43
DAFTAR ISI BAB I ..................................................... 2 BAB II..................................................... 3 BAB III ................................................... 9 BAB IV .................................................... 11 Daftar Pustaka ............................................ 30 1

Case DHF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

interna

Citation preview

Page 1: Case DHF

DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 2

BAB II................................................................................................................................. 3

BAB III ............................................................................................................................... 9

BAB IV ............................................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 30

1

Page 2: Case DHF

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demam Dengue (DD) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus dengue. Penyakit ini adalah penyakit yang menggunakan nyamuk Aedes

aegypty dan Aedes albopictus sebagai vektor dan biasa menginfeksi manusia pada siang hari.

Gejala klinis dari DD beragam, antara lain adalah demam, nyeri sendi dan otot, mual, muntah,

nyeri kepala, nyeri belakang bola mata, ruam, hingga penurunan kesadaran yang diakibatkan

oleh kebocoran plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau

penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, DSS)

adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan syok.

Indonesia adalah salah satu daerah endemis DD dan DBD. Dari tahun 1968-2017

dei[eroleh kecenderungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004, Indonesia merupakan

negara dengan laporan kasus infeksi virus Dengue terbanyak. Peningkatan jumlah ini diiringi

dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4% (1985) menjadi 1% (2006).

Diagnosis DD dan DBD dapat dilakukan dengan memperhatikan riwayat tinggal atau

bepergian ke daerah endemis, manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang seperti rumple

leede, darah perifer lengkap untuk melihat neutropenia, trombositopenia, dan peningkatan

hematokrit hingga pemeriksaan serogoli untuk memeriksa kadar NS1Ag dan IgM anti Dengue.

Penatalaksanaan DD dan DBD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan

memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DSS. Timbulnya DSS harus dikenal dengan cepat

dengan melakukan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DSS,

penatalaksanaannya diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi

kebocoran plasma.

2

Page 3: Case DHF

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Tn. Arma Bin Andi

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 31 tahun

Alamat : Sampora RT 03 RW 01 Kel. Sukapura, Kec Rawamerta, Kab.

Karawang,

Jawa Barat

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Status perkawinan : Menikah

Tanggal MRS : 30 September 2015

Tanggal Keluar : 5 Oktober 2015

2.2 Anamnesis

Dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 1 Oktober 2015 pukul 08.30

Keluhan utama

Demam sejak 5 hari SMRS

Keluhan tambahan

Mual, Muntah, Pegal-pegal, nyeri sendi

Riwayat penyakit sekarang

OS datang ke IGD RSUD Karawang pada tanggal 30 September 2015 pukul 12:32 WIB

dengan keluhan Demam sejak 5 hari SMRS yang dirasa mendadak dan hilang timbul.

Demam muncul mendadak pada siang hari saat OS sedang bekerja disertai rasa pegal, lalu

OS berobat ke mantri dan diberi obat dan pada hari ketiga OS lalu OS merasa telah sembuh.

Sehari kemudian, OS mengalami demam disertai mual, muntah 1 kali isi makanan, dan nyeri

sendi.

3

Page 4: Case DHF

OS menyangkal adanya nyeri ulu hati, nyeri belakang bola mata, diare, konstipasi, dan

perdarahan spontan seperti mimisan, bintik – bintik merah, dan gusi berdarah. BAB OS 1

kali sehari, dengan konsistensi padat dan warna tidak seperti kopi atau merah. BAK OS

berwarna kuning. OS mengaku dilakukan pemeriksaan rumple leede di IGD.

Riwayat penyakit dahulu

OS mengakui pernah menderita DBD 5 tahun yang lalu dan dirawat di salah satu RS swasta

di Karawang. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan asma disangkal. Riwayat alergi

disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Pada keluarga OS tidak ada yang menderita DM, hipertensi, asma dan riwayat penyakit

serupa.

Riwayat pengobatan

OS tidak rutin meminum obat atau menjalani perawatan medis apapun.

Riwayat lingkungan

OS mengaku menampun air mandi di bak mandi yang dikuras sekitar sebulan sekali.

Penggunaan abate atau penutup bak disangkal.

2.3 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum

Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 M6 V5

Keadaan sakit : Sakit sedang

Kesan gizi : TB: 165 cm BB: 58 kg

BMI: BB/(TB)2: 58/(1,68)2: 20,54 kg/m2 (normal)

Tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 92x/menit, reguler, kuat, isi cukup, ekual

Pernapasan : 18x/menit, reguler, tipe abdominotorakal

4

Page 5: Case DHF

Suhu : 38oC

Tabel follow up tanda vital

Status generalis

Kepala : Normocephali, simetris, warna rambut hitam, rambut tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, RCL (+/+),

RCTL (+/+), pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung : Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)

Telinga : Liang telinga lapang (+), dan nyeri tekan (-)

Mulut : Sianosis (-), bibir pucat (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar,

JVP 5+2 cm H2O

Thoraks

Inspeksi : Bentuk normal, simetris, warna kulit sawo matang, ikterik (-), pucat (-),

sianosis (-), tidak tampak retraksi sela iga, gerakan pernapasan simetris kiri

dan kanan, tidak ada bagian hemithoraks yang tertinggal

Palpasi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian yang

tertinggal, vocal fremitus simetris kiri dan kanan baik di bagian dada

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru dan jantung kanan setinggi ICS 3

hingga ICS 5 linea sternalis kanan dengan suara redup, batas paru dan

jantung kiri setinggi ICS 5 ± 1 cm medial linea midclavikularis kiri dengan

suara redup, batas atas jantung setinggi ICS 3 linea parasternalis kiri

Auskultasi : Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

5

Tanggal Tekanan Darah Nadi RR Suhu

30/9 110/70 88x/m 20x/m 37,8 oC1/10 100/ 70 72x/m 20x/m 37,4 oC2/10 100/ 80 60x/m 20x/m 36,6 oC3/10 110/ 70 80x/m 18x/m 37,0 oC4/10 110/ 70 84x/m 20x/m 36,0 oC5/10 100/ 60 80x/m 20x/m 36,3 oC

Page 6: Case DHF

Jantung : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Bentuk normal, mendatar, simetris, tidak buncit, warna kulit sawo matang,

ikterik (-), pucat (-), tidak terdapat efloresensi yang bermakna, gerak dinding

perut

simetris, tidak ada yang tertinggal

Auskultasi : Bising usus 6x/menit

Perkusi : Pada ke 4 kuadran didapatkan suara timpani, shifting dullness (-)

Palpasi : Dinding abdomen supel, tidak ada retraksi maupun defense muskular, nyeri

tekan (-), nyeri lepas (-), pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-), murphy sign

(-), ballotement (-), undulasi (-)

Ekstremitas

Atas : Akral teraba hangat, pucat (-), edema (-/-), ptechie (-/-), Uji bendung (+)

Bawah : Akral teraba hangat, pucat (-), edema (-/-), ptechie (-/-)

2.4 Pemeriksaan penunjang

Follow-up nilai laboratorium

Tanggal

Hb (mg/dl)

Eri(/uL)

Leu (/uL)

Tro (/uL)

Ht (%) MCV MCH MCHC RDW

30/9 11,4 - 5.770 116.000 33,2 - - - -1/10 11,7 - 3.850 65.000 32,7 - - - -2/10 11,8 5,82 juta 6.320 54.000 33,4 57 20 35 -3/10 11,2 - 8.790 82.000 33,4 - - - -4/10 11,2 5,67 juta 7.630 135.000 33,1 58 20 34 16,1

2.5 Diagnosis kerja

Demam dengue

Anemia

Diagnosis banding

Demam berdarah dengue

6

Page 7: Case DHF

Demam Chikungunya

Demam Tifoid

2.6 Rencana pemeriksaan

Tes fungsi hati: SGOT dan SGPT

Masa pembekuan dan perdarahan: PT dan APTT

Serologi: IgM dengue dan NS1Ag

Uji widal

2.7 Penatalaksanaan

Non farmakologis

- Tirah baring

- Hidrasi

Farmakologis

- Inf. Ringer laktat 30 tpm

- Inf. Paracetamol 3 x 500 mg

- Inj. Pantoprazole 2 x 40 mg

- Inj. Ondansentron 2 x 8 g

- Nufit tablet 1x1

Follow-up penatalaksanaan

Tanggal Tatalaksana

1/10/15 Inf. Ringer Laktat 40 tpmInf. Paracetamol 3 x 500 mgInj. Ondansentron 3 x 8 g

2/10/15 Inf. Ringer Laktat 40 tpmInf. Paracetamol 3 x 500 mgInj. Ondansentron 3 x 8 g

3/10/15 Inf. Ringer Laktat 40 tpmInf. Paracetamol 3 x 500 mgInj. Ondansentron 3 x 8 g

4/10/15 Inf. Ringer Laktat 40 tpmInf. Paracetamol 3 x 500 mgInj. Ondansentron 3 x 8 g

7

Page 8: Case DHF

5/10/15 Inf. Ringer Laktat 30 tpmInf. Paracetamol 3 x 500 mgInj. Ondansentron 3 x 8 g

2.8 Prognosis

Ad vitam : Ad Bonam

Ad functionam : Ad Bonam

Ad sanasionam : Ad Bonam

8

Page 9: Case DHF

BAB III

ANALISIS KASUS

Keluhan utama OS adalah demam sejak 5 hari SMRS. Demam yang dirasakan mendadak

dan hilang timbul, yaitu hilang saat diberi obat. Demam yang mendadak tanpa disertai gejala

prodormal merupakan demam khas yang disebabkan oleh virus dengue. Demam disertai dengan

keluhan tambahan berupa mual – muntah, nyeri ulu hati, nyeri otot, dan nyeri sendi. Hal ini dapat

terjadi pada penderita DBD disebabkan oleh akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang

berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag, dimana akan terjadi viremia

(sebelum timbul gejala). Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi

sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan

mengaktifasi sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus dan

mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya

mediator inflamasi yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,

malaise dan gejala lainnya

Manifestasi klinis OS menunjukkan adanya kemungkinan dengue tanpa tanda-tanda

bahaya. Tanda-tanda Dengue tanpa bahaya yaitu, tinggal atau bepergian ke area endemis

ditambah dengan dua atau lebih gejala berikut; nyeri kepala, malaise, mialgia, arthralgia, nyeri

retro-orbital, anoreksia, nausea, muntah, diare, manifestasi perdarahan (ptekie atau uji

bendung/rumple leede positif), ruam, dan pemeriksaan laboratorium paling tidak menunjukkan

leukopenia, trombositopenia, peningkatan hematokrit 5-10%, dan tes antigen dengan NS1Ag

atau tes antibodi dengue positif. Diagnosis pasti Dengue hanya didapatkan dengan isolasi kultur

virus dan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Dari gejala OS, diduga OS belum menderita DBD dikarenakan tidak ditemukannya

tanda-tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites, dan peningkatan hematokrit lebih dari

20%. Selain itu OS juga menyangkal adanya perdarahan spontan seperti gusi berdarah, mimisan,

dan bintik-bintik merah. Tanda-tanda perdarahan dapat terjadi dikarenakan pengaktifan mediator

inflamasi tersebut juga akan menyebabkan destruksi dan pemendekkan masa hidup trombosit

sehingga menyebabkan timbulnya trombositopenia. Setelah fase demam tinggi, akan terjadi

penurunan suhu tubuh yang disertai peningkatan permeabilitas kapiler akibat dari disfungsi sel

endotel yang disebabkan oleh pengaktifan mediator inflamasi sehingga akan terjadi kebocoran

9

Page 10: Case DHF

plasma dan hemokonsentrasi yang ditandai dengan kenaikan hematokrit. Pada saat ini juga dapat

terjadi fase syok, jika tidak mendapat terapi secara adekuat. Pada kasus ini, walaupun terdapat

trombositopenia tetapi tidak terjadi perdarahan spontan dan masif serta dan tidak terjadi

peningkatan hematokrit sehingga tidak terjadi kebocoran plasma yang dapat menyebabkan

terjadinya syok.

Pada riwayat penyakit dahulu OS, didapatkan bahwa OS pernah menderita DBD 5 tahun

yang lalu. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena terjadinya infeksi virus dengue dengan serotipe

yang berbeda dapat menyebabkan reaksi amnestik antibodi yang ditandai dengan aktivasi

makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus

bereplikasi di makrofag dan menyebabkan hiperviremia dan dapat menyebabkan syok dengue.

Pada OS, tidak ditemukan adanya sindrom syok dengue hingga OS pulang, oleh karena itu,

diduga OS terinfeksi oleh serotipe virus dengue yang sama.

10

Page 11: Case DHF

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Definisi

Demam dengue/DD dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic

fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis

demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai

dengan hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengye

(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

4.2. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan

diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengn berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya

dapat menyebabkan demam dengue atau demma berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan

di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara

serotipe dengue dengan flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis, dan West nile

virus.1 Penyembuhan infeksi pada seseorang menyebabkan imunitas seumur hidup terhadap

serotipe virus yang menginfeksi. Akan tetapi, reaksi silang terhadap serotipe lain setelah

penyembuhan hanyalah sebagian atau sementara. Infeksi selanjutnya oleh serotipe lain dapat

meningkatkan resiko untuk terjadinya dengue berat.2 dalam laboratorium virus dengue dapat

bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata.

4.3. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan Karibia.

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden

DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah

meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,

sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

11

Page 12: Case DHF

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.

aegypti and A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi

lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi

air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue

yaitu: 1). Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di

lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). Penjamu: terdapatnya

penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi, dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis

kelamin; 3). Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

4.4. Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih

diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa

mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan

sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a).

respons humoral berupa pembentukkan antibodi yang berperan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi

antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus

pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement

(ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam

respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan

memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi

IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus

dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan

replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen

oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous

infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus

dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi

sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.1

12

Page 13: Case DHF

Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan

masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan

masuk dalam monosit

- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum

tulang (terjadi viremia).

- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem

humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan

tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor

koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:

- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody,

antibodi non netralisasi).3

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan

peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag

yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus

bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi

T-helper dan T-sitotoksik sehnigga diproduksi limfokin dan interferon

gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai

mediator inflamasi seperti TNF-alfa, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan

histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran

plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-

antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.1 Teori ini pula yang mendasari

bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in

vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam

monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap

hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi

sehingga penyakit cenderung lebih berat.3

13

Page 14: Case DHF

Gambar 1. Hipotesis secondary heterologous infection.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1). supresi

sumsum tulang, dan 2). destruksi dan pemendekkan masa hidup trombosit. Gambaran

sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular

dan supresi megakariosit. Setelah keadaan ini tercapai akan terjadi peningkatan

proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah

pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan

terhadinya stimulasi trombopoiesis seagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan

trombositoopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,

terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan

sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalu mekanisme gangguan

pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan

petanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang

menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian meninjukkan terjadinya

koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi

koagulasi pada demam berdarah terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor

14

Page 15: Case DHF

pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak

melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).1

Gambar 2. Patofisiologi DHF secara sederhana

4.5. Gambaran klinis

Gambaran klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa

demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, dan syok dengue. Gambaran

klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.

a) Fase febris

Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit,

nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri

tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula

ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula

terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.

b) Fase kritis

Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan

permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24–

48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopenia progresif disertai penurunan hitung

trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

15

Page 16: Case DHF

c) Fase pemulihan

Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke

intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik,

nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.

Gambar 4. Perjalanan infeksi demam berdarah dengue.4

4.6. Diagnosis

A. Kriteria diagnosis berdasar panduan WHO

Kecurigaan seseorang terinfeksi DEN virus dapat ditegakkan dengan mengikuti kategori-

kategori World Health Organization pada tahun 2009, yaitu:

a. Demam dengue

Demam dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan

dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital

Mialgia

Artralgia

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)

Leukopenia

16

Page 17: Case DHF

Trombositopenia (<150.000)

Peningkatan hematokrit (5-10%)

Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah

dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama

b. Demam berdarah dengue

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis demam berdarah dengue (DBD) ditegakkan

bila semua hal ini terpenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.

Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut:

- Uji bendung positif

- Ptekie, ekimosis, atau purpura

- Perdarahan mukosa (tersering perdarahan gusi atau epistaksis), atau perdarahan dari

tempat lain.

- Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan

nilai hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

c. Sindrom syok dengue

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi

yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai

umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

B. Pemeriksaan Rumple Leede (uji bendung)

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan

pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding

kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam

kapiler itu keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak

merah kecil pada permukaan kulit (petechiae).

17

Page 18: Case DHF

Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas yang telah

diberi tanda berupa lingkaran berdiameter 5cm kira-kira 4 cm distal dari vena mediana cubiti.

Pompalah sfigmomanometer sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik.

Pertahankan tekanan tersebut selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai

tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan

yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Uji bendung

dikatakan positif jika terdapat lebih dari 10 ptechie di lingkaran penanda.5

C. Kriteria Laboratoris

Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan untuk menapis pasien demam berdarah

dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan

hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfoit plasma

biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi

antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain

Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya

antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM, maupun IgG lebih banyak

digunakan. Parameter laboratoris yang diperiksa anatara lain:

o Leukosit

Dapat normal atau menurun, dominasi oleh netrofil. Mulai hari ketiga dapat ditemui

limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru

(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

Ditemukan lekositosis > 10.000 mungkin karena infeksi sekunder. Mengingatkan

bahaya yang ditimbulkan adanya infeksi Dengue maka berbagai tehnologi

dikembangkan untuk dapat mendeteksi infeksi virus dengue secara dini dengan

sensitivitas dan Spesivisitas yang lebih baik, mengingat bahaya komplikasi yang akan

ditimbulkan.

o Trombosit

Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml) (karena terjadinya agregasi Trombosit,

pembekuan darah akibat kerusakan endotel juga akibat tertekannya fungsi

megakariosit (sel yang kelak pecah dan menjadi trombosit) serta destruksi trombosit

yang matur (dewasa/matang). Biasanya terjadi pada hari ke 3-8.

18

Page 19: Case DHF

o Hematokrit

Hemokonsentrasi (kenaikan Hematokrit > 20%), tanda meningkatnya permeabilitas

dinding kapiler) (Permeabilitas adalah kemampuan suatu membran dalam hal ini

dinding pembuluh darah- untuk melewatkan bahan-bahan tertentu). Untuk menilai

tingkat kekentalan darah, menunjukkan darah semakin mengental akibat plasma darah

merembes ke luar dari sistem sirkulasi.Umumnya terjadi pada hari ke 3 demam.

o Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan

yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

o Protein/albumin

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

o SGOT/SGPT

Enzym-enzym hati pada kasus infeksi sekunder dengue (DHF) cenderung

menunjukkan adanya kenaikan seperti SGOT (AST) dan SGPT (ALT). Kenaikan

kadar ini kadang juga dapat dipakai untuk membedakan apakah infeksinya termasuk

DF atau DHF. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan sel-sel karena terjadinya

perdarahan kecil dalam hati. Dalam perkembangan diagnostik sampai saat ini di

samping dengan menilai gejala-gejalanya, juga pemeriksaan laboratorium akan sangat

membantu untuk menegakkan diagnostik penyakit DHF. Yang lebih penting lagi

adalah bagaimana bisa menegakkan diagnosis sedini mungkin, sehingga pengobatan

secara adekwat dapat segera diberikan.

o Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

o Golongan darah dan cross match

Bila akan diberikan tranfusi darah atau komponen darah

o Dengue Blot IgG dan IgM

IgM dapat terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat mulai minggu ke-3, menghilang

setelah 60-90 hari. IgG baru akan mulai terdeteksi pada hari ke-14 saat terjadi infeksi

primer, namun IgG akan terdeteksi pada hari ke-2 jika terjadi infeksi sekunder.

o Uji HI

19

Page 20: Case DHF

Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji

ini digunakan untuk kepentingan surveilans

o NS1Ag

Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari kedelapan.

Sensitivitas antigen ini berkisar antara 63-93,4% dengan spesifisitas 100%, sama

tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1

tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.

D. Pemeriksaan radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama ada hemitoraks kanan tetapi bila terjadi

perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto

rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubius kanan. Ascites dan efusi pleura dapat pula

dideteksi dengan pemeriksaan USG.

4.7. Diagnosis banding

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan

demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis.

4.8. Derajat penyakit infeksi virus dengue

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniquet.

2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.

3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin

dan lembab, tampak gelisah

4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur6

20

Page 21: Case DHF

Gambar 4. Derajat infeksi virus dengue

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui

klasifikasi derajat penyakit:

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau

lebih tanda: sakit kepala,

nyeri retro-orbital,

mialgia, artralgia

Leukopenia

Trombositopenia,

tidak ditemukan

bukti kebocoran

plasma

Serologi

Dengue

Positif

DBD I Gejala di atas ditambah

uji bendung positif

Trombositopenia

(<100.000/µl), bukti ada

kebocoran plasma

DBD II Gejala di atas ditambah

perdarahan spontan

Trombositopenia

(<100.000/µl), bukti ada

kebocoran plasma

DBD III Gejala di atas ditambah

kegagalan sirkulasi (kulit

Trombositopenia

(<100.000/µl), bukti ada

21

Page 22: Case DHF

dingin dan lembab serta

gelisah)

kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai

dengan tekanan darah

dan nadi tidak terukur

Trombositopenia

(<100.000/µl), bukti ada

kebocoran plasma

4.9. Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama

adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat

diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan

tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien

harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah

dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan divisi

penyakit tropik dan infeksi dan divisi hematologi dan onkologi medik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa

berdasarkan kriteria:

Penatalaksaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi

Praktis dalam penatalaksaannya

Memperttimbangkan cost effectiveness

1) Protokol 1. Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai penunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada

penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai

petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit

Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit bila:

- Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat

dipulangkan dengan anjuran atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam

berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila

keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

22

Page 23: Case DHF

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dianjurkan

untuk dirawat.

Gambar 5. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di Unit Gawat

Darurat

2) Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa maka di ruang

gawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:

1500 + {20 x (BB dalam KG – 20)}

Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55 – 20)} = 2200 ml.

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan tetap

seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan

protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

23

Page 24: Case DHF

Gambar 6. Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat

3) Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak

5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan

kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian

cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hemtokrit turun, frekuensi

nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi

menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan

tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.

Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat

dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7

ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi

meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus

menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan

pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurang

menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan

infuse dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi

memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol

tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan

dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

24

Page 25: Case DHF

Gambar 7. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

4) Protokol 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada dewasa

Penatalaksanaan perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa

adalah:Perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon

hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan

jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan

kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering

mungkin dengan kewaspadaan. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostasis harus

segeradilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan

tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor

pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari

25

Page 26: Case DHF

10 g/dl. Tranfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan

masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Gambar 8. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada penderita DBD dewasa

5) Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama

yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu

penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian

sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa

renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya

kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang

tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain

resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan

yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan

kreatinin.

26

Page 27: Case DHF

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan

dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan

darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi

kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan

kulit tidak pucat serta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7

ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan

menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil

pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan tanda-

tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta dieresis cukup maka pemberian cairan per

infus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami

ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus

diberikan maka keadaan hipervolemi, edema parau atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan

terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%

saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena

untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan

tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung

dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik,

serta jumlah dieresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar

hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan

perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka

pemberian cairan kristaloid dpaat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan

kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka

perhatikan nilai hematokrit. BIla nilai hematokrit meningkat berarti pembesaran

plasma masih berlangsung maka pemberian cairan kristaloid merupakan pilihan,

tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)

maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai

kebutuhan Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-

sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan

27

Page 28: Case DHF

cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum

teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena

sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB

(maksimal 1-1,5 µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila

keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap

gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila

tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum

teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

Gambar 9. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa1

28

Page 29: Case DHF

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.

In: Setiawi S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing, 2014.p. 539-49.

2. Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP, Farlow AW, Moyes CL et.al. The global

distribution and burden of dengue. Nature;496:504-507

3. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. In : Akib AAP,

Tumbelaka AR, Matondang CS, editors. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit

Alergi dan Infeksi. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,2011.p. 41-55

4. World Health Organization. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, pengobatan,

pencegahan, dan pengendalian. In: Ester M, Asih Y, editors. Jakarta: EGC,1999.p.15,17-

32,36-8.

5.

29