22
ACARA II BIODEGRADABLE FILM A. Pendahuluan 1. Latar belakang Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan. Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah plastik yang selain mengandung bahan kimia yang cukup berbahaya, penggunaannya juga telah banyak menyumbangkan limbah yang sulit diuraikan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan dan lingkungan memicu kenaikan permintaan kemasan biodegradable yang mampu menjamin keamanan produk pangan. Edible film merupakan suatu lapis tipis yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional dari kemasan itu sendiri seperti edible film berantioksidan. Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian dilakukan untuk

biodegradable film

Embed Size (px)

DESCRIPTION

biodegradable film

Citation preview

Page 1: biodegradable film

ACARA II

BIODEGRADABLE FILM

A. Pendahuluan

1. Latar belakang

Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan

dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi

makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya

dapat dipertahankan. Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah

plastik yang selain mengandung bahan kimia yang cukup berbahaya,

penggunaannya juga telah banyak menyumbangkan limbah yang sulit

diuraikan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan dan

lingkungan memicu kenaikan permintaan kemasan biodegradable yang mampu

menjamin keamanan produk pangan. Edible film merupakan suatu lapis tipis

yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi

oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat

dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional

dari kemasan itu sendiri seperti edible film berantioksidan.

Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada

produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian

dilakukan untuk mendapatkan edible film dengan modifikasi untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik. Modifikasi juga dilakukan pada bahan

dasar, seperti protein atau pati hingga penambahan bahan lain atau dengan

perlakuan-perlakuan khusus. Edible film diaplikasikan pada makanan dengan

cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan.

2. Tujuan praktikum

Tujuan dari praktikum acara II “Biodegradble film ” adalah membuat

biodegradble film dari berbagai jenis polimer.

Page 2: biodegradable film

B. Tinjauan Pustaka

Edible film merupakan salah satu alternatif kemasan sintetis. Berhubung

sifatnya yang dapat didegradasi yang berasal dari bahan alami seperti protein,

lipid, dan polisakarida, edible film telah mendapat perhatian yang besar.

Walaupun edible film tidak dapat secara sempurna menggantikan kemasan

sintetis, edible film dapat memperpanjang umur simpan produk pangan karena

sifat mekanisnya dan kemampuannya sebagai barrier. Edible film merupakan

kemasan pangan dalam bentuk lapisan tipis yang aman untuk dimakan. Edible

film adalah lapisan tipis dan kontinyu terbuat dari bahan-bahan yang dapat

dimakan, dibentuk untuk melapisi komponen makanan (coating) atau

diletakkan diantara komponen makanan (film), serta untuk mempermudah

penanganan makanan, dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang

digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan edible film adalah

sesuatu yang sangat menjajikan, baik yang terbuat dari hidrokoloid, lipid,

protein maupun kombinasi ketiganya (Sudaryati, 2010).

Salah satu alternatif yang bisa dipilih pengemas yang ramah lingkungan

(biodegradable) adalah edible film. Keuntungan edible film antara lain dapat

dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas, tidak mencemari

lingkungan, memperbaiki sifat organoleptik produk yang dikemas, berfungsi

sebagai sumplemen penambah nutrisi, sebagai flavor, pewarna, zat

antimikroba, dan antioksidan. Edible film dapat dibuat dari berbagai bahan

baku yang memiliki komposisi pati yang cukup tinggi. Pembuatan edible film

dari pati tapioka memiliki karakteristik yang cukup baik walaupun laju

transmisi terhadap uap air cukup tinggi (Jorge, 2015).

Pati dan komponen utamanya, amilosa dan amilopektin, adalah

biopolimer yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku sebagai penghalang

(barier) dalam bahan kemasan. Pati sering digunakan dalam industri makanan.

Pati biasa digunakan untuk memproduksi biodegradable film sebagai pelapis

atau menggantikan polimer plastik karena biaya yang murah dan terbarukan

dan lebih aman dibandingkan plastik biasa (Bourtoom, 2007).

Page 3: biodegradable film

Biodegradable film atau pelapis degradable memiliki sifat fungsional

sebagai penghalang untuk gas terlarut dan memperpanjang kualitas makanan,

dan menjaga umur simpan. Polimer biodegradable terbentuk dari polisakarida

alami, biasanya digunakan pati, yang memiliki kemampuan membentuk

matriks yang terus-menerus. Film pati dan film turunannya telah banyak

dipelajari mengenai properti pembentukan film, penghalang oksigen tinggi, dan

kekuatan mekanik yang bagus (Polnaya, 2012).

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,

pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Teknik pencelupan biasanya

digunakan pada produk daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. Edible

packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk,

yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan

edible coating dengan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible

coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film

pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan

dilapisi/dikemas (Embuscado, 2000).

Edible film didefinisikan sebagai lapisan tipis yang dibuat dari bahan

yang dapat dimakan dan digunakan untuk melapisi makanna (coating) atau

menempatkannya diantara komponen bahan makanan dengan cara pencelupan,

penyemprotan, atau dengan pembungkusan. Penggunaan edible film ini

berperan untuk menghambat migrasi uap air, oksigen, karbondioksida, dan

lemak. Selain itu, edible film juga berfungsi sebagai pembawa komponen

bahan makanan seperti antimikrobia, antioksidan, flavor, pewarna, dan

suplemen gizi (Handajani, 2010).

Pengemasan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan

produk makanan. Fungsi dari kemasan adalah mempercantik produk,

melindungi produk dari bahaya bakteri, meningkatkan mutu dan menjaga

kualitas produk. Karton atau kardus biasanya digunakan untuk mengemas

makanan untuk produk kering taua semi kering sperti keripik, cheese stik,

singkong rendang, dll (A. Yuyun, 2010).

Page 4: biodegradable film

Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang

berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible

film) dimakan dengan produk yang dikemas, sebagai penghambat transfer

massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai

carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan

makanan. Edible film itu sendiri dapat dibuat dari tiga jenis bahan yakni

hidrokoloid (alginat, karaginan, pati), lipid (lilin/wax, asam lemak), dan

komposit dari keduanya. Bahan pelapis jenis ini memiliki sifat dapat langsung.

Film menjadi lebih elastis karena fungsi lipid selain untuk menahan laju uap air

adalah untuk menambah elastisitas film. Pembuatan larutan edible film pada

suhu tinggi tidak menambah elastis film namun justru menyebabkan film kaku

dan mudah patah (Prasetyaningrum dkk, 2010).

Edible film telah muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetis untuk

aplikasi makanan, dan telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun

ini karena keuntungannya dibandingkan plastik sintetis. Keuntungan utama

edible film dibandingkan dengan kemasan tradisional adalah edible film dapat

dikonsumsi dengan produk yang dibungkusnya. Tidak ada kemasan (dari

edible film) untuk dibuang, meskipun jika film tidak dikonsumsi, edible film

masih dapat berkontribusi untuk mengurangi kerusakan karena lingkungan.

Film diproduksi secara ekslusif dari yang terbarukan, bahan yang dapat

dimakan sehingga mampu didegradasi lebih mudah dari pada bahan polimer.

Edible film dapat meningkatkan sifat organoleptik makanan yang

dibungkusnya karena mengandung berbagai komponen seperti, perasa,

pewarna, dan pemanis (Dhanapal, 2012).

Untuk menunjang perannya sebagai pembungkus yang dapat mencegah

atau mengurangi terjadinya kerusakan pada bahan pangan, maka edible film

perlu dikembangkan menjadi kemasan aktif. Kemasan aktif adalah teknik

pengemas yang memiliki kemampuan aktif untuk menunjukkan mutu produk

yang dikemas. Pengemasan aktif biasanya mempunyai bahan penyerap O2,

penyerap atau penambah O2, ethanol emitters, penyerap etilen, penyerap air,

bahan antimikroba, bahan penyerap dan yang dapat mengeluarkan

Page 5: biodegradable film

aroma/flavor dan pelindung cahaya. Rempah-rempah telah banyak diteliti

mempunyai senyawa yang berpotensi sebagai antimikroba dan antioksidan.

Selain itu, juga telah banyak diteliti aplikasi rempah-rempah sebagai pengawet

alami produk pangan, baik dalam bentuk segar maupun yang telah diolah

menjadi oleoresin atau minyak atsiri (Utami, 2013).

Saat ini, penelitian mengenai edible film dengan penambahan

antimikroba mengalami peningkatan. Film-film ini bisa memperpanjang umur

simpan dan keamanan makanan dengan mencegah pertumbuhan patogen dan

mikroorganisme pembusuk sebagai akibat dari ekstensi lag fase mereka atau

pengurangan laju pertumbuhan mereka. Kemampuan edible film untuk

menghambat kelembaban, oksigen, aroma dan transportasi zat terlarut dapat

ditingkatkan dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, rasa, dan

rempah-rempah dalam formulasi Film (Ponce, 2008).

C. Metodologi

1. Alat

a. Beker glass

b. Pengaduk kaca

c. Hotplate

d. Thermometer

e. Cabinet dryer

f. Timbangan analitik

g. Propipet

h. Pipet ukur

i. Nampan

2. Bahan

a. Tepung tapioka

b. Tepung maizena

c. Tepung komposit (tepung tapioka dan tepung maizena)

d. Aquades

e. Gliserol

Page 6: biodegradable film

Tepung (5 gr)

Dilarutkan dengan aquadest 100 ml

Dipanaskan hingga 70oC

Ditambahkan gliserol 2 ml pada suhu 60oC

Diaduk selama ± 30 menit pada suhu 60oC

Dituangkan ke dalam wadah

Ditunggu di suhu ruang

Dikeringkan di cabinet dryer pada suhu 75oC ± 5 jam

Diamati hasilnya

3. Cara Kerja

Page 7: biodegradable film

D. Hasil dan Pembahasan

Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan

dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi

makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya

dapat dipertahankan. Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah

plastik yang selain mengandung bahan kimia yang cukup berbahaya,

penggunaannya juga telah banyak menyumbangkan limbah yang sulit

diuraikan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan dan

lingkungan memicu kenaikan permintaan kemasan biodegradable yang mampu

menjamin keamanan produk pangan. Edible film merupakan suatu lapis tipis

yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi

oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat

dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional

dari kemasan itu sendiri seperti edible film berantioksidan (Kusumawati, 2013).

Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada

produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian

dilakukan untuk mendapatkan edible film dengan modifikasi untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik. Modifikasi juga dilakukan pada bahan

dasar, seperti protein atau pati hingga penambahan bahan lain atau dengan

perlakuan-perlakuan khusus (Utami, 2013).

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,

pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Teknik pencelupan biasanya

digunakan pada produk daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran (Naked

fisher, 2008 dalam Estiningtyas 2010). Merurut Arpah (1997) dikutip

Christsania (2008), edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi

menjadi tiga jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi.

Hal yang membedakan edible coating dengan edible film adalah cara

pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan

pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan

dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai

pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan

Page 8: biodegradable film

yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen

makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Menurut Wahyu (2009) Edible film berbasis pati singkong dapat

diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan

kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian

hingga 25-44 hari. Selain itu Li dan Barth 1998 (dalam Winarti, 2012)

menjelaskan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa

(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan,

antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu.

Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga

granula pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula

(Winarno, 1947). Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapat

balik, tetapi jika pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula

pati menjadi bersifat tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur

granula. Suhu gelatinisasi adalah suhu pecahnya granula pati karena

pembengkakan granula setelah melewati titik maksimum (Palupi, 2011). Proses

gelatinisasi terjadi karena kerusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk

mempertahankan struktur dan integritas granula pati. Kerusakan integritas pati

menyebabkan granula pati menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan

masuk ke dalam medium (Greenwood, 1979) pati merupakan homopolimer

glukosa dengan ikatan-glikosidik. Setiap pati tidak sama sifatnya tergantung

dari rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya.

Menurut Matz (1984) gelatinisasi suhu berkisar antara 58,8°C-70ºC.

Mekanisme gelatinisasi pati secara ringkas dan skematis di uraikan oleh

Harper (1981). Tahap pertama granula pati masih dalam keadaan normal belum

berinteraksi dengan apapun. Ketika granula mulai berinteraksi dengan molekul

air disertai dengan peningkatan suhu suspensi terjadilah pemutusan sebagian

besar ikatan intermolecular pada kristal amilosa. Akibatnya granula akan

mengembang (Tahap2). Tahap berikutnya molekul-molekul amilosa mulai

berdifusi keluar granula akibat meningkatnya aplikasi panas dan air yang

berlebihan yang menyebabkan granula mengembang lebih lanjut (Tahap 3).

Page 9: biodegradable film

Proses gelatinisasi terus berlanjut sampai seluruh mol amilosa berdifusi keluar.

Hingga tinggal molekul amilopektin yang berada di dalam granula. Keadaan

ini pun tidak bertahan lama karena dinding granula akan segera pecah sehingga

akhirnya terbentuk matriks 3 dimensi yang tersusun oleh molekul-molekul

amilosa dan amilopektin (tahap 4).

Menurut Imaningsih (2012) tepung beras ketan tergelatinisasi pada suhu

yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung lainnya. Suhu terjadinya

gelatinisasi pada tepung ini adalah 67,470C. Sementara suhu terjadinya

gelatinisasi pada tepung tapioka, tepung terigu dan tepung beras berturut-turut

adalah pada 69,560C, 82,380C dan 85,390C. Sedangkan menurut Darwinda

(2010) suhu gelatinisasi tepung maizena adalah sekitar 60°C . Sifat-sifat edible

yang didapat pada praktikum shif 2 yaitu urutan yang paling tebal ke yang

paling tipis yaitu kelompok 9 (tapioka 3,75 gr + maizena 1,25 gr), kelompok

10 (tapioka 1,25 g + maizena 3,75 g), kelompok 8 (tapioka 2,5 g + maizena 2,5

g), kelompok 6 (tapioka 5 g), dan kelompok 7 (maizena 5 gram).

Menurut Utami (2013) bahan baku utama pembuatan edible film adalah

hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa

protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida

yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan

komposit merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Dohowe dan

Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994). Edible film dan coating dapat

diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang

sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Kemungkinan penggunaan Edible film dan coating

Page 10: biodegradable film

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein

atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum

(seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi

secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat

menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum,

dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai

penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki

karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan

untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Dohowe dan

Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994). Tapioka dan maizena merupakan

tepung yang berasal dari tanaman serealia yang mengandung karbohidrat dan

protein. Tapioka berasal dari umbi singkong, sedangkan maizena berasal dari

penepungan jagung. Jagung dan singkong memiliki banyak kandungan

karbohidrat, dan sedikit lemak sehingga dapat digunakan untuk membuat

edible film.

Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap

air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk

kembang gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan

menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema,

1994 dalam Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak

tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai

cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film antara

lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak,

monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Komposit film

terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat

dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan merupakan hidrokoloid

dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan

hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid dan lemak

digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan

hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan

hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan antara lipida dan

Page 11: biodegradable film

hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang

telah diolah minimal (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al.,

1994).

Edible film yang hanya menggunakan bahan tunggal seperti pati, masih

menyisakan beberapa kekurangan diantaranya adalah sifat rapuh dan

kaku.Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plasticizer.

Plasticizer merupakan salah satu bahan tambahan dalam pembuatan edible film

yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plasticizer

yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup efektif

digunakan untuk meningkatkan sifat plastis film karena memiliki berat molekul

yang kecil. Jadi funsi penambahan gliserol dalam pembuatan edible film ini

adalah sebagai plastisizer/ penambah elastisitas edible film (Huri, 2014).

Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu, dimana

pati itu terdiri dari dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.

Fraksi terlarut disebut amilosa dan yang tidak terlarut disebut amilopektin.

Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin. Kandungan

amilosa pada beberapa pati sumber bahan pangan yaitu tapioka 17%, kentang

21%, beras 28,60%, beras dengan kadar amilosa rendah 2,32%, gandum 28%,

barley 25,30%, barley kaya amilosa 44,10%, oat 29,40%, maizena 28,70%,

dan maizena kaya amilosa 67,80% (Eliasson 1996). Perbandingan amilosa dan

amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati.

Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan

amilopektinnya, maka pati cenderung menyerap air lebih banyak

(Tjokroadikusoemo, 1986). Amilopektin berfungsi membentuk lapisan yang

transparan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti

untaian tali ketika dipanaskan. Pada amilopektin cenderung tidak terjadi

retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada konsentrasi tinggi (Belitz

dan Grosch 1999). Menurut Matz (1984) pati yang memiliki kandungan

amilopektin tinggi akan membentuk gel yang tidak kaku, sedangkan pati yang

kandungan amilopektinnya rendah akan membentuk gel yang kaku.

Page 12: biodegradable film

E. Kesimpulan

Dari pembahasan acara II “Biodregable Film” dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan dengan

bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi

makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya

dapat dipertahankan.

2. Edible film merupakan suatu lapis tipis yang melapisi bahan pangan yang

layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis.

3. Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula

pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula.

4. Sifat-sifat edible yang didapat pada praktikum shif 2 yaitu urutan yang

paling tebal ke yang paling tipis yaitu kelompok 9 (tapioka 3,75 gr +

maizena 1,25 gr), kelompok 10 (tapioka 1,25 g + maizena 3,75 g),

kelompok 8 (tapioka 2,5 g + maizena 2,5 g), kelompok 6 (tapioka 5 g), dan

kelompok 7 (maizena 5 gram).

5. Bahan baku utama pembuatan edible film adalah hidrokoloid, lipida dan

komposit.

Page 13: biodegradable film

DAFTAR PUSTAKA

Bourtoom, Thawien. 2007. Plasticizer effect on the properties of Biodegradable blend film from rice starch-chitosan. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1), 149-165.

Dhanapal, Aruna, Sasikala.P, Lavanya Rajamani, Kavitha.V, dan Yazhini.G, M.Shakila Banu. 2012. Edible films from Polysaccharides. Food Science and Quality Management ISSN 2224-6088 (Paper) ISSN 2225-0557 Vol 3.

Embuscado, Milda E., dan Kerry C.Hubber. 2000. Edible Film Coatings for Food Applications. Springer.New York.

Handajani, Sri., Endang Setyorini., dan Danar Praseptiangga. 2010. Pengolahan Hasil Pertanian. UNS Press. Surakarta.

Jorge, Manuel Fernando Coronado., Elisabete M. C. Alexandre., Christian Humberto Caicedo Flaker., AnaMônica Quinta Barbosa Bittante., dan Paulo José do Amaral Sobral. 2015. Biodegradable Films Based on Gelatin and Montmorillonite Produced by Spreading. International Journal of Polymer Science Volume 2015, Article ID 806791.

Polnaya,Febby J., Josefina Talahatu., Haryadi dan Djagal W. Marseno. Properties of biodegradable films from hydroxypropyl sago starches. As. J. Food Ag-Ind. 2012, 5(03), 183-192.

Ponce, Alejandra G., Sara I. Roura, Carlos E. del Valle, dan Marıa R. Moreira. 2008. Antimicrobial and Antioxidant Activities of Edible Coatings Enriched with Natural Plant Extracts: In Vitro and In Vivo Studies. Postharvest Biology and Technology 49 (2008) 294–300.

Prasetyaningrum, Aji ; Nur Rokhati; Deti Nitis Kinasih dan Fransiska Dita Novia Wardhani. 2010. Karakterisasi Bioactive Edible Film dari Komposit Alginat dan Lilin Lebah Sebagai Bahan Pengemas Makanan Biodegrdable. Jurnal Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN : 1411-4216. Vol. 3 No. 7 Hal 1-4.

Sudaryati, H.P., Tri Mulyani S., dan Egha Rodhu Hansyah. 2010. Sifat Fisik dan Mekanis Edible Film dari Tepung Porang (Amorphopallus Oncophyllus) dan Karboksimetilselulosa. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 11 No. 3.

Utami, Rohula, Edhi Nurhartadi, dan Andre Yusuf Trisna Putra. 2013. Pengaruh Penambahan Minyak Atsiri Kunyit Putih (Kaempferia Rotunda) pada Edible Film Pati Tapioka terhadap Aktivitas Antimikroba dan Sensoris. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 2 April.