Upload
syahendiokkaarsada
View
334
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
bentang alam denudasional
BENTANG ALAM DENUDASIONAL
VII. 1. PENDAHULUAN
Denudasi adalah kumpulan proses yang mana, jika dilanjutkan cukup
jauh, akan mengurangi semua ketidaksamaan permukaan bumi
menjadi tingkat dasar seragam. Dalam hal ini, proses yang utama
adalah degradasi, pelapukan, dan pelepasan material, pelapukan
material permukaan bumi yang disebabkan oleh berbagai proses erosi
dan gerakan tanah. Kebalikan dari degradasi adalah agradasi, yaitu
berbagai proses eksogenik yang menyebabkab bertambahnya elevasi
permukaan bumi karena proses pengendapan material hasil proses
degradasi.
Proses yang mendorong terjadinya degradasi dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu :
1. Pelapukan, produk dari regolith dan saprolite ( bahan rombakan
dan tanah)
2. Transport, yaitu proses perpindahan bahan rombakan terlarut dan
tidak terlarut karena erosi dan gerakan tanah.
VII.2. PELAPUKAN
Pelapukan merupakan proses perubahan keadaan fisik dan kimia
suatu batuan pada atau dekat dengan permukaan bumi [tidak
termasuk erosi dan pengangkutan hasil perubahan itu]. Ketika batuan
tersingkap, mereka akan menjadi subjek dari semua hasil proses
pemisahan / dekomposisi batuan insitu [lihat tabel 7.1]
Pemisahan batuan umumnya disebabkan karena pengaruh kimia,
fisika, organisme, ataupun kombinasi dari ketiganya.
Tipe proses pelapukan pada kenyataan dan tingkat aktivitasnya
dipengauhi oleh :
a. Sort / pemilahan
b. Iklim
c. Topografi / morfologi
d. Proses geomorfologi
e. Vegetasi dan tata guna lahan
Pada tabel 7.2. menunjukkan beberapa hubungan antara berbagai
jenis batuan, resistensi, dan bentuk lahannya.
Pada iklim lembab dan hangat, yang dominan adalah pelapukan
kimia. Pada kondisi iklim kering pada musim baik kemarau maupun
penghujan, akan didominasi pelapukan fisika yang merata.
Sedangkan pada zona iklim dimana temperatur dan kelembaban
dapat mendukung kehidupan organisme, pelapukan biologilah yang
mendominasi.
VII.3. EROSI AIR PERMUKAAN
Erosi adalah suatu kelompok proses terlepasnya material permukaan
bumi hasil pelapukan yang dipengaruhi tenaga air, angin, dan es. Ini
juga termasuk perpindahan partikel dengan pemisahan karena
pengaruh turunnya hujan dan terbawa sepanjang aliran sebagaiman
suatu arus melalui darat. Ketika arus menjadi seragam secara relatif
dan tipis [sempit], partikel dipindahkan dari permukaan tanpa adanya
konsentrasi erosi
Erosi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
• Erosi normal, terjadi secara alamiah dengan laju penghancuran dan
pengangkutan tanahnya sangat lambat sehingga memungkinkan
kesetimbangan antara proses penghancuran dan pengangkutan
dengan proses pembentukan tanah.
• Erosi dipercepat, terjadi akibat pengaruh manusia sehingga laju
erosi jauh lebih besar daripada pembentukan tanah.
Berdasarkan bentukannya, erosi dapat dibedakan menjadi 5 macam,
antara lain :
• Erosi percik, merupakan tahap pertama dari hujan yang
menyebabkan erosi. Erosi ini disebabkan oleh tenaga kinetis jatuhnya
butir hujan ke permukaan tanah. Erosi ini dapat menghancurkan
porositas tanah karena pori – pori tanah menjadi lebih kecil atau
terjadi penyumbatan pori – pori, sehingga daya infiltrasinya berkurang
maka terjadilah pelumpuran yang mengakibatkan penurunan daya
infiltrasi lebih drastis lagi. Dengan demikian akan memperbesar
exsess aliran permukaan atau yang dapat mengakibatkan terjadinya
penggenangan pada topografi datar atau terjadi aliran permukaan
pada topografi miring. Selanjutnya hal ini mengakibatkan terjadinya
erosi lembar.
• Erosi lembar, adalah pengangkutan lapisan tanah yang merata
tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. Kekuatan jatuh butir
hujan dan aliran di permukaan merupakan penyebab utama erosi ini.
Dari segi energi, pengaruh butir hujan lebih besar karena kecepatan
jatuhnya sekitar 6 sampai 10 m/detik. Kehilangan lapisan atas yang
subur tersebut secara seragam, sehingga tidak kentara dan meliputi
areal yang luas. Proses erosi ini sangat berbahayakarena disadari
adanya setelah erosinya berjalan lanjut.
• Erosi alur, terjadi pada tanah yang tidak rata, maka air akan
terkonsentrasi dan mengalir pada tempat – tempat yang rendah
sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat –
tempat tersebut. Erosi ini biasa pada tanah – tanah yang biasa
ditanami tanaman yang ditanam berbaris menurut lereng. Apabila
erosi alur tidak segera ditanggulangi maka akan terjadi erosi parit.
• Erosi parit, prosesnya sama dengan erosi alur, tetapi saluran –
saluran yang terbentuk sudah dalam. Erosi parit yang terbentuk
berukuran lebar sekitar 40 cm dan kedalaman 25 cm, sedangkan
yang lanjut dapat mencapai kedalaman > 30 cm. Erosi ini dapat
berbentuk V atau U, tergantung dari kepekaan substratanya. Bentuk V
lebih umum terjadi, tetapi pada daerah yang substratanya mudah
lepas akan membentuk huruf U.
Faktor – faktor yang mempengaruhi erosi antara lain : Iklim
Di daerah tropika basah, faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah
hujan, terutama besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan,
kecepatan jatuh butir hujan, besar butiran hujan. Besarnya curah
hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal [dinyatakan
dalam m3/luas]. Intensitas hujan adalah besarnya yang jatuh pada
suatu waktu tertentu [dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam]. Relief
Dua unsur yang berpengaruh adalah kemiringan lereng dan panjang
lereng. Kemiringan lereng akan memperbesar jumlah aliran
permukaan sehingga memperbesar kekuatan angkut air. Selain itu,
jumlah butir – butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir
hujan semakin banyak. Panjang lereng dihitung dari titik pangkal
aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam
saluran [sungai] atau dimana kemiringan berkurang sedemikian rupa
sehingga kecepatan aliran air sangat berkurang. Air yang mengalir di
permukaan tanah akan terkumpul di ujung lereng. Dengan demikian
berarti makin banyak air yang mengalir dan semakin besar
kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian atas.
Akibatnya adalah tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih
besar daripada bagian atas. Selain kedua hal tersebut, yang
berpengaruh adalah konfigurasi lereng, misalnya berbentuk cembung
akan banyak terjadi erosi lembar. Lereng yang cekung cenderung
erosi berbentuk alur atau parit. Aspek lain yang berpengaruh misalnya
keseragaman lereng. Vegetasi
Vegetasi akan berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi.
Aspek pengaruh tersebut adalah :
1. Intersepsi hujan oleh tajuk, sehingga mengurangi jumlah hujan di
permukaan tanah.
2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air.
3. Pengaruj akar dan kegiatan biologi terhadap ketahanan struktur
tanah dan infiltrasi.
4. Pengaruh terhadap porositas tanah menjadi lebih besar.
5. Peristiwa transpirasi yang dapat mengurangi kandungan air tanah
sehingga yang datang kemudian dapat masuk ke dalam tanah lagi. Tanah
Sifat tanah yang berpengaruh terhadap laju erosi adalah tekstur,
struktur, bahan organik, kedalaman tanah, dan sifat – sifat lapisan
bawah. Tekstur dan struktur tanah tidak berdiri sendiri tetapi saling
berhubungan. Manusia
Di sini dapat berpengaruh positif dan negatif. Yang negatif apabila
menjadikan erosi lebih besar, contohnya penggundulan hutan, sistem
huma, dan sebagainya. Tindakan yang positif misalnya penghutanan,
pembuatan bangunan – bangunan pencegah erosi, tindakan
konservasi tanah, dsb.
Tabel 7.3. Ringkasan Media dan Proses Erosi
Agent involved Processes by which Loosened material is acquired
Processes of transport of material
Running water (streams, both surface and underground; sheet flow
and water.) Hydraulic action Traction, saltation, suspension, solution,
flotation
Groundwater (not including underground streams) Leaching, corrosion
Solution
Waves, currents, tides Hydraulic action Traction, saltation,
suspension, solution, flotation
Wind Abrasion, deflation Traction, saltation, suspension
Glaciers Scouring, plucking, sapping Traction, suspension
Gravity Mass-wasting(flowage landslide ,subsidence) Traction,
suspension
Overland flow yang seragam tipis hanya terdapat pada suatu bentuk
permukaan rata dan biasanya menjadi semakin sangat tipis pada
suatu permikaan yang dalam sehingga efek terjadinya longsor adalah
kecil, sebab hanya material halus yang dapat diangkut dengan cara
ini. Kekuatan yang diperlukan untuk mengikis bahan rombakan
menjadi lebih besar dibandingkan kekuatan yang yang diperlukan
untuk mengangkutnya.
Hampir semua permukaan alami terlalu tidak seimbang untuk
menghasilkan arus seragam, dan sebagai gantinya, kebanyakan air
dikonsentrasikan pada diskontinuitas tekanan yang kecil pada
permukaan itu. Variasi pada ketebalan arus menghasilkan variasi di
mana bahan rombakan terbawa, sehingga menjadikan erosi
permukaan memiliki konsentrasi tinggi, Jika arus cukup besar, mereka
akan mengikis sejumlah saluran kecil, dan jika saluran ini dangkal,
mereka cenderung untuk berpindah posisi dari waktu ke waktu.
VII.4. GERAKAN TANAH
Gerakan tanah adalah perpindahan massa tanah atau batuan pada
arah tegak, datar, atau miring dari kedudukannya semula, yang terjadi
bila ada gangguan kesetimbangan pada saat itu.
Ada empat jenis utama gerakan massa :
1. Falls [runtuhan]
Ada 3 macam, yaitu : Runtuhan batuan
Suatu massa batuan yang jatuh ke bawah karena terlepas dari batuan
induknya. Terjadi pada tebing – tebing yang terjal. Gerakannya
ekstrim cepat. Runtuhan tanah
Seperti pada runtuhan batuan, hanya saja yang jatuh ke bawah
berupa massa tanah. Gerakannya sangat cepat. Runtuhan bahan rombakan
Seperti pada runtuhan batuan, hanya saja yang jatuh ke bawah
berupa massa bahan tombakan. Gerakannya sangat cepat.
2. Slides [longsoran]
Ada 4 macam, yaitu : Nendatan [slump]
Gerakan yang terputus – putus atau tersendat – sendat dari massa
tanah atau batuan ke arah bawah dalam jarak yang relatif pendek,
melalui bidang lengkung dengan kecepatan ekstrim lambat sampai
agak cepat. Pada umumnya, sesuai dengan prosesnya yang terputus
– putus, sehingga mempunyai lebih dari satu bidang longsor yang
kurang lebih sejajr atau searah satu sama lain. Blok glide
Gerakan turun ke bawah dari massa tanah atau batuan yang berupa
blok dengan kecepatan lambat sampai agak cepat. Blok yang turun
dapat disebabkan atau dibatasi oleh kekar, sesar. Longsoran batuan
Gerakan massa batuan ke arah bawah yang biasanya melalui bidang
perlapisan, rekahan – rekahan, bidang sesar. Dalam hal ini
kemiringan lereng searah dengan kemiringan perlapisan batuan.
Lapisan batuan yang dapat bertindak sebagai bidang longsor adalah
batuan yang berukuran sangat halus [lempung, tuf – halus, napal,
dsb]. Kecepatan gerakan amat lambat sampai cepat. Longsoran bahan rombakan
Gerakan massa tanah atau hasil pelapukan batuan melalui bidang
longsor yang relatif turun secara meluncur atau menggelinding.
Bidang longsor merupakan bidang batas antara tanah dengan batuan
induknya.
3. Flows [aliran]
Ada 6 macam, yaitu : Aliran tanah
Gerakan dari massa tanah secara mengalir dengan kecepatan lambat
sampai cepat. Material [massa] tanah yang sangat plastis biasanya
dengan kecepatan lambat – cepat dan lumpur dengan kecepatan
sangat cepat sehingga ada yang disebut aliran tanah lambat dan
aliran tanah cepat. Disini faktor kandungan air sangat penting. Aliran fragmen batuan
Gerakan secara mengalir dari massa batuan yang berupa fragmen –
fragmen dengan kecepatan ekstrim cepat dan kering. Macam aliran
fragmen batuan, misalnya rockfall avalenche. Massa yang bergerak
sangat luas baik berupa runtuhan batuan atau longsoran batuan
dengan kecepatan ekstrim cepat. Sand run
Gerakan dari massa pasir secara mengalir dengan kecepatan cepat
sampai sangat cepat dalam keadaan kering. Loess flow [dry]
Aliran loess kering, massa yang mengalir berupa loes yang sangat
kering. Biasanya disebabkan oleh gempa bumi. Kecepatan aliran
ekstrim cepat. Debris avalanche
Gerakan bahan rombakan dalam keadaan agak basah dengan
kecepatan sangat cepat sampai ekstrim cepat. Kalau keadaannya
basah disebut debris flow [aliran bahan rombakan]. Sand flow dan Silt flow
Seperti pada sand run, hanya di sini dalam keadaan basah. Jika
material yang mengalir berupa pasir disebut aliran pasir, sedangkan
kalau berupa lumpur disebut aliran batu lumpur. Kecepatan aliran
cepat sampai sangat cepat.
4. Kompleks
Merupakan gabungan dari berbagai macam gerakan tanah, biasanya
satu macam gerakan tanah lalu diikuti oleh macam gerakan tanah
yang lain.
Gerakan tanah yang lain yaitu : Creep
Aliran massa tanah [batuan] yang ekstrim lambat, tidak dapat dilihat,
hanya akibatnya akan tampak seperti tiang listrik, pohon bengkok.
Contoh : rock creep, soil creep, talus creep. Amblesan
Gerakan ke arah bawah yang relatif tegak lurus, yang menyangkut
material permukaan tanah atau batuan tanpa gerakan ke arah
mendatardan tidak ada sisi yang bebas. Dapat disebabkan karena
terlampau berat beban dan daya dukung tanah kecil. Juga bisa
karena pemompaan air tanah jauh melampaui batas, sehingga pori –
pori yang tadinya terisi oleh air tanah akan mampat.
Dengan demikian penyebab terjadinya gerakan tanah adalah :
1. Kemiringan tanah
2. Jenis batuan / tanah
3. Struktur geologi
4. Curah hujan
5. Penggunaan tanah dan pembebanan massa
6. Getaran
- Gempabumi
- Lalulintas
VII.5. Beberapa bentuklahan degradasi
a. Footslopes
b. Inselberg/ pemandangan bersifat sisa
c. Peneplain
VII.6. Beberapa Bentuklahan Agradasi
a. Kipas
b. Lembah Infilled.
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-denudasional.html
bentang alam struktural
BAB IV
BENTANG ALAM STRUKTURAL
IV.I. PENDAHULUAN
Bentang alam struktural adalah bentang alam yang pembentukannya
dikontrol oleh struktur geologi daerah yang bersangkutan. Struktur
geologi yang paling berpengaruh terhadap pembentukan morfologi
adalah struktur geologi sekunder, yaitu struktur yang terbentuk setelah
batuan itu ada.
Struktur sekunder biasanya terbentuk oleh adanya proses endogen
yang bekerja adalah proses tektonik. Proses ini mengakibatkan
adanya pengangkatan, pengkekaran, patahan dan lipatan yang
tercermin dalam bentuk topografi dan relief yang khas. Bentuk relief
ini akan berubah akibat proses eksternal yang berlangsung kemudian.
Macam-macam proses eksternal yang terjadi adalah pelapukan
(dekomposisi dan disintergrasi), erosi (air, angin atau glasial) serta
gerakan massa (longsoran, rayapan, aliran, rebahan atau jatuhan).
Beberapa kenampakan pada peta topografi yang dapat digunakan
dalam penafsiran bentang alam struktural adalah :
a. Pola pengaliran. Variasi pola pengaliran biasanya dipengaruhi oleh
variasi struktur geologi dan litologi pada daerah tersebut.
b. Kelurusan-kelurusan (lineament) dari punggungan (ridge), puncak
bukit, lembah, lereng dan lain-lain.
c. Bentuk-bentuk bukit, lembah dll.
d. Perubahan aliran sungai, misalnya secara tiba-tiba, kemungkinan
dikontrol oleh struktur kekar, sesar atau lipatan.
IV.2. Macam-macam Bentang Alam Struktural
Bentang alam struktural dapat dikelompokkan berdasarkan struktur
yang mengontrolnya. Srijono (1984, dikutip Widagdo, 1984),
menggambarkan klasifikasi bentang alam struktural berdasarkan
struktur geologi pengontrolnya menjadi 3 kelompok utama, yaitu
dataran, pegunungan lipatan dan pegunungan patahan. Pada
dasarnya struktur geologi yang ada tersebut dapat ditafsirkan
keberadaannya melalui pola ataupun sifat dari garis kontur pada peta
topografi.
IV.2.1. Bentang alam dengan struktur mendatar (Lapisan Horisontal)
Menurut letaknya (elevasinya)dataran dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Dataran rendah, adalah dataran yang memiliki elevasi antara 0-500
kaki dari muka air laut.
2. Dataran tinggi(plateau/high plain ), adalah dataran yang menempati
elevasi lebih dari 500 kaki diatas muka air laut.
Kenampakan-kenampakan bentang alam pada kedua dataran
tersebut hampir sama, hanya dibedakan pada reliefnya saja. Pada
daerah berstadia muda terlihat datar dan dalam peta tampak pola
kontur yang sangat jarang. Pada daerah yang berstadia tua, sering
dijumpai dataran yang luas dan bukit-bukit sisa(monadnock), yang
sering dijumpai mesa dan butte. Perbedaan mesa dengan butte
adalah mesa mempunyai diameter(d) lebih besar dibandingkan
dengan ketinggiannya(h). Sedangkan butte sebaliknya.(lihat gambar
IV.1)
Pola penyaluran yang berkembang pada daerah yang berstruktur
mendatar adalah dendritik. Hal ini dikontrol oleh adanya keseragaman
resistensi batuan yang ada di permukaan.
Gambar IV.1. Kenampakan mesa dan butte
IV.2.2. Bentang Alam dengan Struktur Miring
Hampir semua lapisan diendapkan dalam posisi yang mendatar.
Sedimen yang mempunyai kemiringan asal diendapkan pada dasar
pengendapan yang sudah miring, seperti pada lereng gunung api dan
disekitar terumbu karang. Kemiringan lapisan sedimen yang demikian
disebut kemiringan asal dengan sudut maksimum 350(Tjia, 1987).
Kebanyakan sedimen yang memperlihatkan kemiringan, disebabkan
karena adanya proses geologi yang bekerja pada suatu daerah
tersebut. Morfologi yang dihasilkan oleh proses tersebut akan
memperlihatkan pola yang memanjang searah dengan jurus
perlapisan batuan. Berdasarkan besarnya sudut kemiringan dari
kedua lerengnya, terutama yang searah dengan kemiringan lapisan
batuannya, bentang alam ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu : Cuesta. Pada cuesta sudut kemiringan antara kedua sisi lerengnya
tidak simetri dengan sudut lereng yang searah perlapisan batuan.
Sudut kelerengan kurang dari 450 (Thornbury, 1969, p.133),
sedangkan Stokes & Varnes, 1955 : p.71 sudut kelerengannya kurang
dari 200. Cuesta memiliki kelerengan fore slope yang lebih curam
sedangkan back slopenya relatif landai pada arah sebaliknya
sehingga terlihat tidak simetri. Hogback. Pada hogback, sudut antara kedua sisinya relatif sama,
dengan sudut lereng yang searah perlapisan batuan sekitar
450(Thornbury, 1969, p.133). sedangkan Stokes & Varnes, 1955 :
p.71 sudut kelerengannya lebih dari 200. Hogback memiliki
kelerengan fore slope dan back slope yang hampir sama sehingga
terlihat simetri (lihat gambar IV.2).
IV.2.3. Bentang alam dengan Stuktur Lipatan
Lipatan terjadi karena adanya lapisan kulit bumi yang mengalami gaya
kompresi (gaya tekan). Pada suatu lipatan yang sederhana, bagian
punggungan disebut dengan antiklin, sedangkan bagian lembah
disebut sinklin.
Unsur-unsur yang terdapat pada struktur ini dapat diketahui dengan
menafsirkan kedudukan lapisan batuannya. Kedudukan lapisan
batuan(dalam hal ini arah kemiringan lapisan batuan) pada peta
topografi, akan berlawanan arah dengan bagian garis kontur.
Gambar II.2. Kenampakan beberapa bentang alam struktural
yang rapat (fore slope/antidip slope), dimana garis kontur yang rapat
tersebut menunjukkan adanya gawir-gawir yang terjal dan memotong
lapisan batuan. Arah kemiringan lapisan batuannya searah dengan
kemiringan landai dari topografinya (biasanya diperlihatkan dengan
punggungan yang landai/back slope/dipslope).
IV.2.4.Struktur antiklin dan sinklin
Pada prinsipnya penafsiran pada kedua struktur ini berdasarkan atas
kenampakan fore slope/antidip slope dan back slope/dipslope yang
terdapat secara berpasangan. Bila antidip slope saling berhadapan
(infacing scarp), maka terbentuk lembah antiklin, sedangkan apabila
yang saling berhadapan adalah back slope/dipslope, disebut lembah
sinklin. Pola pengaliran yang dijumpai pada lembah antiklin biasanya
adalah pola trellis (lihat gambar IV.3.).
Gambar IV.3. Sketsa dan contoh pola garis kontur pada pegunungan
lipatan (a) lembah antiklin, b).lembah sinklin.
IV.2.5. Struktur antiklin dan sinklin menunjam
Struktur ini merupakan kelanjutan atau perkembangan dari
pegunungan lipatan satu arah (cuesta dan hogback) dan dua arah
(sinklin dan antiklin). Bila tiga fore slope saling berhadapan maka
disebut sebagai lembah antiklin menunjam. Sedangkan bila tiga back
slope saling berhadapan maka disebut sebagai lembah sinklin
menunjam (lihat gambar II.4.).
Gambar II.4. Sketsa dan contoh pola garis kontur pada struktur (a)
sinklin dan (b) antiklin menunjam.
IV.2.6. Struktur lipatan tertutup Kubah
Bentang alam ini mempunyai ciri-ciri kenampakan sebagai berikut :
1. Kedudukan lapisan miring ke arah luar (fore slope ke arah dalam).
2. Mempunyai pola kontur tertutup
3. Pola penyaluran radier dan berupa bukit cembung pada stadia
muda
4. Pada stadia dewasa berbentuk lembah kubah dengan pola
penyaluran annular. Cekungan
Bentang alam ini mempunyai kenampakan sebagai berikut :
1. Kedudukan lapisan miring ke dalam (back slope ke arah dalam)
2. Mempunyai pola kontur tertutup
3. Pada stadia muda pola penyalurannya annular.
Gambar IV.4. Sketsa dan contoh pola kontur pada struktur lipatan
tertutup (a). kubah/dome
(b). cekungan/basin.
II.2.7. Bentang Alam dengan Struktur Patahan
Patahan (sesar) terjadi akibat adanya gaya yang bekerja pada kulit
bumi, sehingga mengakibatkan adanya pergeseran letak kedudukan
lapisan batuan. Berdasarakan arah gerak relatifnya, sesar dibagi
menjadi 5, yaitu:
- Sesar normal/ sesar turun (normal fault)
- Sesar naik( reverse fault)
- Sesar geser mendatar (strike-slip fault)
- Sesar diagonal (diagonal fault/ oblique-slip fault)
- Sesar rotasi (splintery fault/hinge fault)
Secara umum bentang alam yang dikontrol oleh struktur patahan sulit
untuk menentukan jenis patahannya secara langsung. Untuk itu,
dalam hal ini hanya akan diberikan ciri umum dari kenampakan
morfologi bentang alam struktural patahan, yaitu :
a. Beda tinggi yang menyolok pada daerah yang sempit.
b. Mempunyai resistensi terhadap erosi yang sangat berbeda pada
posisi/elevasi yang hampir sama.
c. Adanya kenampakan dataran/depresi yang sempit memanjang.
d. Dijumpai sistem gawir yang lurus(pola kontur yang lurus dan rapat).
e. Adanya batas yang curam antara perbukitan/ pegunungan dengan
dataran yang rendah.
f. Adanya kelurusan sungai melalui zona patahan, dan membelok tiba-
tiba dan menyimpang dari arah umum.
g. Sering dijumpai(kelurusan) mata air pada bagian yang
naik/terangkat
h. Pola penyaluran yang umum dijumpai berupa rectangular, trellis,
concorted serta modifikasi ketiganya.
i. Adanya penjajaran triangular facet pada gawir yang lurus.
Gambar II.5. Kenampakan triangular facets yang mengindikasikan
adanya sesar.
Gambar II.5. Kenampakan sungai yang mengalami pembelokan tiba-
tiba.
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-struktural.html
bentang alam glasial
BENTANG ALAM GLASIAL
Gletser merupakan massa es yang mampu bertahan lama dan mapu
bergerak karena pengaruh gravitasi. Gletser terbentuk karena salju
yang mengalami kompaksi dan rekristalisasi. Gletser dapat
berkembang di suatu tempat setelah melewati beberapa periode
tahun dimana es terakumulasi dan tidak melebur atau hilang.
Ada dua tipe bentang alam glasial :
1. Alpine Glaciation → terbentuk pada daerah pegunungan.
2. Continental Glaciation → bila suatu wilayah yang luas tertutup
gletser.
Gletser terbentuk di daerah kutub yang tingkat peleburannya pada
musim panas sangat kecil. Gletser terbentuk oleh akumulasi es
dengan faktor-faktor pendukung sebagai berikut :
1. Tingginya tingkat presipitasi
2. Suhu lingkungan yang sangat rendah
3. Pada musim dingin es terakumulasi dalam jumlah besar
4. Pada musim panas tingkat peleburannya rendah
Benua Antartika menyimpan lebih dari 85 % cadangan es dunia, 10 %
berada di Greenland dan 5 % sisanya tersebar di tempat lain di
seluruh dunia. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa Antartika
menyimpan cadangan air dunia dalam jumlah besar, sehingga bila es
di Antartika meleleh maka muka air laut akan meningkat 60 meter
(200 feet) yang dapat mngakibatkan banjir dan daratan tenggelam.
Tipe-tipe gletser :
1. Valley Glacier
Merupakan gletser pada suatu lembah dan dapat mengalir dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah. Pada valley glacier juga terdapat
ankak-anak sungai. Valley Glacier terdapat pada alpine glaciation.
2. Ice Sheet
Merupakan massa es yang tidak mengalir pada valley glacier tetapi
menutup dataran yang luas biasanya > 50.000 kilometer persegi. Ice
sheet terdapat pada continental glaciation yaitu pada Greenland dan
Antartika
3. Ice cap
Merupakan ice sheet yang lebih kecil, terdapat pada daerah
pegunungan seperti valley glacier contohnya di Laut Arktik, Canada,
Rusia dan Siberia. Ice sheet dan ice cap mengalir ke bawah dan
keluar dari pusat (titik tertinggi).
4. Ice berg
Ice shet yang bergerak kebawah karena pengaruh gravitasi dan
akhirnya hilang / terbuang dalam jumlah besar, bila mengenai tubuh
air maka balok-balok es tersebut akan pecah dan mengapung bebas
di permukaan air, hal ini disebut ice berg.
PROSES PEMBENTUKAN GLATSER
Snowfall terbentuk dari bubuk salju yang warnanya terang, dengan
udara yang terjebak diantara keenam sisinya (snowflakes). Snowflake
akan mengendap pada suatu tempat dan mengalami kompaksi
karena berat jenisnya dan udara keluar. Sisi-sisi snowflakes yang
jumlahnya enam akan hancur dan berkonsolidasi menjadi salju yang
berbentuk granular (granular snow) lalu mengalami sementasi
membentuk es geltser (glacier ice). Transisi dari bentuk salju menjadi
gletser dinamakn firn.
GLACIAL BUDGET :
1. Positive budget → bila dalam periode waktu tertentu, jumlah gletser
> es yang meleleh/hilang.
2. Negative budget → bila terjadi penurunan volume gletser
(menyusut).
Gletser dengan positive budget yang tertekan keluar dan ke bawah
pada tepinya disebut advancing budget, sedangkan gletser dengan
negative budget yang makin kecil volumenya dan tepinya meleleh
disebut receding budget. Bila jumlah es yang yang bertambah sama
dengan volume penyusutan es maka nilai advancing budget seimbang
dengan receding budget, hal ini disebut balance budget.
Bagian atas glacier disebut zone of accumulation → tertutup oleh es
abadi.
Bagian bawah glacier disebut zone of wastage → es hilang (mencair
atau terevaporasi).
Batas antara kedua zona disebut firn limit yang pergerakannya
tergantung apakah es terakumulasi atau terbuang. Bila firn limit
bergerak ke bawah dari tahun ke tahun, maka disebut positive budget,
bila firn limit bergerak ke atas, disebut negative budget. Bila firn limit
berada di tempat yang tetap, dinamakan balanced budget.
Terminus merupakan tepi bawah gletser yang bergerak makin jauh ke
bawah lembah ketika valley glacier mengalami positive budget. Bila
mengalami negative budget (gletser menyusut) maka terminus
bergerak ke bagian atas lembah.
Bila Ice sheet mangalami positive budget, maka terjadipenambahan
volume dan terminus mengalami kemajuan dan bila meluas sampai ke
laut maka volume atau jumlah ice berg di laut bebas meningkat.
Penambahan dan pengurangan ice berg merupakan indikator
perubahan musim. Meningkatnya jumlah dan volume ice berg
menandakan suhu makin dingin dan presipitasi makin tinggi.
BENTANG ALAM KARENA PROSES EROSI
• Bentang Alam Karena proses erosi yang berasosiasi dengan Alpine
Glaciation.
Glacier valley → berbentuk U karena proses glasial
→ berbentuk V karena erosi sungai
Lembah terbentuk karena sungai mengalami pelurusan oleh aliran air
akibat hantaman massa es yang tidak fleksibel. Bentang alam akibat
erosi yang terbentuk pada alpine glaciation antara lain :
1. Truncated Spurs merupakan bagian bawah tepi lembah yang
terpotong triangular faced karena erosi glasial. Makin tebal gletser
makin besar erosi pada bagian bawah lantai lembah. Makin besar
erosi maka mengakibatkan pendalaman lembah dan anak sungainya
sedikit.
2. Hanging valley
Ketika gletser tidak terlihat lagi, anak sungai yang tersisa menyisakan
hanging valley yang tinggi diatas lembah utama. Meskipun proses
glasial membentuk lembah menjadi lurus dan memperhalus dinding
lembah, es meyebabkan permukaan batuan dibawahnya terpotong
menjadi beberapa bagian, tergantung resistensinya terhadap erosi
glasial.
3. Rock basin lake
Air meresap pada celah batuan, membeku dan memecah batuan
sehingga lapisan batuan kehilangan bagiannya, digantikan es dan
ketika melelh kembali terbentuk rock basin lake.
4. Cirques
Merupakan sisi bagian dalam yang dilingkari glacier valley, berisi
gletser dari glacier valley yang tumpah ke bawah. Terbenruk karena
proses glasial, pelapukan dan erosi dinding lembah.
5. Bergschrund
Merupakan batuan yang telah pecah, berguling-guling dan jatuh ke
valley glacier lalu jatuh ke crevasse.
6. Horn
Merupakan puncak yang tajam karena cirques yang terpotong / ada
bagian yang hilang karena erosi ke arah hulu pada beberapa sisinya.
7. Aretes
Merupakan sisi dinding lembah yang mengalami pemotongan dan
pendalaman sehingga bagian tepinya menjadi tajam, karena proses
frost wedging.
8. Crevasses
Merupakan celah yang lebar (terbuka). Bila celah tertutup (sempit)
disebut closed crevasses.
• Bentang Alam Karena proses erosi yang berasosiasi dengan
Continental Glaciation
Batuan dibawah ice sheet tereosi seperti batuan di bawah valley
glacier menghasilkan grooves dan striation.
BENTANG ALAM KARENA PROSES PENGENDAPAN GLETSER
1. Till
Merupakan batuan yang hancur dari dinding lembah yang
terendapkan mengisi valley glacier, berasal dari ice sheet membawa
fragmen batuan yang terkikis (fragmennya lancip) karena bertabrakan
dan saling bergesek dengan batuan lain. Berukuran clay-boulder,
unsorted.
2. Erratic
Merupakan es berukuran boulder yang tertransport oleh es yang
berasal dari lapisan batuan yang jauh letaknya.
3. Moraines
Merupakan till yang terbawa jauh glacier dan tertinggal / mengendap
setelah glacier menyusut. Material-material lepas yang jatuh dari
lereng yang terjal sepanjang valley glacierterakumulasi pada
sepanjang sisi es.
Lateral Moraines → Moraines yang tertimbun sepanjang sisi gletser
Medial Moraines → Gabungan anak-anak sungai yang dekat Lateral
Moraines membawa gletser turun sepanjang sisi till, dari atas tampak
seperti multilane highway (lintasan-lintasan pada daerah tinggi).
End Moraines → Tepi till yang tertimbun sepanjang sisi es,
merupakan terminus yang tersisa yang tetap selama beberapa tahun,
mudah dilihat. Valley glacier membentuk end moraines yang
berbentuk seperti bulan sabit.
Bentuk-bentuk End Moraines :
• Terminal Moraines → End Moraines yang terbentuk karena terminus
bergerak maju jauh dari es.
• Recessional Moraines → End Moraines yang terbentuk karena
terminus tidak mengalami perubahan (tetap).
Ground Moraines → Till yang tipis, seperti lapisan-lapisan karena
batuan yang terseret aleh gletser lalu mengendap.
4. Drumlin
Merupakan ground moraines yang terbentuk kembali seperti alur-alur
sungai lembah till, bentuknya seperti sendok terbalik. Porosnya sejajar
dengan arah gerakan es. Dihasilkan oleh ice sheet yang tertransport
jauh dan terbentuk kembali menjadi endapan till setelah melalui lereng
yang dangkal.http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-glasial.html
bentang alam eolian
BENTANG ALAM EOLIAN
VI.1. Pendahuluan
Bentang alam eolian merupakan bentang alam yang dibentuk karena
aktivitas angin. Bentang alam ini banyak dijumpai pada daerah gurun
pasir. Gurun pasir sendiri lebih diakibatkan adanya pengaruh iklim.
Gurun pasir diartikan sebagai daerah yang mempunyai curah hujan
rata-rata kurang dari 26 cm/tahun. Gurun pasir tropik terletak pada
daerah antara 350 LU sampai 350 LS, yaitu pada daerah yang
mempunyai tekanan udara tinggi dengan udara sangat panas dan
kering. Gurun pasir lintang rendah terdapat di tengah-tengah benua
yang terletak jauh dari laut atau terlindung oleh gunung-gunung dari
tiupan angin laut yang lembab sehingga udar yang melewati gunung
dan sampai pada daerah tersebut adalah udara yang kering.
VI.2. Proses-Poses Oleh Angin
Angin meskipun bukan sebagai agen geomorfik yang sangat penting
(topografi yang dibentuk oleh angin tidak banyak dijumpai), namun
tetap tidak dapat diabaikan. Proses-proses yang disebabkan oleh
angin meliputi erosi, transportasi dan deposisi.
1. Erosi oleh angin
Erosi oleh angin dibedakan menjadi dua macam, yaitu deflasi dan
abrasi/korasi. Deflasi adalah proses lepasnya tanah dan partikel-
partikel kecil dari batuan yang diangkut dan dibawa oleh angin.
Sedangkan abrasi merupakan proses penggerusan batuan dan
permukaan lain oleh partikel-partikel yang terbawa oleh aliran angin.
2. Transportasi oleh angin
Cara transportasi oleh angin pada dasarnya sama dengan
transportasi oleh air yaitu secara melayang (suspension) dan
menggeser di permukaan (traction). Secara umum partikel halus
(debu) dibawa secara melayang dan yang berukuran pasir dibawa
secara menggeser di permukaan (traction). Pengangkutan secara
traction ini meliputi meloncat (saltation) dan menggelinding (rolling).
3. Pengendapan oleh angin
Jika kekuatan angin yang membawa material berkurang atau jika
turun hujan, maka material-material (pasir dan debu) tersebut akan
diendapkan.
VI.3. Macam-Macam Bentang Alam Eolian
Dilihat dari proses pembentukannya, bentang alam eolian dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu bentang alam akibat proses erosi oleh
angin dan bentang alam akibat prose pengendapan oleh angin.
A. Bentang alam Eolian Akibat Proses Erosi
Proses erosi oleh angin dibedakan menjadi 2, yaitu deflasi dan abrasi.
Bentang alam yang disebabkan oleh proses erosi ini juga dibedakan
menjadi 2 yaitu bentang alam hasil proses deflasi dan bentang alam
hasil proses abrasi.
A. 1. Bentang Alam Hasil Proses Deflasi
Bentang alam hasil proses deflasi dibedakan menjadi 3 macam:
1. Cekungan Deflasi (Deflation basin)
Cekungan deflasi merupakan cekungan yang diakibatkan oleh angin
pada daerah yang lunak dan tidak terkonsolidasi atau material-
material yang tersemen jelek. Cekungan tersebut akibat material yang
ada dipindahkan oleh angin ke tempat lain. Contoh cekungan ini
terdapat di Gurun Gobi yang terbentuk karena batuan telah diurai oleh
adanya pelapukan. Cekungan ini mempunyai ukuran antara 300 m
sampai lebih dari 45 km panjangnya dan dari 15m sampai 150 m
dalamnya.
Gambar VI.1. Cekungan Deflasi
2. Lag Gravel
Deflasi terhadap debu dan pasir yang ditinggalkan merupakan
material yang kasar (gravel, bongkah dan fragmen yang besar),
disebut lagstone. Akumulasi seperti itu dalam waktu yang lama bisa
menjadi banyak dan menjadi lag gravel atau bahkan sebagai desert
pavement, dimana sisa-sisa fragmennya berhubungan satu sama lain
saling berdekatan.
Gambar VI.2. Desert Pavement. Angin memindahkan material halus
meninggalkan material kasar (gravel, bongkah & berangkal)
membentuk lag deposit.
3. Desert varnish
Beberapa lagstone yang tipis, megkilat, berwarna hitam atau coklat
dan permukaannya tertutup oleh oksida besi dikenal desert varnish.
Gambar. VI.3. Gneiss berasal dari Pegunungan Minto dengan
komposisi mineral-mineral lempung ditambah mangan hitam yang
teroksidasi.
Gambar VI.4 Desert varnish di Australia.
A.2. Bentang Alam Hasil Prose Abrasi
Bentang alam hasil proses abrasi atau korasi antara lain:
1. Ventifact
Beberapa sisa batuan berukuran bongkah – berangkal yang
dihasilkan oleh abrasi angin yang mengandung pasir akan
membentuk einkanter (single edge) atau dreikanter (three edge).
Einkanter terbentuk dari perpotongan antara pebble yang mempunyai
kedudukan tetap dengan arah angin yang tetap/konstan. Dreikanter
terbentuk dari perpotongan antara pebble yang posisinya overturned
akibat pengrusakan pada bagian bawah dengan arah angin yang
tetap atau dapat juga disebabkan oleh arah angin yang berganti-ganti
terhadap pebble yang mempunyai kedudukan tetap, sehingga
membentuk bidang permukaan yang banyak.
Gambar VI. 5. Macam – macam Ventifact.
2. Polish
Polish ini terbentuk pada batuan yang mempunyai ukuran butir halus,
digosok oleh angin yang mengandung pasir (sand blast) atau yang
mengandung silt (silt blast)yang mempunyai kekuatan lemah,
sehingga hasilnya akan lebih mengkilat, misalnya pada kwarsit akibat
erosi secara abrasi akan lebih mengkilat.
Gambar VI.6. Gambaran batuan yang berbutir halus yang salah satu
bagian sisinya telah dihaluskan oleh angin.
3. Grooves
Angin yang mengadung pasir dapat juga menggosok dan menyapu
permukaan batuan membentuk suatu alur yang dikenal sebagai
grooves. Pada daerah kering, alur yang demikian itu sangat jelas.
Alur-alur tersebut memperlihatkan kenampakan yang sejajar dengan
sisi sangat jelas.
Gambar VI. 7. Granodiorit berukuran berangkal yang mempunyai
lungang angin. Angin dari arah seko
4. Sculpturing (Penghiasan)
Batu jamur (mushroom rock) yaitu batu yang tererosi oleh angin yang
mengandung pasir sehingga bentuknya menyerupai jamur
(mushroom).
Gambar. VI.8. Mushroom rock.
5. Yardang
Pada batuan yang halus, abrasi oleh angin secara efektif memotong
sepanjang alur rekahan membentuk bentukan sisa yang berdiri
memanjang yang disebut yardang. Kehadiran rekahan-rekahan
mempunyai pengaruh penting pada orientasi beberapa yardang.
Material yang halus tertransport sedangkan lapisan yang resisten
membentuk perlapisan dengan material lain yang kurang kompak.
Gambar. VI.9 Proses terbentuknya Yardang.
Gambar VI.10. Yardang di Texas.
B. Bentang Alam Hasil Pengendapan Angin
Jika kekuatan angin yang membawa material berkurang atau jika
turun hujan, maka material-material yang terbawa oleh angin akan
diendapkan. Bentang alam hasil proses pengendapan oleh angin ini
dibedakan menjadi 2 yaitu: dune dan Loess
B.1. Dune
Dune adalah suatu timbunan pasir yang dapat bergerak atau
berpindah, bentuknya tidak dipengaruhi oleh bentuk permukaan
ataupun rintangan. Berdasarkan ukurannya, hasil proses
pengendapan material pasir, yaitu ripples, dunes dan megadunes
• Ripples lebar berukuran 5 cm - 2m dan tinggi 0,1 – 5 cm
• Dunes lebar 3 – 600 m dan tinggi 0,1 – 15 m
• Megadunes lebar 300 – 3 km dan tinggi 20 – 400 m
Gambar VI.11. (a) Ripples, (b) Dunes dan (c) Megadunes
Tipe-tipe dune ini menurut Hace (1941, dalam Thornbury, 1964)
digolongkan menjadi 3, yaitu:
a. Transversal Dune
Transversal dune merupakan punggungan-punggungan pasir yang
berbentuk memanjang tegak lurus dengan arah angin yang dominan.
Bentuk ini tidak dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan.
Gambar VI.12. Transversal Dune di Namibia.
b. Parabolic Dune
Parabolic dune merupakan dune yang berbentuk sekop/sendok atau
berbentuk parabola. Bentuk ini dipengaruhi oleh adanya tumbuh-
tumbuhan.
Gambar VI.13. Sketsa Parabolic Dunes.
c. Longitudinal Dune
Longitudinal dune merupakan punggungan-pungungan pasir yang
terbentuk memanjang sejajar dengan arah angin yang dominan.
Material pasir diangkut secara cepat oleh angin yang relatif tetap
Gambar. VI.14. Sketsa Longitudinal Dune.
Gambar. VI.15 Longitudinal Dune di Mesir.
Klasifikasi menurut Emmon’s (1960) bentuk-bentuk dune dapat
bermacam-macam, tergantung pada banyaknya pertambahan pasir,
pengendapan di tanah, tumbuh-tumbuhan yang menghalangi dan juga
arah angin yang tetap. Berdasrkan hal-hal tersebut, maka tipe-tipe
dune digolongkan menjadi :
1. Lee dune (Sand Drift)
Lee dune/sand drift adalah dune yang berkembang memanjang,
merupakan punggungan pasir yang sempit, berada di belakang
batuan atau tumbuh-tumbuhan. Dune ini mempunyai kedudukan
tetap, tetapi dengan adanya penambahan jumlah pasir yang banyak
maka dapat juga menjadi jenis dune yang bergerak dari ujung sand
drft.
Gambar VI.16. Sand Drift di Navajo Reservation.
2. Longitudinal dune
Longitudinal dune mempunyai arah memanjang searah dengan arah
angin yang efektif dan dominan. Terbentuk karena angin tertahan oleh
rumput atau pohon-pohon kecil. Kadang-kadang berbentuk seperti
lereng dari suatu lembah.
3. Barchan
Barchan terbentuk pada daerah yang terbuka, tak dibatasi oleh
topografi/tumbuh-tumbuhan dimana arah angin selalu tetap dan
penambahan pasir terbatas dan berada di atas batuan dasar yang
padat. Barchan ini berbentuk koma dengan lereng yang landai pada
bagian luar, serta mempunyai puncak dan sayap.
Gambar VI.17. Barchan.
4. Seif
Seif adalah longitudinal dune yang berbentuk barchan dengan salah
satu lengannya jauh lebih panjang akibat kecepatan angin yang lebih
kuat pada lengan yang panjang. Misalnya di Arabian Sword, seif
berasosiasi dengan barchan dan berkebalikan antara barchan
menjadi seif. Perubahan yang lain misalnya dari seif menjadi lee
dune.
Gambar VI.18 Seif Dune di Saudi Arabia.
5. Transversal dune
Transversal dune terbentuk pada daerah dengan penambahan pasir
yang banyak dan kering, angin bertiup secara tetap misalnya pada
sepanjang pantai. Pasir yang banyak itu akan menjadi suatu timbunan
pasir yang berupa punggungan atau deretan punggungan yang
melintang terhadap arah angin.
6. Complex dune
Complex dune terbentuk pada daerah dengan air berubah-ubah, pasir
dan vegetasi agak banyak. Barchan, seif dan transversal dune yang
berada setempat-tempat akan berkembang sehingga menjadi penuh
dan akan terjadi saling overlap sehingga akan kehilangan bentuk-
bentuk aslinya dan akan mempunyai lereng yang bermacan-macam.
Keadaan ini disebut sebagai complex dune. Menurut Emmons (1960,
dalam Thornbury, 1969), dune ini biasanya mempunyai ketinggian
antara 6 – 20 m, tetapi beberapa dune dapat mencapai ketinggian
beberapa puluh meter. Sedangkan kecepatan bergerak atau
berpindahnya berbeda-beda tergantung pada kondisi daerahnya.
Biasanya tidak lebih dari beberapa meter per tahun, tetapi ada juga
yang sampai 30 m per tahun.
Gambar VI.19. Complex Dune.
B.2. Loess
Daerah yang luas tertutup material-material halus dan lepas disebut
Loess. Beberapa endapan loess yang dijumpai di Cina barat
mempunyai ketebalan sampai beberapa ratus meter. Sedangkan di
tempat lain kebanyakan endapan loess tesebut hanya mencapai
beberapa meter saja. Beberapa endapan loess menutupi daerah yang
sangat subur. Penyelidikan secara mikroskopis memperlihatkan
bahwa loess berkomposisi partikel-partikel angular dengan diameter
kurang dari 0,5 mm terdiri dari kuarsa, feldspar, hornblende dan mika.
Kebanyakan butiran-butiran tersebut dalam keadaan segar atau baru
terkena pelapukan sedikit. Kenampakan itu menunjukkan bahwa loess
tersebut merupakan hasil endapan dari debu dan lanau yang diangkut
dan diendapkan oleh angin.
Gambar. VI.20. Macam – macam Loess.
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-eolian.html
bentang alam karst
BENTANG ALAM KARS
V.1. Pendahuluan
Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari istilah
Slovenian kuno yang berarti topografi hasil pelarutan (solution
topography) (Blomm,1979). Menurut Jenning (1971, dalam Blomm
197), topografi karst didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan
pola penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang mudah
larut (memiliki derajat kelarutan yang tinggi) pada air alam dan
dijumpai pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint dan Skinner
(1977) mendefinisikan topography karst sebagai daerah yang
berbatuan yang mudah larut dengan surupan (sink) dan gua yang
berkombinasi membentukk topografi yang aneh (peculiar topography)
dan dicirikan oleh adanya lembah kecil, penyaluran tidak teratur,
aliran sungai secara tiba-tiba masuk kedalam tanah meninggalkan
lembah kering dan muncul sebagai mata air yang besar.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat ditetapkan suatu
pengertian tentang topografi karst yaitu : “Suatu topografi yang
terbentuk pada daerah dengan litologi berupa batuan yang mudah
larut, menunjukkan relief yang khas, penyaluran yang tidak teratur,
aliran sungainya secara tiba-tiba masuk kedalam tanah dan
meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar ditempat lain
sebagai mata air yang besar”.
Dari sebaran batugamping yang ada, Indonesia merupakan wilayah
yang potensial sebagai kawasan kars. Dari kondisi geologinya
Indonesia kaya akan batugamping. Tetapi tidak semua batugamping
yang ada diwilayah Indonesia dapat berkembang menjadi bentang
alam kars. Beberapa wilayah di Indonesia yang dapat ditemukan
bentang alam kars, yaitu :
- Pulau Sumatra, bentang alam dipulau Sumatra sangat kurang
sangat berkembang, hanya sebagian tempat di Aceh, Sumatra Barat
(Singkarak) dan Sumatra Selatan
- Pulau Jawa, sebaran batugamping dipulalau Jawa umumnya berada
dibagian selatan dan beberapa diantaranya berkembang menjadi
kawasan kars yang penting serta terkenal di kalangan pemerhati kars.
Kawasan bentang alam kars tersebut berada didaerah Gombong
Selatan dan Gunung Sewu
- Pulau Kalimantan, dari ekspedisi speleogi dari tim prancis yang
dilakukan pada tahun 1980-an (ESFIK-1982, 1983) melaporkan
bentang alam kars di wilayah pegunungan Mangkalit, Kalimantan
TImur. Di Kalimantan Tengah dapat dijumpai bentang alam kars yang
meliputi Gunung Haje dan Gunung Menunting di Muara Teweh. Di
Klaimantan Selatan terdapat diwilayah Pegunungan Meratus yang
penyebarannya terputus-putus.
- Pulau Sulawesi, benrkembang bentang alam kars sangat
baikterutama Sulawesi Selatan. Bentang alam kars Maros sangat
terkenal dan telah diadakan penelitian serta didapat data sedikitnya
29 gua yang harus dilindungi.
- Pulau Sumbawa, bentang ala mini terdapat didaerah Waingapu,
Sumbawa Barat yang nilai ekonomisnya berupa sumber daya air
dengan debit kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH & Yayasan Jatidiri,
1998).
- Pulau Irian Jaya, Pulau Irian merupakan pulau yang kaya akan
sebaran batugamping yang berkembang menjadi bentang alam kars.
Kawasan kars terdapat didaerah Wamena-Pegunungan
Trikoradengan nilai ilmiah berupa dolina raksasa, gua terdalam,
sungai bawah tanah terbesar serta didaerah Biak dan pulau Misool
dengan nilai peninggalan arkeologi. Kawasan bentang alam kars di
Irian Jaya merupakan satu-satunya formasi batuan yang paling baik
mengandung air (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998)
V.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentang Alam Karst
V.2.1. Faktor Fisik
Faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan topografi karst meliputi
ketebalan batugamping, porositas dan permeabilitas batugamping
serta intensitas struktur (kekar) yang mengenai batuan tersebut.
1. Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini batugamping)
yang baik untuk perkembangan topografi karst harus tebal.
Batugamping tersebut da[at masif atau terdiri dari beberapa lapisan
yang membentuk satu unit batuan yang tebal, sehingga mampu
menampilkan topografi karst sebelum batuan tersebut habis
terlarutkan dan tererosi. Ritter (1978) mengemukakan bahwa
batugamping yang berlapis (meskipun membentuk satu unit yang
tebal), tidak sebaik batugamping yang massif dan tebal dalam
pembentukan topografi karst ini. Hal ini dikarenakan material sukar
larut dan lempung yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan
mengurangi kebebasan sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan.
Sebaliknya pada batugamping yang massif, sirkulasi air akan berjalan
lancer sehingga mempermudah terjadinya proses karstifikasi.
2. Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam batuan.
Menurut Ritter (1978), porositas primer ditentukan oleh tekstur batuan
dan berkurang oleh proses sementasi, rekristaslisasi dan penggantian
mineral (missal dolomitisasi) sehingga porositas primer tidak begitu
berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Sebaliknya dengan
porositas sekunder yang biasanya terbentuk oleh adanya retakan atau
pelarutan dalam batuan. Porositas (baik primer maupun sekunder)
biasanya mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan batuan
batuan untuk melalukan air. Disamping itu permeabilitas juga
dipengaruhi oleh adanya kekar yang saling berhubungan dalam
batuan. Semakin besar permeabilitas suatu batuan maka sirkulasi air
akan berjalan semakin lancer sehingga proses karstifikasi akan
semakin intensif.
3. Intesitas Struktur Terhadap Batuan
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh terhadap
proses karstifikasi. Disamping kekar dapat mempertinggi
permeabilitas batuan, zona kekar merupakan zona yang lemah yang
mudah mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan adanya
kekar dalam batuan proses pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter
(1978) mengemukakan bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola
tertentu dan berpasangan (kekar gerus), tiap pasang membentuk
sudut antara 70° sampai 90° dan mereka saling berhubungan. Hal
inilah yang menyebabkan kekar dapat mempertinggi porositas dan
permeabilitas sekaligus sebagai zona lemah yang menyebabakan
proses pelarutan dan erosi berjalan lebih intensif. Apabila intensitas
pengkekaran sangat tinggi maka batuan menjadi mudah hancur atau
tidak memiliki kekauatan yang cukup. Disamping itu permeabilitas
mejadi sangat tingi sehingga waktu sentuh batuan dan air sangat
cepat. Hal ini menghambat proses kartifikasi (Ritter, 1978). Adanya
control struktur dalam pembentukan topografi karst ini diberikan
contoh pada pembentukan gua (gambar V.1.)
Gambar V.1. Sketsa gua yang dikontrol oleh kekar
V.2.2. Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi yang berpengaruh dalam proses karstifikasi adalah
kondisi kimia batuan dan kondisi kimia media pelarut.
1. Kondisi Kimia Batuan
Kondisi kimia batuan yang dimaksud adalah komposisi dan sifat kimia
(kelarutannya).
Secara umum berdasarkan komposisinya batugamping dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, tetapi sesuai dengan
namanya, batugamping sedikitnya mengnadung 50% mineral
karbonat ynag umumnya berupa kalsit (CaCO3). Dua jenis mineral
karbonat yang umum ada pada batugamping adalah kalsit dan
dolomite (Sweeting, 1973 dalam Ritter, 1978). Menurut Leigton dan
Pendextel (1962 dalam Ritter, 1978), bila batuan mengandung mineral
dolomite lebih dari 50% maka batuannya disebut dolomite dan bila
batuannya mengandung mineral kalsit lebih dari 50% maka batuannya
disebut batugamping. Batugamping inilah yang mempunyai
kecenderungan untuk membentuk topografi karst.
Corbel (1957 dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk
membentuk topografi karst diperlukan sedikitnya 60% kalsit dalam
batuan. Untuk perkembangan topografi karst yang baik diperlukan
kurang lebih 90% kalsit dlam batuan tersebut, tetapi bila kandungan
mineral kalsit lebih dari 95% (batugamping murni, misal kalk) maka
batuan tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
pembentukan topografi kars. Topografi kars yang dapat terbentuk
pada kalk hanya lembah kering, lubang pelarutan (solution pits) dari
lubang-lubang yang dangkal (swallows holes) atau bentuk minor yang
terdapat dipermukaan lainnya (Twidale, 1976). Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa dolomit mempunyai pelarutan dan kekuatan
(strength) yang lebih kecil dibanding kalsit (batugamping), sehingga
perkembangan topografi kars pada dolomit lebih jelek dibandingkan
dengan perkembagan kars pada batugamping. Topografi kars yang
dapat berkembang pada dolomit adalah surupan kecil, depresi yang
dangkal dan beberapa depresi dengan lantai dasar dan dinding yang
terjal.
2. Kondisi Kimia Media Pelarut
Media pelarut dalam proses karstifikasi adalah air alam (natural water)
(Jehning, 1971 Vide Bloom, 1979). Kondisi kimiawi media pelarut ini
sangat berpangaruh pada proses karstifikasi.
Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat sulit
lartu dalam air murni, akan tetapi ia akan larut dalam air yang
mengandung asam. Dialam, air hujan akan mengikat karbondioksida
(CO2) dari udara dan dari tanah disekitarnya membentuk air /larutan
yang bersifat asam yaitu asam karbonat (H2CO3). Larutan inilah yang
akan melarutkan batugamping. Dengan demikian bahwa sifat kimiawi
media pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya karbondioksida
yang diikatnya.
Disamping membentuk larutan asam, karbondioksida didalam air akan
meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan tersebut. Tekanan
parsial CO2 yang tinggi dalam larutan akan mempertinggi
kemampuan larutan untuk melarutkan kalsit.bloom (1979)
menyebutkan bahwa tekanan parsial CO2 pada air yang mengandung
udara (aerated aqueous) hanya 30 pa dan CaCO3 yang dapat
dilarutkannya kurang lebih hanya 63 mg/lt, tetapi pada kondisi tidak
ada udara (anaerobic) tekanan parsial CO2 meningkat sampai 30 Kpa
dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya mencapai 700 mg/lt.
3. Faktor Biologis
Aktifitas biologis dapat mempengaruhi pembentukan topografi kars,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Bloom (1979)
aktifitas biologis (dalam hal ini tumbuh-tumbuhan dan mikrobiologis)
dapat menghasilkan humus yang akan menutupi batuan dasar.
Humus ini menyebabkan batuan dasar tersebut menadi anaerobik,
sehingga air permukaan yang masuk sampai kebatuan dasar (sampai
zona anaerob) tekanan parsial CO2nya bertambah besar sampai 10
kali lipat dibanding dengan saat dia berada dipermukaan. Karena
tekanan parsial CO2 naik, maka kemampuan air untuk melarutkan
batuan menjadi lebih tinggi. Dengan demikian berarti dengan
terbentuknya humus oleh aktifitas biologis, maka proses karstifikasi
berjalan lebih internsif.
Disamping meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan, pada
saat pembentukan humus juga terjadi proses dekomposisi material
organic yang menghasilkan karbondioksida (CO2). Karbondioksida ini
disebut dengan biogenic CO2, yang merupakan bagian terbesar dari
kandungan CO2 didalam tanah (Ritter, 1978). Dengan demikian
berarti bahwa aktifitas biologis juga menambah suplay CO2 didalam
tanah dan CO2 ini akan diikat oleh air tanah sehinga lebih reaktif.
Aktifitas biologis kecuali meningkatkan tekanan parsial CO2 dan
menambah kadar CO2 dalam tanah juga dapat berpengaruh secara
langsung dalam pembentukan topografi kars. Folk, dkk (1973) Vide
Ritter (1978) menyebutkan bahwa pembentukan phytokarst
dipengeruhi oleh tetumbuhan (dalam hal ini algae) secara langsung.
Algae yang hidup pada betugamping melekat dan menembus
permukaan batugamping tersebut sedalam 0,1 – 0,2 mm. Algae ini
juga menghasilkan larutan asam yang kemudian melarutkan batuan
disekitar tempat tumbuhnya, akibat permukaan batugamping tersebut
berlekuk-lekuk dengan lubang-lubang yang saling berhubungan dan
bentuk tepinya tajam-tajam.
4. Faktor Iklim dan Lingkungan
Iklim dan lingkungan merupakan dua hal yang sering kali sulit untuk
dipisahkan. Lingkungan dalam arti sempit adalah kondisi disekitar
tempat yang dimaksud (dalam hal ini adalah lahan pembentukan
topografi kars) dan lingkungan dalam arti luas meliputi seluruh aspek
biotik dan abiotik yang ada didaerah yang dimaksud.
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln (1942)
mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung
pembentukan topografi kars adalah adanya lembah besar yang
mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari batuan mudah larut
(batugamping) yang terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini
menyebabkan air tanah pada tempat yang tinggi dapat turun ,
menembus batugamping tersebut dan melarutkannya dengan bebas.
Selanjutnya air tanah tersebut msuk kedalam lembah sebagai air
permukaan.
Disamping itu Ritter (1978) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan
disekitar batugamping harus lebih rendah, atau dengan kata lain
batugamping tersebut haurs memiliki elevasi yang lebih tinggi
dibanding lingkungan disekitarnya. Kondisi lingkungan seperti ini
menyebabkan sirkulasi air dapat berjalan dengan baik sehingga
proses karstifikasi dapat berjalan lebih intensif.
Lingkungan dalam arti luas mencakup kondisi biotik (aktifitas biologis)
dan kondisi abiotik (suhu, curah hujan, presipitasi dan penguapan)
daerah yang dimaksud. Kondisi biotik dan abiotik disuatu daerah
sangat ditentukan oleh iklim daerah tersebut (Bloom, 1979).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kondisi biotik dan abiotik
tersebut sangat mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik
pelapukan ataupun pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti
bahwa iklim sangat mempengaruhi proses eksogenik pada suatu
daerah.
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan
cukup tingggi, kombinasi suhu dan presipitasi ideal untuk
berlangsungnya proses pelarutan sehingga proses karstifikasi
berjalan sangat bagus (Riter, 1978). Selain itu sikulasi air tanah
sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah dan aktifitas mikroba cukup
tinggi sehingga sangat mendukung terjadinya proses karstifikasi. Air
tanah didaerah ini sangat reaktif untuk pelarutan dan suhu udara
cukup tinggi sehinga reaksi kimia untuk melarutkan batugamping
berjalan lebih cepat. Menurut Bloom (1979), air tanah didaerah tropis
mengandung asam organic dan komponen nitrat sehingga
agrasifitasnya naik. Dengan kondisi daerah semacam ini maka
topografi kras dapat berjalan dengan baik didaerah beriklim tropis
basah. Topografi kars yang dapat terbentuk pada daerah tropis basah
sangat bervariasi baik konstruksional maupun topografi sisa.
V.3. Proses Pembentukan Topografi Kars
Von Engeln (1942) menyebutkan bahwa kondisi batuan yang
menunjang terbentuknya topografi kars ada 4 , yaitu :
- mudah larut dan berada dipermukaan atau dekat dengan
permukaan
- masif, tebal dan terkekarkan
- berada pada daerah yang curah hujannya sedang sampai tinggi
- dikelilingi oleh lembah sehingga air permukaan dapat melalui
rekahan-rekahan yang ada pada batuan sambil melarutkannya
Pembentukan topografi kars dimulai pada saat air permukaan
memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona
rekahan tersebut (Gambar V.2).
Gambar V.2. Diagram aliran air didalam batugamping melalui rekahan
(a) dan gua (b).
Akibatnya adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada
menjadi semakin lebar, akhirnya membentuk sungai bawah tanah
atau gua.
Davis (1930, dalam Bloom, 1979) mengemukakan teori pembentukan
gua yang dikenal sebagai deep phreatic theory yang mengemukakan
bahwa gua terbentuk ditempat yang jauh dibawah muka airtanah
karena aliran air preatik dapat mencapai tempat yang sangat dalam.
Apabila suatu saat ada suatu sebab yang menyebabkan gua tersebut
beerada diatas muka airtanah, misalnya pengangkatan atau ada
penurunan muka airtanah, maka didalam gua tersebut akan terdapat
ruangan yang hanya berisi udara (atmosfer gua). Dengan demikian
maka airtanah yang bergerak dari atas dan masuk kedalam gua
tersebut akan menetes kedasar atau lantai gua. Pada saat airtanah
yang membawa larutan kalsium bikarbonat menetes kedalam gua
maka gas CO2 dari larutan tersebut berdifusi dan masuk kedalam
atmosfer gua, akibatnya akan terendapkan mineral kalsit baik
ditempat jatuhnya airtanah maupun pada tempat menetesnya airtanah
tersebut (Sanders, 1981). Endapan kalsit tersebut membentuk
Stalagtit dan Stalagmite atau dikenal dengan nama Speleothem.
Dengan adanya gua dan sungai bawah tanah ini maka dapat
terbentuk depresi tertutup yan gdisebut surupan. Surupan (dolines)
terbentuk bila atap gua atau sungai bawah tanah runtuh , dan surupan
yang terbentuk ini dikenal dengan nama collapse dolines atau
subjacent kars collapse dolines. Selanjutanya Bloom (1979)
mengemukakan bahwa surupan dapat terbentuk oleh proses
pelarutan pada saat air permukaan memasuki rekahan pada batuan.
Surupan jenis ini disebut solution dolines. Perkembangan surupan
runtuhan (collapse dolines) dan surupan pelaurutan (solution dolines)
digambarkan oleh Longwell dkk (1948) seperti gambar V.3.
Gambar V.3. Perkembangan collapse dolines akibat runtuhnya atap
gua (Longwell, 1949).
Pekembangan surupan runtuhan dimulai dengan adanya rongga
bawah tanah (gua) pada batugamping. Kemudian gua tersebut
mengalami pelebaran bersma-sama dengan berkembangnya
Stalagmit dan Stalagtit. Fase selanjutnya adalah runtuhnya atap gua
tersebut dan membentuk surupan yang bentuknya tidak teratur.
Surupan pelarutan mulai berkembang saat terjadi pelebaran kekar
vertical oleh pelarutan (Gambar V.4.a). Kemudian terjadi pelebaran
kekar tersebut sehingga mambentuk celah yang lebih lebar. Tampak
pada gambar V.4.b. dan V.4.c, bahwa pelarutan lebih efektif pada
daerah yang dekat dengan permukaan. Fase selanjutnya lapisan
penutup dipermukaan terbuka sehingga terbentuk surupan (gambar
V.4.d).
Gambar V.4. Perkembangan surupan akibat adanya pelarutan pada
batugamping yang terkekarkan (Longwell, 1948).
Selain yang tersebut diatas, sururpan juga dapat terbentuk oleh
proses subsiden pada material sukar larut yang menutup batuan
mudah larut . surupan jenis ini disebut subsidence dolines.
Apabila surupan-surupan yang berdekatan berkembang sehingga
saling berhubungan dan membentuk suatu depresi besar dengan
lantai dasar yang bergelombang, maka depresi ini disebut Uvala.
Jenning (1967, dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa uvala dapat
tersusun oelh 14 buah doline dengan ukuran yang bervariasi dan
beraneka ragam. Selanjutnya disebutkan pula bahwa bila depresi
yang besar tersebut memanjang searah jurus perlapisan atau
sepanjang zona lemah structural, lantai dasarnya datar dan
dindingnya curam maka disebut Polje.
Proses pelarutan pada batuan karbonat (batugamping) meninggalkan
morfologi sisa pelarutan. Perkembangan morfologi sisa ini menurut
Jackues (1977, dalam Van Zuidam, 1979) dapat dibagi dalam empat
fase. Keempat fase tersebut adalah (Gambar V.5).
Gambar V.5. Diagram yang menunjukkan perkembanagan morfologi
sisa pelarutan (Jackues 1977, dalam Van Zuidam, 1979).
Fase I. Terjadi pelarutan pada batuan yang terkekarkan sehingga
membentuk lembah yang ekmudian merupakan zona yang lebih cepat
mengalami pelarutan (zona A) dibanding dengan zona B yang tidak
mengalami pengkekaran (gambar V.5.1).
Fase II. Karena zona A lebih cepat mengalami pelarutan maka pada
zona ini segera terbentuk lembah yang dalam, sementara pada zona
B masih berupa dataran tinggi dengan gejala pelarutan dibeberapa
tempat (gambar V.5.2)
Fase III. Pelarutan pada kedua zona tersebut terus berjalan sehingga
pada fase ini mulai terbentuk kerucut-keucut kars pada zona B. pada
kerucut kars ini tingkat pelarutan /tingkat erosi vertikalnya lebih kecil
dibanding dengan lembah disekitarnya (Gambar V.5.3)
Fase IV. Karena adanya erosi lateral dan korosi oleh aliran sungai
maka zona A berada pada batas permukaan erosi dan pada zona B
erosi vertikalnya telah berjalan lebih lanjut sehinga hanya tinggal
beberapa morfologi sisa saja. Morfologi sisa ini sering disebut dengan
Menara Kars. Apabila menara-menara kars terebut terisolasi satu
dengan yang lainnya dan dikelilingi oleh dataran alluvial, maka
morfologi ini disebut sebagai Mogote atau Pepino Hill (gambar 5.4)
Morfologi sisa berkembang baik pada daerah yang beriklim tropis
basah, karena proses erosi dan pelarutan sangat intensif pada daerah
ini (Bloom, 1979).
V.4. Bentang Alam Hasil Proses Karstifikasi
Nama Kars menurut Thornbury (1964) dipakai pertama kali untuk
menamakan sebuah daerah di Italia yaitu Carso. Daerah Carso
merupakan dareah seluas kurang lebih 38.500 km2 dengan
ketinggian mencapai 2.500 m yang litologinya berupa batugamping
dimana gejala topografi kars berkembang baik didaerah ini. Daerah
kars yang dimaksud tepatnya berada disebelah timur laut Laut Adriatic
(Gambar V.5).
Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang alam kars dapat
dibedakan menjadi dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo,
1984), yaitu bentuk-bentuk konstruksional dan bentuk-bentuk sisa
pelarutan.
Gambar V.6. Daerah yang merupakan daerah topografi kars
V.4.1. Bentuk-bentuk Konstruksional
Bentuk konstruksional adalah bentuk topogrfi yang dibentuk oleh
proses pelarutan batugamping atau pengendapan material karbonat
yang dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi
konstruksional dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
bentuk-bentuk minor dan bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom
(1979), yang dimaksud dengan bentang alam kars minor adalah
bentang alam yang tak dapat diamati pada foto udara atau peta
topografi, sedang bentang alam kars mayo adalah bentang alam yang
dapat diamati baik didalam foto udara atau peta topografi.
Bentuk-bentuk topografi kars minor adalah :
a. Lapies
Merupakan bentuk tak rata pada permukaan batugamping akibat
adanya proses pelarutan, penggerusan atau karena proses lain.
Lapies (bahasa Prancis) sering disebut Karren (bahasa Jerman) atau
Clints (bahasa Inggris) (Thornbury, 1964). Ritter (1978)
mengklasifikasikan Karren berdasar bentuknya menjadi dua
kelompok, yaitu yang mempunyai bentuk lurus dan bentuk melingkar
seperti bulan sabit (lihat tabel 5.1)
Tabel 5.1. klasifikasi Karren (lapies) (Ritter, 1979)
Bentuk Nama Keterangan
Linier/kurva linier Solution Flutes Berupa lekukan halus, lurus,
kedalaman 1-2 cm, lebar kira-kira 2 cm, seragam, panjang 10 cm –
beberapa meter, antar celah dibatasi oleh pematang yang tajam,
terorientasi searah dengan slope.
Solution Runnels Berupa aluran terbatas, dalamnya kira-kira 40 cm,
lebar 40 – 50 cm, panjang lebih dari 2 cm, bila terjadi pada bidang
kekar atau bidang perlapisan disebut grikes
Solution Ripple
(Gelombang Pelarutan) Berupa gelembur gelombang yangtegak lurus
terhadap slope, tingginya 10 – 50 cm, terbentuk pada permukaan
miring yang curam
Melingkar (bulan sabit) Lubang pelarutan air hujan (rain pits) Berupa
lubang kecil pada permukaan yang datar, diameternya 3 cm,
dalamnya 2 cm, terbentuk oleh tetesan air hujan
Solution Pans Berupa cekungan dengan lantai yang datar,
diameternya 1 – 50 cm, lebar 3 cm – 3 m, terbentuk pada batuan
dasar yang tertutup vegetasi
Lereng Pelarutan (Solution Bevels) Berupa jejak (treads) dan lereng
(scraps) yang datar dan licin, panjang treads 20 cm – 1 m, tinggi
scraps 3 – 5 cm, terbentuk oleh gerakanair diatas batuan dasar yang
miring rendah
Berdasarkan letak pembentukannya (origin), lapies dapat dibedakan
menjadi dua macam (Herak dan Stringfiels, 1972), yaitu lapies yang
originnya tersingkap dipermukaan dan lapies yang originya tidak
tersingkap dipermukaan / berada dibawah tanah dan lapies yang
originnya tersingkap dipermukaan.
Gambar V.7. Kenampakan Karren/ Lapies pada batugamping
b. Kars Split
Adalah celah pelarutan yang terbentuk dipermukaan. Kars split
sebenarnya merupakan perkembangan dari kars-runnel (solution
runnel). Bila jumlah kars runnel banyak dan saling berpotongan maka
akan membentuk kars split (Srijono, 1984 dalam Widagdo, 1984).
c. Parit Kars
Adalah alur pada permukaan yang memanjang membentuk parit.
Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit kars ini merupakan kars
split yang memajang sehingga membentuk parit kars.
d. Palung Kars
Adalah alur pada permukaan batuan yang besar dan lebar, dibentuk
oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat mencapai lebih dari 50
cm. biasanya terbentuk pada permukaan batuan yang datar atau
miring rendah dan dikontrol oleh struktur yang memanjang.
e. Speleothem
Adalah hiasan yang terdapat didalam gua yang dihasilkan oleh
endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air, mengkilat dan
menonjol. Hiasan ini merupakan endapan CaCO3 yang mengalami
presipitasi pada saat air tanah yang membawanya masuk kedalam
gua (Sanders, J.E., 1981). Macam-macam speleothems yang sering
dijumpai adalah Stalagtit, yaitu hiasan yang menggantung dilangit-
langit dan Stalagmit, yaitu hiasan yang berada didasar atau dilantai
gua serta Tiang Masif (Massife Column), yaitu hiasan yang terbentuk
bila stalagtit dan stalagmite bertemu. (lihat gambar V.8).
Gambar V.8. Stalaktit dan stalagmit yang hampir membentuk tiang
masif (massive column) (Samodra, 1997).
f. Fitokars
Adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-lubang yang
saling berhubungan. Antara lubang satu dengan yang lainnya dibatasi
oleh tepi-tepi yang tajam, sehingga memberikan bentuk seperti bunga
karang pada menara (pinnacles) kars. Morfologi ini terbentuk karena
adanya pengaruh aktifitas biologis, yaitu adanya algae yang yang
tumbuh didalam batugamping. Algae menutup permukaan dan masuk
kebawah permukaan sedalam 0,1 – 0,2 mm, tampaknya algae
tersebut tumbuh didalam batugamping dan menghasilkan larutan
asam yang dapat melarutkan batugampingnya sehingga membentuk
lubang-lubang (Bloom, 1979), (lihat gambar V.9).
Gambar V.9. Bentuk Pinnacle Karst
Bentuk-bentuk topografi kars mayor adalah :
a. Surupan
Yaitu depresi tertutup hasil pelarutan denagn diameter mulai dari
beberapa meter sampai beberapa kilometer, kedalamannya mencapai
ratusan meter dan bentuknya dapat bundar atau lonjong (oval),
(Twidale, 1967). Surupan (dolines) ini di Amerika Serikat disebut
sebagai sink atau sink-holey (Ritter, 1978).
Jenning (1971) dan Bloom (1979), mengemukakan bahwa ada lima
macam surupan yang dikenal yaitu surupan runtuhan (collapse
dolines), surupan pelarutan (solution dolines), subsidence dolines,
subjacent kars collapse dolines dan star-shape doline (Lihat gambar
V.10).
Gambar V.10. Lima macam surupan yang utama, dibedakan menurut
pembentukannya (Bloom, 1979).
b. Uvala
Adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan beberapa
doline, lantai dasarnya tidak rata. Jenning (1967) dalam Ritter (1978),
mengemukakan bahwa sebuah uvala terdiri dari 14 buah doline
dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ukuran diameternya
berkisar antara 5 – 1000 meter dan kedalamannya berkisar antara 1-
200 meter, dindingnya curam (Lihat gambar V.11)
c. Polje
Depresi tertutup yang besar dengan lantai dasar dan dinding yang
curam, bentuknya tidak teratur dan biasanya memanjang searah jurus
perlapisan atau zona lemah structural. Pembentukannya dikontrol
oleh litologi dan struktur dan mengalami pelebaran oleh proses korosi
lateral pada saat ia terisi air (Riiter, 1979). Polje mempunyai ukuran
yang sangat besar minimal dalam satuan kilometer persegi (Lihat
gambar V.11).
Gambar V.11. Memperlihatkan bentuk beberapa Uvala dan Polje
d. Jendela Kars
Adalah lubang pada atap gua yang menghubungkan antara ruang
dalam gua dengan udara diluar yang terbentuk karena atap gua
tersebut runtuh, (Twidale, 1976). Disamping itu jendela kars dapat
pula terbentuk pada atap sungai bawah tanah.
e. Lembah Kars (Kars Valley)
Adalah lembah atau alur yang besar yang terdapat pada lahan kars.
Lembah ini terbentuk oleh aliran air permukaan yang mengerosi
batuan yang dilaluinya. Secara umum, lembah kars dapat dibedakan
menjadi beberapa macam dengan sifat pembaeda yang jelas (Ritter,
1978). Dalam hal ini disebutkan ada empat macam lembah kars, yaitu
:
- Allogenic Valley, yaitu lembah yang bagian hulunya berada pada
batuan yang kedap air kemudian masuk kedalam daerah kars.
Panjang pendeknya lembah allogenik ini tergantung pada besar
kecilnya aliran yang membentuk, semakin besar alirannya maka
semakin panjag lembah yang terbentuk.
- Lembah Buta (Blind Valley), yaitu lembah atau sungai pada lahan
kars yang secara tiba-tiba berakhir pada suatu tempat dan biasanya
pada akhir lembah ini air permukaan tanah akan masuk kedalam
tanah. Bila suatu saat aliran dapat melampaui lembah tersebut (misal,
saat hujan lebat atau terjadi pencairan es), maka lembah ini disebut
sebagai semiblind valley, lihat gambar V.12.
Gambar V.12. Sayatan memanjang sebuah lembah buta (Riiter,
1978).
- Pocket Valley, yaitu lembah yang dimulai dari tempat keluarnya air
yang masuk melalui surupan. Pada umumnya pocket valley
berasosiasi dengan mata air yang besar yang keluar diatas batuan
kedap air yang terletak dibawah lapisan batugamping yang tebal.
Lembah in umumnya berbentuk huruf U dan memiliki tebing yang
curam, ukurannya tergantung besar kecilnya debit mata air yang
keluar. Sweeting (1973) dalam Ritter (1978) menyebutkan bahwa
panjang lembah ini dapat mencapai 8 km, lebar 1 km dan dalamnya
berkisar antara 300 - 400 meter.
- Lembah Kering (Dry Valleys), yaitu lembah pada lahan kars yang
mirip dengan lembah fluviatil, hanya saja (sesuai dengan namanya)
lembah ini tidak berfungsi sebagai penyaluran air permukaan (kering),
karena air hujan yang jatuh dan masuk kedalam lebah ini dengan
segera akan meresap kedalam retakan batuan dasarnya.
f. Gua (Cave), yaitu serambi tau ruangan bawah tanah yang dapat
dicapai dari permukaan dan cukup besar bila dimasuki oleh manusia
(Sanders, 1981). Gua seringkali teridir dari rangkaian ruangan
sehingga kedalamannya dapat mencapai ratusan meter (Lihat gambar
V.13).
Gambar V.13. Mulut Gua Semuluh di Gunung Sewu yang bentuknya
dipengaruhi oleh kekar (Samodra, 1996).
g. Terowongan dan Jembatan Alam, yaitu lorong bawah tanah yang
terbentuk oleh pelarutan dan penggerusan air tanah atau oleh aliran
bawah tanah (Von Engeln, 1942). Terowongan alam memiliki ukuran
yang bervariasi artinya dapat berukuran besar atau kecil. Sebagai
contoh, terowongan di Virginia dapat berukuran mencapai 275 meter,
tingginya 23 meter dan lebarnya 40 meter.
Suatu ketika atap terowongan alam tersebut runtuh, sehingga panjang
terowongan tersebut semakin berkurang, akibatnya suatu saat
morofologi yang terbentuk lebih tepat disebut dengan Jembatan Alam
(Von Engeln, 1942).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa jembatan alam juga dapat
terbentuk oleh proses pelautan saja. Apabila jembatan alam tersebut
terbentuk oleh proses pelarutan batuan oleh air tanah maka disebut
sebagai Jembatan Kars (Kars Briges).
V. 4.2. Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah
morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan
sangatlanjut sehingga meninggalkan sisa yang khas untuk lahan kars.
Morfologi sisa dapat berkembang baik terutama pada daerah yang
beriklim tropis basah (Bloom, 1979). Macam-macam bentuk morfologi
sisa yaitu :
a. Kerucut Kars, yaitu bukit kars yang berbentuk kerucut, berlereng
terjal dan dikelilingi oleh depresi yang biasanya disebut sebagai
bintang (Ritter, 1978).
Kerucut kars sering disebut sebagai kegelkars (bahasa Jerman). Pada
kenyataannya kerucut kars sering kali lebih mirip setengah bola
dibanding dengan bentuk kerucut (Lehman, 1963, dalam Bloom,
1979) (gambar V.14). Depresi tertutup yang mengelilingi bukit sisa
biasanya terbentuk bintang dan tidak teratur sering disebut sebagai
cockpits dan terbentuk oleh proses pelarutan sepanjang zona kekar
atau patahan (Sweeting, 1958 dalam Ritter, 1978).
Gambar IV.14. Bukit-bukit batugamping berbentuk kerucut membulat
penyusun kars Gunung Sewu (Samodra, 1996).
b. Menara Kars, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk
menara dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung, terpisah
satu dengan yng lain dan dikelilingi oleh dataran alluvial (Ritter, 1978).
Menurut Jenning (1971) dalam Ritter (1978) menara kars dan kerucut
kars dibedakan dalam hal keterjalan lereng dan adanya rawa /
dataran alluvial yang mengelilinginya. Menara kars disebut juga
pepino hill atau haystack atau turmkarst. Contoh menara kars yang
baik adalah menara kars yang terdapat di Kweilin, Propinsi Kwangsi,
China (Gambar V.15).
Gambar V.15. Menara Kars di Halong Bay, Vietnam.
c. Mogote, adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan
erosi, umumnya dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir rata (flat).
Bentuknya kadang-kadang tidak simetri antara sisi yang mengarah
kearah datangnya angin dengan sisi sebaliknya (Ritter, 1978)
(Gambar 18). Mogote dan menara kars dibedakan dari bentuk dan
keterjalan lereng sisi-sisinya.
Gambar 16. Kenampakan morfologi Mofote
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-karst.html
bentang alam fluvial
BENTANG ALAM FLUVIAL
III.1. Proses Fluviatil
Bentang alam fluvial merupakan satuan geomorfologi yang erat
hubungannya dengan proses fluviatil. Sebelum lebih jauh membahas
tentang bentang alam fluviatil lebih dahulu dibahas pengertian tentang
proses fluviatil. Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di
alam, baik fisika maupun kimia yang mengakibatkan adanya
perubahan bentuk permukaan bumi, yang disebabkan oleh aksi air
permukaan. Di sini yang dominan adalah air yang mengalir secara
terpadu/terkonsentrasi (sungai) dan air yang tidak terkonsentrasi
(sheet water)
Tetapi alur-alur ada di lereng bukit atau gunung dan terisi air bila
terjadi hujan bukan termasuk bagian dari bentang alam fluviatil,
karena alur-alur tersebut berisi air sesaat setelah terjadinya hujan
(ephemeral stream).
Sebagaimana dengan proses geomorfik yang lain, proses fluviatil
akan menghasilkan suatu bentang alam yang khas sebagai tingkah
laku air yang mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk
dapat terjadi karena proses erosi maupun karena proses sedimentasi
yang dilakukan oleh air permukaan.
Sungai merupakan aliran air yang dibatasi suatu alur yang mengalir
ke tempat / lembah yang lebih rendah karena pengaruh gravitasi.
Sungai termasuk sungai besar, sungai kecil maupun anak sungai.
Macam-macam proses fluvial
Proses fluviatil dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1. Proses erosi
Menurut Sukmana, 1979, proses erosi adalah suatu proses atau
peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh
pergerakan air atau angin. Sedangkan Arsyad, 1982, mendefinisikan
proses erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atu
bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media
alami.
Menurut Holy,1980, berdasarkan agen penyebabnya, agen penyebab
erosi dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu erosi oleh air, erosi
oleh angin, erosi oleh gletser dan erosi oleh salju. Dalam bentang
alam ini, agen penyebab erosi yang paling dominan adalah air. Sungai
dapat mengerosi batuan sediment yang dilaluinya, memotong lembah,
memperdalam dan memperlebar sungai dengan cara-cara :
1. Quarrying, yaitu pendongkelan batu yang dilaluinya.
2. Abrasi, yaitu penggerusan terhadap batuan yang dilewatinya.
3. Scouring, yaitu penggerusan dasar sungai akibat adanya ulakan
sungai, misalnya pada daerah cut off slope.
4. Korosi, yaitu terjadinya reaksi terhadap batuan yang dilaluinya.
5. Hydraulic action, kemampuan air mengangkat dan memindahkan
batuan atau material-material sediment dengan gerakan memutar
sehingga batuan pecah dan kehilangan fragmen.
6. Solution, solution dalam proses erosi berjalan lambat, tetapi efektif
dalam pelapukan dan erosi
Berdasarkan arahnya, erosi dapat dibedakan menjadi:
a. Erosi ke arah hulu (head ward erotion) adalah erosi yang terjadi
pada ujung bagian hulu sungai.
b. Erosi vertikal, erosi yang arahnya tegak dan cenderung terjadi pada
daerah bagian hulu pada sungai dan menyebabkan terjadinya
pendalaman lembah sungai.
c. Erosi lateral, yaitu erosi yang arahnya mendatar dan dominan
terjadi pada daerah tengah sungai yang menyebabkan bertambah
lebar dan panjang sungai.
Erosi yang berlangsung terus hingga suatu saat akan mencapai batas
dimana air sungai sudah tidak lagi mampu mengerosi lagi ( erotion
base level). Erotion base level ini dapat dibagi menjadi ultimate base
level yang base level-nya berupa laut dan temporary base level yang
base level-nya lokal seperti danau, rawa, dll.
Intensitas erosi pada suatu sungai berbanding lurus dengan
kecepatan aliran sungai tersebut. Erosi akan lebih efektif bila media
yang bersangkutan mengangkut bermacam-macam material. Erosi
memiliki tujuan akhir meratakan sehingga mendekati ultimate base
level.
Sifat-sifat erosi :
1. Intensitasnya sebanding dengan aliran sungai.
2. Makin banyak bercampur dengan material lain maka erosi makin
efektif.
3. Selalu menuju ke ultimate base level.
2. Proses Transportasi
Proses transportasi adalah proses perpindahan/pengangkutan
material yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai
sebagai efek dari gaya gravitasi. Sungai mengangkut material hasil
erosinya dengan berbagai cara, yaitu:
a. traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar
sungai.
b. Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding
di dasar sungai.
c. Saltasi, yaitu material terangkut dengan cara menggelinding pada
dasar sungai
d. Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara
mengambang dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan air
sungai menjadi keruh.
e. Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan memben-
tuk larutan kimia.
Dalam membahas transportasi sungai dikenal terminologi stream
capacity yaitu jumlah beban maksimum yang mampu diangkut oleh
aliran sungai, dan stream competence yaitu ukuran maksimum beban
yang mampu diangkut oleh aliran sungai.
3. Proses Sedimentasi
Adalah proses pengendapan material karena aliran sungai tidak
mampu lagi mengangkut material yang di bawanya. Apabila tenaga
angkut semakin berkurang, maka material yang berukuran besar dan
lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu, baru kemudian material
yang lebih halus dan ringan.
Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan ini
adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan
sungai, karena biasanya pada bagian kelokan ini terjadi pengurangan
energi yang cukup besar.
Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan besarnya
energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi semakin
kecil, material yang diendapkan pun semakin halus.
III.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi
a. Kecepatan Aliran Sungai
Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai, bila
sungai membelok maka kecepatan maksimal ada paad daerah cut off
slope (terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi bila
kecepatan sungai menurun atau bahkan hilang.
b. Gradien / kemiringan lereng sungai
Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam ke
dataran yang lebih rendah maka kecepatan air berkurang dan tiba –
tiba hilang sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.
Bila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan meningkat
sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman lembah.
c. Bentuk alur sungai
Aliran air akan menggerus bagian tepi dan dasar sungai. Semakin
besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir lebih lambat.
Sungai yang dalam, sempit dan permukaan dasarnya tidak kasar,
aliran airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal dan permukaan
dasarnya tidak kasar, atau sempit, dalam tetapi permukaan dasarnya
kasar, aliran airnya lambat.
d. Discharge
Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi
dan transportasi terjadi karena besarnya kecepatan aliran sungai dan
discharge.
III.3. Pola Pengaliran (Drainage Pattern)
Bentuk-bentuk tubuh air disebut sebagai pengaliran (drainage)
meliputi danau, laut, sungai, rawa dan sejenisnya. Melalui erosi dan
penimbunan (deposisi) yang dilakukan oleh air yang mengalir secara
terus menerus, maka dapat menyebabkan perubahan dan
perkembangan dari tubuh air tersebut.
Satu sungai atau lebih beserta anak sungai dan cabangnya dapat
membentuk suatu pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola
pengaliran (drainage pattern). Pola ini dapat dibedakan menjadi
beberapa macam variasi bergantung struktur batuan dan variasi
lotologinya.
a. pola pengaliran rectangular
Adalah pola pengaliran di mana anak-anak sungainya membentuk
sudut tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini biasanya terdapat
pada daerah patahan yang bersistem teratur
b. pola pengaliran dendritik
Adalah pola pengaliran berbentuk seperti pohon dan cabang-
cabangnya yang berarah tidak beraturan. Pola ini berkembang pada
daerah dengan batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen
mendatar, batuan beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf
yang kompleks
c. pola pengaliran sejajar/parallel
Adalah pola pengaliran yang arah alirannya sejajar. Pola ini
berkembang pada daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan
nyata, dan batuan-nya bertekstur halus.
d. pola pengaliran trellis
adalah pola pengaliran yang berbentuk seperti daun dengan anak-
anak sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang searah
dengan jurus perlapisan batuan. Pola ini banyak dijumpai pada
daerah patahan atau lipatan.
e. pola pengaliran radial
Adalah pola pengaliran yang arah-arah pengalirannya menyebar ke
segala arah dari uatu pusat. Umumnya berkembang pada daerah
dengan struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunungapi, dan
pada bukit-bukit yang berbentuk kerucut.
f. pola pengaliran annular
Adalah pola pengaliran di mana sungai atau anak sungainya
mempunyai penyebaran yang melingkar, sering dijumpai pada daerah
kubah berstadia dewasa.
g. pola pengaliran multi basinal
Disebut juga sink hole, adalah pola pengaliran yang tidak sempurna,
kadang tampak kadang hilangyang disebut sebagai sungai bawah
tanah, pola ini bekembang pada daerah karst atau batugamping
h. pola pengaliran contorted
adalah pola pengaliran yang arah alirannya berbalik dar arah semula,
pola ini terdapat pada daerah patahan
III.4. Macam-macam Bentang Alam Fluviatil
Bentang alam fluviatil dapat dibedakan menjadi beberapa macam
berdasar proses pembentukannya, antara lain:
1. sungai teranyam (braided stream)
Sungai teranyam terbentuk pada bagian hilir sungai yang mempunyai
kemiringan datar atau hampir datar. Pembentukannya dikarenakan
oleh erosi yang berlebihan pada daerah hulu sungai sehingga terjadi
pengendapan pada bagian alurnya dan membentuk gosong tengah
(channel bar). Karena adanya gosong yang banyak dan berjajar
(berderet), maka alirannya memberikan kesan teranyam
2. Bar deposit (endapan gosong)
Adalah endapan sungai yang terdapat pada bagian tepi atau tengah
alur sungai. Endapan pada tengah alur disebut sebagai gosong
tengah (channel bar) sedang endapan pada tepi disebut sebagai
gosong tepi (point bar)
Sungai Kaligarang
Photo by : Fitriani I. P.
3. tanggul alam (natural levee)
Adalah tanggul yang terbentuk secara alamiah, hasil pengendapan
luapan banjir dan terdapat pada tepi sungai sebelah menyebelah.
Material pembentuk tenggul alam berasal dari material hasil
transportasi sungai saat banjir dan diendapkan di luar saluran
sehingga membentuk tanggul-tanggul sepanjang aliran
4. kipas alluvial (alluvial fan)
Adalah bentang alam alluvial yang terbentuk oleh onggokan material
lepas, berbentuk seperti kipas, biasanya terdapat pada suatu dataran
di depan gawir. Biasanya tersusun oleh perselingan pasir dan
lempung unconsolidated sehingga merupakan lapisan penyimpan air
yang cukup baik.
5. delta
Adalah bentang alam hasil sedimentasi sungai pada bagian hilir
setelah masuk pada daerah base level. Selanjutnya akan dibahas
sendiri pada bab bentang alam pantai dan delta
III.5. Genesa Pembentukan lembah Sungai
Siklus lembah sungai dibagi menjadi tiga tingkatan (stadia) yaitu muda
dewasa dan tua
A. stadia muda, dicirikan oleh:
- biasanya di daerah hulu
- sungai sangat aktif, erosi berlangsung cepat
- erosi vertikal lebih kuat daripada erosi lateral
- lembah sungai mempunyai profil berbentuk V
- gradien sungai curam, terdapat jeram dan air terjun
- anak sungai sedikit dan kecil
- aliran sungai deras (energi pengangkutan besar)
- bentuk sungai relatif lurus
B. stadia dewasa, ditandai oleh:
- kecepatan aliran mulai berkurang
- gradien sungai sedang, tidak terdapat jeram dan air terjun
- mulai terbentuk dataran banjir dan tanggul alam
- erosi lateral (ke samping) lebih kuat dari erosi vertikal
- mulai terbentuk meander sungai
- pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar
C. stadia tua, ditandai oleh:
- kecepatan aliran semakin berkurang
- lebih banyak sedimentasi daripada erosi
- berkembang di daerah hilir
- banyak terbentuk sungai meander, danau tapal kuda dan tanggul
alam
- terjadi pelebaran lembah walaupun sangat lembat Meander Sungai
III.6. Bentang Alam Fluviatil dan Peta Topografi
Dalam peta topografi standar, sebagian dari bentang alam fluviatil
tidak terekspresikan, terutama yang berukuran kecil misalnya gosong
sungai dan tanggul alam, sebagian yang lain terekspresikan pada
peta topografi misalnya kipas alluvial.
Pada peta topografi alur sungai tampak jelas oleh pola konturnya
yang khas sepanjang alur sungai tersebut, yaitu ditandai oleh garis
kontur yang meruncing ke arah hulu.
III.7. Aplikasi
Daerah-daerah yang termasuk bentang alam fluviatil merupakan
daerah yang sangat potensial bagi kebutuhan hidup manusia. Daerah
sekitar aliran sungai merupakan daerah yang sangat potensial untuk
penambangan material bahan bangunan seperti pasir dan batu kali,
selain itu airnya sangat vital untuk digunakan sebagai air minum,
irigasi dan sebagainya. Selain potensi sesumber, daerah aliran sungai
juga dapat menjadi sumber potensi bencana sepeti banjir dan tanah
longsor.
Bagian-bagian sungai yang memungkinkan terjadinya proses
sedimentasi adalah bagian sungai yang tingkat erosi lateralnya mulai
berkurang dan intensitas pengendapannya bertambah karena
berkurangnya energi transportasi, yaitu pada sungai dengan stadia
dewasa-tua
Dalam penambangan material sungai harus mempertimbangkan
beberapa aspek antara lain:
b. Dipilih lokasi yang mudah untuk pengangkutan
c. Akumulasi bahan tambang yang relatif mudah diambil
d. Tidak merusak lingkungan sekitar (misalnya pondasi jembatan)
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-fluvial.html
bentang alam vulkanik
BENTANG ALAM VULKANIK
Bentang alam vulkanik adalah bentang alam yang proses
pembentukannya dikontrol oleh proses vulkanisme, yaitu proses
keluarnya magma dari dalam bumi. Bentang alam vulkanik selalu
dihubungkan dengan gerak-gerak tektonik. Gunung-gunung api
biasanya dijumpai di depan zona penunjaman (subduction zone)
(Gambar II.1).
II.1 Proses Vulkanisme
Dalam kaitannya dengan bentang alam, gunungapi mempunyai
beberapa pengertian antara lain : Merupakan bentuk timbulan di permukaan bumi yang dibangun oleh
timbunan material/rempah gunungapi. Merupakan tempat munculnya material vulkanik lepas sebagai hasil
aktivitas magma di dalam bumi (vulkanisme).
Berdasarkan proses terjadinya ada tiga macam vulkanisme,yaitu :
1. Vulkanisme Letusan, dikontrol oleh magma yang bersifat asam
yang kaya akan gas, bersifat kental dan ledakan kuat. Vulkanisme ini
biasanya menghasilkan material piroklastik dan membentuk
gunungapi yang tinggi dan terjal.
2. Vulkanisme Lelehan, dikontrol oleh magma yang bersifat basa,
sedikit mengandung gas, magma encer dan ledakan lemah.
Vulkanisme ini biasanya menghasilkan gunungapi yang rendah dan
berbentuk perisai, misalnya Dieng, Hawai.
3. Vulkanisme Campuran, dipengaruhi oleh magma intermediet yang
agak kental. Vulkanisme ini menghasilkan gunungapi strato, misalnya
Gunung Merapi dan Merbabu.
Gambar II.2. Macam-macam vulkanisme : (a) Lelehan, (b) Campuran
dan (c) Letusan.
Jenis lava dalam hubungannya dengan erupsi yang bersifat lelehan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tipe “AA” dan tipe “ pa hoe hoe”.
Lava “AA” bersifat skoriaan dan runcing, sedang tipe “pa hoe hoe”
bersifat halus.
Gambar II.3. Jenis lava “AA”
Gambar II.4. Jenis lava “pa hoe hoe”
Adanya vulkanisme dapat dicirikan oleh beberapa hal diantaranya
adalah:
1. Mayor : adanya gunungapi
2. Minor : a. Xenolit
b. Volcanic neck
c. Gua lava
d. Ekshalasi : fumarol, solfatar, mofet
Gambar II.5. Illustrasi volcanic neck, dike, sill, dll.
Gambar II.6. Illustrasi batholith, xenolith, laccolith,dll.
Faktor yang mempengaruhi bentuk gunungapi dan proses vulkanisme
antara lain : sifat magma (komposisi, kekentalan)
tekanan (berhubungan dengan jumlah kandungan gas)
kedalaman dapur magma
faktor eksternal (iklim, suhu)
II.2 Klasifikasi Gununungapi
Berdasarkan lokasi pusat kegiatan, Rittmann (1962) membuat
klasifikasi letusan gunungapi, yaitu :
1. Letusan pusat (terminal eruption), dimana lubang kepundan
merupakan saluran utama bagi peletusan.
2. Letusan samping (subterminal effusion), akan terbentuk apabila
magma yang membentuk sill sempat menerobos ke permukaan, pada
lereng gunungapi.
3. Letusan lateral (lateral eruption), dimana korok melingkar (ring dike)
dapat berfungsi sebagai saluran magma ke permukaan.
4. Letusan di luar pusat (excentric eruption), terjadi di bagian kaki
gunungapi, dengan sistem saluran magma tersendiri yang tak ada
kaitannya dengan lubang kepundan utama.
Gambar II.7. Diagram letusan berdasarkan lokasi pusat kegiatan
menurut Rittmann (1962).
Escher (1952) mengklasifikasikan tipe letusan berdasarkan viskositas,
tekanan gas dan kedalaman dapur magma menjadi tujuh tipe (lihat
tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tipe-tipe letusan gunungapi
1. Tipe Hawaii
Tipe Gunungapi ini dicirikan dengan lavanya yang cair dan tipis, yang
dalam perkembangannya akan membentuk tipe gunungapi perisai.
Sifat magmanya yang sangat cair memungkinkan terjadinya lava
mancur, yang disebabkan oleh arus konveksi pada danau lava.
Dimana lava yang banyak mengandung banyak gas, sehingga bersifat
ringan, akan terlempar ke atas, sedang yang berat (setelah gas
hilang) akan tenggelam lagi. Tipe ini banyak ditemukan di gunungapi
perisai di Hawaii, seperti di Kilauea dan Maunaloa. Di Kilauela
terdapat danau lava Halemaumau dengan pulau-pulau lava beku yang
mengapung di atasnya. Lava mancur pada danau lava ini akan
menghasilkan rambut Pele (Pele’s hair) dan airmata Pele (Pele’s tear)
yang mempunyai bentuk-bentuk khas. Meskipun panas yang
dikeluarkan cukup banyak, tetapii permukaan danu lava senantiasa
cair. Tipe Hawii juga didapatkan di Islandia, dibedakan dengan yang
di Hawaii adalah berdasarkan ketinggian dan besarnya sudut lereng.
Di Hawaii tipe ini membentuk gunungapi yang berketinggian lebih dari
1000 m dan mempunyai sudut sudut lereng besar, sdang di Islandia
umumnya lebih rendah, bersudut lereng kecil dan membentuk datar
tinggi.
2. Tipe Stromboli
Tipe ini sangat khas untuk G. Stromboli dan beberapa gunungapi
lainnya yang sedang meningkat kegiatannya. Magmanya sangat cair,
ke arah permukaan sering dijumpai letusan pendek yang disertai
ledakan. Bahan yang dikeluarkan berupaabu, bom, lapili dan
setengah padatan bongkah lava. Tekanan gas tipe Stromboli adalah
rendah.
3. Tipe Vulkano
Yang sangat khas dari tipe ini adalah pembentukan awandebu
berbentuk bunga kol, karena gas yang ditembakkan ke atas meluas
hingga jauh di atas kawah. Tipe ini mempunyai tekanan gas sedang
dan lavanya kurang begitu cair. Dan disamping dikeluarkan
awandebu, tipe ini juga menghasilkan lava. Berdasarkan kekuatan
letusannya, tipe ini dibedakan menjadi tipe Vulkano kuat (G. Vesuvius,
G. Etna) dan tipe Vulkano lemah (G. Bromo, G. Raung). Peralihan
antara kedua tipe inipun dijumpai, di Indonesia misalnya ditunjukkan
oleh G. Kelud dan Anak Bromo.
4. Tipe Merapi
Dicirikan dengan lavanya yang cair-kental, dapur magma yang relatif
dangkal dan tekanan gas yang agak rendah. Karena sifat lavanya
tersebut, apabila magma naik ke atas melalui pipa kepundan, maka
akan terbentuk sumbat lava atau kubah lava sementara di bagian
bawahnya masih cair. Sumbat lava yyang gugur akan menyebabkn
terjadinya awanppanas guguran. Sedang semakin tingginya tekanan
gas karena pipa kepundan tersumbat akan menyebabkan sumabat
tersebut hancur ketika terjadi letusan, dan akan terbentuk awanpanas
letusan.
5. Tipe Pelee
Tipe ini mempunyai viskositas lava yang hampir sama dengan tipe
Merapi. Tetapi tekanan gasnya cukup besar. Ciri khas tipe Pelee
adalah peletusan gas ke arah mendatar. G. Pelee pernah meletus
pada 8 Mei 1902, menghancurkan kota St. Pierre dengan serbuan
awanpanas bersuhu antara 2100 – 2300C. Kecepatan luncurnya yang
tinggi, sekitar 150 m/detik, mnyebabkan penduduk kota tersebut tidak
sempat melarikan diri dan 30.000 jiwa menjadi korban.
6. Tipe St. Vincent
Lavanya agak kental, dan bertekanan gas menengah. Pada kawah
terdapat danau kawah, yang sewaktu terjadi letusan akan
dimuntahkan ke luar dengan membentuk lahar letusan. Setelah danau
kawah kosong, disusul oleh hembusan bahan lepas gunungapi
berupa bom, lapili dan awanpijar. Suhu lahar letusan adalah sekitar
1000C. Contoh tipe ini di Indonesia adalah G. Kelud yang meletus
pada tahun 1906 dan 1909.
7. Tipe Perret atau tipe Plinian
Tipe ini dicirikan dengan tekanan gasnya yang sangat kuat, disamping
lavanya yang cair. Bersifat merusak dan diduga ada kaitannya dengan
perkembangan pembentukan kaldera gunungapi. Peneliti pertama tipe
ini adalah Plinius (99 SM), yaitu terhadap G. Vesivius, sehingga
namanya diabadikan untuk tipe letusan gunungapi. Contoh dari tipe ini
adalah G. Vesivius, yang sebelum meletus mempunyai ketinggian
1.335 m. Tetapi setelah terjadi letusan, ketinggian sisa hanyalah
1.186 m, sehingga sekitar 149 m dihembuskan ke atas oleh suatu
kekuatan yang luarbiasa besarnya. Contoh di Indonesia adalah G.
Krakatau yang meletus pada tahun 1883.
Periode kegiatan dan periode istirahat letusan gnungapi sangat
tergantung pada :
1. Kedalaman dan ukuran dapur magma.
2. Besarnya tenaga potensial dalam dapur magma dan besarnya
tenag yang dilepaskan.
3. Kandungan gas dan proses pembentukan gas kembali (degassing).
4. Besar-kecilnya atau ada-tidaknya gangguan kesetimbangan atas
aspek fisika-kimia.
5. Sifat penyaluran tenaga ke araah permukaan yang dikendalikan
oleh sistem rekahan atau pensesaran.
II.3 Morfologi Gunungapi
Morfologi gununungapi dapat dibedakan menjadi tiga zona dengan
ciri-ciri yang berlainan, yaitu :
a. Zona Pusat Erupsi
- banyak radial dike/sill
- adanya simbat kawah (plug) dan crumble breccia
- adanya zona hidrotermal
- endapan piroklastik kasar
- bentuk morfologi kubah dengan pusat erupsi
b. Zona Proksimal
- material piroklastik agak terorientasi
- pada material piroklastik dan lava dijumpai pelapukan, dicirikan oleh
soil yang tipis
- sering dijumpai parasitic cone
- banyak dijumpai ignimbrit dan welded tuff
c. Zona Distal
- material piroklastik berukuran halus
- banyak dijumpai lahar
Gambar II.8. Pembagian zona pada gunungapi
II.4 Macam-macam Bentang Alam Vulkanik
Bentang alam vulkanik dibedakan menjadi beberapa macam dengan
dasar klasifikasi kenampakan visual morfologinya. Srijono (1984,
dikutip Widagdo, 1984), menggambarkan klasifikasi bentang alam
vulkanik berdasarkan bentuk morfologinya. Klasifikasi tersebut dapat
diuraikan menjadi :
II.4.1 Bentuk Timbulan (Morfologi Positif) / Kubah Vulkanik
Merupakan morfologi gunungapi yang mempunyai bentuk cembung
ke atas. Morfologi ini dibedakan atas dasar asal kejadiannya menjadi :
a. Kerucut Semburan
- Kerucut Semburan Utama
Merupakan morfologi kerucut semburan yang terbentuk oleh erupsi
lava yang bersifat kental/andesitik.
- Kerucut Parasit (Parasitic Cone)
Merupakan morfologi yang terbentuk sebagai hasil erupsi gunungapi
yang berada pada lereng gunungapi yang lebih besar.
- Kerucut Sinder (Cinder Cone)
Merupakan morfologi yang terbentuk oleh erupsi kecil yang terjadi
pada kaki gunungapi, berupa kerucut rendah dengan bagian puncak
tampak cekung datar.
Gambar II.9. Sketsa morfologi kerucut semburan, kerucut parasit dan
kerucut sinder
Gambar II.10. Cinder Cone “Pu`u ka Pele” yang meletus di sebelah
tenggara G. Mauna Kea. Tinggi kerucut 95 m dan diameter kawahnya
400 m.
b. Kubah Lava (Lava Dome)
Merupakan morfologi yang berbentuk kubah membulat yang terbentuk
oleh magma yang sangat kental, biasanya dacite/rhyolite. Kubah
terdiri dari satu atau lebih aliran lava individu.
Gambar II.11. Kubah lava di atas Novarupta vent, Lembah Sepuluh
Ribu Asap, Taman Nasional Katmai, Alaska.
c. Gunungapi Tameng/Perisai
Merupakan morfologi yang terbentuk oleh aliran magma cair encer,
sehingga pada waktu magma keluar dari lubang kepundan, meleleh
ke semua arah dala jumlah besar dari suatu kawah besar/kawah
pusat dan menutupi daerah yang luas yang relatif tipis. Sehingga
bentuk gunung yang terbentuk mempunyai alas yang sangat luas
dibandingkan dengan tingginya.
Sifat magmanya basa dengan kekentalan rendah dan kurang
mengandung gas. Karena itulah erupsinya lemah, keluarnya ke
permukaan bumi secara effusif/meleleh. Akibatnya lerengnya landai
(20 – 100) tingginya tidak seberapa dibanding diameternya, dan
permukaan lereng yang halus. Contohnya adalah gunungapi di Hawaii
(Mauna Loa, Kilauea).
d. Dataran Vulkanik
Secara relatif, dataran vulkanik dicirikan oleh puncak topografi yang
datar, dengan variasi beda tinggi yang tidak mencolok. Macam-
macam dataran vulkanik diantaranya adalah dataran basal, plato
basal dan dataran kaki vulkan.
Gambar II.12 Sketsa morfologi dataran vulkanik
e. Vulkan Semu
Vulkan semu adalah morfologi mirip kerucut gunungapi, bahan
pembentuknya berasal dari vulkan yang berdekatan. Dapat pula
terbentuk oleh erosi lanjut terhadap suatu vulkan yang sudah lama
tidak menunjukkan kegiatannya (mati). Morfologi ini kemungkinan
dihasilkan oleh suatu sistem patahan mayor yang melintasi gunungapi
aktif dan mampu mengangkat massa yang besar. Morfologi vulkan
semu ini sering disebut Gunung Gendol. Gunung Gendol adalah bukit
kecil di daerah muntilan , Jawa Tengah pada dataran kaki vulkan G.
Merapi.
Vulkan semu jenis lain adalah lajuran vulkanik (volcanic neck), yaitu
morfologi yang terbentuk bila suatu kubah vulkanik tererosi sehingga
tinggal berbentuk lajuran. Biasanya, di sekitar vulkanik tersebut sering
dijumpai retas yang memanjang.
Gambar II.13. Kenampakan morfologi vulkan semu
II.4.2 Depresi Vulkanik (Morfologi Negatif)
Depresi vulkanik adalah morfologi bagian vulkan yang secara umum
berupa cekungan. Berdasarkan material pengisinya depresi vulkanik
dibedakan menjadi :
Gambar II.14. Sketsa morfologi depresi vulkanik
a. Danau Vulkanik
Danau vulkanik yaitu depresi vulkanik yang terisi oleh air sehingga
membentuk danau.
b. Kawah
Yaitu depresi vulkanik yang terbentuk oleh letusan dengan diameter
maksimum 1,5 km, dan tidak terisi oleh apapun selain material hasil
letusan. Berdasarkan asal mulanya dibedakan kawah letusan dan
kawah runtuhan. Sedang berdasarkan letaknya terhadap pusat
kegiatan dikelompokkan kawah kepundan dan kawah samping
(kawah parasiter). Pengisian kawah oleh airhujan akan menyebabkan
terbentuknya danaukawah. Dan letusan pada gunungapi yang
mempunyai danaukawah akan menyebabkan terjadinya lahar letusan
yang bersuhu tinggi.
c. Kaldera
Yaitu depresi vulkanik yang terbentuknya belum tentu oleh letusan,
tetapi didahului oleh amblesan pada komplek vulkan, dengan ukuran
lebih dari 1,5 km. Pada kaldera ini sering muncul gunungapi baru.
Menurut H. William (1947), berdasarkan proses yang membentuknya
kaldera dibedakan menjadi :
Gambar II.15. Kaldera “Aniakchak” berdiameter 10 km dengan
kedalaman 500 – 1000 m.
1. Kaldera letusan, yaitu kaldera yang disebabkan oleh letusan
gunungapi yang sangat kuat yang menghancurkan bagian puncak
kerucut dan mnyemburkan massa batuan dalam massa yang sangat
besar. Kaldera Bandai-san di Jepang dan Tarawera di New Zealand
termasuk dalam jenis ini.
2. Kaldera runtuhan, yaitu kaldera yang disebabkan oleh letusan yang
berjalan cepat yang memuntahkan batuapung dalam jumlah banyak,
sehingga menyebabkan kekosongan pada dapur magma. Penurunan
permukaan magma di dalam waduk pun akan menyebabkan
runtuhnya bagian atas dapur magma, dan memicu terjadinya runtuhan
bagian puncak gunungapi. Hampir kebanyakan kaldera terbentuk
melalui proses ini, contoh kaldera Krakatau, di Indonesia dan Crater
Lake di Oregon, Amerika.
3. Kaldera erosi, yaitu kaldera yang disebabkan oleh erosi pada
bagian puncak kerucut, dimana erosi akan memperlebar daerah
lekukan sehingga daerah kalderah tersebut semakin luas. Gejala
seperti ini banyak ditemukan di gunungapi Jepang.
Selain morfologi di atas, berikut disampaikan macam-macam
morfologi hasil erupsi vulkanik :
1. Morfologi hasil erupsi sentral
a. Dari magma encer :
- Hornitos
- Exogeneous dome
b. Dari magma intermediet :
- Cinder Cone
- Pyroclastic ring fall
- Indogeneous dome
c. Dari magma kental :
- Maar
- Crater
- Kaldera
2. Morfologi hasil erupsi celah
a. Berasal dari magma encer :
- Lava flow
- Lava plateu
b. Dari magma intermediet :
- Tanggul lava
- Strato volkanic ridge
c. Dari magma kental :
- Endogeneous ridge
Gambar II.16. Tipe, bentuk dan struktur gunungapi menurut Kuno
(1976) yaitu (a) maar, (b) Kerucut piroklastik, (c) jarum gunungapi,
(d,e,f) kubah lava, (g) gunung berlapis dan (h) gunungapi
tameng/perisai.
Kalau tidak ada gangguan, suatu gunungapi yang tumbuh semakin
besar akan mempunyai bentuk yang teratur, baik berupa kerucut
maupun bentuk lainnya. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak
teraturnya bentuk gunungapi antara lain :
1. Kegiatan vulkanisme, seperti pembentukan kaldera, dimana
kegiatan tesebut akan mengganggu pekembangan suatu gunungapi.
2. Berpindahnya pusat kegiatan gunungapi (pipa kepundan), dimana
berkaitan erat dengan keaktifan tektonik daerah setempat.
3. Tekanan arus dari aliran lava yang naik ke atas, yang lama-
kelamaan akan merusak dan menghancurkan dinding kepundan.
4. Adanya kerucut spater (spatter cone), yaitu suatu kerucut yang
bersisi curam yang tersusun dari batuan bahan lepas yang
terendapkan di atas celah atau pipa kepundan, dan umumnya
berkomposisi basalan; atau hornito yang juga merupakan kerucut
spater di sekitar ujung aliran lava.
5. Adanya gua-gua pada aliran lava (lava tube).
Gambar II.17. Spatter cone “Pu`u `O`o” dengan tinggi 4 – 5 m.
Gambar II.18. Hornito
Gambar II.19. Lava tube “Thurston (Nahuku)” dekat kaldera G.
Kilauea, Hawaii
II.5 Dampak Lingkungan Gunungapi
Gunungapi dapat mempengaruhi lingkungan, baik pengaruh baik
(sesumber), maupun pengaruh buruk (bencana) bagi manusia.
Dampak positif dengan adanya gunungapi adalah :
a. Panas bumi (geothermal), sebagai sumber tenaga listrik dari proses
hidrotermal yang terjadi di daerah gunungapi, seperti yang
diusahakan di Pegunungan Dieng dan Lahendong.
b. Sebagai taman wisata, dikembangkan dari potensi keindahan alam
dan suasana alam yang masih asli dan sejuk seperti di Kaliurang,
Puncak, Sarangan.
c. Sebagai daerah pertanian daerah yang subur seperti banyak kita
jumpai di seluruh Indonesia. Contohnya : Batu, Kaliurang, Dieng,
Wonosobo.
d. Sebagai daerah pengisian (recharge) air tanah bagi daerah-daerah
sekitar gunungapi seperti Gunung Merapi untuk daerah sekitar
Yogyakarta.
e. Sebagai daerah penyeimbang / pembagi hujan di daera sekitarnya.
Selain berpotensi sebagai daerah yang menguntungkan gunungapi
juga berpotensi sebagai sumber bencana. Secara garis besar bahaya
akibat erupsi gunungapi dapat dibagi menjadi dua yaitu bahaya
langsung (primer) dan bahaya setelah terjadinya letusan (sekunder).
Bahaya primer akibat erupsi gunungapi meliputi :
a. Aliran Lava
Aliran lava yaitu terjadinya aliran batu cair yang pijar dan bersuhu
tinggi (sampai 12000 C). Alirannya menuruni lereng yang terjal dan
dapat mencapai beberapa kilometer. Semua benda yang dilaluinya
akan hangus dan terbakar. Apabila melongsor akan menimbulkan
awan panas.
b. Bom Gunungapi
Bom gunungapi berujud batuan panas dan pijar berukuran 10 cm – 2
m. Batuan ini dapat terlempar dari pusat erupsi sejauh hingga 10 km.
Bom ini dapat menimbulkan kebakaran hutan, pemukiman dan lahan
pertanian. Bila tiba di tanah bom ini akan mengeluarkan letusan dan
akan hancur.
Gambar II.20. Aliran lava pada G. Mauna Loa, Hawaii.
Gambar II.21. Bom gunungapi G. Mauna Kea, Hawaii.
c. Pasir Lapili
Pasir dan lapili adalah campuran material letusan yang ukuranya lebih
kecil dari bom (< 2 mm). Sedangkan lapili lebih besar daripada pasir
hingga mencapai beberapa cm. Apabila terjadi letusan pasir dan lapili
ini dapat terlempar hingga puluhan kilometer. Pasir dan lapili ini dapat
menghancurkan atap rumah karena bebannya juga dapat merusak
lahan pertanian hingga dapat membunuh tanaman.
Gambar II.22. Pasir Lapili G. Kilauea, Hawaii.
d. Awan Pijar
Awan pijar adalah suspensi dai material halus yang dihasilkan oleh
erupsi gunungapi dan dihembuskan oleh angin hingga mencapai
beberapa kilometer. Awan pijar ini merupakan campuran yang pekat
dari gas, uap dan material halus yang bersuhu tinggi (hingga 12000
C). Suspensi ini berat sehingga mengalir menuruni lereng gunungapi
dan seolah-olah meluncur, luncurannya dapat menapai 10 – 20 km.
Dan membakar apa yang dilaluinya seperti yang terjadi pada Gunung
Merapi pada tanggal 22 November 1994 yang memakan korban 60
orang terbakar hidup-hidup dan tak terhitung lagi ternak yang mati
terpanggang akibat hembusan awan panas ini.
e. Abu Gunungapi
Abu ini merupakan campuran material yang paling halus dari suatu
letusan gunungapi. Suhunya bisa tidak panas lagi. Ukurannya kurang
dari 1 mikron - 0.2 mm. Bahaya yang ditimbulkan antara lain bisa
mengganggu penerbangan seperti yang terjadi pada saat letusan G.
Galunggung, dapat menimbulkan sesak napas apabila terlalu banyak
mengisap abu gunungapi dan menimbulkan penyakit silikosis, yaitu
penyakit yang diakibatkan oleh penggumpalan silika bebas pada paru-
paru yang diakibatkan oleh terisapnya abu gunungapi yang
mengandung silika bebas.
Gambar II.23. Abu gunungapi dari G. St. Helens, Amerika.
f. Gas Beracun
Kadar gas yang tinggi dapat menimbulkan kematian. Gunungapi
biasanya mengeluarkan gas CO, CO2, H2S, HCN, H3As, NO2, Cl2
dan gas lain yang jumlahnya sedikit. Nilai batas ambang untuk gas
CO 50 ppm (part per million), CO2 5,00 ppm, sedangkan gas H3As
yang sangat mematikan pada 0,05 ppm. Gas yanga dikeluarkan saat
erupsi tidak begitu berbahaya karena gas tersebut langsung terbakar
pada saat terjadi letusa gunungapi. Yang paling berbahaya adalah
apabila gas tersebut dikeluarkan pada sisa-sisa gunungapi seperti
yang terjadi di Pegunungan Dieng. Gas tersebut BJ-nya lebih besar
dari udara bebas sehingga letaknya berada pada daerah-daerah yang
rendah seperti di lembah-lembah, dekat permukaan tanah.
Bahaya yang tidak kalah berbahayanya adalah bahaya setelah terjadi
letusan yaitu bahaya sekunder. Bahaya tersebut berupa bahaya aliran
lahar. Lahar terbentuk dari batuan yang dilemparkan dari pusat erupsi
baik blok, bom, lapili, tuff, abu maupun longsoran kubah lava. Apabila
terjadi hujan lebat yang turun bersamaan atau setelah erupsi maka
endapan material hasil erupsi tersebut akan terangkut oleh aliran air
membentuk aliran bahan rombakan yang biasa disebut alira lahar.
Aliran lahar ini mempunyai kekuatan merusak yang besar dan akan
melalui apa saja yang ada di depannya tanpa kecuali baik
pemukiman, hutan, tanah pertanian maupun tanggul sungai yang
dilaluinya.
Gambar II.24. Aliran lahar pada G. Santiaguito, Guatemala.
Untuk menghindari bencana yang diakibatkan oleh letusan gunungapi
ini maka di setiap daerah gunungapi dibuat peta daerah bahaya yang
didasarkan pada potensi bencana yang ada baik primer maupun
sekunder. Seperti yang dilakukan oleh Jawatan Vulkanologi pada G.
Merapi.
II.6 Bentang Alam Vulkanik dalam Peta Topografi
Pada peta topografi, bentang alam vulkanik memiliki kenampakan
pola kontur yang khas. Umumnya pola kontur yang dibentuk oleh
bentang alam vulkanik adalah sirkuler dan radier sesuai dengan
bentuk bentang alamnya. Disamping memiliki pola kontur yang khas,
bentang alam vulkanik juga dicirikan oleh pola penyalurannya yang
khas yaitu sirkuler ataupun radier.
II.7 Klasifikasi Relief
Van Zuidam (1983), mengklasifikasikan relief berdasarkan morfometri
dan morfografi sebagai berikut :
Klasifikasi Relief Persen lereng (%) Beda tinggi (m)
Datar/hampir datar 0 – 2 < 50
Bergelombang landai 3 – 7 5 – 50
Bergelombang miring 8 – 13 25 – 75
Berbukit bergelombang 14 – 20 50 – 200
Berbukit terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan sangat terjal 56 – 140 500 – 1000
Pegunungan sangat curam > 140 > 1000
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-vulkanik.html