 3) pendidikan; 4) pertanian

dan sistem pangan; 5) air, sanitasi dan lingkungan.

Dari ke 5 faktor tersebut di atas, faktor politik ekomoni; faktor pendidikan; faktor pertanian

dan sistem pangan; faktor air, sanitasi dan lingkungan merupakan faktor-faktor yang

memerlukan intervensi gizi sensitive. Sedangkan faktor pelayanan kesehatan merupakan

faktor yang memerlukan gizi spesifik. Adapun yang dimaksud dengan intervensi gizi spesifik

adalah intervensi terhadap faktor penyebab langsung sedangkan intervensi gizi sensitive

adalah intervensi terhadap faktor penyebab tidak langsung15.

Berkaitan dengan policy paper ini intervensi gizi sensitive yang menjadi pembahasan

antara lain: 1) regulasi pemasaran yang menjadi bagian dari faktor politik ekonomi2)

pengetahuan kesehatan yang menjadi bagian dari faktor pendidikan; 3) norma dan keyakinan

serta pengasuhan anak (baik orang tua maupun bukan) yang menjadi bagian dari faktor

budaya dan masyarakat.

ANALISIS

Dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas, asupan gizi yang sesuai dengan karakteristik

pertumbuhan dan perkembangan setiap tahapan dari janin hingga remaja menentukan

kualitas fisik, mental dan emosional serta perilaku mereka. Untuk itu, perlu dipahami pola

konsumsi pangan anak hingga remaja beserta faktor yang mempengaruhinya. Unicef (2019)

memberikan kerangka kerja sistem pangan yang mempengaruhi konsumsi pangan anak dan

remaja sebagaimana tergambar dalam bagan sebagai berikut:

15 Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018. “Pedoman

Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota”

Page 11: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[9]

Sumber: Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A Changing

World”, New York, October 2019

Kerangka kerja di atas memperlihatkan beberapa faktor lingkungan personal (personal food

environment) yang mempengaruhi seorang anak dalam mendapatkan asupan pangannya

sehari-hari. Adapun Komponen kunci dari faktor lingkungan personal adalah: 1) aksesibilitas

(accessibility), kemampuan (affordability) dan selera (convenience).

Faktor lingkungan personal ini tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi dan mempengaruhi

faktor lingkungan eksternal (external food environment). Komponen kunci dari faktor

lingkungan eksternal adalah: 1) ketersediaan pangan (availability of food); 2) harga pangan

(price of food); 3) kualitas dan keamanan pangan (quality and safety of food); serta 4)

pemasaran maupun regulasi pangan (marketing and regulation of food).

Disamping itu, baik faktor lingkungan personal maupun faktor lingkungan eksternal

dipengaruhi oleh faktor rantai supply makanan (food supply chain) dan faktor perilaku

pengasuhan anak dan remaja (behaviours of caregivers, children and adolescents).

Komponen kunci dari faktor rantai supply makanan adalah: 1) produksi pangan (production

of food); 2) penyimpanan dan distribusi (storage and distribution); 3) prosesing dan

pengemasan (processing and packaging); serta 4) pengeceran dan pemasaran (retail and

markets). Sedangkan komponen kunci dari perilaku pengasuhan adalah: 1) karakteristik sosial

ekonomi (sosioeconomics characteristics); 2) dinamika dalam keluarga (intra household

dynamics); 3) penerimaan dan nafsu terhadap suatu makan (acceptability and desirability of

food); 4) penyiapan makanan dan pola makan (food preparation and eating patterns).

Page 12: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[10]

FAKTOR LINGKUNGAN PERSONAL (aksesibilitas; kemampuan; dan selera)

Sistem pangan dan kondisi demografi mempengaruhi individu mendapatkan supply

makanan. Sedangkan sosial dan budaya serta politik dan ekonomi mempengaruhi pola asuh

bagi individu.

Dilain sisi, inovasi dan teknologi mempengaruhi lingkungan eksternal individu dalam

memperoleh supply makanan. Biophysical dan lingkungan selama pola asuh mempengaruhi

penerimaan individu terhadap faktor lingkungan eksternal terhadap pola makannya.

Kerangka tersebut menggambarkan berbagai faktor determinat yang berkaitan dengan

konsumsi pangan anak dan remaja. Untuk itu, perlu digambarkan situasi konsumsi pangan

anak dan remaja di Indonesia untuk mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan faktor-

faktor determinat tersebut.

Secara kualitas, konsumsi pangan penduduk dinilai dengan menggunakan skor Pola Pangan

Harapan (PPH)16. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi

keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi baik

dari jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan,

ekonomi, budaya dan agama. Skor PPH penduduk Indonesia pada tahun 2017 sebesar 90,4

dengan keseimbangan kelompok pangan sebagai berikut:

Sumber: Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan

Dari Skor PPH di atas, terlihat bahwa keanekaragaman konsumsi pangan penduduk

Indonesia masih belum ideal karena kurangnya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani,

buah/biji berminyak, kacang-kacangan, sayur dan buah serta keompok pangan lainnya. Dilain

sisi, konsumsi kelompok pangan padi-padian, minyak dan lemak sudah melebih anjuran dan

gula sudah dikonsumsi ideal.

Meskipun konsumsi kelompok padi-padian pada tahun 2018 sudah melebihi anjuran,

namun sesungguhnya telah terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup signifikan dari 99,1

16 Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan

Page 13: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[11]

(tahun 2016) menjadi 95,4 (tahun 2017). Disisi lain konsumsi terigu meningkat sangat

signifikan dari 10,1 kg/kap/tahun (tahun 2013) menjadi 14,0 kg/kap/tahun (tahun 2017). Hal

ini sesuai dengan laporan Susenas 2018 bahwa pengeluaran per kapita per bulan untuk

konsumsi beras pada periode 2014-2018 mengalami penurunan sebesar 4,69% sedangkan

terigu mengalami peningkatan hingga 98,40%. Peningkatan pengeluaran juga terjadi untuk

konsumsi mie bakso (73,22%) dan mie instan (7,48%)17.

Indikator untuk menilai kebutuhan gizi secara kuantitas ditunjukan melalui volume

konsumsi pangan penduduk (gram/kap/hari atau kilogram/kap/tahun); konsumsi energi

penduduk (kkal/kap/hari); dan konsumsi protein penduduk (gram/kap/hari).

Perkembangan konsumsi pangan hewani menunjukan peningkatan yang cukup signifikan

untuk konsumsi ikan (19,5 kg/kapita/tahun (pada tahun 2013) menjadi 23,4 kg/kapita/tahun

(pada tahun 2017)). Dilain sisi, terjadi penurunan konsumsi susu serta sayur dan buah.

(Gambaran perkembangan konsumsi beras, pangan hewani serta sayur dan buah dapat dilihat

pada lampiran 5)

Hal ini sejalan Riskesdas 2018 yang melaporkan hanya 66,5% penduduk umur ≥ 3 tahun

yang mengkonsumsi sayur dan buah 1-2 porsi per hari dalam 1 minggu. Dilaporkan pula 10,7%

penduduk yang tidak makan sayur dan buah per hari dalam 1 minggu.

Dari uraian di atas, secara kualitas dan kuantitas terlihat bahwa konsumsi pangan

penduduk Indonesia belum tercukupi dan belum seimbang dangan kata lain,

penganekaragaman pangan untuk memenuhi asupan gizi masih belum optimal.

Tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan

protein. Angka Kecukupan Energi (AKE) pada tahun 2017 mencapai 2.147 kkal/kap/hari (kilo

kalori per kapita per hari) yang sudah melebihi AKE standar sebesar 2000 kkal/kap/hari.

Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) mencapai 61,45 gram/kap/hari yang juga

melebihi anjuran sebesar 52,0 gram/kap/hari. Meskipun secara makro ketersediaan pangan

nasional telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin

kecukupan konsumsi di tingkat rumah tangga dan individu.

Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional terkait dengan

pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya.

Peningkatan permintaan pangan terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk,

pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera.

Kecukupan ketersediaan pangan selain memenuhi kebutuhan untuk diolah di dalam rumah

tangga juga untuk diolah di luar rumah tangga seperti hotel, restoran (dan penyedia

17 Badan Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia”, Sub Direktorat Statistik Rumah Tangga

Page 14: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[12]

makanan/minuma lainnya), jasa kesehatan (Rumah Sakit/Puskesmas dan lain sebagainya)

serta jasa lainnya (jasa transportasi, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya).

Dilain sisi, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional sangat lambat bahkan stagnan

akibat adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta pertumbuhan

produktifitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Akibat dari ketidak seimbangan tersebut di

atas, terjadi kecenderungan peningkatan import guna mewujudkan stabilitas penyediaan

pangan nasional. (Gambaran Pemanfaatan Komoditas Pangan Di Rumah Tangga dan Di Luar

Rumah Tangga dapat dilihat dalam lampiran 6)

Ketahanan pangan nasional, dipengaruhi juga oleh proses distribusi pangan. Belum

memadainya sarana dan prasarana transportasi baik darat maupun antar pulau yang

menghubungkan produsen maupun konsumen menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran

arus distribusi bahan pangan keseluruh wilayah nusantara. Ketidak lancaran ini menyebabkan

biaya distribusi meningkat.

Selain peningkatan biaya, ketidak lancaran pendistribusian pangan juga dapat menurunkan

kualitas pangan karena rusak atau susut akibat penyimpanan pangan (storage) yang tidak

memadai. Susutnya komoditas pangan dikenal dengan sebutan food loss. Food Sustainability

Index 2018, menempatkan food loss Indonesia pada ranking 45 dari 100 negara yang di survey.

Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2013, 5,5% dari total produksi

pangan Indonesia mengalami susut18. Peningkatan biaya distribusi ditambah dengan susutnya

komoditas pangan memicu kenaikan harga yang berakibat pada penurunan daya beli

masyarakat.

Global Nutrition Report (2018)19 melaporkan terdapat sekitar 24% hingga 68% rumah

tangga yang tidak mampu memenuhi pangan bergizi bagi anggota keluarganya (Gambaran dari

proporsi rumah tangga yang tidak mampu memenuhi pangan bergizi dapat dilihat pada

lampiran 7). Ketidak mampuan masyarakat memenuhi pangan bergizi dapat berpengaruh

pada aksesibilitas (accessibility) dan kemampuan (affordability) anak dalam mendapatkan

makanan bergizi.

Terkait dengan hal tersebut, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa baik status gizi sangat

pendek maupun pendek pada anak umur 0-59 bulan tertinggi ditemukan pada keluarga yang

kepala rumah tangganya memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan petani/buruh tani)

Ketidak mampuan pemenuhan pangan bergizi akibat faktor ekonomi didukung dengan

laporan BPS (2018). Dilaporkan bahwa pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran

terkecil, lebih banyak menghabiskan pengeluarannya untuk kebutuhan makanan (61,50%)

18 The Economist Intelegence Unit, 2016. “Fixing Food: Toward A More Sustainability Food System”, Barilla Center For Food &

Nutrition 19 Developmen Initiatives Poverty Research Ltd, 2018. 2018 Global Nutrition Report: Shining a Light to Spur Action On

Nutrition, Bristol, UK

Page 15: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[13]

dibandingkan dengan kebutuhan non makanan (38,50%). Sedangkan pada kelompok rumah

tangga dengan pengeluaran terbesar (kelompok rumah tangga paling sejahtera), lebih banyak

menghabiskan pengeluarannya untuk kebutuhan non makanan (66,16%) dibandingkan untuk

kebutuhan makanan (33,84%). Hal ini sesuai dengan pendapat E. Engel (1857) cit. Badan

Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, yang dikenal dengan

hukum Engel yakni bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan

akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Pada penduduk yang tingkat konsumsi

makanannya sudah mencapai titik jenuh maka peningkatan pendapatan akan digunakan untuk

memenuhi kebutuhan non makanan atau ditabung.

Pangsa pengeluaran pangan tersebut di atas merupakan indikator dini yang mampu

menggambarkan derajat ketahanan pangan di rumah tangga. Semakin tinggi pangsa

pengeluaran pangan, ketahanan pangan rumah tangga semakin berkurang. Pangsa

pengeluaran pangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan memiliki pola yang berbeda.

Pengeluaran sebagian besar penduduk pedesaan dibelanjakan untuk makanan (56,28%)

sedangkan pengeluaran penduduk perkotaan dibelanjakan untuk makanan hanya sebesar

(45,98%).

BPS juga melaporkan perbedaan persentase pengeluaran per kapita per bulan bagi

penduduk pedesaan dan perkotaan menurut kelompok komoditas makanan. Persentase

pengeluaran per kapita per bulan penduduk perkotaan paling banyak dihabiskan untuk

komoditas makanan dan minuman jadi (38,22%). Sedangkan pengeluaran per kapita per bulan

penduduk pedesaan paling banyak dihabiskan untuk komoditas makanan selain makanan jadi,

rokok dan tembakau, padi-padian, ikan/udang/cumi/kerang, serta daging (31,66%). Dilain

sisi, pengeluaran per kapita per bulan baik penduduk perkotaan maupun pedesaan lebih

banyak dihabiskan untuk komoditas rokok dan tembakau dari pada untuk komoditas daging

maupun ikan. (Gambaran pengeluaran penduduk untuk komoditas pangan dan non pangan

dapat dilihat pada lampiran 8)

Faktor lingkungan personal dalam konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh perilaku selama

masa pengasuhan, anak hingga remaja. Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan setelah

umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya

dapat mencegah stunting. Selain mencegah stunting, Unicef melaporkan bahwa pemberian ASI

hingga usia 2 tahun berdampak besar dalam mencegah kematian lebih dari 800,000 anak di

bawah 5 tahun di negara berkembang atau setara dengan 13% dari seluruh kematian (Lancet

2013)20. Pemberian ASI eksklusi menurunkan tingkat kematian bayi hingga 14 kali

dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif. Hal ini disebabkan karena ASI terbukti

20 United Nations Children’s Fund, 2015. “Breastfeeding”, World Breastfeeding Week 2015

Page 16: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[14]

menurunkan prevalensi infeksi saluran nafas dan diare – dua penyebab utama kematian pada

anak.

Bersama dengan WHO, Unicef merekomendasikan inisiasi menyusui dini pada satu jam

pertama kelahiran disamping pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Pemberian asupan

selain ASI pada bayi dibawah 6 bulan meningkatkan potensi terjadinya diare dan penyakit

infeksi lainnya. Pemberian air atau cairan lainnya menyebabkan menurunnya keinginan bayi

untuk menyusu. Setelah 6 bulan pemberian ASI dilanjutkan sampai 2 tahun atau lebih bersama

dengan pemberian makanan tambahan yang memenuhi kecukupan gizi.

Pemberian ASI secara eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan tanpa menambahkan

dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral)

telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang

Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif21.

Akan tetapi, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa proporsi Inisiasi Menyusui Dini (IMD)

hanya sebesar 58,2%. 84,1% diantaranya dilakukan dalam 1 jam pertama kelahiran. Namun

demikian, dilaporkan 33,1 % bayi umur 0 – 11 bulan diberikan makanan prelakteal. Susu

formula merupakan makanan prelakteal terbanyak yang diberikan kepada bayi baru lahir

(81,4 %). Proporsi terbanyak dari bayi yang mendapatkan susu formula berasal dari keluarga

yang kepala rumah tangganya berpendidikan tamat D1/D2/D3 dan PT (85,7%) dengan

pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (85,7%).

Patrick dan Nicklas (2005)22 menyatakan hubungan antara pendidikan orang tua serta

pengetahuan terkait gizi pada orang tua mempengaruhi status gizi anak. Ketika anak mencapai

usia 3 atau 4 tahun, makan tidak lagi ‘didorong’ akan tetapi ‘dipengaruhi’ oleh lingkungan

sekitar yang bertanggung jawab pada asupan makanannya. Dengan demikian berbagai faktor

keluarga dan sosial mempengaruhi perilaku makan anak. Tingkat pendidikan orang tua

berhubungan erat dengan kesadaran pemilihan makanan sehat. Anak dengan orang tua

berpendidikan, lebih memilih makanan karbohidrat, protein, serat, folate, vitamin A, calcium,

tinggi konsumsi sayuran dan produk susu sesuai yang direkomendasikan. Ibu yang

berpendidikan berkaitan dengan peningkatan asupan gula pada anak pra sekolah dan lemak

pada remaja.

Berkaitan dengan keaneka ragaman pangan, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa proporsi

anak umur 6-23 bulan yang mengkonsumsi makanan beragam (mengkonsumsi 4 atau lebih

dari 7 kelompok makanan) meningkat pada keluarga yang kepala rumah tangganya

21 Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif 22 Heather Patrick, PhD, Theresa A. Nicklas, DrPhD, 2005. “A Review of Family and Social Determinants of Children’s Eating

Patterns And Diet Quality, Journal of American College of Nutrition – May 2005, up loaded by Heather Patrick on

https://www.researchgate.net/publication/7938097 on 28 May 2014

Page 17: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[15]

berpendidikan S1/D2/D3 dan Perguruan Tinggi (57,9%). Proporsi tersebut menurun pada

anak yang berasal dari keluarga yang kepala rumah tangganya tidak pernah bersekolah

(41,9%). (Gambaran proporsi keaneka ragaman pangan yang dikonsumsi anak umur 6-23

bulan berdasarkan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga dapat dilihat pada lampiran

9)

FAKTOR LINGKUNGAN EKSTERNAL (ketersediaan; harga; kualitas dan keamanan;

pemasaran dan regulasi)

Makan di luar rumah merupakan perilaku yang berkembang pesat di masyarakat

belakangan ini. Dengan perkembangan teknologi, perilaku makan di luar rumah bergeser

menjadi pemesanan makanan.

Rose Lavina, Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek menyampaikan bahwa jumlah

pemesanan makanan/minuman melalui aplikasi Gofood hingga Agustus 2019 meningkat

sebesar 133% atau naik hingga lebih dari 2 kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun

2018. Jenis makanan yang paling banyak dipesan hingga Agustus 2019 adalah yang berbahan

dasar ayam dan burger dengan cita rasa local. Sedangkan untuk minuman manis yang menjadi

favorit seperti brown sugar, oat drinks, regal drinks dan boba23.

Terkait dengan pergeseran perilaku makan tersebut Riskesdas 2018 melaporkan perilaku

konsumsi makanan penduduk umur ≥ 3 tahun. 61,7% mengkonsumsi minuman manis ≥ 1 kali

per hari dan 77,6% mengkonsumsi makanan dengan penyedap ≥ 1 kali per hari. (Gambaran

dari perilaku konsumsi makanan tersebut dapat di lihat pada lampiran 10).

Faktor lingkungan eksternal sangat berpengaruh ketika anak masuk lingkungan sekolah.

Hasil Global School Health Survey yang dilaksanakan pada tahun 2015, menemukan perilaku

konsumsi makanan yang berisiko terhadap kesehatan pada siswa SMP dan SMA. Beberapa

perilaku berisiko tersebut adalah: 1) kurang konsumsi sayur dan buah (pada siswa laki-laki:

77,8%; dan siswa perempuan: 78,9%); 2) konsumsi minuman bersoda 1x per hari (pada siswa

laki-laki: 66,5%; dan siswa perempuan: 58,2%); dan 3) konsumsi makanan siap saji 1x per hari

(pada siswa laki-laki: 51,6%; dan siswa perempuan: 54,2%)24.

Unicef (2019) menyampaikan bahwa keluarga dengan ekonomi kurang cenderung memilih

makanan dengan kualitas rendah karena harganya lebih murah. Anak dari kalangan keluarga

ini berisiko besar menderita berbagai kondisi malnutrisi. Namun demikian, pada keluarga

23 Antara, Yayuk Widiyarti, 2019. “Jenis Makanan Yang Paling Banyak Dipesan Via Ojol, Dominasi Ayam”, Tempo.co

https://gaya.tempo.co/read/1255969/jenis:makanan-yang-paling-banyak-dipesan-via-ojol-dominasi-ayam/full?view-ok,

dipublikasikan pada 4 Oktober 2019 24 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. “Perilaku Berisiko Kesehatan Pada Pelajar SMP dan SMA”. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, Jakarta

Page 18: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[16]

dengan ekonomi cukup baik diperkotaan maupun pedesaan tidak hanya membelanjakan

uangnya untuk makanan sehat tapi juga makanan yang tidak sehat.

Industri makanan dan minuman berpengaruh besar bagi status gizi masyarakat. Dengan

meningkatnya ekonomi, terjadi peningkatan permintaan makanan dan minuman kemasan.

Global Access to Nutrition Index 2018 melaporkan bahwa hanya 14% dari produk kemasan

yang sesuai dengan pedoman WHO wilayah Eropa untuk dipasarkan kepada anak. Tidak ada

satupun produk industri makanan dan minuman yang memenuhi lebih dari 50% standard

kesehatan bagi anak. Global Access to Nutrition Index 2018 merekomendasikan agar industri

makanan yang tidak memenuhi standar WHO untuk dihentikan memasarkan produknya

kepada anak baik off maupun on-line. Rekomendasi disampaikan juga kepada pemerintah

untuk menetapkan labeling pada produk kemasan terutama makanan untuk anak atau yang

dianggap dapat dikonsumsi anak.

Budaya mempengaruhi konsumsi pangan. Nasi merupakan salah satu makanan pokok yang

dikenal di dunia selain jagung, gandum, umbian-umbian25. 19,5% penduduk dunia

mengkonsumsi jagung sedang akan nasi 16,5% dan gandum 15%. Nasi sebagai makanan pokok

bangsa-bangsa di Asia Tenggara sejak ribuan tahun yang lalu. Sehingga sudah menjadi budaya

bagi masyarakat Indonesia “Belum Makan Nasi - Belum Makan”.

Berbagai budaya di tanah air lainnya mempengaruhi pemilihan serta selera makan seperti

suku Minangkabau yang cenderung mengkonsumsi santan, suku Sunda yang cenderung

mengkonsumsi sayur-sayuran sebagai lalap dan lain sebagainya.

Budaya lain yang berkembang dalam masyarakat adalah budaya patriaki dimana porsi

makanan terbesar diperuntukan bagi “Bapak” yang menomor duakan porsi makan anak, ibu

hamil maupun menyusui.

Dari uraian di atas, terlihat banyaknya faktor determinan yang mempengruhi

penganekaragaman pangan dalam upaya mewujudkan SDM berkualitas. Konsekuesi dan risiko

dari permasalahan yang muncul dapat berakibat jangka panjang. Pemerintah telah melakukan

berbagai upaya melalui penerbitan berbagai regulasi maupun program untuk menangani

masalah gizi.

Salah satu regulasi yang telah diterbitkan adalah Peraturan Presiden RI no. 42 tahun 2013

tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan sasaran prioritas pada 1000 hari

pertama kehidupan26. Adapun sasaran dari gerakan nasional ini janin, baduta, ibu hamil dan

ibu menyusui.

25 Pariona, Ameber, 2019. “What Are The World’s Most Important Staple Foods” World Atlas, 7 June 2019,

worldatlas.com/articles/most-important-staple-foods-in-the-world.html 26 Peraturan Presiden RI No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

Page 19: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[17]

Bappenas juga telah menyusun Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting

Terintegrasi di Kabupaten/Kota dan menetapkan Kerangka Konseptual Intervensi Penurunan

Stunting Terintegrasi. (Gambaran kerangka konseptual intervensi penurunan stunting

terintegrasi dapat dilihat pada lampiran 11).

Intervensi gizi spesifik di arahkan pada kelompok sasaran 1000 HPK (ibu hamil, ibu

menyusui dan anak umur 0-23 bulan) dan kelompok remaja putri dan wanita usia subur serta

anak umur 24-59 bulan. Adapun keluaran (out put) yang ditargetkan dari intervensi gizi

spesifik ini adalah: 1) konsumsi gizi; 2) pola asuh; 3) pelayanan kesehatan; dan 4) kesehatan

lingkungan. Hasil antara (intermediate out come): 1) perbaikan asupan gizi (dengan indikator

penurunan prevalensi anemia, berat badan lahir rendah (BBRL), diare, kecacingan, gizi buruk

dan peningkatan pemberian ASI eksklusif).

Sedangkan jenis intervensi gizi sensitive diarahkan pada: 1) peningkatan penyediaan air

minum dan sanitasi; 2) peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; 3)

peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan dan gizi ibu dan anak; dan 4)

peningkatan akses pangan bergizi. (Gambaran matriks intervensi gizi spesifik dan intervensi

gizi sensitive percepatan penurunan stunting dapat dilihat pada lampiran 12 dan lampiran 13).

Dinyatakan bahwa intervesi gizi sensitive yang melibatkan berbagai pemangku

kepentingan memberikan kontribusi 70% terhadap keberhasilan program perbaikan gizi

sedangkan intervensi gizi spesifik hanya memberikan kontribusi sebesar 30%. Dengan

demikian, berbagai upaya penggerakan berbagai pihak sangat diperlukan dalam penganeka

ragaman pangan dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas.

Namun implementasi dari berbagai regulasi tersebut maupun evaluasi dan monitoring

sampai ketingkat masyarakat perlu mendapat perhatian. Gambaran implementasi dari

berbagai regulasi maupun program yang telah diluncurkan kepada masyarakat dapat dilihat

dari hasil assessment lapangan berikut:

Page 20: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[18]

Hasil Assessment Lapangan Kabupaten Sukoharjo

Sukoharjo merupakan kabupaten terkecil di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki 12 kecamatan.

Berdasarkan data dukcapil tahun 2018, persentase kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 21,9%.

AKI sebesar 31,87/100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 5,65/1000 kelahiran hidup. Sebagian

besar dari kematian bayi disebabkan oleh BBLR. Kondisi ibu dengan bayi BBLR karena ibu

melahirkan pre term dengan komplikasi pre eklamsi. Prevalensi stunting 31,3% menurut Riskesdas

2018.

Aspek regulasi.

1) Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi telah

diturunkan menjadi Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2019 tentang Percepatan Pencegahan

Stunting di Provinsi Jawa Tengah namun belum diturunkan kedalam Peraturan Bupati

Kabupaten;

2) Telah diterbitkan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi tahun 2017-2021 yang dituangkan

kedalam Peraturan Bupati No. 30 tahun 2018. Rencana aksi ini bersifat umum dan tidak terfokus

menyasar pada kelompok 1000 HPK.

3) Telah diterbitkan Peraturan Bupati Sukoharjo No. 26 tahun 2018 tentang Gerakan Masyarakat

Hidup Sehat Kabupaten Sukoharjo.

4) Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014, baru sebatas sosialisasi di Posyandu serta kelas

ibu hamil.

Aspek pembiayaan.

1) Melalui APBD telah dianggarkan: a) pemberian makanan tambahan Rp. 200.000,- per bulan

untuk 278 posyandu; b) Kelompok Wanita Tani (KWT) yang turut melakukan pembinaan

penganekaragaman pangan sebesar Rp. 30.000.000,- per desa per tahun; c) Dana operasional

untuk kader sebesar Rp. 50.000,- per orang per bulan. Ditemukan jumlah anggaran tidak

memenuhi jumlah kader.

2) Perilaku jajan meningkatkan pengeluaran rumah tangga untuk makan di luar rumah; rokok

menyita anggaran rumah tangga adalah untuk membeli rokok.

Aspek teknis.

1) Tenaga kesehatan dan kader sulit menyampaikan pesan pedoman gizi seimbang kepada

masyarakat karena penggunaan jumlah maupun ukuran porsi makanan berupa milligram

ataupun potong ataupun mangkuk.

Aspek SDM.

1) Peran kader sangat besar dalam mendorong peningkatan status gizi anak dan balita karena

jumlah tenaga gizi Puskesmas yang terbatas;

2) Peran serta aktif Organisasi Perangkat Daerah mulai dari perencanaan yang mengintegrasikan

berbagai program sangat menentukan keberhasilan implementasi program-program kesehatan

Inovasi lokal

Aspek Pembiayaan.

1) Ditemukan kecamatan yang mendanai kekurangan anggaran kader melalui dana desa;

2) Pemberdayaan masyarakat sebagai filantropi dalam mendukung penganeka ragaman pangan

antara lain menyumbang susu kedelai dalam kegiatan olah raga di kecamatan setiap hari Jumat

Aspek teknis. Melakukan penyuluhan “isi piringku” dengan menggambarkan kebutuhan konsumsi

pangan menurut kelompok umur dengan ukuran persentase volume piring yakni:

1) Untuk anak umur 6-23 bulan: karbohidrat sebanyak 35% dari isi piring; sayur dan buah

sebanyak 25%; protein 30%; dan sisanya kacang-kacangan 10%;

2) Untuk anak umur 2-5 tahun: karbohidrat sebanyak 35% dari isi piring; sayur dan buah

sebanyak 30%; protein 35%;

Aspek SDM. Di Kabupaten Sukoharjo dikenal program “GoYandu’ dimana kader mendatangi rumah

ke rumah guna menjaring balita yang tidak hadir di posyandu. Dengan program ini D/S Kabupaten

Sukoharjo tahun 2018 dapat mencapai 88,1%.

Page 21: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[19]

Berbagai regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat telah ditindak lanjuti di tingkat

Provinsi dan Kabupaten. Meskipun ditemukan adanya Peraturan Gubernur yang belum

diturunkan ke dalam Peraturan Bupati, namun telah diterbitkan berbagai regulasi dan telah

dilaksanakannya program-program yang mendukung upaya-upaya perbaikan gizi antara lain

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi tahun 2017-2021 maupun Gerakan Masyarakat Hidup

Sehat. Akan tetapi berbagai peraturan dan program tersebut tidak secara spesifik menyasar

kepada 1000 HPK.

Kebijakan Bupati dalam mendukung upaya perbaikan gizi terlihat dari berbagai

pengalokasian anggaran APBD yang digunakan untuk pemberian makanan tambahan,

pebinaan penganekaragaman pangan termasuk untuk dana operasional kader. Anggaran

operasional kader sebesar Rp. 50.000,- per orang per bulan tidak mencakup seluruh kader.

Untuk mencukupinya, diserahkan kepada kebijakan Camat setempat.

Ditemukan Kecamatan yang membagi anggaran dari APBD Kabupaten sebanyak kader yang

ada. Dengan demikian, setiap kader menerima dana operasional meskipun tidak Rp. 50.000,-

per orang per bulan. Sedangkan di Kecamatan lain, dana operasional diberikan tetap Rp.

50.000,- per orang dan kekurangan anggaran untuk kader yang lain ditutupi dari Dana Desa.

Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan tersebut telah merencanakan kebutuhan dana

operasional bagi kader sejak Musyawarah Perencanaan Pembangunan di tingkat Desa.

Kebijakan penggunaan Dana Desa disepakati oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di

kecamatan maupun kelurahan karena dirasa pemberian dana operasional bagi kader sangat

penting mengingat peran kader yang besar yang dapat menjangkau langsung kepada

masyarakat.

Jumlah kader di Kabupaten Sukoharjo cukup banyak. Tingginya partisipasi masyarakat

untuk menjadi kader dilandasi oleh keyakinan spiritual. Sebagai contoh Puskesmas Bendosari

dengan 14 Desa memiliki 542 kader. Hal ini pula yang menumbuhkan inovasi “Go Yandu”

dimana kader mendatangi rumah-rumah baduta dan balita bila tidak hadir di Posyandu.

Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tentang Pedoman Gizi Seimbang baru

sebatas sosialisasi di Posyandu dan kelas ibu hamil. Tenaga kesehatan menemukan kesulitan

berkaitan sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan tersebut.

Pedoman Gizi Seimbang merupakan dokumen yang tidak memberikan self explanation

(menjelaskan dengan sendirinya) pada pembacanya. Ukuran – ukuran pangan yang harus

dikonsumsi sulit untuk diterapkan oleh masyarakat awam dalam kesehariannya. Hal ini

mendasari berbagai inovasi di lapangan antar lain memberikan gambaran persentase

makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah yang dianjurkan dalam “isi piringku” sesuai

golongan umur untuk memudahkan menjelaskan kepada masyarakat (Gambaran persentase

Page 22: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[20]

makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah sesuai dengan golongan umur sebagai inovasi di lapangan

dapat dilihat dalam lampiran 14).

Kesulitan lain yang ditemukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan sosialisasi

Pedoman Gizi Seimbang adalah ‘kelaziman’ dalam pola makan masyarakat sehari-hari yang

mengkonsumsi nasi dengan kentang sebagai ‘sayur’ atau dengan mie goreng sebagai lauk

pauknya. Kelaziman lain yang ditemukan adalah mengkonsumsi minuman manis pada saat

makan.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi makanan yang

beraneka ragam memerlukan tenaga yang kompeten. Tenaga ahli gizi sangat terbatas

jumlahnya. Kader adalah tenaga yang berpotensi untuk dapat mencapai sasaran ibu hamil,

menyusui, bayi, baduta hingga balita sampai kepedesaan. Namun minat untuk menjadi kader

diberbagai wilayah menurun. Untuk itu diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan minat

masyarakat untuk menjadi kader.

Assessment lapangan memberikan gambaran pentingnya pelibatan seluruh pemangku

kepentingan. Inovasi yang dilakukan di salah satu kecamatan yang menggunakan dana desa

untuk operasional kader merupakan inovasi yang bersifat sementara. Inovasi tersebut dapat

dilaksanakan karena adanya faktor leadership dari organisasi perangkat daerah (OPD)

setempat. Agar penggunaan dana desa untuk operasional kader dapat lebih disebar luaskan

(wide spread) ke wilayah lain dan berkelanjutan (sustained) dibutuhkan penetapan kebijakan

tersebut ke dalam bentuk regulasi.

Disis lain, ditemukan bahwa partisipasi masyarakat untuk menjadi kader yang didasari oleh

keyakinan spiritual bkan semata karena adanya bantuan dana operasional. Hal ini merupakan

sosial kapital yang harus terus dijaga dan ditumbuhkan kepada generasi selanjutnya. Untuk

itu, diperlukan berbagai kebijakan untuk menggali dan membangun sosial kapital di wilayah

lain guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai pembangunan termasuk

pembangunan kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang,

memperkenalkan masyarakat dengan tumpeng gizi seimbang dan isi piringku sebagai sajian

sekali makan. Tidak hanya terfokus pada konsumsi makanan namun tumpeng gizi seimbang

juga memberikan pedoman untuk hidup sehat lainnya antara lain mencuci tangan, melakukan

aktifitas fisik dan menimbang berat badan secara teratur. Tumpeng gizi seimbang ini sangat

baik karena mengedepankan ciri khas Indonesia yang mengangkat budaya lokal yakni

‘tumpeng’.

Page 23: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[21]

Peraturan Menteri Kesehatan tersebut, menjelaskan bahwa prinsip dari gizi seimbang

terdiri dari 4 (empat) pilar yang pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk

menyeimbangkan antara zat gizi yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikeluarkan dengan

memantau berat badan secara teratur. Ke 4 pilar tersebut adalah: 1) mengkonsumsi aneka

ragam pangan; 2) membiasakan perilaku hidup bersih; 3) melakukan aktifitas fisik; dan 4)

memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal. Ke 4 pilar

ini divisualisasikan sebagai berikut:

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang

Tumpeng gizi seimbang ini tediri dari 4 lapis berurutan dari bawah ke atas. Semakin ke atas

ukuran tumpeng semakin kecil berarti pangan yang berada pada lapis teratas perlu dibatasi

konsumsinya yakni gula, garam dan minyak.

Isi piringku merupakan visualisasi sajian sekali makan yang memberikan porsi konsumsi

sayur dan buah lebih banyak dari konsumsi karbohidrat dan protein sebagai berikut:

Page 24: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[22]

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang

Selain memvisualiasikan tumpeng gizi seimbang maupun isi piringku, Pedoman Gizi

Seimbang memberikan anjuran jumlah porsi yang harus dikonsumsi menurut kecukupan

energi berdasarkan kelompok umur serta jumlah porsi untuk ibu hamil dan menyusui.

Akan tetapi, jika dibandingkan antara proporsi tumpeng gizi seimbang dengan proporsi isi

piringku, terlihat ketidak konsistenan satu sama lain. Dalam tumpeng gizi seimbang proporsi

makanan pokok terletak didasar tumpeng dengan pengertian sebagai ragam pangan yang

harus dikonsumsi terbanyak. Sedangkan dalam isi piringku, sebagai sajian sekali makan

terlihat proporsi karbohidrat dengan sayuran dianjurkan sama banyak. Dengan demikian bila

tumpeng gizi seimbang dijadikan acuan maka menjadi pertanyaan dan menimbulkan persepsi

bahwa masyarakat perlu memenuhi kebutuhan karbohidratnya diluar mengkonsumsi sajian

sekali makan sesuai anjuran isi piringku.

Healthy Eating Pyramid yang disusun oleh Australia Nutrition27 memberikan gambaran

yang berbeda. Healthy eating pyramid menempatkan sayur dan buah serta kacang-kacangan

pada dasar piramid, sedangkan gandum, beras, termasuk pasta sebagai kelompok makanan

pokok pada tingkatan kedua. Meski berada dalam 1 tingkat, sayur digambarkan terpisah dari

buah dengan proporsi sayur lebih banyak dari buah.

Disamping itu, digambarkan pula susu dan produknya ditempatkan pada tingkat yang sama

dengan kelompok pangan daging, ikan, dan produk unggas sebagai kelompok protein di atas

kelompok makanan pokok. Meskipun demikian, susu dan produknya ditempatkan dalam

kelompok tersendiri dengan proporsi sama banyak dengan kelompok protein lainnya.

Gambaran lain dari healthy eating pyramid adalah memberikan anjuran penggunaan herbal

27 Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org

Page 25: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[23]

dan rempah-rempah. Gambaran lengkap Healthy Eating Pyramid dapat dilihat dalam bagan

berikut:

Sumber: Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org

Selama ini masyarakat mengenal slogan “4 Sehat 5 Sempurna” sebagai pedoman memenuhi

gizi seimbang. 4 sehat 5 sempurna terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah

dan disempurnakan dengan susu. Keberadaan susu tidak terlihat dalam “Isi Piringku” karena

merupakan sajian sekali makan. Namun keberadaan susu tetap dimunculkan pada tingkat

ketiga (3) dari “tumpeng gizi seimbang” bersama dengan protein lainnya. Akan tetapi, dengan

penempatan susu berbaur pada satu tingkat yang sama dengan protein yang lain memberi

makna bahwa susu tidak perlu dikonsumsi setiap hari bila protein yang lain telah cukup

dikonsumsi.

Susu dan produknya berperan penting bagi asupan gizi yang sehat bagi manusia utamanya

untuk pertumbuhan masa tulang. Meskipun demikian, belakangan ini secara ilmiah peran susu

banyak diperdebatkan manfaatnya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memastikan

manfaat ataupun efek samping dari susu. FAO (2013) menyatakan susu dan produknya

merupakan bagian penting gizi yang sehat selama tidak dikonsumsi secara berlebihan. 42

Page 26: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[24]

negara merekomedasikan susu dalam pedoman gizinya. Sebagian besar merekomendasikan

untuk mengkonsumsi susu 1 kali per hari. 26 negara merekomendasikan untuk mengkonsumsi

susu rendah lemak atau tanpa lemak (low-fat or non-fat milk)28.

Mencermati “Healthy Eating Pyramid” dan rekomendasi dari FAO di atas maka perlu

kiranya dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan terkait tumpeng gizi seimbang dan

isi piringku.

Berkaitan dengan permasalahan yang ditemui oleh tenaga kesehatan dalam melakukan

penyuluhan gizi seimbang maka diperlukan pedoman yang mudah dipahami dalam

pengukuran pangan yang harus dikonsumsi. Peraturan Menteri Kesehatan No 41 tahun 2014

menetapan ukuran pangan dalam gram atau potong atau sendok makan atau mangkuk.

Panduan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Irlandia29 dalam memberikan ukuran

yang sederhana bagi pangan yang akan dikonsumsi dapat dijadikan pertimbangan. Adapun

gambaran dari panduan penyajian tersebut sebagai berikut:

Sumber: Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie

Panduan menjelaskan penggunaan: 1) gelas 200 ml untuk penyajian sereal, nasi dan pasta,

sayur, salad dan buah; 2) 2 ibu jari untuk mengukur panjang dan lebar keju; 3) telapak tangan

(tanpa jari-jari) untuk mengukur panjang dan lebar daging, ayam ataupun ikan; 4) 1 pak

mentega yang biasa disajikan di cafe dapat untuk olesan 2 lembar roti; serta 5) 1 sendok the

untuk memasak atau digunakan dalam membuat salad.

Hal lain yang menarik dari panduan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Irlandia

adalah dimasukannya makanan dan minuman yang tidak direkomendasikan sebagai makanan

sehat. Makanan dan minuman tersebut antara lain: coklat, bisuit, cake, makanan ringan gurih,

es krim dan minuman manis (sugary drinks) diletakan di puncak piramida makanan namun

terpisah dari 5 tingkatan piramida makanan lainnya. Dituliskan dalam panduan tersebut

28 C. Weaver, R.W. Bettoni, D. McMahon and L. Spence, 2013. “Milk and Dairy Products In Human Nutrition”, Food and

Agriculture Organization, Rome 29 Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie

Page 27: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[25]

bahwa kelompok makanan dan minuman ini tidak direkomendasikan sebagai makanan sehat

dan disertai anjuran untuk tidak mengkonsumsinya setiap hari (not every day) dengan batasan

maksimal konsumsi sebanyak 1 atau 2 kali dalam seminggu saja. Kebijakan ini ditetapkan

sebagai hasil survey kesehatan Irlandia tahun 2016 dimana sebagian besar penduduk

mengkonsumsi makanan ringan tinggi lemak, gula dan garam serta minuman berpemanis

(sugary sweetened drink /SSD) hingga 6 kali per hari. Kebijakan Irlandia yang memperhatikan

dan mencarikan solusi bagi perilaku tidak sehat dari masyarakatnya dalam pemilihan

makanan/minuman ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun kebijakan-kebijakan

terkait penganeka ragaman gizi di Indonesia.

Agar penyuluhan dapat memberikan edukasi yang lebih dipahami oleh masyarakat maka

perlu dirancang media promosi kesehatan yang menggambarkan baik porsi, proporsi, maupun

ukuran makanan dalam 1 kali penyajian yakni food modeling. Media promosi food modeling ini

hendaknya dapat menggambarkan pola konsumsi makan masyarakat. Misalnya: dalam

berbagai acara seremonial seperti pesta pernikahan yang sering menyediakan berbagai

macam lauk pauk. Maka food modeling dapat menggambarkan nasi, mie goreng dan sambal

goreng kentang dalam 1 kelompok karbohidrat. Dengan demikian, masyarakat dapat

memahami bahwa bila telah mengkonsumsi sambal goreng kentang dan mie goreng maka

porsi nasi harus dikurangi. Bila masyarakat telah memahami hal ini diharapkan pada masa

datang, pola pikir (mind set) “Belum makan nasi – Belum makan” akan terkikis.

Promosi kesehatan juga harus mempertimbangkan pola makan yang berkembang

dimasyarakat. Budaya makan diluar rumah atau memesan makanan melalui on-line perlu

mendapat perhatian. Diperlukan media promosi yang menggambarkan bahwa bila dalam 1 kali

penyajian makanan, tidak meminum air putih namun minuman yang mengandung gula maka

pada media promosi harus ada komoditas pangan yang harus dikurangi yakni karbohidrat.

Berkaitan dengan pola makan diluar rumah maupun memesan makanan melalui on-line

berkorelasi dengan meningkatnya konsumsi makanan tidak sehat (junk food) serta minuman

yang berkarbonasi dan mengandung gula (sugar sweetened beverage/SSB atau SSD),

berkorelasi langsung dengan peningkatan berat badan dan obesitas serta berdampak pada

peningkatan penyakit tidak menular pada masa depan anak (Unicef 2019).

WHO (2017)30 menggunakan nomenklatur sugary drinks yang mendefinisikannya sebagai

semua tipe minuman yang mengandung monosakarida (glukosa dan fruktrosa), disakarida

(sukrosa atau gula meja (sugar table) yang ditambahkan ke dalam makanan atau minuman

oleh pabrik maupun consumer, termasuk yang berkarbonasi maupun yang tidak berkarbonasi

(soft drink), minuman dan jus sayur/buah, konsentrat cair dan bubuk, air minum berperasa

30 World Health Organization, 2017. “Taxes On Sugary Drink – Why Do It?”, Departmen of Prevention of Non Communicable

Diseases, WHO, at [email protected]

Page 28: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[26]

(water flavor), minuman energi (energy and sport drink), teh dan kopi siap saji (ready to drink

tea and coffee) serta susu berperasa (flavoured milk drink). WHO merekomendasikan bahwa

untuk mencegah terjadinya obesitas, anak harus menurunkan konsumsi bebas gula.

MT Haning, AI Arundhana, AD Muqni (2016) menemukan kebijakan atas pendirian

minimarket berpotensi meningkatkan pembelian makanan dan minuman yang mengandung

SSB. Kandungan SSB dalam makanan dan minuman yang dijual di minimarket cukup tinggi

yakni 75,68% 31.

SSB bukan satu-satunya zat yang harus diwaspadai dalam rangka mencegah peningkatan

berat badan dan obesitas pada anak. Dalam resolusi WHA.60.23 yang dihasilkan dari World

Health Assembly (musyawarah kesehatan dunia) ke 60 tahun 2007 tentang pencegahan dan

pengendalian penyakit tidak menular merekomedasikan promosi pemasaran yang

bertanggung jawab termasuk pengembangan regulasi tentang pemasaran makanan dan

minuman non-alkohol kepada anak-anak untuk mengurangi dampak makanan tinggi lemak

jenuh, trans asam lemak serta bebas gula dan garam32.

Unicef (2019) merekomendasikan kepada pemerintah untuk mempromosikan makanan

sehat disekolah-sekolah dan membatasi penjualan maupun pengiklanan junk food

dilingkungan sekitar sekolah. Rekomendasi lainnya adalah pencantuman label pada bagian

muka dari kemasan yang terlihat jelas (visible), akurat dan mudah dipahami – yang dapat

membantu anak, remaja dan keluarga untuk memilih makanan yang lebih sehat dan

memberikan insentif bagi pemasok (suppliers) makanan sehat.

Meskipun dunia telah menyepakati promosi pemasaran yang bertanggung jawab termasuk

pengembangan regulasi tentang pemasaran makanan dan minuman non-alkohol kepada anak-

anak untuk mengurangi dampak makanan tinggi lemak jenuh, trans asam lemak serta bebas

gula dan garam sejak tahun 2007, namun implementasinya belum berjalan sebagaimana

mestinya. Rekomendasi Unicef (2019) ini perlu diimplentasikan secara cepat dan tegas agar

percepatan mewujudkan SDM berkualitas dapat berhasil.

Ditataran masyarakat perlu sosialisasi dan edukasi terus menerus tentang pemilihan

makanan sehat. Label yang telah tercantum dalam berbagai kemasan, tidak dipahami oleh

masyarakat luas sehingga tujuan labeling agar masyarakat dapat memilih makanan yang lebih

sehat tidak tercapai.

Sosialisasi maupun edukasi kepada masyarakat dapat dimulai di kelas-kelas ibu hamil

mencakup penganekaragaman pangan yang mencukupi gizi seimbang serta pemilihan

makanan sehat. Selain hal tersebut, penting disampaikan kepada ibu hamil bahwa sebelum

31 Mohamad Thahir Haning, Andi Imam Arundhana, Asry Dwi Muqni, 2016. “The Government Policy Related to Sugar Sweetened

Beverages in Indonesia”, Indian Journal Community of Health/vol 28/Issue No 03/July-September 2016 32 World Health Organization Regional Office for Europe, 2013. “Marketing of Food High in Fat, Salt and Sugar to Children –

Update 2012-2013”, UN City Marmorvej 51, DK-2100 Copenhagen, Denmark

Page 29: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[27]

umur 2 tahun, anak perlu didorong untuk makan makanan sehat. Hal ini bertujuan agar ketika

anak mencapai usia 3-5 tahun, mereka akan lebih memilih makanan sehat. Dengan demikian

pada usia sekolah, pengaruh lingkungan terhadap pemilihan makanan yang tidak sehat dapat

diminimalisir. Berkaitan dengan pola asuh ini, maka sosialisasi dan edukasi juga perlu

dilakukan bagi tenaga pendidik di PAUD.

Tidak hanya terbatas pada penganekaragaman pangan, pengetahuan ibu juga harus

ditambah dengan cara mempersiapkan diri agar dapat memberikan IMD dan ASI eksklusif.

Merujuk kepada hasil Riskesdas 2018 terkait pemberian susu formula sebagai

makanan/minuman prelakteal yang ternyata justru paling tinggi diberikan kepada bayi yang

berasal dari keluarga PNS/TNI/Polri/BUMN/ BUMD dengan tingkat pendidikan D1/D2/D3

dan PT maka diperlukan kebijakan yang mendorong instansi baik pemerintah maupun swasta

untuk mensosialisasikan pemberian ASI ekslusif bagi karyawannya serta menyediakan ruang

laktasi diseluruh instansi.

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat anak dan ibu hamil

dan menyusui dalam makanan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang. Kebijakan untuk

mendorong pemanfaatan pangan lokal menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi kurangnya

akses masyarakat terhadap pangan akibat proses distribusi. Namun demikian, kebijakan lain

terkait pembangunan infrastruktur untuk mendukung proses distribusi perlu segera disusun

sehingga masyarakat sepenuhnya dapat menjangkau harga komoditas beranekaragam

pangan.

Mencermati bagan Persentase Pengeluaran Per Kapita Sebulan Menurut Kelompok

Komoditas Makanan dan Daerah Tempat Tinggal 2018, terlihat bahwa proporsi terbesar

pengeluaran baik diperkotaan maupun pedesaan diperuntukan bagi belanja makanan dan

minuman jadi (33,98%). Adapun proporsi pengeluaran untuk rokok dan tembakau (11,75%)

melebihi proporsi pengeluaran untuk padi-padian (12,02%), ikan (7,78%) dan daging

(4,13%). Hal ini menunjukan perilaku maupun pengetahuan masyarakat terhadap penganeka

ragaman pangan dalam mencukupi kebutuhan gizi seimbang masih rendah.

Proporsi pengeluaran per kapita yang tinggi untuk belanja makanan dan minuman jadi

sesuai dengan hasil penelitian Patrick dan Nicklas (2005) yang menyatakan bahwa pada tahun

1970, hanya 34% dari total pengeluaran rumah tangga diperuntukan untuk makan di luar

rumah. Pengeluaran rumah tangga meningkat untuk makan di luar rumah hingga mencapai

47% pada akhir 1990. Bila tidak dilakukan intervensi maka trend untuk pengeluaran rumah

tangga untuk makanan dan minuman jadi, juga untuk rokok dan tembakau akan terus

meningkat.

Meskipun dalam laporan Global Nutrition 2018 memperlihatkan ketidak mampuan rumah

tangga di berbagai wilayah Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangannya, namun

Page 30: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[28]

ironisnya Indonesia menempati peringkat kedua (2) sebagai negara pembuang makanan. The

Economist Intelegence Unit (EIU) tahun 2016 melaporkan tiap penduduk Indonesia rata-rata

membuang 300 kg makanan per tahunnya. Semakin ironis karena EIU melaporkan bahwa

umumnya negara maju yang banyak membuang makanan (food waste). Food waste di negara

maju terjadi ditingkat retail dan konsumer. Sedang di negara berkembang, umumnya pangan

rusak (food loss) akibat kekeringan, bencana alam, infrastruktur jalan yang buruk serta

kurangnya fasilitas penyimpanan dan pendingin.

Sebagaimana yang digambarkan dalam bagan “Pemanfaatan Komoditas Pangan Di Rumah

Tangga Dan Di Luar Rumah Tangga” (terlampir), selain rumah tangga, pangan juga dibutuhkan

di sektor industri makanan (restoran, toko roti dan lain-lain), sektor kesehatan (RS dan

Puskesmas), dan sektor jasa lainnya (hotel, transportasi dan lain-lain). Dengan tingginya

permintaan pangan, tingginya biaya distribusi pangan, semakin meningkatkan harga pangan

dan menurunkan kemampuan masyarakat dalam menjangkau harga pangan.

Dengan demikian, selain kebijakan yang mendukung efisiensi biaya distribusi pangan yang

mengakibatkan food loss, diperlukan pula kebijakan untuk mengatasi food waste. Food waste

dapat terjadi akibat adanya sisa makanan dari restoran, hotel, toko roti daan lain sebagainya.

Di beberapa negara, telah dibangun sistem pendistribusian makanan yang diperkirakan tidak

akan termakan dari restoran, hotel, toko roti dan lain sebagainya ke tempat-tempat yang

membutuhkan misalnya ke rumah singgah (shelter) bagi mereka yang tidak memiliki rumah

(homeless). Sistem ini dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dengan mendistribusikan

makanan ke panti asuhan atau ke lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya. Dengan

terbangunnya sistem ini, tingkat permintaan pangan diharapkan dapat diturunkan.

Faktor pendidikan juga merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap

penganekaregaman pangan. Penelitian yang dilakukan oleh Kunwar dan Pillai (2002) di India

menunjukan bahwa pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

Status gizi anak meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan orang tuanya. Tingkat

pendidikan ibu (64,7%) berpengaruh erat terhadap status gizi anak dibanding dengan tingkat

pendidikan ayah (41,8%). Pada ibu yang buta huruf atau hanya memiliki pendidikan dasar,

ditemukan 64,7% anak kurang gizi. Sedangkan pada ayah yang buta huruf atau hanya memiliki

pendidikan dasar hanya ditemukan 41,8% anak kurang gizi. Temuan lain adalah kurang gizi

pada anak perempuan lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan tinggi (1,17 kali lebih tinggi)

bila dibanding dengan ayah yang berpendidikan rendah (1,13 kali belih tinggi) dan meningkat

lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan lebih tinggi (1,20 kali lebih tinggi)33.

33 Rajesh Kunmar and PB Pillai, 2002. “Impact of Education of Parents on Nutritional Status of Primary School Children”, Medical

Journal Armed Forces India, Published online 2011 July 21. DOI:10.1016/S0377-1237(02)80011-9

Page 31: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[29]

Penelitian yang dilakukan oleh E.W.H Maïga (2011)34 di Burkina Faso, Africa menunjukan

tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap status gizi anak. Pendidikan ibu selama 12 tahun

secara signifikan berpengaruh terhadap TB/U anak dimana wajib belajar di negara tersebut

hanya 6 tahun.

BPS (2019) melaporkan persentase melek huruf perempuan berumur 15 tahun ke atas pada

tahun 2009 sebesar 89,68% dan meningkat menjadi 93,99% pada tahun 2018. Namun angka

melek huruf ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka melek huruf laki-laki pada

kelompok umur yang sama yakni 95,65% tahun 2009 menjadi 97,33% pada tahun 201835.

BPS (2017)36 cit. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

melaporkan bahwa 1,40% anak perempuan umur 10-17 tahun telah menikah. Dengan

demikian, dapat diasumsikan bahwa sebagian dari anak perempuan umur 10-17 tahun tidak

mendapatkan pendidikan selama 12 tahun.

Merujuk pada penelitian Kunwar dan Pillai serta Maïga di atas, maka dibutuhkan penguatan

(low inforcement) dalam implementasi wajib belajar 12 tahun bagi anak perempuan agar

upaya mewujudkan SDM berkualitas dapat tercapai.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN:

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan:

1. Upaya mewujudkan SDM berkualitas merupakan proses sepanjang siklus hidup

manusia;

2. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang memberi kontribusi besar dalam upaya

mewujudkan SDM berkualitas;

3. 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode terpenting dalam pembentukan SDM

berkualitas hingga masa remaja. Oleh karenanya ibu hamil dan ibu menyusui termasuk

dalam kelompok sasaran prioritas penganekaragaman pangan;

4. Berbagai regulasi dan pedoman telah diterbitkan namun implementasi dilapangan

belum optimal. Pedoman yang ada tidak self explanation karena menggunakan

34 Eugenie.W.H. Maïga, 2011. “The Impact Of Mothers education On Child Health And Nutrition In Developing Countries”, African

Center for Economic Transformation (ACET), https://www.uneca.org/sites/default/files/uploaded-

documents/AEC/2011/maiga_the_impact_of_mothers_education_on_child_health_and_nutrition_in_develping_countries_0.p

df 35 Badan Pusat Statistik, 2019. “Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Yang Melek Umur Menurut Provinsi, Daerah

Tempat Tinggal Dan Jenis Kelamin, 2009 – 2018”,

https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/20/1609/persentase-penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-yang-melek-

huruf-menurut-provinsi-daerah-tempat-tinggal-dan-jenis-kelamin-2009-2018.html 36 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018. “Profil Anak Indonesia 2018”

Page 32: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[30]

“bahasa/istilah teknis” yang mungkin dimengerti oleh para ahli namun tidak oleh tenaga

kesehatan dilapangan maupun oleh masyarakat secara umum;

REKOMENDASI:

Berdasarkan analisis di atas, beberapa opsi rekomendasi yang perlu menjadi pertimbangan

adalah:

1. Dukungan peraturan

a. Integrasi perencanaan terpadu dari berbagai OPD guna mendukung program

penganeka ragaman pangan dalam upaya mewujudkan SDM berkualitas;

b. Merevisi peraturan yang ada ataupun menyusun peraturan baru yang dibutuhkan

terkait konten yang menjadi tugas dan fungsi Kementerian Kesehatan;

c. Penguatan regulasi penjaminan ketersediaan pangan yang terjangkau bagi

masyarakat;

2. Pelibatan pemangku kepentingan

a. Melakukan advokasi kepada Kementerian Dalam Negeri guna mendorong OPD

untuk berkontribusi dalam program-program penganeka ragaman dalam upaya

mewujudkan SDM berkualitas;

b. Melakukan advokasi kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terkait

pengawasan kualitas dan keamanan makanan. Salah satu diantaranya adalah

kebijakan food labelling yang dapat meningkatkan awareness masyarakat untuk

memilih makanan sehat;

c. Melakukan advokasi kepada Kementerian Desa untuk dapat berkolaborasi

memobilisasi dana desa untuk penguatan program-program yang mendukung

penganekaragaman pangan diantaranya untuk dana operasional kader;

d. Melakukan advokasi kepada tokoh masyarakat dan agama guna membangun sosial

kapital ditataran masyarakat yang dapat meningkatkan komitmen dan kontribusi

dalam pembangunan kesehatan diantaranya dengan menjadi kader posyandu;

3. Peningkatan/pengembangan terkait teknis

a. Melakukan pengembangan pemanfaatan pangan lokal untuk menjamin

ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan dan

keseimbangan gizinya;

b. Mengembangkan media promosi food modelling yang memudahkan tenaga

kesehatan maupun kader untuk melakukan sosialisasi pedoman gizi seimbang

kepada masyarakat;

c. Melakukan upaya peningkatan pengetahunan tentang penganekaragaman pangan

kepada pihak terkait terutama kepada ibu hamil, menyusui, kader;

Page 33: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[31]

d. Melakukan kajian terhadap ukuran/takaran yang dibutuhkan untuk pemenuhan

gizi seimbang sesuai dengan kelompok umur dan tentunya mudah dipahami

masyarakat

Dari ketiga opsi di atas, rekomendasi yang perlu dipertimbangkan untuk dipilih adalah

Pelibatan Pemangku Kepentingan. Pemilihan opsi ini didasarkan kepada hasil assessment

lapangan dimana terlihat berbagai program dapat dioptimalkan pelaksanaannya berkat

keterlibatan OPD dan masyarakat. Meskipun ditemukan kendala dalam mengimplementasikan

berbagai peraturan yang ada, namun berkat komitmen dan kontribusi semua pihak dapat

dilakukan berbagai inovasi agar berbagai upaya kesehatan dapat terlaksana.

KEPUSTAKAAN

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. “Pedoman Optimalisasi Potensi Kecerdasan Majemuk

(Multiple Intelligence) Pada Remaja”. Jakarta: Pusat Intelegensia Kesehatan

2. Endang L. Achadi, Periode Kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Dampak Jangka Panjang Terhadap

Kesehatan dan Fungsinya, Departemen Gizi Kesmas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 25

November 2014

3. Thompson RA, Nelson CA. Developmental Science and The Media: Early Brain Development. The Amercan

Psychologist 2001; 56: 5-15 pada Profil Kesehatan Inteligensia, Delapan Arah Mata Angin, 2016

4. Y Kelly, A Sacker, R Gray, J Kelly, D Wolke and M Quigley, 2008. “Alcohol – Light Drinking in Pregnancy, a Risk

for Behavioural Problems andCognitive Deficit at 3 Years of Age?”, International Journal of Epidemiology 2009;

38: 129-140 Published by Oxford University Press on behalf of the International epidemiology Association

October 2008

5. AK Knudsen, JC Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen, 2014. “Maternal Pre-Pregnancy Risk

Drinking And Toddler Behavior Problems: The Norwegian Mother and Child Cohort Study”, Eur Child Adolesc

Psychiatry (2014) 23:901-911, Published on line: 23 July 2014 with open access at Springerlink.com

6. Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A

Changing World”, New York, October 2019

7. World Health Organization, 2014. ‘Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of

Nutrition for Health and Development, Geneve, Switzerland

8. Kementerian Kesehatan RI. 2019. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018”, Jakarta, Lembaga Penerbitan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

9. Unicef/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrion Estimates, 2019. “Level and Trend in Child Malnutrition,

Geneva: World Health Organization

10. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2019.

“Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024”

11. Peraturan Menteri Kesehatan No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi

12. Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan

13. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

14. Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang

15. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018.

“Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota”

16. Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan

17. Badan Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia”, Sub Direktorat Statistik

Rumah Tangga

18. The Economist Intelegence Unit, 2016. “Fixing Food: Toward A More Sustainability Food System”, Barilla Center

For Food & Nutrition

19. Developmen Initiatives Poverty Research Ltd, 2018. 2018 Global Nutrition Report: Shining a Light to Spur Action

On Nutrition, Bristol, UK

Page 34: cover penganekaragaman panganpadk.kemkes.go.id/uploads/download/Output_Diversifikasi2.pdf · Janin berumur 9 bulan dalam kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12

[32]

20. United Nations Children’s Fund, 2015. “Breastfeeding”, World Breastfeeding Week 2015

21. Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif

22. Heather Patrick, PhD, Theresa A. Nicklas, DrPhD, 2005. “A Review of Family and Social Determinants of

Children’s Eating Patterns And Diet Quality, Journal of American College of Nutrition – May 2005, up loaded by

Heather Patrick on https://www.researchgate.net/publication/7938097 on 28 May 2014

23. Antara, Yayuk Widiyarti, 2019. “Jenis Makanan Yang Paling Banyak Dipesan Via Ojol, Dominasi Ayam”, Tempo.co

https://gaya.tempo.co/read/1255969/jenis:makanan-yang-paling-banyak-dipesan-via-ojol-dominasi-

ayam/full?view-ok, dipublikasikan pada 4 Oktober 2019

24. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. “Perilaku Berisiko Kesehatan Pada Pelajar SMP dan SMA”.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kemenkes RI, Jakarta

25. Pariona, Ameber, 2019. “What Are The World’s Most Important Staple Foods” World Atlas, 7 June 2019,

worldatlas.com/articles/most-important-staple-foods-in-the-world.html

26. Peraturan Presiden RI No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

27. Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org

28. C. Weaver, R.W. Bettoni, D. McMahon and L. Spence, 2013. “Milk and Dairy Products In Human Nutrition”, Food

and Agriculture Organization, Rome

29. Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie

30. World Health Organization, 2017. “Taxes on sugary Drink – Why Do It?”, Departmen of Prevention of Non

Communicable Diseases, WHO, at [email protected] (

31. Mohamad Thahir Haning, Andi Imam Arundhana, Asry Dwi Muqni, 2016. “The Government Policy Related to

Sugar Sweetened Beverages in Indonesia”, Indian Journal Community of Health/vol 28/Issue No 03/July-

September 2016

32. World Health Organization Regional Office for Europe, 2013. “Marketing of Food High in Fat, Salt and Sugar to

Children – Update 2012-2013”, UN City Marmorvej 51, DK-2100 Copenhagen, Denmark

33. Rajesh Kunmar and PB Pillai, 2002. “Impact of Education of Parents on Nutritional Status of Primary School

Children”, Medical Journal Armed Forces India, Published online 2011 July 21. DOI:10.1016/S0377-

1237(02)80011-9

34. Eugenie.W.H. Maïga, 2011. “The Impact Of Mothers Education On Child Health And Nutrition In Developing

Countries”, African Center for Economic Transformation (ACET),

https://www.uneca.org/sites/default/files/uploaded-

documents/AEC/2011/maiga_the_impact_of_mothers_education_on_child_health_and_nutrition_in_develping_

countries_0.pdf

35. Badan Pusat Statistik, 2019. “Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Yang Melek Umur Menurut

Provinsi, Daerah Tempat Tinggal Dan Jenis Kelamin, 2009 – 2018”,

https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/20/1609/persentase-penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-

yang-melek-huruf-menurut-provinsi-daerah-tempat-tinggal-dan-jenis-kelamin-2009-2018.html

36. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018. “Profil Anak Indonesia 2018”