Buku Putih PPMI_catatan Yang Belum Selesai

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah panjang PPMI

Citation preview

  • catatan-catatan yang belum selesai

    pertama kali diterbitkan dalam bahasa indonesia, mei 2010, oleh perhimpunan pers mahasiswa indonesia

    perhimpunan pers mahasiswa indonesia (ppmi)kampung pandeyan no. 875 UH 5 jogjakartatelepon : +62 852 995 07300 a.n fandy ahmade-mail : [email protected] : http://www.persma.com

    tim kerja buku putih ppmi :badan pekerja penelitian dan pengembangan nasional ppmimoh. fathoni (lpm poros uad), edi susilo (lpm pendapa ust), budi mulyono (lpm ekspresi uny), a.p. wicaksono (lpm himmah uii), damianus guruh dwi riyanto (lpm natas univ. sanata) dharma)

    hak cipta dilindungi oleh undang-undangdilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

    140 halaman; 22 cm x 19 cmcatatan yang belum usai penulis : moh. fathonieditor : fajar kelana, a.p. wicaksono, edi susilo riset data : budi mulyono, edi susilo, moh. fathoni, damianus guruh dwi riyanto, a.p wicaksonotata letak : a.p wicaksono

    isbn : 978-979-19205-0-6

    isi diluar tanggung jawab percetakan

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

    LINGKUP HAK CIPTAPasal 2:1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

    untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    KETENTUAN PIDANAPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

    2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  • 5daftar isipengantar 7bagian satu 21bagian dua 41bagian tiga 69bagian empat 97bagian lima 121daftar pustaka indeks

  • Hampir tidak logis memang mempertahankan sebuah organisasi tanpa perangkat yang lengkap, apalagi dengan ruang lingkup dan jaringan yang luas, nasional. Meski belum semua tahu bahwa wadah ini memiliki akar historis yang cukup kuat. Belum ada organisasi pers mahasiswa setingkat nasional selama dan sejauh ini, setelah IPMI.

    Meski punya akar historis dan jaringan cukup, PPMI bukanlah termasuk organisasi yang mapan, jujur saja. PPMI tidak mempunyai legalitas. PPMI tidak punya sekretariat tetap dan permanen. PPMI tidak punya sumber pendanaan. PPMI bukan organisasi tunggal yang seragam yang memaksa satu orientasi. PPMI bukan organisasi struktural baku, tapi lebih membangun hubungan kultural. PPMI tidak punya ikatan alumni yang mapan. PPMI tidak berafiliasi dan underbouw kelompok, golongan, partai, agama, suku, ras, dan aliran tertentu.

    Semua warna, orientasi, jenis, bentuk, gerakan, ada di wadah ini. Hanya satu yang menyatukan semua itu idealisme pers mahasiswa. Rasa solidaritas dan seperjuangan sebagai pers mahasiswa. Saudara serahim pers mahasiswa dari generasi Ibu Pertiwi.

    Sebuah entitas yang unik dan majemuk. Logisnya, tanpa pondasi yang kuat mana mungkin organisasi mampu bertahan selama 18 tahun [sejak 15 Oktober 1992]. Tapi pondasi apa yang mampu menopang wadah yang beragam ini? Apa yang membuat organisasi ini mampu bertahan?

    Bukan rahasia jika banyak alasan untuk menggugat PPMI. Dan hampir setiap peralihan generasi PPMI selalu digugat dan dipertanyakan. Ini menandai bahwa transformasi generasi yang belum berjalan. Tak ada yang perlu dipersalahkan. Setiap generasi punya spirit yang menjiwai langkah dan sikapnya. Hanya generasi sekarang yang menentukan hari ini, yang tentunya memandang bagaimana esok hari. Perlu kreasi-kreasi mendasar dan kritis melihat kondisi seperti ini.

    Mengapa Kita Masih

    Moh. FathoniKoordinator Tim Kerja Buku Putih PPMI

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    8

    Jika generasi kini atau esok bertanya; apa yang menguntungkan dari PPMI? Rasa-rasanya hampir tidak ada, yang dapat dikatakan menguntungkan. Justru menyebalkan, atau lebih tepatnya merugikan. PPMI menyita energi yang mestinya untuk LPM, menyita waktu, dana, SDM, pikiran, semuanya. Tapi apa yang dapat PPMI berikan untuk LPM? Pertanyaan yang membuat si penjawab akan mengernyitkan dahi, menggaruk-garuk kepala, atau menyangga dahu.

    Tak mudah dijawab, secara konkret. Sebab PPMI tidak punya apa-apa yang dapat diberikan. Sekretariat saja tidak punya, apalagi perangkat isinya; komputer seperangkat, meja, buku-buku, dan sejenisnya. Apalagi dana, kadang-kadang meminta dari LPM. PPMI banyak mintanya. Banyak maunya. Tapi tak pernah dirasakan feedback-nya. Atau sebaliknya, LPM yang tidak pernah mau merasa, bahwa ada PPMI diantara kita.

    Satu-satunya yang dimiliki adalah kekuatan solidaritas dan jaringan, itu tak seberapa. Masih kalah dari LPM yang berumur tua dan mapan. Hanya tawaran-tawaran yang dijajakan, bak penjual makanan tapi gratis. Tak bersyarat. Sebagai LPM, menjadi anggota PPMI memang tanpa syarat. Tinggal bilang atau angkat tangan akan datang. Bagaimana pengurusnya?

    Ya, yang mau berkorban, itu yang jadi. Itu pun kalau ada, sudah mau saja syukur. Apalagi aktif, acungi jempol. Begitulah dia. Apa adanya. Setiap masa punya generasi yang di hatinya, ia mampu merasakan. Di pikirannya, ia mampu merefleksikan dan memikirkannya. Di tangannya, ia dapat merubah sesuai dengan kehendak atas pertimbangan-pertimbangan masanya. Di situ cermin diletakkan. Di antara sisi-sisi retaknya keadilan dan angkuhnya penguasa serta pengikutnya. Di persimpangan masa, setiap generasi punya tanda, bahwa harus ke mana langkah dijatuhkan.

    Ketika awal berdirinya PPMI menjadi wadah alternatif. Karena kondisi menjelaskan demikian, soal kebebasan dan legalitas. Kemudian ketika musim pembredelan dan pencabutan izin tiba, PPMI menegaskan tidak mengakui perizinan dan lembaganya. Ketika gerakan mahasiswa bergejolak PPMI justru ikut-ikutan bergejolak, transisi terjadi. tapi soal gerakan di jalanan, PPMI tidak mau didahului. Lebih awal mengawal isu dan menolak status quo, menawakan perubahan. Kerjanya mengusik kekuasaan yang dinilainya selalu retak-retak. Dasar mahasiswa!

    Manusia yang cukup beruntung mampu mengenyam pendidikan ini memang kerjaannya membaca, termasuk membaca keadaan, politik, kekuasaan, problem sosial, kesewenangan, penyimpangan, memang itulah kerjanya. Mengkritik dan bertanya adalah kerjaannya. Jangan bilang, sebagai calon intelektual, tapi intelektual muda.

    Nah, ketika setelah transisi rezim dari orde baru ke orde yang lebih baru sekarang ini, apa yang dilakukan PPMI? Apa dia masih saja usil dan mengusik stabilitas kekuasaan? Atau hanya dehem-dehem (batuk nggak beneran) ketika tahu ada kekuasaan di mana-mana, dan dimana-mana ada ketidakberesan. Atau, apapun tak ada!

    Jika masa lalu dinilai lebih baik, maka jangan sungkan mengunakan konsep re- re- atau jika radikalisme gerakan hari ini dimaknai dengan yang lain seperti apa? Atau alternatif yang bagaimana yang kontekstual? Bukan tanpa sebab barangkali, jika PPMI berbenah diri dan berkonsolidasi menguatkan potensi yang dimiliki. Menimang-

  • peng

    anta

    r

    9

    nimang waktu yang lampau, barangkali sedikit memecahkan kebekuan di antara kita. Bahwa kita tidak sendirian. Ada kita-kita yang dulu dan sekarang. Ada kita-kita yang sama dan berbeda. Ada kita bersama yang (dianggap) lain.

    Apakah keberadaan kita dibutuhkan? Apa manfaatnya, dan apa untungnya. Lebih sepakat untuk memilih kata manfaat daripada keuntungan karenaseperti di atasPPMI tidak mengambil dan menawarkan keuntungan. Karena PPMI bukan apa-apa tanpa siapa-siapa. Siapa yang tidak menjalin hubungan dengan yang lain, dalam artian anak gedongan tidak kenal kawan dan tetangga, dikatakan elitis, eksklusif. Jaim [jaga image]. Membatasi diri dalam pergaulan kelompok tertentu, dan tidak ngakur. Tentunya hal itu kurang etis dan manungsan dalam kehidupan karena secara kodrati subjek berlaku sosial dalam multidimensi apapun.

    Katakan tidak untuk ingin diakui! Karena PPMI ada bukan atas pengakuan. Ungkapan demikian kiranya cukup untuk mendeskripsikan PPMI yang sejak berdirinya memulai dengan lembaran baru. Menolak menghidupkan IPMI dan bukan IPMI jilid II. Adalah PPMI yang apa adanya, tanpa kemapanan dan legalitas organisasi. Aneh. Sehingga menegaskan bukan satu-satunya wadah tunggal. Tidak cukup hati menjadi egois. Organisasi kultural dalam bungkus struktural. Menjalankan kerja-kerja organisasi dengan semangat solidaritas.

    Sebagai wadah bagi anggotanya, PPMI menampung segala macam dan jenis orientasi dan bentuk pers mahasiswa. Multikarakter dan multikultur justru itu yang dijaga karena menolak keseragaman anggotanya. Dengan memilih pertimbangan substansi ketimbang orientasi praktis dan elitis, PPMI berjarak.

    Sekali lagi, tidak mudah menjadi sebuah harapan. Bukan eksistensi yang dituju tapi mendengarkan kebutuhan anggota dan menerima dengan keluasan diri, setidaknya itu. Berusaha dinamis, optimis, dan kritis dengan segala perubahan. Hasrat diri yang berlebih khawatir menjadi beban diri dan kekecewaan yang berkepanjangan. Namun gairah dan tanggungjawab sebagai wadah pers mahasiswa adalah spirit yang masih... tugasmu belum selesai.

    Tiada maksud apa-apa membuat catatan sejenis ini. Hanya sedikit membantu mengingat-ingat waktu yang belum sempat ditangkap, bahwa ini realitas masa. Membantu menjahit jaring-jaring transformasi yang terkoyak akibat bermacam-macam problema. Semoga tidak mereduksi semangat dan ruh perjuangan pers mahasiswa. Dengan harapan semangat dan ruh ini terjaga dalam setiap generasi. Tentu dengan keragaman pandangan dan pemaknaan, karena itu sebuah keniscayaan.

    Tidak ada niatan untuk sekedar romantisme dengan waktu yang lalu. Karena kita perlu belajar dari keterpuran IPMI yang berkhir tragedi bagi generasi berikutnya. Alumni, bukan niscaya berpengaruh terhadap organisasi, apapun namanya. Maka dari itu di sini kita ambil jarak sebagaimana independensi keredaksian organisasi ini. Menjaga dari intervensi manapun. Sehingga kebijakan redaksi organisasi lebih jernih memandang dan memilih jalannya sendiri. Mungkin suatu saat ada waktunya untu berhenti sejenak, menoleh ke belakang mengingat jalan yang sudah dilaluinya. Lantas, meneruskan perjalanan yang belum selesai ini.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    10

  • Buku putih yang sedang anda baca ini sebuah upaya untuk melihat adanya persepsi atau pandangan yang berbeda tentang; a) ideologi dan orientasi Persma sekarang, b) indikasi pragmatisme dan elitisme Persma, c) generasi ahistoris. Ketiga poin ini sepertinya perlu untuk dituntaskan selain point-point lain yang tidak disebutkan. Kondisi re-generasi atau kaderisasi dalam persma tidak semua berjalan lancar. Sistem kaderisasi, kultur internal, umur dan kemapanan, serta sokongan alumni menjadi faktor yang utuh, tak terpisahkan.

    Sedikit kita mengulas, pertama, ideologi dan orientasi persma sekarang. Ideologi persma tentunya tidak lepas pembelaannya terhadap humanisme, keadilan, dan dan mereka yang termaginalisasi tak mampu bersuara. Ideologi ini dianut bukan tanpa alasan. Dari sisi nama (Persma) pers dan mahasiswa memiliki definisi yang berat dan mulia. Dalam nama itu terkandung rumusan besar

    tentang 5 hal yang kita setujui bersama; spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan (keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan dan kepedulian pada rakyat lapis bawah), dan kebangsaan (demokratisasi dan ke-martabat-an negeri). Plus satu, spirit media, pers mahasiswa; independensi, kebebasan, dan keterbukaan publik menjadi nilai lebih.

    Penjabaran riil ideologi itu telah menghiasi lembaran-lembaran sejarah PPMI. Dari awal Tri Suparyanto dan beberapa anggota panitia ad hoc (persiapan) pembentukan wadah baru persma, me-nawaitu-kan lahirnya PPMI (15 Oktober 1992 di Malang), sudah jelas wadah ini lahir untuk menyalurkan turunan dari ideologi yang alternatif itu. Dan sampai saat ini, 18 tahun PPMI, ideologi itu masih bertahan di barak-barak persma, semoga.

    Lalu orientasi persma sekarang, kita melihat aktivisnya kewalahan membuat rumusan besar tentang masalah ini. Sebenarnya sederhana saja, berangkat dari visi dan misi PPMI yang digodok setiap kali kongres. Dari sembilan Sekjend Nasional PPMI, dari periode I 1993-1995 sampai periode IX 2008-2010 visi PPMI

    Identifikasi Diri Lewat Narasi-Narasi Sejarah

    Fandy AhmadSekretaris Jenderal PPMI Periode 2008-2010

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    12

    tetap sama; pers mahasiswa sebagai kekuatan pembentuk budaya demokratis. Maksudnya, wadah PPMI sambung-menyambung misi yang dilakukan tiap generasinya. Terputusnya transformasi menyebabkan tahap dan keberlanjutan perjuangan terkatung-katung.

    Orientasi tentunya melihat kondisi saat ini, dan kondisi saat ini adalah perkembangan masa kemarin. PPMI sebagai organ gerakan pers mahasiswa mengusung isu tidak jauh-jauh dari kondisi politik Indonesia. Seperti teori Fred S. Siebert, dalam bahasan Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti-nya Amir Efendi Siregar, dinamika politik itu bergerak di antara dua titik ekstrim: otoritarian dan liberatian. Dan saat ini persma (mungkin?) berada pada titik liberation.

    Atau kalau kita menyimak dalam-dalam visi PPMI, menciptakan budaya demokrasi ada tahapannya, seperti yang diungkapkan Robert Putnam tentang demokrasi; rezim otoriter, transisi, konsolidasi demokrasi, sampai dengan demokrasi terkonsolidasi. Posisi PPMI generasi sekarang melihat kondisi Indonesia, yaitu pada tahap transisi. Tahap otoritarian sudah pernah dirasakan PPMI pada masa awal digagas panitia ad hoc sampai sekjend-sekjend PPMI masa itu, seperti Rommy Fibri, Dwidjo Utomo Maksum, Eka Satialaksmana, dan Edi Sutopo. Artinya rezim orde baru adalah masa dimana tahap otoriterian ini dirasakan, akhir dari rezim ini tumbang Mei 1998.

    Pasca 1998 PPMI kemudian masuk dalam masa dimana transisi itu berlangsung. Saiful Muslim, Rijal Asep Nugroho, Agung Sedayu, Muhammad Arman, dan sampai sekarang masih bergulat dengan masa transisi Indonesia. Dalam internal PPMI tidak ketinggalan ikut-ikutan terbawa hawa transisi internal PPMI pada kongres V di Mataram. PPMI pecah karena tuntutan merubah total aturan main internal PPMI. Rijal Asep Nugroho tidak ketinggalan berupaya mengakhiri transisi internal PPMI dengan mencari struktur dan mengumpulkan, lalu mendekonstruksi retakan-retakan kongres V yang dilanjutkan oleh Agung Sedayu.

    Masa sekarang upaya mengakselerasi tahapan demokrasi itu (transisi) Inter nal PPMI mau pun Indonesia, dilakukan dengan mengumpulkan narasi-narasi kecil dalam letupan-letupan demokrasi yang dicita-citakan berbagai elemen.

    Kedua, indikasi pragmatisme dan elitisme persma. Bagian ini sebenarnya tidak habis-habis dibicarakan oleh aktivis persma sendiri. Biasanya dalam kesimpulan hasil pembahasan itu, persma digugat! Contoh kecil di depan sekretariat persma bertengger tulisan besar; Lembaga Pers Mahasiswa tapi di dalam tidak ditemukan ruhnya persma. Alias, wajahnya persma, tapi kerjanya maksa. Larut dalam rutinitas, terjebak dalam formalitas, jauh dari ideologinya, parahnya dijauhi pembacanya, dan menjadi menara gading. Sepertinya tradisi intelektual yang militan, tangguh, dan aksektis dibidangnya harus dihidupkan kembali. Melalui

  • peng

    anta

    r

    13

    memori masa lalu persma atau kembali dari nol dengan otodidak mengutak-atik lingkungan sampai terhindar dari penyakit pragmatisme dan elitisme, entahlah, bagaimana caranya.

    Ketiga, generasi ahistoris, sejarah memberikan kita rekaman masa silam setidaknya tentang bagaimana kita muncul dan di lingkungan seperti apa kita besar. Atau minimal waktu, momen, dan ciri-ciri satu masa yang penting pada masa lalu, kemudian membuat kita seperti saat ini kondisinya. Kadang ada yang mengibaratkan sejarah itu seperti bola yang berputar, pada saatnya akan sama dengan sebelumnya. Artinya sejarah adalah pengalaman yang akan terulang kalau tidak persis sama, minimal mendekati sama. Pendek kata, tanpa memahami sejarah, kita buta dengan diri sendiri.

    Dalam kasus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukan suatu yang aneh terkadang aktivisnya bertanya-tanya tentang dirinya sendiri. Ya, tanpa tahu dirinya itu apa, akan memberikan dampak domino atau dampak turunannya. Ingin melakukan gerakan massa sulitnya minta ampun, bersikap pun ragunya sangat was-was. Padahal ada tradisi yang menjadi karakter melekat, bahkan kalau perlu membuat antitesis dari tradisi lalu untuk disesuaikan kondisi hari ini. Biasanya kata aktivis persma, tiap generasi melahirkan caranya masing-masing. Tapi, semua itu sulit kalau sekali lagi buta dengan ke-aku-an.

    Yang terparah, hampir semua PPMI Kota/ Dewan Kota, caretaker, dan LPM harus mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya hampir satu periode kepengurusan mengidentifikasi dirinya. Tiap ganti kepengurusan, hal yang pertama harus

    dilakukan adalah kembali dari nol dan mengulang pekerjaan yang sebenarnya sudah tuntas pada periode kemarin. Ya, dampaknya tidak ada perkembangan atau pergeseran mendekati harapan PPMI.

    Berbagai masalah yang telah diulas sebelumnya adalah alasan buku ini harus diterbitkan! Ketika anda berpikir dan mempertanyakan tentang PPMI (persma) silahkan baca buku ini. Buku yang ada ditangan anda ini tidak hendak menyajikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan tentang persma. Namun, memaparkan atau menyajikan fakta-fakta sejarah PPMI, karena cukup adil, natural, dan objektif.

    Saya yakin kita semua menyambut dengan bahagia terbitnya buku ini. Selain sekian tahun dinanti-nanti, buku ini satu lompatan besar dalam akselerasi demokrasi secara umum. Karena tentunya PPMI bagian dari gerakan mahasiswa yang menentukan nasib demokrasi. Maksudnya, internal PPMI akan baik-baik saja, dan demokrasi juga akan baik-baik saja. Selain itu buku ini akan mengejutkan kita; ternyata PPMI itu organ gerakan yang besar, dewasa, dan sudah banyak makan garam dinamika wadah persma yang sulitnya minta ampun diurusi. Entahlah besar apanya, tapi temukan faktanya setelah membaca buku ini. Salam Pers Mahasiswa! Bravo PPMI! Dan jabat erat!q

  • Penantian yang Belum Selesai

    Fajar KelanaKoordinator Dewan Etik Nasional PPMI Periode 2008-2010

    Sekadar pengantar membaca dari orang ketiga. Walaupun bagian dari pengurus Nasiona PPMI, saya adalah satu dari banyak

    orang yang pesimis proyek warisan penggarapan buku putih akan rampung digarap. Bagaimana tidak, konon katanya penggarapan ini sudah coba dimulai sejak jaman orang-orang tua dulu dan tak pernah selesai, hal ini diperparah dengan kontrakan Agung Sedayu (Sekjend Nasional 2004-2006) yang sekaligus jadi sekretariat terkena banjir dan membuat data yang sudah susah-susah dikumpulkan hanyut mengalir sampai jauh entah kemana. Lalu di jaman Armand KS (Sekjend Nasional 2006-2008) proyek warisan ini sama sekali tak tersentuh. Praktis, modal awal yang ada hanyalah sisa data yang terkumpul di jaman Agung yang cuma sepuluh halaman itu, LPJnya Agung dan LPJnya Arman, ini sama saja memulai dari awal. Membayangkannya saja saya sudah tak kuat. Untung saja bukan saya yang harus menggarap.

    Yang kena pulung disuruh garap proyek warisan ini adalah Litbang Nasional, struktur yang muncul lagi di jaman Fandi Akhmad (Sekjend Nasional 2008-2010) setelah sempat dihilangkan di jaman Arman dulu. Celakanya, justru Jogja yang jadi pengurus di Litbang Nasional yang baru lahir dengan warisan yang minim itu. Sebelum Litbang terbentuk, saya dan kawan-kawan pengurus Jogja (Aidil-media Jogja, Ian Guruh-litbang Jogja, Ikhwan Genjik-Advokasi Jogja) sudah memaparkan

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    16

    konsep kerja Libang ke pengurus Nasional di Jember. Waktu itu, calon pengurus Nasional lainnya yang datang cuma Bambang calon pengurus Media dari Bali. Di Jember, rancangan Litbang yang disusun sama sekali tidak menyinggung soal buku putih, alasannya: bukan prioritas utama dan pengurus Litbang nasional dari Jogja belum dibentuk.

    Pengurus Litbang Nasional baru dibentuk setelah kongres PPMI Dewan Kota Jogja. Saya yang pada kongres Nasional di Mataram terpilih jadi pengurus Nasional tak jadi pensiun. Ikhwan Genjik yang dulu jadi pengurus Jogja didapuk jadi pimpinan PPMI Jogja setelah menang dalam pemilihan dan bersaing dengan Fathoni. Fathoni yang kalah populer dengan Ikhwan dalam pemilihan pengurus kota malah naik pangkat jadi koordinator Litbang Nasional. Setelah pasti ada koordinatornya, Litbang pun segera dilengkapi dengan merekrut Ian Guruh, Pambudi, Budi, dan Edi Susilo jadi anggotanya. Sebuah komposisi yang mantap: terdiri dari orang-orang lama (angkatan 2004-2005) dan di persma masing-masing menjabat/pensiunan Pemimpin Umum (PU) dan Wakil PU. Terlihat macam the dream team lah, walaupun sebenarnya mereka secara struktural masih baru di PPMI, cuma Ian Guruh yang pernah jadi pengurus PPMI Jogja di Jaman saya. Yang lainnya diluar struktur dan bukan pengurus.

    ***

    Lamat-lamat teringat awal proses pembuatan buku putih ini. Bermula pada pertengahan tahun 2008, sekitar jam 8 malam saya di sms Fathoni disuruh datang di caf yang terletak di sekitar kota gede. Mau ngobrol tentang libang katanya. Sampai disana saya bertemu Fathoni dan Edi, setelah bicara macam-macam tentang Litbang, saya diminta menjelaskan cara penulisan sejarah yang akan dipakai untuk proyek penggarapan buku putih. Maka mengocehlah saya tentang bagaimana pembuatan karya sejarah, kebetulan sampai sekarang saya masih tercatat sebagai mahasiswa ilmu sejarah di kampus.

    Lama setelah peristiwa itu, kabar buku putih tak terdengar. Pengurus kota sibuk dengan urusan kotanya masing-masing. Pengurus nasional sibuk sendiri: sekjend keliling ke kota-kota konsolidasi, media nasional dan dana usaha nasional bubar dan pada akhirnya diambil alih kota Jember, advokasi nasional bikin pelatihan , dan the dream team litbang pengurusnya pada lulus satu-satu. Dalam tiap kesempatan ketika kumpul-kumpul dengan pengurus nasional saya selalu bicara tentang litbang: jangan habiskan energi untuk garap buku putih. Konsentrasi saja sama program yang lain yang lebih konkrit. Rupanya omongan saya tak didengar,

  • peng

    anta

    r

    17

    tiba-tiba saja ada kabar buku putih hampir selesai. Kagetlah saya.Bagaimana ceritanya proyek warisan yang sekian lama terbengkalai itu tiba-

    tiba saja hampir selesai? Pertanyaan itu mau tak mau muncul dalam pikiran. Rasa heran dan salut tak mau hilang. Rupanya, Fathoni si koordinator Litbang semangat sekali menggarap buku ini. Sendirian dia keliling ke beberapa tempat mengunjungi orang-orang tua untuk diwawancarai guna menambal data yang didapat dari sumber tertulis yang minim. Pantas saja buku ini selesai, dimana ada kemauan pasti ada jalan. Kebetulan kemauan kawanku yang satu ini tinggi sekali. Diantara kawan-kawan litbang lainnya yang lulus satu-satu (konon kabarnya Fathoni sudah setahun tidak masuk kuliah, tapi alasannya kenapa saya juga tidak tahu), dia masih menyempatkan untuk meluangkan waktu mencari data untuk menggarap buku ini. Dibantu kawan litbang lainnya digaraplah buku ini di sekretariat Litbang Nasional yang sekaligus kontrakan si Fathoni. Sekarang saya bersyukur Fathoni tidak ngontrak di pinggir kali, jadi tidak kebanjiran macam Agung Sedayu dulu. Sepertinya dia sudah banyak belajar dari pengalaman.

    ***

    Kalau bicara masalah isi buku ini jelas masih banyak sekali kekurangan. Minimnya data menjadi alasan paling logis untuk membela diri atas kekurangan buku ini. Mau protes silahkan saja, tapi protesnya jangan sama saya. Saya cuma bantu ngedit sedikit dan nyumbang data yang tak banyak. Kalau mau protes sama Litbang Nasional saja, terutama sama koordinatornya karena dia yang paling berperan dalam penggarapan buku ini.

    Walaupun begitu, buku yang dikasih judul Catatan yang Belum Usai ini sudah dinanti banyak orang. Tiap kali saya ketemu orang tua di PPMI selalu saja ditanya perkembangan tentang buku ini. Wajar saja saya kira, apalagi kerjaan orang-orang tua itu kalau tidak tanya-tanya (dan diminta duitnya)? Besok saya juga akan begitu. Mungkin saja kelak saya, Fathoni, Fandi, dan kawan-kawan lainya menanti-nanti buku putih selanjutnya. Alasannya jelas: Jaman kami belum ditulis bung. Jadi, penantian memang belum selesai.

    Akhir kata, selamat membaca sajalah.

    Lereng Merapi, hari buruh 2010

  • bagian satu

  • Pers Mahasiswa, katakanlah begitu, boleh saja berbangga diri. Karena tidak sedikit dari mantan pengurusnya menjadi orang yang berperan penting dalam perjalanan bangsa ini. Pun peran pers mahasiswa tidak dapat dinafikan dalam pergerakan dan perubahan di simpang masa. Lantas

    apakah sudah begitu saja? Tidak. Tidak sederhana menjelaskan dinamika suatu perubahan beserta silang-sengkarutnya. Alur perubahan, mulai dari gejala awal sampai di titik peristiwa, cukup pelik, komplek dan rumit. Pers mahasiswa sebagai gerakan mahasiswa dan sistem politik, mengutip Fachry Ali, terjalin begitu erat. Relasi keduanya, paling tidak dalam catatan sejarah bangsa ini, perlu disimak jeli. Mahasiswa-gerakan-persma-media-politik-birokrasi-pendidikan-dan seterusnya.

    Peran pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan dan media adalah fungsi yang potensial untuk bergerak lincah. Sebagai wadah generasi muda terdidik tentu tidak cukup dipandang sekedarnya. Potensi yang jika diperhatikan menjadi lumbung generasi masa depan, jika dipandang gerakan maka akan membahayakan status quo, secara kritis akan mendinamir konstelasi sosial, dan secara historis akan selalu diperhitungkan. Namun hal itu terdengar terlalu berlebih. Apalagi jika sampai menjadi beban historis bagi generasi baru pers mahasiswa, tidaklah. Banyak celah yang terabaikan dalam entitasnya. Akan menjadi kata-kata yang renta dalam catatan media.

    Sejauh dan sepengetahuan saya hanya ada dua organisasi wadah pers mahasiswa yang mengaku setingkat nasional. Pertama adalah IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa

    Permulaan Tulisan

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    22

    Indonesia), dan kedua yakni PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Bukan untuk dibandingkan, IPMI secara formal mampu berdiri selama 24 tahun (1958-1982) dan PPMI selama 18 tahun (1992-2010). Sepuluh tahun lamanya (1982 - 1992) terjadi kevakuman. Dua wadah yang setidaknya menjadi tumpuan harapan pers mahasiswa pada masanya dengan ragam dan coraknya masing-masing. Amir Effendi Siregar kiranya cukup banyak menguraikan kisah IPMI dalam Patah Tumbuh Hilang Berganti. Sedangkan ada Didik Supriyanto dengan Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK yang menjelaskan masa kevakuman. Dan besar harapan tulisan ini mengisi fase berikutnya, setelah kevakuman itu. Meski diakui, masih jauh dari kesempurnaan dan keutuhan sebuah Catatan. Paling tidak sebagai catatan yang belum selesai.

    Mengenang IPMI Sebagai organisasi yang mewadahi Pers Mahasiswa ini merupakan gabungan

    dari Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) secara resmi melebur saat Konferensi II Pers Mahasiswa, 16-19 Juli 1958.1 IPMI boleh saja lahir pada masa demokrasi terpimpin. Menjadi taruhan independensi dan anggotanya bertahan dari suhu politik yang mulai naik. Bahkan jelang akhir masa ini IPMI pernah dituduh sebagai anak Partai Sosialis Islam (PSI) dan Masyumi serta tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IPMI. Maka pada 10 September 1965 IPMI membuat surat pernyataan2 tentang Independensi IPMI terkait tuduhan itu.

    Setahun berikutnya, independensi IPMI terlihat ketika tanggal 25 30 September 1966 Musyawarah Kerja Nasional dan Simposium IPMI se-Indonesia di Bandung. Hasilnya, IPMI memilih terlibat dalam arena politik.3 IPMI kemudian menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

    Keputusan keterlibatan ini hasil dari Musyawarah Kerja Nasional tahun 1966 di Bandung. IPMI menceburkan dirinya dalam aktivitas politik: melawan otoritarian demokrasi terpimpin.4 IPMI yang waktu itu diakui oleh Departemen Penerangan RI sejajar dengan organisasi pers lainnya ini kemudian pada masa 1966-1968 menerbitkan media di daerah. Menjelang 30 September 1965 terbit mingguan Mahasiswa Indonesia dan harian KAMI Di Jakarta. Tahun 1966, Di Bandung terbit Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat. Mingguan umum Mimbar Demokrasi di Bandung terbit pada 30 September 1966. Di Yogyakarta terbit Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah, Muhibbah Universitas Islam Indonesia (UII), pada 11 Maret 1967. Di Banjarmasin terbit Mimbar Mahasiswa pada 1968, di Pontianak terbit Mingguan KAMI edisi Kalimantan Barat pada 1968,, di Surabaya terbit Mingguan KAMI edisi Jawa Timur pada 1968, di Malang terbit Gelora Mahasiswa Indonesia pada 1967, di Makasar terbit Mingguan KAMI pada akhir 1966, dan

  • bagi

    an s

    atu

    23

    sebagainya.5 Selang tak lama dari kongres II IPMI tahun 1969, IPMI bergeser dan kembali

    menyatakan independensinya karena kondisi politik. Hal ini menyikapi pergolakan politik yang sangat cepat dan arus politik deras. Orde baru menaiki tangga kekuasaan dan memantapkan langkah-langkah politiknya.

    ...tidak mungkin diharap suatu perubahan terjadi dari dalam, kelihatannya perubahan harus dimulai dari luar birokrasi. Dari luar birokrasi harus ada kekuatan yang mengkontrol birokrasi, mampu mengimbangi opini potensi dari birokrasi. Untuk itulah pers yang dianggap dapat memisahkan diri dari birokrasi dan melakukan kontrol terhadap birokrasi, jelas Nono Anwar Makarim dalam Laporan Pimpinan Pusat IPMI kepada Kongrees Luar Biasa IPMI pada 1969).6 Maka kemudian pemerintah berreaksi dengan mendirikan Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI)7 yang dibentuk sebagai tandingan IPMI dan untuk mengerdilkan peran IPMI.

    Ketika pemerintah mengeluarkan konsep kemahasiswaan back to campus,8 maka IPMI dengan segala konsekuensinya harus menerima format itu, sebagaimana dalam hasil Kongres III pada tahun 1971. Kebijakan pemerintah mempengaruhi kondisi Pers Mahasiswa. Maka, sejak tahun 1971 IPMI mengalami kemunduran. Pers Mahasiswa dipaksa menjadi subsistem dalam struktur birokrasi kampus. Bahkan diam-diam Pers Mahasiswa yang di dalam kampus (penerbitan mahasiswa bentukan Dewan Mahasiwa) bersaing dengan Pers Mahasiswa yang tidak bernaung di kampus.

    Akhirnya, karena ketidaksiapan kampus maka justru melemahkan IPMI sendiri. Mirip ketika euforia gerakan mahasiswa, termasuk Pers Mahasiswa, pasca 1998, yang kembali mewacanakan konsep back to campus meski dengan praktek yang berbeda. Demikian, sejak 1971 IPMI mengalami kemunduran meski banyak Pers Mahasiswa masih bertahan di dalam kampus.

    Mencoba melawan, Pers Mahasiswa pun diberangus. Lihat saja peristiwa Malari 1974, yang mengarah pada dikeluarkannya Peraturan Menpen RI No. 01/Per/Menpen/1975. yang isinya mengganti nama Pers Mahasiswa menjadi penerbitan khusus. Sehingga kemudian untuk menerbitkan saja harus memiliki izin terbit atau Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan. Imbasnya terjadi kelesuan gairah Pers Mahasiswa.

    Mencoba bangkit. Kongres IV IPMI pada Maret 1976 di Medan dengan berupaya berbenah diri. Namun dalam kongres itu pun IPMI belum mampu keluar permasalahan hidup antara di luar atau di dalam kampus, terutama pilihan memaksa back to campus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru, ditambah IPMI banyak ditinggalkan oleh LPM anggota9 yang memang pada saat itu terlalu enjoy, mengurusi persoalan di dalam

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    24

    kampus masing-masing sehingga lupa terhadap organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama.10

    Ada dua argumen yang muncul waktu itu, yakni membentuk organisasi di luar IPMI, atau kompromis dengan memperbaiki IPMI, dengan cara mengganti pengurus-pengurusnya yang lemah. Untuk yang pertama sepertinya kesulitan karena perlu konsep yang matang. Di satu sisi perlu adanya gerakan untuk restrukturisasi pengurus. Pro dan kontra mencuat, namun akhirnya, begitulah. Tak sempat muncul.

    Menuju tahun 1980-an, IPMI justu kian meredup. Seperti dijelaskan di atas, pengurus periode 1980-1982 tidak mampu menyelenggarakan Kongres VI IPMI. Setelah masa penataan kembali kegiatan kemahasiswaan di kampus, seiring dengan itu pula padamnya Pers Mahasiswa, seperti Gelora Mahasiswa tahun 1978, Kampus tahun 1980 dan Salemba tahun 1980. Masa-masa ini disebut sebagai pancaroba.11 Di masa ini kemudian IPMI mempersiapkan kongres V di Ujung Pandang, April 1980. tapi karena alasan prosedur perijinan yang belum keluar, Kongres dialihkan di Jakarta padahal persiapan di Ujungpandang sudah siap.12 Kongres menetapkan ketua umum Wikrama Ilyans Abidin dan Agusman Efendi sebagai Sekjend periode 1980-1982. Ternyata periode ini terserang badai, mengingat adanya redefinisi Pers Mahasiswa, Pers Kampus Mahasiswa dan Pers

    kampus. Eksistensi IPMI semakin ambruk. Dalam kongres V IPMI tahun 1980 di Jakarta, Wikrama mengatakan ada

    dua pemikiran yang berkembang waktu itu; pertama, menginginkan IPMI tetap independensi dalam kondisi bagaimanapun. Kedua, menginginkan IPMI dalam pembinaan organisasi kepemudaan tingkan nasional (KNPI) dengan konsekuensinya IPMI berubah nama menjadi IPPMI (Ikatan Pers Pemuda dan Mahasiswa Indonesia). Akhirnya kongres memutuskan tetap pada independensinya dan tidak bergabung dengan KNPI.

    Meski belum menemukan solusi atas banyaknya pembredelan. Dua hari setelah kongres, Salemba dilarang terbit. Seperti mengamini anggapannya, kegiatan-kegiatan Pers Mahasiswa harus melalui perijinan. Nasib Pers Mahasiswa kian suram. Seperti halnya IPMI. Lumpuh.

    Meski Wikrama, sebagaimana ia ungkapkan, selama tahun 1980-1982 tak kurang dari 20 kali pendidikan Pers Mahasiswa yang berhasil dilakukan di seluruh Indonesia tetap saja belum bersikap. Dalam posisi seperti itu, Pers Mahasiswa berada dalam posisi serba sulit, bagaikan di persimpangan jalan, akunya.

    Dengan demikian, secara optimis mesti dikatakan bahwa Pers Mahasiswa pun punya peluang untuk tumbuh dan berkembang. Persoalannya, tentu menyangkut sejauhmana para aktivis Pers Mahasiswa sekarang ini, mampu meyakinkan semua pihak bahwa kehadirannya bermakna, tulis Wikrama pada tanggal 10 Agustus

  • bagi

    an s

    atu

    25

    198713. Lima tahun setelah masa periode kepengurusannya di IPMI berakhir. Di satu sisi, seiring IPMI meredup justru Pers Mahasiswa mulai bergejolak.

    Kebijakan NKK/BKK, kebijakan penerapan penerbitan khusus dan tindakan represif pemerintah melalui state apparatus-nya boleh melemahkan dan merepotkan gerakan mahasiswa, namun riak-riak kecil Pers Mahasiswa mulai tampak jelang akhir tahun 1980-an. Beberapa Pers Mahasiswa tumbuh di kampus-kampus.

    Masa Kevakuman: Nasib Wadah Pers Mahasiswa setelah PancarobaSetelah kebekuan IPMI yang gagal kongres tahun 1982, yang menandai sampai

    akhir masa kepengurusan (1980-1982) tidak ada pergantian pengurus. Segera setelah itu IPMI secara drastis mengalami kevakuman. Mungkin inilah yang saya khawatirkan, yang saya takutkan. Kita bisa frustasi. Pers Mahasiswa pada dekade ini sungguh terlunta-lunta nasibnya, tulis Agung Suprihanto, Pemimpin Umum Balairung UGM periode 1988 1990.14

    Dalam sejarahnya memang IPMI yang punya catatan heroik dan satu-satunya mempunyai legalitas dari pemerintah. Organisasi apapun dan manapun pasti mengalami dinamika, fluktuatif, dan itu wajar. Ditambah paska Malari 1974 IPMI

    mengalami kemunduran, setidaknya itu dibahas oleh aktivis Pers Mahasiswa. Kini ia (IPMI) sebaya dengan gadis remaja yang bentar lagi mekar, banyak tingkah polah dengan segala kekenesannya. Biasanya dengan usia yang sekian banyak yang bisa diperbuatnya. Namun, perkembangan IPMI, lain agaknya. Dengan umurnya itu, ia tetap kerdil saja. Tak bisa berbuat apa-apa. Lumpuh begitulah, tulis Arena15

    Berbeda ketika IPMI sepuluh tahun sebelumnya yang dapat dikatakan cukup hebat, kini pengurus periode 19801982 seperti sudah kehilangan akal untuk meneruskan estafet kepengurusan. Kongres selalu gagal diselenggarakan. Ini berimbas cabang-cabang IPMI di daerah-daerah yang dulunya menjamur kini berguguran. Nasib Pers Mahasiswa tak jauh beda seperti IPMI. Meski masih ada yang bertahan tapi gaungnya tidak sampai ke masyarakat, bahkan di kalangan mahasiswa sendiri pun hanya sebagian kalangan yang mengenalnya.16

    Dengan demikian tahun ini menandai kebekuan IPMI, satu-satunya organisasi Pers Mahasiswa level nasional. Berbagai peristiwa baik politik dan relasinya dengan dunia pendidikan tinggi (kampus) memaksa aktivitas gerakan mahasiswa yang subversif harus diam. Meski begitu format pergerakan bergesermeminjam istilah Didik Supriyanto dalam Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK pada jurnalisme struktural yang memandang persma tidak hanya menulis namun sebagai organisasi pergerakan harus bergerak dengan cara yang lain sebagai bentuk perjuangan, tak hanya dengan pers. Maka perjuangan pun dimulai dari meja redaksi bergeser ke pelatihan, seminar, dan forum diskusi studi sampai

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    26

    ke mimbar bebas meneriakkan perlawanan. Setting politik mempengaruhi format gerakan Persma.

    Akhirnya kegelisahan para aktivis persma menggumpal dan melahirkan kesadaran bersama untuk mengadakan kembali wadah Pers Mahasiswa yang berfungsi sebagai koordinator pengembangan aktivitas Pers Mahasiswa. Dan kegelisahan itu terungkap dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional pada 21 28 Oktober 1985 di Cibubur yang diikuti oleh 125 mahasiswa dari 29 Perguruan Tinggi (PT) dari 17 Kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Terselenggara oleh upaya Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta (Majalah Politika).17

    Bahkan sempat disepakati pembentukan tim kecil untuk menjajagi kemungkinan dan kesiapan didirikan suatu lembaga pengembangan Pers Mahasiswa itu. Tim kecil ini terdiri 15 orang dari 13 Perguruan Tinggi peserta acara dengan 2 diantaranya panitia acara. Perwakilan Perguruan Tinggi itu sengaja ditunjuk yang di Jakarta dengan pertimbangan memudahkan koordinasi tim kecil karena faktor geografis.

    Pertemuan ini menandai pertama kalinya terungkap gagasan pembentukan wadah nasional pasca kebekuan IPMI. Setelah itu, tahun 1986 tercatat sekitar tiga kali pertemuan nasional yang membicarakan seputar wadah tunggal. Tahun berikutnya, pada Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia (27 - 29 Agustus 1987) oleh Majalah Balairung UGM terbentuk panitia ad hoc yang bertanggung jawab untuk menjajagi dan menyiapkan kemungkinan dilahirkannya wadah nasional bagi aktivitas Pers Mahasiswa.18 Pertemuan ini diikuti 247 aktivis Persma dari 41 Perguruan Tinggi Panitia ad hoc ini terdiri dari 4 orang dari Jakarta dan Yogyakarta. Setelah penjajagan dan laporan pertanggungjawaban dibuat bahkan dengan direkomendasikan adanya pertemuan nasional sebelum Sidang Umum MPR RI 1988, wadah nasional belum juga terbentuk.

    Melihat gairah para aktivis persma ini pengurus eks IPMI demisioner (1980-1982) akan mengadakan kongres karena sebelumnya vakum sekitar enam tahun, di sisi lain panitia ad hoc segera merespon, maka kedua pihak mengadakan pertemuan pada 10 Agustus 1988 di Jakarta. Sebelumnya panitia ad hoc mengadakan Puwokerto Informal Meeting pada 6 - 7 Agustus 1988 di Surat Kabar Mahasiswa Sketsa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang dihadiri oleh 40 aktivis persma guna membahas sekitar wadah tunggal, terkait dengan penyikapan terhadap IPMI yang akan kongres.

    Beberapa pertemuan pun dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum semisal sarasehan dan pelatihan. Seperti pada Sarasehan Pers Kampus Mahasiswa se-Indonesia, 26-27 Maret 1988, di Teknokra Universitas Lampung (Unila). Namun belum sampai pada sebuah keputusan membentuk wadah baru.19

  • bagi

    an s

    atu

    27

    Selain itu, Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa IAIN se-Indonesia pada 11-12 April 1988 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski khusus IAIN namun juga diikuti dari kampus lain. Lagi-lagi kesepakatan soal penyikapan IPMI dan wadah baru belum kunjung terwujud.20 Dan forum-forum lainnya seperti Sarasehan Kuningan, Pertemuan Kaliurang, atau Pekan Orientasi Jurnalistik Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

    Demikian bergairah Pers Mahasiswa membincangkan nasib IPMI dan wadah baru. Akhirnya upaya-upaya itu mengerucut pada Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia (pra-kongres IPMI VI) pada 19 - 22 September 1988 di Unsoed Purwokerto.21

    Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 45 PT se-Indonesia. Hasil penting dari sarasehan ini berupa Deklarasi Batu Raden dan pembahasan tentang AD/ART dan komponen organisasi. Selain itu disepakati kongres pada Februari 1989 di Lampung dan dibentuk pula steering commitee (SC) panitia kongres. Waktu berkata lain, kondisi politik dan keamanan yang tidak mendukung, yakni GPK Warsidi / Way Jepara meletus. Kongres yang telah direncanakan itu itu pun gagal.

    Kegagalan melaksanakan kongres VI IPMI di Lampung pada 15-18 Februari 1989 itu kemudian segera disikapi oleh Pers Mahasiswa. Setidaknya ada dua pertemuan Pers Mahasiswa setelah itu.22 Pertama, pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali yang diprakarsai oleh Pers Mahasiswa Hayam Wuruk Fakultas

    Deklarasi Baturaden. Pada pertemuan ini menghasilkan deklarasi baturaden dan menyepakati kongres dilaksanakan pada Februari 1989 di Lampung.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    28

    Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada 29-30 Maret 1989 yang dihadiri kurang lebih 50 aktivis Pers Mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut selain membahas masalah masa depan dan keperanan Pers Mahasiswa Indonesia juga berupaya untuk menanggapi kegagalan kongres VI IPMI di Lampung. Namun pembicaraan yang terakhir tersebut tidak tuntas karena sempitnya waktu.

    Kedua, pertemuan Pers Mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Himmah Pers Mahasiswa UII pada 1 -3 April 1989. Dalam pertemuan tersebut disepakati berdirinya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) yang diwakili masing-masing propinsi memutuskan untuk menuntut panitia kongres agar mempertanggungjawabkan kepanitiaannya. Setalah pertemuan ini akhirnya hampir tidak ada pertemuan nasional yang membahas soal kebekuan organisasi wadah Pers Mahasiswa. Kecuali beberapa forum-forum regional, seperti pertemuan di UMS Surakarta, UNS Solo, UGM, UNEIR Malang dan IKIP Bandung (Juli 1991).23 Meski kurang membawa hasil karena setiap kali pertemuan orangnya selalu berganti-ganti. Di sisi lain, kualitas terbitan perlu adanya pembenahan. Peningkatan mutu menjadi jalan tengah menyikapi kondisi seperti ini.

    Bahkan Resyarto Efiawan, Pimpinan IPMI Cabang Purwokerto, menyatakan

    IPMI sudah tidak jelas lagi. Karena kepengurusan yang sudah terlalu lama. Hingga tahun 1991 masih dipegang Wikrama I Abidin.24

    Upaya melakukan pertemuan aktivis Pers Mahasiswa sering terhambat karena perijinan, sehingga konsolidasi sulit terwujud. Dan aktivis Pers Mahasiswa kembali disibukkan dengan aktivitas di medianya sendiri di kampus. Jaringan komunikasi setingkat nasional terputus. Aktivitas kemahasiswaan pun hanya bersifat temporal dan tidak ada koordinasi yang luas. Permasalahan ini, kiranya bisa teratasi bila para aktivis terkonsolidasi dalam sebuah wadah semisal IPMI atau pun adanya organisasi alternatif yang lain. Kelembagaan tersebut harus diupayakan untuk tetap dinamis dan legal, tulisnya.25

    Gerakan Pers Mahasiswa membentuk diri seperti mengalami anti klimaks. Terjadi kehampaan dan kejenuhan. Namun itu tak lama. Meski pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang -baik langsung maupun tidak- berimbas pada gerakan mahasiswa. Tahun 1989 keluar UU No. 2//1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989 tentang penerbitan pada Juli 1989. Seperti tidak berpengaruh. Aktivitas Pers Mahasiswa tidak hanya melulu pada jurnalistik namun juga, seperti kata Didik SupriyantoJurnalisme Struktural, aksi dan turun ke jalan.26 Bahkan beberapa aktivis Pers Mahasiswa menjadi motor gerakan mahasiswa. Pergolakan terus memanas. Banyak kasus-kasus di daerah mulai terkuak. Kasus waduk Kedungombo Boyolali Jateng (1989), kasus KSOB/TSSB, peristiwa Brest, diantaranya. Gerakan mahasiswa mulai pandai memainkan isu. Misalnya dengan memperingati hari HAM dengan

  • bagi

    an s

    atu

    29

    aksi mimbar bebas. Dan munculnya aliansi-aliansi mahasiswa, semisal Forum Kerja dan Diskusi Mahasiswa Indonesia buntut dari Peristiwa Brest, Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo (KSKPKO), bayi dari penyikapan kasus Kedungombo Februari 1989. Atau akibat kebijakan penaikan tarif dasar listrik kemudian dibentuk Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL) pada April 1989. Selain itu pula ada Gerakan Mahasiswa Sadar Wisata pada Februari 1989 yang menentang Perda tentang Hiburan Umum dan Rekreasi di Yogyakarta.

    Demikian kegelisahan Pers Mahasiswa diisi dengan gerakan-gerakan solidaritas, hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sejarah gerakan. Masih banyak peristiwa dan gerakan yang terjadi di daerah-daerah dan tokoh-tokohnya. Maka jelang dasawarsa 1990-an ini gerakan mahasiswa mengarah pada radikalisme aktivisme dan Pers Mahasiswa terlihat khasnya: jurnalisme oposisi terhadap kekuasaan. Fenomena ini menjadi tak heran ketika istilah jurnalisme struktural digunakan; aktivis Pers Mahasiswa tidak haram demonstrasi. Sehingga pemerintah kian terusik dengan gerakan-gerakan mahasiswa ini.

    Di kalangan aktivis pers mahasiswa mempunyai keinginan kuat untuk mengorganisir dan bergerak sangat kuat, ketika IPMI yang mereka harapkan mampu mewadahi gerakan dan segala aktivitasnya, maka keinginan membentuk wadah baru semakin kuat pula.

    Menuju PPMISemaraknya gerakan mahasiswa di akhir tahun 1980-an terus berlanjut,

    sebelumnya pun Pers Mahasiswa membentuk Komite Pembelaan Pers Mahasiswa Indonesia (KPPMI) pada 11-12 April 1988 untuk menyikapi beberapa kasus pembredelan yang dialami Pers Mahasiswa. Seperti yang waktu dialami oleh 7 media terbitan mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dibredel oleh rektornya sendiri, yang dipicu pemberitaan Majalah Imbas tentang penyimpangan dana di kampus tersebut.

    Ketujuh Pers Mahasiswa itu adalah Imbas (Fakultas Teknik), Sketsa (FKIP), Dian Ekonomi (Fakultas Ekonomi), Rekayasa (Fakultas Hukum), Biota (Fakultas Biologi), dan Agronomi (Fakultas Pertanian). Seperti halnya Arena, Pers Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga ini pun sial berhadapan dengan Pembantu Rektor III (PR III), soal pemuatan tulisan dari wawancara dengan Arif Budiman. Benar pembredelan atau apapun istilahnya menyangkut terus dialami Pers Mahasiswa.

    Tahun 1992 giliran Vokal, Pers Mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (IKIP PGRI) Semarang, karena mengangkat Golput sebagai berita utama dalam majalahnya. Dan kasus-kasus yang dialami Pers Mahasiswa lainnya yang terjadi di berbagai daerah.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    30

    Memasuki tahun 1990-an, seiring dengan itu Pers Mahasiswa generasi berikutnya masih menyisakan soal wadah baru dan penyikapan soal IPMI. Hal ini terlihat dari mulai digiatkannya lagi forum-forum nasional atau regional antar aktivis Pers Mahasiswa. Dengan memanfaatkan pelatihan-pelatihan dan kegiatan formal lainnya konsolidasi aktivis Pers Mahasiswa. Selain itu pun pertemuan non-formal para aktivis Pers Mahasiswa di beberapa daerah, dengan format cair dan nongkrong. Salah satunya, yang dilakukan para aktivis Pers Mahasiswa di Yogyakarta. Hingga akhirnya berdiri Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) pada bulan Februari 1991, dan baru diresmikan 28 Juni 1991.27 Dalam lingkup nasional kegairahan itu pun memuncak ketika pada tanggal 6-9 Februari 1991 diselenggarakan Temu Aktivis Pers Mahasiswa di Wanagama, Wonosari, Yogyakarta. Sebelum pertemuan yang diadakan Balairung UGM ini beberapa forum telah digelar, seperti pertemuan di Universitas Negeri Surakarta (UNS) dan Universitas Negeri Jember (Unej).28 Dari temu aktivis Pers Mahasiswa di Wanagama ini akhirnya dibentuk badan pekerja (Steering Commitee Nasional) untuk memfasilitasi pertemuan lanjutan dan menghimpun penerbitan mahasiswa tingkat daerah.

    Kemudian pertemuan lanjutan digelar di Isola Pos IKIP Bandung, dalam Bandung Informal Meeting pada 7 10 Juli 1991 atau disebut Pra-kongres untuk menyiapkan perangkat lunak pra-kongres (rancangan AD/ART, rancangan GBHK, dan persiapan kongres). Hasil lainnya, disepakati penamaan organisasi, yakni PPMI (Pehimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia).

    Setelah itu dua pertemuan berikutnya di Lampung (19 - 23 November 1991)

    Pra Kongres PPMI.Dari temu aktivis Pers

    Mahasiswa di Wanagama ini akhirnya dibentuk

    badan pekerja (Steering Commitee Nasional) untuk memfasilitasi

    pertemuan lanjutan dan menghimpun penerbitan

    mahasiswa tingkat daerah.

  • bagi

    an s

    atu

    31

    mendesak SC untuk segera mengadakan kongres. Maka sebulan kemudian pada 20 Desember 1991 diadakan pertemuan di Universitas Gajayana, Malang untuk membahas Rancangan Program Kerja PPMI.

    Akhirnya, pertemuan yang dikemas dalam bentuk Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia (14-18 Oktober 1992) di Universitas Brawijaya Malang.29 Pertemuan ini diikuti oleh 72 peserta dari 37 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Pengguruan Tinggi Swasta (PTS) se-Indonesia. Hasilnya terealisasi dalam sebuah pernyataan bergabungnya Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) yang ada di perguruan tinggi dalam satu organisasi baru. Pada 15 Oktober 1992 pukul 16.29 WIB diputuskan wadah baru itu bernama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Detik ini ditetapkan sebagai waktu kelahiran PPMI. Dengan demikian, penyataan kesepakatan bersama ini menandai berakhirnya kerinduan Pers Mahasiswa membentuk wadah baru. Tugas berat bagi wadah baru Pers Mahasiswa itu menanti.

    Skenario Pelunakan Pers MahasiswaTak hanya membentuk BKSPMI, pemerintah pada 23 Juli 1973 juga

    membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang sudah dirintis pasca pemilu 1971 oleh Ali Moertopo dan beberapa aktivis 1966 yang berada di lingkar kekuasaan seperti Abdul Gafur, David Napitupulu, dan Akbar Tanjung.30 Secara teori politik pembentukan organisasi-organisasi semacam ini merupakan format korporatisme representasi kepentingan pemerintah dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Dengan fungsi sebagai upaya pemerintah menstabilkan kondisi politik, karena menyadari bahwa mahasiswa mempunyai potensi yang dapat mengancam stabilitas. Upaya pemerintah ini akhirnya menciptakan depolitisasi kehidupan kampus.

    Arbi Sanit mengidentifikasikan tiga bentuk kebijakan yang berhasil

    membungkam gerakan mahasiswa.31 Pertama, dibentuknya Komite Nasional Pemuda Indonesia pada tahun 1973. Intinya mengharuskan seluruh organisasi mahasiswa berdasarkan ideologi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain-lain, termasuk IPMI bernaung di bawah KNPI. Kedua, pembekuan Dewan Mahasiswa oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sejak 21 Januari 1978, sehingga membekukan organisasi mahasiswa.

    Ketiga, kebijakan NKK/BKK yang memaksa, mengendalikan, mengarahkan organisasi mahasiswa untuk di kampus. Lebih jauh dari itu, kebijakan ini menjadikan mahasiswa apolitik sebagai organisasi, kecuali partai politik yang sudah diringkas dalam tiga partai. BKK kemudian membentuk unit-unit kegiatan

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    32

    kemahasiswaan dalam bidang-bidang kesejahteraan, minat dan perhatian mahasiswa, serta pengembangan penalaran mahasiswa. Sedangkan pers mahasiswa dimasukkan dalam bidang minat dan perhatian mahasiswa, namun pada prakteknya masuk dalam unit kegiatan khusus.

    Abdulhamid Diporamono mengatakan bahwa pemerintah mengaggap pers mahasiswa yang menjadi penggerak protes-protes mahasiswa yang mulai muncul pada tahun 1987.Bahkan Fuad Hasan memperingatkan, Jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber keresahan atau keonaran.32

    Demikian organisasi mahasiswa dikebiri dan dikooptasi sehingga menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial-politiknya. Kampus dijadikan seperti sebuah menara gading yang melahirkan mahasiswa apatis dan pragmatis. Maka tak heran jika generasi 1980-an -imbas kebijakan pemerintah itu- lebih cenderung pada kelompok-kelompok studi.

    Majalah Himmah, Pers Mahasiswa UII, menggambarkan demikian,

    Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK menjadi salah satu bukti. Kaum muda mulai mendapat tekanan. Berbagai saluran yang potensial yang dapat menggugah kesadaran kaum muda, dibungkam. Mulai dari pers, sampai ketatnya pendidikan-pendidikan formal. Perdebatan tentang state dan apparatus-nya hanya terjadi di bilik-bilik rumah.33

    Di dunia pers, memasuki orde baru, telah diatur melalui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 1967 dan UU Nomor 21 Tahun 1982, maka ketentuan dunia pers berada di bawah menteri penerangan. Kemudian dikeluarkanlah Peraturan Menteri Nomor 01 /PERMENPEN/1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Penerbitan Khusus dan Keputusan Menteri RI Nomor 146/KEP/MENPEN/1975 tentang Ketentuan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan Khusus, yang diatur melalui Surat Tanda Terbit (STT) dan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dari sini menjadikan pers nasional dibatasi melalui SIUPP, termasuk pers mahasiswa.

    Maka pers mahasiswa kemudian berada dibawah kontrol dan pembinaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta rekomendasi perguruan tinggi melalui NKK/BKK 1978. Jika dihitung berapa banyak aturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah:

    PP Menpen RI Nomor 01/PER/MENPEN/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penerbitan Khusus.SK Menpen No. 146/Kep/Menpen/1975 tentnag ketentuan-ketentuan, persyaratan, da prosedur penerbitan khusus.SK Pangkopkamtib No. SK EP/02/KOPKAM/I/1978 tentang

  • bagi

    an s

    atu

    33

    perubahan Dema.SK Mendikbud no. 1256/U/1978 ditetapkannya tentang penetapan NKK SK Mendikbud No. 28/1978 Tentang Wewenang &Batas Permainan Civitas Akademika KampusSK Mendikbud no. 037/U/1978 tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Mahasiswa di Lingkungan Kampus, yang selanjutnya disebut BKK. Dengan demikian maka pendanaan kegiatan kemahasiswaan dari kampus, sedangkan semua tanggungjawab kegiatan mahasiswa di tangan kampus. Sehingga organisasi kampus sulit berkembang.Instruksi Dirjen Dikti no. 002/DJ/inst/1978 tentang pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi SK Mendikbud No. 0156/U/1978 tertanggal 19 April 1978 tentang konsep NKK. SK ini membebani mahasiswa dengan SKS. Maka penerapan jadwal kuliah semakin padat dan minat mahasiswa mengikuti kegiatan danorganisasi mahasiswa berkurang.SK Dirjen Dikti no. 849/D/T/1989 Tentang Penerbitan KhususUU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan NasionalPP No. 30/1990 tentang Pendidikan TinggiSK Mendikbud No. 0457 tahun 1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi atau yang dikenal dengan kebijakan SMPTDan lainnya, belum termasuk kebijakan wawasan alamater, kebijakan POLBINMAWA, dibentuknya KNPI dan SMPI

    Secara berangsur-angsur gerak Persma dan gerakan mahasiswa lainnya dimatikan. Pada 31 Mei 1980 Depertemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Pendidikan dan kebudayaan (Depdikbud) membentuk tim Pembinan Pers kampus mahasiswa Tingkat Nasional melalui SKB Mendikbud dan Menpen No. 0166/P/1980, yang anggotanya dari pejabat kedua departemen dan dosen-dosen.34 Pembentukan tim pembina pers mahasiswa ini bertujuan agar pers kampus sebagai lembaga dan kegiatan kampus yang merupakan sub-sistem pendidikan tinggi, juga sebagai pengembangan penalaran mahasiswa.

    Pada 16 Juli 1980 Harian Sinar Harapan menerbitkan tulisan Setelah Muncul Team Pembina Pers Kampus: Bagaimana dengan Pers Kampus Sendiri? oleh M. Rusli Karim. Rusli menulis.

    Dengan dibentuknya team pembina yang akan menggariskan pola dasar pembinaan pers kampus-mahasiswa ini diharapkan pers kampus-mahasiswa sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    34

    Timbul usaha membina pers kampus-mahasiswa didasarkan atas kenyataan bahwa dengan diberikannya kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan bentuk, isi, maupun cara pengelolaannya menurut pemerintah pers mahasiswa telah menyimpang dari tipe idealnya.

    Begitu pula Tajuk Harian ini pada 27 Mei 1980 yang cenderung sama sikapnya dengan tulisan Rusli,

    Apakah pemuatan masalah politik pers mahasiswa merupakan suatu kelemahan yang menyalahi kriteria koran kampus, memang bisa menimbulkan perdebatan yang tak selesai. Tapi bahwa kelemahan pers mahasiswa yang penyajiannya dilakukan secara mahasiswa menggebu-gebu kadang-kadang emosionil memang perlu direnungkan.

    Demikian upaya depolitisasi pers mahasiswa ekor dari kebijakan NK/BKK. Namun orientasi pers mahasiswa tetap menjadikan dirinya sebagai pers alternatif dalam kondisi otoritarian-birokaratik orde baru, dimana pers umum tak mampu berkutik dalam iklim represifitas. Selama pers mahasiswa masih berdiam diri,

    bahkan kompromistis dan kooperatif dengan ketidakadilan, atau mencari aman maka pers mahasiswa tidak akan maju dan berhasil. Karena pers mahasiswa menganut jurnalisme oposisi terhadap kekuasaan sebab pers mahasiswa tidak pernah tidak absen dalam singgungan dari persoalan politik dan kerakyatan. Maka selama pers mahasiswa tidak dipandang membahayakan pemerintah, pers mahasiswa belum dikatakan berhasil, kira-kira demikian. Ini kekhasan dari pers mahasiswa. Menjadi oposan sekaligus kritis-evaluatif serta lebih dinamis terhadap perubahan, namun terkadang kaku menghadapinya.

    Pers mahasiswa sering disebut sebagai jurnalisme penantang (adversary Jurnalism) karena sikap anti otoritas baik di dalam mapun di luar kampus. Penerbitan atau pers mahasiswa yang tidak pernah kering dari daya kritis terlihat dari pencaran ideologi mereka. Lemahnya paradigma apolitis dan strukturalis pers mahasiswa mengikis kesadaran kritis, historis dan idealis.

    Begitulah sehingga Shodiq, Mahasiswa Fisipol UGM, mempertanyakan,

    Sejauh inikah idealisme mahasiswa masa NKK-BKK? Idealisme yang masih suram, idealisme yang masih gonjang-ganjing, yaitu adanya dualisme yang kabur, antara paksaan untuk cepat lulus dengan tuntutan untuk menguasai ilmu secara benar dan utuh. Akankah secara mentah-mentah menelan sistem yang mencerminkan idealisme dari bapak dari pada idealisme mahasiswa?35

    Terjadi pergeseran sikap pers mahasiswa di pertengahan dekade 1980-an. Sikap oposan yang secara telanjang menjadi agak dinamis, meski tanpa kehilangan

  • bagi

    an s

    atu

    35

    sikap kritisnya. Kondisi politik di luar kampus dan pendidikan di dalam kampus mengubah bentuk-bentuk pers mahasiswa dalam mengambil sikap. Di luar kampus represi melalui aparat, di dalam kebijakan kampus memaksa mahasiswa mendekam di balik dinding kampus.

    Upaya depolitisasi kemudian melalui pencitraan, pers mahasiswa dianggap anarkis-oposisionil, pers mahasiswa dangkal analisa, pers mahasiswa tidak akademis harus ilmiah (keilmuan), masih anak-anak atau kurang dewasa, tidak profesional dan sebagainya.

    Citra pers mahasiswa diungkapkan gawat demikian maka suasana menggiring untuk segera dibina. Lain tahun 1980, lain pula dengan 1985. Majalah Politika FISIP Unas edisi nomor 8/9 oktober- Desember 1985 memuat,

    Pers Mahasiswa tidak boleh kritis. Tidak boleh bicara politik, dia harus mendekam di balik dinding-dinding kampus saja. Siapa bilang begitu? Gejolak mudanya usia, latar belakang keilmuan yang dimiliki serta kepekaan sosialnya, justru menuntut pers mahasiswa tampil lain dari pers umum lainnya.36

    Pada tahun 1985 skenario pelunakan anarki dan pencitraan pers mahasiswa kian memudar. Kebimbangan37 dan pecarian orientasi baru pers mahasiswa mulai muncul. Mulai berani berbeda. Sudah Saatnya Pemerintah Lebih Terbuka kepada Pers, terang Mochtar Lubis ketika memberikan ceramah jurnalistik pada 2 Juli 1986 di Unas Jakarta.38q

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    36

    catatan akhir1 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti, (Jakarta: PT. Karya

    Unipress, 1983), hlm. 44.2 Ibid., hlm. 45 dan 129. Llihat juga, Lukman Isa, (1977), Organisasi Pers Mahasiswa Indonesia,

    dalam kertas kerja yang disampaikan pada Lokakarya Pola Pendidikan & Pengembangan Pers Kampus/Mahasiswa di Malang 10-13 Februari 1977.

    3 Amir Effendi Siregar, op.cit., hlm. 49.4 Ibid., hlm. 65.5 Ibid., hlm. 47-49.6 Ibid., hlm. 51-52. 7 Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK, (Jakarta: Pustaka Sinar

    Harapan, 1998), hlm. 76 8 Amir Effendi Siregar, op.cit., hlm. 53. 9 Penggabungan IWMI yang anggotanya person (wartawan Persma) dan SPMI anggotanya lembaga

    Pers Mahasiswa (perusahaan) menjadi IPMI karena dlihat tidak banyak terdapat perbedaan dan kegiatannya sulit dipisahkan. Lihat Amir Effendi Siregar, op.cit., hlm. 43-44.

    10 M. Kodim, (t.t.), Membaca Lembaran Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia; Lika-liku Dinamika dalam Tiap Babakan Sejarah, dalam makalah yang tidak dipublikasikan . Sumber: Arsip Litbang PPMI.

    11 Deklarasi Baturaden, SKM Sketsa, edisi September tahun 1988, hlm.812 Ibid.13 Wikrama I Abidin, (1987), Memahami Arti Kehadiran Pers Mahasiswa, Majalah Balairung, edisi

    nomor 6 tahun 1987, hlm 14214 Agung Suprihanto, (1991), Dinamika Kelembagaan Pers Mahasiswa, Majalah Balairung, edisi Khusus

    tahun 1991, hlm. 26.15 Ana (1977), Sekitar Wadah Baru, Majalah Arena, edisi No. 1 tahun 1977. hlm. 8.16 Agung Suprihanto, (1991), op.cit., hlm. 26.17 Agung Suprihanto, (1988), Menuju Konsolidasi Pers Mahasiswa, Majalah Balairung , edisi nomor 7,

    hlm. 26.18 Ibid, hlm. 40.19 Agung Suprihanto, (1989), Kronologi Menuju Kongres: Sebuah Kesaksian, Majalah Balairung, edisi

    Nomor 10/Th.III/1989, hlm. 420 Didik Supriyanto, op.cit., hlm. 107.21 Dua Pertemuan Pers Mahasiswa, Majalah Arena, edisi nomor 2 Tahun XIV/ 1989, hlm. 4322 Ibid.23 Syakur NC,(1992), Majalah Amanat, edisi XLVII/Th. IX Oktober 1992, hlm. V.24 Karena sejak 1982, masa berakhirnya periode pengurus IPMI 1980-1982, tidak diselenggarakan

    kongres, maka secara de jure ketua umum masih dipegang oleh Wikrama.25 Resyarto Efiawan, (1991), Majalah Balairung , edisi Khusus tahun 1991, hlm. 28-29.26 Turun jalan ini merupakan bentuk radikalisasi idealisme mahasiswa. Lihat Didik Supriyanto, op.cit.,

    hlm. 124-128.27 Miftahuddin, (1993), Pers Mahasiswa Mencari Wadah, Majalah Arena, edisi nomor 1/Tahun

    XVIII/1993, hlm. 55.28 Sholeh & Edwan S, (1991), Jalan Panjang Menuju Wadah Tunggal Pers Mahasiswa Indonesia,

    Majalah Himmah, edisi Juli-Agustus 1991, hlm. 15. Lihat juga Miftahuddin, op.cit., hlm. 5429 PPMI Lahir di Malang, SKM Sketsa, edisi VII Th. 1992. hlm. 130 Didik Supriyanto, op.cit., hlm.35. Lihat juga, Saidi, Analisis Keberadaan dan Aktivitas KNPI 1973-

    1992, (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1992), hlm. 2.31 Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, (Jakarta: Lingkaran Studi Mahasiswa, 1989), hlm. 91. 32 Dijelaskan dalam footnote oleh Didik Sipriyanto yang menegaskan bahwa jauh sebelum terjadi

    protes-protes itu Mendikbud pernah memperingatkan dalam Kompas, 5 Mei 1987. Lihat, Didik Supriyanto, loc.cit.,/op.cit..

    33 Nasionalisme Kaum Muda: Dari Penjara ke Penjara, Majalah Himmah, edisi I/Thn. XXIX/September 1996, hlm. 61.

    34 Surat Keputusan Bersama tersebut diketuai oleh Direktur Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalamnya terdiri dari Nugroho Notosusanto

  • bagi

    an s

    atu

    37

    (mantan aktivis IPMI), dari kalangan akademisi ada Drs. Djajusman T (UI), Drs. Hasyim Nangtjik (UGM), dan Drs. Bud Mochtar (ITB), ditambah A. Dani GM, staf ahli Menteri Muda Urusan Pemuda. Lihat Harian Sinar Harapan, edisi Rabu 16 Juli 1980. Lihat juga, Harian Kompas, edisi Juni 1980.

    35 Melacak Idealisme Mahasiswa Masa NKK/BKK, Majalah Balairung,edisi nomor 10/ Th 1989, hlm. 4736 Pers Mahasiswa, Anarkhis-Oposisionil?, Majalah Politika, edisi nomor 8/9 Oktober- Desember 1985,

    Lihat juga Pers Mahasiswa, Menulis Saja dalam Pagar, Majalah Politika, edisi nomor 8/9 Oktober- Desember 1985.

    37 Lukman Hakiem, (1980), Pers Mahasiswa di Tengah Dilema: Antara Idealisme dan Jalan Selamat, Harian Pelita, edisi Senin 26 Mei 1980.

    38 Lead berita dalam Harian Kompas menuliskan Sudah waktunya pemerintah bersikap lebih terbuka terhadap pemberitaan pers dan tidak lagi meragukan sikap kritis serta kemampuan masyarakat untuk menilai kebenaran berita yang dimuat dalam media massa. Angin kebebasan media terus dihembuskan. Di hari yang sama Harian Bisnis Indonesia dengan peristiwa yang sama memuat judul berita Biarkan Pers Bebas, Berikan Kepercayaan. Lihat, Harian Kompas, edisi Kamis 3 Juli 1986.

  • bagian dua

  • Sebelum Dimulai

    Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mematikan gerakan mahasiswa, pers mahasiswa salah satunya. Jadi intinya cuma satu, tidak boleh ada organisasi pers mahasiswa di dalam kampus, intinya UU 1978/NKK BKK. IPMI intinya tidak boleh hidup zaman orde baru. Maka tidak boleh ada Kongres. Setiap kali mau ada Kongres selalu digagalkan terus oleh pemerintah.1

    Merunut sejak paska Kongres II IPMI pada 1969 yang kembali menyatakan independensinya ditanggapi pemerintah dengan membentuk Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI) sebagai tandingan IPMI dan untuk mengerdilkan peran IPMI. Kemudian Kongres III IPMI pada 1971. Kebijakan-kebijakan pemerintah semakin menekan pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Sejak tahun 1971 IPMI mengalami kemunduran. Pers mahasiswa dipaksa menjadi subsistem dalam struktur birokrasi kampus. Banyak diantara pers mahasiswa tidak terbit dan beberapa yang masih bertahan.

    IPMI berupaya berbenah diri. Kongres IV IPMI pada 1976 di Medan masih menjadi bukti sulitnya IPMI keluar dari permasalahan hidup, antara di luar atau di dalam kampus, terutama pilihan memaksa back to campus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari eksistensinya, Kongres tidak menghasilkan AD/ART baru, ditambah IPMI banyak ditinggalkan oleh pers mahasiswa anggota yang terlalu

    Jalan Menuju Wadah Baru

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    42

    enjoy mengurusi persoalan di dalam kampus masing-masing sehingga lupa terhadap organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama.

    Di masa ini kemudian IPMI mempersiapkan Kongres V di Ujung Pandang pada 1980 tapi karena perijinan yang belum keluar, Kongres dialihkan di Jakarta padahal persiapan di Ujung Pandang sudah siap. Kongres V IPMI ini membuktikan IPMI masih berpegang pada independensinya. Namun sekaligus menjadi sebuah konsekuensi; Kongres IPMI tak pernah digelar lagi. Karena IPMI memutuskan tetap pada independensinya dan tidak bergabung dengan KNPI. IPMI tenggelam dalam ketidakpastian dan pers mahasiswa pun meredup. Meski di beberapa kampus masih berusaha menyambung nyawa.

    Memasuki paruh kedua dekade tahun 1980-an para aktivis pers mahasiswa mulai tampak bergairah meski tetap gelisah. Setidaknya di berbagai kampus dan kelompok mahasiswa mempunyai terbitan baik berupa buletin, surat kabar, atau majalah yang sepenuhnya dikelola oleh mahasiswa. Training, pelatihan, kursus, seminar, dan diskusi tentang jurnalistik mulai banyak digelar. Kecenderungan pada dunia jurnalistik meningkat meski berada pada tren profesionalisme, yakni peningkatan skill jurnalistik dan kualitas penerbitan.

    Meski IPMI sulit bergerak Wikrama I Abidin, Ketua IPMI 1980-1982, mengaku dalam periode kepengurusannya tidak kurang dari 20 kali diadakan pendidikan pers mahasiswa di seluruh Indonesia.2 Jika dihitung jumlah pers mahasiswa yang masih bertahan tentu benar demikian. Karena pelatihan-pelatihan dilakukan untuk mengkader generasi atau calon aktivis pers mahasiswa.

    Beberapa pelatihan dilakukan diantaranya Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional pada 21 28 Oktober 1985 di Cibubur, Jakarta oleh Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, yang menerbitkan Majalah Mahasiswa Politika. Acara ini diikuti oleh 125 mahasiswa dari 29 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta dari 17 Kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Dalam pertemuan ini terungkap akan kesadaran adanya wadah bagi pers mahasiswa yang berfungsi sebagai koordinator pengembangan program pendidikan, latihan, seminar, dan diskusi-diskusi mengenai pers mahasiswa.

    Kesadaran tersebut kemudian tidak cukup hanya pada semangat dan hasrat yang kuat saja tetapi diperlukan kebersamaan, kesamaan gerak dan langkah, serta program-program pengembangan yang terpadu. Wadah yang diharapkan tentu sebagai tempat bersama untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi, dan penyatuan pola pikiran dan langkah yang pada waktu itu sangat sulit diwujudkan. Wadah alternatif setelah meredupnya IPMI sangat dibutuhkan. Setidaknya pelatihan ini menjadi salah satu permulaan perkembangan menuju terbentuknya wadah bagi pers mahasiswa.

    Dalam kesempatan itu juga disepakati pembentukan tim kecil untuk menjajagi

  • bagi

    an d

    ua

    43

    kemungkinan dan kesiapan didirikan suatu lembaga pengembangan pers mahasiswa tersebut. Tim kecil ini terdiri 15 orang dari 13 Perguruan Tinggi peserta acara dengan 2 diantaranya panitia acara. Perwakilan PT itu sengaja ditunjuk yang di Jakarta dengan pertimbangan memudahkan koordinasi tim kecil karena faktor geografis.3

    Kemudian disusul dengan Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa se-Jakarta pada 11 26 Agustus 1986 oleh Solidaritas Universitas Nasional (UNAS). Pesertanya meningkat secara kuantitas, yakni 211 mahasiswa dari 31 kampus di Jakarta. Terlihat besarnya minat mahasiswa sehingga acara ini menghasilkan untuk membentuk Kelompok Studi Jurnalistik RELATA. Dengan harapan mampu menyalurkan bakat dan minat mahasiswa di bidang jurnalistik. Meskipun kelompok studi tidak bergerak untuk menghimpun diri dalam pergerakan pers mahasiswa nyatanya cukup mendorong upaya penyatuan langkah aktivis pers mahasiswa.

    Dua bulan setelah itu, 5 8 Oktober 1986, Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan 4Jurusan Komunikasi Massa FISIP UI mengadakan Latihan Ketrampilan Pers Kampus Mahasiswa Tingkat Pembina. Diikuti oleh 57 mahasiswa di seluruh Indonesia.5 Demikian pemerintah mengarahkan pers mahasiswa pada ranah ketrampilan dan skill-skill jurnalistik.

    Dengan memanfaatkan forum para peserta membuat kesepakatan untuk segera membentuk wadah nasional paling lambat satu tahun setelah itu. Sehingga kemudian ada upaya penyamaan pandangan dan sikap aktivis pers mahasiswa. Pada 8 15 Desember 1986 Pers Mahasiswa Unas mengadakan studi perbandingan Jurnalistik Mahasiswa dari Jakarta Yogyakarta Surakarta. Diikuti oleh sekitar 80 peserta dari 8 kampus dari Jakata dan Bandung dengan tujuan Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Surakarta.

    Awalnya adalah KemungkinanDemikian peristiwa sejarah, yang besar dan sentral yang terekam. Yang

    tercatat yang menjadi kenangan sejarah meski di beberapa daerah tidak berarti ditiadakan. Semangat menuju kesamaan memuncak pada konsolidasi-konsolidasi dalam forum-forum berikutnya. Di antaranya pada 26 - 27 Maret 1987, Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional yang diselenggarakan oleh Teknokra, pers mahasiswa Universitas Lampung dan memuncak pada Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia pada 27 - 29 Agustus 1987 oleh Balairung, pers mahasiswa UGM yang diikuti oleh 247 aktivis Pers Mahasiswa dari 41 PT di Indonesia.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    44

    Forum ini dihadiri oleh Koesnadi Hardjosoemantri (aktivis pendiri IPMI 1950an). Selanjutnya diadakan diskusi yang diikuti 60 aktivis perwakilan peserta, dari diskusi ini muncul pemikiran untuk menghidupkan satu wadah persma di tingkat nasional. Dalam pertemuan tersebut dibuat panitia ad hoc yang mendapat tanggung jawab untuk menjajagi dan menyiapkan kemungkinan dilahirkannya wadah nasional bagi aktivitas pers mahasiswa.

    Panitia ad hoc ini terdiri empat orang. Dua dari Yogyakarta dan dua dari Jakarta. Pembentukan ini kemudian disebut poros Yogyakarta-Jakarta. Dari Yogyakarta yakni Abdulhamid Dipopramono (Balairung UGM) dan M. Imam Aziz (Arena IAIN Sunan Kalijaga), sedangkan dari Jakarta: Rizal Pahlevi Nasution (Media Publica Fikom, Universitas Moestopo Beragama) dan Imran Zein Rollas (Politika Fisip Unas).6

    Poros Jakarta mendapat tugas melakukan konsolidasi di wilayah barat yang meliputi Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara Poros Yogyakarta melakukan konsolidasi di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian. Selain itu mereka mendapatkan amanat untuk melakukan konsultasi, konfirmasi, lobby dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dengan masalah ini, seperti alumni IPMI, pengurus IPMI terakhir, pejabat universitas dan birokrat.

    Upaya yang dilakukan tidak hanya pertemuan-pertemuan informal (informal meeting) tapi juga pertemuan formal. Panitia ad hoc menyepakati beberapa langkah diantaranya mengadakan kegiatan dan pertemuan formal:7

    Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa pada 18-20 September 1987oleh 1. Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum di Kuningan Jakarta, diikuti oleh 40 aktivis pers mahasiswa Jakarta, bandung, Yogyakarta, Solo, Bogor dan Malang.8Pertemuan Pengelola Pers Mahasiswa Se-indonesia pada 11-13 2. Oktober 1987 oleh Balairung UGM di Kaliurang Yogyakarta. Diikuti oleh 60 aktivis dari berbagai penerbitan mahasiswa dan kelompok studi jurnalistik dari Tanjungkarang, Ujung Pandang, Jakarta, Bogor, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Solo, Salatiga, Surabaya, Malang dan lainnya.Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa (Nasional) pada II 17-27 3. Oktober 1987. Kegiatan ini diselenggarakan di Jakarta pada oleh LPM UNAS. Diikuti oleh 205 aktivis dari 46 PT di Medan, Tanjungkarang, Pontianak, Ujungpandang, Denpasar, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Bandung, Bogor, Tangerang, dan Jakarta.

    Dari rangkaian pertemuan-pertemuan akhirnya panitia ad hoc berkesimpulan sementara yaitu:9

  • bagi

    an d

    ua

    45

    Sudah saatnya hadir / lahir sebuah wadah nasional untuk 1. mengembangkan aktivitas pers mahasiswa Indonesia. Struktur organisasi dan kelembagaannya haruslah luwes atau fleksibel 2. sehingga dapat berjalan efektif.Maka perlu diselenggarakan suatu pertemuan nasional untuk 3. melahirkan wadah dimaksud, selambat-lambatnya Mei 1988 (setelah sidang umum MPR RI).

    Namun hingga sidang umum MPR Kongres belum dapat diselenggarakan.10 Hal ini karena pertama, panitia ad hoc merasa belum tuntas dalam melakukan konsolidasi. Di luar Jawa, kecuali Medan, Lampung, Denpasar, Mataram dan Ujung Pandang, belum siap mengirimkan delegasinya. Kedua, masalah terknis pelaksanaan panitia belum selesai, seperti pendanaan dan perizinan. Sedangkan pemerintah mengeluarkan keputusan pelarangan kegiatan kemasyarakatan nasional terkait keamanan Sidang Umum MPR RI 1988. Ketiga, di internal pers mahasiswa sendiri belum menemukan kata sepakat soal pembentukan wadah yang benar-benar baru atau melanjutkan IPMI yang telah vakum. Pertentangan ini khusunya oleh generasi yang muncul setelah tahun 1985. Karena lamanya IPMI vakum meski secara de jure masih diakui dan tanpa kegiatan sama sekali paska 1982 maka kecenderungan perbincangan mengarah pada pembentukan wadah baru.

    Namun karena secara de jure masih ada dan dukungan secara terbuka dari mantan aktivis IPMI, aktivis pers mahasiswa kemudian tidak bisa menolak begitu saja pilihan untuk melanjutkan IPMI. Bahkan sejak pertemuan Kaliurang pada Agustus 1987, Koesnadi Hardjasoemantri, salah satu pendiri IPMI, menawarkan untuk tetap melanjutkan IPMI. Begitu pun Wikrama I Abidin, Ketua Umum IPMI Pusat 1980-1982, juga mengungkap hal yang serupa.

    Menindaklanjuti keinginan tersebut maka pengurus IPMI demisioner (1980-1982) akan mengadakan Kongres karena sebelumnya vakum sekitar enam tahun, di sisi lain panitia ad hoc segera merespon, maka kedua pihak mengadakan pertemuan pada 10 Agustus 1988 di Jakarta.11 Sebelumnya panitia ad hoc mengadakan Puwokerto Informal Meeting pada 6 - 7 Agustus 1988 di SKM Sketsa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang dihadiri oleh 40 aktivis pers mahasiswa guna membahas sekitar wadah tunggal, terkait dengan penyikapan terhadap IPMI yang akan Kongres.12

    Gencarnya tawaran dari pengurus IPMI lama membuat kondisi aktivis pers mahasiswa terpecah menjadi dua. Pertama adalah mereka yang menerima tawaran dengan pertimbangan akan lebih mudah bagi terbentuknya wadah pers mahasiswa nasional. Sedangkan kedua, adalah mereka yang curiga terhadap tawaran tersebut. Pertimbangannya, gencarnya tawaran menimbulkan berbagai pertanyaan; ada apa di balik tawaran tersebut.

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    46

    Didik Supriyanto13 menyebutkan bahwa Wikrama sering mendatangi aktivis pers mahasiswa dengan memberikan tawaran mengurus IPMI. Bahkan sempat melontarkan isu bahwa IPMI akan Kongres dan berganti nama menjadi IPPI (Ikatan Pers Pemuda Indonesia). Lantas Wikrama juga secara sepihak membentuk panitia Kongres tersebut. Sehingga para aktivis pers mahasiswa curiga; pertama Wikrama ingin melepaskan gitu saja tanggungjawabnya sebagai Ketua Umum IPMI yang sudah vakum sekitar enam tahun; kedua, Wikrama ingin meng-KNPI-kan IPMI sebagai penebusannya kepada pemerintah karena ketika IPMI periode 1980-1982 menolak KNPI; ketiga, Wikrama ingin memanfaatkan IPMI baru nantinya sebagai aset politiknya. Karena ia dekat dengan Abdul Gafur Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu.

    Beberapa pertemuan pun dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum semisal sarasehan dan pelatihan.14 Seperti pada Sarasehan Pers Kampus Mahasiswa se-Indonesia, 26-27 Maret 1988 oleh Teknokra Unila. Orientasi Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa di Jakarta pada 21-28 Mei 1988 oleh Fakultas Sastra UI. Namun belum sampai pada sebuah keputusan membentuk wadah baru atau melanjutkan menghidupkan IPMI kembali. Perdebatan ini sebenarnya telah mengemuka sejak konsolidasi pers mahasiswa dilakukan sebelumnya, seperti Sarasehan Kuningan, Pertemuan Kaliurang, atau Pekan Orientasi Jurnalistik Unas Jakarta.15

    Selain itu, Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa IAIN se-Indonesia pada 11-12 April 1988 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski khusus IAIN namun juga diikuti dari kampus lain. Lagi-lagi kesepakatan soal penyikapan IPMI dan wadah baru belum kunjung terwujud.16.

    Demikian bergairah pers mahasiswa membincangkan nasib IPMI dan wadah baru. Dalam pertemuan berikutnya di Purwokerto pada 6-7 Agustus 1988 yang kemudian disebut Purwokerto Informal Meeting. Pertemuan ini dihadiri oleh Wikrama dan beberapa panitia bentukannya.17 Pertemuan yang diselenggarakan oleh Sketsa Unsoed ini dihadiri oleh 40 aktivis pers mahasiswa. Hasilnya membentuk tim khusus yang beranggotakan sepuluh orang (tim sepuluh), terdiri dari empat orang panitia ad hoc dan enam orang yang ditunjuk oleh forum.18 Kesepuluh orang ini ditugaskan untuk menjadi negosiator dengan Pimpinan Pusat IPMI.19

    Kemudian pada tanggal 10 Agustus 1988 di kantor Harian Pelita di Jakarta, kesepuluh delegasi bertemu dengan Pimpinan Pusat IPMI yang saat itu masih berstatus sebagai pengurus, antara lain Wikrama Abidin, Adi Sasono, Makmur Makka, Masmimar Mangiang, Ina Mariani, dan Razak Manan20. Pertemuan berjalan alot hingga akhirnya menyepakati bahwa panitia Kongres yang sudah dibentuk oleh Wikrama dibubarkan dan tim sepuluh ditunjuk sebagai tim kerja persiapan

  • bagi

    an d

    ua

    47

    Kongres IPMI. Dengan batasan waktu hingga 5 Oktober 1988 untuk menyiapkan pembentukan IPMI cabang yang non aktif maupun yang belum terbentuk di seluruh Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa secara tidak langsung mengakhiri perdebatan soal pembentukan wadah baru atau melanjutkan IPMI. Maka kemudian tidak ada lagi perdebatan dan pembicaraan mengarah pada pensuksesan Kongres IPMI.

    Upaya-upaya pun dilakukan oleh Tim Sepuluh. Hingga mengerucut pada Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia pada 19 - 22 September 1988 di Unsoed Purwokerto. Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 45 PT se-Indonesia.21

    Hasil penting dari sarasehan ini berupa Deklarasi Batu Raden dan pembahasan tentang AD/ART dan komponen organisasi ditanda tangani oleh 18 kota yang diwakili 18 aktivis pers mahasiswa. Dengan demikian semakin terlihat konsolidasinya ke arah terbentuknya wadah kelembagaan aktivitas mereka.

    Deklarasi Batu Raden22

    Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan sebenarnya yang hakiki merupakan cita-cita Bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa. Peguruan tinggi khususnya pers mahasiswa sebagai salah satu komponennya, bertanggungjawab memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis, konstruktif dan independen.

    Dengan semangat kebersamaan dan didorong oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengemban peran pers mahasiswa di seluruh Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

    Baturaden, Purwokerto, 21 September 1988.

    Selain itu disepakati Kongres pada Februari 1989 di Lampung dan dibentuk pula Steering Commitee (SC) panitia Kongres. Kegiatan ini diikuti kurang lebih 45 perguruan tinggi negeri maupun swasta se-Indonesia. Materi yang dibahas meliputi tiga masalah pokok. Yaitu komisi A tentang AD/ART, komisi B membahas program kerja dan komisi C membicarakan masalah Persiapan Kongres.23

    Sidang komisi A terasa paling menyenangkan sekaligus yang paling ribut, dan membosankan, sebab komisi ini menentukan masa depan perjalanan pers mahasiswa Indonesia. Sidang berjalan alot, penuh debat argumentasi sampai sidang tertunda sebanyak lima kali. Cara penyelesaian masalah sempat dilakukan lobbying sebanyak tujuh kali dan menghabiskan waktu 25 jam. Rancangan

  • cata

    tan-

    cata

    tan

    yan

    g be

    lum

    sel

    esai

    48

    keputusan 40 % merubah / menambah / memperbaharui / menyempurnakan AD/ART lama dan mengagendakan pasal 4 dan pasal 7 AD serta pasal 4 bagian butir 3 ART.

    Komisi B yang membawahi pembahasan program kerja IPMI mendatang, juga berjalan alot. Tapi akhirnya juga menyelesaikan tugas dalam menyusun rencana program kerja. Pembahasan meliputi masalah organisasi, fasilitas, kerja sama antar lembaga, kaderisasi dan pengembangan.

    Komisi C membahas masalah persiapan Kongres. Keputusan yang paling penting terpilihnya Bandar Lampung sebagai tuan rumah Kongres ke VI pada tahun depan. Lampung telah menyisihkan kota Semarang, Denpasar, Pekan Baru. Keputusan itu lewat voting, karena pemecahan dengan musyawarah mengalami jalan buntu. Selain itu juga terbentuk tim pengarah (steering committee) untuk kepanitiaan Kongres mendatang.

    Pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Batu Raden ini pun disebut dengan Pra-Kongres IPMI VI karena pada kalimat terakhir pada Deklarasi menyebutkan bahwa perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

    Namun waktu berkata lain, kondisi politik dan keamanan yang tidak mendukung, yakni peristiwa Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi / Way Jepara meletus. Kongres yang ditelah direncanakan pada 15-18 Februari 1989 pun gagal. Kegagalan melaksanakan Kongres VI IPMI itu kemudian segera disikapi oleh pers mahasiswa. Setidaknya ada dua pertemuan pers mahasiswa setelah itu.24

    Pertama pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali yang diprakarsai oleh Pers Mahasiswa Hayam Wuruk Fakultas Sastra Undip Semarang pada 29-30 Maret 1989 yang dihadiri kurang lebih 50 aktivis pers mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut selain membahas masalah masa depan dan keperanan pers mahasiswa Indonesia juga berupaya untuk menanggapi kegagalan Kongres VI IPMI di Lampung. Namun pembicaraan yang terakhir tersebut tidak tuntas karena sempitnya waktu.

    Kedua, pertemuan pers mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Himmah, Pers Mahasiswa UII pada 1 -3 April 1989. Dalam pertemuan tersebut disepakati berdirinya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) yang diwakili masing-masing propinsi memutuskan untuk menuntut panitia Kongres agar mempertanggungjawabkan kepanitiaannya. Setelah pertemuan ini akhirnya hampir tidak ada pertemuan nasional yang membahas soal kebekuan organisasi wadah pers mahasiswa. Kecuali beberapa forum-forum regional, seperti pertemuan di UMS Surakarta, Unej, UNS Solo, UGM, Unair Malang dan IKIP Bandung (Juli 1991).25 Meski kurang membawa hasil karena setiap kali pertemuan orangnya selalu berganti-ganti.

  • bagi

    an d

    ua

    49

    Begitulah, kemudian kegelisahan menghinggapi aktivis pers mahasiswa tahun 1980-an. Hingga sampai pada 1990-an, aktivis pers mahasiswa mulai bergeser. Mereka yang berkeinginan mengadakan Kongres IPMI sudah menyelesaikan sudinya, lulus. Generasi baru aktivis pers mahasiswa 1990-an berkehendak lain: membentuk wadah yang benar-benar baru. Dengan konsep dan gerakan yang benar-benar baru.

    Berusaha Memulai Setelah kevakuman pers mahasiswa mulai melakukan konsolidasi di berbagai

    daerah. Selain Jakarta-Yogyakarta meluas ke kota. Seperti di Universitas Negeri Surakarta (UNS) pada November 1990, Januari 1991 di Universitas Negeri Jember, Jember. Dari rangkaian pertemuan tersebut merekomendasikan terbentuknya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa se-Jawa.26 Baru kemudian Februari di Wanagama Yogyakarta.27

    Pertemuan di Wanagama pada 6-7 Februari 1991 berhasil mendapatkan kesepakatan akan membentuk wadah tunggal bagi pers mahasiswa. Opsi waktu itu Kongres IPMI atau Kongres bagi wadah pers mahasiswa Indonesia. pertimbangannya jelas bahwa realitanya mahasiswa yang tergabung dalam Pers Mahasiswa butuh wadah. Pertemuan di Wanagama itu sebenarnya temu alumni dan ingin digagas untuk mengadakan Kongres IPMI. Tapi peserta bereaksi, terjadi perdebatan. Ada yang tetap menginginkan Kongres IPMI dan ada yang Kongres dengan wadah baru. Akhirnya ditetapkan bahwa pers mahasiswa butuh wadah. Entah itu IPMI, entah itu apa namanya. Maka dibentuklah badan pekerja yang tugasnya menyelenggarakan forum yang terserah itu.28

    Wahyudi merekam bahwa ada tiga keputusan penting pada forum ini.29 Pertama, kesepakatan tentang orientasi pers mahasiswa ke arah profesionalisme dan fungsionalisme. Profesionalisme dalam artian bukan profit oriented namun dalam pemahaman pengelolaan organisasi yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi kerja dan mendorong kemandirian. Kemudian fungsionalisme,

    dimaksudkan dalam upaya pewujudan keterpaduan antara fungsi mahasiswa sebagai intelektual muda dan fungsi pers sebagai media.

    Kedua, peserta sepakat tentang diperlukannya wadah bagi pers mahasiswa se-Indonesia. Segala permasalahan terkait pembentukan wadah tersebut akan dibicarakan pada pertemuan pers mahasiswa selanjutnya, yang dianggap sebagai pra-Kongres. Maka, forum menyepakati IKIP Bandung sebagai penyelenggara pertemuan berikutnya dan Universitas Udayana Bali sebagai alternatif kedua.30

    Optimisme gerakan pers mahasiswa semakin jelas. Di Wanagama ini, badan pekerja yang kemudian dikenal dengan Steering Commitee (SC) Nasional dibentuk untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan lanjutan pers mahas