Upload
tsabit-azinar-ahmad
View
6.726
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
1
Berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(1948-1949)
Tsabit Azinar Ahmad
Pendahuluan
Satu rentang sejarah bangsa Indonesia keberadaannya sangat berpengaruh
terhadap kehidupan bangsa Indonesia pada masa berikutnya. Hal ini dikarenakan
setiap tahapan sejarah memiliki peran dan arti penting tersendiri bagi masanya dan
juga bagi masa yang akan datang. Tiap peristiwa sejarah memiliki unsur
kontinuitas yang artinya adalah bahwa ada kesinambungan antara peristiwa
dahulu dengan peristiwa yang terjadi pada masa berikutnya.
Salah satu bagian dari rentangan sejarah bangsa Indonesia yang peanannya
sangat sentral dalam pembentukan negara Indonesia berikutnya adalah masa
revolusi. Pada masa revolusi, dinamika perkembangan Indonesia sangat terlihat.
Hal ini dikarenakan pada masa revolusi perkembangan sejarah mengalami
perubahan yang sangat cepat. Tercatat beberapa peristiwa penting yang
menentukan jalannya Indonesia ke depan terjadi pada masa revolusi ini. Berbagai
penyerangan dan peperangan mempertahankan kemerdekaan, perjuangan
diplomasi, sampai pada permasalahan dinamika politik terjadi pada masa ini.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa ini adalah pembentukan
pemerintahan darurat republik Indonesia.
Pemerintah darurat merupakan suatu upaya pengalihan kekuasaan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pihak tertentu ---dalam hal ini adalah
Syafrudin Prawiranegara dan kawan-kawan--- untuk menjalankan pemerintahan
dikarenkan pemerintah Indonesia pada masa itu tidak dapat menjalankan fungsi
pemerintahan. Hal ini dikarenakan pemerintahan yang tengah berlangsung
mengalami ketidakkuasaan dalam menjalankan pemerintahan disebabkan adanya
agresi Belanda yang berhasil menangkap Soekarno dan Hatta selaku pucuk
pimpinan pada masa tersebut dan menguasai pusat pemerintahan.
Peran pemerintah darurat ini menjadi sentral karena merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang pada masa itu tiak dapat
2
menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, dalam penulisan sejarah nasional,
pemeirntahan darurat tidak memiliki proposisi yang ideal. Penulisan sejarah
berkaitan dengan pemerintahan darurat masih sangat kurang. Bahkan dalam buku
babon Sejarah Nasional Indonesia jilid VI edisi tahun 1984, penjelasan tentang
pemerintahan darurat masih sangat kurang. Walau dalam waktu yang sangat
singkat, berdirinya pemerintahan darurat memiliki makna yang penting bagi
perjalanan bangsa Indonesia. Dalam makalah ini akan disajikan secara ringkas
tetang pemerintahan darurat Republik Indonesia, tentang apa latar belakang yang
menyebabkan terbentuknya pemerintahan darurat, dan bagaimana pengaruh
berdirinya pemerintahan darurat terhadap eksistensi negara Indonesia?
Kondisi Politik Indonesia Menjelang Berdirinya Pemerintah Darurat
Dari bulan januari 1946 sampai dengan Desember 1948, terdapat dua
pemerintahan di Indonesia, yaitu pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan
pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta (Wild dan Carey [ed.],1986:187).
Dalam perkembangan selanjutnya pemerintahan Republik Indonesia ini
mengalami penyerangan oleh pihak Belanda yang disebut dengan agresi militer
Belanda yang kedua. Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948
yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu,
serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh
lainnya.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan
pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di
Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil
keputusan bahwa pimpinan negara tetap tunggal dalam kota agar dekat dengan
Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19
Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda
tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua
wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI,
Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda
3
konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional"
(http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II).
Gambar 1. Situasi Indonesia pada Desember 1948 (Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II)
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas
lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo
dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat
Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST
Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung
sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan
Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak
penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di
Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600
orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan
beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di
Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
4
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta
menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di
Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal
18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda
telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah
kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Pendirian Pemerintahan Darurat
Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi
Militer Belanda II, Belanda berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar
karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah
dan ditahan. Oleh karena keadaan tersebut, untuk tidak menelantarkan Republik
Indonesia dalam keadaan tanpa pimpinan, dan untuk mencegah Belanda
mendirikan pemerintahan boneka, maka sidang kabinet memutuskan untuk
mengakat pimpinan pemerintah darurat.
Lewat radio Presiden dan wakil presiden mengalihkan kekuasaannya dengan
instruksi kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang pada waktu itu menjabat
sebagai menteri kemakmuran yang ada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kalau tidak mungkin, supaya menteri
Keuangan Mr. A.A. Maramis yang pada waktu itu berada di luar negeri untuk
menggantikan Mr Sjafruddin tersebut. secara serentak kabinet Hatta
mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan pemerintah darurat di
Sumatera, satu untuk Mr Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, dan satu lagi
untuk Mr. A.A. Maramis di New Delhi (Toer, dkk., 2003:705-706; Poesponegoro
dan Notosusanto [et.al], 1984:161).
5
Gambar 2. Sjafruddin Prawiranegara selaku pemimpin PDRI (Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sjafruddin_Prawiranegara)
Sementara itu di Sumatera, mendengar berita bahwa tentara Belanda telah
menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan
Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin
Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera,
mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di
kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka
meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota
Payakumbuh.
Ketika Sukarno ditawan, dan Sjafruddin sesudahnya itu yakin bahwa
mereka itu memang sudah ditawan, Sjafruddin dengan kawan-kawan yang ada di
Sumatera memproklamirkan pemerintah darurat untuk melanjutkan perjuangan.
Dan karena itulah akhirnya kita melanjutkan perjuangan dan walaupun Sukarno-
Hata, dan manteri-menteri yang lain ditawan itu menjadi tahanan dari Belanda.
Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat
berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat
yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan,
Mr. S. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir.
Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli
Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum
diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan,
maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut: Mr. Syafruddin
6
Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri
Luar Negeri ad interim; Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam
Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama; Mr. S. M. Rasyid, Menteri
Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda; Mr. Lukman Hakim, Menteri
Keuangan/Menteri Kehakiman; Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan
Umum/Menteri Kesehatan; Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri
Kemakmuran.
Pendirian Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini merupakan satu
bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Belanda. PDRI
secara terang-terangan menyatakan perang terhadap Belanda. Oleh kaerna itu
sejak berdirinya, PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI
harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan
Belanda.
PDRI berpangkal di Sumatera Barat, berpindah-pindah tempat. Mula-mula
PDRI di Bidar Alam, satu kampung di selatan Sumatera Barat, kemudian
berangsur-angsur pindah ke utara sampai kami juga ke Kota Tinggi. Dan di sana
pernah PDRI duduk, padang Jepang, dan dari sanalah kami dijemput oleh Natsir,
Leimena, dan Dr halim untuk kembali ke Yogyakarta, membujuk kami supaya
menyerahkan kembali mandat kepada presiden sukarno. PDRI telah berusia dari
21 Desember 1948 sampai 13 juli 1949.
Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi
antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka
saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera
dan Jawa. Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka
pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan
pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut: Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr.
Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri
Pembangunan dan Pemuda, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar
Negeri (berkedudukan di New Delhi, India), dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri
merangkap Menteri Kesehatan, Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan, Mr.
Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat, Kyai Haji
7
Masykur, Menteri Agama, Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan, Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan, Ir. Mananti Sitompul,
Menteri Pekerjaan Umum, Mr. St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer adalah Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar
Angkatan Perang RI, Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara &
Teritorium Jawa, Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara &
Teritorium Sumatera, Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Udara
Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara, Komisaris Besar Polisi Umar
Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa
yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sebagai
berikut Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan, Mr. Ignatius
J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat, dan R. Panji Suroso, urusan
Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis,
Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan
Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-
tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia
internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi
ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah
Republik Indonesia.
Aktivitas Pemerintahan Darurat
Pada saat berdirinya PDRI melakukan beberapa kebijakan. PDRI memimpin
perjuangan dan mengkoordinir perjuangan di Sumatera dan di Jawa. Di Jawa
mislnya diangkat dewan komisaris pemerintah pusat. Selain itu, diadakan pula
hubungan dengan luar negeri dan memberi data-data tentang keadaan perjuangan
di dalam negeri supaya mereka bisa memperjuangkan nasib kita di perserikatan
bangsa-bangsa, dan di luar negeri, sebab di sana Mr. Maramis menjadi menteri
luar negeri pemerintahan darurat. Dan perjuangan fisik, perjuangan tentara
dilakukan di bawah pimpinan panglima besar Sudirman di Jawa, dan di Sumatrea
8
di bawah pimpinan kepala teritorial Sumatera, yaitu Kolonel Hidayat (Sjafruddin
dalam Wild dan Carey [ed.],1986:198-205).
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta
berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun
perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah
pemerintahan militer di Sumatera, yaitu (1) Aceh, (2) Tapanuli dan Sumatera
Timur, (3) Riau, (4) Sumatera Barat, (5) Sumatera Selaran. Di Aceh wilayahnya
meliputi Langkat dan Tanah Karo dengan gubernur militer Teuku M. Daud di
Bereu’eh dan wakil gubernur Letnan Kolonel Askari. Di daerah Tapanuli dan
Sumatera Timur bagian Selatan dipimpin oleh Gubernur Militer dr. Ferdinand
Lumban Tobing dan wakil gubernur militer adalah Letnan Kolonel Alex Evert
Kawilarang. Di daerah Riau, gubernur militer dipegang oleh R.M. Utoyo dan
wakil gubernur Let. Kol. Hasan Basri. Di daerah Sumatera Barat, gubernur militer
adalah Mr. Sutan Mohammad Rasyid dan wakil gubernur militer dipegang oleh
Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Di Sumatera Selatan gubernur militernya adalah
dr. Adnan Kapau Gani dan wakil gubernur militer dipegang oleh Letnan Kolonel
Maludin Simbolon.
Pengembalian Mandat
Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia
internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya
tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di
meja perundingan.
Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu
statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal
ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan
kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja
perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya
perjanjian Roem-Royen. Perjanjian Roem Royen (juga disebut Perjanjian Roem-
Van Royen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Dengan difasilitasi oleh UNCI, tanggal
14 April 1949 dimulai perundingan antara Delegasi Republik Indonesia yang
9
dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dengan Delegasi Belanda yang dipimpin
oleh Dr. Jan H. van Royen. Kesepakatan yang dicapai adalah: (1) Pemerintah
Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta, (2) Indonesia dan Belanda akan
segera mengadakan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara
untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI
yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan
sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta
sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta
mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta
menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal
hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember
sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer,
karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui
dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula
pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-
arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948
antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa
pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan,
sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang
kuat.
Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan
kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil
Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi
pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil
Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan
tersebut tanggal 25 Juli 1949.
Setelah dikembalikannya mandat, dibentuk kabinet baru dipimpin oleh
Hatta sebagai Perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan
Sjafruddin Prawirnegara masing-masing sebagai waki perdana menteri I dan II.
10
Sri Sultan berkedudukan di Yogyakarta dan Sjafruddin berkedudukan di Banda
Aceh (Sjafruddin dalam Wild dan Carey [ed.],1986:198-205).
Pengaruh Berdirinya Pemerintahan Darurat
Berdirinya pemerintah darurat memiliki satu arti penting, yakni Indonesia
masih memiliki eksistensi ketika terjadi penyerangan dan penguasaan yang
dilakukan oleh Belanda. Walaupun merupakan pemerintahan hasil pelimpahan
kekuasaan dan bersifat sementara, PDRI telah menjadi satu mata rantai sejarah
Indonesia yang berhasil membentuk Indonesia sampai saat ini. Pada saat
berdirinya PDRI yang sangat singkat dilakukan berbagai upaya perlawanan
terhadap Belanda baik melalui jalur militer ataupun melalui jalur diplomasi.
Melalui jalur militer ditandai dengan didirikannya beberapa pangkalan militer dan
dilakukannya upaya perlawanan dan gerilya. Dalam bidang diplomasi, pada saat
berdirinya PDRI berhasil dilakukan upaya perundingan antara pihak Indonesia
dengan pihak Belanda, yang salah satu perundingan penting tersebut adalah
pembicaraan antara Roem dan Van Roeyen dan telah tercapai suatu undersanding
antara keduanya itu, yakni Yogya dikembalikan kepada Republik Indonesia, dan
kemudian akan diadakan erundingan-perundingan mengenai penyerahan
kedaulatan. Setelah selesai perundingan Roem-Royen itu, maka Yogyakarta
berhasil dikembalikan, serta Soekarno-Hatta dan menteri-menteri lain yang
ditawan dikembalikan ke Yogyakarta (Sjafruddin dalam Wild dan Carey
[ed.],1986:198-205).
Penutup
Berdirinya PDRI merupakan satu mata rantai sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah dan merupakan upaya
mempertahankan eksisteni Indonesia selaku negara yang berdaulat. Adanya PDRI
telah mencegah Belanda melakukan tindakan yang seenaknya sendiri terhadap
Indonesia. Hal ini dikarenakan PDRI senantiasa melakukan perlawanan terhadap
Belanda untuk merebut kembali kedaulatan Indonesia.
Daftar Pustaka
11
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (et.al). 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Toer, Pramudya Ananta dkk. Kronik Revolusi Indonesia. Jilid IV (1948). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. Wikipedia Free Encyclopedy. Agresi Militer Belanda II. Dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II (diunduh 10 Desember 2006)
-----. Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia (diunduh 10 Desember 2006)
Wild, Colin dan Peter Carey (ed.).1986. Gelora Api Revolusi; Sebuah Antologi
Sejarah. Jakarta: BBC seksi Indonesia dan Gramedia