54
BAB I PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari atau sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria, atau kelainan pada studi pencitraan. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 . 1 Prevalensi penyakit ginjal kronik dengan batasan nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 , dilaporkan bervariasi yaitu sekitar 20% di Jepang dan Amerika Serikat, 6,4 sampai 9,8% di Taiwan, 2,6 sampai 13,5% di Cina, 17,7% di Singapura dan 1,6 sampai 9,1% di Thailand. Survei komunitas yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2009 menunjukkan 12,5% populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal. Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan dan irreversibel sehingga akhirnya bisa terjadi gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya disertai berbagai

Ckd Mbd Imlda

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ckd Mbd Imlda

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama

lebih dari atau sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda

kerusakan ginjal seperti proteinuria, atau kelainan pada studi pencitraan. Jika tidak

ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju

filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.1

Prevalensi penyakit ginjal kronik dengan batasan nilai laju filtrasi glomerulus

kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2, dilaporkan bervariasi yaitu sekitar 20% di Jepang

dan Amerika Serikat, 6,4 sampai 9,8% di Taiwan, 2,6 sampai 13,5% di Cina, 17,7%

di Singapura dan 1,6 sampai 9,1% di Thailand. Survei komunitas yang dilakukan

oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2009 menunjukkan 12,5% populasi

sudah mengalami penurunan fungsi ginjal. Pada penyakit ginjal kronik terjadi

penurunan fungsi ginjal secara perlahan dan irreversibel sehingga akhirnya bisa

terjadi gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang

mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya disertai berbagai komplikasi seperti penyakit

kardiovaskuler, penyakit saluran nafas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan

otot serta anemia.2,3

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK)

merupakan kondisi yang sering terjadi. Kejadian GMT-PGK terus bertambah seiring

bertambahnya prevalensi PGK. Gangguan metabolisme mineral dan tulang pada

penderita PGK terminal adalah 17,5%, terutama karena tingginya prevalensi

hiperfosfatemia. USRDS (United States Renal Data System) 1993, mencatat

prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6%, walaupun terapi pengikat fosfat sudah

diberikan pada sekitar 80% penderita hemodialisis reguler.4,5

GMT-PGK sebelumnya dikenal dengan istilah osteodistrofi renal (OR) atau

renal osteodystrophy. Kedua istilah ini sebenarnya tidak sama karena terdapat

perbedaan dalam hal cakupannya. GMT-PGK ialah suatu sindrom klinik yang terjadi

Page 2: Ckd Mbd Imlda

akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada penyakit ginjal

kronik. Menurunnya fungsi ginjal, terjadinya gangguan homeostasis mineral dan

tulang yang progresif, terlihat dari abnormalitas kadar fosfat, kalsium dan perubahan

hormon pada penyakit ginjal kronik. Aspek ekstra-skeletal yang disebabkan

hiperfosfatemia GMT-PGK adalah kejadian kalsifikasi vaskuler dan jaringan lunak

serta akibat terapi yang diberikan untuk mengoreksi gangguan tersebut misalnya

pemberian obat pengikat fosfat yang mengandung kalsium dan terapi vitamin D yang

kurang tepat, telah menarik perhatian para peneliti.6,7

GMT-PGK terbukti ikut berperan dalam morbiditas, mortalitas, serta kualitas

hidup penderita PGK, baik langsung maupun tidak langsung. Bukti-bukti terakhir

memperlihatkan adanya peningkatan risiko kardiovaskuler penderita PGK sebagai

akibat terjadinya GMT. Oleh karenanya, diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat

terhadap GMT-PGK akan sangat berperan dalam mengurangi mortalitas dan

morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup penderita PGK.8

Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang diagnosis dan penatalaksanaan

gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik. Melalui penyajian ini

diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang GMT-PGK.

Page 3: Ckd Mbd Imlda

BAB II

GANGGUAN MINERAL DAN TULANG

PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMT-PGK)

2.1 Definisi dan klasifikasi

Penyakit ginjal kronik (PGK) ialah setiap kerusakan ginjal (kidney damage)

atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR/Glomerular Filtration Rate) < 60

ml/menit/1,73m2 untuk jangka waktu ≥ 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap

kelainan patologis, atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam darah,

urin atau studi pencitraan.1

Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik1

Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/173 m2)1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90

meningkat2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG 60-89

ringan3 Penurunan LFG sedang (moderate) 30-594 Penurunan LFG berat 15-295 Gagal ginjal < 15 (atau dialisis)

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah

suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral

dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal

berikut:

1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat,

hormon paratiroid dan vitamin D.

2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan

kekuatannya.

3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.

Page 4: Ckd Mbd Imlda

Klasifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau

kombinasi dari ketiga komponen di atas.6,9,10

Tabel 2. Klasifikasi GMT-PGK9

Tipe LaboratoriumAbnormal

Gangguan Tulang Kalsifikasi Vaskuleratau Jaringan Lunak

LLTLKLTK

++++

-+-+

--++

Keterangan : L = Laboratorium, T = Tulang, K = Kalsifikasi Vaskuler

GMT-PGK sebelumnya dikenal dengan istilah osteodistrofi renal (OR) atau

renal osteodystrophy. Kedua istilah ini sebenarnya tidak sama karena terdapat

perbedaan dalam hal cakupannya.9

Osteodistrofi renal (OR) merupakan gangguan morfologi tulang pada PGK.

OR merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari suatu gangguan

sistemik GMT-PGK yang dapat diukur (quantifiable) melalui pemeriksaan

histomorfometri dari biopsi tulang. Termasuk dalam kelompok ini adalah

osteomalasia, osteotis fibrosa, adynamic bone disease, dan jenis campuran. Ada dua

spektrum osteodistrofi renal yaitu, high turnover dan low turnover. High turnover

terjadi pada kadar fosfat tinggi-kalsium rendah-HPT tinggi. Termasuk spektrum ini

adalah osteitis fibrosa. Sedangkan low turnover terjadi pada kadar kalsium tinggi-

aluminium tinggi, dan termasuk dalam spektrum ini adalah osteomalasia dan

adynamic bone disease. Salah satu bentuk osteodistrofi renal yang berada di antara

kedua spektrum di atas adalah bentuk campuran.9,11

Tabel 3. Klasifikasi osteodistrofi renal berdasarkan turnover tulang12

Page 5: Ckd Mbd Imlda

Tipe Deskripsi Patogenesis

High-turnoverOsteotis fibrosa Peningkatan resorpsi tulang HiperPTS

Disorganisasi deposit kolagen non- lamelar Peningkatan deposit osteoid Peningkatan laju formasi tulang

Fibrosis sumsum tulangLow turnoverOsteomalacia Penurunan deposit osteoid Paparan dengan

Akumulasi aluminium aluminium berlebihan Penurunan laju formasi tulang Faktor lain yang tidak Akumulasi osteoid karena deposit diketahui osteoid melebihi laju formasi tulang

Adynamic Remodeling dan laju formasi tulang Deposit aluminiumyang rendah

Penurunan deposit osteoid Level HPT relatif rendahLebih sering pada orang

tua, pasien DM dan CAPD High-and low turnoverBentuk campuran Peningkatan remodeling dan HiperPTS, deposit

aktivitas resorpsi aluminiumArea formasi tulang yang rendah Faktor lain yang tidak Peningkatan lebar garis osteoid diketahui

Keterangan: HiperPTS= Hiperparatiroid sekunder, HPT= Hormon paratiroid, DM= Diabetes melitus,

CAPD= Chronic ambulatory peritoneal dialysis

Tabel 4. Klasifikasi OR berdasarkan sistem TMV9

Subtipe Turnover Mineralisasi Volume

Osteomalasia

Penyakit tulang Adinamik

HPT terkait gangguan tulang

Osteitis Fibrosa

Osteodistrofi uremik campuran

Rendah

Rendah

Normal s.d tinggi

Normal s.d tinggi

Tinggi

Abnormal

Abnormal

Rendah s.d normal

Rendah s.d normal

Rendah s.d tinggi

Rendah s.d tinggi

2.2 Epidemiologi

Page 6: Ckd Mbd Imlda

Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara berkembang

didapatkan 40-60 kasus/1 juta penduduk/tahun. Pada pasien-pasien dengan penyebab

hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif uropati, insidensinya menjadi lebih

tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1 juta penduduk/tahun. Di Malaysia

diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di

Amerika Serikat dijumpai 200.000 penderita gagal ginjal yang menjalani

hemodialisis reguler dengan peningkatan 10% setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal

ginjal terminal yang baru terdiagnosis mencapai 100 pasien/1 juta penduduk. Insiden

ini meningkat empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan Hispanik

dibandingkan dengan golongan Kaukasian yang meningkat sesuai dengan

bertambahnya usia pasien. Studi epidemiologis tentang penyakit ginjal kronik di

Indonesia masih sedikit, sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan mortalitas

baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit provinsi.6,9,10

Prevalensi untuk gangguan metabolisme mineral dan tulang pada PGK

terminal adalah 17,5%, terutama karena tingginya prevalensi hiperfosfatemia.

Pendras dan Erickson, 1996 melaporkan gangguan mineral dan tulang pada penderita

PGK yang sudah melakukan hemodialisis didapatkan kejadian fraktur 47% dan ini

merupakan salah satu komplikasi yang paling bermasalah. Studi prevalensi fraktur

tulang melaporkan, 10-40% pada populasi dialisis dan separuh penderita < 50 tahun.

Risiko terjadi fraktur tulang pinggul pada semua penderita yang dialisis di Amerika

Serikat 1989-1996 adalah 4,4 kali lebih tinggi dari populasi normal.6,13

2.3 Homeostasis mineral dan tulang

2.3.1 Ginjal dan metabolisme fosfat

Fosfat inorganik (Pi) berperan untuk berbagai metabolisme sel dan

mineralisasi tulang. Fosfat merupakan bagian esensial dari asam nukleat dan

membran sel, berperan sebagai mediator penting sinyal intra seluler dan regulasi

aktivitas protein.15

Page 7: Ckd Mbd Imlda

Kadar fosfor di dalam tubuh manusia sekitar 600 g (500-700 g), di antaranya

80% hingga 85% adalah mineral tulang. Di dalam serum, sebagian besar fosfor

berada dalam bentuk Pi dengan konsentrasi normal 0,75–1,45 mmol/L (2,5-4,5

mg/dL). Lebih dari 85% Pi di dalam serum adalah ion bebas dan kurang dari 15%

terikat dengan protein. Kadar HPO42- dan NaHPO4- dominan sekitar 75% dari total

fosfor dan H2PO4- bebas sekitar hampir 10%.15

Konsentrasi fosfor serum terutama ditentukan oleh asupan diet, absorpsi

fosfor di gastrointestinal; terutama di usus halus, ekskresi fosfor melalui urin dan

pertukaran antara ruang ekstra dan intraseluler (Gambar 1). Abnormalitas pada

mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipofosfatemia ataupun

hiperfosfatemia.14-16

SimDisimpan dalam tubuh 700gr

Keseimbangan Pi

Darah < 1%Absorpsi950 mg/hr

Sekresi150 mg/hr

Resorpsi300 mg/hr

Resorpsi300 mg/hr

1350 mg/hr

Eksresi feses400 mg/hr

Eksresi urine800 mg/hr

Cadangan Pi

1200 mg/hr

Gambar 1. Keseimbangan fosfat14

Ginjal adalah regulator utama homeostasis Pi melalui kapasitas reabsorpsi.

Ekskresi Pi di ginjal merupakan keseimbangan antara filtrasi glomerulus dan

Page 8: Ckd Mbd Imlda

reabsorpsi tubulus ginjal. Pada kondisi fisiologis yang normal, 80-90% dari fosfor

yang difiltrasi direabsorpsi kembali dan sisanya diekskresikan melalui urin.

Reabsorpsi tubulus ginjal terjadi terutama di tubulus proksimalis melalui proses Na+

gradient-dependent transmembran (Na+/Pi cotransport) tipe IIa dan IIc (NaPi-2a dan

NaPi-2c) yang berlokasi di batas membran apikal. Keduanya diatur oleh asupan

makanan Pi, vitamin D, fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan hormon

paratiroid.10,14,15,17,18

2.3.2 Ginjal dan metabolisme kalsium

Pemeliharaan homeostasis kalsium sangat penting karena kalsium merupakan

komponen utama dari kerangka tulang dan berfungsi sebagai media intraseluler

maupun ekstraseluler dalam berbagai peristiwa seluler seperti jaringan saraf, respon

imun, kontraksi otot dan sekresi hormon.19

Total kalsium pada orang dewasa adalah sekitar 1-2 kg dan 99% dari total

kalsium berada dalam tulang, serta 1% kalsium tubuh berada dalam ruang

ekstraseluler (Gambar 2). Dari kompartemen cairan ekstraseluler, yang berisi sekitar

900 mg kalsium, 10.000 mg kalsium difilrasi di glomerulus dan 500 mg ditambahkan

ke dalam tulang; dan kompartemen cairan ekstraseluler ditambahkan sekitar 200 mg

yang diserap dari diet, 9800 mg diserap kembali oleh tubulus ginjal, dan 500 mg dari

tulang. Konsentrasi kalsium dalam sirkulasi kisaran yang sempit (8,5-10,5 mg/dL)

untuk itu mempertahankan homeostasis kalsium sangat penting.19

Page 9: Ckd Mbd Imlda

Gambar 2. Metabolisme kalsium19

Sekitar 40% kalsium plasma terikat protein dan 10% kalsium berada dalam

ikatan kompleks dengan anion seperti fosfat, sitrat, sulfat dan lain-lain. Hanya

setengah dari kalsium plasma dalam bentuk terionisasi (iCa2+) dan memegang fungsi

fisiologis yang sangat penting. Kalsium terionisasi secara ketat diatur oleh hormon

seperti hormon paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D3 dan kalsitonin. Ginjal, usus,

dan tulang merupakan organ utama dalam regulator kalsium, namun ginjal

merupakan ‘pemain kunci’ dalam regulasi eksresi kalsium.6,14,19

2.3.3 Mekanisme hubungan timbal balik (feedback mechanism)

Page 10: Ckd Mbd Imlda

Secara fisiologis, terdapat mekanisme hubungan timbal balik (feedback

mechanism) antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang. Hubungan timbal balik ini

bertujuan untuk membuat keseimbangan homeostasis antara kalsium (Ca), fospor (P),

vitamin D3 (vit D3) dan hormon paratiroid (HPT). Absorpsi Ca di saluran cerna

dibantu oleh vitamin D3, sedangkan Ca dapat menghambat produksi vit D3 oleh

ginjal. Kadar Ca yang rendah dapat merangsang produksi HPT, sedangkan HPT dapat

merangsang produksi vit D3. Kadar P darah yang tinggi dapat merangsang produksi

HPT, dan menurunkan kadar Ca melalui keseimbangan fisikokimiawi. Demikian juga

P darah yang tinggi dapat merangsang produksi fibroblast growth factor (FGF23)

oleh tulang. FGF23 ini dapat merangsang produksi vit D3 dan menghambat produksi

HPT. Vit D3 yang rendah dapat merangsang produksi HPT, sebaliknya HPT dapat

merangsang produksi vit D3 (Gambar 3). Pada PGK, mekanisme ini terganggu akibat

meningkatnya kadar P (akibat retensi) dan menurunnya kadar vit D3 (akibat turunnya

produksi).9,20,21

Gambar 3. Interelasi antara Ca2+, P dan HPT, FGF23 dan 1,25(OH)2 D.21

2.4 Patogenesis

Page 11: Ckd Mbd Imlda

Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam

mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat dari

ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga

hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal.

Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di

atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekuensi yang cukup

memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi

hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal,

kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis.14,22-24

2.4.1 Hiperparatiroidisme sekunder

Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme sekunder

adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia (kekurangan kalsitriol/

vitamin D analog).25

Hipokalsemia terjadi melalui dua mekanisme yaitu, hiperfosfatemia yang

mengakibatkan perubahan keseimbangan fisikokimiawi, dan hipokalsitriolemia yang

mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium di saluran cerna, sehingga akan

meningkatkan pengeluaran kalsium melalui feses. Hipokalsitriolemia terjadi akibat

penurunan massa ginjal. Faktor-faktor di atas secara bersama-sama berkontribusi

terhadap peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT), sehingga terjadi

hiperparatiroid sekunder. Gambar di bawah ini memperlihatkan patogenesis

terjadinya hiperparatiroidisme sekunder (HPTs).25

Page 12: Ckd Mbd Imlda

Gambar 4. Patogenesis hiperparatiroid sekunder (HPTs).25

Kalsium-sensing receptor (CaR), yang terdapat pada permukaan sel utama

(chief cells) kelenjar paratiroid merupakan regulator penting dalam homeostasis

kalsium karena memiliki peran utama pada pengaturan sintesis dan sekresi hormon

paratiroid (Gambar 5). Pada penyakit ginjal kronik, penurunan kadar kalsium akan

menurunkan aktivitas kalsium-sensing receptor yang mengakibatkan penurunan

signalling through kalsium-sensing receptor dan peningkatan sintesis dan sekresi

hormon paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid akan melepaskan kalsium

dari jaringan tulang dan akan meningkatkan ekskresi fosfat melalui ginjal. Respon

kelenjar paratiroid bergantung pada tingkat kecepatan dan panjang waktu stres

hipokalsemia. Pelepasan hormon paratiroid yang disebabkan oleh rangsangan kalsium

melalui signalling kalsium-sensing receptor terjadi dalam hitungan waktu detik dan

Page 13: Ckd Mbd Imlda

menit, sedangkan stres kronik hipokalsemia dan hiperfosfatemia merangsang ekspresi

gen hormon paratiroid yang akan menyebabkan sintesis hormon paratiroid dalam

hitungan waktu jam dan hari, dan proliferasi sel kelenjar paratiroid terjadi dalam

hitungan waktu hari dan minggu.26,27

Gambar 5. Kalsium-sensing Receptor (CaR) regulator utama sekresi HPT 27

Mekanisme pengaturan sintesis hormon paratiroid sangat kompleks dan masih

belum diketahui secara lengkap. Meski vitamin D receptor (VDR) di inti sel dapat

menekan transkripsi gen HPT, hormon paratiroid juga diatur pasca-transkripsi dengan

cara pengikatan stabilizing RNA-binding proteins dengan 3’untranslated regio of the

PTH transcript.26,27

Jika penyakit ginjal kronik sudah mencapai stadium 5, hiperparatiroidisme

sekunder akan makin meningkat, yang akan menyebabkan proliferasi sel kelenjar

paratiroid dan hiperplasia difus noduler, yang akan disertai penurunan ekspresi CaR

dan VDR sehingga menjadi kurang responsif terhadap kadar kalsium serum.

Perubahan kelenjar paratiroid menjadi nodul hiperplastik lanjut yang disertai dengan

penurunan ekspresi VDR tersebut akan menyebabkan penurunan efisiensi aktivator

reseptor vitamin D untuk peningkatan transkripsi gen CaR dan penghambatan

proliferasi sel kelenjar paratiroid.26,27

Page 14: Ckd Mbd Imlda

2.4.2 Kelainan tulang

Kelainan tulang pada PGK sudah terlihat pada tahap awal penurunan LFG

yaitu pada PGK stadium 2. Kelainan ini dapat berupa kelainan turnover, mineralisasi

dan volume tulang. Gangguan ini sering disebut osteodistrofi renal (OR).11

Dalam proses remodeling tulang atau bone turnover, intinya adalah terjadinya

pergerakan ion kalsium. Ion kalsium yang berada dalam osteoklas akan dilepaskan,

kemudian oleh osteoblas akan digunakan sebagai bahan baku tulang di dalam osteosit

dan pada akhirnya berperan dalam pembentukan tulang baru. Metabolisme kalsium

inilah yang mempunyai peranan dominan dalam proses pembentukan tulang.28

Dalam mempertahankan keseimbangan kalsium serum ini, dua hormon secara

langsung berhubungan dengan metabolisme kalsium, yaitu hormon paratiroid dan

kalsitonin. Apabila kalsium plasma meningkat maka akan meningkatkan formasi

tulang dan meningkatkan kalsitonin dari sel parafolikuler kelenjar tiroid. Dengan

adanya kalsitonin, maka proses resorpsi tulang ditekan. Sebaliknya keadaan kalsium

darah yang rendah akan meningkatkan sekresi hormon paratiroid dan akan

meningkatkan proses resorpsi tulang serta peningkatan absorpsi kalsium di intestinal.

Mekanisme ini adalah upaya kalsium di dalam darah tetap dalam keadaan stabil. Jadi

hormon paratiroid berperan dalam meningkatkan resorpsi kalsium, menurunkan

resorpsi fosfat di intestinal, dan meningkatkan sintesis vitamin D (1,25(OH)2 D di

ginjal. Selain itu hormon ini juga dapat meningkatkan aktifitas osteoklas yang

menyebabkan proses resorpsi tulang meningkat.28

Peran vitamin D dalam mekanisme turn-over tulang melalui peningkatan

absorpsi kalsium dan fosfat di intestinal. Melalui mekanisme ini maka vitamin D

berperan dalam menyediakan cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses

mineralisasi tulang sehingga mempertinggi resorpsi tulang. Secara patofisiologi,

vitamin D mempunyai peran penting pada kelainan tulang. Dalam mempertahankan

integritas mekanisme dan struktur tulang diperlukan proses remodeling tulang yang

konstan, yaitu respon terhadap keadaan baik fisiologis maupun patologis yang terjadi

selama kehidupan. Adanya kebutuhan asupan kalsium dan vitamin D yang meningkat

Page 15: Ckd Mbd Imlda

terutama dengan bertambahnya umur, dengan sendirinya akan meningkatkan proses

remodeling.28

Pada PGK stadium 5, kelainan tulang hampir dapat ditemukan pada semua

penderita yang ditandai dengan low bone-turnover, yaitu pada osteomalasia dan

penyakit tulang adinamik, dan high bone-turnover karena peningkatan hormon

paratiroid (hiperparatiroidisme sekunder) pada osteitis fibrosa.11

Patofisiologi kelainan mineral dan tulang pada PGK akibat dari kombinasi

dari beberapa gangguan berupa: retensi fosfat, hipokalsemia, hiperparatiroid

sekunder, resistensi skeletal terhadap HPT, dan gangguan metabolisme vitamin D.9,11

Diketahui adanya mekanisme potensial dimana penderita PGK terminal atau

dialisis akan mengalami penurunan densitas tulang yang akan meningkatkan risiko

terjadinya osteoporosis dan fraktur tulang. Pendapat ini didukung oleh beberapa

penelitian prevalensi osteoporosis pada PGK lebih tinggi dibandingkan populasi

umum, serta terjadi dengan rata-rata usia juga lebih muda. Untuk itu,

mengidentifikasi lebih awal penderita PGK dengan risiko fraktur tulang dan rencana

strategi terapi yang tepat akan mengurangi risiko tersebut.11

2.4.3 Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak

Penderita penyakit ginjal stadium akhir, angka morbiditas dan mortalitasnya

semakin meningkat seiring dengan peningkatan kejadian kardiovaskuler. Penderita

PGK dengan hemodialisis, kematian kardiovaskuler adalah 10-20 kali lebih tinggi

dibandingkan pada populasi umum. Risiko kardiovaskuler pada penderita PGK terdiri

dari faktor risiko tradisional atau klasik dan faktor non-tradisional. Faktor klasik

risiko kardiovaskuler misalnya hipertensi, diabetes, merokok, dislipidemia, riwayat

keluarga, dan lain-lain. Faktor risiko non-tradisional atau faktor risiko yang

berhubungan dengan kondisi uremia, dimana prevalensinya akan semakin meningkat

seiring dengan penurunan fungsi ginjal. Gangguan pada metabolisme kalsium-fosfat

merupakan faktor risiko non-tradisional.29,30

Page 16: Ckd Mbd Imlda

Mekanisme kalsifikasi vaskuler pada GMT-PGK karena peran utama dari

perubahan keseimbangan kalsium dan fosfat. Deposisi berlebihan kedua mineral ini

akan mendorong terjadinya kalsifikasi vaskuler. Secara in vitro dan in vivo telah

menunjukkan perkembangan pemahaman dari segi aspek, teori, dan regulator serta

patogenesis untuk terjadinya kalsifikasi vaskuler pada PGK.30

Menurut Giachelli CM (2004), kalsifikasi vaskuler pada penderita PGK

melibatkan beberapa mekanisme antara lain abnormalitas kalsium fosfat, hilangnya

faktor penghambat (loss of inhibition), induksi pembentukan tulang, adanya

nukleosional dalam sirkulasi atau faktor parakrin dari tulang, dan apoptosis. Namun

dari berbagai faktor risiko dan proses terjadinya kalsifikasi vaskuler belum dipahami

sepenuhnya baik secara patologi maupun biologi molekuler. Beberapa peneliti

meyakini serum fosfat merupakan regulator kunci terjadinya kalsifikasi vaskuler pada

penderita PGK (Gambar 6).31,32

Beberapa penelitian menghubungkan faktor yang memicu terjadinya

kalsifikasi vaskuler dengan hiperfosfatemia-hiperkalsemia (peningkatan produk Ca x

P), dan alkalinisasi jaringan. Penderita dengan kadar fosfat yang lebih dari 6,5 mg/dl

mempunyai risiko kematian kardiovaskuler yang lebih tinggi dibandingkan dengan

penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung aterosklerotik)

dengan kadar fosfat normal. Risiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner

52% lebih tinggi pada penderita dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan

dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya

kalsifikasi vaskuler ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Penderita dengan

dialisis reguler yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55 mg2/dl2

mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi, dan bermakna

dibandingkan populasi normal. KDIGO (Kidney Disease Improving Global

Outcomes) menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P kurang dari 55 mg2/dl2.

Selain di sistem kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat mengakibatkan kalsifikasi

pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan, paru, periartikuler, dan jaringan

interstitial ginjal.33

Page 17: Ckd Mbd Imlda

Keterangan : MGP : Matrix Gla Protein, OPN : Osteopontin.

Gambar 6. Mekanisme kalsifikasi vaskuler.32

2.2.4 Kalsifilaksis

Sindrom kalsifilaksis pertama kali dilaporkan oleh Selye tahun 1962, berupa

nekrosis iskemia jaringan perifer, kalsifikasi vaskuler dan ulserasi kulit, yang terjadi

pada PGK yang menjalani hemodialisis reguler atau setelah transplantasi ginjal.

Patogenesis sindrom ini belum diketahui secara pasti, diduga karena adanya obstruksi

mekanis vaskuler akibat deposisi kalsium otot polos, arterial dan terjadinya spasme

vaskuler. Faktor predisposisi sindrom ini adalah pasien PGK dengan hemodialisis

yang mempergunakan kalsium karbonat dosis tinggi, dialisat konsentrasi kalsium

tinggi, obesitas, diabetes melitus, pasca transplantasi, obat-obat golongan

steroid/imunosupresan, serta trauma lokal.6,33

BAB III

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

GANGGUAN MINERAL DAN TULANG

PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK (GMT-PGK)

CaXPi

Kalsifikasi Vaskuler

Kematian sel :

Apoptosis dan debris nekrosis

Induksi pembentukan tulang :

Vascular osteoblast/chondrocyte-like cells

Nukleosional komplek sirkulasi

Loss of inhibition: MGP, OPN, Fetuin,

Pirophosfat, dll

HiperfosfatemiaHiperkalsemia

Remodeling tulang

Page 18: Ckd Mbd Imlda

3.1 Diagnosis

Gangguan mineral dan tulang ditemukan pada sebagian besar pasien PGK

stadium 3-5, dan secara universal dialami pasien PGK stadium 5 yang menjalani

dialisis (PGK 5D). Oleh karena itu dianjurkan untuk memulai pemeriksaan diagnostik

pada PGK stadium 3. Interval pemantauan yang dianjurkan berdasarkan gangguan

yang ada, derajat beratnya gangguan dan kecepatan progresifitas PGK. Diagnosis

GMT-PGK didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

pencitraan (imaging) dan biopsi tulang.6,9

3.1.1 Gejala klinis

Gejala klinis GMT-PGK tidak spesifik, diantaranya nyeri tulang, kelemahan

otot, pruritus, calciphylaxis (calcemic uremic arteriolopathy) dan fraktur.

Calciphylaxis dapat berupa nekrosis jaringan perifer, ulserasi kulit dan kalsifikasi

vaskuler. Fraktur tulang biasanya fraktur non trauma atau karena trauma minimal.9,34

3.1.2 Pemeriksaan penunjang

3.1.2.1 Pemeriksaan laboratorium

Abnormalitas biokimia sering ditemukan pada penyakit ginjal kronik dan

merupakan indikator utama untuk diagnosis maupun penatalaksanaan gangguan

mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik.6,9

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis GMT-PGK dilakukan terhadap

petanda (marker) biokimia tulang dan mineral. Petanda tersebut ialah fosfat, kalsium

plasma, produk kalsium x fosfat (Ca x P), hormon paratiroid (HPTi), total alkali

fosfatase (AFT) dan bone spesific alkaline phosphatase (bALP). Pemeriksaan

disarankan dimulai pada PGK stadium 3 dan dilakukan secara berkala, seperti yang

diperlihatkan pada tabel 5 dan 6 di bawah ini.6,9,34

Tabel 5 . Diagnosis laboratorium GMT-PGK 9,34

Petanda Kadar Keterangan

Page 19: Ckd Mbd Imlda

Laboratorium Meningkat MenurunFosfat +Kalsium + Fase awal

+ Fase lanjutCaxP + >55 mg2/dl2

HPTi +AFT + Kurang spesifikbALP + Lebih spesifik

Tabel 6. Pemantauan terhadap kadar kalsium, fosfat plasma, CaxP dan HPTi plasma9

PGK

stadium

LFG

(ml/min/1,73m2)

Frekuensi

pemeriksaan

Ca koreksi

total plasma

Fosfat plasma Produk

CaxP

HPTi

3 30-59 Setiap 12 bulan Nilai normal

laboratorium

2,7-4,6 mg/dl < 55 mg2/dl2 35-70 pg/ml

4 15-29 Setiap 3 bulan Nilai normal

laboratorium

2,7-4,6 mg/dl < 55 mg2/dl2 70-110 pg/ml

5 <15 Setiap bulan 8,4-9,5 mg/dl 3,5-5,5 mg/dl < 55 mg2/dl2 150-300

pg/ml

Sebagai panduan praktis pada pengelolaan GMT-PGK lebih dianjurkan

menggunakan parameter kadar kalsium dan fosfor plasma secara sendiri-sendiri

daripada menggunakan produk Ca x P, karena kadar fosfor serum lebih berfluktuasi

dibanding kadar kalsium.6,9

Alkali fosfatase total (AFT) adalah enzim yang mengurai fosfat dari protein

dan nukleotida, berfungsi optimal pada pH alkali. Nilai enzim ini tidak spesifik,

karena terdapat di seluruh tubuh, kadar tertinggi di liver dan tulang. Peningkatan AFT

bisa dijumpai pada gangguan liver dan tulang (peningkatan aktivitas tulang/metastasis

tulang). Bone specific alkaline phosphatase (b-ALP) adalah petanda yang lebih

spesifik untuk gangguan tulang. Berbeda dengan pemeriksaan AFT yang tersedia

luas, pemeriksaan b-ALP masih sangat terbatas.1,6,8,9

Baik AFT maupun b-ALP meningkat pada hiperparatiroid primer dan

sekunder, osteomalasia, metastasis tulang atau Paget’s disease. Kidney disease

improving global outcomes (KDIGO) menganjurkan pemeriksaan AFT sebagai

pemeriksaan tambahan, akan tetapi bila hasilnya meningkat harus diperiksa fungsi

Page 20: Ckd Mbd Imlda

hati untuk menyingkirkan adanya gangguan fungsi hati. AFT dapat digunakan untuk

memantau terapi atau menentukan status turnover bila hasil HPTi meragukan.6,8,9

3.1.2.2 Pemeriksaan pencitraan

Kelainan radiologis tulang pada GMT-PGK baru tampak setelah terjadi

kerusakan tulang yang berat, sehingga pemeriksaan radiologis tidak dapat dipakai

untuk diagnosis dini GMT-PGK. Pemeriksaan pencitraan (imaging) GMT-PGK

meliputi pemeriksaan radiologi, ekhokardiografi dan USG.6,9

Untuk mendeteksi kalsifikasi vaskuler dianjurkan dengan pemeriksaaan foto

polos abdomen posisi lateral. Ekhokardiografi dapat digunakan untuk mendeteksi

kalsifikasi katup jantung sebagai alternatif pemeriksaan computed tomography-base

imaging. USG kelenjar paratiroid umumnya dikerjakan untuk menentukan lokasi

kelenjar paratiroid sebelum dilakukan paratirodektomi. Pemeriksaan tersebut juga

bermanfaat untuk memberikan informasi klinis terhadap tingkat keparahan (severity)

serta respon terapi terhadap hiperparatiroid. USG kelenjar paratiroid bukan

dimaksudkan untuk diagnosis hiperparatiroid sekunder.6,9,34

3.1.2.3 Biopsi tulang

Biopsi tulang pada GMT-PGK merupakan cara diagnostik yang sangat baik

dan informatif untuk menentukan adanya kelainan dalam turnover tulang.

Biopsi tulang merupakan baku emas (gold standard). Idealnya semua pemeriksaan

biokimiawi dan non-invasif dirujuk dengan hasil biopsi tulang, akan tetapi biopsi

tulang tidak dilakukan secara rutin. 9,34

Indikasi biopsi tulang pada PGK adalah sebagai berikut:

Adanya fraktur tanpa trauma atau akibat trauma yang minimal.

Kadar HPTi intak antara 100-500 pg/ml disertai hiperkalsemia yang tidak dapat

dijelaskan, nyeri tulang yang hebat, atau peningkatan aktifitas bone spesific

alkaline phosphatase (bALP) yang tidak dapat dijelaskan.

Page 21: Ckd Mbd Imlda

Kecurigaan penyakit tulang aluminium (aluminium bone disease) atas dasar

gejala klinis atau riwayat terpapar aluminium.

Biopsi tulang mempunyai berbagai kelemahan antara lain merupakan metode

invasif dan mengakibatkan rasa sakit pada penderita, teknik dan peralatan yang sulit,

memerlukan tenaga histomorphometrist yang terlatih, proses yang sulit dan belum

adanya standarisasi nomenklatur. Oleh karenanya biopsi tulang tidak dikerjakan

secara rutin.6,9,12,34,35

3.2 Penatalaksanaan

3.2.1 Penatalaksanaan hiperfosfatemia

3.2.1.1 Diet rendah fosfor

Pada PGK stadium 3-5 dianjurkan diet rendah fosfor 800-1000 mg/hari.

Kadar fosfat serum dievaluasi setiap bulan setelah dimulai pemberian diet rendah

fosfor. Daftar kandungan fosfor dan kalsium di dalam makanan dapat dilihat pada

lampiran 1.6,9

3.2.1.2 Pemberian obat pengikat fosfat

Pada PGK stadium 3-4, kadar fosfor dipertahankan pada angka normal (2,7-

4,6 mg/dl), sedangkan pada stadium 5 kadar fosfor diusahakan mendekati normal.

Untuk kadar kalsium, pada PGK stadium 3-5 sebaiknya dipertahankan pada angka

normal.6,9

Pada PGK stadium 3-5, dianjurkan menggunakan pengikat fosfat untuk

mengelola hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang digunakan sesuai dengan preparat

yang tersedia dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya seperti

terlihat pada tabel 7 di bawah ini.6,9

Tabel 7. Obat-obat pengikat fosfat9,34

Pengikat fosfat Jenis Keuntungan Efek Samping / kerugian

Kalsium Murah Hiperkalsemia

karbonat Tersedia Kalsifikasikasi ekstraskeletal

Konstipasi

Kalsium asetat Kapasitas mengikat fosfat lebih tinggi dan

Hiperkalsemia

Page 22: Ckd Mbd Imlda

absorbsi kalsium lebih sedikit daripada kalsium karbonat

Kalsifikasi ekstraskeletal Konstipasi

Mengandung Magnesium

Beban kalsium lebih sedikit

Diare Potensi toksisitas magnesium Potensi hiperkalemia

Sevelamer Tidak meningkatkan beban kalsium

Memerlukan disus besar/ ukuran pil besar yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien

Menurunkan karbonat yang dapat meningkatkan asidosis metabolik

Berpotensi mempengaruhi absorpsi vitamin-vitamin larut lemak

Gangguan saluran cerna Mahal

Lanthanum carbonate

Tidak meningkatkan beban kalsium

Potensi akumulasi Lanthanum di tulang

Mengandung aluminium

Aluminium hidroksida

Kapasitas mengikat fosfat tinggi

Tidak menambah beban kalsium

Murah Tersedia

Berpotensi tinggi terjadi toksisitas aluminium dan gangguan mineralisasi tulang pada pemakaian jangka panjang

Konstipasi Gangguan gastrointestinal Rasa seperti kapur (chalky

taste)

Page 23: Ckd Mbd Imlda

Pada PGK stadium 3-5 dengan hiperkalsemia, pengikat fosfat yang

mengandung kalsium hendaknya tidak dipergunakan. Pada PGK dengan

hiperkalsemia, sebaiknya menggunakan pengikat fosfat yang tidak mengandung

kalsium (misalnya lanthanum carbonate, sevelamer, aluminium hidroksida). Bila

menggunakan pengikat fosfat yang mengandung aluminium, hanya boleh diberikan

untuk satu tahap terapi, maksimal 4 minggu.6,9,35

3.2.1.3 Dialisis yang adekuat

Tindakan dialisis hanya sedikit membuang fosfat. Klirens fosfat pada

hemodialisis adalah 32,5 mmol dalam 4 jam, sedang pada CAPD adalah sebesar 12

mol dalam 24 jam. Ekskresi fosfat juga dipengaruhi oleh jenis dialisat dan jenis

membran.6,9,33

3.2.2 Penatalaksanaan hipokalsemia

Pada dasarnya tidak diperlukan terapi khusus untuk hipokalsemia pada PGK

sebab dengan turunnya kadar fosfat setelah terapi hiperfosfatemia, kadar kalsium

akan naik dengan sendirinya, hal ini terjadi karena adanya keseimbangan

fisikokimiawi antara fosfat dan kalsium.6,9

3.2.2.1 Hipokalsemia pada PGK stadium 3-5

Penatalaksanaan hipokalsemia pada PGK stadium 3-5 dengan hiperfosfatemia

lebih diutamakan memakai pengikat fosfat yang mengandung kalsium.6,9

3.2.2.2 Hipokalsemia pada PGK stadium 5 dengan dialisis (PGK stadium 5D)

Penatalaksanaan hipokalsemia pada PGK stadium 5D lebih diutamakan

menggunakan cairan dialisat dengan kadar kalsium antara 1,25-1,50 mmol/l (2,5-3,0

mEq/l).6,9

Page 24: Ckd Mbd Imlda

3.2.3 Penatalaksanaan hiperparatiroid sekunder

3.2.3.1 Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4

Pemberian kalsitriol/vitamin D analog boleh diberikan pada PGK stadium 3-4.

Namun, pemeriksaan HPTi dianjurkan sebelum pemberian kalsitriol/vitamin D

analog. Calcitriol/vitamin D analog diberikan bila kadar HPTi > 70 pg/ml untuk PGK

stadium 3 dan > 110 pg/ml pada PGK stadium 4 (tabel 8).6,9,36

Tabel 8. Kadar optimal HPTi pada PGK9

Stadium PGKRentang LFG

(ml/men/1,73 m2)Target HPTi

3 30-59 35-70 pg/ml

4 15-29 70-110 pg/ml

5 < 15 atau dialisis 150-300 pg/ml

Syarat memulai terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4

adalah: nilai kalsium serum total < 9,5 mg/dl, nilai fosfor serum < 4,6 mg/dl dan

produk Ca x P < 55 mg2/dl2. Selain itu untuk data awal dianjurkan pemeriksaan foto

polos abdomen lateral. Dosis calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4 dapat

dilihat pada tabel 9 di bawah ini.6,9,36

Tabel 9. Rekomendasi dosis vitamin D9

HPTi plasma Pg/ml

Ca serummg/dl

P serum mg/ml

Dosis oral

Kalsitriol Paricalcitol Alfacalcidol Doxercalciferol

CKD 3 > 70

< 9,5 < 4,6 0,25

g/hari

1 g/hari

atau

2 g 3x/minggu

0,25 g /

hari

0,25 g 3x/

minggu

CKD 4>110

Untuk pemantauan terapi calsitriol/vitamin D analog pada PGK stadium 3-4,

selama terapi dengan kalsitriol/vitamin D analog, kalsium dan fosfat diperiksa satu

kali sebulan (selama tiga bulan) sesudah terapi dimulai, selanjutnya setiap 3 bulan.6,9

Page 25: Ckd Mbd Imlda

Bila HPTi plasma turun di bawah target, terapi kalsitriol/vitamin D analog

dihentikan dulu sampai nilai HPTi naik di atas target. Kemudian terapi diteruskan

dengan kalsitriol/vitamin D analog setengah dosis/hari. Bila HPTi masih tetap turun,

maka berikan terapi dengan setengah dosis selang sehari (alternate day).

Bila kalsium serum naik > 9,5 mg/dl tunda terapi kalsitriol/vitamin D analog

sampai kalsium < 9,5 mg/dl, kemudian lanjutkan dengan setengah dosis awal.

Bila fosfor serum naik > 4,6 mg/dl tunda terapi calsitriol/vitamin D analog.

Berikan pengikat fosfat sampai kadar fosfat < 4,6 mg/dl. Kemudian terapi

calsitriol/vitamin D analog dilanjutkan dengan dosis yang sama dengan keadaan awal.

Jika kadar HPTi turun hingga dua kali di bawah kadar normal sebaiknya

pemberian kalsitriol/vitamin D analog dikurangi atau dihentikan.6,9,36

3.2.3.2 Pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium 5D

Pasien dalam dialisis (hemodialisis atau dialisis periitoneal) dengan kadar

HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk mendapat kalsitriol/vitamin D analog

(paricalcitol, alfacalcidol, atau doxercalciferol).6,9

Syarat pemberian kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK 5D yaitu

diberikan pada pasien dengan kadar kalsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar HPT

plasma 300-600 pg/ml, atau kadar kalsium serum < 10 mg/dl pada HPTi plasma 1000

pg/dl. Dosis kalsitriol/vitamin D analog pada pasien PGK stadium 5 dengan

hemodialisis berdasarkan kadar HPTi, kalsium, fosfor dan produk Ca x P

diperlihatkan pada tabel 10 di bawah ini.6,9,36

Page 26: Ckd Mbd Imlda

Tabel 10. Dosis Vitamin D pada pasien hemodialisis berdasarkan kadar HPTi,

kalsium, fosfor dan produk Ca x P6,9

HPTi plasma (pg/ml)

Ca serum (mg/dl)

Ca serum (mg/dl)

ProdukCa x P

Dosis Kalsitrioltiap HD

DosisParicalcitol

tiap HD

DosisDoxercalciferol

tiap HD

300-600 < 9,5 < 5,5 < 55 0,5-1,5 g (i.v)

0,5-1,5 g (oral)

2,5 g (i.v) 5 g (oral)

2 g (i.v)

600-1000 < 9,5 < 5,5 < 55 1-3 g (i.v)

1-4 g (oral)

6-10 g (i.v) 5-10 g (oral)

2-4 g (i.v)

> 1000 < 10 < 5,5 < 55 1-5 g (i.v)

3-7 g (oral)

10-15 g(i.v) 10-20 g (oral)

4-8 g (i.v)

Pada PGK stadium 5D pemberian kalsitriol/vitamin D analog secara

intermiten lebih efektif dalam menurunkan kadar HPTi serum dibandingkan dengan

pemberian secara oral tiap hari (Gambar 7).

Cek Kadar PTHi : > 300 pg/ml

PTHi < 30% PTHi > 300Ca < 11.5

Ca x P < 70

PTHi < 30-60Ca < 11.5

Ca x P < 70

PTHi < 150Ca > 11.5

Ca x P > 75

Ca > 11.5Ca x P > 75

Dosis 2 g setiap HD

Dosis tetap Dosis 2 g setiap HD

Stop sementara

Dosis diturunkan 2 mg atau stop sementara

Lakukan penurunan dosis seperti di atas tiap 2-4 minggu hingga diperoleh dosis untuk mencapai

target PTHi 150-300

PTHi < 150-300Ca < 11.5

Ca x P < 70

Ca < 10.4Ca x P < 65

Lanjutkan kembali dengan dosis 2 µg

setiap HD

PTHi < 150-300Ca < 11.5

Ca x P < 70

Dosis 0,04-0,1g/Kg BB (g setiap HDatau

PTHi/120 (gsetiap HD)

Dosis awal tidak melebihi 10 g setiap HD

PTHi < 150Ca < 11.5

Ca x P < 70PTHi 60%

Dosis titrasi Cek PTHi setelah 2-4 minggu Cek kadar Ca & P tiap minggu

Cek PTHi setelah 2-4 minggu Cek kadar Ca & P tiap minggu

Cek PTHi setiap 3 bulan Cek Ca & P pertahankan dosis setiap HD

Ca : mg/dlP : mg/dlPTHi : pg/dl

Page 27: Ckd Mbd Imlda

Gambar 7. Algoritma terapi injeksi paricalcitol36

Pada pasien PGK stadium 5 dengan dialisis peritoneal dapat diberikan

kalsitriol oral dengan dosis 0,5-10 mcg atau doxercalciferol oral 2,5-5,0 mcg.

Page 28: Ckd Mbd Imlda

Sebagai pemantauan, kadar kalsium dan fosfat serum diperiksa tiap 2 minggu

selama 1 bulan dan sesudah itu tiap bulan. Kadar HPTi plasma diperiksa setiap 1

bulan dan kemudian tiap 3 bulan sesudah kadar HPTi mencapai target.6,9,36

3.2.3.3 Pemberian calcimimetic6,9,20

Calcimimetic adalah allosteric modulator dari kalsium reseptor, mempunyai

efek meningkatkan sensitivitas kalsium sensing receptor, dengan demikian akan

meningkatkan kalsium intra sel dan menurunkan sekresi hormon paratiroid.

Calcimimetic tidak meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor di saluran cerna, oleh

karena itu pemberian obat ini tidak mempengaruhi kadar kalsium dan fosfor di dalam

plasma. Contoh preparat calcimimetic addalah cinacalcet.

Indikasi pemberian calcimimetic adalah pada PGK dengan kadar HPT

melebhi target sesuai stadium PGK dan kalsium serum > 8,4 mg/dl.Hiperfosfatemia

tidak merupakan kontraindikasi pemberian calcimimetic.

Dosis obat calcimimetic (cinacalcet) 30 mg satu kali per hari. Dosis dapat

dinaikkan secara bertahap 60 mg, 90 mg, 120 mg, 180 mg sesuai kebutuhan untuk

mencapai target HPTi 150-300 pg/ml. Dosis maksimal 180 mg per hari.

Pemberian calcimimetic cenderung akan menurunkan kadar kalsium serum,

karena itu diperlukan pemantauan kadar kalsium dan penyesuaian dosis sesuai

dengan kadar kalsium serum. Bila kadar kalsium antara 7,5-8,4 mg/dl atau bila

ditemukan gejala hipokalsemia, berikan pengikat fosfat mengandung kalsium

dan/atau kalsitriol untuk meningkatkan kadar kalsium. Bila kadar kalsium < 7,5

mg/dl atau gejala hiokalsemia menetap dan dosis kalsitriol tidak dapat dinaikkan,

pemberian calcimimetic dihentikan sampai kadar kalsium ≥ 8,4 mg/dl dan/atau gejala

hipokalsemia teratasi. Setelah itu mulai pemberian calcimimetic dengan dosis paling

rendah. Bila HPTi < 150-300 pg/ml, pemberian calcimimetic dan/atau kalsitriol

dihentikan atau dosis diturunkan.

3.2.3.4 Paratiroidektomi6,9,26

Page 29: Ckd Mbd Imlda

Paratiroidektomi diindikasikan pada pasien dengan hiperparatiroid sekunder

berat yang ditandai dengan kadar HPTi menetap > 800 pg/ml (88,0 pmol/l) serta

berhubungan dengan hiperkalsemia dan atau hiperfosfatemia yang tidak teratasi

dengan obat-obatan. Selain itu paratiroidektomi juga diindikasikan pada kadar HPTi

500 pg/ml-800 pg/ml dengan keluhan yang menonjol sepert pruritus yang sangat

mengganggu, nyeri tulang dan sendi yang progresif, serta adanya kalsifilaksis.

Sebelum paratiroidektomi, dilakukan USG kelenjar paratiroid untuk

menentukan lokasi kelenjar paratiroid. Pemeriksaaan tersebut juga bermanfaat untuk

memberikan informasi klinis terhadap tingkat keparahan (severity) serta respon terapi

terhadap hiperparatiroid sekunder. Sebelum paratiroidektomi, obat pengikat fosfat

dihentikan atau diturunkan dosisnya sesuai dengan kadar fosfor.

Paratiroidektomi dapat dilakukan melalui tindakan bedah (surgical) dan non

bedah (medical). Paratiroidektomi bedah dapat berupa paratiroidektomi subtotal, atau

paratiroidektomi total dengan implantasi kelenjar pada lengan atas. Paratiroidektomi

non bedah dapat dilakukan dengan penyuntikan alkohol absolut atau paricalcitol ke

kelenjar paratiroid.

Pasca paratiroidektomi perlu dilakukan pemantauan kadar kalsium ion secara

ketat, yaitu sebagai berikut:

Kadar kalsium ion diukur tiap 4-6 jam pertama dalam 48 sampai 72 jam pasca

operasi, serta dua kali sehari sesudahnya sampai kadarnya stabil normal (4,6-5,4

mg/dl).

Jika kadar kalsium ion < 3,6 mg/dl atau kalsium total < 7,2 mg/dl, segera berikan

infus kalsium glukonas 10 mg per jam dalam cairan isotonik sampai mencapai

kadar kalsium ion dalam batas normal (4,6-5,4 mg/dl).

Infus kalsium diturunkan bertahap bila kadar kalsium ion mencapai kadar

normal.

Jika pasien sudah mampu menerima asupan per oral, pasien sebaiknya mendapat

kalsium karbonat 1-2 g, 3 kali sehari, serta kalsitriol sampai 2 µg/hari.

Page 30: Ckd Mbd Imlda

Pengobatan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mencapai kalsium

terionisasi dalam batas normal.

3.2.4 Penatalaksanaan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik6,9,31,33

Kalsium dapat menumpuk di tunika media dan intima pembuluh darah.

Khusus pada pasien GMT-PGK tumpukan terutama pada tunika media, sehingga

terjadi kekakuan pembuluh darah yang menyebabkan gangguan kardiovaskuler.

Pencegahan kalsifikasi vaskuler dan kalsifikasi metastatik pada pasien dialisis

terdiri dari:

Mempertahankan kadar fosfor pada kisaran 3,5 -5,5 mg/dl.

Mempertahankan Ca x P kurang dari 55 mg2/dl2.

Mempertahankan HPTi antara 150-300 pg/ml.

Mengontrol hipertensi.

Menghindari keseimbangan kalsium yang positif:

a. Memberikan kalsium dialisat dengan konsentrasi 2,5 mEq/l.

b. Mengurangi asupan kalsium, termasuk dari pengikat fosfat < 2000 mg/hari.

Menghindari penekanan berlebihan kelenjar paratiroid dan tulang adinamik.

Mengendalikan kadar glukosa darah pada diabetes.

Berhenti merokok.

Meminimalkan proses inflamasi, antara lain dengan menggunakan ultrapure

(pyrogen-free) dialisate.

Mengurangi penggunaan warfarin.

3.2.5 GMT-PGK pada transplantasi ginjal6,9

Pasca transplantasi ginjal, GMT tidak segera pulih, oleh karenanya perlu

dilakukan pemantauan terhadap kadar serum kalsium, fosfor dan HPTi plasma.

Pemakaian obat-obat imunosupresan pasca transplantasi, diantaranya steroid,

dapat menyebabkan komplikasi tulang yang akan memperberat GMT yang belum

pulih.

Page 31: Ckd Mbd Imlda

Dalam minggu pertama sesudah transplantasi ginjal, kadar fosfor serum harus

diukur tiap hari. Frekuensi pemeriksaan selanjutnya dapat dilihat pada tabel 11.

Resipien transplantasi ginjal dengan kadar fosfor serum rendah yang menetap (< 2,5

mg/dl) harus diterapi dengan suplementasi fosfor.

Tabel 11. Frekuensi pemantauan laboratorium9

Parameter 3 bulan pertama 3 bulan sampai 1 tahun

Kalsium Tiap 2 minggu Tiap bulan

Fosfor Tiap 2 minggu Tiap bulan

HPTi Tiap bulan Tiap 3 bulan

Untuk memperkecil kehilangan massa tulang serta osteonekrosis, dosis obat

steroid harus disesuaikan hingga mencapai dosis terendah yang masih efektif.

Densitas massa tulang pasca transplantasi ginjal sebaiknya diukur dengan dual

energy X-ray absorptiometry (DEXA) untuk menentukan adanya osteoporosis.

DEXA scan dilakukan pada saat transplantasi ginjal, setahun dan 2 tahun sesudah

transplantasi ginjal. Jika BMD t-score sama atau kurang dari -2 saat transplantasi

ginjal atau pada evaluasi sesudahnya, terapi dengan amino-bifosfonat parenteral harus

dipertimbangkan.

Pencegahan dan terapi GMT pasca transplantasi ginjal meliputi:

Pencegahan umum

a. Mengatur terapi imunosupresan

- Gunakan dosis steroid serendah mungkin dan pertimbangkan terapi selang

sehari (alternate day)

- Gunakan dosis steroid sesuai protokol transplantasi dengan

mempertimbangkan efek samping terhadap tulang

b. Bila diuretika diperlukan sebaiknya gunakan golongan thiazide dan hindari

diuretika loop

Page 32: Ckd Mbd Imlda

c. Perbaiki fungsi gonad dan tiroid

d. Hentikan merokok

e. Olahraga

f. Pengobatan hiperparatiroid persisten

- Tatalaksana kalsium secara optimal

- Pemberian vitamin D secara optimal

- Gunakan calcimimetic bila memungkinkan

- Paratiroidektomi

g. Pengobatan penyebab lain dari hiperkalsemia

h. Pengobatan hipofosfatemia persisten

i. Pengobatan hipomagnesemia persisten

Terapi vitamin D

a. Kolekalsiferol atau ergokalsiferol 600 Unit sampai 1200 Unit per hari

b. Senyawa vitamin D aktif

- Alfacalsidol

- Calcitriol

- Doxercalciferol

- Paricalcitol

Suplementasi kalsium

- Asupan kalsium 1000 mg per hari

- Wanita menopause 1500 mg per hari

Bifosfonat

a. Penggunaan bifosfonat dipertimbangkan:

- Sebagai pengobatan osteopenia berat atau fraktur pada pasien dengan LFG

stabil > 50-60 ml/menit/1,73 m2.

- Pengobatan osteoporosis pada menopause

- Sebagai profilaksis (data yang mendukung masih belum cukup)

b. Bifosfonat harus dihindarkan apabila:

- LFG < 40 ml/menit/m2

Page 33: Ckd Mbd Imlda

- Hiperparatiroid sekunder atau tersier

- Hipervitaminosis D

- Pada wanita pre menopause

3.2.6 Asidosis metabolik pada GMT-PGK6,9

Pada keadaan asidosis metabolik tulang akan melakukan mekanisme buffer.

Hal ini akan memperberat gangguan mineral dan tulang. Pada PGK stadium 3-5 kadar

HCO3 harus diukur. Frekuensi pengukuran kadar HCO3 serum dapat dilihat pada tabel

12 di bawah ini.

Tabel 12. Frekuensi pengukuran kadar HCO3

Tahap PGK LFG (ml/menit/1,73 m2) Frekuensi pengukuran

3 30-59 tiap 12 bulan

4 15-29 tiap 3 bulan

5 < 15 tiap 3 bulan

Dialisis tiap bulan

Atasi asidosis metabolik dengan pemberian bikarbonat, target HCO3 > 22

mEq/l.

3.2.7 Intoksikasi aluminium pada GMT-PGK6,9,35

Untuk mencegah toksisitas aluminium, pemberian preparat mengandung

aluminium secara rutin dihindari, kadar aluminium dalam dialisat hendaknya < 10

µg/l. Perlu dilakukan pemeriksaan aluminium serum setiap tahun, dan setiap 3 bulan

pada yang memakai preparat aluminium. Kadar normal aluminium serum < 20 µg/l.

Bila didapati kenaikan aluminium serum (60-100 µg/l) atau ada gejala dan

tanda keracunan aluminium, atau sebelum operasi paratiroid, bila pasien pernah

terpapar aluminium, perlu dilakukan uji deferoxamine (DFO).

Page 34: Ckd Mbd Imlda

Untuk menghindari neurotoksisitas yang diinduksi DFO pada pasien dengan

aluminium serum > 200 µg/l, DFO ditunda sampai pasien selesai menjalani

hemodialisis intensif (6 hari dalam seminggu) dengan membran dialisis high-flux dan

dengan kandungan aluminium dalam dialisat < 5 µg/l, sampai kadar aluminium

serum sebelum dialisis mencapai < 200 µg/l.

Uji DFO dilakukan dengan memberi infus DFO 5 mg/kgBB pada jam terakhir

dialisis, setelah terlebih dahulu mengambil darah untuk pemeriksaan aluminium.

Aluminium diperiksa 2 hari kemudian, sebelum dialisis berikutnya. Uji dianggap

positif bila ada kenaikan kadar aluminium ≥ 50 µg/l.

Keberadaan penyakit tulang aluminium dapat diprediksi bila terjadi kenaikan

kadar aluminium serum setelah pemberian DFO digabung dengan kadar HPTi plasma

< 150 pg/ml (16,5 pmol/l). Baku emas diagnosis penyakit tulang aluminium adalah

biopsi tulang.

Pada penyakit tulang aluminium biopsi tulang menunjukkan aluminium-

staining pada permukaan (15-25%). Hasil yang sama sering dijumpai pada penyakit

tulang adinamik atau osteomalasia.

BAB IV

RINGKASAN

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah

sekelompok gangguan tulang pada PGK yang merupakan konsekuensi

Page 35: Ckd Mbd Imlda

hiperfosfatemia setelah terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Sindrom ini mencakup

salah satu atau kombinasi dari kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan

metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan Vitamin D; kelainan tulang dalam hal

turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya serta kalsifikasi

vaskuler atau jaringan lunak lain.

Diagnosis GMT-PGK didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan pencitraan (imaging) dan biopsi tulang.

Kematian penderita terutama disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler dan

yang terkait dengan kalsifikasi kardiovaskuler. Banyak usaha yang telah dilakukan

untuk penanggulangan hiperfosfatemia pada PGK ini. Usaha-usaha tersebut adalah ,

1) restriksi asupan fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat (phosphate binder), 3)

meningkatkan efektifitas dialisis, dan 4) pemakaian bahan kalsimemetik

(calcimimetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, KDOQI

menargetkan kadar fosfat serum penderita PGK adalah 3,5 – 5,5 mg/dl, dan perkalian

kadar fosfat dan kalsium kurang dari 55 mg2/dl2. Tetapi target ini masih belum

sepenuhnya bisa dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia

pada pasien PGK. USRDS (United States Renal Data System) 1993, mencatat

prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah diberikan

pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat (dietary

intervention), dialisis yang ketat dan pemakaian obat-obatan yang dilakukan selama

ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam mengatasi

hiperfosfatemia. Namun setidaknya, penatalaksanaan yang baik dan komprehensif

pada penderita GMT-PGK dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.