35
CEDERA KEPALA A. Definisi Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah (bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. B. Klasifikasi Cedera Kepala Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 hal yaitu (BT&CLS 2011) : 1. Mekanisme cedera kepala

DocumentCK

Embed Size (px)

Citation preview

CEDERA KEPALA

A. Definisi

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak

dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius

diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil

kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak

akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan

menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan

keperawatan penyakit bedah (bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro

Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu

gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai

pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya

kontinuitas otak.

B. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 hal yaitu (BT&CLS 2011) :

1. Mekanisme cedera kepala

Cedera kepala dibagi menjadi cedar kepala tumpul dan cedar kepala

tembus/ tajam. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian atau pukulan akibat

benda tumpul. Sedangkan cedera kepala luka tembus disebabkan oleh

luka tembak atau luka tusuk.

2. Berat ringannya cedera kepala ringan

Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala

digunakan metode penilaian Glassgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai

respon buka mata pasien, respon bicara / verbal pasien dan respon

motorik. Nilai normal GCS pada pasien cedera kepala ringan adalah

berkisar 15-14 sehingga terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30

menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta

seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55%).

Sedangkan untuk cedera kepala sedang (CKS) nilai GCS berkisar antara

9-13, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung). Dan cedera

kepala berat (CKB) nilai GCS berkisar 3-8, hilang kesadaran lebih dari

24 jam.

3. Morfologi Cedera Kepala

a) Fraktur tengkorak (cranial)

Fraktur cranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak,

dapat berbentuk garis/ linear, atau bintang atau terbuka maupun

tertutup. Adanya tanda klinis fraktur dasar tengkorak merupakan

petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain adanya ekomosis periorbital (raccoon

eyes), ekomosis retroaurikuler (battle sign), kebocoran cairan

cerebrospinal (CSS) seperti rhinorrea dan otorrhea, paresis nervus

fasialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau

beberapa hari setelah mengalami trauma. Fraktur cranial terbuka

dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala

dengan permukaan otak karena robeknya selaput durameter. Adanya

fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan

adanya benturan yang cukup hebat/ keras.

b) Lesi intracranial

Lesi intracranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus,

walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang

termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural,

dan perdarahan intraserebral.

1) Cedera otak difus

Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran

dan mungkin mengalami amnesia retro/ anterograd. cedera otak

difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari bagian

otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnue yang

segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan

istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan

trauma otak berat dengan prognosis yang buruk, yang

menunjukkan adanya kerusakan pada akson yang terlihat pada

manifestasi klinisnya.

2) Perdarahan epidural

Perdarahan relative jarang ditemukan (0,5%) dari semua

penderita cedera kepala dan yang mengalami coma hanya 9%

dari semua penderita cedera kepala. Perdarahan epidural terjadi

diluar duramater tetapi masih berada di dalam rongga tengkorak,

dengan cirri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung. Sering terletak di area temporal atau tempoparietal

yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningeal media,

akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun dapat juga

terjadi akibat robekan vena besar.

3) Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan

epidural (30% pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi

akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks serebri.

Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan

hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan

prognosisnya pun lebih buruk bila dibandingkan dengan

perdarahan epidural.

4) Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio dan perdarahan intraserebral sering terjadi (20-30%

pada cedera otak berat). Sebagian besar terjadi di areal lobus

frontal dan lobus temporal, walaupun demikian dapat juga terjadi

pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri didapat dalam

waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma, kemudian

berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan

tindakan operasi segera.

C. Pemeriksaan dengan Glasgow Coma Seale (GCS)

GCS memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran

pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang

luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami

cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam pengkahian

neurologik yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi motorik pasien,

verbal dan respon membuka mata. Elemen-elemen ini selanjutnya dibagi

menjadi tingkat-tingkat yang berbeda, dan respon-respon yang baik yang

ditunjukkan pasien terhadap stimulus. Berikut adalah skala GCS dan

tingkatannya (Smeltzer & Bare 2002):

Respon membuka mata (eye opening)

Membuka mata : Spontan 4

Dengan perintah 3

Dengan Nyeri 2

Tidak berespon 1

Respon bicara (verbal)

Berbicara dengan : Jelas dan baik 5

Mengacau (bingung) 4

Kata-kata tidak tepat 3

Suara tidak jelas 2

Tidak berespon 1

Respon motorik

Berespon dengan : Dengan Perintah 6

Melokalisasi nyeri 5

Menarik area yang nyeri 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2

Tidak berespon 1

D. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Tekanan intrakranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,

volume darah intrakranial, dan cairan serebrospinal (CSS) di dalam tengkorak

pada satu satuan waktu. Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai

tekanan dalam rongga cranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam

ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006). Menurut Morton, et.al tahun

2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg

dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan

intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak

(sekitar 80% dari volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah

(sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006). Monro–Kellie doktrin menjelaskan

tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap

(Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial sama, maka TIK akan

konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi

dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan. Perubahan

salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan

menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al, 2005).

Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan

serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi

menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006). Salah satu hal yang

penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion

pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang

diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk

metabolisme otak (Black&Hawks, 2005). CPP dihasilkan dari tekanan arteri

sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, dengan rumus CPP = MAP

– ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg. MAP adalah rata-

rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan

diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi

peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak

adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al,

2005). Jika MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral

berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP

(Black&Hawks, 2005). Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi,

yaitu kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi

perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Morton, et.al, 2005).

Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh

darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter

pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan

gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan

darah seperti batuk, suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak

sehingga juga meningkatkan tekanan TIK. Monitoring TIK paling sering

dilakukan pada trauma kepala dengan situasi (Thamburaj, Vincent, 2006):

1. GCS kurang dari 8

2. Mengantuk/drowsy dengan hasil temuan CT scan

3. Post op evakuasi hematoma

4. Klien risiko tinggi seperti usia diatas 40 tahun, tekanan darah rendah,

klien dengan bantuan ventilasi. Tidak ada yang dapat dicapai jika

monitoring dilakukan pada klien dengan GCS kurang dari 3 (Thamburaj,

Vincent,2006).

Untuk mengetahui dan memonitor tekanan intrakranial, dapat digunakan

metode non invasif atau metode invasif. Metode non invasif meliputi

(Thamburaj, Vincent, 2006) :

1. Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda

peningkatan TIK. Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil

normalnya dianggap tanda peningkatan TIK.

2. Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound

“time of flight” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk

mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan

ekstra kutaneus.

3. Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak

jika ada, dapat juga memberi tanda.

Sedangkan metode invasif meliputi (Thamburaj, Vincent, 2006) :

1. Monitoring intraventrikular menjadi teknik yang popular, terutama pada

klien dengan ventrikulomegali. Keuntungan tambahan adalah dapat juga

mengalirkan cairan serebrospinal. Cara ini tidak mudah dan dapat

menimbulkan perdarahan dan infeksi (5%).

2. Sekrup dan palang dan kateter subdural. Sekrup Richmond dan palang

Becker digunakan ekstradural. Cairan dimasukkan oleh kateter ke dalam

ruang subdural, kemudian dihubungkan ke system monitoring tekanan

arteri. Cara ini hemat biaya dan berguna secara adekuat.

3. “Ladd device” digunakan secara luas. Cara ini memerlukan sistem serat

optik unutk mendeteksi adanya distorsi pada cermin kecil dalam sistem

balon, dapat digunakan subdural, ekstra dural dan ekstra kutaneus.

4. “Cardio Serach monitoring sensor” digunakan subdural atau ekstradural.

Sistem ini jarang digunakan.

5. Peralatan elektronik (Camino dan Galtesh) popular di dunia.

6. Peralatan yang ditanam secara penuh diperlukan oleh klien yang

memerlukan monitoring TIK jangka panjang, seperti pada tumor otak,

hidrocephalus, atau penyakit otak kronik lainnya. Cosmon telesensor

dapat ditanam sebagai bagian dari sistem shunt.

7. Lumbal pungsi dan pengukuran tekanan cairan serebrospinal tidak

direkomendasikan.

Masing-masing cara memilki keuntungan dan kerugian/kelemahan. Monitor

TIK yang digunakan sebaiknya memiliki kapabilitas 0 – 100 mmHg, akurasi

dalam 1-20 mmHg + 2 mmHg, dan kesalahan maksimum 10% dalam rentang

10-100 mmHg (Morton, et.al, 2005). Klien dengan kenikan TIK perlahan

seperti klien dengan tumor otaklebih toleran terhadap kenaikan TIK daripada

klien dengan kenaikan TIK mendadak, seperti klien dengan hematoma

subdural akut (Morton, et.al, 2005).

E. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung

terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang

membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam

rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu

objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang

berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian

dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah

membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu,

cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya

(contra coup). Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata.

Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai

kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Cedera yang terjadi

bisa setempat ataupun menyeluruh. Kerusakan yang terjadi akibat cedera

mengakibat sawar darah otak rusak dimana akan mengakibatkan edema

serebral. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar

pada otak  menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke

daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan

penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya.

Vasodilatasi yang terjadi juga menyebabkan meningkatnya permiabilitas

pembuluh darah yang kemudian menyebabkan berpindahnya protein dan

makromolekul lainnya ke ruang ekstraseluler dan kadar air serta natrium juga

akan meningkat pada ruang ekstraseluler. Karena tidak terdapat ruang lebih

dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan

meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.

Penurunan aliran darah ke otak, akan menimbulkan gejala perubahan tingkat

kesadaran, perubahan respon motorik/sensorik, peningkatan tekanan darah

dan pernapasan, serta penurunan nadi. Peningkatan kandungan cairan otak

(edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga

48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan 

penyelamatan hidup.

Penurunan aliran darah ke otak yang tidak segera ditanggulangi akan

mengakibatkan hipoksia, kemudian iskemia jaringan otak dan nekrosis

jaringan ota. Nekrosis yang terjadi akan menyebabkan defisit neurologis.

Defisit neurologis pada persepsi dan kognitif akan menimbulkan gejala

penurunan kesadaran, kelemahan, dan gangguan persepsi sensoris. Kemudian,

defisit neurologis akan menyebabkan gangguan fungsi medulla oblongata

sehingga mengakibatkan gangguan fungsi respirasi yang muncul dengan

gejala peningkatan frekuansi pernapasan. Selain itu, defisit neurologis juga

menyebabkan gangguan syaraf vagal dan mengakibatkan penurunan fungsi

kontraksi otot polos lambung dan penurunan kemampuan absorbsi makanan

seperti nausea, vomitus, dan makanan tidak tercerna.

F. MANIFESTASI KLINIS.

1. Nyeri yang menetap atau setempat.

2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.

3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan

darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda

battle),otorea serebro spiral (cairan cerebros piral keluar dari telinga),

minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).

4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.

5. Penurunan kesadaran.

6. Pusing / berkunang-kunang.

7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler

8. Peningkatan TIK

9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas

10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. CT Scan

Computed Tomography (CT) membuat penggunaan sinar sempit

dari sinar x untuk memindai kepala dalam lapisan yang berurutan.

Bayangan yang dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari

otak, dengan membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang

kepala, korteks, struktur subkortikal, dan ventrikel. Lesi-lesi pada otak

terlihat sebagai variasi kepadatan jaringan yang berbeda dari jaringan

otak normal sekitarnya. Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa

zat kontras dan bila dengan zat kontras, maka zat kontras dimasukkan

melalui intravena. Pasien berbaring diatas meja yang dapat disesuaikan

dengan kepala pada posisi terfiksasi, sementara sistem opemindaian

berputar di sekitar kepala pasien. Pasien harus dibaringkan dengan kepala

pada posisi yang sangat mantap dan dengan hati-hati untuk tidak bicara

dan menggerakkan wajah, karena gerakan kepala menyebabkan

penyimpangan pada bayangan. Bayangan ditunjukkan pada osiloskop

atau monitor tv dan difoto.

2. Pencitraan Resonans Magnetik (MRI)

MRI menggunakan medan magnetik untuk mendapatkan gambaran

daerah yang berbeda pada tubuh. MRI mempunyai potensian untuk

mengidentifikasi keadaan abnormal cerebral dengan mudah dan lebih

jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi

tentang perubahan kimia dalam sel, juga memberikan informasi pada

dokter dalam memantau respon tumor terhadap pengobatan. MRI tidak

menyebabkan radiasi ion. Sebelum pasien dimasukkan kedalam ruang

MRI, semua benda-benda logam dilepaskan, demikian pula kartu kredit.

Baringkan pasien dengan posisi datar di tempat yang disediakan yang

digerakkan masuk ke tabung yang mengandung magnet. Proses

pemindaian ini tidak nyeri tetapi pasien mendengar bunyi dentuman pada

gulungan magnet sebagai getaran medan magnet. Karena proses

pemindaian MRI menggunakan tabung yang sempit pasien dapat

mengalami klaustrufobia.

3. Angiography Cerebral

Angiography cerebral adalah proses penyelidikan dengan

menggunakan sinar x terhadap sikrulasi cerebral setelah zat kontras

disuntikkan ke dalam arteri yang dipilih. Angiografi cerebral adalah alat

yang digunakan untuk menyelidiki penyakit vaskular, aneurisma, dan

malformasi arterio vena. Hal ini sering dilakukan untuk menentukan

letak, ukuran dan proses patologis. Dan juga digunakan untuk mengkaji

keadaan yang baik dan adekuatnya sirkulasi cerebral. Kebanyakan

angiografi cerebral dilakukan dengan memasukkan kateter melalui arteri

femoralis diantara sela paha dan masuk menuju pembuluh darah bagian

atas. Prosedur ini juga dikerjakan dengan tusukan langsung pada arteri

karotis atau arteri vertebral atau dengan suntikan mundur ke dalam arteri

brakialis dengan zat kontras. Pasien harus dalam keadaan hidrasi yang

baik dan cairan yang jernih yang selalu diijinkan selama waktu

pemeriksaan. Sebelum menuju ruang radiologi, pasien diinstruksikan

untuk berkemih. Lokasi denyutan pembuluh darah perifer yang tepat

ditandai dengan vena. Pasien diminta untuk tidak bergerak selama proses

pencitraan dan diberitahu tentang adanya rasa hangat singkat diwajah,

belakang mata, atau rahang, gigi, lidah, dan bibir dan rasa logam ketika

agens kontras diinjeksikan. Setelah sela paha dicukur dan disiapkan,

pasien diberikan anastesi local untuk mencegah nyari pada saat daerah

yang telah disiapkan ditusuk dan untuk menurunkan spasme arteri.

Kateter dimasukkan ke dalam arteri femoralis, dialirkan NaCl 0,9% dan

Heparin dan diisi zat kontras. Fluoroskopi digunakan untuk mengarahkan

kateter masuk ke dalam pembuluh darah yang tepat. Selama penyuntikan

zat kontras, terlihat bayangan sirkulasi vena dan arteri yang melalui otak.

4. Pungsi Lumbal

Lumbar puncture adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal

dengan memasukan jarum kedalam ruang subarakhnoid. Test ini

dilakukan untuk pemeriksaan cairan serebrospinali,mengukur dan

mengurangi tekanan cairan serebrospinal,menentukan ada tidaknya darah

pada cairan serebrospinal, untuk mendeteksi adanya blok subarakhnoid

spinal,dan untuk memberikan antibiotic intrathekal ke dalam kanalis

spinalterutama kasus infeksi. (Brunner and Suddarth’s, 1999, p

1630). Tujuannya untuk mengidentifikasi adanya tekanan intrakarnial

/intraspinal dan mengidentifikasi adanya darah dalam CSF akibat trauma

atau dicurigai adanya perdarahan subarachnoid. Paparkan daerah lumbal.

Pasien diposisikan di ujung saping tempat tidur atau meja pemeriksaan

dengan bokong menghadap ke dokter,paha dan tungkai difleksikan

semaksimal mungkin meningkatkan rongga antara prosesus spina

vertebra, untuk mempercepat masuknya jarum ke ruang subarakhnoid.

Bantal kecil ditempatkan di bawah kepala pasien untuk mempertahankan

spina dalamposisi lurus; mungkin juga bantal kecil ditempatkan diantara

tungkai untuk mencegah tungkai atas berputar ke depan. Perawat

membantu pasien mempertahankan kepala pasien untuk menghindari

pergerakan yang tiba-tiba, karena akan menyebabkan trauma. Pasien

dianjurkan untuk relaks dan diinstruksikan bernafas secara normal,

karena hiperventilasi akan menurunkan meningginya tekanan. Perawat

menggambarkan prosedur step demi step kepada pasien selama proses

berlangsung. Dokter membersihkan tempat penusukan dengan larutan

antiseptic. Anestesi local disuntikan ke tempat tempat penusukan dan

jarum spinal dimasukan keruang subarakhnoid melalui interspace lumbal

ketiga dan keempat atau kelima. Spesimen CSF dikeluarkan dan biasanya

ditampung dalam tiga ples, diberi label. Jarum dicabut. Kassa

ditempelkanpada tempat penusukan.

H. PENATALAKSANAAN

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat

luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk

mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum

laserasi ditutup. Pengelolaan cedera kepala menurut berat ringannya yaittu :

1. Cedera kepala ringan (GCS = 14-15)

Penderita dengan cedera kepala yang dibawa ke unit gawat darurat (UGD)

RS kurang lebih 80% dikategorikan dengan cedera kepala ringan, pendeita

tersebut masih sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan

cedera kepala yang dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat hilangnya

kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama pada kasus

pasien dengan pengaruh alkohol atau obat-obatan. Sebagian besar

penderita cedera kepala ringan dapt sembuh dengan sempurna, walaupun

mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil. Pemeriksaan CT scan idealnya

harus dilakukan pada semua cedera kepala ringan yang disertai dengan

kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit, kepala hebat,

GCS < dari 15 atau adanya defisit neurologis fokal, foto servical juga

harus dibuat jika terdapat nyeri pada palpasi leher. Pemeriksaan foto polos

dilakukan untuk mencari fraktur linear atau depresi pada servikal, fraktur

tulang wajah ataupun adanya benda asing di daerah kepala, akan tetapi

harus diingat bahwa pemeriksaan foto polos tidak boleh menunda transfer

penderita/medevacke RS yang lebih memadai. Apalagi bila ditemukan

adanya gejala neurologis yang abnormal, haris segera dikonsultasikan pada

ahli bedah saraf. Bila penderita cedera kepala mengalami asimtopmatis,

sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama beberapa jam dan

dilakukan pemeriksaan ulang. Bila kondisi penderita tetap normal maka

dapat dianggap penderita aman. Akan tetapi bila penderita tidak sadar

penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsangan verbal maupun

tulisan, krputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang.

2. Cedera kepala sedang (GCS = 9-13)

Dari seluruh penderita cedera kepala yang masuk ke UGD RS hanya 10%

yang mengalami cedera kepala sedang. Mereka pada umunya masih

mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung

atau terlihat mengantuk atau disertai dengan defisit neurologis fokal

seperti hemiparese. Sebanyak 10-20% dari penderita cedrea kepala sedang

mengalami perburukan dan jatuh dalam keadaan koma, pada saat

dilakukan pemeriksaan di UGD, dilakukan anamnesa singkat dan

stabilisasi cardiopulmonar sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan.

Penderita harus dirawat di ruangan perawatan intensif yang setara,

dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24

jam pertama.

3. Cedera kepala berat (GCS = 3-8)

Penderita dengan cedrea kepala berat tidak mampu melakukan perintah

sederhana walaupun status cardiopulmonarnya telah stabil, memiliki

resiko morbiditas dan mortalitas cukup besar. “Tunggu dan lihat”

penderita dengan cedera kepala berat adalah sangat berbahaya, karena

diagnosis serta terapi yang sangatlah penting. Jangan menunda transfer/

medevac karena menunggu pemeriksaan penunjang seperti CT scan.

Pada cedera kepala dapat dilakukan penatalaksanaan berupa pimary survey dan

resusitasi dan secondary survey:

1. Primary Survey dan Resusitasi

Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur

servikal. Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita

cedera kepala berat dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali

lebih besar dibandingkan dengan penderita cedera kepala berat tanpa

hipotensi (60% vs 27%), adanya hipotensi akan menyebabkan kematian

yang cepat. Oleh karena itu tindakan stabilitas dan resusitasi

kardiopulmoner harus segera dilakukan.

a. Airway dan Breathing

Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada penderita cedera

kepala berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Lakukan

pembersihan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi

palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan

memasang collar cervikal. Intubasi Endotrakeal (ETT) / Laryngeal

Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera

kepala berat yang koma dan jika cedera orofasial mengganggu jalan

napas, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% dan pemasangan

pulse oksimetri/ monitor saturasi oksigen. Tindakan hiperventilasi

harus dilakukan secara hati-hati pada panderita cedera kepala berat

yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis

karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang

kemudian akan menyebabkan kerusakan otak sekunder.

Oksigen selalu diberikan, dan bila pernafasan meragukan, lebih baik

memulai ventilasi tambahan. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan

atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.

Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%.

Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto

tulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar

servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-

C7 normal

b. Circulation

Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali

stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan.

Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik

pada cedera kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus

segera dilakukan stabilisasi dan resusitasi untuk mencapai euvolemia.

Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat,

walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai

kemungkinan penyebab syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma

Medula Spinalis), kontusio jantung atau Temponade Jantung dan

Tension Pneumothoraks. Hentikan semua perdarahan dengan

menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra

abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan

darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan

koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.

Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus

apapun dapat memberi respon normal segera setelah teknan darah

normal.

Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi

darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder.

Dengan demikian syok dengan trauma kapitis harus dilakukan

penanganan dengan agresif.

Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat dapat

dilakukan pemasangan infus dengan larutan normal salin (Nacl 0,9%)

atau RL cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular

daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema

cerebral. Lakukan pemeriksaan Ht, periksa darah perifer lengkap,

trombosit, dan kimia darah.

c. Pemeriksaan Neurogis / Disability

Pemerikasaan neurologis harus segera dilakukan segera setelah status

kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS

dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat

dilakukan dengan merangsang / mencubit otot Trapezius atau

menekan kuku penderita. Pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pada

pupil dilakukan sebelum pemberian sedasi atau paralisis, karena akan

menjadi dasar pada pemeriksaan berikutnya. Selama primary survey,

pemakaian obat-obatan paralisis jangka panjang tidak dianjurkan, bila

diperlukan analgesia sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan

diberikan secara intravena. Pasien dengan CKR, CKS, CKB dengan

menggunakan CT Scan harus dievaluasi adanya : hematoma epidural,

darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel, kontusio dan

perdarahan jaringan otak, edema cerebri, pergeseran garis tengah,

fraktur cranium.

Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda

herniasi dapat dilakukan elevasi kepala 30o. Jika terjadi hiperventilasi

lakukan :

Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam 20-30 menit.

Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar

¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.

Pasang kateter Foley

Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom

epidural besar, hematom sub dural, cedera kepala terbuka,

fraktur impresi >1 diplo).

2. Secondary Survey

Pemeriksaan neurologis serial (GCS, Lateralisasi dan reflek pupil) harus

segera dilakukn untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari

herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil

terhadap cahaya, adanya trauma langsung pada mata, sering merupakan

penyebab abnormalitas respon pupil dan menyebabkan pemeriksaan pupil

mata menjadi sulit, namun tetap harus dipikirkan adanya trauma kepala

pada penderita cedera kepala berat.

Ingat: selalu upayakan untuk mencegah kerusakan otak sekunder!

I. NURSING CARE PLAN

1. Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera

dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital

a. Aktifitas dan istirahat

Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan

Tanda : - Perubahan kesadaran, letargi

- hemiparese

- ataksia cara berjalan tidak tegap

- masalah dlm keseimbangan

- cedera/trauma ortopedi

- kehilangan tonus otot

b. Sirkulasi

Gejala : - Perubahan tekanan darah atau normal

- Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia

yang diselingi bradikardia disritmia

c. Integritas ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian

Tanda : - Cemas

- Mudah tersinggung

- Delirium

- Agitasi

- Bingung

- Depresi

d. Eliminasi

Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan

fungsi.

e. Makanan/cairan

Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : muntah, gangguan menelan.

f. Neurosensori

Gejala : - kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar

kejadian, Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan

pendengaran.

- Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,

diplopía, kehilangan sebagian lapang pandang,

gangguan pengecapan dan penciuman.

Tanda : - Perubahan kesadran bisa sampai koma

- Perubahan status mental

- Perubahan pupil

- Kehilangan penginderaan

- Wajah tdk simetris

- Genggaman lemah tidak seimbang

- Kehilangfan sensasi sebagian tubuh

g. Nyeri/kenyamanan

Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda

biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada ransangan

nyeri nyeri yang hebat, merintih.

h. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,

ronkhi, mengi.

i. Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : - Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan

- Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda batle

disekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga atau

hidung.

- Gangguan kognitif

- Gangguan rentang gerak

- Demam

2. Prioritas Keperawatan

a) Memaksimalkan perfusi serebral

b)Mencegah dan meminimalkan komplikasi

c) Mengoptimalkan fungsi otak

d)Menyokong proses koping

e) Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit

3. Tujuan Pemulangan

a) Fungis cerebral meningkat,defisit neurologi dapat diperbaiki atau

distabilkan

b) Komplikasi tidak terjadi

c) ADL dpt terpenuhi sendiri atau dibantu ornag lain

d) Keluarga memahami keadaan yg sebenarnya dan dpt terlibat dlm

proses pemulihan

e) Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakan dpt dipahami

dan mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang

terdsedia)

4. Rencana Tindakan Keperawatan

(Terlampir)

5. Implementasi

Implementasi adalah proses keempat dari proses keperawatan yang

merupakan pelaksanaan dari rencana yang telah disusun sebelumnya.

6. Evaluasi

a. Perfusi jaringan cerebral kembali efektif.

WOC

Trauma kepala

Cedera menyeluruhCedera jar. Otak setempat

Kekuatan diserap sepanjang jar. otakKerusakan setempat

Sawas darah otak rusak

CO2 meningkatPH menurun

Vasolidator pemb. Darah & edema(Ketidakseimbangan CES & CIS)

Mobilisasi sel darah & permeabilitas pembuluh darah

Peningkatan TIK

Makanan tdk tercerna

Resti cedera sekunderResiko nutrisi kurang dr kebutuhan

Resti pola nafas tdk efektif

Resiko deficit cairan

Nausea

Vornitus

Kerusakan mobilitas fisik

Gang. Pemenuhan kebutuhan ADL

Penurunan kemamp. absorsi makanan

Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung

Gangguan fungsi otot respirasi

Gang fungsi medulla dolongata

Gang. Syaraf vagal

Defisit neurolosis

Hipoksia

Iskemi jar otak

Penurunan perfusi jar. otakNekrosis jar otak

Penurunan tingkat kesadaran

Kerusakan persepsi & kognitif

Perubahan frek.RR

Perubahan persepsi sensorik

Edema Penurunan darah ke jar. otak

- Perubahan tingkat kesadaran; kehilangan memori

- Perubahan respons motorik/ sensori, gelisah, muntah

- Perubahan TTV