CABG pada CKD

Embed Size (px)

Citation preview

CABG pada CKD Pendahuluan Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama pasien dengan gagal ginjal. 1 Penelitian kohort membuktikan secara klinis bahwa pada pasien gagal ginjal kronis, 38% - 49 % terjadi penyakit kardiovaskuler dan 16% - 19% mengalami angina. 2 Angka kematian pada pasien dengan dialisis mencapai 9% dalam setahun, lebih tinggi dibandingkan dengan pasien non uremik dengan usia yang sama. 3,4 Renal insufisiensi ringan sampai sedang juga berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada pasien dengan hipertensi, gagal jantung, penyakit koroner dan sindrom koroner akut dan pasien yang menjalani revaskularisasi perkutan maupun pembedahan. 5 Penyakit ginjal kronis juga menjadi prognosis yang buruk pada prosedur revaskularisasi. Dibandingkan dengan pasien umum, pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki angka survival yang lebih buruk pada prosedur Coronary Artery Bypass Grafting (CABG). 6 CABG biasanya diterima sebagai strategi revaskularisasi pilihan untuk pasien dengan penyakit ginjal. 6

Epidemiologi Pada tahun 2005 berdasarkan data kematian, hampir 2400 orang amerika meninggal akibat kardiovaskuler setiap hari, rata-rata 1 kematian setiap 37 detik. Tahun 2006, secara keseluruhan data kematian awal akibat kardiovaskuler adalah 262.900 orang. Lebih dari 150.000 orang amerika meninggal akibat kardiovaskuler. 32% terjadi sebelum umur 75 tahun, dimana kurang dari harapan hidup rata-rata yaitu 77 tahun.(3) Penyakit jantung koroner merupakan 1 dari 5 penyebab kematian di amerika pada tahun 2005. Angka kematian penyakit jantung koroner tahun 2005 adalah 445.667 orang. Pada tahun 2009, sekitar 785.000 orang amerika menderita serangan jantung baru, dan sekitar 470.000 serangan ulang. Sekitar 1 orang setiap 25 detik

menderita penyakit jantung koroner di amerika, dan setiap 60 detik 1 orang meninggal.(3)

Pada studi epidemiologi, kasus gagal ginjal kronis ditemukan sebanyak 20% pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, sebaliknya penyakit jantung koroner terjadi pada 50% pasien gagal ginjal kronis.(4) Prevalensi penyakit jantung koroner pada pasien gagal ginjal kronis 8 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal (tanpa gagal ginjal kronis).(5) Resiko kematian akibat kardiovaskuler meningkat 15-20 kali lebih besar pada pasien gagal ginjal kronis dibandingkan pada populasi normal.(6)

Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Gagal ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Pada stadium paling dini pada penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, dimana pada keadaan basal GFR masih normal atau malah meningkat. Secara perlahan tetapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan yang terjadi disebabkan oleh retensi end product dari metabolisme yang seharusnya diekskresi melalui urine. Kondisi dimana produk pembuangan nitrogen tertahan karena insufisiensi ginjal disebut azotemia. Uremia adalah kondisi pada tahap lanjut dari insufisiensi ginjal ketika gangguan sistem multiorgan menjadi kompleks dan bermanifestasi klinis. Sindroma uremik dibagi menjadi dua berdasarkan patofisiologinya yaitu (7) akibat penumpukan produk metabolisme protein contohnya peningkatan kadar ADMA (asymmetric

dimethylarginine) dan homosistein (8) akibat gangguan fungsi ginjal contohnya gangguan keseimbangan air dan elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan phosphat) serta gangguan hormonal (peningkatan hormon parathiroid, insulin, glucagon, dan penurunan erythropoeitin).(9) Tabel 1. Faktor resiko kardiovaskuler (10) Tradisional Potensial CKD berkaitan dengan

Umur Jenis kelamin laki-laki Hipertensi Peningkatan LDL Penurunan HDL Diabetes Merokok Stress psikis Riwayat keluarga

Albuminuria / proteinuria Gangguan elektrolit Peningkatan Trigliserida Anemia Malnutrisi Stress oksidatif Peningkatan homosistein Infeksi / inflamasi Faktor uremik

Penderita dengan gagal ginjal kronis mempunyai resiko tinggi terjadi penyakit kardiovaskuler, termasuk penyakit jantung koroner.(10) Penderita gagal ginjal mempunyai faktor resiko tradisional (contohnya merokok, dislipidemia, hipertensi dan diabetes melitus) maupun non tradisional (contohnya : anemia, stress oksidatif, hiperparatiroid, hiperhomosisteinemia, hiperfosfatemia dan mikroinflamasi) terhadap terjadinya penyakit jantung koroner.(9,11) Patofisiologi Aterosklerosis pada Penderita Gagal Ginjal Berdasarkan teori respon terhadap injury dalam perkembangan teori lesi aterosklerotik, perubahan paling awal dari pembentukan aterosklerotik terjadi di endotel (disfungsi endotel). Aterosklerotik merupakan hasil akhir dari berbagai macam paparan bahan. Sel endotel memproduksi beberapa molekul adhesi dan kemokin serta growth factor. Peningkatan perlekatan monosit, makrofag dan sel T memicu migrasi subendotel. Makrofag subendotel menjadi foam cell yang besar setelah mengumpulkan lemak. Fatty streak akan berkembang menjadi lesi intermediate dan akhirnya fibrous plaque akibat adanya inflamasi. Fibrous plaque jumlahnya akan semakin meningkat serta dapat menghambat aliran darah dan memicu terbentuknya trombus lebih lanjut (12).

Proses Atherosklerosis A. Disfungsi endotel B. Pembentukan fatty streak C. Pembentukan fibrous cap Pada penderita gagal ginjal, faktor resiko kardiovaskuler dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah faktor resiko klasik yaitu hipertensi, diabetes, merokok dan hiperlipidemia. Kedua yaitu kelompok yang disebabkan karena bahan uremia yaitu ADMA, homosistein, radikal bebas (stress oksidatif), hiperfosfatemia dan hiperparatiroid. Kelompok yang ketiga adalah faktor resiko yang ditimbulkan akibat dialisis yaitu anemia, malnutrisi, dan infeksi. Ketiga kelompok faktor resiko tersebut meningkatkan pengeluaran sitokin pro inflamasi dan memicu disfungsi endotel. Peningkatan CRP mungkin dapat mempercepat proses aterosklerotik pada penderita gagal ginjal.(12) Beberapa keadaan yang dapat meningkatkan faktor resiko kardiovaskular pada penderita gagal ginjal yaitu :

ADMA ADMA adalah arginin termetilasi yang didapat dari pemecahan protein. ADMA

merupakan penghambat sintase NO (nitrit oxide) yang berasal dari dalam tubuh.(13) ADMA diekskresi melalui urine. Pada penderita gagal ginjal, kadar ADMA plasma dapat meningkat hingga 9 kali lipat dibandingkan populasi normal. Kadar plasma ini akan mencetuskan vasokonstriksi.(14) Pada sebuah penelitian klinis didapatkan korelasi positif antara kadar plasma ADMA dengan resiko terjadinya

aterosklerosis.(15) Berbagai mekanisme sepertinya terkait dalam patogenesis disfungsi endotel dan aterosklerosis. Penurunan produksi NO di endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos dinding pembuluh darah dan serta pengeluaran faktor vasokonstriktor lain seperti CRP.(14)

Anemia

Pada laporan penelitian yang dilakukan Vlagopoulos (2005) didapatkan bahwa anemia pada penderita gagal ginjal mempunyai resiko tinggi mengalami penyakit jantung koroner, stroke dan kematian (confidence of interval 95%). Anemia bukan merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis bila tidak disertai gagal ginjal. Beberapa hal yang kemungkinan dapat menjelaskan hasil tersebut. Pertama, penderita gagal ginjal mungkin telah mengalami setidaknya kerusakan salah satu organ termasuk jantung dengan manifestasi mikrovaskuler dan atau makrovaskuler dari pembuluh darah koroner atau LVH (Left Ventricle Hypertrophy) dan kemudian mungkin mengalami iskemia yang dicetuskan oleh anemia. Kedua, patofisiologi terjadinya anemia pada penderita gagal ginjal adalah adanya defisiensi erytopoietin (EPO). EPO, sebagai usaha koreksi anemia, pada penelitian in vitro maupun in vivo pada hewan percobaan mempunyai beberapa efek yang menguntungkan terhadap sistem kardiovaskuler, termasuk menurunkan kerusakan miokard, pro angiogenik dan efek antiapoptosis dalam sel endotel, sehingga dengan adanya defisiensi EPO maka terjadinya efek yang tidak diinginkan. Ketiga, anemia merupakan salah satu faktor yang mencetuskan inflamasi.(16)

Stress oksidatif Beberapa laporan telah menyebutkan adanya hubungan antara uremia dan stress oksidatif. Anemia merupakan salah satu faktor utama terjadinya stress oksidatif.

Defisiensi besi sebagai komplikasi yang tersering dari anemia pada penderita gagal ginjal akan menyebabkan kation ion ferrous menjadi kofaktor yang diperlukan untuk menghasilkan radikal hidroksi, dimana akan menyebabkan sitotoksisitas dan kerusakan jaringan. Dalam penelitian mengenai aterosklerosis didapatkan bahwa peningkatan produk ROS (reactive oxidative stress) akan meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis. ROS berperan dalam oksidasi LDL, dimana akan ditangkap makrofag dan membentuk foam cells (17).

Hiperhomosisteinemia Pada tahun 1969, McCullys pertama kali mendapatkan peningkatan kadar homosistein pada penderita gagal ginjal, stroke, infark myokard, dan vena trombosis. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan hiperhomosistein menyebabkan gangguan fungsi pembuluh darah. Hiperhomosisteinemia menyebabkan disfungsi endotel, proliferasi otot polos, agregasi platelet, aktifasi faktor V, X, XII dan meningkatkan tissue plasminogen activator yang memberikan kondisi protrombotik. Bagaimana hiperhomosistein mempercepat proses aterosklerosis? Kemungkinan ada 3

mekanisme yaitu : hiperhomosisteinemia mencetuskan respon inflamasi dan menyebabkan penarikan monosit di dinding pembuluh darah. Kedua,

hiperhomosisteinemia meningkatkan reaksi oksidatif LDL, dan mempercepat ambilan LDL kolesterol oleh makrofag. Ketiga, hiperhomosisteinemia mengganggu

metabolisme kolesterol dan trigliserida di sel pembuluh darah pada proses pengikatan sterol pada protein.(11)

Malnutrisi dan Inflamasi Malnutrisi energi protein biasa terjadi pada penderita gagal ginjal. Malnutrisi pada penderita ini dapat disebabkan karena intake yang kurang dan peranan sitokin pro inflamasi. Sitokin proinflamasi dapat mennyebabkan malnutrisi berdasarkan aktifitasnya secara langsung di sistem saluran perncernaan dan secara tidak langsung dengan menurunkan nafsu makan dan meningkatkan pengeluaran energi saat istirahat. Sitokin juga dapat menyebabkan malnutrisi dengan meningkatkan metabolisme protein dan pemecahan protein otot. Sebaliknya malnutrisi akan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi. Hubungan yang erat antara malnutrisi, inflamasi

dan

aterosklerosis

disebut

juga

dengan

malnutrision,

inflammation

and

atherosclerosis syndrome (MIA).(18)

Hiperfosfatemia dan Hiperparatiroid

Peningkatan insidens dan keparahan kalsifikasi vaskuler dalam uremia berkaitan dengan gangguan metabolisme mineral, yang biasa terjadi pada penderita gagal ginjal. Pada penelitian observasional didapatkan hubungan yang erat antara kematian mendadak pada penderita cuci darah dan tingginya kadar serum fosfor, kadar serum kalsium-fosfat dan kadar serum hormon paratiroid pada penderita gagal ginjal. Pada penurunan GFR, terjadi penurunan ekskresi fosfat, sehingga terjadi peningkatan kadar serum fosfat. Peningkatan kadar serum fosfat menurunkan kadar kalsium yang bebas, sehingga meningkatkan sekresi paratiroid, dengan tujuan meningkatkan ekskresi fosfat. Hipokalsemia akan menyebabkan penurunan ekskresi kalsium di ginjal sehingga kadar kalsium darah meningkat. Bersamaan dengan penurunan fungsi ginjal, kadar plasma vitamin D dan kalsium menurun. Hal ini menyebabkan sekresi paratiroid yang lebih tinggi. Akibatnya retensi fosfat lebih jauh meningkatkan sekresi paratiroid walaupun tanpa pengaruh dari kadar kalsium dan vitamin D (akibat hiperplasi kelenjar paratiroid yang ireversibel) (Slatopolsky, Brown, & Dusso, 1999). Pengendapan kalsium dan fosfat akibat kosentrasi yang berlebihan, mengaktifasi osteoblast pada dinding otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan kalsifikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Movilli E didapatkan data dimana kadar kalsium fosfat juga berkaitan dengan tingginya kadar CRP. (19)

Diagnosis Penyakit Jantung Koroner Pada Gagal Ginjal Kronis Manifestasi penyakit jantung koroner adalah infark myocard (ST elevasi dan Non ST elevasi), unstable angina, serta stable angina.(20) Diagnosis infark myocard ditegakkan berdasarkan kriteria WHO yaitu apabila ditemukan 2 dari 3 kriteria berikut ini. (1) Nyeri dada yang spesifik, (2) Perubahan EKG (ST elevasi lebih dari 1 mm) dan (3) Peningkatan enzim marker untuk jantung (Troponin dan CKMB).(20) Nyeri dada spesifik untuk penyakit jantung koroner menjadi kurang spesifik pada

penderita gagal ginjal karena adanya iskemia yang disebabkan oleh anemia, hipertensi yang tidak terkontrol, hipertrofi jantung kiri serta penyakit jantung koroner sendiri. Pada penderita gagal ginjal yang mengalami serangan jantung sering tidak merasakan nyeri dada karena adanya diabetik atau serta uremik nefropati. Sesak juga tidak spesifik untuk angina karena kemungkinan disebabkan oleh anemia, overload cairan, disfungsi diastolik, kompensasi respiratorik terhadap asidosis metabolik dan atau penurunan fisik.(11) Peningkatan enzim marker troponin dapat ditemukan pada penderita gagal ginjal walaupun tanpa penyakit jantung koroner.(21) Padahal pada kasus NSTEMI ditemukan sebanyak 42,9% menderita gagal ginjal dan pada kasus STEMI, 30,5% penderita gagal ginjal.(22) Mekanisme peningkatan troponin pada penderita gagal ginjal yang tanpa gejala penyakit jantung koroner belum diketahui tetapi mungkin peningkatan troponin menunjukan mikroinfark atau hipertrofi ventrikel kiri.(23) Suatu penelitian kohort retrospektif terhadap pasien gagal ginjal yang dicurigai menderita sindroma koroner akut menunjukkan peningkatan troponin minimal 0.10 ng/ml dan mengalami peningkatan selang beberapa jam.(24)

Manajemen Penyakit Jantung Koroner Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis Gagal ginjal merupakan faktor resiko terjadinya infark miokard. Bukti dan pendapat mengenai penatalaksanaan medis dan intervensi yang aman terhadap penyakit ini sangat terbatas. Standar terapi terhadap penyakit jantung koroner yaitu CABG, PCI, terapi trombolitik, obat anti platelet, ACE inhibitor atau ARB, beta bloker, nitrogliserin, CCB, obat HMG Co-A reduktase inhibitor dan heparin. Guidelines ACC/AHA menyebutkan pada penderita penyakit jantung koroner, perlu diketahui kadar kreatinin klerens. Obat-obatan yang di ekskresi melalui ginjal harus dilakukan penyesuaian dosis (Class I, LOE B). Ada beberapa terapi spesifik untuk pasien gagal ginjal yaitu pembatasan asupan garam, penggunaan diuretik, dan dialysis untuk mengatasi hipervolemia. Koreksi anemia dengan target hematokrit 30-35%. Mengatasi hiperfosfatemia dengan retriksi asupan fosfat 1g/kg/hari dan konsumsi kalsium karbonat 13 g per hari sebagai phosphate binder.(25) Obat-obatan yang digunakan dalam terapi penyakit jantung koroner dan memerlukan penyesuaian dosis pada penderita gagal ginjal dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rekomendasi Guidelines ESC terhadap obat-obatan PJK pada pasien CKD (26)

Obat-obatan ASA Clopidogrel

Rekomendasi ESC 2010 Tidak ada rekomendasi spesifik Tidak ada informasi pada pasien gagal ginjal

GPIIb-IIIa Eptifibatide Kontraindikasi pada gagal ginjal berat, pada GFR