12
JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi * STIT Sunan Giri Trenggalek Jl. Ki Mangun Sarkoro No.17 B, Kel. Surodakan, Kec. Trenggalek, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur [email protected] ** IAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi No.46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur [email protected] Abstract: One of the topics that are part of the ijtihad of classical and contemporary scholars is the relationship between Muslims and dzimmi infidels. The classical scholars obliged the dzimmi infidels (non-Muslims who were bound by a peace agreement with Muslims) to pay a certain amount of tax (jizyah) to the Muslims as a substitute to protect them. This opinion contradicts with the opinion of contemporary scholars. They do not oblige non-Muslims to pay taxes to Muslims, because both Muslims and non-Muslims are citizens who live peacefully and side by side. This research is a qualitative research which is library research which uses books and other literatures as the main object. This type of research is qualitative, namely research that produces information in the form of notes and descriptive data contained in the text under study. Key Words : non muslim, classic scholars, contemporary scholars Abstrak: Salah satu tema yang menjadi bagian dari ijtihad para ulama klasik maupun kontemporer adalah hubungan muslim dan kafir dzimmi. Para ulama klasik mewajibakan kepada para kafir dzimmi (non muslim yang sudah terikat perjanjian damai dengan orang muslim) untuk membayar sejumlah pajak (jizyah) kepada pihak muslim sebagai substitusi untuk melindungi mereka. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan ulama kontemporer. Mereka tidak mewajibkan non muslim untuk membayar pajak kepada pihak muslim, karena baik muslim maupun non muslim merupakan warga negara yang hidup secara damai dan berdampingan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) yang menggunkan buku-buku dan literatur- literatur lainnya sebagai objek yang utama. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti. Kata Kunci : non muslim, ulama klasik, ulama kontemporer

JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi

*STIT Sunan Giri Trenggalek Jl. Ki Mangun Sarkoro No.17 B, Kel. Surodakan, Kec. Trenggalek, Kabupaten

Trenggalek, Jawa Timur [email protected]

**IAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi No.46, Kudusan, Plosokandang, Kec. Kedungwaru, Kabupaten

Tulungagung, Jawa Timur [email protected]

Abstract: One of the topics that are part of the ijtihad of classical and contemporary scholars is the relationship between Muslims and dzimmi infidels. The classical scholars obliged the dzimmi infidels (non-Muslims who were bound by a peace agreement with Muslims) to pay a certain amount of tax (jizyah) to the Muslims as a substitute to protect them. This opinion contradicts with the opinion of contemporary scholars. They do not oblige non-Muslims to pay taxes to Muslims, because both Muslims and non-Muslims are citizens who live peacefully and side by side. This research is a qualitative research which is library research which uses books and other literatures as the main object. This type of research is qualitative, namely research that produces information in the form of notes and descriptive data contained in the text under study. Key Words : non muslim, classic scholars, contemporary scholars Abstrak: Salah satu tema yang menjadi bagian dari ijtihad para ulama klasik maupun kontemporer adalah hubungan muslim dan kafir dzimmi. Para ulama klasik mewajibakan kepada para kafir dzimmi (non muslim yang sudah terikat perjanjian damai dengan orang muslim) untuk membayar sejumlah pajak (jizyah) kepada pihak muslim sebagai substitusi untuk melindungi mereka. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan ulama kontemporer. Mereka tidak mewajibkan non muslim untuk membayar pajak kepada pihak muslim, karena baik muslim maupun non muslim merupakan warga negara yang hidup secara damai dan berdampingan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) yang menggunkan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti. Kata Kunci : non muslim, ulama klasik, ulama kontemporer

Page 2: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

498

A. PENDAHULUAN Pemahaman fiqih sebelum masa modern melihat bahwa dunia ini

terdiri dari dua wilayah hukum atau yurisdiksi, yaitu dar al-Islam dan dar al-Harb.1 Dar al-Islam adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan muslim dan dar al-Harb adalah wilayah dimana tidak ada kekuasaan Islam. Orang – orang non muslim yang berada dalam wilayah dar al-Harb adalah mereka yang selalu memusuhi umat Islam dan layak untuk diperangi. Sedangkan non muslim yang hidup di wilayah dar al Islam adalah mereka yang wajib dilindungi, namun dengan memenuhi berbagai kewajiban, diantaranya adalah membayar jizyah (pajak). Non muslim ini diistilahkan dengan kafir dzimmi (ahl dzimmah).

Sedangkan pada era kontemporer, konsep wilayah hukum yang berlaku adalah nation state, dimana konsep kekuasaan dar al-Islam dan dar al-Harb sudah tidak relevan lagi. Kaum muslimin yang hidup di bawah wilayah hukum nation state berada dibawah suatu tatanan keamanan bersama-sama dengan pemimpin politik baik dari muslim maupun non-muslim, dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama-sama berdasarkan undang-undang yang dianut.2

Dengan adanya sistem nation state, sudah tidak ada lagi pembedaan antara warga Negara yang seagama, sesuku, se-ras, maupun se-etnis. Tidak ada lagi pembedaan antara kelompok minoritas non-muslim dengan kelompok mayoritas muslim ataupun sebaliknya, semuanya tunduk dan patuh terhadap hukum atau peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Semua warga menjunjung tinggi keamanan nasional, kesejahteraan sosial, dan kerukunan hidup. Maka, tidak ada lagi istilah jizyah yang dibebankan kepada non muslim.

Perbedaan pandangan antara ulama klasik dan kontemporer ini kemudian memunculkan polemik terkait pandangan mana yang harus diikuti dan relevan untuk konteks saat ini. Maka, dalam kajian ini, penulis akan mengkaji pandangan mereka tersebut, lalu memberikan kesimpulan pandangan mana yang layak diterpkan pada era modern ini. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian yang berhubungan dengan muslim dan non-muslim

B. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian dalam kajaian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah istilah jizyah (pajak) dan ahl dzimmah perspektif ulama klasik dan kontemporer yang terdapat dalam kitab – kitab klasik dan buku – buku kontemporer. Selain itu, penulis juga mengkaji referensi pendukung, yaitu beberapa jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini serta berbagai kitab yang sudah berupa file dalam sebuah aplikasi komputer, seperti al-

1 Akhmad Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalan Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang

Posisi Minoritas Non-Muslim,” dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), 354.

2 Ebrahim Moosa, Islam Progresif: Refleksi Dilematis Tentang HAM: Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di Dalam Hukum Islam (Jakarta: ICIP, 2004), 41.

Page 3: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi |

499

maktabah al-shamilah. Dengan menggunakan referensi-referensi tersebut, diharapkan penelitian ini dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

C. TINJAUAN PUSTAKA Jizyah merupakan salah satu produk ijtihad ulama klasik yang

diwajibkan bagi para kafir dzimmi. Produk ijtihad ini kemudian dikaji oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah Jurnal Ilmiah dengan judul “Sikap Islam terhadap Minoritas Non-Muslim” yang ditulis oleh Syamsul Hadi Untung dan Eko Adhi Sutrisno pada tahun 2014. Fokus kajian dalam jurnal ini adalah konsep jizyah perspektif ulama klasik. Namun, jurnal ini belum memadukan antara konsep ulama klasik dan kontemporer.

Ada pula yang hanya mengkaji konsep jizyah perspektif ulama kontemporer. Salah satunya adalah skripsi dengan judul “ Studi Pemikiran Yusuf al Qardhawi Tentang Ahl Dzimmah Dan Relevansinya Dengan Kewarhanegaraan Indonesia” yang ditulis oleh Ahmad Satibi pada tahun 2019. Fokus kajian pada skripsi ini adalah pandangan Qardhawi tentang ahl dzimmah. Namun, skripsi ini belum memadukan secara komprehensif antara pendapat ulama klasik dan kontemporer.

Selain itu, terdapat beberapa tulisan yang menyamakan antara konsep jizyah dengan pajak yang dipungut oleh negara saat ini. Menurut penulis, menyamakan jizyah dengan pajak adalah pemikiran yang kurang tepat, karena antara jizyah dan pajak memiliki konsep dan definisi yang berbeda. Jizyah hanya dipungut dari non muslim yang dikategorikan sebagai ahl dzimmah, sedangkan pajak diwajibkan bagi muslim dan non muslim yang termasuk dalam kriteria wajib pajak.

D. PEMBAHASAN

1. Konsep Jizyah Dalam Islam Secara etimologi, terma al-jizyah terambil dari kata al-jaza' yang

berarti balasan, imbalan dan atau ganjaran setimpal (al-mukafa'ah 'ala al-shay’). Dengan demikian, al-jaza' tersebut dapat berupa ganjaran ataupun juga sanksi hukuman.3 Secara etimologi, jizyah dapat juga berarti pajak penghasilan bumi, dan dapat juga diartikan sebagai pungutan yang diambil dari non-muslim atau ahl al-dzimmah.4

Sedangkan secara terminologi, jizyah adalah iuran wajib yang dibebankan kepada seorang non-muslim atau ahl al-dzimmah sebagai dharibah atau pajak personal.5 Iuran ini diberikan kepada penguasa wilayah umat Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa jizyah adalah

3 Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Manzur, Lisan al-Arab, vol. I (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 187. 4 Ibid. 5 Yusuf al-Qardhawi, Ghair al-Muslim Fi al-Mujtama' al-Islami (Beirut: Da>ral Fikr, 1998),

4.

Page 4: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

500

sebuah bentuk kompensasi dari wajib zakat atas seorang non muslim atau ahl al-dzimmah, atau sebagai iuran wajib bela negara dan cinta tanah air.6

Menurut Djazuli dalam buku Fiqih Siyasahnya, jizyah dikategorikan sebagai iuran negara yang diwajibkan kepada para ahl al-kitab setiap satu tahun sekali. Iuran ini bertujuan sebagai imbalan bagi orang – orang muslim yang membela dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga dengan pajak yang diwajibkan kepada semua laki-laki non-muslim, merdeka, baligh, berakal, sehat, dan kuat.7 Dasar hukum jizyah ini terdapat dalam QS. Al Taubah : 29 :

م الله ورسوله و مون ما حر ل قاتلوا الذين ل يؤمنون بالله ول باليوم الخر ول يحر

من الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون يدينون دين الحق Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Ayat ini merupakan perintah untuk memerangi orang-orang ahl al-Kitab, baik dari golongan Yahudi, Nasrani maupun Majusi (selain kaum pagan Arab) sampai mereka menyatakan kalah dan meminta perlindungan, serta tunduk dan patuh terhadap undang-undang pemerintahan Islam dengan membayar jizyah. Selanjutnya, setelah mematuhi undang – undang tersebut, mereka diberikan kedudukan sebagai ahl al-dzimmah atau kafir dzimmi.8

Al-Jurjani mengatakan bahwa dzimmi atau dzimmah secara bahasa adalah perjanjian.9 Ibnu Mandzur menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzimmah adalah perjanjian, keamanan, jaminan, kehormatan dan hak. Subjek dzimmah dinamakan ahl al-dzimmah atau ahl al-dzimmi, karena mereka masuk dalam perjanjian keamanan dengan kaum muslimin. Abu Ubayd berkata : “dzimmah adalah keamanan, sebab ahl al- dzimmah diberikan keamanan yang diambil dari jizyahnya.”10

Ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah berarti orang kafir yang mendapatkan keamanan dari pihak muslim. Juga dipahami sebagai orang yang telah mendapatkan janji dari umat Islam atas keamanan dirinya. Dalam pandangan al-Ghazali, kafir dzimmi adalah setiap ahl - alkitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki – laki, mampu berperang dan membayar jizyah.11 Dari pandangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

6 ‘Abd al-Khaliq al-Nawawi, al-Nidzam al-Mali Fi al-Islam (Kairo: Maktabatal-Anjal al-

Misriyyah, 1971), 152-154. 7 Djazuli, Fiqih Siyasah, 229 8 Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhshari, Tafsir al-Kasshaf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1995), 254-255. 9 ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, 1978), 112. 10 Ibnu Mandzur, Lisan al ‘Arab, vol. 3, 1517. 11 Abu Hamid al Ghazali, al Wajiz fi Fiqh al Imam al Syafi’i, vol. 2 (Mesir: Muhammad

Mustafa, 1318), 198.

Page 5: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi |

501

kafir dzimmi adalah orang – orang non muslim yang menetap di daerah Islam dengan membayar jizyah.

Berdasarkan pandangan ini, dapat dirumuskan bahwa unsur penting untuk menentukan status seseorang sebagai kafir dzimmi adalah nonmuslim yang tinggal di daerah Islam dan mampu membayar jizyah kepada pemerintah Islam. Non-muslim tersebut melakukan perjanjian dengan pemerintah Islam. Dengan perjanjian ini, kafir dzimmi dapat hidup berdampingan dengan umat Islam. Mereka secara langsung dapat melihat ajaran Islam yang dipraktikkan. Dengan demikian, mereka akan tertarik dengan cara hidup kaum Muslim. Selain itu, dari aspek materi, keberadaan mereka di daerah Islam dapat menjadi sumber keuangan negara karena kewajiban membayar jizyah.12

2. Jizyah Dan Kafir Dzimmi Perspektif Ulama Klasik Dalam perspektif fiqih siyasah ulama klasik,13 kafir (non muslim)

secara umum terbagi menjadi dua bagian : Kafir dzimmi dan kafir harbi. Kafir dzimmi adalah orang kafir yang berdamai dengan orang Islam. Mereka sebetulnya termasuk kelompok kafir kitabi meskipun tidak memiliki iman yang utuh. Mereka tidak dianggap sebagai orang yang dapat menimbulkan bahaya dan ancaman yang serius terhadap akidah umat Islam. Karena itu, mereka dapat hidup aman dalam wilayah kekuasaan Islam dengan hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang ditentukan oleh penguasa Islam. Mereka wajib membayar jizyah kepada pemerintah Islam. Komunitas kafir dzimmi disebut ahlu dzimmi.

. Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut dengan ahl al-dzimmah. Menurut Imam Syafi’i, hanya golongan ahl al-kitab dan majusi saja yang boleh menjadi ahl al-dzimmah. Adapun orang musyrik (penyembah berhala), maka tidak dapat menjadi bagian dari ahl al-dzimmah.14 Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, selain ahl al-kitab,

majusi dan samira juga dapat menjadi ahl al-dzimmah.15 Sementara menurut Imam Malik dan Hanafi, orang musyrik pun bisa menjadi bagian dari ahl al-dzimmah.

Sedangkan kafir harbi adalah orang – orang kafir yang memusuhi umat Islam. Mereka senantiasa ingin memecah belah orang – orang mukmin dan bekerja sama dengan orang – orang yang sejak dulu telah memerangi Allah swt dan Rasul – Nya. Apabila kafir harbi berada dalam wilayah Islam, mereka harus diperlakukan secara keras, bahkan bila perlu diperangi. Hal ini disebabkan oleh sifat khas mereka yang selalu membuat kerusuhan di muka bumi ini, terutama pelanggaran yang paling serius terhadap ke – Maha – Agungan dan ke – Maha – Sempurnaan Allah Swt.

12 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al Qur’an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2014), h. 206. 13 Fiqih siyasah adalah sekumpulan hukum yang membahas tentang undang – undang

dan peraturan – peraturan yang mengatur negara Islam sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Lihat : Abdul Wahab Khalaf, Al Siyasah al Syar’iyyah (Kairo: Matba’ah Salafiyah 1350 H), 5.

14 Muhammad bin Iddris al-Shafi’I, al Umm, vol. IV (Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t), 174. 15 Shams al Din Ibn Qudamah, al-Sharh al-Kabir, vol. V (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 604.

Page 6: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

502

Keterangan ini berdasarkan firman Allah swt dalam surah al-Maidah : 33 : لوا أو يصل وا إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون ف الرض فسادا أن يت

ف أو ينفوا من الرض ذلك لهم خزي ف الدنيا ولهم أو تطع أيديهم وأرجلهم من خلا

ف الخرة عذاب عظيم Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai kepada siapa ayat ini diturunkan. Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini dituurnkan kepada para ahli kitab yang mengadakan perjanjian dengan Rasul Saw, kemudian melanggarnya. Mereka juga melakukan kerusakan di bumi. Karena iu, Allah swt mewahyukan kepada Rasul Saw. tentang hukum yang harus diberikan kepada mereka. Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang – orang musyrik. Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada penduduk ‘urinah dan ‘ukl yang murtad dari agam Islam, kemudian mereka menentang dan memerangi agama Allah dan Rasul Saw.16

Kafir harbi ini juga diistilahkan dengan para non muslim yang tidak mau masuk Islam dan tidak tunduk kepada otoritas penguasa Islam. Wilayah tempat tinggal mereka dinamakan dar al-harb. Tidak ada jaminan keamanan bagi mereka, tidak juga hidup dan hartanya. Mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum. Mereka inilah yang disebut sebagai orang – orang (non muslim) yang terus menerus bermusuhan dan berperang dengan umat Islam.17 Mereka selalu melakukan kejahatan, kerusakan di bumi dan menyebarkan keresahan dalam kehidupan masyarakat. Mereka sangat layak mendapatkan hukuman sebagaimana penjelasan dalam surah al-Maidah di atas.

Selain harbi dan dzimmi, ada kategori ketiga, yaitu musta’min. Musta’min adalah ahl al-harb yang masuk wilayah Islam atas dasar perlindungan sementara yang diberikan kepadanya oleh imam (negara). Bahkan, ada yang berpendapat bahwa ia tidak membayar jizyah. Perbedaan antara musta’min dengan dzimmi adalah dari segi lamanya perlindungan. Perlindungan untuk dzimmi bersifat permanen, sedangkan perlindungan untuk musta’min bersifat sementara.18

3. Jizyah dan Kafir Dzimmi Perspektif Ulama Kontemporer

16 Muhammad Sayyid Tantawi, al-Tafsir al-Wasit Li al-Qur’an al-Karim, vol. 4 (Kairo: Dar

Nahdlah, 1997), 129. 17 Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu – Isu Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2016),

126. 18 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad

menurut Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim (Bandung: Mizan, 2010), 751.

Page 7: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi |

503

Konsep ahl dzimmah tentu mengundang ragam persoalan Dalam konteks negara dan bangsa modern yang tidak membedakan warga negara berdasarkan agama, etnis, maupun gender seperti di Indonesia,19 W. Montgomery Watt menyebutkan bahwa konsep ahl dzimmah dianggap sebagai cikal bakal munculnya marginalisasi hak-hak non-Muslim.20 Kedudukan ahl dzimmah dari perspektif fiqh klasik ini jika dinilai dengan sudut pandang kekinian tentu saja akan terkesan diskriminatif. Perbedaan hak dan kewajiban kaum non-Muslim di negara Islam masa lampau jika dibandingkan dengan standar keadilan masa kini pasti akan mengesankan bahwa fiqh kontemporer tidak lagi memenuhi standar keadilan, sebab perbedaan hak dan kewajiban yang melekat pada diri non-Muslim ini secara praktis telah menempatkannya sebagai masyarakat kelas dua.

Karena itu, tidak mengherankan jika seruan untuk mengkaji ulang konsep ahl dzimmah dalam konteks modern pun bermunculan. Muhammad Nazeer Kaka Khel menyatakan bahwa kebanyakan negara yang dihuni oleh mayoritas muslim saat ini adalah negara sekuler dan tidak memiliki model kerja yang dapat dijadikan dasar dalam mengkaji hak-hak non-muslim di negara Islam. Oleh karenanya, dibutuhkan ijtihad baru untuk meletakkan hak-hak non-muslim di negara Islam, agar sebagai agama, Islam bisa tetap berdiri di atas prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kesetaraan.21

Nurcholish Madjid juga memaparkan bahwa dalam menganalisis QS. al-Taubah [9]: 29 yang menjadi dasar konsep jizyah, konsep tradisional syarî‘ah harus menyertakan maksud dan konteks (asbâb al-nuzûl). Dalam kasus ini, konteks dan asbab al nzuul ayat tersebut adalah perang Tabuk. Oleh karenanya, konsep jizyah seharusnya hanya diaplikasikan pada masa peperangan, dan tidak dapat berlaku dalam konteks warga masyarakat damai sebagaimanayang terjadi saat ini. Lebih jauh dari itu, ia juga menegaskan bahwa jizyah bukan merupakan tradisi Islam, tetapi ia diadopsi oleh Islam.22

Pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa jizyah bukan tradisi Islam diperkuat dengan argumen al-San'any. Ia menyatakan bahwa jizyah tersebut diundangkan atau disyariatkan pada tahun kesembilan hijriyah. Jizyah memiliki kaitan erat dengan konsep dzimmah. Menurut Akh. Minhaji, sebenarnya dzimmah tersebut berasal dari tradisi Arab jahiliyah, yaitu berupa al-jiwar, yang berarti suatu bentuk

19 Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa sistem politik yang sebaiknya diterapkan di

Indonesia adalah sistem yang menguntungkan semua orang, termasuk non-Muslim. Hal ini sejalan dengan watak inklusif Islam. Lihat: Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), 52

20 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh UniversityPress, 2003), 51.

21Muhammad Nazeer Kaka Khel, “The Rights of non-Muslim in Islamic State”,dalam http://www.qurtuba.edu.pk/thedialogue/The%20Dialogue/1_2/5_Dr.%20M.%20 Nazir.pdf

22 Nurcholish Madjid, et al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Plural (Jakarta: Paramadina, 2004), 150-153.

Page 8: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

504

perlindungan terhadap individu atau suatu komunitas agar tidak diperangi atau dibunuh.23

Sedangkan al-Na’im berpandangan bahwa dengan ketentuan jizyah seperti itu, syariat Islam nampaknya berkeinginan untuk mendiskualifikasikan non-muslim dengan indikasi sebagai berikut: a. Mereka dipaksa untuk melakukan kewajiban agama yang di luar

keyakinan mereka. b. Mereka dicabut dari hak bela negara yang sekaligus sebagai kewajiban

moral bagi mereka, sementara mereka dibebani dengan iuran atas nama kewajiban jihad.24

Menurut al-Na’im, konsep al-jizyah tersebut mengandung watak ambivalence yang sangat mengaburkan serta tidak memuaskan pandangan konstitusi modern, sehingga agaknya tidak layak diterapkan dalam era modern seperti sekarang. Konsep ini bertolak belakang dengan sistem pemerintah yang menggunakan bentuk nation state.25

Pendapat al-Na’im ini dilatarbelakangi oleh pemahamannya yang berbeda dengan ulama’ klasik terkait syari’ah. Ia menyatakan bahwa syariah adalah seperangkat pemahaman manusia tentang berbagai agama yang bersifat evolusif. Artinya, pemahaman tersebut dapat saja berubah antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga di dalam syari’ah terdapat nilai - nilai historisitas yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurutnya, munculnya konsep dzimmi dalam syari’ah periode Madaniyah karena dilatarbelakangi turunnya ayat jizyah. Artinya, syari’ah hanya dapat sesuai dan berlaku pada periode waktu itu, yang kondisi dan konteks sosio-historisnya berbeda dengan periode sebelum dan sesudahnya.26

4. Jizyah dan Kafir Dzimmi : Antara Teks dan Konteks

Istilah ahl dzimmah dalam Islam harus difahami berdasarkan kontek dan latar belakang yang mengitarinya. Masa Islam klasik adalah masa peperangan, penaklukkan, dan ekspansi oleh sebuah negara, suku, kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Pada saat itu, hubungan antar kelompok atau keagamaan pada umumnya diwarnai dengan adanya konflik dan perang.27 Begitu juga di awal kehadirannya,

23 Jiwar adalah suatu tradisi Arab jahiliyah yang mana peperangan telah menjadi

fenomena yang biasa. Sehingga suku atau qabilah yang kalah perang menjalin akad perjanjian pada pihak yang menang untuk melindunginya dengan imbalan membayar sejumlah harta tertentu. Tradisi seperti itu agaknya mirip dengan tradisi modern sekarang ini dengan konsep "suaka politik". Lihat: Akhmad Minhaji, “Hak-hak Asasi Manusia, 19.

24 Abdullah Ahmed al-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil liberties, Human Rights and International Law (New York: Hippocrene Book, 1986), 21. Pemikiran al-Na’im ini juga diungkapkan oleh Abu al-Ala al-Mawdudi, The Islamic Law and Constitution, ter. Khurshid Ahmad (Lahore: Islamic Publication LTD, tt.), 279.

25 Abdullah al-Na’im, Toward an Islamic Reformation, 21. 26 Ibid, 21. 27Abdillah Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim

Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 125.

Page 9: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi |

505

Islam tidak dapat menghindari situasi tersebut. Ketika Islam berada di Makkah, sejak semula Islam mendapat permusuhan dari beberapa kepala suku Quraish. Begitu juga pada saat hijrah ke Madinah, pihak yang memusuhinya pun semakin bertambah, di samping Yahudi juga penganut agama Nasrani, juga kekuatan tangguh saat itu, yakni Romawi dan Persia. Sejak itu, permusuhan yang pada awalnya antar suku menjadi menjadi konflik global antara muslim dengan non-muslim.28

Konsep ahl dzimmah dan ahl harb ini juga tidak terlepas dari konteks sejarah politik pada masa ulama’ klasik. Mereka hidup pada saat krisis politik internal umat Islam dan sekaligus ekspansi besar – besaran oleh penguasa Islam ke berbagai penjuru dunia. Untuk memperkokoh persatuan umat Islam dan menjaga supermasi Islam atas agama lain di daerah yang ditaklukkan, maka sangat mungkin mereka memunculkan hasil ijtihad hukum yang menurut kita sekarang sangat diskriminatif dan keras, namun sangat tepat dan cocok untuk konteks saat itu. Umat Islam butuh konsilidasi internal dan supremasi, maka hanya hukum yang bisa berbuat banyak bagi umat Islam saat itu.29

Berdasarkan dari latar belakang permusuhan orang-orang non-muslim inilah yang menjadikan para ulama fiqh pada saat itu mengklasifikasikan negara dengan dar al-Islam dan dar al-Harb. Klasifikasi ini membedakan orang kafir yang berada di negara Islam (ahl dzimmah) dengan orang kafir yang diluar negara Islam (ahl-harb). Kondisi tersebut tentu mempengaruhi konsep ulama dalam menentukan hak-hak dan kewajiban mereka yang berbeda dengan warga negara Islam. Diantara hak – hak dan kewajiban itu adalah ; mereka (kafir dzimmi) berkewajiban membayar jizyah, sebagai bentuk ketundukan mereka kepada negara Islam.30

Ketentuan al-Jizyah ini sangat berkaitan erat dengan latar belakang penghianatan-penghianatan yang dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat Madinah, khususnya, dari kalangan ahl al-Kitab, Yahudi dan Nasrani, baik berupa pengingkaran perjanjian perdamaian maupun berupa rentetan makar dan tipu muslihat untuk membunuh Rasulullah. Penghianatan tersebut mendorong turunnya perintah memerangi orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah Islam, khususnya Yahudi Madinah sendiri, misalnya QS. al-Baqarah (2):193 dan al-Anfal (8): 37.

Kasus ahl dzimmah ini jika dibawa pada konteks masa kini, maka dapat disimpulkan bahwa ada ketidakadilan dalam membedakan kewarganegaraan dengan berdasarkan agama seseorang. Tetapi jika dilihat kondisi saat itu, dapat diketahui bahwa Islam telah memberikan banyak toleransi kepada non-muslim yang tinggal di negara Islam. Islam telah berusaha memberikan perlakuan secara proporsional dan

28 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu Isu Besar Politik Islam

(Bandung: Mizan, 1996), 21. 29 Ayang Utriza, Islam Moderat, 139. 30 Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Penerj. Irfan Abu Bakr (Bandung: PT

Mizan Pustaka, 2004), 251.

Page 10: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

506

profresional terhadap non-muslim dengan memberikan segala haknya. Dalam konteks hubungan dengan non-muslim, selain menetapkan persamaan dan keadilan sebagai dasar utamanya, Islam juga menegaskan prinsip toleransi yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip persamaan dan keadilan.

Prinsip toleransi ini salah satunya tertuang dalam riwayat yang bersumber dari Abu Daud dan al Baihaqi yang artinya : Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: "Barang siapa bertindak zalim terhadap seorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum Muslimin atau memerangi haknya atau membebaninya lebih dari kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhanya, maka akulah yang akan menjadi lawan si zalim itu kelak di hari kiamat."

Prinsip toleransi ini juga dilakukan oleh Sayyidina Umar yang menggambarkan pemungutan jizyah dengan cara simpatik. Hal ini sebagaimana dalam riwayat yang menjelaskan bahwa pada suatu hari, Sayyidina ‘Umar bin Khattab melihat seorang kafir dzimmi meminta – minta, dan pada waktu ditanya, ia menjawab bahwa ia mengerjakan itu untuk dapat membayar jizyah. Lalu oleh Sayyidina Umar, ia bukan hanya dibebaskan dari jizyah, melainkan pula ia diberi uang tunjangan yang diambil dari kas negara. Disamping itu, Sayyidina ‘Umar memerintahkan agar semua kafir dzimmi yang keadaannya seperti itu, harus diberi uang tunjangan.31

Maka, istilah kafir dzimmi dalam konteks negara dan bangsa saat ini perlu untuk ditiadakan, khususnya di Indonesia. Karena itu, sangat tepat jika munas NU 2019 yang diselenggarakan di Banjar, Jawa Barat memutuskan untuk mengganti istilah kafir dengan istilah Muwâthinin yaitu warga negara. Muwâthinin adalah derivasi dari kata wathan yang artinya bangsa, karena NKRI adalah bentuk dari Mu’âhadah Wathaniyah (konsensus kebangsaan), seluruh pihak, tanpa diskriminasi, adalah warga negara yang berkedudukan sederajat. Secara normatif, tidak ada mayoritas dan minoritas. Tidak ada pengutan pajak yang diambil dari non muslim kemudian diberikan kepada pihak muslim. Semua berlaku prinisp keseteraan dan persamaan di muka hukum (equality before the law). Semua wajib membayar pajak jika memang sudah memenuhi ketentuan wajib pajak yang ditetapkan oleh pemerintah.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan tiga hal, yaitu : Pertama, konsep dan istilah kafir dzimmi dan jizyah merupakan bagian

produk ijtihad para ulama klasik yang dilatarbelakangi oleh konflik politik dan konteks peperangan yang mengitarinya. Produk ijtihad ini sangat relevan diterapkan pada masa itu. Namun, jika konsep tersebut diterapkan pada masa kini, maka yang terjadi adalah perlakukan diskriminatif terhadap pihak non muslim.

31 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi, 206.

Page 11: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

Afrizal El Adzim Syahputra, Hasanal Khuluqi |

507

Kedua, baik ulama klasik maupun kontemporer, keduanya memiliki pandangan yang berbeda terkait status non muslim. Perbedaan pandangan ini dilatarbelakangi oleh situasi dan konteks yang berbeda. Dengan demikian, produk ijtihad mereka tidak ada yang salah, karena menyesuaikan dengan konteks masing – masing.

Ketiga, Istilah jizyah yang wajib dibayar oleh non muslim tidak tepat jika diterapkan di Indonesia, karena negara ini berdasarkan pancasila, yang tidak membeda – bedakan antara suku dan agama. Maka konsep dzimmah tidak relevan jika diterpkan pada negara ini.

DAFTAR PUSTAKA

al Ghazali, Abu Hamid, al Wajiz fi Fiqh al Imam al Syafi’i, vol. 2 (Mesir: Muhammad Mustafa, 1318).

al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad, Kitab al Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, 1978).

al-Mawdudi, Abu al-Ala, The Islamic Law and Constitution, ter. Khurshid Ahmad (Lahore: Islamic Publication LTD, tt.).

al-Na’im, Abdullah Ahmed , Toward an Islamic Reformation Civil liberties, Human Rights and International Law (New York: Hippocrene Book, 1986).

al-Nawawi, ‘Abd al-Khaliq, al-Nidzam al-Mali Fi al-Islam (Kairo: Maktabatal-Anjal al-Misriyyah, 1971).

al-Qaradhawi, Yusuf , Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad menurut Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim (Bandung: Mizan, 2010).

al-Qardhawi, Yusuf, Ghair al-Muslim Fi al-Mujtama' al-Islami (Beirut: Daral Fikr, 1998),.

al-Shafi’I, Muhammad bin Iddris, al Umm, vol. IV (Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t). al-Zamakhshari, Mahmud ibn ‘Umar, Tafsir al-Kasshaf, vol. 2 (Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995). Hourani, Albert Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Penerj. Irfan Abu Bakr

(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004). Huwaydi, Fahmi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu Isu Besar

Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996). Ibn Manzur, Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram, Lisan al-Arab, vol. I

(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993). Ibn Qudamah, Shams al Din, al-Sharh al-Kabir, vol. V (Beirut: Dar al-Fikr, t.t). Khalaf, Abdul Wahab, Al Siyasah al Syar’iyyah (Kairo: Matba’ah Salafiyah

1350 H). Madjid, Nurcholish et al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Plural

(Jakarta: Paramadina, 2004). Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta:

Paramadina, 1999). Masykuri, Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual

Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).

Page 12: JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN

| JIZYAH BAGI KAFIR DZIMMI PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

508

Minhaji, Akhmad, “Hak-Hak Asasi Manusia dalan Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minoritas Non-Muslim,” dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000).

Moosa, Ebrahim, Islam Progresif: Refleksi Dilematis Tentang HAM: Modernitas dan Hak-Hak Perempuan di Dalam Hukum Islam (Jakarta: ICIP, 2004).

Muhammad Nazeer Kaka Khel, “The Rights of non-Muslim in Islamic State”,dalam http://www.qurtuba.edu.pk/thedialogue/The%20Dialogue/1_2/5_Dr.%20M.%20 Nazir.pdf

Muhammad Sayyid Tantawi, al-Tafsir al-Wasit Li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar Nahdlah, 1997).

Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al Qur’an dan Hadis (Jakarta:

Elex Media Komputindo, 2014). W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh

UniversityPress, 2003). Yakin, Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu – Isu Kontemporer (Jakarta:

Kencana, 2016).