23

BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017
Page 2: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

Challenging Issues in Anesthesia Practice: Patient Safety

13 - 14 Oktober 2017

Hotel Santika Premiere - Medan - Sumatera Utara

Chief Editor :

dr. Akhyar Hamonangan Nasution Sp.An, KAKV

Editor :

dr. Qadri Fauzi Tanjung Sp.An, KAKV

dr. Tasrif Hamdi M.Ked(An), Sp.An

dr. Bastian Lubis M.Ked(An), Sp.An

dr. Asmin Lubis DAF , SpAn, KAP, KMN

dr. Yutu Solihat Sp.An

dr. John Frans Sitepu M.Ked(An), Sp.An

dr. Muhammad Aripandi Wira

Muhammad Fachreza

Diterbitkan Oleh :

Perdatin

Alamat Penerbit :

Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A

Jakarta Pusat

Website Perdatin : www.perdatin.org

Website PIB Perdatin : www.pibperdatin2017.com

Page 3: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

iii

DAFTAR KONTRIBUTOR

Akhyar Hamonangan Nasution, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi

Kardiovaskular, Kepala Departemen Satuan Medis Fungsional Anestesiologi dan Terapi

Intensif Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Departemen Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Asmin Lubis, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Pediatrik, Konsultan

Manajemen Nyeri, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Departemen Anestesiologi

dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Made Wiryana, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Doktor Bidang Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Konsultan Anestesi

Obstetrik, Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,

Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.

Eko Setijanto, Dokter Spesialis Anestesiologi, Bagian/KSM Anestesiologi Dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Umum Daerah DR.

Moewardi, Makassar.

Achsanuddin Hanafie, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Konsultan Intensive Care, Konsultan Anestesi Obstetrik,

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik, Medan.

Page 4: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

iv

A.M. Takdir Musba, Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan

Manajemen Nyeri, Departemen Ilmu Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri,

Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Muhammad Aripandi Wira, Residen Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H Adam

Malik, Medan.

A. Husni Tanra, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, Konsultan Intensive Care, Manajemen Nyeri, Departemen Ilmu Anestesi,

Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Omar R. Siregar, Residen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik,

Medan.

Aries Perdana, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,

Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto

Mangunkusumo, Jakarta.

Heru Dwi Jatmiko, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,

Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universirtas

Diponegoro, Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Kariadi, Semarang.

Page 5: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

v

Sri Rahardjo, , Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan

Neuroanestesi, Konsultan Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito,

Yogjakarta.

Bastian Lubis, Dokter Spesialis Anestesiologi, Departemen Anestesiologi Dan Terapi

Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik, Medan.

Zulkifli, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Rumah Sakit

Umum Pusat dr. Muhammad Hoesin, Palembang.

Qadri Fauzi Tanjung, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik,

Medan.

Bambang Suryono S, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Neuroanestesi, Konsultan

Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Universitas Gadjah

Mada Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito, Yogyakarta.

Yusmein Uyun, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anetesi Obstetri, Departemen

Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Universitas Gadjah Mada RSUP dr. Sardjito,

Yogyakarta.

Isngadi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Obstetri, Departemen

Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Rumah

Sakit Dr. Saiful Anwar, Malang.

Page 6: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

vi

Doso Sutiyono, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Regional, Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Luwih Bisono, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Regional, Departemen

Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah

Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan.

Bambang Pujo Semedi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Konsultan

Anestesi Pediatrik, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Surabaya.

Syafri K . Arif, Dokter Spesialis Anestesiologi, Department of Anesthesiology , Pain

Management And Intensive Care, Faculty of Medicine Hasanuddin university, Makassar.

Tatang Bisri, Guru Besar Bidang Anestesiologi, Doktor Bidang Anestesiologi, Konsultan

Neuroanestesi, Konsultan Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif,

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dan Rumah

Sakit Melinda-2, Bandung.

Zafrullah Khany Jasa, Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi,

Konsultan Neuroanestesi, Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas

Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin.

Page 7: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

vii

Tasrif Hamdi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H Adam

Malik, Medan.

Dita Aditianingsih, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat Negri Cipto Mangunkusumo,

Universitas Indonesia.

Yutu Solihat, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik, Medan.

Page 8: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

viii

KATA PENGANTAR KETUA PELAKSANA

Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI PERDATIN

TAHUN 2017 (PIB XVI PERDATIN 2017)

merupakan kegiatan ilmiah yang dilaksanakan setiap 2

tahun yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan anggota PERDATIN

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang anestesiologi. PIB XVI

PERDATIN 2017 adalah kegiatan berskala nasional

yang dapat dihadiri oleh seluruh anggota PERDATIN.

Kegiatan ini merupakan salah satu prasyarat bagi

anggota untuk mendapatkan penilaian dalam program resertifikasi untuk mendapatkan sertifikat

kompetensi dokter spesialis anestesi. Dengan mengikuti PIB seorang anggota sudah dinilai

melakukan pengembangan diri melalui kegiatan ilmiah profesi.

Pelaksanaan PIB XVI PERDATIN 2017 diselenggarakan secara bergantian oleh PERDATIN

Cabang dibawah koordinasi Bidang Pendidikan, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

(BP2KB) & Penelitian. Pemilihan penyelenggara PIB XVI PERDATIN dilakukan melalui seleksi

pada RAKERNAS PERDATIN yang diadakan sebelum PIB XVI PERDATIN 2017.

Pokok - Pokok Penyelenggaraan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi & Terapi Intensif

Indonesia merupakan acuan bagi Perdatin Cabang, khususnya Panitia Penyelenggara PIB XVI

PERDATIN 2017 dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat menyelenggarakan kegiatan

ilmiah yang berkualitas dan bermutu tinggi sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

dr. Akhyar Hamonangan Nasution SpAn KAKV

Ketua Pelaksana PIB XVI PERDATIN

Page 9: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

ix

KATA PENGANTAR KETUA UMUM PERDATIN PUSAT

Para Sejawat yang saya hormati,

Assalamu'alikum warahmattulahi wabarokatuh

Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI PERDATIN

TAHUN 2017 (PIB XVI PERDATIN 2017)

merupakan kegiatan ilmiah yang dilaksanakan setiap

2 tahun yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan anggota PERDATIN

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang anestesiologi. PIB XVI

PERDATIN 2017 adalah kegiatan berskala nasional

yang dapat dihadiri oleh seluruh anggota

PERDATIN.

Kegiatan ini merupakan salah satu prasyarat bagi

anggota untuk mendapatkan penilaian dalam program resertifikasi untuk mendapatkan sertifikat

kompetensi dokter spesialis anestesi. Dengan mengikuti PIB seorang anggota sudah dinilai

melakukan pengembangan diri melalui kegiatan ilmiah profesi.

Pada kesempatan ini, kami mengundang para rekan sekalian untuk berbagi pengalaman demi

meningkatkan kualitas layanan di bidang Anestesi di tiap provinsi.

Medan, sebagai Kota Kesenian, dengan budayanya yang unik, sangat mengharapkan kehadiran

seluruh peserta dalam Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI Perhimpunan Dokter Spesialis

Anestesiologi ini.

Mari datang dan bergabung dalam kegembiraan bersama di Medan!

God bless us.

dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC, MARS

Ketua Umum Pengurus Pusat PERDATIN

Page 10: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

ix

DAFTAR KONTRIBUTOR ....................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR

Kata Pengantar Ketua Perdatin Pusat ....................................................................................... viii

Kata Pengantar Ketua Pelaksana PIB XVI Perdatin 2017 ......................................................... ix

Daftar Isi ........................................................................................................................................x

ABSTRAK

Efektifitas Kolaborasi Dalam Mengoptimalkan Profesionalitas Anestesi ( Made Wiryana ) ....1

INFEKSI JAMUR PADA PASIEN KRITIS DAN ICU ( Eko Setijanto ) .................................7

Fluid Therapy in ARDS ( Achsanuddin Hanafie ) ....................................................................8

PAIN SERVICE IN HOSPITAL (A.M. Takdir Musba) .........................................................29

Peran Opoid dalam Manajemen Nyeri (A. Husni Tanra ) ........................................................58

PENANGANAN GAGAL JANTUNG VENTRIKEL KANAN AKUT

( Akhyar Hamonangan Nasution ) ..........................................................................................68

Manajemen pasien obesitas dengan kelainan jantung yang menjalani operasi non-jantung

( Aries Perdana ) .......................................................................................................................90

Komplikasi pada Pasien Jantung yang Menjalani Operasi Non jantung

( Heru Dwi Jatmiko ) ................................................................................................................92

Targeted Temperatur Management , Safe And Efficiency Increase In TBI

( Rahardjo. S ) .........................................................................................................................113

How To Diagnose Pulmonary Embolism After Post Operative : Diagnosis And Treatment

( Bastian Lubis ) ......................................................................................................................133

How Do I Choose Empirical Antibiotic in Septic Patient? ( Zulkifli ) ...................................134

Hemodinamik pada Sepsis ( Qadri Fauzi Tanjung ) .............................................................146

ETIKA PADA ANESTESI OBSTETRI DAN CRITICAL CARE

Page 11: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

x

( Bambang Suryono S ) ..........................................................................................................160

Perioperative Management of Lung Oedem in Severe Preeclampsia ( Yusmein Uyun ) ......168

Perioperative Management for Parturient with Eisenmenger’s Syndrome ( Isngadi ) ...........186

Ajuvan Untuk Obat Anestesi Lokal Pada Blok Neuraksia Perlu atau Tidak ?

( Doso Sutiyono ) ....................................................................................................................187

Hemifacial Block For Head and Neck Surgery ( Luwih Bisono )...........................................201

TATALAKSANA SEPSIS DAN SYOK SEPTIK ( Bambang Pujo Semedi ) .....................208

Intensive Care Change And Challenge In Indonesia ( Syafri K . Arif ) ................................231

Carrying Safety TBI Patient with Pharmacological Brain Protection ( Tatang Bisri ) ..........240

How Far Hypertensive Therapy For Intractable Intracranial Hypertension ?

( Zafrullah Khany Jasa) .......................................................................................................242

Fluid Management in ICU: Resuscitation and Deresuscitation (Dita Aditianingsih) ............253

Disseminated Intravascular Coagulopathy and Thrombocytopenia Complicating Pregnancy

(dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV ) .........................................................................................258

Page 12: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

136

Hemodinamik pada Sepsis

Qadri Fauzi Tanjung, Akhyar Hamonangan Nasution

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, RS H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang

disebabkan oleh terganggunya respon pejamu (host) terhadap infeksi. Sepsis yang berat

didefinisikan sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi

jaringan. Definisi baru sepsis ini terutama menekankan pada respon nonhomeostatik host terhadap

infeksi, yang berpotensi menyebabkan kematian dari proses infeksi yang terus berlangsung

sehingga perlu dikenali dengan cepat.1 Disfungsi organ yang sederhana saat pasien disangkakan

infeksi untuk pertama kali, berhubungan dengan kematian di rumah sakit lebih dari 10%. Meskipun

kejadian yang sebenarnya tidak diketahui, perkiraan konservatif menunjukkan bahwa sepsis adalah

penyebab kematian dan penyakit kritis utama di seluruh dunia. Semakin disadari bahwa pasien yang

bertahan hidup dari sepsis sering memiliki cacat fisik, psikologis, dan kognitif jangka panjang dan

memerlukan perawatan kesehatan dan sosial yang signifikan.2

Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian yang mengukur

kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik. Skor yang umum

digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (awalnya disebut Sepsis-

related Organ Failure Assessment) (Tabel 1.). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan dengan

peningkatan probabilitas mortalitas.

PENDAHULUAN

Sepsis tidak mudah dikenali pada perubahan hemodinamik. tahap awal, sepsis mnghasilkan efek

hemodinamik karena pelepasan mediator sistem imun. Pelepasan mediator merupakan usaha untuk

melawan infeksi lokal, misalnya mediator yang mengubah permeabilitas dinding endotel agar

neoutrofil lebih banyak masuk ke area tersebut dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler.

Peningkatan permeabilitas menghasilkan pergeseran cairan ke ruang interstisial dan membuat

keadaan hipovolemik. Pada tahap awal, penggantian cairan dapat membantu penanganan

hipovolemik, namun sejalan dengan sepsis berlanjut, mediator lain juga berefek menimbulkan

keadaan vasodilatasi dan obstruksi mikrokapiler (cth: clotting).3-5

Clotting dapat menghambat suplai darah meskipun curah jantung dan tekanan darah di atas

normal. Hambatan aliran darah akan menuju perburukan oksigenasi jaringan dan keadaan syok

yang dikenal dengan syok distributif. Sebagai tambahan, aktivasi mediator, seperti radikal

Page 13: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

137

oksigen bebas, faktor jaringan, TNFα, interleukin I, Interleukin 6, ysng normalnya merupakan

mekanisme efektif untuk membawa dan menghancurkan antigen, menjadi lebih hebat dan

merusak sel normal, termasuk dinding endotel. Kerusakan pada dinding endotel menyebabkan

sejumlah besar cairan keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisial.

Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh

terganggunya respon pejamu (host) terhadap infeksi. Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis

plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Definisi baru sepsis ini

terutama menekankan pada respon nonhomeostatik host terhadap infeksi, yang berpotensi

menyebabkan kematian dari proses infeksi yang terus berlangsung sehingga perlu dikenali dengan

cepat.1 Disfungsi organ yang sederhana saat pasien disangkakan infeksi untuk pertama kali,

berhubungan dengan kematian di rumah sakit lebih dari 10%. Meskipun kejadian yang sebenarnya

tidak diketahui, perkiraan konservatif menunjukkan bahwa sepsis adalah penyebab kematian dan

penyakit kritis utama di seluruh dunia. Semakin disadari bahwa pasien yang bertahan hidup dari

sepsis sering memiliki cacat fisik, psikologis, dan kognitif jangka panjang dan memerlukan

perawatan kesehatan dan sosial yang signifikan.2

Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian yang

mengukur kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik. Skor yang

umum digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (awalnya disebut

Sepsis-related Organ Failure Assessment) (Tabel 1.). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan

dengan peningkatan probabilitas mortalitas. 1

Tabel 1. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment 1

Page 14: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

138

Suatu model klinis yang dikembangkan dengan regresi logistik multivariabel

mengidentifikasi bahwa 2 dari 3 variabel klinis seperti Glasgow Coma Scale (GCS) ≤13, tekanan

darah sistolik ≤100 mmHg, dan tingkat pernapasan ≥22 kali/menit memiliki validitas prediktif

hampir sama dengan skor penuh SOFA pada keadaan di luar ICU (AUROC = 0,81; 95% CI, 0,80-

0,82). Untuk pasien dengan dugaan infeksi di ICU, skor SOFA memiliki validitas prediktif

(AUROC = 0,74; 95% CI, 0,73-0,76) lebih tinggi dari model ini (AUROC = 0,66; 95% CI, 0,64-

0,68), yang mungkin mencerminkan efek modifikasi oleh intervensi (misalnya, vasopressor, obat

penenang, ventilasi mekanis). Ukuran baru ini disebut sebagai qSOFA (for quick SOFA) yang

terdiri dari variabel gangguan kesadaran, tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg, dan tingkat

pernapasan ≥ 22/menit, memberikan kriteria bedsite yang sederhana untuk mengidentifikasi pasien

dewasa dengan dugaan infeksi yang kemungkinan memiliki hasil yang buruk1 (Tabel 2)

Meskipun qSOFA kurang kuat dibanding skor SOFA ≥2 di ICU, namun skor ini tidak

memerlukan tes laboratorium dan dapat dinilai dengan cepat dan berulang-ulang. Satuan tugas

menunjukkan bahwa kriteria qSOFA dapat digunakan oleh dokter untuk menilai disfungsi organ

dengan cepat, memulai atau meningkatkan terapi yang sesuai, dan untuk mempertimbangkan

rujukan ke perawatan kritis atau meningkatkan frekuensi pemantauan, jika belum dapat dirujuk.

Kriteria qSOFA positif harus juga menjadi pertimbangan adanya kemungkinan infeksi pada pasien

yang belum dianggap sebagai infeksi.1

Tabel 2. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA) 1

Tingkat respirasi ≥ 22x/menit

Gangguan kesadaran GCS <15

Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg

Perubahan hemodinamik pada sepsis

Sepsis tidak mudah dikenali pada perubahan hemodinamik. tahap awal, sepsis mnghasilkan efek

hemodinamik karena pelepasan mediator sistem imun. Pelepasan mediator merupakan usaha untuk

melawan infeksi lokal, misalnya mediator yang mengubah permeabilitas dinding endotel agar

neoutrofil lebih banyak masuk ke area tersebut dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler.

Peningkatan permeabilitas menghasilkan pergeseran cairan ke ruang interstisial dan membuat

keadaan hipovolemik. Pada tahap awal, penggantian cairan dapat membantu penanganan

hipovolemik, namun sejalan dengan sepsis berlanjut, mediator lain juga berefek menimbulkan

keadaan vasodilatasi dan obstruksi mikrokapiler (cth: clotting).3-5

Clotting dapat menghambat suplai darah meskipun curah jantung dan tekanan darah di

atas normal. Hambatan aliran darah akan menuju perburukan oksigenasi jaringan dan keadaan syok

Page 15: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

139

yang dikenal dengan syok distributif. Sebagai tambahan, aktivasi mediator, seperti radikal oksigen

bebas, faktor jaringan, TNFα, interleukin I, Interleukin 6, ysng normalnya merupakan mekanisme

efektif untuk membawa dan menghancurkan antigen, menjadi lebih hebat dan merusak sel normal,

termasuk dinding endotel. Kerusakan pada dinding endotel menyebabkan sejumlah besar cairan

keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisial.6

Mediator inflamasi juga membantu meningkatkan aliran darah pada area yang terisolir

pada keadaan normal. Pada sepsis terjadi peningkatan aliran darah sistemik, peningkatan cardiac

output/index dan stroke volume/index, dan perubahan antara tahap awal sepsis dengan tahap yang

lebih berat, dari keadaan aliran darah rendah ke aliran darah tinggi terjadi. Respon sistemik

menghasilkan vasodilatasi,dengan penurunan tahanan sampai kemampuan memompa jantung.

Penurunan afterload menghasilkan penurunan tekanan darah yang memicu peningkatan curah

jantung untuk menjaga tekanan perfusi. Hasil akhir adalah peningkatan curah jantung dan volume

sekuncup, namun keadaan syok distributif tidak sesederhana pergeseran darah dari jaringan atau

pun kebocoran cairan dari kapiler. Sebagai tambahan, perubahan dari sepsis awal dengan curah

jantung rendah ke sepsis lanjut dengan curah jantung tinggi lebih sulit dideteksi pada penilaian

tradisional. 7,8

Disoksia seluler sering muncul pada sepsis, termasuk disfungsi mitokondria, Disoksia

seluler akan mengarah kepada keadaan cell stunning, dengan penurunan konsumsi oksigen pada

level seluler. Cell stunning mirip dengan keadaan pada infark miokard, di mana sel otot jantung

sementara diam, memiliki kecendrungan apoptosis dan mengakibatkan kematian sel. Apotosis

mungkin menjadi penyebab kematian pada pasien sepsis daripada kerusakan sel. Potensi bahaya

dari hipoksia dan apoptosis adalah perkembangan kegagalan sistemik organ multipel. Sebagian

besar pasien yang meninggal karena syok sepsis, terjadi karena kegagalan sistem organ multipel,

apoptosis, dan atau kerusakan sel. Saat sudah cukup banyak sel organ vital mengalami kerusakan

atau mengalami apoptosis, syok menjadi ireversibel, dan kematian akan terjadi meskipun koreksi

atau eliminasi proses yang mendasari kaskade sepsis dihilangkan.9,10

Evaluasi pengaruh hemodinamik abnormal pada oksigenasi jaringan

Penilaian efektifitas inti terapi syok dan presyok yaitu pengukuran fisik secara global, seperti

tekanan darah, tekanan darah rata-rata arteri (mean arterial pressure), perubahan kesadaran, dan

perubahan dalam pengeluaran urin. Pengukuran menggunakan metode ini lebih lambat dalam

memberikan penanda gangguan hemodinamik dan akurasinya rendah.11,12 Evaluasi yang lebih baik

diperlukan dalam pengukuran untuk menilai keefektifan terapi pada keadaan syok sehingga

manajemen pasien menjadi lebih baik.

Beberapa sentra mencoba untuk menilai dampak terapi syok dengan memanfaatkan

pemantauan hemodinamik untuk mengevaluasi efektifitas terapi. Pemantauan hemodinamik

memberi keuntungan dalam evaluasi perubahan aliran darah (contoh: stroke volume dan cardiac

Page 16: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

140

output). Walaupun evaluasi perubahan aliran darah menggunakan stroke index dan cardiax index

dapat dipakai sebagai monitoring hemodinamik, namun tidak dapat menentukan keadaan di

jaringan. Oleh karena itu pengukuran stroke index dan cardiac index dilakukan dengan memantau

parameter hemodinamik yang lain. Untuk mengerti apakah perfusi telah memulihkan kembali

oksigenasi jaringan, sebuah ukuran oksigenasi jaringan, perlu juga dilakukan.13

Beberapa parameter yang umum dinilai seperti pengukuran laktat/ph dan campuran

level vena oksihemoglobin (SvO2), diantara kedua parameter ini memiliki nilai dalam menilai

oksigenasi jaringan. Lactate levels, saat diikuti dengan asidosis metabolik, menggambarkan

hipoksia jaringan. Hipoksia digambarkan sejak kadar laktat meningkat selama metabolisme

anaerobik. Kadar SvO2 tidak secara langsung menggambarkan hipoksia. Bagaimanapun, kadar

SvO2 menggambarkan jumlah oksigen yang kembali ke paru-paru setelah jaringan membuang

oksigen yang dibutuhkan. Jika oksigenasi jaringan menurun, maka kadar oksigen di vena akan

menurun untuk menggambarkan beratnya hipoksia.13

Antara laktat dan SvO2 adalah indikator oksigenasi yang baik dalam kebanyakan

situasi klinis. walaupun demikian mempunyai keterbatasan. Contohnya, kadar laktat memberikan

indikasi metabolisme anaerobik jaringan tapi berubah secara lamban dan tidak dapat dihitung secara

terus-menerus. SvO2 adalah sebuah reflektor perubahan yang sangat cepat dalam cadangan oksigen

tapi membutuhkan kateter vena sentral, tidak menunjukkan fungsi organ seseorang, dan mengenali

secara jelas saat ada hipoksia. 13

Gambar 1. Efek oklusi pembuluh darah di otak terhadap PCO2 dan pH

Page 17: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

141

Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa apabila dilakukan oklusi pembuluh darah otak secara tiba

tiba, maka pH akan bergerak turun (asidosis) dan tekanan CO2 bergerak naik. Selanjutnya denga

pelepasan oklusi pembuluh darah maka pH bergerak naik dan tekan CO2 bergerak turun. Gambar

ini menunjukkan bagaimana perubahan pH dapat terjadi apabila terdapat gangguan oksigenasi ke

jaringan.

Penggunaan SvO2 dan ScVO2 dalam menilai adekuasi hemodinamik

Dari daftar parameter diatas, kadar SvO2 mungkin paling menjanjikan sebagai indikator efektifitas

terapi. Ada beberapa metode dalam menilai saturasi oksigenasi vena. 2 metode paling sering adalah

SvO2 (diperoleh dengan mengukur oksihemoglobin dalam arteri paru) dan ScVO2 (diperoleh

dengan mengukur contoh darah dalam atrium kanan). Kadar ScVO2 sedikit lebih tinggi daripada

kadar SvO2, secara umum sekitar 5% hingga 13% lebih tinggi. Kadar ScVO2 yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kadar SvO2 oleh karena tidak sempurna pencampuran arteri coroner sinus

inferior, superior di dalam atrium kanan.14

Kadar ScVO2 dan SvO2 tidak sama satu sama lain namun nilai keduanya cukup baik

untuk memungkinkan penggantian ScVO2 dengan SvO2. Secara klinis, akan sangat berguna

memperoleh nilai SvO2 (dikarenakan dibutuhkan kateter arteri pulmonal). Semua yang dibutuhkan

untuk kadar ScVO2 adalah penilaian dari kateter vena sentral.Kadar SvO2 dan ScVO2 telah

menunjukkan korelasi dengan luaran klinis, respon secara cepat untuk perubahan dalam aliran

darah dan oksigenasi, dan respon dugaan yang lebih baik untuk terapi. Keduanya digunakan secara

bersamaan dengan kunci terapi sepsis, sebagai contoh, komponen terapi awal, SvO2 dan ScVO2

telah terbukti membantu menurunkan angka kematian dan pengurangan biaya.13

Pada saat gangguan oksigenasi jaringan, sebenarnya jaringan membutuhkan oksigen

yang lebih banyak daripada keadaan normal. Parameter kadar SvO2 mengindikasikan kerasnya

ancaman pada oksigenasi jaringan. Penurunan SvO2 menunjukkan beratnya oksigenasi jaringan.

Dalam sepsis awal, dimana ditemukan hipovolemia, kadar SvO2 dan ScVO2 rendah. Kadar SvO2

yang tepat kurang signifikan dalam memahami antara nilai abnormal atau tidak. Jika SvO2

abnormal, terapi untuk mengkoreksi nilainya dibutuhkan. SvO2 kurang dari 60%, maka dibutuhkan

terapi lebih agresif untuk mengembalikan cadangan oksigen dan oksigenasi jaringan mendekati

kadar normal. Pada pasien-pasien dengan kadar SvO2 rendah secara kronis dikarenakan kondisi

seperti gagal jantung kongestif atau kardiomiopati, mungkin akan ada pembatasan kemampuan

untuk meningkatkan kadar SvO2.15

Terlepas dari keadaan syok, normalisasi kadar SvO2 menggambarkan penetapan

kembali aliran darah ke jaringan dan membangun kembali cadangan oksigen tubuh. Penggunaan

SvO2 memiliki ukuran yang lebih efektif dalam menilai oksigenasi jaringan dibandingkan

parameter lain saat ini.13

Page 18: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

142

Penggunaan nilai laktat darah dalam menilai oksigenasi

Dalam sepsis, peningkatan konsentrasi laktat darah menggambarkan metabolism anaerobik

disebabkan oleh penurunan aliran darah, obstruksi kapiler, atau dysoxia seluler. Kadar laktat

meningkat (>4 mmol) disertai asidosis merupakan penanda hipoksik asidosis. Mirip seperti nilai

SvO2, kecenderungan konsentrasi laktat adalah indikator oksigenasi jaringan yang lebih baik

daripada nilai laktat itu sendiri. Jika kadar laktat meningkat untuk periode waktu singkat (contoh,

olahraga atau post kejang), lebih kurang berbahaya dibandingkan apabila terjadi peningkatan kadar

laktat lebih lama (beberapa jam).13

Indeks Perfusi Regional

Hanya ada beberapa pengukuran yang dapat diandalkan untuk mengukur perfusi dari tiap organ.

Sampel darah vena tiap organ dapat dijadikan alat ukur perfusi, tetapi, secara teknis, sulit untuk

mendapatkannya. Sebagai contoh, kadar oksihemoglobin vena pada serebri yang didapat dari

bulbus vena jugular (SjvO2) dapat memberikan informasi mengenai oksigenasi serebri. SjvO2 dapat

memberikan informasi mengenai oksigenasi serebri, tetapi pengambilan sampelnya memerlukan

alat khusus. 13

Tiap organ dapat memanifestasikan gejala hipoperfusi, tetapi manifestasi tersebut

dapat juga diakibatkan hal lain di luar sepsis. Penurunan pada urine output atau peninggian kadar

kreatinin atau urea nitrogen serum bisa disebabkan oleh azotemia prerenal (kurangnya perfusi) atau

nekrosis tubuler akut (renal injury). Kerusakan liver dapat dimanifestasikan oleh beberapa faktor

(contoh: peningkatan konsentrasi serum transaminase, laktat dehidrogenase, dan bilirubin).

Kerusakan liver dapat juga diakibatkan oleh penurunan kemampuan sintesis hepatosit akibat

penurunan albumin dan faktor pembekuan. Kerusakan pada sistem gastrointestinal akibat sepsis

umum terjadi dan dapat bermanifestasi dengan stress ulserasi, ileus, dan malabsorpsi. Kerusakan

fungsi paru dapat terjadi akibat infeksi (pneumonia), PPOK, atau kerusakan paru akibat neutrofil

yang diinduksi oleh sepsis. Penurunan fungsi paru dapat dilihat dari terjadinya peningkatan shunt

intrapulmoner, sebagai contoh, rasio PaO2/FiO2 yang nilainya di bawah 200. Keterlibatan

kardiovaskuler dapat dilihat dari terjadinya hipotensi dan aliran darah abnormal (bisa peningkatan

atau penurunan curah jantung) disertai penurunan atau tetapnya tekanan pengisian jantung. 13

Indikator sistemik dari perfusi digunakan untuk mengarahkan penatalaksanaan

ketidakstabilan oksigen sistemik dan hemodinamik, dan indikator perfusi regional seharusnya

digunakan untuk mengevaluasi penatalaksanaan spesifik pada regional tersebut. Sebagai contoh,

pasien dengan SvO2/ScvO2 normal tetapi SjvO2 rendah menggambarkan bahwa otak mungkin dalam

keadaan hipoksia meskipun oksigenasi sistemik sudah mencukupi.14,15

Page 19: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

143

Gejala Klinis dari Perubahan Hemodinamik pada Sepsis

Gejala dini sepsis mirip dengan hipovolemia. Indikator aliran darah menurun, dan oksigenasi

jaringan mulai memburuk. Indikator yang paling berguna pada sepsis ialah SvO2 dan Stroke Index

(SI). Cardiac Index (CI) juga berguna, tetapi CI dapat menunjukkan nilai normal dikarenakan

kompensasi berupa takikardi. Takikardi dapat membuat nilai CI tetap normal, tetapi nilai SI tetap

akan rendah. Oleh karena itu, SI merupakan indikator yang lebih baik pada keadaan aliran rendah

karena tidak terpengaruh oleh perubahan denyut jantung. Sebagaimana perjalanan sepsis berlanjut

ke tahap berat, nilai SI, CI, dan SvO2 meningkat 13(Tabel 3).

Penilaian parameter hemodinamik yang lain tidak semudah parameter aliran darah (SI

dan CI) dan ScvO2. Parameter seperti tekanan pengisian (Pulmonary Artery Occlusive Pressure

[PAOP] dan Central Venous Pressure [CVP]) dan kontraktilitas bisa normal atau rendah,

menggambarkan akibat dari sepsis pada sistem kardiovaskuler. Ketika mempertimbangkan

indikator dari volume kardiovaskuler, seperti: tekanan pengisian (CVP, PAOP, tekanan diastolik

akhir ventrikel kanan), parameter tersebut cenderung bernilai normal atau rendah, menggambarkan

hipovolemia yang diakibatkan dari vasodilatasi dan kebocoran cairan akibat kerusakan kapiler. Hal

yang sama dapat dijumpai pada pengukuran volume dengan flow time (FT c) dan volume diastolik

akhir ventrikel kanan. Pengukuran kontraktilitas, seperti peak velocity (PV), cenderung normal atau

menurun, menggambarkan hibernasi miokard pada sepsis.16

Parameter yang paling akurat dan mudah untuk digunakan dan didapat pada sepsis

adalah indikator oksigenasi jaringan (SVO2 dan SCVO2) dan aliran darah (SI dan CI). Umumnya,

keputusan klinis diawali dengan mengevaluasi parameter tersebut kemudian merujuk ke indikator

lain, seperti tekanan, volume, atao FT c, jika SVO2 dan/ atau SI abnormal.16

3

Page 20: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

144

Cara Menilai Hemodinamik pada Sepsis

Pengukuran dari hemodinamik sudah dilakukan dengan beragam teknik, mulai dari tekanan darah

hingga kateter arteri pulmoner. Tetapi, lebih mudah mengukur hemodinamik dengan menggunakan

alat yang kurang invasif. Ulasan singkat dari praktik terkini dapat menggambarkan nilai dari

penilaian hemodinamik yang terkini.

Pengukuran Aliran Darah Arterial

Pengukuran tekanan darah arterial telah menjadi patokan dalam evaluasi hemodinamik

selama ini, meskipun terdapat keterbatasan dalam pengukuran tekanan darah dalam

menggambarkan aliran darah dan oksigenasi jaringan. Kontroversi muncul atas bagaimana

pengambilan tekanan darah seharusnya didapat pada situasi klinis, seperti: Metode cuff atau

pengukuran langsung arteri melalu kateter arteri, dan ketika menggunakan cuff, di mana

pengukuran dilakukan.31 Klinisi sering menggunakan kateter arteri untuk pasien dengan hipotensi,

tetapi, pengukuran tekanan darah dapat menyesatkan klinisi. Tekanan darah tidak selalu berkorelasi

dengan aliran darah dan oksigenasi jaringan, sebagai contoh tekanan darah rendah dapat dijumpai

pada pasien hipovolemia (curah jantung rendah) dan kondisi hiperdinamik sepsis (curah jantung

tinggi). Lebih signifikan lagi, tekanan darah dapat terjaga pada level normal melalui mekanisme

kompensasi, meskipun aliran darah dan oksigenasi jaringan terpengaruh secara abnormal. Tekanan

darah seharusnya menjadi parameter monitoring sekunder, bukan menjadi parameter dari

oksigenasi jaringan dan aliran darah.13

Pengukuran dari SVO2 dan SCVO2

Svo2 dan ScvO2 dapat diukur dengan mengambil sampel darah dari ujung distal arteri

pulmonal atau kateter tripel lumen, monitor berkelanjutan dari Scvo2 memungkinkan untuk titrasi

yang akurat dari obat dan cairan, sehingga dapat meningkatkan penatalaksanaan pasien.

Pengukuran Aliran Darah

Beberapa teknik diciptakan untuk mengukur hemodinamik selain kateter arteri

pulmonal (Tabel 4). Teknologi yang ideal adalah teknologi yang noninvasif atau minimal invasif,

aman, mudah digunakan, mudah dipelajari, dan akurat. Harga dipertimbangkan sebagai faktor

ketika teknologi yang diperbandingkan serupa. Ketika tidak ada teknologi yang dapat memenuhi

semua kriteria pada beragam pasien, satu atau dua teknologi cenderung akan mendominasi. Alat

yang noninvasif atau minimal invasif, seperti Doppler esophagus, kemungkinan akan mendominasi

praktik karena kemudahan penggunaan, cenderung tidak mahal, cepat, dan akurat. 13-16

Teknologi terkini seperti Doppler merepresentasikan alat yang sempurna untuk

menilai gangguan hemodinamik, seperti keadaan sepsis, tetapi teknologi tidak dapat dengan

sendirinya mengubah outcome daripada pasien. Keahlian klinisi dan pengetahuan dalam

interpretasi dari informasi dan mengaplikasikan terapi yang sesuai adalah kunci untuk

meningkatkan luaran pasien.

Page 21: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

145

Penggunaan Monitoring Hemodinamik untuk Membantu Penatalaksanaan Sepsis

Tatalaksana dari perubahan hemodinamik akibat sepsis tidak berubah hingga beberapa tahun

terakhir. Pada 50 tahun terakhir, penanganan hemodinamik pada sepsis masih termasuk pemberian

cairan, vasopresor atau inotropik, antibiotik yang sesuai, dan kontrol sumber infeksi. Satu kunci

penanganan lanjut pada sepsis berat adalah yang baru-baru ini diperkenalkan drotrecogin alfa

(teraktivasi). Sementara obat ini didesain untuk meningkatkan kadar protein C yang hilang, ia

memiliki efek lain yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan aliran darah. Sementara

Drotercogin alfa bukan merupakan obat hemodinamik, ia seharusnya dipertimbangkan untuk

digunakan pada pasien dengan sepsis berat dan resiko tinggi kematian. Dalam usaha

menyelamatkan pasien dengan kondisi pra syok septik atau bahkan dalam keadaan syok, terapi

resusitasi yang agresif diterapkan. Terapi-terapi ini biasanya berpusat pada beberapa kategori kunci,

contohnya inotropik, penggantian cairan, dan vasopresor. Namun, semua terapi bertujuan untuk

mengatasi syok, terlepas dari tipenya, adalah dibuat untuk meningkatkan perfusi ke jaringan, dan

mengembalikan suplai nutrisi yang adekuat ke jaringan.13

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengukuran tradisional untuk menilai

adekuasi perfusi terbatas, yaitu tekanan darah, produksi urin, dan tekanan kardiak. Karena

keterbatasan unuk menilai kembalinya aliran darah yang adekuat, seringkali tidak jelas mengenai

kefektifan penanganan pada pasien syok. Ketidakadekuatan monitoring tradisional adalah

penyebab digunakannya target hemodinamik spesifik, seperti ScVO2 dan SI yang merupakan kunci

untuk meningkatkan luaran pasien.13-15

Table 2: Comparison of Technology for Measuring Cardiac Output

4

Page 22: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

146

Target dan Monitoring Resusitasi Cairan

Tujuan dari penanganan hemodinamik adalah untuk mengembalikan SVO2, atau ScVO2 dan SI

kepada nilai normal (SVO2 65%;SCVo2 70%; dan SI di atas 25ml/m2). Saat memberi cairan,pilihan

cairan biasanya dimulai dengan kristalloid seperti natrium klorida. Agen kolloid seperti albumin

atau Hetastarch dapat digunakan dalam resusitasi cairan namun harganya mahal. Beberapa studi

menunjukkan bahwa cairan karistalloid dengan harga yang lebih murah, memiliki luaran yang sama

baiknya dengan agen colloid. Jumlah cairan yang diberikan masih belum jelas, namun pendekatan

terakhirnya adalah memberi cairan, seperti: 500 mL bolus NaCl, kemudian observasi respon pada

Scvo2 dan SI, lanjutkan titrasi hingga nilainya kembali normal.13

Ringkasan

Parameter yang paling akurat dan mudah untuk digunakan dan didapat pada sepsis adalah indikator

oksigenasi jaringan (SVO2 dan SCVO2) dan aliran darah (SI dan CI). Umumnya, keputusan klinis

diawali dengan mengevaluasi parameter tersebut kemudian merujuk ke indikator lain. Tujuan dari

penanganan hemodinamik adalah untuk mengembalikan SVO2, atau ScVO2 dan SI kepada nilai

normal (SVO2 65%;SCVo2 70%; dan SI di atas 25ml/m2).

Daftar Pustaka

1. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Ferrer R, Kumar A. Surviving Sepsis

Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock:

2016. Crit Care Med. 2017. Doi: 10.1097/CCM.0000000000002255.

2. Dellinger RP et al. Surviving Sepsis Campaign International Guideline for Severe

Sepsis and Septic Shock. Critical Care Med. 2013;41(2): 580-637.

3. Bridges E, Dukes S. Cardiovascular aspects of septic shock. Crit Care Nurse.

2005;25:14–42.

4. Hasibeder WR. Fluid resuscitation during capillary leak-age: does the type of fluid

make a difference. Intensive Care Med. 2002;28:532–534.

5. De Backer D, Creteur J, Dubois MJ, et al. The effects of dobutamine on

microcirculatory alterations in patients with septic shock are independent of its

systemic effects.Crit Care Med. 2006;34(2):403–408.

6. Trzeciak S, Rivers EP. Clinical manifestations of disordered microcirculatory

perfusion in severe sepsis.Crit Care. 2005;9:S20–S26

7. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med.

2003;348:138–150.

8. Parrillo JE. Pathogenetic mechanisms of septic shock. N Engl J Med. 1993;328:1471–

1477.

Page 23: BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017

147

9. Brealey D, Singer M. Mitochondrial dysfunction in sepsis. Curr Infect Dis Rep.

2003;5(5):365–371.

10. Hotchkiss RM, Swanson PE, Freeman BD, et al. Apoptotic cell death in patients with

sepsis, shock and multiple organ dysfunction. Crit Care Med. 1999;27: 1230–1251.

11. Rady MY, Rivers EP, Nowak RM. Resuscitation of the critically ill in the ED:

responses of blood pressure, heart rate,shock index, central venous oxygen saturation,

and lactate.Am J Emerg Med. 1996;14(2):218–225.

12. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy collaborative group.

Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl

J Med. 2001;345(19):1368–1377.

13. Ahrens T. Hemodynamics in sepsis. Advance Crit Care.2006;17(4):435-45

14. Varpula M, Tallgren M, Saukkonen K, Voipio-Pulkki LM,Pettila V. Hemodynamic

variables related to outcome in septic shock. Intensive Care Med. 2005;31(8): 1066–

1071.

15. Rivers EP, Ander DS, Powell D. Central venous oxygen saturation monitoring in the

critically ill patient. Curr Opin Crit Care. 2001;7(3):204–211.

16.Levy RJ, Piel DA, Acton PD, et al. Evidence of myocardial hibernation in the septic

heart. Crit Care Med. 2005; 33(12):2752–2756.

ETIKA PADA ANESTESI OBSTETRI DAN CRITICAL CARE

Bambang Suryono S

Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif

Universitas Gadjah Mada/ RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

ABSTRAK

Tindakan medik yang akan dilakukan membutuhkan informed consent. Persetujuan

yang diperoleh harus melalui proses penjelasan yang menyangkut tujuan tindakan medik, alternatif

lain yang dapat dipilih, berikut keuntungan dan risiko masing-masing. Risiko yang sering dan risiko

jarang terjadi tetapi bila terjadi akan sangat mengganggu harus dikemukakan dalam informasi.

Pasien yang diberi informasi harus kompeten dalam menerima informasi. Dalam obstetri ada

hubungan maternal-fetal. Hak maternal sebagai dewasa yang kompeten diatur oleh kode etik

kedokteran. Sedangkan fetal hak tersebut masih kontroversial: apakah tidak pernah mempunyai

status moral, mempunyai status moral dependen atau status moral independen. Untuk mengatasi

konflik maternal-fetal perlu dibentuk tim etik multidisiplin sebagai sub-komisi dari komisi etik