Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bismihi Ta'ala
Cerita ini terjadi beberapa abad yang lalu. Bermula dari pertemuan seorang
ulama muslim dengan seorang kafir, yang kemudian berlanjut dengan dialog yang
perlu kita renungkan. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam sejarah Islam
terdapat beberapa aliran sejak zaman dahulu hingga sekarang. Salah satu dari
perbedaan itu adalah bagaimana cara seorang muslim sejati menilai suatu
"kebaikan" dan "keburukan". Perbedaan itu sebenarnya menyangkut masalah
fundamental keislaman. Kubu Ali bin Abi Thalib dan Khawarij merupakan sumber
utama perbedaan itu. Dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk ke dalam
golongan-golongan lain, yang walaupun tidak memakai nama golongan keduanya:
pengikut ahlulbait dan Khawarij.
Sebagian kaum muslim mengatakan bahwa "kebaikan" dan "keburukan"
hanya dapat ditentukan oleh sunah, yaitu sunah Allah (Alquran) dan sunah nabi
(hadis). Akal tidak mempunyai dan tidak boleh mempunyai saham dalam
menentukan keduanya; sebab akal sangat terbatas kemampuannya. Maka dari itu
barang siapa menggunakan akalnya dalam agama, maka ia sesat dan berada di
luar jalur Islam. Seperti orang-orang yang bertanya, "Mengapa ayat itu atau hadis
itu demikian?" Mereka mengatakan bahwa kita harus menerima dan tidak boleh
menggugat apa-apa yang ada dalam ayat dan hadis.
Lain dengan apa yang diyakini oleh kelompok muslim yang lain, yang mana
sangat mengkristal dalam golongan pengikut ahlulbait. Walaupun seabad setelah
itu keyakinan tersebut mengkristal pula dalam diri golongan muktazilah.
Keyakinan itu adalah suatu keyakinan yang mengatakan bahwa akal manusia
dapat mengetahui sebagian kebaikan dan keburukan walaupun tanpa melalui
syariat. Akal mempunyai saham untuk itu. Seperti dalam menentukan agama
apakah yang paling baik. Hal ini akan kami jelaskan secara lebih rinci pada bab
yang menyangkut "Posisi Alquran terhadap Keimanan", insya Allah. Mereka
mengatakan bahwa akal boleh bertanya mengapa suatu ayat atau hadis
sedemikian rupa.
1
Dalil dari golongan kedua ini akan kami rinci dalam bab tersendiri, insya
Allah. Namun harus diketahui, sebagai inti dari keyakinan golongan ini,
bahwasanya pertanyaan akal terhadap syariat itu dilakukan demi mencapai syariat
yang sebenarnya, bukan syariat yang semu atau diatasnamakan. Sebab, banyak
sekali kaum sesat yang—sengaja atau tidak—telah bersembunyi di harakat-
harakat atau lafaz-lafaz Alquran dan hadis. Mereka menyeru dengan gigih supaya
kaum muslimin kembali ke Alquran dan hadis sebagaimana mereka. Sementara
mereka meyakini bahwa tidak akan ada orang yang mampu memahami maksud
sebenarnya dari Alquran dan hadis. Lalu, kemanakah mereka menyeru? Ke
Alqurankah atau semi Alquran? Ke makna dan maksudnya atau ke harakat dan titik
komanya?
Kembali ke Alquran dan hadis bukan merupakan pekerjaan mudah yang
bisa dicapai dengan hanya belajar agama dalam beberapa tahun. Lebih-lebih
dengan hanya melihat dan membeli buku di trotoar jalan. Sebab ternyata, sesama
penganut Alquran saling menyesatkan dan memasukkan ke dalam dhalalah dan
yang paling mengerikan lagi ke neraka. Lebih aneh lagi, dalam hal itu, mereka
mengatakan bahwa neraka dan surga adalah urusan Allah.
Memang aneh kalau kita lihat kehidupan orang-orang yang hanya
berloncatan dari harakat ayat yang satu ke harakat ayat yang lainnya sambil
mengikat erat akalnya. Biasanya tidak lebih, hanya sekedar ba… ba… ba, bi… bi…
bi…, dan bu… bu… bu… Mereka tidak lagi menatap ke dalam ayat-ayatnya dengan
pancaran obor akalnya. Apalagi untuk menatap hadis-hadis, yang kata mereka
keluar dari sekedar manusia (biasa) seperti kita. Sungguh kultur Islam yang
sebenarnya telah terporakporandakan dengan itu semua. Bahkan mereka, sambil
membawa kantongan harakat-harakat itu, dengan penuh semangat siap berjuang
sampai titik darah penghabisan dan memaksa golongan lain mengikuti mereka.
Walaupun mereka tahu bahwa agama tidak dapat dipaksakan.
Tokoh ulama yang akan diceritakan dalam tulisan ini adalah yang mewakili
golongan pertama, yaitu yang mengharamkan menggunakan akal dalam agama.
Tokoh ini mewajibkan dirinya untuk menyebarkan agama Islam di negerinya,
Persia, setelah ia belajar Islam di negeri Arab. Sebab waktu itu, walaupun bangsa
2
Persia sudah tergolong kaum muslimin, namun masih ada di beberapa bagian
lainnya yang belum mendapatkan penjelasan agama Islam secara merata dan
masih dalam kekafiran. Salah satunya adalah sebuah kota yang sekarang bernama
Hamadan. Dengan semangat jihad dan pengabdian, tokoh kita ini tidak surut
karena rintangan. Ia mulai menginjakkan kakinya di kota Hamadan lalu mulai
menyiarkan Islam.
Dengan kehadiran tokoh tersebut, yang penuh wibawa dan tanpa pamrih
serta dengan bekal kitab yang diangkut dengan beberapa ekor unta, membuat
suasana kota Hamadan sedikit berubah. Orang-orang yang memang sudah masuk
Islam membicarakannya di masjid-masjid. Sementara yang lain, yang masih
meragukan kebenaran Islam (kafir), membicarakannya di pasar-pasar. Walhasil
situasi kota Hamadan hampir dipenuhi dengan pembicaraan mengenainya.
Pada suatu pagi, datanglah seorang yang nampak pandai di rumah tokoh
itu. Memang pada pagi itu juga datang beberapa orang lainnya. Sebab, sang tokoh
itu setiap pagi sampai menjelang zuhur selalu menerima tamu yang khusus ingin
memperdalam Islam. Orang yang nampak pandai itu memang salah seorang
terpandang dalam ilmu pengetahuan di kala dan di kota itu.
Seperti biasa, sang tokoh berpakaian rapi dan berwarna putih bersih
dengan sorban melilit di kepala, selalu tersenyum ramah dalam menerima tamu-
tamunya. Ruang tamunya yang sedikit luas terpenuhi dengan hamparan hambal.
Para tamu segera mengambil posisi sendiri-sendiri ketika memasuki ruangan itu.
Memang di depan pintu ada penjaga yang bertugas menerima tamu. Dia adalah
salah satu murid terdekat sang tokoh. Mungkin memang karena namanya, orang
yang nampak pandai itu sedikit melebihi orang-orang pada umumya dalam
pengetahuan dan mempunyai kelincahan lidah dalam pembicaraan. Zaranggi
adalah nama yang cukup lucu dalam bahasa Persia. "Zaranggi" artinya "cerdik".
Pada pagi itu, dengan penuh semangat Zaranggi duduk tepat di hadapan
sang tokoh yang sembari menyiapkan beberapa bukunya, melirik ke arahnya dan
tersenyum. Zaranggi pun membalas senyuman sang tokoh. Setelah ruangan
hampir penuh, barulah majelis tanya-jawab itu dibuka. Dengan penuh welas asih
3
dan dengan ucapan basmalah serta beberapa kutipan ayat Alquran sang tokoh
membuka majelis. Kemudian ia berucap:
"Saudara-saudara sekalian, seperti biasa, mari kita bersihkan hati kita dari
segala macam keburukan dan kedengkian serta kemalasan dalam mencari
kebenaran. Semoga pada pagi yang cerah ini menjadi pertanda tercerahnya
kebenaran agama suci Islam bagi hati kita sekalian. Saya harap Anda jangan
sungkan-sungkan dalam bertanya. Silakan!"
Sang tokoh memandangi satu persatu tamunya dengan penuh perhatian.
Pandangan terakhirnya tertumpu pada orang yang duduk di dekatnya. Lalu dia
bertanya dengan penuh persahabatan.
"Siapakah nama Tuan?"
Yang ditanya balas menjawab dengan ramah pula. "Nama saya Zaranggi,
Tuan."
"Terima kasih. Apakah Anda punya pertanyaan?" tanya sang tokoh.
"Benar," ia menjawab, "Apakah saya boleh bertanya apa saja mengenai
agama Tuan?" lanjutnya.
"Ya, boleh saja dan saya senang sekali. Apakah pertanyaan Anda itu, Tuan?"
tanya sang tokoh.
"Terimakasih. Pertanyaan saya yang pertama adalah apa nama agama Tuan
dan apa saja ajaran umumnya, serta apa dasar-dasarnya?" tanya Zaranggi.
Dengan penuh khidmat dan hati-hati sang tokoh menjawab: "Agama kami
adalah Islam. Ajaran umumnya adalah menganjurkan kebaikan dan melarang
berbuat mungkar (keburukan), sehingga dunia ini dipenuhi dengan rasa aman
(salamah) dan tentram. Dasar-dasarnya ada dua macam. Pertama, yang
bersangkutan dengan lahiriah manusia, yaitu membaca syahadatain, salat lima
waktu dalam sehari, membayar zakat bagi yang mampu, puasa di bulan Ramadan
dan pergi haji bagi yang mampu. Semua ini disebut 'rukun Islam'. Sedangkan yang
kedua adalah yang menyangkut hati nurani manusia, yaitu, iman kepada Allah,
malaikat, kitab-kitab Allah, utusan-utusan Allah, Hari Kebangkitan setelah
kematian dan mengimani takdir Allah. Hal kedua ini disebut dengan 'rukun iman'."
4
"Bisakah Anda merinci dengan lebih jelas lagi tentang maksud masing-
masing rukun Islam dan rukun Iman itu?" Zaranggi memohon.
"Oh tentu," kata sang tokoh yang kemudian melanjutkan uraiannya
terhadap satu persatu dari masing-masing rukun dari kedua rukun tersebut.
Zaranggi mendengarkannya secara seksama dan penuh rasa ingin tahu. Setelah
sang tokoh merinci poin-poin rukun Islam dan rukun Iman, Zaranggi bertanya.
"Sesuai dengan penjelasan Tuan, rasa-rasanya tersirat suatu pengertian
bahwa yang masuk Islam atau mengamalkan rukun Islam belum tentu masuk
iman. Bukankah demikian?"
"Benar, memang demikian kenyataannya, dan mereka disebut munafik,
yaitu yang mengamalkan Islam tapi tidak mengimaninya dalam hati," jawab sang
tokoh.
“Apa benar munafik itu ada, Tuan? Sebab dengan demikian, mereka
berlelah-lelah mengerjakan sesuatu yang tidak mereka yakini?” tanya Zaranggi
dengan sedikit keheranan.
“Menurut sejarah dan Alquran,” jawab sang tokoh, “mereka itu benar-benar
ada. Bahkan sejak zaman nabi. Yang menunjukkan hal itu adalah adanya satu surat
dalam Alquran yang diberi nama Surah Munafiqun yang artinya ‘orang-orang
munafik’ atau dalam ayat 101 surah At-Taubah. Di sini bahkan dikatakan bahwa
nabi tidak mengetahui keadaan mereka itu. Ayat yang dimaksudkan tadi itu
mempunyai inti demikian:
“Dan sebagian orang-orang desa yang ada di sekelilingmu adalah orang-
orang munafik. Dan begitu pula sebagian orang-orang Madinah. Mereka keterlaluan
dalam kemunafikan. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Sedang kami
mengetahui mereka.” (Q.S. At-Taubah: 101)
“Lalu, untuk apa mereka melakukan itu Tuan?” tanya Zaranggi keheranan.
“Yah, kami tidak tahu, Tuan. Mungkin saja mereka mempunyai maksud-
maksud tersembunyi, misalnya untuk merusak Islam dari dalam atau untuk
mendapatkan kepentingan duniawi lainnya,” jawab sang tokoh.
“Apa betul mereka tidak ketahuan, Tuan?” lagi-lagi Zaranggi bertanya
penuh keheranan.
5
“Betul, yah… maklumlah namanya saja sudah munafik, lain di mulut lain
pula di hati. Dalamnya laut dapat diterka tapi dalamnya hati siapa yang tahu.
Masalah hati hanya Allahlah yang tahu,” sang tokoh menjawab sambil menghela
nafas panjang.
“Siapa Allah yang dapat mengetahui isi hati itu, Tuan?” tanya Zaranggi.
“Allah itu adalah Tuhan Pencipta kita dan alam semesta ini, Tuan Zaranggi”
jawabnya.
“Dari mana Anda tahu bahwa alam ini ada penciptanya dan Dia adalah
Allah?” selidik Zaranggi.
“Dari Alquran,” jawab sang tokoh pendek.
“Apakah Dia satu-satunya Tuhan bagi sekalian alam ini Tuan? Sebab dalam
agama kami ada tiga Tuhan,” tanya Zaranggi.
“Benar, Tuan Zaranggi. Dialah satu-satunya Tuhan bagi sekalian alam ini.
Mustahil adanya dua Tuhan atau lebih,” jawab sang tokoh dengan tegas.
“Dari mana Anda tahu itu Tuan?” tanya Zaranggi yang memang nampak
ingin tahu argumen tokoh kita ini.
“Dari Alquran dan al-hadîs,” jawab tokoh kita dengan mantap.
“Apakah tidak ada pembuktian lain selain Alquran dan hadis, Tuan?
Sebagaimana filosof-filosof Yunani atau Persia, walaupun hasil pembuktian
mereka memang ada yang berbeda,” tanya Zaranggi yang memang banyak tahu
tentang ilmu pengetahuan.
“Tidak ada Tuan. Para filosof berusaha mengenal-Nya dengan akal mereka.
Sedangkan akal sangatlah terbatas kemampuannya. Oleh sebab itu dalam agama
kami dilarang menggunakan akal dalam mengenali-Nya dan juga dalam
menentukan baik buruknya sesuatu kami harus kembali kepada apa yang
dikatakan Alquran dan hadis saja,” jawab sang tokoh memantapkan posisinya.
“Apakah agama Tuan mengunci mati akal?” tanya Zaranggi dengan sedikit
keheranan. Sebab menurut orang-orang yang ia dengar, orang-orang muslim
justru banyak yang pandai.
“Tidak,” sergah sang tokoh. “Agama kami tidak mengunci mati akal. Akan
tetapi yang menyangkut agama kami, mesti mengambil apa-apa yang ada dalam
6
Alquran dan hadis tanpa boleh bertanya kenapa demikian, misalnya. Sebab sudah
kami katakan bahwa akal manusia terbatas. Artinya, tidak bisa menjangkau
kebenaran hakiki (absolut). Berbeda dengan agama yang dapat menjangkaunya.”
“Baik,” kata Zaranggi. “Lalu dengan apa Anda membenarkan agama Anda?
Apakah dengan agama Anda pula dan tidak dengan akal?” Zaranggi mulai
mendesak.
“Be… be… benar,” jawab sang tokoh agak memaksa, karena tidak ada
pilihan lain dan sedikit tergagap. Sebab yang selama ini ia pelajari adalah dalam
menentukan segala sesuatu harus dengan agama, tidak boleh dengan akal. Justru
sekarang ditanya dengan apa mengatakan agama Islam benar? Susah
menjawabnya.
“Tuan! Harap Anda ketahui, bahwa dalam agama kami dan agama-agama
lain, masing-masing mengajarkan bahwa agama-agama itulah yang benar dan
yang lainnya salah. Lalu mengapa Tuan tidak memilih agama kami saja dan
meninggalkan Islam?” tanya Zaranggi sedikit memojokkan.
Muka tokoh kita mulai memerah. Lebih-lebih setelah beberapa tamu
lainnya menahan tawa. Tapi apa boleh buat, memang dia sendirilah yang
menyuruh orang-orang untuk bertanya apa saja.
“Tidak, tidak. Hal itu tidak mungkin kami lakukan,” jawab sang tokoh sambil
berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari berondongan pertanyaan Zaranggi
yang nampak ceplas-ceplos itu.
“Kenapa Tuan?” tanya Zaranggi lagi.
“Karena hal itu merupakan dosa yang paling besar,” jawab sang tokoh yang
memang nampak merupakan jawaban asal comot saja.
“Kalau keluar dari agama Tuan Anda katakan dosa atau dapat murka Tuhan,
apakah Anda tidak berpikir bahwa kalau kami keluar dari agama kami, kami pun
akan mendapat murka dari Tuhan kami?” tanyanya lagi.
Tokoh kita tak bisa menjawab.
“Tapi baiklah, Anda tak perlu menjawabnya. Sekarang, bolehkah saya
bertanya masalah lainnya?” Zaranggi mengalihkan pembicaraan karena dia
melihat tokoh kita betul-betul kebingungan.
7
“Si… si… i… silakan,” sang tokoh memaksakan diri untuk mempersilakan
Zaranggi untuk bertanya. Walaupun sebenarnya ia sudah mulai kewalahan
menghadapinya.
“Tadi Anda katakan bahwa agama adalah penentu segala-galanya dan
manusia tidak boleh mempersoalkannya. Apakah masuk akal atau tidak?
Pertanyaan saya, kepada siapa, atau apa, Anda merujuk kebenaran agama (tolok
ukur kebenaran agama)?” Zaranggi mulai membuka masalah baru.
“Kami merujuk kepada Alquran dan hadis,” jawab sang tokoh sambil
berusaha membaca pikiran Zaranggi.
“Oh… benar! saya lupa untuk menanyakannya. Apa itu Alquran dan hadis?”
Zaranggi bertanya setelah ia merubah posisi duduknya.
Karena sang tokoh menyadari siapa orang yang lebih muda yang duduk di
depannya ini, maka ia mulai berhati-hati dalam menjawab pertanyaannya.
“Alquran adalah berasal dari firman-firman Tuhan yang diwahyukan—
dibisikkan—kepada Nabi Muhammad, yang kemudian didiktekan kepada para
sahabatnya, yang menuliskannya ke tulang-tulang atau ke kulit-kulit kayu dan lain-
lain. Setelah beliau wafat, firman-firman itu dikumpulkan dan disusun menjadi
suatu kitab oleh atau atas ide sahabat besar beliau yang bernama Utsman bin
Affan. Sedangkan hadis adalah kumpulan kata-kata nabi atau perbuatannya,”
jawab sang tokoh.
“Aneh juga agama Tuan ini!” Zaranggi menyeletuk. Memang, dengan
kecerdasannya, ia dapat merasakan keanehan itu sebelum sang tokoh
menyadarinya.
“Apa… apa kata Tuan? Aneh?” sang tokoh sedikit tersinggung dan juga
bingung.
“Benar, Tuan.” Zaranggi terpaksa menjawab, walaupun ia tahu bahwa tokoh
kita itu sudah mulai tersinggung. Sebab ia sudah terlanjur mengatakan kata-kata
itu tadi.
“Kenapa begitu?” tanya sang tokoh ingin tahu.
“Begini, Tuan. Anda tadi mengatakan bahwa Anda mengetahui dari Alquran
bahwa alam ini ada penciptanya dan penciptanya hanya satu. Sementara Anda
8
mengatakan bahwa Alquran adalah kumpulan firman-firman-Nya. Ya… bagi saya
hal itu cukup aneh, Tuan,” Zaranggi menjelaskan. Rupanya tokoh kita ini belum
paham juga. Maka dari itu ia berkata:
“Kenapa aneh Tuan?”
“Dengan semua itu, yaitu Alquran adalah ukuran segala-galanya, termasuk
ada dan satunya Tuhan dan tidak bisa dengan jalan lain (jadi keberadaan dan
keesaan Tuhan mau tidak mau harus dibuktikan dengan Alquran), menandakan
bahwa manusia harus beriman terlebih dahulu kepada Alquran itu, sebelum
mereka mengimani Tuhan itu sendiri. Bukankah hal itu cukup aneh Tuan?”
“Ee…e… maaf, Tuan Zaranggi, saya masih belum paham maksud Anda,”
sang tokoh ingin penjelasan yang lebih rinci dari kata-kata Zaranggi itu.
“Tuan! Apakah tidak aneh kalau manusia disuruh mengimani kata-kata
Tuhan sebelum mengimani adanya Tuhan itu sendiri? Atau mereka disuruh
mengimani Alquran terlebih dahulu sebelum mengimani adanya pengirim
Alquran?”
Tokoh kita tertegun sejenak, karena ia sudah paham maksud Zaranggi. Tapi
ia masih punya jawaban untuk itu. Maka dari itu ia berkata:
“Katakanlah itu aneh akan tetapi yah… memang harus begitulah pada
kenyataannya. Sebab, seperti yang saya katakan tadi bahwa akal kita terbatas.
Yakni kita tidak akan dapat mengenalinya dengan akal. Maka dari itu kita harus
kembali ke firman-firmannya.”
“Baik!” kata Zaranggi, “Berarti manusia disuruh percaya kepada Alquran
terlebih dahulu sebelum mempercayai Tuhan karena keterbatasan akal mereka.
Sekarang saya mau bertanya kepada Anda, bagaimanakah caranya supaya manusia
mempercayai Alquran?”
“Yah… kita harus melihat bukti-buktinya,” jawab sang tokoh.
“Kalau begitu kita harus membuktikan kebenaran ayat-ayatnya bukan?”
tanya Zaranggi.
“Benar” kata sang tokoh pendek.
9
“Wah… permasalahannya sekarang kok tambah rumit,” Zaranggi mengeluh.
Memang, dengan kecerdasannya ia dapat merasakan semua itu sebelum tokoh
kita ini memahaminya. Oleh karena itu sang tokoh bertanya.
“Apanya yang rumit Tuan?”
“Tadi Anda mengatakan bahwa akal terbatas,” kata Zaranggi, “dan Anda
mengatakan pula bahwa Tuhan ada dan Esa dari Alquran, sementara sekarang
Anda mengatakan bahwa kebenaran Alquran harus dibuktikan sebelum kemudian
mengimaninya. Lho… kalau akal terbatas maka bagaimana caranya membuktikan
kebenaran ayat-ayat Alquran yang mengatakan bahwa ‘Tuhan itu ada’ atau ‘Tuhan
itu Esa’ dan lain-lain?”
Terperangah juga sang tokoh mendengar jawaban Zaranggi itu. Dia
bingung harus berkata apa. Tapi ia berusaha untuk menutupi kebingungannya itu,
walaupun tidak begitu berhasil. Dia bingung karena permasalahannya begitu
peliknya, padahal sebelumnya ia tak pernah mempermasalahkan semua itu. Satu-
satunya yang menjadi alat pembuktian kebenaran Alquran selama ini karena tidak
adanya orang yang mampu membuat satu ayat pun seperti Alquran. Ia tidak tahu
mengapa dulu tidak mempermasalahkan Alquran seperti Zaranggi. Tapi
seandainya ia pernah kafir atau dilahirkan dari ibu seorang kafir, maka ia akan
tahu bahwa pertanyaan Zaranggi itu mestilah wajar-wajar saja dan mesti pula ada
jawabannya. Tapi apa boleh buat dia telah terlanjur memasuki aliran “anti akal”
dalam memahami agama. Maka, tinggal satu lagi jawaban yang ia harap mampu
memberikan penjelasan mengenai kebenaran Alquran kepada Zaranggi. Oleh
karenanya ia segera berucap:
“Tuan Zaranggi! Dalam Alquran Allah berfirman, bahwa kalau manusia
manapun tidak pecaya dan ingin membuktikan kebenaran Alquran maka
hendaknya ia membuat satu ayat saja seperti ayat Alquran. Tapi nyatanya sudah
berabad-abad tidak seorangpun yang mampu melakukannya. Apalagi sampai satu
surat, satu juz atau bahkan satu kitab. Dengan bukti ini dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa Alquran memang datang dari-Nya.’’
“Baik!” kata Zaranggi. “Dalil Anda tadi hanya membuktikan bahwa Alquran
dari Tuhan bukan dari manusia. Tapi hal tersebut tidak dapat membuktikan bahwa
10
Tuhan hanya satu. Sebab, seperti agama kami, Zoroaster, ada tiga Tuhan, yaitu
Ahuramazda, Yozdan dan Ahriman. Nah, barangkali Alquran itu datang dari salah
satu dari mereka. Apa jawab Tuan tentang hal ini?”
“Ah… itu tidak mungkin Tuan!” sergah sang tokoh.
“Kenapa?” Zaranggi ingin tahu.
“Sebab di dalam Alquran dinyatakan bahwa Tuhan hanyalah satu dan Dia
adalah Allah, bukan Ahuramazda, Yozdan dan Ahriman,” jawab tokoh kita sambil
wajahnya berseri-seri karena ia merasa dapat mempertahankan kesucian Alquran
dengan ucapannya itu.
“Tuan!” kata Zaranggi, “Anda tidak dapat berdalil dengan ayat yang
mengatakan bahwa Tuhan hanya satu itu, lalu Anda menutup kemungkinan bahwa
Tuhan lebih dari satu.”
“Kenapa?” tanya sang tokoh sedikit heran.
“Sebab Anda sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran ayat itu Tuan,
karena keterbatasan akal sebagaimana tadi Anda katakan. Dan mengenai Alquran
yang tidak bisa ditiru bukankah telah saya katakan bahwa hal itu hanya
membuktikan bahwa Alquran datang dari Tuhan. Karena ia mempunyai kekuatan
yang tak bisa dijangkau manusia. Tapi tidak dapat dijadikan bukti akan adanya
satu Tuhan.”
Pusing. Tokoh kita jadi pusing. Ia tidak mengira sama sekali
permasalahannya akan jadi sedemikian rumit. Bahkan belasan tahun ia belajar,
tidak pernah menghadapi masalah seperti itu. Kitab yang dibawa oleh beberapa
onta itu pun tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan Zaranggi ini. Maklumlah,
tokoh kita ini selama belasan tahun hanya belajar di pusat ilmu pengetahuan dari
kalangan yang mengharamkan akal dalam agama. Kasihan sekali. Akhirnya karena
ia bingung, maka ia ganti bertanya.
“Apakah hal itu mungkin, Tuan? Apakah mungkin salah satu di antara Tuhan
Tuan menurunkan Alquran dan ia merubah nama serta mengaku hanya sendirian?
Yah kalau hanya dari jawaban-jawaban Anda, hal itu mungkin saja, Tuan. Apalagi
Anda pernah suatu hari menjelaskan kepada kami bahwa seandainya ada dua
Tuhan atau lebih, maka dunia ini akan hancur karena mereka akan bersaing. Yah…
11
barangkali mereka bersaing khususnya yang satu ini, mungkin ia ingin
mendapatkan pengaruh dari manusia, maka dari itu ia mengaku sendirian dan
menurunkan Alquran dan tiga Tuhan itu sebenarnya sekedar contoh, sesuai
keyakinan kami. Akan tetapi barangkali sebenarnya Tuhan mungkin malah lebih
dari itu.”
“Itu tidak mungkin Tuan,” kata sang tokoh.
“Kenapa Tuan?” Zaranggi balik bertanya.
“Sebab kalau Tuhan yang satu itu bersaing dengan melakukan apa yang
Anda katakan ini maka pastilah Tuhan yang lain tidak akan membiarkannya. Dan
pasti akan timbul pertengkaran yang akan membawa kehancuran alam semesta
ini.”
“Tuan! Bagi saya pertengkaran itu belum tentu membawa kehancuran.
Sebab, Tuhan-Tuhan itu berkuasa untuk tidak membuat kehancuran. Lagi pula bisa
saja Tuhan-Tuhan yang lain itu membiarkan tingkah Tuhan yang satu itu karena
mereka tidak memerlukan pengaruh dari manusia, Tuan.”
“Ah… hal itu tidak mungkin,“ jawab tokoh kita, “mana mungkin ada Tuhan
begitu. Ada yang bikin masalah tapi ada pula yang mengalah.”
“Lho… kenapa tidak mungkin Tuan, apa alasannya?” Zaranggi berusaha
mendesak.
“Sebab, Tuhan itu Mahasempurna,” kata sang tokoh. “Oleh karena itu tidak
mungkin ada yang lebih bijak dari-Nya sehingga ada yang mengalah atas kelakuan-
Nya; atau Tuhan itu Mahasuci, sehingga tak mungkin Tuhan itu akan saling
berebut pengaruh; atau Tuhan itu Maha Berkuasa dan Kuat, sehingga tak mungkin
ia membiarkan yang lain menganiayai-Nya.”
“Dari mana Anda tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat semacam itu?
Bukankah Anda sendiri yang mengatakan bahwa kalau ada lebih dari satu Tuhan
akan timbul persaingan? Lagi pula kalau Anda boleh mengatakan bahwa Tuhan-
Tuhan itu akan bersaing, mengapa saya tidak boleh mengatakan bahwa sebagian
dari mereka ada yang mengalah? Bukankah yang saya katakan masih lebih baik
dari apa yang Anda katakan, sebab masih ada sebagian yang lain yang masih
mempunyai sifat kesempurnaan? Kalau saya salah dalam perkataan saya itu, apa
12
yang Anda jadikan dalil untuk menyalahkan saya itu?” Zaranggi terus mendesak
dan tokoh kita tak lagi mampu menjawab. Dia bahkan hanyut dalam lamunan.
Tokoh kita semakin bingung. Kata-kata Zaranggi sekilas nampak lucu dan
mengada-ada. “Tapi… bagaimana menjawabnya?” bisik sang tokoh dalam hati.
Kalau dijawab bahwa dalilnya Alquran, dalam hal ini Alquran masih belum dapat
dibuktikan kebenarannya, malahan justru sekarang ini dalam rangka membuktikan
kebenaran Alquran. Kalau dijawab semacam itu berarti untuk membuktikan
kebenaran satu ayat perlu ditunjang dengan ayat yang lain yang masih akan
dipertanyakan kebenarannya, dan akan begitu seterusnya sampai akhir ayat
Alquran. Memang… ia pernah mendengar golongan kaum muslimin yang
membolehkan menggunakan akal dalam agama walaupun dalam batas-batas
tertentu. Tapi dia tidak dapat memanfaatkan ilmu mereka, sebab ia tidak sealiran
dan memang belum mempelajarinya. Walaupun ia telah berpuluh-puluh tahun
belajar di pendidikan Islam.
Selagi sang tokoh melamun, Zaranggi nyeletuk lagi. “Baiklah Tuan,
katakanlah Tuhan Mahasempurna, suci dan kuat sehingga tak ada yang lebih bijak
atau lebih kuat. Tapi itu kan kalau dihubungkan dengan kita sebagai makhluk. Tapi
kalau dihubungkan dengan sesama Tuhan bukankah hal itu mungkin-mungkin
saja? Kalau tidak mungkin apa dalilnya? Atau bisa saja malah di antara sesama
Tuhan tidak bertengkar? Bisa saja mereka bahkan hidup rukun dan bekerja sama
dalam penciptaan. Sehingga dengan demikian tidak akan ada perselisihan seperti
yang Anda katakan atau khawatirkan tadi. Sebab kalau kita saja suka kepada
kerukunan apalagi Tuhan? Kalau Anda katakan ‘tidak mungkin’ karena Tuhan tidak
boleh bekerja sama karena hal itu akan menunjukkan kekurangannya, apa
dalilnya? Kita sesama makhluk bekerja sama, mengapa tidak mungkin sesama
Tuhan bekerja sama? Bukankah hal itu tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan bersifat
seperti makhluk-Nya yang kekurangan? Sebab makhluk bekerja sama dengan
makhluk dan minta tolong kepada Tuhan, tapi Tuhan bekerja sama dengan Tuhan
dan mereka tidak perlu bantuan makhluk? Atau, katakanlah Tuhan mempunyai
kesamaan sifat dengan makhluk, lalu kenapa? Misalnya Anda katakan bahwa
Tuhan mempunyai sifat wujud, hidup. Bukankah kita juga hidup dan wujud?”
13
Merepotkan, pikir sang tokoh. Hal yang satu belum terjawab datang lagi
berondongan pertanyaan yang tak kalah repotnya. Ingin ia mengusir Zaranggi
atau meninggalkannya pergi atau bahkan mengajaknya berkelahi, tapi apakah
begitu seorang yang mengaku pembela Islam? Membela Islam dengan kekurangan
dan kebodohannya? “Ah… tidak… tidak… aku tidak boleh melakukannya,” pikir
sang tokoh. Kini ia semakin sadar bahwa ilmunya tidak dapat dengan baik
menolong orang lain yang ingin mengetahui Islam. Maka dari itu ia segera
memutuskan untuk meminta maaf atas kekurangannya itu dengan ucapannya:
“Maaf Tuan Zaranggi, dalam hal ini saya tidak bisa menjawab.”
“Baiklah, Tuan,” kata Zaranggi. “Bolehkah saya menanyakan hal-hal yang
lain? Saya minta maaf telah mendesak Anda. Tapi hal itu saya lakukan karena saya
ingin mengetahui sejauh mana kebenaran Islam. Kalau memang terbukti benar
tentu saja saya berniat memasukinya.”
“Ya… tidak apa-apa, Tuan Zaranggi. Memang sudah semestinya Anda
menanyakan sebelum Anda memasukinya. Saya kagum kepada ketelitian dan
ketulusan Tuan. Bahkan sekali lagi saya minta maaf kepada Anda, karena saya
tidak dapat banyak menolong Anda. Mengenai pertanyaan Anda, saya pikir silakan
saja, semoga saya dapat membantu Anda.”
“Terima kasih, Tuan. Pertanyaan saya menyangkut dasar Islam yang lain,
yaitu hadis, sebagaimana Anda terangkan tadi,” kata Zaranggi.
“Oh… silakan saja!” sang tokoh mempersilahkan.
“Baik, terima kasih. Pertanyaan saya adalah siapa pengumpul kata-kata atau
perbuatan nabi itu, Tuan? Apakah juga Utsman?”
“Oh! Tidak,” jawab sang tokoh. “Pengumpulnya banyak, misalnya Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai dan lain-lain.”
“Apakah mereka itu juga sahabat-sahabat besar nabi?” Zaranggi bertanya
sambil penuh perhatian.
“Bukan! Mereka adalah orang-orang besar yang rata-rata lahir sekitar akhir
atau setelah abad kedua setelah wafatnya nabi,” jawab sang tokoh.
14
Setelah tokoh kita menjawab, dalam hatinya ada rasa keheranan. Karena ia
melihat Zaranggi yang duduk di depannya mengerutkan alisnya. Pertanda ada
sesuatu yang ia pikirkan atau ada sesuatu yang ia anggap aneh lagi. Tapi apa?
Setelah Zaranggi manggut-manggut sejenak, ia meneruskan
pertanyaannya. “Bagaimana cara mereka menuliskan? Bukankah jarak mereka
dengan nabi Anda sangat jauh?”
Tokoh kita tersenyum, karena ia sudah memperkirakan pertanyaan
Zaranggi itu dan ia sudah pula mempersiapkan jawabannya. Maka langsung saja ia
menjawab tanpa ia sadari bahwa ia akan terjepit lagi.
“Mereka itu menulis dari orang-orang yang pernah mendengar suatu hadis
melalui orang-orang lain, sampai kepada nabi,” jawabnya.
“Sampai berapa orang kira-kira, sehingga menyambung kepada nabi?” tanya
Zaranggi.
“Yah… bisa lima atau lebih” jawab sang tokoh yang masih belum menyadari
bahwa ia akan terjepit lagi.
“Apakah mereka dapat dipercaya, Tuan?” Zaranggi mulai
mempermasalahkan keabsahan salah satu dasar agama Islam.
“Oh… dapat, dapat. Mereka itu dapat dipercaya. Mereka diteliti melalui
sejarah. Yah… yang memang terbukti tidak dapat dipercaya atau bukan orang-
orang yang saleh, hadisnya akan digugurkan,” kata sang tokoh meyakinkan
Zaranggi.
Tapi dasar Zaranggi orang kafir, maka ia tidak terikat dengan ini dan itu.
Maka ia tanyakan apa saja yang ingin ia tanyakan dan sudah tentu dengan bahasa
yang polos. Maka ia bertanya sambil mulai mendesak tokoh kita lagi.
“Tuan!” katanya. “Kalau demikian halnya maka agama yang Tuan pahami
dan bawa ini belum tentu benar (relatif).”
“Kenapa begitu?” Tokoh kita mulai penasaran.
“Hal itu ada beberapa alasan. Pertama, dalam mempercayai seseorang,
setiap satu orang di antara kita akan timbul perbedaan (relativitas). Bisa saja
sekelompok orang percaya terhadap seseorang, tapi kelompok yang lain
mendustakannya. Saya pikir hal itu wajar. Artinya, bukanlah suatu keanehan kalau
15
dalam mempercayai seseorang ada perbedaan. Kedua, kesalehan seseorang tidak
dapat diketahui oleh orang lain. Karena, seperti yang Tuan jelaskan, masalah hati
tidak dapat kita pantau. Jadi bisa saja seseorang dianggap saleh bagi sebagian
orang dan tidak bagi sebagian yang lain. Yah… masih relatif juga. Ketiga, Anda
mengatakan bahwa orang-orang munafik ada. Sebagian mereka memang
diketahui sehingga bisa kita pantau melalui penulisan sejarah. Akan tetapi sesuai
dengan yang Anda jelaskan kepada saya tadi, dalam Alquran mengisyaratkan
adanya orang-orang munafik yang mereka tinggal di desa-desa dan juga di kota
serta di sekitar nabi, yang tidak diketahui oleh nabi sekalipun. Lalu bagaimana
kalau hadis-hadis itu datang dari mereka?”
Kasihan, tokoh kita ini mulai bingung lagi. Tapi karena ia yakin bahwa Islam
harus dibela, maka ia berusaha menjawabnya, walaupun sebenarnya ia tidak sadar
bahwa Islam tidak serakah terhadap pembelaan. Ia hanya mau dibela dengan
pembelaan yang islami pula. Bukan dengan pembelaan yang tidak islami.
“Yah… memang demikian,” kata sang tokoh tidak dapat menolak kata-kata
Zaranggi. Karena ia sadar perbedaan pendapat dalam banyak hal dalam Islam
terjadi. Bahkan sampai kepada saling syirik-menyirikkan atau sesat-menyesatkan.
“Akan tetapi,” sambungnya, “asal tidak bertentangan dengan Quran, kita dapat
mengambilnya. Lagi pula walaupun penentu utama kesalehan adalah batin, akan
tetapi hal itu dapat dipantau melalui amal-amal lahirnya. Amal-amal lahir itu ibarat
sinar matahari. Karena, sinar matahari itu menunjukkan adanya matahari itu
sendiri, maka amal-amal saleh itu dapat menunjukkan keimanan seseorang.”
Kini Zaranggi betul-betul ingin membuktikan kebenaran Islam yang dibawa
tokoh kita ini. Maka dari itu, ia terus mendesak tokoh kita. Ia berkata:
“Apa yang Tuan sampaikan tidak dapat mengangkat kerelatifan dalam
agama Islam yang dipahami oleh umatnya dan tidak menutup kemungkinan akan
adanya penyelewengan-penyelewengan.”
“Kenapa begitu?” sergah tokoh kita yang sudah mulai tidak sabaran ini. Ia
segera ingin mengetahui alasan yang kelihatannya sengaja ditunda-tunda oleh
Zaranggi.
16
“Sebab pertama adalah,” jawab Zaranggi, “menurut saya dalam memahami
kitab suci Tuan tidak berbeda seperti memahami buku-buku atau kitab-kitab suci
agama lain. Apa yang saya maksudkan dalam artian kerelatifan dalam
memahaminya. Jadi, bisa saja satu hadis bertentangan dengan Alquran menurut
sebagian orang dan tidak bertentangan menurut sebagian yang lain. Sebab kedua
adalah pemantauan terhadap batin melalui amal lahir sangat tidak memadai.
Sebab, tidak mungkin dalam pemantauan itu dapat dilakukan sepanjang hidup
mereka dan dalam segala keadaan mereka sebelum kemudian hadis mereka
dituliskan. Jadi, bisa saja mereka itu baik di pasar tapi tidak baik di rumah. Atau
baik kemarin tapi besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan
seterusnya atau tahun sebelumnya, mungkin tergolong orang-orang yang tidak
baik. Atau pemantau (penulis) hadis itu sendiri bagaimana? Apakah mereka baik,
jujur, dalam pekerjaan mereka? Siapa yang menjamin mereka? Siapa yang
menjamin orang yang menjamin mereka itu dan seterusnya? Sebab ketiga adalah,
Anda mengatakan bahwa memantau batin melalui amal-amal lahir ibarat
memantau matahari lewat sinarnya. Padahal Anda juga mengatakan bahwa
munafik itu ada dan barangkali ia melakukan itu untuk merusak Islam dari dalam.
Kalau begitu sudah tentu para munafik itu selalu beramal baik untuk menutupi
niat buruknya. Sebab tak akan ada orang yang mengaku pencuri ketika ia ingin
mencuri. Sebab keempat adalah, Anda tadi pernah menyebutkan istilah sahabat
besar. Bagaimana kalau ada hadis yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat-
sahabat besar atau sekian ribu sahabat umpamanya, munafik? Apakah hadis itu
dapat Anda katakan bertentangan dengan Alquran? Sebab Anda katakan tadi
bahwa sebagian orang-orang desa dan yang ada di sekeliling nabi terdapat orang-
orang munafik, yang tidak diketahui oleh nabi sekalipun. Sebab kelima adalah,
Anda mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tak baik atau
saleh, misalnya orang yang tidak salat atau suka berdusta, tidak bakalan diterima.
Nah, kalau demikian halnya maka Anda tidak akan menerima dari orang-orang
yang suka membunuh, bukan? Padahal Anda sendiri pernah mengatakan kepada
kami pada suatu hari bahwa setelah nabi wafat telah terjadi peristiwa yang sangat
menyedihkan. Yaitu adanya beberapa peperangan antara puluhan ribu sahabat
17
dengan puluhan ribu yang lainnya. Sedang perawi utama sebuah hadis adalah
mereka. Bagaimana Anda dapat mempertahankan konsep Anda?”
Tokoh kita sama sekali tidak mengira dengan apa yang akan diucapkan oleh
orang yang bernama Zaranggi itu. Ia salah tingkah, ia emosi dan tersinggung
dengan ceplas-ceplosnya pertanyaan Zaranggi yang mempermasalahkan dasar-
dasar nilai Islam yang tersebar. Hal yang lebih membuat tokoh kita itu seakan
ingin menampar orang yang di depannya itu adalah ketidaksungkanan Zaranggi
terhadap semua sahabat-sahabat nabi yang diyakininya sebagai penolong-
penolong Islam, mujahid dan mendapat keridaan Allah. Tapi di lain pihak ia sadar
bahwa ia tidak dapat melakukan apa-apa selain harus berkonsentrasi terhadap
pertanyaan Zaranggi. Sebab selain ia akan malu sekali kalau mempertahankan
Islam dengan otot dan paksaan juga dengan kebodohan, ia melihat kejujuran
dalam diri Zaranggi yang menurutnya benar-benar ingin tahu agama Islam.
Tanpa ia sadari, ia yang dulunya yakin berjalan di atas Alquran, sekarang
merasa ragu. Pertanyaan Zaranggi itu benar-benar telah menyadarkannya bahwa
siapa tahu, barang kali selama ini ia berjalan di atas Alquran yang bukan Alquran.
Artinya, ia berjalan di atas Alquran yang relatif, yaitu Alquran yang ia dan
mazhabnya atau golongannya pahami. Sebab, menurut kata hatinya, tidak
mungkin Alquran dengan Alquran menyesatkan. Apalagi saling menyuruh
pengikutnya untuk berbunuh-bunuhan. Padahal kenyataannya sesama kaum
muslimin saling menyesatkan. Bahkan muslimin gelombang pertama, yaitu
sahabat nabi, saling bertumpah darah dalam beberapa peperangan sepeninggal
nabi.
Tak kalah terperanjatnya hati sang tokoh ketika Zaranggi
mempermasalahkan keabsahan pemilihan kesalehan atau kejujuran dari
seseorang yang menjadi perawi suatu hadis. Untung ia mempunyai banyak
pengetahuan tentang hadis, sehingga ia dapat menerima yang dikatakannya itu.
Sebab kalau tidak, barangkali ia akan mengusir Zaranggi dari rumahnya. Tapi
karena ia tahu bahwa yang dikatakan Zaranggi itu memang masuk akal dan
merupakan salah satu kelemahan ilmu hadis, maka ia tidak melakukan pekerjaan
yang hina itu. Di samping itu, ia, sesuai dengan ilmunya yang cukup lumayan
18
tentang hadis itu, memang mengetahui bahwa dalam menilai perawi hadis
terdapat berpuluh-puluh perbedaan. Seorang penilai perawi hadis yang
bermazhab tertentu akan melemahkan seorang perawi hadis yang bermazhab
lain. Apalagi penilaian terhadap seorang perawi hadis tidak mungkin sempurna.
Sebab, umur seorang penulis hadis atau umur penilai perawi hadis tidak akan
cukup untuk digunakan meneliti seorang saja dari sekian perawi dari sebuah
hadis. Apalagi untuk meneliti semua perawi hadis yang berjumlah ribuan atau
bahkan puluhan ribu.
Sahabat. Ia sadar. Sekali lagi ia sadar dan baru sadar. Selama ini, selama ia
belajar hadis, selama ia meneliti dengan seksama perawi-perawi suatu hadis
memang ia mengenal suatu kaum perawi yang kebal terhadap penelitian. Bahkan
tidak boleh diteliti. Semua perawi hadis diteliti dengan seksama. Tapi kalau sudah
sampai ke kaum itu, kaum yang menukil langsung dari Rasulullah, mikroskop yang
digunakan para ahli peneliti perawi hadis menjadi pecah berantakan. Sebab,
teropong itu tidak mampu meneropong kaum yang penuh fadilah itu. Kini, ketika
ia berhadapan dengan orang yang masih suci pikiran dari aliran-aliran Islam,
karena ia memang masih kafir, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun ia agak
berlega hati karena ia ingat suatu ayat dalam surah At-Taubah ayat 100. Oleh
sebab itu, sembari menarik napas sedikit lega ia berharap akan mampu
menyelamatkan salah satu khazanah Islam, yaitu mengenai sahabat. Sebab, rasa-
rasanya ia tidak mampu menjawab tuduhan Zaranggi yang merelatifkan Islam
yang dipahami umat. Maka dengan lirih tapi dengan penuh rasa tanggung jawab ia
berucap:
“Tuan Zaranggi! Saya merasa kagum terhadap pertanyaan-pertanyaan
Anda. Saya sadar akan keterbatasan atau, barangkali tepatnya, atas kesalahan
saya dalam memilih alur pemikiran Islam dari alur-alur yang ada. Memang nabi
telah mengisyaratkan akan adanya jalur-jalur yang banyak, sedangkan yang benar
hanya satu. Saya berjanji akan memperdalam lagi dan akan kembali ke sini untuk
mempertanggungjawabkan pekerjaan saya ini suatu hari, insya Allah. Karena itu,
saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
19
Orang-orang terperangah. Orang yang selama ini mereka kenal sebagai
orang yang cekatan dalam menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut
Islam, kini tersimpuh lemah di hadapan Zaranggi. Zaranggi tak bisa dipersalahkan
walaupun ia, yang berbekal sedikit filsafat itu, mempertanyakan hal-hal yang
sangat mendasar dalam Islam. Ia tidak bertanya apa dan bagaimana keadilan,
sosial, kemanusiaan, peranan kaum pria dan wanita dalam masyarakat dan
semacamnya menurut Islam. Bahkan dengan apa Islam memandang semua itu
yang biasanya bagi seorang Islam yang segolongan dengan tokoh kita ini,
pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang tabu untuk mereka tanyakan.
“Namun,” lanjut sang tokoh, “mengenai sahabat nabi yang mana mereka
dalam kaitannya dengan hadis Islam merupakan mata rantai pertama dalam
susunan perawi-perawi hadis, adalah merupakan suatu kaum yang telah mendapat
keridaan Allah. Hal mana terdapat dalam firman-Nya dalam surah At-Taubah ayat
100, yang artinya,
“Mereka para pendahulu dari kaum muhajirin dan ansar, dan yang mengikuti
mereka dengan sebaik-baiknya maka mereka diridai Allah dan mereka juga rida
terhadap-Nya.” (Q.S. At-Taubah: 100)
Jadi, dengan ayat ini posisi mereka di dalam Islam adalah sangat terhormat.
Dengan jasa mereka pulalah Islam sampai kepada kita, maka umat Islam harus
berterima kasih terhadap mereka, bukan malah mempertanyakan keadaan
mereka.”
Setelah selesai sang tokoh menyampaikan rasa penyesalan dan maafnya,
hal mana sangat dikagumi oleh Zaranggi atas keterbukaan dan kejujurannya itu,
walaupun di sisi lain Zaranggi belum puas karena ternyata yang selama ini ia ingin
ketahui dari agama Islam, tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sebab
Zaranggi sendiri mengira bahwa Islam sangat dapat diandalkan. Hal itu ia ketahui
karena beberapa filosof besar dari kalangan kaum muslim. Tapi Zaranggi tidak
menyadari bahwa tokoh kita ini adalah termasuk dari golongan orang-orang yang
melarang menggunakan akal dalam agama. Alias suatu golongan yang kembali
pada Alquran dan hadis secara leterlek. Artinya tidak membolehkan akal untuk
menakwil suatu ayat atau hadis. Bahkan orang-orang yang suka menakwil
20
dikatakan oleh mereka sebagai orang-orang yang sakit. Karena, katanya, mereka
mengikuti yang mutasyabihat.
“Terima kasih atas janji dan kesediaan Tuan dalam menjanjikan jawaban
untuk kami,” kata Zaranggi. “Sekali lagi terima kasih. Saya pribadi kagum terhadap
kejujuran dan keterbukaan serta penghormatan Anda pada norma-norma ilmiah
dan tidak menjadi marah kepada saya sebagaimana pernah saya alami
sebelumnya.”
Memang, karena pertanyaan Zaranggi yang kelihatannya kurang sopan
terhadap Islam dan tokoh-tokoh Islam, walaupun sebenarnya pertanyaan-
pertanyaan itu mengandung kejujuran seorang pencari kebenaran hakiki, pada
suatu hari ia pernah dimarahi oleh seorang tokoh lain yang memang sudah mulai
kepepet dengan pertanyaan-pertanyaan Zaranggi.
Dari gelagatnya, jawaban terakhir tokoh kita ini, bagi Zaranggi adalah
merupakan jawaban yang asal comot saja, tanpa dipikir lebih jauh. Ia dapat
memperkirakan bahwa pertanyaannya yang berikut akan membuat tokoh kita ini
tidak dapat menjawab lagi. “Namun,” kata Zaranggi dalam hati, “biar ia cari nanti
jawabannya dan kemudian ia memberikan jawabannya kepada saya. Toh ia
bersedia untuk itu. Dan saya akan mendapat kepuasan dalam menatap agama
Islam.” Karena pikirannya itu, Zaranggi memohon supaya ia dapat menanyakan
beberapa hal lagi. Maka dari itu ia melanjutkan perkataannya:
“Tuan! Bolehkan saya meneruskan pertanyaan saya dalam diskusi ini Tuan?”
“Yah… boleh saja Tuan Zaranggi. Apa itu?” kata sang tokoh.
“Begini Tuan,” kata Zaranggi yang kemudian ia teruskan. “Tuan tadi
mengatakan bahwa sahabat-sahabat nabi dan yang mengikuti mereka itu telah
mendapat rida Tuhan sesuai dengan ayat yang Tuan bawakan tadi. Akan tetapi di
sini ada keganjilannya Tuan.”
“Apa keganjilannya, Tuan Zaranggi?” Sang tokoh mulai penasaran lagi.
Sebab permasalahan itu adalah satu-satunya permasalahan yang ia yakini dapat
mempertahankannya. Tapi ternyata, lagi-lagi masih saja dipertanyakan
kebenarannya. Maka, ia benar-benar memperhatikan apa-apa yang dijadikan
alasan Zaranggi ketika ia berucap:
21
“Eee… sebelum saya ajukan alasan-alasan, ada yang ingin saya sampaikan.
Seandainya saya seorang muslim maka selayaknyalah saya berterima kasih kepada
generasi Islam pertama, yaitu yang dikatakan sahabat-sahabat nabi itu. Tapi
karena saya belum mengimani agama Islam saya berhak bertanya mengenai mutu
mereka itu. Bahkan saya rasa, saya wajib mempertanyakannya. Sebab Islam yang
ada ini tidak bisa tidak akan dicoraki oleh mutu mereka. Sebab dari merekalah
generasi penerus memahami Islam. Maka dari itu kecerdasan, kejujuran dan lain-
lainnya dari setiap individu mereka sangat menentukan kemurnian Islam di masa
datang setelah mereka. Barang kali hal mereka sudah berlalu, tapi justru karena
keberlaluan mereka itulah mereka harus dinilai karena sebab-sebab tadi. Bagi saya
amatlah janggal untuk menyamaratakan kedudukan mereka. Sebab selama ini
belum ada suatu umat yang tidak ada pencurinya, orang-orang jahatnya atau
orang-orang bodohnya sekalipun baik. Bahkan biasanya yang paling banyak adalah
orang-orang yang bukan intelek. Justru dari Tuan dan kitab Tuan sendiri saya
dapat mengatakan bahwa sahabat-sahabat nabi Tuan tidak berbeda dengan umat-
umat yang lain dari segi adanya orang-orang yang tidak baik dalam
lingkungannya.”
“Apa yang Anda ketahui dari saya dan kitab saya?” potong tokoh kita yang
semakin tidak sabaran ini. Sambil mencari-cari gerangan apa yang telah
dikatakannya, sebagaimana disinggung Zaranggi tadi.
“Alasan pertama,” kata Zaranggi, “Anda tadi menukil beberapa ayat yang
intinya menyatakan dan memberitahukan kepada nabi bahwa di sekeliling beliau
ada orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang sama-sama melakukan apa yang
mesti dilakukan oleh orang-orang muslim. Karena nabi dalam ayat itu tidak
mengetahui siapa mereka, apalagi orang-orang muslim yang lain. Dari ayat itu
juga bisa diambil pengertian bahwa orang-orang munafik itu begitu taat dan
salehnya sehingga nabi sendiri tidak dapat membaca mereka. Barang kali karena
kecanggihan mereka itulah ayat-ayat yang Anda nukil tadi mengatakan bahwa
mereka sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Alasan kedua adalah,
dalam kenyataan sejarah Islam yang menyedihkan, kata Anda, terjadi beberapa
peperangan yang terjadi di kalangan sahabat-sahabat nabi sepeninggal beliau.
22
Sudah tentu ratusan atau ribuan korban telah jatuh dalam kejadian-kejadian itu.
Menurut saya, mustahil golongan yang sama-sama benar, berperang. Kalau logika
saya ini masuk, maka setiap dua golongan yang bertikai (bertentangan) mestilah
yang satu dari mereka salah atau semuanya salah. Sebab sesama golongan sesat
bisa saja berperang dan peperangan itu, kata Anda, telah terjadi dalam beberapa
kali. Kalau demikian halnya maka Islam ini telah ditransfer oleh orang-orang yang
sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab mereka bukan lagi pencuri,
pembohong atau orang-orang yang makan berdiri dan semacamnya, sehingga
hadis mereka adalah lemah atau tertolak. Akan tetapi mereka adalah pembunuh.
Bahkan mereka adalah pembunuh yang membanggakan diri. Sebab dalam
peperangan apapun, membunuh adalah salah satu kemenangan yang
membanggakan. Kalau yang membawa Islam pertama kali sedemikian keadaannya
maka sesaleh apapun perawi berikutnya masih sulit untuk diterima kebenarannya.
Apalagi sudah saya katakan bahwa perawi-perawi berikutnya pun tidak dapat
dikatakan saleh dengan sebenar-benarnya—seratus persen—sebab sebagaimana
maklum, kata agama Anda, yang tahu masalah lahir dan batin adalah hanya Tuhan.
Dengan dua dalil ini saja, kalau agama Anda dan kitab Anda benar, maka
barangkali ada suatu pemahaman lain tentang ayat yang Anda nukil tadi, yaitu
yang mengatakan bahwa mereka atau para sahabat itu telah diridai Tuhan.”
Tokoh kita terdesak lagi, dan tak bisa berkata apa-apa. Karena ia terdiam,
maka Zaranggi meneruskan kata-katanya.
“Tuan! Ada satu lagi, tapi sebelum saya utarakan apakah Tuan tidak marah
kalau saya, dari kata-kata Anda, mengajukan suatu keganjilan yang dilakukan
sahabat besar seperti yang Anda ucapkan?”
Sejenak Zaranggi berhenti dan ia menunggu jawaban sang tokoh yang
walaupun agak terlambat, akhirnya ia mempersilahkan.
“Silahkan saja, Tuan Zaranggi!” kata sang tokoh yang sedikit tersendat.
Zaranggi tak perduli lagi, dia terus saja nyelonong dengan iskal-iskalnya
(pertanyaan-pertanyaan).
23
“Baik, terima kasih. Sebenarnya keganjilan itu ada di antara dua alternatif.
Kesalahan Anda dalam memantau sejarah Alquran, atau memang, seperti yang
saya ucapkan, adalah suatu keganjilan yang dilakukan sahabat nabi.”
“Eh… maaf,” potong sang tokoh, “coba Anda terangkan secara lebih jelas,
apa maksud Anda sebenarnya?”
“Begini Tuan,“ jawab Zaranggi. “Anda mengatakan bahwa Islam
berdasarkan Alquran dan hadis nabi. Bukankah begitu?”
“Benar” jawab tokoh kita.
“Akan tetapi,” lanjut Zaranggi, ”ketika saya tanyakan kepada Anda apa
Alquran itu, Anda mengatakan bahwa ia adalah kumpulan firman-firman Tuhan
yang diwahyukan kepada nabi dan disusun oleh—atau disusun atas ide—Utsman
bin Affan sebagai salah satu sahabat besar. Bukankah begitu?”
“Benar,” kata sang tokoh membenarkan.
“Nah, sekarang saya mau bertanya. Apakah nabi tidak menyusunnya?” tanya
Zaranggi.
“Tidak,” kata sang tokoh. Ia tak mungkin menjawab bahwa nabi telah
menyusunnya. Sebab, yang ia kenal Alquran yang ada sekarang ini adalah mushaf
Utsmani bukan mushaf Muhammadi.
“Nah kalau begitu, yakni kalau nabi tidak mengumpulkan, berarti salah satu
dasar dari agama Islam, yakni hadis, tidak menyuruh untuk menyusunnya. Lalu
kenapa sahabat besar beliau menyusunnya? Bukankah hal itu bertentangan
dengan sunah sendiri? Juga bahkan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebab
ketika nabi tidak menyusunnya berarti tak ada perintah dari Tuhan, sebab nabi
adalah duta (wakil/utusan) Tuhan?”
“Oh… tidak, tidak, tidak Tuan Zaranggi, tidak demikian permasalahannya,”
sergah tokoh kita.
“Kenapa?” tanya Zaranggi.
“Sebab, hal itu baik dan tak ada larangannya,” jawab sang tokoh pendek.
“Tapi kan tak ada dalil kebolehannya, Tuan?” Zaranggi mendesak terus.
“Walhasil baik dan tak ada larangannya,” jawab sang tokoh. Memang tokoh
kita ini akan menjawab ada. Sebab dia teringat sebuah hadis yang menyuruh kaum
24
muslimin mengikuti sunah nabi dan para Khulafa Rasyidin. Akan tetapi terpikir
olehnya sendiri bahwa hal itu tidak mungkin, sebab akan ada sesuatu selain
Alquran dan hadis, sebagai dasar Islam, yang tentu akan dijadikan masalah oleh
Zaranggi, yaitu soal Khulafa Rasyidin itu. Lebih-lebih sekarang ia dipertemukan
kepada dua perbuatan yang berbeda yang datang dari nabi dan Khulafa Rasyidin.
“Bukan begitu Tuan,” kata Zaranggi, “di sini saya melihat suatu keanehan.
Sebab bagi pengertian saya, yang namanya kitab suci, tidak mungkin tidak
tersusun dan tetap berserakan di antara dedaunan, kulit-kulit kayu atau tulang.”
“Yah… barangkali nabi belum sempat menyusunnya,” sang tokoh beralasan
dengan sedikit ragu terhadap jawabannya itu.
“Sebenarnya saya tidak berhak untuk mempermasalahkan agama, Tuan.
Mau benar atau tidak. Akan tetapi semua yang saya lakukan ini adalah semata-
mata saya ingin tahu kebenaran agama, Tuan. Jadi maaf, kalau dari pertanyaan
saya ini terkesan kurang sopan terhadap agama Tuan.” Kembali Zaranggi
menjelaskan maksud baiknya. Sebab, dia khawatir sang tokoh di depannya akan
mulai tidak sabaran dan mengusirnya, seperti yang ia alami beberapa tahun yang
lalu.
“Oh… tidak apa-apa, itu biasa dan orang yang ingin tahu Islam mestilah ia
menanyakannya secara tuntas,” kata sang tokoh membesarkan hati sambil
memberikan gambaran bahwa Islam bukanlah agama yang asal paksa. Ia adalah
agama besar dan suci. Yah… tapi malang sang tokoh tak dapat membuktikan
semua itu pada Zaranggi.
“Bolehkah saya lanjutkan pertanyaan saya sedikit lagi Tuan?” pinta
Zaranggi.
“Ya, ya, silakan” sang tokoh mempersilahkan.
“Begini Tuan,” jelas Zaranggi, “bagi pengertian saya, seorang nabi pun tidak
berhak untuk menyusun kitab suci semaunya sendiri. Kalau Alquran itu memang
benar dari Tuhan, maka siapa pun tidak boleh ikut campur dalam urusan itu. Lalu
mengapa Anda katakan bahwa barangkali nabi belum sempat?”
25
Terperanjat juga sang tokoh kita ini mendengar kata-kata Zaranggi. Tapi ia
belum paham benar apa maksud Zaranggi. Maka, dengan sedikit heran, karena ia
memang berusaha menutupinya, ia bertanya:
“Kenapa nabi tidak boleh menyusunnya?”
“Lho… Anda tadi, di waktu menjelaskan rukun Islam dan rukun Iman,
mengatakan bahwa nabi itu adalah wakil Tuhan, bukankah begitu?”
“Benar,” jawab sang tokoh pendek.
“Nah… kalau begitu, karena ia wakil Tuhan, maka bolehkah ia mengatur
dan menyusun sendiri firman-firman Tuhan itu? Bolehkah wakil Tuhan mengatur
dan menyusun firman Tuhan?” Zaranggi terus mendesak.
“Katakanlah tidak boleh, tapi dalam penyusunan tak akan mempengaruhi
isinya dan tujuan diturunkannya Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia,”
sang tokoh berusaha menjelaskan posisi Alquran.
“Aneh… aneh juga agama Tuan ini,” desah Zaranggi. “Kenapa Tuhan Anda
tidak melakukan penyusunan itu dan mengesahkannya pada manusia.”
“Yah… katakanlah itu sebagai tugas manusia,” sang tokoh ingin lebih
meyakinkan Zaranggi.
“Tuan! Dari mana Anda tahu bahwa itu adalah tugas manusia. Sebab,
jangankan perintah untuk itu, dalil pembolehannya saja, dari agama, Anda tadi
tidak dapat menunjukkan kepada saya. Lalu dari mana Anda dapat memahami
itu?” Zaranggi terus mendesak tokoh kita. Tokoh kita tidak memberikan jawaban.
Akhirnya Zaranggi meneruskan pertanyaannya.
“Atau begini, Tuan...” Zaranggi berusaha memberikan argumen lagi.
“Menyusun kitab tentu tidak mudah, sebab mana yang harus diletakkan di depan,
di tengah dan di belakang. Dalam hal ini tidak ada petunjuk dari Tuhan. Sekarang
saya mau bertanya, bagaimana kalau surat-surat itu tersusun tidak sesuai dengan
apa yang Tuhan Anda kehendaki? Saya yakin susunan manusia itu tidak akan sama
dengan yang Dia kehendaki. Sebab, sebagaimana Anda katakan tadi, dalam hal
tersebut tidak ada petunjuk dari-Nya.”
26
“Sudah saya katakan tadi,” sang tokoh mengingatkan Zaranggi, “bahwa
tidak adanya petunjuk itu berarti penyusunannya itu terserah kepada kita. Hal itu
berarti tidak merubah esensi Alquran sebagai petunjuk bagi manusia.”
“Baiklah!” kata Zaranggi. “Sekarang saya mau bertanya apakah boleh
seorang menulis Alquran dalam bentuk lain dari Alquran yang ada ini, Tuan?
Artinya surat-surat yang di depan ditukar tempatnya dengan surat-surat yang ada
di tengah atau di belakang?”
“Ah… itu tidak boleh dilakukan, Tuan!” kata sang tokoh dengan sedikit
gusar.
“Kenapa?” tanya Zaranggi.
“Karena akan menimbulkan ketidakseragaman di antara kaum muslimin,”
jelas sang tokoh.
“Apakah ketidakseragaman itu tidak baik Tuan?” Zaranggi terus bertanya.
“Yah… kurang baik atau bahkan tidak baik sama sekali,” jawab sang tokoh.
“Lho…,” Zaranggi terkejut. “Apakah Tuhan Tuan tidak menyadari tentang
hal ini, sehingga tidak menyusunnya (sejak awal) dan orang-orang akan
memahami, seperti yang Anda katakan, bahwa tidak samanya susunan manusia
dengan Tuhan tidak merubah esensi Alquran? Atau berangkat dari namanya saja,
yaitu kitab suci, yang menandakan suci dari segala-galanya, akan menjadi tidak
suci lagi kalau ada campur tangan manusia.”
“Kenapa begitu?” tanya tokoh kita yang semakin kebingungan ini.
“Sebab bagi saya kitab suci termasuk berarti suci dari campur tangan
manusia yang hina ini. Kitab suci haruslah hanya disusun oleh Tuhan sendiri.
Alquran sulit untuk dipercaya oleh kami sebagai firman-Nya yang murni,
seandainya Dia lalai mewahyukan kepada nabi-Nya untuk menyusun kitab-Nya itu.
Lebih-lebih firman-Nya atau sunah nabi-Nya tidak ada yang menyuruh untuk itu,
sesuai dengan apa yang tadi Anda katakan. Bagi saya kalau memang agama Islam
ini benar, tidak adanya perintah dalam firman-Nya dan sunah kemudian digabung
dengan mustahilnya Tuhan membiarkan firman-Nya berserakan di daun-daun,
kulit-kulit kayu, tulang-tulang dan lain-lain, menunjukkan bahwa Dia telah
menyusun semua firman-Nya itu dengan membimbing nabi-Nya. Tapi yah…
27
sekarang belum bisa kami yakini kebenaran Islam ini sebelum janji untuk
menyelesaikan diskusi ini dapat Anda penuhi nantinya.”
Dengan perasaan malu tapi ia berusaha untuk tetap tenang tokoh kita ini
terpaksa berjanji untuk kesekian kalinya pada Zaranggi. Ia berkata:
“Apa yang Anda katakan, semuanya tadi ada rada benarnya. Saya kagum
kepada kecemerlangan, Tuan. Semoga saya dapat segera membantu Tuan dalam
hal ini setelah saya memperdalam lagi. Sekali lagi maafkanlah kami dalam
keterbatasan kami ini. Karena sekarang sudah tengah hari saya pikir untuk hari ini
kita cukupkan sekian dulu. Untuk besok dan seterusnya, sementara, tidak ada
pertemuan, sampai saya kembali nanti. Sekali lagi saya ucapkan maaf untuk ini
serta terima kasih saya ucapkan untuk kedatangan dan perhatiannya selama ini,”
kata tokoh kita ini.
Setelah bersalam-salaman dengan penuh akrab, pertemuan pada hari itu,
yang mana sebagai hari terakhir, telah berakhir. Tinggallah sang tokoh dengan
beberapa muridnya untuk melakukan salat Zuhur berjemaah. Setelah salat sang
tokoh sejenak melamun dan memikirkan kejadian besar yang baru pertamakali ia
alami selama ia menyebarkan agama Islam. Ia sedih dan menyesal serta memohon
beribu-ribu ampunan dari Tuhan, ia minta petunjuk kepada Allah agar ia
membimbingnya ke jalan yang benar (siratalmustakim).
Setelah itu ia menghadap murid-muridnya yang nampak semakin tegang
melihat gurunya tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan Zaranggi tadi. Dengan
suara lirih dan penuh kasih sayang tokoh kita ini mengatakan:
“Murid-muridku! Gurumu ini adalah ibarat setetes dari lautan luas
pengetahuan Islam. Yakinkanlah bahwa kelemahan itu ada pada gurumu ini. Bukan
pada Islam. Memang sekarang aku baru sadar bahwa apa yang dilakukan oleh
sebagian muslimin, yaitu memperdalam logika dan filsafat, yang kami di
pesantren dulu menganggap hal itu telah mengotori agama karena telah
memasukkan unsur akal ke dalamnya, ternyata sangat bermanfaat untuk
mempertahankan Islam. Bahkan tanpa akal, seperti yang terjadi tadi, kita tidak
dapat mempertahankan kesuciannya. Terus terang, kami dulu waktu belajar di
pesantren, kami merasa bahagia (bangga) dan sangat bersyukur kepada Allah
28
karena ia telah membimbing kami kepada Islam murni. Artinya, karena kami hanya
berpegang kepada Alquran dan hadis. Kami tidak menerima segala macam
takwilan yang bersifat akli terhadap keduanya. Kami mengira hanya dengan
kembali kepada keduanya kita akan selamat dan tidak akan terpecah seperti yang
diisyaratkan dalam hadis (yaitu yang menjadi 73 bagian).”
“Ee… maaf guru,” celetuk salah seorang murid.
“Ah… tak apa, ada apa?” kata sang guru.
“Bolehkah saya menanyakan satu hal?” jawab sang murid.
“Boleh saja. Tanyakanlah!” si guru mempersilahkan.
“Guru! Apakah dalam Alquran atau hadis tidak ada yang menganjurkan
menggunakan akal dan mencerdaskannya dalam agama atau dalam mencari
Tuhan?” ia menanyakan hal itu karena dalam dialog tadi, ketika ditanya mengenai
apakah Tuhan ada dan Esa, ia perhatikan, gurunya hanya berdalil dengan Alquran.
Maka dari itu ketika dikejar, Alquran pun, akhirnya, tak dapat dipertahankan
sebagaimana Anda ketahui tadi.
“Ada, bahkan banyak,” jawab gurunya. “Misalnya ada yang mengatakan
bahwa sebenarnya kalau engkau menggunakan akal maka akan mengerti
kebenaran ada-Nya; Allah akan tunjukkan bukti kebenaran-Nya pada kita melalui
alam ciptaan-Nya dan dari diri kita sendiri. Sesungguhnya penciptaan langit dan
bumi dan seisinya adalah bukti-bukti bagi orang yang berilmu. Bahkan dikatakan
dalam suatu ayat yang mengecam orang-orang bodoh, seperti, ‘Sesungguhnya
kebanyakan mereka tidak menggunakan akalnya (bodoh)’.”
“Guru!” tanya sang murid lagi. “Lalu mengapa guru katakan bahwa dalam
Islam tidak boleh menggunakan akal dalam agama, khususnya dalam mengenal-
Nya?”
“Itulah yang sedang kupikirkan. Dulu guruku dalam hal-hal tertentu
menggunakan akal dan mencemooh orang yang tidak menggunakannya. Akan
tetapi dalam bab-bab lain, misalnya keesaan-Nya, Alquran makhluk apa bukan,
perjumpaan kita dengan-Nya di surga, rukun iman keenam, mukjizat merusak
tatanan sunah Allah apa tidak, orang saleh bisa saja dimasukkan Allah ke neraka
kalau ia berkehendak, dan lain-lain, guruku tidak mau menerima uraian golongan
29
lain yang menggunakan akal di samping Alquran. Guruku mengatakan bahwa
agama tidak bisa diakal-akali. Berapa banyak perbedaan di antara kaum muslimin.
Barangkali inilah yang dimaksud nabi dengan perpecahan 73 golongan itu. Yah…
yang mana yang benar, susah sekali mencarinya,” desah sang guru sambil
menatap kejauhan yang seakan tak berbatas.
“Guru!” kata sang murid lagi. “Masihkah ada perbedaan seandainya kita
kembali ke Alquran dan hadis, sebagaimana yang diamalkan di pesantren guru?”
“Oh… ada, masih ada,” jawab sang guru dengan serta merta.
“Barangkali hanya furu’ guru?” sang murid melanjutkan pertanyaannya.
“Ah… tidak. Tidak muridku.” jawab sang guru. “Bahkan sampai ke syirik-
mensyirikkan. Hal mana syirik adalah dosa yang paling besar dan menyangkut
masalah keimanan. Walaupun sebagiannya adalah masalah furuk, akan tetapi
kalau sudah sampai bidah-membidahkan, ini adalah masalah besar. Sebab setiap
bidah adalah dhalalah, dan setiap dalalat tempatnya di neraka. Jadi, salat orang
yang ada bidahnya, menurut yang membidahkan, bukan hanya salatnya tidak
diterima, akan tetapi bahkan menyebabkan mereka masuk neraka.”
“Guru!” lanjut sang murid. “Dulu guru pernah berkata bahwa di pesantren
guru adalah termasuk golongan yang kembali ke Alquran dan hadis secara murni.
Masihkah di sana ada perbedaan pendapat dalam agama, guru?”
“Wah… banyak, banyak sekali,” jawab sang guru, “kami hanya bersepakat
dalam masalah bidah, khurafat, takhayul dan masalah-masalah kesyirikan. Akan
tetapi dalam masalah ekonomi, sosial, politik dan lain-lain kami mempunyai
setumpuk perbedaan.”
“Tapi itu kan tidak termasuk haram-mengharamkan guru,” kata sang murid.
“Wah… siapa bilang?” sergah si guru. “Misalnya masalah bunga. Kita
berbeda pendapat mengenainya. Ada yang tetap mengharamkan walaupun
bunganya untuk kepentingan umum dan ada yang tidak. Atau katakanlah pada
sebagian yang lain tidak dengan kata haram-mengharamkan. Akan tetapi
seringkali kita dengar, misalnya, kurang islami, dalam keadaan begini, Islam tidak
boleh begini atau begitu, yang itu salah yang ini benar dan lain-lain, yang kata-
kata itu acapkali saling kita lemparkan di antara sesama kita.”
30
“Kok bisa begitu guru?” kata salah seorang murid yang sejak tadi bengong
saja. “Bukankah mereka sudah kembali ke Alquran dan hadis?” lanjutnya.
“Yah… sekarang aku baru sadar,” kata sang guru, “sejak perdebatanku
dengan Zaranggi tadi, aku mulai mengerti bahwa Alquran dan hadis yang dipakai
adalah Alquran dan hadis yang kita pahami. Bukankah jelas sekali bahwa Alquran
dan hadis yang kita pahami belum tentu benar? Seandainya kita kembali ke
Alquran atau hadis, tapi yang benar-benar sesuai dengan keduanya, maka dapat
dipastikan bahwa kita tidak akan bercerai-berai seperti sekarang ini. Karena di
dalam Alquran tidak terdapat kontradiksi sehingga bisa menimbulkan perpecahan
ini.”
“Guru!” salah seorang dari mereka menyambung. “Apakah mungkin Alquran
dapat dipahami sebenar-benarnya, sehingga kalau kita kembali kepadanya pasti
tidak akan bercerai-berai?”
“Itulah salah satu yang akan saya cari jawabannya. Sebab, saya sekarang
memahami dari kejadian tadi, bahwa karena mengingat agama Islam ini adalah
agama akhir zaman dan ia diturunkan untuk dijadikan pedoman, maka
sesungguhnya mestilah Alquran ini dapat dipahami sebenar-benar pemahaman.”
“Guru,” kata salah seorang muridnya yang lain, “dulu guru pernah
mengatakan bahwa Quran itu mengandung ayat-ayat yang jelas dan
mutasyabihat. Sedang yang mutasyabihat (samar) tidak diketahui takwilnya
kecuali Allah?” (Q.S. Ali Imran: 7).
“Yah… dulu memang demikian,” jawab sang guru. “Tapi sekarang tidak lagi.
Sebab, kalau Alquran, walau sebagiannya, tidak dipahami kecuali Allah, maka buat
apa Alquran diturunkan untuk manusia? Bukankah Alquran ini diturunkan supaya
manusia mengambil petunjuk darinya? Nah, kalau sebagian ayatnya yang
mutasyabihat tadi tidak dapat dipahami, lalu buat apa ayat itu diturunkan?”
“Maaf guru!” lanjut sang murid tadi, “Bukankah dengan mengatakan
demikian berarti guru telah keluar dari makna ayat tadi, karena di ayat itu, untuk
ayat-ayat yang mutasyabihat dikatakan bahwa, ‘…tidak ada yang tahu takwilnya
kecuali Allah’?”
31
“Muridku,” jawab sang guru dengan bijaksana. “Alquran itu ada titik
komanya. Kaum muslimin berbeda pendapat dalam meletakkan koma pada ayat
itu. Dulu aku meletakkan seperti yang engkau katakan itu. Akan tetapi, sekarang,
setelah dialog tadi, dan karena alasan-alasan tadi, yaitu Alquran diturunkan untuk
diikuti yang mana sudah tentu harus dipahami terlebih dahulu, maka saya yakin
bahwa koma pada ayat itu tidak terletak setelah Allah dan makna ayat itu sedikit
berubah. Coba perhatikan!” katanya. “Kalau komanya setelah Allah, maka ayat itu
akan menjadi ‘…tidaklah ada yang tahu takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang
yang berpengetahuan mengatakan bahwa; semua dari Allah’. Akan tetapi kalau
komanya diletakkan setelah orang-orang yang berpengetahuan, akan menjadi
sebagai berikut, ‘…tidaklah ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang
yang berpengetahuan, yang mana mereka mengatakan semua dari Allah’. Sekarang
aku yakin,” tambahnya, “bahwa peletakan koma yang kedua itulah yang benar.”
“Lalu,” kata sang murid seterusnya, “siapakah orang-orang yang
berpengetahuan atau ar-rasyikhun itu guru?”
“Itulah yang harus saya selidiki. Saya rasa dalam hadis akan dapat dijumpai,”
jawab sang guru dengan penuh harap.
“Guru!” lanjut sang murid, “Barangkali perbedaan pendapat itu adalah
rahmat. Sebab, dulu guru pernah membacakan sebuah hadis pada kami bahwa
nabi pernah bersabda: Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.”
“Wah… itu dulu,” kata sang guru. “Sekarang kita harus pikirkan lagi tentang
hadis itu. Apakah hadis itu sahih atau tidak atau bahkan mengandung makna yang
lain”.
“Kenapa begitu guru?” si murid terus bertanya dan semakin penasaran.
“Muridku!” kata sang guru, “Apakah mungkin dikatakan sebagai suatu
rahmat kalau segolongan dengan segolongan yang lain saling mensyirikkan,
membidahkan, menyesatkan, mentidakislamikan, menyalahkan dan sebagainya?
Apakah agama yang satu dan suci mengandung hal-hal semacam itu? Tidak, tentu
tidak, agama Islam hanya satu suara. Kalau haram ya haram, kalau bidah ya bidah
dan seterusnya. Agama Islam tidak akan suci lagi kalau dinodai semacam tadi,
apalagi dibanggakan dengan kata-kata rahmat tadi.”
32
“Guru, apakah mungkin Islam satu suara dan kaum muslimin
menyuarakannya?” tanya murid.
“Bukan mungkin lagi,” kata sang guru, “tapi bahkan mesti. Bagi saya tak
peduli orang-orang, baik kafir atau muslim, mengikutinya atau tidak.”
“Lalu, bagaimana caranya guru?” tanyanya lagi.
“Saya pikir, sebagai langkah pertama, kita harus cari siapa yang dimaksud
dengan ‘orang-orang yang berpengetahuan’ dalam ayat tadi,” jawab sang guru
dengan mantap. Tapi pada wajahnya yang sudah mulai keriput itu nampak bahwa
ia dalam keadaan sedih dan cemas. Yah… cemas karena takut tidak dapat
menemukan yang akan ia cari itu.
Begitulah, pada pagi hari pada beberapa hari setelah dialog dengan
Zaranggi, sang guru atau sang tokoh kita ini disertai murid-muridnya pergi
meninggalkan kota Hamadan. Padang pasir panas dan ganas yang terbentang luas
di hadapan mereka tidak menjadi penghalang bagi kepergian mereka. Yah…
mereka pergi untuk mencari, mencari dan mencari, sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari gurun akhirat (mahsyar) yang jauh lebih panas dan
menyeramkan. Di hari yang pada hari itu tidak lagi kita dapat memperbaiki
kekeliruan kita seperti tokoh kita ini.
Sumber: Rasionalisme dan Alam Pemikiran Filsafat dalam Islam
Penulis: Hasan Abu Ammar
Penerbit: Yayasan Mulla Shadra
Cetakan: 11 Mei 2002
Tebal: 333 + X Halaman
Unduh: http://ejajufri.wordpress.com/
33