22
BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN BUDAYA HUKUM Mum P. Hutagalung' Abslrak This arlicie dues explore on Ihe cillture aspecls Ihm given Iheirs impacI I() [he law enjo rc emenl in Indonesia. lV/any problems in law enforcement on ,he allthor elaboretlian said on the many aspecis Ihat rooled on cllllUral spheres. And b\' Ihe anrhropology approaches Ihe author try /0 givinz many analysis hv .,hame ellllUr e. guilt ellllllr e, and legal culture itse lf The (/lahar also givi ng propos ition thar s ocio -cullural values are no/ uninhibited from allilude, mindser. and cllltlire aspecis that driving and oughl 10 exiSI il1 developing eOllnliy 81i disregarded lowards Ihose aspeels wOllld at fecI on Ihe fall shari o(physieal developmenr aims, The (/lahar reminds UII Ihe l11an ." de l'e loping ('oUniries jail '.I by abolished cultural aspecis which revealed un sp!!ndthnfiing's and co rruption practices Killa kUllc i: illllll hukllm dasar, bllda)'a malu, hudaya salah. budaw hllkl!m I. Pcngantar Cara berpikir. pandangan hidup, dan sit al karakt er suatu bangsa tercermin da lalll kebudayaan dan hukulllnya, Cara berpikir orang Barar digalll barkan sebagai abstrak. analilis, siste matis, sedangkan cara berpikir orang Ind ones ia adalah konkret dan riil, I Pandangan hidup orang Barat seringkali digambarkan sebagai ind ividualistis, liberal dan mererialistis. sedangka n ba ngsa kita lebih mengutamakan kepentingan hubungan besar dan hidup dala m alam yang diliputi suaS31la magis- merhllPY5;is.'J. atau ·'magis-religill s, ". 3 Suatu contoh - Pcngajar Tidal... Tl.;'tap pacla Bidang Stud i Hukum Tata fH UL GL"lar I L ihat Prof. R. Subckti S.I I. dalam "Perbanding;;m HukU11l Padata·'. (Jabna: Pr adn:il Par::II11ila. 1( 7 6 ). hal. 3. I hirl. i Istilah /II,I.!! is ,d(t:ills. hcrhubllllgan pandangan hidup alam Ind nl1c:-ia :- ang hi nsa n: a dikai lkan dellgan purrit'ipt'rl!.'uI C()slIIisch. Lihat So.:h:anto

BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN BUDAYA HUKUM

Mum P. Hutagalung'

Abslrak

This arlicie dues explore on Ihe cillture aspecls Ihm given Iheirs impacI I()

[he law enjorcemenl in Indonesia. lV/any problems in law enforcement on ,he allthor elaboretlian said on the many aspecis Ihat rooled on cllllUral spheres. And b\' Ihe anrhropology approaches Ihe author try /0 givinz many analysis hv .,hame ellllUre. guilt ellllllre, and legal culture itself The (/lahar also giving p roposition thar socio-cullural values are no/ uninhibited from allilude, mindser. and cllltlire aspecis that driving and oughl 10 exiSI il1 developing eOllnliy 81i disregarded lowards Ihose aspeels wOllld at fecI on Ihe fall shari o(physieal developmenr aims, The (/lahar reminds UII Ihe l11an." de l'eloping ('oUniries jail '.I by abolished cultural aspecis which revealed un sp!!ndthnfiing's and corruption practices

Killa kUllci: illllll hukllm dasar, bllda)'a malu, hudaya salah. budaw hllkl!m

I. Pcngantar

Ca ra berpikir. pandangan hidup, dan s ital karakter suatu bangsa te rcermin dalalll kebudayaan dan hukulllnya, Cara berpikir orang Barar digalll barkan se bagai abstrak. analilis, sistemat is, sedangkan cara berpikir orang Indones ia adalah konkret dan riil, I

Pandangan hidup orang Barat seringkali digambarkan se bagai ind ividuali stis, liberal dan mererialistis. sedangkan bangsa kita lebih mengutamakan kepentingan hubungan besar dan hidup dalam alam yang diliputi suaS31la magis-merhllPY5;is.'J. atau ·'magis-religills,". 3 Suatu contoh

- Pcngajar Tidal... Tl.;'tap pacla Bidang Stud i Hukum Tata N~gara fH UL GL"lar ~1. H LJm.

I L ihat Prof. R. Subckti S.I I. dalam "Perbanding;;m HukU11l Padata·'. (Jabna: Pradn:il Par::II11ila. 1(76 ). hal. 3.

~ Sub~kli. Ihirl.

i Istilah /II,I.!! is ,d(t:ills. hcrhubllllgan d~ngan pandangan hidup alam Indnl1c:-ia :- ang hinsan: a dikai lkan dellgan pel1g~nl,-1I1 purrit'ipt'rl!.'uI C()slIIisch . Lihat So~r.iorlll So.:h:anto

Page 2: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

360 Budaya Malu, Budaya Salah. dan Blldava Hllkllnl. HUlagah"'g

ya ng sangat relevan dengan sifat s llatll bangsa dapat kita lihat dalam ketentuan tentang no ad weer atau "bela diri" dalam KUH P (Kitab Undang­Undang Hukum Pidana),

Pasal 49 ayat (I) KUHP berbllnyi : "Barang s iapa te rpaksa me lakukan perbuatan 1I1ltuk pembelaall, karena ada serangan ketika illl yang melu''' an hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain : terhadap kehormatan kes usilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupul1 orang lain, tidak dipidana.' ,4 Hal yang mendapat fokus perhatian dari ketentuan pasa l 49 ayat ( I) KUHP ini adalah pernyataan yang menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum, apabi la ia me lakukan suatu tindak pidana karena terpa ksa untuk membela diri tehadap suatu serangan ya ng secara langs ling mengancam j iwallya atau orang lain . Ini berani , bahwa apab ila orang yang diserang itu masih Illungkin lari dari serangan tese but. maka undang un dang menghendaki supaya ia lari saj a, Berlainan dengan Pasal Undang Und ang Hukum Pidana Jerman, yang membebaskan seseorang dari tuntutan hukum apabila ia me mbe la diri terh adap suatu serangan , baik illl terpaksa ata u tidak terpaksa,

Dari sejarah perundang-undangan diketahui bahwa KUHP Indones ia ada lah warisan dari Werboek van SrrClfi'echr voor Nederlandsch-lndie yang dibuat o leh Pemerintah Ko loni a l Belanda,' Dilihat dari perspektif budaya maka budaya Belanda ulllumnya mencerminkan s ifat dualisme budaya. Disatu sisi , rakyat Belanda bers ifat burgerlijk dalam arti meny uka i pola kehidupan sede rhana dan tenteram, akan tetapi di s is i lain_ rakyat Belanda j uga mewari s i s ifat militer atau " budaya keperwiraan" ra kyat Jerman yang se bagai bangsa yang pernah menj ajah Belanda,

Hal ikh wal yang hendak di kemukakan dengan des kripsi dialas adalah adanya relasi antara budaya dan hukum oleh karena huk um adalah sa lah satu linsur universal dari setiap kebudayaan_ Fenomena in i yang menyebabkan pendekatan budaya terhadap hukum bukan lagi sualll ha l yang baru teruta ma setelah munculnya tokoh-tokoh Alllropologi Hukum yang juga banyak

"Beherapa Permasalahan Hukum Dalam Kerallgka Pembangunan di Indonesia", (Jakarta: Yayasan Pene-fbi t Universi tas Indones ia. 1976). hal. 83.

4 Lihat. Prof. Moeljatno. S.H .. "A'itab Undong Undang I-JukulJI Pidano ", (Jab.rta: l3um i Aksara. 1003). hal. 23 .

"Sl.;jak hcrlakunya UU No. 73 Tahun 1955 yang menl!lltu kan bl!rlakunya Ul i No . I Tahun 1946 tcntallg Peraturan Hukum Pidana dcngan pl.:fubahan dan tamhallllll until\-: ~(,: I11rlJh

Indonesia. maka Hukum Pidana Materij] yang terscbu\ dalam pcrllndan£ -LJnda n~an rm:njadi ser~gam bum seluruh tanah Air. Menurut pasal lV UU No. I Tah un 1946 nama rcsm in)<I dar! "Wct bock vall Strafrccht \loor Nederlandsch- Indie", diu hah menjadi "\Vdboc:k v:m Strafr~ch'" yang juga discbut ""Kitah Undang Undang Hukum Pidana (Kl Jl IP ,." masih tCWp be'rlaku di sduruh llL1santara"

Page 3: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

JI/rna! Hukum dan Pembangllnan Tahun ke-37 NO.3 Juli-September 2007 36!

berasal dari kalangan Ahli hukum seperti: J. J. Bachoven (1815-1887) yaitu seorang ahli hukum yang telah banyak menyelidiki sistem hukum dari bangsa-bangsa Yunani dan Romawi klasik6 Juga seorang tokoh Antropologi bernama Lewis H. Morgan (1818-1881) yang menyelidiki kebudayaan suku­suku bangsa Indian pad a mulanya adalah seorang ahli hukum tetapi kemudian ternama sebagai ahli Antropologi.

Pada pertengahan abad ke-19 sudah mulai muncul para sarjana yang berupaya untuk meneliti dasar-dasar dari Hukum Eropa. Caranya adalah dengan membandingkan sistem hukum Eropa dengan sistem hukum masyarakat sederhana diluar Eropa. Pada masa itu timbul anggapan­anggapan, bahwa sistem hukum Eropa merupakan suatu sistem hukum yang sempurna dan yang telah mencapai tingkat tertinggi, apabila dibandingkan dengan sistem hukum masyarakat sederhana yang baru dianggap tahap awal perkembangannya.

Hasil dari penelitian tersebut, yang berisikan teo ri- teori tertua Antropologi, merupakan deskripsi perkembangan hukum maupun kebudayaan normal manusia, Penelitian-penelitian sejenis berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri yang dikenal sebagai enthnologische jlirispruden~; tokoh-tokohnya antara lain: A,H.Post, HJ. Summer Maine, J.F.Mc Lennan, U.Bachoven dan lain-lain yang kebanyakan mempunyai latar belakang pendidikan dibidang hukum,

Pada abad ke-20 sudah ban yak ahli-ahli yang ternama dibidang ini antara lain Malinowsk i, Leopold Pospisil, E.A.Hoebel, V.F. Ayoub, P.Bobannan, Karl N. Llewellyn dan seterusnya, Dalam perkembangannya sekarang ini tidak hanya Antropolog yang berminat terhadap studi tentang budaya dan hukum tetapi juga para sosioloog hukum, psikolog hukum dan juga dari ahli-ahli Filsafat yang berkaitan dengan pandangan hidup, dan cara berpikir manusia dalam memahami hukum sebagai gejala kebudayaan.

II. Konsepsi Kebudayaan

Pertanyaan yang relevan diajukan untuk uraian konsepsi ini adalah apa yang anda maksudkan dengan kebudayaan? Adalah hal yang tidak mudah membuat delinisi kebudayaan 7 Sebab sebuah definisi seringkali disusun yang akhirnya dilihat dari segi logika dan metode malahan menjadi suatu

I:l Lihat Prof. Dr. Koentjaraningrar. "Tokoh-Tokoh Antropologi", (Jakarta: P~nerbitan Univers itas. 1964). hal. , I-IJ.

7 Lihat J.W.M. Baker S.1 .. ··Filsafat Kebudayaan Suatu Penganrar· .. (Yogyakarta: Kanisius - BPK. 1984).

Page 4: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

362 8udaya Malu, 8udaya Salah, dan 8udaya Hukum, Hutagalzmg

fUlllusan yang bersifat fatal dan buruk.8 dan umumnya masing-masing sarj ana memberikan definisi yang berbeda beda sesuai parad igma ataupun perspektif digunakannya.

Akan tetapi untuk memulai suatu ana l isis defini s i tetap diperlukan agar tidak terperangkap dalam konsepsi yang melukiskan kebudayaan secara global karena setiap orang yang berbicara mengenai apapun kecuali aktivitas naluriah adalah atas nama kebudayaan itu sendiri. A,L. Kroeber dan C. Kluckhohn9 bahkan sudah mengemukakan tak kurang dari 160 rumusan ilmiah tentang kebudayaan atau definisi kebudayaan akan tetapi akhirnya kemudian mereka menyatakan:

"The essential core of cullure cons isIs of traditional (i,e, historically derived and selected) ideas, and especially their attached values: culture systems may, on the other hand. be considered as product of action ",

Sementara itu menurut kesimpulan sebagian ahli. banyaknya defin is i tentang kebudayaan yang diangkat dari berbagai disiplin ilmu oleh kedua ahli diatas bersumber kepada buah pikiran E, B, Tylor yang berpendapat bahwa Y'

"Culrure or civili~ation in the complex include knowledge, belief art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by men as a member of society ",

Koentjananingrat secara terpilih berpendapat bah wa kebudayaan itu mempunyai paling sedik it tiga wujud sebagai berikut: II

I, Wujud kebudayaan sebagai kumpulan ide-ide. gagasan. nilai-ni lai. norma-florma, peraturan dan sebaga inya.

2, Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas ke lakuan budaya dari manusia dalam masyarakat.

' .I.W.M. Baker. Ibid. , hal. 28.

q A .L. Kroeber & C. Kluckhohn. "Culture. A Cr itical Rh'iell' of COl/cepts and D(~/i!l1ition" . da lam D. Mitchel (ed. ). '"A Dictionary of Sociology", (London - Henley: RouctJedgc & Keagen Paul. ]977).

lj i E.13 . Tylor . . , Primitive Culture", (London : John Murray. second edit ion I R73 ).

vo l. I. hal. I. liharjuga PRISMA II. 1981.

II Kocntjaraningrm, "Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan". (Jakarta: Gramodia. 1974). hal. 15,

Page 5: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

./urnai Hukum dan Pembangrman Tahun ke-37 No.3 '/uli-September 2007 363

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Namun demikian, apapun wujudnya akan tetap sulit untuk menyangkal apabila dikatakan kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab didalam kehidupan sehari­hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Kebudayaan tersebut mencakup kesemuanya yang didapatkan dan dipelajari oleh manusia sebagai warga masyarakat dad lingkungan alam dan masyarakat ilu sendiri. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu dari pola-pola peri kelakuan yang normatif, yang mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.

Seseorang yang meneliti kebudayaan tertentu, akan tertarik oleh objek­objek kebudayaan seperti misalnya, rumah-rumah, sandang, pangan, jembatan, alat-alat komunikasi, cara-cara bercocok tanam, sistem kemasyarakaran , bahasa, kesucian, religi dan lain sebagainya.

Seorang sosiolog misalnya mau tidak mau harus menaruh perhatian terhadap pola-pola peri kelakuan, yaitu kelakuan-kelakuan yang timbul sebagai akibat dari pada adanya inter aksi sosial yang dinamis. 12 Selo Sumardjan dan Sulaiman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasi l dari karya, rasa, dan cipta masyarakat1 3

Has il dari karya masyarakat menghasilkan teknologi dan "kebudayaan kebendaan" atau "kebudayaan materiil" yang diperlukan oleh manusia untuk memanfaatkan alam sekitarnya, agar kekuatan atau hasilnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat.

Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah serta nilai-nilai sos ial dan budaya yang diperlukan untuk mengatur masalah­masa lah kemasyarakatan dalam arti luas, Didalam rasa termasuk semua unsur-unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai warga masyarakat. Selanjutnya cipta, merupakan kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan baik yang tersusun dalam teori-teori murni maupun yang telah disusun untuk tujuan praktis untuk langsung diamalkan dalm kehidupan bermasyarakat.

Hasil rasa dan cipta dinamakan pula "Kebudayaan rohaniah" atau "kebudayaan immateriil", Akan tetapi semua hasil karya rasa dan cipta

12 Robert L. Sutherland. el. al. "Intraducta/}' Sociology', (Chicago. Philadelphia. Nev,' York: 1.B . Lippincott Company. 1961) Sixth. edition. hal. 30-31.

13 Selo So~mardjan dan Soelaiman Sot:mardi (eds), eel. I. "Setangkai Bunga Sosio logi", (Jakarta: Badan Penerbil FE UI. 1964)" hal. 113,

Page 6: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

364 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum , HUlagalzmg

dikuasai oleh niat dan keinginan dari orang-orang yang menentukannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian terbesar atau seluruh masyarakat.

Dari uraian-uraian tersebut dapat difahami bahwa kebudayaan pada hakekatnya dan unsur "rasa" khususnya akan menghasilkan kaidah-kaidah dalam masyarakat yang merupakan struktur normatif at au meminjam istilah Ralph Linton sebagai "design for living ,,14 Artinya kebudayaan merupakan sesuatu "blueprint of behavior"" yang memberikan pedoman-pedoman apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang dilakukan. Hal ini berarti kebudayaan mencakup sistem dan tujuan-tujuan serta nilai-nilai. Uraian ini memberikan gambaran jelas tentang relasi antara kebudayaan dan hukum karena hukum tidak terlepas dari soal-soal nilai-nilai , norma-norma peri kelakuan man usia.

Mengaitkan konsepsi kebudayaall dengan cara "penyempitan" alau "pengkapl ingall" adalah perlu dan wajar daripada membicarakan kebudayaan secara global dan acak yang pad a nya akan lebih memungkinkan munculnya kekaburall-kekaburan tertentu. Ignas Kleden "membahas konsep kebudayaan malahan menu rut kelompok pemakainya, yaitu :(1) eksekutif atau pemerintah atau politisi. (2) ilmuwan sosial dan (3) budayawan atau sen iman. Pengertian kebudayaan bagi kelompok pertama adalah warisan budaya" sebagai "issue­sentral", kelompok kedua lebih cenderung kepada "kehidupan budaya dan perubahan", sedangkan kelompok ketiga lebih asyik dengan pokok "daya cipta kebudayaan.16

Dalam uraian lebih lanjut penulis lebih cenderung kepada pengertian "kehidupan budaya dan perubahan". Pendekatan budaya dalam arti ini mencakup persepsi tentang dunia, kesadaran, kerja, dan teknologi. Persepsi tentang dunia termuat dalam pandangan hidup yang berinteraks i dengan cara hidup yang berpengaruh pada tingkah laku manusia.

A, Budaya Malu (Shame Culture)

Suatu persoalan mendasar yang membelenggu negeri kita adalah korupsi sebagai gejala sosial sudah membudaya. Oleh karena sudah membudaya upaya-upaya apapun yang dilakukan Pemerintah dan

14 Ralph Linton. "A Study of Man", (New York: Appleton Century Crafts Inc. 1936). hal. 397.

I" Robin M. William Jr .. "American Society. A Socia/ogiea/lnterpretation", {Nl!w York: Alfred A. Knopt. second edition, Revised, I 967}, hal. 13.

1b Lihat. Ignas KJedcn. "Kebudayaan: Agenda Suat Daya Cipta·'. Prisma No. I X/I" ( 1985). hal. 73-88.

Page 7: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

JI/rna! Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 365

lembaga-Iembaga yang terkait untuk pemberantasan korupsi dalam waktu singkat su lit untuk dapat membayangkan dapat berhasil dalam waktu singkat karena persoalannya sudah menjadi persoalan budaya dan tidak lagi sekedar persoalan hukum atau penegakan hukum semata-mata, oleh karena dengan hanya menggunakan pendekatan juridis normatif atau juridis dogmatis belaka masalah korupsi ini tidak kunjung usai diurai secara tuntas.

Hari demi hari, waktu ke waktu masalah korupsi ini hanya terus l11enjadi sekedar wacana bahkan menjadi komoditas politik dari setiap rezim yang berkuasa di negeri ini. Disatu sisi, perilaku korupsi seolah­olah dibenci hanya pada saat diperbincangkan dalam berbagai kajian ilmiah, dibicarakan dalam sidang-sidang kabinet, diseminarkan digedung-gedung me wah dengan pendekatan multi perspektif dan multi parad igma ilmu-ilmu sosial bahkan tidak luput dari pembicaraan kha layak akar rumput di tingkat kaki lima.

Disisi lain, usai dari itu kita seolah-olah mengangap korupsi menjadi sesuatu yang wajar. Karena publik sudah terbiasa setiap hari disuguhi berita, dan tayangan koruptor di berbagai media massa dan media elektronik. Menerima perilaku korupsi sebagai hal yang wajar merupakan bukti bahwa budaya publik sudah tidilk lagi sehat dalam memandang persoalan korupsi, Bahkan sudah dipandang sebagai simbol dari otoritas berkuasa karena hanya orang yang dianggap berkuasa atau pejabat publik yang mampu melakukan korupsi, sehingga libido kekuasaan dipompa secara maksimal dengan cara-cara yang korup pula seperti "money politics" suap, nepotisme, manipulasi, menghalalkan segal a cara dan lain sebagainya untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan yang sejatinya "amanah" pun dimanipulasi untuk sekedar digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu bukan kekuasaan yang menolong, mencerahkan dan membebaskan masyarakat dari segala macam ketertindasan sosia!.

Sosiolog Syed Husen Alatas membuat rincian faktor-faktor yang l11enyebabkan timbulnya, korupsi, sebagai berikut: 17

I . Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam POSISI-POSISI

kunci yang mampu menberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku dengan cara menjinakkan korupsi; sebagaimana dinyatakan dalam peribahasa Cina dan Jepang: "Dengan berhembusnya angin melengkunglah buluh".

17 Syed Husen Alatas, "Sosioiogi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Konlempore r". (Jakarta: LP3ES, 1981), hal. 46-47.

Page 8: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

366 Budaya Malu. Budaya Salah. dan Budaya Hukum. Hutagalung

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran dan elika. 3. Kolonialisme, karena sualu Pemerintahan asing tidaklah

menggugah keseliaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurangnya pendidikan. 5. Kemiskinan 6. Tiadanya sanksi hukuman yang keras. 7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. 8. Struktur pemerintahan yang kurang mendukung pemberantasan

korupsi. 9. Perubahan radikal, yang terjadi tatkala sislem nilai mengalami

perubahan radikal korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

10. korupsi dalam suatu birokrasi dapat merupakan cerminan dari keadaan masyarakat keseluruhan.

Kesepuluh faktor penyebab yang memungkinkan munculya korupsi tesebut dapat disederhanakan kedalam empat faktor yaitu: (I) faktor pribadi, (2) faktor lingkungan. (3) faktor agama, dan (4) faktor kebudayaan. Mana dari em pat faktor tersebul yang paling dominan memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi sulit di sangkal jika korupsi sudah membudaya maka uraian tentang faktor budaya ini pula mendapat perhatian yang lebih fokus dan lebih khusus lagi.

Faktor kebudayaan yang dimaksud adalah "kebndayaan main" atau "bndaya main" (shame culture) dan "kebudayaan kebersalahan "atau "budaya salah" (guilt culture) dan kebudayaan hukum alau "budaya hukum" (legal culture). Sebagai ilustrasi tentang kebudayaan malu maka dapat dikemukakan disini penelitian W. Keeler." yang mengemukakan bahwa anak-anak di Jawa dan Bali di didik unluk bermoral "malu" (Jawa = "kagol H: Bali=lek).

Dengan moral malu anak-anak itu dianjurkan untuk membatasi tingkah lakunya agar ia terhindar dari situasi-situasi konflik yang dapat membualnya salah tingkah ("kagol") atau j ika ia yakin tidak ada yang membuatnya kagol maka ia akan melakukan segala sesuatu yang di inginkannya.

Dalam konsep shame cultul'eseluruhnya ditandai oleh rasa malu dan disitu tidak dikenal rasa bersalah. Menurut pandangan ini "budaya malu" (.I·hame culture) adalah kebudayaan dimana pengertian-

18 W . Keeler. >'Shame and Stage Fright in Java" , 1983. ETHOS 11:3 Society lor Psychological Antrophology. Fall KOMPAS. 24-12-1986.

Page 9: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 367

pengertian seperti "hormat", ~~reputasi" "nama baik", '''status'' dan "gengsi" sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu kejahatan , hal ini tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, me lainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain. Malapetaka yang paling besar terjadi adalah bilamana suatu kesalahan itu diketahui orang lain, sehingga si pelaku menjadi kehilangan muka.

Disini si pelaku akan berusaha sekuat tenaga agar si pelaku jangan di cela atau di kutuk oleh orang lain. Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang di anggap penting akan tetapi yang lebih di pentingkan adalah perbuatan jahat itu tidak akan di ketahui siapapun juga. Bila perbuatan jahat itu akhirnya di ketahui orang lain maka si pelakunya menjadi "~malu".

Dalam shame c ulture, sanksinya datang dari luar yaitu apa yang dipikirkan atau apa yang di katakan oleh orang lain dan yang pasti dalam shame culture ini tidak dipersoalkan masalah hati nurani.

Dari pengamatan pribadi penulis ada kecenderungan bahwa temunan Keeler tidak hanya berlaku untuk masyarakat lawn dan Bali saja akan tetapi berlaku di seluruh tanah air. Tentu saja untuk mendukung pendapat ini diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Akan tetapi jika asumsi penulis ini dapal dibenarkan maka disinilah letak faktor kunci sulilnya penegakan hukum di negeri kita sukar untuk berhasil optimal karena terpenjara oleh budaya malu.

Dapat dimengerti mengapa korupsi semakin marak terjadi di semua I ini birokrasi dan sudah merambah ke daerah-daerah sehubungan dengan perkembangan Otonomi Daerah adalah karena disadari atau tidak fakta menunjukkan Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan dan moralitas khususnya moralitas malu, ketika korupsi sudah dilakukan secara berjamaah. Hal ini menyebabkan tingkat kepatuhan hukum terdegradasi ke level " identification" karena warga masyarakat mentaati hukum hanya karen a ingin menyesuaikan diri dengan kelompok atau otoritas yang berkuasa, bukan karena tuntutan moral yang mewaj ibkan ketaatan pada norma-norma hukum karena dianggap sesuai dengan nilai dan norma yang dianutnya, idealnya ketaatan warga masyarakat pada nilai dan norma sudah melembaga yang biasa disebut sebagai instilulionalizationSedangkan ketaatan pada nilai dan norma yang sudah mendarah daging disebut sebagai internalization dalam arti malu pad a diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui yang diyakini selalu mengontrol dirinya dan segala perbuatannya sehingga tidak melanggar hukum secara sembunyi -sembunyi.

Page 10: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

368 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukun!, Huragailing

Dalam tingkat kesadaran moral dan kesadaran hukum yang ditentukan oleh penilaian publik akan sulit upaya pemberantasan korupsi kecuali kalau korupsi dianggap sesuatu yang memalukan dan bukan membanggakan maka ia akan berhenti dari perbuatan-perbuatan tersebut Oleh karena itu perlu dipikirkan cara lain dalam memandang korupsi dalam konteks budaya. yakni perlu sosialisasi dan provokasi yang menumbuhkan rasa malu untuk korupsi. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat kita.

Namun demikian , realitas sosial kita menunjukkan perilaku budaya korupsi telah melahirkan budaya baru, yakni culas, main belakang dan berbohong. Oleh karena itu kendati negeri ini telah berusia 62 tahun dimerdekakan dari penjajahan masih saja dijajah oleh bangsa sendiri yang menganut ideologi keserakahan karena mengalami defisit manusia jujur dan bermoral.

Aneka budaya sempalan baru itu apakah disebut, korupsi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya bahkan kini telah ditiru dan dijadikan ikon dalam sistem sosial di republik ini . Para guru, peneliti, aktivis LSM, intelektual bahkan tidak jarang para tokoh agama ikut terperangkap di dalam budaya baru itu.

Agamawan dan aktivis LSM kita pun tidak kalah unik, mereka hanya akan bersuara lantang terhadap fenomena kejanggalan sosial di tengah masyarakat, tatkala menguntungkan suatu kelompok tertentu dan tak membahayakan aktivitas sosialnya jika tidak ada pamrihnya lebih cenderung diam atau pasif semata.

Ini berarti ada suatu kepentingan yang dikorupsi. Para agamawan dan aktivis LSM, hari-hari ini seolah-olah tengah bermesraan dan bergandeng tangan dengan elite politik lokal contohnya dalam pilkada di berbagai daerah otonomi. Tak aneh bila belakangan banyak di antara mereka menjadi pemuka-pemuka partai politik yang berakhir dengan kekerdilan olah rasa dan olah karsa.

Karena itu benar kata Mochtar Lubis ketika mengatakan dalam Orasi Budayanya berjudul: "Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban ", Jakarta 6 April 1977, mengatakan bahwa: "Mental manusia Indonesia cenderung hipokrit yang ciri utama suka berpura-pura, lain di muka lain pula di belakang, lain di kata lain pula di hati."

Pendeknya manusia Indonesia adalah manusia yang hobi berbohong dan menggadaikan keyakinan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa budaya korupsi menjadi trend dalam sistem sosial kita dewasa ini di republik yang kita cintai ini. Karena manusia Indonesia bisa berpura-pura membenci korupsi, namun hanya

Page 11: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-Sep/ember 2007 369

dilakukan di forum-forum terhormat yang ramai dilihat orang. Namun ketika sendirian, sepi dan sekaligus ada kesempatan apa pun bisa dikorupsi.

Pertanyaan kritisnya, mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja marak dilakukan banyak orang di negeri ini? Banyak faktor yang melingkari diantaranya ialah: Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrel psikologis untuk takut korupsi.

Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain. Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".

Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat tehadap koruptor. Tengoklah realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan ditengah masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain sebagainya.

Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.

. Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosia!. Seandainya masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak munafik, sudah barang pasti tidak akan menerima uluran tangan dan bantuan dari para koruptor, bahkan mengisolirnya dari pergaulan sosia!. Sanksi sosial yang tampak sederhana tnl dipastikan akan mampu mengeleminirkan dan meminimalisir perilaku tindak pidana korupsi.

Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi dari segi budaya dapat di wujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: periunya mewujudkan "budaya solidaritas anti korupsi" sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) yaitu perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain.

Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan kedalam semua level masyarakat terutama lembaga-Iembaga

Page 12: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

370 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum, Hutagalung

pendidikan formal maupun informal dari pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi sebagai bagian dari mewujudkan nilai-nilai nasionalisme di era kekinian.

B. Budaya Salah (Guilt CultuTe)

Di pihak lain, J. Gilligan yang mengadakan penelitian di beberapa negara Eropa mengatakan bahwa anak-anak di negara Barat dididik untuk bermoral "bersalah" (guilt). Mereka diajar untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah menurut norma-norma tertentu. Kalau dalam budaya "malu" seseorang berusaha menghindari konflik dengan orang lain, dalam budaya "salah" orang menghindari perasaan berdosa atau bersalah yang datang dari dalam diri sendiri. Karena itulah orang di negara-negara Barat tidak segan melakukan sesuatu selama ia menganggapnya benar.'9

Adapun yang dimaksud dengan "budaya kebersalahan" atau "budaya salah" (guilt culture) adalah suatu bentuk kebudayaan dimana pengertian-pengertian "dosa" (sin) , kebersalahan (guill). penyesalan dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah di ketahui orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga. la menyesal dan merasa kurang tenang karen a perbuatan itu sendiri, bukan karena di eela atau di kutuk orang lain, jadi bukan karen a tanggapan pihak luar.

Dalam guilt culture sanksinya tidak datang dari luar melainkan dari dalam atau dari batin orang bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam guilt culture semaeam itu maka hati nurani memegang peranan yang sangat penting.

Para ahli yang mengemukakan perbedaan kedua model budaya ini berpendapat bahwa kebanyakan kebudayaan adalah shame culture sedangkan guilt culture hanya sedikit. Menurut hemat mereka, kebanyakan kebudayaan yang disebut "kebudayaan primitif" (seperti suku-suku Indian di Amerika)20 dan hampir semua kebudayaan Asia adalah digolongkan sebagai shame culture. Sedangkan kebudayaan Barat di Eropa dan Amerika adalah guilt culture.

19 T. Lickona (ed.), "Moral Developmenr and Behavior: Theory Research and Issue". (New York: Holt Rinehartz Winston. 1 97~). hal. 145-146.

20 Lihat. Margaret Mead dalam "Cooperation and Competilion Among Prim iliVl' Peoples". (Boston: Beacon Press. 1961). Margaret Mead (190 1-1 978) ada1ah ,"orang antropolog Amerika terkenal pernah menyelidiki 13 kebudayaan primitif. Kesimpulannya hanya 2 diantaranya yang dapat digolongkan sebagai "guilt culture" .

Page 13: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-Sept.mber 2007 371

Mereka pun menjelaskan lebih lanjut bahwa shame culture bersifat statis dan ketinggalan dibidang ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolut dan ditandai oleh dominasi "psikologi massa". Sebaliknya guilt culture (budaya kebersalahan) khususnya bilamana rasa bersalah dihayati secara individual akan sanggup untuk mengadakan perubahan secara progressif (termasuk fen omena seperti industrialisasi), memiliki norma-norma moral yang absolut dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat individu)21

Untuk memperkuat argumentasinya mereka menunjuk kepada pendapat sosioloog besar, Max Weber (1864-1920) yang mengatakan bahwa "etika protestan" (dalam arti, nilai-nilai khusus yang menurut dia menandai agama protestan, seperti misalnya; hidup sederhana, menghemat, kerja keras, dan sebagainya) merupakan satu faktor yang penting dalam perkembangan kapitalisme industrial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Fenomena ini dilukiskan oleh Max Weber itu menurut mereka adalah merupakan suatu contoh yang jelas tentang guilt culture.

Untuk beberapa waktu perbedaan antara shame culture dan guilt culture itu diterima begitu saja, terutama oleh para antropolog Amerika. Akan tetapi kini keabsahan dan pemahaman seperti itu amat diragukan. Beberapa antropolog kenamaan mengemukakan beberapa unsur kritik. Clifford Geertz, antropolog ternama umpamanya berpendapat bahwa bahan bahasan shame culture dan guilt culture terlalu dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan dengan jelas."

Milton Singer, antropolog dari Universitas Chicago, telah mertgemukakan kritik yang teliti dan seimbang. Antara lain ia membantah bahwa untuk rasa malu sanksinya selalu datang dari luar. Ada juga rasa malu yang tak sadar dan karena itu terbatas pada keadaan batin seseorang.23

Menurutnya sulit juga untuk diterima bahwa kebudayaan yang dikategorikan sebagai shame culture telah bersifat statis dan terbelakang. Sebagai contoh yang membantah anggapan itu kita dapat menunjuk kepada kebudayaan Jepang.24 Singer sampai pada

21 G. Piers & M. Singer, "Shame and Guilt", (Springfield, Illinois: Ch. C. Thomas, \953), hal. 45.

22 Clifford Geertz. '"The Interpretation of Culture" , (New York: Basic Books, 1973), hal. 40 I.

23 G. Piers & M.Singer. Op. Cit .. hal. 52.

Page 14: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

372

1978).

Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukunl, HUlagalung

kesimpulan bahwa pada kenyataannya rasa malu dan rasa bersalah terdapat dalam kebanyakan kebudayaan dan bahwa sejauh rasa malu dan rasa bersalah itu lebih besar dalam suatu kebudayaan hal itu tidak berarti sejauh itu juga kebudayaan terse but lebih terbelakang atau lebih

. 25 maJu.

Bagi para filsuf, kesimpulan para ahli Antropologi Budaya itu mempunyai relevansi juga, karena hal itu menunjukkan bahwa hati nurani memainkan peranan dalam hampir semua kebudayaan. Tetapi tidak ada shame culture dan guilt culture yang berbentuk murni dalam arti semata-mata shame culture atau semata-mata guill cullure maka tidak ada keberatan untuk mengakui bahwa suatu kebudayaan lebih condong atau gandrung kepada shame culture dan kebudayaan lain lebih terarah kepada guilt culture.

Dan dalam hubungan ini dapat di akui juga bahwa hati nurani memainkan peran yang lebih besar dalam suatu kebudayaan dari pada kebudayaan lain.

C. Budaya Hukum

Apabila masih ada dikalangan sarjana hukum yang mengingkari keterkaitan antara hukum dan budaya sudah pasti mereka dapat digolongkan kedalam kategori ahli hukum dogmatis normalif alau pandangan juridis normatif. Hukum tidak pernah bersifat otonom sebagaimana diinginkan Hans Kelsen dalam teori hukum murni (Pure theory of Law26 sebagai terjemahan dari Reine Rechtslehre karena sejatinya tidak ada hukum yang murni dan yang diinginkan Hans Kelsen hanya satu teori yang murni tentang hukum bukan Teori Hukum Murni.

Realitas hukum menunjukkan adanya keterkaitan antara hukum dengan variabel-variabel diluar dirinya, terutama variabel budaya. Untuk dapat memahami fenomena ini kita harus bertitik tolak dari dasar berpikir bahwa institusi hukum itu senantiasa tertanam dalam suatu struktur sosial dan budaya tertentu. maka disitu akan banyak muncul variable-variabel lain yang mempengaruhi keotonoman hukum, seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan seterusnya.

" Ibid.. hal. 46-47.

" Ibid .. hal. 78-79.

26 Kelsen. Hans. "'Pure Theory of Law", (Berkeley: University California Press.

Page 15: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 373

Ada lah mustahil jika perilaku dan praktek hukum suatu bangsa hanya dimasuk-masukkan dalam pasal-pasal undang-undang begitu saja, karena hal itu terkait erat dengan budaya hukum bangsa yang bersangkutan. Itu sebabnya Konggres kebudayaan tahun 1991 pernah merekomendasikan perlunya pendekatan budaya dalam penyelenggaraan hukum.

Apabila suatu masyarakat kita perhatikan, maka akan nampak walaupun si fat-si fat individu berbeda-beda, namun para warga keseluruhannya akan memberikan reaksi yang sarna terhadap gejala­gejala tertentu. Hal-hal yang merupakan milik bersama itu dalam Antropologi budaya dinamakan kebudayaan."

Bertolak dari pengertian demikian maka apa yang dinamakan blldaya hukllm merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia yang demikian luas. Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sarna dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (o rientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang bersangkutan 2 8

Blidaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karenanya diskursus budaya hukum tidak mllngkin terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu.

Adapun maksud pembahasan budaya hukum adalah agar dapat mengenal ciri-ciri (atribut) yang asasi dari budaya hukum itu sendiri yang berguna untuk penelitian lebih lanjut terhadap proses yang berlanjut maupun yang berubah atau yang seirama dengan perkembangan masyarakat dikarenakan sifat kontrol sosial itu tidak selamanya tetap. Perubahan-perubahan budaya hukum ini juga tidak berlakll hanya dikalangan masyarakat yang modern semata akan tetapi juga dikalangan masyarakat sederhana atau masyarakat pedesaan walaupun terjadinya perubahan itu tidak sarna cepat lambatnya tergantung keadaan, waktu dan tempatnya.

~7 Lihat T.O. Ihromi. "Pokok Pokok At1tropologi Budaya". (Jakarta: Grarnedia 1980). hal. 13.

2IJ Lihat Prof. H. Hilman Hadikusuma. "Anrropologi Hukum Indonesia". (Bandung: Alumni. 1986). hal. 51.

Page 16: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

374 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum, Hutagalung

Dikarenakan pemahaman (persepsi) budaya hukum itu pada kenyataannya sering tampak berkaitan dengan peradaban dan teknologi tidak ada salahnya jika budaya hukum itu dapat juga di sebut peradaban hukum. Budaya hukum itu dapat merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum.

Oleh karena sistem hukum itu merupakan hubun gan yang kait mengkait diantara manusia, masyarakat, kekuasaan. dan aturan-aturan maka titik perhatian antropologi hukum untuk hal ini adalah pada perilaku manusia yang telibat dalam suatu peristiwa hukum.

Kaitan antara perilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak pada tanggapannya terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis dari sudut pan dang yang ekletis. Antara keduanya akan bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karen any a dengan melakukan studi kasus diharapkan dapat menemukan jawaban sejauhmana orang perorang itu setuju atau tidak setuju terhadap cara penyelesaian mengenai sesuatu perselisihan hukum.

Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam masyarakat yang merupakan percerminan dari budaya hukum, yaitu percerminan nilai-nilai budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang dikehendaki dan dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Memang tidak pernah ada kebenaran yang mutlak karena kebenaran yang mutlak hanya monopoli dari Tuhan Yang Maha Pencipta, namun dari pandangan hidup masyarakat yang itu dapat digambarkan budaya hukumnya.

Dikarenakan pandangan hidup masyarakat Indonesia adalah Pancasila maka budaya hukum masyarakat Indonesia adalah hukum Pancasila yang tetap mengakui adanya "bhineka tunggal ika". Artinya berbeda dalam kesatuan dan kesatuan yang ada dalam aneka perbedaan. Dari sini budaya hukum Indonesia ada yang berupa budaya hukum nasional dan ada yang budaya hukum lokal.

Dengan budaya hukum itu maka sistem hukum akan diperkaya dengan suatu komponen yang tidak berupa peraturan formal maupun institusi-institusi melainkan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Oleh karen a itu upaya memahami hukum suatu bangsa secara lengkap tidak hanya dilakukan melalu i pengamatan terhadap sistem formalnya akan tetapi melainkan sampai kepada budaya hukumnya. Budaya hukum itu semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Kendati bangsa-bangsa bisa saja menggunakan hukum yang sam a akan tetapi

Page 17: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

JI/rna! HlIkum dan Pembangunan Tahun ke-37 No. 3 Juli-September 2007 375

perbedaan budaya hukum bangsa-bangsa itu akan menentukan bagaimana dalam kenyataannya hukum itu bekerja29

Budaya hukum itu berupa nilai-nilai, tradisi dan lain-lain kekuatan spiritual yang menentukan bagaimana hukum itu dijalankan dalam masyarakat. Suatu bangsa bisa menggunakan sistem hukum tertentu akan tetapi apakah didalam kenyataannya digunakan atau tidak digunakan adalah soal lain dan hal ini berkaitan dengan budaya hukumnya.

Distorsi-distorsi dalam penegakan hukum terjadi pada saat suatu bangsa meresepsi sistem hukum bangsa lain yang didukung oleh budaya hukum tertentu dijadikan standar yang menentukan, padahal set iap bangsa mempunyai budaya hukumnya sendiri-sendiri .

Ketika s istem hukum Kapitalisme yang didukung oleh budaya hukum yang liberal individualistis di resepsi dalam masyarakat kita tanpa mempertimbangkan budaya hukumnya pasti akan menemui kegagalan-kegaga lan dalam penerapannya. Dapat saja negara kita mereseps! sistem hukum negara yang bereiri kapitalis dan individua listik akan tetapi didalam penerapannya para aktor-aktor yang terlibat harus mampu memainkan peran aktor sebagai seorang vang terikat dengan budaya hukum Paneasila yang bereiri ko lektif­kommunal tidak individual semata-mata apalagi liberal.

Secara garis besar, kita dapat mengambil contoh tipe masyarakat yang bersifat individual dan yang kolektif kommunal pada saat berbicara mengenai budaya hukum. Kedua masyarakat tersebut diatas memiliki karakteristik, nilai-nilai dan tradisinya sendiri yang menjadi bahan pembentukan budaya hukumnya. Amerika Serikat yang individual dan Jepang yang kommunal untuk mewakili keduanya.

Memang diakui bahwa budaya hukum Amerika yang berwatak individual, liberal cukup mendominasi dunia, akan tetapi Jepang selalu berusaha untuk mempertahankan budayanya yang berwatak kommunal ditengah-tengah an!s globalisasi sekarang ini.

Kalau budaya hukum Amerika berciri guilt culture akan tetapi Jepang tetap mempertahankan shame culture. Akan tetapi tidak dapat diartikan jika tetap memelihara budaya "Kommunal", shame culture Jepang dianggap tert inggal dari peradaban baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seringkali disebutkan bahwa Jepang sebagai suatu bangsa yang su lit dimengerti (enigma). Pernyataan tersebut sebetulnya didasari oleh suatu anggapan bahwa

:9 Lihar Prof. Satj ipto Rahardjo. "lImu Hukum. Pencarian. P~l1lb~basan dan Pencerahan". (Surakarta: Uni versitas Muhamll1ad i~ah. 2004 ). hal. 76-80.

Page 18: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

3 76 Budaya Malu, Budaya Salah. dan B7Idaya Hukum. flu/aga/ung

sega la sesuatu harus diukur berdasarkan perspektif Amerika seperti anggapan Francis Fukuyama.

Jepang yang sedikit banyak berhasil mempertahankan ketegaran budayanya seringkali menampilkan The Japanesetwisl dalam menj alankan hukum modern . Mereka dengan kokoh memba ngun suatu struktur dimana ada kemampuan memisahkan antara "yang diluar" (oulward looking) dan "di dalam" (inward looking). Da lam s istem hukum Jepa ng pemisahan itu diproyeksikan dalam bentuk lelemae dan honne. 3f1

Jepang menenma hukum modern dalam POStS) lelemae (penerimaan di luar atau formal) , sedangkan praktek sesungguhnya akan dijalankan menurut honne (didalam, nurani dan tradisi). Maka dalam hal ini penerimaan terhadap hukum modern lebih bersifat legitimatif, sedangkan prakteknya dijalankan (etap secant kommunal. kolektif, konsensua!.

Dalam hal ini, ukuran-ukurannya juga menjadi berbeda. mi sa lnya Jepang t idak melihat proses hukum sebagai sesuatu yang individual. rasional melainkan mengaitkannya pada ukuran honne atau "moralitas". Sebagai akibatnya jika seorang pejabat dituduh korupsi dan mulai diproses secara hukum maka di Jepang pejabat itu harus mundur dari jabatan publik yang didudukinya. Tuntutan honne berupa rasa ma lu dan kehormatan jauh lebih kuat daripada me lihat proses hukum sebagai suatu proses forma!'

Apabila di Amerika seorang pelaku (aktor) dalam hukul1l berkapasitas ind ividu, maka di Jepang seorang pelaku seperti itu sela lu di lihat dalam konteks sosia!. la adalah seorang "sos ia l" bukan "seorang individu semata".

III. Penutup

Hukul1l se bagai kaedah sosial , tidak mungkin dapat dilepaskan dari nilai (values) yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlak u didalam masyarakat.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat yang berarti hukum yang merupakan pencerm inan dari nilai -nilai dalam masyarakat itu.

JO Ibid.

Page 19: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

.fumal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-J7 No. J Juli-September 2007 377

Didalam suatu masyarakat yang mengalami proses peralihan (lransi/ion) dari suatu masyarakat yang sederhana yang bereiri tertutup. statis dan terbelakang menuju ke suatu masyarakat yang modern yang bereiri dinamis. terbuka dan maju maka nilai-nilai masyarakat itupun sedang mengalam i proses perubahan pula.

Dalam konteks perubahan itu maka dalam proses pembangunan ataupun reformas i yang terpenting bukanlah sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi fisik material semata yang ditandai dengan banyaknya gedung tinggi, kondominimum, monorail, jembatan layang ataupun jalan dibawah tanah serta infra struktur lainnya atau perkembangan teknologi transportasi seperti kapal laut, pesawat. juga teknologi informasi yang canggih akan tetapi yang paling pokok dan terpenting adalah pembangunan mallLlsia sebagai allggota masyarakat selta nilai-nilai dan budaya yang mereka anut.

N ilai-nilai sosial budaya itu tidak lepas dari sikap (altitude), pola pikir. budaya yang mendorong dan seharusnya dimiliki oleh masyarakat yang sedang membangun dan merefonnasi diri itu, Mengabaikan aspek ini maka pe mbangunan at au pembaharuan fisik material semata tidak ban yak berarti bahkan akan menemui kegagalan seperti yang sudah dibuktikan oleh pemborosan-pemborosan yang terjadi di banyak negara berkembang yang mengabaikan aspek budaya ini 31

Para elit masyarakat termasuk apa yang dinamakan intelektual sebagai golongan yang mempelopori pembaharuan seringkali tidak dapat mempraktekkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang mereka anjurkan sebagai sifat yang diperlakukan dalam masyarakat modern, misalnya: (I) Kejujuran fhonesry): (2) efisiensi (efficient): (3) bertepat waktu (punctuality): (4) keteraturan (orderliness): (6) rasional dalam berpikir dan dalam mengambil ke putusan: (7) kemampuan untuk menangguhkan konsumsi (perspektif masa depan)."

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya itu kita dapat saja mengambi I segi -segi positif dari budaya Barat khususnya budaya hukum Amerika yang bereiri kapitalis liberal itu akan tetapi dalam me mpraktekkannya tetap menyaringnya dengan budaya hukum itu sendiri yang lebih bersifat kommunal yang bereiri kekeluargaan dan kegotong royo ngan sebagai ciri yang menonjol dari budaya hukum Paneasi!a.

:ll Lihat Prof. Mochtar Kusumaatmadja. "Konsl!p Konst:p Hukum dalam Pcmbangunan". (Bandung: Alumni. 2006). hal. 10 - 12.

" Ibid .. hal. 12 .

Page 20: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

378 Budaya Malu, Budaya Salah, dan Budaya Hukum. Hwagalung

Dalal11 penel11uan hukul11 dan pel11bentllkan hllklll11-hukul11 baru kita tidak 11111ngkin l11enutup diri dari globalisasi akan tetapi dalam penerapan hukul11 kita hanls lebih l11el11pertil11bangkan budaya hllklll11 kita send iri . Semoga jadi bahan renllngan buat para pel11benlUk illlkul11 dan penegak hukul11 di negeri kita .

Page 21: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.3 Juli-September 2007 379

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Husen. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelasan dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1981.

Baker, J.W.M., S.1. Filsafat Kebudayaan Suatu Pengantar. Yogyakarta -Jakarta: Kanisius - BPK, 1,984.

Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia, 2001.

Clifford, Geertz. The Interpretation of Culture, New York: Basic Books. 1973.

Hadikusuma, H. Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni, 1986.

Ihromi, T.O. Pokok Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1980.

Keeler, W."Shame and Stage Fright in Java". ETHOS, 11-3. "Society for Psycological Antropology", KOMPAS 24-12-1986.

Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley: University California Press, 1978.

Kleden, Ignas. "Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cipta", PRISMA No. I Th. XIV (1985)

_ ___ , Sikap lImiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1988.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1974.

_ ___ . Tokoh Tokoh Antropologi. Jakarta: Penerbitan Universitas. 1964.

Kroeber, A.L. & Kluckhohn, C. Culture, A Critical of Concepts and Definition. dalam Mitchell, D. (Ed.), A Dictionary of Sociology, London and Henley: Routledge and Keagen Panl, 1977.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2006.

Lickona, T. (ed.). Moral Development and Behavior. Theory, Research and Issue, New York: Holt Rinehartz Winston, 1976.

Linton, Ralph. A Study of Man. New York: Apleton Century Crafts Inc., 1936.

Mead, Margareth. Cooperation and Competition Among Primitive Peoples, Boston: Beacon Press. 1961.

Page 22: BUDAYA MALU, BUDAYA SALAH, DAN ... - Universitas Indonesia

380 Budaya Malu. Budaya Salah, dan Budaya Hukum. HItlago/ung

Moeljatno. Kitab Undang Undang Hukul11 Pidana. Jakarta : BUl11i Aksara. 2003.

Piers. G. & Singer. M. Shame and Guilt. Illinois. Springfield: Ch. C. Thomas. 1953 .

Rahardjo. Satjipto. I1l11u Hukum. Pencarian, Pel11bebasan dan Pencerahan. Surakarta: Univers itas Muhammadiyah. 2004.

___ ~, "Sisi Sisi Lain dari Hukum di Indonesia". Jakarta .. Kompas, 2003.

Soekanto. Soerjono. Beberapa Permasalahan Hukum da lam Kerangka Pembangunan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Penerbit Univeritas Indonesia. 1976.

Soemardjan. Selo & Soemardi Soelaiman (eds). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Penerbit FE UI. 1964.

Subekti , R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 1996.

Sutherland, Robert . L. (ed), introductory Sociology. Chicago - Philadelphia - New York: J. B. Lippincon Company. 1961.

Tylor. E.B. Primitive Culture. London : John Murray, 1873. da lam Prisma II . 1981.

Weber. Max. The Protestant Ethic and The Spirit o/Capitalism, New York: Charles Scribners Sons, 1958.

William. M. Robin . Jr. American Society A Socialogical interpretation. New York: Alfred A. KnopL 1967.