8
22 { TRAVEL } { TRAVEL } BERASTAGI KARISMA TEKS & FOTO VALENTINO LUIS

Berastagi or Brastagi (North Sumatra) by Valentino Luis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Brastagi, Berastagi, North Sumatera, Travel Photography, Travel Photographer, Travel Writing, Travel Writer, Travel Magazine, Inflight Magazine, Batik Air, Indonesia, Traveling

Citation preview

22

{ TRAVEL }{ TRAVEL }

BerastagiKarisMa

TEKS & FOTO VALENTINO LUIS

23

INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIRJaNUari 2015

24

25

INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIRJaNUari 2015

Jalanan mulai berkelok-kelok lepas sejam dari Medan. Minibus yang saya tumpangi melaju

tenang kendati isinya lumayan sesak. Sebagian besar penumpang tidur terlunglai, menyebabkan hilangnya percapakan bervolume tinggi khas orang-orang Sumatera Utara. Riuh kendaraan serta tumpukan bangunan beton Kota Medan yang tiga hari jadi pemandangan umum, kini berganti pelintasan yang cenderung lengang diapit bukit dan ngarai menghijau. Saya seperti sedang dalam perjalanan untuk kembali pada ‘’dunia yang normal’’.

Ya, dunia yang normal. Frasa ‘’normal’’ bagi saya merupakan kehidupan yang bergerak lamban namun dinamis, bukan terburu-buru dalam hingar bingar. Normal bagi saya juga berarti

alam yang hijau serta manusia-manusia yang modest. Itu zona yang mencetuskan kenyamanan bagi saya. Entahlah, saya lebih bahagia begitu meskipun sebagai pejalan sudah tak terhitung lagi jumlah kota yang disinggahi. Atau mungkin saya telah berubah seiring perjalanan demi perjalanan. “...There ain’t no journey what don’t change you some.”

Minibus melipir liku-liku jalan. Arah yang sedang kami tempuh ini melalui dataran tinggi Tanah Karo yang menghadirkan silih berganti jalur berbentuk huruf ‘S’. Dengan mudah saya mengenali deretan gundukan yang tinggi sebagai Bukit Barisan. ‘’Berdiri di atas sana pasti indah, Bang,” kata seorang pria paru baya di sebelah saya, seolah dia mengerti betul isi otak saya. ‘’Tapi akan lebih indah lagi kalau mendaki Gunung

Sibayak. Orang muda kuat seperti kau haruslah ke sana,’’ lanjutnya sejurus kemudian.

Sepuluh kilometer menjelang Berastagi, bus berhenti di pinggir Desa Doulu. Pria itu turun. “Di sini rutenya ke Gunung Sibayak. Kalau nanti mendaki, kau mampirlah ke rumah kami. Bilang, kau cari rumah Pak Ginting,” katanya saat pamit. Saya menyukai keramahan khas Indonesia seperti ini.

KARISMA TEDUH KOTA BUAHKehadiran saya di Berastagi

ditandai lalu lalang ibu-ibu membawa keranjang berisi bunga-bunga segar di bawah kaki Monumen Perjuangan. Hawa sejuk turut menegaskan bahwa ini betul-betul Berastagi. Kota ini berada di atas ketinggian 1.330 dpl, menebarkan kabut di bumbungan rumah-rumah saat

26

senja tiba, mendorong orang untuk membungkus badan dengan baju tebal.

Nama Berastagi berarti ‘’Gudang Beras’’, mensinyalir kesuburan tanahnya sebagai gudang penyuplai makanan pokok. Karena udara yang segar bersih, sejak 1920-an Berastagi telah mendapatkan posisi istimewa sebagai lokasi tetirah para pejabat Kolonial Belanda. Bahkan pada masa itu sudah ada padang golf ekslusif.

‘’Sekarang tetap jadi pilihan akhir pekan bagi orang-orang Medan yang mencari suasana tenang dan persinggahan bagi turis yang mau ke Danau Toba,” ujar Ucok, penjual roti bakar yang saban petang menjajakan jualannya di tepi Jalan Veteran.

Gerobaknya ditempeli foto-foto seorang penyanyi pria. ‘’Itu Bang Judika Sihotang, penyanyi hebat. Orang Berastagi dia, idola saya,” katanya dengan mimik bangga.

Pagi-pagi dalam suhu yang dingin, saya menyambar jaket lalu keluar dari penginapan Wisma Sibayak menuju pasar bunga. Tebaran warni-warni dari berbagai kembang segar memikat mata. Bunga-bunga ini ada yang dijual dalam pot dan kantung untuk ditanam, tapi kebanyakan dijual dalam kumpulan tangkai yang sedang mekar.

Senada dengan di pasar buah, bermacam-macam buah-buahan ranum dengan aroma masing-

27

INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIRJaNUari 2015

masing menggoda untuk dikecapi. Berastagi populer dengan buah markisa yang, konon katanya, paling baik di Indonesia.

Saya lantas menyewa sepeda motor, kemudian menyusuri jalanan yang sehari sebelumnya dilalui minibus dari Medan. Ada sebuah gereja indah yang arsitekturnya mengedepankan gaya bangunan Karo, Gereja Santo Fransiskus Assisi. Ukurannya lumayan besar dan bagian dalamnya berbentuk semicircle.

Tak hanya gereja, klenteng bagi penganut Khonghucu juga ada. Lebih menarik lagi sebuah Pagoda Emas Lumbini untuk umat Buddha turut hadir di tengah ladang yang menawarkan ketenangan purna. Ini merupakan replika Shwegadon, pagoda besar di Myanmar. Melihat bangunan-bangunan religius indah dari beragam agama tersebut menciptakan rasa teduh tersendiri, menjadikan Berastagi sebagai destinasi yang karismatik.

MENYUSUP LERENG SINABUNG

Saya menimbang-nimbang untuk mendaki Gunung Sibayak. Ketika mengecek informasi di Tourist Center, dua orang pelancong asing mengusulkan untuk ke Sinabung. Mulanya saya ragu bercampur khawatir karena gunung setinggi 2.460 meter dpl tersebut sedang aktif. Namun, kedua sahabat berkebangsaan Austria itu meyakinkan, tak harus sampai

28

puncak jika kondisi tak memungkinkan. Cukuplah sampai lereng.

Kami pun berangkat ke Desa Kutagugung dengan angkutan umum. Titik pendakian ini berjarak lebih kurang 20 km dari Berastagi. Sepanjang jalan saya melihat banyak kuburan keluarga dibuat di tengah ladang. Kata warga, kuburan keluarga memang sengaja dibangun di tengah kebun tidak hanya untuk menghormati leluhur, tapi juga mencegah keinginan untuk menjual tanah.

Trek pendakian tak jauh dari Danau Lau Kawar, tapi kami tidak singgah ke telaga itu. ‘’Biarlah kita melihatnya dari atas, nanti pulang baru singgah,’’ ujar Manfred, satu dari pemuda Austria itu.

Kami melewati kebun sayur, lalu masuk hutan di kaki gunung. Tanah berlumpur dan becek karena gerimis semalam membuat licin. Alur pendakian Sinabung tidak lebar serta sangat kentara jarang dilalui orang. Kabut putih menjadikan jalur trek terlihat mistis, sulur-sulur pepohonan menambah kesan magis. Kami berpapasan dengan sebuah prasasti yang, ternyata, nisan sesorang yang meninggal saat mendaki.

Setengah pendakian ditandai oleh perubahan kondisi, dari hutan ke lereng yang semata batu terjal. Kami beristirahat sejenak sembari menatap Danau Lau Tawar dari ketinggian sebelum

melanjutkan pendakian yang kali ini betul-betul harus dalam posisi merayap. Tidak gampang memang, tapi saya mencoba tenang serta fokus. Apabila menoleh ke belakang, memang pemandangan mengerikan sebab kemiringan tanah yang dramatis.

Mencapai bagian atas gunung, hamparan pakis setinggi lutut menyambut. Angin yang berembus menguapkan peluh gerah, menerbitkan dahaga dengan

cepat. Bau belerang menyengat. Pemandangan lapang tertutup kabut tebal. Kami menunggu selama sejam, namun tak jua datang cerah.

Begitulah alam. Kedigdayaannya tak sanggup diluluhkan sekalipun manusia telah berkorban raga. Toh, banyak orang tetap bahagia karena penyatuan dengan alam lah yang mereka damba. Barangkali saya salah satunya dan ini termasuk dalam frasa ‘’dunia yang normal’’.

29

INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIRJaNUari 2015