cedera otot

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak karena hampir

    seluruh aktifitas manusia dalam hidupnya dilakukan dengan bergerak.

    Dalam melakukan pekerjaan apapun profesinya manusia juga harus

    bergerak oleh karena itu apabila terjadi sakit atau cedera yang

    menyebabkan manusia terbatasi geraknya jelas akan mengurangi

    produktifitas kerja yang tentunya akan menurunkan pula keadaan sosial

    ekonomi manusia tersebut. Begitu pentingnya bergerak bagi manusia

    sehingga manusia akan selalu berusaha untuk mencegah supaya tidak

    cedera atau sakit yang menyebabkan pembatasan diri dalam bergerak.

    Namun, sayangnya masyarakat Indonesia masih kurang memperhatikan

    pentingnya pencegahan sakit atau cedera yang mengakibatkan penurunan

    gerak dan aktifitas fungsional tubuh ini.

    Salah satu usaha untuk mencegah sakit adalah dengan olahraga.

    Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk

    memelihara gerak (mempertahankan hidup) dan meningkatkan

    kemampuan gerak (meningkatkan kualitas hidup). Olahraga merupakan

    alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani

    dan sosial. (AS Watson 1999).

    1

  • 2

    Masalahnya yang pertama adalah olahraga dirasakan bukan satu

    hal yang penting ketika seseorang merasa sehat terlebih dalam lingkungan

    yang serba sibuk dengan pekerjaan. Dalam sebuah polling yang

    melibatkan sekitar 1100 wanita di Inggris menujukan empat dari lima

    wanita tidak melakukan cukup olahraga untuk menjaga kesehatan mereka

    satu dari empat bahkan tidak melakukan sama sekali dan hanya satu dari

    lima yang berolahraga lima kali seminggu atau lebih dari 30 menit

    (.www.pjnhk.go.id, 2010). Masalah kedua adalah seringkali olahraga

    dilakukan secara tidak teratur sehingga hal ini justru lebih sering

    menyebabkan kelelahan dan cedera yang membuat sesorang malas untuk

    melakukan olahraga. Selain itu pemahaman tentang olahraga yang baik

    dan benar dan keselamatan dalam berolahraga sering diabaikan sehingga

    sering terjadi cedera saat melakukan olahraga

    Atlet adalah seorang yang melakukan olahraga sebagai aktifitas

    yang bertujuan yaitu untuk prestasi dan sebagai profesi sehingga mereka

    akan sangat memperhatikan usaha pencegahan cedera saat berolahraga ini

    namun sayangnya seringkali sebagai seorang atlet apalagi yang profesional

    maka mereka akan menjalani rutinitas pelatihan dengan intensitas tinggi

    dan jadwal pertandingan yang ketat sehingga mereka sering mengalami

    sindroma penggunaan berlebihan/ overuse syndrome yaitu suatu cedera

    dengan ciri adanya kumpulan berbagai gejala akibat penggunaan struktur

    tubuh secara berlebihan. Dengan demikian atlit walaupun secara umum

    memiliki kesehatan dan kebugaran yang lebih baik dibanding orang

  • 3

    kebanyakan namun justru mereka lebih rentan terhadap suatu cedera yang

    dapat mempengaruhi aktifitas gerak dan tentunya keadaan sosial ekonomi.

    Untuk itulah sekarang ini dilakukan berbagai usaha untuk

    mencegah cedera pada atlet agar mereka dapat tetap melakukan pelatihan

    dan pertandingan dengan aman dan mempunyai umur prestasi yang lama.

    Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang berkembang saat ini

    menunjang dilakukannya penelitian mengenai tekinik teknik dalam

    mencegah cedera dan meningkatkan prestasi atlet serta mengaplikasikan

    penelitian tersebut pada atlet. Sumber daya manusia yang terlibat di dalam

    olahraga prestasi pun semakin banyak. Jika sebelumnya seorang atlet

    hanya didampingi seorang pelatih maka sekarang ada pelatih fisik, dokter

    spesialis olahraga dan fisioterapis hingga pemijat/ masseur dan manajer

    atlet untuk menunjang kemampuan atlet (Kemenegpora, 2000).

    Fisioterapis merupakan salah satu profesi kesehatan yang

    mempunyai kompetensi dalam bidang latihan dan olahraga serta

    mempunyai obyek forma gangguan gerak dan kemampuan fungsional.

    Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok unutk mengembangkan, memelihara dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis, mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi (Kepmenkes 1363/2001 pasal 1 ayat 2).

    Sehingga fisioterapi sangat berperan didalam mengembangkan,

    memelihara, dan memulihkan kemampuan fungsional klien yang

    diantarnya adalah atlet olahraga

  • 4

    Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena

    yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi

    sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi

    (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang

    menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap

    gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal,

    dan rasa posisisendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan

    2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan

    dan biasanya menghilang setelah 3 4 hari (Clarkson and Sayers 1999).

    DOMS ini lebih banyak terjadi pada olahraga yang banyak

    melakukan gerakan yang sama dengan intensitas tinggi misal pada

    olahraga berenang, bersepeda, bola basket, badminton dan sebagainya.

    Untuk otot-otot yang berada di kuadran bawah maka yang sering

    mengalami DOMS adalah otot erector spinae, kelompok otot adductor, otot

    hamstring dan otot-otot quadriceps. Otot otot tersebut memang otot yang

    terus menerus melakukan kontraksi eksentrik dengan intensitas tinggi. Jika

    melihat struktur serabut ototnya maka otot otot tersebut adalah otot yang

    dominan dengan serabut otot tipe I yaitu otot dengan tipe slow twitch yang

    berfungsi sebagai stabilisator atau mempertahankan sikap tubuh dengan

    kecepatan kontraktil lambat, kekuatan motor unit yang rendah, tahan

    terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi, serta bila

    terjadi patologi cenderung untuk tegang dan memendek, secara

    mikroskopik otot ini berwarna merah. Jika tidak dicegah dengan cara

  • 5

    pencegahan yang tepat maka akan terjadi DOMS sehingga mengakibatkan

    seseorang melakukan pengurangan gerak dan aktifitas fisik karena adanya

    nyeri dan pengurangan kemampuan gerak sehingga pada atlit dapat

    mengganggu program latihan dan dapat menyebabkan penurunan prestasi.

    Fisioterapis dapat menggunakan berbagai macam metode

    intervensi untuk mencegah gejala dan tanda DOMS. Metode yang banyak

    dipakai adalah melakukan gerakan serupa yang spesifik sebagaimana

    olahraga yang akan dikerjakan sebelum atau sesudah olahaga, pijat

    olahraga/ sport massage terutama gerakan vibrasi, peregangan/ stretching,

    perendaman dengan air dingin atau es/ cryotherapy hingga elektroterapi

    seperti terapi gelombang suara/ Ultrasound therapy dan Perangsangan

    Saraf dengan gelombang listrik (Transcutaneus Electrotherapy Nerve

    Stimulation/TENS)

    Pemanasan dan pendinginan dengan melakukan latihan kontraksi

    otot eksentrik ringan dengan gerakan yang spesifik sebagaimana latihan/

    olahraga yang akan atau telah dilakukan dan peregangan sebelum dan

    sesudah latihan/ olahraga adalah salah satu cara yang banyak dipakai

    dalam mencegah terjadinya cedera termasuk DOMS. Sementara mobilisasi

    saraf adalah metode yang relatif baru dan belum banyak diaplikasikan di

    olahraga dalam mencegah DOMS. Adanya penelitian bahwa peregangan

    yang diberikan sebelum olahraga justru melemahkan kinerja otot justru

    menarik peneliti untuk melakukan penelitian yang menggabungkan

    peregangan dengan mobilisasi saraf.

  • 6

    Dari berbagai gejala dan tanda DOMS khususnya yang terjadi pada

    otot-otot anggota gerak bawah maka yang paling mudah untuk dirasakan

    secara subyektif oleh mereka yang mengalami dan diteliti secara obyektif

    adalah nyeri tekan, lingkar otot-otot tungkai atas (lingkar paha) serta

    kemampuan fungsi otot, yang dalam hal ini kemampuan lompat.

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas dalam mencegah

    terjadinya DOMS perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan

    efektifitas antara peregangan/ stretching ditambah mobilisasi saraf

    khususnya pada otot punggung bawah dan otot paha atas depan dan

    belakang serta saraf tepi yang mempersarafinya sebagai program

    pemanasan sebelum latihan dibandingkan dengan peregangan/ stretching

    ditambah mobilisasi saraf khususnya pada otot punggung bawah dan otot

    paha atas depan dan belakang serta saraf tepi yang mempersarafinya

    sebagai program pendinginan setelah latihan/ olahraga pada kelompok

    yang gemar berolahraga basket.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis

    merumuskan masalah yang diteliti adalah :

    1.2.1 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai

    program pemanasan mencegah timbulnya nyeri tekan?

    1.2.2 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai

    program pemanasan mencegah timbulnya pembengkakan otot otot paha?

  • 7

    1.2.3 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai

    program pemanasan memperbaiki kemampuan lompat?

    1.2.4 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai

    program pendinginan mencegah timbulnya nyeri tekan?

    1.2.5 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai

    program pendinginan mencegah pembengkakan otot otot paha?

    1.2.6 Apakah peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai

    program pendinginan memperbaiki kemampuan lompat?

    1.2.7 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan yang

    merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS?

    1.2.8 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam mencegah timbulnya pembengkakan otot

    otot paha yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS?

    1.2.9 Apakah ada perbedaan antara peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dan setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam memperbaiki kemampuan lompat yang

    merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS?

  • 8

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui efektifitas peregangan otot dan mobilisasi saraf dalam

    mencegah timbulnya nyeri tekan dan bengkak otot otot paha serta

    memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan sebagian gejala dan

    tanda DOMS

    1.3.2 Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah

    timbulnya nyeri tekan

    2. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat mencegah

    timbulnya pembengkakan otot otot paha

    3. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan sebagai program pemanasan dapat memperbaiki

    kemampuan lompat

    4. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah

    latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya nyeri

    tekan

    5. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah

    latihan sebagai program pendinginan dapat mencegah timbulnya

    pembengkakan otot otot paha

  • 9

    6. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah

    latihan sebagai program pendinginan dapat memperbaiki kemampuan

    lompat

    7. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih

    efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam

    mencegah timbulnya nyeri tekan dibandingkan dengan peregangan otot

    dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan sebagai program

    pemanasan

    8. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih

    efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam

    mencegah pembengkakan otot otot paha dibandingkan dengan

    peregangan otot dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan

    sebagai program pemanasan

    9. Untuk mengetahui bahwa peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih

    efektif dilakukan setelah latihan sebagai program pendinginan dalam

    memperbaiki kemampuan lompat dibandingkan dengan peregangan

    otot dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum latihan sebagai

    program pemanasan

  • 10

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Bagi Pengembangan ilmu pengetahuan

    1. Untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam

    bidang fisioterapi khususnya fisiologi olahraga tentang peregangan dan

    mobilisasi saraf terhadap pencegahan timbulnya nyeri tekan,

    pembengkakan otot otot paha serta memperbaiki kemampuan lompat

    yang merupakan sebagian gejala dan tanda DOMS

    2. Untuk melihat pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf terhadap

    pencegahan timbulnya nyeri tekan, pembesaran lingkar otototot

    tungkai atas serta memperbaiki kemampuan lompat yang merupakan

    gejala dan tanda DOMS

    1.4.2 Bagi Institusi pendidikan

    1. Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan informasi untuk program

    fisioterapi khususnya fisiologi olahraga

    2. Sebagai bahan penelitian selanjutnya

    1.4.3 Bagi peneliti

    1. Penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan

    kesempatan bagi penulis untuk memperlajari manfaat peregangan otot

    dan mobilisasi saraf terhadap terhadap pencegahan timbulnya nyeri

    tekan dan bengkak otot otot paha serta memperbaiki kemampuan

    lompat yang merupakan gejala dan tanda DOMS

    2. Kesempatan untuk menerapkan ilmu yang telah didapat selama

    perkuliahan

  • 11

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 DELAYED ONSET MUSCLE SORENESS (DOMS)/ PEGAL OTOT

    YANG TERLAMBAT MUNCUL

    2.1.1 DEFINISI DOMS

    Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah nama yang

    diberikan oleh seorang fisiologis bernama Sonja Trierweiler, yang

    mempunyai tipikal gangguan yang menyebabkan kekakuan, bengkak,

    peurunan kekuatan dan nyeri pada otot (Szymanski, D. 2003). Deskripsi

    tentang DOMS pertama kali secara detail diberikan oleh Hough pada tahun

    1902. (Amir H Bakhtiary et al. 2007). DOMS adalah gangguan berupa

    pegal otot yang terjadi akibat latihan yang tidak lazim yang menyebabkan

    kerusakan pada membran sel otot sehingga meyebabkan terjadinya respon

    inflamasi. DOMS sering dialami oleh semua individu yang melakukan

    aktifitas fisik tanpa melihat tingkat kebugarannya dan ini adalah respon

    fisiologis normal untuk meningkatkan penggunaan tenaga dan sebagai

    pengenalan terhadap aktifitas fisk yang tidak dikenal sebelumnya.

    Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena

    yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi

    sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi

    (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang

    11

  • 12

    menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap

    gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal,

    dan rasa posisisendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan

    2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan

    dan biasanya menghilang setelah 3 4 hari (Clarkson and Sayers 1999).

    DOMS adalah sensasi ketidaknyamanan atau nyeri pada otot-otot

    yang terjadi setelah melakukan latihan yang tidak biasa dilakukan atau

    dengan intensitas tinggi. Pegal pada otot secara normal meningkat

    intensitasnya selama 24 jam pertama setelah latihan dan mencapai

    puncaknya pada 24 sampai 72 jam setelahnya, kemudian menghilang 5

    sampai 7 hari setelah latihan. Gejala yang dirasakan adalah mobilitas dan

    flexibilitas yang berkurang dan otot terasa sensitif saat disentuh atau

    digerakkan. Ada beberapa alasan yang menerangkan mengapa DOMS

    terjadi, diantaranya:

    1) Robekan-robekan kecil pada otot itu sendiri

    2) Terbentuknya cairan di jaringan sekitarnya

    3) Spasme otot

    4) Peregangan berlebih/ over stretching dan kemungkinan robekan dari

    tendon dan jaringan konektif yang berhubungan dengan otot lainnya

    (McCardle et al. 1986).

    Semua alasan ini tidak didukung dengan berbagai hasil penelitian yang

    sama. Bukti yang paling kuat menyatakan robekan mikroskopik pada otot

  • 13

    dan kerusakan pada jaringan konektif yang berhubungan dengan otot

    adalah faktor utama yang terlibat dalam timbulnya DOMS.

    DOMS dilaporkan sebagai kejadian yang paling sering terjadi pada

    peserta lomba lari marathon dan kompetisi angkat besi (Sohan P. Selkar et

    al 2009).

    2.1.2 PATOFISIOLOGI DOMS

    Proses terjadinya DOMS sampai saat ini masih belum jelas namun

    sebelumnya DOMS dihubungkan dengan pembentukan asam laktat di

    dalam otot setelah kerja atau olahraga yang intens namun sekarang

    terbukti bahwa ternyata asumsi ini tidak berhubungan langsung dengan

    kejadian DOMS.

    DOMS sering ditimbulkan terutama oleh latihan eksentrik seperti

    lari menuruni bukit/ downhill running, plyometrics, dan latihan dengan

    tahanan/ resistance training. Berbagai latihan ini menyebabkan kerusakan

    pada sel membran otot sehingga akan memulai terjadinya respon

    inflamasi, menyebabkan pembentukan produk-produk sampah metabolik,

    yang berperan sebagai stimulus kimiawi kepada ujung saraf/ nerve

    endings. Kontraksi eksentrik yang terjadi saat otot yang aktif sedang

    memanjang ini berhubungan dengan kenaikan yang terlambat pada tingkat

    serum dari enzyme spesifik otot seperti creatine kinase (CK) sehingga

    menyebabkan kerusakan serabut otot (Jones et al. 1989). Karena itu latihan

    yang menyebabkan kerusakan otot/ exercise-induced muscle damage

  • 14

    seharusnya dihubungkan dengan inflamasi aseptik. Ini didukung beberapa

    bukti bahwa otot yang terkena mengalami nyeri dan bengkak dan dari

    pemeriksaan histologis dengan dari sampel biopsi mengindikasikan

    disrupsi ultrastructural dari beberapa serabut otot (Newham 1988; Lieber

    et al. 1991), infiltratsi leucocytes (Jones et al. 1986), degranulasi sel mast

    dan peningkatan konstituen plasma di dalam ruang extracellular (Stauber

    et al. 1990).

    Gambar 1

    Mikroskop elektron menunjukkan pola yang normal dari protein-protein otot (serabut yang secara teratur terulang disebut Z discs)

    Gambar 2

    Mikroskop elektron menunjukkan serabut yang terbelah (disebut cucuran Z disc)

  • 15

    Delayed-onset muscle soreness yang terjadi setelah latihan yang

    tidak lazim atau setelah latihan eksentrik berhubungan dengan inflasmasi,

    nekrosis jaringan dan pengeluaran enzim-enzim otot. Percobaan ini

    meginvestigasi lama waktu perubahan pada leukosit yang dalam sirkulasi

    dan tingkat serum dari beberapa reaktan pada fase akut, aktivitas serum

    creatine kinase (CK) dan nyeri otot setelah latihan naik turun bangku

    selama 40 menit pada subyek yang sehat namun tidak terlatih. Nyeri pegal

    otot tungkai terbesar terjadi 2 hari setelah latihan. Nilai puncak serum CK

    [mean (SD) 540 (502) IU.l-1] terjadi 1-7 hari setelah latihan. Serum C-

    reactive protein (CRP) tidak berubah dari level pre-exercise [7.8 (3.4)

    mg.l-1] sampai segera setelah latihan [7.9 (2.3) mg.1-1] tetapi meningkat

    pada puncak 17.0 (3.9) mg.1-1, 1 hari setelah latihan, setelah itu turun ke

    level basal. Tingkat serum besi dan zinc turun dibanding pre-exercise pada

    1 3 hari post-exercise. Serum albumin, IgG and IgM turun dibanding

    tingkat pre-exercise dari 1 hari post-exercise, mencapai nilai minimal

    (sekitar 80% dari tingkat basal) pada 7 hari post-exercise. Dua dan tiga

    hari setelah latihan, jumlah leuksoit total, neutrophils, monocytes dan

    basophils turun 15-20% dibawah tingkat pre-exercise, dimana

    lymphocytes, eosinophils dan platelets tidak berubah. Hasil ini

    menunjukkan bahwa respon inflamasi fase akut dimulai dalam 1 hari dari

    latihan yang menyebabkan DOMS dan nekrosis jaringan yang terjadi

    kemudian yang dapat terjadi tidak disertai perubahan tanda yang lebih jauh

    pada reaktan fase akut seperti CRP. (Michael Gleeson et al 1995)

  • 16

    2.1.3 BERBAGAI MACAM TEKNIK TERAPI UNTUK

    MENCEGAH DOMS

    Atlet-atlet elit sering mudah terkena kerusakan otot karena otot-

    ototnya secara reguler dikenai kontraksi intensitas tinggi berulang (Allen

    et al. 2004). Saat ini, penggunaan berbagai bentuk hidroterapi seperti cold

    water immersion (CWI), hot water immersion (HWI), dan contrast water

    therapy (CWT) sebagai intervensi recovery setelah latihan telah mendapat

    popularitas dan sekarang adalah praktik yang biasa di dalam lingkungan

    keolahragaan yang elit (Cochrane 2004; Vaile et al. 2007).

    Berbagai macam bentuk cryotherapy menunjukkan dapat menghasilkan

    repon-respon fisiologis yang berbagai macam meliputi menurunkan

    pembengkakan (Yanagisawa et al. 2004), temperature jaringan

    (Enwemeka et al. 2002), denyut jantung (heart rate) dan curah jantung

    (cardiac output) (Sramek et al. 2000), meningkatkan pembersihan creatine

    kinase (Eston and Peters 1999) dan efek-efek analgesik, menghasilkan

    perubahan persepsi nyeri dan ketidaknyamanan (Bailey et al.2007).

    Bagaimanapun, nampak ada konflik kesimpulan mengenai efek CWI pada

    performa, dengan beberapa studi menyimpulkan efek-efek yang

    menguntungkan (Bailey et al. 2007; Burke et al. 2000; Lane and Wenger

    2004) dan yang lain yang mengindikasikan perubahan-perubahan yang

    tidak berarti (Isabell et al. 1992; Paddon-Jones and Quigley 1997;

    Sellwood et al. 2007; Yamane et al.2006). Sebaliknya, meskipun terbatas

    risetnya, HWI mempengaruhi tubuh secara berbeda berupa kenaikan HR,

  • 17

    cardiac output dan temperatur jaringan dan dapat meningkatkan respon

    inflamasi (Wilcock et al. 2006). Contrast water therapy (CWT)

    memasukkan kombinasi efek dari CWI dan HWI. Riset mengenai efek

    fisiologis CWT dan perannya dalam mengembalikan atau mempertahnkan

    performa setelah latihan yang mengakibatkan kelelahan otot masih

    terbatas fatigue, pengetahuan saai ini menyarankan CWT menjadi

    intervensi yang menjanjikan pemulihan/ recovery (CoVey et al. 2004; Gill

    et al. 2006; Vaile et al. 2007).

    Juga terlihat bahwa latihan eksentrik yang ringan melindungi atlet

    dari DOMS. Penelitian Balnave dan Thompson menguak bahwa latihan

    dengan kotraksi eksentrik otot sebagai program dasar pemanasan dapat

    melindungi atlet dari kerusakan otot yang terlihat ataupun tidak. Yang juga

    didukung oleh penelitian Schwane et al. Hortobagyi T et al. meneliti

    respon adaptif pada pemanjangan dan pemendekan otot quadriceps pada

    manusia. Studi ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap latihan dengan

    kontraksi eksentrik berhubungan dengan adaptasi neural dan hipertrofi otot

    yang lebih besar daripada latihan konsentrik. Johansson et al. menysatakan

    bahwa latihan eksentrik mempunyai efek pencegahan pada pegal otot/

    muscle soreness, gangguan keempukan otot/ tenderness dan kehilangan

    daya. Armstrong juga menyatakan pandangan yang serupa juga bahwa

    latihan yang spesifik terdahulu dari otot yang teribat dapat menjadi

    pencegahan untuk DOMS. Studi saat ini dengan bantuan visual analog

    scale mempunyai penemuan yang kontradiktif dibanding studi diatas.

  • 18

    Studi saat ini menunjukkan bahwa DOMS dapat dicegah sampai tingkat

    tertentu dan keempukan otot dapat diturunkan dengan latihan otot

    eksentrik. Penemuan pada studi saat ini menunjukkan bahwa khasiat

    latihan otot eccentric quadriceps femoris mengurangi keparahan DOMS

    pada subyek atletik. Latihan otot eksentrik ini karenanya dapat diberikan

    sebagai komponen tambahan pada program pemanasan/ warm up seorang

    atlet terutama latihan otot eksentrik mungkin vital dalam mengurangi

    DOMS otot qudriceps pada pelari jarak jauh.

    Peregangan otot/ stretching sering digunakan untuk memfasilitasi

    pemulihan setelah latihan yang intensif meskipun hal ini telah

    didiskusikan kontroversinya sehubungan dengan khasiatnya. Program

    peregangan gagal untuk mengurangi terjadinya atau membesarnya

    kerusakan otot setelah latihan yang intensif. Mempertimbangkan sifat

    fisiologis dari muscle spindle maka kita mungkin berharap beberapa efek

    stretching pada tonus otot dan pengurangannya seharusnya bermakna pada

    pemulihan fungsional otot yang digunakan berlebih/ overexerted.

    Perubahan pada aktivitas EMG menemukan setelah peregangan dari otot

    yang dilatih dalam hal pengurangan tonus otot. Stretching sendiri telah

    menunjukkan dapat merangsang peningkatan aktifitas serum creatine

    kinase secara moderat yang bagaimanapun jauh lebih sedikit dibanding

    peningkatan yang ditemukan setelah latihan yang berat.

  • 19

    2.2 PEREGANGAN/ STRETCHING

    Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang

    digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang

    bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek

    secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan Luas

    Gerak Sendi (LGS). Pada umumnya stretching dibagi dalam dua

    kelompok yaitu aktif stretching (peregangan aktif) latihan fleksibilitas dan

    pasif stretching (peregangan pasif). Ada beberapa tipe stretching yaitu:

    auto stretching (peregangan aktif) latihan fleksibilitas, stretching pasif dan

    contract relax stretching. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam

    melakukan stretching, yaitu fleksibilitas dan peregangan berlebih/

    overstretch. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menggerakan sendi

    atau beberapa sendi melalui LGS yang bebas nyeri. Fleksibilitas

    bergantung pada ekstensibilitas otot, yang menyebabkan otot dapat

    melewati suatu sendi dengan relaks, memanjang dan berada dalam medan

    gaya stretch. Arthrokinematik dari sendi yang bergerak serta kemampuan

    jaringan konektif periartikular untuk berubah bentuk (memanjang) juga

    mempengaruhi LGS sendi dan fleksibilitas secara keseluruhan. Seringkali

    istilah fleksibilitas digunakan merujuk lebih spesifik pada kemampuan

    unit muskulotendinogen untuk memanjang sebagaimana segmen tubuh

    atau sendi bergerak melalui LGS penuh.

    Fleksibilitas dinamik merupakan LGS yang dilakukan sendi secara

    aktif. Aspek fleksibilitas ini bergantung pada derajat LGS sendi yang

  • 20

    dihasilkan oleh kontraksi otot dan besarnya tahanan jaringan yang terulur

    selama pergerakan aktif.

    Fleksibilitas pasif merupakan derajat LGS sendi yang secara pasif

    dapat digerakkan melalui LGS yang ada dan bergantung pada

    ekstensibilitas otot dan jaringan konektif yang melewati dan mengelilingi

    sendi. Pasif fleksibilitas biasanya merupakan prasyarat untuk dinamik

    fleksibilitas, tetapi tidak mutlak.

    Sementara peregangan berlebih/ Overstretch adalah suatu

    peregangan melampaui LGS normal sendi dan jaringan lunak disekitarnya,

    sehinga menghasilkan hipermobilitas. Overstretch diperlukan bagi orang-

    orang tertentu yang sehat dengan kekuatan dan stabilitas normal yaitu

    orang-orang tertentu berperan aktif dalam olahraga yang memerlukan

    fleksibilitas berlebihan. Overstretch menjadi abnormal ketika struktur

    penopang sendi dan kekuatan otot disekitar sendi tidak cukup dan tidak

    dapat mempetahankan stabilitas sendi dan posisi fungsional selama

    aktivitas. Kondisi ini seringkali dikenal sebagai stretch weakness.

    Peregangan/ Stretching diindikasikan untuk berbagai kasus antara

    lain:

    - Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi

    biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan

    dapat diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang

    pendek misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot

    gastroknemius.

  • 21

    - Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul

    sendi bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga

    pasien cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar

    glikoaminoglikans dan air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas

    dan ekstensibilitas sendi berkurang.

    - Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas

    karena biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik sepeti

    pada kondisi tortikolis.

    - Kontraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup gerak

    sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual

    tidak menghasilkan dampak yang baik.

    Sementara kontraindikasi dari stretching antara lain

    - Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah persendian otot yang

    akan diregang,

    - Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile

    strength,

    - Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.

  • 22

    2.2.1 KONSEP DASAR DAN KONSEP NEUROFISIOLOGIS

    PEREGANGAN

    Sebelum menerapkan teknik stretching ada beberapa konsep dasar

    dan konsep neurofisiologis yang berperan penting saat terjadi stretching

    otot seperti propioseptor, stretch refleks dan komponennya, reaksi

    pemanjangan otot dan juga resiprokal inhibisi.

    2.2.1.1 Propioseptor

    Akhir suatu serabut saraf yang menerima seluruh informasi tentang

    sistem muskuloskeletal dan menyampaikannya kepada sistem saraf pusat

    dikenal dengan nama propioseptor. Propioseptor juga disebut dengan

    nama mekanoreseptor yang merupakan sumber dari seluruh propiosepsi

    yaitu persepsi tentang gerak dan posisi tubuh. Propioseptor mendeteksi

    setiap perubahan gerak dan posisi tubuh, tegangan atau usaha yang terjadi

    di dalam tubuh. Propioseptor dapat ditemukan diseluruh akhir serabut

    saraf pada sendi, otot, dan tendon. Propioseptor yang berhubungan dengan

    stretching otot terletak di tendon dan di serabut otot.

    Ada dua jenis serabut otot yaitu serabut intrafusal dan serabut

    ekstrafusal. Serabut ekstrafusal merupakan satu-satunya yang mengandung

    miofibril sehingga sering disamakan artinya dengan serabut otot.

    Sedangkan serabut intrafusal disebut sebagai spindel otot dan terletak

    sejajar dengan serabut ekstrafusal. Pada saat serabut ekstrafusal

    memanjang maka serabut intrafusal juga memanjang (spindel otot juga

    ikut memanjang).

  • 23

    Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor pertama

    dan terutama di dalam otot. Adalah organ sensoris utama pada otot yang

    terdiri dari serabut kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut

    ekstrafusal. Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor

    utama di dalam otot. Spindel otot terdiri dari dua serabut yang sensitif

    terhadap perubahan panjang otot. Spindel otot berfungsi memonitor

    kecepatan dan durasi penguluran sehingga pada saat otot terulur maka

    serabut intrafusal dan ekstrafusal akan terulur. Pada saat otot di stretch

    secara aktif dengan perlahan dan lembut, spindel otot tidak terstimulasi

    optimal. Bila di stretch secara tiba-tiba, maka spindle otot akan

    terstimulasi dan berkontraksi dan menahan perubahan panjang pada otot

    karena adanya stretch reflex pada muscle spindle.

    Propioseptor kedua yang ikut berperan selama proses stretching

    otot terjadi berlokasi di tendon dekat dengan akhir serabut otot yang

    disebut dengan golgi tendon organ yaitu suatu mekanisme proteksi yang

    menginhibisi kontraksi otot dan memiliki treshold yang sangat lambat

    untuk melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai treshold yang

    tinggi saat dilakukan penguluran secara pasif. Golgi tendo organ

    dikelilingi oleh ujung serabut ekstrafusal yang peka terhadap tegangan otot

    yang disebabkan oleh pemberian pasif stretching. Pada saat otot

    berkontraksi akan mengakibatkan peningkatan tegangan pada tendon

    dimana golgi tendon terletak. Golgi tendon organ sensitif terhadap

    perubahan tegangan dan menilai rata-rata tegangan dalam otot. Bila

  • 24

    penyebaran tegangan meluas maka golgi tendon organ melaju dan

    menimbulkan rileksasi otot. Ketika otot di stretch secara aktif dengan

    perlahan dan lembut, maka golgi tendon akan terstimulasi optimal,

    sehingga penguluran akan terjadi pada serabut otot serta fascia dimana

    jumlah sarkomer bertambah dan fascia terulur.

    Tipe ketiga dari propioseptor disebut dengan pacinian corpuscle

    yang terletak dekat dengan golgi tendon organ dan bertanggung jawab

    untuk mendeteksi perubahan gerak dan tekanan dalam tubuh.

    2.2.1.2 Reflek regang/ Stretch Reflexs dan Komponennya

    Pada saat otot terulur maka spindel otot juga terulur. Spindel otot

    akan melaporkan perubahan panjang dan seberapa cepat perubahan

    panjang itu terjadi serta memberikan sinyal ke medula spinalis untuk

    meneruskan informasi ini ke susunan saraf pusat. Spindel otot akan

    memicu stretch refleks yang biasa disebut juga dengan refleks miostatis

    untuk mencoba menahan perubahan panjang otot yang terjadi dengan cara

    otot yang diulur tadi kemudian berkontraksi. Semakin tiba-tiba terjadi

    perubahan panjang otot maka akan menyebabkan otot berkontraksi

    semakin kuat. Fungsi dasar spindel otot ini membantu memelihara tonus

    otot dan mencegah cidera otot.

    Salah satu alasan untuk mempertahankan suatu penguluran dalam

    jangka waktu yang lama adalah pada saat otot dipertahankan pada posisi

    terulur maka spindel otot akan terbiasa dengan panjang otot yang baru dan

  • 25

    akan mengurangi sinyal tadi. Secara bertahap reseptor stretch akan terlatih

    untuk memberikan panjang yang lebih besar lagi terhadap otot.

    Stretch refleks mempunyai dua komponen yaitu komponen statis

    dan komponen dinamis. Komponen statis ditemukan di sepanjang pada

    saat otot terulur. Komponen dinamis ditemukan hanya pada akhir saat otot

    diulur dan responnya menyebabkan perubahan panjang otot yang segera.

    Alasan yang mendasari stretch refleks mempunyai dua komponen adalah

    karena terdapat dua serabut otot intrafusal yaitu serabut rantai nuklear

    (nuclear chain fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen statis dan

    serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) yang bertanggung jawab untuk

    komponen dinamis.

    Serabut rantai nuklear (nuclear chain fibers) panjang dan tipis dan

    segera memanjang pada saat diulur. Pada saat serabut ini diulur saraf

    stretch refleks akan meningkatkan tingkat sinyalnya yang diikuti dengan

    segera peningkatan panjang otot. Hal ini merupakan komponen statis

    stretch refleks. Serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) berkumpul

    ditengah otot sehingga mereka lebih elastis. Nerve ending stretching pada

    serabut ini terbungkus di daerah tengah yang memanjang dengan cepat

    saat serabut otot terulur. Daerah tengah bagian luar adalah kebalikannya

    beraksi seperti terisi cairan kental yang menghambat kecepatan penguluran

    dan kemudian memanjang di bawah pengaruh tegangan otot yang panjang.

    Jadi ketika menginginkan penguluran yang cepat pada serabut ini daerah

    tengah luar memanjang dan daerah tengah menjadi sangat memendek.

  • 26

    2.2.2 RESPON MEKANIK DAN NEUROFISIOLOGI PADA

    OTOT TERHADAP PEREGANGAN/ STRETCHING

    Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh

    yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan

    tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan

    bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya

    bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan

    Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada

    myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut

    otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril

    tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.

    Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen

    aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan

    kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai

    kemampuan elastisitas jika diregangkan.

    Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi

    pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara

    drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer

    akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali

    ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas.

    Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada

    struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang

    dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer merangsang (alpha)

  • 27

    motorneuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut

    ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini

    dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan

    dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi

    dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan

    pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel.

    Gambar 3. Struktur otot rangka

  • 28

    2.2.3 PEREGANGAN METODE KONTRAKSI RILEKSASI/

    CONTRACT RELAX STRETCHING

    Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching

    isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik

    contract relax stretching yang dilakukan memberikan kontraksi isometrik

    pada otot yang memendek dan kemudian dilanjutkan dengan rileksasi dan

    stretching pasif pada otot tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract

    relax stretching adalah untuk memanjangkan/ mengulur struktur jaringan

    lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang memendek

    secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan

    lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan

    otot/ akibat fibrosis.

    Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk

    mendapatkan efek rileksasi dan pengembalian panjang dari otot dan

    jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai

    efek rileksasi sedangkan otot membutuhkan waktu 2 menit untuk dapat

    mencapai efek rileksasi. Efek contract relax stretching jangka panjang

    pada manusia didapatkan bahwa individu yang mendapatkan contract

    relax stretching dengan durasi 15-45 detik menunjukkan panjang otot

    yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik

    dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke-7 dan contract relax

    stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu

    ke-10 sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi

  • 29

    30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan

    ketujuh.

    Dalam penerapan prosedur contract relax stretching pasien

    menunjukkan suatu kontraksi isometrik dari otot yang mengalami

    ketegangan sebelum secara pasif otot dipanjangkan. Alasan penerapan

    teknik ini adalah bahwa kontraksi isometrik yang diberikan sebelum

    stretching dari otot yang mengalami ketegangan akan menghasilkan

    rileksasi sebagai hasil dari autogenic inhibition. Adanya kontraksi

    isometrik akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot

    untuk segera menyesuaikan panjang panjang otot yang maksimal. Golgi

    tendon organ dapat terlibat dan menghambat ketegangan otot sehingga

    otot dapat dengan mudah dipanjangkan.

    Respon Otot Terhadap Contract Relax Stretching pada dasarnya

    terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot

    meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila hal ini dilakukan

    terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara

    untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kischner & Colby,

    2007). Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama

    kali mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada

    serabut otot. Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih

    antara komponen miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan

    meningkat. Apabila terjadi penguluran (stretch) area yang tumpang tindih

    ini akan berkurang yang menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat

  • 30

    serabut otot berada pada posisi memanjang yang maksimum maka seluruh

    sarkomer terulur secara penuh dan memberikan dorongan kepada jaringan

    penghubung yang ada disekitarnya. Sehingga pada saat ketegangan

    meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah posisinya

    di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh sebab itu pada saat

    terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi

    panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh

    sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang

    berada pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi

    lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan

    pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut untuk kembali normal.

    Mekanisme Penambahan Panjang Otot dengan dengan intervensi

    contract relax stretching adalah dengan kontraksi isometrik pada contract

    relax stretching akan meningkatkan rileksasi otot melalui pelepasan

    analgesik endogenus opiat sehingga nyeri regang dapat diturunkan atau

    dihilangkan. Adanya komponen stretching pada contract relax stretching

    maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon

    organ sehingga rileksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot

    dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan.

    Pemberian intervensi contract relax stretching dapat megurangi iritasi

    terhadap saraf A dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal

    crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat

    diberikan intervensi contract relax stretching serabut otot ditarik keluar

  • 31

    sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan

    membantu meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat

    abnormal cross links pada ketegangan akibat pemendekan otot.

    Adanya kontraksi isometrik pada intervensi contract relax

    stretching akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot

    untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal. Pada kontraksi

    isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma menekan

    organ dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga menekan

    darah agar keluar dari organ dalam. Pada kontraksi isometrik selama 6

    detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor

    unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Menurut Jacobson kontraksi

    maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu

    rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan

    terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan

    tendon dengan perbandingan 2:3.

    Pada metode contract relax stretching rileksasi setelah kontraksi

    isometrik maksimal dilakukan selama 9 detik dimana dalam proses ini

    diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation

    tadi. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan

    perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara

    bersamaan pada saat rileksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh

    pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fasia dan tendo).

    Pada intervensi contract relax stretching dengan adanya kontraksi

  • 32

    isometrik dengan inspirasi dalam dan stretching yang diikuti ekspirasi

    maksimal yang dilakukan dengan ritmis menimbulkan reaksi pumping

    action yang ritmis pula sehingga akan membantu memindahkan produk

    sampah/ zat-zat iritan penyebab nyeri otot kembali ke jantung.

    Gambar 4. Contoh peregangan dengan metode contract-relax yang

    dilakukan sendiri (peregangan aktif)

    Gambar 5. Contoh peregangan dengan metode contract-relax yang

    dilakukan dengan bantuan fisioterapis

  • 33

    2. 3. Peregangan/ Mobilisasi saraf (Neural Mobilisation/ Neural stretching)

    Berbagai faktor seperti trauma, jaringan parut/ scar tissue dan

    perubahan sendi yang menglami arthritis dapat mempengaruhi mobilitas

    saraf karena mereka berjalan melalui otot dan pembungkus otot/ fascia di

    dalam tubuh. Tes penekanan saraf/ neural tension tests banyak digunakan

    oleh fisioterapis untuk memeriksa mobilitas saraf tersebut. Mobilisasi

    saraf sendiri berarti penggunaan berbagai macam tes tersebut (kadang-

    kadang dengan modifikasi) untuk penggunaan terapi selain juga untuk

    pemeriksaan/ asesmen.

    Contoh tes mobilisasi saraf pada kuadran bawah, antara lain:

    straight leg raise (SLR)

    prone knee bend (PKB)

    Slump test

    Gambar 6. straight leg raise (SLR)

  • 34

    Gambar 7. prone knee bend (PKB)

    .Gambar 8. Slump test

    Istilah mobilisasi saraf sendiri masih rancu karena memasukkan tes

    penekanan saraf juga pergerakan meluncur saraf/ neural gliding dalam

    satu istilah. Tujuan dari gerakan meluncur saraf/ neural gliding sendiri

    adalah untuk memfasilitasi gerakan saraf yang kemungkinan terhambat

    tanpa menekannya namun sekarang istilah yang digunakan untuk

  • 35

    mencakup gerakan penekanan dan peluncuran saraf disebut

    neurodynamics.

    Untuk menyelidiki mengapa slump stretching dapat menjadi terapi

    pada penaganan strain otot hamstring tingkat 1 (Grade 1 hamstring

    strains), sebuah penelitian menguji efek slump stretch pada aliran keluar

    simpatis/ sympathetic outflow pada anggota gerak bawah 10 orang normal

    dan atlet elit atletik (Bersama dengan beberapa hal lain, saraf simpatis

    menyebabkan penyempitan pembuluh darah pada kulit dan pelebaran

    pembuluh darah pada otot, yang mungkin terlibat pada proses

    penyembuhan jaringan otot).

    Gambaran Telethermographic diambil pada empat lokasi sebelum

    dan setelah peregangan pada kedua sisi tungkai yang diregang maupun

    yang tidak. Gambaran ini menunjukkan perubahan pada temperatur kulit

    sebagai respon terhadap refleks. Peningkatan temperatur kulit pada tungkai

    yang diulur mengindikasikan bahwa efek vasodilator secara signifikan

    terjadi pada tungkai ini, sementara pada tungkai yangtidak diulur

    menunjukkan sedikit penurunan temperatur sehingga peneliti

    berkesimpulan bahwa slump stretching dapat mempunyai efek

    penghambatan simpatik yang dapat menjadi mekanisme fisiologis yang

    mendasari untuk efek terapi slump stretch pada strain hamstring tingkat 1.

    Studi pada kadaver mengindikasikan bahwa posisi-posisi dimana

    anggota gerak ditempatkan saat neural tension tests benar benar

    memberikan regangan pada struktur saraf. Pada studi dengan tubuh hidup

  • 36

    yang utuh kaliper digital digunakan untuk menguji gerakan saraf/ nerve

    excursion dan ukuran microstrain mengukur regangan ketika upper limb

    neural tension test dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tes median

    nerve tension menyebabkan regangan pada median nerve sebesar 7.6%

    dan tes ulnar-nerve tension test menyebabkan peregangan sebesar 2.1%

    pada ulnar nerve.

    Gambar 9. Diseksi gerakan di dalam pelvis pada komponen proksimal dari saraf sciatica sepanjang gerak fleksi lateral tulang belakang bagian lumbal.

    Kiri neutral. Tengah fleksi lateral ke kiri (ipsilateral). Right fleksi lateral ke kanan (contralateral).

    Jaringan saraf mengendur saat fleksi ipsilateral dan menegang saat fleksi kontralateral

  • 37

    Atas saat mengendur, serabut saraf dan arachnoid berkerut.

    Bawah saat menegang. NDS 2007

    Mobilisasi saraf ini bila dikombinasikan dengan peregangan

    diharapkan dapat membawa hasil yang positif baik pada struktur jaringan

    saraf maupun otot (tendon dan fascia/ pembungkus otot) sehingga dicapai

    hasil yang maksimal dalam perbaikan gerakan dan fungsi dari otot

    tersebut. Chris Mallac, pada artikelnya mengenai diagnosis dan penyebab

    strain hamstring, menemukan bagaimana treatment pada jaringan non saraf

    menghasilkan perbaikan pada neural test yang selumnya positif memiliki

    gejala neural

    Ellis dan Hing, dalam ulasan sistematis mereka pada uji acak

    dengan kontrol/ randomised controlled trials, melihat apakah mobilisasi

    saraf efektif sebagai modalitas terapi. Dari 10 uji yang sesuai dengan

    kriteria mereka, disimpulkan: Bahwa bukti terbatas untuk mendukung

    penggunaan mobilisasi saraf. Dibutuhkan pendekatan yang lebih

    terstandar dan grup subyek yang homogen

  • 38

    BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berpikir

    Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah gangguan berupa

    pegal otot yang terjadi akibat latihan yang tidak lazim yang menyebabkan

    kerusakan pada membran sel otot sehingga meyebabkan terjadinya respon

    inflamasi. DOMS sering dialami oleh semua individu yang melakukan

    aktifitas fisik tanpa melihat tingkat kebugarannya dan ini adalah respon

    fisiologis normal untuk meningkatkan penggunaan tenaga dan sebagai

    pengenalan terhadap aktifitas fisk yang tidak dikenal sebelumnya.

    Delayed onset muscle soreness (DOMS) adalah suatu fenomena

    yang sering ditemui dan terdokumentasi dengan baik, sering terjadi

    sebagai akibat dari latihan eksentrik yang tidak lazim atau intensitas tinggi

    (Connolly et al. 2003; MacIntyre et al. 1995). Gejala-gejala yang

    menyertai meliputi pemendekan otot, peningkatan kekakuan terhadap

    gerak pasif, bengkak, penurunan kekuatan dan daya ledak otot, sakit lokal,

    dan rasa posisi sendi/ proprioception yang terganggu (Proske and Morgan

    2001). Gejala - gejala akan sering muncul dalam 24 jam setelah latihan

    dan biasanya menghilang setelah 3 4 hari (Clarkson and Sayers 1999).

    DOMS dilaporkan sebagai kejadian yang paling sering terjadi pada

    peserta lomba lari marathon dan kompetisi angkat besi.

    Atlet-atlet elit sering mudah terkena kerusakan otot karena otot-

    ototnya secara reguler dikenai kontraksi intensitas tinggi berulang (Allen

    38

  • 39

    et al. 2004). Saat ini, penggunaan berbagai bentuk hidroterapi seperti cold

    water immersion (CWI), hot water immersion (HWI), dan contrast water

    therapy (CWT) sebagai intervensi recovery setelah latihan telah mendapat

    popularitas dan sekarang adalah praktik yang biasa di dalam lingkungan

    keolahragaan yang elit (Cochrane 2004; Vaile et al. 2007).

    Juga terlihat bahwa latihan eksentrik yang ringan melindungi atlet

    dari DOMS. Penelitian Balnave dan Thompson menguak bahwa latihan

    dengan kotraksi eksentrik otot sebagai program dasar pemanasan dapat

    melindungi atlet dari kerusakan otot yang terlihat ataupun tidak. Yang juga

    didukung oleh penelitian Schwane et al. Hortobagyi T et al. meneliti

    respon adaptif pada pemanjangan dan pemendekan otot quadriceps pada

    manusia. Studi ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap latihan dengan

    kontraksi eksentrik berhubungan dengan adaptasi neural dan hipertrofi otot

    yang lebih besar daripada latihan konsentrik. Johansson et al. menysatakan

    bahwa latihan eksentrik mempunyai efek pencegahan pada pegal otot/

    muscle soreness, keempukan otot/ tenderness dan kehilangan daya.

    Armstrong juga menyatakan pandangan yang serupa juga bahwa latihan

    yang spesifik terdahulu dari otot yang teribat dapat menjadi pencegahan

    untuk DOMS.

    Peregangan otot/ stretching sering digunakan untuk memfasilitasi

    pemulihan setelah latihan yang intensif meskipun hal ini telah didiskusikan

    kontroversinya sehubungan dengan khasiatnya. Program peregangan gagal

    untuk mengurangi terjadinya atau membesarnya kerusakan otot setelah

  • 40

    latihan yang intensif. Mempertimbangkan sifat fisiologis dari muscle

    spindle maka kita mungkin berharap beberapa efek stretching pada tonus

    otot dan pengurangannya seharusnya bermakna pada pemulihan fungsional

    otot yang digunakan berlebih/ overexerted. Pada kenyataanya, perubahan

    pada aktivitas EMG menemukan setelah peregangan dari otot yang dilatih

    dalam hal pengurangan tonus otot.

    Mobilisasi saraf saat ini juga banyak dilakukan untuk terapi

    mengurangi nyeri akibat iritasi saraf tepi sciatica serta strain otot

    hamstring. Dari berbagai macam netode mobilisasi saraf untuk anggota

    gerak bawah maka yang paling populer digunakan adalah slump test/

    slump stretching. Untuk menyelidiki mengapa slump stretching dapat

    menjadi terapi pada penaganan strain otot hamstring tingkat 1 (Grade 1

    hamstring strains), sebuah penelitian menguji efek slump stretch pada

    aliran keluar simpatis/ sympathetic outflow pada anggota gerak bawah 10

    orang normal dan atlet elit atletik. Gambaran Telethermographic diambil

    pada empat lokasi sebelum dan setelah peregangan pada kedua sisi tungkai

    yang diregang maupun yang tidak. Gambaran ini menunjukkan perubahan

    pada temperatur kulit sebagai respon terhadap refleks. Peningkatan

    temperatur kulit pada tungkai yang diulur mengindikasikan bahwa efek

    vasodilator secara signifikan terjadi pada tungkai ini, sementara pada

    tungkai yang tidak diulur menunjukkan sedikit penurunan temperatur

    sehingga peneliti berkesimpulan bahwa slump stretching dapat

    mempunyai efek penghambatan simpatik yang dapat menjadi mekanisme

  • 41

    fisiologis yang mendasari untuk efek terapi slump stretch pada strain

    hamstring tingkat 1.

    Atas dasar kerangka teori tersebut maka penulis melakukan

    penelitian peregangan otot otot paha dan mobilisasi saraf metode slump

    test untuk melihat pengaruhnya terhadap pencegahan timbulnya nyeri

    tekan dan pembengkakan otot otot paha serta memperbaiki kemampuan

    lompat pada orang dewasa normal yang biasa bermain bola basket.

    3.2 Kerangka Konsep

    Faktor eksternal Kurangnya pemanasan Kurangnya pendinginan Latihan yang tidak

    lazim atau fokus terus menerus pada grup otot tertentu

    Faktor internal Inflamasi akut

    jaringan otot Genetik

    Peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    Menaikkan temperature jaringan Meningkatkan elastisitas otot Menurunkan reaksi neuromuskuler

    Peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan

    - Mempertahankan metabolisme - Meningkatkan elastisitas otot - Mengurangi nyeri

    Pegal otot yang terlambat muncul/ DOMS

    Spasme/ penambahan lingkar otot Nyeri tekan otot Penurunan kemampuan fungsi otot

    HASIL Spasme/ penambahan lingkar otot setelah

    latihan berkurang Nyeri tekan otot setelah latihan berkurang Kemampuan fungsi otot tidak berkurang

  • 42

    3.3 Hipotesis Penelitian

    Dalam gambaran keadaan di atas, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini

    adalah :

    1. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program

    pemanasan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan

    2. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program

    pemanasan dapat mencegah timbulnya bengkak otototot tungkai atas

    3. Peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan sebagai program

    pemanasan dapat memperbaiki kemampuan lompat.

    4. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program

    pendinginan dapat mencegah timbulnya nyeri tekan

    5. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program

    pendinginan dapat mencegah timbulnya bengkak otototot paha

    6. Peregangan otot dan mobilisasi saraf setelah latihan sebagai program

    pendinginan dapat memperbaiki kemampuan lompat.

    7. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam mencegah timbulnya nyeri tekan

    dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    sebagai program pemanasan

    8. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam mencegah timbulnya bengkak otototot paha

    dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    sebagai program pemanasan

  • 43

    9. Peregangan otot dan mobilisasi saraf lebih efektif setelah latihan sebagai

    program pendinginan dalam memperbaiki kemampuan lompat

    dibandingkan dengan peregangan otot dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    sebagai program pemanasan

  • 44

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1. Rancangan Penelitian

    Penelitian ini menggunakan:

    1. Rancangan penelitian experimental murni.

    2. Rancangan pre test dan post test, control group design. dengan skema

    peneitian digambarkan sebagai berikut

    P1 Q

    Q P2

    Gambar. 4.1 Rancangan desain penelitian pre test dan post test

    P = Populasi

    S = Sampel

    R = Randomisasi

    P1 = Perlakuan 1 (peregangan otot-otot paha dan slump test sebelum latihan)

    P2 = Perlakuan 2 (peregangan otot-otot paha dan slump test setelah latihan)

    O1 = Pre tes kelompok kontrol

    O2 = Pos tes kelompok kontrol

    Q = Pelatihan kontraksi eksentrik untuk menimbulkan DOMS

    O3 = Pre tes kelompok perlakuan

    O4 = Pos tes kelompok perlakuan

    P

    O1

    S

    O3

    R

    O2

    O4

    44

  • 45

    4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

    4.2.1 Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Pusat Kebugaran Mandira RS.Dr.Suyoto

    Bintaro - Jakarta Selatan.

    4.2.2 Waktu Penelitian

    Penelitian ini akan dilakukan mulai 30 Juli 2010 sampai dengan 1

    Desember 2010

    4.3 Penentuan Sumber Data

    4.3.1 Variabilitas Populasi

    4.3.1.1 Populasi target

    Dalam penelitian ini populasi target adalah warga kompleks

    Sawangan Regensi Depok serta fisioterapis RS.Aminah, RS.Dr.Soeyoto

    dan klinik Retna yang gemar berolahraga dan bisa bermain bola basket.

    4.3.1.2 Populasi terjangkau

    Dalam penelitian ini populasi terjangkau adalah warga kompleks

    Sawangan Regensi Depok serta fisioterapis RS.Aminah, RS.Dr.Soeyoto

    dan klinik Retna yang bersedia ikut dalam program penelitian.

    4.3.2 Sampel

    Sampel dalam penelitian adalah jumlah sampel yang diambil dari populasi

    terjangkau, disesuaikan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria

    eligibilitas.

  • 46

    4.3.3 Kriteria eligibilitas,

    Kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik populasi terjangkau,

    yaitu:

    4.3.3.1 Kriteria Inklusi

    Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

    1. Berbadan sehat (tidak sedang cedera atau mendapatkan terapi akibat

    cedera)

    2. Berusia 18 35 tahun

    3. Bersedia menjadi sampel dalam penelitian

    4. Mampu mengerti instruksi yang diberikan.

    4.3.3.2 Kriteria ekslusi

    1. Mengalami kondisi yang tidak memungkinkan diterapkan pelatihan.

    2. Menderita sakit atau cedera pada sistem muskuloskeletal

    4.3.3.3 Kriteria Penggugur

    Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi, karena sesuatu

    keadaan dikeluarkan dari sampel, antara lain

    1. Tidak memenuhi jumlah waktu perlakuan yang ditetapkan yaitu

    selama 3 (tiga) kali (segera setelah perlakuan, 1 hari sesudah dan 2 hari

    sesudah)

    2. Meminum obat pereda nyeri ketika dalam rentang penelitian

  • 47

    4.4 Besar Sampel

    Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Pocock :

    ,2 2

    12

    2

    n

    Keterangan :

    n = Jumlah Sampel

    = Simpang baku (dari tes awal)

    = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)

    Interval kepercayaan 95,0)1(

    = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,2)

    Interval kepercayaan 8,0)1(

    ),( = Integral interval kepercayaan 7,9

    1 = rerata nilai pada kelompok kontrol (dari penelitian sebelumnya)

    2 = rerata nilai pada kelompok perlakuan (dari penelitian sebelumnya)

    Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan didapatkan hasil rerata

    nyeri tekan pada kelompok yang diberi latihan eksentrik saja (kontrol) 24 jam

    setelah perlakuan, 1 = 75,0 mm dengan standar deviasi = 1,1019 dan rerata

    kelompok yang diberi perlakuan latihan eksentrik diikuti peregangan diharapkan

    naik nilai ambang nyerinya sebesar 20% menjadi 2 = 76,66. Dengan demikian

    dapat dihitung sebagai berikut :

    9,7

    0,756,76)019,1(2

    2

    2

    xn

  • 48

    9,756,242,2 xn

    48,7n

    Dari hasil penghitungan di atas maka sampel ditetapkan berjumlah 8 sampel per

    kelompok perlakuan sehingga total sampel adalah 16 orang, dengan perincian:

    1. Kelompok I, akan diberikan perlakuan peregangan otot otot paha dan slump

    test sebelum latihan.

    2. Kelompok II akan diberikan perlakuan peregangan otot otot paha dan slump

    test setelah latihan.

    4.5 Variabel Penelitian

    Penelitian ini memiliki beberapa variabel antara lain:

    1. Variabel bebas

    Peregangan dan Mobilisasi saraf sebelum dan setelah latihan.

    2. Variabel terikat

    Nyeri tekan, Bengkak Otot paha dan Kemampuan lompat.

    3. Variabel kontrol

    - Umur, tinggi dan berat badan, kebiasaan berolahraga

  • 49

    4.6 Definisi Operasional

    - Stretching atau peregangan yang dilakukan dengan metode contract-

    relax yaitu peneliti/ fisioterapis memberikan tahanan ketika atlet

    mengkontraksikan otot yang akan diregang selama 10 detik setelah itu

    maka dilakukan gerakan yang berlawanan/ otot diregang lagi oleh

    fisioterapis selama 20 detik (dilakukan pada otot hamstring,

    quadriceps, illiotibial band/ tensorfaciae latae, glutei, dan adductors).

    - Mobilisasi saraf yang diberikan berupa gerakan slump test yaitu atlet

    duduk dengan posisi sedikit membungkuk, kedua tangan bertemu di

    belakang punggung dengan jari-jari tangan saling terjalin. Gerakan

    berikutnya yaitu tungkai diangkat 900 dengan lutut lurus dan

    pergelangan kaki dorsoflexi 900 lalu gerakan terakhir kepala

    ditundukkan pelan-pelan sampai dagu menyentuh dada

    - Nyeri tekan adalah rasa tidak nyaman apapun yang dirasakan ketika

    otot diberi tekanan. Dilakukan dengan spuit 10 cc (yang sudah diambil

    jarumnya) dan diberi nilai dari 0 10 dengan satuan sentimeter

    - Bengkak otot paha adalah pembesaran lingkar paha yang patologis.

    Diukur dengan mengambil lingkar paha tepat pada setengah panjang

    paha

    - Kemampuan lompat adalah kemampuan otot untuk membuat tubuh

    bergerak vertikal keatas. Diukur dengan meteran

  • 50

    4.7 Cara Pengumpulan Data.

    Data tentang gejala dan tanda DOMS didapat dengan melakukan

    pencatatan dari beberapa indikator, meliputi:

    1. Kemampuan lompat (jump performance)

    2. Pengukuran lingkar paha (thigh circumference)

    3. Ambang Nyeri tekan/ Pressure pain threshold (PPT)

    4.8 Prosedur penelitian.

    4.8.1 Prosedur administrasi

    1. Pengumpulan buku, jurnal baik melalui perpustakaan maupun

    internet sebagai sumber penelitian.

    2. Menyusun blangko isian data sampel.

    3. Mengundang sampel untuk mengisi blangko dan menjelaskan

    prosedur penelitian

    4.8.2 Prosedur pengukuran Awal

    Sampel diambil data tentang karakteristik sampel dengan

    menggunakan kuesioner penelitian yang ditetapkan kemudian

    diberi perlakuan berupa protokol latihan yang merangsang

    terjadinya DOMS yaitu dengan alat leg press dengan rangkaian

    latihan yang terdiri dari 3 set kontraksi eksentrik bi-lateral leg press

    selama 10 kali dengan beban 120% dari repetisi maksimum sekali

    [1-RM (concentric)] diikuti oleh 2 set masing masing 10 kali

  • 51

    dengan beban 100% 1-RM. (Hortobagyi and Katch 1990).

    Sepanjang tiap kontraksi eksentrik, beban ditahan dengan kedua

    tungkai dari ekstensi penuh ke sudut 900 (Vaile et al. 2007) dengan

    kontraksi berlangsung selama 35 detik. Subyek menyelesaikan

    satu kali kontraksi setiap 15 detik dan mempunyai periode istirahat

    3 menit diantara satu set (Nosaka & Newton 2002; Vaile. 2007).

    1. Kemampuan lompat (jump performance)

    Subyek diminta untuk melompat dengan barbell (seberat 30% dari

    kemampuan saat isometric squat) sebanyak 3 kali dan yang paling

    ttinggi dicatat untuk analisis. Subyek diminta untuk meletakkan

    barbell dipundak kemudian lutut jongkok 90, tahan selama 2

    detik, dan kemudian lompat keatas (Vaile et al. 2007).

    2. Pengukuran lingkar paha (thigh circumference)

    Menggunakan meteran ukur, dilakukan pengukuran pada titik tepat

    setengah panjang paha atas.

    3. Ambang Nyeri tekan/ Pressure pain threshold (PPT)

    Dilakukan pada 3 titik 5, 10 dan 15 cm diatasa kedua patella diukur

    dengan alat semprot 20 ml dengan pegas didalam dan diberi skala

    dari 0 sampai 10. Ujung yang bulat pada alat semprot diletakkan

    tepat diatas titik dengan posisi vertical dan pistonnya ditekan.

    Subyek diminta untuk menyatakan sensasi apapun yang tidak enak

    (nyeri) dan kemudian angka indikator pada alat semprot dicatat

    sebagai nilai ambang nyeri tekan.

  • 52

    4.9 Instrumen Penelitian

    Intrumen penelitian adalah sebagai berikut:

    1. Form pencatatan data awal

    2. Timbangan berat badan dan tinggi badan

    3. Multi Gym equipment merek cybex yang memiliki fungsi leg press

    4.10 Tahap pelaksanaan Penelitian

    Secara garis besar pelaksanaan penelitian dilakukan dengan tatacara dan tata

    urutan sebagai berikut :

    1. Seluruh subyek penelitian diundang untuk diberikan penjelasan

    mengenahi tujuan penelitian dan tatacara penelitian.

    2. Secara acak subyek penelitian di pisah 8 orang dimasukan dalam

    kelompok I dan 8 orang dimasukkan dalam kelompok II.

    3. Untuk kelompok satu diberikan tata cara melakukan pelatihan dengan

    menggunakan alat multi gym dengan urutan sebagai berikut :

    a. Pertama mereka diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan

    kemampuan lompat untuk mendapat data awal sesuai dengan

    prosedur.

    b. Lima menit awal diberikan pemanasan dengan peregangan dan

    mobilisasi saraf

    c. Berikutnya subyek penelitian melakukan pelatihan sebagaimana

    prosedur penelitian dengan alat leg press

    d. Begitu selesai maka dilakukan pendinginan dengan larilari kecil

    e. Diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat 0, 24

    dan 48 jam setelah Pelatihan.

  • 53

    4. Untuk Kelompok dua diberikan tatacara sebagai berikut:

    a. Pertama mereka diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan

    kemampuan loncat untuk mendapat data awal sesuai dengan

    prosedur.

    b. Lima menit awal diberikan pemanasan dengan lari lari ringan

    c. Berikutnya subyek penelitian melakukan pelatihan sebagaimana

    prosedur penelitian dengan alat leg press

    d. Diberikan pendinginan dengan peregangan dan mobilisasi saraf

    e. Diukur data lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat 0,

    24 dan 48 jam setelah Pelatihan.

    5. Setiap perlakukan di jalankan maka di ceklis oleh peneliti.

    4.11 Analisis Data

    Data yang diperoleh dianalisa dengan langkah langkah sebagai berikut :

    1. Statistik Diskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisik dan

    kemampuan fungsi sampel yang meliputi umur, kebiasaan olah raga, tinggi

    badan dan berat badan, lingkar paha, nyeri tekan dan kemampuan lompat.

    2. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk

    mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Batas

    kemaknaan yang digunakan adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05

    maka dikatakan bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05

    menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal.

    3. Uji homogenitas data dengan Levene Test, bertujuan untuk mengetahui

    variasi data. Batas kemaknaan yang digunakan adalah = 0,05. Apabila

  • 54

    hasilnya p > 0,05 maka data homogen dan apabila p < 0,05 berarti data tidak

    homogen.

    4. Uji komparasi data tiga gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha,

    kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan setelah perlakuan pada

    masing-masing kelompok perlakuan dengan menggunakan uji parametrik (t-

    related test). Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis nomor-1 sampa 6.

    Batas kemaknaan yang digunakan adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05,

    maka Ho diterima dan Ha ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

    perbedaan yang signifikan) dan jika p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha

    diterima (hipotesis penelitian diterima atau ada perbedaan yang signifikan).

    Uji komparsi data tiga gejala dan tanda DOMS yaitu lingkar paha,

    kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan setelah perlakuan antara

    kelompok-1 dan kelompok-2 dengan menggunakan uji komparasi parametrik

    (Independent t-test) karena data berdistribusi normal. Uji ini bertujuan untuk

    membandingkan efek dari perlakuan terhadap tiga gejala dan tanda DOMS

    yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum sebelum dan

    sesudah pelatihan antar kelompok-1 dan kelompok-2. Uji ini digunakan

    untuk menguji hipotesis nomor-7 sampai 9. Batas kemaknaan yang

    digunakan adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka Ho diterima atau Hi

    ditolak (hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan)

    dan apabila p < 0,05 maka Ho ditolak atau Hi diterima (hipotesis penelitian

    diterima atau ada perbedaan yang signifikan).

  • 55

    4.12 Kelemahan Penelitian

    Setelah penelitian dijalankan maka peneliti melihat adanya beberapa

    kelemahan diantaranya adalah :

    1. Penelitian terpaksa hanya dilakukan selama dua hari karena keterbatasan

    waktu sampel dan peneliti.

    2. Pekerjaan yang berbeda menyebabkan pola istirahat berbeda, dimana ada

    sampel yang berprofesi sebagai security dan profesi lain yang berlaku

    jam kerja shift.

  • 56

    4.13 Alur Penelitian

    Gamabar 4.2 Bagan Alur Penelitian

    Acak sampel sederhana

    Populasi

    Kriteria Inklusi dan Ekslusi

    Kelompok II

    sampel

    Kelompok I

    sampel acak

    Pengukuran awal

    Perlakuan dengan peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan

    Perlakuan dengan peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan

    Pengukuran awal

    Pengukuran Akhir

    Analisis Data

    Penyusunan Tesis

  • 57

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    Dari hasil perlakuan yang telah dilakukan terhadap dua kelompok

    perlakuan masing-masing kelompok 1 dengan peregangan dan mobilisasi saraf

    sebelum latihan dan kelompok 2 dengan peregangan dan mobilisasi saraf setelah

    latihan, di dapatkan data untuk dilakukan analisa. Data awal yang didapat berupa

    karakteristik kondisi fisik subyek penelitian yang meliputi, umur, tinggi, berat

    badan, kebiasaan olah raga, lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan.

    Sesuai dengan rumus pocock pada bab IV maka penelitian ini

    menggunakan 16 subyek penelitian yang dibagi dua kelompok. Penelitian

    dilakukan secara single blind dimana peneliti melakukan sendiri perlakukan yang

    diberikan untuk kedua kelompok subyek penelitian.

    5.1 Deskripsi data awal kondisi fisik Subyek

    Deskripsi karakteristik fisik subyek penelitian disajikan pada Tabel 5.1 di

    bawah ini.

    Tabel 5.1 Karakteristik kondisi fisik subyek

    Karakteristik Subyek

    Rerata + SD Kelompok 1 (N=8) Kelompok 2 (N=8)

    Umur (th) 32,75 6,49 30,75 3,45 Berat badan (kg) 65.75 7.978 72,54 10.056 Tinggi Badan (cm) 169.63 2.669 170.75 5.548 Lingkar paha middle (cm) 51.588 6.5283 47.825 5.7797 Kemampuan Lompat Cm) 59.88 3.603 57.38 3.462 Nyeri tekan (cm) 7.563 1.0836 7.500 1.1019

    57

  • 58

    Disamping data diatas subyek penelitian juga terdistribusi dalam data

    lain berupa kebiasan olah raga. Dari data kebiasaan olah raga didapatkan bahwa

    bahwa 4 orang (25,0%) rutin menjalankan olah raga, 8 orang (50,0%) jarang olah

    raga dan 4 orang (50,0%) hampir tidak pernah olah raga.

    5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data

    Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka terlebih dahulu

    dilakukan uji normalitas dan homogenitas data hasil tes tiga parameter gejala dan

    tanda DOMS yaitu lingkar paha, kemampuan lompat dan nyeri tekan sebelum dan

    sesudah pelatihan dan uji homogenitas data sebelum pelatihan. Karena jumlah

    sampel < 30 orang maka Uji normalitas dengan menggunakan uji shapiro wilk,

    sedangkan uji homogenitas menggunakan Levene Test, yang hasilnya tertera pada

    Tabel 5.2 dan 5.3.

    Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas tiga parameter DOMS Sebelum dan Sesudah Perlakuan

    Variabel p. Uji Normalitas

    (Saphiro Wilk-Test)

    Kelompok 1 Kelompok 2

    Lingkar paha sebelum latihan Nyeri tekan sebelum latihan Kemampuan lompat sebelum latihan Lingkar Paha sesudah latihan Nyeri tekan sesudah latihan

    0.466

    0.595

    0.673

    0.479

    0.426

    0.502

    0.314

    0.691

    0.494

    0.453

    Kemampuan lompat sesudah latihan

    0.796

    0.754

  • 59

    Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas tiga parameter DOMS Sesudah Perlakuan

    Variabel p. Uji Homogenitas

    (Lavene-Test)

    Lingkar Paha sesudah intervensi kelompok I dan II Nyeri tekan sesudah intervensi kelompok I dan II

    0.406

    0.661

    0.580 Kemampuan lompat sesudah intervensi kelompok I dan II

    Hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) ketiga parameter gejala dan tanda

    DOMS sebelum pelatihan semua kelompok berdistribusi normal (p > 0,05).

    Demikian juga dengan data setelah pelatihan pada kedua kelompok berdistribusi

    normal (p > 0,05).

    Hasil uji homogenitas (Levene-Test) menunjukkan ketiga parameter

    sesudah pelatihan pada kedua kelompok p > 0,05, yang berarti data adalah

    homogen.

    5.3 Uji hipotesis I - VI parameter DOMS sebelum dan sesudah pelatihan pada masing masing kelompok

    Untuk mengetahui perbedaan parameter DOMS sebelum dan sesudah

    pelatihan pada masing-masing kelompok digunakan Paired Samples Test yang

    hasilnya tertera pada Tabel 5.4

  • 60

    Tabel 5.4 Uji hipotesis parameter DOMS sebelum dan Sesudah Pelatihan

    Kelompok I dan II Kelompok I Kelompok II

    Mean t p Mean t p Lingkar Paha Sebelum - Sesudah Perlakuan

    -0.35000 -7.561 .021 -.28750 -4.952 .002

    Nyeri Tekan Sebelum - Sesudah Perlakuan

    0.87500 1.673 .010 .43750 2.966 .021

    Kemampuan Lompat Sebelum - sesudah Perlakuan

    1.0000 5.584 0.138 -2.0000 -3.528 .010

    Tabel 5.4 memperlihatkan bengkak paha antara sebelum dan sesudah

    pelatihan pada kelompok I yang dianalisis dengan dengan uji Paired Samples

    Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    menghasilkan penurunan bengkak yang bermakna (p < 0,05) demikian pula untuk

    nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I juga

    menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05). Bengkak Paha

    setelah pelatihan yang dipakai adalah lingkar paha yang diukur seketika begitu

    selesai pelatihansedangkan nyeri tekan diukur 48 jam setelah pelatihan.

    Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I

    menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan tidak

    menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p > 0,05).

    Kemampuan lompat setelah pelatihan yang dipakai adalah kemampuan lompat 48

    jam setelah selesai pelatihan.

  • 61

    Bengkak paha antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II yang

    dianalisis dengan dengan uji Paired Samples Test menunjukkan bahwa

    peregangan dan mobilisasi saraf setelah latihan menghasilkan penurunan bengkak

    yang bermakna (p < 0,05) demikian pula untuk nyeri tekan antara sebelum dan

    sesudah pelatihan pada kelompok II juga menghasilkan penurunan nyeri tekan

    yang bermakna (p < 0,05). Bengkak Paha setelah pelatihan yang dipakai adalah

    lingkar paha yang diukur seketika begitu selesai pelatihan sedangkan nyeri tekan

    diukur 48 jam setelah pelatihan. Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah

    pelatihan pada kelompok II menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf

    setelah latihan juga menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna

    (p < 0,05). Kemampuan lompat setelah pelatihan yang dipakai adalah kemampuan

    lompat 48 jam setelah selesai pelatihan.

    5.4 Uji hipotesis VII IX beda perubahan ketiga parameter DOMS pada

    kedua kelompok

    Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan selisih hasil tiga parameter

    DOMS antara kelompok I (peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan)

    dan kelompok II (peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan). Hasil

    analisis kemaknaan dengan uji independent t-test (tidak berpasangan) disajikan

    pada Tabel 5.5

  • 62

    Tabel 5.5 Uji hipotesis beda pengaruh perlakuan pada tiga parameter DOMS sebelum

    dan Sesudah Pelatihan Variabel t p Mean

    Difference Lingkar Paha Sebelum - Sesudah Perlakuan

    0.842 0.414 0.06250

    Nyeri Tekan Sebelum - Sesudah Perlakuan

    -2.033 0.061 -0.43750

    Kemampuan Lompat Sebelum - sesudah Perlakuan

    -3.642 0.003 3.0000

    Tabel 5.5 memperlihatkan perbedaan penurunan bengkak paha antara

    sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan uji

    Independent Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf

    yang diberikan sebelum atau setelah pelatihan tidak memiliki perbedaan yang

    bermakna (p > 0,05).

    Sedangkan untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah

    pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent

    Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang

    diberikan setelah pelatihan menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang

    bermakna (p < 0,05) dibandingkan peregangan dan mobilisasi saraf yang

    diberikan sebelum pelatihan

    Untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I

    dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent Samples Test menunjukkan

    bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang diberikan sebelum atau setelah

    pelatihan juga menghasilkan perubahan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05)

  • 63

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    6.1. Kondisi Subyek Penelitian

    Subyek penelitian adalah karyawan dengan beragam profesi berjumlah 16

    orang yang dibagi menjadi dua kelompok masingmasing beranggotakan 8 orang.

    Data karakteristik fisik yang didapat adalah umur, kebiasaan olah raga, tinggi

    badan, berat badan, dan lingkar paha serta data karakterisitk kemampuan fungsi

    yaitu kemampuan lompat dannyeri tekan.

    Secara rata-rata umur kelompok satu adalah 32,75 tahun sedangkan rata-

    rata umur kelompok dua adalah 30,75 tahun. Selain itu penelitian ini juga

    mendapatkan data kebiasaan olah raga yang mana didapatkan bahwa bahwa 4

    orang (25,0%) rutin menjalankan olah raga, 8 orang (50,0%) jarang olah raga dan

    4 orang (50,0%) hampir tidak pernah olah raga sehingga memang dari kriteria

    umur dan kebiasan olahraga ini subyek memenuhi kriteria untuk melakukan

    tindakan pelatihan yang diberikan.

    6.2. Distribusi dan Varians Subyek Penelitian

    Distribusi subyek penelitian kedua kelompok sebelum dan sesudah

    pelatihan, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test, sedangakan

    homoginitas varians antara kedua kelompok pelatihan diuji dengan Levene Test.

    Variabel yang diuji adalah tiga parameter DOMS sebelum dan sesudah pelatihan

    pada masing-masing kelompok dan selisih antara tiga parameter DOMS sebelum

    63

  • 64

    pelatihan dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok. Hasil uji normalitas

    (Saphiro Wilk-Test) ketiga parameter gejala dan tanda DOMS sebelum pelatihan

    semua kelompok berdistribusi normal (p < 0,05). Demikian juga dengan data

    setelah pelatihan pada kedua kelompok berdistribusi normal. (p < 0,05).

    Sementara hasil uji homogenitas (Levene-Test) menunjukkan ketiga parameter

    sebelum pelatihan p > 0,05, yang berarti data adalah homogen.

    . Dengan demikan kedua kelompok baik sebelum perlakuan, setelah

    perlakuan berdistribusi normal dan data sebelum perlakuan bersifat homogen

    sehingga merupakan data parametrik.

    6.3. Pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf sebelum pelatihan

    terhadap gejala dan tanda DOMS otot otot tungkai atas

    Tabel 5.4 memperlihatkan lingkar paha antara sebelum dan sesudah

    pelatihan pada kelompok I yang dianalisis dengan dengan uji Paired Samples

    Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan

    menghasilkan poenurunan bengkak paha yang bermakna (p < 0,05) demikian pula

    untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I juga

    menghasilkan penurunan nyeri tekan yang bermakna (p < 0,05). Hal ini sesuai

    dengan penelitian Gladson R. F. Bertolini et al dari Laboratorium Studi Cedera

    dan sumber daya Fisioterapi, Universidade Estadual do Oeste do Paran

    (UNIOESTE), Cascavel, Brazil tahun 2009 yang menyatakan peregangan dan

    mobilisasi saraf efektif dalam mengurangi nyeria akiat sciatica/ nyeri akibat iritasi

    saraf tepi

  • 65

    Kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I

    menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf sebelum latihan tidak

    menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p > 0,05). Hal ini

    sesuai dengan penelitian Nelson et al tahun 2005 yang menyatakan mayoritas

    penelitian pada peregangan/ stretching hingga 60 menit sebelum olahraga

    menunjukkan efek yang negatif pada daya ledak eksplosif otot/ explosive power

    6.4. Pengaruh peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan terhadap

    gejala dan tanda DOMS otot otot tungkai atas

    Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah

    pelatihan menghasilkan penurunan bengkak paha dan nyeri tekan yang bermakna

    (p < 0,05) antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II demikian juga

    untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok II

    menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf setelah pelatihan

    menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang bermakna (p < 0,05). Hal ini

    sesuai dengan penelitian meta-analisis Rob D Herbert dan Michael Gabriel dari

    Sekolah Fisioterapi Universitas Sydney tahun 2002 bahwa peregangan sebelum

    atau sesudah latihan tidak terlihat bermanfaat secara praktis dalam pencegahan

    cedera dan pegal otot namun memang penelitan mengenai efek peregangan

    terhadap kemampuan olahraga masih kurang sehingga perlu diteliti lebih lanjut.

  • 66

    6.5. Perbedaan pengaruh pemberian peregangan dan mobilisasi saraf

    setelah pelatihan dibandingkan sebelum pelatihan terhadap gejala

    dan tanda DOMS otot otot tungkai atas.

    Tabel 5.5 memperlihatkan perbedaan penurunan bengkak paha antara

    sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan

    dengan uji Independent Samples Test tidak menghasilkan perbedaan yang

    bermakna (p > 0,05).

    Sedangkan untuk nyeri tekan antara sebelum dan sesudah pelatihan pada

    kelompok I dan II dan untuk kemampuan lompat antara sebelum dan sesudah

    pelatihan pada kelompok I dan II yang dianalisis dengan dengan uji Independent

    Samples Test menunjukkan bahwa peregangan dan mobilisasi saraf yang

    diberikan setelah pelatihan menghasilkan perubahan kemampuan lompat yang

    bermakna (p < 0,05) dibandingkan peregangan dan mobilisasi saraf yang

    diberikan sebelum pelatihan

    Dengan hasil uji statistik ini mengisyaratkan bahwa pemberian peregangan

    dan mobilisasi saraf setelah pelatihan tidak mempunyai pengaruh yang bermakna

    dalam mengurangi bengkak pada otot tungkai atas dibandingkan jika diberikan

    sebelum pelatihan karena tetapi pemberian peregangan dan mobilisasi saraf

    setelah pelatihan mampu mengurangi nyeri tekan dan memperbaiki kemampuan

    lompat secara bermakna jika dibandingkan dengan pemberian seblum latihan

    sebagai program pemanasan.

    Mengingat kemampuan lompat adalah karakteristik kemampuan fungsi

    yang terpenting pada olahragawan yang cidera maka pemberian peregangan dan

  • 67

    mobilisasi saraf setelah pelatihan tetap dapat dijadikan alternatif terbaik untuk

    mengurangi gejala dan tanda DOMS terutama untuk mengurangi nyeri tekan pada

    otot-otot tungkai atas dan memperbaiki kemampuan lompat

    Sehubungan dengan perbedaan