Upload
yanta-razali
View
357
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
BENTUK LAPISAN BATUBARA
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi
lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai
pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-
pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan
kerumitan struktur yang bervariasi.
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari
endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk
melalui proses pembatubaraan. Potensi batubara Indonesia masih
memungkinkan untuk lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas
yang lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya untuk
meningkatkan peranan batubara.
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di
cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk
Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara
ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen
atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau
sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu
geologi.
Di Indonesia produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta
ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk
konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar
6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen
dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil.
Materi Pembentuk Batubara
Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis
tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah
sebagai berikut:
•Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal.
Hasil endapan batubara dari periode ini sangat sedikit.
•Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari
alga. Sedikit endapan batubara dari periode ini.
•Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama
pembentuk batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tumbuh-
tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh
di iklim hangat.
•Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur
Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal
pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti
gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian
seperti di Australia, India dan Afrika.
•Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan
modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga,
kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang
dapat terawetkan.
Potensi batubara di Indonsia masih memungkinkan untuk lebih ditingkatkan
lagi dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada pengembangan dan
pemanfaatannya untuk meningkatkan peranan batubara menjelang tinggal
landas pada awal Pelita VI. Salah satu dukungan yang disarankan adalah
pemantapan perencanaan dan pelaksanaan produksi secara terpadu,
sehingga kapasitas produksi selalu dapat memenuhi peningkatan
permintaan batubara baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan
waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh
fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Untuk memahami bagaimana
batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu diketahui di mana batubara
terbentuk dan factor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta bentuk
lapisan batubara.
Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
cellulose. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh
factor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit,
subbitumine dan antrasite. Gas-gas yang terbentuk selama proses
pembentukan batubara akan masuk ke dalam celah-celah vein batulempung
dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi di dalan
celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperature, karena tidak
dapat keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh
karena itu, mengatahui bentuk deposit batubara dapat menentukan cara
penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan keselamatan kerja.
Tempat Terbentuknya Batubara
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat
proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena
itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses
yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman
geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan
lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan
panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan
menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam.
Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan
lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon
(Carboniferous Period) --dikenal sebagai zaman batu bara pertama-- yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari
setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama
waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses
awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang
selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu
bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis
maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama
jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang
secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara
muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi
dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan
warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau
antrasit (anthracite).
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin
tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Dalam proses
pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan
konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini
ditunjukkan contoh analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam
setiap tahapan pembatubaraan.
Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
Dalam pembentukan batubara, semakin tinggi tingkat pembatubaraan,maka
kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan
berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan
dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah-- seperti
lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh
dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture)
yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya
juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras
dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu,
kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan
meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.
Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara, dikenal dua macam teori
yaitu :
a. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan
demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengetahui proses
transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses
coalification. Jenis batubara yang terebentuk dengan cara ini mempunyai
penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya
relative kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di
lapangan batubara Muara Enir – Sumatera Selatan.
b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup
dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati di angkut
oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutupoleh batuan
sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk
dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi di jumapi
dibeberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung
material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan
dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara yang terbentuk
seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta Mahakam
Purba – Kalimantan Timur.
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang komples, dalam asti
harus dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Terdapat serangkaian
factor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu
a. Posisi Geotektonik
Adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya
tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi
geotektonik merupakan factor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi
iklim local dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun
kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonik
mempengaruhi proses metamorfosa organic dan struktur dari lapangan
batubara melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.
b. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut
terbentuk. Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim
dan keadaannya bergantung pada posisi geotektonik.
c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan factor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai.
Iklim tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh
posisi geotektonik. Temperature yang lembab pada iklim tropis dan sub
tropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah
yang lebih dingin. Hasil pengkajian menyatakan bahwa hutan rawa tropis
mempunyai siklus pertumbuhan setipa 7 – 9 tahun dengan ketinggian pohon
sekitar 30 meter. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin, ketinggian pohon
hanya mencapai 5 – 6 meter dalam selang waktu yang sama.
d. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tekonik. Jika
penurunan dan pengandapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan
batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi
pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal ini menyebabkan adanya
infiltrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang
terbantuk.
e. Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai
macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak
langsung membahas sejaran pengendapan batubara dan metamorfosa
organic. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi,
sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara
yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami
deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada
lapisan batubara. Disamping itu factor erosi akan merusak semua bagian
dari endapan batubara.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsure utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisografi dengan iklim dan
topografi tertentu. Flora merupakan factor penentu terbentuknya berbagai
tipe batubara. Evolusi dari kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda
selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga Devon pertamakali
terbentuk lapisan batubara di daerah lagon yang dangkal. Periode ini
merupakan titik awal dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam
waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama
masa Karbon. Pada masa tersier merupakan perkembangan yang sangat
luas dari berbagai jenis tanaman.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari
organic merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan
gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan, baik secara fisik
maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih
berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri
anaerob). Kecepatan pertumbuhan gambut bergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup
oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi
terjadi proses desintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan
yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan
pembusukan gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saja
tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikribiologi.
h. Sejarah Sesudah Pengendapan
Searah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik
yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara.
Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organic setelah
pengendapan gambut. Di samping itu sejarah geologi endapan batubara
bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur cekungan batubara,
berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatic dan sebagainya.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan, umumnya mengalami deformasi
oleh gaya tektonik yang menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-
bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan
bantuk lapisan batubara tidak menerus.
j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau
pengaburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia
tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses
ini menyebabkan terjadninya perubahan gambut menjadi batubara dalam
berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen
dan zat terbang serta bertambahnya prosentas karbon pada, belerang dan
kandungan abu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup
yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya
tekanan dan percepatan proses metamorfosa organic. Proses ini akan dapat
mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia,
fisik, dan optiknya.
Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal
Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Salam satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara
tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan yang oleh karena adanya
beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di atasnya
mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.
Cekungan ini umumnya terdapat didaerah rawa-rawa (hutan bahaku) di tepai
pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan
pembentukan batubara memungkinkan permukaan air laut akan tetap dan
kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi dasar cekungan turun
secara cepat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga
mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.
Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan
sedimen laut antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi
kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk kembali
terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan
bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas lapisan
batulempung. Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara
dengan diselingi oleh lapisan antara yang berupa batugamping dan
batulempung. Tidak jarang dijumpau lapisan batubara sering terbentuk
lapisan antara yang berupa batulempung yang disebut sebagai clay band
atau clay parting.
Bentuk Lapisan Batubara
Pada kegiatan eksplorasi batubara, kita selalu menginginkan utk
mendapatkan lapisan batubara yang tebal. Dalam bentuk lapisan menerus
dgn ketebalan yang sama kesemua arah dan kualitas batubaranya baik.
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
proses pembentukan batubara akan menentukan bentuk lapisan batubara.
Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam
menghintung cadangan dan merencanakan cara penambangannya.
Beberapa bentuk lapisan batu baru, yaitu :
Sebagai catatan, hasil pengamatan pada singkapan batubara yang diperoleh
dilapangan, dikombinasikan dengan hasil pemboran eksplorasi, akan dapat
diketahui berbagai macam bentuk lapisan batubara yang ada diantara
lapisan batuan sedimen.
Untuk hal tesebut, dalam melakukan interpretasi geologi yang berkaitan
dalam usaha memahami bentuk lapisan batubara, di anjurkan memadukan
semua data geologi yang diperoleh pada saat melakukan pemetaan
permukaan (surface) dan pemetaan bawah permukaan (sub surface
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
proses coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara. Mengetahui
bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung cadangan
dan merencanakan cara penambangannya.
Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara yaitu :
Bentuk Horse Back
Bentuk Pinch
Bentuk Clay Vein
Bentuk Burried Hill
Bentuk Fault
Bentuk Fold
Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi.
Tingkat perlengkungan sangat ditentukan oleh besaran gaya kompresi.
Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat
perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara mungkin akan sama
tebalnya atau menjadi tipis. Kenampakan ini dapat terlihat langsung pada
singkapan lapisan batubara yang tampak/dijumpai di lapangan (dalam skala
kecil), atau dapat diketahui dari hasil rekontruksi beberapa lubang pemboran
eksplorasi pada saat dilakukan coring secara sistematis. Akibat dari
perlengkungan ini lapisan batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya
batubara menjadi kurang kompak.
Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan
mengakibatkan sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di
atasnya, bersama air tanah akan masuk di antara rekahan lapisan batubara.
Kejadian ini akan megakibatkan apabila batubara tersebut ditambang,
batubara mengalami pengotoran (kontaminasi) dalam bentuk butiran-butiran
batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga batubara menjadi
tidak bersih. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan, apabila batubara
tersebut akan dipergunakan sebagai bahan bakar.
Gambar Perlapisan Batubara Berbentuk Horse Back
Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan
yang plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan batubara secara
setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian
suatu alur. Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan
penampakan tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-
ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan
meter. Dalam proses penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada
alur-alur tersebut tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan
fragmen-fragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor
anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan apabila batubara
tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Gambar . Perlapisan Batubara Berbentuk Pinch
Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat
urat lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan
batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang
merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.
Apabila batubaranya ditambang, bentukan Clay Vein ini dipastikan ikut
tertambang dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak
diharapkan. Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut akan
dikonsumsi sebagai bahan bakar.
Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk
suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”. Sangat
dimungkinkan lapisan batubara pada bagian yang “terintrusi” menjadi
menipis atau hampir hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran
dari beberapa meter sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada
saat eksplorasi akan banyak membantu dalam menentukan dimensi
bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi tersebut merupakan batuan
beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi apabila
bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan
sangat dimungkinkan ikut tergali. Oleh sebab itu ketelitian dalam
perencanaan penambangan sangat diperlukan, agar fragmen-fragmen intrusi
tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dapat
dikurangi sehingga keberadaan pengotor anorganik tersebut jumlahnya
dapat diperkecil.
Gambar . Perlapisan Batubara Berbentuk Burried Hill
Bentuk Fault (Patahan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami
beberapa seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam
melakukan perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi
pergeseran perlapisan batubara ke arah vertikal. Dalam melaksanakan
eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan banyak gejala patahan,
diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan hanya
berpedoman pada hasil pemetaan geologi permukaan saja. Oleh sebab itu,
di samping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila ditunjang oleh data
hasil penelitian geofisika.
Gambar III.6. Perlapisan Batubara Berbentuk Fault
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti
dengan bantuan hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-
patahan secara seri didapatkan, keadaan batubara pada daerah patahan
akan ikut hancur. Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik pada
batubara tidak terhindarkan. Makin banyak patahan yang terjadi pada satu
seri sedimentasi endapan batubara, makin banyak kontaminan anorganik
yang terikut pada batubara pada saat ditambang.
Bentuk Fold (Perlipatan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses
tektonik hingga terbentuk perlipatan. Perlipatan tersebut dimungkinkan
masih dalam bentuk sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk
sinklin, atau sudah merupakan kombinasi dari kedua bentuk tersebut.
Lapisan batubara bentuk fold, memberi petunjuk awal pada kita bahwa
batubara yang terdapat di daerah tersebut telah mengalami proses
coalification relatif lebih sempurna, akibatnya batubara yang diperoleh
kualitasnya relatif lebih baik. Sering sekali terjadi, lapisan batubara bentuk
fold berasosiasi dengan lapisan batubara berbentuk fault. Dalam melakukan
eksplorasi batubara di daerah yang banyak perlipatan dan patahan, kegiatan
pemboran inti perlu mendapat prioritas utama agar ahli geologi mampu
membuat rekonstruksi struktur dalam usaha menghitung jumlah cadangan
batubara
TUGAS PEMERCONTOHAN & ANALISIS BATUBARA
“Struktur – Struktur Perlapisan pada Batubara”
Oleh :
Nama : Deddy Kristian S
NIM : 1009045046
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA