55
BUKU KEGIATAN SERAPAN DAN EMISI KARBON DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2015

Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BUKU KEGIATAN

SERAPAN DAN EMISI KARBON

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

2015

Page 2: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Penasehat

Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc.,

(Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan)

Editor

Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc.

Dr. Riva Rovani, S.Hut., M.Agr.

Penulis

Anna Tosiani, S.Si.,M.Sc.

Tim Pendukung Teknis

Ir. Triastuti Nugraheni, M.Si.

Ahmad Basyirudin Usman, S.Si.

Staf Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan

All right reserved published in 2015

Page 3: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

KATA PENGANTAR

Perubahan iklim terjadi berkaitan dengan adanya perubahan komposisi

atmosfer, terutama karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

(GRK). Sekitar 20% dari peningkatan GRK disebabkan oleh pelepasan CO2

yang telah tersimpan selama ratusan hingga ribuan tahun sebagai biomassa

di atas permukaan tanah dan di dalam tanah gambut. Aktivitas

pembangunan yang cukup tinggi di Indonesia telah menempatkan

Indonesia sebagai salah satu emitter ketiga di dunia, terutama emisi yang

berasal dari deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut.

Dalam rangka mendukung implementasi mekanisme pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan diperlukan baseline data untuk mengurangi

emisi dan meningkatkan serapan dari kawasan hutan Indonesia.

Pemahaman tentang perubahan iklim, Reducing Emission from

Deforestation and Forest Degradation (REDD), Reference Emission Level

/Reference Level (REL/RL), MRV, penggunaan teknologi penginderaan jauh

untuk pemantauan sumber daya hutan, penghitungan deforestasi dan

degradasi hutan, serta penghitungan emisi dan serapan karbon pada sektor

kehutanan sangat penting dalam kerangka mitigasi perubahan iklim di

Indonesia.

Buku “Kegiatan Serapan dan Emisi Karbon” disusun untuk menyajikan

kondisi cadangan, serapan dan emisi karbon dari perubahan penutupan

lahan Indonesia. Buku ini diharapkan dapat dimanfaatkan di lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak terkait lainnya.

Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini.

Jakarta, Desember 2015

Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan

Page 4: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR ISTILAH vii

I PENDAHULUAN 1

II

III

IV

V

DATA AKTIVITAS

FAKTOR EMISI

METODOLOGI

4.1. Metode Penghitungan Perubahan Cadangan Karbon

(Stock Difference)

4.2. Metode Penghitungan Peningkatan dan Penurunan

Cadangan Karbon (Gain and Loss)

4.3. Penghitungan Cadangan Karbon (Stock Carbon)

4.4. Penghitungan Emisi dan Serapan Karbon

4.5. Pembuatan Peta Cadangan Karbon

HASIL PERHITUNGAN

5.1. Cadangan Karbon

5.2. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Nasional

5.3. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Sub Nasional

5.4. Cadangan Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan

5.5. Ketidakpastian (Uncertainty)

4

6

10

11

12

14

15

20

21

22

25

27

29

41

DAFTAR PUSTAKA 44

Page 5: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1.

Tabel 3.2.

Tabel 4.1.

Tabel 4.2.

Tabel 5.1.

Tabel 5.2.

Cadangan Karbon Per Hektar untuk 23 Tipe

Penutupan Lahan Skala Nasional

Cadangan Karbon Per Hektar untuk 7 Tipe Penutupan

Lahan Hutan Skala Regional (Pulau)

Matriks Perubahan Penutupan Lahan Wilayah

Indonesia Tahun 2013-2014

Matriks Emisi Bersih (Nett Emission) Tahun 2013-2014

Skala Nasional dari karbon di Atas Permukaan (Mt

CO2-eq/tahun)

Luas Penutupan Lahan Tahun 2009-2014

Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan Hutan

Berdasarkan Data Penutupan Lahan Tahun 2014

8

9

16

19

23

31

Page 6: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1.

Gambar 4.1.

Gambar 4.2.

Gambar 4.3.

Gambar 4.4.

Gambar 4.5.

Gambar 5.1.

Gambar 5.2.

Gambar 5.3.

Gambar 5.4.

Gambar 5.5.

Gambar 5.6.

Gambar 5.7.

Gambar 5.8.

.

Gambar 5.11.

Kelompok (Pools) Penyimpanan Karbon 2014

Perbandingan Metode Stock-Difference dan Gain-

Loss (Mudiyarso dkk, 2008)

Deskripsi Penghitungan Cadangan Karbon

Diagram Alir Tahapan Penghitungan Cadangan

Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan

Diagram Penghitungan Serapan Karbon

Diagram Penghitungan Emisi Karbon

Grafik Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2009-

2014

Grafik Perbandingan Cadangan Karbon 7 Pulau

Besar Tahun 2009-2014

Cadangan Karbon Berdasarkan Tipe Penutupan

Lahan Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi Karbon dan Laju

Deforestasi Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Sumatera Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Kalimantan Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Jawa Tahun 2009-2014

7

14

14

16

17

18

22

22

24

25

26

28

28

28

28

28

Page 7: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Gambar 5.9.

Gambar 5.10.

Gambar 5.11.

Gambar 5.12.

Gambar 5.13.

Gambar 5.14.

Gambar 5.15.

Gambar 5.16.

Gambar 5.17.

Gambar 5.18.

Gambar 5.19.

Gambar 5.20.

Gambar 5.21.

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Bali-Nusa Tenggara Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Sulawesi Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Maluku Tahun 2009-2014

Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon

Pulau Papua Tahun 2009-2014

Grafik Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan

Hutan Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Sumatera Tahun

2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Kalimantan Tahun

2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Jawa Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Bali-Nusa Tenggara

Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Sulawesi Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Maluku Tahun 2014

Peta Cadangan Karbon Pulau Papua Tahun 2014

28

29

29

29

30

33

34

35

36

37

38

39

40

Page 8: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

DAFTAR ISTILAH

APL – Area untuk Penggunaan Lain disebut juga Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). APL ini bisa masih berhutan dan bisa sudah tidak berhutan.

BCEF (Biomass Conversion and Expansion Factor) – Faktor yang digunakan untuk menggandakan biomassa batang per satuan luas suatu tegakan (∑

volume*berat jenis kayu) ke biomassa tegakan bagian atas.

Biomassa (Biomass) - Masa (berat) dari organisme yang hidup yang terdiri atas tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal. Satuannya adalah ton/ha.

Untuk buku ini, biomassa adalah berat kering tumbuhan dalam satu satuan luas.

Biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass) - Masa

tumbuhan yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri atas pohon, dahan,

ranting, dan daun tumbuhan.

Cadangan Karbon (Carbon Stock) – Besaran karbon yang terakumulasi dalam

tampungan karbon (carbon pools) di darat dan laut dalam jangka waktu tertentu.

Data Aktivitas (Activity Data) – Besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas

manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK.

Deforestasi – Perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009).

Ekivalen Karbon Dioksida (Carbon Dioxide Equivalent/CO2eq) - Suatu ukuran yang digunakan untuk membandingkan daya pemanasan global (global

warming potential, GWP) gas rumah kaca tertentu relatif terhadap daya pemanasan global gas CO2.

Emisi (Emissions) - Proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfir, melalui

dekomposisi bahan organik oleh mikroba yang menghasilkan gas CO2 atau CH4, proses terbakarnya bahan organik menghasilkan gas CO2 dan proses nitrifikasi dan

denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O.

Faktor Emisi (Emission Factor) – Besaran emisi GRK yang dilepaskan ke

atmosfer per satuan aktivitas tertentu.

Faktor Serapan (Sequestration Factor) – Besaran GRK di atmosfer yang diserap per satuan aktivitas tertentu.

Gas Rumah Kaca (GRK) – Gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi

inframerah.

Gt (Giga tonnes = 109 ton) – Unit yang sering digunakan untuk menyatakan

jumlah karbon atau karbon dioksida di atmosfer.

Page 9: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Hutan Konservasi – Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai

fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Hutan Lindung – Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan

tanah.

Hutan Produksi – Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi

hasil hutan.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) – Suatu Panel ilmiah

yang didirikan pada tahun 1988 oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim

yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk melakukan kajian terhadap perubahan iklim, menerbitkan laporan khusus tentang berbagai topik yang relevan

dengan implementasi Kerangka Konvensi PP untuk Perubahan Iklim.

Karbon (Carbon) - Unsur kimia bukan logam dengan simbol atom C yang banyak

terdapat di dalam semua bahan organik dan di dalam bahan anorganik tertentu.

Unsur ini mempunyai nomor atom 6 dan berat atom 12 g.

Laporan Komunikasi Nasional Perubahan Iklim (National Communication)

– Laporan yang disusun oleh Pemerintah Indonesia sebagai kewajiban Negara Pihak yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change).

MAI (Mean Annual Increment) – Pertumbuhan tahunan tanaman yang mengacu

pada rata-rata pertumbuhan per tahun pohon atau tegakan yang telah

memperlihatkan umur tertentu.

Mt (Million tones = 106 ton) – Unit yang sering digunakan untuk menyatakan

jumlah karbon atau karbon dioksida di atmosfer.

NFI (National Forest Inventory) – Inventarisasi hutan di tingkat nasional.

Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) - Proses penyerapan karbon dari

atmosfir ke penyimpan karbon tertentu seperti tanah dan tumbuhan. Proses utama penyerapan karbon adalah fotosintesis.

Penyimpan Karbon (Carbon Pool) - Subsistem yang mempunyai kemampuan menyimpan dan atau membebaskan karbon. Contoh penyimpan karbon adalah

biomassa tumbuhan, tumbuhan yang mati, tanah, air laut, dan atmosfir.

PSP (Permanent Sample Plot) – Plot yang terletak di tengah klaster plot seluas 1 Ha yang dibagi ke dalam 16 Record Unit (RU) berukuran 25 m x 25 m, di tengah-

tengahnya diletakkan pusat RU sebagai pusat pengukuran.

Page 10: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) –

Dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung

dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target

pembangunan nasional, yang meliputi sektor kehutanan dan lahan gambut,

pertanian, limbah, industri, transportasi, dan energi.

REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) –

Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara

memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan

deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan kerangka REDD yang lebih luas

dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan

cadangan karbon.

Riap – Pertumbuhan dimensi pohon (diameter dan tinggi) hingga masak batang.

Uncertainty (Ketidakpastian) – Derajat kurangnya pengetahuan tentang nilai

sebenarnya dari variable yang digambarkan sebagai fungsi kepadatan probabilitas

termasuk bias dan kesalahan random.

Page 11: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BAB I PENDAHULUAN

Page 12: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Perubahan iklim saat ini telah menjadi salah satu tema penting dalam

pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup, baik di tingkat internasional

maupun di tingkat nasional. Hal ini wajar karena perubahan iklim

mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan iklim diyakini

sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di permukaan

bumi sehingga menimbulkan pemanasan global yang pada gilirannya membuat

perilaku iklim berubah dari keadaan normalnya. Laporan Fourth Assessment of

IPCC (2007) juga menyebutkan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca sebesar

70% dari tahun 1974-2005. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa

sektor kehutanan dunia dianggap memegang peran yang cukup signifikan

dalam emisi gas karbon dioksida karena menyumbang tidak kurang dari 17,4 %

dari total emisi di muka bumi ini.

Untuk dapat menentukan kebijakan dalam rangka mengantisipasi dampak

perubahan iklim maka perlu diketahui seberapa besar sebenarnya emisi gas

rumah kaca yang terjadi di Indonesia. Dengan mengetahui tingkat emisi yang

telah terjadi inilah selanjutnya dapat ditentukan kebijakan yang akan diambil

dalam kegiatan pembangunan sehingga pada satu sisi dapat tetap memenuhi

kebutuhan hidup manusia namun pada sisi lainnya dapat seoptimal mungkin

mengurangi dampak perubahan iklim.

Pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun 2008, Pemerintah berkomitmen

untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan

bantuan internasional pada tahun 2020. Komitmen pemerintah ini

ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana

Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan

Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah salah satu

Kementerian/Lembaga yang mempunyai tanggung jawab menyusun laporan

inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan. Pada Second

Page 13: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

National Communication (2010), sektor kehutanan dan lahan gambut

menyumbang emisi ± 60% dari emisi nasional. Untuk mengetahui seberapa

besar penurunan emisi yang sudah dilakukan dari sektor kehutanan, perlu

dilakukan penghitungan laju emisi dan serapan karbonnya. Kegiatan

penghitungan emisi dan serapan karbon merupakan bagian dari inventarisasi

GRK yang memerlukan data aktivitas (activity data) dan faktor emisi (emission

factor).

Buku ini khusus membahas hasil penghitungan cadangan, emisi dan serapan

karbon tahun 2009-2014 skala nasional dan sub nasional (7 pulau besar), yang

meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara,

Maluku dan Papua. Penghitungan dilakukan berdasarkan perubahan

penutupan lahan pada 23 kelas penutupan lahan yang dibuat oleh Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bahasan utama dalam buku ini adalah data aktivitas, faktor emisi/serapan,

metode penghitungan cadangan, emisi dan serapan karbon, dan hasil

penghitungannya serta ketidakpastian (uncertainty) dalam penghitungan ini.

Page 14: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BAB II DATA AKTIVITAS

Page 15: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Data aktivitas (activity data) adalah data tentang besaran kuantitatif kegiatan

atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap gas rumah

kaca (GRK) pada periode waktu tertentu. Data ini menginformasikan kondisi

penutupan lahan yang umumnya diperoleh melalui data citra satelit.

Data aktivitas digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai karbon suatu

wilayah (region). Penghitungan emisi pada buku ini menggunakan data

aktivitas berupa penutupan lahan dan perubahannya yang merupakan luas

suatu penutupan lahan yang dalam periode analisis tidak mengalami perubahan

atau penutupan lahan yang mengalami perubahan dari suatu kelas menjadi

kelas penutupan lahan lainnya.

Data penutupan lahan dan perubahannya disajikan dalam bentuk matriks

perubahan penutupan lahan.

Data aktivitas yang digunakan untuk penghitungan cadangan, emisi, dan

serapan karbon terdiri atas :

1. Data spasial penutupan lahan 23 kelas tahun 2009, 2011, 2012, 2013, dan

2014 yang dibuat oleh KLHK.

2. Data spasial kawasan hutan versi April 2015.

Page 16: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BAB III FAKTOR EMISI

Page 17: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Faktor emisi/faktor serapan untuk perubahan penutupan lahan adalah

perbedaan jumlah cadangan karbon akibat perubahan suatu tipe penutupan

lahan tertentu menjadi penutupan lahan lain. Faktor emisi tersebut diperoleh

dengan menggunakan data acuan (default) cadangan karbon dari semua tipe

penutupan lahan. Angka acuan yang mewakili (representative) setiap tipe

penutupan lahan dibangun berdasarkan hasil penelitian atau inventarisasi

nasional di berbagai lokasi yang kemudian dirata-ratakan.

Cadangan karbon yang dihitung dalam buku ini adalah karbon di atas

permukaan (Above Ground Carbon).

Gambar 3.1. Kelompok (Pools) Penyimpanan Karbon

Angka faktor emisi/faktor serapan yang digunakan di buku ini merupakan

angka cadangan karbon per penutupan lahan (22 kelas). Cadangan karbon di

atas permukaan tanah untuk tipe penutupan lahan hutan lahan kering dan

hutan rawa diperoleh dari hasil analisa data inventarisasi hutan hasil

pengukuran Permanent Sample Plot (PSP) pada periode 1996-2013 sebanyak

4.450 pengukuran di seluruh Indonesia. Untuk cadangan karbon kelas

penutupan lahan hutan mangrove dan hutan tanaman di atas permukaan tanah

menggunakan data hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan.

(Sumber dari Watson C, 2009)

9)

Page 18: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Semua angka cadangan karbon tersebut diperoleh dengan menggunakan

konversi stok (Biomass Conversion and Expansion Factors/BCEF) sebesar 1,67

(IPCC, 2006). Nilai konversi dari biomassa ke karbon digunakan 0,50

sedangkan nilai konversi dari karbon ke CO2-eq digunakan 3,67. Kandungan

karbon pada penutupan lahan selain hutan diperoleh dari sumber-sumber data

sekunder seperti jurnal hasil penelitian dan sumber lainnya.

Cadangan karbon untuk setiap tipe penutupan lahan skala nasional disajikan

pada tabel 3.1. Untuk cadangan karbon kelas penutupan berhutan skala sub

nasional disajikan pada tabel 3.2.

Tabel 3.1. Cadangan Karbon Per Hektar Untuk 23 Tipe Penutupan Lahan Skala

Nasional

Page 19: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Tabel 3.2. Cadangan Karbon Per Hektar Untuk 7 Tipe Penutupan Lahan Hutan Skala Regional (Pulau)

Sumber : *) Direktorat IPSDH (Hasil Pengukuran NFI 1996-2013), 2014 **) Badan Litbang Kehutanan, 2014

Penentuan faktor serapan karbon untuk semua perubahan penutupan lahan

diperoleh dari selisih angka kandungan karbon dari masing-masing penutupan

lahan yang berubah, dari tipe penutupan lahan dengan kandungan karbon

rendah ke tipe penutupan lahan dengan kandungan karbon tinggi, misalnya

semak belukar menjadi hutan sekunder. Penghitungan untuk serapan karbon

ini tidak memperhitungkan pertumbuhan riap pada penutupan lahan kelas

hutan sekunder dan hutan tanaman yang tetap pada tahun 2009-2014.

Page 20: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BAB IV METODOLOGI

Page 21: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Penghitungan cadangan, serapan dan emisi karbon dilakukan dengan

menggunakan analisa spasial data aktivitas dan data cadangan karbon/faktor

emisi/faktor serapan untuk tiap tipe penutupan lahan. Perhitungan emisi gas

rumah kaca ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (i) perubahan

cadangan karbon (stock difference) dan (ii) perhitungan peningkatan dan

penurunan cadangan karbon (gain and loss).

4.1. Metode Penghitungan Perubahan Cadangan Karbon (Stock

Difference)

Metode stock-difference merupakan metode untuk menghitung stok

karbon yang didasarkan pada stock-based approach, yaitu estimasi stok

karbon pada setiap pool karbon dengan mengukur stok aktual biomassa

pada periode awal dan akhir penghitungan. Metode ini cocok digunakan

pada negara-negara yang mempunyai sistem inventarisasi nasional untuk

hutan dan penggunaan lahan yang lain, di mana stok biomass setiap pool

dapat diukur secara periodik. Metode stock-difference menggunakan

persamaan sebagai berikut :

ΔC = (Ct2 – Ct1)/(t2 – t1)

di mana :

ΔC = perubahan stok karbon tahunan pada setiap

pool (tC/tahun)

Ct1 = stok karbon setiap pool di awal (tC)

Ct2 = stok karbon setiap pool di akhir (tC)

Metode ini memperkirakan perbedaan cadangan karbon pada suatu

selang waktu tertentu, misalnya satu siklus hutan tanaman. Lahan yang

penutupan lahannya tidak berubah dalam periode waktu tertentu,

diasumsi tidak mengemisi atau menyerap karbon (emisi dan serapan nol).

Untuk lahan yang mengalami perubahan penutupan lahan akan

mengemisikan/menyerap karbon sejumlah karbon yang dikandung oleh

Page 22: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

tutupan lahan awal dikurangi dengan cadangan karbon tutupan lahan

berikutnya.

Untuk sistem dengan suatu siklus pertumbuhan teratur, cadangan karbon

yang digunakan adalah cadangan karbon rata-rata waktu (time average

carbon stock).

Jika penutupan lahan awal adalah hutan sekunder dengan cadangan

karbon 132,99 t/ha mengalami perubahan menjadi semak belukar

dengan cadangan karbon rata-rata 30 t/ha, maka perubahan tutupan

lahan tersebut mengemisikan karbon sebanyak (132,9-30) t/ha = 102,9

ton C/ha atau 377,6 ton CO2-eq/ha.

4.2. Metode Penghitungan Peningkatan dan Penurunan Cadangan

Karbon (Gain and Loss)

Metode Gain-Loss digunakan untuk menghitung perubahan stok karbon

tahunan pada setiap pool karbon yang berdasarkan pada process-based

approach, yaitu estimasi dengan mendasarkan pada angka penambahan

dan pengurangan stok karbon. Metode ini dapat diaplikasikan untuk

semua penambahan dan pengurangan stok karbon. Penambahan (gains)

dan pengurangan/kehilangan (losses) dari cadangan C diinventarisasi dan

diperhitungkan setiap tahun sehingga didapatkan riap tahunan (Mean

Annual Increment/MAI) dikurangi kehilangan C dari berbagai aktifitas

seperti penebangan, penjarangan, pengambilan kayu bakar, kebakaran

hutan dan lain-lain (IPCC 2006). Metode gain-loss menggunakan

persamaan sebagai berikut :

ΔC = ΔCG – ΔCL

di mana :

ΔC = perubahan stok karbon tahunan pada setiap

pool (tC/tahun)

Page 23: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

ΔCG = penambahan karbon tahunan (tC/tahun)

ΔCL = penurunan karbon tahunan (tC/tahun)

Berbagai kendala dalam penerapan metode gain and loss antara lain :

1. Data riap C berbagai jenis penutupan lahan sulit didihitung

(Bappenas, 2014), mengingat dalam pengelolaan hutan kita tidak

mengetahui secara tepat berapa sebenarnya riap pohonnya,

sehingga lebih sering digunakan angka asumsi untuk

penghitungannya.

2. Tidak ada informasi sampai berapa tahun angka riap dapat

dipertahankan.

3. Angka kehilangan cadangan karbon akibat kebakaran sulit

didapatkan, karena angka ini sangat bervariasi tergantung musim

dan iklim setempat.

4. Sistem gain and loss sangat sulit diterapkan pada skala provinsi dan

nasional. Sistem ini akan mudah diterapkan pada unit pengelolaan

dengan area yang tidak terlalu luas, sehingga pertumbuhan

pohon/tegakan lebih mudah dipantau dan diukur.

Berdasarkan uraian kedua metode di atas, penghitungan emisi karbon

pada buku ini menggunakan metode stock difference. Hal ini juga

disesuaikan dengan ketersediaan data yang digunakan untuk

penghitungan. Perubahan penutupan lahan dihitung berdasarkan

perbedaan cadangan karbonnya. Penutupan lahan tipe hutan lahan

kering, hutan mangrove dan hutan rawa primer diasumsikan sudah

mencapai klimaks, sehingga tidak terjadi penyerapan karbon, meskipun di

lapangan sebenarnya juga masih terjadi dinamika perubahan karbon

(pertumbuhan riap), namun jumlahnya tidak besar.

Page 24: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Gambar 4.1. Perbandingan Metode Stock-Difference dan Gain-Loss (Murdiyarso dkk, 2008)

4.3. Penghitungan Cadangan Karbon (Stock Carbon)

Penghitungan cadangan karbon dilakukan dengan menghitung luas dari

masing-masing tipe penutupan lahan Indonesia pada tahun 2009-2014.

Luas setiap tipe penutupan lahan dikalikan dengan angka cadangan

karbonnya, kemudian dijumlah total cadangan karbon per tahun.

Gambar 4.2. Deskripsi Penghitungan Cadangan Karbon

Cadangan karbon juga dihitung berdasarkan luas penutupan lahan di

setiap fungsi kawasan hutan. Angka cadangan karbon ini dihitung dengan

analisa spasial menggunakan ArcGIS melalui tahapan seperti pada

gambar 4.3.

Page 25: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Gambar 4.3. Diagram Alir Tahapan Penghitungan Cadangan Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan

4.4. Penghitungan Emisi dan Serapan Karbon

Penghitungan emisi dan serapan karbon menggunakan data penutupan

lahan tahun 2009-2014 yang telah ditumpangsusunkan (overlay) per dua

waktu perekaman, yaitu tahun 2009-2011, 2011-2012, 2012-2013, dan

2013-2014. Luas masing-masing penutupan lahan dan perubahannya

disajikan dalam bentuk matriks perubahan penutupan lahan 22 kelas

penutupan lahan, seperti pada tabel 4.1. Angka perubahan penutupan

lahan ini menunjukkan adanya peningkatan atau penurunan cadangan

karbon per hektar.

Page 26: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 27: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Penghitungan serapan karbon diperoleh perkalian antara luas kelas

penutupan lahan yang mengalami perubahan dari penutupan lahan yang

memiliki kandungan karbon per hektar yang rendah menjadi penutupan

lahan yang memiliki kandungan karbon per hektar yang lebih tinggi.

Luas perubahan penutupan lahan tersebut dikalikan dengan selisih

kandungan karbon per hektarnya. Secara singkat penghitungannya dapat

disajikan pada gambar 4.4.

Gambar 4.4. Diagram Penghitungan Serapan Karbon

Emisi karbon dihitung dengan aturan sebagai berikut:

1) Perubahan penutupan lahan berupa hutan menjadi non hutan

seperti belukar, lahan kosong, pertanian lahan kering dan lainnya

dihitung berdasarkan perbedaan cadangan karbonnya. Sebagai

contoh, hutan rawa sekunder menjadi belukar rawa adalah nilai

cadangan karbon hutan rawa sekunder dikurangi nilai cadangan

karbon belukar rawa dengan satuan ton/hektar.

2) Perubahan penutupan lahan non hutan yang memiliki cadangan

karbon lebih tinggi menjadi penutupan lahan yang memiliki

cadangan karbon lebih rendah seperti dari belukar menjadi lahan

kosong dihitung berdasarkan perbedaan cadangan karbonnya.

Misalnya belukar menjadi tanah kosong adalah nilai cadangan

karbon belukar dikurangi nilai cadangan karbon tanah kosong

dengan satuan ton/hektar.

Page 28: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

3) Untuk menghitung total emisinya, emisi per hektar dikalikan dengan

luas perubahan yang terjadi, seperti disajikan pada gambar 4.5.

Gambar 4.5. Diagram Penghitungan Emisi Karbon

Buku ini juga menyajikan angka emisi bersih (nett emission) yang

dihitung berdasarkan selisih emisi karbon dan serapannya dengan

menggunakan matriks perubahan penutupan lahan, seperti disajikan

pada tabel 4.2.

Page 29: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 30: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

4.5. Pembuatan Peta Cadangan Karbon

Peta cadangan karbon tahun 2014 dibuat melalui analisa spasial data

penutupan lahan dengan data cadangan karbon per penutupan lahan per

hektar. Peta ini dibuat dengan menggunakan fasilitas Geoprocessing pada

Software ArcGIS.

Page 31: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

BAB V HASIL PERHITUNGAN

Page 32: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Hasil perhitungan karbon pada buku ini adalah karbon di atas permukaan tanah

yang meliputi cadangan karbon, emisi dan serapan karbon untuk skala nasional

dan sub nasional (7 pulau besar). Hasil penghitungan disajikan dalam bentuk

tabel, grafik dan peta kandungan karbon. Pada bab V ini juga akan dibahas

tentang ketidakpastian (uncertainty) pada hasil perhitungannya.

5.1. Cadangan Karbon

Cadangan karbon yang dihitung dalam buku ini adalah dalam skala

nasional dan sub nasional (7 pulau besar) dengan menggunakan faktor

emisi nasional dan sub nasional.

Gambar 5.1. Grafik Cadangan Karbon Indonesia Tahun 2009-2014

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 5.2. Grafik Perbandingan Cadangan Karbon 7 Pulau Besar Tahun 2009-

2014

Page 33: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Grafik cadangan karbon pada gambar 5.1 menunjukkan perubahan

cadangan karbon skala nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun

2014. Angka cadangan karbon ini dihitung dengan faktor emisi (cadangan

karbon per penutupan lahan) skala nasional. Gambar 5.2

menggambarkan perbandingan cadangan karbon pada 7 pulau besar

tahun 2009-2014 yang dihitung dengan menggunakan faktor emisi sub

nasional. Meskipun kedua gambar ini menunjukkan cadangan karbon

nasional, namun pola grafik perubahan cadangan karbon tahun 2009-

2014 berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan rata-rata cadangan

karbon per penutupan lahan yang digunakan untuk penghitungan,

khususnya untuk kelas berhutan pada skala nasional dan sub nasional.

Angka cadangan karbon untuk kelas berhutan pada skala nasional dan

sub nasional mempunyai rentang yang cukup panjang, sehingga dengan

luas penutupan lahan kelas hutan yang dominan seperti ditunjukkan pada

tabel 5.1., akan sangat berpengaruh terhadap perbedaan cadangan

karbon yang dihitung dengan angka faktor emisi yang berbeda.

Tabel 5.1. Luas Penutupan Lahan Tahun 2009-2014

Sumber : Hasil Penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI Tahun 2009-2014

Page 34: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 35: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Gambar 5.3. menunjukkan cadangan karbon tertinggi terdapat pada tipe

penutupan lahan hutan lahan kering primer, yang diikuti dengan tipe

hutan lahan kering sekunder. Cadangan karbon pada periode tahun 2009-

2014 untuk tipe hutan lahan kering tersebut semakin menurun, seiring

dengan luas areanya yang juga berkurang, akibat deforestasi dan

degradasi hutan. Untuk tipe penutupan lahan non hutan yang mempunyai

cadangan karbon semakin meningkat dari tahun 2009-2014 adalah

perkebunan, semak belukar, dan pertanian lahan kering campur.

5.2. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Nasional

Penurunan angka cadangan karbon di tingkat nasional berhubungan

dengan perubahan angka emisi tahun 2009-2014. Gambar 5.4

menunjukkan hubungan yang berbanding lurus antara emisi karbon

dengan laju deforestasi dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.

Dalam arti angka emisi karbon akan naik, jika angka deforestasi juga

naik.

Gambar 5.4. Grafik Perbandingan Emisi Karbon dan Laju Deforestasi Tahun

2009-2014

Page 36: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2012-2013

angka emisi karbon sangat dipengaruhi oleh proses deforestasi

(perubahan tipe penutupan lahan berhutan menjadi non hutan). Untuk

emisi pada periode tahun 2009-2011 dan 2001-2012, deforestasi masih

berpengaruh terhadap kenaikan angka emisi. Namun pada periode tahun

2013-2014, selain deforestasi dan degradasi hutan, angka emisi karbon

juga dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan non hutan dengan

cadangan karbon tinggi menjadi penutupan lahan non hutan lainnya yang

mempunyai cadangan karbon lebih rendah.

Gambar 5.5. Grafik Perbandingan Emisi dan Serapan Karbon Tahun 2009-2014

Kecendurangan laju emisi karbon periode tahun 2009-2014 sebanding

dengan laju serapan karbonnya, seperti ditunjukkan pada gambar 5.4.

Emisi karbon yang cukup tinggi pada periode tahun 2012-2013

disebabkan oleh deforestasi yang merupakan perubahan dari penutupan

lahan tipe hutan lahan kering sekunder menjadi semak belukar,

perkebunan dan pertanian lahan kering campur, yang mencapai 50%

lebih. Untuk serapan karbon lebih banyak dihasilkan dari perubahan tipe

penutupan lahan dengan kandungan karbon rendah menjadi tipe

penutupan lahan lain yang mempunyai kandungan karbon tinggi, seperti

Page 37: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

lahan terbuka menjadi perkebunan, semak belukar, dan pertanian lahan

kering campur. Ketiga tipe penutupan lahan tersebut mempunyai

cadangan karbon yang cukup tinggi.

Pada periode tahun 2012-2013 ini, reforestasi juga menghasilkan serapan

karbon yang cukup tinggi. Reforestasi terjadi dari lahan terbuka menjadi

hutan tanaman dan semak belukar.

5.3. Emisi dan Serapan Karbon Pada Skala Sub Nasional

Laju emisi dan serapan karbon tahun 2009-2014 di tingkat sub nasional

(7 pulau besar) sangat bervariasi, seperti yang ditunjukkan pada gambar

5.5 sampai dengan gambar 5.11. Secara umum emisi karbon di semua

pulau selalu lebih tinggi dibandingkan serapan karbonnya pada periode

tahun 2009-2014, kecuali periode tahun 2013-2014 di Pulau Kalimantan,

tahun 2011-2012 di Pulau Bali-Nusa Tenggara, dan tahun 2012-2013 di

Pulau Maluku.

Perbandingan antara angka serapan dan emisi karbon yang cukup

signifikan pada tahun 2012-2013 di Pulau Maluku disebabkan oleh

serapan karbon yang cukup tinggi dari perubahan tipe penutupan lahan

pertanian lahan kering menjadi pertanian lahan kering campur. Serapan

karbon dari perubahan penutupan lahan ini sebesar ±70% dari total

serapan karbon yang terjadi pada periode tahun tersebut.

Angka serapan karbon yang lebih besar dibandingkan emisi di Pulau

Kalimantan tahun 2013-2014 disebabkan oleh serapan yang cukup tinggi

dari perubahan penutupan lahan lahan terbuka dan semak belukar

menjadi perkebunan. Untuk angka serapan yang tinggi di Pulau Bali-Nusa

Tenggara pada periode tahun 2011-2012 disebabkan oleh reforestasi dari

tipe penutupan lahan semak belukar menjadi tipe hutan lahan kering

Page 38: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

sekunder dan perubahan penutupan lahan dari savanna (rumput)

menjadi semak belukar.

Gambar 5.6. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Sumatera

Tahun 2009-2014

Gambar 5.7. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Kalimantan

Tahun 2009-2014

Gambar 5.8. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Jawa Tahun

2009-2014

Gambar 5.9. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Bali-Nusa

Tenggara Tahun 2009-2014

Gambar 5.10. Grafik Perbandingan Emisi

Page 39: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

dan Serapan Karbon Pulau Sulawesi Tahun

2009-2014

Gambar 5.11. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Maluku Tahun

2009-2014

Gambar 5.12. Grafik Perbandingan Emisi

dan Serapan Karbon Pulau Papua Tahun

2009-2014

Keterangan:

5.4. Cadangan Karbon Berdasarkan Fungsi Kawasan Hutan

Pada buku ini juga dihitung cadangan karbon berdasarkan tipe penutupan

lahan di setiap fungsi kawasan hutan. Penghitungan cadangan karbon

hanya dilakukan pada penutupan lahan tahun 2014, dengan

pertimbangan data spasial kawasan hutan yang digunakan adalah data

tahun 2015, sedangkan setiap tahun ada perubahan (update) data

kawasan hutan di beberapa area.

Gambar 5.12 menunjukkan cadangan karbon tahun 2014 di setiap fungsi

kawasan hutan, yang dibedakan atas Areal Penggunaan Lain (APL),

Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP),

Tahura, dan Tubuh Air. Pada grafik tersebut dapat dilihat, bahwa hutan

Page 40: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

produksi mempunyai cadangan karbon tertinggi yang diikuti cadangan

karbon di hutan lindung dan APL. Seperti diterangkan sebelumnya, angka

cadangan karbon ditentukan oleh luas tipe penutupan lahan dan angka

cadangan karbonnya.

Gambar 5.13. Grafik Cadangan Karbon Per Fungsi Kawasan Hutan Tahun 2014

Berdasarkan tabel matriks fungsi kawasan dengan data penutupan lahan,

kawasan hutan produksi didominasi dengan tipe penutupan lahan hutan

primer, hutan sekunder dan hutan tanaman. Di samping itu, tipe

penutupan lahan perkebunan dan semak belukar sebagian besar berada

di kawasan hutan produksi. Angka cadangan karbon kedua tipe

penutupan lahan tersebut juga cukup tinggi, sehingga memberikan angka

cadangan karbon pada kawasan hutan produksi sangat tinggi. Kawasan

hutan produksi ini meliputi hutan produksi, hutan produksi terbatas,

hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan cadangan, dan hutan

pangonan.

Page 41: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 42: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Tipe penutupan lahan hutan lahan kering primer terluas berada di

kawasan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan angka cadangan karbon

di kawasan hutan lindung cukup tinggi, ditambah dengan luas hutan

lahan kering sekunder yang cukup luas.

Angka cadangan karbon di kawasan APL cukup tinggi dikarenakan

dominasi area pertanian lahan kering campur dan perkebunan yang

cukup luas. Cadangan karbon dari hutan lahan kering sekunder di

kawasan APL juga sangat besar. Data hasil penghitungan angka

cadangan karbon di setiap fungsi kawasan hutan berdasarkan data

penutupan lahannya secara detail disajikan pada tabel 5.2.

Data cadangan karbon berdasarkan data penutupan lahan per hektar

tahun 2014 juga disajikan dalam bentuk peta cadangan karbon skala

nasional dan sub nasional (Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau

Jawa, Pulau Bali-Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan

Pulau Papua). Peta cadangan karbon disajikan pada gambar berikut.

Page 43: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 44: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 45: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 46: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 47: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 48: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 49: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 50: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf
Page 51: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

5.5. Ketidakpastian (Uncertainty)

Estimasi uncertainty (ketidakpastian/tingkat kesalahan) merupakan

komponen penting dalam inventarisasi GRK yang terkait dengan akurasi

dan presisi estimasi. Uncertainty dapat terjadi pada estimasi tren dan

tingkat nasional seperti komponen faktor emisi, data aktivitas dan

parameter lainnya. Uncertainty tergantung pada dasar pengetahuan

analis dalam melaksanakan proses penghitungan, seperti kualitas dan

kuantitas data yang tersedia dan pengetahuan tentang prosesnya.

Identifikasi tentang sumber dan besarnya uncertainty dapat membantu

memahami pengaruh setiap parameter pada akurasi dan presisi dalam

estimasi REDD+ dan memprioritaskannya untuk perkembangan ke

depannya. Metode yang tepat dalam menangani uncertainty merupakan

hal yang mendasar dalam konteks IPCC dan UNFCCC.

Beberapa sumber uncertainty pada penghitungan cadangan karbon, emisi

dan serapan karbon pada buku ini diantaranya adalah :

1. Pada data penutupan lahan yang digunakan masih terdapat kelas

awan di tahun 2009 dan 2011. Hal ini disebabkan terbatasnya data

citra Landsat pada lokasi yang berawan, khususnya pada wilayah

yang mempunyai awan abadi seperti di Papua. Dalam kegiatan

inventarisasi GRK, obyek awan tidak dapat diperhitungkan nilai

cadangan karbonnya, karena obyek penutupan lahannya tidak

diketahui. Nilai cadangan karbon untuk kelas awan adalah nol,

sehingga tidak ada nilai cadangan karbonnya.

2. Data dasar (base) yang digunakan pada data penutupan lahan dan

data kawasan hutan berbeda, sehingga ada pergeseran obyek ketika

dilakukan proses analisa data. Hal ini berpengaruh pada luas data

penutupan lahan dan angka karbon yang dihasilkan, misalnya banyak

Page 52: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

area penutupan lahan tipe hutan lahan kering primer yang berada di

kawasan hutan lindung bertampalan dengan tubuh air.

3. Masih ada perubahan penutupan lahan yang tidak logis pada data

penutupan lahan yang digunakan pada kegiatan penghitungan ini,

misalnya kelas lahan terbuka menjadi hutan lahan kering primer.

4. Faktor emisi yang digunakan untuk penghitungan pada data

penutupan lahan berhutan skala nasional dan sub nasional berbeda.

Rentang angka faktor emisi yang cukup besar antara data nasional

dan sub nasional akan berpengaruh besar terhadap hasil

penghitungan cadangan, emisi, dan serapan karbon.

5. Metode penghitungan yang digunakan merupakan metode umum,

yaitu perkalian antara data aktivitas (data penutupan lahan) dan

faktor emisi/faktor serapan (data cadangan karbon untuk 23 tipe

penutupan lahan) tanpa membedakan tanah mineral dengan tanah

gambut. Metode ini juga tidak memperhitungkan data aktivitas

lainnya, seperti data kebakaran, pertumbuhan riap tanaman,

dekomposisi gambut, iklim, intensitas gangguan hutan dan lain-lain.

Dari beberapa sumber penyebab uncertainty di atas, secara umum

uncertainty dapat dikurangi dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas dan kesesuaian data satelit yang digunakan

untuk menghasilkan data penutupan lahan, yang meliputi resolusi

spasial, resolusi spektral dan resolusi temporal. Di samping itu, perlu

metode yang jelas untuk pemrosesan awal, prosedur interpretasi

data penginderaan jauh, pemrosesan akhir (post-processing) dalam

pembuatan peta, dan ketersediaan data acuan (reference data)

misalnya data lapangan untuk meningkatkan akurasi data penutupan

lahan.

Page 53: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

2. Penggunaan data dasar (base) yang sama untuk berbagai peta,

sehingga tidak ada pergeseran data pada hasil analisis berbagai peta.

3. Perlu peningkatan kualitas dan kuantitas data dan metode

inventarisasi hutan untuk menghasilkan angka faktor emisi yang lebih

akurat untuk berbagai kelas penutupan lahan.

4. Dalam penghitungan angka cadangan karbon serta emisi dan

serapan karbon, perlu mempertimbangkan data aktivitas lainnya,

seperti data kebakaran, jenis tanah, iklim, pertumbuhan riap

tanaman, intensitas gangguan hutan dan lain-lain.

Page 54: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2014). Buku I:

Landasan Ilmiah Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan

Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan. Jakarta

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan. (2014). Potensi

Sumber Daya Hutan Dari Plot Inventarisasi Hutan Nasional. Direktorat

Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Jakarta.

Fittkau, E.J. and Klinge, N.H. (1973). On biomass and trophic structure of the

central Amazonian rainforest ecosystem. Biotropica 5: 2-14

Food And Agriculture Organization Of The United Nations. The Digital Soil Map

Of The World, Version 3.6, Completed January 2003

IPCC (1997). Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse

Inventories. Houghton J.T., Meira Filho L.G., Lim B., Tréanton K., Mamaty I.,

Bonduki Y., Griggs D.J. Callander B.A. (Eds). Intergovernmental Panel on

Climate Change (IPCC), IPCC/OECD/IEA, Paris, France.

IPCC. (2006), 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories,

Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme,

Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds).

Published: IGES, Japan.

IPCC. (2007), IPCC Fourth Assessment Report Climate Change 2007, Pachauri,

R.K and Reisinger, A (eds). Published: Geneva, Swiss.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2010). Indonesia’s Second National

Communication. Jakarta.

Machfudh. (2012), Istilah-Istilah dalam REDD+ dan Perubahan Iklim,

Kemenhut RI, UN-REDD, FAO, UNDP, UNEP, Jakarta

Page 55: Buku Pemantauan Emisi dan Serapan Karbon_2015_Tosiani.pdf

Ministry of Environment. (2009). Summary for Policy Makers: Indonesian

Second Communication Under The United Nations Framework Convention on

Climate Change (UNFCCC). Jakarta : Ministry of Environment, Republic of

Indonesia.

Mokany, K., Raison, J.R. and Prokushkin, A.S. (2006). Critical analysis of

root:shoot ratios in terrestrial biomes. Global Change Biology 12: 84-96.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. (2014).

Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di

Indonesia Seri 2. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor.

Van Noordwijk, M. Cadisch, G., Ong, C.K., (2004), Below Ground Biomass

Interaction in Tropical Agro Ecosystem Concept and Model with Multiple

Plant Component. The World Agroforestry Center. Nairobi.

Watson, C. (2009). Forest Carbon Accounting: Overview and Principles. CDM

Capacity Development in Eastern and South Africa. UNDP. UNEP. UNEP

Risoe Centre.