Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUKU PROSIDING PIB XVI PERDATIN 2017
Challenging Issues in Anesthesia Practice: Patient Safety
13 - 14 Oktober 2017
Hotel Santika Premiere - Medan - Sumatera Utara
Chief Editor :
dr. Akhyar Hamonangan Nasution Sp.An, KAKV
Editor :
dr. Qadri Fauzi Tanjung Sp.An, KAKV
dr. Tasrif Hamdi M.Ked(An), Sp.An
dr. Bastian Lubis M.Ked(An), Sp.An
dr. Asmin Lubis DAF , SpAn, KAP, KMN
dr. Yutu Solihat Sp.An
dr. John Frans Sitepu M.Ked(An), Sp.An
dr. Muhammad Aripandi Wira
Muhammad Fachreza
Diterbitkan Oleh :
Perdatin
Alamat Penerbit :
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A
Jakarta Pusat
Website Perdatin : www.perdatin.org
Website PIB Perdatin : www.pibperdatin2017.com
iii
DAFTAR KONTRIBUTOR
Akhyar Hamonangan Nasution, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi
Kardiovaskular, Kepala Departemen Satuan Medis Fungsional Anestesiologi dan Terapi
Intensif Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Asmin Lubis, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Pediatrik, Konsultan
Manajemen Nyeri, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Made Wiryana, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Doktor Bidang Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Konsultan Anestesi
Obstetrik, Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.
Eko Setijanto, Dokter Spesialis Anestesiologi, Bagian/KSM Anestesiologi Dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Umum Daerah DR.
Moewardi, Makassar.
Achsanuddin Hanafie, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Konsultan Intensive Care, Konsultan Anestesi Obstetrik,
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik, Medan.
iv
A.M. Takdir Musba, Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan
Manajemen Nyeri, Departemen Ilmu Anestesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri,
Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Muhammad Aripandi Wira, Residen Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H Adam
Malik, Medan.
A. Husni Tanra, Guru Besar Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, Konsultan Intensive Care, Manajemen Nyeri, Departemen Ilmu Anestesi,
Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Omar R. Siregar, Residen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik,
Medan.
Aries Perdana, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.
Heru Dwi Jatmiko, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,
Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universirtas
Diponegoro, Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Kariadi, Semarang.
v
Sri Rahardjo, , Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan
Neuroanestesi, Konsultan Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito,
Yogjakarta.
Bastian Lubis, Dokter Spesialis Anestesiologi, Departemen Anestesiologi Dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik, Medan.
Zulkifli, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Muhammad Hoesin, Palembang.
Qadri Fauzi Tanjung, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik,
Medan.
Bambang Suryono S, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Neuroanestesi, Konsultan
Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Universitas Gadjah
Mada Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito, Yogyakarta.
Yusmein Uyun, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anetesi Obstetri, Departemen
Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Universitas Gadjah Mada RSUP dr. Sardjito,
Yogyakarta.
Isngadi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Obstetri, Departemen
Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Rumah
Sakit Dr. Saiful Anwar, Malang.
vi
Doso Sutiyono, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Regional, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Luwih Bisono, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Regional, Departemen
Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan.
Bambang Pujo Semedi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Konsultan
Anestesi Pediatrik, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Surabaya.
Syafri K . Arif, Dokter Spesialis Anestesiologi, Department of Anesthesiology , Pain
Management And Intensive Care, Faculty of Medicine Hasanuddin university, Makassar.
Tatang Bisri, Guru Besar Bidang Anestesiologi, Doktor Bidang Anestesiologi, Konsultan
Neuroanestesi, Konsultan Anestesi Obstetrik, Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dan Rumah
Sakit Melinda-2, Bandung.
Zafrullah Khany Jasa, Doktor Bidang Anestesiologi, Dokter Spesialis Anestesiologi,
Konsultan Neuroanestesi, Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin.
vii
Tasrif Hamdi, Dokter Spesialis Anestesiologi, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H Adam
Malik, Medan.
Dita Aditianingsih, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Intensive Care, Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Umum Pusat Negri Cipto Mangunkusumo,
Universitas Indonesia.
Yutu Solihat, Dokter Spesialis Anestesiologi, Konsultan Anestesi Kardiovaskular,
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik, Medan.
viii
KATA PENGANTAR KETUA PELAKSANA
Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI PERDATIN
TAHUN 2017 (PIB XVI PERDATIN 2017)
merupakan kegiatan ilmiah yang dilaksanakan setiap 2
tahun yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan anggota PERDATIN
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang anestesiologi. PIB XVI
PERDATIN 2017 adalah kegiatan berskala nasional
yang dapat dihadiri oleh seluruh anggota PERDATIN.
Kegiatan ini merupakan salah satu prasyarat bagi
anggota untuk mendapatkan penilaian dalam program resertifikasi untuk mendapatkan sertifikat
kompetensi dokter spesialis anestesi. Dengan mengikuti PIB seorang anggota sudah dinilai
melakukan pengembangan diri melalui kegiatan ilmiah profesi.
Pelaksanaan PIB XVI PERDATIN 2017 diselenggarakan secara bergantian oleh PERDATIN
Cabang dibawah koordinasi Bidang Pendidikan, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(BP2KB) & Penelitian. Pemilihan penyelenggara PIB XVI PERDATIN dilakukan melalui seleksi
pada RAKERNAS PERDATIN yang diadakan sebelum PIB XVI PERDATIN 2017.
Pokok - Pokok Penyelenggaraan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi & Terapi Intensif
Indonesia merupakan acuan bagi Perdatin Cabang, khususnya Panitia Penyelenggara PIB XVI
PERDATIN 2017 dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat menyelenggarakan kegiatan
ilmiah yang berkualitas dan bermutu tinggi sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
dr. Akhyar Hamonangan Nasution SpAn KAKV
Ketua Pelaksana PIB XVI PERDATIN
ix
KATA PENGANTAR KETUA UMUM PERDATIN PUSAT
Para Sejawat yang saya hormati,
Assalamu'alikum warahmattulahi wabarokatuh
Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI PERDATIN
TAHUN 2017 (PIB XVI PERDATIN 2017)
merupakan kegiatan ilmiah yang dilaksanakan setiap
2 tahun yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan anggota PERDATIN
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang anestesiologi. PIB XVI
PERDATIN 2017 adalah kegiatan berskala nasional
yang dapat dihadiri oleh seluruh anggota
PERDATIN.
Kegiatan ini merupakan salah satu prasyarat bagi
anggota untuk mendapatkan penilaian dalam program resertifikasi untuk mendapatkan sertifikat
kompetensi dokter spesialis anestesi. Dengan mengikuti PIB seorang anggota sudah dinilai
melakukan pengembangan diri melalui kegiatan ilmiah profesi.
Pada kesempatan ini, kami mengundang para rekan sekalian untuk berbagi pengalaman demi
meningkatkan kualitas layanan di bidang Anestesi di tiap provinsi.
Medan, sebagai Kota Kesenian, dengan budayanya yang unik, sangat mengharapkan kehadiran
seluruh peserta dalam Pertemuan Ilmiah Berkala ke-XVI Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi ini.
Mari datang dan bergabung dalam kegembiraan bersama di Medan!
God bless us.
dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC, MARS
Ketua Umum Pengurus Pusat PERDATIN
ix
DAFTAR KONTRIBUTOR ....................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar Ketua Perdatin Pusat ....................................................................................... viii
Kata Pengantar Ketua Pelaksana PIB XVI Perdatin 2017 ......................................................... ix
Daftar Isi ........................................................................................................................................x
ABSTRAK
Efektifitas Kolaborasi Dalam Mengoptimalkan Profesionalitas Anestesi ( Made Wiryana ) ....1
INFEKSI JAMUR PADA PASIEN KRITIS DAN ICU ( Eko Setijanto ) .................................7
Fluid Therapy in ARDS ( Achsanuddin Hanafie ) ....................................................................8
PAIN SERVICE IN HOSPITAL (A.M. Takdir Musba) .........................................................29
Peran Opoid dalam Manajemen Nyeri (A. Husni Tanra ) ........................................................58
PENANGANAN GAGAL JANTUNG VENTRIKEL KANAN AKUT
( Akhyar Hamonangan Nasution ) ..........................................................................................68
Manajemen pasien obesitas dengan kelainan jantung yang menjalani operasi non-jantung
( Aries Perdana ) .......................................................................................................................90
Komplikasi pada Pasien Jantung yang Menjalani Operasi Non jantung
( Heru Dwi Jatmiko ) ................................................................................................................92
Targeted Temperatur Management , Safe And Efficiency Increase In TBI
( Rahardjo. S ) .........................................................................................................................113
How To Diagnose Pulmonary Embolism After Post Operative : Diagnosis And Treatment
( Bastian Lubis ) ......................................................................................................................133
How Do I Choose Empirical Antibiotic in Septic Patient? ( Zulkifli ) ...................................134
Hemodinamik pada Sepsis ( Qadri Fauzi Tanjung ) .............................................................146
ETIKA PADA ANESTESI OBSTETRI DAN CRITICAL CARE
x
( Bambang Suryono S ) ..........................................................................................................160
Perioperative Management of Lung Oedem in Severe Preeclampsia ( Yusmein Uyun ) ......168
Perioperative Management for Parturient with Eisenmenger’s Syndrome ( Isngadi ) ...........186
Ajuvan Untuk Obat Anestesi Lokal Pada Blok Neuraksia Perlu atau Tidak ?
( Doso Sutiyono ) ....................................................................................................................187
Hemifacial Block For Head and Neck Surgery ( Luwih Bisono )...........................................201
TATALAKSANA SEPSIS DAN SYOK SEPTIK ( Bambang Pujo Semedi ) .....................208
Intensive Care Change And Challenge In Indonesia ( Syafri K . Arif ) ................................231
Carrying Safety TBI Patient with Pharmacological Brain Protection ( Tatang Bisri ) ..........240
How Far Hypertensive Therapy For Intractable Intracranial Hypertension ?
( Zafrullah Khany Jasa) .......................................................................................................242
Fluid Management in ICU: Resuscitation and Deresuscitation (Dita Aditianingsih) ............253
Disseminated Intravascular Coagulopathy and Thrombocytopenia Complicating Pregnancy
(dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV ) .........................................................................................258
136
Hemodinamik pada Sepsis
Qadri Fauzi Tanjung, Akhyar Hamonangan Nasution
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, RS H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh terganggunya respon pejamu (host) terhadap infeksi. Sepsis yang berat
didefinisikan sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi
jaringan. Definisi baru sepsis ini terutama menekankan pada respon nonhomeostatik host terhadap
infeksi, yang berpotensi menyebabkan kematian dari proses infeksi yang terus berlangsung
sehingga perlu dikenali dengan cepat.1 Disfungsi organ yang sederhana saat pasien disangkakan
infeksi untuk pertama kali, berhubungan dengan kematian di rumah sakit lebih dari 10%. Meskipun
kejadian yang sebenarnya tidak diketahui, perkiraan konservatif menunjukkan bahwa sepsis adalah
penyebab kematian dan penyakit kritis utama di seluruh dunia. Semakin disadari bahwa pasien yang
bertahan hidup dari sepsis sering memiliki cacat fisik, psikologis, dan kognitif jangka panjang dan
memerlukan perawatan kesehatan dan sosial yang signifikan.2
Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian yang mengukur
kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik. Skor yang umum
digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (awalnya disebut Sepsis-
related Organ Failure Assessment) (Tabel 1.). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan dengan
peningkatan probabilitas mortalitas.
PENDAHULUAN
Sepsis tidak mudah dikenali pada perubahan hemodinamik. tahap awal, sepsis mnghasilkan efek
hemodinamik karena pelepasan mediator sistem imun. Pelepasan mediator merupakan usaha untuk
melawan infeksi lokal, misalnya mediator yang mengubah permeabilitas dinding endotel agar
neoutrofil lebih banyak masuk ke area tersebut dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler.
Peningkatan permeabilitas menghasilkan pergeseran cairan ke ruang interstisial dan membuat
keadaan hipovolemik. Pada tahap awal, penggantian cairan dapat membantu penanganan
hipovolemik, namun sejalan dengan sepsis berlanjut, mediator lain juga berefek menimbulkan
keadaan vasodilatasi dan obstruksi mikrokapiler (cth: clotting).3-5
Clotting dapat menghambat suplai darah meskipun curah jantung dan tekanan darah di atas
normal. Hambatan aliran darah akan menuju perburukan oksigenasi jaringan dan keadaan syok
yang dikenal dengan syok distributif. Sebagai tambahan, aktivasi mediator, seperti radikal
137
oksigen bebas, faktor jaringan, TNFα, interleukin I, Interleukin 6, ysng normalnya merupakan
mekanisme efektif untuk membawa dan menghancurkan antigen, menjadi lebih hebat dan
merusak sel normal, termasuk dinding endotel. Kerusakan pada dinding endotel menyebabkan
sejumlah besar cairan keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisial.
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
terganggunya respon pejamu (host) terhadap infeksi. Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis
plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Definisi baru sepsis ini
terutama menekankan pada respon nonhomeostatik host terhadap infeksi, yang berpotensi
menyebabkan kematian dari proses infeksi yang terus berlangsung sehingga perlu dikenali dengan
cepat.1 Disfungsi organ yang sederhana saat pasien disangkakan infeksi untuk pertama kali,
berhubungan dengan kematian di rumah sakit lebih dari 10%. Meskipun kejadian yang sebenarnya
tidak diketahui, perkiraan konservatif menunjukkan bahwa sepsis adalah penyebab kematian dan
penyakit kritis utama di seluruh dunia. Semakin disadari bahwa pasien yang bertahan hidup dari
sepsis sering memiliki cacat fisik, psikologis, dan kognitif jangka panjang dan memerlukan
perawatan kesehatan dan sosial yang signifikan.2
Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian yang
mengukur kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik. Skor yang
umum digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (awalnya disebut
Sepsis-related Organ Failure Assessment) (Tabel 1.). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan
dengan peningkatan probabilitas mortalitas. 1
Tabel 1. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment 1
138
Suatu model klinis yang dikembangkan dengan regresi logistik multivariabel
mengidentifikasi bahwa 2 dari 3 variabel klinis seperti Glasgow Coma Scale (GCS) ≤13, tekanan
darah sistolik ≤100 mmHg, dan tingkat pernapasan ≥22 kali/menit memiliki validitas prediktif
hampir sama dengan skor penuh SOFA pada keadaan di luar ICU (AUROC = 0,81; 95% CI, 0,80-
0,82). Untuk pasien dengan dugaan infeksi di ICU, skor SOFA memiliki validitas prediktif
(AUROC = 0,74; 95% CI, 0,73-0,76) lebih tinggi dari model ini (AUROC = 0,66; 95% CI, 0,64-
0,68), yang mungkin mencerminkan efek modifikasi oleh intervensi (misalnya, vasopressor, obat
penenang, ventilasi mekanis). Ukuran baru ini disebut sebagai qSOFA (for quick SOFA) yang
terdiri dari variabel gangguan kesadaran, tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg, dan tingkat
pernapasan ≥ 22/menit, memberikan kriteria bedsite yang sederhana untuk mengidentifikasi pasien
dewasa dengan dugaan infeksi yang kemungkinan memiliki hasil yang buruk1 (Tabel 2)
Meskipun qSOFA kurang kuat dibanding skor SOFA ≥2 di ICU, namun skor ini tidak
memerlukan tes laboratorium dan dapat dinilai dengan cepat dan berulang-ulang. Satuan tugas
menunjukkan bahwa kriteria qSOFA dapat digunakan oleh dokter untuk menilai disfungsi organ
dengan cepat, memulai atau meningkatkan terapi yang sesuai, dan untuk mempertimbangkan
rujukan ke perawatan kritis atau meningkatkan frekuensi pemantauan, jika belum dapat dirujuk.
Kriteria qSOFA positif harus juga menjadi pertimbangan adanya kemungkinan infeksi pada pasien
yang belum dianggap sebagai infeksi.1
Tabel 2. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA) 1
Tingkat respirasi ≥ 22x/menit
Gangguan kesadaran GCS <15
Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg
Perubahan hemodinamik pada sepsis
Sepsis tidak mudah dikenali pada perubahan hemodinamik. tahap awal, sepsis mnghasilkan efek
hemodinamik karena pelepasan mediator sistem imun. Pelepasan mediator merupakan usaha untuk
melawan infeksi lokal, misalnya mediator yang mengubah permeabilitas dinding endotel agar
neoutrofil lebih banyak masuk ke area tersebut dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler.
Peningkatan permeabilitas menghasilkan pergeseran cairan ke ruang interstisial dan membuat
keadaan hipovolemik. Pada tahap awal, penggantian cairan dapat membantu penanganan
hipovolemik, namun sejalan dengan sepsis berlanjut, mediator lain juga berefek menimbulkan
keadaan vasodilatasi dan obstruksi mikrokapiler (cth: clotting).3-5
Clotting dapat menghambat suplai darah meskipun curah jantung dan tekanan darah di
atas normal. Hambatan aliran darah akan menuju perburukan oksigenasi jaringan dan keadaan syok
139
yang dikenal dengan syok distributif. Sebagai tambahan, aktivasi mediator, seperti radikal oksigen
bebas, faktor jaringan, TNFα, interleukin I, Interleukin 6, ysng normalnya merupakan mekanisme
efektif untuk membawa dan menghancurkan antigen, menjadi lebih hebat dan merusak sel normal,
termasuk dinding endotel. Kerusakan pada dinding endotel menyebabkan sejumlah besar cairan
keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisial.6
Mediator inflamasi juga membantu meningkatkan aliran darah pada area yang terisolir
pada keadaan normal. Pada sepsis terjadi peningkatan aliran darah sistemik, peningkatan cardiac
output/index dan stroke volume/index, dan perubahan antara tahap awal sepsis dengan tahap yang
lebih berat, dari keadaan aliran darah rendah ke aliran darah tinggi terjadi. Respon sistemik
menghasilkan vasodilatasi,dengan penurunan tahanan sampai kemampuan memompa jantung.
Penurunan afterload menghasilkan penurunan tekanan darah yang memicu peningkatan curah
jantung untuk menjaga tekanan perfusi. Hasil akhir adalah peningkatan curah jantung dan volume
sekuncup, namun keadaan syok distributif tidak sesederhana pergeseran darah dari jaringan atau
pun kebocoran cairan dari kapiler. Sebagai tambahan, perubahan dari sepsis awal dengan curah
jantung rendah ke sepsis lanjut dengan curah jantung tinggi lebih sulit dideteksi pada penilaian
tradisional. 7,8
Disoksia seluler sering muncul pada sepsis, termasuk disfungsi mitokondria, Disoksia
seluler akan mengarah kepada keadaan cell stunning, dengan penurunan konsumsi oksigen pada
level seluler. Cell stunning mirip dengan keadaan pada infark miokard, di mana sel otot jantung
sementara diam, memiliki kecendrungan apoptosis dan mengakibatkan kematian sel. Apotosis
mungkin menjadi penyebab kematian pada pasien sepsis daripada kerusakan sel. Potensi bahaya
dari hipoksia dan apoptosis adalah perkembangan kegagalan sistemik organ multipel. Sebagian
besar pasien yang meninggal karena syok sepsis, terjadi karena kegagalan sistem organ multipel,
apoptosis, dan atau kerusakan sel. Saat sudah cukup banyak sel organ vital mengalami kerusakan
atau mengalami apoptosis, syok menjadi ireversibel, dan kematian akan terjadi meskipun koreksi
atau eliminasi proses yang mendasari kaskade sepsis dihilangkan.9,10
Evaluasi pengaruh hemodinamik abnormal pada oksigenasi jaringan
Penilaian efektifitas inti terapi syok dan presyok yaitu pengukuran fisik secara global, seperti
tekanan darah, tekanan darah rata-rata arteri (mean arterial pressure), perubahan kesadaran, dan
perubahan dalam pengeluaran urin. Pengukuran menggunakan metode ini lebih lambat dalam
memberikan penanda gangguan hemodinamik dan akurasinya rendah.11,12 Evaluasi yang lebih baik
diperlukan dalam pengukuran untuk menilai keefektifan terapi pada keadaan syok sehingga
manajemen pasien menjadi lebih baik.
Beberapa sentra mencoba untuk menilai dampak terapi syok dengan memanfaatkan
pemantauan hemodinamik untuk mengevaluasi efektifitas terapi. Pemantauan hemodinamik
memberi keuntungan dalam evaluasi perubahan aliran darah (contoh: stroke volume dan cardiac
140
output). Walaupun evaluasi perubahan aliran darah menggunakan stroke index dan cardiax index
dapat dipakai sebagai monitoring hemodinamik, namun tidak dapat menentukan keadaan di
jaringan. Oleh karena itu pengukuran stroke index dan cardiac index dilakukan dengan memantau
parameter hemodinamik yang lain. Untuk mengerti apakah perfusi telah memulihkan kembali
oksigenasi jaringan, sebuah ukuran oksigenasi jaringan, perlu juga dilakukan.13
Beberapa parameter yang umum dinilai seperti pengukuran laktat/ph dan campuran
level vena oksihemoglobin (SvO2), diantara kedua parameter ini memiliki nilai dalam menilai
oksigenasi jaringan. Lactate levels, saat diikuti dengan asidosis metabolik, menggambarkan
hipoksia jaringan. Hipoksia digambarkan sejak kadar laktat meningkat selama metabolisme
anaerobik. Kadar SvO2 tidak secara langsung menggambarkan hipoksia. Bagaimanapun, kadar
SvO2 menggambarkan jumlah oksigen yang kembali ke paru-paru setelah jaringan membuang
oksigen yang dibutuhkan. Jika oksigenasi jaringan menurun, maka kadar oksigen di vena akan
menurun untuk menggambarkan beratnya hipoksia.13
Antara laktat dan SvO2 adalah indikator oksigenasi yang baik dalam kebanyakan
situasi klinis. walaupun demikian mempunyai keterbatasan. Contohnya, kadar laktat memberikan
indikasi metabolisme anaerobik jaringan tapi berubah secara lamban dan tidak dapat dihitung secara
terus-menerus. SvO2 adalah sebuah reflektor perubahan yang sangat cepat dalam cadangan oksigen
tapi membutuhkan kateter vena sentral, tidak menunjukkan fungsi organ seseorang, dan mengenali
secara jelas saat ada hipoksia. 13
Gambar 1. Efek oklusi pembuluh darah di otak terhadap PCO2 dan pH
141
Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa apabila dilakukan oklusi pembuluh darah otak secara tiba
tiba, maka pH akan bergerak turun (asidosis) dan tekanan CO2 bergerak naik. Selanjutnya denga
pelepasan oklusi pembuluh darah maka pH bergerak naik dan tekan CO2 bergerak turun. Gambar
ini menunjukkan bagaimana perubahan pH dapat terjadi apabila terdapat gangguan oksigenasi ke
jaringan.
Penggunaan SvO2 dan ScVO2 dalam menilai adekuasi hemodinamik
Dari daftar parameter diatas, kadar SvO2 mungkin paling menjanjikan sebagai indikator efektifitas
terapi. Ada beberapa metode dalam menilai saturasi oksigenasi vena. 2 metode paling sering adalah
SvO2 (diperoleh dengan mengukur oksihemoglobin dalam arteri paru) dan ScVO2 (diperoleh
dengan mengukur contoh darah dalam atrium kanan). Kadar ScVO2 sedikit lebih tinggi daripada
kadar SvO2, secara umum sekitar 5% hingga 13% lebih tinggi. Kadar ScVO2 yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar SvO2 oleh karena tidak sempurna pencampuran arteri coroner sinus
inferior, superior di dalam atrium kanan.14
Kadar ScVO2 dan SvO2 tidak sama satu sama lain namun nilai keduanya cukup baik
untuk memungkinkan penggantian ScVO2 dengan SvO2. Secara klinis, akan sangat berguna
memperoleh nilai SvO2 (dikarenakan dibutuhkan kateter arteri pulmonal). Semua yang dibutuhkan
untuk kadar ScVO2 adalah penilaian dari kateter vena sentral.Kadar SvO2 dan ScVO2 telah
menunjukkan korelasi dengan luaran klinis, respon secara cepat untuk perubahan dalam aliran
darah dan oksigenasi, dan respon dugaan yang lebih baik untuk terapi. Keduanya digunakan secara
bersamaan dengan kunci terapi sepsis, sebagai contoh, komponen terapi awal, SvO2 dan ScVO2
telah terbukti membantu menurunkan angka kematian dan pengurangan biaya.13
Pada saat gangguan oksigenasi jaringan, sebenarnya jaringan membutuhkan oksigen
yang lebih banyak daripada keadaan normal. Parameter kadar SvO2 mengindikasikan kerasnya
ancaman pada oksigenasi jaringan. Penurunan SvO2 menunjukkan beratnya oksigenasi jaringan.
Dalam sepsis awal, dimana ditemukan hipovolemia, kadar SvO2 dan ScVO2 rendah. Kadar SvO2
yang tepat kurang signifikan dalam memahami antara nilai abnormal atau tidak. Jika SvO2
abnormal, terapi untuk mengkoreksi nilainya dibutuhkan. SvO2 kurang dari 60%, maka dibutuhkan
terapi lebih agresif untuk mengembalikan cadangan oksigen dan oksigenasi jaringan mendekati
kadar normal. Pada pasien-pasien dengan kadar SvO2 rendah secara kronis dikarenakan kondisi
seperti gagal jantung kongestif atau kardiomiopati, mungkin akan ada pembatasan kemampuan
untuk meningkatkan kadar SvO2.15
Terlepas dari keadaan syok, normalisasi kadar SvO2 menggambarkan penetapan
kembali aliran darah ke jaringan dan membangun kembali cadangan oksigen tubuh. Penggunaan
SvO2 memiliki ukuran yang lebih efektif dalam menilai oksigenasi jaringan dibandingkan
parameter lain saat ini.13
142
Penggunaan nilai laktat darah dalam menilai oksigenasi
Dalam sepsis, peningkatan konsentrasi laktat darah menggambarkan metabolism anaerobik
disebabkan oleh penurunan aliran darah, obstruksi kapiler, atau dysoxia seluler. Kadar laktat
meningkat (>4 mmol) disertai asidosis merupakan penanda hipoksik asidosis. Mirip seperti nilai
SvO2, kecenderungan konsentrasi laktat adalah indikator oksigenasi jaringan yang lebih baik
daripada nilai laktat itu sendiri. Jika kadar laktat meningkat untuk periode waktu singkat (contoh,
olahraga atau post kejang), lebih kurang berbahaya dibandingkan apabila terjadi peningkatan kadar
laktat lebih lama (beberapa jam).13
Indeks Perfusi Regional
Hanya ada beberapa pengukuran yang dapat diandalkan untuk mengukur perfusi dari tiap organ.
Sampel darah vena tiap organ dapat dijadikan alat ukur perfusi, tetapi, secara teknis, sulit untuk
mendapatkannya. Sebagai contoh, kadar oksihemoglobin vena pada serebri yang didapat dari
bulbus vena jugular (SjvO2) dapat memberikan informasi mengenai oksigenasi serebri. SjvO2 dapat
memberikan informasi mengenai oksigenasi serebri, tetapi pengambilan sampelnya memerlukan
alat khusus. 13
Tiap organ dapat memanifestasikan gejala hipoperfusi, tetapi manifestasi tersebut
dapat juga diakibatkan hal lain di luar sepsis. Penurunan pada urine output atau peninggian kadar
kreatinin atau urea nitrogen serum bisa disebabkan oleh azotemia prerenal (kurangnya perfusi) atau
nekrosis tubuler akut (renal injury). Kerusakan liver dapat dimanifestasikan oleh beberapa faktor
(contoh: peningkatan konsentrasi serum transaminase, laktat dehidrogenase, dan bilirubin).
Kerusakan liver dapat juga diakibatkan oleh penurunan kemampuan sintesis hepatosit akibat
penurunan albumin dan faktor pembekuan. Kerusakan pada sistem gastrointestinal akibat sepsis
umum terjadi dan dapat bermanifestasi dengan stress ulserasi, ileus, dan malabsorpsi. Kerusakan
fungsi paru dapat terjadi akibat infeksi (pneumonia), PPOK, atau kerusakan paru akibat neutrofil
yang diinduksi oleh sepsis. Penurunan fungsi paru dapat dilihat dari terjadinya peningkatan shunt
intrapulmoner, sebagai contoh, rasio PaO2/FiO2 yang nilainya di bawah 200. Keterlibatan
kardiovaskuler dapat dilihat dari terjadinya hipotensi dan aliran darah abnormal (bisa peningkatan
atau penurunan curah jantung) disertai penurunan atau tetapnya tekanan pengisian jantung. 13
Indikator sistemik dari perfusi digunakan untuk mengarahkan penatalaksanaan
ketidakstabilan oksigen sistemik dan hemodinamik, dan indikator perfusi regional seharusnya
digunakan untuk mengevaluasi penatalaksanaan spesifik pada regional tersebut. Sebagai contoh,
pasien dengan SvO2/ScvO2 normal tetapi SjvO2 rendah menggambarkan bahwa otak mungkin dalam
keadaan hipoksia meskipun oksigenasi sistemik sudah mencukupi.14,15
143
Gejala Klinis dari Perubahan Hemodinamik pada Sepsis
Gejala dini sepsis mirip dengan hipovolemia. Indikator aliran darah menurun, dan oksigenasi
jaringan mulai memburuk. Indikator yang paling berguna pada sepsis ialah SvO2 dan Stroke Index
(SI). Cardiac Index (CI) juga berguna, tetapi CI dapat menunjukkan nilai normal dikarenakan
kompensasi berupa takikardi. Takikardi dapat membuat nilai CI tetap normal, tetapi nilai SI tetap
akan rendah. Oleh karena itu, SI merupakan indikator yang lebih baik pada keadaan aliran rendah
karena tidak terpengaruh oleh perubahan denyut jantung. Sebagaimana perjalanan sepsis berlanjut
ke tahap berat, nilai SI, CI, dan SvO2 meningkat 13(Tabel 3).
Penilaian parameter hemodinamik yang lain tidak semudah parameter aliran darah (SI
dan CI) dan ScvO2. Parameter seperti tekanan pengisian (Pulmonary Artery Occlusive Pressure
[PAOP] dan Central Venous Pressure [CVP]) dan kontraktilitas bisa normal atau rendah,
menggambarkan akibat dari sepsis pada sistem kardiovaskuler. Ketika mempertimbangkan
indikator dari volume kardiovaskuler, seperti: tekanan pengisian (CVP, PAOP, tekanan diastolik
akhir ventrikel kanan), parameter tersebut cenderung bernilai normal atau rendah, menggambarkan
hipovolemia yang diakibatkan dari vasodilatasi dan kebocoran cairan akibat kerusakan kapiler. Hal
yang sama dapat dijumpai pada pengukuran volume dengan flow time (FT c) dan volume diastolik
akhir ventrikel kanan. Pengukuran kontraktilitas, seperti peak velocity (PV), cenderung normal atau
menurun, menggambarkan hibernasi miokard pada sepsis.16
Parameter yang paling akurat dan mudah untuk digunakan dan didapat pada sepsis
adalah indikator oksigenasi jaringan (SVO2 dan SCVO2) dan aliran darah (SI dan CI). Umumnya,
keputusan klinis diawali dengan mengevaluasi parameter tersebut kemudian merujuk ke indikator
lain, seperti tekanan, volume, atao FT c, jika SVO2 dan/ atau SI abnormal.16
3
144
Cara Menilai Hemodinamik pada Sepsis
Pengukuran dari hemodinamik sudah dilakukan dengan beragam teknik, mulai dari tekanan darah
hingga kateter arteri pulmoner. Tetapi, lebih mudah mengukur hemodinamik dengan menggunakan
alat yang kurang invasif. Ulasan singkat dari praktik terkini dapat menggambarkan nilai dari
penilaian hemodinamik yang terkini.
Pengukuran Aliran Darah Arterial
Pengukuran tekanan darah arterial telah menjadi patokan dalam evaluasi hemodinamik
selama ini, meskipun terdapat keterbatasan dalam pengukuran tekanan darah dalam
menggambarkan aliran darah dan oksigenasi jaringan. Kontroversi muncul atas bagaimana
pengambilan tekanan darah seharusnya didapat pada situasi klinis, seperti: Metode cuff atau
pengukuran langsung arteri melalu kateter arteri, dan ketika menggunakan cuff, di mana
pengukuran dilakukan.31 Klinisi sering menggunakan kateter arteri untuk pasien dengan hipotensi,
tetapi, pengukuran tekanan darah dapat menyesatkan klinisi. Tekanan darah tidak selalu berkorelasi
dengan aliran darah dan oksigenasi jaringan, sebagai contoh tekanan darah rendah dapat dijumpai
pada pasien hipovolemia (curah jantung rendah) dan kondisi hiperdinamik sepsis (curah jantung
tinggi). Lebih signifikan lagi, tekanan darah dapat terjaga pada level normal melalui mekanisme
kompensasi, meskipun aliran darah dan oksigenasi jaringan terpengaruh secara abnormal. Tekanan
darah seharusnya menjadi parameter monitoring sekunder, bukan menjadi parameter dari
oksigenasi jaringan dan aliran darah.13
Pengukuran dari SVO2 dan SCVO2
Svo2 dan ScvO2 dapat diukur dengan mengambil sampel darah dari ujung distal arteri
pulmonal atau kateter tripel lumen, monitor berkelanjutan dari Scvo2 memungkinkan untuk titrasi
yang akurat dari obat dan cairan, sehingga dapat meningkatkan penatalaksanaan pasien.
Pengukuran Aliran Darah
Beberapa teknik diciptakan untuk mengukur hemodinamik selain kateter arteri
pulmonal (Tabel 4). Teknologi yang ideal adalah teknologi yang noninvasif atau minimal invasif,
aman, mudah digunakan, mudah dipelajari, dan akurat. Harga dipertimbangkan sebagai faktor
ketika teknologi yang diperbandingkan serupa. Ketika tidak ada teknologi yang dapat memenuhi
semua kriteria pada beragam pasien, satu atau dua teknologi cenderung akan mendominasi. Alat
yang noninvasif atau minimal invasif, seperti Doppler esophagus, kemungkinan akan mendominasi
praktik karena kemudahan penggunaan, cenderung tidak mahal, cepat, dan akurat. 13-16
Teknologi terkini seperti Doppler merepresentasikan alat yang sempurna untuk
menilai gangguan hemodinamik, seperti keadaan sepsis, tetapi teknologi tidak dapat dengan
sendirinya mengubah outcome daripada pasien. Keahlian klinisi dan pengetahuan dalam
interpretasi dari informasi dan mengaplikasikan terapi yang sesuai adalah kunci untuk
meningkatkan luaran pasien.
145
Penggunaan Monitoring Hemodinamik untuk Membantu Penatalaksanaan Sepsis
Tatalaksana dari perubahan hemodinamik akibat sepsis tidak berubah hingga beberapa tahun
terakhir. Pada 50 tahun terakhir, penanganan hemodinamik pada sepsis masih termasuk pemberian
cairan, vasopresor atau inotropik, antibiotik yang sesuai, dan kontrol sumber infeksi. Satu kunci
penanganan lanjut pada sepsis berat adalah yang baru-baru ini diperkenalkan drotrecogin alfa
(teraktivasi). Sementara obat ini didesain untuk meningkatkan kadar protein C yang hilang, ia
memiliki efek lain yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan aliran darah. Sementara
Drotercogin alfa bukan merupakan obat hemodinamik, ia seharusnya dipertimbangkan untuk
digunakan pada pasien dengan sepsis berat dan resiko tinggi kematian. Dalam usaha
menyelamatkan pasien dengan kondisi pra syok septik atau bahkan dalam keadaan syok, terapi
resusitasi yang agresif diterapkan. Terapi-terapi ini biasanya berpusat pada beberapa kategori kunci,
contohnya inotropik, penggantian cairan, dan vasopresor. Namun, semua terapi bertujuan untuk
mengatasi syok, terlepas dari tipenya, adalah dibuat untuk meningkatkan perfusi ke jaringan, dan
mengembalikan suplai nutrisi yang adekuat ke jaringan.13
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengukuran tradisional untuk menilai
adekuasi perfusi terbatas, yaitu tekanan darah, produksi urin, dan tekanan kardiak. Karena
keterbatasan unuk menilai kembalinya aliran darah yang adekuat, seringkali tidak jelas mengenai
kefektifan penanganan pada pasien syok. Ketidakadekuatan monitoring tradisional adalah
penyebab digunakannya target hemodinamik spesifik, seperti ScVO2 dan SI yang merupakan kunci
untuk meningkatkan luaran pasien.13-15
Table 2: Comparison of Technology for Measuring Cardiac Output
4
146
Target dan Monitoring Resusitasi Cairan
Tujuan dari penanganan hemodinamik adalah untuk mengembalikan SVO2, atau ScVO2 dan SI
kepada nilai normal (SVO2 65%;SCVo2 70%; dan SI di atas 25ml/m2). Saat memberi cairan,pilihan
cairan biasanya dimulai dengan kristalloid seperti natrium klorida. Agen kolloid seperti albumin
atau Hetastarch dapat digunakan dalam resusitasi cairan namun harganya mahal. Beberapa studi
menunjukkan bahwa cairan karistalloid dengan harga yang lebih murah, memiliki luaran yang sama
baiknya dengan agen colloid. Jumlah cairan yang diberikan masih belum jelas, namun pendekatan
terakhirnya adalah memberi cairan, seperti: 500 mL bolus NaCl, kemudian observasi respon pada
Scvo2 dan SI, lanjutkan titrasi hingga nilainya kembali normal.13
Ringkasan
Parameter yang paling akurat dan mudah untuk digunakan dan didapat pada sepsis adalah indikator
oksigenasi jaringan (SVO2 dan SCVO2) dan aliran darah (SI dan CI). Umumnya, keputusan klinis
diawali dengan mengevaluasi parameter tersebut kemudian merujuk ke indikator lain. Tujuan dari
penanganan hemodinamik adalah untuk mengembalikan SVO2, atau ScVO2 dan SI kepada nilai
normal (SVO2 65%;SCVo2 70%; dan SI di atas 25ml/m2).
Daftar Pustaka
1. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Ferrer R, Kumar A. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock:
2016. Crit Care Med. 2017. Doi: 10.1097/CCM.0000000000002255.
2. Dellinger RP et al. Surviving Sepsis Campaign International Guideline for Severe
Sepsis and Septic Shock. Critical Care Med. 2013;41(2): 580-637.
3. Bridges E, Dukes S. Cardiovascular aspects of septic shock. Crit Care Nurse.
2005;25:14–42.
4. Hasibeder WR. Fluid resuscitation during capillary leak-age: does the type of fluid
make a difference. Intensive Care Med. 2002;28:532–534.
5. De Backer D, Creteur J, Dubois MJ, et al. The effects of dobutamine on
microcirculatory alterations in patients with septic shock are independent of its
systemic effects.Crit Care Med. 2006;34(2):403–408.
6. Trzeciak S, Rivers EP. Clinical manifestations of disordered microcirculatory
perfusion in severe sepsis.Crit Care. 2005;9:S20–S26
7. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med.
2003;348:138–150.
8. Parrillo JE. Pathogenetic mechanisms of septic shock. N Engl J Med. 1993;328:1471–
1477.
147
9. Brealey D, Singer M. Mitochondrial dysfunction in sepsis. Curr Infect Dis Rep.
2003;5(5):365–371.
10. Hotchkiss RM, Swanson PE, Freeman BD, et al. Apoptotic cell death in patients with
sepsis, shock and multiple organ dysfunction. Crit Care Med. 1999;27: 1230–1251.
11. Rady MY, Rivers EP, Nowak RM. Resuscitation of the critically ill in the ED:
responses of blood pressure, heart rate,shock index, central venous oxygen saturation,
and lactate.Am J Emerg Med. 1996;14(2):218–225.
12. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy collaborative group.
Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl
J Med. 2001;345(19):1368–1377.
13. Ahrens T. Hemodynamics in sepsis. Advance Crit Care.2006;17(4):435-45
14. Varpula M, Tallgren M, Saukkonen K, Voipio-Pulkki LM,Pettila V. Hemodynamic
variables related to outcome in septic shock. Intensive Care Med. 2005;31(8): 1066–
1071.
15. Rivers EP, Ander DS, Powell D. Central venous oxygen saturation monitoring in the
critically ill patient. Curr Opin Crit Care. 2001;7(3):204–211.
16.Levy RJ, Piel DA, Acton PD, et al. Evidence of myocardial hibernation in the septic
heart. Crit Care Med. 2005; 33(12):2752–2756.
ETIKA PADA ANESTESI OBSTETRI DAN CRITICAL CARE
Bambang Suryono S
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif
Universitas Gadjah Mada/ RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
ABSTRAK
Tindakan medik yang akan dilakukan membutuhkan informed consent. Persetujuan
yang diperoleh harus melalui proses penjelasan yang menyangkut tujuan tindakan medik, alternatif
lain yang dapat dipilih, berikut keuntungan dan risiko masing-masing. Risiko yang sering dan risiko
jarang terjadi tetapi bila terjadi akan sangat mengganggu harus dikemukakan dalam informasi.
Pasien yang diberi informasi harus kompeten dalam menerima informasi. Dalam obstetri ada
hubungan maternal-fetal. Hak maternal sebagai dewasa yang kompeten diatur oleh kode etik
kedokteran. Sedangkan fetal hak tersebut masih kontroversial: apakah tidak pernah mempunyai
status moral, mempunyai status moral dependen atau status moral independen. Untuk mengatasi
konflik maternal-fetal perlu dibentuk tim etik multidisiplin sebagai sub-komisi dari komisi etik