83

CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu
Page 2: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu:

Sebuah Rekomendasi Terhadap Revisi UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPR Provinsi, Kabupaten/Kota dan DPD

Penyusun:

Hadar Gumay

Khoirunnisa Agustyati

Nindita Paramastuti

Refly Harun

© Mei 2011

Page 3: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Mei 2011

Program Kajian dan Publikasi Buku ini didukung oleh IFES dengan pendanaan dari The Australian Agency for International Development (AUSAID)

Sanggahan

Pandangan yang dimuat dalam publikasi ini tidak secara otomatis mencerminkan pandangan dari The Australian Agency for International Development (AUSAID) atau Pemerintah Australia dan IFES

Page 4: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu
Page 5: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Daftar Isi i

Daftar Isi

Daftar Isi _________________________________________________________________ i

Daftar Tabel _____________________________________________________________ ii

Bab I Evaluasi Sistem Pemilu 2009 __________________________________________ 1

Bab II Sistem Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pemilu 2009 ___________ 15

Bab III Permasalahan Parliamentary Threshold & Konsep Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia _______________________________________________________ 23

Bab IV Permasalahan Daftar Pemilih Pemilu di Indonesia _____________________ 42

Bab V Penutup ___________________________________________________________ 69

Page 6: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

ii Daftar Tabel

Daftar Tabel

Table 1 : Negara-negara yang Menggunakan Mixed-Member Proportional System (MMP) 5 Table 2 : Perempuan Terpilih dengan Suara Terbanyak Dalam Pemilu 2009 11 Table 3 : Pendapat Mengenai Penerapan Sistem MMP 12 Table 4 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan dengan Menggunakan Sistem

Proporsional Campuran (MMP) 12 Table 5 : PHPU MK yang Tidak Dapat Diterima Karena Melewati Batas Waktu 3x24 Jam 16 Table 6 : Membentuk Peradilan Khusus Pemilu 19 Table 7 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan Berdasarkan Sistem Penegakan Hukum

yang Diusulkan 20 Table 8 - Syarat Pendirian Parpol 25 Table 9 - Syarat Memperoleh Badan Hukum 26 Table 10 : Syarat Ikut Pemilu 27 Table 11 : Penerapan Electoral Threshold 28 Table 12 : Penerapan Parliamentary Threshold 28 Table 13 : Posisi Fraksi Mengenai Parliamentary Threshold untuk Pemilu 2014 31 Table 14 : Perbandingan Perolehan Kursi Berdasarkan Parliamentary Threshold 2.5%, 3%,

4%, 5% 33 Table 15 : Ambang Batas di Beberapa Negara Untuk Kursi di Parelemen 36 Table 16 : Usulan Perubahan Parliamentary Threshold 40 Table 17 : KPU Membuat, Memutakhirkan dan Memelihara Data Pemilih 56 Table 18 : Usul Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU 10/2008 59 Table 19 : Usul Perubahan Pasal Terkait DPT dalam UU Nomor 42/2008 66 Table 20 - Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU No. 10/2008 72

Page 7: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu
Page 8: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu
Page 9: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Bab I

Evaluasi Sistem Pemilu 2009

U Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya “UU Pemilu”) mengadopsi sistem proporsional terbuka untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.1

Pengejawantahan lebih lanjut dari dipilihnya sistem tersebut tercermin dalam hal pemberian suara, penetapan perolehan kursi, dan penentuan calon terpilih. Dalam hal pemberian suara, pemilih pada Pemilu 2009 diberikan hak untuk memilih parpol dan kandidat sekaligus. Dengan catatan, kandidat pipilihan haruslah berasal dari parpol yang dipilih. Namun, bila memilih salah satu yaitu parpol atau kandidat saja tetap dianggap sah.

Dalam hal penetapan perolehan kursi DPR, UU Pemilu menentukan bahwa penetapan perolehan kursi dihitung berdasarkan perolehan suara parpol di masing-masing daerah pemilihan, yang untuk konteks pemilihan anggota DPR berjumlah 77 dapil (daerah pemilihan). Dengan catatan, hanya parpol yang mencapai perolehan suara sah minimal 2,5% secara nasional yang akan diikutkan dalam penetapan perolehan kursi.

Penetapan perolehan kursi dilakukan secara bertahap. Tahap satu, kursi diberikan kepada parpol yang mencapai 100% BPP (bilangan pembagi pemilihan). Angka BPP didapat dengan cara membagi jumlah suara sah di satu dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut, yang menurut UU Pemilu berkisar antara 3-10 kursi (Pasal 22 ayat [2]).

Bila masih ada sisa kursi dilakukan penghitungan tahap dua, yaitu kursi diberikan kepada parpol yang memperoleh 50% BPP. Parpol yang mendapatkan kursi pada tahap ini tidak lagi memiliki sisa suara.

Selanjutnya, bila di suatu dapil masih ada kursi yang belum terbagi, dilakukan penghitungan tahap tiga, yaitu semua sisa suara parpol dari semua dapil dalam satu provinsi dikumpulkan di tingkat provinsi. Kemudian ditentukan BPP baru, yaitu dengan cara membagi akumulasi sisa suara di tingkat provinsi dengan sisa kursi yang ada. Parpol yang mencapai BPP baru berhak memperoleh kursi.

1 Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

U

Page 10: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

2 Bab 1

Bila masih ada kursi yang belum terbagi setelah diadakan penghitungan tahap tiga, dilakukan penghitungan tahap empat, yaitu dengan cara membagikan kursi kepada parpol yang memperoleh sisa suara terbanyak satu per satu hingga kursi habis dibagikan.

Figure 1

Penentuan calon terpilih dari parpol yang memperoleh kursi di suatu dapil ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari kandidat yang diajukan parpol yang bersangkutan. UU Pemilu menentukan bahwa parpol dapat mengajukan calon di suatu dapil hingga 120% dari jumlah kursi di dapil tersebut. Bila di suatu dapil diperebutkan 10 kursi, di atas kertas parpol dapat mengajukan 12 nama di dapil tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa untuk penentuan calon untuk kursi tahap tiga dan tahap empat terlebih dahulu kursi yang telah dibagikan di tingkat provinsi tersebut dikembalikan ke dapil yang masih mempunyai sisa kursi sebelum pembagiannya dinaikan ke tingkat provinsi. Setelah itu barulah ditentukan calon dari dapil tersebut yang memperoleh suara terbanyak.

Masalah dalam Penerapan Sistem Pemilu 2009

Untuk penilaian terhadap keberlangsungan sebuah pemilu, terdapat 10 kriteria yang diakui secara internasional, yaitu:2

1. Kebebasan berekspresi partai politik;

2 ACE Electoral Knowledge Network; Inter Parliamentary Union‘s Declaration on Free and Fair

Elections; Organization for Security and Cooperation in Europe‘s International Election Observation Standards.

PENETAPAN KURSI PARPOL UNTUK DPR

TAHAP 1100% BPP

TAHAP 2 50% BPP

TAHAP 3100% BPP BARU

TAHAP 4SISA SUARA TERBANYAK

Page 11: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 3

2. Peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu (partai politik dan calon anggota legislatif);

3. Pemilih yang terdidik; 4. KPU yang permanen dengan staf ad hoc yang memiliki kompetensi; 5. Pelaksanaan pemungutan suara dengan damai; 6. Masyarakat sipil terlibat dalam semua aspek proses pemilu; 7. Proses penghitungan suara yang transparan; 8. Hasil pemilu yang dapat diaudit; 9. DPT yang akurat; 10. Proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik.

Dari 10 kriteria ini, Adam Schmidt3 menilai bahwa hanya empat kriteria yang terpenuhi dalam pemilu 2009, yakni kebebasan berekspresi partai politik, peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu, pelaksanaan pemungutan suara dengan damai, dan proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Untuk enam kriteria lain dinyatakan tidak terlaksana dan tidak terpenuhi.

Banyaknya masalah dalam Pemilu 2009 antara lain disebabkan sistem pemilu yang rumit. Berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2009, masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Surat suara memuat terlalu banyak calon

Dengan alokasi kursi 3-10 di setiap dapil, jumlah parpol yang ikut sebanyak 38 (khusus di Aceh 44 parpol karena ada tambahan 6 parpol lokal), dan dengan dibolehkannya parpol mengajukan hinggal 120% orang calon dari jumlah kursi yang diperebutkan, surat suara Pemilu 2009 berisi terlalu banyak calon. Menurut catatan Cetro, jumlah calon tersebut berkisar 152-532 orang. Jumlah ini sudah tentu membuat kualitas pemilu patut dipertanyakan. Terlebih dari sisi pengenalan konstituen terhadap calon-calon yang diajukan.

2. Penghitungan suara lambat dan sulit

UU Pemilu menentukan bahwa pengumuman hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh KPU paling lambat dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2009, pengumuman hasil pemilu dilakukan hingga tenggat hari terakhir. Pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009 dan pengumuman hasil pemilu dilakukan pada tanggal 9 Mei 2009. Itu pun yang diumumkan secara langsung oleh KPU hanyalah perolehan suara parpol untuk pemilihan anggota DPR dan perolehan suara calon anggota DPD. Pengumuman yang dilakukan pada tenggat waktu terakhir itu pun menyisakan persoalan karena ada dapil yang belum diketahui hasilnya.

Lambatnya penghitungan suara terjadi karena sistem yang diterapkan memang rumit. Penyelenggara pemilu tidak hanya menghitung perolehan suara parpol, melainkan juga perolehan masing-masing calon yang diajukan parpol mengingat perolehan suara tersebut akan menentukan siapa calon yang terpilih. Bila ada 142-532 calon di surat suara bisa dibayangkan betapa

3 Adam Schmidt. Indonesia‘s 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam

buku Problems of Democratisation in Indonesia; Elections, Institutions, and Society. ISEAS. 2010.

Page 12: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

4 Bab 1

tidak mudahnya proses penghitungan suara. Belum lagi ditemukan kenyataan bahwa banyak terjadi kecurangan, terutama terkait dengan pencatatan dan rekapitulasi hasil perolehan suara masing-masing calon.

3. Penentuan perolehan kursi bermasalah

Bertahap-tahapnya penentuan perolehan kursi (hingga empat tahap) telah memunculkan persoalan. Bisa dikatakan hanya tahap satu yang tidak bermasalah, sedangkan tiga tahap lainnya harus melalui sengketa di MK dan MA. Untuk penghitungan tahap dua, calon-calon yang tidak puas dengan metode penghitungan suara KPU, yang tidak lain adalah terjemahan dari UU Pemilu, mengajukan pengujian peraturan KPU yang mengatur tentang penentuan perolehan kursi tahap dua. Permohonan tersebut dikabulkan MA, yang bila diterapkan akan memunculkan kekacauan dan ketidakadilan karena mengubah secara signifikan perolehan kursi masing-masing parpol yang telah diumumkan KPU. Untunglah putusan tersebut akhirnya ‗dimentahkan‘ oleh putusan MK yang mengembalikan metode penghitungan kursi tahap dua sebagaimana dirumuskan dalam UU Pemilu.

Permasalahan juga terjadi pada penghitungan kursi tahap tiga dan tahap empat. Kali ini justru KPU yang menyimpang dari apa yang telah digariskan UU Pemilu. KPU beranggapan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah hanya sisa suara dari dapil - dapil yang masih ada sisa kursinya. Keputusan KPU tersebut dipermasalahkan di MK, yang kemudian memutuskan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah sisa suara dari semua dapil di suratu provinsi.

4. Penetapan calon terpilih bermasalah

Rumitnya sistem pemilu yang diterapkan juga berdampak pada penetapan calon terpilih, yaitu penetapan calon terpilih dari kursi tahap tiga dan tahap empat. KPU terbelah dalam menginterpretasikan ketentuan dalam UU Pemilu. Ada yang beranggapan bahwa kursi tahap tiga dan tahap empat diberikan kepada calon yang menyumbang sisa suara terbanyak. Ada pula yang beranggapan bahwa kursi diberikan kepada dapil yang menyumbang sisa suara terbanyak, setelah itu barulah ditentukan siapa calon yang memperoleh suara terbanyak di dapil tersebut. Akhirnya tafsir terakhirlah yang diterima.

5. Banyaknya sengketa hasil pemilu di MK

Pada Pemilu 2009 MK menerima hampir 700 kasus yang dibundel dalam 70 berkas perkara. Jumlah ini meningkat dibandingkan Pemilu 2004 yang ‘hanya‘ 273 kasus. Berdasarkan angka ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen pelaksanaan pemilu bukan bertambah baik, tetapi bertambah buruk karena sengketa justru lebih banyak. Tidak bisa dimungkiri banyaknya sengketa karena didorong oleh sistem pemilu yang diterapkan. Perbedaan satu suara saja bisa menyebabkan seseorang kehilangan kursi. Walaupun dalam kaitan dengan hal ini perlu pula dicatat bahwa ada kecenderungan calon menggunakan segala cara untuk mendapatkan kursi. Namun, sistem

Page 13: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 5

pemilu yang diterapkan telah ikut menyumbang atau memfasilitasi keinginan para calon tersebut.

Rekomendasi

A. Sistem Proporsional Campuran (Mixed Member Proportional System)

Untuk pemilu ke depan kiranya dibutuhkan sistem pemilu yang lebih sederhana agar masalah-masalah yang ditimbulkan sistem proporsional terbuka dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Yang paling mudah dan murah dari semua sistem pemilu yang ada adalah proporsional dengan daftar tertutup (closed list proportional representation system) seperti diterapkan dalam pemilu-pemilu di era Orde Baru dan Pemilu 1999 atau pluralitas/mayoritarian, atau yang secara salah kaprah sering disebut dengan sistem distrik, seperti yang diterapkan di AS, Inggris, India, dan beberapa negara lainnya.

Untuk konteks Indonesia, kajian ini tidak merekomendasikan pilihan terhadap kedua sistem tersebut. Sistem proporsional tertutup sudah dianggap ketinggalan zaman (old fashion) karena sejak Pemilu 2004 Indonesia telah bergerak pada sistem yang lebih terbuka, yaitu yang memberi kesempatan kepada pemilih untuk memilih calonnya secara langsung. Sistem mayoritarian juga tidak cocok untuk konteks Indonesia yang majemuk. Terlebih jumlah parpol yang ada terlalu banyak sehingga dikhawatirkan suara yang terbuang atau tidak terwakili terlalu banyak. Kajian ini menawarkan sistem campuran (mixed system) dengan varian mixed member proportional (MMP) seperti diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Meksiko, Venezuela dan lain sebagainya.

Table 1 : Negara-negara yang Menggunakan Mixed-Member Proportional System (MMP)

No. Negara Kursi

Single Member

District

Kursi PR

Threshold Jumlah

Anggota

Daerah Pemilihan

1 Bolivia 68

62 3% 130 - 70 daerah pemilihan single-member

- 9 daerah pemilihan multi-member (kursi dialokasikan berdasarkan populasi) sesuai dengan depertemen negara

2 Jerman 299 299 5% or 3 district seats

598 - 299 daerah pemilihan

- 16 daerah pemilihan multi-member menyesuaikan dengan Länder (komponen

Page 14: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

6 Bab 1

No. Negara Kursi

Single Member

District

Kursi PR

Threshold Jumlah

Anggota

Daerah Pemilihan

negara federasi)

3 Hungaria 176 210 5% 386 - 176 daerah pemilihan single-member

- 20 daerah pemiihan territorial multi-member (returning 146 Deputies)

(64 Deputies lainnya dipilih dari kandidat ―ldaftar nasional)

4 Italia 475 155 Koalisi partai: 10 % suara sah total

(Daftar) partai politik dalam koalisi: 2% suara sah total

(Daftar) partai politik yang tidak berafiliasi dengan koalisi: 4% suara masuk nasional

Daftar minoritas bahasa: 20% suara yang masuk di daerah pemilihan mereka

Daftar manapun yang mendapatkan jumlah suara tertinggi diantara semua daftar dan memenangkan 2% suara yang masuk juga berhak mendapatkan kursi.

630 - 26 daerah pemilihan multi-member untuk 617 kursi

- 1 daerah pemilihan single-member di Valle d'Aosta

- 1 daerah pemilihan untuk luar negeri mewakili 4 kelompok geografis (12 kursi): (a) Eropa (termasuk Federasi Rusia dan Turki), (b) Amerika Selatan, (c) Amerika Utara dan Tengah, (d) Afrika, Asia, Oceania, dan Antartika.

5 Lesotho 80 40 Tidak ada data tersedia

120 - 80 daerah pemilihan single-member (first-past-the-post, FPTP)

- satu daerah pemilihan nasional untuk 40 kursi (proportional representation,

Page 15: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 7

No. Negara Kursi

Single Member

District

Kursi PR

Threshold Jumlah

Anggota

Daerah Pemilihan

PR).

6 Mexico 300 200 2% 500 - 300 derah pemilihan single-member

- satu derah pemilihan nasional multi-member untuk 200 Deputies

7 New Zealand

65 55 5% or 1 district seat

120 - 63 derah pemilihan single-member

- 7 daerah pemilihan single-member Maori

- 50 anggota dipilih dari daftar partai

8 Venezuela 100 65 Tidak ada data tersedia

165 24 daerah pemilihan multi-member (2 kursi atau lebih) menyesuaikan States dan Federal District

Sumber: ACE COMPARATIVE DATA http://aceproject.org/epic-en/CDTable?question=ES005 , International IDEA: Table of Electoral Systems Worldwide http://www.idea.int/esd/world.cfm, IPU PARLINE DATABASE on National Parliaments http://www.ipu.org/parline-e/parlinesearch.asp, IFES Election Guide http://www.electionguide.org/, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook (2008).

MMP adalah sistem yang berupaya memadukan kelebihan sistem proporsional (dalam hal derajat keterwakilan) dan sistem mayoritas (dalam hal akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen). Sama seperti sistem proporsional terbuka, dalam MMP pemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dan parpol sekaligus. Namun, pilihan terhadap parpol dan calon tidaklah harus paralel. Pemilih bisa saja memilih Partai A, tetapi untuk calon dari Partai B.

Dalam MMP, calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik (seperti sistem mayoritas) dan jalur daftar (seperti sistem proporsional tertutup). Jumlah kursi dari jalur distrik dan jalur daftar bervariasi di negara-negara yang menerapkan sistem ini. Di Jerman jumlahnya fifty-fifty, yaitu masing-masing 299 untuk jalur distrik dan jalur daftar. Jumlah fifty-fifty bisa pula diterapkan di Indonesia untuk konteks pemilihan anggota DPR yang saat ini berjumlah 560 orang. Artinya, jumlah distrik atau dapil yang harus dibuat berjumlah 280 (separuh dari jumlah kursi DPR saat ini). Parpol hanya mengajukan satu calon di setiap dapil. Sementara untuk jalur daftar, setiap parpol dapat mengajukan minimal sejumlah kursi yang diperebutkan.

Perolehan kursi suatu parpol ditentukan oleh suara yang diberikan kepada parpol yang bersangktuan. Misalnya, Parpol A memperoleh 20% suara, maka parpol tersebut berhak mendapat 20% kursi. Di Jerman persentasenya didasarkan pada perolehan suara di tiap-tiap negara bagian (16 negara bagian). Untuk konteks Indonesia, basis penghitungan proporsionalnya bisa dilakukan untuk tiap-tiap provinsi (33 provinsi). Misalnya, di DKI

Page 16: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

8 Bab 1

diperebutkan 10 kursi DPR. Bila Partai A memperoleh 20% suara, partai tersebut berhak atas 2 kursi.

Suara yang diberikan kepada calon secara langsung akan menentukan calon terpilih. Karena Partai A mendapatkan 2 kursi di DKI, harus dicari siapa calon dari Partai A yang menang di distrik-distrik di Provinsi DKI. Bila ada satu calon Partai A menang di satu dapil, maka satu kursi yang dimenangkan okan diisi oleh calon bersangkutan. Kursi yang satu lagi, akan diisi oleh calon Partai A yang berasal dari daftar calon, rangking pertama atau nomor urut 1. Bila tidak ada calon – calon Partai A yang menang di dapil, maka kursi diberikan kepada yang dicalonkan di jalur daftar. Mereka yang ditempatkan di urutan pertama dan kedua dari daftar calon di Provinsi DKI berhak atas kursi tersebut.

Proses penghitungan suara dan penetapan perolehan kursi dalam MMP jauh lebih sederhana dibandingkan proporsional terbuka. Secara teoretis, perolehan suara parpol tidak akan bercampur aduk dengan perolehan suara calon yang banyak terjadi dalam praktek penghitungan suara dalam Pemilu 2009 karena parpol dan calon berada di kolom surat suara yang berbeda. Perolehan suara parpol benar-benar didasarkan pada pilihan terhadap parpol tersebut. Bila pemilih hanya memilih calon, suaranya tidak menjadi milik parpol yang mengajukan calon tersebut.

Karena setiap parpol hanya mengajukan satu calon di setiap dapil, penghitungan suara masing-masing calon akan jauh lebih mudah. Misalkan ada 38 parpol yang berpartisipasi dalam pemilu, maka di setiap dapil maksimal hanya akan ada 38 calon saja. Dikatakan maksimal karena dalam MMP dimungkinkan sebuah parpol tidak mengajukan calon di jalur distrik (umumnya di distrik-distrik tertentu saja, tidak di semua distrik). Sementara calon dari jalur daftar wajib hukumnya.

Kelebihan lain yang perlu dicatat adalah tidak akan ada lagi sikut-menyikut atau salib-menyalib antarsesama calon dari satu partai untuk memperebutkan kursi karena parpol hanya dibolehkan mencalonkan satu orang di setiap dapil. Selain itu, bila MMP diterapkan dengan formula fifty-fifty, jumlah dapil DPR akan bertambah dari 77 menjadi 280. Otomatis area dapil menjadi jauh lebih kecil, mungkin hanya terdiri dari 1-2 kabupaten atau bahkan beberapa kecamatan.

Kecilnya dapil akan memudahkan anggota DPR yang kelak terpilih untuk memperjuangkan aspirasi konstituen mereka. Di sisi lain, konstituen akan memperoleh kejelasan mengenai siapa yang mewakili mereka sehingga dapat dengan mudah menyalurkan aspirasi. Selama ini, karena dapil terbilang luas dan terdiri atas banyak kursi, hubungan atas wakil rakyat dan konstituen tidak berjalan secara baik. Konstituen sering tidak mengenal bahkan tidak tahu wakil rakyat mereka.

Secara teoretis, sistem MMP tidak hanya mengakomodasi sistem proporsionalitas, melainkan juga mendorong calon-calon terpilih berdasarkan distriknya masing-masing, yang berarti memiliki keterkaitan dengan geografisnya.4 Kendati demikian, perlu juga dicatat beberapa

4―Advantages and Disadvantages of MMP ―dalam

http://aceproject.org/aceen/topics/es/esd/esd03/esd03a/esd03a01?toc .

Page 17: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 9

kelemahan MMP. Misalnya, akan ada pemahaman bahwa suara untuk calon yang ditempatkan mewakili dapil tidak terlalu penting dibandingkan dengan perolehan suara partai. Karena mereka baru dapat terpilih bergantung apakah partainya lolos PT atau tidak. Selain itu, anggota parlemen akan terbagi ke dalam dua kelompok legislator, yaitu kelompok yang bertanggung jawab terhadap konstituen dan memiliki ikatan dengan konstituen, dan ada kelompok yang berasal dari party list yang tidak memiliki ikatan geografis dengan dapil dan berterima kasih dengan partainya.5

Didik Supriyanto juga mencatat berbagai hal yang terkait dengan sistem MMP ini. Misalnya, ia mempertanyakan model keterwakilan parlemen Indonesia karena selain DPR ada pula DPD. Kemudian, ketika calon sudah terpilih akan muncul pertanyaan siapa yang akan diwakilinya. Apakah daerah, partai, atau penduduk? Juga, bagaimana mempertanggungjawabkan keterwakilannya. Menurutnya, sistem MMP akan membagi anggota dewan menjadi ―Jawa‖ dan ―non-Jawa‖. Sistem MMP bagi Didik juga juga akan menimbulkan kesulitan dalam hal pembagian dapil dan mencetak surat suara.6 Kekhawatiran pada sistem MMP juga disampaikan oleh Yuda Irlang dari GPSP, bahwa dengan sistem ini bisa saja yang masuk ke dalam daftar party list adalah elite-elite partai atau keluarga dari para petinggi partai.7

Perubahan dari sistem proporsional terbuka ke MMP sesungguhnya bukanlah perubahan yang radikal. Bisa dikatakan MMP menyempurnakan sistem proporsional terbuka. Dari sisi pemilih, misalnya, tidak banyak perubahan karena cara memilih kurang lebih akan sama, yaitu memilih parpol dan calon sekaligus. Perbedaan hanya terletak pada desain surat suara. Dalam MMP, kolom parpol dan kolom calon dipisahkan, sedangakn dalam prorporsional terbuka disatukan.

Ada sementara pihak yang menyarankan, untuk mengatasi kelemahan proporsional terbuka dalam Pemilu 2009, jumlah kursi di setiap dapil diperkecil saja, misalnya dari 3-10 kursi menjadi 3-5 kursi. Kajian ini menilai bahwa cara tersebut tidak menyelesaikan secara tuntas masalah yang ditimbulkan sistem prorporsional terbuka. Misalnya, masalah persaingan antarcalon dari satu parpol jelas tidak akan teratasi karena masih dimungkinkan untuk mencalonkan lebih dari satu calon di suatu dapil.

Perlu dicatat, tidak ada sistem pemilu di dunia ini yang sama sekali sempurna. Setiap sistem pasti ada kelemahannya. Penerapan suatu sistem pemilu karenanya sangat tergantung pada kebutuhan tempat di mana sistem itu diterapkan. Untuk konteks Indonesia, kajian ini meyakini bahwa kebutuhan Indonesia ke depan adalah memadukan kelebihan sistem proporsional dan mayoritarian dengan cara yang lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Untuk itu MMP layak dipertimbangkan sebagai sistem pemilu ke depan.

5―Advantages and Disadvantages of MMP‖ dalam http://aceproject.org/ace-

en/topics/es/esd/esd03/esd03a/esd03a01?toc. 6 Didik Supriyanto dalam acara Media Briefing yang diadakan oleh CETRO di Jakarta pada tanggal 25

November 2011. 7 Yuda Irlang dalam FGD yang diadakan CETRO mengenai Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia;

Perubahan UU Pemilu. Hotel Puri Denpasar, Jakarta, 26 Agustus 2010.

Page 18: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

10 Bab 1

B. MMP dan Keterwakilan Perempuan

Sistem MMP juga memiliki kelebihan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Dengan catatan, party list dalam MMP digabungkan dengan zipper system, yakni di antara tiga calon terdapat satu perempuan. Apabila ini diterapkan maka sepertiga dari calon terpilih melalui party list bisa dipastikan adalah perempuan. Apabila ingin lebih tegas, bisa saja diterapkan sistem zigzag, yakni penempatan nama calon antara laki-laki dan perempuan saling berselang, yang berarti setengah dari calon terpilih melalui party list adalah perempuan.

Kesempatan perempuan untuk terpilih juga terbuka di jalur distrik. Berdasarkan hasil Pemilu 2009, terdapat 15 (2.68%) perempuan terpilih yang mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga dapat bersaing dan mendapatkan suara terbanyak di dapilnya. Parpol juga harus menyadari bahwa calon yang diletakkan di distrik seharusnya adalah calon yang memang dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan vote getter yang baik. Perempuan-perempuan ini adalah contoh vote getter yang berhasil mendapatkan suara terbanyak di dapilnya tersebut yang harus dipertimbangkan oleh parpol untuk diletakkan dalam jalur distrik. Sedangkan calon perempuan lain dapat diletakkan dalam party list. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa calom perempuan susah terpilih dalam sistem MMP dapat ditepis.

Page 19: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 11

Table 2 : Perempuan Terpilih dengan Suara Terbanyak Dalam Pemilu 2009

Dapil Partai No.Urut Nama Suara %

Jambi PAN 1 Ratu Munawarah Zulkifli 157.651 106,69%

DKI 2 Demokrat 1 Melani Leimena Suharli 63.885 40,61%

Jabar 2 Demokrat 1 R. Adjeng Ratna Suminar 142.607 76,74%

Jabar 7 Golkar 1 Nurul Arifin 122.452 66,37%

Jabar 10 PDIP 2 Puti Guntur Soekarno 69.144 39,22%

Banten 1 PPP 1 Irna Narulita 127.585 87,52%

Jateng 5 PDIP 1 Puan Maharani 242.504 128,90%

Jateng 6 Demokrat 1 Angelina Sondakh 145.159 74,15%

Jatim 5 PDIP 2 Sri Rahayu 73.612 46,58%

Jatim 8 PDIP 2 Sadarestuwati 117.193 72,83%

Jatim 9 PKB 2 Anna Mu'awanah 44.428 31,68%

Kalbar PDIP 3 Karolin Margret Natasa 222.021 151,79%

Maluku PKB 1 Mirati Dewaningsih T, St 90.092 59,61%

Malut Golkar 2 Nurrokhmah Ahmad Hidayat 44.231 39,50%

Papua Barat Golkar 2 Irene Manibuy 45.790 56,62%

Total 15 2,68%

C. Posibilitas Penerapan MMP Hingga laporan ini dibuat, Badan Legislasi DPR masih menggodok rancangan perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu 2008). Konsep tentang MMP telah pula disampaikan CETRO kepada Baleg DPR. Saat ini, upaya menjelaskan konsep ini terus dilakukan kepada parpol atau fraksi-fraksi di DPR, termasuk kepada tokoh-tokoh parpol. Hasil diskusi kelompok terpada (focused group discussion/FGD) di beberapa daerah mengenai revisi UU Pemilu8 yang dihadiri pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM menunjukkan dukungan yang kuat terhadap penerapan MMP sebagaimana yang tampak dari tabel di bawah ini.

8 FGD diadakan di empat kota, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Pendapat didapat

dari kuesioner yang dibagikan kepada seluruh peserta setelah acara FGD selesai. Peserta FGD terdiri dari pengamat, akademisi, anggota legilsatif, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Page 20: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

12 Bab 1

Table 3 : Pendapat Mengenai Penerapan Sistem MMP

Pendapat Jakarta Aceh Pontianak Makassar Total

Sangat Tidak Setuju - - - - -

Tidak Setuju 2 1 2 - 5

Setuju 9 10 8 8 35

Sangat Setuju 1 6 4 7 18

Tidak Berpendapat 1 - - - 1

Total 13 17 14 15 59

Table 4 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan dengan Menggunakan Sistem Proporsional Campuran (MMP)

ISU UU 10/2008 PASAL USUL

Sistem Pemilu Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka

5 (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional campuran

Jumlah Kursi di Dapil

Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.

22 (2) Ditiadakan. Jumlah kursi didasarkan pada basis proporsional. Untuk DPR diusulkan basis proporsionalnya provinsi; untuk DPRD provinsi, provinsi itu sendiri, dan; untuk DPRD kab/kota, kab/kota itu sendiri.

Penetapan Dapil Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

22 (4) Penetapan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD dilakukan oleh KPU

Dapil Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota

24 (1) Ditiadakan. Lebih baik disebutkan prinsip-prinsip pembentukan dapil, yaitu memperhatikan wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan), jumlah penduduk, dan letak geografis.

Jumlah Calon Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.

54 Jumlah 120% bisa dipertahankan untuk masing-masing basis proporsional. Contoh, bila di DKI diperebutkan 10 kursi DPR, maka parpol bisa mencalonkan 12 nama.

Metode Pemberian Suara

Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.

153 (1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda pada surat suara.

Suara Sah Suara untuk Pemilu anggota DPR, Suara untuk Pemilu anggota DPR,

Page 21: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 13

ISU UU 10/2008 PASAL USUL

DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:

b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai

atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:

b. pemberian tanda pada kolom nama/nomor partai

dan/atau kolom nama/nomor calon calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Ambang Batas Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang

batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua

koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara

nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan

kursi DPR

202 (1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang

batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara

nasional atau menang di 10 dapil untuk diikutkan dalam penentuan perolehan

kursi DPR.

Note: Di Jerman alternatifnya menang di 3 dapil.

Ambang Batas Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

202 (2) Ditiadakan. PT juga berlaku utk level provinsi dan kab/kota, dengan alternatif menang di 5 dapil utk DPRD provinsi dan 3 dapil utk DPRD kab/kota.

Penetapan Kursi DPR

Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai

Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan

seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu

yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan

yang bersangkutan

205 (1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai

Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan

seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu

yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di provinsi yang bersangkutan

Note: Penentuan perolehan kursi hanya berlangsung dua tahap, yaitu BPP provinsi (tahap 1) dan sisa suara terbanyak bila masih ada sisa kursi (tahap 2)

Penetapan Kursi DPRD Provinsi

Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk

anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah

pemilihan masing-masing

211 (1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk

anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di provinsi masing-masing

Penetapan Kursi DPRD Kab/Kota

Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk

212 (1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk

Page 22: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

14 Bab 1

ISU UU 10/2008 PASAL USUL

anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara

membagi jumlah perolehan suara sah yang telah

ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing

anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di kab/kota masing-masing

Penetapan Calon Terpilih

Suara terbanyak berdasarkan putusan MK

214 Kursi diberikan terlebih dahulu kepada calon yang memperoleh suara terbanyak di dapil, setelah itu barulah diberikan kepada calon dari jalur daftar (mulai dari nomor urut satu dst).

Page 23: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Bab II

Sistem Penegakan Hukum Terhadap

Pelanggaran Pemilu 2009

istem penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu di Indonesia melibatkan banyak aktor atau institusi karena masalah-masalah hukum yang timbul juga bermacam-macam. Berdasarkan hasil evaluasi Pemilu 2009, masalah-masalah hukum yang terkait dapat dikategorikan ke dalam empat

kategori, yaitu (1) pelanggaran administratif, yaitu pelanggaran tentang tata cara atau tahapan pemilu yang diatur dalam peraturan pemilu; (2) pelanggaran pidana, yaitu pelanggaran yang ada unsur tindak pidana pemilunya; (3) sengketa pemilu, yaitu sengketa antar peserta pemilu, dan; (4) perselisihan hasil pemilu, yaitu perselisihan tentang penghitungan suara.

Masalah hukum jenis pertama ditangani oleh KPU(D), namun selama ini terlihat kurang maksimal dijalankan. Bahkan, terkadang KPU(D) terlihat tidak merasa wajib menyelesaikan pelanggaran seperti itu. Tidak ada data berapa pelanggaran administratif yang diadukan kepada KPU(D) selama pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pilpres 2009, dan berapa yang telah diselesaikan.

Masalah hukum jenis kedua merupakan wilayah ‖criminal justice system‖ untuk menyelesaikannya, yaitu penanganan dimulai oleh Bawaslu/panwaslu, selanjutnya oleh polisi, jaksa, dan pengadilan.. Lagi-lagi penanganan atas pelanggaran ini sering tidak efektif. Masalah bisa muncul dari pengawas, polisi, jaksa, atau pengadilan yang menangani masalah ini.

Masalah hukum jenis ketiga ditangani oleh Bawaslu/panwaslu. Hanya selama ini masalah hukum ini terlihat kurang menonjol karena faktanya jarang sekali terjadi sengketa antar perserta pemilu di luar masalah hasil pemilu dan tindak pidana pemilu. UU Pemilu sendiri tidak secara tegas menyebutkan mengenai sengketa pemilu ini sebagaimana UU Pemilu 2003. Namun, secara tradisional, bila hal tersebut terjadi, misalnya dalam hal terjadinya tumpang-tindih jadwal kampanye, Bawaslu/panwaslu dapat menyelesaikannya.

Masalah hukum jenis keempat adalah domain Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan berdasarkan mandat konstitusi yang diberikan (Pasal 24C ayat [1]) Perubahan Ketiga UUD 1945). Meskipun MK dinilai cukup baik dalam menangani soal perselisihan hasil pemilu, bukan berarti tidak ada masalah. Sering putusan MK pun dinilai kontroversial dan memunculkan pro-kontra di masyarakat. Misalnya putusan yang mengabulkan permohonan calon anggota dewan, tetapi begitu dilaksanakan oleh KPU, yang bersangkutan tetap tidak mendapatkan kursi.

S

Page 24: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

16 Bab 3

Selain empat masalah hukum tersebut, ada juga masalah-masalah hukum yang terkait juga dengan pemilu, yaitu (1) sengketa atas peraturan pemilu (baik undang-undang maupun keputusan KPU(D), dan (2) sengketa atas keputusan KPU(D). Secara teoretis, sengketa atas peraturan akan ditangani oleh MK (untuk undang-undang) dan MA (untuk peraturan KPU[D]). Pada Pemilu Legislatif 2009, sengketa atas peraturan ini cukup menonjol dan menyita perhatian publik, yaitu ketika judicial review terhadap peraturan KPU dikabulkan MA, tetapi putusan tersebut dimentahkan oleh judicial review terhadap UU Pemilu di MK.

Sengketa atas keputusan-keputusan KPU(D) juga cukup marak baik dalam pemilu. Sengketa atas keputusan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (MA) untuk tingkat kasasi.

Sengketa atas keputusan yang menonjol dalam Pemilu 2009 antara lain dikabulkannya gugatan tata usaha negara oleh PTUN Jakarta atas sengketa yang diajukan oleh empat partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos verifikasi KPU sehingga peserta Pemilu 2009 bertambah dari 34 menjadi 38 partai di tingkat nasional (di luar enam partai lokal di Aceh).

Masalah-masalah hukum yang disebutkan di atas tidak jarang membuat pelaksanaan pemilu menjadi penuh persoalan, bahkan dapat memunculkan anarkisme di mana-mana ketika masalah tersebut tidak terselesaikan. Misalnya, dalam hal pencoretan calon anggota DPR terpilih. Saluran hukum yang tersedia bagi pihak yang dicoret adalah menempuh gugatan ke PTUN. Masalahnya, PTUN menolak untuk memproses gugatan tersebut karena menganggap soal tersebut merupakan hasil pemilu. MK sendiri tidak menerima permohonan yang demikian karena perselisihan hasil pemilu dibatasi waktunya, yaitu 3 x 24 jam setelah KPU mengumumkan hasil pemilu. Selain itu, yang dipersoalkan adalah perolehan suara parpol, bukan penetapan calon terpilih.

Table 5 : PHPU MK yang Tidak Dapat Diterima Karena Melewati Batas Waktu 3x24 Jam9

No No Perkara Pemohon Putusan Keterangan

1 57/PHPU.C-VII/2009 Partai Patriot Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena permohonan baru didaftarkan pada 14 Mei 2009.

Batas waktu permohonan adalah 12 Mei 2009, pukul 23.50 WIB

2 87/PHPU.C-VII/2009 Partai SIRA Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 14 Mei 2009, pukul 17.25 WIB

Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50

3 56/PHPU.A-VII/2009 DPD Prov. Sumatera Utara - Yopie S. Batubara

Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 13 Mei 2009 pukul 21.10

Batas waktu permohonan 12 Mei

9 Data diakses dari website MK www.mahkamahkonstitusi.go.id

Page 25: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 17

No No Perkara Pemohon Putusan Keterangan

23.50

4 46/PHPU.A-VII/2009 DPD Prov. Sulawesi Tengah - Faizal H. Moh. Saing

Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan pada 13 Mei 2009 pukul 17.00

Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50

5 36/PHPU.A-VII/2009 DPD Prov. Kepulauan Riau - Hendy Frankim

Tidak Dapat Diterima Permohonan kadaluarsa karena pemohon baru mendaftarkan perkara pada 13 Mei 2009 pukul 13.30

Batas waktu permohonan 12 Mei 23.50

Beberapa pihak yang menyaksikan fenomena ini, yaitu fenomena tidak efektifnya pengadilan konvensional melindungi hak-hak pencari keadilan, lantas mewacanakan pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu. Pengadilan semacam ini juga untuk menjawab fenomena tidak kompeten dan tidak independennya pengadilan yang ada. Dengan pengadilan khusus pemilu diharapkan masalah-masalah hukum pemilu yang tidak bisa ditangani atau tidak cepat ditangani dengan saluran-saluran yang ada (saluran konvensional) dapat teratasi.

Rekomendasi

A. Peningkatan Kewenangan Bawaslu/Panwaslu

Terjadi pro dan kontra mengenai keberadaaan atau eksistensi Bawaslu/panwaslu saat ini. Ada yang beranggapan bahwa Bawaslu/panwaslu ditiadakan saja. Fungsi pengawasan diserahkan kepada KPU(D), peserta pemilu, dan masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa peran Bawaslu/panwaslu tetap diperlukan, tetapi fungsi atau kewenangannya harus lebih ditingkatkan.

Fungsi yang bisa diberikan kepada Bawaslu/panwaslu adalah memutus pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu. Fungsi ini tidak efektif bila tetap ditangani KPU(D) karena institusi tersebut cenderung lebih terfokus pada pelaksanaan pemilu. Agar ada pembagian beban tugas, biarlah Bawaslu/panwaslu yang diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran administratif. Dengan catatan, bila peserta pemilu tidak puas dengan putusan Bawaslu/panwaslu, ia dapat mengajukan kepada pengadilan pemilu. Pengadilan pemilu memutuskan untuk tingkat pertama dan terakhir terhadap banding yang diajukan tersebut. Pembentukan pengadilan pemilu adalah rekomendasi berikutnya dari kajian ini.

Khusus untuk Bawaslu, karena bersifat permanen, dapat diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap masalah-masalah pidana pemilu yang berskala nasional, yaitu

Page 26: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

18 Bab 3

masalah pidana pemilu yang penanganannya dilakukan langsung oleh Bawaslu. Sedangkan untuk pidana pemilu yang berskala lokal, panwaslu tetap diberikan peran terbatas untuk menerima laporan dan melakukan penyelidikan. Tahap penyidikan dan penuntutan tetap dilakukan polisi dan jaksa. Hal ini mengingat keberadaan panwaslu bersifat tidak permanen. Akan terlalu besar biayanya dan tidak terlalu efektif bila panwaslu di daerah dipermanenkan.

Karena Bawaslu melakukan penyidikan dan penuntutan, lembaga ini harus diberikan kewenangan untuk merekrut atau dibantu tenaga penyidik dan penuntut (polisi dan jaksa). Bila suatu saat Bawaslu telah memiliki tenaga sendiri yang mumpuni di bidang penyidikan dan penuntutan, mereka tidak perlu lagi merekrut polisi dan jaksa. Oleh karena itu, komposisi keanggotaan Bawaslu tidak perlu disebutkan dari polisi atau jaksa sebagaimana Pemilu 2004.

Undang-undang sebaiknya juga menyebutkan bahwa Bawaslu berwenang mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus tindak pidana pemilu yang ditangani panwaslu, polisi, atau jaksa bila memang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sebab-sebab tertentu.

B. Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu

Pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu paling tidak didasarkan pada empat alasan. Pertama, terjadinya kekosongan hukum terhadap masalah hukum pemilu tertentu. Kedua, rendahnya kapasitas pengadilan konvensional terhadap masalah-masalah hukum pemilu. Ketiga, terbatasnya waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu. Keempat, konsolidasi masalah-masalah hukum pemilu ke dalam satu peradilan.

Kendati perlu dicatat juga mereka yang berkeberatan terhadap adanya peradilan khusus pemilu. Didik Supriyanto, misalnya, berpendapat tidak perlu peradilan khusus pemilu karena semakin banyak institusi yang dibuat akan semakin rumit dan semakin menghabiskan anggaran. Menurutnya, dikembalikan kepada sistem yang ada saja dengan memperkuat kontrol terhadapnya.10

Syamsudin Haris, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa pembentukan peradilan khusus pemilu baik, tetapi bisa memunculkan kritik, yaitu bagaimana dengan peran Bawaslu, dan juga perlu diidentifikasikan sengketa mana saja yang bisa dibawa ke pengadilan pemilu. Menurutnya, penyelesaian terhadap permasalahan pemilu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu bisa dengan membentuk peradilan khusus atau memberkuat peran Bawaslu. Bila pilihannya membentuk peradilan pemilu maka para ahli yang menjadi hakimnya. Konsekuensinya, pengawasan pemilu menjadi bagian integral dari KPU, kecuali bila ingin menganut ada dua institusi pemilu yang terpisah.11 Sementara aktivis dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampow, berpendapat bahwa jika dibentuk

10 Didik Supriyanto dalam acara Media Briefing yang diselenggarakan CETRO di Jakarta tanggal 25

November 2010. 11 Syamsudin Haris dalam FGD ―Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia: Perubahan UU Pemilu‖ yang

diselenggarakan CETRO di Jakarta, 26 Agustus 2010.

Page 27: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 19

peradilan pemilu dalam cakupan yang luas, maka perlu dipertimbangkan peran dari Bawaslu/panwaslu supaya tidak terjadi overlapping.12

Gagasan tentang pembentukan pengadilan khusus pemilu ini didukung oleh pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM dalam beberapa diskusi kelompok terpadu FGD yang diadakan CETRO di beberapa daerah sebagaimana tampat dalam tabel di bawah ini.13

Table 6 : Membentuk Peradilan Khusus Pemilu

Pendapat Jakarta Aceh Pontianak Makassar Total

Sangat Tidak Setuju - - - -

Tidak Setuju 1 - 1 - 2

Setuju 8 4 7 4 23

Sangat Setuju 3 13 6 11 33

Tidak Berpendapat 1 - - - 1

Total 13 17 14 15 59

Pengadilan khusus pemilu sebaiknya dibentuk di tingkat provinsi untuk tingkat pertama dan kamar khusus di MA untuk tingkat banding yang merupakan tingkat terakhir. Bila memungkinkan, tingkat banding sebenarnya lebih baik diserahkan kepada MK karena MK telah diberikan kewenangan untuk menangani sengketa hasil pemilu, pilpres, dan pemilukada. Namun, karena mensyarakatkan perubahan konstitusi, hal ini tentu lebih sulit dilakukan, kecuali bila terbentuk konvensi ketatanegaraan yang disepakati semua pihak.

Alasan hanya dibentuk di tingkat provinsi adalah untuk menjaga kualitas pengadilan khusus pemilu, sekaligus memberikan jarak antara pengadilan dan pihak-pihak yang bertarung dalam pemilu. Bila dibentuk pula di tingkat kabupaten/kota akan terlalu besar biayanya dan tidak mudah mencari hakim-hakim yang berkualitas. Pembentukan di tingkat provinsi pun hanya dengan cara menempel di pengadilan tinggi di masing-masing provinsi.

Hakim pengadilan khusus pemilu terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc, dengan jumlah hakim ad hoc lebih banyak untuk setiap majelis hakim. Hakim-hakim ad hoc dapat direkrut dari perguruan tinggi atau mereka yang pernah menjadi anggota KPU(D) dan Bawaslu/panwaslu, termasuk tokoh-tokoh LSM yang berkecimpung di wilayah pemilu.

12 Jeiry Sumampow dalam FGD ―Reformasi Lanjutan Pemilu Indonesia: Perubahan UU Pemilu‖ yang

diselenggarakan CETRO di Jakarta, 26 Agustus 2010. 13 FGD diadakan di empat kota, yaitu di Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Data didapat

dari kuesioner yang dibagikan kepada peserta setelah acara FGD selesai. Peserta FGD terdiri dari pengamat, akademisi, anggota legilsatif, dan LSM.

Page 28: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

20 Bab 3

Pengadilan khusus pemilu memiliki yurisdiksi untuk memutus seluruh masalah hukum pemilu, kecuali masalah perselisihan hasil pemilu dan pengujian atas undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Kewenangan ini sesuai dengan mandat konstitusi adalah yurisdiksi MK, tidak bisa diutak-atik lagi kecuali bila ada perubahan UUD 1945.

Hukum acara pengadilan khusus pemilu dibuat tersendiri, terutama terkait penyelesaian masalah hukum yang diajukan. Sebaiknya tidak semua kasus dapat menempuh upaya hukum berjenjang. Untuk banding terhadap pelanggaran administratif yang diputuskan panwaslu, pengadilan tingkat provinsi menjadi tingkat yang pertama dan terakhir. Sementara pelanggaran yang diputuskan Bawaslu sebaiknya langsung diajukan kepada pengadilan tingkat MA. Beberapa kasus juga sebaiknya langsung diajukan ke tingkat MA, misalnya diskualifikasi terhadap calon anggota DPR, pencoretan parpol, dan sebagainya.

Dikaitkan dengan perubahan undang-undang yang terkait pemilu ke depan, pembentukan pengadilan pemilu bisa dimasukkan dalam perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan begitu undang-undang tersebut akan menjadi UU tentang Penyelenggara dan Pengadilan Pemilu.

Table 7 : Beberapa Rumusan UU Pemilu ke Depan Berdasarkan Sistem Penegakan Hukum yang Diusulkan

ISU UU 10/2008 PASAL USULAN

Pelanggaran Administratif

Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya

249 Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu, panwaslu provinsi, dan panwaslu kabupaten/kota berdasarkan laporan dari peserta pemilu, pemantau, dan pemilih sesuai dengan tingkatannya

Jangka Waktu Pelanggaran Administratif

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan

memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu,

Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota

250 Bawaslu, panwaslu provinsi, dan panwaslu kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari peserta pemilu, pemantau, pemilih

Pelanggaran Pidana Pemilu

Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap

ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang

ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan

dalam lingkungan peradilan umum

252 Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap

ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan pemilu dalam lingkungan peradilan umum

Perselisihan Hasil Pemilu

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU

dan Peserta Pemilu mengenai

258 (1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil

Page 29: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 21

ISU UU 10/2008 PASAL USULAN

penetapan perolehan suara

hasil Pemilu secara nasional

Pemilu oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kab/kota.

Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu

secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang

dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

258 (2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu dan/atau calon terpilih.

Note: Pemohon adalah parpol bila yang dipersoalkan perolehan kursi, dan calon yang bersangkutan bila yang dipersoalkan adalah penetapan calon terpilih.

Tenggat Waktu Pengajuan Hasil Pemilu

Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada

Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat)

jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU

259 (2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat)

jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kab/kota.

Note: perlu revisi UU 24/2003 tentang MK untuk penyesuaian.

Page 30: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

22 Bab 3

Page 31: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Bab III

Permasalahan Parliamentary Threshold &

Konsep Penyederhanaan Partai Politik di

Indonesia

ejak Pemilu 2009 Indonesia telah menerapkan ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk dapat mengirimkan wakil ke DPR yang biasa disebut dengan istilah “parliamentary threshold ” (PT). PT yang disepakati untuk

Pemilu 2009 adalah sebesar 2,5 persen dari suara sah secara nasional dan khusus berlaku untuk pemilu anggota DPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 202 dan 203 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu 2008).

Penerapan PT umumnya dikaitkan dengan upaya untuk melakukan penyederhanaan parpol dan hal tersebut terkait dengan upaya untuk memperkuat atau mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia. Sering dikatakan bahwa sistem multipartai yang ada saat ini dengan jumlah partai mencapai puluhan tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Sebagaimana dikatakan Scott Mainwarning (1993), ―the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain‖, bahwa kombinasi sistem pemerintahan presidensial membuat kestabilan demokrasi

S Pasal 202

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 203

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

Page 32: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

24 Bab 3

sulit dipertahankan.

Arend Lijphart (1968, 1977) sebaliknya berargumen bahwa di dalam sebuah masyarakat yang plural dengan perbedaan kultur, etnis, agama, dan bahasa yang tajam, sistem multipartai dapat mempromosikan demokrasi yang stabil (―stable democracy‖). Dengan sistem dua partai (two party-system), pihak-pihak minoritas akan menjadi ―outsider‖ secara permanen, yang dapat berdampak pada berkurangnya keinginan minoritas untuk mengikuti aturan main (sistem demokrasi). Sistem multipartai akan memungkinkan pihak minoritas terwakili secara substantif, di mana mereka dapat berpartisipasi dalam koalisi pemerintahan.14

Sani dan Sartori (1983) berargumen bahwa tingkat polarisasi ideologis (partai politik) lebih berpengaruh pada penciptaan demokrasi yang stabil, dibandingkan dengan jumlah partai politik.15 Contoh kasus di Chile (1930-akhir 1960-an) yang menunjukkan bahwa sistem presidensial, sistem multipartai, dan demokrasi yang stabil dapat berjalan beriringan. Pada periode ini, sistem presidensial dan multipartai dapat berjalan karena keinginan elite politik dan rakyat untuk berkompromi dan keinginan untuk menciptakan institusi demokrasi yang kokoh. Valenzuela (1977, 1978, 1985) dan Scully (1989), berargumen bahwa meskipun polarisasi politik di Chile cukup tinggi, tingkat moderasi, kompromi, dan konsiliasi juga sama tingginya. Komponen moderasi, kompromi, dan konsiliasi mendukung eksistensi demokrasi presidensial multipartai.16

Contoh kasus lainnya terjadi di Benin (1990), salah satu negara di Afrika yang mengadopsi sistem demokrasi presidensial multipartai. Seiring dengan penerapan sistem ini, mereka juga memudahkan persyaratan pendirian partai politik dan menerapkan sistem hukum yang kuat. Untuk negara dengan tingkat fragmentasi etnis dan bahasa yang tinggi, sistem ini dianggap cukup berhasil dalam menciptakan demokrasi yang stabil. Terdapat 106 partai politik di Benin, dan 12 di antaranya diwakili di parlemen.

Sistem ini dapat berjalan dengan baik di Benin karena sistem didesain untuk menjadi sistem "presidensialisme yang kuat" (strong presidentialism) yang dapat beroperasi pada kondisi politik yang sangat terpecah dengan cara menghindari ketergantungan eksekutif pada stabilitas parlemen. Dengan sistem ini, Benin berhasil menghadapi tiga tantangan terbesar yang biasa diasosiasikan dengan pelaksanaan sistem presidensial multipartai: (1) risiko instabilitas dan konflik dalam sistem; (2) risiko autokrasi; dan (3) ketiadaan akuntabilitas.

Dalam sistem presidensial multipartai yang diadopsi Benin, adanya pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif (Presiden memiliki hak untuk memveto legislasi, dan parlemen memiliki hak untuk mengamandemen legislasi inisiatif presiden - dengan perkecualian bujet, dimana presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden), serta keberadaan mahkamah konstitusi yang kuat, menjamin tidak terjadinya konflik yang berkepanjangan. Kecenderungan terjadinya autokrasi dalam sistem presidensial dapat dicegah dengan keberadaan mahkamah konstitusi yang

14 Scott Mainwaring, ―Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficulty Equation‖, Working Paper #144 – September 1990. 15 Ibid. 16 Ibid.

Page 33: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 25

kuat, KPU yang kuat, dan sistem pemilu yang mewajibkan adanya dua putaran pemilihan presiden.17

Untuk konteks Indonesia, bisa jadi sistem dwipartai tidak cocok, tetapi tidak juga untuk sistem multipartai dengan begitu banyak partai seperti halnya Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Indonesia bisa jadi membutuhkan sistem multipartai yang sederhana. Itulah sebabnya, dari pemilu ke pemilu di era Reformasi selalu ada upaya untuk menyederhanakan jumlah parpol.

Sepanjang yang dapat dicatat, upaya penyederhanaan parpol di Indonesia ditempuh dengan sedikitnya melalui lima jalan, yaitu (1) memperberat syarat pendirian parpol, (2) memperberat syarat parpol memperoleh badan hukum, (3) memperberat syarat parpol untuk ikut pemilu, (4) menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (electoral threshold), dan (5) menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengirimkan wakilnya di parlemen (parliamentary threshold).

Table 8 - Syarat Pendirian Parpol

UU PARPOL 1999 UU PARPOL 2002 UU PARPOL 2008 UU PARPOL 201118

Bisa didaftarkan ke departemen kehakiman jika memenuhi syarat:

a. Didirikan sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun

b. Mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari NKRI dalam anggaran dasar partai

c. Keanggotaan partai bersifat terbuka untuk seluruh WNI yang telah memiliki hak pilih

d. Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera NKRI, bendera kebangsaan negara asing, gambar perseorangan dan nama serta lambang partai yang telah ada

Partai politik didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang sudah berusia 21 tahun dengan akta notaris

Didaftarkan ke departemen kehakiman dengan syarat:

a. Memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya

b. Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/ kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan

c. Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak memiliki persamaan pada pokoknya atau

Partai politik dibentuk dan didirikan oleh sekurang-kurang 50 WNI yang telah berusia 21 tahun

Pasal 2 ayat (1): Didirikan dan dibentuk sekurang-kurangnya 30 orang yang telah berusia 21 tahun atau yang sudah menikah disetiap provinsi.

Pasal 2 ayat (2): partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didaftarkan oleh paling sedikit 50 orang pendiri yang mewakili pendiri seluruh partai politik dengan akta notaris

17 Andrew Ellis, Kirsti Samuel, Proceedings dari Workshop dengan tema "Making Presidentialism

Work: Sharing and Learning from Global Experience", Mexico, Februari 2008 18 Draft Perubahan UU tentang Parpol 2011

Page 34: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

26 Bab 3

UU PARPOL 1999 UU PARPOL 2002 UU PARPOL 2008 UU PARPOL 201118

keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lainnya.

d. Mempunyai kantor tetap

Didirikan dengan akta notaris

Didirikan dengan akta notaris

Kantor tetap Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sampai tahapan terakhir pemilihan umum

Table 9 - Syarat Memperoleh Badan Hukum

UU PARPOL 1999 UU PARPOL 2002 UU PARPOL 2008 UU PARPOL 2011

Tidak dicantumkan dalam UU 2/ 1999 syarat untuk memperoleh badan hukum

Tidak dicantumkan dalam UU 31/ 2002 syarat untuk memperoleh badan hukum

Harus memiliki:

a. Akta notaris pendirian partai politik

b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain sesuai dengan peraturan perundangan

c. Kantor tetap

d. Kepengurusan paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/ kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan dari kabupaten/ kota yang bersangkutan, dan

e. Memiliki rekening atas nama partai politik

Harus memiliki:

a. Akta notaris pendirian partai politik

b. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain degan peraturan perundangan

c. Kepengurusan pada tingkat provinsi paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan

d. Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sampai tahapan terakhir pemilihan umum, dan

Page 35: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 27

UU PARPOL 1999 UU PARPOL 2002 UU PARPOL 2008 UU PARPOL 2011

e. Rekening atas nama partai politik

Table 10 : Syarat Ikut Pemilu

UU PEMILU 1999 UU PEMILU 2003 UU PEMILU 2008 UU PEMILU?19

Dapat mengikuti pemilu dengan syarat:

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik

b. memiliki pengurus di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia

c. memiliki pengurus di lebih dari ½ (setengah) jumlah kabupaten kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik

Dapat mengikuti pemilu dengan syarat:

a. Diakui keberadaannya sesuia dengan UU No 31 tahun 2002 tentang partai politik

b. Memiliki kepengurusan lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi

c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b

d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik

e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap

f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU

Dapat mengikuti pemilu dengan syarat:

a. Berstatus badan hukum sesuia dengan UU partai politik

b. Memikili kepengurusan 2/3 dari jumlah provinsi

c. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlahkabupaten/ kota diprovinsi yang bersangkutan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

d. keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat

memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai

politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan

e. dengan kepemilikan kartu tanda anggota

mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b

f. dan huruf c; dan

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU

a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik

b. Memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi

c. Memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan

d. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh per seratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politk tingkat pusat

e. Memiliki anggota sekurang-kuranganya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktika dengan kepemilikan kartu tanda anggota

f. Mempunyai kantor tetap untuk jangka waktu 5 (lima) tahun pada kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan c

g. Mengajukan nama dan tanda gambar

19 Draft Perubahan UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Page 36: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

28 Bab 3

UU PEMILU 1999 UU PEMILU 2003 UU PEMILU 2008 UU PEMILU?19

partai politik kepada KPU

h. Menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik dengan saldo minimal Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk tingkat pusat, Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk tingkat provinsi, dan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) untuk tingkat kabupaten/ kota

Table 11 : Penerapan Electoral Threshold

UU PEMILU 1999 UU PEMILU 2003 UU PEMILU 2008 UU PEMILU?

2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah

kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia

a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR

b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi

DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah)

jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi

DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah

kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Tidak ada ?

Table 12 : Penerapan Parliamentary Threshold

UU PEMILU 1999 UU PEMILU 2003 UU PEMILU 2008 UU PEMILU?

Tidak ada Tidak ada Ambang batas perolehan suara sekurang- kurangnya 2,5%

dari jumlah suara sah secara nasional

?

Page 37: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 29

Gambar di bawah ini memperlihatkan pertumbuhan atau pengurangan parpol di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga pemilu terakhir (Pemilu 2009) dengan penerapan lima instrumen penyederhaan parpol tersebut.

Figure 2

Pada Pemilu terakhir (2009), dari 38 parpol yang bertarung untuk pemilihan anggota DPR, hanya sembilan parpol yang terwakili di DPR. Pengurangan ini sangat signifikan dibandingkan dengan Pemilu 1999 (21 parpol) dan Pemilu 2004 (17 parpol). Hal ini tidak terlepas dari penerapan PT sejak Pemilu 2009, yang dapat dikatakan sebagai konsep threshold yang lebih benar ketimbang ET.

Setidaknya ada lima alasan mengapa PT harus lebih dikedepankan ketimbang ET. Pertama, yang paling penting dari konsep penyederhanaan parpol adalah bukan berapa banyak jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol di parlemen. Efektivitas sistem presidensialisme bukan terletak pada jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol dalam parlemen. Boleh saja ada ratusan parpol yang ikut pemilu, tetapi dengan mekanisme PT, jumlah itu akan berkurang secara signifikan di parlemen. Diletakkan dalam konteks hasil Pemilu 2009, dengan PT 2,5 persen, keanggotaan DPR saat ini hanya diisi oleh wakil dari sembilan parpol saja dari 38 parpol yang berpartisipasi dalam pemilu DPR. Parpol-parpol lain yang tidak mencapai perolehan 2,5 persen suara pemilu DPR tidak boleh mengirimkan wakilnya.

Kedua, penerapan ET dinilai tidak lazim bahkan aneh karena ambang batas ditentukan berdasarkan pencapaian parpol dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Padahal, bukan tidak mungkin telah terjadi perubahan yang mendasar dalam lima

148

237*

9993

50**57**

48

24

44***

21 179

0

50

100

150

200

250

1999 2004 2009

PA

RT

AI

PO

LIT

IK

MENJELANG PEMILU

PARTAI POLITIK DI INDONESIA, 1999-2009

PARPOL YANG MENDAFTAR KE DEPKUMHAM PARTAI YANG BERBADAN HUKUM DARI DEPKUMHAM

PARPOL YANG LOLOS SEBAGAI PESERTA PEMILU PARPOL MASUK PARLEMEN

* Partai yang terdaftar dari tahun 1999 s/d Des 2002** Sudah termasuk partai yang lolos threshold*** Partai lokal Khusus Provinsi NAD (6 Partai)

Page 38: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

30 Bab 3

tahun terakhir. Seharusnya ambang batas tersebut ditentukan oleh hasil pemilu saat itu juga. Caranya adalah dengan menerapkan PT. Sebuah parpol yang tidak mencapai persentase tertentu dalam pemilu yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengirimkan wakilnya.

Ketiga, penerapan ET berpotensi melanggar konstitusi. Dikatakan demikian karena hak untuk mendirikan parpol dan ikut dalam pemilu adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Konsekuensi dari penerapan ET adalah, apabila sebuah parpol tidak mencapai ET maka parpol tersebut harus dibubarkan atau menggabungkan diri apabila ingin ikut pemilu berikutnya. Problem konstitusional yang muncul adalah UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Penerapan ET menyebabkan hak berserikat dan berkumpul tersebut potensial dilanggar. Selain itu, hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak yang juga dijamin oleh konstitusi (putusan MK dalam pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, 24 Februari 2004). Menghalangi sebuah parpol untuk ikut pemilu potensial melanggar hak untuk dipilih.

Kelebihan PT dalam konteks ini adalah, parpol yang tidak mencapai persentase tertentu tidak perlu bubar atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Parpol tersebut hanya terhalang untuk mengirimkan wakil di parlemen –yang mungkin bisa dikompensasi pada pemilu berikutnya—tetapi eksistensi mereka sebagai parpol tetap dapat dipertahankan.

Keempat, dari perspektif politik penerapan PT bisa dikatakan lebih adil ketimbang ET mengingat parpol yang ada saat ini tidak bertanding dengan garis start yang sama. Tiga parpol warisan Orde Baru, yaitu Golkar, PDI(P), dan PPP, sudah sangat mapan dan memiliki jaringan parpol hingga ke daerah-daerah. Public awarness terhadap ketiga parpol tersebut sudah dimulai puluhan tahun lebih dulu ketimbang parpol baru yang tumbuh pada era reformasi. Diperlukan beberapa kali pemilu bagi parpol baru untuk mengimbangi kemapanan ketiga parpol tersebut. Dalam kaitan dengan ini Partai Demokrat bisa dikatakan sebagai pengecualian. Kendati baru berpartisipasi dalam Pemilu 2004, partai tersebut sudah menjadi pengumpul suara terbanyak pada pemilu berikutnya (2009).

Dengan penerapan PT, parpol-parpol baru memiliki hak untuk hidup dan berkembang serta ikut pemilu berkali-kali. Punishment, kalau boleh dikatakan demikian, terhadap mereka hanyalah bila tidak mampu mencapai persentase tertentu sehingga tidak bisa mengirimkan wakilnya ke parlemen. Sebagai sebuah parpol mereka tetap dapat melakukan pembenahan dan konsolidasi secara terus-menerus. Bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan menjadi parpol besar.

Kelima, dari aspek sosiologis, penerapan PT akan merupakan disinsentif bagi petualang-petualang parpol yang berpikiran jangka pendek. Sering elite-elite politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik, misalnya menguasai sejumlah kursi di DPR dan DPRD atau mendapatkan kursi kabinet. Mereka jadi kurang peduli dengan perkembangan parpol yang mereka dirikan setelah mendapatkan posisi politik. Baru menjelang pemilu mereka bekerja kembali untuk parpol dengan harapan memperoleh posisi politik lagi.

Bagi elite parpol yang hanya melihat parpol sebagai jembatan untuk merebut kursi parlemen atau posisi politik di pemerintahan pastilah tidak menyukai penerapan PT. Dalam benak mereka, bagaimana mungkin setelah ‗berdarah-darah‘ dalam prosesi pemilu mereka tidak boleh mengirimkan wakilnya ke parlemen lantaran tidak

Page 39: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 31

mencapai PT. Namun, bagi mereka yang melihat bahwa mempertahankan dan membesarkan eksistensi parpol jauh lebih penting ketimbang sekadar merebut satu-dua kursi parlemen akan menyambut PT sebagai jembatan untuk menghadirkan parpol besar dan kuat di kemudian hari.

Pertanyaannya, menjelang Pemilu 2014 nanti, berapa angka PT yang layak dipertahankan? Dari berita-berita yang dapat diikuti dari media massa dan juga tatap muka langsung dengan para anggota DPR dapat diketahui bahwa telah ada kesepakatan di antara fraksi-fraksi untuk tetap mempertahankan PT. Namun, di antara fraksi tersebut belum sepakat mengenai besarannya. Ada fraksi yang menginginkan tetap dengan angka 2,5 persen, tetapi ada yang menginginkan angka yang lebih besar lagi, terutama dari fraksi-fraksi besar, sebagaimana terlihat dari tabel di bawah ini.

Table 13 : Posisi Fraksi Mengenai Parliamentary Threshold untuk Pemilu 2014

Fraksi Posisi Keterangan/ Argumentasi Sumber

Partai Demokrat PT 4% Untuk memperkuat sistem presidensil, maka jumlah partai perlu disederhanakan (Sutjipto, Anggota Baleg FPD)

http://www.detiknews.com/read/2011/01/06/143941/1540581/10/demokrat-yakin-target-pt-4-persen-di-ruu-pemilu-gol. Diakses pada 9 Februari 2011.

Partai Golkar PT 5% Penting untuk penataan sistem politik juga untuk menjadi adanya stabilitas politik dan efektifitas kinerja lembaga-lembaga negara.

Agar tidak terjadi pemborosan proses politik khusunya di DPR (Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar)

http://news.okezone.com/read/2010/10/20/339/384442/339/golkar-tegaskan-sikap-dukung-pt-5

Diakses pada 9 Februari 2011.

PDIP PT 5% Sebagai negara kepualauan dan dengan jumlah penduduk yang besar Indonesia tidak memerlukan jumlah partai yang besar, demi efektifitas pembangunan. Dengan jumlah partai yang lebih sederhana akan lebih mudah dalam tecapainya kesepakatan dalam membuat kebijakan dan program pembangunan. (Bambang Wuryatno, Ketua DPP PDIP)

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/27/brk,20101227-301757,id.html

Diakses pada 9 Februari 2011.

PKS PT 5% di tingkat pusat

Peningkatan angka PT tidak akan membunuh partai kecil.

Untuk menyederhanakn jumlah partai

http://mahfudzsiddik.blogspot.com/2010/06/ppp-dan-hanura-menolak-usul-tersebut.html

Diakses pada 9 Februari 2011.

PAN PT tetap 2.5%

PT di angka 2.5% sudah cukup menyederhanakan partai yang masuk ke DPR 2009 dari DPR periode sebelumnya.

Dengan angka PT 2.5% saja suara yang hilang mencapai 19 juta suara.

Penerapan PT 2.5% baru sekali diterapkan pada pemilu 2009 sehingga belum perlu untuk dievaluasi. (Teguh Juwarno, Wakil Sekjen DPP PAN)

http://english.waspada.co.id/index.php/images/flash/templates/index.php?option=com_content&view=article&id=167470:pan-ngotot-pt-25-persen&catid=17:nasional&Itemid=30

Diakses pada 9 Februari 2011.

PKB PT 3% Peningkatan menjadi 3% untuk meminimalisir suara yang terbuang

http://www.today.co.id/politik/index/01022011/8183/PKB_

Page 40: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

32 Bab 3

Fraksi Posisi Keterangan/ Argumentasi Sumber

percuma. (Abdul Malik Haramain) Mematok_Parliamentary_Threshold_3_Persen

Diakses pada 9 Februari 2011.

PPP PT tetap 2.5%

PT 2.5% yang digunakan pada pemilu 2009 layak dipertahankan. Peningkatan PT sampai 5% dapat membunuh demokrasi karena sama dengan memperbanyak suara yang hangus/ hilang.

Peningkatan PT akan mengurangi legitimasi keterwakilan di DPR. (Rohmahurmuziy, Wakil Sekjern PPP)

http://hileud.com/hileudnews?title=PPP+Tolak+Parliamentary+Threshold+Dinaikkan&id=73173

Diakses pada 9 Februari 2011.

Gerindra Menolak gagasan PT 5%.

Dengan adanya PT 2.5% sudah membuat suara hilang sebanyak 19 juta suara.

Gerindra setuju dengan gagasan penyederhanaan partai namun bukan dengan meningkatkan PT, melainkan dengan pengetatan syarat partai yang ingin ikut dalam pemilihan umum.

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/06/07/brk,20100607-253189,id.html

Diakses pada 9 Februari 2011.

Hanura PT 3% Penetepan peningkatan angka PT harus dilakukan secara rasional.

3% diajukan demi berjalannya kompromi dalam pembuatan undang-undang di DPR. (Hanura, Ketua Umum Hanura)

http://bataviase.co.id/node/502084

Diakses pada 9 Februari 2011.

Dari tabel di atas terlihat bahwa fraksi-fraksi besar umumnya mengusulkan angka PT yang lebih besar, yaitu 5 persen yang diusulkan Fraksi Golkar, PDIP, dan PKS dan 4 persen yang diusulkan Fraksi Demokrat. Sedangkan fraksi-fraksi menengah dan kecil mengusulkan angka 3 persen, yaitu Fraksi PKB dan Fraksi Hanura. Dua fraksi, yaitu Fraksi PAN dan Fraksi PPP. Satu fraksi (Fraksi Genrindra) tidak secara jelas menyebut angka pasti, tetapi tegas menolak bila PT menjadi 5 persen.

Penolakan Gerindra tersebut dapat dipahami karena kenaikan PT hingga 5 persen dapat menghapuskan eksistensi mereka di DPR bila perolehan suara mereka tidak meningkat secara signifikan pada Pemilu 2014. Diterapkan pada hasil Pemilu 2009, dengan PT 5 persen, akan ada tiga parpol yang hilang di DPR, yaitu PKB (4,95%), Gerindra (4,64%), dan Hanura (3,04%). Bila PT ditingkatkan menjadi 4 persen saja sebagaimana usul Fraksi Demokrat, yang akan hilang di DPR hanya Parta Hanura. Sedangkan bila PT ditingkatkan menjadi 3 persen, sembilan parpol tersebut tetap bertahan di DPR. Tidak heran bila angka 3 persen dinilai menjadi angka kompromi di antara sembilan fraksi yang ada di DPR saat ini.

Page 41: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 33

Table 14 : Perbandingan Perolehan Kursi Berdasarkan Parliamentary Threshold 2.5%, 3%, 4%, 5%

No Partai Politik Suara %Suara

PT 2,5% PT 3% PT 4% PT 5%

Kursi % Kursi % Kursi % Kursi %

1 Partai Hati Nurani Rakyat 3,918,531 3.77% 17 3.04% 17 3.21% 0 - -

5 Gerakan Indonesia Raya 4,664,213 4.48% 26 4.64% 26 4.64% 26 4.64% - -

8 Partai Keadilan Sejahtera 8,198,940 7.88% 57 10.18% 57 10.18% 62 11.07% 65 11.61%

9 Partai Amanat Nasional 6,289,378 6.05% 46 8.21% 46 8.21% 46 8.21% 48 8.57%

13 Partai Kebangkitan Bangsa 5,144,371 4.95% 28 5.00% 28 5.00% 29 5.18% - -

23 Partai Golongan Karya 15,022,561 14.44% 106 18.93% 106 18.93% 109 19.46% 123 21.96%

24 Partai Persatuan Pembangunan 5,530,119 5.32% 38 6.79% 38 6.79% 38 6.79% 41 7.32%

28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

14,572,223 14.01% 94 16.79% 94 16.61% 98 17.50% 110

19.64%

31 Partai Demokrat 21,673,389 20.84% 148 26.43% 148 26.43% 152 27.14% 173 30.89%

560 560 560 560

Research CETRO

Total Suara 104,099,785

Suara Terwakili 85,013,725 81.67% 85,013,725 81.67% 81,095,194 77.90% 71,286,610 68.48%

Suara Tidak Terwakili 19,086,060 18.33% 19,086,060 18.33% 23,004,591 22.10% 32,813,175 31.52%

Page 42: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

34 Bab 3

Figure 3

Rekomendasi

Kajian ini sendiri menyarankan agar angka 2,5 persen tetap dipertahankan, tetapi juga diterapkan untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sehingga penyederhanaan juga terjadi di daerah. Namun penerapan PT untuk pemilu anggota DPRD haruslah dipisahkan dari penerapan PT untuk DPR. Jadi tidak seperti yang digagas oleh beberapa Fraksi di DPR menerapkan PT di DPR sebagai dasar atau sekaligus menjadi PT di DPRD. Artinya, kalau sekarang ada 9 parpol dapat masuk DPR maka sekaligus 9 parpol ini jugalah yang dapat masuk ke seluruh DPRD di Indonesia.

Dengan angka 2,5 persen saja, bila hasil Pemilu 2009 yang menjadi patokan, ada 19 juta lebih suara yang tidak terwakili, atau setara dengan 18,33 persen (lihat tabel). Angka 18,33 persen tersebut adalah suara terbanyak kedua setelah Partai Demokrat yang memenangkan Pemilu 2009 dengan perolehan 20,84 persen suara. Sedangkan bila PT dinaikkan menjadi 5 persen, suara yang tidak terwakili mencapai lebih dari 32 juta suara dari 104.099.785 suara sah dalam Pemilu 2009, atau setara dengan 31,52 persen.

Banyaknya suara yang hilang dalam pemilu tentu akan memunculkan pertanyaan tentang derajat keterwakilan (the degree of representativeness). Terlebih sistem yang dipakai adalah proportional representation system (PR system), sistem yang dianggap paling baik dalam hal derajat keterwakilan.

Perlu dicatat ada pula kalangan di luar parpol besar yang setuju terhadap PT 5 persen. Misalnya Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Menurutnya, PT 5 persen akan menyebabkan terjadinya penyederhanaan parpol dan hanya menyisakan lima parpol di parlemen.Kelima parpol tersebut akan

Suara Yang Terwakili Dalam Pemilu 1999 s/d 2009

NO PEMILU DPTTOTAL SUARA

SAHSUARA YANG TERWAKILI

SUARA YANG TIDAK TERWAKILI

1 1999 118.158.778 105,845,937 101,854,891 96.2% 3,991,046 3,8%

2 2004 148.000.369 113,462,414 108,004,563 95.2% 5,457,851 4,8%

3 2009 (PT 2,5%) 169.403.061 104,099,785 85,051,132 81.7% 19,048,653 18.3%

4 2009 (PT 3%) 169.403.061 104,099,785 85,051,132 81.7% 19,048,653 18.3%

5 2009 (PT 4%) 169.403.061 104,099,785 81,095,194 77,9% 23,004,591 22,1%

6 2009 (PT 5%) 169.403.061 104,099,785 71.335,734 68.5% 32,764,051 31.5%

7 2009 (PT 7,5%) 169.403.061 104,099,785 59,467,113 57,1% 44,632,672 42,9%

8 2009 (PT 10%) 169.403.061 104,099,785 51,268,173 49,3% 52,831,612 50,7%

Page 43: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 35

merepresentasikan peta politik pada Pemilu 2014, Partai Demokrat yang mewakili golongan nasionalis relijius kanan, Golkar mewakili nasionalis tengah, PDIP mewakili nasionalis populis, dan partai-partai Islam modernis yang diwakili PKS atau PAN, serta partai-partai Islam tradisionalis.

Menurut Burhanuddin Muhtadi, prinsip dalam mencari angka PT yang ideal adalah terjadinya proses penyederhanaan sistem kepartaian yang juga diiringi dengan penguatan sistem presidensial. Banyaknya jumlah parpol seperti yang selama ini terjadi makin menyebabkan sering terjadinya deadlock atas suatu kebijakan pemerintah ketika dibahas di parlemen. Akibatnya, stabilitas politik sulit dicapai.20

Mereka yang mengusung angka PT lebih tinggi umumnya merujuk pengalaman negara lain. Jerman, misalnya, menerapkan angka 5 persen untuk pemilu mereka. Namun, perlu digarisbawahi, di Jerman penentuan lolos tidaknya suatu parpol untuk mendapatkan kursi parlemen tidak semata-mata didasarkan pada perolehan suara sah secara nasional saja, melainkan juga kemenangan suatu parpol di distrik pemilihan. Di Jerman, sistem yang diterapkan adalah MMP (mixed member proportional). Suatu parpol dapat memperoleh kursi di DPR bila (1) memperoleh suara sah secara nasional sebesar 5 persen dan (2) memenangkan setidaknya tiga kursi di distrik pemilihan. Selain itu, mereka yang menang di distrik pemilihan tetap akan memperoleh kursi kendati partai yang bersangkutan tidak lolos PT.

Dengan menerapkan begitu saja kenaikan PT menjadi 5 persen tanpa memikirkan jalan keluar lainnya, pemilu di Indonesia akan menjadi ajang ―membunuh‖ suara-suara minoritas dari parpol kecil. Penyederhanaan parpol memang penting dan memang kompatibel untuk sistem presidensial, namun hal tersebut harus dicapai dengan cara elegan dan bermartabat, serta tetap dalam koridor demokrasi dan konstitusi.

20

”Muhatdi: PT 5 Persen Akan Ubah Peta Politik Pemilu 2014”, www.tempointeraktif.com, 27 Desember 2010.

Page 44: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

36 Bab 3

Table 15 : Ambang Batas di Beberapa Negara Untuk Kursi di Parelemen

No Negara Sistem Pemilu Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

1 Bulgaria List PR 240 4% suara nasional

14 parpol dan 4 koalisi

Sumber: OSCE ODHIR election reports - Republic of Bulgaria – Parliamentary Elections, 5 July 2009

6

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2045_E.htm

2 Republik Ceko List PR 200 5% suara nasional

10% untuk koalisi 2 partai

15% untuk koalisi 3 partai

20% untuk koalisi 4 partai atau lebih

25 partai dan koalisi

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2083_E.htm

5

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2083_E.htm

3

Jerman MMP 598 5% suara nasional

atau 3 kursi

29 partai

Sumber: http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundestagswahlen/BTW_BUND_09/presse/41_Anerkannte_Parteien.html

6

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2121_E.htm

4 Italia List PR 630 10 % suara sah total untuk koalisi

2% suara sah total untuk daftar partai politik dalam sebuah koalisi

4% suara nasional untuk partai politik yang tidak berafiliasi dengan koalisi politik

20% suara di daerah pemilihannya untuk language minority lists.

Data tidak tersedia 9

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2157_E.htm

5 Israel List PR 120 2% suara sah 34 partai politik

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2155_E.htm

12

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2155_E.htm

6 Latvia List PR 100 5% suara nasional 19 partai politik

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2177_E.htm

7

Sumber: http://www.ipu.org/parline-

Page 45: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 37

No Negara Sistem Pemilu Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

e/reports/2177_E.htm

7 Liechenstein List PR 25

8% suara nasional 3 partai politik (62 kandidat)

Sumber: http://www.osce.org/odihr-elections/documents.html?lsi=true&limit=10&grp=463

3

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2187_E.htm

8 New Zealand MMP 120 5% atau setidaknya memenangkan satu electorate seat

19 partai politik

Sumber: http://www.elections.org.nz/elections/candidates-and-parties/party-lists.html

7

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2233_E.htm

9 Belanda List PR 150 0.67% suara nasional 18 partai politik

Sumber: http://www.kiesraad.nl/nl/English/English-News/English-News-News/English-News-News-2010/Results_of_the_9_June_2010_House_of_Representatives_elections.html

10

Sumber: http://www.ipu.org/parline-e/reports/2231_E.htm

10 Polandia List PR 460 5% suara nasional untuk partai politik

8% suara nasional untuk koalisi

Daftar Minoritas Nasional tidak dikenakan threshold

Data tidak tersedia 5

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2255_E.htm

11 Rumania List PR 345 Majority sistem: Kandidat yang mendapatkan lebih dari 50% suara.

Propotional system:

5% untuk partai politik

Parai politik yang tidak memenuhi suara nasional masih bisa mendapatkan

Data tidak tersedia 5

Sumber:

http://www.roaep.ro/en/section.php?id=69

Page 46: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

38 Bab 3

No Negara Sistem Pemilu Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

kursi di parlemen jika memenangkan pemilihan di 6 daerah pemilihan untuk parlemen atau memenangkan 3 daerah pemilihan untuk senat.

8% untuk aliansi 2 partai

9% untuk aliansi 3 partai

10% untuk aliansi 4 partai atau lebih

12 Slovakia List PR 150 5% suara nasional 18 partai politik

Sumber:

Slovak Republic

Parliamentary Elections, 12 June 2010

OSCE/ODIHR Needs Assessment Mission Report

6

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2285_E.htm

13 Slovenia List PR 90 4% Data tidak tersedia 7

Dengan 2 kursi untuk perwakilan etnik minoritas

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2287_E.htm

14 Swedia List PR 349 4% suara nasional atau 12% suara di daerah pemilihan

Data tidak tersedia 7

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2303_E.htm

15 Turki List PR 550 10% suara nasional

Catatan:

Ada waiver untuk threshold bagi kandidat independen. Setelah terpilih kandidat independen dapat membentuk aliansi dalam parlemen.

14 partai

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2323_E.htm

3 dan 26 kursi independen

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2323_E.htm

Page 47: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 39

No Negara Sistem Pemilu Jumlah Anggota Parlemen

Persentase Threshold Jumlah Parpol/Koalisi Parpol Ikut Pemilu

Jumlah Parpol/Koalisi Parpol dalam Parlemen

Sumber:

http://www.todayszaman.com/columnist-225414-do-we-need-an-election-threshold-in-turkey.html

16 Ukraina List PR 450 3% 20 partai politik dan electoral block

Sumber:

UKRAINE

PRE-TERM PARLIAMENTARY ELECTIONS

30 September 2007 - OSCE/ODIHR Election Observation Mission Final Report

5 partai

Sumber:

http://www.ipu.org/parline-e/reports/2331_E.htm

Sumber: IPU Parline Database http://www.ipu.org/parline-e/parlinesearch.asp, ACE Project http://aceproject.org/, German Federal Returning Officer http://www.bundeswahlleiter.de/en/, Election Resources Online http://electionresources.org, European Election Database http://www.nsd.uib.no/european_election_database/, OSCE/ODIHR Election Observation Mission Reports http://www.osce.org/odihr-elections/, New Zealand Electoral Commission http://www.elections.org.nz

***

Page 48: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

40 Bab 3

Table 16 : Usulan Perubahan Parliamentary Threshold

UU PEMILU 2009 USULAN PERUBAHAN

Pasal 202

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara: a. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR;

b. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPRD provinsi untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR provinsi;

c. sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah dalam pemilu anggota DPRD kabupaten/kota untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPRD kabupaten/kota.

Pasal 203

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

Pasal

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal..., tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di masing-masing daerah pemilihan.21

21

Bila sistem MMP yang diterapkan, kalimat ini tidak diperlukan.

Page 49: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 41

Page 50: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Bab IV

Permasalahan Daftar Pemilih Pemilu di

Indonesia

emilu-pemilu di era Reformasi pada umumnya dipuji sebagai pemilu yang relatif demokratis bila dibandingkan pemilu-pemilu pada era Orde Baru. Kendati demikian, bila dibandingkan antara satu pemilu ke pemilu lainnya pada era Reformasi, trennya bukan malah membaik. Pelaksanaan pemilu

makin lama kian banyak masalah. Pemilu terakhir pada era Reformasi (Pemilu 2009) bahkan dinilai paling buruk bila dibandingkan dua pemilu sebelumnya (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004). Hal yang paling menyumbang bagi karut-marut Pemilu 2009 adalah masalah daftar pemilih tetap (DPT).

Banyak pemilih yang tercecer pada Pemilu 2009 karena tidak masuk dalam DPT. Padahal, terdaftar dalam DPT adalah syarat untuk dapat menggunakan hak memilih bagi warga negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah sebagaimana amanat UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008). Artinya, bila tidak tercantum dalam daftar pemilih, WNI yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah tidak dapat menggunakan hak memilihnya.

Tidak ada yang tahu secara persis berapa pemilih yang tidak terdaftar dalam Pemilu 2009. Sekadar gambaran, laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan terdapat sekitar 25-40% pemilih kehilangan hak memilih karena tidak masuk daftar pemilih.22 Sebelumnya, hasil audit daftar pemilih Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap daftar pemilih sementara (DPS) pada Juli-Agustus 2008 menunjukkan sekitar 20,8% masyarakat belum terdaftar.23 Kondisi ini justru bertentangan dengan hakikat hak memilih yang dinilai sebagai hak asasi manusia. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, penghilangan hak memilih warga karena tidak terdaftar dalam DPT adalah suatu hal yang serius.

22 Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009, Jakarta,

Komnas HAM, 2009 23 Audit Daftar Pemilih Pemilu 2009,

http://www.lp3es.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=189&Itemid=73, 1 Agustus 2008. Diakses pada tanggal 12 Maret 2011.

P

Page 51: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 43

Dalam konteks Indonesia, jaminan terhadap hak memilih (the right to vote) tidak hanya berasal dari undang-undang, melainkan juga konstitusi. Selain itu, sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa di dunia, Indonesia juga mengakui dan telah terikat dengan instrumen-instrumen internasional yang mengatur hak memilih. Beberapa instrumen hukum yang mengatur hak memilih baik secara eksplisit maupun implisit antara lain sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa ―Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.‖ Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 menentukan bahwa: ―(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum‖; ―(3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.‖

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, ―Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.‖ Pertimbangan hukum dari MK menggunakan kedua pasal dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk menyatakan bahwa hak untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin konstitusi.

Pada tingkat undang-undang, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak memilih dalam Pasal 43 yang menyatakan bahwa, ―Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.‖

Selain tiga macam dasar hukum lokal tersebut, jaminan hak memilih juga terdapat dalam instrumen hukum internasional yang juga berlaku di Indonesia baik karena telah diratifikasi maupun karena instrumen dimaksud merupakan pernyataan yang harus diikuti oleh suatu negara sebagai warga bangsa-bangsa di dunia. Beberapa instrumen hukum internasional tersebut antara lain.

Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa: ―(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; (3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara‖.

Page 52: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

44 Bab 4

Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 ICCPR menyatakan bahwa, ―Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan: a) Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.‖

Dalam Universal Declaration on Democracy terdapat prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu yang merupakan kunci untuk menjalankan demokrasi. Elemen kunci dalam menjalankan demokrasi adalah menjalankan pemilu yang adil dan bebas dan membuka kesempatan warga negara untuk mengekspresikan keinginannya. Pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas universal, kesamaan, dan kerahasiaan sehingga semua pemilih dapat memilih wakilnya dengan keadaan bebas, terbuka, dan transparan yang dapat mendukung kompetisi politik. Oleh sebab itu, hak-hak sipil dan hak-hak politik adalah sesuatu yang esensial, dan yang paling khususnya hak atas akses terhadap informasi, mengorganisasikan partai politik, dan menjalankan aktivitas politik.24

Agar warga negara dapat menggunakan hak demokrasi mereka untuk memilih, diperlukan adanya sistem pendaftaran pemilih yang komprehensif dan inklusif. Daftar ini harus dikelola dengan baik untuk menjamin bahwa warga negara yang sudah memenuhi ketentuan untuk memilih telah terdaftar untuk memilih. Daftar pemilih bertujuan untuk menjamin bahwa semua warga negara yang sudah memiliki hak memilih dapat berpartisipasi dalam pemilu; untuk mencegah orang-orang yang tidak punya hak untuk memilih berpartisipasi dalam pemilu; dan untuk mencegah pemberian suara berulang dari orang yang sama. Akurasi daftar pemilih adalah elemen yang penting untuk menjamin bahwa seluruh konsituen yang eligible dapat mempergunakan hak mereka untuk memilih.25 Sebuah daftar pemilih juga berfungsi sebagai alat kontrol legitimasi atas proses pemungutan suara yang digunakan oleh penyelenggara pemilu. Daftar ini juga digunakan dalam pendidikan pemilih serta dapat digunakan oleh partai politik dan calon peserta pemilu untuk membantu mereka dalam kampanye.26 Daftar pemilih berperan penting dalam melegitimasi proses pemilu karena melalui daftar tersebutlah pemilih dapat mengonfirmasi eligibility mereka. Sebaliknya, legitimasi proses pemilu sendiri dapat dipertanyakan apabila ada masalah dengan pendaftaran

24 Democracy: Its Principles and Achievement, Inter-Parliamentary Union, 1998, 25 http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter4.htm, diakses pada tanggal 8 April

2011.. 26 Ace Project, http://www.aceproject.org/ace-en/topics/vr/vra/vra01, diakses pada tanggal 7 April 2011.

Page 53: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 45

pemilih, terutama integritas daftar pemilih. Apabila ditemukan data pemilih yang tidak akurat dan ilegal, kepercayaan pemilih akan runtuh dan hal ini akan sangat berbahaya bagi sistem demokrasi yang bergantung pada partisipasi warga negara. Dengan demikian, kegiatan pendaftaran pemilih adalah satu satu kegiatan penting dalam penyelenggaraan pemilu.27

Kekacauan daftar pemilih pada Pemilu 2009 akhirnya berujung pada pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket pelanggaran konstitusional terhadap hak warga negara untuk memilih, atau lebih sering disebut sebagai pansus hak angket DPT yang disahkan pada tanggal 2 Juni 2009 pada sidang paripurna DPR. Tujuan pembentukan hak angket adalah untuk memperbaiki sistem agar masalah penyelenggaraan pemilu, khususnya penetapan penyusunan DPT menjelang pelaksanaan pemilu presiden lebih baik dari pelaksanaan pemilu legislatif sebelumnya dan untuk perbaikan sistem pemilu agar tidak ada lagi keluhan dan pelanggaran HAM terhadap warga negara yang tidak dapat memilih.

Banyaknya warga yang tidak dapat memilih dalam Pemilu 2009 lalu menjadi ironi dari pernyataan bahwa hak memilih adalah hak yang dijamin konstitusi. Hasil evaluasi terhadap integritas proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform (Kemitraan), yang dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD) di tiga daerah (Surabaya, Aceh, dan Jakarta), mengidentifikasi sejumlah masalah. Pada proses pendaftaran pemilih Pemilu 2009 ditemukan berbagai masalah sebagai berikut:28

Sejumlah warga negara yang berhak memilih tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) atau nomor induk kependudukan (NIK), sehingga tidak dapat terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT);

Sebagian besar daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat diandalkan dari segi derajat cakupan, kemutakhiran, dan akurasi, tidak hanya karena pemutakhiran data penduduk dilakukan secara pasif melainkan juga karena pemda tidak mengakomodasi DPT pemilu/pemilu kada sebelumnya dalam penyusunan DP4 pemilu berikutnya;

KPU tidak mempunyai sikap yang jelas terhadap DP4 dari pemda kabupaten/kota yang mempunyai kualitas yang tidak dapat diandalkan;

KPU tidak memiliki parameter yang terukur dalam menerima atau menolak DP4 dari pemda;

persyaratan domisili pemilih yang diterapkan antara de jure dan de facto menimbulkan masalah;

Pemilih bersikap pasif dalam menanggapi DPS karena merasa sudah tercatat sebagai pemilih karena ikut memberikan suara pada pemilu sebelumnya, karena tidak tersedia informasi yang memadai dan menarik mengenai pemutakhiran daftar pemilih, atau menganggap hal lain lebih penting daripada mengecek daftar pemilih;

27 Ibid. 28 Laporan Evaluasi Integritas Proses dan Hasil Pemilu 2009, (Jakarta: Kemitraan).

Page 54: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

46 Bab 4

Pembentukan Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP) tidak hanya terlambat tetapi juga tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan PPDP;

Panitia pemungutan suara (PPS) dan PPDP cenderung bersikap pasif (menunggu di kantor desa/kelurahan) dalam pemutakhiran daftar pemilih;

Hanya sedikit partai politik yang meminta salinan DPS kepada PPS, dan PPS hanya akan memberikan salinan DPS kepada partai bila wakil partai mengganti biaya fotokopi;

Panitia pengawas pemilu belum terbentuk ketika KPU melaksanakan program pemutakhiran daftar pemilih, sehingga tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan tahap pemutakhiran daftar pemilih, dan;

KPU beserta seluruh jajarannya di daerah tidak cukup transparan dalam membuka data pemilih kepada publik.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam laporan hasil pemantauan yang dilakukan di lima provinsi (Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua, Sumatra Utara, dan DKI Jakarta) mengidentifikasi empat masalah utama yang terkait daftar pemilih, yaitu:29 (1) masalah penyelenggara pemilu; (2) masalah keterlambatan pembentukan panitia pengawas pemilu (panwaslu); (3) data kependudukan dan penyusunan daftar pemilih; dan (4) pemutakhiran data pemilih dan pemutakhiran daftar pemilih.

Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009 yang dibentuk Komnas HAM menemukan beberapa penyebab ketidakakuratan daftar pemilih, yaitu:30 (1) karut-marutnya sistem administrasi kependudukan Depdagri; (2) tidak adanya kebijakan khusus sistem penganggaran pemilu; (3) ketidakmampuan kelembagaan KPU, dan kelemahan organisasional eksekusi Pemilu Legislatif 2009; dan (4) lemahnya perangkat lembaga pengawas pemilu.

Laporan KPU dalam evaluasi pelaksanaan Pemilu 2009 menyebutkan bahwa salah satu masalah dalam Pemilu 2009 yang paling banyak mendapat sorotan adalah mengenai daftar pemilih. Bahkan, selama dan sesudah pemilu berjalan, daftar pemilih menjadi salah satu isu menonjol yang digunakan untuk mengkritik penyelenggara pemilu. Dalam evaluasi Pemilu 2009 yang diadakan oleh KPU terbukti bahwa isu pendaftaran pemilih memuat masalah yang paling banyak dibandingkan isu-isu pemilu lainnya.31 Menurut KPU, masalah daftar pemilih dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kurang sinkronnya aturan, khususnya mengenai pembentukan PPK dan PPS sehingga terlambat dibentuk; (2) buruknya data awal yang berasal dari data kependudukan yang dihasilkan oleh Departemen Dalam Negeri menjadi akar masalah yang penting dari karut-marutnya daftar pemilih, dan sistem administrasi kependudukan ternyata juga tidak membantu memperjelas masalah ini; (3) terlambatnya petunjuk teknis dalam melakukan pemutakhiran daftar pemilih menyebabkan pelaksana pemilu di daerah 29 Laporan Hasil Pemantauan Formappi, Akar Masalah Daftar Pemilih Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden

2009, dan Saran Perbaikannya: Temuan Dari Lima Provinsi, Jakarta: Formappi, 11 September 2009. 30 Laporan Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009, (Jakarta:

Komnas HAM, 2009). 31 Laporan Evaluasi Pelaksanaan Pemilu 2009, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2010).

Page 55: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 47

kesulitan menjalankan tugas pemutakhiran daftar pemilih; (4) Dari sisi masyarakat, adanya sikap kurang aktif untuk mengecek daftar sementara dan memberikan usulan perbaikan.

Banyak yang menyatakan bahwa sumber permasalahan DPT telah ada sejak dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yakni data kependudukan yang dimiliki oleh pemerintah yang kemudian diserahkan kepada KPU untuk dimutakhirkan dan diolah. Data yang telah bermasalah menjadi semakin bermasalah saat KPU tidak mampu mengolah dengan baik DP4 tersebut.

Penyebab kekacauan DPT juga mengemuka dalam focused group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Centre for Electoral Reform (CETRO) di empat daerah, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar, yang dihadiri legislator, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM.. Permasalahan DPT dilihat oleh beberapa peserta FGD di Aceh dan Pontianak terjadi dikarenakan penanggungjawab tidak jelas dan waktu pemutakhiran yang tidak memadai. Hal ini yang menyebabkan banyaknya pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan banyak juga yang tidak memiliki hak memilih masuk di dalam DPT. Peserta di Makassar melihat persoalan DPT muncul dikarenakan adanya ketidaksinkronan antara UU Nomor 23/2006 (Pasal 101) dan UU Nomor 10/2008 (Pasal 33 ayat [2]). Selain itu, DP4 menjadi satu-satunya sumber data, formulir pendaftaran terlalu rumit, jumlah PPDP hanya satu orang per desa/kelurahan dan masa kerja singkat (hanya 3 minggu), pengumuman yang terbatas hanya di masjid dan kantor desa. Peserta FGD Jakarta juga menyoroti bahwa KPU kurang memasukkan data terhadap penyandang cacat sehingga penyandang cacat tidak mendapatkan akses dalam pemilu.

Selain apa yang telah dikemukakan, kajian ini menyoroti beberapa hal yang menyebabkan DPT bermasalah, yaitu:

A. Tidak Ada Daftar Pemilih Yang Berkelanjutan

Kompleksnya masalah data pemilih terjadi karena data yang dibutuhkan oleh KPU tidak cocok dengan sistem manajemen data yang didapat dari Departemen Dalam Negeri (kini Kementerian Dalam Negeri). Pada April 2008, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memberikan data penduduk baik penduduk desa maupun kota kepada KPU sebanyak kurang lebih 70.000 file data dalam format excel. Data tersebut kemudian dikembangkan oleh KPU untuk menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Penyusunan DPS juga mengalami kendala yang tidak bisa diatasi oleh KPU karena terbatasnya biaya dan waktu penyusunan. Penyusunan DPT pada Pemilu 2009 tidak seperti cara penyusunan data pemilih pada Pemilu 2004 yang didasarkan pada sistem door-to-door.32

Terkait dengan data yang diberikan pemerintah, Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) mengidentifikasikan hal-hal sebagai berikut:33

32 Adam Schmidt. Indonesia‘s 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam buku

Problems of Democratisation in Indonesia; Elections, Institutions, and Society. ISEAS. 2010. hal. 107. 33 Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), ―Masalah Data Pemilih dalam Pemilu

Nasional Indonesia 2009‖ (Jakarta: September 2009).

Page 56: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

48 Bab 4

Data kependudukan dari pemda pada umumnya tidak akurat (misalnya tidak dicantumkannya nomor induk kependudukan (NIK) dan tidak sesuai dengan data yang ada di lapangan. Ketika KPUD meminta NIK dari dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah agar dapat dimasukkan ke dalam daftar pemilih, NIK tersebut tidak diberikan karena takut melanggar undang-undang. Sebab, menurut UU 10/2008, proses pemutkahiran data kependudukan menjadi daftar pemilih sudah menjadi tanggung jawab KPU/KPUD, yang menurut UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu bersifat independen.

Data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah tidak dalam format yang sama (ada yang dalam format pdf, excel, dan juga word). Akibatnya, ketika dilakukan proses konversi di tingkat PPS dan KPUD kabupaten/kota muncul permasalahan besar karena begitu beragamnya ketidakkompatibelan format data.

Sumber daya manusia yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan pemutakhiran data penduduk dan pemilih di daerah-daerah umumnya masih rendah.

Petugas pendaftaran data pemilih tidak melakukan pendataan dari rumah-ke rumah dan banyak di antaranya yang tidak melibatkan RT/RW (contoh kasus di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan).

Rentang waktu yang disediakan untuk melakukan pemutkahiran data pemilih oleh PPS terlalu singkat, hanya tiga bulan, sedangkan rentang waktu bagi PPDP untuk menyelesaikan tugasnya hanya satu bulan. Hal ini diperparah lagi karena data kependudukan yang diperoleh dari pemerintah daerah tidak akurat dan penyampaiannya kepada KPU juga tidak tepat waktu.

Kesadaraan warga untuk mengecek dirinya sudah terdaftar dalam daftar pemilih ataukah belum masih rendah.

B. Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab Antara Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu Tidak Jelas

Pada Pemilu 2009, pemerintah menjadi sumber data untuk data pemilih. Kemudian data tersebut diolah dan dimutakhirkan oleh KPU untuk menjadi daftar pemilih. Dalam proses pengolahan data ini sering terjadi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah dan KPU. KPU merasa bahwa data yang diberikan dari pemerintah kualitasnya buruk, dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memperbaikinya.34 Sebaliknya, pemerintah beranggapan bahwa sudah menjadi tugas KPU untuk memutakhirkan data yang telah mereka berikan.

34 Endang Sulastri, anggota KPU, dalam FGD CETRO: Perubahan UU Pemilu: Reformasi Lanjutan Pemilu

Indonesia., Hotel Shantika, Jakarta, 23 Februari 2011.

Page 57: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 49

C. Waktu Yang Terbatas

Pemilih memang dianjurkan untuk melakukan pengecekan apakah dirinya sudah masuk ke dalam daftar pemilih atau belum. Namun, penyedia data tetaplah dari penyelenggara pemilu. Data kependudukan yang menjadi cikal-bakal data pemilih seharusnya sudah diserahkan ke KPU satu tahun atau 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Hal ini tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU 10/2008. Artinya, data kependudukan sudah harus diserahkan kepada KPU pada April 2008, namun undang-undang yang mengatur hal tersebut baru diundangkan pada tanggal 28 Maret 2008. Hal inilah antara lain yang menyebabkan pengadaan data kependudukan menimbulkan banyak masalah. Permasalahan yang menonjol antara lain WNI yang memiliki hak pilih tidak terdaftar namanya di dalam daftar pemilih. Sementara ada yang seharusnya belum terdaftar, tetapi sudah didaftar (WNI di bawah 17 tahun); seharusnya sudah tidak lagi terdaftar (WNI yang telah meninggal dunia); atau yang tidak boleh didaftar (anggota TNI/Polri). Hal lain yang menonjol adalah pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali, yang kemudian dikenal sebagai pemilih ganda.

D. Kemampuan Petugas Lapangan Yang Tidak Memadai

Petugas yang tidak memiliki keterampilan menjadi salah satu permasalahan dalam Pemilu 2009. Tidak seperti pada Pemilu 2004, Pemilu 2009 tidak melaksanakan pelatihan standar kepada staf penyelenggara pemilu. Hal ini disebabkan lambatnya pembuatan undang-undang pemilu sehingga tidak ada waktu untuk pembuatan modul pelatihan. Kurangnya pelatihan kepada staf penyelenggara pemilu tidak hanya membuka kesalahan administratif, melainkan juga melemahkan integritas proses penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.35

Sebagai contoh, petugas yang tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan kesalahan rekapitulasi DPT Pemilu Legislatif 2009. Hal ini diakui oleh Ketua Kelompok Kerja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Sri Nuryanti saat penetapan DPT tanggal 28 November 2008. Ia mengatakan bahwa penurunan jumlah pemilih terjadi karena kesalahan petugas KPU kabupaten/kota dalam memasukkan data. Penetapan DPT pertama kali dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2008 dengan jumlah pemilih 170.022.239 orang. Penetapan dilakukan kedua kalinya pada tanggal 28 November 2008 dengan jumlah pemilih mengalami peningkatan menjadi sebesar 171.068.667 orang.36

35 Adam Schmidt. Indonesia’s 2009 Election: Performance Challenges and Negative Precedents dalam Buku Problems

of Democratisation in Indonsia. Elections, Institutions, and Society, ISEAS, 2010, p 115 36 http://www.pemiluindonesia.com/berita-pemilu/pemilu-2009-jumlah-pemilih-171068667-orang.html

Page 58: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

50 Bab 4

E. Tidak Adanya Sistem Pendaftaran Pemilih yang Jelas dan Dapat Diakses Pemilih

UU 10/2008 mengindikasikan bahwa data kependudukan yang dimiliki oleh pemerintah merupakan bahan dasar penyusunan daftar pemilih tetap oleh KPU. Yang dimaksudkan dengan data kependudukan adalah data penduduk dan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4). Pemutakhiran data daftar pemilih dilakukan berdasarkan DP4. Sistem yang berjalan seharusnya adalah sebagai berikut.

DP4 diserahkan pemerintah kepada KPU. KPU melakukan pemutakhiran data dengan dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat;

Daftar pemilih sementara (DPS) diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu;

DPS hasil perbaikan diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu. PPS wajib memperbaiki DPS berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta pemilu;

DPS disampaikan PPS ke PPK dan KPU kab/kota menetapkan DPT berdasarkan DPS dari PPS.

Idealnya, DP4 sebagai data awal dari pemerintah harus menjadi data yang bersih.

Kemudian data yang telah bersih tersebut akan menjadi semakin mutakhir dengan pemutakhiran. Ternyata, fakta yang terjadi tidak seperti itu. DP4 yang buruk dan kualitas pemutakhiran yang juga tidak baik menjadikan sistem pendataan daftar pemilih menjadi tidak jelas. Akhirnya terjadi saling tuding antara pemerintah dan KPU. KPU merasa pemutakhiran data tidak maksimal dikarenakan DP4 yang sangat buruk. Di sisi lain pemerintah merasa bahwa pemutakhiran data yang tidak beres di KPU yang menjadi penyebab buruknya DPT Pemilu 2009.

Sistem pendataan daftar pemilih yang baik akan menghasilkan sebuah daftar pemilih yang juga baik. Daftar pemilih yang baik adalah daftar yang memungkinkan seluruh orang yang memiliki hak untuk memilih ada di dalamnya dan memiliki kesempatan hanya satu kali untuk memilih serta menganut prinsip kesempatan yang sama untuk memilih. Sistem yang akan digunakan harus mencerminkan dua hal, yaitu sesuai dengan kondisi lokal dan masuk akal serta sesuai dengan kondisi keuangan dan administrasinya.

Sebelum membentuk daftar pemilih terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dulu untuk menentukkan sistem apa yang akan dipakai, seperti apakah daftar harus dibuat yang baru keseluruhan ataukah memperbaiki daftar yang sudah ada; bagaimana cara pendataan, apakah menggunakan kartu

Page 59: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 51

identitas? Jika iya, informasi apa saja yang harus terdapat dalam kartu tersebut; apakah proses pendaftaran dilakukan secara sukarela ataukah merupakan kewajiban; apa saja yang dapat dilakukan oleh teknologi, dan lain-lain.37 Pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata tidak dapat dijawab dengan baik dengan sistem pendaftaran pemilih pada Pemilu 2009.

F. Kelemahan Penyelenggara Pemilu

Tidak bisa dimungkiri bahwa banyaknya permasalah yang terjadi pada Pemilu 2009 sebagian disebabkan karena faktor penyelenggara pemilu di tingkat pusat (KPU). Rekrutmen anggota KPU pada tahun 2007 ditengarai banyak persoalan. Mereka yang dinilai lebih berkualitas justru tidak terpilih. Mereka-mereka yang terpilih umumnya lebih ditentukan karena kedekatan dengan kelompok-kelompok baik yang ada di panitia seleksi maupun di DPR. Sistem meritokrasi sama sekali tidak jalan.

Terkait dengan hal tersebut, Formappi mengidentifikasikan antara lain hal-hal sebagai berikut: 38

Penyelenggara pemilu pada Pemilu 2009 dianggap bermasalah karena proses rekrutmennya yang juga tidak mendasarkan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang pemilu. Anggota tim seleksinya pun ada yang diusulkan oleh presiden atau kepala daerah yang banyak di antaranya memiliki jabatan di partai politik.

Pembentukan aparat penyelenggara pemilu di tingkat daerah, mulai KPU kab/kota, panitia pemilih kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat kelurahan/desa, hingga kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dinilai terlambat. Keterlambatan pembentukan aparatur di tingkat bawah ini berimplikasi negatif karena sempitnya waktu yang tersedia untuk menyosialisasikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab mereka sebagai penyelenggara pemilu, serta tata cara pemungutan dan penghitungan suara. Keterlambatan ini juga berimplikasi pada minimnya waktu penyosialisasian tahap-tahap pemilu dan tata cara memilih kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat kurang memahami apa dan bagaimana tehap-tahap pemilu berlangsung (termasuk tahap-tahap proses pendaftaran dan penyusunan daftar pemilih).

Penguasaan terhadap teknologi informasi intuk input data pemilih oleh aparat penyelenggara di PPS juga kurang memadai. Hal ini masih diperparah dengan minimnya dukungan dana (kasus Papua dengan kondisi geografis yang ekstrem hanya diberikan dukungan dana sebesar Rp. 250.000 per bulan) serta rendahnya kualitas sarana dan buruknya prasarana, antara lain komputer. Sementara honor untuk para petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) hanya sebesar Rp. 300.000.

37 http://www.aceproject.org/ace-en/topics/vr/vr10?toc 38 Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Masalah Data Pemilih dalam Pemilu Nasional Indonesia 2009, September 2009.

Page 60: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

52 Bab 4

Keterlambatan serupa juga dialami pada pembentukan panitia pengawas pemilu, mulai dari panwaslu provinsi, panwaslu kab/kota, panwaslu kecamatan, hingga panitia pengawas lapangan (PPL) di tingkat desa/kelurahan. Keterlambatan ini berimplikasi negatif pada tidak optimalnya pelaksanaan tugas panwas dalam mengawasi proses pendaftaran dan penyusunan daftar pemilih. Hal ini diperburuk lagi karena sering panwas pun sangat sulit untuk mendapatkan data-data pemilih (DPS) dari penyelenggara pemilu. Dalam banyak kasus, panwas baru dapat akses dan meneliti pemilih setelah ditetapkan menjadi DPT.

Rekomendasi

Kendati soal daftar pemilih telah sangat mengancam integritas Pemilu 2009, upaya yang dilakukan untuk memperbaiki daftar pemilih sangat terbatas. Mengutip Peter Erben, ‖Diskusi tentang reformasi pemilu tampaknya terpusat pada bagaimana mengutak-atik sistem pemilu untuk dapat membatasi jumlah partai yang memiliki akses untuk membuat legislasi, bagaimana membatasi jumlah partai yang berkuasa, dan juga mengenai KPU itu sendiri. Kenyataan bahwa tidak ada sebuah negara pun yang dapat melaksanakan pemilu yang berkualitas tanpa memiliki daftar pemilih yang berkualitas, hanya mendapatkan perhatian yang sangat terbatas.‖39 Satu pandangan yang kuat perlu diperhatikan. Dalam upaya terus memperbaiki pemilu di Indonesia dengan berupaya memperbaiki beragam permasalahan yang ada, maka perhatian terhadap perbaikan daftar pemilih perlu mendapat porsi penekanan yang besar.

Dalam rangka memperbaiki daftar pemilih di masa depan, Hasyim Asy‘ari dari dari Partnership for Govenance Reform (Kemitraan) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, perlunya dianut sistem pendaftaran pemilih berkelanjutan (continuous register or list) dalam setiap undang-undang yang mengatur tentang pemilu (pemilu legislatif, pilpres dan pilkada). Kedua, perlunya penguatan kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pendaftaran pemilih karena selama ini dalam struktur organisasi Sekretariat Jenderal KPU (Peraturan KPU No. 06 Tahun 2008) tidak ada bagian yang khusus menangani daftar pemilih. Ketiga, tersedianya sumber data yang memadai. Keempat, tersedianya anggaran khusus pemilu. Kelima, partisipasi pemilih dan peserta pemilu.40

Berdasarkan masalah-masalah yang disoroti pada bagian terdahulu, kajian ini menawarkan beberapa alternatif solusi sebagai berikut.

39 Peter Erben, Beberapa Gagasan untuk Penguatan Pendaftaran Pemilih di Indoensia, makalah disampaikan

dalam ―Seminar Internasional tentang Pendaftaran Pemilih‖, Jakarta, 30 Maret 2011. 40 Selengkapnya lihat Hasyim Asy‘ari, Pendaftaran Pemilih di Indonesia, makalah pada Seminar Internasional

―Pendaftaran Pemilih di Indonesia‖, diselenggarakan oleh E-MDP UNDP, Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Rabu, 30 Maret 2011.

Page 61: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 53

1. Syarat untuk memilih: 17 tahun pada tahun pemilu

Baik UU 10/2008 maupun UU 42/2008 menyatakan bahwa yang berhak memilih adalah WNI yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin pada saat pemilihan (pemungutan suara). Aturan ini sudah dipakai di Indonesia dari pemilu ke pemilu. Namun, kajian ini melihat bahwa penentuan berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin pada saat pemungutan suara dapat menimbulkan persoalan mengingat dalam satu tahun dilaksanakan lebih dari satu kali pemilu.

Bila usia 17 tahun ditentukan pada saat pemungutan suara, daftar pemilih harus selalu dimutakhirkan untuk pemilu lainnya dalam tahun yang sama, atau bila jadwal pelaksanaan pemilu itu sendiri digeser waktunya. Misalnya, Pemilu 2009 pada awalnya ditetapkan pada tanggal 5 April 2009, tetapi kemudian digeser menjadi tanggal 9 April 2009. Sudah tentu mereka yang berusia 17 tahun pada tanggal 6 hingga 9 April harus pula didaftar. Padahal, sebelumnya mereka tidak didaftar karena belum berusia 17 tahun. Demikian pula untuk pilpres, data pun juga harus dimutakhirkan setelah pemilu legislatif. Pada tahun 2009, pemilu legislatif dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 sementara pilpres pada tanggal 8 Juli 2009. Sudah tentu mereka yang berusia 17 tahun setelah tanggal 9 April hingga 8 Juli 2009 harus didaftarkan sebagai pemilih.

Itulah sebabnya, kajian ini menawarkan agar usia 17 tahun tidak dihitung pada saat pemungutan suara, melainkan pada tahun pemilu. Misalnya pemilu berikutnya dilaksanakan pada tahun 2014 maka siapa saja WNI yang akan mencapai usia 17 tahun pada tahun ini didaftar sebagai pemilih. Dengan demikian, sejak jauh-jauh hari sudah dapat dipastikan siapa saja WNI yang akan memilih pada Pemilu 2014 walaupun tanggal pelaksanaan pemilu baik pemilu legislatif maupun pilpres belum ditentukan. Hal ini jelas akan mempermudah penyusunan daftar pemilih oleh KPU/KPUD.

Kajian ini juga merekomendasikan agar frase ―dan/atau sudah kawin‖ dihilangkan. Syarat untuk memilih sebaiknya hanya menggunakan batas usia. Siapa saja yang sudah mencapai 17 tahun pada tahun pemilihan berhak untuk memilih, tidak peduli apakah yang bersangkutan sudah/pernah kawin atau belum. Penghilangan syarat kawin ini juga dapat menimbulkan kesan bahwa undang-undang yang mengatur pemilu tidak pro terhadap perkawinan muda (di bawah umur).

Alangkah baiknya juga bila para anggota TNI/Polri diberikan hak untuk memilih agar tidak ada persoalan lagi dengan didaftarkannya anggota TNI/Polri yang masih aktif, atau tidak didaftarkannya para anggota TNI/Polri yang telah pensiun. Posisi anggota TNI/Polri sesungguhnya kurang lebih sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang dilarang berpolitik dengan menjadi anggota parpol, tetapi mereka tetap diberikan hak untuk memilih dalam pemilu karena merupakan hak konstitusional setiap warga negara.

Dengan penghapusan syarat sudah/pernah ―kawin‖ untuk memilih, penghapusan larangan memilih bagi anggota TNI/Polri, dan syarat memilih yang hanya didasarkan pada usia 17 tahun dalam tahun pemilihan, daftar

Page 62: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

54 Bab 4

pemilih lebih mudah dibuat dan ditentukan sejak jauh-jauh hari. Kesalahan-kesalahan dalam input data pemilih dapat diminimalisasi.

2. KPU Bertanggung Jawab Sepenuhnya Terhadap Tersedianya Data Pemilih

Saling lempar tanggung jawab terhadap karut-marut data pemilih pada Pemilu 2009 adalah preseden buruk yang harus segera diakhiri. Undang-undang sebaiknya memberikan penegasan bahwa KPU bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tersedianya data pemilih. KPU-lah yang bertanggung jawab terhadap pembuatan dan pemutakhiran terhadap data pemilih, termasuk menyimpan data tersebut untuk digunakan pada pemilu berikutnya. Sedangkan pemerintah bertanggung jawab atas tersedianya data kependudukan secara umum, yang memang tugas dari pemerintah di mana pun di dunia. Data kependudukan dari pemerintah dapat digunakan sebagai bahan untuk memutakhirkan data pemilih, tetapi bukan satu-satunya sumber data.

Adapun langkah-langkah dalam pembuatan dan pemutakhiran data pemilih oleh KPU adalah sebagai berikut:

KPU menggunakan data pemilih pemilu terakhir sebagai basis data pemilih. Dalam hal ini adalah data pemilu Pilpres 2009. Dengan demikian, KPU tidak bergerak dari nol.

Data pemilih tersebut diberikan kepada KPU kabupaten/kota untuk dimutakhirkan setiap saat. Jadi, pemutakhiran tidak dilakukan menjelang pemilu saja. Pemutakhiran harus menjadi kegiatan yang rutin dari KPU kabupaten/kota. Sumber pemutakhiran data pemilih di kabupaten/kota antara lain data pemilih pemilukada terakhir.

KPU dan KPU kabupaten/kota harus mendorong pemilih yang belum terdaftar pada pemilu terakhir untuk mendaftarkan diri. Imbauan juga diberikan kepada partai politik untuk mendorong pemilih yang belum terdaftar, terutama anggota parpol yang bersangkutan, agar mendaftarkan diri. Pendaftaran dapat dilakukan langsung kepada KPU kabupaten/kota setempat. Untuk itu KPU kabupaten/kota harus membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendaftarkan diri.

Hasil pemutakhiran data pemilih oleh KPU kabupaten/kota sepanjang tahun diserahkan kepada KPU pada akhir tahun.

Data-data yang diserahkan KPU kabupaten/kota seluruh Indonesia diteliti kembali oleh KPU dan kemudian diumumkan pada awal tahun berikutnya sebagai data pemilih sementara (DPS). Dengan demikian, pengumuman DPS dilakukan setiap awal tahun, termasuk pada awal tahun pemilu.

Mereka yang belum tercantum dalam DPS yang diumumkan KPU pada awal tahun dapat mendaftarkan diri kepada KPU kabupaten/kota agar didaftar sebagai pemilih. KPU kabupaten/kota akan mendaftar mereka dalam rangka pemutakhiran data pemilih yang memang diadakan setiap saat.

Page 63: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 55

Satu tahun menjelang pemilu, pemerintah menyerahkan data DP4 kepada KPU sebagai bahan pemutakhiran khusus menjelang pemilu. Data dari pemerintah tersebut digunakan KPU kabupaten/kota untuk pengecekan terakhir terhadap data pemilih yang telah mereka mutakhirkan setiap saat. Pemutakhiran juga dilakukan secara door-to-door untuk memastikan semua pemilih terdaftar dengan bantuan unit-unit pemerintahan terkecil (RT/RW, kepala dusun). Dengan demikian, pada pemutakhiran akhir, KPU kabupaten/kota dibekali data dari KPU kabupaten/kota sendiri (yaitu data yang sudah dimutakhirkan setiap saat), data DP4 dari pemerintah, dan data lapangan dengan bantuan unit-unit pemerintahan terkecil.

KPU kabupaten/kota menyerahkan kembali data pemilih yang telah dimutakhirkan untuk terakhir kali tersebut kepada KPU. KPU kemudian meneliti kembali data tersebut dan kemudian mengumumkannya sebagai daftar pemilih tetap (DPT) pada awal tahun pada tahun pemilu yang bersangkutan. DPT itulah yang digunakan sebagai dasar untuk pengadaan logistik pemilu.

Jika ada pemilih yang belum juga terdaftar setelah DPT diumumkan, mereka tetap bisa mendaftar dan dimasukkan ke dalam DPT tambahan hingga 30 hari menjelang pemilu untuk mengantisipasi perlunya tambahan logistik pemilu, terutama surat suara.

Jika setelah 30 hari menjelang pemungutan suara masih ada pemilih yang belum terdaftar, pemilih yang bersangkutan tetap dapat memilih pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP atau paspor dengan terlebih dulu mendaftar pada petugas KPPS. Mereka baru dapat memilih satu jam sebelum pemungutan suara berakhir. Sebaiknya tidak perlu ada ketentuan yang menyebutkan bahwa mereka yang memilih dengan menggunakan KTP harus memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Ketentuan ini sama artinya dengan menghilangkan hak memilih warga negara.

DPT, DPT tambahan, dan pemilih yang memilih menggunakan KTP atau paspor menjadi data awal daftar pemilih untuk pemilihan presiden/wakil presiden. Kepada masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih (melalui DPT, DPT tambahan, atau mendaftar langsung ke petugas KPPS) tetap diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri. KPU/KPUD tetap diberikan tanggung jawab untuk memasukkan pemilih yang belum terdaftar tersebut ke dalam DPT pilpres.

Bila setelah DPT pilpres diumumkan, tetap ada pemilih yang belum terdaftar dan ingin memilih, ketentuan seperti dalam pemilu legislatif juga berlaku untuk mereka. Pertama-tama, mereka diberi kesempatan untuk mendaftar hingga 30 hari menjelang pemilu, kemudian bila ada yang masih belum terdaftar mereka tetap diberi kesempatan untuk memilih satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih dulu mendaftar ke petugas KPPS.

Gagasan agar KPU bertanggung jawab sepenuhnya terhadap data pemilih, sekaligus memelihara dan memutakhirkannya, didukung sebagian besar peserta

Page 64: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

56 Bab 4

FGD yang diadakan CETRO di Jakarta, Banda Aceh, Pontianak, dan Makassar. Dari tabel di bawah dapat terlihat bahwa 31 peserta setuju dan 27 sangat setuju. Hanya 12 peserta FGD yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju.

Table 17 : KPU Membuat, Memutakhirkan dan Memelihara Data Pemilih

Pendapat Jakarta Aceh Pontianak Makassar Jakarta 2011 Total

Sangat Tidak Setuju 1 1 - 2 - 4

Tidak Setuju 2 2 2 1 1 8

Setuju 8 8 5 4 6 31

Sangat Setuju 2 6 7 8 4 27

Blank - - - - - 0

Total 13 17 14 15 11 70

3. Data Pemilih Adalah Data Yang Berkelanjutan

Dengan proses pemutakhiran yang dilakukan setiap saat maka data pemilih harus menjadi data yang berkelanjutan. Berdasarkan skala periode waktu, sistem pendaftaran pemilih terdiri dari tiga jenis, yaitu periodic list, continuous register or list, dan civil registry.41 Sistem periodic list yaitu sistem pendaftaran pemilih hanya untuk pemilu tertentu saja. Sistem continuous register or list adalah sistem pendaftaran pemilih untuk pemilu yang berkelanjutan. Sistem civil registry adalah pendaftaran pemilih berdasarkan pencatatan sipil (penduduk) untuk mendata nama, alamat, kewarganegaraan, umur dan nomor identitas, dengan kata lain pada sistem ini data kependudukan sebagai dasar daftar pemilih dibutuhkan data-sharing agreements. Dengan demikian, data pemilih untuk pemilu-pemilu selanjutnya haruslah data yang berkelanjutan dan sistem pendaftarannya adalah continuous register/ list.

Dengan data yang berkelanjutan, data dari pemerintah berupa DP4 hanyalah data pembanding. KPU dapat menjadikan data tersebut sebagai referensi dalam pemutakhiran data pemilih yang mereka telah punyai. Data pemilih inilah yang akan digunakan untuk pemilu-pemilu selanjutnya. Dengan data pemilih yang berkelanjutan diharapkan tidak ada lagi pemilih yang tidak terdaftar. KPU pun tidak dibuat sibuk menjelang pemilu karena semua tahapan pemilu menumpuk pada saat yang bersamaan.

41ACE-Electoral Knowledge Network, ―Overview of Voter Registration‖, dan ―Guiding Principles of Voter

Registration‖.

Page 65: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 57

Negara seperti Australia menggunakan sistem continous register/list yang dikelola oleh AEC (Australian Electoral Commission).42 Pemilih di Australia dapat mendaftar untuk memilih kapan saja, karena daftar pemilih dimutakhirkan setiap hari. Tanggung jawab untuk mengembangkan, mengelola, dan menjaga keamanan dan integritas daftar pemilih melalui sistem Roll Management System (RMANS) yang terkomputerisasi, berada di bawah unit manajemen pada Divisi Operasi Pemilu di kantor AEC pusat. Namun demikian, seluruh proses pendaftaran dilakukan di kantor AEC lokal di tiap-tiap daerah pemilihan untuk pemilu federal. Daftar pemilih disimpan hanya dalam format elektronik oleh AEC, daftar dalam bentuk hard copy tidak tersedia. AEC menyediakan kopi daftar pemilih elektronik kepada anggota parlemen nasional dan partai politik yang sudah terdaftar pada tingkat federal secara reguler. Publik juga dapat melihat daftar ini di kantor AEC di setiap daerah pemilihan. Selain itu, pemilih juga dapat memverifikasi detail pendaftaran mereka secara online melalui website AEC.

Filipina adalah salah satu negara yang mengubah sistem pendaftaran pemilunya dari sistem periodik menjadi pendaftaran pemilih permanen pada tahun 1996. Untuk memfasilitasi transisi dari periodik ke permanen, pada tahun 1997 diselenggarakan pendaftaran pemilih nasional dan perubahan peta pemilih.43

4. KPU Membangun Data Pemilih Yang Dapat Diakses (Accessible) Setiap Saat

Kemajuan dan menyebarnya penggunaan teknologi, terutama internet, harus dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh KPU untuk membangun suatu sistem pendaftaran pemilih yang dapat diakses oleh pemilih setiap saat. Pemilih hendaknya dapat mengecek apakah namanya sudah tercantum dalam daftar pemilih di KPU atau tidak. Bila namanya belum tercantum, pemilih yang bersangkutan dapat langsung mendaftarkan namanya ke KPU kabupaten/kota setempat. Harus dimungkinkan juga pendaftaran dapat dilakukan melalui online, selain secara manual.

Dalam kaitan dengan hal ini penting diselesaikan terlebih dulu proyek pemerintah yang saat ini sedang berjalan untuk pemberian nomor induk kependudukan (NIK) dan pembuatan KTP elektronik. Dengan mengisi NIK di website data pemilih yang dibangun KPU, pemilih dapat mengecek apakah namanya sudah tercantum atau belum dalam daftar pemilih.

Dengan menjadikan data pemilih sebagai data yang berkelanjutan dan keharusan membangun suatu sistem pendaftaran pemilih yang dapat diakses oleh pemilih, pembuatan data pemilih adalah kegiatan yang terus-menerus, tidak terbatas pada musim pemilu saja. Kondisi ini harus direspons dengan

42 http://aceproject.org/ero-en/regions/pacific/AU/australia-voter-registration-case-

study.pdf/view?searchterm=voter%20registration%20australia, diakses pada tanggal 14 April 2011, pukul 6.54pm.

43 http://aceproject.org/ero-en/regions/asia/PH/philippines-voter-registration-case-study.pdf/view?searchterm=voter%20registration%20philippines, diakses pada 14 April 2011, pukul 7.19pm.

Page 66: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

58 Bab 4

membentuk biro di KPU yang khusus menangani daftar pemilih, sementara di KPU kabupaten/kota dibentuk pula bagian yang juga secara khusus menangani daftar pemilih.

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, kajian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.

1. Syarat untuk dapat memilih: berusia 17 tahun pada tahun pemilu;

2. Data pemilih dibuat dan dipelihara oleh KPU secara berkelanjutan;

3. Data pemilih untuk pemilu berikutnya didapat dari data pemilu terakhir yang dikelola dan dimutakhirkan;

4. Pemerintah menyediakan data DP4 yang digunakan sebagai referensi untuk memutakhirkan data pemilih 12 bulan sebelum pemilu dilaksanakan;

5. KPU membuka akses seluas-luasnya agar pemilih dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau belum;

6. Pemutakhiran data pemilih menjadi kewajiban KPU kabupaten/kota setiap saat;

7. KPU kabupaten/kota melaporkan data pemilih ke KPU setiap akhir tahun, kemudian data ini digunakan oleh KPU pusat untuk dipublikasikan kepada pemilih;

8. Satu tahun menjelang pemilu, KPU dan KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih dengan melibatkan unit pemerintahan terkcil (kepala dusun/ RT/ RW);

9. Dibuat biro khusus di KPU untuk menangani data pemilih;

10. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab membuat dan memutkahirkan data pemilih, KPU membangun sistem daftar pemilih yang terintegrasi secara online dengan KPU kabupaten/kota;

11. Daftar pemilih yang ditetapkan pada awal tahun pemilu digunakan untuk kebutuhan logistik pemilu, terutama pengadaan surat suara;

12. Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dapat mendaftar dalam DPT tambahan dengan cara mendaftar ke KPU kabupaten/kota hingga 30 hari sebelum hari pemungutan suara;

13. Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih dan daftar pemilih tambahan tetap dapat memilih dengan menggunakan KTP atau paspor satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih

Page 67: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 59

Table 18 : Usul Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU 10/200844

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

1 Data Kependudukan

Pasal 32 ayat (1): Pemerintah dan pemerintah daerah menyiapkan data kependudukan

Tetap, dengan catatan bahwa data kependudukan dimaksud digunakan untuk pemutakhiran data pemilih yang sudah ada di KPU.

Pasal 32 ayat (2): Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara

Tetap.

2 Daftar Pemilih Pasal 33 ayat (1): KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih

KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan pemutakhiran daftar pemilih

Pasal 33 ayat (2): Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih

Tetap

Pasal 33 ayat (3): Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS

Dihapus, karena data pemilih sudah tersedia, tinggal dimutakhirkan.

Pasal 33 ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU

Tetap

3 Pemutakhiran data pemilih

Pasal 34 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah

Tetap

Pasal 34 ayat (2): Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan

Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama pada akhir tahun.

Pasal 34 ayat (3): Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS dan PPK

Tetap

44 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah

Page 68: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

60 Bab 4

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

Pasal 34 ayat (4): Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara

Hasil pemutakhiran data pemilih diumumkan sebagai daftar pemilih tetap pada awal tahun pemilu.

Pasal 35 ayat (1): Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat

Tetap.

Pasal 35 ayat (2): Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat dan diberhentikan oleh PPS

Tetap.

4 Penyusunan daftar pemilih sementara

Pasal 36 ayat (1): Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau sebutan lain

Dihapus, karena DPS diumumkan setiap awal tahun. Khusus untuk awal tahun pemilu menjadi DPT.

Pasal 36 ayat (2): Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih

Dihapus.

Pasal 36 ayat (3): Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat

Dihapus. Dengan data yang bisa diakses, masyarakat dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau tidak.

pasal 36 ayat (4): Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan

Dihapus, parpol dapat mengecek melalui website KPU para pemilih yang belum terdaftar, terutama pemilih yang menjadi anggota partai yang bersangkutan.

Pasal 36 ayat (5): Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan

Pasal 36 ayat (6): PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu

Pasal 37 ayat (1): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama

Dihapus

Page 69: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 61

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

3 (tiga) hari untuk

mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu

Pasal 37 ayat (2): PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman.

Pasal 37 ayat (3): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk menyusun daftar pemilih tetap

Pasal 37 ayat (4): PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan

Dihapus

5 Penyusunan daftar pemilih tetap

Pasal 38 ayat (1): KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS

Dihapus

Pasal 38 ayat (2): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam besaran satuan TPS

Tetap

Pasal 38 ayat (3): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS

Dihapus

Pasal 38 ayat (4): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS

Tetap

Pasal 38 ayat (5): KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota

Pasal 39 ayat (1): PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan

Tetap

Page 70: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

62 Bab 4

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

suara

Pasal 39 ayat (2): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS dalam melaksanakan pemungutan suara.

Tetap

Pasal 40 ayat (1): Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara

Daftar pemilih tetap dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara

Pasal 40 ayat (2): Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar

Dihapus, karena DPT dalam kajian ini adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Pasal 40 ayat (3): Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar

sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal

Dihapus.

6 Penyusunan daftar pemilih bagi pemilih luar negeri

Pasal 41 ayat (1): Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara akreditasinya

Tetap

Pasal 41 ayat (2): PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk menyusun daftar pemilih di luar negeri

Dihapus, karena data pemilih sudah ada, yaitu data pemilih pemilu terakhir.

Pasal 42 ayat (1): PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu

PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama pada akhir tahun

Pasal 42 ayat (2): Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data Pemilih

Tetap

Page 71: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 63

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

Pasal 42 ayat (3): Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di negara yang bersangkutan

Tetap

Pasal 42 ayat (4): Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN

Tetap

Pasal 43 ayat (1): PPLN menyusun daftar pemilih sementara Dihapus, sebaiknya diatur bahwa PPLN menyerahkan data pemilih kepada KPU Jakarta Pusat.

Pasal 43 ayat (2): Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih

Dihapus

Pasal 43 ayat (3): Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat

Dihapus

Pasal 43 ayat (4): Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan

Dihapus

Pasal 43 ayat (5): PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdsarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat

Dihapus, mereka yang tidak terdaftar tetap dapat mendaftar dalam DPT tambahan.

Pasal 43 ayat (6): Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.

Dihapus. DPT disusun oleh KPU Jakarta Pusat, sedangkan PPLN hanya melakukan pemutakhiran data pemilih.

Pasal 44 ayat (1): PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.

Dihapus.

Pasal 44 ayat (2): PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.

Dihapus

Page 72: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

64 Bab 4

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

Pasal 45 ayat (1): PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)

KPU Jakarta Pusat yang menyusun DPT berdasarkan data dari PPLN.

Pasal 45 ayat (2): Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam melaksanakan pemungutan suara.

Tetap.

Pasal 46 ayat (1): Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal pemungutan suara

Dihapus, karena pengertian DPT tambahan adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Pasal 46 ayat (2): Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar

Dihapus.

7 Rekapitulasi daftar pemilih

Pasal 47 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di kabupaten/kota.

Tetap

Pasal 47 ayat (2): KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi.

Tetap

Pasal 47 ayat (3): KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional

Tetap

8 Pengawasan dan penyelesaian dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih

Pasal 48 ayat (1): Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS

Disesuaikan dengan kegiatan KPU/KPUD

Page 73: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 65

No Isu Bunyi Pasal Usul Perubahan

Pasal 48 ayat (2): Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN

Disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan PPLN

Pasal 49 ayat (1): Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN

Tetap.

Pasal 49 ayat (2): KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Tetap.

Pasal-pasal di atas adalah pasal yang mengatur kegiatan penyusunan dan pemutakhiran data pemilih dalam jangka waktu satu tahun menjelang pemungutan suara. Kajian ini merekomendasikan adanya data pemilih berkelanjutan yang didasarkan pada data pemilu terakhir. Sehubungan dengan hal tersebut, selain mengatur tentang kegiatan pemutakhiran data pemilih dalam satu tahun terakhir sebelum pemilu dilaksanakan, undang-undang pemilu ke depan hendaknya juga memuat ketentuan tentang pemutakhiran data pemilih setiap saat oleh penyelenggara pemilu, dengan kewajiban mengumumkannya pada awal tahun sebagai daftar pemilih sementara, kecuali pada awal tahun pemilu karena yang diumumkan sudah menjadi daftar pemilih tetap.

Page 74: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

66 Bab 4

Table 19 : Usul Perubahan Pasal Terkait DPT dalam UU Nomor 42/200845

No Issue UU 42/2008 Usul Perubahan

1 Hak Memilih Pasal 27 ayat (1): Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih

Warga Negara Indonesia yang pada tahun pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih mempunyai hak memilih

Pasal 27 ayat (2): Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih

Tetap

Penyusunan daftar pemilih sementara

Pasal 29 ayat (1): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

KPU,KPU Peovinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap, DPT Tambahan, dan daftar pemilih yang memilih menggunakan KTP atau paspor pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota sebagai Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 29 ayat (2): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memutakhirkan Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari

Dihapus

Pasal 29 ayat (3): Daftar Pemilih Sementara hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 7 (tujuh) hari

Dihapus

Pasal 29 ayat (4): KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan selanjutnya menetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap paling lama 7 (tujuh) hari

Dihapus

Pasal 29 ayat (5): Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah ditetapkan 30 (tiga puluh) hari

Tetap

45

UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Page 75: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Laporan Kajian UU Pemilu 67

No Issue UU 42/2008 Usul Perubahan

sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 29 ayat (6): Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan KPU

Tetap. Pasal disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan

Rekapitulasi daftar pemilih

Pasal 30 ayat (1): KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di kabupaten/kota

Tetap

Pasal 30 ayat (2): KPU provinsi melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap di provinsi

Tetap

Pasal 30 ayat (3): KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilih luar negeri dan Pemilih secara nasional

Tetap, tetapi rekapitulasi pemilih luar negeri sebaiknya dilakukan oleh KPU Jakarta Pusat karena suara pemilih luar negeri untuk Jakarta Pusat.

Pengawasan dan penyelesaian dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih

Pasal 31 ayat (1): Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota

Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

Pasal 31 ayat (2): Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyusunan Daftar Pemilih Sementara, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara, penyusunan Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, dan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap luar negeri yang dilaksanakan oleh PPLN

Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

Pasal 32 ayat (1): Dalam hal pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian

Tetap. Disesuaikan dengan kegiatan sesuai usulan dalam kajian ini

Page 76: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

68 Bab 4

No Issue UU 42/2008 Usul Perubahan

anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota

Pasal 32 ayat (2): KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Tetap

Page 77: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Bab V

Penutup

ari uraian-uraian terdahulu kajian ini menyimpulkan bahwa meskipun dinilai demokratis, pemilu-pemilu di era Reformasi masih sarat dengan masalah. Dari semua masalah pemilu yang ada, kajian ini mengupas lima hal, yaitu (1) sistim pemilu, (2) sistem penegakan hukum, (3) parliamentary

threshold dan konsep penyederhanaan parpol di Indonesia, (4) daftar pemilih, dan (5) dana kampanye.

1. Sistim Pemilu

Mengenai sistem pemilu, kajian ini menyimpulkan bahwa penerapan sistim mixed member proportional (MMP) yaitu pemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dan parpol sekaligus dianggap cocok untuk Indonesia. Pilihan terhadap parpol dan calon tidaklah harus paralel. Pemilih bisa saja memilih Partai A, tetapi untuk calon dari Partai B. Dalam MMP calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik (seperti sistem mayoritarian) dan jalur daftar (seperti sistem proporsional tertutup). Pilihan atas MMP adalah ‗jalan tengah‘ untuk memelihara warisan pemilu sebelumnya (pemilih memilih parpol dan calon sekaligus) dan sekaligus menyederhanakan pelaksanaan pemilu karena sistem proporsional dengan daftar terbuka telah menyebabkan pemilu menjadi rumit dan tidak murah.

MMP dan Keterwakilan Perempuan

Sistem MMP juga memiliki kelebihan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok minoritas, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Dengan catatan, party list dalam MMP digabungkan dengan zipper system, yakni di antara tiga calon terdapat satu perempuan, bisa saja diterapkan sistem zigzag, yakni penempatan nama calon antara laki-laki dan perempuan saling berselang, yang berarti setengah dari calon terpilih melalui party list adalah perempuan.

Kesempatan perempuan untuk terpilih juga terbuka di jalur distrik. Kandidat perempuan yang berhasil sebagai vote getter harus dipertimbangkan oleh parpol untuk diletakkan dalam jalur distrik. Sedangkan calon perempuan lain dapat diletakkan dalam party list. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa calom perempuan susah terpilih dalam sistem MMP dapat ditepis.

D

Page 78: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

70 Bab 5

Posibilitas Penerapan MMP

Konsep tentang MMP telah disampaikan CETRO kepada Baleg DPR melalui usulan rancangan perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 yang masih dalam proses penggodokkan. Selain itu, upaya menjelaskan konsep ini terus dilakukan kepada parpol atau fraksi-fraksi di DPR, termasuk kepada tokoh-tokoh parpol. Hasil diskusi kelompok terpadu (focused group discussion/FGD) di beberapa daerah mengenai revisi UU Pemilu 46 yang dihadiri pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM menunjukkan dukungan yang kuat terhadap penerapan MMP dalam pemilu/pemilukada.

2. Sistim Penegakan Hukum

Dalam hal penegakan hukum, kajian ini merekomendasikan dua hal yaitu:

A. Peningkatan Kewenangan Bawaslu/Panwaslu

Peran Bawaslu/Panwaslu tetap diperlukan, tetapi fungsi atau kewenangannya harus lebih ditingkatkan, yaitu memutus pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu. Bila peserta pemilu tidak puas dengan putusan Bawaslu/panwaslu, ia dapat mengajukan kepada pengadilan pemilu. Pengadilan pemilu memutuskan untuk tingkat pertama dan terakhir terhadap banding yang diajukan tersebut. Khusus untuk Bawaslu, karena bersifat permanen, dapat diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap masalah-masalah pidana pemilu yang berskala nasional. Sedangkan untuk pidana pemilu yang berskala lokal, panwaslu tetap diberikan peran terbatas untuk menerima laporan dan melakukan penyelidikan. Tahap penyidikan dan penuntutan tetap dilakukan polisi dan jaksa. Lembaga ini harus juga diberikan kewenangan untuk merekrut atau dibantu tenaga penyidik dan penuntut (polisi dan jaksa). Undang-undang sebaiknya juga menyebutkan bahwa Bawaslu berwenang mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus tindak pidana pemilu yang ditangani panwaslu, polisi, atau jaksa bila memang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sebab-sebab tertentu.

B. Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu Terdapat empat alasan pentingnya pembentukan pengadilan khusus pemilu yaitu:

1. Terjadinya kekosongan hukum terhadap masalah hukum pemilu tertentu.

2. Rendahnya kapasitas pengadilan konvensional terhadap masalah-masalah hukum pemilu.

3. Terbatasnya waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu.

4. Konsolidasi masalah-masalah hukum pemilu ke dalam satu peradilan.

Gagasan tentang pembentukan pengadilan khusus pemilu ini didukung oleh pengamat, akademisi, anggota legislatif, dan LSM dalam beberapa diskusi

Page 79: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

kelompok terpadu (focused group discussion/FGD). Pengadilan khusus pemilu sebaiknya dibentuk di tingkat provinsi untuk tingkat pertama dan kamar khusus di MA untuk tingkat banding yang merupakan tingkat terakhir. Pengadilan khusus pemilu memiliki yurisdiksi untuk memutus seluruh masalah hukum pemilu, kecuali masalah perselisihan hasil pemilu dan pengujian atas undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Kewenangan ini sesuai dengan mandat konstitusi adalah yurisdiksi MK, tidak bisa diutak-atik lagi kecuali bila ada perubahan UUD 1945. Hukum acara pengadilan khusus pemilu dibuat tersendiri, terutama terkait penyelesaian masalah hukum yang diajukan. Dikaitkan dengan perubahan undang-undang yang terkait pemilu ke depan, pembentukan pengadilan pemilu bisa dimasukkan dalam perubahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan begitu undang-undang tersebut akan menjadi UU tentang Penyelenggara dan Pengadilan Pemilu.

3. Parliamentary Threshold

Dalam hal parliamentary threshold dan penyederhanaan parpol di Indonesia, kajian ini menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut berjalan secara relatif baik. Parliamentary threshold harus lebih dikedepankan dalam pemilu mendatang dengan 5 alasan, yaitu

Pertama yang paling penting dari konsep penyederhanaan parpol adalah jumlah parpol di parlemen karena efektivitas sistem presidensialisme bukan terletak pada jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah parpol dalam parlemen.

Kedua, penerapan ET dianggap tidak lazim karena ambang batas ditentukan berdasarkan pencapaian parpol dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Seharusnya ambang batas tersebut ditentukan oleh hasil pemilu saat itu juga dengan cara menerapkan PT.

Ketiga, penerapan ET berpotensi melanggar konstitusi dan kelebihan PT dalam konteks ini adalah, parpol yang tidak mencapai persentase tertentu tidak perlu bubar atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya.

Keempat, dari perspektif politik penerapan PT bisa dikatakan lebih adil ketimbang ET mengingat parpol yang ada saat ini tidak bertanding dengan garis start yang sama.

Kelima, dari aspek sosiologis, penerapan PT akan merupakan disinsentif bagi petualang-petualang parpol yang berpikiran jangka pendek.

4. Daftar Pemilih

Dalam hal daftar pemilih, Cetro mengusulkan bahwa pembuatan dan pemutakhiran data pemilih benar-benar menjadi tanggung jawab KPU, sedangkan pemerintah dapat menjadi pemasok data kependudukan yang akan menjadi referensi bagi KPU dalam memutakhirkan data pemilih. Berikut adalah rekomendasi yang terkait daftar pemilih.

Page 80: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

72 Bab 5

1. Syarat untuk dapat memilih: berusia 17 tahun pada tahun pemilu; 2. Data pemilih dibuat dan dipelihara oleh KPU secara berkelanjutan; 3. Data pemilih untuk pemilu berikutnya didapat dari data pemilu terakhir

yang dikelola dan dimutakhirkan; 4. Pemerintah menyediakan data DP4 yang digunakan sebagai referensi atau

masukan untuk memutakhirkan data pemilih 12 bulan sebelum pemilu dilaksanakan;

5. KPU membuka akses seluas-luasnya agar pemilih dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau belum;

6. Pemutakhiran data pemilih menjadi kewajiban KPU kabupaten/kota setiap saat;

7. KPU kabupaten/kota melaporkan data pemilih ke KPU setiap akhir tahun, kemudian data ini digunakan oleh KPU pusat untuk dipublikasikan kepada pemilih;

8. Satu tahun menjelang pemilu, KPU dan KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih dengan melibatkan unit pemerintahan terkcil (kepala dusun/ RT/ RW);

9. Dibuat biro khusus di KPU untuk menangani data pemilih; 10. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab membuat dan memutkahirkan

data pemilih, KPU membangun sistem daftar pemilih yang terintegrasi secara online dengan KPU kabupaten/kota;

11. Daftar pemilih yang ditetapkan pada awal tahun pemilu digunakan untuk kebutuhan logistik pemilu, terutama pengadaan surat suara;

12. Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dapat mendaftar dalam DPT tambahan dengan cara mendaftar ke KPU kabupaten/kota hingga 30 hari sebelum hari pemungutan suara;

13. Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih dan daftar pemilih tambahan tetap dapat memilih dengan menggunakan KTP atau paspor satu jam sebelum pemungutan suara berakhir dengan terlebih dulu mendaftar ke petugas KPPS.

Table 20 - Perubahan Pasal Terkait Daftar Pemilih dalam UU No. 10/2008

Isu Pasal Usulan

Data kependudukan Pasal 32 ayat 1 Tetap, dengan catatan bahwa data kependudukan dimaksud digunakan untuk pemutakhiran data pemilih yang sudah ada di KPU.

Daftar pemilih

Pasal 33 ayat 1

Pasal 33 ayat 3

KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan pemutakhiran daftar pemilih

Dihapus, karena data pemilih sudah tersedia, tinggal dimutakhirkan.

Page 81: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

Isu Pasal Usulan

Pemuktahiran data pemilih

Pasal 34 ayat 2

Pasal 34 ayat 4

Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama pada akhir tahun.

Hasil pemutakhiran data pemilih diumumkan sebagai daftar pemilih tetap pada awal tahun pemilu.

Penyusunan daftar pemilih sementara

Pasal 36 ayat 1

Pasal 36 ayat 2

Pasal 36 ayat 3

pasal 36 ayat 4

Pasal 36 ayat 5

Pasal 36 ayat 6

Pasal 37 ayat 1

Pasal 37 ayat 2

Pasal 37 ayat 3

Pasal 37 ayat 4

Dihapus, karena DPS diumumkan setiap awal tahun. Khusus untuk awal tahun pemilu menjadi DPT.

Dihapus

dihapus. Dengan data yang bisa diakses, masyarakat dapat mengecek apakah sudah tercantum dalam daftar pemilih atau tidak.

Dihapus, parpol dapat mengecek melalui website KPU para pemilih yang belum terdaftar, terutama pemilih yang menjadi anggota partai yang bersangkutan.

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Penyusunan daftar pemilih tetap

Pasal 38 ayat 1

Pasal 38 ayat 3

Pasal 40 ayat 1

Pasal 40 ayat 2

Pasal 40 ayat 3

Dihapus

Dihapus

Daftar pemilih tetap dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara

Dihapus karena DPT dalam kajian ini adalah mereka yang belum terdaftar dalam DPT.

Dihapus

Penyusunan daftar pemilih bagi pemilih luar negeri

Pasal 41 ayat 2

Pasal 42 ayat 1

Dihapus, karena data pemilih sudah ada, yaitu data pemilih pemilu terakhir.

PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama pada akhir tahun

Dihapus

Page 82: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu

74 Bab 5

Isu Pasal Usulan

Pasal 43 ayat 1

Pasal 43 ayat 2

Pasal 43 ayat 3

Pasal 43 ayat 4

Pasal 43 ayat 5

Dihapus

Dihapus

Dihapus

Dihapus, mereka yang tidak terdaftar tetap dapat mendaftar dalam DPT tambahan.

Demikian kesimpulan dan rekomendasi yang terkait dengan kajian tentang Pemilu 2009 yang baru saja dijalani. Upaya-upaya perbaikan selayaknya dilakukan dengan segera seiring dengan rencana pembentukan/revisi undang-udang yang terkait dengan pemilu yang saat ini dilakukan oleh DPR.

Page 83: CETRO-Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu